Professional Documents
Culture Documents
MUHAMMAD IQBAL
JAKARTA
2011 M/ 1432 H
1
KELANSUNGAN HIDUP IKAN LELE (Clarias
gariepinus) PADA BUDIDAYA INTENSIF SISTEM
HETEROTROFIK
Skripsi
MUHAMMAD IQBAL
106095003209
JAKARTA
2011 M/ 1432 H
2
3
PERNYATAAN
Muhammad Iqbal
4
ABSTRACT
Key words : heterotrophic system, improving the survival of catfish, water quality
criteria.
5
ABSTRAK
Kelangsungan Hidup Ikan Lele Pada Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus)
Intensif Sistem Heterotrofik.
Sistem heterotrofik pada budidaya intensif merupakan salah satu teknologi yang
saat ini sedang dikembangkan dalam akuakultur yang bertujuan untuk
memperbaiki kelangsungan hidup ikan lele serta kualitas air dan meningkatkan
efisiensi pemanfaatan nutrient.Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen
anorganik terutama amonia dan nitrit oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa
mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya. Kegiatan
penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sistem Budidaya Loka Riset Pemuliaan
dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang, Jawa Barat
pada bulan Januari sampai Juni 2011. Penelitian ini menggunakan 12 bak fiber
dengan dasar bentuk corong serta dengan kepadatan 20 ekor/50 g ikan lele di
lakukan dengan empat perlakuan yang berbeda diantaranya: perlakuan dengan
menggunakan pakan saja, perlakuan dengan menggunakan peran molase (Pakan
dan Molase), perlakuan dengan menggunakan peran bakteri (Pakan dan Bakteri)
dan, Perlakuan dengan menggunakan bakteri dan molase (Sistem Heterotrofik).
Parameter yang diamati meliputi kelangsungan hidup ikan lele serta hubungannya
dengan beberapa parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang diukur adalah
meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat dan volatile suspendid
solid (VSS). Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem heterotrofik menghasilkan
kelangsungan hidup ikan lele yang baik serta kualitas air yang mendukung bagi
pertumbuhan ikan lele (Clarias gariepinus).
Kata kunci : Sistrem heterotrofik, kelangsungan hidup ikan lele, kriteria kualitas
air.
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah dari-Nya dan shalawat serta salam penulis haturkan kepada
baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang
terang benderang penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, sehingga penulis
HETEROTROFIK” ini.
Selama pengerjaan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
1. Ayahanda Drs. H. Sopri Effendi M.M dan Ibunda Hj. Mamah Fatimah
serta kakak dan adik-adikku, serta mba ayu S.Hi, mba heni S.Hi, dan
2. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi.
3. Dr. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud selaku Kepala Prodi Biologi Fakultas
7
4. Ir. Bambang Gunadi, M. Sc., selaku pembimbing I, dan Pihak-pihak lain
yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas
5. Dr. Joni Haryadi M.Sc, selaku penguji seminar hasil yang selalu
6. Dr. Imron, S.Pi, M.Si selaku kepala Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi
7. .Drs. Wayan Subamia, M.Si. selaku mantan kepala Loka Riset Pemuliaan
bimbingannya.
10. Teknisi – teknisi resirkulasi Mas Lamanto S.Pi, Mba Rita S.Si , Mas Ivan,
Mas Galih, dan Pak Oman, Mang Karim yang telah banyak membantu
11. Serta temen-temen angkatan 2006 prodi Biologi Uin Syarif Hidayatullah
12. Cheppy, Hapis Taihiap S.Si, Muhib Radhiyufa S.Si, Ayudya Safitrie
Iskandar S.Pi, Efrizal, S.Pi, Yudha Lestira S.Pi, yang selama kurang lebih
8
13. Semua pihak yang tidak mungkin dituliskan satu persatu yang telah
diberikan, semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,
skripsi ini. Demikianlah skripsi ini disusun, semoga skripsi ini berguna dan
Penulis
9
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL........................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. vi
10
2.2 Kelangsungan hidup ikan ............................................................. 10
3.3.3Perlakuan ........................................................................... 23
11
3.3.4.3Pengukuran Amonia, Nitrit dan Nitrat .......................... 25
3.3.4.4Pengukuran VSS............................................................ 26
4.2.1 Amonia.............................................................................. 36
4.2.2 Nitrit.................................................................................. 40
4.2.3 Nitrat................................................................................. 44
4.2.5 Suhu................................................................................... 50
4.2.6 pH...................................................................................... 52
BAB V PENUTUP..................................................................................... 57
5.1 Kesimpulan................................................................................ 57
5.2 Saran.......................................................................................... 57
LAMPIRAN ................................................................................................ 64
12
DAFTAR GAMBAR
Siklus 1.......................................................................................... 28
Siklus 2........................................................................................... 29
Siklus 3.......................................................................................... 34
Siklus 4......................................................................................... 35
13
DAFTAR TABEL
14
DAFTAR LAMPIRAN
Nitrat.............................................................................................. 72
15
BAB I
PENDAHULUAN
produk ikan dan tingkat konsumsi ikan, budidaya perikanan dituntut untuk
tiga produksi budidaya ikan air tawar di Indonesia setelah ikan mas dan nila
(Anonimus, 2008). Jawa Barat merupakan pusat produksi ikan lele dan pada tahun
2000 menghasilkan 6.421 ton ikan lele dan meningkat 23.642 ton pada tahun 2006
(Anonimus, 2007).
produksi 175.000 ton atau meningkat rata-rata 21,64 % per tahun (Mahyudin,
lele memiliki pertumbuhan yang cepat dan tahan terhadap lingkungan yang
kurang baik. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik diperlukan kondisi tempat
atau air yang mengandung cukup oksigen dan tidak mengandung bahan pencemar,
16
Budidaya lele saat ini banyak dilakukan dengan sistem intensif.
tambahan. Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya secara intensif
yaitu terjadinya penurunan kualitas air pada media budidaya yang disebabkan
(Boyd, 1990).
Untuk itu perlu dilakukan penanganan limbah hasil budidaya intensif ini,
sehingga limbah tidak menjadi toksik dan tidak menyebabkan kematian pada ikan
ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem heterotrofik pada budidaya ikan
intensif.
nitrogen organik (amonia, nitrit, dan nitrat) menjadi biomassa. Sistem heterotrofik
agar tercipta produksi dengan tingkat kelangsungan hidup ikan yang tinggi, serta
17
1.2 Rumusan Masalah
sistem heterotrofik?
2. Menganalisis kadar amonia, nitrit dan nitrat pada budidaya intensif dengan
1.4 Hipotesis
intensif.
budidaya intensif.
18
1.5 Manfaat Penelitian
tawar khususnya ikan lele (Clarias sp) pada budidaya intensif sistem
heterotrofik.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan lele (Gambar 1) adalah ikan yang hidup di perairan umum dan
merupakan ikan yang bernilai ekonomis serta disukai oleh masyarakat. Ikan lele
bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makanan pada malam hari. Ikan lele
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
20
Gambar 1. Ikan Lele (Clarias gariepinus)
2.1.2 Morfologi
Ikan lele memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, tidak bersisik dan
mempunyai organ arborecent, yaitu alat yang membuat lele dapat hidup di lumpur
atau air yang hanya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele berwarna kehitaman
(depressed), berkepala pipih dan memiliki empat pasang kumis yang memanjang
Ikan lele mempunyai jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada P.9-10,
sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-60 dan jumlah sungut sebanyak empat pasang,
satu pasang diantaranya lebih panjang dan besar. Sirip dada dilengkapi sepasang
duri tajam dan patil yang memiliki panjang maksimum mencapai 400 mm
terutama pada ikan lele dewasa, sedangkan pada ikan lele yang tua sudah
berkurang racunnya. Panjang baku 5-6 kali tinggi badan dan perbandingan antara
panjang baku dan panjang kepala adalah 1: 3-4. Ukuran matanya sekitar 1/8
21
panjang kepalanya. Giginya berbentuk villiform dan menempel pada rahang
Habitat atau lingkungan hidup ikan lele adalah semua perairan tawar,
meliputi sungai dengan aliran yang tidak terlalu deras atau perairan yang tenang
seperti waduk, danau, telaga, rawa dan genangan air seperti kolam. Ikan lele
tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif tahan
oksigen terlarut 4 ppm dan air yang ideal mempunyai kadar karbondioksida
kurang dari 2 ppm, namun pertumbuhan dan perkembangan ikan lele akan
cepat dan sehat jika dipelihara dari sumber air yang cukup bersih, seperti sungai,
Ikan lele dapat hidup baik di dataran rendah sampai dengan perbukitan
diatas 700 m. Ikan lele jarang menampakkan aktivitasnya pada siang hari dan lebih
menyukai tempat-tempat yang gelap, agak dalam dan teduh. Hal ini bisa
beraktivitas dan mencari makan pada malam hari. Pada siang hari lele lebih
suka berdiam atau berlindung ditempat-tempat yang gelap. Akan tetapi, pada
diberi pakan pelet pada pagi atau siang hari walaupun nafsu makannya tetap
22
lebih tinggi jika diberikan pada malam hari.
Kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele adalah suhu yang
berkisar antara 20-30oC, akan tetapi suhu optimalnya adalah 27 oC, kandungan
oksigen terlarut > 3 ppm, pH 6.5-8 dan NH3 sebesar 0,05 ppm. Ikan lele
sifat scavanger yaitu ikan pemakan bangkai. Selain pakan alami, untuk
pelet. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3% per hari dari berat total ikan
yang ditebarkan di kolam dengan frekuensi 2-3 kali sehari (Khairuman dan
Amri, 2002).
Ikan lele digolongkan sebagai ikan karnivora. Pakan alami yang baik
untuk benih ikan lele adalah jenis zooplankton diantaranya Moina, Dapnia, dan
kecil dan sebagainya. Pakan alami biasanya digunakan untuk pemberian pakan
lele pada fase larva sampai benih, akan tetapi kan lele biasanya mencari
Ikan lele dapat memakan segala macam makanan. Pakan alami ikan lele
adalah jasad renik yang hidup di lumpur dasar maupun di dalam air, antara lain
(zooplankton). Selain itu, lele juga dapat memakan kotoran atau bahkan apa
23
Pakan tambahan yang baik untuk lele adalah yang banyak mengandung
protein hewani. Jika pakan yang diberikan banyak mengandung protein nabati,
yang suka memakan jenisnya sendiri. Jika kurang. Sifat kanibalisme juga akan
timbul oleh karena perbedaan ukuran. Lele yang berukuran besar akan
2.1.5 Penyebaran
Ikan lele tersebar luas di benua Afrika dan Asia, terdapat di perairan umum
yang berair tawar secara liar. Di beberapa negara khususnya Asia, seperti Filipina,
Thailand, Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Birma dan India, ikan lele telah
banyak dibudidayakan dan dipelihara di kolam . Secara alami ikan lele terdapat di
Ikan lele diindonesia mempunyai beberapa nama daerah, antara lain: ikan
kalang (Padang), ikan maut (Gayo, Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan
keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah). Sedang di
negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond (Thailand), ikan keli
(Malaysia), gura magura (Srilangka), catre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris
disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish (Suyanto, 2006).
24
2.2 Kelangsungan Hidup Ikan (Survival rate)
hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal
tertentu.
Kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor
abiotik yang berpengaruh antara lain yaitu sifat fisika dan sifat kimia dari suatu
yang diikuti dengan peningkatan pemakaian pakan buatan kaya protein. Industri
produk rendah sementara biaya input selalu meningkat, dan semakin terbatasnya
25
sumberdaya lingkungan, air, dan lahan. Sistem akuakultur intensif berkaitan
penting dalam sistem akuakultur intensif adalah kualitas air dan aspek ekonomi
(Avnimelech, 2006).
Hal ini tidak dapat dihindari karena ikan memanfaatkan hanya 20%-30%
nutrien pakan. Sisanya dikeluarkan dari tubuh ikan dan umumnya terkumpul
dalam air. Hal ini, pada gilirannya akan menimbulkan penumpukan kandungan
amonia dan limbah bahan organik dalam air kolam. Pemeliharaan ikan lele dalam
terhadap pertumbuhan, derajat kelangsungan hidup ikan dan efesiensi pakan ikan
tersebut digunakan sebagai sumber energi untuk pembentukan sel – sel baru dan
organik dapat berlangsung lebih cepat apabila tersedia oksigen yang mencukupi
(Parwanayoni, 2008).
26
Menurut Woon (2007) pertumbuhan bakteri heterotrof mempengaruhi
jumlah nitrogen dalam perairan melalui tiga hal, yaitu proses asimilasi nitrogen
menjadi sel, asimilasi nitrogen melalui proses respirasi, dan denitrifikasi nitrat dan
yang tinggi, aerasi yang cukup bagi pergerakan air untuk menjaga padatan tetap
terlarut, dan tingkat oksigen yang mencukupi bagi biota budidaya, input bahan
organik yang tinggi, sebagai sumber bahan makanan bagi bakteri dan biota
teknologi ini mampu memanfaatkan air dalam jumlah terbatas untuk kegiatan
dibuang begitu saja dalam jumlah besar sebagai bahan yang tidak termanfaatkan.
27
heterotrofik akan membentuk flok (gumpalan) yang dapat dimanfaatkan sebagai
yang tersuspensi di dalam air. Zat padat organik merupakan zat padat yang
terbakar pada 550°C setelah dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 103ºC yang
dari jumlah materi organik padat pada air limbah, lumpur aktif dan limbah
industri.
solids. Volatile solid adalah bahan organik yang teroksidasi pada pemanasan
dengan suhu, sedangkan non volatile solid adalah fraksi bahan anorganik yang
2.6 Molases
Molases atau gula tetes merupakan buangan akhir proses pengolahan gula
cairan kental. Molases mengandung 48-56% gula dan sedikit bahan atau unsur-
28
unsur mikro yang penting bagi kehidupan organisme, seperti cobalt, boron,
molases yang relatif murah, memiliki kandungan karbon yang tinggi, serta
penggunaannya cukup mudah (Willet dan Morrison, 2006). Molases sebagai salah
Molases berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang
khas (Najamuddin, 2008). Oleh karena itu, penambahan molases ke dalam media
terhadap suatu populasi biota air, karena sifat parameter kualitas air yang ada
lingkungan tertentu.
Dalam hal ini jika salah satu faktor lingkungan melewati batas toleransi
suatu spesies atau jika nilai salah satu parameter kualitas air menurun sampai
29
Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor, yaitu zat telarut, zat yang
tersuspensi dan makhluk hidup khususnya jasat renik di dalam air, maka dapat
dikatakan bahwa kualitas air adalah tingkat pencemaran akibat proses alami dan
aktivitas budaya manusia yang mempengaruhi kelayakan air ditinjau dari segi
kehidupan organisme air. Oksigen terlarut atau DO adalah jumlah mg/l gas
oksigen yang terlarut dalam air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi
oksigen dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny
dan Olem 1994). Oksigen yang di serap kemudian dimanfaatkan dalam proses
metabolisme baik untuk pembentukan sel baru (pertumbuhan) dan untuk gerak
maupun untuk penggantian sel yang hilang dan rusak. Kadar oksigen dalam air
akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas.
Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya
proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.
karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak
30
2.7.2 Tingkat Keasaman (pH)
pH merupakan ukuran aktivitas ion hydrogen (H+) (Van Wyk et al. 1999).
menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. pH terkait sangat erat
nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitasnya dan makin rendah kandungan karbon
dioksida bebasnya (Mackereth et.al, 1989). Pada umumnya sebagian biota air
sensitif terhadap perubahan pH, dan hampir semua biota menyukai pH 7-8,5.
rendah. Selain itu toksisitas dari logam beratpun sangat dipengaruhi oleh besaran
pH perairan (Novotny dan Olem, 1994). Jika dalam suatu perairan terdapat
kandungan bahan organik yang tinggi, maka bahan organik tersebut harus
diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan
dihasilkan karbon dioksida, uap air dan nitrat. Dalam keadaan tidak ada oksigen
akan dihasilkan hidrogen sulfide (H2S), ammonia (NH3) dan metana (CH4).
Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang dapat
menurunkan pH.
dioksida akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3-) akan berubah menjadi CO2
dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat.
31
Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organic yang tinggi, maka hasil
Di dalam air karbon dioksida ini akan membentuk asam karbonat. (Moss,
1993), keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbon dioksida bereaksi dengan
air, sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam
menurun.
2.7.3 Suhu
Suhu air, telah dikemukakan bahwa suhu didalam air dapat menjadi faktor
penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu
didalam air yang telah melampui ambang batas (terlalu hangat atau terlalu dingin)
bagi kehidupan flora dan fauna akuatis seringkali berubah dengan adanya
perubahan suhu air, terutama oleh adanya kenaikan suhu didalam air.
aktivitas biologi, dan pada gilirannya, memerlukan lebih banyak oksigen di dalam
perairan tersebut. Hubungan antara suhu air dan oksigen biasanya berkolerasi
negatif, yaitu kenaikan suhu di dalam air akan menurunkan tingkat solubilitas
Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses
fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan
32
akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi subtrat, kekeruhan maupun
biota air seperti proses osmoregulasi dan pernapasan organisme perairan, sehingga
secara langsung dalam hal reaksi enzimatik pada organisme. Selain pengaruh
langsung, pengaruh tidak langsung dari suhu bisa dalam bentuk terjadinya
perubahan struktur dan dispersi hewan air, yakni akan menentukan kehadiran
pertumbuhan.
intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Dalam hal ini intensitas
cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan akan menetukan derajat panas, yakni
semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin
suhu perairan (Welch, 1980). Suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi
33
2.7.4 Amonia (NH4+)
bakterial, senyawa ini akan diubah menjadi nitrit untuk selanjutnya akan diubah
menjadi nitrat (NO4+). Pada sistem heterotrofik, amonia akan diubah menjadi
biomassa bakteri, jika rasio C:N di dalam air lebih tinggi dari 5 (Beristain, 2005).
Amonia (NH4+) dapat ditemui pada setiap badan air dalam bermacam-
macam bentuk tergantung dari oksidasinya, antara lain NH3, NO2, dan nitrat serta
merupakan senyawa terlarut (Allaerts dan Santika, 1987). Amonia di dalam air
ada dalam bentuk ion amonia (disosiasi) dalam bentuk NH4+. Kedua bentuk
amonia tersebut sangat bergantung pada kondisi pH dan suhu air (Putra, 2008).
(nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) yang biasa dikenal
dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003). Diperairan alami, nitrit
(NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit dari
pada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit
merupakan bentuk peralihan antara amoniak dan nitrat (nitrifikasi), dan antara
(Effendi, 2003).
34
2.7.6 Nitrat (NO3-)
merupakan hara utama bagi tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil karena dihasilkan dari proses oksidasi sempurna
Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari
pada amonium, pada perairan alami kadar nitrat- nitrogennya biasanya tidak
melebihi 0,1 mg/L. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik.
Konsentrasi nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l. Pada proses
mineralisasi (nitrifikasi) amonia akan dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat oleh
kelompok bakteri nitrifikasi. Senyawa nitrat dan nitrit akan direduksi menjadi gas
35
BAB III
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juli 2011, bertempat di
Bak fiber bulat dengan dasar berbentuk corong dengan ukuran 250 L,
corong plastik, saringan, selang, dan plastik kiloan), botol sampel, corong, pipet
tetes, gelas ukur, tissue, erlenmeyer, labu ukur, beaker glass, timbangan digital,
timbangan analitik, water quality checker, desikator, oven, vakum, mikro pipet,
I500.
Ikan lele (Clarias gariepinus) ukuran 50 gram/ekor, pakan ikan lele Pro-vite
781, molases, bakteri komersil minabacto, reagent amonia, reagent nitrit, dan
reagent nitrat.
36
3.3 Cara Kerja
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa bak fiber bulat
dengan dasar berbentuk corong dan berukuran 250 liter. Bak tersebut diisi air
sebanyak 200 liter. Aerasi dipasang di dalam bak untuk menjamin kadar oksigen
gram/ekor. Kepadatan yang diterapkan adalah 20 ekor per bak. Sebelum ditebar,
siklus dari hari ke 0 sampai hari ke 21. Setiap terjadi penurunan kelangsungan
hidup ikan sampai 0%, maka dilakukan penambahan ikan kembali sampai
mencapai 100%, untuk mendapatkan data kematian ikan dan kadar konsentrasi
setelah penebaran. Pakan yang diberikan adalah pakan buatan berbentuk pelet
apung dengan kadar protein kasar (Pro-vite 781) setiap hari selama 3 minggu yang
bersifat mengapung, dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, pagi sekitar
37
pukul 07.00 WIB, siang sekitar pukul 13.00 WIB dan sore sekitar pukul 16.00
WIB.
diukur setiap 7 hari sekali, sehingga jumlah pakan yang akan diberikan diganti
yang diberikan atau disesuaikan dengan bobot ikan per corong dan sesuai dengan
perhitungan Rasio C/N. Pemberian molases hanya diberikan pada 6 corong sesuai
perlakuan. Inokulasi bakteri dilakukan sekali pada awal penelitian dengan dosis
3.3.3 Perlakuan
pemberian bakteri
38
3. Perlakuan C : pemberian pakan dengan pemberian bakteri dan tanpa
pemberian molases
4 D1 Bakteri + Molase
7 D2 Bakteri + Molase
12 D3 Bakteri + Molase
3.3.4 Pengamatan
Perhitungan jumlah ikan diukur per corong dan dilakukan setiap hari.
yang mati setiap hari per-corong sebelum pemberian pakan. Kelangsungan hidup
39
ikan diukur dengan mengurangi jumlah ikan awal dengan jumlah ikan akhir.
Tingkat kelangsungan hidup ikan lele dan ikan dapat dihitung menggunakan
𝑁𝑡
𝑆𝑅 = x 100 %
𝑁𝑜
Keterangan :
SR = Survival Rate (%)
Nt = Jumlah ikan lele yang hidup pada akhir pengamatan
No = Jumlah ikan lele pada awal pengamatan
Pengukuran amonia, nitrit, dan nitrat dilakukan pada hari ke- 0, 2, 4, 8, 12,
air dari tiap-tiap corong pada jam 6.00 pagi sebelum pemberian pakan dan
sampel air dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 0,2 ml larutan
fenol; 0,2 ml larutan nitroprussida, dan 0,5 ml larutan oksidan. dibiarkan warna
terbentuk pada suhu ruang (22-27ºC), kocok dan dibiarkan selama satu jam.
40
Pengukuran nitrat sebagai berikut: diambil sampel air dari tiap-tiap corong
pada jam 6.00 pagi sebelum pemberian pakan dan molases. disaring sampel air
Pengukuran nitrit sebagai berikut: diambil sampel air dari tiap-tiap corong
pada jam 6.00 pagi sebelum pemberian pakan dan molases. Saring sampel air
tabung reaksi lalu ditambahkan 0,1 ml asam sulfinat, lalu dibiarkan 2-8 menit.
dibiarkan 10-20 menit akan terbentuk warna merah keunguan. dianalisa dengan
corong pada jam 6.00 WIB pagi sebelum pemberian pakan dan molases. Sampel
air sebanyak 100 ml disaring dengan menggunakan kertas saring wathman 42 dan
vakum. Setelah itu kertas saring (filter) dikeringkan di dalam oven pada suhu
103°C selama 60 menit. didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat kering
(A). Setelah itu kertas saring dimasukkan ke dalam furnance pada suhu 550°C
selama 60 menit, Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang lagi (B)
41
Hasil timbangan
Hasil timbangan A dan BA dan B dihitung
dihitung dengan
dengan menggunakan
menggunakan rumus
rumus :
Keterangan:
Sidik Ragam untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Hasil pengukuran setiap
paramater diuji dengan analysis of variance (ANOVA) satu arah untuk melihat
kelangsungan hidup ikan. Apabila dalam ANOVA atau Sidik Ragam ternyata Fhit
> Ftab dengan signifikansi 5% maupun 1% maka dilakukan uji lanjut dengan uji
42
BAB IV
hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal
pemeliharaan. Data hasil penelitian teknologi pada budidaya ikan lele (Clarias sp)
ekor menghasilkan perbedaan tingkat kelangsungan hidup ikan lele pada setiap
perlakuan.
Hal ini bisa terlihat pada empat siklus grafik yang berbeda yang terdapat
heterotrofik. Pada gambar 2 dari empat siklus yang berbeda bisa terlihat tingkat
120
100
80
A (nobak+nomol)
Persen
60 B (nobak+mol)
C (bak+nomol)
40
D (bak+Mol)
20
0
H0 H1 H2 H3 H4
hasil yang kurang optimal. Keadaan ini bisa dilihat pada awal penelitian sampai
penurunan sampai 30 %. Hal ini diduga karena pada hari tersebut ikan beradaptasi
120
100
80
A (nobak+nomol)
Persen
60 B (nobak+mol)
C (bak+nomol)
40
D (bak+Mol)
20
0
H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10
kelangsungan hidup ikan mencapai 100%, karena pada hari tersebut dilakukan
penambahan ikan kembali dengan melihat kondisi yang terjadi pada siklus 1 yang
80% pada hari ke 6 dan 60% pada hari ke 7, hal ini dikarenakan pada hari tersebut
kadar nitrit meningkat sebesar 20mg/L, oleh karena itu tingkat kelangsungan
44
hidup ikan menurun hanya dalam waktu rentang satu hari, selanjutnya hari ke 8
disebabkan karena banyaknya bakteri autotrof yang mendiami bak corong tersebut
menghasilkan nitrit. Dua faktor pembatas penting dalam sistem polikultur intensif
sangat baik, pakan yang dihasilkan akan menghasilkan limbah. Dari pemberian
pakan yang diberikan kepada ikan, biasanya sekitar 10% terbuang atau tidak
limbah cair (liquid waste) yang dihasilkan oleh ikan, dari sisanya 25 % pakan
(energi kondisi panas untuk proses biologis). Persentase ini tergantung pada jenis
dan ukuran ikan, aktivitas, suhu air , dan kondisi lingkungan lainya. hal ini
sebanding dengan apa yang telah dihasilkan oleh perlakuan pakan saja dengan
tidak menggunakan bakteri komersial dan molase sehingga dihasilkan kualitas air
yang tidak baik serta dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ikan lele
(Clarias gariepinus).
Hal ini dibuktikan pada pengamatan yang didapatkan pada hari ke 7 sampai hari
disebabkan karena adanya peran molases yang merupakan sumber pakan bagi
45
bakteri heterotrof alami yang hidup dicorong dan rendahnya kadar amonia pada
perlakuan B sebesar 2,49mg/L serta kadar nitrit pada hari tersebut, dengan
pendukung lainnya seperti oksigen terlarut masih dapat dimanfaatkan oleh ikan
dengan baik, karena pada kondisi tersebut kualitas air masih dikatakan tidak
terlalu tercemar limbah nitrogen, sehingga kelangsungan hidup ikan lele cukup
optimal.
tingkat kematian, hal ini dikarenakan pada hari tersebut suplai oksigen yang
kurang, karena banyaknya sisa pakan dan endapan yang dapat menutup batu
aerasi dan tingginya limbah nitrogen yang disebabkan sisa pakan yang tidak
termakan, serta kurangnya peran kerja dari bakteri heterotrof alami yang tumbuh
haemorragi..
46
Hasil pengamatan perlakuan C dengan menggunakan pakan serta
tingkat kelangsungan hidup ikan lele sampai terjadinya kematian, hal ini
disebabkan pada perlakuan tersebut kadar nitrit sangat tinggi yang sebelumnya
terjadi proses pengubahan amonia menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri
Hal ini diduga karena tidak adanya peranan penambahan molases ke dalam
untuk menghasilkan energi dan sumber karbon dan bersama dengan N di air
lainnya, hal ini terbukti mulai hari ke 5 sampai hari ke 10 didapatkan rata-rata
serta molase sebagai sumber karbon sehingga bakteri akan terus tumbuh dan
mengubah senyawa amonia dan nitrit yang sangat beracun bagi ikan, serta faktor
47
kualitas air yang mendukung kinerja dari bakteri heterotrof tersebut. Hal ini
kualitas air terjaga dengan baik sebagai hasil dari kinerja bakteri heterotrof dalam
yaitu seluruh komponen yang ada di dalamnya saling mempengaruhi satu sama
lain. Secara sederhana kinerja seluruh organisme pada sistem bioflok akan
memberikan pengaruh pada media tempat hidupnya, dan kondisi tempat hidup
organism.
berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap kelangsungan hidup ikan. Hal ini dapat
dilihat dari nilai F hitung lebih kecil dari F table atau sig 0,00. Pada Uji Duncan
terlihat bahwa terjadi perbedaan kelangsungan hidup ikan yang sangat nyata
(P<0,01) pada perlakuan A, B, C, dan D. Hal ini dapat dilihat dari subset dimana
48
120
100
80
A (nobak+nomol)
Persen
60 B (nobak+mol)
40 C (bak+nomol)
D (bak+Mol)
20
0
H10 H11 H12 H13 H14 H15 H16 H17 H18
kelangsungan hidup ikan lele yang sangat stabil didapatkan pada perlakuan D
didapatkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele yang kurang baik atau secara
bekerja dengan maksimal sehingga didapatkan hasil yang sangat baik pada
perlakuan D serta rendahnya kadar nitrit pada perlakuan tersebut. Hal ini sejalan
alga maupun proses nitrifikasi, yakni waktu generasi 10 jam berbanding dengan
49
24-48 jam dengan demikian cepatnya pertumbuhan bakteri heterotrofik mampu
mengubah amonia dan bahan–bahan limbah nitrogen lainya. Manfaat dari kinerja
sistem heterotrofik yaitu mendukung pertumbuhan ikan budidaya, yaitu lele dan
120
100
80
A (nobak+nomol)
Persen
60 B (nobak+mol)
C (bak+nomol)
40
D (bak+Mol)
20
0
H18 H19 H20 H21
ikan lele yang tidak terlalu jauh pada gambar 4. Pada hari ke 18 tingkat
perlakuan, hal ini disebabkan pada hari tersebut terjadinya penambahan ikan
50
Pada ketiga perlakuan selain perlakuan D selalu mengalami penurunan
kelangsungan hidup ikan, hal ini dikarenakan tingginya kadar nitrit pada ketiga
sangat baik mencapai 80%-90%, hal ini dikarenakan pada perlakuan D merupakan
sistem haterotrofik yang menggunakan peran bakteri serta molase sebagai sumber
karbon dan rendahnya kadar nitrit pada perlakuan D tersebut, untuk itu perlakuan
oksigen terlarut, pH, amonia, nitrit, nitrat, dan volatile suspendid solid (VSS). VSS
merupakan faktor pendukung bagi tingkat kelangsungan hidup ikan lele (Clarias
sp).
4.2.1 Amonia
menjadi masalah dalam budidaya ikan. Melalui penambahan sumber karbon untuk
51
secara optimal sehingga dapat menyerap senyawa amonia dan diubah menjadi
akuatik. Buangan nitrogen lainnya berupa urea, asam urea, creatine, creatinine,
banyak buangan nitrogen melalui insang dalam bentuk NH 4+, dimana NH4+ yang
ionized (NH4+). Menurut Heath (1987), amonia tidak hanya terdapat pada
organik.
Pada gambar 6 bisa terlihat terjadinya perbedaan tingkat amonia pada setiap
perlakuan.
25,00
20,00
A (nobak+nomol)
15,00 B (nobak+mol)
C (bak+nomol)
10,00
D (bak+Mol)
5,00
0,00
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
52
Hasil pengamatan terhadap parameter kualitas air seperti amonia selama
penelitian mendapatkan perbedaan yang nyata. Pada hari ke 2 dan hari ke 4 pada
perlakuan A amonia meningkat sebesar 19,28 mg/L, hal ini di duga karena tidak
adanya aktivitas dari bakteri autotrof sehingga kadar amonia tinggi, hal ini juga
seperti amonia banyak terdapat pada perlakuan tersebut dan banyaknya sisa pakan
yang tidak termakan atau terbuang serta hasil eksresi dari ikan tersebut yang
oleh proses mikrobial. Pemanfaatan amonia bisa terjadi dalam tiga proses utama
selanjutnya diubah lagi menjadi nitrat (Brune et al., 2003), Selanjutnya pada hari
ke 8 sampai hari ke 16 terjadinya penurunan amonia sebesar 4,95 mg/L, hal ini
disebabkan karena adanya aktivitas bakteri autotrof dan terjadi kenaikan pada hari
ke 21 di duga karena pada hari tersebut sisa pakan dan hasil eksresi oleh ikan
hal ini diduga karena sedikitnya bakteri heterotrof alami dengan memanfaatkan
molases sebagai sumber karbon, oleh karena itu amonia pada hari tersebut terjadi
kenaikan sebesar 21,20mg/L. Lain halnya pada hari 8 sampai hari ke 21 terjadinya
penurunan amonia sebesar 2,49mg/L, karena pada hari tersebut bakteri heterotrof
53
sudah memanfaatkan sumber karbon dengan optimal sehingga kadar amonia dapat
19,99 mg/L, hal ini di duga karena tidak adanya aktivitas dari bakteri autotrof,
sehingga bakteri autotrof dapat mengubah amonia menjadi nitrit dan selanjutnya
15,70mg/L, hal ini di duga karena banyaknya metabolisme ikan dan sisa pakan
pada hari ke 2 dan 4 sebesar 15,19mg/L, hal ini di duga adanya akumulasi limbah
nitrogen dan adanya sisa pakan yang dihasilkan oleh ikan dan keberadaan bakteri
heterotrof masih dalam fase adaptasi atau populasi bakteri heterotrof belum
tumbuh dengan baik serta tidak adanya pergantian air selama penelitian
Velasco (2000), Selanjutnya pada hari ke 8 sampai hari ke 21 kadar amonia terjadi
adanya aktivitas bakteri heterotrof, sehingga kadar amonia bisa ditekan sedikit
dipengaruhi oleh pH dan suhu. Pada pH air rendah (asam) amonia cenderung lebih
banyak dalam bentuk NH4+, sedangkan dalam pH air tinggi (basa) amonia
54
cenderung lebih banyak dalam bentuk NH3. Pada suhu air rendah amonia
cenderung lebih banyak dalam bentuk NH4+ sedangkan dalam suhu air tinggi
dapat mengganggu mekanisme pergantian ion pada sistem syaraf pusat dengan
dalam air akan didominasi oleh bakteri heterotrof yang lebih cepat menyerap
tergolong bakteri autotrof. Bakteri heterotrof mampu menyerap sampai 50% dari
4.2.2 Nitrit
nitrifikasi tahap pertama yang dilakukan terutama oleh bakteri Nitrosomonas sp.
55
Diperairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit, lebih sedikit dari pada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan
keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat
berlangsung secara anaerob. (Effendi, 2003). Nilai nitrit bisa terlihat pada gambar
7 di bawah ini.
40,00
35,00
30,00
25,00 A (nobak+nomol)
20,00 B (nobak+mol)
15,00 C (bak+nomol)
10,00 D (bak+Mol)
5,00
0,00
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
tingkat kadar nitrit yang tinggi didapatkan pada perlakuan C yaitu perlakuan
mencapai angka 30mg/L -35mg/L, hal ini disebabkan kurangnya peran bakteri
56
pertumbuhannya dengan bakteri autotrof, dengan demikian inokulasi bakteri yang
diberikan pada perlakuan ini tidak dapat mengubah nitrit pada budidaya ikan lele
Tingginya angka nitrit ini didapatkan pada hari ke-8, hari ke 12 dan hari
ke 16. Namun dalam sistem heterotrofik di mana terdapat peningkatan rasio C/N
melalui penambahan sumber karbon proses nitrifikasi akan terhambat oleh proses
perlakuan dengan menggunakan pakan saja tanpa adanya peran bakteri dan
molase sebesar 22 mg/L -24 mg/L pada hari ke 8 dan hari ke 12, hal ini pula yang
di duga karena adanya aktivitas bakteri autotrof dalam mengubah amonia menjadi
terjadinya penurunan kadar nitrit sebesar 2,79mg/L, hal ini disebabkan karena
pada hari tersebut terjadinya penurunan amonia sehingga bakteri autotrof tidak
banyak mengubah amonia menjadi nitrit dan selanjutnya terjadi kenaikan nitrit
kembali pada hari ke 21 sebesar 10,45mg/L, hal ini di duga karena pada hari
tersebut terjadi kenaikan amonia yang cukup tinggi sehingga bakteri autotrof
Menurut Ebeling dan Michael (2007), nilai ambang batas nitrit untuk
budidaya adalah kurang dari 1 mg/L. Mekanisme toksisitas dari nitrit adalah
akumulasi nitrit di dalam bak di duga akibat tidak seimbangnya antara kecepatan
perubahan dari nitrit menjadi nitrat dan dari amonia menjadi nitrit.
57
Ion nitrit yang terbentuk di dalam air diabsorpsi ke dalam darah dan masuk
2+
ke dalam eritrosit, kemudian mengoksidasi ion Fe (ferro) dalam hemoglobin
3 +
(Hb) dan mengubahnya menjadi ion Fe (ferri) sehingga terjadi pembentukan
Hb normal, maka akan terjadi hipoksia, yaitu kekosongan oksigen dalam darah
ikan yang menderita keracunan sehingga darahnya tidak lagi sanggup sebagai
pembawa oksigen. Apabila keadaan ini terus berlanjut, dan perubahan Hb menjadi
MetHb mencapai 80%-90% dari Hb normal, maka terjadi kondisi yang dapat
Pada perlakuan yang lainnya di dapatkan nilai nitrit yang tidak terlalu jauh
menggunakan peran molases sebagai sumber karbon didapatkan nilai nitrit pada
hari ke 0, 2 dan hari ke 4 rendah, hal ini disebabkan karena adanya bakteri
autotrof yang jumlah tidak sebanyak bakteri heterotrof yang ada pada perlakuan
amonia. Kandungan gula yang tinggi pada molases dapat dimanfaatkan dalam
Pada hari ke 8 dan hari ke 21 terjadinya kenaikan pada nitrit, hal ini di
duga karena cukup banyaknya bakteri autotrof pada hari tersebut sehingga
58
terjadinya kenaikan nitrit kembali dengan banyaknya bakteri autotrof maka
bakteri heterotrof alami yang berada kurang mampu dalam mengoksidasi amonia
Pada perlakuan dengan sistem heterotrofik nilai nitrit bisa ditekan dengan
adanya peran bakteri dan molases, meskipun penekanan terhadap kadar nitrit tidak
mengikuti ambang batas nilai nitrit yang kurang dari 1 mg/L, hal ini disebabkan
sel dan bakteri autotrof yang ada pada perlakuan tersebut kalah dalam mengubah
amonia dengan bakteri heterotrofik. Hal ini sudah membuktikan bahwa sistem
4.2.3 Nitrat
merupakan hara utama bagi tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil karena dihasilkan dari proses oksidasi sempurna
biasanya lebih tinggi dari pada amonium. Nitrat bersifat stabil di dalam air.
Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme akuatik. Menurut Ebeling dan
Michael (2007). nilai nitrat yang baik untuk lingkungan budidaya sekitar 0-400
mg/L. Hal ini bisa terlihat pada gambar 8 yang menunjukkan nilai nitrat pada
setiap perlakuan.
59
90,00
80,00
70,00
60,00
A (nobak+nomol)
50,00
B (nobak+mol)
40,00
C (bak+nomol)
30,00
D (bak+Mol)
20,00
10,00
0,00
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
Hasil yang didapatkan pada setiap perlakuan bahwa kadar nitrat yang
saja tidak memakai peran bakteri dan molases pada hari ke 16 dan hari ke 21
pengubahan nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri autotrof. Pada hari
karena pada hari tersebut bakteri autotrof masih rendah dalam mengubah nitrit
menjadi nitrat sehingga terjadinya penurunan kadar nitrat dan pada hari tersebut
didapatkan kadar nitrat yang rendah hal ini terjadi selama penelitian dari hari ke 0
sampai hari ke 21, hal ini diasumsikan terdapatnya bakteri heterotrof alami yang
60
tumbuh dengan baik pada corong tersebut sehingga kadar nitrat pada perlakuan ini
menurun.
sampai hari ke 21 hal ini tidak ada bedanya dengan perlakuan A, tingginya kadar
nitrat pada hari tersebut dikarenakan adanya proses pengubahan amonia menjadi
nitrit yang dilakukan oleh bakteri autotrof dengan diubahnya kadar nitrit yang
tinggi maka dihasilkan kadar nitrat yang tinggi pula. Pada hari ke 0 sampai hari ke
12 terjadinya penurunan kadar nitrat hal ini diasumsikan bahwa pada hari tersebut
bakteri autotrof maka kerja dari bakteri tersebut dalam mengoksidasi amonia
sebagai sumber karbon didapatkan hasil pada hari ke 0 sampai dengan hari ke 12
dalam mengubah amonia menjadi biomassa sel, sehingga kerja dari bakteri
tersebut dapat menurunkan kadar nitrat pada perlakuan D, Lain halnya pada hari
hal ini disebabkan adanya bakteri heterotrof lain yang mengubah amonia menjadi
nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat, namun aktifitas bakteri heterotrof dalam
kemoautotrofik yakni bakteri nitrifikasi. pada proses ini amonia terlebih dulu
61
diubah menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas sp. selanjutnya nitrit diubah
organik yang tersuspensi di dalam air. Zat padat organik merupakan zat padat
yang terbakar pada 550°C setelah dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 103ºC
bioflok semakin tinggi. Tinggi rendahnya kadar ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas pakan yang tidak dimanfaatkan oleh lele. Hal ini bisa terlihat pada
gambar 9 yang menunjukkan nilai volatile suspendid solid pada setiap perlakuan
yang berbeda.
1,00
0,90
0,80
0,70
0,60 A (nobak+nomol)
0,50 B (nobak+mol)
0,40 C (bak+nomol)
0,30
D (bak+Mol)
0,20
0,10
0,00
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
200 L dengan padat penebaran 20 ekor/50 gram. Pada setiap perlakuan yang
dan molases sebesar 0,90 mg/L pada hari ke 8 pada sistem heterotrofik, hal ini
yang menyebabkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele yang tinggi dan
diasumsikan pada hari tersebut populasi bakteri dalam fase log atau fase
pertumbuhan.
volatile suspendid solid, hal ini diduga belum maksimal dalam memanfaatkan
molase sebagai sumber karbon atau bakteri tersebut dalam fase adaptasi sehingga
solid, penurunan yang terjadi karena kurangnya sumber karbon pada perlakuan
tersebut.
Nilai Volatile Suspendid Solid yang cukup tinggi juga terdapat pada
Suspendid Solid yang tinggi seperti pada perlakuan D yaitu sistem heterotrofik,
hal ini di duga bahwa pada perlakuan tersebut dengan menggunakan peran
produksi.
Nilai volatile suspendid solid yang cukup tinggi pada perlakuan B ini
kemungkinan besar disebabkannya ada peran dari bakteri heterotrof alami yang
63
ada didalam bak tersebut, meskipun pertumbuhan bakteri heterotrofik alami tidak
berkorelasi dengan nitrogen yang akan digunakan untuk sintesis protein demi
Pada hari ke 0 terjadinya penurunan nilai volatile suspendid solid hal ini
dikarenakan pada hari tersebut bakteri heterotrof alami yang hidup dicorong
tersebut belum maksimal dalam menggunakan sumber karbon atau pada hari
tersebut bakteri heterotrof alami dalam fase adaptasi terhadap lingkungan. Pada
hari ke 2 dan hari ke 4 terjadinya nilai volatile suspendid solid, hal ini di duga
pada hari tersebut bakteri heterotrof sudah memanfaatkan sumber karbon sebagai
perlakuan B.
duga pada hari tersebut bakteri kembali lagi dalam fase adaptasi atau kurangnya
nilai volatile suspendid solid diakibatkan rendah nilai oksigen terlarut pada hari ke
suspendid solid kembali, hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut bakteri
heterotrof alami dalam fase kematian atau kurangnya sumber karbon berupa
64
molase sehingga pada perlakuan ini terjadinya persaingan sesama bakteri
sumber karbon berupa molases terjadinya penurunan pada hari ke 0, dan ke 4, hal
ini di duga karena pada hari tersebut inokulasi bakteri minabacto dalam fase
bakteri minabacto dalam bertahan dengan bakteri alami yang ada pada perlakuan
tersebut.
suspendid solid, kenaikan tersebut dikarenakan pada hari tersebut bakteri yang di
tersebut sudah mulai tumbuh dengan baik. Pada hari ke 21 terjadinya penurunan
kembali hal ini di sebabkan pada hari tersebut bakteri dalam fase kematian.
4.2.5 Suhu
perikanan, karena suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur
baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu
maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air. Hal ini bisa dibuktikan pada gambar
10 yang menunjukkan nilai suhu dari semua perlakuan masih dianggap normal
65
29,0
28,5
28,0 A (nobak+nomol)
B (nobak+mol)
27,5 C (bak+nomol)
D (bak+Mol)
27,0
26,5
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
Pada hari pertama pengamatan sampai hari akhir pada semua perlakuan
menunjukkan suhu yang masih dianggap normal untuk pertumbuhan ikan lele
yaitu 27,5 sampai 28,50C , hal ini terbukti bahwa suhu ideal untuk pertumbuhan
lele antara 27 – 29oC (Rachmiwati, 2008). Begitu pula dengan pendapat (Varikul
dan Sritongsak, 1980) menyatakan bahwa suhu air yang optimal bagi kehidupan
ikan air tawar berkisar antara 24-300C untuk daerah subtropik dan 26-320C untuk
daerah tropis.
Menurut Ali (1991), pada suhu di atas 32 oC benih ikan lele mulai
mendadak dapat menyebabkan lele stres dan kemudian mati karena itu suhu
66
berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut dan oksigen berbanding terbalik
dengan suhu, artinya bila suhu tinggi, maka kelarutan oksigen berkurang. semakin
tinggi suhu air, semakin tinggi pula laju metabolisme, distribusi suhu secara
4.2.6 pH
yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air (Mackereth et.al,
1989). Pada umumnya sebagian biota air sensitif terhadap perubahan pH, dan
biokimia yang terjadi disuatu perairan, sebagai contoh proses nitrifikasi akan
terhenti manakala pH perairan rendah (Novotny dan Olem, 1994). Hal ini bisa
perlakuan.
9,00
8,00
7,00
6,00
A (nobak+nomol)
5,00
B (nobak+mol)
4,00
3,00 C (bak+nomol)
2,00 D (bak+Mol)
1,00
0,00
H0 H2 H4 H8 H13 H16 H21
dalam kisaran optimal bagi kebanyakan ikan dan biota akuatik lainnya. Kisaran
pH yang optimal untuk ikan adalah 6,5-8,5 (Svobodova et al., 1993, Sedangkan
bagi bakteri heterotrofik yaitu Bacillus sp akan tumbuh aktif pada pH 5,5 – 8,5
(Abdillah, 2009).
terjadinya penurunan kisaran pH dari kisaran nilai normal hanya terdapat pada
menggunakan molase sebagai sumber karbon sebesar 5,64, hal ini dimungkinkan
kisaran pH masih dianngap normal dan baik untuk kelangsungan hidup ikan.
Menurut Soetomo (2000), pH yang kurang dari 4 dan lebih dari 11 akan
lele terganggu.
Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses
difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan
68
tersebut (Salmin, 2000), kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari
beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan
udara. Data mengenai oksigen terlarut ini bisa terlihat pada gambar 12 dibawah ini
9,00
8,00
7,00
6,00
A (nobak+nomol)
5,00
B (nobak+mol)
4,00
3,00 C (bak+nomol)
2,00 D (bak+Mol)
1,00
0,00
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
Hasil analisis kadar oksigen terlarut pada semua perlakuan yang berbeda
sangat fluktuatif. Pemberian aerasi pada setiap bak pemeliharaan ikan lele tidak
cukup mampu menjaga kadar oksigen terlarut tetap pada kondisi yang optimal.
Kondisi oksigen terlarut yang rendah tidak mendukung sistem heterotrof berjalan
mg/L. Bagi kebanyakan ikan, kadar oksigen terlarut dalam air yang cukup juga
69
padat penebaran 20 ekor/50 gram yang menggunakan organisme ikan lele yang
dianggap cukup ideal berkisar antara 3-8 mg/L, hal ini dikarenakan kondisi
kualitas air masih baik dan belum tercemar berat dengan kadar limbah nitrogen
yang dapat menyebabkan toksik bagi kelangsungan hidup ikan, begitu juga
adanya peran aerasi pada setiap corong yang berguna untuk selalu mensuplai
oksigen Pada hari ke 4 dan hari ke 16 terjadinya penurunan oksigen terlarut pada
semua perlakuan, hal ini dikarenakan batu aerasi pada hari tersebut terjadi
penyumbatan oleh kotoran atau endapan sisa pakan sehingga oksigen terlarut
tidak dapat dipasok dengan lancar atau disebabkan rusaknya alat dan kesalahan
Pada umumnya ikan lele dumbo hidup nomal pada konsentrasi oksigen
normal lele dumbo akan lemas dan dapat menyebabkan kematian (Murhananto,
dan produksi ikan yaitu lebih dari 3 ppm. Wardoyo (1975) menyatakan bahwa
adalah antara 2 – 10 mg/liter. Hal ini sejalan dengan pendapat (Effendi, 2003)
kadar oksigen terlarut dalam bak berukuran 200 L menurun karena adanya zat
anorganik yang berasal dari kotoran ikan dan sisa pakan dan banyaknya endapan
70
pada dasar bak yang mengakibatkan tertutupnya batu aerasi sehingga aerasi tidak
mensuplai oksigen yg cukup, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari
1,7 mg/L selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar
cepat dibandingkan dengan alga maupun nitrifikasi, sekitar 10 jam berbanding 24-
produksi heterotrof 1500% (15 kali) lebih besar dibandingkan bakteri autotrof,
oksigen terlarut yang rendah tidak mendukung sistem heterotrof berjalan secara
optimal.
71
BAB V
5.1 Kesimpulan
heterotrofik.
5.2 Saran
ikan lele dengan jangka waktu yang lebih lama dalam budidaya ikan lele intensif
72
DAFTAR PUSTAKA
Ali, F. 1991. Estimasi Konsumsi Harian Anakan Lele (Clarias Batrachus L.)
Pada Suhu Berbeda. Biologi Perikanan Darat. 3 : 24 – 29.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
73
Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management In Aquaculture And Fisheries
Science. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p.
Effendi, H., Hernowo, S., dan Rachmatun S. 2003. Pembenihan dan Pembesaran
Lele di Pekarangan, Sawah, dan Longyam. Jakarta : Swadaya
Huet, H. B.N. 1970. Water Quality Criteria For Fish Life Biological Problems In
Water Pullution. PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp.
Heath AG., 1987. Water Pollution and Fish Fisiology. CRC Press. Inc. Boca
Raton. Florida, USA.
74
Hepher, B. And Prugnin. Y. 1990. Nutrition of Pond Fishes. Cambrige. University
Press. 388 pp. Jurnal PKM-AI-09-IPB
Khairuman dan Amri, Khairul. 2002. Budidaya Lele Dumbo secara Intensif.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kordi, M. G. H. K., dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Rineka Cipta, Jakarta. 210 hlm.
Lovell T., 1989. Nutrition and Feeding of Fish. Van Nostrand Reinhold. New
York.
Mackereth, F.J.H., Heron, J. And Talling, J.F. 1989. Water Analysis. Freshwater
Biological Association. Cumbria.UK. 120p
75
Najamuddin, M. 2008. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang Berbeda
terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp.) pada Sistem
Pendederan Intensif. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology 3rd edition. W.B Sounders. Co.
Philadepia.
Paturau JM. 1982. By-products of the Cane Sugar Industry. Ed ke-2. Amsterdam:
Elseivier Publishing Co.
Putra, Nana.S.S.U. 2008. Manajemen Kualitas Tanah dan Air Dalam Kegiatan
Perikanan Budidaya. Departement Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Perikanan Air Payau.
Takalar.
Rahardjo, M.F. dan Muniarti. 1984. Anatomi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis
Penting Di Indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Bina Rupa
Aksara. Jakarta
Schneider, O., V. Sereti, E.H. Eding and J. A. J. Verreth. 2005. Protein Production
by Heterotrophic Bacteria Using Carbon Supplemented Fish Waste.
Presentation in World Aquaculture 2005. Bali, Indonesia.
76
Schneider, O., V. Sereti, M.A.M. Machiels, E. H. Eding, dan J. A. J. Verreth.
2006. The potential of producing heterotrophic bacteria biomass on
aquaculture waste. Water Research, 40: 2684 – 2694.
Suyanto, S.R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penebar Swadaya. Schneider,
O., V. Sereti, M.A.M. Machiels, E. H. Eding, and J.A.J. Verreth. 2006.
The potential of producing heterotrophic bacteria biomass on aquaculture
waste. Water Research, 40: 2684 – 2694.
Styckney RR., 1979. Principle of Warmwater Aquaculture. John Wiley & Sons,
Inc. New York.
Svobodová, Z., R. Lloyd, R., J. Máchová, and B. Vykusová. 1993. Water Quality
And Fish Health. EIFAC Technical Paper. No. 54. Rome, FAO. 59 p.
77
Willet D, and Morrison C. 2006. Using Molasse to Control Inorganic Nitrogen
and pH in Aquculture Ponds
78
Lampiran 1. Peralatan yang Digunakan Selama Penelitian
79
Kertas Saring Wathman no.42 Timbangan analitik
Furnance Oven
80
Lampiran 8. Hasil Pengamatan VSS, Amonia, Nitrit, dan Nitrat.
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 0.022 0.136 0.020 0.244 0.160 0.390 0.034
A 2 8 0.020 0.120 0.012 0.200 0.384 0.294 0.060
3 9 0.004 0.112 0.018 0.152
Rata-rata 0.015 0.123 0.017 0.222 0.232 0.342 0.047
1 1 0.004 0.256 0.016 0.116 0.160 0.400 0.002
B 2 11 0.018 0.264 0.023 0.420 0.112 0.664 0.034
3 6 0.018 0.256 0.008 0.148
Rata-rata 0.013 0.259 0.016 0.179 0.140 0.355 0.012
1 5 0.002 0.260 0.024 0.296 0.140 0.276 0.058
C 2 3 0.002 0.132 0.012 0.128 0.052 0.160 0.024
3 10 0.016 0.204 0.006 0.140
Rata-rata 0.007 0.199 0.014 0.141 0.111 0.145 0.027
1 4 0.014 0.228 0.020 1.024 0.188 0.226 0.020
D 2 7 0.016 0.232 0.016 0.784 0.208 0.332 0.028
3 12 0.024 0.272 0.022 0.116
Rata-rata 0.018 0.244 0.019 0.603 0.171 0.279 0.024
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 1.80 19.52 9.99 0.11 5.38 2.11 18.62
A 2 8 1.90 15.83 17.04 1.76 5.83 6.02 3.08
3 9 2.49 22.50 22.47 12.97 3.31 1.56 13.24
Rata-rata 2.06 19.28 16.50 4.95 4.84 3.23 11.65
B 1 1 0.60 24.65 20.64 6.46 0.22 0.25 0.76
81
2 11 1.86 20.23 13.77 0.08 10.59 2.81 1.44
3 6 0.99 19.62 16.66 0.94 4.70 4.67 10.83
Rata-rata 1.15 21.50 17.02 2.49 5.17 2.58 4.34
1 5 1.67 13.99 12.94 3.14 4.23 2.48 9.57
C 2 3 1.32 20.84 19.52 15.16 1.79 1.00 10.43
3 10 2.50 25.15 19.67 3.30 5.54 3.59 27.09
Rata-rata 1.83 19.99 17.37 7.20 3.86 2.36 15.70
1 4 1.25 19.73 18.13 4.92 4.49 1.41 0.15
D 2 7 1.49 19.03 17.80 8.98 2.31 0.12 2.23
3 12 1.67 6.80 10.05 4.67 8.27 3.66 0.56
Rata-rata 1.47 15.19 15.33 6.19 5.02 1.73 0.98
Hasil Pengamatan Nitrit
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 0.430 2.587 0.685 36.893 27.425 3.450 12.049
A 2 8 0.370 1.312 0.165 3.339 4.648 1.248 0.489
3 9 0.109 2.055 0.266 25.431 39.046 3.670 18.807
Rata-rata 0.303 1.985 0.372 21.888 23.706 2.789 10.449
1 1 0.287 1.557 3.486 14.385 4.046 0.391 31.346
B 2 11 0.353 1.040 0.266 0.911 0.810 0.633 1.162
3 6 0.046 1.083 6.242 18.073 0.523 3.229 1.125
Rata-rata 0.229 1.226 3.331 11.123 1.793 1.418 11.211
1 5 0.587 4.887 1.398 34.862 31.682 5.382 20.948
C 2 3 0.248 0.722 3.664 30.972 43.352 43.229 0.269
3 10 0.381 6.330 1.058 25.657 33.615 3.376 0.391
Rata-rata 0.405 3.980 2.040 30.497 36.216 17.329 7.203
1 4 0.774 1.740 1.489 2.046 0.483 4.162 0.489
D 2 7 0.135 0.657 0.278 18.917 0.869 1.428 1.174
3 12 0.034 0.425 0.287 0.486 0.165 0.554 1.517
Rata-rata 0.314 0.941 0.685 7.150 0.506 2.048 1.060
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 0.397 5.580 9.351 2.043 16.012 34.065 78.748
A 2 8 0.558 3.509 3.663 4.436 7.759 93.385 20.680
3 9 0.397 5.580 4.389 6.739 15.796 43.369 138.253
Rata-rata 0.451 4.889 5.801 4.406 13.189 56.940 79.227
B 1 1 0.558 2.658 3.663 5.549 3.895 1.917 14.281
82
2 11 0.397 3.972 4.699 4.560 2.736 2.658 30.185
3 6 0.447 4.467 7.419 1.399 2.736 3.509 4.173
Rata-rata 0.467 3.699 5.260 3.836 3.122 2.694 16.213
1 5 0.501 4.467 14.003 2.048 12.643 78.423 5.471
C 2 3 0.308 4.467 5.920 8.563 14.003 90.881 62.226
3 10 0.501 7.728 10.634 1.915 20.526 34.065 6.306
Rata-rata 0.436 5.554 10.185 4.175 15.724 67.790 24.668
1 4 0.569 3.076 5.286 5.224 2.396 4.467 3.292
D 2 7 0.447 3.972 4.158 8.470 12.427 93.385 5.842
3 12 0.351 2.968 1.978 5.085 3.107 2.658 92.349
Rata-rata 0.455 3.338 3.807 6.260 5.976 33.503 33.828
Hasil Pengamatan DO
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 8.60 4.51 1.17 3.50 4.40 6.50 4.60
A 2 8 7.60 6.10 0.06 1.90 0.60 1.70 0.30
3 9 7.50 2.35 0.12 3.21 4.50 5.90 5.50
Rata-rata 7.90 4.32 0.45 2.87 3.17 4.70 3.47
1 1 7.60 2.85 0.87 2.00 2.90 2.70 2.40
B 2 11 7.50 2.42 1.26 5.36 1.60 0.20 1.40
3 6 7.60 3.16 0.07 4.50 0.60 0.20 3.90
Rata-rata 7.57 2.81 0.73 3.95 1.70 1.03 2.57
1 5 7.70 1.55 2.43 2.63 3.90 6.70 3.70
C 2 3 7.70 3.70 1.20 3.23 5.40 7.00 5.00
3 10 7.60 3.08 0.20 3.02 5.40 6.70 6.00
Rata-rata 7.67 2.78 1.28 2.96 4.90 6.80 4.90
1 4 7.70 3.23 0.05 1.80 0.80 0.30 1.60
D 2 7 7.50 5.37 1.09 2.03 3.70 4.10 3.80
3 12 7.50 6.13 0.04 2.04 0.40 0.20 2.20
Rata-rata 7.57 4.91 0.39 1.96 1.63 1.53 2.53
83
Hasil Pengamatan pH
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 8.00 7.50 7.00 6.50 7.00 6.34 6.11
A 2 8 8.00 7.50 7.00 7.50 7.50 7.04 6.76
3 9 8.00 7.50 7.00 7.00 6.50 7.36 6.40
Rata-rata 8.00 7.50 7.00 7.00 7.00 6.91 6.42
1 1 8.00 7.50 7.50 7.00 7.00 7.05 7.15
B 2 11 8.00 7.50 7.50 7.00 7.00 6.48 7.14
3 6 8.00 7.50 7.50 7.50 7.50 7.14 6.82
Rata-rata 8.00 7.50 7.50 7.17 7.17 6.89 7.04
1 5 8.00 7.50 7.50 7.00 6.50 6.63 5.71
C 2 3 8.00 7.50 7.00 6.00 6.50 6.11 5.79
3 10 8.00 7.50 7.00 7.00 6.50 6.00 5.43
Rata-rata 8.00 7.50 7.17 6.67 6.50 6.25 5.64
1 4 8.00 7.50 7.00 7.50 4.00 7.06 6.82
D 2 7 8.00 7.50 7.50 6.00 6.50 6.77 5.75
3 12 8.00 7.50 7.00 7.50 7.50 7.20 7.07
Rata-rata 8.00 7.50 7.17 7.00 6.00 7.01 6.55
Hasil Pengamatan Suhu
Hari Ke
Perlakuan Ulangan Corong
H0 H2 H4 H8 H12 H16 H21
1 2 27.50 28.00 28.40 27.90 28.40 28.70 27.30
A 2 8 27.50 28.40 28.60 28.40 28.60 28.40 27.40
3 9 27.80 28.30 28.50 28.10 28.50 28.50 27.30
Rata-rata 27.60 28.23 28.50 28.13 28.50 28.53 27.33
1 1 27.60 28.20 28.60 28.20 28.60 29.00 27.30
B 2 11 27.60 28.20 28.50 28.30 28.50 28.40 27.30
3 6 28.10 28.30 28.60 28.20 28.60 28.60 27.30
Rata-rata 27.77 28.23 28.57 28.23 28.57 28.67 27.30
1 5 27.50 28.50 28.40 28.00 28.40 28.80 27.30
C 2 3 27.60 28.20 28.40 28.00 28.40 28.50 27.30
3 10 27.80 28.60 28.90 28.40 28.90 28.70 27.30
Rata-rata 27.63 28.43 28.57 28.13 28.57 28.67 27.30
1 4 27.50 28.40 28.30 28.20 28.30 28.60 27.30
D 2 7 27.90 28.70 28.40 28.10 28.40 28.40 27.30
3 12 28.00 28.60 28.90 28.60 28.90 28.60 27.40
Rata-rata 27.80 28.57 28.53 28.30 28.53 28.53 27.33
84
Lampiran 10. Analisis of Variance Kelangsungan Hidup Ikan
Total 1239.000 12
Subset
variasi pakan,
molases, bakteri N 1 2 3
Duncana 3 3 6.00
1 3 7.33 7.33
2 3 8.67
4 3 15.67
85