You are on page 1of 8

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad

ke-16 Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar
popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat
kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan
oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Kerajaan Sumedang Larang yang pusat wilayahnya berada di Kabupaten Sumedang, merupakan
Kerajaan yang berdiri dari sisa-sisa Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran.
Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Islam Kerajaan Sunda, setelah Pakuan jatuh ke
tangan Kesultanan Banten. Wilayah kerajaan ini meliputi Jawa Barat dan wilayah Banyumasanyang
tidak berada di bawah kekuasaan Banten dan Kesultanan Cirebon. Kerajaan ini berakhir saat
Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun, yang merupakan keturunan Harisbaya keturunan Mataram
dan Panembahan Ratu dari Cirebon) menyerahkan kerajaan pewaris trah Siliwangi, Sumedang
Larang kepada Kesultanan Mataram di tahun 1601.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu,
yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh
dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama
Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong
Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji
Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti
menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal
Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun
Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi
Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah
pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)[sunting | sunting sumber]


Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok
berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan
ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu
Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu
Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya
(patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian
kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke
Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga
sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat
kehausan dia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga dia dinyatakan kalah dan
harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri.
Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut
juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekadar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu
Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung
menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan
Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di
Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri,
menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran.
Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah
Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah
itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan
mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu
Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten
Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu
Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamelekaran,
Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya
yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah
masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah
Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri[sunting | sunting sumber]


Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang
Larang. Nyimas Setyasih (Ratu Pucuk Umum), anak dari Raja Tirtakusumah (raja Sumedang
Larang) yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi pangeran Soleh (Pangeran Santri)
(diperkirakan hidup pada tahun 1505-1579 M). Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji
tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya
dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang (bahasa Cirebon : Ki Gede
Sumedang) dengan gelar Kusumahdinata[3] keduanya memerintah kerajaan Sumedang Larang
bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Soleh (Pangeran
Santri) adalah Putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, cucu dari Syekh Maulana
Abdurahman (Sunan Panjunan atau Pangeran Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di
berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda, tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan
Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung
Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga
keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaransebelah timur (Galuh)[3]
Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal
dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang
dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :

1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)


2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk
agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Prabu Geusan Ulun[sunting | sunting sumber]


Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan
di Museum Prabu Geusan Ulunoleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaransebagai legitimasi untuk
meneruskan trah Siliwangi

Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja Kerajaan Sumedang
Larang yang terakhir
Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman
menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan
Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran
Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di
bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun
mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.
Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata
atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan
kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang
dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana
Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran
hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan
Keraton dia mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan
Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga
Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung
bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat
bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga
Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa,
Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar
Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja Palangka Sriman Sriwacana direbut oleh pasukan
Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota
tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali
(kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya
Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang
merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti
Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan
Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan
kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula
akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan dia pergi ke
Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya
(Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia
mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut
dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun
disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu
Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa
sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya
mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu,
Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya
sehingga hampir terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan
menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung
dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang
menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah
Cirebon. Karena peristiwa tersebut pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang
disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri
Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari
ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:

1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang


2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Pangeran Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan saat penggabungan dengan


Mataram[sunting | sunting sumber]
Dipati Rangga Gempol[sunting | sunting sumber]
Pada saat Prabu Suriadiwangsa (Rangga Gempol) memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M
Sumedang Larang bergabung dengan Mataram dalam rangka memerangi Belanda dan menyerang
Batavia, disepakai oleh keduanya bahwa hanya akan ada satu komando dalam upaya memerangi
Belanda di Batavia dan dipegang oleh Mataram sehingga untuk menunjang teraturnya rantai
komando maka wilayah Sumedang Larang statusnya kabupatian wedana (luas wilayah kerajaan
Sumedang Larang tidak berubah pada saat bergabung dengan Mataram dalam rangka
penyerangan ke Batavia). Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang
sebagai wilayah pertahanan dan persiapan penyerangan kepada Belanda. Sultan Agung kemudian
memberikan perintah kepada Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol) beserta pasukannya
untuk merebut Sampang di Madura dan berhasil tanpa jalan peperangan (hal tersebut dikarenakan
ibunya yang bernama Harisbaya adalah keturunan Madura) Sedangkan pemerintahan untuk
sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede[sunting | sunting sumber]


Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas
titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga
Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini
membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan
selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur[sunting | sunting sumber]


Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas
dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias
Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari
Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa
pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama
menyerang Batavia.
Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara
logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu
turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC
sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan
Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung
karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian
menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon
(putri Prabu Geusan Ulun) yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para
gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan
Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka
mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan
pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian
melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda
mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang
dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot
sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di
Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada
satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang
dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi
tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang
bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari
hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC.
Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.
Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang
merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena
mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak
kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh
Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk
menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh
Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi
Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan
Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian
ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan,
Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak
setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki
Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang
lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna
(putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh
Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar
keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati
Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur
pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di
wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih
memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian
banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan
masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai
sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa
Barat.[4][5][6]

Pembagian wilayah kerajaan[sunting | sunting sumber]


Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh
Mataram dibagi menjadi tiga bagian[7]:

 Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar


Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
 Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung
Wirangun-angun,
 Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar
Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II),
yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya[sunting | sunting sumber]


Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang
banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka
perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang
Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat
di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan
pemerintah daerah setempat.

You might also like