You are on page 1of 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sayyid Quthb adalah tokoh agama, ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir dan intelektual Islam
asal Mesir, dalam sejarah hidupnya, Sayyid Quthb tidak pernah lelah untuk berdakwah
meskipun beliau dizalimi, disiksa dan dipenjara puluhan tahun, beliau tidak pernah putus asa,
beliau adalah sosok yang luar bisa dengan segala kegigihannya dalam berdakwah.
Sayyid Quthb hidup dalam nuansa iman ketika menulis Tafsir Zhilal, Beliau
hidup bersama Al Qur’anul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari
Al Qur’an ini beliau menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan
hidup yang penuh berkah di bawah naungannya, beliau memperoleh curahan rahmat Allah di
dalam penjara serta diberi anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta
mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu, keimanan
dan keyakinan beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau dalam Zhilal merupakan
buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut.
Maka tidak perlu didengar lagi perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan
yang bukan-bukan terhadap Sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan
anugerah beliau, kesehatan pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau,
serta kebenaran hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan beliau.1
Sayyid Quthb dizalimi dan dipenjara rezim yang berkuasa bukan karena tindakan
kriminal yang beliau lakukan tetapi karena tulisan dan karya-karyanya yang mampu
menggugah ribuan pemuda untu bangkit melawan kejahiliahan dan menegakkan Islam, dan
dalam penjara itulah beliau torehkan karya yang monumental yaitu Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Biografi Sayyid Quthb ?
2. Bagaimana Metodologi tafsir Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur’an ?

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui Biografi Sayyid Quthb
2. Untuk mengetahui Metode tafsir Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur’an

1. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Sayid Qutub, Cetakan
pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era Intermedia, hlm. 389-390

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Sayyid Quthb
Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung
Musyah, daerah Asyut, Egypt dalam keluarga yang kuat mematuhi ajaran agama dan
mempunyai kedudukan yang terhormat di kampungnya. Bapaknya bernama Haji Qutub
Ibrahim seseorang yang disegani dan peduli terhadap orang miskin, setiap tahun beliau
menghidupkan hari-hari kebesaran Islam dengan mengadakan majlis-majlis jamuan dan
tilawah al-Quran di rumahnya terutama di bulan Ramadhan. Ibunya adalah seorang yang
bertaqwa dan menyintai al-Quran, ketika majlis tilawah al-Quran diadakan di rumahnya, ia
mendengar dengan penuh khusyu’ dan beliau telah menghafal al-Qur’an sejak usianya belum
sampai sepuluh tahun.
Kakeknya yang keenam, Al-Faqir Abdullah, datang dari India ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia meninggalkan Mekah menuju dataran tinggi Mesir. Ia
merasa takjub atas daerah Mausyah dengan pemandangan-pemandangan, kebun-kebun serta
kesuburannya. Maka akhirnya ia pun tinggal di sana. Di antara anak turunnya itu lahirlah Sayid
Quthb rahimahullah.2
Sayyid Quthb bersekolah di daerahnya selama 4 tahun. Usia 13 tahun beliau dikirim
untuk belajar ke Kairo, beliau lulus dari Dar Al Ulum dengan gelar S1 dalam bidang sastra (Lc)
sekaligus diploma pendidikan. Pada tahun 1951 M beliau mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Mesir ke Amerika Serikat. Beliau belajar di beberapa kampus favorit, yaitu:
Stanford University di California, Greenly Collage di Colordo, dan Wilson’s Teacher College
di Washington.3
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain
itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir,
hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Quthb bekerja dalam Kementerian
tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat
adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang
pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam
pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di
Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di
bidang pendidikan. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik
antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan
kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Quthb melihat bahwa sekalipun Barat telah
berhasil meraih kemajuan pesat.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian
memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan

2 Ibid. Hal. 23
3 Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran

2
sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di
negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn
yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan
tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-
pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-
Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam
dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh.4
Penyebaran ideologi yang ditegakkan di atas fikrah perjuangan al-Banna,
dikembangkan oleh Qutb dengan pendekatan yang agak radikal dalam menolak kebejatan
politik dan kepincangan sosial, dan mencanangkan ide-ide pembaharuan yang revolusioner.
Qutb merangka khittah perjuangan yang jelas, bagi meluaskan pengaruh Ikhwan dan
menegakkan agenda perubahan yang besar. Beliau melancarkan gerakan untuk menghukum
kezaliman pemerintah, menolak kebobrokan budaya dan cengkaman politik yang rakus,
menyingkirkan faham jahiliyah, membungkam sistem kapitalis, nasionalis, dan feodalis dan
melantarkan dasar-dasar perjuangan dan dakwah berteraskan kalimah La-ilaha-illallah.5
Beliau wafat di waktu fajar hari senin 13 Jamadil Awal 1386 atau 29 Agustus 1966 di
tiang gantungan setelah didakwai bersalah oleh “Mahkamah Militer” yang telah dibangun oleh
kerajaan revolusi di zaman itu, mahkamah ini mempunyai sejarah pengadilan yang hitam dan
banyak mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa.

a. Kerangka Pemikiran Sayyid Quthb


Dalam kitabnya yang berjudul Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi,
Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap:6
1. Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam
2. Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum
3. Tahap pemikiran berorientasi Islam militan
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya keengganan dan
rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa
inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam memperjuangkan islam dan menolak
segala bentuk westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam
lainnya yang silau akan kegemilangan budaya-budaya barat. Dalam pandangannya, Islam
adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus
memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat islam
dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup
masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama islam, maka sudah
menjadi sebuah keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang
ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan.

4badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
5 Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernian Pemikirannya. Hal 14
6 badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-

3
Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan
kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia
menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam
mengarungi kehidupan dunia ini.7
Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad tahun
lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian masa itu dan
sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an, namun ajaran-ajaran
yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala
tempat dan zaman. Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah
dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak
heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan
kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan
terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat yang kemudian
meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.

b. Sekilas tentang corak penafsiran sayyid Quthb


Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah
satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an. Hal
ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang
berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan
al-Qur`an. Termasuk diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang penafsiran dan
disatu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu
yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk
melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al Qur’an.8
Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan
dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur`an,
karakteristik ungkapan al-Qur`an serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk
menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid
Qutb untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang
islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan
manfaat serta hidayah-Nya.Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an
itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an
adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan.9
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang
dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr
(penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Al-Qur`an
sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan
pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh
karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam Al-Qur`an merupakan

7 Bahnasawi, K. Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: 2003. Gema Insani Press. Hal. 15
8 Op. Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 19
9 Op. Cit, Nuim Hidayat,Hal. 27-29

4
penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-
ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat
diambil sebagai tuntunan hidup manusia.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa
tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra,
budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang
sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-
Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. 10

c. Pandangan Sayyid Quthb terhadap Naskh dan Mansukh


Fenomena naskh dan mansukh dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat
dalam kalangan ulama islam sendiri. Disatu pihak ada yang menerimanya dan dipihak lain ada
yang menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini, Sayyid
Qutb termasuk kedalam kelompok yang menerima adanya naskh dalam al-Qur`an. Ini dapat
dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan
bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum menandakan adannya peralihan sebagian perintah
ataupun hukum seiring dengan perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat
tersebut menggambarkan tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan
sebagian hukum adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk
merealisasikan kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkmbangan masyarakat.
Selain itu, Allah sebagai sang pencipta memang mempunyai hak prerogratif melakukan hal
tersebut. Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu perspektif Tuhan dan manusia.
Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan Tuhan dan untuk
kepentingan manusia. Selain itu, naskh juga sesuai dengan watak ajaran islam yang evolutif
yang lebih mengedepankan kemashlahatan umat. 11
Memang diakui, naskh terkait dengan dinamika kemashlahatan manusia. Namun, tidak
menjadi persoalan, mengingat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi
perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan al-Qur`an
sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan demikian gerak
sejarah manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh karena
itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat manusia telah
ditemukan jawabannya dalam teks suci melalu pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas
asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang
mempunyai romantisme terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara singkatnya dia ingin
mewujudkan gambaran masyarakat masa lalu kedalam masa sekarang dan yang akan datang.12

10 Ayub, Mahmud, Qur’an dan Para Penafsirnya .Jakarta: 1992. Pustaka Firdaus. Hal 171
11 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 316
12 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 316

5
d. Contoh Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an
Ayat surat Al- Anfal Banyak sekali ulama yang mengtakan bahwa ayat ini mengalami
proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa dahulu perbandingan pada saat
bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin
diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang
keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang islam berupa satu orang islam melawan
dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik.Sayyid Qutb mencoba
menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai
taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan.
Namun inti dari semua itu adalah untuk menenteramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat
gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut
Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat islam. Kemenangan
bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah
sedikit, umat islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militan yang
mempunyai semangat juang yang gigih.13

2.1. Metodologi tafsir Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur’an


a. Tafsir Fi Zhilalil Quran
Pada awalnya penulisan Tafsir fi Zilal al-Qur’an. dituangkan di rublik majalah al-
Muslimun edisi ke-3, Yang terbit pada Februari 1952. Sayyid Qutb mulai menulis tafsir secara
serial di majalah itu, dimulai dari surah al-fatihah dan di teruskan dengan surah al-Baqarah
dalam episode-episode berikutnya, hal itu dilakukan atas permintaan Sa’id Ramadan,
pemimpin redaksi majalah tersebut, Sayyid Qutb menjadi penulis sekaligus direktur dalam
rubrik ini, bagi Sayyid Qutb sendiri rubrik ini merupakan suatu wadah penampung dari gejolak
ide dan dakwahnya untuk hidup di bawah naungan al-Qur’an. Namun kemudian penulisan
rubrik ini dihentikan dengan alasan ia ingin menggantinya dengan rubrik lain, disertai dengan
janji untuk menulis tafsir secara khusus yang akan diterbitkan pada setiap juznya.
Menurut Manna’ al-Qattann Tafsir fi Zilal al-Qur’an merupakan karya tafsir yang
sangat sempurna dalam menjelaskan kehidupan di bawah bimbingan al-Qur’an. tafsir ini
memiliki kedudukan tinggi di kalangan intelektual Islam lantaran kekayaan kandungan
pemikiran dan gagasannya, terutama menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, oleh karena
itu Tafsir fi Zilal al-Qur’an mutlak diperlukan oleh kaum muslim kontemporer. 14
Sesuai dengan judul karya tafsirnya fi Zilal al-Qur’an. Sayyid Qutb dalam muqaddimah
tafsirnya mengatakan bahwa hidup dalam naungan al-Qur’an adalah suatu kenikmatan, Sebuah
kenikmatan yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya, suatu
kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Beliau
sendiri merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan al-Qur’an itu yaitu
sesuatu yang belum dirasakan sebelummya, semua ini merupakan cermin pemikiran serta
perasaannya akan al-Qur’an ketika beliau merasakan hidup dibawah naungannya, dan mampu

13 badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
14 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 297

6
memberikan pesan pada umat manusia bahwa kenikmatan hidup itu dapat diperoleh dengan
berpegang teguh pada al-Qur’an.
Tafsir fi Zilal al-Qur’an ini bernuansa sastra yang kental selain dari konsep-konsep dan
motivasi pererakan, selain itu berusaha membumikan al-Qur’an melalui analog-analogi yang
terjadi di masyarakat saat itu. Perjuangan dan pembebasan dari segala tirani merupakan sesuatu
yang sudah seharusnya dilakukan umat Islam.Jadi ada satu pendekatan dilakukan Sayyid Qutb
dalam Tafsirnya yakni bagaimana sastra yang merupakan unsur mukjizat al-Qur’an mampu
mempengaruhi kaum Muslimin dan memotivasinya untuk bangkit dan berjuang.15
Kemudian Kitab Tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang pertama diterbitkan dalam tulisan jawi
ialah Juz ‘Amma dalam empat jilid. Kitab ini telah diterbitkan pada tahun 1953. Kitab tafsir
edisi jawi ini mengguna pakai tajuk Tafsir Fi Zilal al-Qur’an “Di dalam Bayangan al-Qur’an”
oleh al-Syahid Sayyid Qutb dan telah dialih bahasa oleh Yusoff Zaky Haji Yacob. Edisi ini
telah dicetak dan diterbitkan oleh Dian Darul Naim, kota bharu, kelantan dengan cetakan
pertama pada tahun 1986.16

b. Sejarah penulisan Tafsir fi Zhilal al-Qur’an


Ditengah-tengah kesibukannya sebagai aktifis organisasi al-ikhwan al-muslimun
Sayyid Quthb menyempatkan diri untuk membaca, mengkaji dan menulis buku. Dalam sehari
ia meluangkan waktu untuk menulis selama delapan sampai sepuluh jam untuk menyusun dan
menulis karya ilmiah. Buah pertama fikirannya tertuang dalam buku al-‘Adalah al-Ijtima’iyah
fi al-Islam, tidak lama kemudian Sayyid Quthb mulai menyusun sebuah kitab tafsir yang
terkenal mempunyai keistimewaan tertentu dibanding dengan kitab-kitab tafsir lainnya, baik
dari segi penyajian, gaya bahasa yang digunakan maupun dari segi kandungan isinya.
Pada awalnya penulisan tafsir fi Zhilal al-Qur’an ini dituangkan dalam sebuah rubrik
majalah al-Muslimin edisi ke-3, terbit pada tahun 1952. Sayyid Quthb menulis tafsir secara
serial di majalah tersebut dimulai dari al-fatihah dan dilanjutkan surat al-Baqarah dalam edisi-
edisi selanjutnya, hal itu dilakukan atas permintaan Sa’id Ramadhan pemimpin redaksi majalah
tersebut. Selain menjadi penulis, ia juga menjabat sebagai redaktur dalam rubik ini. Namun
kemudian rubrik dihentikan dengan alasan ia ingin menggantinya dengan rubrik lain serta janji
akan menulis tafsir secara khusus dan akan terbit setiap juz. Penulisan tafsir fi Zhilal al-
Qur’an ini selesai pada tahun 1964 ketika Sayyid Quthb mendekam di dalam penjara.

c. Metode tafsir fi Zhilal al-Qur’an


Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berati jalan atau cara.
Kemudian oleh bangsa Arab kata ini diterjemahkan dengan manhaj dan thariqah. Apabila
dikaitkan dengan tafsir, maka yang dimaksud dengan metode tafsir atau manhaj tafsir adalah
kerangka atau kaidah yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an yang dengan kaidah
tersebut dapat meminimalisir kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sayyid Quthb menggunakan sistematika penulisan tafsir yang khas dalam menyusun
tafsir fi Zhilal al-Qur’an. Pada setiap awal surat yang akan dibahas Sayyid selalu memberikan
gambaran umum mengenai isi kandungan ayat-ayatnya. Sehingga pembaca memiliki gambaran

15 www.al-ahkam.net/.../sayyid-qutb-dan-fi-zilālil-qur’
16 disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan

7
umum mengenai kandungan ayat-ayat tersebut sebelum membaca detail penjelasan dalam
tafsir fi Zhilal al-Qur’an. Kemudian apabila ditinjau dari segi sumber, cara penjelasan,
keluasannya dan sasaran tertib ayat, maka tafsir fi Zhilal al-Qur’an disusun berdasarkan
metode berikut:
1. Ditinjau dari sumber penafsiran
Metode tafsir al-Qur’an ditinjau dari segi sumber penafsirannya, ada tiga macam, yaitu:
a. Metode tafsir bi al-ma’thur / bi al-manqul / bi al-riwayah yakni metode menafsirkan al-
Qur’an yang sumber-sumber penafsirannya diambil dari al-Qur’an, Hadis, qawl sahabat
dan qawl tabi’in yang berhungan dengan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an.
b. Metode tafsir bi al-ra’yi / bi al-dirayah / bi al-ma’qul, yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang
sumber penafsirannya berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir dengan seperangkat metode
penafsiran yang telah ditentukan oleh para ulama.
c. Metode tafsir bi al-iqtiran, yaitu metode tafsir yang sumber-sumber penafsirannya didasarkan
pada sumber riwayah dan dirayah sekaligus. Dengan kata lain, tafsir yang menggunakan
metode ini mancampurkan antara sumber riwayah dan sumber dirayah atau antara sumber bi
al-ma’thur dan ijtihad mufassir.
Berdasarkan tiga kategori tersebut, tafsir fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid
Quthb termasuk dalam kategori bi al-iqtiran, yakni sumber penafsirannya diambil dari riwayat
dan ijtihad Sayyid Quthb sendiri. Sebagaimana contoh dalam menafsirkan kata al-
muttaqin pada surat al-Baqarah ayat 2, Sayyid Qutub menafsirkan taqwa dengan riwayat:
‫ط ِريقًا‬
َ ‫ت‬ َ ‫ أ َ َما‬:ُ‫ فَقَا َل لَه‬،‫ع ِن الت َّ ْق َوى‬
َ ‫سلَ ْك‬ َ ‫ب‬ َّ َ‫سأ َ َل أُب‬
ٍ ‫ي بْنَ َك ْع‬ َ ،ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ ِ ‫ب َر‬ َّ ‫ع َم َر بْنَ ْالخ‬
ِ ‫َطا‬ ُ ‫ِإ َّن‬
‫ فَذَ ِل َك الت َّ ْق َوى‬:‫ قَا َل‬، ُ‫اجت َ َهدْت‬
ْ ‫ش َّم ْرتُ َو‬َ :‫ت؟ قَا َل‬ َ ‫ع ِم ْل‬ َ ‫ فَ َما‬:‫ َبلَى قَا َل‬:‫ذَا ش َْوكٍ ؟ قَا َل‬
Sesungguhnya Umar ibn Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa, lalu
Ubay bin Ka’ab menjawab sambil bertanya, pernahkan engkau melewati jalan yang penuh
duri?, Umar menjawab, pernah. Kemudian Ubay bin Ka’ab bertanya kembali, apakah gerangan
yang engkau lakukan?, Umar menjawab, aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya. Ubay
berkata, itulah taqwa.
Selain mengambil riwayat tersebut, Sayyid Quthb kemudian menjelaskan taqwa dengan:
Itulah taqwa, sensitifitas dalam hati, kepakaan dalam perasaan, responsif, selalu takut,
selalu berhati-hati, dan selalu menjaga diri dari duri-duri jalan, jalan kehidupan yang penuh
dengan duri kesenangan dan syahwat, duri-duri keinginan dan ambisi, duri-duri kekhawatiran
dan ketakutan, duri-duri harapan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi harapan, dan ketakutan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk
memberi manfaat dan bahaya, dan berpuluh-puluh macam duri lainnya.

2. Cara penjelasan
Metode tafsir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
dibagi menjadi dua ketegori:
a. Metode bayani atau diskriptif, yakni metode menafsirkan al-Qur’n yang hanya dengan
memberikan keterangan secara diskriptif tanpa adanya perbandingan riwayat atau pendapat-
pendapat mufassir dan tanpa ada tarjih diantara sumber-sumber tersebut.
b. Metode muqarin atau bisa disebut juga dengan metode komparasi, yakni metode menafsirkan
al-Qur’an dengan cara membandingkan ayat satu dengan yang lainnya, ayat dengan hadis,
antara pendapat mufassirsatu dengan mufassir lainnya serta menonjolkan segi-segi perbedaan.

8
Ditinjau dari cara penjelasannya maka metode tafsir fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh
Sayyid Quthb masuk dalam kategori metode muqarin. Hal ini dapat dilihat ketika Sayyid
Quthb menafsirkan tentang surat al-Qiyamah ayat 22-23:
ٌ ‫ناظ َرة‬
ِ ‫ ِإلى َر ِبها‬. ٌ ‫ناض َرة‬
ِ ‫ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ‬
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Dalam beberapa paragraf mengenai penafsiran ayat ini, Sayyid Quthb menyinggung
perbedaan pendapat antara kaum Mu’tazilah dan Ahl Sunnah:Adapun masalah bagaimana cara
melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat
wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab
informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh,
yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk
mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka
sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang
terbatas ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh
hakikat yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini,
sudah terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya
membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-
tele yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl
al-sunnah dan paramutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di
tempat seperti itu (surga).
3. Keluasan penjelasan
Berdasarkan keluasan penjelasannya metode tafsir al-Qur’an dibedakan dalam dua
ketegori:
a. Metode tafsir ijmali, yakni metode penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
secara global, tidak mendalam dan tidak pula panjang lebar.
b. Metode tafsir itnabi, yaitu metode menafsirkan al-Qur’an yang penjelasannya sangat luas dan
detail, dengan uraian-uraian yang panjang sehingga cukup jelas dan terang.
Berlandaskan pembagian di atas, tafsir fi Zhilal al-Qur’an tergolong dalam tafsir yang
menggunakan metode tafsir itnabi. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Sayyid Quthb
terhadap surat al-Qiyamah ayat 22-23:
ٌ ‫اظ َرة‬
ِ ‫ ِإلى َر ِبها ن‬. ٌ ‫ناض َرة‬
ِ ‫ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ‬
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Kepada Tuhannya? Maka manakah posisi yang lebih tinggi dari pada itu? Manakah
kebahagiannya yang melebihi ini?
Jiwa orang-orang mukmin kadang merasa senang dan bahagia dengan secerca keindahan
cahaya Ilahidi dalam semesta atau dalam dirinya, yang dilihatnya pada waktu bulan purnama
atau gelap gulita, atau ketika fajar merekah, atau bayang-bayang yang terus memanjang, atau
laut yang bergelombang, atau padang yang luas membentang, atau taman-taman yang indah
berseri, atau mayang-mayang yang tampak asri, atau kalbu yang cerdas dan pandai, atau
keimanan yang penuh kepercayaan, atau kesabaran yang penuh keindahan.. dan lain-lain wujud
keindahan semesta raya ini.. maka penuhlah jiwa dengan kesenangan, melimpahlah rasa

9
bahagia, dikepak-kepakan sayap cahaya untuk terbang bebas di penjuru alam. Lenyaplah
darinya duri-duri kehidupan, penderitaan dan keburukan, beban tanah dan timbunan daging
dan darah, gejolak syahwat dan hawa nafsu..
Ingatlah, sesungguhnya itu adalah maqam yang pertama-tama memerlukan pertolongan
Allah, kedua memerlukan pemantapan dari Allah, agar manusia dapat mengusai dirinya
sehingga stabil dan dapat menikmati kebahagiannya yang tidak lagi dapat diterangkan lagi
sifat-sifatnya, dan tidak dapat digambarkan hakikatnya.
ٌ ‫ناظ َرة‬
ِ ‫ ِإلى َر ِبها‬. ٌ ‫ناض َرة‬
ِ ‫ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ‬
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Nah, Bagaimana mungkin ia tidak berseri-seri melihat keindahan Tuhannya?
Sungguh manusia dapat melihat sesuatu dari ciptaan Allah di dunia ini, seperti mayang
yang elok, bunga yang segar, sayap yang mengepak, pikiran yang cerdas atau perbutan yang
bagus. Dengan merenungkan semua ini, maka akan melimpah rasa bahagia dari hati ke raut
wajah sehingga nampak cerah dan ceria. Maka, bagaimana lagi kalau ia memandang keindahan
Yang Maha Sempurna yang tidak terikat dengan segala keindahan di alam wujud ini? manusia
tidak akan bisa mencapai pada tingkatan yang demikian itu kecuali setelah ia lepas dari semua
kendala yang menghalanginya untuk mencapai tingkatan yang sangat tinggi lagi agung dalam
angan-angan. Kendala-kendala itu tidak hanya ada di sekitarnya, bahkan ada dalam dirinya
sendiri, berupa dorongan-dorongan kepada kekurangan dan keburukan, dan mendorong
kepada sesuatu yang tidak dapat menghantarkan untuk memandang Allah di akhirat kelak.
Adapun masalah bagaimana cara melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia
melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati
yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang
beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh, yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk
mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka
sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang terbatas
ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh hakikat
yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini, sudah
terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya
membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-tele
yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl al-
sunnah dan para mutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di
tempat seperti itu (surga).
Mereka mengukurnya dengan ukuran dunia, mereka bicarakan manusia menurut ketetapan
akal di dunia dan mereka membayangkan urusan-urusan itu dengan menggunakan sarana-
sarana pengetahuan yang terbatas lapanganya.
4. Sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan
Ditinjau dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, semua tafsir yang ada saat ini tidak
akan lepas dari kategori tahlili, nuzuli dan maudu’i. Tahlili merupakan cara menafsirkan ayat
al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nass. Metode nuzuli adalah
menafsirkan ayat al-Qur’an diurutkan berdasarkan kronologis turunnya ayat al-Qur’an,
sehingga apabila mufassir menggunkan metode ini, ia akan memulai tafsirnya dengan surat al-
‘Alaq. Adapun metode maudu’i adalah metode menafsirkan al-Qur’an dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang memiliki satu tema.

10
Berdasarkan pemetaan tersebut, tafsir fi Zhilal al-Qur’an masuk dalam kategori tafsir yang
menggunakan metode tahlili, karena Sayyid Qut}b menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
urutan mushaf uthmani yang dimulai dengan al-Fatihah sampai surat an-Nass.

d. Aliran dan Kecenderungan Tafsir fi Zhilal al-Qur’an


Mengenai al-ittijah/al-naz’ah atau kecenderungan tafsir fi Zhilal al-Qur’an yang
ditulis Sayyid Qutb, para pakar menggolongkan tafsir ini dalam kategori tafsir yang
memiliki al-ittijah adaby al-ijtima’i. Menurut Al-Dhahaby, tafsir dengan al-naz’ah adab al-
ijtima’i adalah tafsir yang berusaha menganalisa dan mengkritisi teks-teks al-Qur’an dengan
menunjukan ketelitian redaksinya serta mengemasnya dalam bahasa yang indah kemudian
mensinergikan antara ayat-ayat dengan problematika masyarakat yang berkembang pada saat
itu.
Berdasarkan definisi tersebut tepat kiranya apabila tafsir fi Zhilal al-Qur’an ini
digolongkan dalam tafsir yang memiliki naz’ah adaby ijtima’i karena selain ungkapan bahasa
yang digunakan indah, Sayyid Quthb juga berupaya mensinergikan antara ayat-ayat yang ia
tafsirkan dengan perkembangan masyarakat. Sebagaimana contoh penafsiran surat al-Nisa’
ayat 3:
‫ع فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم‬ َ ‫اء َمثْنَى َوث ُ ََل‬
َ ‫ث َو ُربَا‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫طوا فِي ْاليَتَا َمى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّّل ت ُ ْق ِس‬
‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ذَ ِل َك أ َ ْدنَى أَ ََّّل تَعُولُوا‬
ْ ‫احدَة ً أ َ ْو َما َملَ َك‬
ِ ‫أ َ ََّّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu
menikahinya), mak nikahilah wanita-wanita (lain), yang kamu senangi dua, tiga atau empat.
Namun apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja atau budak-
budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat tidak
aniaya.
Sayyid Quthb banyak mengutip riwayat dalam menjelaskan ayat ini, diantaranya adalah
:
َ ‫سلَ َمة الثَّقَ ِفي أسلم وتحته‬
:- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ فقال له النبي‬،‫ع ْش ُر نسوة‬ َ ‫غ ْيَلَنَ بن‬
َ ‫أن‬
ً ‫منهن أربعا‬
َّ ْ
‫"اخت َ ْر‬
Sesungguhnya Ghaylan bin Salamah al-Thaqafi -sedang ia memiliki sepuluh orang istri-
lalu Rasulullah bersabda kepadanya, pilihlah empat orang dari mereka.
Kemudian Sayyid Quthb berupaya menjelaskan dengan panjang lebar alasan Islam
memberi rukhas kepada umatnya untuk melakukan poligami. Sayyid Quthb tidak menyatakan
bahwa Islam memerintah poligami akan tetapi memberikan rukhsas dengan berbagai macam
sebab yang ia sebutkan panjang lebar di dalam tafsirnya. Menurut Sayyid Quthb Islam
memberikan rukhsas kepada pemeluknya untuk melakukan poligami karena jumlah wanita
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki.
Berangkat dari masalah jumlah perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki,
Sayyid Quthb merumuskan alternatif mengenai cara penyelesainya:
1. Seorang lelaki menikahi satu orang perempuan, sedang perempuan yang lainya tidak menikah
selamanya.
2. Seorang laki-laki menikah dengan satu orang perempuan yang sah, sedang perempuan yang
lain menjadi “gundik” bagi laki-laki tersebut.
3. Seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan secara sah dan trasparan tidak
menjadikan diantara mereka sebagai simpanan.

11
Menurut Sayyid Quthb alternatif pertama sangat bertentangan dengan fitrah manusia,
karena secara fitrah perempuan membutuhkan lelaki. Alternatif kedua bertentangan dengan
kesucian agama Islam, maka alternatif ketiga merupakan alternatif terbaik dan sesuai dengan
tuntunan shara’, namun alternatif ketiga ini memiliki syarat mampu berlaku adil kepada istri-
istrinya.
Selain ditinjau dari segi jumlah, Sayyid Quthb juga meninjau dari segi masa subur
antara laki-laki dan perempuan. Menurut Sayyid Quthb, laki-laki memilki masa subur sampai
usia tujuh puluh tahun bahkan lebih, sedangkan perempuan masa suburnya berhenti pada
kisaran lima puluh. Dengan demikian ada tenggang sekitar dua puluh tahun masa subur dalam
kehidupan laki-laku yang tidak diimbangi masa subur perempuan. Menanggapi hal ini Sayyid
Quthb memaparkan tiga kemungkinan alternatif:
1. Melarang laki-laki melakukan fitrahnya pada masa subur, karena dianggap tidak menjaga hak
dan kehormatan istri.
2. Membiarkan laki-laki menyalurkan fitrahnya kepada semua wanita dengan bebas tanpa ikatan
yang jelas (zina).
3. Memperbolehkan laki-laki melakukan poligami sesuai dengan tuntutan keadaan dengan tanpa
menceraikan istri yang pertama.
Di antara tiga kemungkinan alternatif di atas, menurut Sayyid Quthb alternatif yang
sesuai dengan shara’ adalah alternatif ketiga. Namun bukan berarti Sayyid Quthb mendukung
secara mutlak poligami, bagi Sayyid Quthb poligami merupakan upaya penyelesaian problem
sosial, bukan untuk memperturutkan keinginan manusia yang tidak ada batasnya. Sehingga
menurutnya, poligami yang di dasari atas keinginan berganti-ganti kekasih bukanlah ajaran
Islam.

e. Sumber Penafsiran Tafsir fi Zilal al-Qur’an


Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib mushafy. Sedangkan
sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil sumber penafsiran bil ma’tsur,
kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai
penjelas dari argumentasinya. Tafsirnya ini tidak menggunakan metode tafsir tradisional, yaitu
metode yang selalu merujuk keulasan sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb seringkali
mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini
lebih menekankan kepada pendekatan iman secara intuitif, artinya, secara langsung tanpa perlu
dirasionalisasikan atau dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus
diterapkan langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber pada bil ra’yi karena
memuat pemikiran social masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak.Selain kedua
sumber tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah,
biografi, fiqh, bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.

f. Motivasi Penulisan Tafsir Fi Zhilal al Qur’an

12
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari
perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik
yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid
Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik
sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang
dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-
kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir Al-
Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an. Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas
tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut ikhwan
al-muslimin lainnya seperti halnya Abu A’la al maududi.17
Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan
rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun
yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik
khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid
Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang
kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang
dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun,
hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif
menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang
diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau
lantas diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak
langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan
sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada
dalam tahanan.18

g. Sistematika dan Tujuan Penulisan Tafsir fi Zilal al-Qur’an


Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib mushafy. Sedangkan
sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil sumber penafsiran bil ma’tsur,
kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai
penjelas dari argumentasinya.Tafsirnyaini tidak menggunakan metode tafsir tradisional, yaitu
metode yang selalu merujuk ke ulasan sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb seringkali
mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini
lebih menekankan kepada pendekatan iman secara intuitif, artinya, secara langsung tanpa perlu
dirasionalisasikan atau dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus
diterapkan langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber pada bil ra’yi karena
memuat pemikiran social masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak.Selain kedua

17disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan
18 Op . Cit . Bahnasawi, K. Salim hal 121

13
sumber tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah,
biografi, fiqh, bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.

h. Corak Tafsir Fi Zilal al-Qur’an


Penafsiran Sayyid Quthb memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki tafsir-tafsir lain,
menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karena itu tafsir ini menjadi enak dibaca
dan mudah dipahami. Kitab tafsir ini mengandung unsur corak adaby ijtima’i yakni sastra dan
social kemasyarakatan.
Sifat lain dari tafsir ini adalah pemaparan yang bersemangat sehingga mudah dicurigai
sebagai tafsir provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai tafsirnya dengan corak tafsir
haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran dengan corak baru yang khas dan unik serta
langkah baru yang jauh dalam tafsir serta memuat banyak sekali tema penting dengan
menambahkan hal-hal mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan
sebagai aliran (faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran Tafsir pergerakan”. Ini
disebabkan metode pergerakan –metode realistis serius—tidak ada selain pada Tafsir fi Zilal
al-Qur’an ini.

i. Pandangan Ulama terhadap kitab19


1. Dr. Hasan Farhad telah menyatakan bahawa Tafsir Fi Zilal al-Qur’an telah menjadi begitu
terkenal dengan sebab Sayyid Qutb Rahimahullah telah menulis tafsir ini sebanyak dua kali;
kali pertama ia menulis dengan tinta seorang alim dan kali kedua dia menulis dengan darah
syuhada’.
2. Yusof al-‘Azym mengatakan bahawa tafsir Fi Zilal al-Qur’an adalah sebuah tafsir yang unik
dan berada di kemuncak tafsir-tafsir yang lama dan yang baru.
3. Muhammad Qutb yaitu adik kepada Sayyid Qutb menyatakan bahawa tafsir ini bukan tafsir
dalam ertikata menghurai pengertian lafaz-lafaz, walaupun aspek ini tidak ditinggalkan dan
bukannya menghuraikan keindahan dan kemukjizatan ungkapan-ungkapan al-Qur’an
walaupun aspek ini ada disebut, tetapi sejak mula lagi ia menitikberatkan tentang cara
keimanan itu tumbuh dalam diri, tetapi sejak mula lagi ia menitikberatkan tentang cara
keimanan itu tumbuh dalam diri.
4. Dato’ Haji Daud bin Muhammad (Qadhi Besar Negeri Kelantan) dan Dato’ Haji Mohd.
Shukri Mohamad (Timbalan Mufti Negeri Kelantan) turut menyatakan bahawa tafsir ini adalah
lain dari yang lain.
5. Brig. Jen (B) Dato’ Abdul hamid bin Zainal abidin menyatakan terjemahan ini merupakan
sebuah terjemahan dinamis yaitu menterjemahkan makna yang ingin disampaikan oleh sayyid
qutub.

j. Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir fi Zilal al-Qur’an


Beberapa keistimewaan kitab ini adalah:20

19 disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan.
20 Ibid

14
1. Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat dalam suatu surat memberikan gambaran ringkas
tentang kandungan surat yang akan di kaji.
2. Pengelompokan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang terkandung pada ayat tersebut.
3. Memperhatikan munasabah antar ayat
4. Bercorak sastra dan mudah dipahami.
5. Menggunakan hadith-hadith sahih
6. Berusaha menghindari kisah-kisah Isra’iliyat.
7. Merefleksikan keinginan besar untuk kemajuan ummat.
8. Orsinilitas ide dan pemikiran penulis.
9. Dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak baru dalam nuansa penafsiran
Alquran.
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
1. Keterbatasan referensi Sayyid Qutb kerena beliau menyusun ini kitab ini dipenjara sehingga
banyak banyak memunculkan pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental dengan nuansa
pada saat itu.
2. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga dicurigai sebagai kitab tafsir
provokatif.

15
BAB III
KESIMPULAN

a. Sayyid Quthb hidup dalam nuansa iman ketika menulis Zhilal. Beliau hidup bersama Al
quranul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari Al quran ini beliau
menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan hidup yang penuh
berkah di bawah naungannya. Bel menjkaiau memperoleh curahan rahmat Allah di dalam
penjara serta di beri anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta
mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu,
keimanan, dan keyakinan beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau
dalam Zhilal merupakan buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut. Maka tidak perlu
didengar perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap
sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan anugerah beliau, kesehatan
pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau, serta kebenaran hukum-hukum
dan penjelasan-penjelasan beliau.
b. Tafsir Fi Zhilal Qur’an itu tidaklah ditulis dari waktu luang, atau untuk mengisi waktu luang,
akan tetapi pengarangnya menulis Zhilal dari medan jihad. Penulisnya ikut berkecimpung
dalam perang sengit melawan kejahiliahan. Ia mrnggunakan kitab Allah ini untuk berjihad
secara besar-besaran melawan mereka. Kemudian tafsir fi Zhilal al Qur’an dengan metode
penulisannya memiliki keunggulan tersendiri yang jarang ada dalam karya tafsir selainnya
namun sekaligus terdapat kekurangan didalamnya karena bersifat factor personal. Selain itu
tafsir fi Zhilal al Quran ini bernuansa sastra dan mudah dipahami.
c. Tafsir fi zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid Qutb merupakan tafsir yang memiliki ciri khas
tersendiri. Sayyid Qutb selalu memberikan gambaran global mengenai isi dari sebuah surat
sebelum ia membahas secara detail ayat per ayatnya. Sayyid Qutb juga tidak tertarik membahas
mengenai perbedaan mazhab dan perbedaan pandangan ulama secara panjang lebar, bahkan
ketika berbicara mengenai ayat “melihat Tuhan”, ia malah menyatakan bahwa perdebatan yang
dilakukan antara mu’tazilah dan Suni adalah perdebatan sia-sia.
Ditinjau dari segi sumbernya tafsir fi zilal al-Qur’an termasuk dalam kategori bi al-
iqtiran. Apabila ditinjau dari segi keluasan tafsir ini tergolong pada tafsir muqarin, dari segi
keluasan masuk dalam kategori itnabi dan ditinjau dari segi tertibnya merupakan tafsir yang
menggunakan metode tahlili. Adapun naz’ah-nya menurut para pakar masuk dalam
kategori adaby ijtima’i.

16
DAFTAR RUJUKAN

Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Sayid

Qutub, Cetakan pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era Intermedia.

Ayub, Mahmud. 1991.Al Qur’an dan Para Penafsirnya .Jakarta: Pustaka Firdaus

Bahnasawi, K. Salim. 2003. Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani Press.

Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernian Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani.

Sayyid Quthb.2009. Ma’alim Ath-Thariq.Yogyakarta: Uswah media.

Quthb Sayyid, fi Z}ilal al-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani, 2008.

www.al-ahkam.net/.../sayyid-qutb-dan-fi-zilālil-qur’an

www.referensimakalah.com › Tafsir dan Penafsiran

Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.

badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-quthb

disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan 992. Pustaka Firdaus.

17

You might also like