You are on page 1of 16

MAKALAH

FARMAKOTERAPI TERAPAN
“Deep Vein Thrombosis (DVT)”

Dosen Pengampu : Yance Anas., MSc. Apt.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Khusniatul Mazidah 175020004
Septi Ayu Dianti 175020029
Emilia Ramadyanti 17502055

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2017
KASUS

Seorang pasien, laki-laki, usia 58 tahun, datang ke UGD suatu rumah sakit dengan keluhan

nyeri pada betis kaki kanan (skala 3/10) disertai dengan rasa kencang dan panas. Rasa nyeri

bertambah parah ketika berjalan. Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh (fisik dan

laboratorium), dokter mendiagnosa pasien mengalami deep vein thrombosis (DVT). Dokter

merencanakan akan memberikan unfraktional heparin dan meminta apoteker untuk

membuat regimen terapinya. Pasien saat ini, pasien sedang mengkonsumsi obat allopurinol

300 mg 1 kali sehari dan ezetimibe 10 mg 1 kali sehari karena memiliki riwayat penyakit

asam urat dan hiperkolesterol.

Pertanyaan/Tugas Mahasiswa:

1. Jelaskan tentang penyakit DVT(gambaran penyakit, penyebab dan gejala klinik yang

dapat dialami pasien)!

2. Jelaskan dampak yang dapat dialami oleh pasien jika penyakit ini tidak dapat

dikendalikan dengan baik!

3. Jelaskan tujuan terapi jangka pendek dan jangka panjang untuk pasien ini!

4. Jelaskan tata laksana terapi penyakit DVT!

5. Rancanglah terapi obat yang akan diberikan kepada pasien (Lengkap dengan bentuk

sediaan, dosis, jadwal pemberian dan durasi pengobatan untuk masing-masing obat)!

6. Rancanglah rencana monitoring terapi untuk pasien ini untuk memastikan efiktivitas

pengobatan dan keamanan penggunaan obat!

7. Berikanlah edukasi kepada pasien untuk mengoptimalkan efek pengobatan dan

meminimalkan efek samping obat!


PENYELESAIAN

1. Jelaskan tentang penyakit DVT(gambaran penyakit, penyebab dan gejala klinik yang

dapat dialami pasien)!

Jawab:
Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/ DVT) didefinisikan sebagai

kondisi timbulnya trombus pada vena dalam. Trombosis vena dalam sering

tersamarkan karena tidak ada tanda peradangan lokal yang terlihat seperti pada

trombosis vena perifer. Adanya trombosis akan merusak vena distal beserta katupnya

(akibat refluks) sehingga menyebabkan terjadinya infusiensi vena (Tanto dkk, 2014)

Deep vein thrombosis (DVT) adalah bekuan darah di vena dalam yang

sebagian besar tersusun atas fibrin, sel darah merah, serta sebagian kecil komponen

leukosit dan trombosit. Trombus pada sistem vena dalam sebenarnya tidak berbahaya,

dapat menjadi berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian jika sebagian trombus

terlepas, kemudian mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di dalam paru

(emboli paru). Pemeriksaan untuk mendeteksi DVT di antaranya adalah D-Dimer dan

imaging (seperti USG, Venografi, CT Scan, atau MRV). Diagnosis DVT harus

dilakukan secara tepat dan akurat untuk meminimalkan risiko emboli paru. DVT

diterapi dengan antikoagulan dan juga heparin dengan berat molekul rendah, namun

terapi tersebut juga meningkatkan risiko perdarahan. Profilaksis jauh lebih efektif

menekan angka kematian akibat DVT yang berkembang menjadi emboli paru

dibandingkan penatalaksanaan saat diagnosis ditegakkan (Jayanegara, 2016).

Penyebab DVT, berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli

terbentuknya tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran

darah, dan perubahan daya beku darah.Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif
yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang berikatan

dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi

faktor koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan

hepar, serta enzim fibrinolisis (Jayanegara, 2016).

Patofisiologi Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan

beberapa komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam

proses terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):

a. Stasis vena

Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah yang

mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor predisposisi

terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme pembersihan

aktivitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombosis.

b. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan trombosis

vena, melalui: Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan „

Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan

jaringan dan proses peradangan.

c. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan

sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi apabila aktivitas pembekuan

darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering terjadi pada

kasus aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi,

defisiensi anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi protein S, dan kelainan

plasminogen (Jayanegara, 2016).


Gejala klinik yang dialami pasien antara lain:

a. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung besardan luas trombosis. Trombosis vena di

daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian

medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa

terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat.

Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai

ditinggikan.

b. Pembengkakan

Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan

peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka

lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila

disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah trombosis dan

biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan dan akan

berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.

c. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis

vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada 17% - 20%

kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadangkadang berwarna ungu. Perubahan

warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena

besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens (Jayanegara,

2016).
2. Jelaskan dampak yang dapat dialami oleh pasien jika penyakit ini tidak dapat

dikendalikan dengan baik!

Jawab:

DVT pada umumnya bersifat asimtomatis . Pada sebagian penderita dapat timbul

gejala klinis yang tidak khas misalnya nyeri dada, akibat dari emboli paru yang

menandakan timbulnya komplikasi. Pada trombus berukuran besar akan menyumbat

pembuluh vena utama sehingga muncul dampak yang dialami pasien seperti:

 Pembengkakan pada ekstremitas (tungkai/lengan) mulai dari distal

 Otot kaku

 Nyeri otot terutama saat berdiri dan berjalan

 Nyeri pada betis

 Kulit kebiruan (sianosis)

 Beberapa trombus dapat mengalami perbaikan secara spontan dan membentuk

jaringan parut disekitar katup. Jaringan parut yang terbentuk dapat merusak

fungsi katup pada pembuluh vena di tungkai bawah yang mengakibatkan

trombosis vena dalam kronis berulang ( post phlebitic syndrome) (Tanto,

2014).

penyakit ini tidak dapat dikendalikan dengan baik yaitu dapat terjadi

komplikasi antara lain:

a. Pulmonary Embolism (PE)

Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya akibat

bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,

seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk

sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat

mengalami penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku


penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan

tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis,

pemeriksaan D-Dimer dan CT angiografi (Jayanegara, 2016).

b. Post-thrombotic syndrome (PTS)

Post-thrombotic syndrome(PTS) terjadi akibat inkompetensi katup vena yang

terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena

sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri

berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian

trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi

ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat

diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus

menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post

thrombotic syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan

selama pasien mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala (Jayanegara,

2016).

3. Jelaskan tujuan terapi jangka pendek dan jangka panjang untuk pasien ini!

Jawab:

 Tujuan terapi jangka pendek adalah mencegah pembentukan trombus yang makin

luas dan emboli paru.

 Tujuan jangka Panjang adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom

post trombotik(Key,2010; Scaevelis, 2006; Ramzi,2004; Bates, 2004)

4. Jelaskan tata laksana terapi penyakit DVT!

Jawab:

Tatalaksana terapi DVT harus dilakukan secara komprehensif meliputi pencegahan

dan terapi.
1. Pencegahan

 Kaos kaki elastis. Pasien dengan imobilisasi dapat disarankan menggunkan

kaos kaki elastik

 Antikoagulan. Antikoagulan sebagai agenprofilaksis dierikan pada pasien

yang akan menjalani operasi besar dan pasien dengan kelainan vaskular.

Heparin dosis rendah (low dose unfractioned heparin/ DUH) dierikan 0,2

mL. Subkutan dua kali sehari selama 5 – 7 hari (Tanto dkk, 2014).

2. Terapi medikamentosa

Tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi resiko pembentukan trombus

yang lebih besar serta mencegah emboli paru. Beberapa obat yang digunkan

antara lain golongan antikoagulan (Warfarin dan Heparin). Perlu diperhatikan pula

bahwa obat golongan antikoagulan dapat menyebabkan efek samping perdarahan

(Tanto dkk, 2014).

a. Unfractionated Heparin

Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi

berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang

diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1).

meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2).

melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.

Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/

kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit

harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih

dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer

disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).

Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko perdarahan
kurang lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan bersama antitrombotik atau

trombolitik lain. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Heparin dapat

dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan warfarin jika

International Normalized Ratio (INR) melebihi 2, 0 (Jayanegara, 2016).

b. Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)

Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH lebih menguntungkan

karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat diberikannsubkutan satu atau dua

kali sehari, dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauanlaboratorium. Pada

pasien DVT, heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan unfractionated

heparin infus kontinyu. Seperti halnya unfractionated heparin, LMWH dikombinasi

dengan warfarin selama empat sampai lima hari, dihentikan jika kadar INR mencapai

2 atau lebih. Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration)

untuk pengobatan DVT dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali

sehari. Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis,

dalteparin diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi

dua kali sehari). FDA telah menyetujui penggunaan tinzaparin dengan dosis 175

IU/kg/hari untuk terapi DVT. Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH
lebih jarang dibanding pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan

antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central nervous

system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh

hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui ginjal, pada

penderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan atau digantikan oleh

UFH (Jayanegara, 2016).

c. Warfarin

Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin

segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu

atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan bersamaan sebagai terapi penghubung

hingga warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai

kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat

digunakan sebagai tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah

sakit. Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh

hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan antara 1,5-2,0,
meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah penelitian, INR lebih dari 1,9

didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10 mg.7 Dosis warfarin dipantau dengan waktu

protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi, terapi warfarin

direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain

perdarahan di otak, trauma, dan operasi (Jayanegara, 2016).

5. Rancanglah terapi obat yang akan diberikan kepada pasien (Lengkap dengan bentuk

sediaan, dosis, jadwal pemberian dan durasi pengobatan untuk masing-masing obat)!

Jawab:

No Obat Bentuk Dosis Jadwal Durasi


Sediaan Pemberian Pengobatan
1 Unfraktional Bolus Diberikan Tiap 6 jam 10 hari
Heparin (Intravena) dengan cara
bolus 80
IU/kgBB
intravena
dilanjutkan
dengan infus 18
IU/ kgBB/jam
(untuk
perhitungan di
keterangan
bawah)
2 Allopurinol Tablet 300 mg Pagi (1x sehari) -
3 Ezetimibe Tablet 10mg Malam (1x -
sehari)
SETELAH PULANG DARI RUMAH SAKIT
4 Dabigatran Kapsul 150mg 2 x sehari 3 bulan
(setelah terapi
unfractional
heparin)

Terapi yang diberikan adalah unfraktional heparin secara bolus dengan dosis

80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/ kgBB/jam, kemudian setiap 6

jam dicek APTT (Activated Partial Thromboplastin Time), dosis yang diberikan

selanjutnya :
 Perhhitungan dosis Heparin

BB pasien 65 kg (untuk BB di dapat dilihat pada data pasien).

Dosis awal: 80 x 65 kg = 5200 unit

Dosis heparin di pasaran ( inviclot)

25.000UI/5ml injeksi
5200
𝑥5 𝑚𝑙 = 1,04 𝑚𝑙~ 1 𝑚𝑙
25000

Ambil sediaan heparin 1ml melalui spuit, kemudian suntikan melalui

selang infuse pasien.

Dosis selanjutnya:

18 UI/ kgBB /tiap 6 Jam

18x 65 kg = 1.170 UI x 6 jam= 7020 UI

7020
𝑥 5 𝑚𝑙 = 1,404 𝑚𝑙~1,4 𝑚𝑙
25000

Pemberian melalui infuse

1. Lakukan pencampuran heparin dengan Nacl di ruang BSC

2. Ambil NaCl 500ml kemudian ambil heparin 1, 4ml terus masukan

dalam NaCl 500ml di dalam BSC.

Perhitungan pertetes IV

1,4 𝑚𝑙+500 𝑚𝑙 𝑋 20
1 = 27,855 𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 ~ 28 𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡.
360

 Untuk infuse yang digunakan adalah satu set infuse dengan ukuran jarum 18.
Terapi unfraktional heparin diberikan selama 10 hari, kemudian dilanjutkan terapi

jangka panjang dengan menggunakan dabigatran 150mg 2x sehari selama 3 bulan.

Terapi Allopurinol tetap dilanjutkan dengan dosis 300 mg 1 kali sehari dan Ezetimibe

10 mg 1 kali sehari

6. Rancanglah rencana monitoring terapi untuk pasien ini untuk memastikan efiktivitas

pengobatan dan keamanan penggunaan obat!

Jawab:

Monitoring efiktivitas pengobatan dan keamanan penggunaan obat:

a. Monitoring kadar asam urat dan kolesterol kadar asam urat normal pada pria: 2-

7,5 mg/dl, pada wanita: 2-6,5 mg/dl, dan kadar kolesterol normal < 200 mg/dl,

bila kadarnya masih tinggi, maka pengobatan tetap dilanjutkan.


b. Dilakukan monitoring terhadap tanda dan gejala DVT, apakah stabil atau

bertambah parah

Tanda dan gejala DVT stabil: tanda dan gejala DVT berkurang sampai hilang,

setelah 3 bulan pengobatan dengan antikoagulan dihentikan.

Tanda dan gejala DVT bertambah parah: terjadi recurrent DVT (tanda dan gejala

timbul lagi) walaupun sedang menjalani terapi antikoagulan:

 memonitoring kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, selain itu juga

dilakukan wawancara terhadap keluarga pasien, apakah pasien teratur

minum obatnya.

 Diidentifikasi kondisi klinik pasien, misalnya menderita kanker, sindrom

antifosfolipid, atau trombositopenia (Michael), pasein yeng menderita

tromboemboli vena dan kanker diterapi dengan low-molecular-weight

heparin (Nicholas).

c. Dilakukan monitoring terhadap pemeriksaan darah lengkap. hemoglobin,

hematokrit, dan tekanan darah: nilai hemoglobin turun hingga ≥ 2,0 g/dl, nilai

hematokrit naik hingga 45% pada wanita, kadar hematocrit yang tinggi dapat

menyebabkan recurrent (penyakit timbul lagi/berulang) karena dapat

meningkatkan kekentalan plasma darah dan reaktifitas platelet (hanya terjadi pada

wanita), tekanan darah < 100/90 mmHg.

d. Pasien diminta untuk mendeteksi apabila terjadi memar, muntah darah, adanya

darah di urin, buang air besar dengan feses berwarna hitam, bila timbul tanda-

tanda tersebut, maka segera hubungi dokter, bila ada perdarahan maka pemakaian

antikoagulan dihentikan dan bisa dipasang vena cava filter, yaitu suatu alat

berbentuk kerucut yang dipasang di inferior vena cava dibawah ginjal untuk
menangkap emboli dan gumpalan darah, vena cava filter segera dilepas apabila

antikoagulan sudah bisa digunakan lagi.

Pada pasien ini, setelah terapi unfraktional heparin di berikan dabigatran, bila

terjadi perdarahan:

 ringan  hentikan pemakaian, diberikan asam traneksamat untuk

menghentikan perdarahan.

 sedang  diberikan cairan intravena, transfuse darah, level dabigatran

dalam plasma diturunkan dengan cara diberikan arang hitam oral atau

hemodialisis.

 parah diberikan protombinex-VF 50 unit/kg IV, diikuti 3-4 x 300ml

unit FFP (fresh froen plasma).

7. Berikanlah edukasi kepada pasien untuk mengoptimalkan efek pengobatan dan

meminimalkan efek samping obat!

Jawab:

1. Memastikan pasien istirahat (bedrest), disertai dengan posisi kaki yang

ditinggikan saat berbaring atau menekuk dan meluruskan lutut 10 kali setiap 30

menit atau dengan menggunakan compression stocking.

2. Memastikan pasien patuh terhadap penggobatan yang diberikan

3. Memeriksa pasien setelah mengkonsumsi obat apakah terjadi efek samping berupa

Perdarahan seperti muntah darah, BAB berwarna hitam, memar di tempat suntikan

atau iritasi lokal, nyeri ringan, reaksi alergi, hematoma, Eritema pada obat

antikoagulan.
DAFTAR PUSTAKA

Jayanegara A. P., 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis, RSUD dr. Doris
Silvanus, IDI.

Scarvelis D. and Wells, P. S., 2006, Review:Diagnosis and Treatment of Deep Vein Trombosis,
CMAJ, Ottawa.

Tanto chris.frans liwang, sonia hanifan, eka adip pradipta. 2014. Kapita selekta kedokteran. Media
Aesculapitus. Jakarta.

Ramzi D. W., and Leeper K. V., 2004, DVT and Pulmonary Embolism: Part II Treanment and
Prevention, Emory University School of Medicine, Atlanta, Georgia.

Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., and Dipiro, C. V., Pharmacotherapy
HandbookNinth Edition, McGRAW-HILL Medical Publishing Division : New York.

Michael B. S., dkk, 2016, Guidance for the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary
embolism, Springer.

Nicholas J. G., dkk, 2011, Recurrent Venous Thromboembolism, Broadlawns Medical Center, Iowa.

You might also like