You are on page 1of 10

PERAN DAN POSISI

SUMBER DAYA MANUSIA


PEREMPUAN DAN LAKI–LAKI
DI DUNIA KERJA PERBANKAN
Tugas MK Pengembangan SDM

Hasnita (G152170271)
Urwawuska Ladini (G152170111)
Pantry Elastic (G551170111)
Shelen Luciana (G551170141)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia saat ini dihadapkan dengan masalah mengenai rendahnya tingkat komitmen
para karyawan terhadap organisasi mereka yang berisiko terhadap perusahaan-perusahaan
Indonesia kehilangan para karyawan kompeten mereka disebabkan oleh turnover sukarela
(voluntary turnover). Selain itu, jumlah ketersediaan karyawan yang qualified atau memenuhi
syarat untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka juga terbatas. Permasalahan ini merata
terjadi juga di industri perbankan, sehingga diperlukan pengelolaan turnover karyawan
supaya kinerja organisasional tidak terganggu.
Di Indonesia menganut budaya patriakal dan kolektivitas sehingga dapat mempengaruhi
posisi dan peran perempuan dan laki-laki dalam perusahan perbankan yang ada di Indonesia.
Selain itu, interaksi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan konflik di dunia kerja dan
keluarga sehingga mempengaruhi peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam
perusahaan.
Dalam sebuah berita online (Liputan6, 15 Februari 2017), menjelaskan bahwa perempuan
Asia Tenggara semakin mempunyai peran penting di Bank Sentral. Zeti Akhtar Aziz yang
menjadi gubernur bank sentral Malaysia selama 16 tahun banyak dipuji karena menunjukkan
suatu keistimewaan untuk keragaman gender dalam memegang posisi tertentu di bank sentral
terutama negara di Asia Tenggara. Terdapat dua belas bank sentral dipimpin oleh perempuan.
Di bank sentral Eropa, 27% posisi setara manajer dipegang oleh perempuan yang diitargetkan
sekitar 35% perempuan memegang posisi itu pada akhir 2019, sedangkan sepertiga posisi
manajer di bank sentral Australia dipegang perempuan, sedangkan otoritas moneter
Singapura tidak memiliki manajer perempuan, tetapi lebih dari setengah karyawannya adalah
perempuan.
Di tengah krisis kepercayaan dan persaingan yang semakin intensif di industri perbankan,
kemampuan bank dalam memberikan layanan menjadi kunci keberhasilan melalui kualitas
jasa yang tidak hanya dari sekedar nasabah, tetapi juga dari perspektif manajemen. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai peran dan posisi perempuan dan laki-
laki di dunia kerja perbankan.
2.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui peran dan posisi laki-laki dan perempuan
didalam perusahaan perbankan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Gender
Menurut Laporan Penelitian Kebijakan Bank, gender dapat diartikan sebagai peran serta
perilaku masyarakat melalui proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki. Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki dapat
ditafsirkan menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, hak-
hak, sumber daya, dan kuasa. Gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan
jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi.
Laki-laki dan perempuan mungkin juga berbeda dalam hal pengalaman konflik pekerjaan
dan keluarga. Masyarakat Indonesia masih cenderung mempersepsikan bahwa peran ideal
perempuan adalah di rumah, sedangkan peran ideal laki-laki adalah sebagai kepala keluarga
yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
2.2. Usia
Menurut banyak model karir, individu mungkin melihat karir mereka secara berbeda
tergantung pada dimana mereka berada pada tahapan karir terkait usia (Viega, 1983). Pada
tahap awal karir, para individu sering menginginkan atau mengorbankan kehidupan personal
mereka demi kepentingan kemajuan karir mereka (Gordon & Whelan-Berry, 2007). Tetapi,
selama para individu berkembang dalam usia pada tahapan kematangan karir mereka, mereka
menemukan untuk lebih besar menekankan pada keseimbangan antara kerja dan kehidupan
keluarga mereka ketika menilai karir mereka. Oleh karena itu, karena semakin besar prioritas
yang individu berikan untuk peran keluarga mereka dengan semakin bertambahnya usia,
kepuasan karir dari individu yang lebih tua kemungkinan menjadi semakin negatif
dipengaruhi oleh Konflik Pekerjaan-Keluarga (KPK) dibandingkan dengan para individu
yang lebih muda. Berdasarkan tahapan karir, semakin tua usia seorang karyawan maka akan
semakin sensitif terhadap konflik antara pekerjaan dan keluarga, dalam bentuk KPK maupun
Konflik Keluarga-Pekerjaan (KKP) yang dialaminya. Demikian juga dengan intensi keluar.
2.3. Status Pernikahan
Penelitian terdahulu menemukan bahwa pernikahan mengarahkan para individu untuk
memberikan prioritas kehidupan personal mereka lebih tinggi dibandingkan pada kehidupan
kerja mereka (Blau et al.,1998). Hal yang sama mungkin juga terjadi terkait dengan peran
sebagai orang tua, bahwa menjadi orang tua meningkatkan pentingnya para individu terhadap
peran keluarga mereka (Blau et al.1998), disebabkan oleh semakin besar prioritas yang para
individu berikan kepada peran keluarga mereka ketika mereka menikah dan/atau memiliki
anak, mereka mungkin lebih sensitif pada aktivitas-aktivitas pekerjaan yang membutuhkan
waktu dan energi yang menyebabkan peran kerja mereka mengganggu (spill over) peran
keluarga. Oleh karena itu, individu yang menikah diperkirakan memiliki tingkat konflik
pekerjaan dan keluarga yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum menikah.
Tingkat konflik pekerjaan dan keluarga yang dialami individu potensial menumbuhkan stres
dan ketidaknyamanan kerja. Intensi keluar mungkin juga meningkat. Individu yang menikah,
dengan demikian, memiliki intensi keluar lebih tinggi.
2.4. Konflik Pekerjaan-Keluarga
Konflik Pekerjaan-Keluarga (KPK) menunjukkan gangguan yang dipersepsikan
karyawan dari aktivitas-aktivitas yang terkait dengan kerja ke dalam pemenuhan
tanggungjawab keluarga (Netemeyer, Boles and McMurrian, 1996). Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh keterikatan atau kelekatan karyawan pada pekerjaan mereka. Para karyawan
yang terikat kuat dengan pekerjaan mungkin menghabiskan lebih banyak waktu dan energi
pada pekerjaan mereka, menghasilkan beban kerja berlebihan yang memunculkan stres kerja,
dengan akibat selanjutnya gangguan kerja terhadap kehidupan keluarga para karyawan.
2.5. Konflik Keluarga-Pekerjaan (KKP)
Konflik Keluarga-Pekerjaan (KKP) adalah konflik antar peran dimana tuntutan waktu
dicurahkan untuk/ dan ketegangan yang diciptakan oleh keluarga yang dipersepsikan oleh
para karyawan mengganggu tanggung jawab terkait pekerjaan (Gutek, Searle and Klepa,
1991; Hammer et al., 2005; Netemeyer, Boles and McMurrian, 1996). Keluarga mengganggu
pekerjaan mungkin terjadi sebagai hasil dari keterlibatan karyawan yang tinggi pada
kegiatan-kegiatan keluarga atau komunitas. Oleh karena itu, KKP mungkin dihasilkan dari
keterikatan karyawan yang tinggi pada keluarga.
Dalam konteks budaya kolektivis, pekerjaan merupakan sesuatu yang berpengaruh
penting pada keluarga (Hofstede, Hofstede & Minkov, 2010; Spector et al., 2007). Status
sosial sangat mungkin terbentuk karena keberhasilan seseorang di pekerjaan mereka. Oleh
karena itu, keterikatan seseorang pada pekerjaan mengindikasikan kesuksesan karir yang
harus terus diperjuangkan. Dengan demikian, KPK bisa dipersepsikan positif. Tingkat KPK
yang tinggi sangat mungkin justru dianggap positif. Sebaliknya, KKP bisa mengancam
kesuksesan karir seseorang dan oleh karenanya maka harus ditekan serendah mungkin.
2.6. Intensi Keluar
Intensi keluar mencakup intensi, keinginan dan rencara karyawan untuk meninggalkan
organisasi. Turnover sukarela merupakan tindakan yang diinisiasi oleh karyawan untuk
meninggalkan organisasi. Dapat diasumsikan bahwa meninggalkan organisasi secara sukarela
merupakan hasil dari proses pembuatan keputusan yang rasional. Para karyawan
mempertimbangkan intensi dan keinginan mereka untuk meninggalkan pekerjaan, dan
menemukan kesempatan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik sebelum turnover
sukarela terjadi. Para karyawan dengan tingkat intensi keluar yang tinggi akan lebih mungkin
untuk meninggalkan organisasi mereka dibanding dengan mereka dengan tingkat intensi
keluar yang rendah. Oleh karena itu, intensi keluar merupakan proxy yang valid untuk
merepresentasikan turnover sukarela (Pasewark and Viator, 2006; Price, 2004).
2.7. Gender, KPK, KKP, dan Intensi Keluar
Studi tentang gender di dalam organisasi telah menarik minat para peneliti. Misalnya,
Steers dan Rhodes (1978) dan Watson (1981) menemukan bahwa para karyawan perempuan
absen dari kerja lebih banyak daripada laki-laki. Penelitian oleh van der Velde (2003)
menunjukkan laki-laki memiliki komitmen organisasional lebih tinggi. Dalam kaitannya
dengan variabel intensi keluar, Russ and McNeilly (1995) memperlihatkan bahwa gender
memoderasi pengaruh komitmen organisasional pada intensi keluar. Sebaliknya, Rosin and
Korabik (1995) menyatakan tidak ada perbedaan dalam kontribusi gender terhadap intensi
untuk keluar. Griffeth, Hom and Gaertner (2000) mendukung penemuan bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki tingkat turnover yang sama.
Partisipasi perempuan di pekerjaan-pekerjaan yang dibayar semakin meningkat secara
signifikan. Tuntutan peran baru juga dialami oleh laki-laki di mana mereka menjadi lebih
terlibat dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan berbagi
pengalaman yang sama di banyak aspek kerja dan situasi keluarga.
2.8. Kualitas Perbankan
Berdasarakan perspektif manajemen, peran dan keterlibatan karyawan bank dalam
memberikan layanan sangat penting untuk mewujudkan layanan yang unggul. Pimpinan bank
juga dituntut dapat menyusun strategi pelayanan jasa yang bermutu bagi nasabahnya.
Penilaian atas kualitas jasa yang bersifat perseptual yang secara psikologis melibatkan proses
yang kompleks dan dipengaruhi faktor demografi yang berkaitan dengan gender akan
berdampak pada perilaku karyawan dalam memberikan jasa. Selain itu, diperlukan juga
sinkronisasi antara persepsi kualitas jasa oleh karyawan bank dengan nasabah bank supaya
tidak terjadi kesenjangan.
Persepsi terhadap kualitas jasa juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, sebab laki-laki dan
perempuan memiliki cara pandang dalam berpikir dan memahami suatu permasalahan yang
berbeda. Karakteristik yang berbeda antara pria dan wanita ini menyebabkan wanita
cenderung lebih peka dan perhatian dalam memberikan jasa.
Terdapat lima dimensi pokok yang dapat menjelaskan dalam mengevaluasi jasa adalah
sebagai berikut (Parasuraman, et al, 1988):
a. Bukti langsung: merupakan aspek perusahaan jasa yang mudah terlihat dan ditemui
nasabah, yaitu dalam wujud sarana dan prasarana, alat komunikasi dan tampilan
karyawan.
b. Keandalan: yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat dan memuaskan.
c. Daya tanggap: yaitu keinginan para karyawan untuk membantu para nasabah dan
memberikan pelayanan dengan tanggap.
d. Jaminan: mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya
yang dimiliki para karyawan, bebas dari bahaya, risiko atau keraguraguan.
e. Empati: meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para nasabah.
2.9. Posisi dan Peran Perempuan dan Laki-laki dalam Perbankan
Pada umumnya, di bank terbagi menjadi dua bidang jabatan, yaitu bidang operasional
(frontliner dan backoffice) dan bidang bisnis (marketing).
a. Frontliner
Frontliner terdiri dari Customer Service (CS) dan Teller. Namun saat ini Security
bank atau Satpam juga dimasukkan dalam kategori Frontliner karena mempunyai peran
dalam memberikan pelayanan langsung dan informasi produk kepada nasabah.
Secara garis besar tugas seorang Teller di bank adalah melayani transaksi keuangan
berupa penarikan, penyetoran dan Overbooking (pemindahbukuan dana antar rekening).
Teller dituntut harus memiliki ketelitian, ketahanan terhadap stress, serta cekatan.
Selama pelayanan tidak boleh ada kesalahan pembukuan, dan jika terjadi selisih di akhir
hari, teller kemungkinan harus menanggung risiko mengganti selisih kekurangan
tersebut. Oleh karena itu, biasanya teller diberi fasilitas tunjangan terbeku sejumlah
tertentu. Di beberapa bank, jenjang karir saat pertama kali masuk ke frontliner dimulai
dari menjadi Teller. Setelah jangka waktu tertentu baru dipindah ke bagian CS. Namun
ada juga bank yang menerapkan entry level di fronliner itu bisa langsung ke CS tanpa
harus menjadi Teller terlebih dahulu.
Secara garis besar tugas CS adalah melayani nasabah dalam hal memberikan
informasi produk, memproses pembukaan rekening, dan menangani keluhan nasabah.
Tantangan menjadi seorang CS lebih kompleks dibanding Teller, sebab sebagai pemberi
informasi awal, CS dituntut menguasai seluruh produk bank sampai detail, mampu
menjelasakan kepada nasabah dan mampu mengatasi permasalahan nasabah saat ada
keluhan produk (umumnya hanya produk simpanan saja misalnya tabungan, giro dan
deposito termasuk e-banking).
Pada posisi ini (frontliner) umumnya didominasi oleh kalangan perempuan, sebab
dalam posisi ini cenderung dituntut untuk karyawan memiliki ketelitian dan ketahanan
terhadap stres apabila dihadapkan dengan nasabah secara langsung yang sifatnya juga
beragam karakteristiknya, sehingga perempuan lebih mendominasi dalam posisi ini
karena perempuan cenderung lebih teliti, tidak gegabah, dan lebih penyabar.
b. Back office
Terdapat banyak posisi jabatan di back office sebuah bank yang umumnya bersifat
administratif. Ada yang langsung berhubungan/ melayani nasabah, ada pula yang tidak.
Misalnya: bagian kliring, petugas IT, bagian administrasi pinjaman, bagian rumah tangga
yang mengurusi ke-SDM-an serta logistik, bagian quality assurance (yang melakukan
penilaian terhadap kinerja layanan bank), dan lain-lain.
Pada posisi ini biasanya antara lelaki dan perempuan dalam posisi ini tidak
dibedakan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan bidang pekerjaan yang terkait.
c. Marketing
Jabatan marketing umumnya dibagi menjadi dua, yaitu pinjaman dan
simpanan. Jadi, ada bagian khusus yang mencari nasabah pinjaman alias menawarkan
kredit kepada nasabah, biasa disebut Account Officer (AO), ada pula bagian yang
mencari nasabah yang ingin menyimpan dana di bank, disebut Funding Officer (FO).
Beberapa bank menerapkan pemisahan antara bagian yang mencari nasabah (sales),
bagian analisa pinjaman, serta bagian colleting (penagihan). Namun ada pula yang
menerapkan sistem “Superman” yang dimulai dari marketingnya, analisanya hingga
penagihan setiap akhir bulan dibebankan hanya ke satu jabatan yaitu Account Officer.
Posisi marketing dianggap sebagai posisi paling bergengsi di sebuah cabang bank.
Karena mereka-mereka yang ada di sini merupakan ujung tombak laba perusahaan (tanpa
mengesampikan peran karyawan di bagian operasional tentunya).
Pada posisi ini pula peran laki-laki dan perempuan dibutuhkan, karena dalam
praktiknya, pekerjaan marketing bank lebih membutuhkan tenaga terlebih dalam mencari
target nasabah, sedangkan perempuan lebih cenderung persuasif dan mampu
mengidentifikasi kebutuhan calon nasabah.
2.10. Masalah yang dihadapi oleh Pegawai Perbankan terkait dengan KPK, KKP, dan
Intensi Keluar
Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenaik KPK dan KKP, bila dikaitkan dalam
kasus posisi dan peran perempuan dan laki-laki didalam dunia kerja perbankan, maka
dimungkinkan pula akan lebih banyak ditemui kasus terjadinya KPK dan KKP (bagi mereka
yang berstatus menikah). Bagi pegawai perempuan di perbankan, akan lebih rentan terhadap
masalah KKP, hal ini perempuan yang sudah menikah akan mempunyai keterikatan yang
tinggi pada keluarga karena perannya dalam keluarga. Berbeda dengan pegawai laki-laki
yang perannya lebih melekat pada pekerjaan mereka, mereka cenderung akan menghadapi
KPK, namun hal ini tidak selalu dipersepsikan negatif, karena status sosial dan keterikatan
mereka pada pekerjaan mengindikasikan kesuksesan karir yang harus terus diperjuangkan.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri pula adanya konflik yang mungkin terjadi akan berdampak
pula terhadap intensi keluar bagi perempuan. Oleh karena itu, diharapkan manajer bank dapat
membangun kebijakan-kebijakan dalam bidang sumberdaya manusianya yang merefleksikan
isu-isu demografik, seperti usia, jenis kelamin, dan status pernikahan dalam hubungannya
dengan konflik pekerjaan dan keluarga dan intensi keluar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Peran dan posisi perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja perbankan tidak terlalu
dibedakan, hanya saja, dalam kenyataannya, perempuan lebih mendominasi posisi dan
peran dalam pekerjaan di perbankan, karena perempuan cenderung lebih detail,
persuasif, dan lebih rapih dalam merealisasikan pencapaian target. Selain itu,
perempuan cenderung memiliki kepribadian yang tidak gegabah dalam mengambil
keputusan.
b. Namun, bila dikaitkan dengan status pernikahan, perempuan yang sudah menikah
akan lebih rentan menghadapi KKP karena perannya lebih melekat pada keluarga,
dibandingkan laki-laki.
3.2. Saran
a. Oleh karena itu, diharapkan manajer bank dapat membangun kebijakan-kebijakan
dalam bidang sumberdaya manusianya yang merefleksikan isu-isu demografik, seperti
usia, jenis kelamin, dan status pernikahan dalam hubungannya dengan konflik
pekerjaan dan keluarga dan intensi keluar.
DAFTAR PUSTAKA

Kismono, Gugup, Reni Rosari, dan John Suprihanto. 2013. Faktor-Faktor Demografik (Jenis
Kelamin, Usia, Status Pernikahan, Dukungan Domestik) Penentu Konflik Pekerjaan
dan Keluarga dan Intensi Keluar Karyawan: Studi pada Industri Perbankan Indonesia.
Siasat Bisnis, Vol.17, No.2, p.208-224.
Toar, Magdalena Francisca dan Tatik Suryani. 2011. Faktor-Faktor Penentu Kualitas Jasa
Perbankan (Kajian Dari Perspektif Gender dan Posisi Pekerjaan pada Karyawan Bank
Surabaya). Journal of Business and Banking, Vol. 1, No. 1, p.29 – 38.

You might also like