You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu obat
yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (ganiswara, 2000).

Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka
mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat
atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua.
Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena interaksi obat pada terapi obat dapat
menyebabkan kasus yang parah dan tingkat kerusakan-kerusakan pada pasien,
dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus terjadinya interaksi obat
dapat dikurangi (mutschler, 1991). Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi
diperkirakan berkisar antara 2,2% sampai 30% dalam penelitian pasien rawat inap
di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2% sampai 70,3% pada pasien di masyarakat.
Kemungkinan tersebut sampai 11,1% pasien yang benar-benar mengalami gejala
yang diakibatkan oleh interaksi obat (fradgley, 2003).

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui macam-macam antibiotik dan penggunaannya. Dan untuk
mengetahui interaksi obat-obat antibiotik dengan obat lain maupun dengan
makanan.
1.3 Kegunaan
Agar dapat mengetahui macam-macam antibiotik dan penggunaannya dan
sumber informasi dan referensi lain bagi masyarakat umum mengenai interaksi
obat-obat antibiotik dengan obat lain maupun dengan makanan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi obat


2.1.1 Definisi
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat
akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau
bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan
atau toksisitas satu atau lebih akan berubah (fradgley, 2003). Interaksi obat
terjadi ketika modifikasi aks 13 penurunan dalam ukuran respon yang
diharapkan. Interaksi obat mungkin merupakan hasil perubahan
farmakokinetik, perubahan farmakodinamik, atau kombinasi keduanya
(katzung an trevor, 2002).
2.1.2 Mekanisme interaksi obat menurut jenis mekanisme kerjanya, interaksi
obat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
A. Interaksi farmasetik interaksi farmasetik terjadi jika antara dua
obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi inkompatibilitas
atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh, dan
berakibat berubahnya atau hilangnya efek farmakologik obat
yang diberikan. Sebagai contoh, pencampuran penisilin dan
aminoglikosida akan menyebabkan hilangnya efek farmakologik
yang diharapkan.
B. Interaksi farmakokinetik interaksi farmakokinetik adalah
perubahan yang terjadi pada absorpsi, distribusi, metabolisme
atau biotransformasi, atau ekskresi dari satu obat atau lebih (kee
dan hayes, 1996).
1. Interaksi pada proses absorpsi. Interaksi ini dapat terjadi akibat
perubahan harga ph obat pertama. Pengaruh absorpsi suatu
obat kedua mungkin terjadi akibat perpanjangan atau
pengurangan waktu huni dalam saluran cerna atau akibat
pembentukan kompleks (mutschler, 1991).
2. Interaksi pada proses distribusi. Dua obat yang berikatan
tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk
mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam
plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan
dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu, sehingga
lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma dan
meningkatkan kerja obat (kee dan hayes, 1996). Kompetisi
dalam plasma dan meningkatkan kerja obat misalnya antara
digoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan kadar
plasma digoksin (ganiswara, 2000).
3. interaksi pada proses metabolism. Suatu obat dapat
meningkatkan metabolisme dari obat yang lain dengan
merangsang (menginduksi) enzim-enzim hati (kee dan hayes,
1996). Dengan cara yang sama seperti pada albumin plasma,
mungkin terjadi persaingan terhadap enzim yang berfungsi
untuk biotransformasi obat, khususnya sitokrom p450 dan
dengan demikian mungkin terjadi metabolisme yang
diperlambat. Biotransformasi suatu obat kedua selanjutnya
dapat diperlambat atau dipercepat berdasarkan penghambatan
enzim atau induksi enzim yang ditimbulkan oleh obat pertama
(mutschler, 1991).
4. Interaksi pada proses eliminasi atau ekskresi. Interaksi pada
eliminasi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan hingga
ph dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan pada
sistem transport yang berfungsi untuk sekresi atau reabsorpsi
aktif (mutschler, 1991). Kompetensi terjadi antara obat-obat
yang menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di
tubulus proksimal. Contohnya, probenesid yang menghambat
ekskresi banyak 15 obat, termasuk golongan penisilin,
beberapa sefalosporin, indometasin dan dapson. Mekanisme
yang sama, asetosal meningkatkan toksisitas metotreksat.
C. Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah hal-
hal yang menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis
(potensiasi), atau antagonis. Jika dua obat yang mempunyai kerja
yang serupa atau tidak serupa diberikan, maka efek kombinasi
dari kedua obat itu dapat menjadi aditif (efek dua kali lipat),
sinergis (lebih besar dari dua kali lipat), atau antagonis (efek dari
salah satu atau kedua obat itu menurun) (kee dan hayes, 1996).
2.1.3 Pasien yang rentan terhadap interaksi obat efek dan tingkat keparahan
interaksi obat dapat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi
obat, antara lain yaitu:
1. Pasien lanjut usia
2. Orang yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
4. Pasien dengan penyakit akut
5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter (fradgley, 2003).
Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi pada pasien
lanjut usia adalah tiga sampai tujuh kali lebih banyak daripada mereka yang
berusia pertengahan dan dewasa muda. Pasien lanjut usia menggunakan
banyak obat karena penyakit kronis dan banyaknya penyakit mereka, oleh
karena itu mereka mudah mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan
(kee dan hayes, 1996). Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi
pada pasien lanjut usia lebih tinggi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronik
dan banyaknya penyakit mereka.
2. Banyak dari pasien lanjut usia melakukan pengobatan diri sendiri
dengan obat bebas, memakai obat yang diresepkan untuk masalah
kesehatan yang lain, menggunakan obat yang diberikan oleh
beberapa dokter, menggunakan obat yang diresepkan untuk orang
lain, dan tentunya proses penuaan fisiologis yang terus berjalan.
3. Perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan proses
penuaan seperti pada sistem gastrointestinal, jantung dan sirkulasi,
hati dan ginjal dan perubahan ini mempengaruhi respon
farmakologik terhadap terapi obat.
2.1.3 penatalaksanaan interaksi obat
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obatan yang mungkin dapat
berinteraksi dengan obat lain. Langkah berikutnya adalah memberitahu
dokter dan mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk
meminimalkan berbagai efek samping obat yang mungkin terjadi. Strategi
dalam penataan obat ini meliputi : 17
1. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi jika risiko interaksi
obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan
untuk memakai obat pengganti.
2. Menyesuaikan dosis jika hasil interaksi obat meningkatkan atau
mengurangi efek obat, maka perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah
satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek
obat tersebut.
3. Memantau pasien jika kombinasi obat yang saling berinteraksi
diberikan, pemantauan diperlukan.
4. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya jika interaksi obat tidak
bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut
merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien dapat
diteruskan tanpa perubahan (fradgley, 2003).
2.2 Antibiotik
2.2.1 Definisi

Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh


mikroorganisme khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara
sintetik yang dapat membunuh dan menghambat bakteri dan organisme lain
(utami,2011).
2.2.2 Klasifikasi antibiotik
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu:
A. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, antara
lain beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem,
inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin. Penggolongan
antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:
Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel
bakteri. Antibiotik beta-lactam terdiri dari berbagai golongan obat
yang mempunyai struktur cincin Beta-lactam yaitu: Penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-
laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat
bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme gram -
positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis
dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam
sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan
stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (kemenkes, 2011).
1. Penisilin
Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi,
mekanisme kerja, farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan
sefalosforin, monobaktam, karbapenem, dan penghambat beta-
laktamase. Semua obat tersebut merupakan senyawa beta laktam yang
dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam beranggota
empat yang unik (katzung, 2012). Penisilin mempunyai mekanisme
kerja dengan cara mempengaruhi langkah akhir sintesis dinding sel
bakteri (transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membran
kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga
penisilin disebut bakterisida. Keberhasilan penisilin menyebabkan
kematian sel berkaitan dengan ukurannya hanya efektif terhadap
organisme yang tumbuh secara cepat dan mensintesis peptidoglikan
dinding sel (mycek et al., 2001). Golongan penisilin diklasifikasikan
berdasarkan spektrum aktivitas antibiotiknya, antara lain penislin g
dan penislin v, penislin yang resisten terhadap beta-laktamase,
aminopenislin, karboksipenislin, ureidopenislin. Tampak pada tabel
2.1
Tabel 2.1.Antibiotik golongan penisilin.
Golongan contoh Aktivitas
Penisilin g dan metisilin,nafs penisilin g dan penisilin v sangat aktif
penislin v ilin, terhadap kokus gram Positif, tetapi
oksasilin,kloks cepat dihidrolisis oleh penislinase atau
asilin, dan beta laktamase, sehingga tidak efektif
dikloksasilin terhadap s.aureus merupakan obat
pilhan pertama untuk terapi s.aureus
yang memproduksi penisilinase.
Aktivitas antibiotik kurang poten
terhadap mikroorganisme yang kurang
sensitiv terhadap penisilin g.
Karboksipenisilin karbenisilin, Enterobacter, dan proteus. Aktivitas
tikarsilin antibiotik lebih rendah dibanding
antibiotic ampisilin terhadap kokus gram- positif,
untuk dan kurang aktif dibanding piperasilin
dalam melawan pseudomonas.
pseudomonas, Golongan ini dirusak oleh beta-
laktamase.
Ureidopenislin mezlosilin, Aktivitas antibiotik terhadap
azlosilin,dan pseudomonas, klebsiella, dan
piperasilin gramnegatif lainnya. Golongan ini
dirusak oleh beta-laktamase.

Sumber : kemenkes (2011)

Penisilin g (benzil penisilin) merupakan klasifikasi dari antibiotik


golongan penisilin yang diindikasikan pada pasien dengan penyakit pneumonia,
infeksi tenggorokan, otitis media, penyakit lyme, endokarditis streptokokus,
infeksi meningokokus, enterokolitis nekrotika, fasciitis nekrotika, leptospirosis,
antraks, aktinomikosis, abses otak Gas gangren, selulitis, osteomielitis. Golongan
antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif. Dosis
pemakaian penisilin pada infeksi ringan sampai sedang pada organisme yang
sensitif adalah dengan cara injeksi (intarmuskular) im atau (intravena) iv lambat
atau infus Iv. Pada neonatus dosis yang digunakan 50 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis
terbagi, pada usia 1−4 minggu dosis yang digunakan 75 mg/kgbb/hari dalam 3
dosis terbagi, usia 1 bulan–12 tahun: 100 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi.
Pada infeksi berat digunakan dosis yang lebih tinggi (idai, 2012).
Golongan benzatin penisilin diindikasikan pada pasien dengan faringitis
yang disebabkan oleh streptokokus, carrier difteri, sifilis dan infeksi treponema
lain (ulkus tropikum), profilaksis demam rematik. Dosis yang digunakan untuk
faringitis streptokokal, profilaksis primer demam rematik adalah injeksi im jika
berat badan<30 kg dosis yang digunakan 450–675 mg dosis tunggal. Berat
badan>30 kg, 900 mg dosis tunggal (idai, 2012).
Ampisilin diindikasikan pada pasien dengan penyakit mastoiditis, infeksi
ginekologik, septikemia, peritonitis, endokarditis, meningitis, kolesistitis,
osteomielitis yang disebabkan oleh kuman yang sensitif. Antibiotik ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap golongan
penisilin. Dosis yang digunakan pada neonatus 25–50 mg/kgbb/dosis, pada usia
1 minggu setiap 12 jam, usia 2–4 minggu setiap 6–8 jam pemberian secara Iv.
Dosis pada bayi dan anak secara oral adalah 7,5–25 mg/kgbb/dosis setiap 6 jam
(idai, 2012).
Golongan amoksisilin diindikasikan pada pasien dengan penyakit infeksi
saluran kemih, infeksi saluran napas bagian atas, bronkitis, pneumonia, otitis
media, abses gigi, osteomielitis, penyakit lyme pada anak, profilaksis
endokarditis, profilaksis paska-splenektomi, infeksi ginekologik, gonore,
eradikasi helicobacter pylori. Tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Dosis
untuk anak<10 tahun, 125 mg setiap 8 jam, untuk infeksi berat dosis diberikan
dosis ganda. Dosis untuk neonatus sampai umur 3 bulan, 20−30 mg/kgbb dalam
dosis terbagi setiap 12 jam (idai, 2012).
2. Tabel 2.2 Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin
Golongan Contoh Aktivitas

I Sefaleksin, Antibiotik yang efektif terhadap Gram


sefazolin, positif dan memiliki aktivitas sedang
sefadroxil,s terhadap Gram negative
efaklor, dll.
II Sefotaksim, Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram
seftriakson, positif dibandingkan generasi I, tapi lebih aktif
seftazidim, terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain
sefiksim, yang memproduksi beta laktamase. Seftazidim
sefaperazon dan sefoperazon juga aktif terhadap P.
dll. Aeruginosa, tapi kurang aktif dibandingkan
generasi III lainnya terhadap kokus Gram
positif

III Aktivitas antibiotik terhadap pseudomonas,


Sefotaksim,
klebsiella, dan gramnegatif lainnya. Golongan
Setriakson,Se
ini dirusak oleh beta-laktamase.
ftazidim,Sefi
ksim,
Sefoperazon

Sumber : Kemenkes (2011).

Sefotaksim termasuk golongan sefalosporin generasi IIIgolongan ini


diindikasikan pada pasien dengan infeksi traktus respiratorius bawah, infeksi kulit
atau struktur kulit, infeksi tulang dan sendi, infeksi intra-abdomen, dan infeksi
traktus genitourinarius. Terapi proven atau suspected meningitis yang disebabkan
oleh organisme seperti h. Influenzae dan n.Meningitidis, infeksi neisseria
gonorhoeae, infeksi bakteri batang gram negatif nonpseudomonas pada pasien
dengan risiko mengalami Nefrotoksisitas dan/atau ototoksisitas akibat
aminoglikosida. Infeksi bakteri yang terbukti sensitif terhadap sefotaksim.
Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap
sefotaksim, sefalosporin, atau komponennya. Dosis untuk bayi dan anak usia 1
bulan–12 tahun dengan berat badan<50 kg, 100−200 mg/kgbb/hari dibagi setiap
6−8 jam. Untuk berat badan≥50 kg, infeksi sedang sampai berat diberikan 1−2 g
setiap 6−8 jam, untuk infeksi yang mengancam jiwa diberikan 2 g/dosis setiap 4
jam dosis maksimum 12 g/hari. Untuk anak usia>12 tahun diberikan 1−2 g setiap
6−8 jam hingga 12 g/hari (idai, 2012).
Seftriakson diindikasikan pada pasien dengan infeksi serius disebabkan
oleh bakteri yang sensitive termasuk septikemia, pneumonia, dan meningitis,
profilaksis pada pembedahan profilaksis meningitis meningokokal, gonore.
Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap
sefalosporin, porfiria, neonatus dengan ikterus, hipoalbuminemia, asidosis atau
gangguan pengikatan bilirubin. Dosis untuk bayi dan anak di injeksi im dalam, iv
lambat (3−4 menit) atau infus iv 20−50 mg/kgbb/hari sampai 80 mg/kgbb/hari,
pada infeksi serius, infus iv dalam 60 menit (idai, 2012).
Seftazidim diindikasikan pada pasien dengan infeksi karena bakteri yang
sensitif, terutama pseudomnas sp, termasuk yang resisten terhadap
aminoglikosida. Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan
hipersensitif terhadap sefalosporin, porfiria. Dosis untuk bayi usia<2 bulan adalah
injeksi iv atau infus iv: 25−50 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis terbagi. Untuk bayi
usia bayi>2 bulan adalah injeksi iv atau infus iv 50−100 mg/kgbb/hari dalam 2−3
dosis terbagi (idai, 2012).

3. Monobaktam (beta-laktam monosiklik)


Yang termasuk kedalam golongan adalah aztreonam. Aktivitas
resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri gram-
negatif. Aktif terutama terhadap bakteri gram-negatif. Aktivitasnya
sangat baik terhadap enterobacteriacease, p. Aeruginosa, h.
Influenzae dan gonokokus. Pemberian secara parenteral, terdistribusi
baik ke seluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Sebagian besar
obat diekskresi utuh melalui urin (kemenkes, 2011).
4. Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai
aktivitas antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-
laktam lainnya. Spektrum dengan Aktivitas menghambat sebagian
besar gram-positif, gram negatif, dan anaerob (kemenkes, 2011).
Spektrum bakteri imipenemin /solastatin merupakan preparat
antibiotik beta-laktam berspektrum paling luas yang tersedia saat ini.
Obat ini menunjukkan peranan dalam terapi empirik karena obat ini
aktif terhadap organisme gram positif penghasil penisilinase dan
organisme gram negatif, anaerob dan pseudomonas aeruginosa ,
meskipun strain pseudomunas lainnya resisten (mycek et al, 2001).
Fakmakokinetik imipenen diberikan secara intervena dan
penetrasinya baik ke jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinaslis terutama bila di meningen ada inflamasi. Obat ini
diekskresikan melalui filtrasi glomerulus dan mengalami
pembelahan oleh dihidropeptidase yang dijumpai pada tubulus
proksimal ginjal memebentuk metabolit inaktif yang bersifat
nefrotoksik. Kombinasi imipenem dan silastatin (suatu penghambat
dihidropeptidase), melindungi imipenem untuk tidak membelah
sehingga pembentukan metabolit toksis tidak terjadi. Hal ini
meyebabkan obat tersebut aktif untuk pengobatan infeksi saluran
kemih (mycek et al., 2001).
Efek samping yang paling sering adalah mual dan muntah, dan
kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi (sistem
saraf pusat ) ssp atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan
doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang
menyebabkan kejang (kemenkes, 2011).
Obat yang termasuk karbapenem adalah meropenem.
Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan infeksi berat oleh
kuman gram negatif yang resisten terhadap antibiotik turunan
penisilin dan sefalosporin generasi ketiga serta resisten terhadap
bakteri yang memproduksi extended spectrum beta lactamase (esbl).
Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dan riwayat kejang. Dosis yang diberikan untuk infeksi
standar adalah iv 20 mg/kgbb/dosis, sedangkan untuk infeksi berat
adalah iv 40 mg/kgbb/dosis pada meningitis yang disebabkan
pseusomonas sp (idai, 2012).
5. Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam
dengan cara menginaktivasi beta-laktamase. Golongan antibiotik ini
adalah asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat
merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari
bakteri gram-positif dan gram-negatif secara ireversibel. Obat ini
dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral dan dengan
tikarsilin untuk pemberian parenteral. Sulbaktam dikombinasi dengan
ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan kombinasi ini aktif
terhadap kokus gram- positif, termasuk s. Aureus penghasil beta-
laktamase, aerob gram-negatif (tapi tidak terhadap pseudomonas) dan
bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten dibanding klavulanat
sebagai inhibitor beta-laktamase. Tazobaktam dikombinasi dengan
piperasilin untuk penggunaan parenteral. Waktu paruhnya
memanjang dengan kombinasi dan ekskresinya melalui ginjal
(kemenkes, 2011).
6. Basitrarin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik
polipeptida, yang utama adalah basitrasin a. Berbagai kokus dan basil
gram-positif, neisseria, h. Influenzae, dan treponema pallidum
sensitif terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata
dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan
neomisin dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila
memasuki sirkulasi sistemik (kemenkes, 2011).
7. Vankomisin
Vankomisin (van koe mye sin) adalah suatu glikopeptida
trisiklik yang penting karena efektivitasnya terhadap organisme
resisten multi-obat seperti stafilokokus resisten metilisin. Masyarakat
kesehatan sekarang ini prihatin tentang laporan adanya resistensi
vankomisin pada strain ini (mycek et a.l., 2001).
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama
aktif terhadap bakteri gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan
untuk infeksi yang disebabkan oleh s. Aureus yang resisten terhadap
metisilin (mrsa). Semua basil gram-negatif dan mikobakteria resisten
terhadap vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena, dengan
waktu paruh sekitar 6 jam (kemenkes, 2011).
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama
aktif terhadap bakteri gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan
untuk infeksi yang disebabkan oleh s. Aureus yang resisten terhadap
metisilin (mrsa). Semua basil gram-negatif dan mikobakteria resisten
terhadap vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena, dengan
waktu paruh sekitar 6 jam (kemenkes, 2011).
Vankomisin kurang diabsorbsi disaluran cerna dan di berikan
peroral hanya untuk terapi enterokolitis akibat c.difficile yang
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan (katzung,
2012). Indikasi pemberian vankomisin adalah infeksi s. Aureus
resisten methicillin atau stafilokokus resisten beta-laktam koagulase
negatif; infeksi serius atau mengancam jiwa (endokarditis,
meningitis, osteomielitis) yang disebabkan stafilokokus atau
streptokokus pada pasien dengan alergi terhadap penisilin.
Dan atau sefalosporin terapi empirik pada infeksi yang
berkaitan dengan akses sentral, vp shunt, hemodialysis shunt,
vascular grafts, katup jantung prostetik (persetujuan fda untuk anak
dan dewasa). Vankomisin dapat diberikan dengan cara infus intravena
intermiten selama 60 menit dengan konsentrasi akhir tidak melebihi
5 mg/ml, jika timbul ruam makulopapular pada wajah, leher, tubuh,
dan ekstremitas atas, perlambat kecepatan infus selama 90−120 menit
dan tingkatkan volume pengenceran, reaksi umumnya berkurang
dalam 30−60 menit, berikan antihistamin sesaat sebelum pemberian
obat untuk mencegah atau meminimalkan reaksi (idai, 2012).

2.2.3 Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein


Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid,
tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin,
klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin (kemenkes,
2011).
a. Aminoglikosida
Aminoglikosisda dihasilkan oleh jenis−jenis fungi
streptomyces dan micromanospora semua senyawa dan turunan semi-
sintesisnya mengandung dua atau tiga gula amino di dalam
molekulnya yang saling terikat secara Glukosidis. Dengan adanya
gugusan-amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya
yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air (tjay & rahardja,
2010).
Spektrum aktivitas obat golongan ini menghambat bakteri aerob
gram negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan
toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien
anak dan usia lanjut. Efek samping yang ditumbulkan adalah
toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade
neuromuskular lebih jarang (kemenkes. 2011).
b. Gentamisin
Gentamisin termasuk golongan aminoglikosida. Gentamisin
bersifat bakterisid yang aktif terutama terhadap gram negatif
termasuk pseudomonas aerogenosa, proteus serratia. Antibiotik ini
diindikasikan pada pasien dengan pneumonia, kolesistisis, peritonitis,
septikemia, pyelo nefritis, infeksi kulit, inflamasi pada tulang
panggul, endokarditis, meningitis, listeriosis, brucellosis, pes,
pencegahan infeksi setelah pembedahan. Dosis yang diberikan secara
im, iv lepas lambat lebih lambat 3 menit dan iv pada usia <2 minggu,
3 mg/kgbb setiap 12 jam. Untuk usia 2 minggu−12 tahun, 2 mg/kgbb
setiap 8 jam. (idai, 2012).
c. Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah suatu grup senyawa yang terdiri dari 4 cincin
yang berfungsi dengan suatu sistem ikatan ganda konjugasi.
Perbedaannya yang kecil yaitu dalam efektivitas klinik menunjukan
variasi farmakokinetik secara individual akibat subsitusi pada
cincin−cincin tersebut (mycek et al., 2001).
Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat
menghambat berbagai bakteri gram-positif, gram- negatif, baik yang
bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain seperti
ricketsia, mikoplasma, klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.
Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetrasiklin,
doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin
(kemenkes, 2011).
d. Doksisiklin
Doksisiklin merupakan antibiotik golongan tetrasiklin dan
mempunyai spektrum luas. Efektif pada kondisi yang disebabkan oleh
klamidia sp, riketsia sp, brucella sp dan spirochaete, borrelia
burgdorfer (lyme disease). Merupakan golongan tetrasiklin yang
paling disukai karena Mempunyai profil farmakokinetik yang lebih
baik dibandingkan dengan tetrasiklin. Tersimpan pada tulang dan gigi
yang sedang dalam pertumbuhan sehingga menyebabkan pewarnaan
(staining) dan kadang-kadang hipoplasia gigi. Tidak diberikan pada
anak usia dibawah 12 tahun atau pada wanita hamil. Antibiotik ini
diindikasikan pada pasien dengan infeksi saluran napas, termasuk
pneumonia dan bronkitis kronik, infeksi saluran urin, sifilis, klamidia,
mikoplasma, dan riketsia, prostatitis, limfogranuloma venereum,
penyakit radang pelvik dengan metronidazol, penyakit lyme,
brucellosis dengan rifampisin, leptospirosis, kolera, melioidosis, pes,
antraks. Terdapat dalam bentuk kapsul atau tablet 100 mg, tablet 50
mg, dan sirup 10 mg/ml. Dosis anak peroral pada hari pertama 4
mg/kgbb/hari, selanjutnya 2 mg/kgbb/hari(idai, 2012).
e. Kloramfenikol
Kloramfenikol aktif terhadap sejumlah organisme gram positif
dan gram negatif, tetapi karena toksisitasnya penggunaan obat ini
dibatasi hanya untuk mengobati infeksi yang mengancam kehidupan
dan tidak ada alternatif lain (mycek et al., 2001).
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas,
menghambat bakteri gram-positif dan negatif aerob dan anaerob,
klamidia, ricketsia, dan mikoplasma. Kloramfenikol mencegah
sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50s. Efek
samping yang ditimbulkan adalah supresi sumsum tulang, grey baby
syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran
cerna, dan timbulnya ruam (kemenkes, 2011).
Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan demam tifoid,
infeksi berat lain terutama yang disebabkan oleh
haemophilusinfluenzae, abses serebral, mastoiditis, ganggren,
septikemia, pengobatan empiris pada meningitis. Dosis yang
diberikan untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri sensitif tetapi
tidak sensitif terhadap antibiotik lainnya adalah bayi<2 minggu: 25
mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi, bayi 2 minggu–1 tahun: 50
mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi, anak : oral atau injeksi iv atau
infus iv: 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi. Untuk infeksi berat
seperti meningitis, septikemia,dan epiglottitis hemofilus hingga 100
mg/kgbb/hari dalam dosis terbagi, kurangi dosis tinggi segera setelah
terjadi perbaikan gejala klinis (idai 2012).
f. Makrolid
Makrolida aktif terhadap bakteri gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa enterococcus dan basil gram- positif. Sebagian
besar gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun
azitromisin dapat menghambat salmonela. Azitromisin dan
klaritromisin dapat menghambat h. Influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap h. Pylori
(kemenkes, 2011). Makrolida mengikat secara ireversible pada
tempat subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat langkah
translokasi sintesisi protein (mycek et al., 2001).
g. Eritromisin
Efektif terhadap organisme yang sama seperti penisilin, karena
itu obat ini digunakan pada penderita yang alergi terhadap penisilin
(mycek et al., 2001). Diindikasikan untuk pasien hipersensitif
terhadap penisilin, enteritis campylobacter, difteri. Dosis yang
diberikan peroral untuk usia <2 tahun, 125 mg setiap 6 jam, usia 2−8
tahun, 250 mg setiap 6 jam, dosis digandakan pada infeksi berat,
untuk usia > 8 tahun, 250−500 mg setiap 6 jam, hingga 4 g sehari
pada infeksi berat. Hindari pemberian susu dan sayuran yang asam
1 jam sebelum atau sesudah minum obat. Berikan sesudah makan
untuk mengurangi gangguan saluran cerna (idai, 2012).
h. Azitromisin
Azotromisin merupakan suatu senyawa cincin makrolid lakton
15-atom, diturunkan dari eritromisin melalui penambahan nitrogen
termetilisasi kedalam cincin lakton. Spektrum aktivitas dan
penggunaan klinisnya hampir identik dengan klaritomitin.
Azitromisin efektif terhadap mavium kompleks dan t gondii.
Azitromisin sedikit kurang aktif dari pada eritromisin dan
klaritomisin terhadap stafilokokus dan streptokokus serta sedikit lebih
aktif terhadap h influenzae. Azitromisin sangat efektif terhadap
klamid (katzung, 2012). Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin
menurun dengan adanya makanan. Obat ini dapat meningkatkan
kadar sgot dan sgpt pada hati (kemenkes, 2011).
i. Klaritromisin
Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama
makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit,
dan jaringan lunak. Metabolit klaritromisin mempunyai aktivitas
antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30% obat
diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses (kemenkes, 2011).
j. Roksitromisin
Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan
aktivitas yang lebih tinggi melawan haemophilus influenzae. Obat ini
diberikan dua kali sehari. Roksitromisin adalah antibiotik makrolida
semisintetik. Obat ini memiliki komposisi, struktur kimia dan
mekanisme kerja yang sangat mirip dengan eritromisin, azitromisin
atau klaritromisin. Roksitromisin mempunyai spektrum antibiotik
yang mirip eritromisin, namun lebih efektif melawan bakteri gram
negatif tertentu seperti legionella pneumophila. Antibiotik ini dapat
digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan
jaringan lunak. Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih
dari separuh senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga
metabolit telah diidentifikasi di urin dan feses, metabolit utama adalah
deskladinosa roksitromisin, dengan n-mono dan n-di-demetil
roksitromisin sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir
sama (kemenkes, 2011).
k. Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus gram- positif
dan sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat
bakteri gram-negatif aerob seperti Haemophilus, mycoplasma dan
chlamydia (kemenkes, 2011). Mekanisme kerja klindamisin sama
dengan eritromisin. Klindamisin terutama diberikan untuk
pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob, seperti
bakteri bakteriodes fragilis yang sering kali menimbulkan infeksi
abdomen yang diakibatkan trauma (katzung, 2012).

2.2.4 Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat


a. Kuinolon
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar
Enterobacteriaceae.
b. Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,
ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.
Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh
gonokokus, shigella, e. Coli, salmonella, haemophilus, moraxella
catarrhalis serta enterobacteriaceae dan p. Aeruginosa (kemenkes,
2011).

c. Resistensi antibiotik
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya
pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik
dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya.
Sedangkan multiple drugs resisten didefinisikan sebagai resistensi
terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan
cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat
lain yang belum pernah dipaparkan (tripathi, 2003).
Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya
yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam
perawatan Rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan
ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk
kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang
kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang
mendukung terjadinya resistensi, antara lain :
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) terlalu
singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang
salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan
pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib
diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun
disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam
yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan
kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan
terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak
diperlukan, bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa
peresepan dari dokter (self medication), sedangkan pasien
dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak
mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary
health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-
obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnosis awal
belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan
antibiotik
Yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal
penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan
penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi
lebih mudah menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat terutama bagi tenaga kesehatan,
misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau
desinfeksi alat- alat yang akan dipakai untuk memeriksa
pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit adanya infeksi endemik atau
epidemik memicu penggunaan antibiotika yang lebih
massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di
intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian
antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan
adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi,
memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak,
antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati
penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar
antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk
profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak.
Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh
perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi,
memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga
jumlah Antibiotika yang beredar semakin luas.
Memudahkan akses masyarakat luas terhadap
antibiotika.
9. Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotika baru.
10. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah
dalam distribusi dan pemakaian antibiotika, sepert
pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika
meskipun tanpa peresepan dari dokter, selain itu juga
kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk
meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan
penyebaran infeksi (kemenkes ri, 2011).
2.2.5 Obat antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial
dalam metabolisme folat
a. Sulfonamida dan trimetropim
Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol,
mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali
p.aeruginosa dan neisseria sp. Kombinasi ini menghambat s.aureus,
staphylococcus koagulase negatif, streptococcus hemoliticus, h.
Influenzae, neisseria sp, bakteri gram negatif aerob (e. Coli dan
klebsiella sp), enterobacter, salmonella, shigella, yersinia, p. Carinii
(tjay & rahardja, 2010).
BAB III

PEMBAHASAN

1. Antasida yang digunakan bersama dengan azithromycin dapat


mengurangi puncak tingkat azithromycin karena terjadi penurunan
penyerapan pada saluran pencernaan (Medscape, 2016).
Penggunaan azithromycin dan antasida dalam 10 subyek sehat
kadar puncak serum dan penyerapan, azithromycin berkurang oleh
antasida.Disarankan pada penggunaan azithromycin seharusnya
tidak diberikan pada waktu yang sama dengan antasida, tetapi harus
diambil setidaknya 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah penggunaan
azithromycin (Baxter, 2008).
Penurunan puncak serum dan penyerapan azithromycin akan
berpengaruh pada efektivitas terapi dari azithromycin dan dapat
dilihat dari kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah menerima
terapi dari azithromycin. Dari ke dua pasien yang berpotensi
memiliki interaksi obat sebelum menerima terapi azithromycin
mengeluhkan batuk dan sesak nafas. Setelah pasien menerima terapi
azithromycin kondisi klinis pasien membaik dan dapat dikatakan
penggunaan antasid tidak berpengaruh terhadap efektivitas terapi
azithromycin. Hal ini bisa terjadi jika waktu penggunaan antasida
diambil 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah penggunaan
azithromycin.

2. Ciprofloxacin dan warfarin yang digunakan secara bersamaan


memiliki potensi interaksi obat yang menyebabkan perdarahan.
Peningkatkan risiko perdarahan ini terjadi karena penghambatan
CYP1A2 yang merupakan salah satu enzim utama yang
bertanggung jawab untuk metabolisme warfarin(Schelleman et al.,
2008).
Penghambatan enzim CYP1A2 oleh ciprofloxacin akan
memperlambat biotransformasi warfarin sehingga bioavailibilitas
warfarin dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan bioavailibilitas
warfarin membuat efek warfarin lebih besar dan lebih lama,
sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Resiko perdarahan dapat
dilihat dari data INR(International normalized ratio) pasien, namun
data tersebuttidak tertera dalam rekam medik, sehingga tidak dapat
diketahui efek perdarahan dari penggunaan warfarin dan
ciprofloxacin. Interaksi obat ini memiliki signifikansi moderate,
jika terjadi peningkatan INR atau penurunan kondisi klinis pasien
disarankan untuk menghentikan terapi kedua obat ini secara
bersamaan dan gunakan alternatif obat lain.
3. Penggunaan ciprofloxacin dan propanolol berpotensi
mengakibatkan interaksi obat. Efek farmakologis dari propanolol
yang dimetabolisme oleh sitokrom P-450 dapat meningkat.
Ciprofloxacin dapat menurunkan klirens propanolol dengan
menghambat metabolismenya di hati (Tatro, 2009).
Penghambatan metabolisme propanolol akan meningkatkan
ketersediaan propanolol dalam sirkulasi sistemik, sehingga efek
dari propanolol lebih besar dan lebih lama.Peningkatan efek
farmakologi dari propanolol akan meningkatkan resiko hipotensi,
namun dalam data keluar rumah sakit pasien tidak tertera data
tekanan darah pasien sehingga tidak dapat diketahui efek interaksi
obat terahadap kondisi klinis pasien. Interaksi obat ini memiliki
signifikansi moderate, jika terjadi terjadi penurunan tekanan darah
secara drastis atau penurunan kondisi klinis pasien disarankan untuk
menghentikan terapi kedua obat ini secara bersamaan dan
menggunakan alternatif obat lain.

4. Cotrimoxazol dan rifampisin yang digunakan secara bersamaan


akan menimbulkan penurunan level cotrimoxazol dan
meningkatkan serum rifampisin. Rifampisin memiliki sifat inducer
terhadap enzim CYP2C9. Rifampisin akan menurunkan tingkat atau
efek dari sulfametoksazol dengan mempengaruhi hati enzim
CYP2C9 (Medscape, 2016). Rifampisin yang menginduksi enzim
CYP2C9 dapat meningkatkan metabolisme dari cotrimoxazol
sehingga menurunkan AUC(Area Under Curve) dari cotrimoxazol
yang akan berakibat pada penurunan atau bahkan kegagalan terapi
dari cotrimoxazol.
Penurunan khasiat dari cotrimoxazol akan berpengaruh terhadap
kondisi klinis pasien setelah menerima terapi cotrimoxazol. Kondisi
klinis pasien sebelum menerima terapi cotrimoxazol pasien
mengeluhkan batuk berdarah, demam dan sesak nafas, setelah
menerima terapi cotrimoxazol kondisi klinis pasien membaik yang
ditandai dengan pasien tidak mengeluhkan batuk berdarah, demam
dan sesak. Pasien ini tidak hanya menerima terapi antibiotik
tunggal, tetapi juga dikombinasikan dengan ceftriaxon sehingga
penurunan khasiat cotrimoxazol tidak berpengaruh terhadap kondisi
klinis pasien. Namun jika terjadi penurunan kondisi klinis pasien
karena penurunan khasiat dari cotrimoxazol dapat dilakukan
peningkatan dosis cotrimoxazol sehingga terapi dari cotrimoxazol
tercapai.

5. Penggunaan antibiotik ceftriaxon bersama dengan furosemid akan


menyebabkan potensi interaksi obat pada fase ekskresi. Furosemid
dapat meningkatkan 25% waktu paruhdari ceftriaxon dan
menurunkan klirensnya, sehingga meningkatkan efek nefro-
toksiknya (Prasetya, 2011). Peningkatan nefrotoksik ceftriaxon
akan mengganggu fungsi ginjal pasien dan penurunan fungsi ginjal
dapat dilihat pada kreatinin pasien.
Peningkatan efek nefrotoksik dari ceftriaxon akan mengganggu
fungsi ginjal dari pasien, gangguan pada fungsi ginjal dapat dilihat
pada hasil pengecekan kreatinin pasien. Namun pada rekam medik
pasien tidak terdapat data kreatinin pasien, sehingga tidak diketahui
efek nefrotoksisitas dari ceftriaxon terhadap fungsi ginjal pasien.
Interaksi obat ini memiliki signifikansi moderate, jika terjadi
peningkatan kadar kreatinin dalam darah pasien atau penurunan
kondisi klinis pasien disarankan untuk menghentikan terapi kedua
obat ini secara bersamaan dan menggunakan alternatif obat lain.
6. Metronidazol yang dikonsumsi dengan simvastatin akan
menimbulkan interaksi obat pada fase metabolisme. Metronidazol
akan mempengaruhi enzim di ususatau enzim CYP3A4 hati yang
memetabolisme simvastatin sehingga menyebabkan efek
simvastatin meningkat (Medscape, 2016). Penggunaan
simvastatindengan obat yang menghambat enzim CYP3A4
memperbesar resiko myopati dengan efek meningkatkan kadar
plasma terutama pada dosis agak tinggi (di atas 20 mg) (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Interaksi obat ini memiliki signifikansi mayor, efek interaksi obat
mayor dapat mengancam jiwa pasien atau menyebabkan kerusakan
permanen. Terapi kedua obat ini secara bersamaan dihentikan dan
digunakan alternatif obat lain untuk mencegah interaksi obat yang
tidak diinginkan. Peningkatan efek dari simvastatin akan
mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah pasien, namun pada
data rekam medik tidak tertera data kolesterol pasiensehingga tidak
dapat diamati pengaruh efek interaksi obat terhadap kondisi pasien.

7. Methylprednisolone adalah salah satu obat golongan kortikosteroid.


Methylprednisolon yang dikonsumsi bersamaan dengan
metronidazol akan menyebabkan interaksi obat dalam fase
metabolisme. Metronidazol akan meningkatkan efek
methylprednisolon dengan menghambat enzim CYP3A4 hati
(Medscape, 2016). Penghambatan enzim CYP3A4 oleh
metronidazol akan memperlambat proses metabolisme dari
methylprednisolon sehingga bioavailibilitas dari methylprednisolon
meningkat. Hal tersebut yang membuat efek dari methylprednisolon
lebih besar dan lebih lama.
Interaksi obat ini memiliki signifikansi moderate, jika terjadi
penurunan kondisi klinis pasien maka dapat dilakukan penyesuaian
dosis methylprednisolon dengan menurunkan dosisnya agar dosis
yang diberikan sesuai untuk terapi pasien.

8. Azithromycin adalah salah satu jenis antibiotik golongan


makrolida. Penggunaan antibiotik ini dengan digoxin akan
menimbulkan interaksi obat. Azithromycin akan meningkatkan efek
dari digoxin dengan mengubah (menurunkan) flora usus
(Medscape, 2016). Salah satu fungsi dari flora usus adalah
memetabolisme obat, digoxin merupakan salah satu obat yang
dimetabolisme oleh flora usus. Inaktivasi digoxin ditemukan ketika
diinkubasi dengan bakteri usus Eggerthella lenta secata in vitro
dekade lalu. Namun, mekanisme yang mendasari dari inaktivasi
digoxin masih belum jelas (Lu et al, 2014).
Kondisi klinis pasien pada saat keluar rumah sakit pada 2 pasien
membaik, namun pada 1 pasien masih dalam kondisi lemah.
Perbedaan kondisi klinis pasien ini terjadi mungkin karena
perbedaan lama waktu pemberian azithromycin dan digoxin. Pasien
yang memiliki kondisi klinis membaik menerima azithromisin dan
digoxin secara bersamaan hanya 1 hari, sedangkan pada pasien yang
memiliki kondisi klinis lemah menerima azithromisin dan digoxin
secara bersamaan selama 3 hari. Interaksi obat ini memiliki
signifikansi mayor, efek interaksi obat mayor dapat mengancam
jiwa pasien atau menyebabkan kerusakan permanen. Terapi kedua
obat ini secara bersamaan dihentikan dan digunakan alternatif obat
lain untuk mencegah interaksi obat yang tidak diinginkan.

9. Penggunaan azithromycin dan warfarin secara bersamaan akan


mengakibatkan interaksi obat. Interaksi obat ini terjadi pada fase
metabolisme, azithromycin menurunkan metabolisme warfarin
sehingga efek dari warfarin meningkat (Medscape, 2016).
Penurunan
metabolisme dari warfarin akan meningkatkan bioavailibilitas dari
warfarin efek warfarin menjadi lebih besar dan lebih lama.
Peningkatan efek warfarin akan menimbulkan resiko terjadinya
perdarahan, resiko perdarahan dapat dilihat dari nilai INR.
Interaksi obat ini memiliki signifikansi mayor, efek interaksi obat
mayor dapat mengancam jiwa pasien atau menyebabkan kerusakan
permanen. Terapi kedua obat ini secara bersamaan dihentikan dan
digunakan alternatif obat lain untuk mencegah interaksi obat yang
tidak diinginkan.

10. Azithromycin merupakan salah satu jenis antibiotik yang masuk


dalam golongan makrolida. Antibiotik ini jika digunakan bersama
spironolakton akan menimbulkan interaksi obat pada fase absorbsi.
Pada penelitian ini diketahui ada 3 peresepan yang berpotensi
memiliki interaksi obat ini. Spironolakton akan meningkatkanefek
azithromycin (Medscape, 2016). Azithromycin sebagai substrat dari
P-glikoprotein bioavailibilitasnya meningkat karena P- glikoprotein
di usus dihambat oleh spironolakton. Obat-obat yang menghambat
P- glikoprotein di usus akan meningkatkan bioavailibilitas substrat
P-glikoprotein (Gitawati, 2009).Interaksi obat ini memiliki
signifikansi moderate sehingga perlu memonitoring kondisi klinis
pasien, jika terjadi penurunan kondisi klinis pasien maka perlu
dilakukan penyesuaian dosis dari azithromycin

11. Fenobarbital telah diketahui sebagai inducer enzim hati, secara


nyata dapat meningkatkan metabolisme dan klirens metronidazol
sehingga menyebabkan kegagalan pengobatan metronidazol.
Bukti klinis dari seorang wanita dengan trikomoniasis vagina diberi
metronidazol selama setahun, tetapi infeksi terjadi lagi tidak lama
setelah infeksi itu berhenti. Ketika disadari bahwa ia juga
mengambil fenobarbital 100 mg sehari, dosis metronidazol dua kali
lipat untuk 500 mg tiga kali sehari, dan dia sembuh setelah 7 hari.
Penelitian farmakokinetik menemukan bahwa klirens metronidazol
meningkat (waktu paruh 3,5 jam dibandingkan dengan waktu paruh
normal 8 sampai 9 jam). (Baxter, 2008). Peningkatan
metabolismedan klirens metronidazol
menyebabkan kegagalan terapi. Kegagalan terapi
metronidazol akan berpengaruh pada kondisi klinis pasien sebelum
dan sesudah menerima terapi, namun kondisi klinis pasien membaik
setelah menerima terapi metronidazol. Hal ini dikarenakan pada
pasien ini tidak hanya menerima terapi tunggal metronidazol saja
tetapi pasien ini menerima terapi kombinasi antibiotik yakni
metronidazol dan meropenem. Interaksi kedua obat ini memiliki
signifikansi moderate, sehingga perlu memonitoring kondisi klinis
pasien dan jika terjadi penurunan kondisi klinis karena penurunan
efek dari metronidazol maka dosis metronidazolditingkatkanagar
efektivitas terapinya tercapai.

12. Levofloxacin adalah salah satu antibiotik golongan flouroquinolon.


Levofloxacin dan warfarin yang digunakan secara bersamaan
memiliki potensi interaksi obat yang menyebabkan peningkatan
efek warfarin dengan cara menurunkan metabolisme dari warfarin
(Medscape, 2016). Warfarin adalah jenis obat antikoagulan yang
dimetabolisme oleh enzim CYP1A2. Mekanisme fluoroquinolon
dalam meningkatkan risiko perdarahan dengan cara menghambat
CYP1A2 yang merupakan salah satu enzim utama yang
bertanggung jawab untuk metabolisme warfarin (Schellemanet al.,
2008).
Peningkatan efek warfarin akan menimbulkan resiko terjadinya
perdarahan, yangdapat dilihat dari nilai INR. Data rekam medik pasien
tidak terdapat data INR sehingga tidak dapat melihat efek dari
peningkatan efek dari warfarin. Signifikansi interaksi kedua obat ini
adalah moderate. Jika terjadi peningkatan nilai INR atau penurunan
kondisi klinis pasien, maka dosis penggunaan
warfaindisesuaikandengan menurunkan dosisnya.

DATA INTERAKSI OBAT-ANTIBIOTIK


a. Sefalosporin
Obat Interaksi

Antasida Absorpsi sefaklor dan sefpodoksim dikurangi oleh


antasida
Antibakteri Kemungkinan adanya peningkatan risiko nefrotoksisitas
bila sefalosporin diberikan bersama aminoglikosida

Antikoagulan Sefalosporin mungkin meningkatkan efek antikoagulan


kumarin

Probenesid Ekskresi sefalosporin dikurangi oleh probenesid


(peningkatan kadar plasma)

Obat ulkus peptik Absorpsi sefpodoksim dikurangi oleh antagonis histamin


H2
Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin tifoid oral
b. Penisilin

Obat Interaksi

Allopurinol Peningkatan risiko rash bila amoksisilin atau ampisilin


diberikan bersama allopurinol

Antibakteri Absorpsi fenoksimetilpenisilin dikurangi oleh neomisin; efek


penisilin mungkin diantagonis oleh tetrasiklin

Antikoagulan Pengalaman yang sering ditemui di klinik adalah bahwa


INR bisa diubah oleh pemberian rejimen penisilin spektrum
luas seperti ampisilin, walaupun studi tidak berhasil
menunjukkan interaksi dengan kumarin atau fenindion

Sitotoksik Penisilin mengurangi ekskresi metotreksat (peningkatan


risiko toksisitas)

Relaksan otot Piperasilin meningkatkan efek relaksan otot non-


depolarisasi dan suksametonium

Probenesid Ekskresi penisilin dikurangi oleh probenesid (peningkatan


kadar plasma)

Sulfinpirazon Ekskresi penisilin dikurangi oleh sulfinpirazon

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin tifoid oral

c. Aminoglikosida

Obat Interaksi

Agalsidase Gentamisin mungkin menghambat efek agalsidase alfa dan


alfa dan beta beta (produsen agalsidase alfa dan beta menganjurkan untuk
menghindari pemberian secara bersamaan)

Analgetik Kadar plasma amikasin dan gentamisin pada neonatus


mungin ditingkatkan oleh indometasin

Antibakteri Neomisin mengurangi absorpsi fenoksimetilpenisilin;


peningkatan risiko nefrotoksisitas bila aminoglikosida
diberikan bersama kolistin atau polimiksin; peningkatan
risiko nefrotoksisitas dan ototoksisistas bila aminoglikosida
diberikan bersama kapreomisin atau vankomisin;
kemungkinan peningkatan risiko
nefrotoksisitas bila aminoglikosida diberikan bersama
Obat Interaksi
Sefalosporin

Antikoagulan Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa INR mungkin


berubah bila neomisin (diberikan untuk kerja lokal di usus)
diberikan bersama kumarin atau fenindion

Antidiabetika Neomisin mungkin meningkatkan efek hipoglikemik


akarbosa, juga keparahan efek gastrointestinalnya akan
meningkat

Antijamur Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila aminoglikosida


diberikan bersama amfoterisin

Bifosfonat Peningkatan risiko hipokalsemia bila aminoglikosida


diberikan bersama bifosfonat

Glikosida Neomisin mengurangi absorpsi digoksin; gentamisin


jantung mungkin meningkatkan kadar digoksin plasma

Siklosporin Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila aminoglikosida


diberikan bersama siklosporin

Sitotoksik Neomisin mungkin mengurangi absorpsi metotreksat;


neomisin menurunkan bioavailabilitas sorafenib;
peningkatan risiko nefrotoksisitas dan mungkin juga
ototoksisitas bila aminoglikosida diberikan bersama
senyama platinum

Diuretika Peningkatan risiko ototoksisitas bila aminoglikosida


diberikan bersama loop diuretic

Relaksan otot Aminoglikosida meningkatkan efek relaksan otot non-


depolarisasi dan suksametonium

Parasimpatom Aminoglikosida mengantagonis egek neostigmin dan


imetika piridostigmin

Takrolimus Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila aminoglikosida


diberikan bersama takrolimus
Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin oral tifoid
d. Kuinolon

Obat Interaksi

Analgetik Kemungkinan peningkatan risiko konvulsi bila kuinolon


diberikan bersama NSAID, produsen siprofloksasin
memberi anjuran untuk menghindari premedikasi dengan
analgetika opioid (penurunan kadar siprofloksasin plasma)
bila siprofloksasin digunakan untuk profilaksis bedah

Antasid Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,


norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh antasida

Antiaritmia Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila levofloksasin atau


moksifloksasin diberikan bersama amiodaron – hindari
pemberian secara bersamaan; peningkatan risiko aritmia
ventrikel bila moksifloksasin diberikan bersama
disopiramid – hindari pemberian secara bersamaan

Antibakteri Peningkatan risiko artimia ventrikel bila moksifloksasin


diberikan bersama eritromisin parenteral – hindari
pemberian secara bersamaan; efek asam nalidiksat mungkin
diantagonis oleh nitrofurantoin

Antikoagulan Siprofloksasin, asam nalidiksat, norfloksasin, dan


ofloksasin meningkatkan efek antikoagulan kumarin;
levofloksasin mungkin meningkatkan efek antikoagulan
kumarin dan fenindion

Antidepresan Siprofloksasin menghambat metabolisme duloksetin –


hindari penggunaan secara bersamaan; produsen
agomelatin menganjurkan agar menghindari pemberian
siprofloksasin; peningkatan risiko aritmia ventrikel bila
moksifloksasin diberikan bersama antidepresan trisiklik –
hindari pemberian secara bersamaan
Obat Interaksi

Antidiabetik Norfloksasin mungkin meningkatkan efek glibenklamid

Antiepilepsi Siprofloksasin meningkatkan atau menurunan kadar


fenitoin plasma

Antihistamin Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila oksifloksasin


diberikan bersama mizolastin – hindari penggunaan secara
bersamaan

Antimalaria Produsen artemeter/lumefantrin menganjurkan agar


menghindari kuinolon; peningkatan risiko aritmia
ventrikel bila oksifloksasin diberikan bersama klorokuin
dan hidroksiklorokuin, meflokuin, atau kuinin – hindari
penggunaan secara bersama-sama

Antipsikosis Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila moksifloksasin


diberikan bersama benperidol – produsen benperidol
menganjurkan agar menghindari penggunaan secara
bersamaan; peningkatan risiko aritmia ventrikle bila
moksifloksasin diberikan bersama droperidol, haloperidol,
fenotiazin, pimozid, atau zuklopentiksol – hindari
penggunaan secara bersamaan; siprofloksasin
meningkatkan kadar klozapin plasma; siprofloksasin
mungkin meningkatkan kadar olanzapin plasma

Atomoksetin Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila moksifloksasin


diberikan bersama atomoksetin

Beta-bloker Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila moksifloksasin


diberikan bersama sotalol – hindari pemberian secara
bersamaan

Garam Absorpsi siprofloksasin dikurangi oleh garam kalsium


kalsium

Siklosporin Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila kuinolon diberikan


bersama siklosporin

Klopidogrel Siprofloksasin mungkin menurunkan efek antitrombotik


klopidogrel
Obat Interaksi

Sitotoksik Asam nalidiksat meningkatkan risiko toksisitas melfalan;


siprofloksasin mungkin menurunkan ekskresi
metotreksat (peningkatan risiko toksisitas);
siprofloksasin meningkatkan kadar erlotinib plasma;
peningkatan risiko aritmia ventrikel bila levofloksasin
atau moksifloksasin diberikan bersama arsenik trioksida

Produk susu Absorpsi siprofloksasin dan norfloksasin dikurangi oleh


produk susu

Dopaminergi Siprofloksasin meningkatkan kadar rasagilin plasma;


k siprofloksasin menghambat metabolisme ropinirol
(peningkatan kadar plasma).

Agonis 5HT1: kuinolon mungkin menghambat


metabolisme zolmitriptan (menurunkan dosis
zolmitriptan)

Besi Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,


norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh zat besi oral

Lanthanum Absorpsi kuinolon dikurangi oleh lanthanum (diberikan


minimal 2 jam sebelum atau 4 jam sesudah lanthanum)

Relaksan otot Norfloksasin mungkin meningkatkan kadar tizanidin


plasma (peningkatan risiko toksisitas); siprofloksasin
meningkatkan kadar tizanidin plasma (peningkatan risiko
toksisitas) – hindari penggunaan secara bersama-sama

Mikofenolat Mungkin menurunkan bioavailabilitas mikofenolat

Pentamidin Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila moksifloksasin


isetionat diberikan bersama pentamidin isetionat
– hindari penggunaan secara bersamaan
BAB IV

KESIMPULAN

Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon


tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu obat
yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (ganiswara, 2000).
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang dapat
Membunuh atau menghambat
perkembangan bakteri dan organisme lain (utami, 2011).
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, antara lain beta-
laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-
laktamase), basitrasin, dan vankomisin.
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein antara lain,
aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,
azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat antara lain,
trimetoprim dan sulfonamid.
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat antara lain,
kuinolon, nitrofurantoin (kemenkes, 2011).
Interaksi obat pada obat antibiotik banyak mengalami interaksi dengan
obat lainnya jika diberikan secara bersamaan, sehingga perlu diperhatikan waktu
pemberian obat dan obat yang digunakan secara bersamaan, interaksi yang terjadi
dapat bersifat sinergis maupun antagonis dengan level signifikansi keparahan
yang berbeda-beda. Pada dasarnya interaksi obat antibiotik tidak hanya terjadi
pada obat yang lainnya atau dengan obat antibiotik lainnya namun dapat juga
mengalami interaksi dengan makanan.
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, K., 2008, Stockley’s Drug Interaction, eight edition,


Pharmaceutical Press, United States of America.

Depkes RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


2406/Menkes/Per/Xii/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik,
Departemen Kesehatan Ri, Jakarta.

Fradgley, S., 2003, Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan., C.K., dan
Prayitno, A., Farmasi Klinis,119-130,Penerbit PT. Elex Media Komputindo
kelompok Gramedia, Jakarta.

Ganiswara, S.G., 2000, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 800, Bagian
Farmakologi FKUI, Jakarta.

IDAI. 2012. Pedoman Imunisasi di Indonesia edisi ke 4, Jakarta: Badan


Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik , Edisi III, 693-694,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses


Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C., Fisher, B.D., 2001,


Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi II, diterjemahkan oleh Agoes, A., Widya
Medika, Jakarta.

Schelleman, H., Warren, B. B., Colleen M. B., Han, H., Stephen E. K.,dan
Hennessy, S., , Warfarin - Fluoroquinolones, Sulfonamides, or Azole Antifungals
Interactions and the Risk of Hospitalization for Gastrointestinal Bleeding, Clin
Pharmacol Ther,2008.
Tjay, T.H., Dan Kirana,R., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
Dan Efek-Efek Sampingnya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Utami, ER. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Fakultas


Sains dan Tekhnologi UIN Maliki. Malang.

You might also like