Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sayyid Quthb adalah tokoh agama, ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir dan intelektual Islam
asal Mesir, dalam sejarah hidupnya, Sayyid Quthb tidak pernah lelah untuk berdakwah
meskipun beliau dizalimi, disiksa dan dipenjara puluhan tahun, beliau tidak pernah putus asa,
beliau adalah sosok yang luar bisa dengan segala kegigihannya dalam berdakwah.
Sayyid Quthb hidup dalam nuansa iman ketika menulis Tafsir Zhilal, Beliau
hidup bersama Al Qur’anul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari
Al Qur’an ini beliau menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan
hidup yang penuh berkah di bawah naungannya, beliau memperoleh curahan rahmat Allah di
dalam penjara serta diberi anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta
mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu, keimanan
dan keyakinan beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau dalam Zhilal merupakan
buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut.
Maka tidak perlu didengar lagi perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan
yang bukan-bukan terhadap Sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan
anugerah beliau, kesehatan pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau,
serta kebenaran hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan beliau.1
Sayyid Quthb dizalimi dan dipenjara rezim yang berkuasa bukan karena tindakan
kriminal yang beliau lakukan tetapi karena tulisan dan karya-karyanya yang mampu
menggugah ribuan pemuda untu bangkit melawan kejahiliahan dan menegakkan Islam, dan
dalam penjara itulah beliau torehkan karya yang monumental yaitu Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an.
1. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Sayid Qutub, Cetakan
pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era Intermedia, hlm. 389-390
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Sayyid Quthb
Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung
Musyah, daerah Asyut, Egypt dalam keluarga yang kuat mematuhi ajaran agama dan
mempunyai kedudukan yang terhormat di kampungnya. Bapaknya bernama Haji Qutub
Ibrahim seseorang yang disegani dan peduli terhadap orang miskin, setiap tahun beliau
menghidupkan hari-hari kebesaran Islam dengan mengadakan majlis-majlis jamuan dan
tilawah al-Quran di rumahnya terutama di bulan Ramadhan. Ibunya adalah seorang yang
bertaqwa dan menyintai al-Quran, ketika majlis tilawah al-Quran diadakan di rumahnya, ia
mendengar dengan penuh khusyu’ dan beliau telah menghafal al-Qur’an sejak usianya belum
sampai sepuluh tahun.
Kakeknya yang keenam, Al-Faqir Abdullah, datang dari India ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia meninggalkan Mekah menuju dataran tinggi Mesir. Ia
merasa takjub atas daerah Mausyah dengan pemandangan-pemandangan, kebun-kebun serta
kesuburannya. Maka akhirnya ia pun tinggal di sana. Di antara anak turunnya itu lahirlah Sayid
Quthb rahimahullah.2
Sayyid Quthb bersekolah di daerahnya selama 4 tahun. Usia 13 tahun beliau dikirim
untuk belajar ke Kairo, beliau lulus dari Dar Al Ulum dengan gelar S1 dalam bidang sastra (Lc)
sekaligus diploma pendidikan. Pada tahun 1951 M beliau mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Mesir ke Amerika Serikat. Beliau belajar di beberapa kampus favorit, yaitu:
Stanford University di California, Greenly Collage di Colordo, dan Wilson’s Teacher College
di Washington.3
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain
itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir,
hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Quthb bekerja dalam Kementerian
tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat
adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang
pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam
pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di
Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di
bidang pendidikan. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik
antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan
kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Quthb melihat bahwa sekalipun Barat telah
berhasil meraih kemajuan pesat.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian
memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan
2 Ibid. Hal. 23
3 Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran
2
sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di
negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn
yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan
tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-
pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-
Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam
dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh.4
Penyebaran ideologi yang ditegakkan di atas fikrah perjuangan al-Banna,
dikembangkan oleh Qutb dengan pendekatan yang agak radikal dalam menolak kebejatan
politik dan kepincangan sosial, dan mencanangkan ide-ide pembaharuan yang revolusioner.
Qutb merangka khittah perjuangan yang jelas, bagi meluaskan pengaruh Ikhwan dan
menegakkan agenda perubahan yang besar. Beliau melancarkan gerakan untuk menghukum
kezaliman pemerintah, menolak kebobrokan budaya dan cengkaman politik yang rakus,
menyingkirkan faham jahiliyah, membungkam sistem kapitalis, nasionalis, dan feodalis dan
melantarkan dasar-dasar perjuangan dan dakwah berteraskan kalimah La-ilaha-illallah.5
Beliau wafat di waktu fajar hari senin 13 Jamadil Awal 1386 atau 29 Agustus 1966 di
tiang gantungan setelah didakwai bersalah oleh “Mahkamah Militer” yang telah dibangun oleh
kerajaan revolusi di zaman itu, mahkamah ini mempunyai sejarah pengadilan yang hitam dan
banyak mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa.
4badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
5 Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernian Pemikirannya. Hal 14
6 badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
3
Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan
kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia
menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam
mengarungi kehidupan dunia ini.7
Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad tahun
lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian masa itu dan
sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an, namun ajaran-ajaran
yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala
tempat dan zaman. Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah
dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak
heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan
kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan
terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat yang kemudian
meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.
7 Bahnasawi, K. Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: 2003. Gema Insani Press. Hal. 15
8 Op. Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 19
9 Op. Cit, Nuim Hidayat,Hal. 27-29
4
penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-
ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat
diambil sebagai tuntunan hidup manusia.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa
tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra,
budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang
sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-
Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. 10
10 Ayub, Mahmud, Qur’an dan Para Penafsirnya .Jakarta: 1992. Pustaka Firdaus. Hal 171
11 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 316
12 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 316
5
d. Contoh Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an
Ayat surat Al- Anfal Banyak sekali ulama yang mengtakan bahwa ayat ini mengalami
proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa dahulu perbandingan pada saat
bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin
diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang
keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang islam berupa satu orang islam melawan
dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik.Sayyid Qutb mencoba
menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai
taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan.
Namun inti dari semua itu adalah untuk menenteramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat
gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut
Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat islam. Kemenangan
bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah
sedikit, umat islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militan yang
mempunyai semangat juang yang gigih.13
13 badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
14 Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 297
6
memberikan pesan pada umat manusia bahwa kenikmatan hidup itu dapat diperoleh dengan
berpegang teguh pada al-Qur’an.
Tafsir fi Zilal al-Qur’an ini bernuansa sastra yang kental selain dari konsep-konsep dan
motivasi pererakan, selain itu berusaha membumikan al-Qur’an melalui analog-analogi yang
terjadi di masyarakat saat itu. Perjuangan dan pembebasan dari segala tirani merupakan sesuatu
yang sudah seharusnya dilakukan umat Islam.Jadi ada satu pendekatan dilakukan Sayyid Qutb
dalam Tafsirnya yakni bagaimana sastra yang merupakan unsur mukjizat al-Qur’an mampu
mempengaruhi kaum Muslimin dan memotivasinya untuk bangkit dan berjuang.15
Kemudian Kitab Tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang pertama diterbitkan dalam tulisan jawi
ialah Juz ‘Amma dalam empat jilid. Kitab ini telah diterbitkan pada tahun 1953. Kitab tafsir
edisi jawi ini mengguna pakai tajuk Tafsir Fi Zilal al-Qur’an “Di dalam Bayangan al-Qur’an”
oleh al-Syahid Sayyid Qutb dan telah dialih bahasa oleh Yusoff Zaky Haji Yacob. Edisi ini
telah dicetak dan diterbitkan oleh Dian Darul Naim, kota bharu, kelantan dengan cetakan
pertama pada tahun 1986.16
15 www.al-ahkam.net/.../sayyid-qutb-dan-fi-zilālil-qur’
16 disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan
7
umum mengenai kandungan ayat-ayat tersebut sebelum membaca detail penjelasan dalam
tafsir fi Zhilal al-Qur’an. Kemudian apabila ditinjau dari segi sumber, cara penjelasan,
keluasannya dan sasaran tertib ayat, maka tafsir fi Zhilal al-Qur’an disusun berdasarkan
metode berikut:
1. Ditinjau dari sumber penafsiran
Metode tafsir al-Qur’an ditinjau dari segi sumber penafsirannya, ada tiga macam, yaitu:
a. Metode tafsir bi al-ma’thur / bi al-manqul / bi al-riwayah yakni metode menafsirkan al-
Qur’an yang sumber-sumber penafsirannya diambil dari al-Qur’an, Hadis, qawl sahabat
dan qawl tabi’in yang berhungan dengan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an.
b. Metode tafsir bi al-ra’yi / bi al-dirayah / bi al-ma’qul, yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang
sumber penafsirannya berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir dengan seperangkat metode
penafsiran yang telah ditentukan oleh para ulama.
c. Metode tafsir bi al-iqtiran, yaitu metode tafsir yang sumber-sumber penafsirannya didasarkan
pada sumber riwayah dan dirayah sekaligus. Dengan kata lain, tafsir yang menggunakan
metode ini mancampurkan antara sumber riwayah dan sumber dirayah atau antara sumber bi
al-ma’thur dan ijtihad mufassir.
Berdasarkan tiga kategori tersebut, tafsir fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid
Quthb termasuk dalam kategori bi al-iqtiran, yakni sumber penafsirannya diambil dari riwayat
dan ijtihad Sayyid Quthb sendiri. Sebagaimana contoh dalam menafsirkan kata al-
muttaqin pada surat al-Baqarah ayat 2, Sayyid Qutub menafsirkan taqwa dengan riwayat:
ط ِريقًا
َ ت َ أ َ َما:ُ فَقَا َل لَه،ع ِن الت َّ ْق َوى
َ سلَ ْك َ ب َّ َسأ َ َل أُب
ٍ ي بْنَ َك ْع َ ،َُّللاُ َع ْنه
َّ يَ ض ِ ب َر َّ ع َم َر بْنَ ْالخ
ِ َطا ُ ِإ َّن
فَذَ ِل َك الت َّ ْق َوى: قَا َل، ُاجت َ َهدْت
ْ ش َّم ْرتُ َوَ :ت؟ قَا َل َ ع ِم ْل َ فَ َما: َبلَى قَا َل:ذَا ش َْوكٍ ؟ قَا َل
Sesungguhnya Umar ibn Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa, lalu
Ubay bin Ka’ab menjawab sambil bertanya, pernahkan engkau melewati jalan yang penuh
duri?, Umar menjawab, pernah. Kemudian Ubay bin Ka’ab bertanya kembali, apakah gerangan
yang engkau lakukan?, Umar menjawab, aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya. Ubay
berkata, itulah taqwa.
Selain mengambil riwayat tersebut, Sayyid Quthb kemudian menjelaskan taqwa dengan:
Itulah taqwa, sensitifitas dalam hati, kepakaan dalam perasaan, responsif, selalu takut,
selalu berhati-hati, dan selalu menjaga diri dari duri-duri jalan, jalan kehidupan yang penuh
dengan duri kesenangan dan syahwat, duri-duri keinginan dan ambisi, duri-duri kekhawatiran
dan ketakutan, duri-duri harapan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi harapan, dan ketakutan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk
memberi manfaat dan bahaya, dan berpuluh-puluh macam duri lainnya.
2. Cara penjelasan
Metode tafsir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
dibagi menjadi dua ketegori:
a. Metode bayani atau diskriptif, yakni metode menafsirkan al-Qur’n yang hanya dengan
memberikan keterangan secara diskriptif tanpa adanya perbandingan riwayat atau pendapat-
pendapat mufassir dan tanpa ada tarjih diantara sumber-sumber tersebut.
b. Metode muqarin atau bisa disebut juga dengan metode komparasi, yakni metode menafsirkan
al-Qur’an dengan cara membandingkan ayat satu dengan yang lainnya, ayat dengan hadis,
antara pendapat mufassirsatu dengan mufassir lainnya serta menonjolkan segi-segi perbedaan.
8
Ditinjau dari cara penjelasannya maka metode tafsir fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh
Sayyid Quthb masuk dalam kategori metode muqarin. Hal ini dapat dilihat ketika Sayyid
Quthb menafsirkan tentang surat al-Qiyamah ayat 22-23:
ٌ ناظ َرة
ِ ِإلى َر ِبها. ٌ ناض َرة
ِ ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Dalam beberapa paragraf mengenai penafsiran ayat ini, Sayyid Quthb menyinggung
perbedaan pendapat antara kaum Mu’tazilah dan Ahl Sunnah:Adapun masalah bagaimana cara
melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat
wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab
informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh,
yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk
mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka
sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang
terbatas ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh
hakikat yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini,
sudah terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya
membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-
tele yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl
al-sunnah dan paramutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di
tempat seperti itu (surga).
3. Keluasan penjelasan
Berdasarkan keluasan penjelasannya metode tafsir al-Qur’an dibedakan dalam dua
ketegori:
a. Metode tafsir ijmali, yakni metode penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
secara global, tidak mendalam dan tidak pula panjang lebar.
b. Metode tafsir itnabi, yaitu metode menafsirkan al-Qur’an yang penjelasannya sangat luas dan
detail, dengan uraian-uraian yang panjang sehingga cukup jelas dan terang.
Berlandaskan pembagian di atas, tafsir fi Zhilal al-Qur’an tergolong dalam tafsir yang
menggunakan metode tafsir itnabi. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Sayyid Quthb
terhadap surat al-Qiyamah ayat 22-23:
ٌ اظ َرة
ِ ِإلى َر ِبها ن. ٌ ناض َرة
ِ ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Kepada Tuhannya? Maka manakah posisi yang lebih tinggi dari pada itu? Manakah
kebahagiannya yang melebihi ini?
Jiwa orang-orang mukmin kadang merasa senang dan bahagia dengan secerca keindahan
cahaya Ilahidi dalam semesta atau dalam dirinya, yang dilihatnya pada waktu bulan purnama
atau gelap gulita, atau ketika fajar merekah, atau bayang-bayang yang terus memanjang, atau
laut yang bergelombang, atau padang yang luas membentang, atau taman-taman yang indah
berseri, atau mayang-mayang yang tampak asri, atau kalbu yang cerdas dan pandai, atau
keimanan yang penuh kepercayaan, atau kesabaran yang penuh keindahan.. dan lain-lain wujud
keindahan semesta raya ini.. maka penuhlah jiwa dengan kesenangan, melimpahlah rasa
9
bahagia, dikepak-kepakan sayap cahaya untuk terbang bebas di penjuru alam. Lenyaplah
darinya duri-duri kehidupan, penderitaan dan keburukan, beban tanah dan timbunan daging
dan darah, gejolak syahwat dan hawa nafsu..
Ingatlah, sesungguhnya itu adalah maqam yang pertama-tama memerlukan pertolongan
Allah, kedua memerlukan pemantapan dari Allah, agar manusia dapat mengusai dirinya
sehingga stabil dan dapat menikmati kebahagiannya yang tidak lagi dapat diterangkan lagi
sifat-sifatnya, dan tidak dapat digambarkan hakikatnya.
ٌ ناظ َرة
ِ ِإلى َر ِبها. ٌ ناض َرة
ِ ُو ُجوهٌ َي ْو َمئِ ٍذ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.
Nah, Bagaimana mungkin ia tidak berseri-seri melihat keindahan Tuhannya?
Sungguh manusia dapat melihat sesuatu dari ciptaan Allah di dunia ini, seperti mayang
yang elok, bunga yang segar, sayap yang mengepak, pikiran yang cerdas atau perbutan yang
bagus. Dengan merenungkan semua ini, maka akan melimpah rasa bahagia dari hati ke raut
wajah sehingga nampak cerah dan ceria. Maka, bagaimana lagi kalau ia memandang keindahan
Yang Maha Sempurna yang tidak terikat dengan segala keindahan di alam wujud ini? manusia
tidak akan bisa mencapai pada tingkatan yang demikian itu kecuali setelah ia lepas dari semua
kendala yang menghalanginya untuk mencapai tingkatan yang sangat tinggi lagi agung dalam
angan-angan. Kendala-kendala itu tidak hanya ada di sekitarnya, bahkan ada dalam dirinya
sendiri, berupa dorongan-dorongan kepada kekurangan dan keburukan, dan mendorong
kepada sesuatu yang tidak dapat menghantarkan untuk memandang Allah di akhirat kelak.
Adapun masalah bagaimana cara melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia
melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati
yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang
beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh, yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk
mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka
sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang terbatas
ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh hakikat
yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini, sudah
terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya
membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-tele
yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl al-
sunnah dan para mutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di
tempat seperti itu (surga).
Mereka mengukurnya dengan ukuran dunia, mereka bicarakan manusia menurut ketetapan
akal di dunia dan mereka membayangkan urusan-urusan itu dengan menggunakan sarana-
sarana pengetahuan yang terbatas lapanganya.
4. Sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan
Ditinjau dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, semua tafsir yang ada saat ini tidak
akan lepas dari kategori tahlili, nuzuli dan maudu’i. Tahlili merupakan cara menafsirkan ayat
al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nass. Metode nuzuli adalah
menafsirkan ayat al-Qur’an diurutkan berdasarkan kronologis turunnya ayat al-Qur’an,
sehingga apabila mufassir menggunkan metode ini, ia akan memulai tafsirnya dengan surat al-
‘Alaq. Adapun metode maudu’i adalah metode menafsirkan al-Qur’an dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang memiliki satu tema.
10
Berdasarkan pemetaan tersebut, tafsir fi Zhilal al-Qur’an masuk dalam kategori tafsir yang
menggunakan metode tahlili, karena Sayyid Qut}b menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
urutan mushaf uthmani yang dimulai dengan al-Fatihah sampai surat an-Nass.
11
Menurut Sayyid Quthb alternatif pertama sangat bertentangan dengan fitrah manusia,
karena secara fitrah perempuan membutuhkan lelaki. Alternatif kedua bertentangan dengan
kesucian agama Islam, maka alternatif ketiga merupakan alternatif terbaik dan sesuai dengan
tuntunan shara’, namun alternatif ketiga ini memiliki syarat mampu berlaku adil kepada istri-
istrinya.
Selain ditinjau dari segi jumlah, Sayyid Quthb juga meninjau dari segi masa subur
antara laki-laki dan perempuan. Menurut Sayyid Quthb, laki-laki memilki masa subur sampai
usia tujuh puluh tahun bahkan lebih, sedangkan perempuan masa suburnya berhenti pada
kisaran lima puluh. Dengan demikian ada tenggang sekitar dua puluh tahun masa subur dalam
kehidupan laki-laku yang tidak diimbangi masa subur perempuan. Menanggapi hal ini Sayyid
Quthb memaparkan tiga kemungkinan alternatif:
1. Melarang laki-laki melakukan fitrahnya pada masa subur, karena dianggap tidak menjaga hak
dan kehormatan istri.
2. Membiarkan laki-laki menyalurkan fitrahnya kepada semua wanita dengan bebas tanpa ikatan
yang jelas (zina).
3. Memperbolehkan laki-laki melakukan poligami sesuai dengan tuntutan keadaan dengan tanpa
menceraikan istri yang pertama.
Di antara tiga kemungkinan alternatif di atas, menurut Sayyid Quthb alternatif yang
sesuai dengan shara’ adalah alternatif ketiga. Namun bukan berarti Sayyid Quthb mendukung
secara mutlak poligami, bagi Sayyid Quthb poligami merupakan upaya penyelesaian problem
sosial, bukan untuk memperturutkan keinginan manusia yang tidak ada batasnya. Sehingga
menurutnya, poligami yang di dasari atas keinginan berganti-ganti kekasih bukanlah ajaran
Islam.
12
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari
perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik
yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid
Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik
sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang
dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-
kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir Al-
Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an. Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas
tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut ikhwan
al-muslimin lainnya seperti halnya Abu A’la al maududi.17
Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan
rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun
yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik
khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid
Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang
kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang
dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun,
hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif
menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang
diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau
lantas diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak
langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan
sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada
dalam tahanan.18
17disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan
18 Op . Cit . Bahnasawi, K. Salim hal 121
13
sumber tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah,
biografi, fiqh, bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.
19 disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan.
20 Ibid
14
1. Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat dalam suatu surat memberikan gambaran ringkas
tentang kandungan surat yang akan di kaji.
2. Pengelompokan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang terkandung pada ayat tersebut.
3. Memperhatikan munasabah antar ayat
4. Bercorak sastra dan mudah dipahami.
5. Menggunakan hadith-hadith sahih
6. Berusaha menghindari kisah-kisah Isra’iliyat.
7. Merefleksikan keinginan besar untuk kemajuan ummat.
8. Orsinilitas ide dan pemikiran penulis.
9. Dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak baru dalam nuansa penafsiran
Alquran.
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
1. Keterbatasan referensi Sayyid Qutb kerena beliau menyusun ini kitab ini dipenjara sehingga
banyak banyak memunculkan pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental dengan nuansa
pada saat itu.
2. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga dicurigai sebagai kitab tafsir
provokatif.
15
BAB III
KESIMPULAN
a. Sayyid Quthb hidup dalam nuansa iman ketika menulis Zhilal. Beliau hidup bersama Al
quranul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari Al quran ini beliau
menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan hidup yang penuh
berkah di bawah naungannya. Bel menjkaiau memperoleh curahan rahmat Allah di dalam
penjara serta di beri anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta
mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu,
keimanan, dan keyakinan beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau
dalam Zhilal merupakan buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut. Maka tidak perlu
didengar perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap
sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan anugerah beliau, kesehatan
pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau, serta kebenaran hukum-hukum
dan penjelasan-penjelasan beliau.
b. Tafsir Fi Zhilal Qur’an itu tidaklah ditulis dari waktu luang, atau untuk mengisi waktu luang,
akan tetapi pengarangnya menulis Zhilal dari medan jihad. Penulisnya ikut berkecimpung
dalam perang sengit melawan kejahiliahan. Ia mrnggunakan kitab Allah ini untuk berjihad
secara besar-besaran melawan mereka. Kemudian tafsir fi Zhilal al Qur’an dengan metode
penulisannya memiliki keunggulan tersendiri yang jarang ada dalam karya tafsir selainnya
namun sekaligus terdapat kekurangan didalamnya karena bersifat factor personal. Selain itu
tafsir fi Zhilal al Quran ini bernuansa sastra dan mudah dipahami.
c. Tafsir fi zhilal al-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid Qutb merupakan tafsir yang memiliki ciri khas
tersendiri. Sayyid Qutb selalu memberikan gambaran global mengenai isi dari sebuah surat
sebelum ia membahas secara detail ayat per ayatnya. Sayyid Qutb juga tidak tertarik membahas
mengenai perbedaan mazhab dan perbedaan pandangan ulama secara panjang lebar, bahkan
ketika berbicara mengenai ayat “melihat Tuhan”, ia malah menyatakan bahwa perdebatan yang
dilakukan antara mu’tazilah dan Suni adalah perdebatan sia-sia.
Ditinjau dari segi sumbernya tafsir fi zilal al-Qur’an termasuk dalam kategori bi al-
iqtiran. Apabila ditinjau dari segi keluasan tafsir ini tergolong pada tafsir muqarin, dari segi
keluasan masuk dalam kategori itnabi dan ditinjau dari segi tertibnya merupakan tafsir yang
menggunakan metode tahlili. Adapun naz’ah-nya menurut para pakar masuk dalam
kategori adaby ijtima’i.
16
DAFTAR RUJUKAN
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Sayid
Ayub, Mahmud. 1991.Al Qur’an dan Para Penafsirnya .Jakarta: Pustaka Firdaus
Bahnasawi, K. Salim. 2003. Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani Press.
Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernian Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani.
Quthb Sayyid, fi Z}ilal al-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani, 2008.
www.al-ahkam.net/.../sayyid-qutb-dan-fi-zilālil-qur’an
Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-quthb
17