You are on page 1of 15

HUBUNGAN OPTIMISME DAN PERILAKU BERSYUKUR DENGAN

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MAHASISWA SEMESTER III JURUSAN

PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

JURNAL

Oleh:

Viranda Tri Susbiyantoro


1607044002

MAGISTER PSIKOLOGI PASCASARJANA

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2019
HUBUNGAN OPTIMISME DAN PERILAKU BERSYUKUR DENGAN
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MAHASISWA SEMESTER III JURUSAN
PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

Viranda Tri Susbiyantoro


Minat Magister Psikologi Sekolah
Fakultas Magister Psikologi Pascasarjana
Universitas Ahmad Dahlan
Jl. Kapas No.9, Semaki, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, D. I. Yogyakarta 55166
Email: viranda1607044002@webmail.uad.ac.id

Relationship between Optimism and Grateful Behavior with Subjective Well-Being


for Third Semester Students in the Department of Psychology at Ahmad Dahlan
University.

ABSTRAK

The purpose of this study was to determine the relationship between optimism
and behavior grateful for subjective well-being in third semester students majoring in
psychology at Ahmad Dahlan University. This study uses a scale as a data collection
tool, namely the scale of optimism, grateful behavior and subjective well-being. The
sample is 151 third semester students who study at UAD. This study uses multiple
regression analysis techniques. The results of the study (1) There is a very significant
relationship between the optimism variable and the grateful behavior with subjective
well-being which has a F-count value of 136.962 with a significance level (Sig.) Of
0,000 (p <0.01). , 3%; (2) There is a very significant relationship between the variables
of optimism and subjective well-being having a significance value of (Sig.) 0,000,
which means significance <0.01 (p <0.01), the determination coefficient is 50.6%; and
(3) There is a significant relationship between the behavioral variables grateful for
subjective well-being having a significance value of (Sig.) 0.011, which means
significance <0.05 (p <0.05), the coefficient of determination is 15.7%.

Keywords: subjective well-being, optimism, grateful behavior.

1
HUBUNGAN OPTIMISME DAN PERILAKU BERSYUKUR DENGAN
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MAHASISWA SEMESTER III JURUSAN
PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan optimisme dan


perilaku bersyukur dengan subjective well-being pada mahasiswa semester III jurusan
psikologi di Universitas Ahmad Dahlan. Penelitian ini menggunakan skala sebagai alat
pengumpul data yaitu skala optimisme, perilaku bersyukur dan subjective well-being.
Sampel berjumlah 151 mahasiswa semester III yang berkuliah di UAD. Penelitian ini
mengunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian (1) Terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara variabel optimisme dan perilaku bersyukur
dengan subjective well-being yang memiliki nilai Fhitung sebesar 136,962 dengan
tingkat signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 (p < 0,01) koefesien determinasi yang
dipersenkan sebesar 66,3%; (2) Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara
variabel optimisme dengan subjective well-being memiliki nilai signifikansi sebesar
(Sig.) 0,000 artinya signifikansi < 0,01 (p < 0,01) koefesien determinasi yang
dipersenkan sebesar 50,6%; dan (3) Terdapat hubungan yang signifikan variabel
perilaku bersyukur dengan subjective well-being memiliki nilai signifikansi sebesar
(Sig.) 0,011 artinya signifikansi < 0,05 (p < 0,05) koefesien determinasi yang
dipersenkan sebesar 15,7%.

Kata kunci: subjective well-being, optimisme, perilaku bersyukur.

2
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Psikologi negatif sering disalahkan dan dianggap sebagai penyebab kejadian-
kejadian kejahatan dan kekerasan. Seiring dengan peningkatan perilaku kekerasan di
masyarakat, perilaku kekerasan di kalangan siswa juga meningkat. Perilaku kekerasan
tersebut adalah perkelahian siswa antar sekolah, pembunuhan, pelecehan seksual, dan
bunuh diri. Berbagai bentuk peristiwa kekerasan itu secara umum sudah sering terjadi,
baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah (Talib, 2003).
Berbagai peristiwa ini telah menggugah para psikolog khususnya dan para
ilmuwan pada umumnya. Usaha-usaha untuk mengatasi masalah remaja sebenarnya
sudah lama dilakukan. Sebagai contoh, pemerintah Amerika telah berusaha
meningkatkan kualitas hidup remaja dengan cara memenuhi berbagai kebutuhan fisik
mereka. Remaja Amerika memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan
hingga tingkat menengah atas secara gratis. Mereka mendapatkan perlengkapan
sekolah yang dapat dikatakan paling sempurna di seluruh dunia (Swinyard dkk. 2001).
Memasuki melenium baru, negara-negara di dunia umumnya menghadapi
pilihan historis. Mereka dapat terus meningkatkan kekayaan materi tatkala
mengacuhkan kebutuhan psikologis penduduknya atau sebaliknya. Buss (2000)
mengingatkan bahwa keadaan pertama akan mengakibatkan kualitas kehidupan yang
semakin buruk. Kualitas buruk yang dimaksud adalah meningkatnya egoisme,
hilangnya kasih sayang, dan bertambahnya jurang pemisah antara yang beruntung
dengan yang kurang beruntung.
Keadaan ini akan mengarah ke anarki, kekerasan, penyakit mental, dan putus
asa. Berdasarkan uraian ini dapat dikatakan bahwa peningkatan materi atau sarana fisik
saja ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas hidup. Kualitas hidup remaja bahkan
dari fisik menurun disebabkan kecanduan obat, overdosis, penyakit kelamin, dan
perkelahian (Gilman, 2001).
Seligman (1998) berpendapat bahwa psikologi satu komponen penting dari
kualitas hidup manusia. Seseorang dengan harta yang melimpah dan dari segi materi
tercukupi, tidak dapat dikatakan memiliki kualitas hidup yang baik, apabila hidupnya
dipenuhi dengan keluhan, depresi, gangguan mental (Boven dan Gilovich, 2003).
Saat ini psikologi positif memiliki pusat studi emosi (emotion centre) yang erat
kaitanya dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being). Berbagai bentuk
emosi positif diteliti guna meningkatkan kesejahteraan subjektif individu. Salah satu
studi yang dilakukan adalah membangun emosi moral positif (Haidt, 2003).
Kesejahteraan subjektif juga merupakan studi kesehatan mental dan fisik yang
penting (Contrada dkk., 2004). Diener (2000) dan Myers (2000), dan sejumlah psikolog
sosial menyebut happiness sebagai “ilmu pengetahuan tentang kebahagiaan” (science
of happiness). Mereka menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif adalah evaluasi
manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan mereka. Dua bentuk evaluasi
ini menjadi komponen kesejahteraan subjektif. Komponen kognitif sering disebut
dengan kepuasan hidup dan komponen afektif sering disebut dengan afek.
Berbagai penelitian di seluruh dunia menunjukkan manusia memerlukan
pertolongan untuk menemukan apa yang membuat mereka bahagia (Diener dan
Scollon, 2003). Keinginan untuk memperoleh kebahagiaan pun meningkat (Diener,
2000, Myers, 2003). Kebahagiaan ternyata juga menjadi dambaan mahasiswa baik di

3
Negeri Barat maupun Timur (Balatsky dan Diener, 1993). Hanya 2% responden
mengatakan tidak pernah memikirkan sama sekali (Diener, 2000).
Para psikolog sebenarnya dapat membantu menemukan jawaban faktor-faktor
apa yang menyebabkan orang berbahagia dan bagaimana meningkatkannya (Myers,
2003). Sebelum itu, pertanyaan tentang kebahagiaan hampir tidak pernah ditanyakan
oleh para psikolog abad pertama. Para psikolog lebih banyak memfokuskan pada aspek
negatif dari kehidupan manusia. Perhatian para psikolog terhadap penyakit lebih besar
dari pada kesehatan, rasa takut lebih besar dari pada keberaniaan, dan perilaku agresi
lebih besar dari pada rasa cinta (Myers, 2000).
Keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari penyakit
dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak bahagia
(Myers, 2004). Individu yang bahagia cenderung melihat kepada individu yang rendah
dalam urusan materi. Perhatian terhadap individu yang lebih rendah dalam urusan
materi, membuat individu merasa bersyukur karena merasa memiliki kelebihan dari
individu lain (Hagerty, 2000). Apabila individu tersebut memberikan reaksi positif,
misalnya dengan memberi kelebihan yang dimiliki, maka akan meningkatkan emosi
positif yang lain (Haidt, 2003).
Emmons dan McCullough (2003) dan Myers (2003) menyimpulkan bahwa
berdasarkan berbagai penelitian kesejahteraan subjektif dapat ditingkatkan. Misalnya
dengan menumbuhkan nilai-nilai moral seperti pemaaf, bersyukur, berperilaku
gembira, aktif menolong individu yang membutuhkan, dan memelihara rohani. Nilai-
nilai moral ini juga menjadi perhatian para peneliti psikologi positif (Haidt, 2003).
Sementara perhatian masyarakat terhadap masalah kesejahteraan subjektif
semakin bertambah, namun banyak penelitian empiris terhadap usaha-usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan subjektif dengan melalui peningkatan aspek fisik kurang
memperlihatkan hasil yang memuaskan (Csikszentmihalyi, 1999). Penelitian-
penelitian terhadap variabel-variabel eksternal, seperti penghasilan, kesehatan, dan
jenjang pendidikan menunjukan hal itu (Diener dkk., 1999).
Para peneliti seperti Oishi dkk. (1999) dan Suh dkk. (1998) kemudian
mengalihkan perhatian mereka pada sebab internal. Sebagai nilai-nilai hidup individu
dan kepribadian. Penelitian mereka mendapat dukungan dari para ahli psikologi
kesejahteraan subjektif (Diener dkk., 1999; Myers, 2003). Pencetus resmi psikologi
positif, Seligman (2002), mengemukakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran berbagai agama merupakan hal yang cukup penting dalam mengatasi berbagai
masalah psikologi. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough
(2003) yang melakukan penelitian terhadap mahasiswa yang mengambil mata kuliah
psikologi kesehatan. Mahasiswa yang diberi perlakuan untuk menghitung nikmat
ternyata memiliki efek positif dan kepuasan hidup yang lebih baik daripada yang tidak.
Emosi positif dapat membantu untuk memperbaiki individu dalam prinsip dan
praktek kehidupan (Fredericson dkk. 2003). Misalnya, seseorang yang sedang marah,
susah, dan putus asa, menurut Tugade dan Frederickson (2004), ia dapat mengganti
emosi-emosi tersebut dengan emosi sabar, senang, dan optimis. Penggantian ini akan
mengubah dirinya menjadi kuat, dan lebih positif pandangnya.
Psikologi positif berkaitan dengan pengalaman manusia yang positif seperti
kebahagiaan, harapan dan optimisme, kepuasan, hubungan yang positif, dan lebih
umum dengan apa yang membuat hidup yang layak (Linley, dkk., 2006; Seligman &

4
Csikszentmihalyi, 2000). Ini berfokus upaya penelitian pada "kondisi dan proses yang
berkontribusi terhadap fungsi berkembang atau optimal orang, kelompok, dan
lembaga" (Gable & Haidt, 2005).

2. Kajian Teori
Subjective well-being
Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well-being dan kebahagiaan
dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective well-being bukanlah sebuah
pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin
dimiliki setiap orang. Kedua, subjective well-being merupakan sebuah penilaian secara
menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria.
Arti ketiga dari subjective well-being jika digunakan dalam percakapan sehari-hari
yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif. Merujuk pada
pendapat Campbell (dalam Diener, 2009) bahwa subjective well-being terletak pada
pengalaman setiap individu yang merupakan pengukuran positif dan secara khas
mencakup pada penilaian dari seluruh aspek kehidupan seseorang.
Compton (2005), berpendapat bahwa subjective well-being terbagi dalam dua
variabel utama yaitu kebahagiaan dan kepuasan hidup. Kebahagiaan berkaitan dengan
keadaan emosional individu dan bagaimana individu merasakan diri dan dunianya.
Kepuasan hidup cenderung disebutkan sebagai penilaian global tentang kemampuan
individu menerima hidupnya.
Menurut Pavot dan Diener (dalam Linley dan Joseph 2004) subjective well-
being mewakili penilaian seseorang terhadap diri mereka sendiri, dan penilaian tersebut
dapat berdasarkan kepada respon kognitif (teori) dan emosional. Penilaian seperti itu
adalah informasi pokok dalam menentukan kualitas hidup dan kepuasan (well-being)
seseorang secara keseluruhan, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan kualitas hidup
yang baik jika elemen dasar dari martabat dan kebebasan manusia tidak ada.
Penelitian tentang kesejahteraan subjektif (subjective well-being) dalam jurnal-
jurnal yang terbit kemudian tidak selalu konsisten dengan istilah kesejahteraan
subjektif. Istilah bahagia (happy) dan kebahagiaan (happiness) masih sering dipakai
dalam banyak penelitian (Myers, 2003). Dalam psikologi positif kesejahteraan
subjektif menjadi salah satu pusat perhatian, karena kesejahteraan merupakan aspek
positif individu. Menurut Diener (2000) kesejahteraan subjektif dapat didefinisikan
sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan. Evaluasi kognitif orang yang
bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi, evaluasi efektifnya adalah banyaknya afek
positif dan sedikitnya afek negatif yang dirasakan (Diener dkk., 1999).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa subjective well-being
adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi
kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan
psikologis.

Optimisme
Optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik,
berfikir positif, dan mudah memberikan makna bagi dirinya. Individu yang optimis
mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada

5
kegagalan, dan berusaha untuk bangkit mencoba kembali ketika gagal (Seligman,
1990).
Menurut Lopez & Snyder (dalam Ghufron & Rini, 2010), optimisme adalah
suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju
kearah kebaikan.
Sedangkan Ubaedy (2007), optimisme memiliki dua pengertian. Pertama,
optimisme merupakan doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya
kehidupan yang lebih baik buat individu (punya harapan). Orang yang optimis adalah
orang yang yakin (dengan alasan-alasan yang dimilikinya) bahwa ada kehidupan yang
lebih baik di hari esok. Kedua optimisme berarti kecendrungan batin untuk
merencanakan aksi, peristiwa atau hasil yang lebih baik. Optimisme berarti
menjalankan apa yang diyakini atau apa yang dibutuhkan.
Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa optimisme adalah
adanya keyakinan yang kuat pada diri individu akan adanya kehidupan yang lebih baik
yang mampu mengerakkan dirinya untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, mampu
mengatasi segala hambatan dan rintangan, berusaha bangkit ketika terjadi kegagalan
demi meraih kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian individu yang memiliki
optimisme tinggi akan selalu berusaha dengan gigih, mampu mengatasi segala
rintangan dan hambatan, serta memiliki keyakinan yang kuat untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya individu yang memiliki optimisme rendah akan
cendrung pesimis, malas dan tidak memiliki optimisme rendah akan cendurung
pesimis, males dan tidak memiliki cita-cita yang pasti. Pada diri siswa optimisme
diwujudkan dalam bentuk keyakinan bahwa dengan belajar yang sungguh-sungguh
maka akan diperoleh hasil belajar yang lebih baik.

Perilaku Bersyukur
Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi
organisme terhadap lingkungannya, hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud
bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang disebut
rangsangan, dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan
perilaku tertentu pula (Notoatmodjo, 1997).
Syukur sendiri dikonsepsi sebagai emosi, sikap, moral, kebiasaan, kepribadian
dan strategi coping. Kata syukur berasal dari bahasa latin gratia yang berarti rahmat,
nikmat, semuanya berasal dari turunan kata-kata latin yang berakar dari kata-kata yang
berkaitan dengan perilaku kebaikan, kedermawanan, keindahan, pemberian dan
penerimaan (Emmons, 2003).
Secara subjektif syukur merupakan perasaan kagum, rasa terimakasih,
penghargaan terhadap manfaat yang diterima, ini dapat ditunjukkan secara
interpersonal dan atau transpersonal, akan tetapi tidak dihubungkan dengan diri sendiri,
walaupun banyak pengalaman yang berbeda-beda dapat memunculkan rasa syukur,
biasanya karena memperoleh manfaat dari orang lain, orang biasanya merasa bersyukur
ketika orang lain memberi dia keuntungan (Emmons, 2003).
Para psikolog berpendapat bahwa, syukur merupakan kekuatan manusia,
syukur dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan kesejahteraan antar individu,
serta bermanfaat untuk masyarakat secara keseluruhan. Latar belakang teori, secara
historis, syukur dianggap suatu kebaikan, yang dapat menumbuhkan kebaikan, baik

6
dari kesehatan, baik di kalangan kecil maupun luas dalam seluruh budaya kehidupan
manusia. Syukur diinginkan dalam kepribadian manusia, sebagai contoh, syukur sangat
dihargai di kalangan Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, para filsof Roma kuno
menilai bahwa syukur itu merupakan nilai kehidupan manusia yang paling tinggi,
sebaliknya, perilaku tidak bersyukur dianggap suatu moral yang sangat rendah
(Emmons, 2003).
Syukur itu merupakan respon atau tanggapan terhadap kebaikan yang dilakukan
oleh orang lain, empati dan simpati itu respon terhadap kesulitan orang lain, sedang
merasa bersalah dan malu itu respon seseorang jika merasa gagal memenuhi standar
moral yang merangsang seseorang untuk berlaku prososial, syukur juga merupakan
pendorong moral yang membuat individu berani berlaku prososial (Emmons, 2003).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku bersyukur
merupakan penerimaan terhadap suatu pemberian apapun dari Tuhan sebagai suatu
bentuk kebaikan, bukan pasrah tanpa usaha apapun, melainkan usaha yang
dikembalikan pada Tuhan. Individu yang bersyukur akan merasa kaya, menghargai
pada hal-hal sederhana, dapat menghargai orang lain, mampu mengungkapkan
kesyukuran dan sebagainya, dengan demikian, syukur menjadi suatu pendorong moral
yang membuat individu berani berlaku prososial.

3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Hubungan optimisme dan perilaku bersyukur dengan subjective well-being pada
mahasiswa semester III jurusan psikologi di Universitas Ahmad Dahlan.
b. Hubungan optimisme dengan subjective well-being pada mahasiswa semester III
jurusan psikologi di Universitas Ahmad Dahlan.
c. Hubungan perilaku bersyukur dengan subjective well-being pada mahasiswa
semester III jurusan psikologi di Universitas Ahmad Dahlan.

4. Hipotesis
a. Hipotesis Mayor
Terdapat hubungan yang positif antara hubungan optimisme dan perilaku
bersyukur dengan subjective well-being pada mahasiswa semester III jurusan psikologi
di Universitas Ahmad Dahlan.
b. Hipotesis Minor
1) Terdapat hubungan yang positif antara hubungan optimisme dengan subjective
well-being pada mahasiswa semester III jurusan psikologi di Universitas Ahmad
Dahlan. Artinya semakin tinggi optimisme maka akan semakin tinggi subjective
well-being. Sebaliknya, semakin rendah optimisme maka akan semakin rendah
subjective well-being.
2) Terdapat hubungan yang positif antara hubungan perilaku bersyukur dengan
subjective well-being pada mahasiswa semester III jurusan psikologi di
Universitas Ahmad Dahlan. Artinya semakin tinggi perilaku bersyukur maka akan
semakin tinggi subjective well-being. Sebaliknya, semakin rendah optimisme
maka akan semakin rendah subjective well-being.

7
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini secara garis besar memiliki dua variabel yaitu: variabel
independen dan variabel dependen. Adapun yang dimaksud dengan variabel
independen adalah variabel yang secara teori dapat diasumsikan akan memberikan
pengaruh terhadap variabel dependen.

Identifikasi variabel dalam penelitian adalah sebagai berikut:


1. Variabel dependen (Y) : Subjective Well-Being
2. Variabel independen (X) : X1 = Optimisme
X2 = Perilaku Bersyukur
Populasi didefinisikan sebagai seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk
diselidiki atau disebut juga universum. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk
atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama (Hadi, 2015).
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester tiga yang
menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan. Menurut Sugiyono (2011)
sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah probability sampling
menggunakan simple random sampling. Teknik sampling ini dipandang peneliti dapat
mempermudah pemilihan sampel secara acak namun atas dasar acuan tertentu dan
populasinya dianggap homogen. Acuan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
dengan memilih secara acak dari daftar populasi yang diteliti yakni mahasiswa yang
dapat menyempatkan waktu luangnya untuk mengisi kuesioner. Direncanakan sampel
berjumlah 151 mahasiswa semester tiga, jumlah tersebut diambil dengan menggunakan
metode yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael, dimana jumlah populasinya
dikisaran 340 dan taraf kesalahan (significance level) 10%.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif
ini bertujuan untuk melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi
variabel yang lain (Creswell, 2002 dalam Alsa, 2010). Metode pengumpulan data yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner, sedangkan alat yang
digunakan adalah skala. Menurut Azwar (2010), skala dan kuesioner mempunyai
perbedaan yang cukup berarti. Kuesioner lebih tertuju pada alat ukur kognitif,
sedangkan skala merupakan alat ukur aspek afektif. Menurut Azwar (2007) skala yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi skala Likert, dimana masing-
masing skala memiliki ciri-ciri alternative jawaban yang dipisahkan menjadi
pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Aitem-aitem yang digunakan dalam
skala optimisme dan perilaku bersyukur dengan subjective well-being terdiri empat
alternatif jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat
Tidak Setuju (STS). Skor untuk alternatif jawaban favorable yaitu: (SS) = 4, (S) = 3,
(TS) = 2, (STS) = 1. Sedangkan skor untuk alternatif jawaban unfavorable yaitu: (SS)
= 1, (S) = 2, (TS) = 3, (STS) = 4.
Untuk melihat aitem dapat diterima maupun aitem yang gugur, maka masing-
masing aitem perlu dilihat daya bedanya. Daya beda adalah sebuah indeks yang
melekat pada aitem di mana hal ini mencerminkan sejauh mana aitem mampu
membedakan antara subyek yang memiliki trait tinggi dan subyek yang memilki trait
yang rendah. Aitem yang dapat diterima adalah aitem yang mampu membedakan

8
subyek yang terkatagori rendah dan tinggi terhadap konstruk yang diukur (Ridho,
2006).
Sebelum sampai pada prosedur seleksi atau pemilihan aitem, uji coba alat ukur
dilakukan. Hal ini untuk memastikan bahwa alat ukur yang akan digunakan dalam
penelitian terbukti memilki reliabilitas yang baik. Uji coba skala dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode seleksi aitem. Seleksi aitem dilakukan untuk mengetahui
mana aitem yang benar-benar tepat untuk mrengukur variable penelitian. Seleksi aitem
dilakukan dengan menggunakan parameter daya diskriminasi aitem, yaitu kemampuan
membedakan individu atau kelompok lain yang memiliki dan tidak memiliki atribut
yang diukur (Azwar, 2014).
Adapun indeks daya beda aitem rata-rata (rit) yang diinginkan adalah sebesar
0,3. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,3 daya pembedanya
dianggap memuaskan (Azwar, 2014). Apabila jumlah aitem tidak bisa mencukupi
jumlah yang diinginkan dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikitnya batas
kriteria menjadi 0,25, menurunkan batas kriteria (rit) dibawah 0,20 sangat tidak
disarankan. Indeks daya beda aitem dalam penelitian ini adalah rit = 0,3.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
validitas isi. Validitas isi adalah relevansi aitem dengan indikator keprilakuan dan
dengan tujuan ukur sebenarnya yang sudah dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat
dalam mendukung konstrak teoritik yang hendak diukur. Keputusan akal sehat ini
memerlukan kesepakatan dari beberapa penilai yang berkompeten (expert/professional
judgment) (Azwar, 2013). Profesional judgment yang digunakan dalam alat ukur ini
adalah alat ukur yang dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.
Dalam penelitian ini, untuk menguji reliabilitas alat ukur adalah dengan
menggunakan teknik pengukuran Alpha Chornbach. Rumus Alpha digunakan untuk
mencari reliabiitas instrument yang skornya bukan 1 dan 0 tapi berupa rentang skala
(Arikunto, 2006). Suatu tes dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila,
misalnya, skor tampak tes itu berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri.
Reliabilitas juga dapat pula ditafsirkan sebagai seberapa tingginya korelasi antara skor
tampak pada dua tes yang parallel (Azwar, 2012). Menurut Suryabrata (2005) bahwa
untuk kepentingan diagnosis individu hendaknya tes yang digunakan memiliki
koefisien reliabilitas 0,7 sudah dapat dianggap memuaskan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Skala subjective well-being di buat oleh penulis berdasarkan Diener dan Scollon
(dalam Diponegoro 2008) yaitu subjective well-being memiliki dua komponen yaitu
kepuasan hidup dan afek (afek negatif dan afek positif). Skala optimisme di buat oleh
penulis berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan dalam Seligman (1990) yaitu
Permanensi, Pervasivitas dan Personalisasi. Skala perilaku bersyukur dibuat oleh
penulis dengan mengacu pada ciri-ciri dalam aspek-aspek kebersyukuran dalam Al
Fauzan (2007) yaitu bersyukur dengan hati, bersyukur dengan lidah dan bersyukur
dengan anggota tubuh.
Berdasarkan analisis uji coba dan seleksi aitem skala subjective well-being,
didapatkan nilai korelasi aitem total (rit) terendah 0,364 dan korelasi aitem total

9
tertinggi sebesar 0,733. Hasil analisis koefesien alpha diperoleh indeks reliabilitas alat
ukur sebesar 0,919 yang berarti bahwa alat ukur tersebut reliabel dan dapat digunakan
sebagai alat ukur yang memadai dalam pengumpulan data penelitian. Berdasarkan
analisis uji coba dan seleksi aitem skala optimisme, didapatkan nilai korelasi aitem total
(rit) terendah 0,336 pada aitem 14 dan korelasi aitem total tertinggi sebesar 0,729 pada
aitem nomor 22. Hasil analisis koefesien alpha diperoleh indeks reliabilitas alat ukur
sebesar 0,933 yang berarti bahwa alat ukur tersebut reliabel dan dapat digunakan
sebagai alat ukur yang memadai dalam pengumpulan data penelitian. Berdasarkan
analisis uji coba dan seleksi aitem skala perilaku bersyukur, didapatkan nilai korelasi
aitem total (rit) terendah 0,327 pada aitem 31 dan korelasi aitem total tertinggi sebesar
0,733 pada aitem nomor satu. Hasil analisis koefesien alpha diperoleh indeks
reliabilitas alat ukur sebesar 0,944 yang berarti bahwa alat ukur tersebut reliabel dan
dapat digunakan sebagai alat ukur yang memadai dalam pengumpulan data penelitian.
Karena adanya kendala, penelitian ini menggunakan try out terpakai, dengan hasil uji
coba terpakai tersebut aitem-aitem yang sahih akan dipakai dalam analisa data.
Sedangkan aitem yang gugur akan dihapus dan tidak dimasukan dalam perhitungan
analisa data.
Kategorisasi subjective well-being mahasiswa yang dimiliki dalam penelitian
ini secara umum dalam kategori tinggi. Data subjective well-being menunjukkan bahwa
41 atau 27,2% mahasiswa memiliki subjective well-being pada kategori sedang. 109
atau 72,2% mahasiswa memiliki subjective well-being kategori tinggi. Sedangkan 1
atau 0,7% mahasiswa memiliki subjective well-being pada kategori rendah.
Kategorisasi optimisme mahasiswa yang dimiliki dalam penelitian ini secara umum
dapat dikatakan dalam kategori tinggi. Data optimisme menunjukkan bahwa 105 atau
69,5% mahasiswa memiliki optimisme pada kategori tinggi. Untuk katagori sedang 45
atau 29,8% mahasiswa memiliki optimisme. Sedangkan 1 atau 0,7% mahasiswa
memiliki optimisme kategori rendah.Kategorisasi perilaku bersyukur mahasiswa yang
dimiliki dalam penelitian ini secara umum dapat dikatakan dalam kategori tinggi. Data
perilaku bersyukur menunjukkan bahwa 112 atau 74,2% mahasiswa memiliki perilaku
bersyukur pada kategori tinggi. Untuk katagori sedang mahasiswa memiliki 38 atau
25,2%. Sedangkan 1 atau 0,7% mahasiswa memiliki perilaku bersyukur kategori
rendah.
Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel optimisme
dengan p = 0,043 (p < 0,05), variabel perilaku bersyukur dengan p = 0,000 (p < 0,05),
begitu juga dengan variabel subjective well-being p = 0,000 (p < 0,05). Dapat
disimpulkan bahwa variabel optimisme, perilaku bersyukur, dan subjective well-being
memiliki data yang tidak normal.
Salah satu alasan mengapa data tidak normal adalah adanya outliers. Outliers
adalah data yang memiliki skor ekstrem, baik ekstrem tinggi maupun ekstrem rendah.
Adanya outliers dapat membuat distribusi skor condong ke kiri atau ke kanan.
Beberapa ahli menilai data outliers ini lebih baik kita buang, karena ada kemungkinan
subjek mengerjakan dengan asal-asalan, selain itu adanya data outliers juga
mengacaukan pengujian statistik. Namun beberapa ahli tetap mendukung bahwa data
outliers tetap harus dimasukkan dalam analisis karena memang fakta di lapangan
adalah demikian. Dalam kasus ini, peneliti akan membuang outliers yang dapat
mengacaukan data kita, sehingga diperoleh distribusi yang normal.

10
Berdasarkan hasil uji normalitas setelah menghilangkan subyek yang dianggap
outliers menunjukkan bahwa variabel optimisme dengan p = 0,200 (p > 0,05), variabel
perilaku bersyukur dengan p = 0,061 (p > 0,05), dan variabel subjective well-being p =
0,200 (p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa variabel optimisme, perilaku bersyukur,
dan subjective well-being memiliki data yang normal.
Karena terdapat perubahan pada jumlah subyek pada tahap uji normalitas yang
dianggap peneliti beberapa subyek outliers maka ada perubahan pada hasil data
deskripsi dan pengkatagorian skor. Kategorisasi subjective well-being mahasiswa yang
dimiliki dalam penelitian ini secara umum dapat dikatakan dalam kategori tinggi. Data
subjective well-being menunjukkan bahwa 104 atau 73,2% mahasiswa memiliki
subjective well-being pada kategori tinggi. Untuk katagori sedang mahasiswa memiliki
38 atau 26,8%. Sedangkan 0 atau 0% mahasiswa memiliki subjective well-being
kategori rendah. Kategorisasi optimisme mahasiswa yang dimiliki dalam penelitian ini
secara umum dapat dikatakan dalam kategori tinggi. Data optimisme menunjukkan
bahwa 100 atau 70,4% mahasiswa memiliki optimisme pada kategori tinggi. Untuk
katagori sedang mahasiswa memiliki 42 atau 29,6%. Sedangkan 0 atau 0% mahasiswa
memiliki optimisme kategori rendah. Kategorisasi perilaku bersyukur mahasiswa yang
dimiliki dalam penelitian ini secara umum dapat dikatakan dalam kategori tinggi. Data
perilaku bersyukur menunjukkan bahwa 106 atau 74,6% mahasiswa memiliki perilaku
bersyukur pada kategori tinggi. Untuk katagori sedang mahasiswa memiliki 36 atau
25,4%. Sedangkan 1 atau 0% mahasiswa memiliki perilaku bersyukur kategori rendah.
Hasil pengujian linieritas antara variabel optimisme dengan subjective well-
being menunjukkan nilai taraf signifikansi p (F-linierity) sebesar 0,000 (p < 0,05) dan
taraf signifikansi p (deviation from linierity) sebesar 0,505 (p > 0,05) yang berarti
korelasinya linier. Sedangkan linieritas antara variabel perilaku bersyukur dengan
subjective well-being menunjukkan nilai taraf signifikansi p (F-linierity) sebesar 0,000
(p < 0,05) dan taraf signifikansi p (deviation from linierity) sebesar 0,883 (p > 0,05)
yang berarti korelasinya linier.
Hasil uji multikolinieritas menunjukkan bahwa variabel optimisme dengan
subjective well-being sebesar VIF = 2,929, variabel perilaku bersyukur dengan
subjective well-being sebesar VIF = 2,929. Artinya semua variabel tidak terjadi
multikolinieritas dengan kriteria VIF < 10. Berdasarkan hasil analisis uji
multikolinieritas diperoleh bahwa antar variabel bebas tidak terjadi multikolinieritas
sehingga memenuhi syarat di analisis regresi.
Hasil uji heteroskedastisitas menunjukan bahwa variabel optimisme sebesar
(Sig.) = 0,396 dan variabel perilaku bersyukur sebesar (Sig.) = 0,509. Dari output bisa
dlihat dilampiran, maka tampak bahwa kedua variabel tidak ada gejala
heteroskedastisitas karena (Sig.) > 0,05.
Hasil uji hipotesis mayor diperoleh F hitung sebesar 136,962 dengan tingkat
signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 (p < 0,01). Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara semua variabel independen (optimisme dan
perilaku bersyukur) dengan variabel dependen (subjective well-being). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan antara optimisme dan perilaku bersyukur secara
bersama-sama dengan subjective well-being. Koefisien determinasi (R2 ) didapatkan
sebesar 0,663. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara optimisme (X1 )

11
dan perilaku bersyukur (X2 ) dengan subjective well-being (Y) sebesar 66,3 % dan
sisanya yaitu 33,7% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti.
Hasil uji hipotesis minor variabel optimisme (X1 ) memiliki nilai signifikansi
sebesar (Sig.) 0,000 artinya signifikansi < 0,01 (p < 0,01) dan disimpulkan bahwa
hipotesis diterima yaitu terdapat hubungan yang sangat signifikan antara optimisme
(X1 ) dengan subjective well-being (Y). Sumbangan efektif variabel optimisme
terhadap subjective well-being 𝑆𝐸𝑜 = 0,629 x 0,805 x 100% = 50,6%. Berdasarkan hasil
analisis sumbangan efektif variabel optimisme terhadap subjective well-being sebesar
50,6%. Sumbangan relatif variabel optimisme terhadap subjective well-being 𝑆𝑅𝑜 =
50,6% / 66,3% x 100% = 76,320%. Berdasarkan hasil analisis sumbangan relatif
variabel optimisme terhadap subjective well-being sebesar 76,320%.
Hasil uji hipotesis minor variabel perilaku bersyukur (X2 ) memiliki nilai
signifikansi sebesar (Sig.) 0,011 artinya signifikansi < 0,05 (p < 0,05) dan disimpulkan
bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku
bersyukur (X 2 ) dengan subjective well-being (Y). Sumbangan efektif variabel perilaku
bersyukur terhadap subjective well-being. 𝑆𝐸𝑝𝑏 = 0,216 x 0,727 x 100% = 15,7%.
Berdasarkan hasil analisis sumbangan efektif variabel perilaku bersyukur terhadap
subjective well-being sebesar 15,7%. Sumbangan relatif variabel perilaku bersyukur
terhadap subjective well-being. 𝑆𝑅𝑝𝑏 = 15,7 / 66,3% x 100% = 23,680%. Berdasarkan
hasil analisis sumbangan relatif variabel perilaku bersyukur terhadap subjective well-
being sebesar 23,680%.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yan telah dilakukan, maka dapat disipulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel optimisme dan perilaku
bersyukur dengan subjective well-being pada mahasiswa semester III jurusan
psikologi di Universitas Ahamad Dahlan.
2. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel optimisme dengan
subjective well-being pada mahasiswa semester III jurusan psikologi di Universitas
Ahamad Dahlan.
3. Terdapat hubungan yang signifikan variabel perilaku bersyukur dengan subjective
well-being pada mahasiswa semester III jurusan psikologi di Universitas Ahamad
Dahlan.
4. Variabel optimisme lebih banyak memberikan pengaruh terhadap variabel
subjective well-being daripada perilaku bersyukur.
5. Subyek penelitian pada variabel subjective well-being, optimisme dan perilaku
bersyukur sama-sama memiliki kategorisasi yang cenderung tinggi.

E. DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan, A. B. S. (2007). Indahnya bersyukur Bagaimana meraihnya?. Bandung:
Marja.
Alsa, A. (2010). Pendekatan Kuantitatif & Kualitatif Serta Komplikasinya Dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.

12
Azwar, S. (2007). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2014). Metode Penelitian (Cetakan XV). Yogyakarta: Pustaka
Balatsky, G., & Diener, E. (1993). Subjective Well-Being Among Russian Students.
Social Indicators Research, 28, 225-243.
Boven, L. V., Gilovich, T. (2003). To Do Or To Have? That Is THe Question. Journal
Personality and Social Psychology, 85, 1193-1202.
Buss, D. M. (2000). The Evaluation of Happiness, American Psychologist, 55, 15-23.
discovery of meaning, CD4 decline, and AIDS-related mortality among bereaved
HIV-Seropositive Men. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 66, 979-
986.
Contrada, R. J., Gonyal, T. M., Cather, C., Rafalson, L., Idler, E.L., & Krause, T. J.
(2004). Psychosocial Factors In Outcomes of Heart Surgery: The IMpact of
ReligiousInvolvement and Depressive Symptoms. Journal of Health Psychology,
23, 227-238.
Compton, W. C. (2005). An Introduction to Positive Psychology. USA: Thomson
Wadsworth.
Csikszentmihalyi, M. (1999). If We Are So Rich, Why Aren't We Happy? American
Psychologist, 55, 821-827.
Diener, E. (2000). Subjective Well-Being: The Science of Happiness and a proposal
for a national index. American Psychologist, 55, 34-43.
Diener, E. & Scollon, C. (2003). Subjective Well Being is Desirable, But Not The
Summun Bonum. Paper Delivered at The University of Minnesota
Interdisciplinary Workshop on Well-Being. October 23-25, Minneopolis.
Diener, E. (Ed.). (2009). Social indicators research series: Vol. 39. Assessing well-
being: The collected works of Ed Diener. New York, NY, US: Springer Science
and Business Media.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective Well-Being:
There Decades of Progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302.
Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting Blessings Versus Burdens:
An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily
Life. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 377-389.
Emmons, R. A. (2003). Personal goals, life meaning, and virtue: Wellsprings of a
positive life. In C. L. M. Keyes, & J. Haidt (Eds.), Flourishing: Positive
psychology and the life well-lived (pp. 105-128). Washington DC: American
Psychological Association.
Frederickson, B. L., Tugade, M. M., Waugh, C. E., and Larkin, G. R. (2003). What
Good are positive emotions in crisis. A prospective study of resilience and
emotions following the terrorist attacks on the United Satates on September 11th,
2001. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 122-133.
Gable, S. L., and Haidt, J. (2005). What (and Why) Is Positive Psychology?.
Educational Publishing Fondation: Review of General Psychology. 9(2), 103-
110.

13
Gilman, R. (2001). The Relationship Between Life Satisfaction, Social Interest, and
Frequency of Extracurricular activities among adolescent students. Journal of
Youth and Adolescence, 30, 749-767.
Ghufron, M. N., dan Rini R. S. (2010). Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Hadi, S. (2015). Statistika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haidt, J. (2003). Elavation and The Positive Psychology of Morality. In C. L. M.
Hagerty, M. R. (2000). Socail Comparisons of Income and Happiness. Journal of
Personality and Social Psychology, 78, 764-771.
Linley, A. & Joseph, S. (2004). Positive Psychology in Practice. Chichester: Wiley.
Linley, P. A., Joseph, S., Harrington, S., & Wood, A. M. (2006). Positive psychology:
Past, present, and (possible) future. The Journal of Positive Psychology, 1, 3–16
Myers, D. G. (2000). Funds, Friends, And Faith of Happy People. American
Psychologist, 55, 56-67.
Myers, D. G. (2003). Social Psychology. Boston: McGraw-Hill.
Myers, D. G. (2004). In Press. American Paradox. New York: Worth Publishers.
Notoatmodjo (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Oishi, S., Diener, E., Lucas, R. E., & Suh, E. M. (1999). Cross Cultural Variations in
Predictors of Life Satisfaction: Perspective from Needs and Values. Personality
and Social Psychology Bulletin, 25, 980-990.
Rahman, P. A. & Siregar, R. H. (2012). Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan
Pada Lansia Muslim (skripsi tidak diterbitkan). Universitas Sumatera Utara,
Sumatera Utara.
Seligman, M. E. P. (1990). Learned optimism. New York: Knopf.
Seligman, M. E. P. (1998). Building human strength: psychology’s forgetten misson.
APA Monitor, 29(1).
Seligman, M. E. P. (2002). Progress Report. Retrieved from
www.positivepsychology.org.
Seligman, M. E. P., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology. American
Psychologist, 55(1): 5-14.
Suh, E. M., Diener, E., Oishi, S., & Triandis, H. C. (1998). The shifting basis of life
satisfaction judgments across cultures: Emotions versus norms. Journal of
Personality and Social Psychology, 74, 482-493.
Sugiyono (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta.
Suryabrata, S. (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi.
Swinyard, W. R., Kau. A., & Phua, H. (2001). Happiness, materialism, and religious
experience in the US and Singapore. Journal of Happiness Studies, 2, 13-32
Ubaedy, A.N. (2007). Kedahsyatan Berpikir Positif. Jakarta: Vision.
Talib, S. B. (2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecendrungan Perilaku
Kekerasan Siswa. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

14

You might also like