You are on page 1of 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen

adalah penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang

lalu. Kata lepra merupakan bahasa dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya

mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.1

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terjadi pada kulit,

saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah

Mycobacteriumleprae yang merawat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009

telah ditemukan penyebabnya yaitu Mycobacterium lepramatosis2. Kusta bukan

penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular ini

pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan

manifestasi klinis yang luas. Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan

mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah

satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta

pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,

saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.3

Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan

diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi DrugTreatment (MDT)

mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat,

tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat,

risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan

1
2

deformitas masih bisa terjadi seperti gejala paru paru atau mutilasi jari. Keadaan

itu yang muncul timbul stigma terhadap penyakit kusta.3

Pada akhir tahun 2015, program WHO adalah untuk mengurangi minimal

sebanyak 35% kasus kusta baru di seluruh dunia. Hal ini dengan memberlakukan

kegiatan untuk mengurangi keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit dan

menjalankan pengobatan dengan terapi multidrug.4 Mengingat kompleksnya

masalah penyakit kusta maka diperlukan program pengendalian melalui strategi

yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta, serta pengetahuan lebih dalam

tentang tata cara pengobatan penyakit kusta sehingga tujuan tersebut dapat dicapai

secara maksimal.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kusta atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan

penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf

perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian

atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2

2.2 Sinonim

Sinonim dari kusta adalah Morbus Hansen, leprosy, Hansen’s Diseases,

Hanseniasis.2

2.3 Epidemiologi

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel

rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapatkan di urin. Di Indonesia

penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan kurang lebih 11,39 %,

tetapi anak di bawah 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di

bawah 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta

kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.2
4

Tabel 2.1 Situasi Kusta di wilayah WHO-SEARO pada tahun 20111

Negara Jumlah kasus baru Jumlah kasus kusta

yang ditemukan terdaftar (prevalensi)

awal tahun 2012

Bangladesh 3.970 3.300

Bhutan 23 29

Korea Utara Data tidak tersedia Data tidak tersedia

India 127.295 83.187

Indonesia 20.023 23.169

Maladewa 14 2

Myanmar 3.082 2.735

Nepal 3.184 2.410

Sri Lanka 2.178 1.565

Thailand 280 678

Timor Leste 83 72

Total 160.132 117.147

Kusta terdapat dimana-mana terutama Asia, Afrika, Amerika latin, daerah

tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomi rendah. Makin rendah
5

sosial ekonomi makin berat penyakitnya sebaliknya sosial ekonomi yang tinggi

sangat membantu penyembuhan.2 Di Indonesia sendiri, pasien kusta tersebar di

seluruh daerah, namun paling banyak tersebar di Jawa Timur dimana terdapat

banyak kantong kusta di provinsi ini.

Gambar 2.1 Kasus Baru Kusta Tahun 2013 di Berbagai Provinsi3


Sumber: Pusat Data dan Informasi, 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2013: Kusta, Kementrian
Kesehatan RI.
2.4 Etiologi

Semua kasus kusta baik pada manusia ataupun pada binatang disebabkan

oleh organisme yang sama yaitu Mycobacterium leprae. Kuman ini pertama kali

ditemuka oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Nowegia, yang sampai sekarang

belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial.4Mycobacterium leprae

berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alcohol serta

gram-positif.2,5Biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup

dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Manusia adalah reservoir

pertama dari Mycobacterium leprae, sedangkan binatang yang dapat menjadi

reservoir lepra ditemukan pada 3 spesies yaitu armadillos, simpanse, dan

mangabey monkey.6
6

Gambar 2.2
Mycobacterium leprae
Sumber : Lockwood, DNJ., 2013, Leprosy, In : Rook’s Textbook of Dermatology, 9th ed., Wiley
Blackwell, United Kingdom, pp. 28.6

2.5 Patofisiologi

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu

ditakuti. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:2

1. Penyebab

Penyebab penyakit kusta yaitu M. leprae yang mempunyai afinitas yang

besar pada sel schwan dan sel sistem retikuloendotelia. Pada kondisi

tropis kuman kusta dari dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari di

luar tubuh manusia2.

2. Sumber Penularan

Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup di hewan armadilo, simpanse dan

pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athimic

nude mouse)2.
7

3. Cara Keluar dari Penjamu (host)

Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Suatu

kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak mendapat

regimen WHO menunjukkan jumlah kuman yang besar2.

4. Cara Penularan

Penularan terjadi apabila basil M. leprae yang utuh keluar dari tubuh

penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan

terjadi melalui kontak yang lama dengan penderita kusta, akan tetapi

penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi

sumber penularan kepada orang lain2.

5. Cara Masuk ke dalam Penjamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penjamu belum diketahui

secara pasti sampai saat ini. Diperkirakan cara masuknya melalui

pernafasan bagian atas dan kulit yang tidak utuh2.

6. Penjamu (tuan rumah = host)

Hanya sedikit orang yang terinfeksi kuman kusta setelah kontak dengan

penderita karena adanya imunitas2.

Patogenesis yang menyebabkan kerusakan jaringan disebabkan oleh empat

prinsip yang menyebabkan kerusakan jaringan5.

1. Derajat ekspresi CMI (cell mediated immunity) Lepromatous leprosi

terjadi karena kegagalan CMI spesifik melawan M. leprae yang

mengakibatkan multifikasi bakteri, penyebaran dan akumulasi bakteri dari

antigen serta menyerang jaringan lunak. Ketidakaktifan dari lymphocite


8

dan macrofage menandakan bahwa kerusakan jaringan saraf perifer lambat

dan memiliki onset yang gradual. Sedangkan pada tuberkuloid leprosy,

CMI berekspresi dengan kuat, sehingga infeksi terbatas pada sebagian

bagian kulit dan persarafan perifer. Infiltrasi limfosit yang cepat

menyebabkan kerusakan saraf. Antara kedua bentuk tipe terletak bentuk

batas penyakit, yang mencerminkan keseimbangan antara CMI dan

bakteri5.

2. Tingkat luasnya infeksi dan multifikasi bakteri. Pada lepromatous leprosi,

penyebaran secara hematogen telah terjadi. Basil menyebar mulai dari

lokasi superfisial, termasuk mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas,

testis, otot- otot halus, tulang pada tangan, kaki dan wajah, dan juga

persarafan perifer dan kulit. Pada tuberkuloid leprosy, multifikasi basil

terbatas penyebarannya pada wilayah yang tidak luas dan basil tidak dapat

dengan mudah ditemukan5.

3. Kerusakan jaringan yang diakibatkan proses imunologis : reaksi kusta

Pada pasien dengan tipe borderline (BT,BB,BL) imunologis pasien tidak

stabil dan beresiko terjadinya respon reaksi imunomediasi. Pada reaksi

type 1 terjadi penundaan reaksi hipersensitifitas yang disebabkan oleh

meningkatnya paparan dari antigen M. leprae pada kulit dan jaringan

persarafan. Pada reaksi type 2, erithema nodusum leprosum tejadi karena

adanya imun komplek deposisi dan sering terjadi pada pasien type BL dan

LL yang memproduksi antibodi dan memiliki antigen yang kuat.5

4. Kerusakan persarafan dan komplikasinya. Kerusakan persarafan terjadi

pada lesi kulit, serabut saraf sensorik dan otonom yang mensuplai dermal
9

serta subkutan mengalami kerusakan. Kerusakan pada persarafan ini akan

mengakibatkan kehilangan sensasi sensorik dan hilangnya ekskresi

keringat pada area lesi. Ujung saraf perifer rentan karena letak mereka di

superfisial ataupun pada fibro-osseus tunnel. Karena hal ini, peningkatan

diameter dari persarafan akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra

neural. Akibatnya akan terjadi kompresi neural yang mengakibatkan

iskemik. Kerusakan pada persarafan perifer akan memberikan tanda-tanda

hilangnya rasa sensoris berdasarkan dermatom dan hilangnya fungsi

motorik yang dipersarafi oleh persarafan yang rusak tersebut.

Buktifisiologisketerlibatan sarafotonompusat dan periferjuga

telahdilaporkan.5

Kerusakan persarafan menyebabkan timbulnya anastesia, kelemahan otot dan

kontraktur serta disfungsi autonomik. Hal ini akan memudahkan terjadinya

trauma, terbentur, luka, terbakar, terpotong, yang akhirnya akan menjadi nekrosis

jaringan karena trauma yang terjadi terus-menerus yang akan menjadi ulserasi,

secondary selulitis, dan osteomielitis serta hilangnya jaringan lunak pada akhirnya

akan berakhir pada kecacatan4.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta

tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag

sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah kuman di fagosit, makrofag

akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang

bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan
10

terjadi rekasi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf

dan jaringan sekitarnya4.

Sel schawn merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping

itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinasi dan hanya sedikit fungsinya

sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann,

kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf

berkurang dan terjadi kerusakan yang progesif6.

2.6 Klasifikasi

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis, imunologi. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang

terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling

sedikit 15 – 30 menit, sedangkan histopatologik 10 – 14 hari. Kalau

memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk membantu

penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan

tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai5.

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi

Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi menurut WHO1.

Tabel 2.2 Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi1

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA

Ridley & jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)


11

Puskesmas Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Pasien secara gejala klinisnya diklasifikasikan menjadi dua kelompok untuk

tujuan pengobatan. Pasien dengan pausibasilar memiliki sedikit atau bahkan tidak

ditemukan bakteri pada lesinya, biasanya 3-5 lesi atau lebih sedikit (untuk tujuan

pengobatan, temuan basil tahan asam mengklasifikasikan pasien dalam

pausibasilar Hansen)6.

Pasien dengan multibasilar didapatkan multipel, lesi simetris, dan pada

biopsi dan smear di dapatkan adanya bakteri tahan asam. Kekebalan seluler (cell

mediated immunity = CMI) tiap individu akan menentukan penyakit Hansen yang

di alami penderita. Jika respon CMI terhadap M. leprae kuat, maka jumlah

organisme akan sedikit (tipe pausibasilar), dan sebaliknya jika respon ini tidak

memadai, maka jumlah organisme akan banyak (multibasilar)6.

Tabel 2.3 Spektrum hubungan antara host-parasite di penyakit Morbus Hansen1


Resistensi tinggi Resistensi tidak stabil Tidak
resisten
Tuberkuloid Borderline Borderline Borderline Lepromatous
(TT) Tuberkuloid (BB) Lepromatous (LL)
(BT) (BL)
Lesi 1-3 Sedikit Sedikit Banyak Banyak dan
atau simetris
beberapa,
asimetris
Smear 0 1+ 2+ 3+ 4+
basil
Tes 3+ 2+ + + 0
lepromin

Histologi Sel epiteloid berkurang Meningkatkan hiatiocytes, foam cell,


Kerusakan saraf, sarcoid granuloma, seperti xanthoma
seperti granulom
12

Jika penyakit kulit tidak tampak, gejala klinis yang mungkin muncul

adalah patch hipopigmentasi tunggal, mungkin dengan anestesi ringan. Ini disebut

kusta indeterminate, karena perjalanan penyakit yang tidak dapat diprediksi pada

tahap ini. Lesi dapat hilang secara spontan atau dapat berlanjut ke bentuk lain dari

penyakit Hansen6.

Spektrum kusta memiliki dua tipe yang stabil, yaitu tuberkuloid dan

lepromatosa. Bentuk-bentuk tipe tersebut tidak dapat berubah, pasien tetap dalam

satu bentuk atau bentuk lain sepanjang perjalanan penyakit. Tuberkuloid atau

yang disebut TT, memiliki kekebalan seluler CMI yang tinggi, ditandai dengan

lesi yang kurang dari lima (sering hanya satu) dan organisme yang ditemukan

sangat sedikit (pausibasilar). Pasien memiliki imunitas seluler yang kuat terhadap

organisme. Dalam sejarah banyak pasien kusta TT sembuh secara spontan selama

beberapa tahun. Bentuk lepromatosa disebut juga LL memiliki CMI yang sangat

terbatas terhadap organisme, lesi sangat banyak, dan banyak ditemukan organisme

(multibasilar)4.

Diantara tipe lepromatus dan tuberkuloid terdapat berbagai tipe. Kasus

yang dekat dengan tipe tuberkuloid disebut borderline tuberkuloid (BT), kasus

yang dekat dengan tipe lepromatous yangdisebut lepromatous borderline (BL),

dan kasus yang berada di tengah-tengahdisebut borderline (BB). Tipe Borderline

adalah karakteristik yang labil, dan dalam perjalanan waktu tipe TT menuju LL,

disebut sebagai proses downgrading.5 Morbus Hansen bisa hanya menyerang saraf
13

saja. Di Nepal dan India, Morbus Hansen yang murni menyerang saraf ditemukan

sebesar 5% dari semua kasus baru Morbus Hansen.

Tabel 2.4 Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995).1

PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(macula datar, - Hipopigmentasi - Distribusi
papul yang - Distribusi tidak lebih simetris
meninggi, simetris - Hilangnya
nous) - Hilangnya sensasi sensasi
yang jelas kurang jelas
2. Kerusakan - Hanya satu cabang - Banyak
saraf saraf cabang saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelem
ahan otot yang
dipersarafi
oleh saraf
yang terkena

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.

Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley &

Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan

ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,

BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati

dengan rejimen MDT-MB1.

2.6 Lepromin Tes pada Kusta

Tes lepromin merupakan tes prognostic yang sangat membantu dalam

mengklasifikasikan tipe kusta.7 Selain itu tes ini juga menilai adanya CMI.8 Tes

lepromin tidak dapat digunakan untuk diagnostic karena sering menunjukkan hasil
14

positif palsu atau positif pada sebagian besar orang normal. Ada 2 jenis antigen

yang tersedia: yang pertama adalah mitsuda lepromin, merupakan suatu suspensi

jaringan yang diperoleh dari armadillo yang terinfeksi kemudian diautoklaf

(Lepromin A); dan Dharmendra Lepromin, yaitu suspense kloroform-eter yang

diekstraksi oleh M. leprae (basil difraksikan dengan komponen protein terlarut).7

Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan intradermal kuman M. leprae yang

sudah diautoklaf (lepromin A) 0,1 mL di lengan atas, kemudian hasilnya dibaca

dalam 48-72 jam (reaksi Fernandez) dan 3-4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi

Fernandez menandakan adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-tipe

hypersensitivity) dan reaksi Mitsuda menandakan adanya CMI. Tes Mitsuda

dikatakan positif jika muncul indurasi atau nodul eritem ≥4mm.8 Reaksi

Fernandez dan reaksi Mitsuda merupakan manifestasi dari respon CMI terhadap

antigen yang masuk.7

Tabel 2.5 Interpretasi Lepromin Test 7


Sumber: Nagar, R., et al, 2006, Intradermal Test in Dermatology-I: Test for Infectious
Disease, Vol. 72/Issue 6, pp. 462-463
15

BAB 3

KESIMPULAN

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra

tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun

penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil

organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari

(reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif

bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)

pada tuberkolosis. Kedua reaksi tersebut merupakan manifestasi dari respon CMI

terhadap antigen yang masuk. Apabila nilai dari tes lepromin ini semakin besar

maka semakin memiliki kekebalan seluler CMI yang tinggi, ditandai dengan lesi

yang kurang dari lima (sering hanya satu) dan organisme yang ditemukan sangat

sedikit (pausibasilar). Pasien memiliki imunitas seluler yang kuat terhadap

organisme, oleh sebab itu biasanya pasien sembuh secara spontan selama

beberapa tahun. Sebaliknya, jika nilai tes lepromin ini rendah berarti memiliki

CMI yang sangat terbatas terhadap organisme, lesi sangat banyak, dan banyak

ditemukan organisme (multibasilar) secara otomatis prognosis nya lebih buruk

disbanding dengan nilai tes leprominnya tinggi.


16

DAFTAR PUSTAKA

1. I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwuh Menaldi, 2015,

Kusta, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 87-101.

2. Wolff Klaus dan Johnson Allen Richard. 2013. Fitzpatrick’s Color

Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology Seventh Edition. Boston.

P 594-574.

3. Pusat Data dan Informasi, 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2013:

Kusta, Kementrian Kesehatan RI.

4. James, William D., et.al ,2016, chapter 17 : Hansen’s Disease, In :

Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology,12th, p : 379-389.

5. Lockwood, DNJ., 2013, Leprosy, In : Rook’s Textbook of

Dermatology, 9th ed., Wiley Blackwell, United Kingdom, pp. 803-

820.

6. Rea, Thomas H, Robert L.2012. Leprosy In: Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine Ed 8. USA: Mc. Graw Hill

Medical. Page : 2289-2298.

7. Nagar, R., et al, 2006, Intradermal Test in Dermatology-I: Test for

Infectious Disease, Vol. 72/Issue 6, pp. 462-463

8. Ilona, SE., Mulianto, N., 2017, Pure Neural Leprosy, CDK-254/ vol.

44 no. 7, pp. 483-486

You might also like