You are on page 1of 54

Risalah Alam i

Dari Koleksi Risalah al-Nur

RISALAH

ALAM

Badiuzzaman Sa’id Nursi

Penerbit
Altinbasak
ii Badiuzzaman Sa’id Nursi
Risalah Alam i

d
ii Badiuzzaman Sa’id Nursi

Imam Badiuzzaman Sa’id Nursi


RISALAH ALAM
© 2017, Badiuzzaman Sa’id Nursi
Edisi Pertama, Cetakan Ke-1

(Penerbit Altinbasak)
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa
pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopi, tanpa izin sah
dari penerbit.

Judul : Risalah Alam


Penulis : Badiuzzaman Sa’id Nursi
Penerjemah : Ahmadie Thaha, Sadik Özata, Cemal Şahin
Penyunting : Ahmadie Thaha
Layout & Sampul: Ahmad Gabriel

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

IMAM BADIUZZAMAN SA’ID NURSI


Risalah Alam
Jakarta: Penerbit Altinbasak, 2017
Ed. 1 Cet. 1; x + 41 hlm, 14 x 20 cm

Cetakan Pertama, Desember 2017

ISBN:
Risalah Alam iii

Serial Risalah Al-Nur

RISALAH
ALAM

Badiuzzaman Sa’id Nursi

Penerbit
Altinbasak
iv Badiuzzaman Sa’id Nursi
Risalah Alam v

IMAM BADIUZZAMAN
SA’ID NURSI
Seorang Ulama Khilafah Islam Daulah Utsmaniyah

• Beliau lahir pada tahun 1877 dan me­ninggal dunia pada 1960
dalam usia 85 tahun. Be­liau mencurahkan se­luruh usianya un­
tuk ber­ji­had, belajar, mengajar dan mendidik.
• Beliau menghafal al-Qur’an secara keseluru­han ha­nya dalam
wak­tu dua minggu. Beliau ju­ga meng­hafal 90 ji­lid kitab-ki­tab
in­duk ber­­­bagai disiplin ilmu Islam berkat kekua­tan ha­fa­lannya
yang luar biasa.
• Karena kecerdasan yang dimiliki, beliau me­nyelesaikan sekolah
selama 15 ta­hun di ber­bagai jenjang pendidikan swasta Daulah
Uts­ma­niyah, dan me­raih gelar ilmiah yang setara dengan gelar
doktor saat ini dalam usia yang belum genap 14 tahun.
• Di usia sebelum menginjak 14 ta­hun, reputasi dan ketenaran
beliau su­dah menyebar di ka­langan ulama Tur­ki. Be­li­au dikenal
memi­li­ki ke­kuatan ar­gu­men, te­guh pendirian da­­lam il­­mu, dan
mampu me­ngungguli siapa pun yang berdebat dan berdiskusi
dengan be­liau.
• Beliau menguasai bahas Arab, Persia, Turki, dan Kurdi. Beliau
menulis sebagian besar kar­ya be­liau dalam bahasa Turki. Tiga
buku uta­ma di antaranya beliau tulis de­ngan bahasa Arab.
• Beliau mempelajari filsafat Barat seca­ra men­dalam sembari
mengoreksi. Di se­jumlah kar­ya tulisnya, beliau mem­bu­at ba­
nyak sekali per­bandingan jeli antara filsa­fat Barat dengan hik­
mah dan pe­radaban Al-Qur’an.
• Selain ilmu-ilmu Islam, beliau juga me­nguasai ilmu-ilmu mo­
dern. Be­liau mengetahui betul kapasitas ilmu modern seba­gai
media agar Is­lam bisa dimengerti sesuai pe­mahaman kini.
vi Badiuzzaman Sa’id Nursi

• Beliau mengarang Ri­­salah al-Nur, berisi 130 risalah, yang


mem­­bahas ber­bagai problema­tika uta­ma Islam kontemporer
yang be­gitu isti­­mewa dan tiada duanya, me­ma­du­kan an­tara
orsinilitas pemi­kir­an dan ke­sung­guhan dalam me­nyu­guhkan
tema. Di ber­bagai karya tulis­nya, beliau men­di­ag­nosa penyakit
paling parah pada saat ini, yaitu penyakit lemah iman. Untuk
mengobati penyakit ini, beliau me­negaskan rukun-rukun iman
dan berbagai ha­ki­katnya, di antara yang paling utama ada­lah
tauhid, kebangkitan, dan kerasulan de­ngan buk­ti-bukti kuat
mendalam, hingga si­apa pun yang paling keras kekafirannya
se­­kali pun akan dibuat diam tidak berkutik. Da­ri sisi berbeda,
beliau membantah dan me­ runtuhkan filsafat-filsafat atheis
de­ngan argumen kuat, seperti filsafat ma­te­rialisme dan natu­
ralisme. Sege­nap tenaga beliau cu­rahkan, seluruh per­­ha­tian
beliau alihkan, un­tuk menun­tun ke­imanan yang kuat dan me­
lek ber­­dasarkan tuntunan al-Qur’an dan sun­nah di dunia Islam.
• Seluruh karya tulis beliau bersumber dari al-Qur’an, terinspirasi
dari ayat-ayat dan makna al-Qur’an. Beliau begitu mera­sa­kan
suasana hati dan ruhani mur­ni, meng­imlakkan di ha­dapan para
penulis dan peng­ganda yang ada di se­ki­tarnya dengan cepat
sekali, seperti yang Allah ilhamkan kepada beliau. Ilham se­
per­ti ini tak terjadi pada waktu atau tempat ter­tentu, tapi tiap
saat. Buku-buku yang beliau tulis terkait hal ini merupakan
penafsiran ha­kikat-hakikat al-Qur’an secara maknawi.
• Sebagian besar karya beliau tulis saat be­rada di balik terali besi
atau di tempat pe­ng­asingan, dan karya-karya ini sudah di­ter­je­
mahkan ke lebih dari 30 bahasa, dan diterima secara luas berkat
keikhla­san dan sisi rabbani yang mele­kat pada semua karya tulis
itu.
• Tidak sedikit orang yang masuk Islam se­te­lah membaca karya-
Risalah Alam vii

karya tulis be­liau, ba­ik orang Eropa atau lainnya. Di­sebutkan


dalam laporan Vatikan, dalam rentang wak­tu enam bulan saja
pada ta­hun 1984, ada 18.600 orang Barat di enam negara masuk
Islam setelah mem­bawa Risalah Nur.
• Saat perang dunia pertama, beliau ber­jihad memimpin para
pasukan berani mati mela­wan Rusia, dan beliau pun tertangkap
sebagai tawanan tentara Ru­sia dalam waktu dua tahun di kota
Cos­torma, Rusia selatan.
• Beliau adalah orang pertama yang men­diri­kan gerakan Islam di
Turki modern se­telah Khilafah Utsmani runtuh pasca Pe­rang
Dunia pertama, dan berhadapan de­ngan negara se­ku­ler yang
menghapus khi­lafah Islam da­lam rentang waktu di mana sekedar
untuk me­nam­pakkan Is­lam saja bu­kanlah sesuatu yang mu­dah.
Jihad yang be­liau jalankan bu­kan melalui politik, ta­pi mengikuti
manhaj nabawi, menyebar ba­nyak sekali karya-karya tulis ilmiah
demi membela hakikat iman dan Al-Qur­’an se­ca­ra langsung,
mendidik ratusan ribu mu­rid. Berbagai bentuk tindakan lalim
dan siksaan yang menghadang, tidak mampu mengendurkan
semangat beliau untuk ber­jihad secara maknawi.
• Setelah berusia 50 tahun, beliau meng­­ha­bis­kan sisa usia – 34 ta­
hun – dalam penghinaan, pe­le­ce­han, penyiksaan, pengawasan,
pen­­­jara dan pe­nga­singan tiada tara. Per­nah 21 kali be­liau di­
racun oleh para musuh dan lawan, hanya ka­re­na be­liau meng­
hidupkan iman dan hati kaum muslimin.
• Beban berat dan cobaan silih berganti tan­pa pernah terlepas
dari kehidupan be­li­au, sam­pai pada hembusan nafas te­rakhir.
Bahkan se­telah beliau meninggal du­nia, pihak penguasa setem­
pat menggali kubur beliau setelah tiga bu­lan dimakamkan, un­
tuk selanjutnya jasad be­liau diambil dan dimakamkan di tem­
pat yang tidak dike­ta­hui.
viii Badiuzzaman Sa’id Nursi

• Para ulama dan pemikir kontemporer me­nyebut beliau sebagai


reformis abad ke-20. Bahkan ada juga yang me­nyebut­nya se­
bagai reformis abad ke-20 dan abad berikutnya (ke-21).
Risalah Alam ix

DAFTAR ISI

IMAM BADIUZZAMAN SA’ID NURSI ..................................................... v


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
Risalah Alam, menghantam habis pemikiran kufur yang muncul
akibat faham naturalisme, sekaligus meluluh-lantakkan bebatuan
kekafiran dan mencerai-beraikan fondasinya,
terdiri dari tiga masalah dan penutup.............................................................. 3
Masalah Pertama: Tiga kemustahilan khusus terkait ide bahwa
segalala sesuatu terciptakan melalui terkumpulnya semua sebab.............. 5
Kemustahilan Kedua: Tiga kemustahilan khusus terkait ide bahwa
segala sesuatu terbentuk dengan sendirinya................................................... 7
Kemustahilan Ketiga: Tiga kemustahilan khusus terkait ide bahwa
segala sesuatu terwujud sesuai tuntutan alam................................................ 8
Penutup: Tiga pertanyaan................................................................................ 30
Pertanyaan Pertama: Apa kepentingan Allah l dengan ibadah
kita? .............................................................................................................. 30
Pertanyaan Kedua: Bagaimana mungkin setiap yang ada tunduk
sepenuhnya pada kemauan ilahi dan kodrat rabbani........................... 33
Pertanyaan Ketiga: Apakah ide ini benar: Sesuatu tidak dicipta-
kan dari ketiadaan, dan tidak pergi ke ketiadaan? ............................... 37
x Badiuzzaman Sa’id Nursi
Risalah Alam 1

Lama’at Keduapuluh Tiga

Risalah Alam

Karena urgensinya yang besar, risalah ini dijadikan “Lama’at


Ke­duapuluh Tiga.” Tadinya ia merupakan Catatan Keenambelas
dari “La­ma’at Ketujuhbelas.”
Risalah ini membunuh pemikiran kufur yang muncul dari (fil­
safat) alam hingga mati dan tak ada lagi kehidupan sesudahnya,
sekaligus menghancur-leburkan batu asas kekufuran dan men­
cerai-beraikan fon­dasinya.

Peringatan:
Di dalam catatan ini telah dijelaskan sejauh mana esensi jalan
yang ditempuh kalangan naturalis melenceng dari akal, sejauh
mana keburukan dan khurafat (dari esensi) itu terjadi, melalui
sembilan kemustahilan yang mencakup minimal Sembilan puluh
kemustahilan.
Sebagian dari penjelasan-penjelasan tambahan sengaja dile­
paskan da­ri risalah ini demi keringkasan, sebab kemustahilan-
kemustahilan ter­sebut sudah dijelaskan sedemikian rupa di
risalah-risalah lain. Karena itu, tiba-tiba terbersit dalam fikiran,
“Bagaimana bisa para filosof cerdas itu menerima khurafat yang
benar-benar tampak aneh seperti ini, dan bagaimana mereka bisa
menempuh jalannya?”
2 Badiuzzaman Sa’id Nursi

Ya, sesungguhnya mereka tidak mengetahui secara persis esensi


dan hakikat faham mereka itu. Namun, di sini akan dijelaskan
hakikat faham mereka, apa saja konsekuensi dan tuntutannya.
Saya sudah benar-benar siap menegaskan bahwa kesimpulan
mazhab mereka yang buruk, dibenci, dan tidak masuk akal, yang
dijelaskan di tengah-tengan setiap kemustahilan, merupakan
sebagian dari konsekuensi dan tuntutan utama faham mereka,
dan hal itu dibuktikan melalui bukti-bukti pasti dan qath’i, serta
dengan rinci, bagi siapa pun yang masih ragu.1

‫بِ ْســ ِم اللّٰ ِه ال َّر ْح ٰمنِ ال َّرحي ِم‬


ِ ‫ات َوا ْلاَ ْر‬
﴾‫ض‬ َّ ‫﴿ قَا َل ْت ُر ُس ُل ُه ْم اَفِي اللّٰ ِه شَ ٌّك ف َِاط ِر‬
ِ ‫الس ٰم َو‬
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terha­
dap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Qs. Ibrahim [14]: 10)

Ayat mulia ini menjelaskan bahwa keberadaan Allah dan ke­


esaan-Nya sungguh qath’i hingga derajat pasti, dan itu melalui per­
tanyaan bernada pengingkaran, “Apakah ada keraguan terhadap
Allah?!”Padahal sepatutnya Dia tidak perlu diragukan.
Peringatan sebelum penjelasan rahasia ini:
Saya pergi ke Ankara dua belas tahun lalu, pada 1338 H (1922
M). Saya melihat pemikiran atheisme (zindiq) yang sangat meng­­
1 Risalah ini ditulis karena banyaknya serangan terhadap al-Qur’an dengan berbagai
cara yang amat melampaui batas dan jahat, dengan memalsukan hakikat-hakikat
iman melalui pernyataan mereka terkait segala sesuatu yang tak terjangkau oleh akal
dungu mereka sebagai khurafat, serta dengan menyandarkan kekafiran dan atheisme
kepada alam. Adapun serangan-serangan tersebut, itu telah membuat hati saya
marah sekali hingga mendorong saya untuk menimpakan tamparan-tamparan keras
dan kasar kepada para atheis itu, kepada para penganut faham-faham batil yang
berpaling dari kebenaran, meski langkah Risalah al-Nur terbiasa menggunakan tutur
kata lembut.
Risalah Alam 3

khawatirkan sedang berusaha menyusup dengan makar dan


penuh siasat jahat ke dalam pemikiran tangguh orang-orang ber­
iman – dengan harapan dapat merusak dan meracuninya – yang
kala itu sedang bangga atas kemenangan pasukan Islam terhadap
Yunani. Saya pun merintih sembari berkata, “Ular-ular ini akan
menyerang sendi-sendi keimanan.” Akhirnya, saya menulis
saat itu di salah satu dari sebelas risalah saya yang berbahasa
Arab, dengan bersumberkan dari al-Qur’an Hakim, suatu bukti
kokoh pada tingkat benar-benar mampu merontokkan dan
menghancurkan kepala atheisme ini, sebab ayat mulia di atas
menunjukkan keberadaan Allah dan keesaan-Nya pada derajat
pasti. Risalah tersebut saya cetak di Yeni Gün Press, Ankara.
Hanya saja, orang-orang yang mempelajari Bahasa Arab atau
mereka yang memperhatikannya –yakni, risalah ini– hanya
sedikit. Risalah itu juga terlalu singkat dan global, sehingga
sangat disayangkan bukti kokoh tersebut tak dapat memberikan
pengaruh nyata. Di sisi lain, disayangkan pula, pemikiran kaum
kafir atheis itu semakin menyebar dan menguat.
Karena itulah saya terpaksa harus menjelaskan bukti nyata
itu dalam bahasa Turki. Mengingat sebagian dari bukti-bukti
yang dimaksud sudah dijelaskan secara memadai di sebagian
risalah lainnya, maka di sini akan disampaikan secara global saja.
Bukti-bukti nyata yang disebutkan banyak sekali dan tersebar di
sejumlah risalah lain, menyatu dengan bukti nyata pada bagian
ini sedemikian rupa, dan masing-masing darinya sama fungsinya
seperti bagian-bagian yang tertera dalam risalah ini.

Pendahuluan
Wahai manusia! Ketahuilah dengan seyakin-yakinnya bahwa
ter­dapat sejumlah kata-kata mengkhawatirkan yang keluar dari
mulut orang, kata-kata yang mengeluarkan aroma kekufuran
4 Badiuzzaman Sa’id Nursi

dan atheisme (ilhad), yang digunakan oleh orang-orang beriman


tanpa mereka sadari. Berikut akan kami jelaskan tiga di antaranya
yang terpenting.
Pertama: “Sebab-musabab itu telah menciptakannya,” yak­
ni sebab-sebab itulah yang menciptakan sesuatu.
Kedua: “Terbentuk dengan sendirinya,” yakni sesuatu mun­
cul mewujud di alam nyata, mencipta, dan membentuk dengan
sen­dirinya.
Ketiga: “Alam mengharuskannya,” yakni sesuatu itu hal
alami, dan alam jua yang mengharuskan dan mengadakannya.
Ya. Mengingat semua maujud ada di alam nyata dan tak
mung­­kin diingkari, mengingat setiap maujud datang ke dalam
wujud yang sangat menawan dan penuh hikmah, dan mengingat
masing-masing tidak ber­sifat qadim, tapi baru, maka kalian wahai
orang atheis, mungkin akan mengatakan bahwa: (1) maujud ini
–hewan misalnya– diadakan oleh sebab-musabab alam; yakni,
maujud tersebut datang ke alam nyata dengan terkumpulnya
sebab-musabab tersebut; (2) atau mungkin maujud tersebut
membentuk dengan sendirinya; (3) atau ia muncul ke alam nyata
ini melalui tuntutan alam dan muncul karena pengaruhnya; (4)
atau ia diadakan dengan qudrat Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Agung.
Mengingat tidak ada cara lain –menurut akal– selain keempat
ke­mungkinan di atas, dan mengingat sudah terbukti secara pasti
dan qath’i bahwa ketiga cara pertama mustahil dan batil, tidak
masuk akal dan tidak mungkin, maka sudah seharusnya, pasti,
tanpa syak dan tanpa ragu, bahwa cara satu-satunya yang berlaku
adalah cara keempat.
Cara Pertama:
“Segala sesuatu dan ke­beradaan makh­luk terbentuk ka­
rena bersatunya sebab-musabab alam.” Tentang ini, akan kami
Risalah Alam 5

sam­paikan di sini tiga kemustahilan saja di antara banyak sekali


kemustahilan yang lain.
Kemustahilan Pertama: Di suatu apotik terdapat ratusan
wa­dah yang berisi aneka ragam bahan (obat-obatan). Suatu obat
racikan hidup diminta agar dibuatkan dari bahan-bahan tersebut.
Segala sesuatunya pun diproses dengan semestinya dalam pe­
racikan obat penawar luar biasa yang mengandung kehidupan
(mujarab) itu, yang dikomposisi dari (bahan-bahan) tersebut.
Kita pun memasuki apotik tadi. Di sana kita lantas melihat
ba­nyak sekali wadah besar berupa botol ramuan hidup dan
obat yang mengandung kehidupan itu. Kita perhatikan dengan
seksama setiap botol obat makjun itu. Kita melihat sejumlah
bahan kimia yang sudah diambil dari botol-botol tersebut
dalam jumlah takaran dan ukuran tertentu; satu atau dua gram
dari bahan A, tiga atau empat gram dari bahan B, enam atau
tujuh gram dari bahan C, dan seterusnya. Seandainya di antara
bahan-bahan ini ada yang diambil kurang atau lebih satu gram,
tentu khasiat khusus obat racikan tersebut akan hilang, dan
tidak lagi mengandung kehidupan (atau mujarab). Lantas, kita
pun memeriksa obat penawar yang mengandung kehidupan itu.
Kita kemudian mengetahui bahwa bahan tertentu telah diambil
dengan takaran tertentu pula dari masing-masing wadah botol.
Jika takarannya dilebihkan atau dikurangi sedikit saja, khasiat
obat penawar tersebut tentu akan hilang. Diketahui pula bahwa
bahan-bahan itu diambil masing-masing dengan takaran yang
berbeda-beda dari wadah-wadah tersebut, dan itu lebih dari 50
botol.
Adakah kemungkinan dan asumsi melalui cara apa pun bahwa
bahan-bahan yang diambil dengan takaran berbeda-beda itu, dari
botol-botol dan wadah-wadah dengan ukurannya sesuai yang
diminta, tidak lebih dan kurang, bisa mengalir karena pengaruh
6 Badiuzzaman Sa’id Nursi

gerakan-gerakan botol, yang terjadi karena kebetulan yang aneh,


atau karena pengaruh hempasan angin kencang, sehingga se­
luruh botol tergiring secara bersamaan, kemudian menyatu dan
membentuk obat makjun?!
Adakah khurafat, kemustahilan, dan kebatilan yang lebih pa­
rah dari itu?! Seadainya seekor keledai tiba-tiba berubah menjadi
beberapa ekor keledai, lalu setelah itu berubah menjadi manusia,
tentu manusia ini akan lari tunggang-langgang sembari berteriak,
“Saya tidak menerima pemikiran ini!”
Sebagaimana dalam contoh ini, setiap makhluk hidup adalah
obat racikan yang memiliki kehidupan. Dan tak syak lagi, setiap
tanaman mirip obat penawar hidup karena dibentuk dari bahan-
bahan kimia yang beragam, juga dari bahan-bahan yang berbeda-
beda sekali, bahkan dari bahan-bahan yang diambil dengan
takaran-takaran yang super sensitif. Sebab, jika (seluruh proses)
ini disandarkan kepada sebab-musabab dan unsur-unsur, lalu
dikatakan bahwa sebab-musabab itulah yang menciptakannya,
tentu ini jauh sekali dari akal sehat, jelas mustahil dan batil, persis
sebagaimana kebatilan diperolehnya obat makjun yang terdapat
di apotik dari sekedar pergerakan botol-botol.
Kesimpulan: Bahan-bahan kehidupan yang diambil dengan
neraca qadha dan qadar Allah Yang Maha Bijak Maha Azali di
apotik besar alam raya, tidak mungkin terwujud kecuali melalui
hikmah tak terbatas, dengan pengetahuan tak terhingga, juga
dengan kehendak yang mencakup segala sesuatu.
Orang malang yang mengklaim bahwa bahan-bahan inilah
yang menciptakan dan mengadakan alam dan sebab-musabab
yang buta tuli tanpa batas, serta yang mengalir laksana sungai, dia
lebih tolol dari orang yang berbicara tak karuan seperti orang gila,
bagaikan orang paling bodoh pemabuk yang mengatakan bahwa
obat penawar yang luar biasa tersebut terbentuk akibat gerakan
Risalah Alam 7

botol-botol dan wadah-wadah bahan obat yang terjadi dengan


sendirinya.
Ya, kekufuran itu merupakan igauan karena ketololan, mabuk,
dan sinting.
Kemustahilan Kedua: Jika tiap sesuatu tidak disandarkan
kepada Tuhan Maha Kuasa, Maha Agung, Yang Maha Esa lagi
Tunggal, tapi disandarkan kepada sebab-musabab, hal itu akan
berkonsekuensi saat itu sebab-musabab alam dan segala unsurnya
ikut intervensi dalam tubuh setiap individu makhluk hidup.
Padahal, menyatunya sejumlah sebab yang beragam, berbeda-
beda, dan saling berlawanan dalam tubuh makhluk kecil seperti
lalat dengan keteraturan yang sempurna, takaran yang amat
sensitif, dan dengan keselarasan yang utuh, jelas sekali mustahil,
karena siapa pun (orang berakal) yang memiliki perasaan dan
pengetahuan meski hanya seukuran sayap lalat, pasti akan berkata,
“Itu mustahil, tidak mungkin!”
Ya, tubuh lalat yang sangat kecil itu memiliki kaitan dengan
sebagian besar unsur alam dan sebab-musababnya, bahkan ia
merupakan inti ringkasnya. Sehingga jika (penciptaan lalat) tidak
disandarkan kepada qudrat azali, maka konsekuensinya sebab-
musabab materiil itu muncul dengan segala esensinya di dalam
tubuhnya. Bahkan ia ikut intervensi di tubuhnya yang mikro, dan
bahkan ikut intervensi di satu sel saja di antara sekian banyak sel
matanya yang merupakan model kecil bagi tubuhnya. Karena,
ketika sebab-musabab bersifat materiil, konsekwensinya ia harus
ada ketika penyebab ada di dalamnya.
Dari sini, sebagai konsekuensinya, keberadaan sendi-sendi
alam, un­sur-unsur, dan tabiat-tabiat harus diterima sebagai
keberadaan materi yang berada di dalam sel kecil yang tak cukup
untuk jari-jari dua lalat yang seperti jarum itu, sekaligus bekerja di
dalam sel tersebut layaknya tukang bangunan.
8 Badiuzzaman Sa’id Nursi

Siapa pun, bahkan orang-orang penganut sophisme idiot yang


paling bodoh sekali pun, tentu akan merasa malu terhadap faham
seperti ini.
Kemustahilan Ketiga: Jika wujud yang ada (maujud) me­
miliki ke­satuan, maka tak diragukan lagi bahwa maujud itu ber­
asal dari sesuatu yang esa dan dari satu tangan sesuai kaidah,
“Sesuatu yang esa hanya berasal dari sesuatu yang esa.” Apalagi
maujud tersebut memiliki ke­teraturan sangat sempurna, neraca
sangat sensitif, dan kehidupan yang komplit. Dengan demikian,
menyandarkan maujud yang indah menawan, seimbang, dan
teliti tersebut kepada tangan-tangan kacau sebab-musabab alami
yang tak terhingga, jumud, bodoh, tak punya kesadaran dan pe­
ngetahuan, buta dan tuli, yang merupakan suatu kekacauan
dahsyat luar biasa – padahal kebutaan dan ketulian sebab-musabab
kian bertambah disebabkan perpaduan dan pencampuran pada
cara-cara kemungkinan yang tak terhingga – ini semua jauh sekali
(dari pemahaman) akal laksana menerima seratus kemustahilan
di saat bersamaan. Padahal, maujud tersebut secara pasti
memperlihatkan bahwa ia tidak berasal dari tangan-tangan begitu
beragam yang menjadi penyebab perbedaan dan kekacuan, tapi ia
berasal dari satu tangan yang berkuasa dan amat bijak.
Dengan memalingkan pandangan dari kemustahilan ini, tak
diragukan lagi bahwa pengaruh sebab-musabab materiil hanya
akan terjadi langsung seketika dan karena adanya sentuhan,
padahal sentuhan sebab-musabab alami tersebut hanya terjadi
karena adanya fenomena maujud yang memiliki kehidupan.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat bahwa bagian dalam
makhluk hidup yang tak terjangkau dan tak tersentuh oleh tangan
sebab-musabab materiil, justru jauh lebih teliti, lebih menawan,
lebih lembut, dan ciptaannya sepuluh kali lebih sempurna dari
bentuk luarnya.
Risalah Alam 9

Karena itu, tidaklah mungkin menyandarkan makhluk hidup


yang amat kecil dan hewan-hewan kecil –yang sama sekali tak
terjangkau tangan-tangan sebab-musabab materiil dan segala
pirantinya, bahkan tak tersentuh meski hanya wujud luarnya
sekali pun– kepada sebab-musabab yang tuli, buta, jumud,
bodoh dungu, serta saling menjauh dan bertentangan. Padahal,
(makhluk amat kecil) tersebut lebih menakjub­kan dari makhluk
yang ciptaannya lebih besar, dan yang penciptaannya lebih indah
darinya. Kecuali jika orang yang menyandarkannya (kepada
sebab-musabab alami) itu adalah orang yang paling buta dan
paling tuli tak terhingga.

Cara Kedua:
“Sesuatu terbentuk dengan sendirinya.” Yakni, semua wu­
jud yang ada (maujud) terbentuk dengan sendirinya. Ka­ta-kata
ini juga mengandung banyak sekali kemustahilan. Kalimat ini
juga mengandung banyak kemustahilan, sehingga ia batil dan
mustahil dilihat dari banyak sisi. Kami akan menjelaskan tiga di
antara banyak kemustahilan itu, sebagai contoh saja:
Kemustahilan Pertama: Wahai pengingkar yang angkuh!
Ego­­­­isme dalam dirimu telah membuatmu bodoh hingga kau me­
mutuskan mau menerima seratus kemustahilan sekaligus. Kare­
na engkau adalah maujud, bukan materi sederhana, dan engkau
bukan benda mati tanpa perubahan, akan tetapi engkau adalah
alat yang amat sempurna, dalam pembaruan selamanya, serta
laksana sebuah istana menawan yang selalu dalam perubahan
selamanya, lagi pula atom-atom dalam dirimu selalu bekerja
setiap saat, maka tubuhmu memiliki banyak hubungan dengan
wujud-wujud yang ada, khususnya dalam hal rizki, dan lebih
khusus lagi dalam hal keberlangsungan spesies. Tubuhmu selalu
memberi dan menerima dengan (wujud-wujud lain yang ada).
10 Badiuzzaman Sa’id Nursi

Maka atom-atom yang bekerja dalam tubuhmu bekerja secara


jeli dan sensitif agar tidak menghancurkan hubungan-hubungan
tersebut dan tidak merusak kaitan-kaitan itu. (Atom-atom) itu
melangkahkan seluruh langkahnya dengan penuh kehati-hatian
dan kewaspadaan seakan ia melihat dan menatap ke arah seluruh
ciptaan, sehingga ia pun menyaksikan berbagai hubungan dan
kaitanmu, lalu setelah itu ia membuat sebuah kondisi yang sesuai
dengannya, lantas engkau pun dengan indera lahir dan batinmu
bisa mendapatkan manfaat sesuai kondisi menawan dari atom-
atom tersebut.
Jika engkau tidak menerima (pendapat) bahwa atom-atom
yang ter­dapat di tubuhmu merupakan para suruhan dan pekerja
kecil yang mendapat perintah dari Zat Yang Maha Kuasa Maha
Azali, yang bekerja sesuai aturan-aturan-Nya, atau bahwa (atom-
atom) itu merupakan ten­tara-Nya, atau mata pena takdir, yakni
setiap atom laksana gigi pena, atau bahwa ia (atom-atom) itu
merupakan titik-titik pena takdir, yakni setiap atom titik, maka
konsekuensinya setiap atom di tubuhmu mempunyai mata yang
melihat seluruh bagian di seluruh tubuhmu, selain juga melihat
seluruh wujud yang terkait denganmu, dan tentu konsekuensinya
juga (setiap atom) diberi akal sekuat seratus akal jenius yang
bisa mengetahui dan mengerti masa lalumu dan masa depanmu,
keturunanmu dan asal-usulmu, serta sumber unsur-unsurmu dan
tambang rizkimu.
Dengan demikian, menyandarkan ilmu dan pengetahuan se­
ukuran ilmu seribu Plato kepada salah satu atom di antara banyak
sekali atom yang sama sekali tidak memiliki sedikit pun akal
sepertimu, dalam permasalahan seperti ini, itu merupakan suatu
khurafat dan kegilaan tak terhingga.
Kemustahilan Kedua: Tubuhmu mirip sebuah istana indah
menawan dengan seribu kubah. Batu-batu sudah dipasang di se­
Risalah Alam 11

tiap kubahnya, masing-masing saling menopang dan saling men­


dukung tanpa tiang. Padahal, sebenarnya tubuhmu seribu kali
lebih menakjubkan dari istana ini, karena istana tubuhmu selalu
memperbarui diri secara terus-menerus dan dengan keteraturan
yang sempurna. Setiap organ tubuhmu, tanpa memandang ruh,
hati, dan kelembutan-kelembutan (lathaif) maknawi yang ma­
sing-masingnya indah luar biasa, laksana rumah yang memiliki
kubah, karena atom-atom saling menopang satu sama lain secara
sangat teratur dan tertata rapi seperti saling menopangnya batu-
batu kubah tersebut, sehingga ia menampakkan sebuah bangunan
luar biasa, seni indah, dan mukjizat qudrat menakjubkan, seperti
mata dan lisan.
Jika atom-atom tubuh ini bukan merupakan suruhan dan pe­
kerja yang mengikuti perintah Sang Pembangun dan Pencipta
alam raya ini, maka mestinya saat itu setiap atom yang ada di tubuh
memiliki kekuasaan mutlak terhadap seluruh atom yang terdapat
di dalam tubuh, dan pada saat bersamaan juga dikuasai secara
mutlak, menjadi pelaksana masing-masing darinya, sekaligus
bermusuhan dengannya dalam hal kekuasaan, juga sebagai asal
dan sumber dari sebagian besar sifat khusus yang hanya dimiliki
Sang Wajib Ada satu-satunya. Di samping itu, (setiap atom)
tersebut mestinya berada dalam posisi terbatas dan benar-benar
mutlak. Dengan demikian, maka menyandarkan ciptaan yang
sempurna dan menawan yang tidak mungkin muncul ke alam
nyata ini selain dari hasil karya Dzat Yang Maha Esa lagi Tunggal
sesuai “rahasia kesatuan” (sirr al-wahdah), kepada atom-atom
yang tak terbatas, itu jelas sekali mustahil secara pasti, bahkan
seratus kali mustahil. Siapa pun yang masih mempunyai akal
meski hanya seberat biji sawi, mengetahui hal itu.
Kemustahilan Ketiga: Jika tubuhmu bukan ditulis dengan
pena Sang Maha Kuasa yang tidak lain adalah Zat Yang Maha Esa
12 Badiuzzaman Sa’id Nursi

lagi Tunggal, tapi disandarkan kepada alam dan sebab-musabab,


serta ia dicelup, maka konsekwensinya setiap sel tubuhmu tentu
merupakan hasil cetakan alam, bahkan dengan ribuan jaringan
yang terdapat dalam tubuhmu laksana kumparan-kumparan
ruwet yang saling merasuki.
Sebagai contoh, karena buku yang ada di hadapanmu ini
“ditulis,” maka tentu ada pena seseorang yang telah menuliskan
segala yang ada di dalamnya dengan bersandar pada pengetahuan
penulisnya. Jika buku ini bukan “ditulis” dan bukan disandarkan
kepada pena seorang penulis, serta diyakini terbentuk dengan
sendirinya, atau disandarkan kepada alam, konsekwensinya setiap
hurufnya merupakan pena (yang terbuat) dari besi – seperti
halnya suatu buku cetakan – hingga ia tercetak, sebagaimana di
percetakan huruf-huruf yang terbuat dari besi (harus tersedia)
dalam jumlah sebanyak jumlah huruf, hingga kemudian
terwujudlah huruf-huruf yang terdapat di buku itu. Dengan kata
lain, mesti terdapat pena-pena sebanyak bilangan huruf-huruf
(yang ada di buku), bukan hanya satu pena. Bahkan, setiap satu
hurufnya mesti memiliki ribuan pena, jika memang ada satu
halamannya ditulis dalam huruf besar dengan pena kecil, seperti
kadang terjadi pada saat tertentu. Bahkan, ketika huruf-huruf
tersebut saling merasuk satu sama lain dan memperlihatkan
situasi-situasi yang tertata rapi, saling rekat, dan membentuk
suatu gestur seperti tubuhmu. Saat itulah setiap bagian dan setiap
lingkup tubuh memiliki cetakan-cetakan sebanyak bilangan
komposisi tersebut.
Anggaplah engkau mengatakan bahwa kondisi –yang me­
ngandung seratus kemustahilan– ini mungkin! Jika pembuatan
hu­ruf-huruf besi yang akurat serta pembuatan cetakan-cetakan
dan pena-pena menawan tersebut tidak disandarkan kepada satu
pena, maka untuk pembuatan pena, cetakan, dan huruf-huruf besi
Risalah Alam 13

tersebut pasti diperlukan pena-pena, cetakan, dan huruf-huruf


dengan jum­lah yang sama. Sebab, semua ini juga merupakan
“hasil ciptaan” dengan segala kandungan maknanya, selain juga
disebabkan semua itu indah menawan dan akurat. Demikianlah
hal itu berangkai setiap kali engkau teruskan.
Maka hendaknya engkau fahami demikian pula bahwa pe­
mikiran (naturalisme) ini mengandung begitu banyak ke­mus­
tahilan dan khurafat sebanyak bilangan atommu!
Wahai orang yang angkuh dan ingkar! Hendaknya engkau
malu pula, dan lepaskan saja dirimu dari kesesatan ini!
(Cara) Kata-kata Ketiga: “Alam mengharuskan demikian.”
Yakni, alam jualah yang mengharuskan, menciptakan, dan
membuat sesuatu. Hukum ini memiliki banyak sekali kemus­
tahilan.
Kami akan menyebutkan tiga di antaranya sebagai contoh:
Kemustahilan Pertama: Penciptaan dan pengadaan, yang di­
sebut sebagai hati nurani dan hikmah, yang keduanya tampak di
sebagian besar maujud (wujud yang ada), apalagi pada makhluk
hidup, jika tidak disandarkan kepada pena takdir dan qudrat
matahari azali, tapi disan­darkan kepada alam dan kekuatan yang
sama-sama buta dan tuli, serta tidak memiliki kesadaran, maka
tentulah alam ini harus menghadirkan banyak sekali alat dan
percetakan maknawi tak terhingga segalanya agar bisa mengadakan
(apa saja), atau alam harus menyematkan hikmah dan qudrat ke
dalam segala sesuatu, yang mampu menciptakan semua wujud
yang ada dan mampu mengaturnya. Sebab, sebagaimana tajalli-
tajalli matahari dan pantulannya terlihat di potongan-potongan
cermin kecil sekecil atom, juga terlihat pada tetesan-tetesan air di
bumi, maka jika matahari-matahari perumpamaan yang terpantul
ini tidak disandarkan kepada satu-satunya matahari yang ada di
14 Badiuzzaman Sa’id Nursi

langit, tentulah mesti diterima adanya suatu matahari alami, fitri,


dan berkuasa atas ciri-ciri matahari, serta kecil secara lahiriah
tapi pada hakekatnya besar sekali dalam wujud eksternalnya di
kedalaman potongan cermin-cermin kecil sekecil atom yang tak
cukup untuk memuat kepala korek api, selain itu semua tentulah
mesti diterima adanya matahari-matahari alami dalam jumlah
sebanyak bilangan atom cermin.
Sebagaimana contoh ini persis, jika maujud-maujud dan
makh­luk hi­dup tidak disandarkan secara langsung kepada tajalli
nama-nama ma­tahari azali, tentu mesti diterima (adanya) suatu
kekuatan alami di setiap maujud, apalagi pada makhluk hidup,
yang memiliki qudrat dan kehendak tanpa batas, yang memiliki
ilmu dan hikmah tak terhingga. Dengan kata lain, seakan terdapat
tuhan di setiap maujud dan di setiap makhluk hidup.
Berfikir dengan cara seperti ini merupakan kemustahilan dan
khurafat yang paling batil di alam raya ini. Manusia yang me­
nyandarkan ciptaan Sang Pencipta jagad raya – ciptaan yang di­
arahkan pada nyamuk– kepada alam yang tak bernilai dan tidak
memiliki kesadaran, tampak sekali bahwa dia adalah seekor
hewan, bahkan kehewanannya seratus kali lebih dari hewan itu
sendiri, dan seratus kali lebih tidak berakal dibanding hewan.
Kemustahilan Kedua: Jika wujud-wujud yang tertata rapi,
selaras, menawan, penuh dengan hikmah, tidak disandarkan
kepada Sang Maha Kuasa lagi Bijaksana tak terhingga, tapi
disandarkan kepada alam, tentu alam harus menghadirkan, di
setiap genggam tanah, banyak sekali pabrik dan percetakan
sebanyak percetakan dan pabrik-pabrik Eropa, agar setiap tanah
tersebut bisa menjadi sebab pertumbuhan, perkembangan,
dan pembentukan bunga serta buah-buahan, yang tak terbatas
sekaligus merupakan tempat pertumbuhannya dan laboratorium
baginya.
Risalah Alam 15

Sebab, tampak dan kelihatan secara nyata adanya kemampuan


se­genggam tanah yang di atasnya ditaruh benih sehingga me­
laksanakan proses penumbuhan dan pembentukan bunga, untuk
membentuk dan merangkai bentuk-bentuk dan corak-corak
semua bunga yang sangat berbeda satu sama lain.
Jika kemampuan ini tidak disandarkan kepada Sang Maha
Kuasa Maha Agung, maka kala itu setiap satu bunga harus
memiliki alat-alat alami khusus di dalam tanah yang terdapat di
vas bunga. Jika tidak, hal tersebut tak akan terjadi.
Mengingat bahan dasar biji-bijian sama, persis seperti hal­
nya sel sperma dan sel telur, yakni padahal ia sama seperti
campuran sumber air, sumber zat asam, karbon, dan nitrogen
yang tercampur tak teratur dan tanpa bentuk laksana adonan,
serta mengingat masing-masing dari udara, air, suhu panas, dan
udara itu (bersifat) sederhana, tanpa pikiran dan tanpa perasaan,
juga mengalir seperti sungai saat berinteraksi dengan apa pun;
maka munculnya bunga-bunga yang tanpa batas tersebut dari
dalam tanah yang memiliki bentuk dan ragam yang berbeda
tadi, bunga-bunga yang amat tertata rapi dan ciptaan yang sangat
indah, secara pasti dan niscaya mengharuskan adanya sejumlah
alat percetakan dan pabrik-pabrik kecil maknawi seukuran yang
ada di Eropa, yang harus ada di dalam tanah yang terdapat di vas
bunga tersebut, agar tanah tersebut mampu menenun sebanyak
kain-kain yang memiliki kehidupan dan mampu membuat ribuan
tenunan dengan ragam yang berbeda-beda.
Silahkan engkau membuat analogi (dari perumpamaan di
atas), sejauh mana pemikiran-pemikiran kafir kaum naturalis
menyimpang begitu jauh dari lingkup akal sehat. Lihatlah sejauh
mana orang-orang mabuk lagi bodoh ini – yang hidup dalam
bentuk manusia dan yang mengira alam jua yang menciptakan
segala sesuatu – menyimpang jauh dari akal sehat dan ilmu
16 Badiuzzaman Sa’id Nursi

pengetahuan. Mereka mengklaim sebagai spesialis di bidang


ilmu pengetahuan, mengaku diri mereka berakal, lalu bagaimana
mereka bisa menjadikan suatu khurafat yang tertolak dan tidak
mungkin dari sudut mana pun itu sebagai faham yang mereka
anut. Fahamilah semua ini, tertawailah mereka, dan ludahi.
Apabila engkau mengatakan: “Jika maujud (wujud yang
ada) di­sandarkan kepada alam, tentu akan muncul kemustahilan-
ke­mustahilan yang mengherankan seperti ini, juga akan muncul
kerumitan-kerumitan hingga tingkat tak bisa diterima. Bisakah
gerangan kerumitan-kerumitan ini hilang ketika disandarkan
kepada Sang Maha Esa, selanjutnya ke­mustahilan yang memiliki
banyak sekali kerumitan ini berubah kepada keharusan dengan
mudah?”
Jawaban: Sebagaimana disebutkan dalam kemustahilan per­
tama, ta­jalli pantulan matahari serta limpahan dan pengaruhnya
terlihat di setiap benda transparan berkilau, dimulai dari potongan
terkecil kaca sekecil atom hingga berakhir pada permukaan
lautan terluas dengan segala kemudahannya laksana matahari-
matahari perumpamaan dengan tanpa kesulitan dan kesukaran.
Maksudnya, semuanya mem­­perlihatkan pantulan, limpahan,
dan pengaruh tersebut. Jika nis­bahnya dengan matahari diputus,
maka saat itulah mesti akan sulit di­terima kemungkinan adanya
matahari alami esensial dalam wujud eksternalnya di setiap atom
paling kecil, hingga derajat tertolak sama sekali.
Demikian pula halnya jika setiap maujud di antara wujud-
wujud yang ada disandarkan secara langsung kepada Sang Maha
Esa Tempat Bergantung, barulah tiap kebutuhan setiap maujud
bisa dengan mudah dan gampang disampaikan hingga pada
tingkatan wajib, juga pada (derajat) penisbahan dan tajalli.
Sementara jika penisbahan (intisab) tersebut diputus, dan
pe­rintah-perintah (ilahi) berubah menjadi kerancuan, teraduk-
Risalah Alam 17

aduk, dan kekacauan, serta setiap maujud dibiarkan bebas lepas


begitu saja dan disandarkan kepada alam, maka saat itu harus
dibayangkan, dengan seratus ribu kali kemuskilan dan kesulitan
hingga derajat tertolak, bahwa alam buta yang ada di seekor
lalat –yang menciptakan mesin tubuh organik seperti lalat yang
bentuknya sangat rapi, menawan, dan menjadi katalog kecil jagad
raya- memiliki hikmah dan qudrat yang mampu menciptakan dan
mengatur jagad raya. Ini namanya bukan hanya satu kemustahilan
saja, tapi beribu-ribu kemustahilan.
Kesimpulan: Seperti halnya keberadaan sekutu dan tandingan
bagi Zat Yang Wajib Ada itu tertolak dan mustahil, demikian
pula intervensi pihak lain dalam rububiyah-Nya dan dalam
penciptaan-Nya segala sesuatu juga tertolak dan mustahil, seperti
tertolaknya keberadaan sekutu bagi-Nya.
Adapun kerumitan dalam kemustahilan kedua ialah:
Sudah terbukti, berdasarkan banyak bukti qath’i –se­per­ti di­
sebutkan di sejumlah risalah– ketika tiap sesuatu disandarkan
kepada Sang Maha Esa, maka penciptaan tiap sesuatu menjadi
mudah laksana kemudahan menciptakan satu wujud saja.
Adapun ketika penciptaan tiap sesuatu disandarkan kepada
sebab-musabab dan alam, maka penciptaan satu wujud saja akan
menimbulkan banyak sekali kerumitan, sama seperti penciptaan
setiap sesuatu.
Ringkasan salah satu bukti itu sebagai berikut:
Ketika seseorang menisbahkan diri (intisab) kepada sultan
da­lam kapasitasnya sebagai prajurit atau penerima perintah,
itu memungkinkan si prajurit dan si petugas tersebut melalui
kekuatan penisbahan tadi bisa melaksanakan pekerjaan seratus
kali melebihi kemampuan pribadinya. Bahkan bisa saja dia
menangkap seorang raja atas nama sultan, bahkan meskipun dia
18 Badiuzzaman Sa’id Nursi

tidak mendapatkan peralatan dan persenjataan yang diperlukan,


juga meskipun dia tidak memiliki kekuatan penuh untuk me­
lakukan tindakan dan program kegiatan, karena dia memang
tidak dipaksa untuk itu.
Simpanan-simpanan kekayaan sultan dan militer yang me­
rupakan titik sandaran bagi si prajurit tersebut, memberikan
kekuatan dan perlengkapan tadi melalui perantara penisbahan di
atas.
Jadi, capaian-capaian kerja hebat yang dilaksanakan si prajurit
tersebut dapat menjadi capaian-capaian sultan, serta kerja-kerja
dan capaian luar biasa yang dilaksanakannya bagaikan kerja
dan capaian prajurit (secara keseluruhan). Seperti halnya semut
mampu menghancurkan istana Fir’aun melalui perintah ilahi,
lalat bisa menghancurkan Namrud melalui perantara penisbahan
tersebut, dan dengan penisbahan itu pula benih pohon cemara
yang kecil sekecil biji gandum menumbuhkan2 seluruh bagian
pohon cemara yang besar.
Namun ketika penisbahan itu terputus dan dilepaskan dari
perintah tersebut, ia pun terpaksa harus mengumpulkan segenap
kekuatannya, harus memikul seluruh perangkat kerja yang akan
dilakukannya di atas punggungnya dan ditenteng dengan tangan

2 Jika penisbahan (intisab) itu ada, maka benih tersebut akan menerima
perintah dari takdir ilahi dan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan
hebat. Namun ketika penisbahan itu terputus, penciptaan benih itu
mengharuskan adanya berbagai perangkat, qudrat, kemampuan, dan
kreasi yang jauh lebih besar dari apa yang dibutuhkan dalam penciptaan
pohon pinus besar tersebut. Sebab, semua bagian pohon pinus yang
merupakan bentuk hasil karya qudrat-Nya di gunung harus ada dengan
seluruh organ dan peralatannya, pada pohon maknawi yang merupakan
karya takdir di benih tersebut. Sebab, pabrik untuk mencipta pohon besar
itu adalah benih itu sendiri. Lalu pohon yang sudah ditakdirkan – yang
ada di benih- tampak secara konkret di luar melalui perantara qudrat ilahi
untuk kemudian membentuk pohon pinus besar. (Penulis)
Risalah Alam 19

kanannya. Saat itulah, si bibit yang kecil itu hanya bisa melakukan
kerja sebatas kekuatan tenaganya yang kecil dan sesuai jumlah
peralatan yang tersedia di punggungnya.
Jika dalam kondisi seperti ini ia diperintahkan untuk melakukan
pekerjaan dengan mudah semudah kondisi pertama sebelumnya,
maka di tangan kanannya ia harus menanggung beban kekuatan
seprajurit, dan di atas punggungnya ia harus memikul peralatan
pe­rang milik sang sultan.
Maka, ini merupakan suatu khayalan yang tentu membuat malu
bahkan para pelawak yang menuturkan cerita-cerita khurafat dan
dongeng-dongeng menakjubkan untuk membuat orang tertawa.
Kesimpulan: Sesungguhnya dalam penyandaran setiap mau­
jud kepada Zat Yang Wajib Ada terdapat kemudahan hingga
derajat wajib, sementara dalam penyandaran semua wujud kepada
alam dari sisi penciptaan terdapat banyak sekali kerumitan hingga
derajat tertolak, dan itu berada di luar lingkup akal.

Kemustahilan Ketiga:
Ini mengungkap dua contoh yang menjelaskan kemustahilan
ini. Hal ini sudah dijelaskan di sebagian risalah.
Contoh Pertama: Seseorang yang sangat kampungan dan
pri­mitif memasuki sebuah istana yang dibangun dan didirikan
di tengah-tengah sebuah padang pasir tak berpenghuni. Istana
itu dihiasi dan dilengkapi dengan semua benda peninggalan
peradaban. Ia memandang sekitar lalu melihat di sana terdapat
banyak hal yang indah sekali dan menawan. Ia kemudian mulai
mencari-cari siapa yang membangun (istana ini). Lalu dengan
primitif dan bodohnya, ia mengatakan, “Salah satu bagian dari
istana inilah yang menciptakan istana ini lengkap dengan seluruh
isinya, tanpa intervensi seorang pun dari luar.”
Setiap kali melihat sesuatu, akalnya yang primitif selalu me­
20 Badiuzzaman Sa’id Nursi

nganggap sesuatu itulah yang menciptakan segala sesuatu ini. Se­


lanjutnya ia melihat sebuah buku berisi catatan rancangan pem­
bangunan istana, katalog seluruh kandungannya, dan berbagai
aturan terkait istana. Meskipun buku ini tak punya tangan, kaki,
atau pun martil, juga tak memiliki potensi dan kemampuan sedikit
pun untuk membangun dan menghias istana, sebagaimana itu juga
tidak mungkin untuk semua hal yang ada di dalam istana, namun
dia tetap saja mengatakan bahwa buku itulah yang membangun
istana, mengatur dan menghiasinya, menciptakan semua benda
yang ada, lalu meletakkan dan menggantungkannya di tempat
masing-masing, sebab dia melihat adanya ikatan antara buku
catatan tersebut dengan istana dan seluruh bagiannya, mengingat
buku tersebut merupakan simbol aturan-aturan ilmiah terkait
hal-hal yang lain.
Dengan begitu, kondisi primitif orang kampungan tersebut
berubah menjadi kata-kata ngelantur orang gila dan mabuk.
Seperti halnya contoh di atas, seorang primitif dengan mem­­
bawa pe­mikiran kaum naturalis yang menggiring pada peng­
ingkaran ketuhanan (uluhiyyah), masuk ke istana jagad raya ini
yang seluruh belahannya dipenuhi beragam hikmah yang mirip
mukjizat, yang jauh lebih teratur dan indah tak terhingga melebihi
istana dalam contoh di atas. Ia tidak memikirkan istana jagad raya
ini sebagai hasil ciptaan Zat Yang Wajib Ada yang berada di luar
lingkup segala kemungkinan, dan berpaling darinya.
Dia melihat –dalam lingkup segala kemungkinan– kumpulan
undang-undang kebiasaan ilahi (sunnatullah) dan katalog ciptaan
rabbani yang berfungsi sebagai papan penghapus dan penetap
takdir ilahi, juga yang memungkinkannya menjadi catatan yang
bisa berubah-ubah dan ber­ganti sesuai aturan prosedural qudrat
ilahi dan yang secara salah disebut sebagai (hukum) “alam.”
Selanjutnya dia mengatakan, “Segala sesuatu mengharuskan
Risalah Alam 21

adanya sebab, dan tidak ada sebab yang lebih tepat melebihi
buku catatan ini.” Nyatanya, akal sama sekali tidak bisa menerima
anggapan bahwa buku catatan yang tak memiliki mata, perasaan
maupun kemampuan itu bisa menciptakan sesuatu yang mutlak
menjadi pekerjaan rububiyah, dan yang mengharuskan adanya
kuasa takterhingga. Karena saya tidak menerima adanya pencipta
azali, maka lebih baik saya mengatakan bahwa buku catatan inilah
yang telah dan tetap menciptakan segala sesuatu.
Tanggapan kami: Wahai orang bodoh lagi mabuk yang
lebih dungu dari semua orang dungu, keluarkan kepalamu dari
kubangan lumpur. Lihatlah dan tataplah Sang Pencipta yang
seluruh wujud dengan beragam lisan bersaksi akan keberadaan-
Nya dan menunjuk-Nya dengan jari-jemari yang mereka punya,
dari atom hingga bintang-bintang yang berotasi. Tataplah tajalli-
tajalli Sang Pengukir yang membangun istana jagad raya, menulis
aturan-aturan istana jagad raya dalam lembaran buku catatan
tersebut. Perhatikan perintah-perintah malakiyah, dengarkan
al-Qur’annya, dan lepaskan dirimu dari kata-kata ngelantur
semacam itu.
Contoh Kedua: Seorang yang amat kampungan dan primitif
me­masuki barak militer yang amat menakutkan. Ia melihat
latihan-latihan dan serangkaian gerakan-gerakan militer yang
terorganisir, di mana batalion dan seorang mayor jenderal
melakukan manuver secara bersamaan dan selaras laksana gerakan
seorang prajurit, berhenti secara serentak dan bergerak pun secara
serentak, semuanya menembak dengan sekali perintah.
Mengingat akalnya primitif, ia tidak mengetahui adanya se­
orang ko­mandan yang memimpin melalui undang-undang negara
dan sultan. Ia bahkan mengingkari adanya aturan dan undang-
undang tersebut, sehingga ia membayangkan bahwa para prajurit
tersebut saling terkait satu sama lain. Ia memikirkan bagaimana
22 Badiuzzaman Sa’id Nursi

tali tak tampak yang luar biasa itu membuatnya terpesona dan
kagum.
Setelah itu ia pulang, lalu memasuki sebuah masjid besar
seperti masjid Ayasofia pada hari Jum’at. Ia melihat jamaah
berdiri, rukuk, sujud dan duduk mengikuti suara seseorang.
Karena si orang primitif ini tidak mengetahui syariat yang
berisi serangkaian undang-undang maknawi samawi dan tak
mengenal aturan-aturan maknawi yang berasal dari perintah sang
pemangku syariat, ia pun membayangkan bahwa jamaah tersebut
saling terkait dengan tali-tali hakiki. Tali luar biasa tersebut
menggerakkan mereka. Setelah itu ia keluar meninggalkan masjid
dan terus berfikir secara dangkal dan menggelikan bahkan bagi
orang-orang yang amat liar dan lebih buas dari hewan paling buas
sekali pun.
Tepat seperti dalam contoh ini, seseorang dengan pemikiran
na­turalisme-atheisme yang murni primitif dan liar, memasuki
alam laksana barak militer mencekam milik prajurit-prajurit
tanpa batas milik penguasa azali. Jagad raya ini adalah masjid besar
yang indah milik Zat azali yang disembah. Ia membayangkan
bahwa undang-undang maknawi jagad raya yang bersumber dari
hikmah sultan azali bersifat materi. Ia membayangkan bahwa
setiap undang-undang kuasa rububiyah, hukum, dan aturan-
aturan maknawi –yang hanya memiliki wujud dalam bentuk
pengetahuan- syariat fitrah yang besar, memiliki wujud nyata
dan bersifat materi. Aturan-aturan yang bersumber dari ilmu dan
firman yang tiada memiliki wujud apa pun selain yang bersifat
pengetahuan itu anggap sebagai kuasa ilahi, ia anggap bisa
menciptakan apa pun, lalu ia sebut sebagai “alam.” Untuk itulah
ia menilai kekuatan yang tidak lain hanya merupakan tajalli kuasa
rabbani, sebagai kekuasaan independen. Pemikiran semacam ini
adalah bagian dari pemikiran primitif dan liar yang seribu kali
Risalah Alam 23

lebih hina dari contoh tersebut.


Kesimpulan: Apa yang disebut kalangan naturalis sebagai
“alam” yang hanya me­rupakan khayalan dan tanpa hakekat, tidak
mungkin lain kecuali ciptaan. Ia tidak lebih dari itu. Jika pun
memiliki hakekat eksternal, tidak mungkin ia menjadi pencipta.
Ia hanyalah ukiran, tidak mungkin menjadi pengukir. Ia adalah
serangkaian hukum, tidak mungkin menjadi hakim. Ia adalah
syariat fitri, tidak mungkin menjadi pembuat syariat. Ia adalah
tirai yang diciptakan bagi keagungan (ilahi), tidak mungkin
menjadi pencipta. Ia adalah fitrah yang diatur, tidak mungkin
ia menjadi pelaku pencipta. Ia adalah aturan, bukan kuasa, dan
tidak mungkin menjadi penguasa. Ia adalah garis, tidak mungkin
menjadi sumber.
Kesimpulan:
Mengingat semua maujud benar-benar ada dan nyata, dan
mengingat tidak mungkin membayangkan adanya cara lain
selain empat cara mengenai keberadaan maujud menurut cara
“pembagian akal” seperti telah disebut di bagian awal “Catatan
Keenambelas,” maka sudah terbukti kesalahan masing-masing
ketiga aspek dari keempat aspeknya melalui tiga kemustahilan
yang jelas, pasti, dan qath’i, sehingga tak dapat diragukan lagi
bahwa perlu ditetapkan secara wajib dan pasti penetapan cara
satu-satunya, yaitu cara keempat. Hal itu ditegaskan ayat mulia
yang disebutkan di permulaan risalah ini, ‫ات‬ َّ ‫اَفِي اللّٰ ِه شَ ٌّك ف َِاط ِر‬
ِ ‫الس ٰم َو‬
ِ ‫“( َوا ْلاَ ْر‬Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit
‫ض‬
dan bumi?” Qs. Ibrahim [14]: 10), yang mengisyaratkan bahwa
uluhiyah (ketuhanan) Zat Yang Wajib Ada sudah pasti dan
berada dalam tingkatan yang tak lagi menyisakan keraguan dan
syubhat. Ayat ini memperlihatkan bahwa tiap sesuatu timbul
secara langsung dari tangan qudrat-Nya, serta bahwa langit dan
bumi berada dalam genggaman tindakan-Nya.
24 Badiuzzaman Sa’id Nursi

Wahai penyembah sebab-musabab! Wahai orang malang


yang terperosok dalam lumpur (filsafat) alam!
Mengingat alam tiap sesuatu merupakan suatu ciptaan seper­
ti tiap sesuatu yang lain, sebab di dalamnya terdapat kreasi,
pen­ciptaan dan pembuatan, serta penyebab lahiriahnya juga
di­ciptakan seperti semua musabab (akibat), serta mengingat
ke­beradaan tiap sesuatu memerlukan piranti dan peralatan
yang amat banyak, maka bisa dipastikan terdapat Zat yang ber­
kuasa mutlak yang mengadakan alam dan menciptakan sebab
tersebut. Ada keperluan apa Zat Maha Kuasa Mutlak tersebut
dengan perantara-perantara yang lemah itu hingga Dia harus
menyertakannya dalam rububiyah dan penciptaan-Nya? Itu sama
sekali mustahil! Dia menciptakan sebab dan musabab (akibat)
secara bersamaan dan secara langsung demi menampakkan
tajalli nama-nama dan hikmah-Nya. Dia menyusun dan menata
keduanya, serta meletakkan kaitan kausalitas lahiriah di an­tara
keduanya, mengaitkan antara keduanya secara lahiriah, men­
jadikan sebab-musabab dan alam sebagai tirai bagi tangan qudrat-
Nya, agar (sebab-musabab) menjadi sasaran rujukan untuk segala
yang tampak pada sesuatu, berupa keterbatasan, tiadanya rahmat,
dan berbagai kekurangan lahiriah lain. Dengan demikian, Dia
menjaga kemuliaan-Nya dan pencipta (segala sesuatu).
Gerangan mana yang lebih mudah dalam pembuatan jam?
Men­ciptakan gigi-gigi roda jam kemudian menata dan mengatur
(jam) dengan gigi-giri itu, ataukah menciptakan alat luar biasa
di dalam gigi-gigi roda tersebut kemudian menyerahkannya ke
pabrik jam melalui tangan-tangan (mesinnya) yang kaku, agar ia
membuatkannya?
Bukankah kondisi kedua ini berada di luar lingkup ke­mung­
kinan? Silahkan jawab dengan akal Anda yang tidak obyektif itu,
selanjutnya silahkan engkau menjadi hakim dan hukum.
Risalah Alam 25

Atau misalkan seorang penulis datang membawa pena, tinta


dan kertas, lalu dia sendiri menulis buku dengannya. Mana yang
lebih mudah, apakah yang ini ataukah dengan mengadakan alat
tulis khusus untuk membuat buku tersebut satu-satunya di atas
kertas tersebut, dengan tinta dan pena yang lebih canggih dari
kitab itu, lebih sulit dan lebih rumit darinya. Lalu, dia berkata
kepada alat tulis yang tak punya perasaan dan kesadaran tersebut,
“Tulislah sendiri,” sementara dia sama sekali tak ikut campur?
Perhatikan, bukankah ini seratus kali lebih sulit dari penulisan
(yang pertama)?
Jika engkau mengatakan: “Ya, menciptakan alat yang dapat
menulis buku memang seratus kali lebih sulit dari buku itu. Hanya
saja, terdapat kemudahan padanya karena alat tersebut akan
menjadi sarana untuk menggandakan tulisan dan mencetaknya
sebagai naskah yang banyak dari buku yang sama.”
Jawaban: Sang Pengukir Azali telah menciptakan ciri-ciri dan
tanda-tanda khusus pada tiap sesuatu dengan qudrat-Nya yang
mutlak dengan memperbarui tajalli nama-nama-Nya yang tak
terhingga setiap saat, agar masing-masing di antaranya terlihat
dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda sehingga suatu tulisan
shamadani dan kitab rabbani mana pun tak menyamai kitab-kitab
lainnya dengan dirinya sama sekali. Intinya, setiap kitab akan
memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan yang lain
agar bisa mengungkapkan makna-makna khusus yang berbeda-
beda. Jika engkau mempunyai mata, maka lihatlah tanda-tanda
khas manusia, engkau pasti akan melihat di semua wajah kecil
ini banyak sekali tanda pembeda yang membedakannya dengan
wajah-wajah lain semuanya, sejak masa Nabi Adam q hingga saat
sekarang ini, bahkan hingga selamanya, meski tetap selaras dengan
bagian-bagian inti tubuh. Fenomena ini jelas pasti. Karena itu,
setiap wajah adalah suatu kitab terpisah sendirinya. Hanya saja
26 Badiuzzaman Sa’id Nursi

kitab ini memerlukan alat tulis khusus, mengharuskan pengaturan


khusus dan cara penulisan khusus untuk membentuknya dan
mengkreasinya, di samping memerlukan laboratorium khusus
yang berbeda sama sekali dari lainnya agar bisa mendatangkan
segala bahan yang semestinya lalu meletakkannya di tempatnya
yang sesuai, dan untuk memasukkan segala apa pun yang
diperlukan bagi keberadaannya.
Mari kita anggap alam sebagai percetakan secara asumtif.
Namun, dalam kondisi ini, ia memerlukan pengaturan dan cetakan
khusus untuk percetakan, yakni memasang sistemnya yang sudah
ditentukan di bagian dalam alatnya. Selain itu, untuk pengadaan
pengaturan ini ia memerlukan kehendak Zat Yang Maha Kuasa
Mutlak dan qudrat-Nya yang mengadakan percetakan tersebut
demi pengadaan bahan-bahan –yang pengadaannya seratus
persen lebih sulit dari pengadaan bahan-bahan lain– yang terdapat
dalam tubuh makhluk hidup dengan takaran dan aturan khusus,
serta mendatangkan bahan-bahan itu dari segala penjuru alam,
untuk selanjutnya menyerahkannya kepada tangan percetakan
tersebut. Karena itu, membayangkan dan mengasumsikan alam
seperti percetakan me­rupakan suatu khurafat yang tak berarti
sama sekali.
Sebagaimana di contoh jam dan kitab di atas, Sang Pencipta
Yang Maha Agung Maha Kuasa atas segala sesuatu telah
menciptakan sebab, Dia juga menciptakan musabbab (akibat).
Dia mengaitkan akibat dengan sebab melalui hikmah-Nya. Dia
menentukan dan menetapkan, menurut kehendak-Nya, satu
tajalli di antara tajalli-tajalli syariat fitrah ilahi terbesar –yang tidak
lain merupakan undang-undang kebiasaan Allah (sunnatullah)
untuk mengatur pergerakan jagad raya ini. (Dia juga menentukan
dan menetapkan) tabiat segala sesuatu tidak lain merupakan
cermin dan pantulan tajalli-Nya di balik segala sesuatu. Dengan
Risalah Alam 27

qudrat-Nya, Dia mengadakan wajah alam yang memiliki wujud


eksternal. Dia pun menciptakan segala sesuatu berdasarkan alam
tersebut dan men­campurkannya satu sama lain.
Wahai, lihatlah. Apakah penerimaan hakikat –yang sangat
masuk akal, dan yang merupakan hasil dari bukti nyata tak
terbatas– ini mudah? Bukankah penerimaannya penting sekali
hingga derajat wajib?
Ataukah lebih mudah menyandarkan segala perangkat dan
per­alatan yang diperlukan tubuh tiap sesuatu kepada bahan-ba­
han yang kalian sebut sebagai “sebab-musabab” atau “alam” yang
hanyalah benda mati, makhluk, ciptaan, sederhana, yang tak
memiliki pera­saan dan kesadaran?
Selanjutnya menyatakan bahwa segala hal yang terjadi menurut
hikmah dan hati nurani, berlangsung dengan sendirinya?
Tidakkah ini tertolak dan keluar dari wilayah kemungkinan?
Silahkan dijawab oleh akalmu sendiri yang tidak objektif itu!
Si pengingkar penyembah alam pun berkata: “Karena An­da
me­ngajak saya untuk bersikap obyektif, maka saya katakan bah­
wa saya me­ngakui bahwa jalan yang kami tempuh salah hingga
sekarang, seratus kali mustahil, sangat berbahaya, dan benar-
benar amat buruk. Siapa saja yang memiliki perasaan seberat
atom pun pasti akan memahami penjelasan pembuktian Anda di
atas bahwa menyandarkan pengadaan kepada se­bab-musabab dan
kepada alam itu tertolak dan mustahil, dan bahwa menyandarkan
tiap sesuatu kepada Zat Yang Wajib Ada secara langsung adalah
wajib seharusnya. Saya mengumumkan keimanan saya, dan saya
menyatakan puji bagi Allah atas nikmat iman.
Namun masih ada satu keraguan yang mengganjal dalam diri
saya. Saya menerima Allah adalah Pencipta. Namun, apa ba­
hayanya bagi dan kekuasaan rububiyah-Nya jika ada sebab-sebab
kecil yang intervensi dalam pengadaan (penciptaan) dan dalam
28 Badiuzzaman Sa’id Nursi

hal-hal tak berharga, lalu diberi sedikit pujian dan penghargaan?


Apakah hal itu akan mengurangi kekuasaan-Nya?
Jawaban: Seperti telah kami tegaskan secara pasti dan qath’i di
sebagian Risalah al-Nur bahwa sudah merupakan ciri kekuasaan
untuk menolak intervensi. Bahkan penguasa dan pejabat paling
rendah sekali pun tak menerima intervensi anaknya dalam
lingkup kekuasaannya. Pembunuhan yang dilakukan sebagian
sultan yang taat beragama terhadap anaknya sendiri yang tak
berdosa karena tuduhan ikut campur dalam urusan kekuasaan
mereka, jelas menunjukkan sejauh mana orisinalitas hukum
penolakan campur tangan dalam kekuasaan. “Aturan larangan
persekutuan” (isytirak) yang dituntut oleh independensi hukum
menunjukkan kekuatannya sepanjang sejarah umat manusia –
dimulai dari adanya dua gubernur dalam satu wilayah, hingga dua
sultan dalam satu kerajaan– melalui kekacauan, guncangan, dan
pergolakan-pergolakan yang sangat luar biasa.
Lihatlah dan perhatikan bagaimana satu bayang-bayang di
antara banyak bayang-bayang kekuasaan dan perintah milik
sejumlah ma­­nu­sia lemah yang memerlukan kerjasama pihak lain,
menolak intervensi hingga sedemikian ini, mencegah campur
tangan orang lain, menentang persekutuan dalam kekuasaan
mereka, dan ber­usaha untuk menjaga independensinya dalam
jabatannya se­pe­nuh fanatisme tanpa batas.
Selanjutnya, jika engkau bisa, silahkan engkau menganalogikan
antara mereka ini dengan Zat Yang Maha Agung yang memiliki
kekuasaan mutlak setingkat rububiyah, perintah mutlak setingkat
uluhiyah, independensi mutlak setingkat keesaan, kekayaan
mutlak setingkat qadiriyah mutlak. Perhatikan, seberapa besar
untuk ke­kuasaan tersebut dan segala kemestiannya yang wajib,
Dia lazim dan mesti menolak intervensi, mencegah persekutuan,
dan menolak sekutu. Silahkan engkau analogikan sendiri!
Risalah Alam 29

Adapun bagian kedua dari keraguan Anda adalah: Jika se­


bagian sebab menjadi rujukan bagi sebagian ubudiyah hal-hal
parsial (juz-iyyat), apakah hal itu akan mengurangi ubudiyah para
makhluk dimulai dari atom hingga berakhir pada bintang-bintang
yang beredar, suatu ubudiyah yang diarahkan kepada Zat Yang
Wajib Ada sebagai sembahan mutlak?
Jawaban: Sang Pencipta alam ini telah menciptakan alam raya
laksana menciptakan sebuah pohon, menciptakan makhluk yang
mempunyai perasaan sebagai buah paling sempurna dari pohon
ini, dan menciptakan manusia sebagai buahnya yang paling
menyeluruh.
Lantas apakah Sang Penguasa mutlak, Pemberi perintah inde­
penden, Yang Maha Esa Maha Tunggal, yang menciptakan seluruh
jagad raya ini, agar Dia dicintai dan dikenal, akan menyerahkan
manusia yang merupakan buah seluruh jagad raya, menyerahkan
rasa syukur dan ibadah manusia yang keduanya merupakan hal
penting baginya, bahkan merupakan hasil ciptaan, puncak fitrah,
dan buah kehidupannya –itulah syukur dan itulah ibadah yang
merupakan buah paling mulia baginya– kepada pihak-pihak lain?
Apakah Dia akan menjadikan hasil ciptaan dan buah jagad
raya ini sia-sia dan menentang hikmah-Nya secara total?! Tidak.
Itu mustahil!
Relakah Dia menyerahkan ibadah-ibadah para makhluk ke
pihak-pihak lain dalam bentuk yang membuat mereka mengingkari
hikmah dan rububiyah-Nya. Apakah Dia memperkenankan hal
itu?
Apakah Dia melupakan diri-Nya dan membuat para makhluk
me­ngingkari tujuan-tujuan-Nya yang luhur dalam penciptaan
alam raya ini, dengan menyerahkan rasa syukur indah para
makhluk-Nya, serta rasa terima kasih, kecintaan dan ibadah
mereka, kepada sebab-musabab! Padahal Dia menampakkan
30 Badiuzzaman Sa’id Nursi

melalui perbuatan-Nya bahwa Dia mencintai dan mempekenalkan


diri-Nya hingga derajat tak terhingga.
Wahai kawan yang masih menyembah alam, ayo jawab!
Dia pun berkata, “Alhamdulillah, kedua syubhat itu sudah hi­
lang dari diri saya karena Anda telah menunjukkan kepada saya
dua dalil yang kuat dan jelas tentang keesaan Tuhan (wahdaniyyah
ilahiyyah), telah menunjukkan bahwa Dia adalah sembahan yang
benar, bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Dia, karena
mengingkari hakikat-hakikat ini merupakan sikap sombong,
layak­nya mengingkari keberadaan matahari dan siang.”

Penutup Lama’at Keduapuluh Tiga

Seseorang yang telah meninggalkan faham naturalisme kafir


dan memasuki keimanan berkata, “Alhamdulillah, keragu-raguan
saya sudah hilang. Namun saya masih mempunyai beberapa
pertanyaan yang men­dorong saya lebih banyak menyimak untuk
menambah pengetahuan.”
Pertanyaan Pertama:
Kami sering kali mendengar orang-orang malas dan mereka
yang meninggalkan shalat berkata, “Apa perlu Rabb l dengan
ibadah kita sampai-sampai dalam al-Qur’an Dia menegur orang-
orang yang meninggalkan ibadah dengan keras dan secara paksa,
mengancam mereka de­ngan siksa yang keras seperti neraka
Jahanam? Bagaimana cara ini patut bagi gaya bahasa al-Qur’an
yang imbang, lurus, dan adil, sehingga ia bersikap begitu kerasnya
sampai melampaui ambang batas terhadap kesalahan kecil yang
tidak begitu penting bagi-Nya?”
Jawaban:
Ya, Allah l memang tidak memerlukan ibadah Anda, juga
Risalah Alam 31

tidak membutuhkan apa pun juga. Justru Anda yang perlu ber­
ibadah kepada-Nya, karena secara maknawi Anda sakit, dan
ibadah adalah antidot (penangkal) luka-luka maknawi Anda, se­
perti yang telah kami tegaskan di banyak risalah.
Ketika orang sakit berkata kepada dokter yang sangat menya­
yanginya dan berkali-kali memintanya untuk meminum obat
yang manjur, “Dokter, apa keperluan Anda hingga memaksa saya
me­lakukan ini?” Maka Anda tentu akan mengetahui sejauh mana
bodoh dan dungunya kata-kata ini.
Adapun ancaman keras al-Qur’an dan hukumannya yang me­
na­kutkan sebagai balasan atas sikap meninggalkan ibadah, hal itu
demikian:
Sebagaimana sultan menghukum orang biasa sesuai kesala­
hannya yang membahayakan hak-hak rakyatnya dengan hukuman
keras demi menjaga hak-hak tersebut, demikian pula halnya
orang yang meninggalkan ibadah dan shalat. Dia melanggar hak-
hak seluruh maujud (makhluk) yang laksana rakyat bagi Sang
Penguasa Azali Abadi melalui suatu pelanggaran yang berbahaya,
selan itu dia juga melakukan kezaliman maknawi terhadap hak
rakyat.
Hal itu karena kesempurnaan seluruh maujud tampak me­
lalui tasbih dan ibadah di sisinya yang mengarah kepada Sang
Pencipta l. Maka, orang yang meninggalkan ibadah tidak
menggubris ibadah seluruh maujud dan tidak bisa melihatnya,
bahkan mungkin meng­ingkarinya. Dia ketika itu meruntuhkan
kondisi seluruh maujud yang berada pada maqam tinggi ibadah
dan tasbih, yang masing-masing darinya merupakan catatan sha­
madani dan cermin yang memantulkan nama-nama rabbani.
Namun dianggapnya, itu hanya benda-benda mati, tak berguna,
tak bernilai, dan tak punya peran apa pun. Dengan sikap seperti
ini, dia melecehkan seluruh maujud, mengingkari kesempurnaan
32 Badiuzzaman Sa’id Nursi

mereka, dan melanggar hak-hak mereka.


Ya, setiap orang melihat jagad raya ini sesuai cermin pribadinya.
Al-Haq Ta’ala sendiri menciptakan manusia dalam bentuk ukuran
dan neraca bagi jagad raya. Dia memberikan alam khusus kepada
setiap insan dari alam ini, dan menampakkan nuansa alam ter­
sebut sesuai yang diyakini hati si manusia.
Sebagai contoh: Orang yang menangis putus asa dan sa­
ngat sedih akan melihat segala maujud (makhluk yang ada)
juga menangis sedih. Orang yang bahagia, ceria, suka cita, dan
tersenyum, karena begitu senangnya, akan melihat seluruh alam
raya ini tersenyum ceria. Demikian pula halnya ahli ibadah yang
bertasbih dengan ikhlas, penuh kesungguhan dan pemikiran akan
menyingkap dan melihat – hingga batasan tertentu – ibadah dan
tasbih segala wujud yang ada sebagai kebenaran. Berbeda dengan
orang yang meninggalkan ibadah, karena lalai atau ingkar, akan
mengira semua maujud dengan caranya sebagai sesuatu yang
salah, bertentangan, dan menafikan hakikat kesempurnaannya
sehingga ia menerjang hak-haknya secara maknawi.
Demikian pula halnya orang yang meninggalkan shalat, meng­
aniaya diri sendiri yang merupakan hamba bagi Sang Pemiliknya.
Dia bukanlah pemilik dirinya. Karena itulah, Si Pemilik
mengancamnya dengan siksaan keras, agar dia bisa mendapatkan
hak-haknya dari nafsu amarahnya.
Demikian pula, meninggalkan ibadah yang merupakan buah
pen­cip­taannya dan tujuan fitrahnya, sama saja seperti pelanggaran
dan penerjangan terhadap hikmah ilahi dan kehendak rabbani,
sehingga ia patut mendapatkan siksaan keras.
Kesimpulan
Orang yang meninggalkan ibadah adalah orang yang meng­
aniaya diri sendiri, sedangkan dirinya adalah hamba sekaligus
milik Allah l. Dia juga melanggar hak-hak kesempurnaan
Risalah Alam 33

seluruh maujud, serta menzaliminya.


Ya, seperti halnya kekafiran merendahkan dan menghina
selu­ruh maujud, maka meninggalkan ibadah juga mengingkari
kesem­purnaan seluruh makhluk dan melanggar hikmah ilahi.
Karena itu, orang yang meninggalkan ibadah patut mendapat
ancaman keras dan siksaan pedih.
Dengan demikian, al-Qur’an yang bayannya mengandung
muk­jizat, dengan memilih gaya bahasa ancaman keras sebagai
pilihan mengandung mukjizat, hendak bermaksud mengungkap
hak untuk mendapatkan ancaman tersebut dan hakekat yang
disebutkan ini. Dengan demikian, al-Qur’an sudah menjaga
kelayakan sempurna sesuai tuntutan kondisi, yang merupakan
hakikat balaghah.
Pertanyaan Kedua:
Seseorang yang meninggalkan pemikiran filsafat “alam” (na­
tu­ralisme) dan memasuki keimanan menyatakan: “Tunduknya
semua maujud ke­pada kehendak ilahi dan qudrat rabbani dalam
segala hal, urusan, dan tindakannya, merupakan hakikat besar
yang dari sudut keagungannya tak terjangkau oleh akal kita yang
sempit ini. Sementara yang kita lihat di depan mata kita berupa
begitu banyaknya makhluk yang sangat beragam tak terbatas,
berupa kemudahan mutlak dalam penciptaan dan pengadaan
segala sesuatu, berupa kemudahan dan kegampangan tak ter­
hingga da­lam pengadaan segala sesuatu melalui cara keesaan
yang terbukti ke­ber­adaannya melalui sejumlah dalil yang Anda
tunjukkan sebelumnya, juga berupa kemudahan tak terhingga
seperti yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an dan diisyaratkan
melalui sejumlah ayat secara tegas, seperti ٍ‫َما خَ ْل ُق ُك ْم َولاَ َب ْعثُ ُك ْم اِ َّل�أ َك َن ْفس‬
‫“( َو ِاح َد ٍة‬Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu
(dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti menciptakan
dan membangkitkan satu jiwa saja” Qs. Luqman [31]: 28), dan
34 Badiuzzaman Sa’id Nursi

‫السا َع ِة اِ َّل�أ َك َل ْم ِح ا ْل َب َص ِر َا ْو ُه َو اَ ْق َر ُب‬


َّ ‫“( َو َما َا ْم ُر‬Kejadian kiamat itu hanyalah
seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi.” (Qs. al-Nahl [16]: 77);
itu semua menunjukkan bahwa hakikat besar tersebut adalah
masalah yang sangat maasuk akal dan rasional sekali. Lantas apa
rahasia dan hikmah dari kemudahan ini?
Jawaban: Rahasia tersebut sudah dijelaskan di “Kalimat Kese­
puluh” dari “Maktub Keduapuluh”, yang adalah “Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu” (‫) َو ُه َو َعلٰي ُك ِّل شَ ئٍ قَدي ٌر‬. Rahasia tersebut sudah
dijelaskan secara jelas sekali dan penu kepastian, dan dalam ben­
tuk meyakinkan. Pada bagian tambahan Maktub tersebut juga di­
buktikan dengan lebih jelas lagi. Ringkasannya:
Jika penciptaan seluruh maujud disandarkan kepada Sang Pen­
cipta Yang Maha Esa, tentu penciptaannya mudah sekali laksana
penciptaan satu maujud. Namun jika itu tidak disandarkan
kepada Sang Esa lagi Tunggal, maka penciptaan satu wujud saja
akan sulit dan rumit sama seperti kesulitan menciptakan seluruh
maujud. Maka penciptaan satu biji saja sulitnya sama seperti
kesulitan menciptakan satu pohon. Namun ketika penciptaannya
disandarkan kepada Sang Pencipta Hakiki, maka penciptaan
jagad raya menjadi mudah laksana menciptakan satu pohon saja.
Menciptakan pohon juga mudah laksana menciptakan satu biji.
Surga laksana musim semi, dan musim semi laksana sekuntum
bunga.
Di sini akan kami tunjukkan secara singkat “dua dalil” di antara
ra­tusan lainnya, juga di antara ratusan hujjah yang disebutkan
secara rinci di risalah-risalah lain, yang menunjukkan hikmah dan
rahasia yang kami lihat melalui musyahadah berupa melimpahnya
dan murahnya makhluk tak terbatas, juga mudahnya keberadaan
individu-individu setiap spesies yang jumlahnya tak terbatas,
serta pengadaan maujud-maujud dalam bentuk yang sempurna,
menawan, dan bernilai tinggi, dalam jumlah sangat banyak, secara
Risalah Alam 35

mudah dan cepat.


Dalil Pertama:
Misalkan: Sebagaimana jika urusan seratus prajurit diserahkan
ma­najemennya ke seorang perwira, maka itu akan lebih mudah
seratus kali ketimbang ketika urusan seorang prajurit diserahkan
manajemennya ke seratus perwira. Demikian pula halnya ketika
pembuatan peralatan perang suatu pasukan lengkap diserahkan
ke salah satu markas, satu aturan, satu pabrik, dan berdasarkan
perintah seorang sultan, tentu itu akan mudah sekali laksana
membuat peralatan perang seorang prajurit saja. Namun, ketika
pembuatan alat-alat perang seorang prajurit diserahkan kepada
sejumlah markas, sejumlah pabrik ,dan sejumlah perwira, tentu
itu akan sulit laksana membuat alat-alat perang suatu pasukan
lengkap. Sebab, untuk membuat peralatan perang untuk seorang
prajurit diperlukan adanya pabrik-pabrik yang semestinya untuk
membuat perlengkapan perang pasukan seluruhnya.
Demikian pula ketika sebuah pohon dibekali sejumlah perleng­
kapan yang semestinya untuk hidupnya, yang berasal dari satu
bibit dan dari satu markas, sesuai satu aturan, dan menurut rahasia
kesatuan (wahdah), maka pasti akan terlihat melalui musyahadah
bahwa penciptaan pohon yang menghasilkan ribuan buah
tersebut tentu mudah laksana penciptaan satu buah. Sementara
jika kita memilih jalan banyak sebagai ganti jalan kesatuan, yakni
jika setiap buah diberi bekal berupa bahan-bahan pokok untuk
hidupnya, yang berasal dari sejumlah pusat yang berbeda-beda,
maka penciptaan satu buah saja akan sulit laksana menciptakan
sebuah pohon. Bahkan, akan sulit juga untuk menciptakan satu
biji saja yang merupakan sumber pohon dan indeksnya, seperti
sulitnya menciptakan sebuah pohon tersebut, karena seluruh
bahan pokok yang penting bagi kehidupan sebuah pohon juga
penting bagi sebuah biji.
36 Badiuzzaman Sa’id Nursi

Masih ada lagi ribuan contoh lain seperti dua contoh ini, yang
menjelaskan bahwa ribuan maujud yang muncul ke alam nyata
ini dengan mudah sekali melalui jalan kesatuan adalah jauh lebih
mudah dari pengadaan satu maujud melalui jalan syarikat dan
banyak.
Hakikat ini sudah dijelaskan di dalam risalah-risalah lain
secara pasti dan qath’i seperti kepastian dua dikali dua sama
dengan empat. Untuk itu, kita bisa merujuk penjelasannya ke
(risalah-risalah di­maksud). Di sini kami akan menjelaskan suatu
rahasia saja yang sangat penting terkait kemudahan ini dari sisi
pengetahuan ilahi, takdir ilahi, dan qudrat rabbani. Itu sebagai
berikut:
Anda adalah satu maujud di antara maujud-maujud yang
ada. Jika Anda menyerahkan permasalahan Anda kepada Sang
Maha Kuasa Maha Azali, maka Dia telah menciptakan Anda
dari ketiadaan dengan mudah semudah menyalakan korek api
berdasarkan satu perintah dalam waktu sekejap atas qudrat-
Nya yang tak terbatas. Namun jika Anda tidak menyerahkan
urusan Anda kepada-Nya, dan Anda menyerahkan urusan Anda
kepada sebab-musabab materiil dan alam, maka saat itu untuk
penciptaan Anda harus dikumpulkan bahan-bahan yang ada di
dalam diri Anda dari berbagai penjuru alam, dengan takaran-
takaran sangat sensitif dan jeli setelah jagad raya dan unsur-unsur
disaring dengan saringan yang halus, karena Anda adalah intisari
sempurna, buah menawan, dan katalog kecil jagad raya. Hal itu
karena, sebab-musabab materiil hanya disusun dan disatukan, dan
ia tidak ditakdirkan untuk mengadakan dan menciptakan sesuatu
yang tidak ada dari ketiadaan, seperti yang bisa dibenarkan oleh
seluruh orang yang berakal. Artinya, sebab-musabab ini akan
dipaksa untuk menyatukan tubuh makhluk hi­dup kecil dari
seluruh penjuru alam. Perhatikanlah sejauh mana mudahnya
Risalah Alam 37

penciptaan seperti ini melalui cara kesatuan (wahdah) dan


penyatuan (tauhid), dan sejauh mana kesulitan dan kemusykilan
(penciptaan maujud) melalui cara kesyirikan dan kesesatan.
Dalil Kedua:
Di balik wahdah dan tauhid terdapat kemudahan tanpa batas
dari sisi ilmu pengetahuan. Jelasnya demikian:
Takdir adalah semacam ilmu pengetahuan ilahi yang mem­
bantu untuk menentukan ukuran (miqdar) tiap sesuatu, seakan-
akan ia inti maknawi khusus dengannya. Dan ukuran ketentuan
(miqdar qadari) ini laksana garis keberadaan sesuatu itu dan
model baginya. Ketika sesuatu diadakan oleh qudrat ilahi,
(qudrat ilahi) mengadakannya sesuai ukuran ketentuan dengan
kemudahan mutlak. Namun jika pengadaan sesuatu tersebut
tidak disandarkan kepada Sang Maha Kuasa Maha Agung yang
memiliki ilmu yang meliputi tanpa batas secara azali, ia bukan
hanya mengalami ribuan kerumitan seperti telah dijelaskan
sebelumnya, tapi juga mengalami ratusan kemustahilan. Hal itu
karena, jika tidak ada ukuran ketentuan dan ukuran ilmu (miqdar
‘ilmi), tentu saat itu harus digunakan ribuan inti eksternal materiil
di dalam tubuh hewan terkecil sekali pun. Maka fahamilah salah
satu dari sekian rahasia kemudahan tak terbatas dalam persatuan
ini, fahamilah kesulitan-kesulitan tak terbatas di balik kesyirikan
dan kesesatan, dan ketahuilah sejauh mana kebenaran hakikat
yang dijelaskan dalam ayat, ‫السا َع ِة اِ َّل�أ َك َل ْم ِح ا ْل َب َص ِر اَ ْو ُه َو اَ ْق َر ُب‬
َّ ‫“( َو َما اَ ْم ُر‬Kejadian
kiamat itu hanyalah seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi” Qs.
al-Nahl [16]: 77), serta fahamilah sejauh mana keluhuran dan
kebenaran hakikat ini.
Pertanyaan Ketiga:
Orang yang mendapat petunjuk, yang sebelumnya lawan
namun kini menjadi kawan, berkata: Para filosof yang melampaui
38 Badiuzzaman Sa’id Nursi

batas pada masa ini mengatakan, “Tak ada sesuatu pun yang
diciptakan dari ketiadaan, dan tak ada sesuatu pun yang pergi
menuju ketiadaan. Tapi hanya komposisi (tarkib) dan dekomposisi
(tahlil) satu-satunya yang mengatur pabrik jagad raya ini!”
Jawaban:
Para filosof yang benar-benar melampaui batas tersebut tidak
me­mandang maujudat (wujud-wujud yang ada) berdasarkan
cahaya al-Qur’an. Mereka memandang alam raya ini, lalu mereka
berpendapat bahwa penciptaan dan pengadaan maujudat ini
melalui sebab-musabab dan alam pasti rumit dan sulit hingga
derajat mustahil, seperti yang telah kami buktikan sebelumnya.
Karena itu, para filosof terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama: Menganut sophisme, yang berusaha
mele­paskan diri dari akal yang merupakan salah satu ke­is­
ti­mewaan manusia. Mereka pun runtuh ke tingkatan paling
rendah dari hewan bodoh. Itu karena mereka memandang bahwa
mengingkari adanya semua wujud yang ada, bahkan mengingkari
keberadaan mereka sendiri, lebih mudah dari anggapan bahwa
alam dan sebab-musabab menciptakan wujud melalui cara
kesesatan. Dengan demikian, mereka mengingkari keberadaan
me­reka sendiri, keberadaan semua wujud yang ada, dan jatuh
dalam ke­bodohan mutlak.
Golongan kedua: Menganggap bahwa penciptaan seekor
lalat atau satu biji tanaman oleh sebab-musabab dan alam melalui
cara kesesatan, teramat sulit sekali, dan bahwa itu mengharuskan
ada­nya qudrat besar di luar standar akal. Karena itu, mereka
mesti mengingkari penciptaan. Mereka mengatakan bahwa “tak
ada sesuatu pun yang diciptakan dari ketiadaan.” Mereka juga
menganggap bahwa ketiadaan itu mustahil. Mereka menilai
bahwa wujud tidaklah ditiadakan dan dilenyapkan. Hanya saja
mereka membayangkan kondisi yang bersifat tituler, yaitu adanya
Risalah Alam 39

komposisi, dekomposisi, pemecahan dan komposisi, yang terjadi


karena pergerakan atom dan faktor kebetulan saja.
Perhatikanlah sekarang orang yang mengira dirinya sebagai
orang paling berakal dan cerdas, ternyata mereka jatuh ke tingkat
ke­bodohan dan ketololan paling rendah. Perhatikanlah bagaimana
kesesatan menjadikan manusia bahan ejekan. Perhatikanlah
bagaimana harga dirinya runtuh dan membuatnya menjadi
manusia paling bodoh dan hina. Silahkan Anda jadikan pelajaran!
Kita menyaksikan, qudrat azali setiap tahun menciptakan
empat ratus ribu jenis makhluk hidup di bumi ini secara
bersamaan, menciptakan langit dan bumi dalam enam hari,
menciptakan makh­luk hidup paling menawan di antara jagad
raya dan paling banyak hikmahnya selama enam pekan di setiap
musim semi. Gerangan, apakah mustahil bagi qudrat azali
memberikan wujud eksternal kepada maujud-maujud ilmiah yang
adalah ketiadaan eksternal, dan yang menentukan perencanaan,
program, dan ukuran-ukurannya dalam lingkup ilmu azali, serta
menciptakannya dengan mudah semudah memperlihatkan tuli­
san yang ditulis dengan suatu bahan kimia yang tak bisa dilihat
melalui mata telanjang kecuali setelah dialiri dengan suatu bahan
kimia? Bukankah mengingkari penciptaan dan pengadaan dari
qudrat azali itu lebih bodoh dari kebodohan kelompok pertama,
penganut sophisme, serta lebih tolol dari ketololan mereka?!
Jiwa mereka yang celaka, sengsara, dan kefiraunan itu benar-
benar lemah secara mutlak. Jiwa mereka tak memiliki apa pun
selain kehendak parsial karena tidak mampu meniadakan dan
melenyapkan segala sesuatu, tak mampu untuk menciptakan
atom atau materi apa pun dari ketiadaan. Sebab-musabab dan
alam yang mereka jadikan tumpuan pun tak mampu menciptakan
apa pun dari ketiadaan. Dengan dungunya mereka mengatakan:
“Tidak ada penciptaan dari ketiadaan, dan wujud yang ada
40 Badiuzzaman Sa’id Nursi

tidak akan lenyap.” Melalui pernyataan ini, mereka ingin juga


memberlakukan dustur batil dan keliru tersebut kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa Maha Mutlak.
Ya, Sang Maha Kuasa Maha Agung memiliki dua jenis pen­
ciptaan:
Pertama, melalui ikhtira’ dan ibda’, yakni Allah Maha
Agung mem­berikan wujud kepada sesuatu dari ketiadaan, dan
mengadakan apa pun yang diperlukan oleh sesuatu tersebut dari
ketiadaan, serta memberikannya kepadanya.
Kedua, melalui insya’ dan shan’ah, serta ibda’, yaitu Allah
Maha Agung menciptakan sebagian maujudat dari unsur-unsur
jagad raya karena hikmah tertentu yang amat jeli –seperti untuk
mem­perlihatkan kesempurnaan hikmah-Nya dan tajalli sebagian
besar nama-nama-Nya yang indah. Dia mengirim atom-atom
dan bahan-bahan yang tunduk pada perintah-Nya kepada wujud
tersebut melalui hukum tentang pemberian rizki, serta Dia
menjadikan atom dan bahan tersebut bekerja di dalam maujudat
yang dimaksud.
Ya, Sang Maha Kuasa Yang Maha Mutlak memiliki dua jenis
penga­daan (ijad), yaitu ibda’ (menciptakan sesuatu dari ketiadaan)
dan insya’ (menciptakan sesuatu dari bahan-bahan yang sudah
ada). Karena itu, meniadakan sesuatu yang ada dan menciptakan
sesuatu yang tidak ada merupakan salah satu hukum-Nya yang
paling mudah dan paling gampang. Bahkan itulah hukum-Nya
yang bersifat umum dan selalu berlaku.
Karena itu, orang yang mengatakan pada qudrat Tuhan yang
dalam satu kali musim semi menciptakan tiga ratus ribu spesies
makhluk hidup dengan berbagai bentuk dan ciri dari ketiadaan,
bahkan menciptakan seluruh kondisi dan posisinya, selain
bagian-bagiannya yang paling kecil, seraya berkata, “Barangkali
Dia tak mampu menciptakan sesuatu pun yang tidak ada,” tentu
Risalah Alam 41

telah menjerumuskan dirinya sendiri ke ketiadaan.


Berbeda halnya dengan orang yang melepaskan diri dari
faham naturalisme dan beralih kepada hakikat, tentu dia akan
mengatakan, “Saya bersyukur kepada Allah Yang Maha Suci
dan memuji-Nya sebanyak-banyaknya, saya menyanjung-Nya
sebanyak bilangan atom, karena saya telah meraih kesempurnaan
iman, telah terlepas dari dugaan-dugaan waham dan kesesatan,
dan sudah tak tersisa satu pun keraguan dalam diri saya.”

‫اَ ْل َح ْم ُد لِلّٰ ِه َعلٰي دينِ ا ْل ِ�أ ْسلاَ ِم َو َك َم ِال ا ْل�أي َم ِان‬


Segala puji bagi Allah atas karunia agama Islam dan
kesempurnaan iman

َ ‫﴿ ُس ْب َحا َن َك لاَ ِع ْل َم َل َنا اِ َّل�أ َما َعلَّ ْم َت َنا اِن ََّك اَن‬
﴾ ‫ْت ا ْل َعلي ُم ا ْل َحكي ُم‬
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. al-Baqarah [2]: 32)
42 Badiuzzaman Sa’id Nursi

RISALAH ALAM
Badiuzzaman Sa’id Nursi

BADIUZZAMAN SA’ID NURSI lahir


pada 1877 dan wafat 1960. Usianya
yang 85 tahun dia wakafkan untuk
pengabdian al-Qur’an. Risa­lah al-Nur,
kar­­­yanya yang memuat 130 ri­sa­­lah,
mem­bahas tafsir maknawi al-Qur’an
­un­tuk me­ngatasi bera­gam problema
umat. Dia mendiagno­sa pe­­­nya­kit
ter­­­parah umat, yaitu le­mah iman. Di
tengah beribu rintangan, dia mencurah-
kan se­ge­nap ­te­­naga dan pikirannya pa­da
pe­­ngokohan ke­­ima­­­nan itu sesuai tun­­­­tu­
nan al-Qur’an dan Sunnah.

Penerbit
Altinbasak

You might also like