You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat. Anak yang sakit dapat
menimbulkan suatu stres bagi anak itu sendiri maupun keluarga (Setiawan et al,
2014).Penyakit dan hospitalisasi sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi
anak (Wong et al, 2009). Hospitalisasi akan menyebabkan anak mengalami trauma baik
jangka pendek ataupun jangka panjang (Hockenberry dan Wilson, 2007 dalam
Sulistiyani, 2009). Dampak negatif ini berkaitan dengan lamanya dan banyaknya jumlah
pasien, berbagai prosedur invasif, serta kecemasan orangtua, gejala yang timbul berupa
respon regresi, cemas terhadap perpisahan, apatis, ketakutan, gangguan tidur (Sulistiyani,
2009).
American Heart Association (AHA), menyatakan anak-anak sangat rentan
terhadap stress yang berhubungan dengan prosedur tindakan invasif. Pemasangan infus
tentu saja akan menimbulkan nyeri, rasa sakit pada anak, dan juga akan menimbulkan
trauma sehingga anak akan mengalami kecemasan dan stres. Anak-anak yang mendapat
perawatan di rumah sakit akan mengalami kecemasan. Tindakan yang dilakukan dalam
mengatasi masalah anak apapun bentuknya harus berlandaskan pada prinsip atraumatic
care atau asuhan yang terapeutik. Atraumatic care atau asuhan yang tidak menimbulkan
trauma pada anak dan keluarganya merupakan asuhan terapeutik karena bertujuan
sebagai terapi bagi anak. Lory Huff et al., (2009) menyatakan bahwa implementasi
atraumatic care pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat menurunkan trauma pada
anak dan orang tua akibat prosedur invasif. Alasan tersebut membuat perawat dituntut
untuk memberikan pelayanan perawatan yang berkualitas kepada anak maupun orang tua
dengan pelaksanaan atraumatic care sehingga dapat meminimalkan kecemasan pada anak
saat hospitalisasi.
Tindakan seseorang dalam melakukan sesuatu sangatlah dipengaruhi oleh
pengetahuan yang dimilikinya, oleh karena itu, dalam rangka memberikan asuhan
keperawatan yang optimal, maka penting bagi perawat anak untuk mengetahui tentang
prinsip atraumatic care dalam memberikan perawatan anak selama hospitalisasi, dengan
rneminimalkan stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan keluarganya dalam

1
sistem pelayanan kesehatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah makalah adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Atraumatic Care?
2. Bagaimana prinsip-prinsip Atraumatic Care?
3. Apa tujuan penerapan prinsip Atraumatic Care?
4. Bagaimana hambatan perawat anak dalam pelaksanaan Atraumatic Care?
5. Apa saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Atraumatic Care Di
Rumah Sakit
6. Bagaimana intervensi keperawatan Atraumatic Care?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah adalah sebagai berikut :
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti apa itu Atraumatic Care.
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti prinsip-prinsip Atraumatic Care.
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti tujuan dari penerapan prinsip
Atraumatic Care.
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti hambatan perawat anak dalam
pelaksanaan Atraumatic Care.
5. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Atraumatic Care Di Rumah Sakit
6. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengerti intervensi keperawatan Atraumatic
Care.

2
BAB II
PEMBAHSAN

A. Definisi
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga
kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan tindakan yang
dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami anak maupun
orang tua (Supartini, 2014).
Menurut Hidayat (2005), atraumatik care adalah perawatan yang tidak
menimbulkan adanya trauma pada anak maupun keluarga. Perawatan tersebut difokuskan
dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak.
Perhatian khusus kepada anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang,
sangat penting karena masa anak merupakan proses menuju kematangan.
Dengan demikian, atraumatik care sebagai bentuk perawatan terapeutik dapat
diberikan kepada anak dan keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan
keperawatan yang diberikan seperti memperhatikan dampak tindakan yang diberikan
dengan melihat prosedur tindakan atau aspek lain yang kemungkinan berdampak adanya
trauma (Hidayat, 2005).
Menurut (Whaley and Wong 1995) dalam Wong (2005) atraumatic care
merupakan sebagai ketetapan dan kepedulian dari tim pelayanan kesehatan melalui
intervensi yang meminimalkan atau meniadakan stressor yang dialami oleh anak dan
keluarga di rumah sakit baik fisik maupun psikis. Perawatan atraumatik juga disebut
dengan perawatan yang terapeutik yang meliputi pada pencegahan trauma, hasil
diagnosa, dan mengurangi dampak kondisi-kondisi yang akut maupun kronis. Dan
Wiggins (1994) dalam (Wong, 2005) mengungkapkan bahwa stresor lingkungan yang
sering dialami oleh anak adalah lingkungan rumah sakit yang tidak nyaman bagi mereka
yang mengakibatkatkan anak stress selam dirawat dirumah sakit.

3
B. Prinsip Perawatan Atraumatik pada Anak
Pada umumnya anak yang dirawat di rumah sakit akan timbul rasa takut baik pada
dokter maupun perawat, apalagi jika anak telah mempunyai pengalaman mendapatkan
imunisasi. Dalam bayangannya, perawat atau dokter akan menyakiti dan menyuntik.
Selain itu anak juga merasa terganggu hubungannya dengan orang tua dan saudaranya.
Lingkungan di rumah tentu berbeda bentuk dan suasananya dengan ruang perawatan.
Reaksi pertama selain ketakutan, tidak mau makan dan minum bahkan menangis. Untuk
mengatasi masalah tersebut adalah memberikan perawatan atraumatik.
Ada beberapa prinsip perawatan atraumatik yang harus dimiliki oleh perawat anak
(Hidayat, 2005) yaitu:
1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga.
Dampak perpisahan dari keluarga, anak akan mengalami gangguan psikologis seperti
kecemasan, ketakutan, kurangmya kasih sayang, gangguan ini akan menghambat
proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
anak. Bila anak dirawat di rumah sakit dan selama itu tidak boleh berhubungan
dengan orang tuanya, maka ia akan merasa ditolak oleh keluarga dan mengakibatkan
anak cendrung emosi saat kembali pada keluarganya. Pada umumnya anak bereaksi
negatif waktu pulang ke rumah (Mc.Ghie, 1996) dalam Juli (2008). Selama anak
mengalami hospitalisasi, keluarga memainkan peran bersifat dukungan moril seperti
kasih sayang, perhatian, rasa aman, dan dukungan materil berupa usaha keluarga
untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Jika dukungan tersebut tidak ada,
maka keberhasilan untuk penyembuhan sangat berkurang. Untuk mencegah atau
meminimalkan dampak perpisahan dari keluarga dapat dilakukan dengan cara
melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan
mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in), jika tidak mungkin
untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan
maksud mempertahankan kontak antar mereka dan mempertahankan kontak dengan
kegiatan sekolah, diantaranya dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman
sekolah dan lain-lain (Supartini, 2004).

4
2. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak.
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu dalam
kehidupannya. Anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
selalu bersikap waspada dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap kemampuan dan
keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak. Dan fokuskan intervensi
keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara memberi
kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua.
3. Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan
anak. Proses pengurangan rasa nyeri tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi
dapat dikurangi melalui berbagai teknik misalnya, distraksi, relaksasi, imaginary.
Apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan
berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Untuk meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa
nyeri dilakukan dengan cara mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk
tindakan prosedur yang mnimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang
akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua. Lakukan
permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya dengan
bercerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada
anak. Aktivitas bermain dilakukan perawat pada anak akan memberikan keuntungan
seperti meningkatkan hubungan antara klien (anak dan keluarga dan perawat karena
bermain merupakan alat komunikasi yang efektif antara perawat dan klien, aktivitas
bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak, dan bisa
mengekspresikan perasaan anak. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada
saat dilakukan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak
dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan
pada anak dan orang tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping
anak. Tunjukkan sikap empati sabagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan. Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan

5
persiapan khusus jauh hari sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya, dengan
mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan dan lain-lain.
4. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Secara umum kekerasan didefenisikan sebagai sutu tindakan yang dilakukan oleh
individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan psikis.
Kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau individu pada
mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan
psikis terganggu (Sugiarno, 2007).
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti
dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh
kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan akan terhambat, dengan
demikian tindakan kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan
memperberat kondisi anak seperti melakukan tindakan keperawatan yang berulang-
ulang (dalam pemasangan IVFD).
5. Modifikasi lingkungan fisik.
Melalui modifikasi lingkungan fisik rumah sakit yang bernuansa anak dapat
meningkatkan keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga
anak selalu berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya. Modifikasi ruang
perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah dan Ruangan
tersebut memerlukan dekorasi yang penuh dengan nuansa anak, seperti adanya
gambar dinding berupa gambar binatang, bunga, tirai dan sprei serta sarung bantal
yang berwarna dan bercorak binatang atau bunga, cat dinding yang berwarna, serta
tangga yang pegangannya berwarna ceria.
Wong (2005) mengungkapkan ada 3 prinsip perawatan atraumatik yang harus
dimiliki oleh tim kesehatan dalam merawat pasien anak yaitu diantaranya adalah
mencegah atau meiminimalkan stressor fisik dan psikis yang meliputi prosedur yang
menyakitkan seperti suntikan, kegelisahan, ketidakberdayaan, tidur yang tidak
nyaman, pengekangan, suara bising, bau yang tidak sedap dan lain-lain, mencegah
dampak perpisahan orang tua dan anggota keluarga yang lain, bersikap empati kepada
keluarga dan anak yang sedang dirawat serta memberikan pendidikan kesehatan
tentang kondisi sakit yang dialami anak.

6
C. Tujuan Penerapan Prinsip Atraumatic Care Pada Anak
1. Meminimalkan dampak hospitalisasi
2. Mencegah/meminimalkan perpisahan anak dengan orang tua/keluarga
3. Optimalisasi asuhan anak sesuai tingkat tumbuh kembang anak
4. Memfasilitasi tumbuh kembang anak
D. Hambatan Perawat Anak Dalam Pelaksanaan Atraumatic Care
1. Perbedaan Persepsi Orang Tua Atau Keluarga Dengan Perawat.
Dalam pelaksanaan atraumatic care, perawat anak memiliki hambatan yang
dikarenakan oleh perbedaan persepsi orang tua atau keluarga. Hasil penelitian
Yagil, luria, Admi, Eilon, dan Linn (2010) menyatakan bahwa perbedaan
persepsi dikarenakan kurangnya kepekaan perawat terhadap harapan dan
kebutuhan dari keluarga. Selain itu, pentingnya negosiasi antara orang tua
dengan perawat untuk menghindari tindakan keperawatan yang dilakukan oleh
orang tua (Aein, Alhani, Mohammadi, dan Kazemnejad, 2009).
Orang tua akan memiliki persepsi yang sama ketika perawat mampu menjelaskan
prosedur tindakan dengan tepat, dan keluarga dapat menerimanya (Hamilton,
Lerner, Presson, dan Klitzner, 2012). Selain itu perawat harus mampu berperan
sebagai komunikator dengan orang tua sehingga tidak terjadi miskomunikasi dan
perbedaan persepsi.
2. Keterbatasan Fasilitas Rumah Sakit
Keterbatasan fasilitas rumah sakit menjadi hambatan karena, Rumah Sakit
terkhusus ruang anak harus menyediakan ruang tindakan khusus untuk
pengendalian infeksi saat melakukan tindakan invasif (Rose & Blythe, 2009).
Selain itu, harus mempunyai ruang bermain khusus untuk mensejahterakan anak
baik mental maupun fisik. Menurut Masson, Elfving, Petersson ,Wahl, dan
Tuneli (2013) mendatangkan badut ke Rumah Sakit juga mempunyai dampak
positif bagi anak-anak, karena badut dapat mengalihkan perhatian mereka.
Tetapi, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lucas, Bulbul, Thabet, &
Anumba (2013) yang menyatakan bahwa rumah sakit seharusnya memiliki
fasilitas yang lebih efisien dan efektif untuk mendukung kegiatan manajemen
fasilitas di lingkungan kesehatan yang memiliki tujuan untuk mengurangi infeksi

7
nosokomial. Hal tersebut bertolak belakang dengan konsep ruang bermain yang
bersifat tidak efisien dan efektif seperti ruangan yang penuh dengan mainan
ataupun gambar-gambar yang ditempel di dinding yang dapat menyebabkan
infeksi.
3. Kurangnya Dukungan Orang Tua Dan Keluarga
Kurangnya dukungan keluarga menjadi hambatan hal tersebut dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan yang rendah. Perawat memerlukan dukungan dari keluarga
untuk memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas (Coyne, O’neill, Murphy,
Costello & O’shea, 2011). Dukungan orang tua dan keluarga memiliki dampak
positif bagi perawat maupun anak, sehingga perawat mampu melakukan tindakan
atraumatic care dengan baik dan membuat anak merasa nyaman, dan sejahtera.
4. Kurangnya Pengalaman Kerja Perawat
Kurangnya pengalaman kerja perawat menjadi hambatan dalam pelaksanaan
atraumatic care dikarenakan, minimnya pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki berpengaruh pada kualitas pelayanan yang diberikan (Halcomb,
Salamonson, Raymond & Knox, 2011). Hal tesebut selaras dengan penelitian yang
dilakukan oleh Numminen, Meretoja, Isoaho, Kilpi (2012) yang menyatakan bahwa
dalam memberikan asuhan keperawatan perawat juga harus memiliki kompetensi
dan kualitas pelayanan yang profesioanal yang juga dipengaruhi oleh pengalaman
dan masa kerja perawat. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sodeify, Vanaki, & Mohammadi (2013) yang menyatakan bahwa pengalaman kerja
perawat tidak berpengaruh terhadap pelayanan dan tindakan yang diberikan tetapi,
faktor internal perawat sendiri misalnya, persepsi dan komitmen akan pekerjaannya.
Selain itu, perawat baru luluspun dapat memberikan pelayanan dan kualitas yang
baik. Sebab perawat yang baru lulus masih memiliki ilmu yang baru dan dapat
mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan keperawatan (Barrere & Durkin,
2014).
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Atraumatic Care Di Rumah Sakit
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawat dalam melaksanakan atraumatic
care di rumah sakit. Notoadmodjo (2010) menyatakan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit, yaitu faktor internal dan

8
faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang menjadi
rasional untuk seseorang berperilaku terdiri dari persepsi, pengetahuan, keyakinan,
keinginan, motivasi, niat, dan sikap.
1) Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Sebelum seseorang
mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat
perilaku tersebut. Perawat akan melaksanakan atraumatic care apabila ia tahu
apa definisi, tujuan, manfaat, prinsip dan intervensi atraumatic care tersebu.
2) Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap
seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut. Sikap juga merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap
objek.
Secara lebih sederhana sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum
untuk berespon atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek
atau orang disertai emosi positif atau negatif. Sikap membutuhkan penilaian,
ada penilaian positif, negatif atau netral tanpa reaksi afektif apapun.Sikap positif
merupakan sikap yang menunjukkan atau mempertahankan, menerima,
mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana
individu itu berada. Sikap negatif merupakan sikap yang menunjukkan,

9
memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang
berlaku dimana individu itu berada.

b. Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang mendukung
seseorang untuk bertindak (berperilaku) atau mencapai tujuan yang diinginkan,
seperti pengalaman, fasilitas, dan sosiobudaya (Notoadmodjo, 2010). Fasilitas atau
sarana di rumah sakit sangat diperlukan untuk mewujudkan sikap perawat agar
menjadi tindakan, seperti tersedianya ruang bermain atau alat-alat permainan untuk
melakukan intervensi bermain pada anak, tersedianya tirai bergambar bunga atau
binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau fauna, papan nama
pasien bergambar lucu, dan tersedianya pakaian berwarna warni untuk perawat di
ruang anak (Supartini, 2014).
F. Intervensi Keperawatan Atraumatic Care
a. Fokus Intervensi Keperawatan :
- Meminimalkan stressor
- Memaksimalkan manfaat hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada
anggota keluarga
- Mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit
b. Intervensi Keperawatan
1. Upaya meminimalkan stresor atau penyebab stress. Dapat dilakukan dengan
cara :
- Cegah atau mengurangi dampak perpisahan
- Cegah perasaan kehilangan control
- Kurangi / minimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri
2. Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan
- Libatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
- Modifikasi ruang perawatan
- Pertahankan kontak dengan kegiatan sekolah seperti surat menyurat, bertemu
teman sekolah
3. Mencegah perasaan kehilangan kontrol:

10
- Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif.
- Bila anak diisolasi lakukan modifikasi lingkungan
- Buat jadwal untuk prosedur terapi,latihan,bermain
- Beri kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam
perencanaan kegiatan
4. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri
- Persiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri
- Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak
- Hadirkan orang tua bila memungkinkan
- Tunjukkan sikap empati
- Pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang
dilakukan melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian tentang
kemampuan psikologis anak menerima informasi ini dengan terbuka.
5. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak
- Bantu perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang tua untuk
belajar .
- Beri kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak.
- Tingkatkan kemampuan kontrol diri.
- Beri kesempatan untuk sosialisasi.
- Beri support kepada anggota keluarga.
6. Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit
- Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak.
- Orientasikan situasi rumah sakit.
Pada hari pertama lakukan tindakan :
1) Kenalkan perawat dan dokter yang merawatnya
2) Kenalkan pada pasien yang lain.
3) Berikan identitas pada anak.
4) Jelaskan aturan rumah sakit.
5) Laksanakan pengkajian .
6) Lakukan pemeriksaan fisik.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga
kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan tindakan yang
dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami anak maupun
orang tua (Supartini, 2014).
Atraumatik care adalah perawatan yang tidak menimbulkan adanya trauma
pada anak maupun keluarga. Perawatan tersebut difokuskan dalam pencegahan
terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak. Perhatian khusus
kepada anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang, sangat penting
karena masa anak merupakan proses menuju kematangan.
Tujuan Penerapan Prinsip Atraumatic Care Pada Anak
1. Meminimalkan dampak hospitalisasi
2. Mencegah/meminimalkan perpisahan anak dengan orang tua/keluarga
3. Optimalisasi asuhan anak sesuai tingkat tumbuh kembang anak
4. Memfasilitasi tumbuh kembang anak

B. Saran
Untuk kedepannya kiranya perawat mampu melakukan tindakan Atraumatic care
dalam bentuk perawatan terapeutik dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui
penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis
yang dialami anak maupun orang tua

12
DAFTAR PUSTAKA

Lilis Magfuroh. 2016. Atraumatic Care Menurunkan Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak
Prasekolah Di Ruang Anggrek Rsu Dr. Soegiri Lamongan.Lamongan. Vol.8, No.1.

Ramadini Marniaty de Breving. 2015. Pengaruh Penerapan Atraumatic Care Terhadap


Respon Kecemasan Anak Yang Mengalami Hospitalisasi Di Rsu Pancaran Kasih Gmim
Manado Dan Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado : eJournal Keperawatan. Vol.3,
No.2.
Liya Apriani, Kasmirah, Natalia R. Yulianti. Hambatan Perawat Anak Dalam
Pelaksanaan Atraumatic Care Di Rumah Sakit Di Kota Salatig. Jurnal Keperawatan Anak .
Volume 2, No. 2, November 2014; 65-71

13

You might also like