You are on page 1of 39

KARYA ILMIAH

PEMERINTAH PAJAK

Disusun oleh :

Nama : NOPITASARI

NIM : 020829236

Jurusan : Ekonomi Manajemen

UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, Penulis yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 11 Desember 2018

Nopitasari

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 12
C. Tujuan penelitian ........................................................................................ 12
D. Keguaan penelitian ...................................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 23
BAB III PEMBAHASAAN ............................................................................. 26
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 32
A. Kesimpulan ................................................................................................. 24
B. Saran ............................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25

ii
ABSTRACT

Value added tax is imposed on each value of the goods or services in its
circulation from producers toconsumers. VAT including the type of indirect tax ,
meaning the tax paid by other parties ( merchants )who is not the person in taxes
or in other words , the insurer taxes ( final consumers ) are not directlydeposits his
tax liability . From the authors of scientific papers I want to examine this by
observing the Indonesian accounting students poiteknik post their knowledge of
the value added tax , if they are awarethat they have paid their taxes all came
here shopping or other places , is there any influence they haveknowledge of tax
to everyday life , and later if they have become actual taxpayer they will foreign
taxrights and obligations . Purpose of this study is to provide insight to the reader
about the importance ofknowledge and awareness of tax paying taxes , then
wanted to know how the knowledge of students aboutthe Indonesian postal
polytechnic taxes . In this study using a qualitative method , because in this
studythe research data in the form of descriptive data that is not calculated using
statistical formulas . theresults of research that has been conducted at the
Polytechnic Pos Indonesia can be concluded that Accounting Students
Polytechnic Pos Indonesia has realized that they have to pay value added tax .
Theyknow the importance of knowledge will be able to broaden the tax in
addition to accounting students ,they also know the importance of going to pay
taxes , because taxes are used for the benefit of the peopleeven though revenues
are not directly.

Keywords: Value Added Tax, Knowledge, Purpose ,Qualitative, Importance

iii
ABSTRAK

Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap


pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut
disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan
kata lain, penanggung pajak(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak
yang ia tanggung. Dari karyailmiah inilah saya penulis ingin meneliti dengan
cara mengobservasi para mahasiswa akuntansi poiteknik pos indonesia
pengetahuan mereka akan pajak pertambahan nilai,apakah mereka sadar bahwa
mereka telah membayar pajak setiap mereka dating ketempat perbelanjaan atau
tempat yang lainnya, apakah ada pengaruhnya mereka memiliki pengetahuan
akan pajak terhadap kehidupan sehari-hari, dan nantinya jika mereka telah
menjadi wajib pajak yang sebenarnya mereka tidak asing akan hak dan
kewajiban pajak. Tujuan penelitian ini adalah memberikan wawasan kepada
pembaca tentang akan pentingnya pengetahuan pajak dan kesadaran membayar
pajak, kemudian ingin mengetahui bagaimana pengetahuan para mahasiswa
politeknik pos Indonesia.

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Koperasi harta graha adalah merupakan suatu perekonomian di pedesaan yang
menjadi tulang punggungnya kegiatan perekonomian masyarakat di pedesaan dimana
Koperasi pedesaan telah menjadi bagian yang sangat penting dari kehidupan
berekonomi semua warga masyarakat di pedesaan. Dengan adanya Koperasi harta graha
di pedesaan yang sekarang sangat berkembang dengan pesat, maka akan memudahkan
untuk memperoleh barang dan jasa dalam kebutuhan sehari-hari.
Karya ilmiah ini disusun dengan harapan mengetahui tentang berbagai hal yang
menyangkut tentang Koperasi harta graha di pedesaan, mulai dari pengertian, tujuan,
cara-cara mendirikan, cara mengolah, dan jenis usaha yang dikembangkan dalam
Koperasi harta graha dimasyarakat yang ada di Pedesaan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah yang disusun masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis akan menerima dengan senang hati segala kritik
dan saran yang bersipat membangun dari semua pihak demi sempurnanya laporan ini.
Koperasi dijaman sekarang pastilah terdengar sangat akrab ditelinga masyarakat
pedesaan yang merupakan salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka
meningkatkan produksi dan kehidupan masyarakat di pedesaan. Sesuai dengan
pengertiannya Koperasi berarti bekerja bersama-sama, yang menurut undang-undang
nomor 25 tahun 1992 tentang perKoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hokum. Koperasi dengan melandaskan
kegiatan berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sabagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan Koperasi secara lebih terperinci bahwa
Koperasi merupakan:
1. Perkumpulan Koperasi bukan merupakan perkumpulan modal
Dalam Koperasi orang-orang tidak hanya mengumpulkan uangnya untuk modal
saja, tetapi Koperasi juga mempunyai tujuan social. Koperasi tidak hanya

1
mementingkan mencari keuntungan sebesar-besarnya, Koperasi lebih memperhatikan
kesejahteraan bersama para anggotanya dengan cara bekerja sama dan tolong menolong.
2. Keanggotannya bersifat suka rela
Dalam Koperasi tidak membeda-bedakan anggota berdasarkan suku, aliran, dan
agama. Siapa saja dapat menjadi anggota Koperasi.
3. Tujuan utama Koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Kesejahteraan anggota dapat dicapai dengan kerja sama secara Kekeluargaan
kerja sama dalam masyarakat harus diwujudkan dalam berbagai lingkungan termasuk
linhkungan usaha. Kerja sama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, menjaga
kelangsungan hidup, rasa aman, dan kasih sayang serta persahabatan seperti dalam
keluarga.
Koperasi sebagai bagian usaha bersama sangat tepat keberadaannya di Negara
ini khususnya di masyarakat pedesaan, sehingga sekarang ini banyak berdiri Koperasi
atau badan usaha yang sejenisnya di lapisan masyarakat. Namun perkembangan
Koperasi harus diikuti dengan pengelolaan yang sesuai tujuan utama Koperasi, untuk itu
diperlukan SDM yang berkoponen dibidangnya sehingga nantinya apabila ada
permasalahan yang terjadi, seperti yang sudah ada sepertMenurut Galang Asmara yang
mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, pengertian negara hukum adalah negara
yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang
sama di hadapan hukum.
Istilah koperasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Co-Operation (Co:bersama,
dan Operation:usaha). Secara singkatnya, koperasi berarti usaha bersama. Koperasi di
lingkungan badan usaha beranggotakan orang–orang yang melakukan usaha bersama
yang didasarkan atas asas kekeluargaan. Kegiatan koperasi dilakukan sekelompok orang
yang bekerjasama untuk menggunakan output–output ekonomi dari badan usaha untuk
tercapainya tujuan, yaitu : meningkatkan kesejahteraan anggota. Menurut Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 27
(2007:27.1), pengertian koperasi adalah:
Badan usaha yang mengorganisir pemanfataan dan pendayagunaan sumber daya
ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip – prinsip koperasi pada kaidah ekonomi
untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja

2
pada umumnya,dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan
sokoguru perekonomian nasional.
Dari pengertian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa koperasi
merupakan kumpulan dari orang–orang yang memiliki keinginan dan tujuan yang sama,
yaitu memberikan manfaat bagi anggota–anggotanya demi tercapainya kesejahteraan
anggota.
Karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha yang
lain adalah bahwa anggota koperasi memiliki identitas ganda (the dual
identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa
koperasi (user own oriented firm). Oleh karena itu, menurut IAI (Ikatan Akuntansi
Indonesia) dalam PSAK No. 27 (2007 : 27.1) :
1. Koperasi dimiliki oleh anggota yang bergabung atas dasar sedikitnya ada satu
kepentingan ekonomi yang sama;
2. Koperasi didirikan dan dikembangkan berlandaskan nilai–nilai percaya diri
untuk menolong dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, kesetiakawanan, keadilan,
persamaan, dan demokrasi. Selain itu anggota–anggota koperasi percaya pada nilai–
nilai etika kejujuran,keterbukaan, tanggungjawab sosial, dan kepedulian terhadap orang
lain;
3. Koperasi didirikan, dimodali, dibiayai, dan diawasi serta dimanfaatkan sendiri
oleh anggotanya;
4. Tugas pokok badan usaha koperasi adalah menunjang kepentingan ekonomi
anggotanya dalam rangka memajukan kesejahteraan anggota (promotion of the
members’ wekfare);
5. Jika terdapat kelebihan kemampuan pelayanan koperasi kepada anggotanya
maka kelebihan kemampuan pelayanan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang nonanggota koperasi.
Orang–orang yang membentuk koperasi pada dasarnya ingin memenuhi
kebutuhan akan pelayanan, yang sebagian besar dinyatakan dalam tujuan–tujuan,
bagaimana koperasi itu diawasi, dibiayai, dan dioperasikan serta bagaimana SHU nya
didistribusikan. Kemampuan dalam mencapai tujuannya menjelaskan alasan keunggulan

3
koperasi bagi anggota pengguna jasa untuk menjadi pelanggannya, daripada menjadi
pemilik perusahaan yang berorientasi pada penanaman modal.
Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan didasarkan atas kepentingan
bersama, sehingga pelaku ekonomi terdiri dari karyawan aktif perusahaan dan atau
perseorangan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Kegiatan koperasi lebih banyak dilakukan kepada anggota
dibandingkan dengan pihak luar. Oleh karena itu, anggota dalam koperasi
bertindak sebagai pemilik sekaligus pelanggan.
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 1992, tujuan koperasi adalah
“memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang – Undang Dasar
1945”.
Akuntansi digunakan semua organisasi atau perusahaan, baik perusahaan yang
bertujuan mencari laba maupun organisasi-organisasi nirlaba. Salah satu penyebabnya
adalah karena peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi.
Namun demikian alasan utama akuntansi digunakan dalam organisasi adalah karena
semakin rumitnya variabel-variabel yang dihadapi para manajer walau dalam koperasi
kecil sekalipun. Keadaan ini mengakibatkan para manajer semakin tergantung pada
proses akuntansi, karena transaksi-transaksi koperasi dirubah menjadi data dan
ringkasan serta dilaporkan dalam bentuk laporan keuangan. Dengan demikian akuntansi
merupakan suatu sistem informasi yang sangat diperlukan oleh koperasi modern dewasa
ini.
Proses akuntansi menghasilkan laporan yang diatur menurut standar
akuntansi.standar akuntansi menyajikan suatu aturan tentang pencatatan dan prosedur
lainnya yang hasilnya digunakan sebagai bahan pertanggungjawaban manajemen
koperasi. Oleh sebab itu standar akuntansi menjadi pedoman pokok bagi penyusunan
laporan keuangan dalam melakukan tugasnya. Dari banyaknya definisi akuntansi yang
ada, akan diuraikan beberapa diantaranya Paul Grady membuat definisi akuntansi pada
American Institute Of Certified Accountant (AICPA) sebagai berikut. Akuntansi adalah
keseluruhan pengetahuan dan fungsi yang berhubungan dengan penciptaan, pengesahan,

4
pencatatan, pengelompokan, pengolahan, penyimpulan penganalisaan, penafsiran dan
penyajian informasi yang dapat dipercaya dan penting artinya secara sistematik
mengenai transaksi-transaksi yang sedikit-dikitnya bersifat financial dan diperlukan
untuk pimpinan dan operasi seuatu badan dan untuk laporan-laporan yang harus
diajukan mengenai hal tadi, guna memenuhi pertanggungjawaban yang bersifat
keuangan lainnya.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa akuntansi bukanlah pencatatan
semata-mata, tetapi meliputi pengetahuan lainnya dan lebih luas dari teknik pencatatan
semata-mata. Pengetahuan lainnya yang tercakup antara lain teknik pengawasan, teknik
penyajian laporan keuangan, teknik pemeriksaan hasil pencatatan dan sebagainya.
Dengan demikian data yang disajikan sebagai informasi merupakan data yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang-orang yang memerlukan laporan keuangan.
Tujuan utama akuntansi adalah memberikan informasi dalam bentuk laporan
keuangan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan-keputusan oleh manajemen,
pemegang saham, pemerintah atau pihal-pihak yang berkepentingan sehingga keputusan
yang diambil benar tentang apa yang sudah terjadi dalam suatu koperasi atau apa yang
harus diperbuat dimasa yang akan datang. Dewasa ini akan lebih bermanfaat meninjau
akuntansi dari sudut fungsi dan tujuan akuntansi sebagai informasi keuangan. Definisi
ini menekankan kepada peranan akuntansi yaitu memberikan informasi bagi
kepentingan para pemakai laporan keuangan sebagai bahan pertimbangan pengambilan
keputusan ekonomi.
Pengertian dan Tujuan Laporan Keuangan Koperasi
Akuntansi merupakan suatu aktivitas jasa yang berfungsi menyediakan
informasi kuantitatif tentang kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan yang
diharapkan bermanfaat dalam pengambilan keputusan ekonomi. Dalam akuntansi
keuangan, informasi itu disusun dalam bentuk laporan–laporan yang menunjukkan
posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan untuk periode tertentu.
Laporan keuangan koperasi adalah laporan keuangan yang disusun untuk dapat
menggambarkan posisi keuangan, sisa hasil usaha dan arus kas perusahaan secara
keseluruhan sebagai pertanggungjawaban pengurus atas pengelolaan keuangan yang
ditujukan kepada anggota.

5
Dalam Pedoman Umum Akuntansi Koperasi (2001 : 79), laporan keuangan
koperasi merupakan sumber informasi penting bagi anggotanya, sehingga anggota dapat
menilai manfaat ekonomi yang diberikan oleh koperasi dan berguna juga untuk :
1. Mengetahui prestasi unit–unit usaha koperasi yang bertugas memberikan
pelayanan kepada anggota selama periode akuntansi tertentu.
2. Mengetahui prestasi unit–unit usaha koperasi yang berbisnis dengan
nonanggota selama satu periode akuntansi tertentu.
3. Mengetahui sumber daya ekonomis yang dimiliki koperasi (yang dikuasai dan
tidak dikuasai), kewajiban dan kekayaan bersih (sebagai ekuitas), dengan pemisahan
antara yang berkaitan dengan anggota dan non anggota serta untuk unit–unit usaha yang
bersifat otonom.
4. Mengetahui transaksi, kejadian dan keadaan yang mengubah sumber daya
ekonomis, kewajiban dan kekayaan bersih, dalam satu periode dengan pemisahan antara
yang berkaitan dengan anggota dan non anggota.
5. Mengetahui informasi penting lainnya yang mungkin mempengaruhi keadaan
keuangan jangka pendek dan jangka panjang(likuiditas dan solvabilitas), serta prestasi
koperasi dalam melayani anggota yang berbisnis dengan non anggota. Disisi lain,
laporan keuangan harus disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang baku
yang mampu mencerminkan suara dan makna dari dunia usaha, agar laporan keuangan
dapat dimengerti dan tidak salah tafsir dari berbagai pihak yang terkait. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu suatu standar untuk dijadikan sebagai pedoman pokok dalam
penyusunan laporan keuangan.
2.4. Penyajian Laporan Keuangan Koperasi
Laporan keuangan koperasi disusun untuk mencerminkan posisi keuangan pada
tanggal tertentu, hasil usaha dan arus kas koperasi selama periode tertentu. Laporan
keuangan setiap entitas akuntansi dalam badan usaha koperasi harus disusun dengan
menggunakan kebijakan, sistem dan prosedur akuntansi yang sama. Laporan keuangan
koperasi terdiri dari Neraca, Perhitungan Hasil Usaha, Laporan Arus Kas, Laporan
Promosi Ekonomi, Catatan atas Laporan Keuangan.

6
1. Neraca
Neraca disusun untuk mencerminkan posisi keuangan koperasi pada tanggal
tertentu yang terdiri dari : unsur aktiva, kewajiban, dan ekuitas. Neraca merupakan
laporan keuangan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu unit usaha pada tanggal
tertentu. Neraca memberikan informasi mengenai posisi keuangan yang meliputi jumlah
investasi dalam sumber daya yang dimiliki perusahaan, kewajiban kepada pihak
kreditur perusahaan dan modal pemilik dalam sumber daya bersih perusahaan. Dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.27 neraca koperasi menyajikan informasi
mengenai:
a. Aktiva,meliputi aktiva lancar, investasi jangka panjang, aktiva tetap dan
aktiva lain-lain.
b. Kewajiban meliputi kewajiban jangka pendek dan kewajiban jangka panjang
c. Modal/ekuitas
Penyajian neraca umumnya digunakan dalam dua bentuk, yaitu :
1. Bentuk laporan (Report Form), disusun dalam bentuk laporan dimana aktiva,
kewajiban, dan modal disusun dari atas kebawah, disebut juga bentuk stafel.
2. Bentuk perkiraan (Account Form), disusun dalam bentuk perkiraan dimana
aktiva lazimnya disebelah kiri dan kewajiban dan modal disebelah kanan, disebut juga
bentuk skontro.
Berikut ini akan diuraikan masing–masing komponen dari neraca, yaitu :
1.1 Aktiva
Aktiva adalah sumber daya yang dikuasai oleh badan usaha koperasi yang
diperoleh dari transaksi atau kejadian masa lalu, yang memberikan manfaat ekonomi
dimasa depan. Aktiva disajikan dalam neraca berdasarkan urutan likuiditas, dimulai dari
yang paling likuid sampai kepada aktiva yang tidak likuid. Aktiva dapat dikategorikan
sebagai berikut, yaitu :
1.1.1 Aktiva Lancar
Menurut standar akuntansi keuangan (2007 : 1.10), suatu aktiva diklasifikasikan
sebagai aktiva lancar, jika aktiva tersebut:
Dipekirakan akan direalisasikan atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam
jangka waktu siklus operasi normal perusahaan; atau

7
Dimiliki untuk diperdagangkan atau tujuan jangka pendek dan diharapkan akan
direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca; atau
Berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.
Menurut Pedoman Umum Akuntansi Koperasi (2001 : 80), jenis aktiva lancar
lain adalah sebagai berikut :
Kas dan Bank. Kas adalah alat uang tunai yang tersimpan dikoperasi, sedangkan
Bank adalah giro atau simpanan lain koperasi di suatu Bank tertentu yang likuid.
2. Investasi jangka pendek, adalah investasi dalam bentuk surat berharga atau
bentuk lain yang dapat dicairkan setiap saat.
Piutang usaha, adalah tagihan koperasi kepada non anggota sebagai akibat
transaksi bisnis koperasi dengan non anggota.
. Piutang pinjaman anggota, adalah tagihan koperasi akibat transaksi pemberian
pinjaman kepada anggota.
Piutang pinjaman non anggota, adalah tagihan koperasi akibat transaksi
pemberian pinjaman kepada non anggota.
Piutang lain–lain, adalah baik sebagai akibat dari transaksi pelayanan koperasi
kepada anggota, maupun sebagai akibat transaksi bisnis koperasi dengan non koperasi.
Penyisihan piutang tak tertagih, adalah nilai tertentu sebagai pengurang atas nilai
nominal piutang, sebagai resiko piutang tak tertagih, baik yang ada di anggota, maupun
Persediaan, adalah nilai kekayaan (aktiva) koperasi yang terinvestasikan di
dalam bentuk persediaan, misalnya persediaan bahan atau barang dalam rangka
memberikan pelayanan kepada anggota dan berbisnis dengan non anggota.
Pendapatan akan diterima, adalah berbagai jenis pendapatan koperasi yang
sudah dapat diakui sebagai pendapatan, tetapi belum diterima oleh koperasi.
Piutang simpana pokok, yaitu piutang anggota atas sejumlah simpanan pokok
yang belum dibayar oleh anggota.
Piutang simpanan wajib, adalah sejumlah piutang anggota atas simpanan wajib
yang belum dibayar oleh anggota.
Menurut IAI dalam Standar Akuntansi Keuangan (2007 : 16.2),definisi dari
aktiva tetap adalah sebagai berikut : “Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang
diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan

8
dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam kegiatan normal
perusahaan, dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun”. Di dalam badan usaha
koperasi, aktiva tetap merupakan aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap
pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi badan usaha
koperasi dan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali dalam rangka kegiatan normal
perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Menurut Standar
Akuntansi Keuangan (2007:16.2), suatu benda berwujud harus diakui sebagai aktiva dan
dikelompokkan sebagai aktiva tetap bila :
1. Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa,
untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
2. Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
Menurut Pedoman Umum Akuntansi Koperasi (2001:81), jenis aktiva tetap
antara lain adalah sebagai berikut :
a) Tanah/hak atas tanah,adalah kekayaan koperasi yang diinvestasikan kepada
bentuk tanah milik atau hak atas tanah.
b) Bangunan, adalah kekayaan koperasi yang diinvestasikan ke dalam bentuk
bangunan.
c) Mesin, adalah kekayaan koperasi yang diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk peralatan.
d) Inventaris, adalah kekayaan koperasi yang diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk peralatan.
e) Akumulasi penyusutan, adalah nilai tertentu sebagai pengurang atas nilai
perolehan suatu aktiva tetap yang dimiliki koperasi, sebagai akibat dari berlalunya
waktu penggunaan.
1.1.4 Aktiva Lain–Lain
Aktiva lain–lain merupakan yang tidak dapat secara layak digolongkan dalam
aktiva lancar, investasi atau penyertaan, maupun aktiva tidak berwujud. Aktiva lain–lain
ini dapat berupa:
1) Aktiva tetap dalam konstruksi, adalah aktiva tetap yang dalam proses
pengerjaan/pemasangan, misalnya bangunan yang sedang dikerjakan tetapi belum
selesai, tanaman yang belum siap dipanen dan lain–lainnya.

9
a) Beban ditangguhkan, adalah biaya yang telah dikeluarkan oleh koperasi tetapi
belum dibebankan kepada pemikulnya, sebagai akibat masih dalam peroses
penyelesaian.
b) Aktiva milik anggota atau pihak lain yang dikelola oleh koperasi.
Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan
dimana setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain
itu segala kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus
didasarkan pada ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak
didasarkan pada ketentuan hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap
konsep hukum itu sendiri.
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena
dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/pemerintahan
maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan
merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses
untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia
didirikan adalah “…..memajukan kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat
terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber
keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Kemajuan
negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara
(Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun Negara membebankan tarif pajak
kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam
bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang
diperoleh dari pajak.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan
permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang
kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu
juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini

10
tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga
yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan
konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga
peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang
terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka
pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.
Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
apabila terjadisengketa pajak dengan fiscus atau pemungut pajak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak maka penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak.
Pengadilan ini didirikan untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP). Menurut UU, pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa pajak yang terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan uraian diatas mengenai pengadilan pajak dalam peradilan Indonesia, maka
penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai kedudukan pengadilan pajak
yang di atur oleh undang-udang no 14 tahun 2004 tentang pengadilan pajak yang akan
dituangkan dalam makalah yang berjudul “Kedudukan Pengadilan Pajak Menurut
Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan
Indonesia”
Dasar hukum dari penetapan dan ketetapan pajak · Undang-Undang Nomor 16
TAHUN 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan · Keputusan Menteri Keuangan Nomor
607/KMK.04/1994 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak, Tanggal 21 Desember
1994. · Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan atau
Penghapusan Ketetapan Pajak. Tanggal 22 Desember 2000. A. Keputusan Dirjen Pajak
Nomor KEP - 18/PJ.24/1995 Tentang Perubahan atas Keputusan Dirjen Pajak Nomor

11
KEP - 05/PJ.24/1995 Tanggal 3 Februari 1995 Tentang Bentuk Surat Tagihan Pajak dan
Surat Ketetapan Pajak atas Pajak Penghasilan, Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tanggal 5 Mei 1995.
Fungsi Surat Ketetapan Koperasi Surat ketetapan Kopeasi berfungsi sebagai :

1. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban
materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.

3. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.

4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.

5. Sarana untuk memberitahukan jumlah yang terutang.

Jenis-Jenis Ketetapan koperasi

1. Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2. Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 4. Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak.

Surat Tagihan kopeasi Surat Tagihan Koperasi (STP) diterbitkan dalam hal :

1. Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

2. Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
3. WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;

12
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap, selain:
a. identitas pembeli (Nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak) atau
b. identitas pembeli (Nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak) serta nama dan tandatangan (Nama, jabatan dan
tandatangan yang berhak menandatangani faktur pajak) dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
faktur pajak; atau
7. Pengusaha Kena yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat
ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat
Paksa.
Daluarsa Penetapan Pajak Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Penentuan masa 5 tahun ini sesuai dengan
ketentuan daluwarsa penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang
menjadi dasar pembukuan dan pencatatan Wajib Pajak. Pokok Bahasan II Pembayaran
Dan Pelaporan Pajak Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Prinsip self-assessment dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan
besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada WP sendiri melalui Surat
Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak
hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.
Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak (ssp) dan untuk
pelaporan menggunakan surat pemberitahuan (sp). Surat setoran pajak. Surat setoran

13
pajak (ssp) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor pos dan/ atau bank
badan usaha nilik negara atau bank badan usaha milik negara atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan. SSP dibagi menjadi menjadi 2 (dua), adalah
sebagai berikut: 1. SSP standar adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan atau
berfungsi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kantor
penerimaaan pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran. 2. SSP khusus
adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke kantor penerimaan pajak
yang dicetak oleh kantor penerimaan pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi
dan/ atau alat lain yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam keputusan dirjen pajak dan
mempunyai fungsi yang sama dengan SSP standar dalam administrasi perpajakan. ·
Surat pemberitahuan Surat pemberitahuan (spt) adalah surat yang oleh wajip pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek pajak dan/
atau bukan objek pajak dan/ atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan paraturan
perundangan-undangan perpajakan. Fungsi surat pemberitahuan. I. Bagi wajib pajak
orang pribadi, surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melapor dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang: 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakkan sendiri dan/ atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) tahun pajak bagian tahun pajak 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak
dan/ atau bukan objek pajak. 3. Harta dan kewajiban. 4. Pembayaran dari pemotongan
atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan
lain dalam 1 (satu) masa, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku. II. Bagi pengusaha kena pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
pertumbuhan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya tertuang
dan untuk melaporkan tentang: -Perkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran - -
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanaakan sendiri oleh pengusaha kena
pajak dan/ atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. III. Bagi pemotong
atau pemungut pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk

14
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
setorkan. B. Syarat-syarat dalam Pembayaran dan pelaporan Pajak Tidaklah mudah
untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan
enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan
berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka
pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu: · Pemungutan pajak harus adil
Pemungutan pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan. Adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya: 1. Dengan
mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak. 2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga
negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak. 3. Sanksi atas pelanggaran pajak
diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Pengaturan
pajak harus berdasarkan UU Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: â. Pajak
dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undangâ,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu: 1)
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya. 2) Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak
diperlakukan secara umum. 3) Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para
wajib pajak. · Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak
harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik
kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat
pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pemungutan pajak harus
efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya
pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana
dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami
kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat
menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga
akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran

15
dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan
semakin enggan membayar pajak. Contoh: 1) Bea materai disederhanakan dari 167
macam tarif menjadi 2 macam tarif. 2) Tarif PPN yang beragam disederhanakan
menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%. 3) Pajak perseorangan untuk badan dan pajak
pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang
berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi) C. Fungsi dan Manfaat Pembayaran
dan Pelaporan Pajak >FUNGSI Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk
pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa
fungsi, yaitu: Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-
tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.
Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain
sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam
negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam
rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang
tinggi untuk produk luar negeri. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah
memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh
negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga
untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada

16
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Manfaat Sebagaimana
halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara
juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit
untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai
sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum
seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai
dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk
pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat.
Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati
fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang
berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu
negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan. Secara singkat pajak dimanfaatkan untuk mendanai:
Pembangunan fasilitas dan infrastruktur Alokasi Dana Umum Pemilihan Umum
(PEMILU) Penegakan hukum Subsidi pangan dan BBM Pelayanan Kesehatan
Pendidikan Pertahanan dan Keamanan Kelestarian lingkungan hidup Kelestarian
budaya Transportasi missal D. Batas Waktu Pembayaran Pajak dan Pelaporan Pajak
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, batas waktu
penyetoran dan pelaporan pajak diatur sebagai berikut: Penyetoran Pajak (1) PPh Pasal
4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan
lain oleh Menteri Keuangan. (2) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. (3) PPh Pasal 15
yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (4) PPh Pasal 15 yang harus dibayar
sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir. (5) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (6) PPh
Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama

17
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (7) PPh Pasal 25
harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir. (8) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda
atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. (9) PPh Pasal 22, PPN
atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan
pemungutan pajak. (10) PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara. (11) PPh Pasal 22 atas
penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri
yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (12) PPh Pasal 22 yang pemungutannya
dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (13)
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (13a) PPN yang terutang atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. (14) PPN
atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. (14a) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya
dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut
PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan

18
Negara. (15) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (16) PPh Pasal
25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir. (17)
Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan
beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama
sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak. Pelaporan Pajak (1) Wajib
Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun
yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (11), dan
ayat (12) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir. (1a) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN
atau PPN dan PPnBM yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(13) dan ayat (13a), serta Pasal 2A, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa
PPN ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan,
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (1b) Orang pribadi
atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13)
dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. (1c) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha
Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13a) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran
Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah saat terutangnya pajak. (2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (9) wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan
paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya. (3) Pemungut Pajak

19
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) wajib melaporkan hasil pemungutannya
paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir. (3a) Pemungut PPN
wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. (4) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (16) dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20
(dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir. Hak Wajib Pajak dalam
sistem pembayaran pajak Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai
hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada
Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan
dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh : 1. Pengangsuran
pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu
untuk membayar pajak sekaligus. 2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak
mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga
tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya. 3. Pengurangan
PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak. 4. Pembebasan
Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti
bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan. 5. Pajak
ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai
dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah 6.
Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi 7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan,
Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan
untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan
perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam)
bulan. 8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak
merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain. 9. Keberatan,

20
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak
(WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya
atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga, 10. Banding, Apabila hasil proses
keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak. 11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas
dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya
dapat diajukan satu kali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka rumusan
masalah yang dapat di ambil adalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Peradilan di Indonesia?
2) Apakah yang menjadi kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi timbunya
penyimpangan?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan
di Indonesia.
2. Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan
sengketa pajak.
3. Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat
menjadikan timbulnya penyimpangan.
4. Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia

D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;

21
a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang
Pengadilan pajak.
b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik
tentang kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta
kelemahannya.
2. Kegunaan Praktis
Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :
a. Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam
sengketa pajak.
b. Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun
hakim pengadilan pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.

22
BAB II
LADASASAN TEORI

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu
masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.
Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat.
Pajak sendiri menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang, dengan
undang-undang diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de
pouvoir).

Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam


memberikan definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A.
Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan
prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.

Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara
sebagai pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang
dapat dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut
pajak pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah
oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang
No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya
wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang
atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan
subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek
hukum. Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2
menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah: Orang pribadi atau perorangan, Warisan
yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan yang

23
mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan, Bentuk usaha
tetap.

Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain
harus memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu
memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-
Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6
Tahun 1983 Pasal 1 angka 2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak,
baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman
disebut Tatbestand. Misalnya:

Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang
menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-
Undang Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah
sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung
Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan


hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa.[9] Peradilan dilaksanakan oleh suatu
lembaga khusus yang disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan
pajak adalah suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan
dalam hal sengketa pajak, baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak
(pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-undang/hukum positif.

Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah
Raad van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915.

24
Dalam perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk
Badan Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil
untuk terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa
pajak tetap dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun dengan
kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili
sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan
penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat
menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada
Pengadilan Pajak.

Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang


Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa
Pajak. Sedangkan sengketa pajak timbul daridikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia


terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945
adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga
peradilan selain keempat peradilan tersebut. Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan
pajak berada di luar kekuasaan kehakiman seperti yang diatur dalam Undang-Undang
No.14 Tahun 1970.

25
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Badan Pengadilan Koperasi Menurut Undang-Undang Nomor 14


Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Di Indonesia.
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan
untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan
bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan
pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak
merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran
dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak
(SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak
bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi
karena adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak.
Karena, diakui atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap
tidak jelas, kurang tegas dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara
berbeda oleh kedua pihak yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda
pula.
Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan
Pajak. Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang
memeriksa dan memutus sengketa.
Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah “Badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan
terhadap Sengketa Pajak”.

26
Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan
merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang
Nomor 28 tahun 2007 sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-
undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan
Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui
BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbukan ketidakadilan.
Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-
undang ini bersifat khusus menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa
perpajakan, yaitu: Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka,
namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau
tergugat, sidang dapt dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim
Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus
yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau
sarjana lain. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut
sengketa perpajakan. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak
terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib
Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang
dikenakan kepadanya.

27
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini
diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut
Sudjawardi, “Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus,
mengadili sengketa pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak
daerah. Pajak pusat ada 7, yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
yaitu bea dan cukai.
Menurut Istiani,
“Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan
penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya,
terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu
sendiri. Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa
peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga
menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan
untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.”
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui
terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka
dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada
Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
“Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879).”
Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU
Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009,
sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada

28
di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan
peradilan tata usaha negara.”
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa
Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan
di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak
mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.

2. Kompetensi Absolut
Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan
memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-
pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian
hukum sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk
pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2
(dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
Tolak Ukur Subyek
Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib
pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.”
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa
dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut
pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi
antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari
sengketa Tata Usaha Negara.

29
2. Tolak Ukur Obyek
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak Yang menjadi
obyek dalam sengketa pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut
Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang
perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen
kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.”
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak
merupakan Sengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian
dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Kelemahan Peradilan Koperasi Yang Dapat Menjadi Timbunya Penyimpangan


Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas
pelaksanaan penagihan pajak atas keputusan pembetulan. Akan tetapi, yang menjadi
persoalan adalah berbagai aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak
mencerminkan semangat konstitusi dan ketundukkan pada integrated justice system. UU
Pengadilan Pajak menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan
tersendiri di luar MA.
Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa
dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77
yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

30
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80
ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan
atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak
dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus
kata akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana
MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat
final dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK
merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan
pengadilan pajak tidak.
Dengan demikian, dapat di deskripsikan bahwa UU memposisikan pengadilan
ini sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan
tertinggi dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan
Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan
itupun dengan syarat yang sangat limitatif. Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU
ini ingin mengesampingkan peran MA dalam penyelesaian sengketa pajak.

31
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Bahwa di dalam penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
dimana Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus bagian dari Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya
memiliki hukum acara tersendiri.
Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan
Pajak tersebut, bahwa Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri
terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan, hal
tersebut yang mejadi kelemahan dari UU pengadilan pajak dan dapat dikatakan
menyimpang karena melanggar amanat UUD 1945 bahwa setiap peradilan harus berada
di bawah Mahkamah agung.

B. Saran
Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus
segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi,
organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan
pajak harus berada dibawah MA

32
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam


Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1989.

Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika Aditama, 1998.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika


Aditama, 2005.

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama,


1998.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat


Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret
2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 juni 2016)

Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan


Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 Juni 2016)

Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam


Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006, hlm. 1.
Ibid., hlm. 3.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1989, hlm. 26.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika


Aditama, 2005), hlm. 72

Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika
Aditama. Halm.2

Ibid halaman 2

Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika
Aditama. Halaman 62

Ibid halaman 101

33
Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian
Sengketa pajak. Jakarta: Rajawali Pers. Halm.32

Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika
Aditama. Halm.164.

http://robothukum.blogspot.com/2010/11/eksistensi-dan-dualisme-pembinaan_18.html.
Diakses tanggal 14 juni 2016.

Lock Cit

Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat


Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret
2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 juni 2016)

Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan


Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 Juni 2016)

Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian


Sengketa Pajak, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1989), hlm. 37

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika


Aditama, 2005), hlm. 72

34

You might also like