You are on page 1of 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas dari penyakit infeksi (PDPI, 2011 dan Reed et al.,

2013). Kasus baru TB dalam tiga tahun terakhir, rata-rata terdapat 8,8 juta

dan 1,4 juta meninggal karena TB setiap tahunnya. Penurunan kasus terjadi

secara lambat, yaitu rata-rata 1,5% per tahun sejak 2000 hingga 2013. Hal ini

menyebabkan target penurunan insiden dan kematian karena TB pada tahun

2035 tampaknya masih jauh (WHO, 2012; WHO, 2013; WHO, 2014; Huynh

et al., 2015).

WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang

dikenal dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)

pada awal tahun 1990-an. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan

penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB yang

menular. Resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015

ditetapkan pada sidang WHO ke 67 tahun 2014 yang bertujuan untuk

menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 (Kemenkes RI, 2014).

Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbanyak kedua di dunia

pada tahun 2014. Negara dengan insiden kasus TB terbanyak adalah India,

Indonesia, dan Cina (WHO, 2015).


Penderita TB paru BTA positif adalah sumber penularan utama. Penderita

TB paru BTA negatif juga memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB

dengan tingkat penularan yang lebih rendah (Kemenkes RI, 2014).

Prevalensi TB di Indonesia rata-rata 400/100.000 penduduk. Proporsi

penderita baru BTA positif di antara semua kasus TB pada tahun 2013 adalah

60%. Angka minimal yang diharapkan adalah 65%. Ini menunjukkan mutu

diagnosis yang masih rendah dan kurang memberikan prioritas untuk

menemukan penderita yang menular (Kemenkes RI, 2014).

Penderita TB akan menjalani pengobatan fase intensif dan fase lanjutan.

Hasil pemeriksaan bakteriologi pada akhir fase intensif diharapkan

menunjukkan BTA negatif (konversi). Angka minimal yang harus dicapai

adalah 80% (Kemenkes RI, 2014 dan Behnaz et al., 2015). Penderita TB

sebagian besar mengalami konversi sputum, akan tetapi terjadi kegagalan

pada beberapa penderita (Anyim et al., 2014). Proporsi penderita TB dengan

kegagalan konversi sputum berdasarkan data epidemiologi dapat lebih dari

20% (3.3 – 25.3%) dan mereka berpotensi untuk menularkan kepada orang

lain (Mota et al., 2012).

Prevalensi TB di Sumatera Barat adalah 200/100.000 penduduk.

Prevalensi TB di Kota Padang adalah 235/100.000 penduduk. Perkiraan

penderita TB paru BTA positif di Kota Padang 16/1.000 penduduk.

Penemuan penderita TB paru BTA positif tahun 2013 belum mencapai target,

yaitu 907 kasus (64,6%) dari 1.402 BTA positif yang diperkirakan. Target

yang seharusnya tercapai adalah 90%. Angka konversi sampai dengan

triwulan III tahun 2013 adalah 88,5%. Angka konversi ini sudah mencapai

2
target nasional, namun masih merupakan masalah karena penemuan kasus

baru TB paru BTA positif masih rendah sehingga risiko penularan masih

cukup tinggi dan menyebabkan prevalensi TB paru masih cukup tinggi

(Kemenkes RI, 2014 dan Dinkes Kota Padang, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, angka kejadian TB masih tinggi sehinnga

penulis tertarik untuk membina keluarga yang menderita penyakit TB.

1.2 Tujuan Kegiatan

1. Mengetahui masalah kesehatan pada keluarga binaan secara keseluruhan.

2. Melakukan intervensi terhadap masalah kesehatan pada keluarga binaan.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan penyebab utama morbiditas

dan mortalitas dari penyakit infeksi (PDPI, 2011 dan Reed et al., 2013).

2.2 Epidemiologi

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2011

dilaporkan terdapat 8,7 juta kasus baru TB dimana 1,4 juta meninggal karena TB.

Pada tahun 2012, dilaporkan terdapat 8,6 juta kasus baru TB dimana 1,3 juta

orang meninggal (320.000 meninggal dengan HIV positif). Pada tahun 2013,

dilaporkan 9 juta kasus baru TB (126 kasus per 100.000 populasi) dan 1,5 juta

meninggal karena TB (WHO, 2012; WHO, 2013; WHO, 2014).

Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbanyak kedua di dunia pada

tahun 2014. Negara dengan insiden kasus TB terbanyak pada tahun 2014 adalah

India, Indonesia, dan Cina. Rincian jumlah kasus masing-masing adalah 23%,

10%, dan 10% dari total kasus secara global (WHO, 2015).

Prevalensi TB di Indonesia rata-rata 400/100.000 penduduk. Proporsi

penderita baru BTA positif di antara semua kasus TB pada tahun 2013 adalah

60% (Kemenkes RI, 2014).

4
Prevalensi TB di Sumatera Barat adalah 200/100.000 penduduk. Perkiraan

penderita TB paru BTA positif di Kota Padang 16/1.000 penduduk. Penemuan

penderita TB paru BTA positif tahun 2013 belum mencapai target, yaitu 907

kasus (64,6%) dari 1.402 BTA positif yang diperkirakan (Kemenkes RI, 2014

dan Dinkes Kota Padang, 2014).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium, yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini merupakan penyebab TB pada manusia

pada sebagian besar kasus. Manusia merupakan satu-satunya reservoir M.

Tuberculosis ini. Dua mikobakterium lainnya, yaitu Mycobacterium bovis dan

Mycobacterium africanum, pada beberapa kasus dapat menyebabkan TB.

(Sokolove dan Derlet, 2014).

Faktor risiko untuk terjadinya tuberkulosis dibagi atas tiga, yaitu:

1. Faktor individu (host)

a. Usia

Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB. Anak-anak

hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak dengan usia antara

lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap infeksi TB. Di negara

berkembang sebagian besar kasus terjadi antara usia 15 dan 59 tahun (Thwaites,

2014).

b. Jenis kelamin

5
Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa lebih banyak terjadi pada anak

laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi penyebab pasti belum diketahui, apakah

disebabkan karena perbedaan gen terkait atau faktor gaya hidup seperti merokok, atau

kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan (Thwaites, 2014).

c. Daya tahan tubuh

Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif. Faktor lain

yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol, penggunaan

narkoba suntik, merokok, diabetes melitus, orang-orang dengan terapi kortikosteroid,

gastrektomi, dan stadium akhir penyakit ginjal (Kemenkes RI, 2014 dan Thwaites,

2014).

2. Faktor kuman (agent)

Konsentrasi kuman yang terhirup dan lamanya waktu kontak seseorang dengan

sumber penularan mempengaruhi kejadian tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014).

3. Faktor lingkungan (environment)

Ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah berhubungan dengan

kejadian tuberkulosis. Lingkungan yang dilaporkan dengan angka penularan yang

tinggi, yaitu rumah tahanan, panti jompo, penampungan tuna wisma, dan rumah sakit

(Thwaites, 2014).

6
Gambar 2.1 Faktor Risiko Kejadian TB
Sumber: Kemenkes RI, 2011

2.4 Cara Penularan

Sumber penularan utama adalah penderita TB BTA positif. Penderita TB

dengan hasil pemeriksaan BTA negatif juga mengandung kuman dalam

dahaknya. Jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji pada dahak BTA

negatif ≤ 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan

mikroskopis langsung. Tingkat penularan penderita TB BTA positif adalah 65%,

penderita TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan

penderita TB BTA negatif dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif

adalah 17%. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/ percik renik). Sekali batuk

dapat menghasilkan tiga ribu percikan dahak. Infeksi akan terjadi apabila orang

lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius

tersebut (Kemenkes RI, 2014).

2.5 Patogenesis dan Patologi TB Paru

7
2.5.1 Patogenesis

Kuman M. tuberkulosis masuk melalui saluran pernapasan, saluran

pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB terjadi

melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang megandung kuman-kuman

basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Standridge,

2006).

Pada tuberkulosis paru penularan terjadi melalui kuman yang dibatukkan atau

dibersinkan keluar mejadi droplet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap

dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar

ultraviolet, ventilasi, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman

dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Partikel infeksi ini bila terisap

oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Bila

ukuran partikel kurang dari 5 (2-5) mikrometer, partikel ini dapat masuk ke

alveolar (Amin dan Bahar, 2014).

Kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis

nonspesifik sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Pada sebagian

kasus lainnya, tidak semua kuman TB dapat dihancurkan. Pada individu yang

tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit

kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang

tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan

akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di

tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer (primary focus) Ghon

(Respirologi PP IDAI, 2008).

8
Kuman TB menyebar melalui saluran limfe dari fokus primer menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan

antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer

(primary complex). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks

primer ini selanjutnya dapat menjadi:

1. Sembuh tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi

di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10

% di antaranya dapat terjadi reaktivasi karena kuman yang dormant.

3. Berkomplikasi dan menyebar secara:

a. Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.

b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.

Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke

usus.

c. Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya.

d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

(Respirologi PP IDAI, 2008; Amin dan Bahar, 2014).

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis

pasca primer. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di

regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah

9
ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Ini terjadi karena

imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS,

gagal ginjal (Amin dan Bahar, 2014).

2.5.2 Patologi

Pada tuberkulosis terdapat dua kelainan patologi yang terjadi, yaitu:

1. Tipe eksudatif

Terdiri atas reaksi peradangan akut, dengan edema, sel-sel leukosit

polimorfonuklear, dan monosit di sekitar basil tuberkulosis. Tipe ini terutama terlihat

dalam jaringan paru-paru sehingga menyerupai pneumonia bakteri. Tipe ini dapat

sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat diabsorpsi atau dapat berkembang

menjadi nekrosis yang luas pada jaringan atau dapat berkembang menjadi lesi tipe

kedua (produktif). Selama fase eksudatif ini tes tuberkulin positif.

2. Tipe produktif

Bila berkembang maksimal, lesi yang berupa granuloma kronis ini akan terdiri atas

tiga zona, yaitu:

a. Zona sentral dengan sel raksasa berinti banyak yang mengandung basil

tuberkulosis.

b. Zona tengah yang terdiri atas sel-sel epitel yang tersusun secara radial.

c. Zona luar yang terdiri atas fibroblas, limfosit, dan monosit

Zona luar akan berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami

perkijuan. Kelainan seperti ini disebut tuberkel. Tuberkel yang berkiju dapat

10
pecah ke dalam bronkus dan menjadi kaverna. Kesembuhan dapat terjadi melalui

proses fibrosis atau perkapuran (Utji dan Harun, 2010).

2.6 Klasifikasi Tuberkulosis

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan:

1. Berdasarkan letak anatomi penyakit

a. Tuberkulosis paru

Merupakan kasus TB yang mengenai jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk

pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis milier

diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru.

b. TB ekstraparu

Merupakan kasus TB yang mengenai organ tubuh lain selain paru seperti

pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar lymfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

(Kemenkes RI, 2013).

2. Berdasarkan hasil pemerikasaan dahak atau bakteriologi

a. Tuberkulosis paru BTA positif, apabila:

- Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak

menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality

external assurance (EQA). Sebaiknya satu dari pemeriksaan dahak tersebut

berasal dari dahak pagi hari.

- Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat

EQA, maka TB paru BTA positif adalah:

11
 Dua atau lebih pemeriksaan dahak BTA positif, atau

 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil

pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang ditetapkan

oleh klinisi, atau

 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.

tuberculosis positif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila:

- Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif.

 Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium

yang memenuhi syarat EQA.

 Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA

negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan

prevalensi HIV > 1% atau penderita TB dengan kehamilan ≥ 5%.

Atau

- Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang belum

memiliki fasilitas kultur M. tuberculosis, memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu

di bawah ini:

 Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV,

atau

 Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalensi

HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian

12
antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek

anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida).

c. Kasus bekas TB

- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran

radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam

2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT

adekuat akan lebih mendukung.

- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi (PDPI, 2011).

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat

atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji

kepekaan OAT.

Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

a. Penderita baru TB

Merupakan penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan.

Penderita dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi

penyakit di manapun (PDPI, 2011).

b. Penderita yang pernah diobati TB

13
Merupakan penderita yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan

atau lebih (≥ dari 28 dosis). Penderita ini selanjutnya diklasifikasikan

berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:

- Penderita kambuh: adalah penderita TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau

karena reinfeksi).

- Penderita yang diobati kembali setelah gagal: adalah penderita TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

- Penderita yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):

adalah penderita yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up

(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan penderita setelah putus

berobat/ default).

- Lain-lain: adalah penderita TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Penderita yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

4. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan penderita di sini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

a. Mono resistant (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama

saja.

b. Poli resistant (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini

pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

14
c. Multi drug resistant (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.

d. Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga

resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah

satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan

Amikasin).

e. Resistant Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip

(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

(Kemenkes RI, 2014).

5. Status HIV

Status HIV penderita merupakan hal penting untuk keputusan pengobatan (PDPI,

2011).

2.7 Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya (PDPI,

2011).

15
2.7.1 Gejala Klinis

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Gejala lokal

Gejala lokal sesuai dengan organ yang terlibat, bila organ yang terkena adalah

paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik. Gejala respiratorik berupa:

a. Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih

b. Batuk darah

Merupakan keadaan lanjut karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

c. Sesak napas

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya

sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

d. Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu penderita menarik/

melepaskan napasnya (PDPI, 2011 dan Amin, 2014).

2. Gejala sistemik

Gejala sistemik berupa:

a. Anoreksia

b. Penurunan berat badan

c. Lelah

d. Demam

Demam biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Kadang demam dapat

mencapai 40-41℃.

16
e. Pengeluaran keringat di malam hari

(Bickley, 2009; Amin dan Bahar, 2014).

2.7.2 Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan awal terhadap keadaan umum penderita dapat ditemukan:

1. Suhu tubuh yang tinggi (> 38,5 °C)

2. Denyut nadi meningkat

3. Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia

4. Badan kurus atau berat badan menurun

(Department Health Republic of South Africa, 2014; Amin dan Bahar, 2014).

Kelainan paru yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan

paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama pada daerah apeks

dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Bila dicurigai adanya

infiltrat yang luas, maka didapatkan:

1. Perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial

2. Suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring

3. Bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular

melemah.

4. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau

timpani dan auskultasi memberika suara amforik

(PDPI, 2011; Amin dan Bahar, 2014).

Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan:

1. Atrofi dan retraksi otot-otot interkostal

17
2. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau bagian paru

lainnya, paru yang sehat menjadi hiperinflasi

3. Bila jaringan fibrotik lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi

pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri

pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal

jantung kanan. Didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan

seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop,

murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang

meningkat, hepatomegali, asites, dan edema

(Amin dan Bahar, 2014).

Tuberkulosis yang mengenai pleura, kelainan pemeriksaan fisis tergantung

dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau

pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada

sisi yang terdapat cairan (PDPI, 2011).

2.7.3 Pemeriksaan Bakteriologi

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB (BTA) pada pemeriksaan bakteriologi. Program TB nasional

menetapkan bahwa penemuan BTA melalui pemeriksaan bakteriologi merupakan

diagnosis utama. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari

dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage), urin, feses, dan jaringan biopsi

(PDPI, 2011).

18
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan

mengumpulkan 3 spesimen dahak. Spesimen dahak ini dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan berupa:

1. S (sewaktu): pada saat kunjungan pertama.

2. P (pagi): keesokan harinya pada pagi hari segera setelah bangun tidur.

3. S (sewaktu): pada saat mengantarkan dahak pagi.

(Kemenkes RI, 2011).

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat

dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan. Pemeriksaan mikroskopis ada

dua cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis biasa dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen

dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin.

Ini merupakan reagen pewarnaan tahan asam (Sacher, 2004). Interpretasi

pemeriksaan mikroskopis menurut rekomendasi WHO dibaca dengan skala

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+).

4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).

5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

(PDPI, 2011).

Pemeriksaan biakan dan identifikasi M.tuberkulosis bertujuan untuk mengetahui

apakah penderita yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang diberikan.

19
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan

tes resistensi dapat dilakukan pada kondisi:

a. Penderita TB yang masuk dalam tipe penderita kronis.

b. Penderita TB ekstraparu dan penderita TB anak.

c. Petugas kesehatan yang menangani penderita dengan kekebalan ganda.

(Kemenkes RI, 2011).

2.7.4 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu

foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat

memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform) (PDPI, 2011).

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas

atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian

inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (Amin dan Bahar, 2014).

Pembagian kelainan pada tuberkulosis yang dilihat pada foto toraks, yaitu:

a. Berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah atau sedang dengan

batas tidak tegas. Ini menunjukkan proses aktif.

b. Lubang (kavitas); menunjukkan proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat

kecil, yang dinamakan lubang sisa (residual cavity).

c. Garis-garis fibrotik atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi) yang biasanya

menunjukkan bahwa proses telah tenang.

(Rasad, 2009).

20
Berikut alur diagnosis TB paru:

21
Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru
Sumber: PDPI, 2014

2.8 Penatalaksanaan TB Paru

Tujuan tatalaksana dari TB adalah menyembuhkan penderita, mencegah

kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya, mencegah

kekambuhan, mengurangi trasmisi atau penularan kepada yang lain, dan

mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya (PDPI, 2011).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip:

1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal

empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

2. Diberikan dalam dosis yang tepat.

3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan

Obat) sampai selesai pengobatan.

4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal

serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap ini penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung utuk mencegah terjadinya resistensi obat. Pengobatan tahap awal pada

semua penderita baru, harus diberikan selama dua bulan. Bila pengobatan tahap

intensif ini diberikan secara tepat dan tanpa penyulit, biasanya penderita menjadi

22
tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif

menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes

RI, 2014).

Paduan OAT KDT tahap awal untuk kategori satu adalah 2HRZE, yaitu lama

pengobatan dua bulan dan masing-masing Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,

Etambutol diminum setiap hari. Paduan OAT KDT tahap awal untuk kategori dua

adalah 2HRZES/ HRZE, yaitu lama pengobatan tiga bulan. Rifampisin, Isoniazid,

Pirazinamid, Etambutol diminum setiap hari ditambah dengan injeksi Streptomisin

selama dua bulan pertama. Dan dilanjutkan dengan Rifampisin, Isoniazid,

Pirazinamid, Etambutol diminum setiap hari dalam satu bulan berikutnya

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

2. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh

sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga

penderita dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI,

2011; Kemenkes RI, 2014).

Paduan OAT KDT tahap lanjutan untuk kategori satu adalah 4H3R3, yaitu

lama pengobatan empat bulan, masing-masing Isoniazid dan Rifampisin diminum

tiga kali seminggu. Paduan OAT KDT tahap lanjutan untuk kategori dua adalah

5H3R3E3, yaitu lama pengobatan lima bulan, masing-masing Isoniazid,

Rifampisin, dan Etambutol diminum tiga kali seminggu (Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik, 2005).

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah:

23
1. OAT Lini Pertama

Tabel 2.1 OAT Lini Pertama


Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
(H) gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
(R) urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
(Z) fungsi hati, gout artritis
Streptomisin Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan
(S) keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
(E) neuritis perifer
Sumber: Kemenkes RI, 2014
2. OAT Lini Kedua

a. Kanamisin

b. Kapreomisin

c. Amikasin

d. Kuinolon

e. Sikloserin

f. Etionamid/ Protionamid

g. Para-Amino Salisilat (PAS)

24
h. Obat-obatan yang efikasinya belum jelas (Makrolid, amoksisilin + asam

klavulanat, linezolid, clofazimin).

Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB

multidrug resistant (MDR) (PDPI, 2011). Paduan OAT kombinasi dosis tetap

(KDT) lini pertama dan peruntukannya:

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk penderita baru:

a. Penderita baru TB paru BTA positif.

b. Penderita TB paru BTA negatif foto toraks positif.

c. Penderita TB ekstra paru.

Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 x seminggu selama 16
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: Kemenkes RI, 2014

2. Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk penderita BTA positif yang pernah diobati

sebelumnya:

a. Penderita kambuh.

25
b. Penderita gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.

c. Penderita yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

Tabel 2.3 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Tiap hari 3x seminggu
Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin inj.
≥ 71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000 mg + 5 tab Etambutol
Streptomisin inj.
Sumber: Kemenkes RI, 2014

Evaluasi pengobatan TB berdasarkan standar ISTC nomor 10, dilakukan

dengan pemeriksaan mikroskopis sputum pada akhir fase intensif (bulan kedua).

Jika hasil pemeriksaan sputum masih positif maka dilakukan pemeriksaan lagi

tiga bulan kemudian. Jika masih positif, dianjurkan untuk melakukan kultur dan

uji resistensi obat (TB Care I Organizations, 2014).

26
2.9.Rencana pembinaan kesehatan

Melalui pendekatan komprehensif dan holistik

 Preventif :

- Jangan buang dahak sembarangan bila batuk, dahak sebaiknya

langsung dibuang ke lubang WC dan segera disiram.

- Menutup mulut ketika batuk atau bersin, jika menutup mulut

denga tisu maka tisu bekas dibuang ketempat sampah.

- Meningkatkan daya tahan tubuh dengan diet seimbang dan

olahraga teratur 2-3x/ minggu selama 30 menit.

- Menggunakan alat-alat makan seperti sendok, garpu, dan gelas

yang telah dibersihkan untuk menghindari penularan dalam satu

keluarga. Tidak menggunakan peralatan yang telah digunakan

penderita sebelum dicuci bersih kembali.

- Menjaga sirkulasi udara tetap lancar serta menjaga pencahayaan

rumah tetap baik. Antara lain dengan membuka jendela supaya

aliran udara lebih lancar.

- Istirahat cukup dengan tidur sekurangnya 6 jam sehari.

- Menganjurkan kepada anggota keluarga yang lain untuk turut serta

memeriksakan diri untuk deteksi dini.

- Menjaga kesehatan dan kebersihan diri dengan menerapkan

perilaku bersih dan sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dengan

sabun, menggunakan jamban sehat, berolahraga setiap hari, dan

tidak merokok di dalam rumah.

27
- Menggunakan masker setiap berkontak dengan anak-anak atau

anggota keluarga lain.

 Promotif :

- Memberikan pengertian dan pengetahuan pada pasien maupun

keluarga mengenai penyakitnya bahwa penyakit ini merupakan

penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri.

- Memberikan edukasi pada pasien bahwa penyakitnya menular

melalui droplet dahak sehingga pasien harus berhati-hati saat akan

membuang dahak atau batuk dan penggunaan masker.

- Mengedukasi pasien bahwa pengobatan yang dilakukan tidak

boleh terputus demi kesembuhan pasien.

- Mengedukasi pasien bahwa penting untuk melakukan evaluasi

pengobatan untuk memantau keberhasilan pengobatan.

- Mengedukasi pasien mengenai komplikasi yang mungkin terjadi

jika pasien tidak berobat, seperti efusi pleura.

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pentingnya control

secara teratur, menambah obat TB dan minum obat secara teratur

(pengobatan yang rutin), serta menjelaskan dan mengedukasi

kepada pasien jangka waktu pengobatan yang lama 6 bulan) yang

membutuhkan kesabaran dalam berobat dan tetap meneruskan

minum obat sampai 6 bulan walaupun gejala sudah berkurang.

28
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga (PMO) tentang efek

samping obat yang mungkin dapat timbul selama pengobatan.

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang pentingnya

melakukan tes mantoux kepada anak-anak yang tinggal serumah

dengan pasien, dan memberikan INH profilaks bila tes mantoux

nya (-).

- Menyarankan kepada keluarga yang tinggal serumah dengan

pasien (untuk dewasa), dan belum terinfeksi TB untuk menjaga

daya tahan tubuh dengan istirahat cukup, makan makanan bergizi,

dan olahraga secara teratur.

- Menjelaskan kepada pasien pentingnya pemberantasan TB,

sehingga jika ada keluarga atau tetangga yang batuk > 2 minggu

agar memeriksakan diri ke dokter, Puskesmas atau Rumah Sakit

 Rehabilitatif

o Kontrol teratur ke pelayanan kesehatan dan rutin minum obat yang

didapat tersebut.

o Jika ada gejala seperti batuk darah segera kunjungi pusat pelayanan

kesehatan.

o Jika ada gejala efek samping obat seperti kulit dan selaput lendir

menguning, atau gangguan telinga, ataupun penglihatan, segera datang

ke puskesmas atau rumah sakit.

29
2.10. Efek Samping Obat

Tabel 2.5. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya

2.11 Hasil Pengobatan

Definisi kasus hasil pengobatan.10

a. Sembuh: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap dengan hasil pemeriksaan sputum negatif pada akhir

pengobatan dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.Pada rontgen

toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ ada

perbaikan.5

30
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatan

secara lengkap tetapi tidak atau belum memiliki hasil pemeriksaan

sputum atau kultur pada akhir pengobatan.

c. Gagal pengobatan: pasien yang hasil pemeriksaan sputumya (BTA

atau kultur) positif pada bulan kelima atau lebih dalam masa

pengobatan.

d. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan dengan

penyebab apapun.

e. Putus berobat: pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut-

turut atau lebih

f. Pindah: pasien pindah berobat ke unit yang berbeda (pencatatan dan

pelaporan) dan hasil akhir pengobatan belum diketahui.

g. Pengobatan sukses / berhasil: jumlah pasien yang sembuh

ditambahpengobatan lengkap.

2.12 Komplikasi10

Pada pasien tuberculosis dapat terjadi beberapa komplikasi baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang akan timbul adalah:

1. Batuk darah

2. Pneumotoraks

3. Luluh paru (destroyed lung)

4. Gagal nafas

31
5. Gagal jantung

6. Efusi pleura

32
BAB 3

KELUARGA BINAAN

Nama Kepala Keluarga : Yasril

Alamat : Bunda 3, Ulak Karang Utara

3.1. Data Demografi Keluarga

Tabel 1. Anggota keluarga yang tinggal serumah

No Nama Kedudukan Gender Umur Pendidikan Pekerjaan


dalam (thn)
keluarga

1 Yasril Ayah Laki-laki 57 SD Nelayan

2 Yulaini Ibu Perempuan 54 SMP Pedagang

3 Yudi Anak Laki-laki 30 SMA Karyawan


Rama swasta

4 M. Anak Laki-laki 16 SMP Pelajar


Lutfi
5 Angga Keponakan Laki-laki 8 SD Pelajar

33
3.2. Genogram

34
3.3. Eco-map

Fungsi
dalam
keluarga

Resiko
Pembinaan
internal
kesehatan
keluarga

Keluarga

Masalah
Sarana
kesehatan
kesehatan
keluarga

Lingkunan
keluarga

SCREEM
FAMILY LIFELINE

3.4. Fungsi-Fungsi dalam Keluarga

Tabel 2. Fungsi-fungsi dalam keluarga

Fungsi Keluarga Penilaian Kesimpulan


Biologis: Untuk permasalahan Dalam penilaian
Adalah sikap dan kesehatan dalam fungsi
perilaku keluarga keluarga, keluarga biologis pada
selama ini dalam binaan menyikapinya keluarga ini,
menghadapi risiko dengan berobat ke Keluarga belum
masalah biologis, bidan praktek swasta, mengetahui masalah
pencegahan, cara dan ke Puskesmas air biologis keluarganya
mengatasinya dan Tawar. Untuk kasus dengan baik,
beradaptasi dengan TB, pasien rutin sehingga keluarga
masalah biologis mengambil obat di juga tidak tau
(masalah fisik Rumah Sakit Yos bagaimana dampak
jasmaniah) Sudarso.. yang akan
ditimbulkan
setelahnya.

35
Psikologis:
Adalah sikap dan Sikap dan Keluarga tidak
perilaku keluarga perilaku keluarga mampu membangun
selama ini dalam dalam hubungan antar
membangun membangun anggota keluarga,
hubungan psikologis hubungan memelihara
internal antar psikologis antar kepuasan anggota
anggota keluarga. anggota keluarga keluarga, dan cara
Termasuk dalam hal kurang baik. Hal menyelesaikan
memelihara ini terlihat dari masalah dan
kepuasan psikologis rasa acuh tak acuh pengambilan
seluruh anggota istri terhadap keputusan dalam
keluarga dan penyakit dan keluarga seolah tidak
manajemen keluarga ketidak teraturan diputuskan
dalam mengahadapi suami meminum berdasarkan cinta
masalah psikologis obat. dan kasih sayang.
.
Sosial: Dalam fungsi sosial Dalam komuikasi
Adalah sikap dan didapatkan: dan
perilaku keluarga  Keluarga kurang hubungan sosial
selama ini dalam sadar akan pentingnya dengan
mempersiapkan pendidikan untuk anak- tetangga sekitar
anggota keluarga anak dan masih ada dapat dinilai baik dan
untuk terjun ke usaha untuk keluarga dapat
tengah masyarakat. menyekolahkan anak- mempersiapkan
Termasuk di anaknya. anggota keluarga
dalamnya  Saat ini, anak untuk dapat berbaur
pendidikan formal pertama dari istri tinggal dengan baik di
dan bersama dalam keluarga masyarakat,
informal untuk dapat dan sedang bekerja sedangakan untuk
mandiri dengan status pendidikan pendidikkan bagi
tamat SMA, anak kedua keluarga pendidikan
dari istri yang serumah sampai tamat SMA
dengan pasien sedang merupakan
menempuh pendidikan pendidikan yang
tingkat SMP .Selain itu, cukup untuk anak-
keponakan dari istri juga anaknya.
tinggal serumah dan
sedang menempuh
pendidikan SD.
 Hubungan keluarga ini
dengan tetangga
sekitar
terlihat baik,

36
komunikasi keluarga
dengan tetangga
baik.

Ekonomi dan Dalam memenuhi Dalam kehidupan


pemenuhan kebutuhan primer, sehari-hari
kebutuhan: sekunder maupun keluarga termasuk
Adalah sikap dan tersier. memiliki gaya
perilaku keluarga Penghasilan hidup yang biasa
selama ini dalam diperoleh dari saja.
usaha pemenuhan hasil nelayan
kebutuhan primer, suami, uang saku
sekunder dan tertier dari anak kandung
pertama istri dan
bantuan anak
yatim dari masjid
setempat.

3.5. Data Resiko Internal dalam Keluarga

Perilaku Sikap dan perilaku keluarga yang Kesimpulan Pembina


menggambarkan perilaku tersebut untuk perilaku keluarga

37
Kebersihan pribadi Tampilan individual pasien cukup Perhatian pasien terhadap
dan lingkungan rapi dan bersih. Akan tetapi, kebersihan pribadi cukup
kebersihan dan kerapian lingkungan baik namun kesadaran
rumah kurang terjaga. Barang-barang akan kebersihan pribadi
di dalam rumah tampak berserakan dan lingkungan sebagai
dan tidak ditata dengan baik. Pasien perantara penularan
masih sering membuang dahak di penyakit masih kurang.
sembarang tempat, ketika batuk tidak kebersihan dan kerapian
menutup mulutnya, pasien tidak rumah dan lingkungan
menggunakan masker. kurang.

Pencegahan Istri merupakan penderita Hipertensi Keluarga pasien acuh tak


spesifik sejak 1 bulan yang lalu. Setelah acuh dalam menerapkan
mengetahui dirinya menderita hidup sehat. Tidak ada
hipertensi, pasien mengkonsumsi pengawas minum obat.
obat hipertensi namun konsumsi obat
tidak teratur. Pasien mengatakan
sering lupa dalam mengkonsumsi
obat. Gaya hidup pasien kurang
sehat. Pasien tidak berolahraga secara
rutin. Pasien merupakan penderita TB
sejak 2014, pengobatannya tidak
tuntas. Pasien didiagnosis TB putus
obat. Pernah mengalami batuk darah
pada tahun 2014. Mulai berobat rutin
sejak tahun 2017. Untuk komplikasi
akut yang merupakan
kegawatdaruratan belum diketahui
pasien.

38
Gizi Keluarga Pasien mengkonsumsi makanan yang Pasien dan keluarga sudah
cukup bervariasi setiap harinya. mengonsumsi makanan
Namun tidak mengetahui kecukupan yang cukup bergizi.
gizi yang diperlukan. Keponakan
pasien yang masih SD terlihat kurus,
napsu makannya kurang.

Latihan jasmani/ Tidak ada kegiatan olahraga rutin Perhatian keluarga


aktifitas fisik yang dilakukan oleh anggota terhadap latihan jasmani/
keluarga. aktifitas fisik dinilai
kurang.

Penggunaan Keluarga sudah menggunakan Penggunaan


pelayanan fasilitas kesehatan yang ada, yaitu pelayanan kesehatan
kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit dinilai kurang karena
lanjutan. Namun, permasalahan yang pemanfaatan pelayanan
ditemukan pada pasien yaitu pasien kesehatan tidak
hanya berobat jika merasakan ada digunakan dengan baik.
keluhan yang baru. Pasien belum Kepatuhan terhadap
memahami bahwa penyakit yang pengobatan dinilai sangat
dideritanya merupakan penyakit yang kurang.
berlangsung kronis dan
membutuhkan pengobatan
berkelanjutan. Anak tiri pasien tidak
memiliki jaminan kesehatan gratis.
BPJS untuk anaknya tidak
ditanggung pemerintah sehingga sulit
untuk mendapatkan layanan
kesehatan karena dirasa cukup mahal.
Kebiasaan/perilaku Pasien merokok perokok berat 1,5 Kebiasaan suami pasien
lainnya yang bungkus perhari sejak 20 tahun lalu terhadap kesehatan masih
buruk untuk namun sudah berhenti merokok sejak sangat buruk.
kesehatan tahun 2011. Pasien membuang dahak
sembarangan. Tidak mengerti
mengenai etika batuk. Pasien tidak
menggunakan masker. Tidak ada
usaha dalam mencegah penularan
penyakit TB.

39
3.6. Data Sarana Pelayanan Kesehatan dan Lingkungan Keluarga

Tabel 4. Faktor pelayanan kesehatan


Faktor Keterangan Kesimpulan pembina
untuk faktor
pelayanan kesehatan

Pusat pelayanan Puskesmas Air Tawar Keluarga bisa


kesehatan yang dan rumah sakit Yos menggunakan fasilitas
digunakan oleh Sudarso kesehatan sesuai
keluarga dengan kebutuhannya,
tetapi anak pasien tidak
memiliki kartu JKN

Cara mencapai pusat Berjalan kaki atau Keluarga bisa


pelayanan kesehatan menggunakan mencapai tempat
tersebut kendaraan pelayanan kesehatan
tanpa ada kendala
kendaraan

Tarif pelayanan  Sangat mahal Berjalan kaki atau


kesehatan tersebut  Mahal menggunakan
dirasakan  Terjangkau kendaraan
 Murah
 Gratis
Kualitas pelayanan  Sangat baik Baik
kesehatan tersebut  Baik
dirasakan  Biasa
 Tidak memuaskan
 Buruk

Tabel 5. Lingkungan tempat tinggal


Kepemilikan rumah : Kontrak
Daerah perumahan : padat penduduk

Karakteristik rumah dan lingkungan Kesimpulan pembina untuk


lingkungan tempat tinggal

Luas rumah : 12x8 m2 Kecil

Jumlah orang dalam satu rumah : 5 orang Ramai

Luas halaman rumah : 4x3 m Luas

40
Bertingkat Tidak

Lantai rumah : ubin Baik

Dinding rumah : semen, dicat Baik

Penerangan didalam rumah Penerangan dalam rumah


Jendela : ada kurang baik. Kurang nya
Listrik : ada cahaya matahari yang masuk
kedalam rumah.
Jendela jarang terbuka
sehingga sirkulasi didalam
rumah kurang baik.

Ventilasi Kurang baik. Ventilasi hanya


Kelembapan rumah : lembab terdapat pada bagian depan
Bantuan ventilasi didalam rumah : ada, rumah
kipas angin
Kebersihan dalam rumah Kurang bersih

Tata letak barang dalam rumah kurang rapi

Kamar mandi : ada


Jamban : didalam kamar mandi
Saluran pembuangan ke sungai
Sumber air bersih

3.7. Pengkajian Masalah Kesehatan

A. Masalah internal

a. Pasien merupakan penderita TB sejak 2014, pengobatan tidak tuntas.

b. Pasien pernah mengalami batuk darah sejak tahun 2014

c. Pasien mulai berobat kembali pada tahun 2017 dengan diagnosis TB

putus obat, pasien rutin kontrol tetapi tidak rutin meminum obat

B. Masalah eksternal keluarga

a. Pasien tidak memiliki dukungan yang cukup dari anggota keluarga


lain untuk kontrol dan minum obat rutin.

41
b. kurangnya perhatian dari keluarga dan kurangnya kesadaran pasien
tentang penyakit pasien sendiri.

c. Pasien tidak menggunakan masker dan suka membuang dahak


sembarangan sehingga meningkatkan risiko penularan kuman TB
pada anggota keluarga dan orang yang lain.

3.8. Faktor-Faktor yang Berperan dalam Penyelesaian Masalah Kesehatan

1. Faktor pendukung

a. Pelayanan kesehatan diperoleh secara gratis dengan menggunakan

JKN.

b. Lokasi pelayanan kesehatan tingkat primer terjangkau dari tempat

tinggal pasien.

c. Pasien tidak kooperatif dalam penyelesaian masalah kesehatannya.

2. Faktor penghambat

a. Komunikasi antar anggota keluarga kurang baik sehingga sulit untuk

mengingatkan pasien agar rutin minum obat TB.

b. Pasien juga kurang memiliki kepedulian terhadap diri sendiri untuk

minum obat teratur.

3.9. Rencana Pembinaan Kesehatan

Melalui pendekatan komprehensif dan holistik

Preventif :

a. menggunakan masker ketika batuk

b. Tidak membuang dahak sembarangan

c. Membuka ventilasi rumah agar sirkulasi udara lancar dan sinar matahari

dapat masuk

42
d. Keluarga dilibatkan untuk mengingatkan pasien bila belum rutin meminum

obatnya

e. Menetapkan Pengawas Minum Obat

Promotif :

 Edukasi mengenai:

a. penyakit TB,

b. Penyebab dan penularannya,

c. perjalanan penyakit,

d. pengobatan,

e. efek samping dari pengobatan,

f. komplikasi penyakit dan komplikasi putus obat,

g. Etika batuk

h. Pentingnya evaluasi pengobatan

i. Tanda kegawatdaruratan TB

 Pemberian materi penyuluhan dan leaflet

Kuratif :

 OAT Kategori 2

a. RHZE+S fase intensif selama 2 bulan pertama

b. RHZE fase intesif selama 1 bulan

c. RH+E fase lanjutan selama 5 bulan 3xseminggu

43
Rehabilitatif :

a. Kontrol ulang ke RS untuk evaluasi pengobatan

b. Screening komplikasi

44

You might also like