You are on page 1of 19

Sejarah pertempuran 5 hari 5 malam di

Palembang
Feb 13, 2014
Seperti halnya ditempat-tempat lain, pertempuran melawan Sekutu meletus juga di
Palembang. Pasukan sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945 di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Carmichael.

Seperti juga di tempat lain, kali inipun bersama tentara Sekutu ikut pula mendarat
aparat/tentara NICA. Selanjutnya pemerintah RI di Palembang menentukan bahwa pasukan
Sekutu itu hanya diijinkan mendiami daerah Talang Semut, kemudian ternyata mereka
meluaskan daerahnya ke tempat-tempat lain.

Suasana menjadi panas ketika Sekutu secara tidak sah menggeledah rumah penduduk untuk
mencari senjata. Akhirnya meletuslah suatu insiden.

Sementara itu Sekutu terus menambah kekuatannya sehingga dalam bulan Maret 1946
pasukan mereka sudah berjumlah kira-kira 2 batalyon. Di samping itu, Sekutu juga
melindungi masuknya pasukan Belanda.

Setiap hari jumlah pasukan Belanda makin bertambah banyak, dan ketika Sekutu
meninggalkan kota Palembang pada bulan Oktober 1946 mereka menyerahkan kedudukan-
kedudukannya kepada Belanda.

Suasana kota Palembang makin tegang dan insiden-insiden bersenjata seringkali terjadi.
Ketika Belanda menuntut supaya kota Palembang dikosongkan dan pemuda-pemuda menolak
tuntutan tersebut, maka meletuslah pertempuran. Untuk mengulur waktu guna mendatangkan
bala bantuan, Belanda mengajak berunding.

Pada saat perundingan sedang berjalan pada tanggal 1 Januari 1947 pertempuran meletuslah
kembali. Dalam pertempuran ini, Belanda menggunakan pesawat terbang, tembakan altileri
dari sungai dengan meriam-meriam kapal dan berbagai senjata berat.

Tetapi, para pejuang kemerdekaan RI di Palembang dengan persenjataan yang sederhana


telah memberikan perlawanan yang gigih dan berhasil membuat kerugian yang cukup besar
pada fihak Belanda.

Sebuah kapal pemburu dan beberapa buah perahu motor Belanda tenggelam di sungai Musi.
Gedung radio dan peralatannya di Talang Betutu hancur, sehingga tak dapat dipakai lagi.
Begitu pula beberapa buah tank telah dapat dilumpuhkan.

Setelah pertempuran berlangsung selama 5 hari 5 malam, seperlima kota Palembang hancur
serta korban berjatuhan di kedua belah pihak. Pada tanggal 6 Januari 1947, akhirnya dicapai
persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan pimpinan Pemerintah RI di Palembang.
https://www.sejarah-negara.com/2014/02/sejarah-pertempuran-5-hari-5-malam-di.html
PERTEMPURAN LIMA HARI LIMA MALAM DI PALEMBANG M. Ridwan/SIV/B

Sebelum Belanda melancarkan agresinya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, di Palembang terlebih
dahulu sudah terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam
tanggal 1 sampai 5 Januari 1947. pertempuran ini adalah pertempuran tiga matra yang pertama kali
kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara.
Ditinjau dari aspek ekonomi, jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat
menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong. selain itu, dapat juga menguasai
perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor, apalagi Palembang yang sangat
didominasi oleh air sehingga sangat baik bagi perdagangan. bahkan oleh Belanda sendiri sebelum
Perang Dunia II, pernah mempromosikan sebagai "Venetie van het verre oasten" atau "Venesia dari
Timur Jauh". Dari segi politik, Belanda ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka
masih bisa menguasai Sumatera dan Jawa. Sedangkan ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan
TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif
mempunyai persenjataan terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan lainnya di sumatera.
sehingga dengan menduduki Palembang akan menjadi pukulan moral yang besar bagi pasukan di
daerah sumatera lainnya. selain itu bagi Belanda menduduki Palembang sangat penting, Palembang
dapat dijadikan batu loncatan untuk menuju Pulau Jawa. Peristiwa perlawanan rakyat Palembang
diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu (Inggris), NICA, dan Tentara Divisi ke 26 di kota
Palembang pada 12 Oktober 1945 dibawah pimpinan Letkol Charmichel dengan diserahi tugas untuk
: a. Menerima penyerahan satuan-satuan Jepang dan menjalankan syarat-syarat penyerahan. b.
Membebaskan dan mengamankan Interniran dan tawanan perang sekutu. c. Mempertahankan
keamanan didaerah kekuasaan sekutu agar siap untuk diserahkan kembali kepada pemerintahan
sipil. d. Mengumpulkan keterangan-keterangan dan mengadili penjahat perang [1] Pada waktu itu
Pemerintah Republik Indonesia tidak merasa curiga akan kedatangan Sekutu yang mengikutsertakan
NICA sehingga menerima mereka dan menetapkan bahwa pasukan sekutu hanya diperbolehkan
menempati daerah Talang Semut (daerah pemukiman eropa di Palembang). Merasa diterima di
Palembang, Sekutu tidak menuruti kesepakatan awal dengan Pemerintah Republik, malahan
pasukan Sekutu memperluas daerah ketempat-tempat lain. Suasana semakin memanas ketika
sekutu secara tidak sah melakukan tindakan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk
untuk mencari senjata. sementara itu Sekutu terus menambah kekuatannya sehingga dalam bulan
Maret 1946 pasukan mereka sudah berjumlah kira-kira 2 batalyon. disamping itu, Sekutu juga
melindungi masuknya pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1946 tentara sekutu harus
meninggalkan kota Palembang dan kekuasaan atas wilayah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Belanda. Dengan sepeninggalan pasukan Sekutu warisan jabatan jatuh kepada Kolonel Mollingger,
Komandan Brigade "Y" tentara Belanda. Dengan demikian sejak tanggal 24 Oktober 1946 Kolonel
Molingger secara resmi giliran berwenang dan memegang komando territorial Belanda untuk
Sumatera Selatan.[2] Kehadiran Belanda di Palembang tidak banyak berbeda dengan inggris, mereka
memang benar-benar menunjukkan keangkuhan, semua wilayah yang vital mereka duduki,
kebencian rakyat Palembang memuncak setelah Belanda merubah fungsi rumah sakit Charitas, yang
dahulunya dikelola oleh golongan sipil Indonesia. Kemudian berdasarkan pertimbangan
kemanusiaan dan segi praktisnya, pengolahan rumah sakit diserahkan kepada sekutu, sebab korban-
korban sekutu juga banyak yang berjatuhan. Sayangnya maksud baik dari pemerintah Republik
Indonesia disalahgunakan oleh sekutu dan Belanda. Mereka merubah fungsi tradisional rumah sakit
tersebut menjadi benteng pertahanan yang kuat dan strategis. Belanda beruntung rumah sakit
Charitas letaknya diatas bukit, dengan kondisi seperti memudahkan Belanda mengawasi pergerakan
rakyat Palembang yang akan membahayakan mereka. Selain itu pendudukan rumah sakit Charitas
sangat tepat, memudahkan hubungan Belanda dalam menuju Talang Betutu dan Talang Semut.
Masalah ini salah satu penyebab perang, mulai saat itu para pejuang Republik Indonesia mulai
mengenal langsung kelicikan Belanda, karena kejujuran dan itikad baik mereka menyerahkan
pengelolaan rumah sakit Charitas kepada sekutu disalahgunakan oleh Belanda.[3] Beberapa hari
menjelang akhir tahun 1946 Panglima Komandemen Sumatera Mayor Jenderal Suhardjo
Harjowardoyo berkunjung ke Palembang dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan sipil dan
militer RI. Pidatonya yang diucapkan didepan RRI Palembang dan ditujukan kepada pasukan TRI di
Palembang, Padang dan Medan yang berisikan agar pasukan TRI di Palembang selalu siap dan
waspada menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Akibat pidato Mayor Jenderal Suhardjo
Hardjowardoyo tersebut. Pemerintah Belanda menuduh bahwa pasukan RI sudah disiapkan untuk
menyerbu pasukan Belanda. Kemudian Belanda sering melakukan provokasi-provokasi dan ejekan-
ejekan kepada TRI dan pejuang hal ini membuat suasana semakin hangat dan tegang sehingga sering
terjadi insiden dan bentrokan-bentrokan yang tidak dapat dihindari. dalam insiden tembak
menembak tersebut beberapa korban berjatuhan terutama dikalangan rakyat yang tidak berdosa
diantaranya lima orang wanita dan beberapa orang anak-anak yang berada dalam perahu di Sungai
Musi. Karena seringnya terjadi bentrokan dan insiden, maka Kolonol Mollingger. Komandan pasukan
Belanda. dari markas besarnya di Talang Semut langsung angkat telpon menghubungi pimpinan
pemerintah Republik Indonesia di Palembang, meminta agar pertempuran dihentikan. dan agaknya
para pemimpin Republik mengabulkannya. Keadaan ini dimanifestasikan dengan turunnya kemedan
laga para pemimpin, gubernur muda Dr. M. Isa dan Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Kedua
pemimpin yang menjadi panutan para pejuang ini menyerukan Cease Fire.[4] Suasana panas akibat
pertempuran hari Sabtu, Minggu, dan Senin 28,29, dan 30 Desember tetap menggelegak. Sungguh
pun Cease Fire sudah diserukan untuk dipenuhi, namun sebagian pasukan pejuang Republik
Indonesia masih tidak kunjung beranjak dari pos-pos pertahanan masing-masing. Gerakan provokasi
Belanda mulai muncul kembali sesuai perhitungan pihak pejuang Republik Indonesia. Pada pagi hari
itu kira-kira pukul 05.30 Wib, sebuah Jeep yang penuh dengan serdadu Belanda keluar dari
sarangnya di 15 Ilir. dengan ugal-ugalan dan dengan kecepaan tinggi melewati garis demarkasi yang
sudah ditetapkan. Gerakan provokasi Belanda di daerah 15 Ilir ini merupakan pancingan perang yang
secara serentak dilakukan pula di Bagus Kuning/Plaju, beberapa sektor Talang Semut dan Benteng.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Cease Fire yang telah disepakati. Akhirnya pecahlah
pertempuran yang sengit antara kedua belah pihak yang berlangsung selama lima hari. Dalam
menghadapi Belanda, pasukan Republik Indonesia dibagi dalam 3 Front yaitu : 1. Front Seberang Ili
Timur Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS Charitas - Lorong
Pagar Alam - Jalan Talang Betutu - 16 Ilir - Kepandean - Sungai Jeruju - Boom Baru - Kenten.
Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan
tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS Charitas. RS
Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis
pertahanan yang baik bagi Belanda. Basis strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama
berlokasi di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde),
Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta). Dibawah pimpinan Mayor Dani
Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu.
Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan
Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan
Belanda di RS Charitas dengan Benteng. Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan
pasukan tank dan panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan
Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor Telepon melalui
perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telepon,
maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda
memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang
berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan
di RS Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI. Pada
pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan pertahan
Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih
dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah
memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Secara
spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan
Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian,
bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan,
bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat. Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando
Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan
Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan pengeboman
terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar. Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan
Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata. Pertempuran hari ketiga
berlangsung pada hari Jum'at, tanggal 3 Januari 1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan
angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan
Pasukan TRI/Laskar. Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di
Palembang. Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari
Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid
Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita
yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal
meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu
dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan
RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang
telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan dari serdadu Jepang. Sampai hari ketiga, keadaaan
Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena serangan bom dan
peluru mortir Belanda. Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan
pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut
untuk menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI
berhasil mendekati gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha
mendekati gudang tersebut. Pada pertempuran hari kelima (5 Januari 1947), pihak Belanda dapat
menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi
dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun demikian
pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa
stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur
dan luka-luka. 2. Front Seberang Ilir Barat Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36
Ilir yaitu meliputi Tangga Buntung - Talang - Bukit Besar - Talang Semut - Talang Kerangga - Emma
Laan - Sungai Tawar - Sekanak - Benteng. Pada pertempuran pertama (1 Januari 1947), pasukan-
pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkaan diri ke sekitar Jalan
Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah
taktik yaitu memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan
sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir.
Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan
terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk menyerang
Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi
Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Belanda dengan menggunakan kendaraan berlapis baja dan
persenjataan modern berhasil menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor
Walikota dan di sekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir.. Pada pertempuran hari kedua, Belanda
menembakan mortirnya dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan
utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang terdapat
antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng
pertahanan dan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon
32/XV oleh Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang.
Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. "molotov" adalah bensin yang
dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat yang
sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri
persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M.
Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat
karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia
(PMI) dan PPI (Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan
makanan. Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda semakin aktif,
setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di
Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah pimpinan
Letda Ali Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah.
Pada pertempuran hari keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak
sehingga mundur ke arah Kebon Gede, Talang dan Tangga Buntung. Sebagai resiko perjuangan dari
bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan
dislokasi pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran.
Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi. Pada hari
kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun Pasukan TRI/Lasykar
dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak
teratur lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda
juga karena bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang. 3. Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus Kuning, selanjutnya
meliputi kawasan Plaju - Kayu Agung - Sungai Gerong. Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari
1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai
Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian,
kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa,
karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju
menuju Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI
berusaha menyerang namun tidak berhasil. Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju,
dipimpin Lettu Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi
Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus
Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas
menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar
16 Ilir. Pertempuran kedua tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu dari Lasykar Pesindo,
Napindo dan Hizbullah. penyerbuan tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat
menguasai gudang-gudang persenjataan musuh, sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke
kapal-kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah
diturunkan, kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si Dwiwarna,
Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan Belanda kemudian
melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan TRI/Lasykar. Pertempuran hari
ketiga, Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat,
laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis
pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal
perang Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat
bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis korvet
menembakan mesin kesepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang
berlokasi di sekitar 7 Ulu. Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan
menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik kompi III Batalyon 34 di
7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah
pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang
mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Pertempuran keempat,tanggal 4
Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin memperhebat tekannya terhadap
pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-
kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke
perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita
dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.[5] Upaya
Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah
menerima kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang
mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah
menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah
pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani
sebagai utusan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak
Belanda. Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan
alasan yaitu : a. Mencegah bertambah korban lebih banyak. b. Perlu mengadakan konsolidasi
kekuatan kembali. c. Dari segi politis akan memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa
RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa pemerintahan pusat dipatuhi oleh daerah-
daerahnya. Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan perundingan. Mereka adalah
Dr. M. Isa Gubernur Muda yang mewakili Pemerintahan Sipil, Mayor M. Rasyad Nawawi (Kepala Staf
Divisi Garuda II) yang mewakili pasukan-pasukan dari Komand Pertempuran, dan Komisaris Besar
Polisi, Marsudo, yang mewakili Kepolisian. Perundingan penghentian tembak menembak
dilaksanaan di Staf Kwartier Divisi. Adapun hasil dari perundingan tersebut yaitu : a. Pasukan
bersenjata, TRI, laskar-laskar rakyat dan badan-badan perjuangan yang bersenjata maupun yang
tidak bersenjata diharuskan mundur sejauh 20 KM dari pusat kota Palembang yaitu dari titik 0 KM. b.
Pemerintah Sipil Republik Indonesia dibawah Gubernur Muda Sumatera Selatan Dr. M. Isa, lengkap
dengan aparat kepolisian dan pasukan Angkatan Laut Republik Indonesia dibawah pimpinan Kapten
ALRI Saroinsong yang berkedudukan di Boom Baru, akan tetap berada didalam kota Palembang. c.
Cease Fire atau penghentian tembak menembak mulai berlaku pada tanggal 6 Januari 1947 pukul
00.00 waktu setempat dengan diiringi gerakan pengunduran pasukan mulai pukul 06.00 pagi tanggal
tersebut.[6] Sesuai dengan hasil persetujuan yang telah dicapai pada tanggal 6 Januari 1947 pasukan
kita mulai melaksanakan keputusan perundingan keluar meninggalkan kota. Pasukan dikumpulkan
dilapangan golf Kenten dan kemudian diangkut dengan kapal menuju ke Kertapati. dari stasiun
Kertapati pasukan diangkut dengan Kereta Api menuju ke stasiun Payakubung di Kilometer 37.
Selanjutnya pasukan dipencar ketempat yang telah ditentukan oleh pimpinan TRI yaitu Tanjung
Sejaro, Pemulutan, Kayu Agung, Sirah Pulau Padang, Batun, dan Prabumulih. Sejak itu pasukan-
pasukan Republik Indonesia menempati dislokasi baru diluar kota. ditempat-tempat yang baru
pasukan TRI selanjutnya mengkonsolidasikan diri untuk meneruskan perjuangan yang masih belum
selesai. Notes : [1] Djohan Hanafiah, 1988:28 [2] Abi Hasan Said, 1992:1 [3] Warnak Tohir, 1983:19
[4] Abi Hasan Said, 2000:177 [5] Warnak Tohir, 1983:29 [6] Abi Hasan Said, 1992:217 Daftar Pustaka
a. Said, Abi Hasan.(1992). Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah. Jakarta. Yayasan Krama Yudha. b.
Hanafiah, Djohan. (1988). 82 Tahun Pemerintahan Kota Palembang. Jakarta. C.V Haji Masagung c.
Tohir, Warnak.(1983). Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang.

Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef

http://wartasejarah.blogspot.co.id/2014/12/pertempuran-lima-hari-lima-malam-di.html

Pertempuran lima hari di Palembang


Pasukan Sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh
Letnan Kolonel Carmichael. Bersama pasukan Sekutu ikut pula aparat NICA. Mereka diizinkan oleh
pemerintah untuk mendiami daerah Talang Semut. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan
peraturan itu dan akhirnya Insiden dengan pemuda meletus ketika mereka menggeledah rumah-
rumah penduduk untuk mencari senjata.

Baca Juga : Merinding, Kok ada ya Tukang Mie Ayam Seperti ini ?

Tindakan Sekutu yang sangat menyinggung perasaan rakyat dengan melakukan penggeledehan
rumah penduduk yang bertujuan untuk mencari senjata hasil rampasan dari pihak Jepang. Justru
mengakibatkan terjadi insiden bersenjata pada 1 Januari 1946. Saat itu tentara Sekutu dengan
menggunakan pesawat dan kapal laut membombardir kota Palembang. namun Para pejuang terus
mengadakan perlawanan dan hasil dari pertempuran ini Seperlima bagian kota Palembang hancur.
kemudian Pada tanggal 6 Januari 1947 dicapai persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan
Pemerintah Republik Indonesia di Palembang.

http://www.markijar.com/2016/08/14-pertempuran-dalam-mempertahankan.html
KRONOLOGIS PERANG LIMA HARI
LIMA MALAM DI PALEMBANG
Diposting oleh RH SangPembelajar di 06.04
Beberapa sudut Palembang saat perang 5 hari 5 malam 1-5 Januari 1947

UPAYA MENGHADAPI SERANGAN BELANDA PADA PERTEMPURAN LIMA HARI


LIMA MALAM DI PALEMBANG

By : Sri Purwati

Pengantar

Palembang merupakan kota yang sangat strategis di Sumatera Selatan. Sebagai kota tua,
Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang
dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya. Ciri khas kota Palembang sebagai kota
yang sangat didominasi oleh air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah
dipromosikan sebagai “Venetie van het Verre Oasten” atau “Venesia dari Timur Jauh”.
Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.

Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan maksud agar
Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin menimbulkan
ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat berusaha mempertahankan kemerdekaan
yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda
berlanjut dengan pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain
Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-
lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran
Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5
Januari 1947.

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang
pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan
kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang
secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan
militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin
membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa
dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya
maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju serta Sei Gerong.
Selain itu, dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai pusat perdagangan karet dan hasil
bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya
Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan
yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–
pasukan yang berada di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota
Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-
daerah pedalaman.

Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran Lima Hari Lima Malam. Motivasi
perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di daerah Sumatera
Selatan yakni adanya “sense to be a nation”, rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah
merdeka. Semboyan “Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang
Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik
Indonesia.

Provokasi Belanda

Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran Lima Hari Lima
Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia
lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung,
dan lain-lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena
keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda
menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi
Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan
Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November
1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh.
Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI
pada tanggal November 1946.

Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan memperluas atau
melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status
quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh
Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di
Palembang.

Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota
Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan pencegahan
terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi – Singapura, yang
bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan
timbal balik antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi,
barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari Singapura.
Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat
perjuangan sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South East”.

Panglima Komando Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan


Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember
1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan,
Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu
instruksi dari pemerintahan pusat.

Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo bernama Nungcik
ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di Benteng. Malam harinya Belanda
melanggar garis demarkasi yang telah ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh
pasukan Belanda dari Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang
Jalan Sudirman), Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara
mem****buta. Pancingan itu segera mendapat jawaban dari pasukan RI. Meletuslah
pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Setelah terjadinya perang sekitar 13
jam, situasi Palembang dalam kondisi cease fire. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya
perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembak-menembak tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali
melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap
Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor
Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos
pertahanan TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan
senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i
berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.

Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak
TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan
Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-
tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara
Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan
Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan
dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan Kasim) dan
Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-menembak (cease fire).

Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun


kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan
waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam.
Belanda melakukan penembakan dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar
berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat
Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda.

Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota
Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang terjadi
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi
pertempuran yang lebih besar.

Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep
yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka
melampaui daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah
pesta semalam suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan
Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju
Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas
pasukan RI/ Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah
kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi
Tentara.

Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar mengadakan rapat komando
untuk menentukan sikap dalam menghadapi provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan
pemerintah sipil Gubernur Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel
Bambang Utoyo, Gubernur Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel
Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak
tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur
semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Divisi II,
Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju” untuk bertempur menghadapi
Belanda.
Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam

Front Seberang Ilir Timur

Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS.
Charitas – Lorong Pagar Alam – Jalan Talang Betutu – 16 Ilir – Kepandean – Sungai
Jeruju – Boom Baru – Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu tanggal 1
Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus
diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS. Charitas. RS. Charitas berada
di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis
pertahanan yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir (RS. Charitas)
menjadi tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis strategi
pertahanan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung,
simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi
Angkoso dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).

Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit
Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini dilakukan bersama dengan satu kompi
dan batalyon Kapten Animan Akhyat yang bertahan di simpang Jalan Talang Betutu
(Perwiranegara, 1987 : 67). Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda
yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan untuk
menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di RS. Charitas dengan Benteng.

Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk
menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk. Mereka
kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor Telepon melalui perlawanan seru dari
Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda menduduki kantor Telepon, maka hubungan
melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, Belanda memperluas
gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang
berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean
sedangkan di RS. Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan
TRI.

Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan
pertahanan Belanda di RS. Charitas. Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu
setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Animan
Achyat. Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di
depan Masjid Agung. Sementara itu, kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai bergerak
hilir mudik di Sungai Musi sambil menembakkan peluru mortirnya ke segala arah. Secara
spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan
Belanda. Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional terus berlangsung
untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan di pihak kita, Belanda pun segera
mengadakan pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang
membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau dan Lahat, Rakyat yang
berada di Front Seberang Ilir menjadi sangat menderita karena keterbatasan kesediaan pangan
akibat Sungai Musi dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.
Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan
dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena
Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas
Pasukan TRI/ Lasykar. Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan oleh Belanda
tidak terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata.

Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan, memberi banyak petunjuk
bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota keturunan Tionghoa sebagai
informan mereka, disamping sebagai pelayan kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda.
Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia
segera memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita semua telepon
yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16 Ilir.

Pertempuran ketiga berlangsung pada hari Jum’at, tanggal 3 Januari 1947. Saat itu, Kolonel
Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut dan Udara) untuk
menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/ Lasykar. Ini menunjukkan terjadinya
konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang.

Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari Benteng
menuju RS. Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid
Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh
pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-
ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh.
Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII).
senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata
yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan
dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996 : 43). Sampai hari ketiga, keadaan Palembang
sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena serangan bom dan
peluru mortir Belanda.

Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah lagi dengan
adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas perintah Kepala Pertahanan
Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan
oleh Belanda untuk menerobos dari arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahkan, perintah yang
benar-benar ditakuti oleh Belanda adalah “aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong”.

Pada pertempuran keempat (4 Januari 1947), Belanda memfokuskan pertahanan di Plaju.


Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk
menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI
berhasil mendekati gudang amunisi di RS. Charitas dan menembak serdadu Belanda yang
berusaha mendekati gudang tersebut.

Pada 5 januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-
kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-
bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun demikian pasukan Belanda mengalami keadaan
yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan
Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-
luka.
Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu meliputi Tangga Buntung
– Talang – Bukit Besar – Talang Semut – Talang Kerangga – Emma Laan – Sungai Tawar –
Sekanak – Benteng.

Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berada di Front
Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen XV dan Komandan Batalyon
32/XV beserta para perwira yang berada di markas, sibuk mengatur pertahanan dan
merencanakan untuk menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang
saling bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata berat yang
ditembakkan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda ke arah kubu pertahanan
Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat.

Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-pasukan disekitar
belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkan diri ke sekitar Jalan Kelurahan Madu
dan Jalan Kebon Duku. TRI/ Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu
memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir.
Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak
akan terkepung. Usaha Pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustan dilakukan untuk
menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod,
Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran tersebut,
seorang prajurit yang diketahui pemuda keturunan Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur.
Belanda dengan menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil
menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan disekitar Jalan
Guru-guru di 19 Ilir.

Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif sepenuhnya berada di
tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan segala kemampuannya berusaha
mempertahankan pos-pos pertahanan dan kedudukannya sambil terus melancarkan tembakan-
tembakan ke arah pasukan yang menyerang. Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani
keluar dari kubu pertahanannya, terutama yang berkedudukan di Seberang Ilir, karena
gencarnya serangan Pasukan TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan
dari tempat

perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan howitzer untuk
sasaran jarak jauh.

Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos mereka. Jika satu tempat
pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka dalam waktu singkat akan mendapat bantuan
dari kubu pertahanan Belanda lainnya. Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer
atau dukungan tembakan dari kapal perang De Ruiter. Kapal Belanda memang hilir mudik di
sungai Musi, khususnya jenis korvet.

Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakkan mortirnya dengan mem****buta ke


arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama adalah menembaki markas batalyon
dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga
Buntung. Tidak dapat dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman
penduduk. Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanann dan yang
dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947
menyebabkan staf Komando Batalyon 32/ XV oleh Mayor Zurbi Bustan bersama Kapten
Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah Suro dan Talang Kerangga pada saat itu
tidak luput dari sasaran musuh.

Dengan dorongan semangat dan do’a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk mempertahankan
diri. Penambahan pasukan terjadi melalui bantuan Batalyon Ismail Husin dari Lampung yang
berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung. Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta
memberi bantuan tenaga.keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah.
“Molotov” adalah bensin yang dimasukkan yang dimasukkan ke dalam botol dicampur
dengan karet untuk kemudian diberi sumbu menjadi alat yang sangat efisien. Kapten
Alamsjah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin
Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud
berhasil mendapatkan bensin d markas Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front
Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi demikian,
bantuan bahan makanan dari dapur umum di garis belakang yang dikirimkan oleh ibu-ibu dan
remaja puteri sangat berarti. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan
PPI (Pemuda Putri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan
makanan.

Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda semakin aktif, setelah
dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di
Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI dibawah
pimpinan Letda Ali Usman berhasil menghancurkan sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu
Pasukan Gajah Merah (Perwiranegara, 1987 : 75). Belanda tidak tinggal diam, segera
membalas serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari keempat, Satbtu tanggal
4 Januari 1947, Pasukan TRI/ Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebo Gede, Talang
dan Tangga Buntung.

Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan pasukan
musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu
dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan
akibat sulitnya hubungan komunikasi.

Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun
Pasukan TRI/ Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman makanan
dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini
juga berdampak pada pihak Belanda juga karena bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke
Kota Palembang.

3. Front Seberang Ulu

Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus Kuning,
selanjutnya meliputi kawasan Plaju – Simpang Kayu Agung – Sungai Gerong. Untuk
tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah Palembang Ulu dibebankan kepada
Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan Batalyon Kapten Raden Mas yang bermarkas di
sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD), yang melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.
Pada awal pertempuran taanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang
berada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerong terus ditujukan ke markas batalyon yang
dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom
Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI
di Boom Baru.

Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah satu tempat
berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari pertama pertempuran.
Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju Boom Yetty yang diduga membawa
bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak
berhasil.

Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di Jalan kayu
Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II
yang dipimpin Letda. Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna
sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi
Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16
Ilir. Pertempuran yang telah terjadi menimbulkan semangat patriotisme di kalangan Pasukan
TRI. Bantuan pasukan segera menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan
pemberangkatan pasukannya menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan kereta api.

Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang merencanakan
serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu dari Lasykar Pesindo,
Napindo dan Hizbullah. Penyerbuan tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/ Lasykar dapat
menguasai gudang-gudang persenjataan musuh. Dalam pendudukan tersebut, TRI berhasil
merampas persenjataan musuh sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-
kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah
diturunkan, kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dalam keadaan si
Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan
Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan TRI/
Lasykar.

Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat,
laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis
pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. Pesawat-pesawat terbang dan kapal-
kapal perang Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi
tempat bertahan pasukan-Pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang
jenis korvet menembakkan mesin ke sepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan
RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu.

Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan menggunakan senjata bekas
persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik Kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai
Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Letkol
(Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang
mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap
motorboat Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan
mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus menghujani basis pasukan di 7 Ulu
dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan korban yang besar di
kalangan Pasukan TRI/ Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap pasukan di Front Seberang Ulu
datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin memperhebat
tekanannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning
mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari
perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati Keramasan di bagian
Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun
hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan

Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran

Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan Kapten A.M.
Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang mengabarkan tentang keinginan
Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta
lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa
akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah
pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.

Perundingan yang dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan
alasan, pertama, mencegah korban lebih banyak; kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi
kekuatan kembali; ketiga, dari segi politis akan membelikan gambaran kepada dunia
internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya
dipatuhi oleh daerah-daerah.

Perhitungan yang melandasi untuk berunding dari pihak RI adalah berdasarkan :

Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin bertahun-
tahun.

Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota Palembang, bila sampai
bertempur habis-habisan akan memperlemah kekuatan pada masa selanjutnya.

Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang akan melakukan penjajakan perundingan.
Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda Sumatera Selatan yang mewakili Pemerintahan
Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang mewakili pasukan-
pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar Polisi Mursoda, yang mewakili
Kepolisian (Parikesit, 1995 : 69).

Perundingan antara RI – Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947 di Rumah Sakit
Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang Utoyo, Komandan Divisi
Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan
dengan pihak Belanda sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-
benar terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam kubu per
kubu yang terpisah satu sama lainnya

Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota palembang dikosongkan dari
seluruh Pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI. Pihak RI bersedia menarik TRI
dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam
kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat.
Adapun maksud tersembunyi adalah pasukan ALRI yang tinggal di kota Palembang akan
menjadi penghubung dan mata-mata, disamping polisi dan Pemerintahan Sipil, guna
mengawasi kegiatan Belanda.

Akhirnya pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan senjata (cease fire)
antara kedua belah pihak, dimana TRI/ lasykar harus keluar dari Kota Palembang sejauh 20
Kilometer kecuali Pemerintahan Sipil RI dan ALRI masih tetap berada di dalam kota.
Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh 14 km dari pusat kota. Jalan raya di dalam
kota dijaga pasukan Belanda dengan rentang wilayah 3 km ke kiri dan kanan jalan. Hasil
perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.

Kesimpulan

Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan oleh Pasukan TRI,
lasykar dan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Kota Palembang. Dalam
pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan perairan (air and sea superioritary).
Karena superioritas itulah mereka dapat bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita
serta tidak mempunyai perhubungan yang modern.

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan pertempuran tiga matra dan
perang terbesar dan terlengkap yang pertama kali kita alami. Namun pihak kita hingga akhir
pertempuran masih dapat bertahan berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad dan patriotisme
yang besar dari para pejuang dan rakyat.

PERANG
LIMA HARI LIMA MALAM

Gambaran Sengitnya Pertempuran


Dengan Latar Belakang Kobaran Api dan Masjid Agung
1 Januari 1947
Dari RS. Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan dahsyat
kearah kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan Tokoh masyarakat
bergerak dari pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari Jalan Jenderal Sudirman
terus melaju kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak, BPM, Talang Semut.

2 Januari 1947
Diperkuat dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu dan
menduduki markas Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang. Pasukan Batalyon
Geni dibantu oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu memperkuat barisan mengobarkan
semangat jihad yang akhirnya dapat berhasil mempertahankan Masjid Agung dari
serangan sporadis Belanda. Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal menuju
masjid agung karena disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan pada hari
kedua Lettu Soerodjo tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang ulu Lettu.
Raden. M menyerbu kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan berhasil
mendudukinya untuk sementara. Bertepatan dengan masuknya pasukan bantuan kita
dari Resimen XVII Prabumulih

3 Januari 1947
Pertempuran yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting Lettu.
Akhmad Rivai yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di sungai seruju.
Keberhasilan gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan Letda Ali Usman yang sukses
menhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah Merah Belanda. Meskipun Letda Ali Usman
terluka parah pada lengan.
Pasukan lini dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir) menjaga
posisi untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir posisi mereka.
Sedangkan pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu berhasil menenggelamkan satu kapal belanda
yang sarat dengan mesiu. Akibatnya pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan
menghantam selama 2 jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba dikertapati
namun kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal masjid agung dan sekitar
akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan Angkatan Laut Belanda.
Pasukan Indonesia
Menyebrangi Sungai Musi untuk Membantu Posisi Front
4 Januari 1947
Belanda mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat dari segala
penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita mendapat bantuan dari Tokoh
masyarakat dan pemuka adat yang mengerahkan pengikutnya untuk membuka dapur
umum dan lokasi persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan Mayor Nawawi yang mendarat di keramasan terus melaju ke pusat kota melalui
jalan Demang Lebar Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid agung terhadang di Simpang
empat BPM, Sekanak, dan Kantor Keresidenan oleh pasukan belanda sehingga bantuan
belum bisa langsung menuju kewilayah charitas dan sekitar.

5 Januari 1947
Pada hari ke Lima panser belanda serentak bergerak maju kearah Pasar Cinde namun
belum berani maju karena perlawanan sengit dari Pasukan Mobrig kita pimpinan
Inspektur Wagiman dibantu oleh Batalyon Geni. Sedangkan pasukat belanda dijalan
merdeka mulai sekanak tetap tertahan tidak mampu mendekati masjid agung. Akibat
kesulitan tentara belanda dibidang logistik dan kesulitan yang lebih besar pada pihak
kita pada bidang amunisi akhirnya dibuat kesepakatan untuk mengadakan Cease Fire.

Perundingan Cease Fire

Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk menyerang Jalan Jawa lama dan 11 Siang
telah menyusun barisan berangkat ke kenten. Tiba-tiba dalam perjalanan Kapal Belanda
menembaki rumah sekolah yang dihuni oleh Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga
pihak kita mengalami banyak kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat diperintahkan
mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah Komandan Divisi II Kolonel
Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang hanya diperbolehkan pasukan ALRI dan
unsur sipil dari RI yang tinggal.
http://komunitaspecintasejarah.blogspot.co.id/2013/03/kronologis-perang-lima-hari-lima-
malam.html
https://materi78.files.wordpress.com/2013/06/13-perjuangan-mempertahankan-kemerdekaan.pdf

You might also like