You are on page 1of 332

BAB 1

Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768


Vol. 2, No. 2 (Juli 2016) Hal. 128-136

HUBUNGAN PENGETAHUAN LINGKUNGAN HIDUP,


TINGKAT SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN
TERHADAP SIKAP PEDULI LINGKUNGAN

(Pada Ibu Rumah Tangga di Desa Jati Agung, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
Pringsewu Lampung Tahun 2015 dan Sebagai Subtansi Pembelajaran di Kelas XI
IPS Geografi SMA)

Dwi Saputro1, Peduk Rintayati2, Siti Supeni3


Email : dwisaputrokip@gmail.com

ABSTRACT

This study is aimed to find out the relationship between (1) knowledge of living environment
towards environmental awareness; (2) socioeconomic level on environmental awareness; (3) the
education level on environmental awareness; (4) knowledge of living environment, socioeconomic
level and education level collectively of environmental awareness; (5) As a learning resource of the
learning environment themes in the eleventh grade students of high school. This study was quantitative
research. The population was housewives consist of 712 families. The sample was 142 housewives. The
research sampling was random sampling techniques. Data collection techniques was done by using a
observation and questionnaire. The data analysis technique is multiple linear analysis. The results
show that (1) there is a positive and significant relationship between living environment towards
environmental awareness, it is shown by the magnitude of the correlation between variables X1 > Y
( 0.262 > 0.165); (2) there is a positive and significant relationship between socioeconomic attitude
levels towards environmental awareness, it is indicated by the magnitude of the correlation between
X2 > Y ( 0.186 > 0.165); (3) There is a positive and significant relationship between the level of
education on environmental awareness, it is indicated by the magnitude of correlation between X3 > Y
(0.173 > 0.165; (4) There is a positive and significant relationship between the knowledge of
environmental, socioeconomic level, and level of education together against environmental awareness,
it is indicated by the magnitude of the coefficient multiple correlation (0.408 > 0.165); (5) The theme of
environmental knowledge, socioeconomic level and education level of the environmental awareness
can be used as a learning resource on the topic: the environment of learning in the eleventh grade
students of high school.

Keywords: Knowledge Environment, Socio-Economic Level, Level of Education, Attitude


Environmental Care.

1
PENDAHULUAN

Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab


setiap warga Negara. Kenyataan yang ada pada saat ini persoalan-persoalan
lingkungan yang kotor dan mungkin mengganggu kesehatan tidak dapat dilaksanakan
tanpa kesadaran dari setiap individu masyarakat maupun kelompok masyarakat, maka
kebersihan itu tidak akan berguna dan menimbulkan banyak kerugian apabila tidak
diikuti rasa tanggung jawab pada setiap individu masyarakat.

Kecenderungan pandangan masyarakat tentang sadar lingkungan sangatlah


kurang (Shodiqin: 2012).

Menurut Iskandar (2003) terdapat keterkaitan yang sangat erat antara


pandangan manusia terhadap kelestarian lingkungannya. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa pandangan manusia tersebut tergantung dari pengetahuan dan pengalaman
yang diperolehnya, serta norma-norma yang terdapat di sekitar lingkungan tempatnya
berada. Banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya kualitas lingkungan.
Diantaranya, yaitu rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang
lingkungan hidup, sehingga mereka kurang respon untuk dapat menerima informasi
yang bermanfaat bagi dirinya. Di samping itu, kebiasaan hidup masyarakat yang
selalu membuang sampah disembarangan tempat, sulit untuk diubah dan ketidak
pedulian terhadap lingkungan yang mengakibatkan lingkungan menjadi kotor dan
tercemar (Hermawan: 2007).

2
Problematika sosial ekonomi masyarakat khususnya di perkotaan memiliki
kompleksitas yang sangat tinggi. Menurut Jeiske Salaa (2015) ”Pada masyarakat
modern, tuntutan kehidupan saat ini semakin bertambah terutama bidang sosial dan
ekonomi. Semua ini mengakibatkan status perempuan tidak lagi sebagai ibu rumah
tangga saja, melainkan dituntut peranannya dalam berbagai kehidupan sosial
kemasyarakatan, seperti turut bekerja membantu suami, bahkan untuk menopang
ekonomi keluarga”.

Tingkat pendidikan yang dicerminkan dari lamanya seseorang menempuh


jalur pendidikan formal telah memberikan sumbangan terhadap penguasaan atas ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian tingkat pendidikan secara tidak
langsung akan membentuk watak dan perilaku masyarakat.

Karena dukungan pengetahuanyang memadai, seseorang mampu


menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang kontra produktif terhadap kesehatan
pribadi dan lingkungannya.

Kondisi tersebut juga berlaku pada tingkat sosial ekonomi masyakarat, seperti
laporan WHO bahwa angka kesakitan (morbidity rate) dan angka kematian (death rate)
terbesar terjadi pada kelompok masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi menengah
ke bawah. Apabila dikaitkan dengan teori kebutuhan Maslow, maka kelompok
masyarakat ini umumnya hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar, sehingga belum
ada kemampuan untuk memenuhi ketubuhan yang sifatnya lebih tinggi seperti
pemeliharaan kesehatan dan sebagainya (Rosjdan, 1990: 32). Menurut
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 H ayat (1) berbunyi:
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.

Berdasarkan observasi awal yang peneliti dapatkan dari wawancara dengan


Kepala Desa di Desa Jati Agung, masyarakat umumnya hanya berfikir secara parsial
dan hanya ingin menguntungkan diri sendiri, seperti halnya membuang sampah yang
tidak pada tempatnya sehingga berdampak terhadap polusi udara di lingkungan
masyarakat itu tinggal. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi membuat masyarakat
melakukan pekerjaan lebih aktif guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak
hanya kepala (ayah) rumah tangga yang bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya, tetapi ibu-ibu rumah tangga di Desa tersebut juga
membantu untuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ibu rumah tangga mempunyai peran yang sangat besar dalam memberi contoh
bagi keluarganya seperti halnya keteladanan, pendidikan di suatu keluarga daripada
ayah. Ibu juga lebih mendominasi dalam hal pengaturan menu makanan dan menjaga
3
kebersihan rumah, termasuk di dalam memberikan pendidikan dan menanamkan nilai
sikap peduli lingkungan di keluarga. Seperti menanamkan Pelaksanaan program
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) karena pendidikan kesehatan dapat
berlangsung di keluarga (Notoatmodjo, 2003: 63).

Pengetahuan lingkungan, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan mempunyai


pengaruh yang sangat besar bagi ibu rumah tangga dalam sikap peduli lingkungan.
Pengetahuan tentang lingkungan yang tinggi akan mempermudah seorang ibu dalam
pentingnya menjaga lingkungan yang bersih, tingkat sosial ekonomi yang cukup akan
mendorong seorang ibu rumah tangga untuk peduli akan pentingnya kesehatan dalam
kehidupan rumah tangga, selain itu juga tingkat pendidikan merupakan faktor
pendukung dalam pengetahuan memahami hal-hal yang perlu diterapkan dalam sikap
kepedulian menjaga lingkungan yang bersih.

Hasil pembahasan penelitian ini akan sangat membantu sebagai pengayaan


sumber belajar peserta didik, khususnya pada topik: Lingkungan Hidup di kelas XI
IPS Geografi SMA. Hal ini bertujuan agar siswa tahu dan sadar bahwa materi
pelajaran dapat diterapkan sehari-hari, dan untuk memperkuat pengetahuan dan
pemahaman, maka diperlukan contoh konkrit yang ada disekitar mereka. Pendidikan
sebagai investasi jangka panjang yang memiliki peranan penting untuk menciptakan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, bertanggung jawab terhadap dirinya
dan lingkungannya.

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu, untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan lingkungan hidup terhadap sikap kepedulian
lingkungan, mengetahui hubungan antara tingkat sosial ekonomi terhadap sikap peduli
lingkungan, mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap sikap peduli
lingkungan, mengetahui hubungan antara pengetahuan lingkungan hidup, tingkat
sosial ekonomi dan tingkat pendidikan secara bersama-sama terhadap sikap peduli
lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa
Kabupaten Pringsewu Tahun 2015, dan digunakan sebagai sumber belajar pada
pembelajaran materi pokok Lingkungan Hidup di kelas XI IPS Geografi SMA.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan


korelasional. Populasi penelitian adalah ibu rumah tangga usia produktif dari usia 16 –
55 tahun sebanyak 712 keluarga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Pringsewu. Pengambilan sampel menggunakan teknik propotional random sampling.
4
Sampel yang digunakan sebanyak 142 orang ibu rumah tangga di Desa Jati Agung
Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu.

Variabel terikat yaitu sikap peduli lingkungan (Y), variabel bebasnya yaitu:

pengetahuan lingkungan hidup (X1), tingkat sosial ekonomi (X1), dan tingkat

pendidikan (X1). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan

angket. Parameter pengukuran variabel pengetahuan lingkungan hidup (X1)

menggunakan skala Guttman dengan 2 kriteria, yaitu ”benar-salah”, (Sugiyono, 2009:

111). Sedangkan untuk variabeltingkat sosial ekonomi (X2), tingkat pendidikan (X3)

dan sikap peduli lingkungan (Y) parameter pengukuranya menggunakan skala Likert
dengan 5 kriteria.

Teknik analisis data adalah teknik analisa data statistik inferensial dengan
korelasi menggunakan persamaan regresi linier ganda.

Selanjutnya persamaan regresi dapat ditulis sebagai berikut:

Y= βo + β1X1+β2X2+ β3X3

Keterangan

Y= Sikap Peduli Lingkungan

X1= Pengetahuan Lingkungan

X2= Kondisi Sosial Ekonomi

X3= Tingkat Pendidikan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Melihat segala kondisi tersebut di atas, perlu diadakan


penelitian tentang hubungan antara pengetahuan lingkungan hidup,
tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan terhadap sikap peduli
lingkungan di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Pringsewu Tahun 2015.

5
1. Pengujian Korelasi Tunggal

Berikut ini disajikan hasil uji korelasi product moment. Untuk


mengetahui hasil uji hipotesis 1, 2 dan 3, kita dapat melihat dari nilai
signifikansinya dan membandingkan dengan nilai signifikansi yang telah
ditetapkan, yaitu sebesar 0,05. Untuk melihat lebih jelasnya hasil uji korelasi
pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hasil Perhitungan Uji Parsial (Uji t)

Unstandardized
Korelasi

Coefficients
Model t Sig.

Std.

B r-hitung Sig.
Error

(Constant) 43.655 2.946 14.820 .000

Pengetahuan

Lingkungan .595 .179 3.324 .001 0.262 0.002

Hidup

1 Tingkat

Sosial .196 .088 2.234 .027 0.186 0.027

Ekonomi

Tingkat

.706 .211 3.347 .001 0.296 0.000


Pendidikan

Sumber: Data Primer diolah dengan SPSS 20.00 Tahun 2015

6
Berdasarkan tabel 1 di atas diperoleh persamaan regresi Y= 43,655 + 0,595

X1 + 0,196 X2 + 0,706 X3 + e. Pada persamaan regresi dihasilkan koefisien regresi

adalah 43,655 dan masing-masing variabel bebas memiliki pengaruh yang positif
dan searah terhadap variabel terikatnya artinya jika peningkatan pada variabel

bebas yaitu; a) pengetahuan lingkungan hidup (X1) sebesar 0,595 artinya setiap

satu poin X1 maka nilai sikap bertambah sebesar 0,595 dengan ketentuan

nilai-nilai variabel lain tetap; b) tingkat sosial ekonomi (X2) sebesar 0,196 artinya

setiap satu poin X2 maka nilai sikap bertambah sebesar 0,196 dengan ketentuan

nilai-nilai variabel lain tetap; c) tingkat pendidikan (X3) sebesar 0,706 artinya

setiap satu poin X3 maka nilai sikap bertambah sebesar 0,706 dengan ketentuan

nilai-nilai variabel lain tetap. Sedangkan sumbangan terbesar terhadap sikap peduli
lingkungan adalah pengetahuan lingkungan hidup.

a. Pengujian Hipotesis X1

Hasil analisis menunjukan bahwa Pengetahuan lingkungan hidup mempunyai


nilai korelasi sebesar 0,262 dengan nilai signifikansi sebesar 0,002. Nilai
signifikansi = 0,002 kurang dari 0,05. Hal ini berarti ada hubungan antara
pengetahuan lingkungan hidup dengan sikap peduli lingkungan.

Variabel pengetahuan lingkungan hidup nilai thitung sebesar 3,324 dan

nilai signifikansi sebesar 0,001. nilai signifikansi sebesar 0,001 kurang dari
0,05, hal ini berarti pengetahuan lingkungan hidup berpengaruh signifikan
terhadap sikap pedulilingkungan. Pengetahuan lingkungan hidup
bertanda-tanda positif. Artinya semakin tinggi pengetahuan lingkungan hidup
maka akan semakin tinggi sikap peduli lingkungan demikian sebaliknya jika
pengetahuan lingkungan hidup rendah maka akan semakin rendah sikap peduli
lingkungan. Dengan demikian Hipotesis 1: ”terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan lingkungan terhadap sikap peduli lingkungan” diterima.

b. Pengujian Hipotesis X2 7
Hasil analisis menunjukan bahwa tingkat sosial ekonomi mempunyai nilai
korelasi sebesar 0,186 dengan nilai signifikansi sebesar 0,027. Nilai signifikansi =
0,002 kurang dari 0,05. Hal ini berarti ada hubungan antara tingkat sosial ekonomi
dengan sikap peduli lingkungan

Variabel tingkat sosial ekonomi nilai thitung sebesar 2,234 dan nilai

signifikansi sebesar 0,027. Nilai signifikansi sebesar 0,027 kurang dari 0,05, hal ini
berarti tingkat sosial ekonomi berpengaruh signifikan terhadap sikap peduli
lingkungan. Tingkat sosial ekonomi bertanda-tanda positif. Artinya semakin tinggi
pengetahuan lingkungan hidup maka akan semakin tinggi sikap peduli lingkungan
demikian sebaliknya jika tingkat sosial ekonomi rendah maka akan semakin rendah
sikap peduli lingkungan. Dengan demikian Hipotesis 2:”terdapat hubungan signifikan
antara tingkat sosial ekonomi terhadap sikap peduli lingkungan” diterima.

c. Pengujian Hipotesis X3

Hasil analisis menunjukan bahwa tingkat pendidikan mempunyai nilai


korelasi sebesar 0,296 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi =
0,000 kurang dari 0,05. Hal ini berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan sikap peduli lingkungan.

Variabel tingkat pendidikan nilai thitung sebesar 3,347 dan nilai

signifikansi sebesar 0,001. Nilai signifikansi sebesar 0,001 kurang dari 0,05, hal
ini berarti tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap sikap peduli
lingkungan. Tingkat pendidikan bertanda-tanda positif. Artinya semakin tinggi
pengetahuan lingkungan hidup maka akan semakin tinggi sikap peduli lingkungan
demikian sebaliknya jika tingkat pendidikan rendah maka akan semakin rendah
sikap peduli lingkungan. Dengan demikian Hipotesis 3: ”terdapat hubungan
signifikan antara tingkat pendidikan terhadap sikap peduli lingkungan”
diterima.

2. Pengujian Hipotesis Y

8
Tabel 2. Pengujian ANOVA
ANOVAb

Sum of

Model Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 104.846 3 34.949 9.901 .000a

Residual 524.140 138 3.798

Total 628.986 141

a. Predictors: (Constant), tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan hidup, tingkat social ekonomi

b. Dependent Variable: sikap peduli lingkungan

Sumber: Data Primer diolah dengan SPSS 20.00 Tahun 2015

Berdasarkan Tabel di atas pada uji ANOVA atau F test didapat nilai

fhitung sebesar 9,901dengan nilai probabilitas nilai signifikansi 0,000. Nilai

probabilitas < 0,05 maka dapat disimpulkan pengetahuan lingkungan hidup,


tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan bersama-sama mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sikap peduli lingkungan.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Koefisien Determinasi (R2)

Model Summaryb

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square
Square Estimate

1 .421a .177 .159 1.93664

a. Predictors: (Constant), tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan hidup, tingkat social ekonomi

b. Dependent Variable: sikap peduli lingkungan

Sumber: Data Primer diolah dengan SPSS 20.00 Tahun 2015


Hasil uji regresi menunjukan nilai adjusted R2 sebesar 0,159 atau

14,9%. Hal ini menunjukan 15,9 % sikap peduli lingkungan

dapat dijelaskan oleh variabel independentingkat pendidikan, pengetahuan


lingkungan hidup, dan tingkat sosial ekonomi. Sedangkan sisanya dijelaskan
oleh faktor lain diluar model penelitian

1. Hubungan Pengetahuan Lingkungan

Hidup terhadap Sikap Peduli Lingkungan pada Ibu Rumah Tangga di Desa
Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung.

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan


antara pengetahuan lingkungan hidup terhadap sikap peduli lingkungan pada ibu
rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu

Lampung. Hal ini ditunjukan dengan besarnya korelasi antara variabel X 1 dengan Y

yaitu sebesar 0,262 > 0,165 (rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan besarnya sampel

142). P value menunjukan 0,002< 0,05. Berarti signifikan. Di samping itu analisis
deskriptif menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk memiliki
pengetahuan tentang lingkungan hidup kategori tinggi.

2. Hubungan Tingkat Sosial terhadap Sikap Peduli Lingkungan pada Ibu


Rumah Tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Pringsewu Lampung.

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan


antara tingkat sosial ekonomi terhadap sikap peduli lingkungan pada ibu rumah
tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung.

Hal ini ditunjukan dengan besarnya10


korelasi antara variabel X2 dengan Y yaitu

sebesar 0,186 > 0,165 (rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan besarnya sampel 157).
P value menunjukan 0,027 < 0,05. Berarti signifikan. Di samping itu analisis
deskriptif menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk memiliki tingkat
sosial ekonomi kategori sedang.

3. Hubungan Tingkat Pendidikan terhadap Sikap Peduli


Lingkungan pada Ibu Rumah Tangga di Desa Jati Agung Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung.

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan


antara tingkat pendidikan terhadap sikap peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di
Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung. Hal ini

ditunjukan dengan besarnya korelasi antara variabel X3 dengan Y yaitu sebesar

0,296 > 0,165 (rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan besarnya sampel 157). P value

menunjukan 0,000 < 0,05. Berarti signifikan. Di samping itu analisis deskriptif
menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk memiliki tingkat
pendididikan kategori sedang.

4. Hubungan Pengetahuan Lingkungan Hidup, Tingkat Sosial Ekonomi dan


Tingkat Pendidikan secara bersama-sama terhadap Sikap Peduli
Lingkungan pada Ibu Rumah Tangga di Desa Jati Agung Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung.

Hasil uji F diperoleh fhitung sebesar 9,901 dengan nilai probabilitas 0,000 lebih

kecil dari 0,05. Dengan hasil demikian bahwa pemilihan variabel pengetahuan
lingkungan hidup, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan pada ibu rumah
tangga sudah tepat untuk mengetahui sikap peduli lingkungan pada ibu rumah
tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu
Lampung.

Analisis deskriptif menunjukan bahwa 14,1% ibu-ibu rumah tangga di Desa


Jati Agung termasuk memiliki sikap peduli lingkungan kategori rendah (kurang
peduli). Kemudian 63,4% termasuk memiliki sikap peduli lingkungan kategori
11
sedang artinya cukup memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Adapun
responden termasuk memiliki sikap peduli lingkungan kategori tinggi atau
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan ada 22,5%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa


kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan lingkungan hidup


terhadap sikap peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung
Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung, hal ini ditunjukan dengan

besarnya korelasi antara variabel X1 dengan Y yaitu sebesar 0,262 > 0,165. Dan P

value menunjukan 0,002 < 0,05. Dalam hal ini hipotesis yang diujikan telah teruji
kebenaranya.

2. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara tingkat sosial ekonomi terhadap
sikap peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan

Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung, hal ini ditunjukan dengan besarnya

korelasi antara variabel X2 dengan Y yaitu sebesar 0,186 > 0,165. Dan P value

menunjukan 0,027 < 0,05. Dalam hal ini hipotesis yang diujikan telah teruji
kebenaranya.

3. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan terhadap sikap
peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung, hal ini ditunjukan dengan besarnya

korelasi antara variabel X3 dengan Y yaitu sebesar 0,173 > 0,165. Dan P value

menunjukan 0,040 < 0,05. Dalam hal ini hipotesis yang diajukan telah teruji
kebenaranya. 12
4. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan lingkungan hidup,
tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan secara bersama-sama terhadap
sikap peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan

Ambarawa Kabupaten Pringsewu Lampung, hal ini ditunjukan dengan besarnya


koefisien korelasi berganda adalah 0,408 dan besarnya korelasi tersebut lebih
dari 0,165. Dan P value menunjukan 0,000 < 0,05. Dalam hal ini hipotesis
yang diajukan telah teruji kebenaranya.

5. Sebagai sumber pembelajaran materi pokok Lingkungan Hidup di kelas XI


IPS Geografi SMA.

13
DAFTAR PUSTAKA

Iskandar. 2003. Tantangan Pemerintah dalam Pengelolaan Sumderdaya Air


yang Berkelanjutan, disampaikan dalam forum Seminar "Peran
Budaya Lokal Dalam Menunjang Sumberdaya Air yang
Berkelanjutan".

S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT Rineka Cipta: Jakarta

Salaa, Jeiske. 2015. Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Dalam Meningkatkan
Ekonomi Keluarga Di Desa Tarohan Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud. Jurnal Holistik Tahun VIII No. 15 / Januari – Juni 2015.
file:///C:/Users/Dwi%20Saputro/Down loads/7820-15447-1-SM.pdf

Shodiqin. 2012. Hubungan antara

Kebersihan Lingkungan Rumah

Tangga dan Kesadaran Ibu


Rumah

Tangga tentang Kesehatan dengan

Tingkat Kesehatan Keluarga di Desa

Pekalongtan Kecamatan Winong

Kabupaten Pati Tahun 2011/2012.

Laporan penelitian: UNS

Yoni Hermawan. 2007. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dan Persepsi


dengan Perilaku Ibu Rumah Tangga dalam Pemeliharaan Kebersihan

14
Lingkungan. Diambil dari:http://www.google.co.id. Diakses pada
bulan April 2015

UUD Negara Republik Indonesia 1945, Penjelasan Umum.

© 2015 Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP

JURNAL ILMU LINGKUNGAN


Volume 13 Issue 1: 36-41 (2015) ISSN 1829-8907

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN ETIKA LINGKUNGAN


DENGAN SIKAP DAN PERILAKU MENJAGA
KELESTARIAN LINGKUNGAN

Azhar, M. Djahir Basyir, Alfitri

Program Studi Pengelolaan Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, email:

azhar.karim38@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang terdiri dari dua variabel bebas
yaitu pengetahuan lingkungan hidup (PLH) dan pengetahuan etika lingkungan (PEL) serta
dua variabel terikat yaitu sikap menjaga kelestarian lingkungan (SMKL) dan perilaku
menjaga kelestarian lingkungan (PMKL). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan antara pengetahuan lingkungan hidup dan etika lingkungan
dengan sikap dan perilaku menjaga kelestarian lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan
pada sekolah menengah (SMA/SMK/MA) di Kota Pagar Alam Sumatera Selatan tahun 2015,
dengan sampel 335 orang yang diambil secara stratified random sampling. Pengumpulan
data primer menggunakan teknik kuisoner dan observasi lapangan. Data dianalisis
menggunakan program SPSS 17.0 dengan statistik deskriptif, uji korelasi dan regresi linear
sederhana serta berganda. Intrumen penelitian menggunakan skala Likert dengan lima
alternatif jawaban. Hasil uji korelasi dan regresi pada taraf signifikan a = 0.05,
mendapatkan empat kesimpulan yaitu : (1) terdapat hubungan positif yang cukup signifikan
antara pengetahuan lingkungan hidup dengan15 sikap menjaga kelestarian lingkungan yang
persamaan garis regresinya Y1 = 0,528X1 + 43,427, dengan nilai koefisien korelasi rx1y1
sebesar 0,506; (2) terdapat hubungan positif yang cukup signifikan antara pengetahuan
etika lingkungan dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan yang persamaan garis
regresinya Y1 = 0,540X2 + 42,825, dengan nilai koefisien korelasi rx2y1 sebesar 0,395; (3)
terdapat hubungan positif yang cukup signifikan antara pengetahuan lingkungan hidup dan
pengetahuan etika lingkungan secara bersama-sama dengan sikap menjaga kelestarian
lingkungan yang persamaan regresinya Y1 = 0,429X1 + 0,261X2 + 32,008, dengan nilai
koefisien korelasi rx1x2y1 sebesar 0,532; (4) terdapat hubungan positif yang cukup signifikan
antara sikap menjaga kelestarian lingkungan dengan perilaku menjaga kelestarian
lingkungan yang persamaan regresinya Y2 = 0,353Y1 + 42,682, dengan nilai koefisien
korelasi ry1y2 sebesar 0,363. Dalam rangka meningkatkan perilaku siswa dalam menjaga
kelestarian lingkungan di sekolah disarankan sekolah untuk memberikan mata pelajaran
pendidikan lingkungan hidup dan etika lingkungan, Dinas Pendidikan menyarankan agar
mata pelajaran muatan lokal diarahkan ke pendidikan lingkungan hidup dan etika
lingkungan, dan agar Badan Lingkungan Hidup mendorong semakin banyaknya sekolah
yang mengikuti program Adiwiyata.

Kata Kunci : Pengetahuan, etika, sikap dan perilaku, lingkungan.

16
1. PENDAHULUAN

Untuk mencegah terjadinya bencana alam, maka perlu langkah strategis dan
berkesinambungan. Salah satu langkah strategis dan berkesinambungan yang dimaksud
adalah pendidikan. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk internalisasi
dan transformasi keyakinan, nilai, pengetahuan dan keterampilan.

Pendidikan khusus tentang lingkungan lebih dikenal dengan pendidikan


lingkungan hidup (PLH). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sejak
tahun 1984 menetapkan bahwa penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan
dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam kurikulum tahun 1984 dengan
memasukkan materi kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam semua mata
pelajaran pada tingkat menengah umum dan kejuruan. Pada kurikulum tahun 2006
(KTSP) pendidikan lingkungan hidup selain terintegrasi ke mata pelajaran lain, juga
diberikan peluang menjadi pelajaran tersendiri melalui mata pelajaran muatan lokal
(mulok). Tidak berhenti pada program pendidikan lingkungan hidup, pemerintah sejak
tahun 2006 melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementrian
Lingkungan Hidup mengembangkan program Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan
(SPBL) yang dikenal dengan program Adiwiyata. Berdasarkan data dari Kementerian
Lingkungan Hidup, sejak tahun 2006 sampai 2011 yang ikut partisipasi dalam program
Adiwiyata telah mencapai 1.351 sekolah dari 251.415 sekolah (SD, SMP, SMA, dan SMK)
Se-Indonesia dan pada tahun 2013, sekolah yang mengikuti program Adiwiyata
meningkat lagi menjadi 4.132 sekolah dari 33 propinsi.

Dengan telah dilaksanakannya program pendidikan lingkungan hidup dan adanya


peningkatan jumlah sekolah penerima penghargaan Adiwiyata, semestinya perilaku
menjaga kelestarian lingkungan juga akan mengalami peningkatan. Namun pada
kenyataannya, berdasarkan pengamatan dibeberapa sekolah baik sekolah yang telah
mendapatkan penghargaan Adiwiyata maupun sekolah yang belum mendapatkan
Adiwiyata, masih banyak para pelajar yang kurang memiliki kesadaran tentang
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sekolah. Masih ditemukan pelajar membuang
sampah sembarangan padahal sudah tersedia tempat sampah.

Ketimpangan ini mendorong peneliti untuk mengetahui apakah terdapat


hubungan antara pengetahuan lingkungan hidup dan etika lingkungan dengan sikap dan
perilaku menjaga kelestarian lingkungan.

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan
rancangan korelasional. Populasi penelitian adalah siswa Sekolah Menengah di Kota
Pagar Alam Sumatera Selatan yang terdiri
17 dari 11 sekolah negeri/swasta dengan jumlah
siswa sebanyak 7.034 orang. Dari populasi 7.034 orang dipilih 335 orang sebagai sampel
penelitian dengan teknik proporsional random sampling.

Siswa yang terpilih sebagai sampel penelitian diberikan angket skala Likert yang
berisi 60 item pertanyaan dengan lima alternatif jawaban. Enam puluh pertanyaan
tersebut dikembang dari empat variabel penelitian. Dua variabel bebas yaitu
pengetahuan lingkungan hidup (PLH) dan pendidikan etika lingkungan (PEL) serta dua
variabel terikat yaitu sikap menjaga kelestarian lingkungan (SMKL) dan perilaku
menjaga kelestarian lingkungan (PMKL).

Data yang diperoleh dari hasil penelitian, dianalisis menggunakan program SPSS
17.0 dengan uji statistik korelasi dan regresi linier sederhana serta korelasi dan
regresi linier berganda.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hubungan Pengetahuan Lingkungan Hidup (X1) dengan Sikap Menjaga


Kelestarian Lingkungan (Y1).

Hasil uji normalitas data pengetahuan lingkungan hidup dan sikap menjaga
kelestarian lingkungan menggunakan metode One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,373 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data
pengetahuan lingkungan hidup dan sikap menjaga kelestarian lingkungan adalah
berdistribusi normal sehingga dapat dilanjutkan uji korelasi linier sederhana.

Data dianalisis menggunakan metode regresi linier sederhana sehingga didapatkan


hasil nilai korelasi (r) sebesar 0,506; nilai konstanta sebesar 43,427; nilai koefisien
pengetahuan lingkungan hidup sebesar 0,528; persamaan regresinya Y 1 = 0,528X1 + 43,427
dan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000.

Dari hasil analisis hubungan pengetahuan lingkungan hidup dengan sikap


menjaga kelestarian lingkungan didapat nilai sig 0,000 < 0,005, ini menjukkan bahwa Ho
18
ditolak dan Ha diterima. Artinya terdapat hubungan positif yang signifikan antara
pengetahuan lingkungan hidup dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan. Semakin
tinggi nilai pengetahuan lingkungan hidup maka akan semakin tinggi juga nilai sikap menjaga
kelestarian lingkungan. Sebaliknya semakin rendah nilai pengetahuan lingkungan hidup maka
akan semakin rendah juga nilai sikap menjaga kelestarian lingkungannya.

Besarnya peningkatan nilai sikap menjaga kelestarian disebabkan oleh


pengetahuan lingkungan hidup, dapat disimulasikan sebagai berikut:

a. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup siswa sama dengan nol, maka besarnya
nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah di Kota Pagar
Alam sebesar 43,427.

b. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup diasumsikan meningkat satu poin maka
nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah Kota Pagar Alam
meningkat menjadi 43,955 atau meningkat sebesar 1,22%.

3.2. Hubungan Pengetahuan Etika Lingkungan (X2) dengan Sikap Menjaga


Kelestarian Lingkungan (Y1).

Hasil uji normalitas data pengetahuan etika lingkungan dan sikap menjaga
kelestarian lingkungan menggunakan metode One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
diperoleh nilai signifikansi 0,289 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data pengetahuan
etika lingkungan dan sikap menjaga kelestarian lingkungan adalah berdistribusi normal
sehingga dapat dilanjutkan analisis stastitik selanjutnya berupa korelasi linier sederhana.

Hasil analisis menggunakan metode korelasi linier sederhana didapatkan hasil nilai
korelasi (r ) sebesar 0,395; nilai konstanta regresi sebesar 42,825; nilai koefisien pengetahuan
etika lingkungan sebesar 0,540; persamaan regresinya dirumuskan dalam persamaan
matematis Y1 = 0,540X2 + 42,825 dan nilai signifikansi sebesar 0,000.

Hasil analisis hubungan pengetahuan etika lingkungan dengan sikap menjaga


kelestarian lingkungan didapat nilai sig 0,000 < 0,005, ini menjukkan bahwa Ho ditolak
dan Ha diterima. Artinya terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan
etika lingkungan dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan. Semakin tinggi nilai
pengetahuan etika lingkungan maka akan semakin tinggi juga nilai sikap menjaga
kelestarian lingkungan. Sebaliknya semakin rendah nilai pengetahuan etika lingkungan
maka akan semakin rendah juga nilai sikap menjaga kelestarian lingkungannya. Sejalan
dengan pendapat Djaelani, M. S., (2011) yang menyatakan bahwa kualitas lingkungan
dipengaruhi oleh etika lingkungan yang dimiliki masing-masing individu.
19
Besarnya peningkatan nilai sikap menjaga kelestarian disebabkan oleh
pengetahuan etika lingkungan, dapat disimulasikan sebagai berikut:

a. Apabila nilai pengetahuan etika lingkungan siswa sama dengan nol, maka
besarnya nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah
menengah di Kota Pagar Alam sebesar 42,825.

b. Apabila nilai pengetahuan etika lingkungan diasumsikan meningkat satu


poin maka nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah
menengah Kota Pagar Alam meningkat menjadi 43,365 atau meningkat
sebesar 1,26%.

3.3. Hubungan Pengetahuan dan Etika Etika lingkungan (X1, X2) Secara
Bersama dengan Sikap Menjaga Kelestarian Lingkungan (Y1).

Hasil uji normalitas data pengetahuan lingkungan hidup, pengetahuan


etika lingkungan dan sikap menjaga kelestatian lingkungan menggunakan metode
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test diperoleh nilai signifikansi 0,454 > 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa data pengetahuan lingkungan hidup, pengetahuan etika lingkungan,
dan sikap menjaga kelestarian lingkungan adalah berdistribusi normal.

Selanjutnya data dianalisis menggunakan metode korelasi linier


berganda sehingga didapatkan hasil nilai r 0,532; nilai konstanta 32,008; nilai
koefisien pengetahuan lingkungan hidup 0,429; koefisien pengetahuan etika
lingkungan 0,261; persamaan regresinya

Y1 = 0,429X1 + 0,261X2 + 32,008 dan signifikansi 0,000.

Berdasarkan hasil analisis hubungan pengetahuan lingkungan hidup dan etika


lingkungan secara bersama dengan perilaku menjaga kelestarian lingkungan didapat nilai sig.
0,000 < 0,005 dan r = 0,532, ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang cukup
signifikan dan mendekati signifikan antara pengetahuan lingkungan hidup dan pengetahuan
etika lingkungan dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan. Apabila nilai pengetahuan
lingkungan hidup dan pengetahuan etika lingkungan mengalami kenaikan maka nilai sikap
menjaga kelestarian lingkungan juga akan ikut meningkat. Sebaliknya, jika nilai
pengetahuan lingkungan hidup dan pengetahuan etika lingkungan mengalami penurunan
maka nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan juga akan ikut menurun.
20
Besarnya peningkatan nilai sikap menjaga kelestarian disebabkan oleh
pengetahuan lingkungan hidup dan pengetahuan etika lingkungan secara bersama-sama
dapat disimulasikan sebagai berikut:

a. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup dan pengetahuan etika


lingkungan siswa sama dengan nol, maka besarnya nilai sikap menjaga
kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah di Kota Pagar Alam sebesar
32,008.

b. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup meningkat satu poin dan


pengetahuan etika lingkungan diasumsikan bernilai nol, maka nilai sikap
menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah Kota Pagar Alam
meningkat menjadi 32,437 atau meningkat sebesar 1,34%.

c. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup dianggap bernilai nol dan


pengetahuan etika lingkungan meningkat satu poin, maka nilai sikap
menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah Kota Pagar Alam
akan meningkat menjadi 32,269 atau meningkat hanya sebesar 0,82%.

d. Apabila nilai pengetahuan lingkungan hidup meningkat satu poin dan


pengetahuan etika lingkungan juga meningkat satu poin, maka nilai sikap
menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah Kota Pagar Alam
meningkat cukup signifikan menjadi 32,698 atau meningkat sebesar 2,16%.

3.4. Hubungan Sikap Menjaga Kelestarian Lingkungan (Y1) dengan

Perilaku Menjaga Kelestarian Lingkungan (Y2).

Hasil uji normalitas data sikap menjaga kelestarian lingkungan dan perilaku
menjaga kelestatian lingkungan menggunakan metode One-Sample Kolmogorov-Smirnov
Test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,193 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data
sikap menjaga kelestarian lingkungan dan perilaku menjaga kelestarian lingkungan juga
berdistribusi normal, sehingga dapat dilanjutkan pada tahap analisis berikutnya yaitu
analisis korelasi linier sederhana.

Hasil analisis menggunakan metode korelasi linier sederhana didapatkan hasil


sebagai berikut: nilai korelasi (r) sebesar 0,363; nilai konstanta sebesar 42,682; nilai
koefisien sikap menjaga kelestarian lingkungan sebesar 0,353; persamaan regresinya
dapat dituliskan Y2 = 0,353Y1 + 42,682 dan nilai signifikansi sebesar 0,000.
21
Berdasarkan hasil analisis hubungan sikap menjaga kelestarian lingkungan
dengan perilaku menjaga kelestarian lingkungan didapat nilai sig 0,000 < 0,005, hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap menjaga
kelestarian lingkungan dengan perilaku menjaga kelestarian lingkungan. Dimana semakin
tinggi nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan maka akan semakin tinggi juga nilai
perilaku menjaga kelestarian lingkungan. Berlaku sebaliknya semakin rendah nilai sikap
menjaga kelestarian lingkungan maka akan semakin rendah juga nilai perilaku menjaga
kelestarian lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Combs A. W. dalam Sukarjo M
dan Komarudin U. (2009) yang menyatakan bahwa apabila ingin mengubah perilaku
siswa, guru harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan siswa tersebut.
Pandang siswa tersebut erat kaitannya dengan sikap siswa, seperti sebagaimana
pengertian sikap yang dikemukan oleh Notoadmodjo (2003) bahwa sikap (attitude)
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau obyek.

Besarnya peningkatan nilai perilaku menjaga kelestarian yang disebabkan oleh


nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan, dapat disimulasikan sebagai berikut:

a. Apabila nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan siswa sama dengan nol, maka
besarnya nilai perilaku menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah di
Kota Pagar Alam sebesar 42,682.

b. Apabila nilai sikap menjaga kelestarian lingkungan diasumsikan meningkat satu poin
maka nilai perilaku menjaga kelestarian lingkungan siswa sekolah menengah Kota Pagar
Alam meningkat menjadi 43,035 atau meningkat sebesar 0,83%.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan studi korelasi antara variabel pengetahuan


lingkungan hidup dan pengetahuan etika lingkungan dengan sikap menjaga kelestarian
lingkungan dan perilaku menjaga kelestarian lingkungan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:

1. Pengetahuan lingkungan hidup memiliki hubungan positif yang cukup signifikan


dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan;

2. Pengetahuan etika lingkungan memiliki hubungan positif yang kurang signifikan


dengan sikap menjaga kelestarian22
lingkungan;
2. Pengetahuan lingkungan hidup dan etika lingkungan secara bersama-sama memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan sikap menjaga kelestarian lingkungan;

3. Sikapmenjaga kelestarian lingkungan memiliki hubungan positif yang cukup


signifikan dengan perilaku menjaga kelestarian lingkungan.

3. SARAN Saran teoritis

Untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pendidikan


lingkungan hidup dan etika lingkungan terhadap sikap dan perilaku menjaga
kelestarian lingkungan, sehingga ditemukan model pendidikan lingkungan
hidup dan etika lingkungan yang tepat untuk masing-masing daerah.

Saran praktis

Dalam rangka meningkatkan perilaku siswa dalam menjaga kelestarian


lingkungan di sekolah maka disarankan:

2. Pihak sekolah untuk memberikan

mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup dan etika lingkungan kepada


siswa-siswanya.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Dinas Pendidikan untuk membuat


edaran kepada sekolah-sekolah agar mata pelajaran muatan lokal diarahkan
ke pendidikan lingkungan hidup dan etika lingkungan.

4. Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Badan Lingkungan Hidup untuk


mendorong semakin banyaknya sekolah yang mengikuti program Adiwiyata
dan memberikan penyuluhan secara rutin ke sekolah-sekolah.

5. Orang tua siswa untuk memberikan pembiasaan-pembiasan di rumah

dalam rangka meningkatkan perilaku anak dalam menjaga kelestarian


lingkungan

23
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad M., (2010). Pendidikan Lingkungan Hidup dan Masa Depan Ekologi
Manusia. Jurnal Forum Tarbiyah Vol. 8 No. 1.

Djaelani, M. S., (2011). Etika Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Econo
Sains. Vol IX. No 1.

Gurdjita., 2008. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal dan Sikap Warga Dengan
Perilakunya Dalam Pemeliharaan Kebersihan Lingkungan. Jurnal Paedagogi Vol. 4 No.
2: 53-67.

Hamzah, S., 2013. Pendidikan Lingkungan: Sekelumit Wawasan Pengantar. Bandung: Refika
Aditama.

Keraff, S. A., 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Kumurur, V. A., 2008. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa Pascasarjana Ilmu
Lingkungan Terhadap Lingkungan Hidup Kota Jakarta. Jurnal Ekoton Vol. 8, No.2:1-
24.

Mulyana R.,2009. Penanaman Etika Lingkungan Melalui Sekolah Perduli dan Berbudaya
Lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed Vol. 6 No. 2: 175-180.

Priyanto, D., 2009. SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi dan Multivariate. Yogyakarta: Gava
Media

Priyanto Y., dkk. 2013. Pendidikan Berperspektif Lingkungan Menuju Pembangunan


Berkelanjutan. Jurnal Wacana Vol. 16 No. 1: 41-51.

Siregar, S., 2013. Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi
Aksara.

Sugiyono, 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukardjo, M dan Ukim K., 2009. Landasan Kependidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Bumi
Aksara.

Sigit, S., 2003. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Bagian Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Sabo, H. M., 2010. Why an Early Environmental Education?. Present Environment


and Sustainable Development, NR. 4: 263-268.

24
International Journal of Environmental Monitoring and Analysis

2014; 2(6): 297-301

Published online November 17, 2014


(http://www.sciencepublishinggroup.com/j/ijema) doi:
10.11648/j.ijema.20140206.11

ISSN: 2328-7659 (Print); ISSN: 2328-7667 (Online)

Effect of environmental pollution on


oxidative stress in African catfish
(CLARIAS HETEROBRANCHUS)

Achuba Fidelis Ifeakachuku1, Ebokaiwe Peter1, Peretiemo-Clarke Beatrice O.2

1
Department of Biochemistry, Delta State University, PMBI Abraka Nigeria
2
Department of Chemistry, Delta State University, PMBI Abraka Nigeria

Email address:

achubabch@yahoo.Com (Achuba F. I.)

To cite this article:

25
Achuba Fidelis Ifeakachuku., Ebokaiwe Peter, Peretiemo-Clarke Beatrice O.. Effect of Environmental Pollution on
Oxidative Stress in African Catfish (Clarias heterobranchus). International Journal of Environmental Monitoring
and Analysis. Vol. 2, No. 6, 2014, pp. 297-301. doi: 10.11648/j.ijema.20140206.11

Abstract: Oxidative stress biomarkers: levels of Lipid peroxidation as well as changes in catalase and
superoxide dismutase activities were investigated in tissues of African catfish, C heterobranchus inhabiting
Warri River. Data were compared to those of reference hatchery. Lipid peroxidation products in fish from the
midstream and downstream parts of the river were significantly (P < 0.05) different from fish collected from
upstream. Similarly, lipid peroxidation products in tissues of fish from midstream and downstream parts of
the river were significantly (P<0.05) different from fish in the reference hatchery. No significant difference
was observed between fish in the upper part of the river and those from reference hatchery. Similar to lipid
peroxidation, the activities of antioxidant enzymes, catalase and superoxde dismutases (SOD) were
significantly (P < 0.05) different in fish from midstream and down stream parts of the river compared to fish
collected from upstream and reference hatchery. The elevated levels of lipid peroxidation, catalase and
superoxide dismutase activities in all tissues examined in C heterobranchus could be a reflection of oxidative
stress on the fish.

Keywords: Catalase Activity, Fish, Lipid Peroxidation, Superoxide Dismutase Activity

26
1. Introduction

The River Warri is an important river in the Niger Delta of southern Nigeria. The economic
importance of the river is predicated on its rich biota (Egborge 1986; Egborge and Tawarri 1987; Opute
1991, Tetsola and Egborge 1991; Ikomi 1995) that provide various kinds of fishes for human
consumption, means of inland water transport for most communities in the region and the site of a large
port at Forcados (Ikomi 2000). However, the river is highly polluted due to the presence of oil /
petrochemical complex (Egborge 1991), enormous oil exploration activities in Warri and its environs
and discharge of domestic and other industrial effluent into the river (Egborge, 1991).

The extent of pollution of Warri Rivers has been monitored by an array of the scientific communities
(Atuma and Egborge, 1986 Egborge 1991; 1994)culminating in changes in water quality indices (Egborge
and Benka – Coker, 1986; Ikomi 1993; 2000) and bioconcentratin of trace metals in fish (Kakulu et al 1997;
Ezemonye 1992; Agada, 1994).

Fish in natural environment are often exposed to a variety of stressors that can adversely affect their
health. Thus, there is a need to develop tools to assess environmental related stress in fish (Afonso et
al 2003). Some of the biondicators of stress in fish include increase in levels of plasma cortisol,
glucose and lactate (Barton and Iwama, 1991); induction of heat shock protein (Iwama et al 1999);
glucose and drug metabolizing enzymes (Isamah and Asagba, 2004).

The induction of oxidative stress in fish by polluted environment is well documented (Bainy et al
1996; DiGuilio et al 1989; Hai 1997). This study reports on oxidative stress on Clarias heterobranchus
from Warri River in southern Nigeria.

2. Materials and Method

2.1. Study Area

The study area is Warri River. It is located between latitude 5 0211-60.001N and longitude 50251E. The
river took its source at Utagba – Uno and flow towards south west through Eziokpor, Amai, Otorho – Abraka,
Warri and emptying into the sea at Forcados (Tetsola and Egborge, 1991).

The fishes, Clarias heterobranchus were obtained from the upper, middle and near the lower course
of the Warri River between August and September, 2004. The fishes were caught using instrument
made locally. They were transported alive to the laboratory and allowed to stabilize for one week
before they were dissected to extract organs and tissues of interest. Similar fish of comparable size
were obtained from a commercial fish pond located in Abraka and were used as control. The fishes
were sorted and duly identified by the Department of Zoology, Delta State University, Abraka, Nigeria.

A total of 30 samples of mature size-matched male C heterobranchus (average wet weight 340+5g
and average wet length 38.7+3.2cm) were collected from each site. Males were chosen for this study in
order to be sex specific since biomarkers have been found to be sex related (Afonso et al 2003). All the
reagents used were of analytical grade.

2.2. Methods

2.2.1. Preparation of Extract for the Determination of Lipid Peroxidation

Of the isolated organs 0.5g were separated and homogenized with 10ml of ice-cold 0.05M phosphate
butter pH 7.0 containing 1% (w/v) Triton X-100, excess butylated hydroxyl toluene (BHT) and a few
crystals of protease inhibitor, phenylmethylsulfonyl fluoride using an MSE blender immersed in ice.
Triton X-100 solubilizes membrane-enclosed organells while BHT prevents in vitro oxidation of lipid
during homogenization. The extract was centrifuged at 7000g for 20 min (4 0C). The supernatant (S1)
was used for the determination of lipid peroxidation by the method of Hunter et al (1963) as modified by
Gutteridge and Wilkins (1982).

2.2.2. Extraction and Assay of Catalase

27
Catalase was measured with a similar (S1) fraction after addition of 1% (V/V) of ethanol and
incubation at 40C for 15 min. This treatment is reported to reverse the inactivation of catalase, which
takes place, by the formation of compound 11 (Cohen et al, 1970). Catalase activity was determined
according to Beers and Sizer (1952) by measuring the decrease in the H 202 concentration, at an
absorbance of 240nm. An extinction coefficient for H 202 of 40M-1 cm-1 (Abei, 1974) was used in the
calculation.

2.2.3. Extraction and Assay of Superoxide Dismutase

An aliquot of the supernatant (S1) was precipitated on ice with 0.30 volume of chloroform/ methanol
(3:5v/v) stirred for 20min and centrifuged at 7000g at 4 0C. The obtained supernatant (S2) was used for
the assay of superoxide dismutase (SOD) activity, which was based on its ability to inhibit the oxidation
of epinephrine by superoxide anion (Aksnes and Njaa, 1981). One unit of superoxide dismutase activity
is defined as the amount of enzyme required for 50% inhibition of the oxidation of epinephrine to
adrenochrome at 480nm per min (Misra and Fridovich, 1972). Manganese dependent SOD was
analyzed in the presence of 1mM NaCN to suppress Cu-ZnSOD activity and the cytosolic Cu-ZnSOD
activity was determined as the difference between total and cyanide – sensitive enzyme activity (Crapo
et al, 1978). The enzyme activities were assayed with an SP 1800 UV/VIS Spectrophotometer.

3. Statistical Analysis

All the results were expressed as means ±SE and all data were analyzed using Analysis of variance
(ANOVA). Significant difference between the control and polluted sites means were determined at
5% (P < 0.05) confidence level using Duncan’s Multiple Range Test.

4. Results and Discussion

Oxidative stress biomarkers were studied in the muscle, liver, kidney, heart and intestinal tract of
African catfish, C heterobranchus from Warri River and comparable fish from a local fish hatchery
which served as control. Oxidative stress biomarkers were lipid peroxidation, catalase and superoxide
dismutase activities. The results showed that lipid peroxidation was significantly (P<0.05) higher in all
the organs/tissues from Warri River compared to fish from reference hatchery (table 1). Similarly, the
level of lipid peroxidation products in fishes collected in the lower sector of the river were significantly
(P<0.05) higher than those of fishes collected from the upper sector (table 2). This observation is
consistent with the report of Fatima et al (2000) and Achuba (2002).

Table 1. Levels of lipid peroxidation in organs of catfish from Warri River and control. Level of lipid peroxidation (µmolml-1).

Organ/tissue Control Upper Middle Lower

Liver 6.6+2.21 6.7+1.4 10.5+2.5 13.6+1.8a

b b a c
Gills 3.38+0.28 3.21+1.1 8.80+1.5 16.7+2.3

Muscle 4.38+0.34 3.86+1.3 5.32+1.2 5.89+1.6

Brain 6.56+0.42 5.11+2.1 23.2+1.5 26.14+1.5

Kidney 4.49+078 4.12+0.3 6.3+1.4 9.13+2.2

c c c c
Intestinal 11.13+0.48 8.11+1.8 17.21+1.5 24.4+1.6

tract

Heart 4.38+0.83 5.13+1.6 7.55+1.7 12.6+1.9

28
Values are means + SE of determinations for five fishes. Mean with different superscript letters in the same row are
significantly different at P < 0.05

Lipid peroxidation has been used as a measure of xenobiotic-induced oxidative stress in fish and
these include lipid perroxidation in Atlantic croacks (Thomas et al 1993); Indian catfish (Parihar and
Dubey, 1995) and Channel catfish (DiGuilio et al 1993). Moreover, increase in lipid peroxidation has
been reported in fish exposed to polluted environment (Munkittrick et al 1998; 2000. Fatima et al
2000).Besides acting as a mediator in oxidative stress, higher levels of lipid peroxidation products can
adversely affects cellular functions (Munkittrick et al 1998; 2000) and adduct with proteins and DNA
which may predispose the cell to mutagenesis and carcinogenesis (Bailey et al, 1992; 1996).

The activities of superoxide dismutase and catalase were higher in fish from Warri River relative to
fish from reference hatchery (Table 2 and 3). Like lipid peroxidation, the activities of these antioxidant
enzymes were higher in fishes collected from downstream compared to those obtained from upstream.
This result is consistent with earlier observations (Achuba 2002; Fatima et al 2000; Livingstone, 2001).A
Previous report indicated that in response to increased levels of reactive oxygen species and oxidative
damage, cells will usually increase the accumulation of a number of enzymatic antioxidants (Downs et al,
2002). Cu/ZnSOD and MnSOD are some of the markers of cellular responses to increased reactive
species and have been found to accumulate in response to oxidative stress (Downs et al 2002). Similar
responses have been reported in aquatic species in an environment with a history of exposure to
xenobiotic causing oxidative stress (Rodriquez-Ariza et al 1995; Otto and Moon, 1996). Exposure to
xerobiotics has been reported to greatly induce production of reactive oxygen species (Gokaoyr and
Husay 1998; Livingstone 2001).

Table 2. Superoxide dismutase activities in organs of catfish from Warri River and control. Superoxide dismutase activities
(Unitsg 1wet wt).

Organ Total SOD Cu/2nSOD MnSOD

+ + +
Control 669.3 30 a 568.9 24 a 100.4 13a
+ + +
Liver Upper 652.8 60 c 556.1 22 c 96.8 33 c

+ + +
Middle 875.9 29 c 744.6 25 c 131.4 40 c

Lower 946.1+41 798.2+35 146.7+50

+ + +
Control 437.4 60 a 374.0 50 a 63.4 10 a

29
+ + +
Gills Upper 421 3.100 c 360.1 63 c 61.3 32 c

Middle 591.1+101 508.6+84 82.5+17

Lower 682.6 +35 c 591.1 + 63 c 913+33


c

+ + +
Control 247.4 35 a 207 80 a 39.0 40 a

+ + +
Muscle Upper 251.5 30 c 201 70 c 48.3 65 c

+ + +
Middle 343.3 29 c 288 24 c 54.9 50 c

Lower 351.1+53 292+12 58.8+34

Control 328.7+135a 269.5+111 a 59.2+24 a

Brain Upper 316.5+77 c 258.1+126 c 58.2+33 c

Middle 467.2+169 383.1+139 84.1+30

c c c
Lower 482+121 398.3+101 84.8+22
Control 740.2+145 621.8+122 118.4+23

b b b

Kidney Upper 673.3+102 c 578.3+89 c 103+44 c

Middle 839.3+222 705.0+10.6 134.3+36

c c c
Lower 878.8+156 746.8+117 138.0+22

+ +
Control
217.4+33 a 180.5 27 a 36.95 60 a
+ +
Intestinal Upper 214.6+26 c 173.4 18 c 41.30 11 c
+ + +
tract Middle
371.8 35 c 308.6 29 c 63.21 60 c
Lower 383.9+77 311.7+38 71.11+35

+ + +
Control 1589.1 38 b 1318.95 32b 270.15 60a

+ + +
Heart Upper 1504.0 44 c 1238.0 66 c 266.1 80 c
+ + +
Middle 3258.5 57 c 2704.55 47 c 553 100 c

Lower 3867.4+67 3285.6+101 581+110

Values as means + SE of determinations from five fishes. Mean with different superscript letters in the same row are
significantly different at P < 0.05.

Previous reports have implicated SOD and catalase as working in tandem to dismutate oxygen radicals at
physiological conditions (Achuba and Osakwe 2003). SOD converts superoxide anions to hydrogen
peroxide which is broken down to oxygen and water by catalase (Voet and Voet, 1990). It is, therefore, no
surprise for the observed increase in catalase activities in all the studied organs (Table 2).
Pollution-induced increase in the activity of catalase had been reported earliar by some investigators
(Rodriquez-Ariaze et al 1993; Hasspieler et al, 1994, Isamah et al, 2000).

In generally, total superoxide dismutase and catalase activities have been reported as a potent
mediator in chemical stress in fish (Achuba and Osakwe, 2003). Simirnoff (1993) found that an
increase in the capacity of antioxidant defense in response to an increased level of reactive oxygen
represents an indirect measure of oxidative stress. Fatima et al (2003) reported a significant increase in
extra-hepatic oxidative stress in tissues such as kidney and gill of fish exposed to pulp and paper mill
effluents. The higher value of antioxidant enzyme activities in fishes collected from the middle sector
of the river relative to fish from reference hatchery and from the upper sector predicts that the fish
collected in these regions of Warri Rivers are experiencing oxidative stress. The difference in the
activity of these enzymes is a function of its environment and this has been established by
Izokun-Etoibhio et al (1990).

30
It is relevant to conclude that a polluted environment could result in increase lipid peroxidation,
superoxide dismutase and catalase activities in tissues of C heterobranchus. On the whole, the results
presented suggest that environmental pollution could act as a mediator in the induction of oxidative
stress in C heterobranchus.

Table 3. Catalase activities in organs of catfish from Warri River and control.

Catalase activities (µmolmin –1g-1 tissue).

Organ/tissue Control Upper Middle Lower

Liver 83.+2.0 78.6+4.1 272.3+2.3 361+5.6

Gills 73.0+1.5 75.1+3.3 178.0+10.8 182+4.3

Muscle 46.1+1.9 48.3+2.5 138+9.3 153. +5.0

Brain 21.4+0.5 23.0+1.1 47.47+5.1 52.3+2.1

Kidney 64.0+1.7 62.1+3.2 146.0+11.3 167.8+6.6

Intestinal tract 72.0+1.3 76.3+5.4 183.4+1.7 203+12

Heart 93.4+1.5 89.6+3.7 205+1.9 242+6.6

Values are means + SE of determination from five fishes. Means with different superscript letters in the same row are
significantly different from each other at P<0.05.

References

4. Achuba F. I.2002, Superoxide dismutase and lipid peroxidation level in fish from the Ethiope River in
Southern Nigeria. Bull Environ Contam Toxicol 69(6):892-889.

5. Achuba F.I. and Osakwe S.A.2003, Petroleum induced free radical toxicity in Africa catfish (Clarias
gariepirus). Fish Physiol Biochem. 29(29):97-103.

6. Aebi, H. 1974. Catalase. In methods of enzymatic analysis (Brgmeyer, H.U (Ed) Academic Press, New
York. pp. 673 – 684.

7. Aksnes, A. and Njaa, R.L. 1981. Catalase, glutathione peroxidase and superoxide dismutase in different
fish species. Comp. Biochem, Physiol, 69B: 893 896.

8. Agada E.G.O.1994, heavy metal concentration in selected fish fauna of Warri River and its tributaries PhD
Thesis, University of Benin Nigeria

6. Afonso L.O. Basun, B., Nakano K., Delvin R. H and Iwama G. K.2003.sex-selected differences in
organismal and cellular stress response in juvenile salmon exposed to treated bleached kraft mill effluent.
Fish Physiol Biochem 29: 173 – 179.

7. Atuma S. O. and Egborge ABM 1986 Insecticide and metal in Nigerian surface water- Warri River. Inter J.
Environ Studies. 27:139-142.

31
8. Bainy A.C.D. Saito E., Cavalho P.S. M and Junqueria V.B.C 1996. Oxidative stress in gill, erythrocytes,
liver and kidney of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) from polluted site. Aquatic Toxicol (Amst) 34:151 –
162.

9. Bailey G.,HendrickJ. and Dashwood R.1992. Anticarcinogenesis in fish. Mutat Res 267:243-250.

10. Bailey G.S., Williams D.E. and Hendrick J.D. 1996. Fish model for environmental carcinogenessis: the
rainbow trout. Environ Health Perspect 104 (suppl. 1): 5-21.

11. Barton B. A. and Iwama G. K.1991. Physiological changes in fish from stress in aquaculture with the
emphasis on the response and effects of corticosteroids. Ann Rev. Fish Dis 1:3-26.

12. Beers, R.F. and Sizer, I.W. 1952. A spectrophotometric method for measuring the breakdown of hydrogen
peroxide by catalas. J Biol. Chem. 195: 133 – 104.

13. Chukwogo E.I. (1990) Effects of industrial activities in Warri area of the surface water quality. Msc Thesis,
University of Benin, Nigeria.

14. Cohen, G., Dembiec, D. and Marcus, J. (1970) Measurement of catalase activity in tissue extracts. Analyt.
Biochem. 34: 30

– 38.

15. Conway J.G., Tomaszewski K.E. Olso M.J., Cattley R.C., Marsman D. S. and Popp J. A.1989. Relationship
of oxidative damage to the hepatocarcinogenicity of the peroxisome proliferators di (2-ethylhexyl) pthalate
and Wy-14,643. Carcinogenesis 10:513-519.

16. Crapo. J.D. Mc Cord. J.M. and Fridovich, I. 1978. Preparation and assay of superoxide dismutases. Meth.
Enzyme 53: 328 – 393.

17. DiGuilio R.T., Washburn P.C, Wenneing R.J, Winstor G.W. and Jewell C.S 1989 Biochemical responses in
aquatic animals: a review of determinants of oxidative stress. Environ Toxicol Chem. 8:1103- 1123.

18. DiGuilio R.T, Habig C. and Gallagher E.P. 1993. Effects of black rock harbor sediment on indices of
biotransformation, oxidative stress and DNA integrity in channel catfish. Aquatic Toxicol 26:1-22.

19. Downs C.A, Shigenaka G., Fauth J.E, Robinson C.E. and Huang A 2002 Cellular physiological assessment
of Bivalves after chronic exposure to spilled Exxon Valdez crude oil using a novel molecular diagnostic
biotechnology. Environ Sci Technol 36 (13) 2987-2993.

20. Egborge A.B.M, and Benka-Coka J. 1986. Water quality index. Application in Warri River Environ Pollut
12:27-40.

21. Egborge A.B.M, 1994. Water Pollution in Nigeria (I) Biodiversity and Chemistry of Warri River. Ben Miller
Publishers Warri.

nd
22. Egborge A.B.M, 1991. Industrialisation and heavy metal pollution in Warri River. 32 Inangural Lecture.
University of Benin City, Nigeria 22pp.

3. Egborge A.B.M and Tawari P.L. 1987. The Rotifera of Warri River, Nigeria. J. Plankt Res 9:1-3.

4. Ezemonye LIN 1992 Heavy metals concentration in water, sediment and selected fish fauna in the Warri
River and its tributaries. Ph.D Thesis, University of Benin.

32
5. Fatima M, Ahmad I, Sayeed I Athar M and Raisuddins 2000. Pollutant- induced over-activation of
phaqucytes is concomitantly associated with peroxidative damage in fish tissues. Aquatic Toxicol 49:243-
250.

6. Gutteridge, J.M.C. and Wilkins S. 1982. Copper dependent hydroxyl radical damage to ascorbic acid. Fed.
European Society Letters. 137: 327 – 327.

7. Hai D.Q, Varga S.I. and Matkovics B.D. 1997 Organs phosphate effects on antioxidants system of carp
(Cyprinus capis) and catfish (Ictalurus nebulosus) Comp Biochem Physiol C. Pharmacol Toxicol Endocrinol.
117: 83-88.

8. Hasspieler B.M, Behar J.V, Carlson D.B, Watson D.E. and DiGiulio R.T. 1994 Susceptibility of Channel
catfish (Ictalurus punctatus) and brown bullhead (Ameruirus nebulosus) to oxidative stress: a comparative
study. Aquatic Toxicol. 28:53-64.

9. Hunter, F.E., Gebicki, J.M., Hoffstein, P.E., Weinstein, J. and Scott A. 1963 Swelling and Iysis of rat liver
mitochondria induced by ferrous ion. J. Biol. Chem. 238, 847 851.

10. Ikomi R.B. 1993. Studies on the ecology of the clupeid (Pellonula leonensis Reagan 1917) in the River Warri
(Niger-Delta Nigeria) Acta Hydrobiol 35:381-398.

11. Ikomi R.B. 1995 Studies on the growth pattern, feeding habits and reproductive characteristics of the
Mornysid Brienomyrus longianalis (Boulenger 1901) in the Upper Warri River Nigeria. Fisheries Res
26:187-198.

12. Ikomi R.B and Emuh C.T 2000 studies of the status of the physico- chemical hydrology of Upper Warri
River (Niger - Delta Nigeria) Nigeria J. Sci Environ 2:75-86.

13. Isamah G.K and Asgba S.O. 2004. A Comparative study on the archives of zanthine oxidase and aldehyde
oxidase in different fish species from two rivers in the Western Niger-Delta. Environ Monitor Assessm 91
(1-3) 293-300.

14. Isamah G.K, Asagba S.O. and Coker H.A (2000). Comparative evaluation of the levels of some antioxidant
enzymes and lipid peroxidatoin in different fish species in two rivers in Western Nigeria. Bull Environ Contam
Toxicol. 65 (3): 351- 356.

15. Iwama, G.K, Vijayanm M.M, Forsyth R.B and Ackjerman, P.A. 1999. Heat Shock proteins and physiological
stress in fish. Am Zool. 39:901- 909.

16. Izokun-Etiobhio, B.O, Oraedu A.C.I,and Ugochkwu E.N. 1990. A Comparative Study of Superoxide
dismutase in various animal species. Comp Biochem Physiol. 95:521-523.

17. Kakulu, S.E, Osibanjo, O. and Ajayi S.O. 1987 Trace Metals content of fish and shell fishes of the
Niger-Delta Area of Nigeria. Environ Int. 13:247-251.

18. Livingstone, D. 2001 Contaminant-stimulated reactive oxygen species production and oxidative damage in
aquatic organisms Mar Pollut Bull 42:656-666.

33
5. Misra, H.P. and Fridovich, I. 1972. The role of superoxide ion in the auto- oxidation of epinephrine and a
simple assay for superoxide dismutase, J. Biol. Chem. 247: 3170-3175.

6. Munkittrick, K.R, McMaster, M.E, McCarthy L.H Servas, M.R, and Van Der Kraak G.J 1998. An
Ovberview of recent studies on the potential of pulp-mill effluents to alter reproductive parameters in fish. J
Toxicol Environ Health Part B1:347-317.

7. Munkittrick, K.R, McMaster, M.E, Van Der Kraak G.J, Portt C, Gibbons, W.N., Fawell A, and Gary M. 2000
Development of methods for effects-driven cumulative effects assessment using fish pollutions: Moose River
project. Published by the society of Environmental Toxicology and Chemistry (SETAC) 256 pp.

8. Opute F.I 1991 A checklist of the freshwater, brackish and Marine phytoplankton of the Warri / Forcades
estuaries of Southern Nigeria. Nigerian J Bot 208:101-109.

9. Otto, D.M.E and Moon T.W. 1996 Phase I and II enzymes and antioxidant responses in different tissues of
brown bullheads from relatively polluted and non-polluted systems. Arch Environ Contam Toxicol
31:141-147.

2. Parihar, M.S. and Dubey A.K. 1995. Lipid peroxidation and ascorbic acid status in respiratory organs of Male and
Female freshwater catfish Heteropneustes fossilis exposed to temperature increase. Comp Biochem Physiol C 112:
309-313.

3. Rodriquez-Ariza, A, Peinado J, Pueyo C. and Lopez - Barea J. 1993. Biochemical indicators of oxidative
stress in fish from polluted littoral areas. Can J. Fish Aquat Sci 50:2568-2573.

4. Smirnoff, N. 1993. the role of active oxygen in response to water deficit and desiccation. New Phytol
125:27-58.

5. Tetsola, E.A. and Egborge, A.B.M 1991. Salinity and seasonality of fishes in Warri River Nigeria. Tropical
Ecology 32:186-196.

6. Thomas, P and Wofford H.W. 1993. Effects of cadmium and aroclor 1254 on lipid peroxidation, glutathione
peroxidase activity, and selected antioxiadants in Atlantic Croaker tissues. Aquatic Toxicol 27:159-178.

7. Voet D and Voet J.G. 1990 Biochemistry. John Willey and sons, New York pp 10-11

34
BAB 2
Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol. 4 No. 9

ISSN 2354-614X

Penerapan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan


Hasil Belajar Siswa Pada Materi Gaya Magnet di Kelas V
SDN 2 Labuan Lobo Toli-Toli

Andi Rahmi

Mahasiswa Program Guru Dalam Jabatan


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako

ABSTRAK

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar siswa


pada materi gaya magnet. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami
materi tersebut, karena guru ketika mengajar hanya menggunakan metode
ceramah dan mendikte sehingga timbul kebosanan pada diri siswa. Untuk
mengatasi masalah ini, peneliti menggunakan pendekatan kontekstual.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi gaya melalui penerapan pendekatan kontekstual di kelas V SDN 2
Labuan Lobo Tolitoli. Penelitian ini mengikuti jenis penelitian tindakan
kelas yang bersiklus meliputi perencanaan, pelaksanaan tindakan,
35
observasi, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus
I pertemuan 1 dengan materi benda magnetis dan benda non magnetis, serta
pertemuan 2 dengan materi kekuatan sebuah magnet. Hasil tes siklus I
persentase ketuntasan klasikal adalah 41,66%, jumlah siswa yang tuntas
sebanyak 5 siswa dari 12 siswa dengan nilai rata-rata siswa 68,75.
Sedangkan siklus II untuk pertemuan 1 dengan materi medan magnet dan
sifat-sifat magnet dan pertemun 2 dengan materi cara membuat magnet
sementara. Hasil belajar tes siklus II menunjukkan persentase ketuntasan
klasikal mencapai 100%, jumlah siswa yang tuntas sebanyak 12 siswa dari
12 siswa dengan nilai rata-rata siswa 93,33. Dengan demikian bahwa
penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada materi gaya magnet di kelas V SDN 2 Labuan Lobo Tolitoli.

Kata Kunci: Pendekatan Kontekstual, Hasil Belajar, Gaya Magnet

e. PENDAHULUAN

IPA pada hakikatnya merupakan ilmu yang mempelajari tentang


gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis dan analitis untuk
menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses
penemuan dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2006). Selain itu,pembelajaran IPA
merupakan sarana untuk melatih dan mengasah kemampuan berpikir kritis
siswa untuk mengaktualisasikan diri dalam memahami fenomena-fenomena
alam yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Pembelajaran IPA sangat tergantung dari kemampuan guru dalam


melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan
guru adalah seorang sutradara yang merencanakan, melaksanakan dan
melakukan penilaian dalam pembelajaran di kelas.

Dalam kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) menyebutkan bahwa


salah satu kajian materi yang dipelajari di sekolah dasar khususnya materi
di kelas V semester II (dua) adalah gaya magnet. Materi ini merupakan
pembelajaran yang di dalamnya menyangkut berbagai hal tentang benda
magnetis dan benda non magnetis, kekuatan magnet, medan magnet,
sifat-sifat magnet, jenis-jenis magnet, dan bagaimana cara membuat
magnet sementara.

Fenomena yang terjadi di kelas V SDN 2 Labuan Lobo Tolitoli


dalam pembelajaran gaya magnet, hasil belajar siswa masih rendah. Hal ini
terlihat dari hasil tes awal, dimana 1 siswa mendapat nilai 70, 4 siswa
36
mendapat nilai 60, 4 siswa mendapat nilai 50 dan 3 siswa mendapat nilai 40.
Rata-rata nilai yang diperoleh siswa pada tes awal adalah 52,50.
Rendahnya hasil belajar siswa pada materi gaya magnet disebabkan
beberapa hal, salah satunya faktor guru.

Berdasarkan pengalaman, guru menggunakan pendekatan


pembelajaran yang kurang tepat yang dapat menimbulkan kebosanan,
kurang dipahami, dan monoton. Guru lebih banyak mendikte mengenai
materi magnet, diantaranya guru menyebutkan contoh benda-benda yang
termasuk benda magnetis dan non magnetis maupun sifat-sifat magnet
tanpa melalui sebuah percobaan. Guru juga kurang memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya dengan
menghubungkannya dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungan
sekitar dimana siswa bertempat tinggal.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang tepat untuk


meningkatkan hasil belajar pada materi gaya magnet di SDN 2 Labuan
Lobo Tolitoli adalah pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual
adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam
kelas, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai
bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sebagai anggota
masyarakat.

Johnson, 2002 (Kunandar, 2007) mengartikan pembelajaran


kontekstual sebagai suatu proses pembelajaran yang bertujuan membantu
siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan
cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari,
yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial dan budayanya. Selain itu,
Elaine (2006) mengemukakan bahwa CTL melatih anak berfikir kreatif
menghubungkan sesuatu yang tampak tidak berhubungan sehingga
menemukan pola baru dalam berfikir.

Guru dituntut bertanggung jawab untuk menjadi fasilitator dan


pembimbing dalam mengajar dan mengelola kelas. Ada beberapa hal yang
dilakukan oleh guru berkaitan dengan penerapan pendekatan kontekstual
pada pembelajaran IPA, yaitu:

37
9. Menciptakan tugas yang dikehendaki anak-anak, sehingga
memungkinkan anak-anak mampu menunjukkan keterlibatan personal
yang tinggi.

10. Kegiatan pembelajaran hendaknya dilandasi oleh rasa ingin tahu siswa

11. Penciptaan proses pembelajaran hendaknya memungkinkan


anak-anak dapat mengembangkan sensitivitasnya terhadap berbagai
masalah dan tantangan

12. Kegiatan pembelajaran yang perlu ditegakkan adalah pengalaman


belajar yang memberikan kelonggaran bagi anak untuk melakukan
elaborasi dalam berfikir

13. Selama proses pembelajaran hendaknya dihindari perilaku juga


mental dari guru, sebaiknya perlu dikembangkan sikap apresiatif.

14. Pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa, hendaknya


memungkinkan siswa bebas melakukan eksperimen

IPA merupakan ilmu yang mencari tahu tentang alam secara


sistematis,

sehingga diharapkan dapat dijadikan wahana bagi siswa untuk


mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya. Salah satu materi IPA yang
dianggap sulit untuk dipahami adalah materi gaya magnet. Hal ini
disebabkan karena guru kurang mengaitkan materi pelajaran dengan
kehidupan nyata yang dialami siswa.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu adanya


pendekatan pembelajaran yang tepat. Salah satunya adalah dengan
pendekatan kontekstual. Dalam pembelajaran kontekstual terdapat
beberapa komponen yang sangat penting yaitu konstruktivisme, inkuiri,
bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian
sebenarnya. Dengan dasar inilah sehingga peneliti menjadikan sebagai
landasan berpikir bahwa dengan pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN 2 Labuan Lobo Tolitoli
pada materi gaya magnet.

4. METODE PENELITIAN
38
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Kemmis dan Taggart (Wardani, 2007) yang menyatakan bahwa proses
penelitian dalam tindakan merupakan sebuah siklus atau proses daur ulang
yang terdiri dari empat aspek fundamental. Diawali dari aspek
mengembangkan perencanaan kemudian melakukan tindakan sesuai
dengan rencana, observasi/pengamatan terhadap tindakan, dan diakhiri
dengan melakukan refleksi.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDN 2 Labuan Lobo


Tolitoli dengan jumlah 12 orang yang terdiri dari 3 siswa laki-laki dan 9
siswa perempuan.

Penelitian dilaksanakan sejak bulan April sampai Juni 2014 atau


selama 3 bulan pada semester II tahun ajaran 2013/2014.

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data
kuantiatif. Data kualitatif adalah data yang diperoleh dari hasil observasi,
wawancara, dan catatan lapangan. Data kuantiatif adalah data yang
diperoleh dari hasil tes.

Sumber data dalam penelitian ini adalah diperoleh dari aktifitas


guru yang menerapkan pendekatan kontekstual. Selain guru, yang menjadi
sumber data adalah siswa kelas V SDN 2 Labuan Lobo Tolitoli.

Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah:

23. Tes

24. Observasi

25. Catatan lapangan

Tehnik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data


kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, 1992 (Latri, 2003)
yang terdiri dari tiga tahap kegiatan yaitu: 1) menyelidiki data, 2)
menyajikan data, dan 3) menarik kesimpulan dan verifikasi.

39
Indikator Keberhasilan

Hasil belajar setiap siswa diperoleh dengan menggunakan rumus

Nilai siswa = skorperolehan x100%


Skor maksimal

Ketuntasan klasikal diperoleh dengan menggunakan rumus

Ketuntasan klasikal = Jumlah siswa yang tuntas x100%

Jumlah seluruh siswa

Peneliti menentukan tingkat kriteria ketuntasan klasikal secara


keseluruhan mencapai 70% dengan nilai setiap siswa memperoleh nilai
paling rendah 70.

Berdasarkan langkah-langkah penelitian dapat dijelaskan dalam


beberapa siklus, diantaranya tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan,
tahap observasi dan tahap refleksi.

19. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Tes Awal

Tes awal dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 2 April 2014 yang
diikuti oleh 12 siswa yang terdiri dari 3 siswa laki-laki dan 9 siswa
perempuan. Dari hasil analisis tes awal dapat diketahui bahwa sebagian
besar siswa kesulitan dalam mengerjakan tes awal dengan nilai rata-rata
hanya mencapai 52,50.

Hasil Siklus I

Perencanaan Pembelajaran Tindakan Siklus I

Perencanaan yang dilakukan pada siklus I yakni menyusun


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pertemuan 1 dan 2, LKS
pertemuan 1 dan 2, tes formatis siklus Idan daftar observasi aktifitas guru
dan siswa serta menyiapkan alat peraga yang dibutuhkan selama proses
pembelajaran. Pelaksanaan Tindakan Siklus I

40
Pelaksanaan pada siklus I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan.
Pendekatan kontekstual dilaksanakan oleh guru kelas V yang bernama Ibu
Andi rahmi, A.Ma. Pada pertemuan 1 materi yang diajarkan tentang benda
magnetis dan non magnetis dan dilaksanakan pada hari senin, 7 April 2014.
Sedangkan pada pertemuan 2 materi yang diajarkan adalah kekuatan
sebuah magnet yang dilaksanakan pada hari rabu tanggal 9 April 2014.

Pada kegiatan awal guru mengadakan apersepsi, mengadakan


tanya jawab dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Dalam kegiatan inti,
siswa dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan percobaan dan
setiap kelompok mengisi LKS yang telah disediakan. Setelah melakukan
percobaan, setiap kelompok membacakan hasil diskusinya. Pada kegiatan
akhir, siswa dibimbing untuk menyimpulkan materi.

Observasi Aktifitas Guru dan Siswa Tindakan Siklus I

Observasi dilakukan oleh seorang guru yang bernama Ibu Rosni,


A.Ma. Berdasarkan data hasil observasi, perolehan jumlah skor aktivitas
guru pada pertemuan 1 adalah 37 dari skor maksimal 60 dengan persentase
61%. Sedangkan pertemuan 2 diperoleh skor 41 dari skor maksimal 60
dengan persentase 68%. Hasil ini dikategorikan rendah. Hal ini disebabkan
karena guru kurang mampu mengimplementasikan pendekatan kontekstual
secara maksimal.

Selanjutnya Hasil observasi aktivitas siswa pada pertemuan 1


adalah 36 dari skor maksimal 60 dengan persentase 60%. Sedangkan
pertemuan 2 diperoleh skor 40 dari skor maksimal 66 dengan persentase
68%. Hasil ini dikategorikan rendah. Hal ini disebabkan karena siswa
belum terbiasa dengan pendekatan kontekstual yang dilaksanakan oleh
guru sehingga siswa kurang memberikan respon.

Evaluasi Tindakan Siklus I

Evaluasi pada siklus I dilaksanakan pada hari rabu, tanggal 16 April


2014 dengan memberikan soal kepada siswa yang berjumlah 10 nomor.
Secara ringkas hasil analisis tes siklus I dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Evaluasi Pada Siklus I

No Aspek perolehan Hasil

41
1. Nilai tertinggi 95
2. Nilai terendah 60
3. Nilai rata-rata 68,75
4. Banyaknya siswa yang tuntas 5
5. Persentase ketuntasan klasikal 41,66%
6. Daya serap klasikal 68,75%

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar


siswa dalam pembelajaran benda magnetis dan non magnetis serta
kekuatan magnet belum mencapai indikator keberhasilan yang diharapkan
yaitu lebih dari atau sama dengan 70%. Hasil belajar siswa pada siklus I
dikategorikan rendah. Hal ini disebabkan karena beberapa hal. Salah
satunya disebabkan guru belum mengimplementasikan pendekatan
kontekstual secara maksimal. Hal ini mengakibatkan hasil belajar siswa
belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan data tersebut,
penerapan pendekatan kontekstual perlu dilanjutkan kesiklus berikutnya
(siklus II).

Hasil Siklus II

Perencanaan Pembelajaran Tindakan Siklus II

Perencanaan yang dilakukan pada siklus II yakni menyusun


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pertemuan 1 dan 2, LKS
pertemuan 1 dan 2, tes formatis siklus II dan daftar observasi aktifitas guru
dan siswa serta menyiapkan alat peraga yang dibutuhkan selama proses
pembelajaran. Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Pelaksanaan pada siklus II dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan.


Pertemuan 1 dilaksanakan pada hari senin tanggal 12 Mei 2014 dengan
materi medan magnet dan sifat-sifat magnet. Sedangkan pertemuan 2
dilaksanakan pada hari rabu tanggal 14 Mei 2014 dengan materi cara
membuat magnet sementara. Observasi Aktifitas Guru dan Siswa Tindakan
Siklus II

Berdasarkan data hasil observasi, perolehan jumlah skor aktivitas


guru pada pertemuan 1 adalah 52 dari skor maksimal 60 dengan persentase
86%. Sedangkan pertemuan 2 diperoleh skor 60 dari skor maksimal 60
dengan persentase 100%. Hasil ini dikategorikan sangat tinggi. Selanjutnya
Hasil observasi aktivitas siswapada pertemuan 1 adalah 53 dari skor
42
maksimal 60 dengan persentase 88%. Sedangkan pertemuan 2 diperoleh
skor 40 dari skor maksimal 66 dengan persentase 100%. Hasil ini
dikategorikan sangat tinggi. Evaluasi Tindakan Siklus II

Evaluasi pada siklus II dilaksanakan pada hari senin, tanggal 19


Mei 2014 dengan memberikan soal kepada siswa yang berjumlah 10
nomor. Secara ringkas hasil analisis tes siklus II dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Hasil Analisis Evaluasi Pada Siklus II

No Aspek perolehan Hasil

1. Nilai tertinggi 100


2. Nilai terendah 80
3. Nilai rata-rata 93,33
4. Banyaknya siswa yang tuntas 12
5. Persentase ketuntasan klasikal 100,00%
6. Daya serap klasikal 93,33%

Berdasarkan tabel yang telah digambarkan sebelumnya, dapat


disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dalam materi medan magnet dan
sifat-sifat magnet serta cara membuat magnet sementara telah mencapai
indikator yang telah ditetapkan yakni lebih dari atau sama dengan 70
dengan kategori sangat tinggi. Hal ini dikarenakan guru telah
mengimplementasikan pendekatan kontekstual secara maksimal, sehingga
pembelajaran dinyatakan berhasil.

Pembahasan

Pendekatan kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar siswa


terhadap materi gaya magnet mencakup 7 komponen pembelajaran
kontekstual yakni kontruktivisme, masyarakat belajar, bertanya, inkuiri,
pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Hasil penelitian yang
dilaksanakan pada siklus I dan siklus II mengalami peningkatan yang
signifikan.

Hasil tindakan siklus I yang dilihat dari hasil analisis belajar dimana
jumlah siswa yang tuntas hanya 5 dari 12 siswa. Sehingga persentase
ketuntasan klasikal hanya mencapai 41,66% dengan nilai rata-rata kelas
43
68,75. Selain itu, hasil observasi menunjukkan persentase aktivitas guru
mengalami peningkatan namun belum ada peningkatan yang berarti, yakni
61% pada pertemuan 1 naik menjadi 68% pada pertemuan 2. Sedangkan
data hasil observasi siswa persentasenya juga mengalami peningkatan yang
masih kecil yakni 60% pada pada pertemuan 1 naik menjadi 66% pada
pertemuan 2.

Penyebab belum tercapainya hasil belajar yang diharapkan,


dikarenakan guru dalam menerapkan pendekatan kontekstual
pembelajaran belum secara makimal. Selain itu siswa kurang
memperhatikan penjelasan guru, sebagian besar siswa taraf berpikirnya
masih rendah hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan siswa yang
tidak mendukung, serta kurangnya waktu yang diberikan.

Pada tindakan siklus II keberhasilannya sudah mencapai target


yang diinginkan. Hal ini dilihat dari persentase aktvitas guru mengalami
peningkatan yakni 86% pada pertemuan 1 naik menjadi 100% pada
pertemuan 2. Sedangkan data hasil observasi siswa persentasenya juga
mengalami peningkatan yakni 88% pada pada pertemuan 1 naik menjadi
100% pada pertemuan 2. Sementara itu, hasil belajar pada siklus II juga
mengalami peningkatan. Dimana seluruh siswa telah mencapai batas
ketuntasan yang telah diinginkan yakni 100% dengan nilai rata-rata 93,33.
Berarti hasil belajar siswakelas V SDN Labuan Lobo Tolitoli mengalami
peningkatan.

Peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II disebabkan guru


telah mampu melaksanakan 7 komponen penting yang meliputi
kontruktivisme, masyarakat bertanya, inkuiri, pemodelan, refleksi, dan
penilaian sebenarnya secara maksimal. Guru mengawali pembelajaran
dengan mengonstruksi atau menggali pengetahuan awal yang dimiliki
siswa yang berkaitan dengan pembelajaran dengan melemparkan beberapa
pertanyaan kepada siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Gagne (Patta
Bundu, 2007) mengemukakan bahwa belajar dimulai dengan mengetahui
apa yang akan dipelajari, sehingga siswa termotivasi untuk belajar,
berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga memperoleh pengalaman
untuk menguatkan pemahamannya.

Setelah guru dan siswa melewati tahapan kontruktivis dan


masyarakat bertanya, guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok.

44
Didalam kelompoknya guru memfasilitasi siswa untuk melakukan
beberapa percobaan sehingga siswa sendiri yang merasakan langsung
percobaan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget (Sanjaya,2006)
yang mengemukakan bahwa pengetahuan itu akan bermakna manakala
dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa. Setelah melakukan beberapa
percobaan, siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil
percobaan yang mereka peroleh. Hal ini sangat berdampak baik untuk
keterampilan siswa dalam menyampaikan pendapatnya dan akan
memunculkan rasa percaya diri. Komponen terakhir dari pendekatan
kontekstual adalah penilaian sebenarnya. Dalam penilaian sebenarnya,
aspek kognitif, sikap, dan psikomotorik mendapatkan bagian yang sama
besar. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi gaya magnet di kelas V SDN 2 Labuan Lobo Tolitoli.

IV. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini maka dapat


disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi gaya magnet di kelas V SDN
2 Labuan Lobo Tolitoli. Hal ini dapat dilihat dari analisis hasil belajar
menunjukkan persentase ketuntasan klasikal pada siklus I adalah 41,66%
jumlah siswa yang tuntas sebanyak 5 siswa dari 12 siswa dengan nilai
rata-rata siswa 68,75. Sementara itu hasil belajar siswa pada siklus II
menunjukkan persentase ketuntasan klasikal sebanyak 100% dengan siswa
yang tuntas sebanyak 12 siswa dari 12 siswa dengan nilai rata-rata 93,33.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, dikemukakan


beberapa saran sebagai berikut:

10. Perlu dipertimbangakan oleh guru-guru khususnya guru IPA tentang


pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual karena
pendekatan ini terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
45
11. Bagi peneliti yang berminat, untuk melakukan penelitian penerapan
pendekatan kontekstual diharapkan dapat mengembangkan pada
materi IPA selain materi gaya magnet.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


Jakarta:

Depdiknas

Elaine.2006. Contextual Teaching and Learning. California: Wadsworth


Publishing Company.

Kunanndar.2007. Guru Profesional Implementasi kurikulum Tingkat


satuan Pendidikan (KTSP) dan persiapan menghadapi
sertifikasi guru. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.

Latri.2003. Pembelajaran Banguan Ruang Secara Konstruktivis dengan


Menggunakan Alat Peraga di Kelas V SDN 10 Watampone.
Tesis Tidak Dipublikasikan: Universitas Negeri Malang.
46
Patta Bundu. 2007. Penilaian Keterampilan Proses Dalam Pembelajaran SAINS

SD. Jakarta : Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.

Wardani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.

47
EDUKASI - Jurnal Pendidikan ISSN 1693-4164

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN


SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

H. Udin Saubas

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun

ABSTRAK

Learning by using scientific approach is a process of learning that is designed that make the
students construct a concept actively, role or princip trough observation step (to identify or to
find a problem), stated a problem, propose hypothesis, collecting data by using variety technic,
analyze data, getting conclusion, and communicate the concept that find. Therefore, in the
learning process that hoped to stimulate the students in searching the source by an
observation, not only know by the teacher.

The scientific approach role in learning process by skill process like observation,
classification, assessment, explain, and making conclusion. In doing that process, the students
need a helping from teacher. But the helping must less because the students’ class is in high
level.

Keyword: Implementation of 2013 curriculum, scientific approach Implementation, Indonesia


language learning text base

PENDAHULUAN

Pembelajaran dengan menggunakan “pendekatan saintifik” adalah proses


pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk
mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis
data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang
“ditemukan”. Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan
pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak
bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu, kondisi pembelajaran
yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari
tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.

Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan


proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan
menyimpulkan. Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru diperlukan.

48
Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin berkurang dengan semakin
bertambah dewasanya peserta didik atau semakin tingginya kelas peserta didik.

PEMBAHASAN

f. Konsep Dasar Pendekatan Saintifik

Sanjaya, mengemukakan bahwa istilah lain yang juga kemiripan dengan


strategi adalah “pendekatan (approach). Sebenarnya “pendekatan” dapat diartikan
sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap “proses pembelajaran. Istilah
“pendekatan” merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya “strategi dan metode pembelajaran”
yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari “pendekatan” tertentu. (2008:
127). Roy Killen (1998) Misalnya mencatat ada dua “pendekatan dalam
pembelajaran”, yaitu “pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred
approaches)” dan “pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred
approaches)”. Pendekatan yang berpusat pada guru dapat menurunkan strategi
pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran
ekspositori. Sedangkan “pendekatan pembelajaran” yang berpusat pada peserta didik”
dapat menurunkan strategi pembelajaran discovery dan Inkuiri serta strategi
pembelajaran induktif. (2008: 127).

Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan
peserta didik dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional
tertentu. Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru dalam memilih kegiatan
pembelajaran, apakah guru akan menjel askan suatu pengajaran dengan materi bidang
studi yang sudah tersusun dalam urutan tertentu, ataukah dengan menggunakan materi
yang terkait satu dengan yang lainnya dalam tingkat ke dalaman yang berbeda, atau
bahkan merupakan “materi” yang “terintegrasi” dalam suatu “kesatuan multi disiplin
ilmu”. Pendekatan pembelajaran ini sebagai penjelas untuk dapat mempermudah bagi
para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah bagi peserta didik
untuk dapat memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan memelihara
suasana pembelajaran yang menyenangkan (Sagala, 2003: 68).

Sehubungan beberapa pandangan di atas, maka proses pembelajaran dapat


dipadankan dengan suatu “proses ilmiah”, karena itu kurikulum 2013
mengamanatkan “esensi pendekatan saintifik” dalam pembelajaran. ”Pendekatan
Saintifik” diyakini sebagai titian emas perkembangan dan “pengembangan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didik”. Dalam pendekatan atau proses kerja
yang memenuhi “criteria ilmiah”, para ilmuan lebih mengedepankan penalaran
induktif (inductive reasoling) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive
reasoning).,
Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik
simpulan yang spesifik. Sebaliknya penalaran induktif memandang fenomena atau
situasi untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran
induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih luas. Metode
ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail
untuk kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik –
49
teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh
pengetahuan baru, atau dapat mengoreksi dan dapat memadukan pengetahuan
sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inkuiri) harus
berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur
dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnyua
memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen,
mengolah atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan “menguji hipotesis”
(Badan Pengembangan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2014: 23).

15. Pengertian Teks

Yang dimaksud teks itu? Bagi Barthes, teks adalah sebuah objek kenikmatan,
sebagaimana diproklamasikannya dalam buku Sadel Fourier Loyola: “The text is an
object of pleasure (Teks adalah objek kenikmatan)” (Culler, 1983, dalam Kurniawan,
2001: 101, dalam Sobur, 2006: 52). Sebuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah
“teks” adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca.
Sebentuk keasyikan tercipta yang hanya dirasakan oleh si pembaca sendiri.
Kenikmatan pembacaan itubersifat individual. Kita tak akan bias merasakan betapa
asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperlihatkan lagi apa yang di
sekitarnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan
yang sama. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia
pembaca itu sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan, 2001:
202, dalam Sobur, 2006: 52). Imajinasi itu sendiri merupakan suatu daya yangmuncul
dalam diri manusia, yang antara lain, memiliki ciri personal (Tedjoworo, 2001: 59
dalam Sobur, 2006: 52).

Dalam pandangan kritis “teks” dibangun dari sejumlah “Piranti Linguistik”


yang di dalamnya terdapat ideology dan kekuasaan. “Analisis Wacana Kritis” banyak
memanfaatkan “Piranti Linguistik” yang disarankan dalam linguistik
distemmatik-fungsional Halliday (1985; 1994, dalam Darma, 2009: 72) dan
“linguistik Kritis Fowler (1986, dalam Darma, 2009:

5. untuk memberikan kepemilikan struktur linguistik dalam “teks bahasa”. Menurut


Fairclough (1989; dalam Darma, 2009: 72) pemberian ini berupa analistis terhadap
kosakata, gramatika, dan “struktur teks”.

Bahwa jalan menuju pemahaman tentang “bahasa” terletak dalam “kajian


teks”. Istilah “konteks” dan “teks” diletakan bersama seperti ini, mengingatkan bahwa
dua hal ini merupakan aspek dari proses yang sama. Ada “teks” dan ada “teks” lain
yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu, adalah “konteks”. Namun pengertian
mengenai hal yang menyertai “teks” itu meliputi tidak hanya dilisankan dan ditulis,
melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (non-verbal) lainnya –
keseluruhan “lingkungan teks itu”. Karena itu, pengertian ini merupakan “jembatan
antara teks dan situasi tempat teks” itu betul-betul terjadi.

Konsep Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia


Berbasis Teks
50
Alston (1961), membedakan tiga pendekatan dalam kajian makna berdasar tiga
fungsi bahasa, yakni: Fungsi Referensial, Fungsi Ideasional, dan Fungsi Behavioral.
Ketiga fungsi bahasa itu melahirkan tiga “pendekatan” teori makna, yakni:
“pendekatan referensial”, pendekatan ideasional, dan pendekatan behavioral. (dalam
Sudaryat, 2009: 8-9).

Pendekatan Referensial atau realisme memiliki paham berikut ini:

26. Bahasa berfungsi sebagai wakil realitas. (2) Wakil realitas itu menyertai proses
berpikir manusia secara individual. (3) Berpusat pada pengelolaan makna suatu
realitas secara benar. (4) Adanya kesadaran “pengamatan” terhadap “fakta” dan
“penarikan simpulan secara subjektif. (5) Makna merupakan julukan atau label yang
berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. dan (6) Membedakan
makna dasar (denotatif) dari makana tambahan (konotatif).

Pendekatan Ideasional, atau nominalisme mewakili paham berikut:

20. Bahasa berfungsi sebagai media dalam mengelolah pesan dan menerima informasi.
(2) Makna muncul dalam kegiatan komunikasi. (3) Makna merupakan gambaran
“gagasan” dari suatu bentuk bahasa yang arbriter tetapi konvensional yang dapat
dimengerti. (4) Kegiatan berpikir manusia adalah kegiatan berkomunikasi lewat
bahasa. (5) Bahasa merupakan pengembangan makna untuk mengkomunikasikan
“gagasan” dan (6) Bahasa memilki status yang sentral. Oleh karena itu, apabila: (a)
Salah berbahasa dalam berpikir, pesan tak tepat; dan (b) Bahasa dalam berpikir benar,
kode salah, informasi akan menyimpan.

Proses komunikasi menurut pendekatan ideasional dapat dibagangkan sebagai


berikut :

51
SARAN

12. Pembelajaran dengan menggunakan “pendekatan saintifik” adalah proses


pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati
(untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah,
mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai
teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep,
hukum atau prinsip yang “ditemukan”.

13. Penerapan Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman


kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan
pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak
bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu, kondisi pembelajaran
yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari
tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.

14. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan


proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan,
dan menyimpulkan. Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru
diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin berkurang dengan
semakin bertambah dewasanya peserta didik atau semakin tingginya kelas peserta
didik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

52
Darma, Hj. Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung Bekerja Sama dengan
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (FPBS UPI) Bandung:
Yrama Widya.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.


Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks Dalam
Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah: Asruddin Barori Tou. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Jorgense, Marianne W. dan Louise J. Phillips. ( 2007 ). Analisis Wacana Teori dan
Metode. Penerjemah: Iman Suyitno, Lilik Suyitno, dan Suwarno. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Killen, Roy. 1998. Effective Teaching Strategies: Lesson from Research and Practice,
second edition. Australia, Social Science Press.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung:

Angkasa.

Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia


Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan 2014. “Modul Pelatihan Implementasi
Kurikulum 2013 dan Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Tahun
Ajaran 2014-2015.

Syamsuddin, A. R. 1992. Studi Wacana: Teori – Analisis – Pengajaran. Bandung:


Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana Prinsip-Prinsip Semantik dan


Pragmatik. Bandung: CV. Yrama Widya.
Sagala, H. Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu
Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.


Jakarta: Kencana.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sunarto. 2001. Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak. Semarang:


Diterbitkan atas Kerjasama Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya Ikapi
serta Ford Foundation.

53
IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME) e-ISSN: 2320–
7388,p-ISSN: 2320–737X Volume 6, Issue 3 Ver. IV (May. - Jun. 2016), PP 67-73
www.iosrjournals.org

The Scientific Approach-Based Cooperative Learning Tool


for Vocational Students Vocation Program of Autotronic
(Automotive Electronic) Engineering

Isa Muhammad Said1, Eddy Sutadji2*), and Machmud Sugandi3


1
(Postgraduate Student of Vocational Education, State University of Malang, Indonesia)
2,3
(Postgraduate Supervisor Lecturer of Vocational Education, State University of Malang, Indonesia)

Abstract: This research was conducted to produce the products such as learning tools to support the
scientific approach-based cooperative learning and examine how its effects on the learning process in
laboratory in Vocational High School in vocation program of autotronic (automotive electronic) engineering
throughout the city of Malang. This study used the stages of research and development by Borg & Gall to
make the products, while for researching the effects, the researcher used a quantitative approach with
experimental research method. The samples used were 66 students of class XI, consisting of 37 students as an
experimental group and 29 students as a control group. The product validation phase is conducted by seven
lecturers of Mechanical Engineering, State University of Malang, 2 teachers of SMKN (State Vocational
High School) 6 Malang and SMK (Vocational High School) 10 and 25 students of SMKN 6 and SMKN 10
Malang. The product testing was conducted by some experts consisting of material content experts,
instructional design experts, learning media expert and small group trial. Based on the product testing data,
it was obtained the data from experts that the learning products developed at the valid level and reliable was
used as the learning products while in testing the effects of product usage in learning by the students, it was
obtained the data that the products developed significant affected on the learning outcomes and was effective
to be used.

Keywords: cooperative learning, learning products, learning tools, scientific learning, student learning
outcomes

g. Introduction

Problem in the learning process is one of the problems in teaching and learning activity. Years
after years, the Indonesian government keeps making any improvements in the educational field, one of
which is to make improvements to the learning activities namely the curriculum improvement and the
standard process improvement.Since the implementation of the curriculum 2013 (K13), then the
54
learning process at schools in Indonesia gradually until the year 2019/2020 shall apply the learning
process guided by the principles of scientific approach (Permendikbud – Regulation of Minister of
Education and Culture - No. 65 of 2013, concerning Process Standard of Primary and Secondary
Education). The learning process with K13 in Vocational High School (SMK) uses a scientific approach.
The scientific approach is a learning approach which was first introduced in America in the late of 19th
century (Hodson, 1996: 115). The Learning with scientific approach is one of the activities with more
effective learning results compared to the traditional learning (Atsnan&Gazali, 2013). The scientific
approach can be integrated into several learning models, one of the learning models which can be
integrated in scientific learning is cooperative learning model (Nugroho, 2013).

There are still many obstacles faced in the implementation of scientific approach integration
into cooperative learning, especially for the vocational high school teachers, the phenomenon occurs
because there are many teachers who have not been able to change the mindset of learning from the old
(previous) curriculum to the K13 and are not yet available teaching materials that support the learning
with the scientific approach. This product research and development of learning tool seeks to help the
vocational high school teachers particularly in the vocational field of autotronic engineering in
implementing the K13.

16. Literature Study

Learning Tool: the learning tools are the tools or equipment to perform the process which will enable
educators and learners to perform the learning activities, Zuhdan (2011), while Ruhadi (2008) argued
that “the learning tools are a number of materials, tools, media, instructions and guidelines which will
be used in the learning process.” The learning tools are the vital things used in the learning process.
Every teacher in the educational unit has the obligation to draw up a learning tool, gives directions so
that the implementation of teaching and learning process takes place in an interactive, inspiring, fun,
motivating for the students to participate actively (Poppy, 2009: 1-5). So, it can be concluded that the
learning tools are one of the preparation manifestation made by the teacher before they perform the
teaching and learning process in the classroom, such as syllabi, lesson plans, learning modules,
LKS-student work sheets, instructional media, and assessment instruments.

Cooperative Learning: According to Johnson, Johnson and Holubec in Felder&Rebecca (2007),


“Cooperative learning is the learning using small groups in which the students work together to
maximize their learning activities, each other or as a team”. The cooperative learning model is based on
Vygotsky's learning theory which emphasizes on the social interaction as a mechanism to support the
cognitive development (Peter, 1995). The students are given the responsibility to create a community in
a learning and participate in the learning process and make the learning process in the classroom into
meaningful than to work individually (Gupta &Jyoti, 2014). The cooperative learning provides many
ideas and concepts from different members, easily and clearly in a learning process (Kiran, Qaisara,
Sidra, Mehwish&Amna, 2012). The structure of cooperative learning is an instructional relationship
between teachers, students and technology, as well as the appropriate and constructive learning
framework to support the learning process, the learning is directed as a social perspective in the
constructivist learning, the cooperative learning is a very credible alternative (Neo, 2005). So, it can be
concluded that the cooperative learning is the learning using study groups using the principle of
constructivism learning framework and based on the learning theories giving emphasis on the social
interaction process.

The Characteristics of Cooperative Learning: According to Johnson & Johnson in Richard M.


Felder & Rebecca (2007), the characteristics of cooperative learning model consist of: Positive
interdependence; Individual accountability; Face-to-face promotive interaction; Appropriate use of
collaborative skills; Group processing.

Learning with Scientific Approach: According to Sani (2014) the scientific approach is closely
related to the scientific method which should normally involve examination or observation needed for
the formulation of hypotheses or data collection, while Hidayah (2013) mentioned that the learning with
scientific approach is a scientific and inquiry approach, where students act directly either individually
or in groups to explore the concept and principles during the learning activities and the teacher's task is
to direct the learning process performed by the student and provide any corrections to the concepts and
principles which the students have been obtained. Marjan (2014) stated that, theoretically the learning
with scientific approach is the learning which is more emphasis on the inquiry learning, which has
relevance to the nature of science, which is not just a collection of facts and principles, but include ways
how to get the facts and principles as well as the scientists attitude in the basic science process namely
observing, classifying, communicate, measure, predicting, and concluding. According to Nur (2011)
55
and Ibrahim (2010), the scientific approach or method is an approach or method to obtain the
knowledge through two channels, namely mind (reason) path and observation.Based on the explanation
above, it can be concluded that the scientific learning is the learning using the scientific method which
involves the scientific processes through two channels, namely reason path and observation.The
scientific Learning is the learning to adopt the scientific measures in building the knowledge through
the scientific methods (Kemendikbud-Ministry of Education and Culture, 2013). The scientific
approach allows teachers or curriculum developers to improve the learning process, namely by breaking
the process down into steps or stages in detail which contain any instructions for the students to carry
out any learning activities (Varelas&Ford, 2008: 31). The required learning model is the one allowing
the culture of scientific thinking skills, development of „sense of inquiry‟ and creative thinking abilities
of learners.

6. Methodology

This study Methods uses experimental research and development methods by Borg & Gall.
The study was conducted over three months at SMK – State Vocational High School - 6 and SMKN -
State Vocational High School - 10 Malang on the vocation of autotronic engineering department while
development. Research and Development Design described on Fig. 1.

Figure 1.Research and Development Design

Population and Sample: The population in this study were all students of SMK in Malang in the
vocation field of autotronic (Automotive Electronic) Engineering, namely there are 66 students, while
the number of samples in research and development was 37 students of SMKN 6 Malang and 29
students of SMK 10 Malang. In the product validating process, the researchers used an expert judgment
technique including 9 experts in the field of learning, among others were 7 Lecturers in Mechanical
Engineering, 2 teachers of SMKN 6 Malang and SMK 10 Malang, while the product trials were
conducted on 25 students of SMK 6 Malang and SMK 10 Malang.

Research Instrument: the research instruments used were tests, documentation, observation,
treatment of experimental and interview.

Data Collection Technique: The data was collected by using test, questionnaire, and documentation.
The test and questionnaires were distributed to the research respondents. The data from interviews and
observation result was used as the supporting data which was to complete the obtained data.

Data Analysis: The data analysis used in this research was the inferential statistics by using SPSS
version 20.0.0 to examine the hypothesis.

IV. Results
A. 1stResearch Stage

56
The observation and interview results conducted by the teachers and students of class XI SMK
N 6 Malang and SMK N 10 Malang have found some empirical information related to the
implementation of the Teaching and Learning Activities (KBM) which can be described in Table 1
below.

Table 1.Observations& Interview


No Observation SMK N 6 Malang SMK N 10 Malang

1 Learning Strategy Lecturing (not well-suit to K13) Lecturing (not well-suit to K13)

2 Teaching materials Module, power point Module, power point

3 Tools / materials Laptop, In-focus, blackboard, Engine Stand Laptop, In-focus, blackboard, Engine Stand

4 Interview with the students The students were bored at theory learning The students were boring at theory learning

& direct practice & direct practice

(the students require new learning method (the students require new learning

and teaching materials) method and teaching materials)

Classical learning is easier to be


5 Interview with teachers applied Classical learning is easier to be applied

(not well-suit to K13) (not well-suit to K13)

6 Facilityand infrastructure Adequate Adequate

Based on the preliminary research conducted at SMK Malang, it has found some fundamental
problems that occurred during the teaching and learning process as described in Table 1 above, among
others were the atmosphereof learning, teaching materials, students, and student learning outcomes.

The learning environment in SMK Malang can be seen to be not conducive, the students
seemed less excited or bored due to the boring learning because there were too many components which
should they record, and how to be memorized, while to understand the workings of a component was
not supposed to be a rote but the students must be shown how to work through the props or simulations
in the form of hardware or software. Muhtadi (2005: 1) explained that, the learning process should be
able to create the conducive classroom climate or atmosphere which to support the formation of quality
learning, further, Maisaroh&Roestrieningsih (2010: 1) explained that, a fun learning environment will
have an impact on the increasing motivation and discipline in the learning process.The teaching and
learning process with the learning tools developed for vocation program of Autotornic Engineering is
expected to become more focused, active, meaningful, orderly, maximizing the facilities and
infrastructure provided by the school and regular as well as the teaching materials are up to date and
then able to improve the student competence and attitude particularly the student competence in the
learning theory and instructional practices and change the mindset of learning for the vocational school
teachers.

B. The Products Produced on Development Stage

The products from this research and development are the scientific approach-based
cooperative learning tools including: interactive multimedia software, group sheet, software of picture
viewer, and learning scenarios which have been uploaded on
https://cooperative-scientific.appspot.com/. In detail, the research and development products are
outlined below.

27. Interactive Multimedia Software: the interactive multimedia software of development product is
realized in the form of “.exe” having the capacity of 304.555 Mb(Secondary Product).

28. Group Sheet: Group sheet is realized in a form that includes a group identity, the task of each group
member, and important points of what they can use as presentation materials(Primary Product).
21. Photoviewer Software: the photoviewersoftware is realized in the form of the use of software
svBuilder with image formats of JPG, JPEG, GIF, or PNG(Third Party Product).

22. Learning Scenarios: The learning scenario is embodied in the form of task project sheet(Primary
Product).

57
Where:
Primary product is fixed product that produced.
Secondary product is changeable product which following the content technology of teaching of
autrotonic.
Third Party Product is the utilization of other software supporting primary product.

C. Product Trial Data Analysis in Development Phase & 2 nd Research Stage


The products which have been produced then are tested their validity by some experts. As the
basis and guidelines for determining the validity level as well as the basis for a decision to revise the
results of the development media, it used the qualifying criteria of validation assessment to the minimal
valid percentage of 70% (Akbar, 2013), while the analysis results of product trials are described in
Table 2.

Table 2. Analysis Results of Product Trial Data


Data Analysis Results Score Percentage Explanation

Material Content Expert Test 31 77,5% Valid

Learning Designing Expert Test 34 85% Valid

Learning Media Expert Test 72 90% Valid

Small Group Expert Test 940 82% Valid

Product (media) Attractiveness 21 87% Valid

Product (small group) Attractiveness 435 90% Valid

Based on the analysis results of product trials by some experts, so it is obtained the results
when the product is produced at valid level and it means that it is reliable to be used as a means of
learning products.

Learning Assessment Results

Once the product is manufactured and tested for its feasibility, then the researcher needs to test
it on the experimental research to see differences in student learning outcomes among students in the
experimental group and the control group. The data results of learning assessment are presented in this
section consisting of post-test results from the experimental group and the post-test results from the
control group. The data analysis of learning assessment was performed by t test of two independent
samples.

Descriptive Statistics of Learning Assessment Results

The descriptive statistics are used to describe the learning assessment results data using SPSS.
The descriptive statistical procedures used are frequencies. The data results of learning assessment
summarized include the post-test score from the experimental group and the post-test scores from the
control group. The descriptive statistics results of learning assessment in complete will be presented in
Table 3.

Table 3. Descriptive Statistics Results of Learning Assessment


Experiment Post-test Score Control Post-test Score

N Valid 37 29

Missing 0 0

Mean 82.16 71.59

Median 84.00 72.00

Mode 76 72

Std. Deviation 6.296 5.985

58
Variance 39.640 35.823

From SPSS output in Table 3 above, it shows that for the variable of post-test scores from the
experiment group conducted on 37 students in the experimental group, it is obtained the mean = 82.16;
median

15. 84.00; mode = 76; standard deviation = 6.296; and variance = 39.640. As for the variable of
post-test scores from the control group conducted on 29 students the control group, it is obtained: mean
= 71.59; median = 72.00; mode = 72; standard deviation = 5.985; and variance = 35.823. Based on this,
it can be known if the value of the learning results obtained by the experimental group is higher than the
value of the lessoning results by the control group.

The t-test of two post-test Result- Independent samples: T-test of two independent samples
(independent-samples t-test) learning assessment results are used to compare the mean difference
between the two independent samples with assumption that the distributed data is normal and
homogeneous. The data of two independent samples to be compared are the result data of post-test
results from the experimental group with the data of post-test results from the control group. Based on
the issues to be examined, the form of hypothesis for the t-test used was one-sided hypothesis test or
one-tailed test for the upper side (upper tailed) with the hypothesis:

H0 :µExperiment = µControl

H1 :µExperiment ≠ µControl

Where:
μExperiment= mean of post-test results of the experimental group.

μControl = mean results of post-test control group.

The t-test result of two independent samples of post-test result data from the experimental
group with the post-test results from the control group are more described in Table 4.

Table 4. The t-test result of two independent samples of post-test result data from the experimental
&control group

Statistics Results Levene‟s Test t-test for Equality of Means

for Equality of

Variances

F Sig. t df Sig. (2- Mean Std. 95% Confidence

tailed) Difference Error Interval of the

Difference Difference

Lower Upper

Posttest Equal

scores variances 3.072 .084 6.290 61.595 0,00 10.576 1.528 7.523 13.629

assumed

59
From SPSS output in Table 4 above, the t value = 6.290 with a degree of freedom = 61.595 and
p-value (two-tailed) = 0,000. Because p-value = 0.000 smaller than α = 0.05, H0: μ1 = μ2 is rejected. It
can be concluded that there is a significant difference between the post-test results from the
experimental group and the post-test results from the control group.

8. Discussion

After the research and development stage, then the next stage will be presented about the
quality and effectiveness of product development, because the product quality and effectiveness are the
description from the research and development results performed after the small-scale field trials and
large-scale field trials.

Product Quality: According to Kotler (2005: 49), „The product quality is the overall
characteristics as well as from a product or service, is the ability to satisfy the needs expressed
implicitly‟, while according to Lupiyoadi (2001: 158) stated that, „Consumers will be satisfied if their
evaluation results showed that the products which they use are qualified. Based on the test results, the
content experts, design of learning trial experts, instructional media trial experts, and a small group trial
in Table 2 are described that the product development results are classified into valid category, this
means that the product development has reasonable levels and has the quality to be used as a learning
tool.Kotler and Armstrong (2001: 354) explained that, a qualified product is a product which is able to
carry out its functions including, its durability, reliability, ease of operation and improved accuracy, as
well as other valuable attributes.

Product Effectiveness: Effectiveness is called as effective if the goals or objectives which


have been defined previously are achieved. Streers (1980: 4-5) explained that, Effectiveness is
elaborated based on the capacity of an organization to obtain and utilize scarce and precious resources
as smart as possible in the pursuit of its business operations and its operational objectives. Robbins
(2002: 22) defined the effectiveness as an activity that shows the level of management success in
achieving the goals set before, while Campbell (1989:

5. stated that, the way to measure the effectiveness is by knowing the achievement of overall
objectives.The effectiveness of product development is seen from the results of large-scale field trials as
a comparison between the conclusionsof the learning assessment data analysis (post-test) from the
experimental group compared to the data of learning assessment (post-test) from the control group. The
conclusion of data analysis results is obtained from the t-test of two independent samples on the
learning assessment results by using the cooperative learning – based learning tools (development result
product) than the traditional learning.

Based on the t test results of two independent samples, it can be concluded that there is a
significant difference between the post-test results from the experimental group and the post-test results
from the control group. The conclusions are when seen from the product effectiveness, then the
resulting product development is seen from a comparison of learning assessment which can be said to
be „effective‟.This is because (1) the students are more quickly to form a group when they are
instructed by the teacher; (2) the students from the experimental group are more orderly and regulated
when they do the tasks given by the teacher; (3) at the one learning process, it starts by forming a group
to complete the learning materials obtained in the right time; (4)

The students are enthusiastic and excited when learning because the learning is not boring (5) The
students can measure their own abilities individually through interactive multimedia software when
they learn individually; and (6) the teachers are more easily control the student development through the
group-sheet.

VI. Conclusion

The research & development products of resulting learning tools are included: interactive
multimedia program, group-sheet, photoviewer and learning scenarios. The resulting products are the
learning tools to support the scientific approach-based cooperative learning. Based on the analysis
results of development data, the resulting products are concluded to have quality and effective to be
used as the learning products. The product quality is assessed by the learning experts and small group
trial, while the product effectiveness is assessed by the learning outcome assessment in a large-scale
60
field trials where the learning outcomes show the significant values between the control group and the
experimental group.

Based on the observations during the product trials and experimental research conducted, the
resulting research and development products have advantages, among others are: (1) the students are
more quickly to form a group when they are instructed by the teacher; (2) the students from the
experimental group are more orderly and regulated when they do the tasks given by the teacher; (3) at
the one learning process, it starts by forming a group to complete the learning materials obtained in the
right time; (4) The students can measure their own abilities individually through interactive multimedia
software when they learn individually; and (6) the teachers are more easily control the student
development through the group-sheet.

61
References
6. Akbar, S., InstrumenPerangkatPembelajaran. (Bandung,RemajaRosdakarya, 2013).

7. Atsnan, M.F., &Gazali, R.Y. 2013. PenerapanPendekatan Scientific dalamPembelajaranMatematika SMP Kelas VII
MateriBilangan (Pecahan). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan
tema ”Penguatan

Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

8. Borg, W.R., & Gall, M.D.,Educational research: An introduction. (4th ed). (New York & London: Longman, 1983).

9. Campbell,RisetdalamEfektivitasOrganisasi, TerjemahanSahatSimamora. (Jakarta: Erlangga, 1989).

10. Felder, R.M., and Rebecca, B. Cooperative Learning. P.A. Mabrouk, ed., Active Learning: Models from the Analytical
Sciences,

ACS Symposium Series 970, Chapter 4, pp. 34–53. Washington, DC: American Chemical Society, 2007.

11. Gupta, M. &Jyoti, A. Cooperative Integrated Reading Composition (Circ): Impact on Reading Comprehension
Achievement in

English Among Seventh Graders. Impact Journals: International Journal of Research in Humanities, Arts and Literature.
Vol. 2, Issue 5, May 2014, 37-46.

12. Hidayah,N,PengertiandanLangkah-langkahPembelajaranSaintifik.
http://www.nurulhidayah.net/879pengertian-dan-langkahpembelajaransaintifik.html#!prettyPhoto (Online).
Diaksestanggal 19. November 2013.

62
13. Hodson, D. Laboratory work as scientific method: Three decades of confusion and distortion, 1996. Journal of
Curriculum Studies.(Online),
http://65.54.113.26/Publication/3305623/laboratory-work-as-scientific-method-three-decades-of-confusion-and-distorti
on, diaksespadatanggal 6 Juni 2015.

14. Ibrahim, M.,Dasar-dasar Proses BelajarMengajar. (Surabaya: Unesa University Press, 2010).

15. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,Model Pembelajaran Saintifik Mata Pelajaran Fisika, (Jakarta, 2013).

16. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Diklat Analisis Materi Ajar (diklat guru dalam rangka implementasi
kurikulum 2013, (Jakarta, 2013).

17. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A tahun
2013. (Jakarta: 2013)

18. Kiran, A., Qaisara, P., Sidra, K., Mehwish, R., &Amna, K.S. 2012. A Study of Student‟s Attitudes towards Cooperative
Learning. Centre for Promoting Ideas, USA: International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 11; June
2012.

19. Kotler, P.,ManajemenPemasaran. Jilid II. EdisiKesebelas. AlihBahasa Benyamin Molan.(Jakarta:Indeks, 2005).

20. Kotler, P. dan Armstrong, G.,Prinsip-prinsipPemasaran. AlihBahasa ImamNurmawan,(Jakarta: Erlangga, 2001).

21. Kusumaningrum, S.,Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Pendekatan Saintifik dengan Model Pembelajaran
PjBL untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Kreativitas Siswa Kelas X. Yogyakarta: Program
Pascasarjana UNY, 2015.

22. Lupiyoadi, R.,Pemasaran Jasa. (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001).

23. Maisaroh & Roestrieningsih. 2010. Peningkatan Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Active
Learning Tipe Quiz Team pada Mata Pelajaran Keterampilan Dasar Komunikasi di SMK Negeri 1 Bogor. Jurnal
Ekonomi & Pendidikan, Volume 8 Nomor 2, November 2010.

24. Marjan, J.,PengaruhPembelajaranPendekatanSaintifikTerhadapHasilBelajarBiologidanKeterampilan Proses


SainsSiswa MA

Mu‟allimat NW PancorSelongKabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. e-Journal Program


PascasarjanaUniversitasPendidikanGanesha Program Studi IPA (Volume 4 Tahun 2014).

25. Muhtadi, Ali. MenciptakanIklimKelas (Classroom Climate) yang KondusifdanBerkualitasdalam Proses Pembelajaran.
Yogyakarta: UNY, 2005.

26. Neo, M. Engaging Students in Group-based Co-operative Learning- A Malaysian Perspective. ISSN 1436-4522 (online)
and 1176-3647 (print). International Forum of Educational Technology & Society (IFETS).: Educational Technology &
Society, 8 (4), 220 - 232, 2005.

27. Nur, M. ModulKeterampilan-keterampilan Proses Sains. Surabaya: UniversitasNegeri Surabaya PusatSains


danMatematikaSekolah, 2011.

28. PemerintahRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005, tentangStandarNasionalPendidikan (SNP), 2005.

29. Peter E.D. Understanding Cooperative Learning Through Vygotsky's Zone of Proximal Development. Paper presented at
the Lilly National Conference on Excellence in College Teaching. Columbia, SC. June 2-4, 1995.

30. Poppy, K.D. 2009. PengembanganPerangkatPembelajaranUntuk Guru SMP. Jakarta: PPPPTK IPA, 2009.

[26]. Ruhadi. 2008. Model PembelajaranKooperatifTipe “STAD” Salah


SatuAlternatifdalamMengajarkanSains IPA yang

MenggunakanKurikulumBerbasisKompetensi, (Online)Diaksesdari: http://pdiipi.go.id/admin/jurnal/61084351.pdf


padatanggal 1 Agustus 2015.

[27]. Robbins. P.S.,Prinsip-prinsip Perlaku Organisasi. Edisi kelima,(Erlangga: Jakarta, 2002).

[28]. Sani, R.A.,PembelajaranSaintifikuntukImplementasiKurikulum 2013. Jakarta: PT. BumiAksara, 2014.

[29]. Setyowati, E.,PenerapanKurikulum 2013 DalamPenanamanKarakterSiswaPadaPembelajaranMatematika (StudiKasus


di SMP Al-Irsyad Surakarta tahun 2013/2014). Surakarta: UniversitasMuhammadiyah Surakarta, 2015.

[30]. Steers, R.M., EfektivitasOrganisasi, (Erlangga, Jakarta, 1980).

[31]. Suherman, A.,InovasiKurikulum,(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2006).

[32]. Tuwoso. 2014. Peningkatan Kualitas Pembelajaran dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Lulusan di SMK. Prosiding
Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014.
63
[33]. Varelas, M and Ford M. The scientific method and scientific inquiry: Tensions in teaching and learning. (USA: Wiley
Inter Science, 2009).

[34]. Zuhdan,K.P.,PengembanganPerangkatPembelajaranSainsTerpadu Untuk Meningkatkan Kognitif,


Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Available online at:
Vol. 5No. 2 (Desember 2015): 187-198 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/
e-ISSN: 2460-5824 doi: 10.19081/jpsl.5.2.187
KeterampilanProses,KreativitassertaMenerapkanKonsepIlmiahPesertaDidik SMP. Yogyakarta: Program Pascasarjana
UNY, 2011.

BAB 3

KEANEKARAGAMAN HAYATI FLORA DI INDONESIA

The Biodiversity of Flora in Indonesia

Cecep Kusmanaa, Agus Hikmatb

a
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga,
Bogor 16680 ― ckusmana@ymail.com

h.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

2
Abstract. Indonesia merupakan negara kepuluauan seluas sekitar 9 juta km yang terletak diantara dua samudra
dan dua benua dengan jumlah pulau sekitar 17.500 buah yang panjang garis pantainya sekitar 95.181 km. Kondisi
geografis tersebut menyebabkan negara Indonesia menjadi suatu negara megabiodiversitas walaupun luasnya
hanya sekitar 1,3% dari luas bumi. Dalam dunia tumbuhan, flora di wilayah Indonesia termasuk bagian dari flora
dari Malesiana yang diperkirakan memiliki sekitar 25% dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia yang
menempati urutan negara terbesar ketujuh dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies, 40%-nya merupakan
tumbuhan endemik atau asli Indonesia. Negara Indonesia termasuk negara dengan tingkat keterancaman dan
kepunahan spesies tumbuhan tertinggi di dunia. Saat ini tercatat sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan langka,
diantaranya banyak yang merupakan spesies tanaman budidaya. Selain itu, sekitar 36 spesies pohon di Indonesia
dinyatakan terancam punah, termasuk kayu ulin di Kalimantan Selatan, sawo kecik di Jawa Timur, Bali Barat, dan
Sumbawa, kayu hitam di Sulawesi, dan kayu pandak di Jawa serta ada sekitar 58 spesies tumbuhan yang berstatus
dilindungi.

64
Keywords: keanekaragaman hayati flora, megabiodiversitas, tingkat kepunahan, tumbuhan dilindungi, tumbuhan
langka

(Diterima: 09-10-2015; Disetujui: 03-11-2015)

1. Pengertian Istilah

Istilah flora diartikan sebagai samua jenis tumbuhan yang tumbuh di suatu daerah tertentu. Apabila
istilah flora ini dikaitkan dengan life-form (bentuk hidup/habitus) tumbuhan, maka akan muncul
berbagai istilah seperti flora pohon (flora berbentuk pohon), flora semak belukar, flora rumput, dsb.
Apabila istilah flora ini dikaitkan dengan nama tempat, maka akan muncul istilah-istilah seperti Flora
Jawa, Flora Gunung Halimun, dan sebagainya.

Sesuai dengan kondisi lingkungannya, flora di suatu tempat dapat terdiri dari beragam jenis yang
masing-masing dapat terdiri dari beragam variasi gen yang hidup di beberapa tipe habitat (tempat
hidup). Oleh karena itu, muncullah istilah keanekaragaman flora yang mencakup makna
keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik dari jenis, dan keanekaragaman habitat dimana
jenis-jenis flora tersebut tumbuh. Dalam tulisan ini penulis hanya akan menyampaikan sekilas pandang
mengenai keanekaragaman flora pada tingkatan jenis dan habitatnya di Indonesia.

17. Sejarah Singkat Persebaran Geografi Flora di Indonesia

Pola persebaran flora di Indonesia sama dengan po-la persebaran faunanya yang berpangkal pada
sejarah pembentukan daratan kepulauan Indonesia pada masa zaman es. Pada awal masa zaman es,
wilayah bagian barat Indonesia (Dataran Sunda: Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan) menyatu
dengan benua Asia, se-dangkan wilayah bagian timur Indonesia (Dataran Sahul) menyatu dengan benua
Australia. Dengan demikian, wilayah Indonesia merupakan daerah migrasi fauna dan flora antar kedua
benua tersebut. Selanjutnya, pada akhir zaman es, dimana suhu per-mukaan bumi meningkat,
permukaan air lautpun naik kembali, sehingga Pulau Jawa terpisah dari benua Asia, Kalimantan, dan
Sumatera. Begitu pula pulau-pulau lainnya saling terpisah satu sama lain.

Hasil penelitian biogeografi hewan oleh Wallace menunjukkan bahwa jenis-jenis hewan yang hidup
di wilayah bagian barat Indonesia berbeda dengan jenis-jenis hewan di wilayah bagian timur Indonesia,
ba-tasnya kira-kira dari Selat Lombok ke Selat Makassar. Garis batas ini dikenal dengan Garis Wallace.
Selain Wallace, peneliti berkebangsaan Jerman, Weber, mengadakan penelitian tentang biogeografi
fauna di Indonesia, yang hasilnya mencetuskan Garis Weber yang menetapkan batas penyebaran hewan
dari benua Australia ke wilayah bagian timur Indonesia.

Berdasarkan hasil proses pembentukan daratan wilayah Indonesia serta hasil penelitian Wallace dan
Weber, maka secara geologis, persebaran flora (begitu pula fauna) di Indonesia dibagi ke dalam 3
wilayah, yaitu:

7. Flora Dataran Sunda yang meliputi Jawa, Su-matera, Kalimantan, dan Bali. Flora di pulau-pulau
tersebut berada di bawah pengaruh flora Asia ka-rena ciri-cirinya mirip dengan ciri-ciri flora benua
Asia, disebut juga flora Asiatis yang didominasi oleh jenis tumbuhan berhabitus pohon dari suku
Dipterocarpaceae.

29. Flora Dataran Sahul yang meliputi Papua dan pu-lau-pulau kecil di sekitarnya. Flora di pulau-pulau
tersebut berada di bawah pengaruh benua Australia, biasa disebut flora Australis yang didominasi
oleh jenis-jenis tumbuhan berhabitus pohon dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae.

30. Flora Daerah Peralihan (Daerah Wallace) yang meliputi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara
yang berada di bawah pengaruh benua Asia dan Australia, yang mana jenis tumbuhan berhabitus
pohonnya didominasi oleh jenis dari suku Arau-cariaceae, Myrtaceae, dan Verbenaceae.
65
Dalam dunia tumbuhan, flora di wilayah Indonesia merupakan bagian dari flora Malesiana. Ditinjau dari
wilayah biogeografi, setidaknyaterdapat tujuh wilayah biogeografi utama Indonesia yang menjadi wilayah
penyebaran berbagai spesies tumbuhan, yaitu Sumatra, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi,

Maluku dan Irian Jaya (BAPPENAS 1993).Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan
spesies tumbuhan, maka Irian Jaya (Pa-pua) menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan
wilayah biogeografi lainnya, diikuti Kaliman-tan dan Sumatera (Tabel 1).

Tabel 1. Perbandingan kekayaan spesies dan keaslian (endemisme) spesies tumbuhan di tujuh wilayah biogeografi Indonesia

Kekayaan Persentase spesies


No. Wilayah
spesies endemik

Sumatera
1. 820 11

Jawa
2. 630 5

Kalimantan
3. 900 33

Sulawesi
4. 520 7

Sunda Kecil
5. 150 3

Maluku
6. 380 6

Irian Jaya
7. 1030 55
(Papua)

Sumber: FAO/MacKinnon (1981)

Berdasarkan habitatnya, penyebaran tersebut selain di kawasan budidaya sebagian besar terdapat di
dalam kawasan hutan. Untuk tumbuhan obat misalnya, sekitar 42% terdapat di hutan hujan tropika
dataran rendah, 18% di hutan musim, 4% di hutan pantai dan 3% di hutan mangrove. Untuk jenis
paku-pakuan, tercatat penyebarannya di Sumatera sebanyak 500 spesies, Kalimantan 1.000 spesies,
Jawa-Bali/NTB/NTT 500 spesies, Sulawesi 500 spesies, Kepulauan Maluku 690 spesies dan Papua
2.000 spesies. Perkiraan jumlah spesies di setiap wilayah penyebaran tersebut boleh jadi ada tumpang
tindih antara satu pulau dengan lainnya, namun ada juga spesies endemik (Kato dalam Santosa 1996).

3. Sumberdaya Flora di Indonesia

3.1. Keanekaragaman Spesies Flora

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di kawasan tropis antara dua benua (Asia dan
Australia) dan dua Samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) yang terdiri atas sekitar 17.500
pulau dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km. Wilayah Indonesia luasnya sekitar 9 juta km2 (2
juta km2 daratan, dan 7 juta km 2 lautan). Luas wilayah Indonesia ini hanya sekitar 1,3% dari luas bumi,
namun mempunyai tingkat keberagaman kehidupan yang sangat tinggi. Untuk tumbuhan, Indonesia
diperkirakan memiliki 25% dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia atau merupakan urutan
negara terbesar ketujuh dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies, 40% merupakan tumbuhan
endemik atau asli Indonesia. Famili tumbuhan yang memiliki anggota spesies paling banyak adalah
Orchidaceae (anggrek-anggrekan) yakni mencapai 4.000 spesies. Untuk jenis tumbuhan berkayu,
famili Dipterocarpaceae memiliki 386 spesies, anggota famili Myrtaceae (Eugenia) dan Moraceae
(Ficus) sebanyak 500 spesies dan anggota famili Ericaceae sebanyak 737 spesies, termasuk 287
spesies Rhododendrom dan 239 spesies Naccinium (Whitemore 1985 dalam Santoso 1996).

66
Kartawinata (2005) melaporkan beberapa hasil studi mengenai keragaman jenis tumbuhan pada
berbagai tipe vegetasi/hutan di beberapa pulau utama

Indonesia seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2.Keragaman jenis tumbuhan pada berbagai tipe vegetasi/hutan di beberapa pulau utama
Indonesia

Site 1 700–770 4 x 0.16 719 179 Bratawinata (1986)

Plot size Mean density Number of


Locality Alt.(m) Reference
(ha) (Trees/ha) Species

1 2 3 4 5 6

Site 2 850–930 4 x 0.16 838 78 Bratawinata (1986)

Site 3 930–990 4 x 0.16 785 157 Bratawinata (1986)

Site 4 1100–1350 4 x 0.16 648 117 Bratawinata (1986)

Site 5 1350–1560 4 x 0.16 785 156 Bratawinata (1986)

Site 6 1780–1920 4 x 0.16 654 106 Bratawinata (1986)

West Kalimantan

Muara Kendawangan N.R.

Purwaningsih & Amir


Hill forest 30 0.3 770 33
(2001)

Central Kalimantan

Wanariset Sangai 15 584± 72 1298 Wilkie et al. (2004)

Bukit Karung 300-900 4x0.15 598 225 Riswan S.(2002)

North Sumatra

Gunung Leuser N.P.

Ketambe 1 460-670 1.6 538 116 Abdulhadi et al. (1989)

Ketambe 2 350-450 1.6 420 94 Abdulhadi (1991)

67
Ketambe 3 350-450 1.6 475 127 Abdulhadi et al. (1991)

Batang Gadis N. P.

Aek Nangali 660 1 538 182 Kartawinata et al.(2004)

Riau

Bukit Tiga Puluh N.P.

Bukit Lawang 297 1.0 453 216 Polosokan (2001)

North Sulawesi

Toraut 1 408 109 Whitmore & Sidiyasa (1986)

Lore Lindu N.P.

Purwaningsih & Yusuf


Plot 1 500 0.3 323 30
(2005)

Purwaningsih & Yusuf


Plot 2 750 0.3 570 47
(2005)

Purwaningsih & Yusuf


Plot 3 1000 0.3 567 41
(2005)

B.N. Wartabone N.P.

Dudepo 180 0.4 610 64 Rahayoe et al. (1996)

Tanganga 1 200 0.2 410 31 Rahayoe et al. (1996)

Tanganga 2 200 0.2 480 21 Rahayoe et al. (1996)

Gunung Kabela 1 150 0.26 323 46 Polosokan & Siregar (2001)

Gunung Kabela 2 250 0.2 430 45 Polosokan & Siregar (2001)

Gunung Kabela 3 300 0.2 485 33 Polosokan & Siregar (2001)

Gunung Kabela 4 400 0.2 575 61 Polosokan & Siregar (2001)

Central Sulawesi

Sausu 45-85 0.4 770 68 Sidiyasa (1995)

South Sulawesi

Wotu 0.4 725 62 Sidiyasa (1988)

South East Sulawesi

Wawoni Island

68
Lampeapi < 300 11 x 0.09 568 91 Rahayoe et al. (2004b)

Lansinowo 1 100 0.5 436 50 Purwaningsih (2003)

Lansinowo 2 300 0.5 492 40 Purwaningsih (2003)

69
Plot size
Plot size Mean density
Mean density Number of
Number of
Locality
Locality Alt.(m)
Alt.(m) Reference
Reference
(ha)
(ha) (Trees/ha)
(Trees/ha) Species
Species

11 22 33 44 55 66

Lansinowo
DRYLAND 3
FOREST 500 0.3 813 9 Purwaningsih (2003)

NorthKalimantan
East Buton W.R.

Gunung Wani
Malinau 1 1 300
100 0.5
12.0 462
759 60
225 Mansur & Wardi
Karrtawijaya (2004)
et al. (in Prep.)

Gunung Wani
Malinau 2 2 400
100 2 x0.5
1.0 442
413 49
240 Mansur & Wardi
Yusuf (2003)(2004)

Malinau
Soloi 3 100 4 x0.5
1.0 606
554 404
60 Samsoedin
Mansur((2003)
in Prep. )

Berau
Maluku <100 3 x 4.0 521 538 Sist & Saridan (1999)

Wanariset Samboja 1
Halmahera <100
630 10.5
0.5 567
742 562
76 Kartawinata
Whitmore (unpublished)
et al. (1987)

Wanariset Samboja 2 <100 1.5 541 239 Kartawinata et al. (1981)


Papua

Lempake <100 1.6 445 209 Riswan, S. (1987)


Partomihardjo &
Wamena : Wanduga 2800 0.5 528 28
Sungai Barang Supardiyono (1993)

Wamena : Tengon 1600 0.15 813 38 Partomihardjo (1991)

Wamena : Kurulu 1600-2350 0.7 564 76 Partomihardjo (1991)

Yapen Tengah N.R. 600-1200 14 x 0.1 799 235 Partomihardjo (1991)

70
Supiori N.R. 1-Slope 320 0.5 1024 93 Siregar (2001)

Supiori N.R. 2-Flat ridge 320 0.5 1010 77 Siregar (2001)

Central Java

Karimun Jawa N.P.

Plot 1 100 m 0.4 738 68 Yusuf et al. (2004)

Plot 2 200 m 0.4 725 71 Yusuf et al. (2004)

Plot 3 300 m 0.4 866 56 Yusuf et al. (2004)

West Java

Gunung Halimun N.P.

Purwabakti: 2 nd forest 900 1.0 441 69 Yusuf (2004)

Citalahab : 2 nd forest 1000-1200 0.7 395 51 Rahayoe (1996)

Mirmanto & Simbolon


Citorek: Plot Group 1 905-1127 5 x 0.1 530 56
(1998)

Mirmanto & Simbolon


Plot Group 2 761-893 5 x 0.1 384 61
(1998)

Mirmanto & Simbolon


Plot Group 3 784-939 2 x 0.1 106 26
(1998)

Mirmanto & Simbolon


Cikaniki 850-1500 26 x 0.09 601 73
(1997)

Mirmanto & Simbolon


Cikelat 1000-1600 21 x 0.09 624 80
(1997)

Cisarua Mirmanto & Simbolon


1100-1500 13 x 0.09 408 85
(1997)

Mirmanto & Simbolon


Cisangku 1050-1800 13 x 0.09 671 84
(1997)

Gunung Gede-Pangrango N.P.

Cibodas 1 1500-1900 4.0 889 93 Abdulhadi et al.(1998)

Cibodas 2 1600 1.0 427 57 Yamada (1975)

Cibodas 3 1700 0.1 450 19 Yamada (1977)

Cibodas 4 1900 0.1 560 15 Yamada (1977)

Cibodas 5 2100 0.1 840 14 Yamada (1977)

71
Cibodas 6 2300 0.1 1100 11 Yamada (1977)
Plot size Mean density Number of
Locality Alt.(m) Reference
Cibodas 7 2400 (ha)
0.4 (Trees/ha)
1516 Species
10 Yamada (1976)

1 2 3 4 5 6
Cibodas 8 2600 0.04 2225 8 Yamada (1977)

Muara Tolam < 100 0.2 705 46 Anderson (1976)


Cibodas 9 2800 0.04 1100 7 Yamada (1977)
Sungai Siak Kecil < 100 0.2 831 50 Anderson (1976)
Cibodas 10 3000 0.04 3829 9 Yamada (1977)
Bengkalis 1 < 100 0.24 584 33 Siregar (2002)
PEAT SWAMP FOREST
Bengkalis 2 < 100 0.24 801 28 Siregar (2002)

Sumatera
West Kalimantan

Teluk Kiambang < 100 0.2 752 34 Anderson (1976)


Sungai Durian <100 0.2 1006 39 Anderson (1976)

Sungai Sebangan <100 0.2 1200 50 Anderson (1976)

Sungai Pinyuh & Mandor 30-60 1.6 342 119 Mirmanto et al.(1993)

FRESH WATER SWAMP FOREST

East Kalimantan

Suhardjono & Wiriadinata


Sesayap >100 1.0 400 76
(1984)

West Kalimantan

Kedawangan N.R.

Purwaningsih & Amir


Freshwater swamp 15 0.3 590 17
(2001)

Purwaningsih & Amir


Semi-swamp 20 0.3 390 54
(2001)

KERANGAS (HEATH) FOREST

72
East Kalimantan

Samboja 1 <100 0.5 750 24 Riswan (1987b)

Samboja 2 <100 0.5 554 14 Riswan (1987b)

Untuk jenis paku-pakuan, Indonesia juga tercatat memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi
mencapai lebih 4000 spesies tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara.Untuk jenis rotan, tercatat
ada sekitar 332 spesies terdiri dari 204 spesies dari genera Calamus, 86 spesies dari genera
Daemonorps, 25 spesies dari genera Korthalsia, 7 spesies dari genera Ceratolobus, 4 spesies dari
genera Plectocomia, 4 spesies dari genera Plectocomiopsis dan 2 spesies dari genera Myrialepsis.
Selain itu banyak juga jenis-jenis keanekaragaman tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat di
Indonesia. Menurut catatan WHO sekitar 20.000 spesies tumbuhan dipergunakan oleh penduduk dunia
sebagai obat. Zuhud & Haryanto (1994) mencatat ada sekitar 1.260 spesies tumbuhan yang secara
pasti diketahui berkhasiat obat.

Indonesia juga tercatat sebagai salah satu pusat Vavilov yaitu pusat sebaran keanekaragaman
genetik tumbuhan budidaya/pertanian untuk tanaman pisang (Musa spp.) pala (Myristica fragrans),
cengkeh (Syzygium aromaticum), durian (Durio spp.) dan rambutan (Nephelium spp.)

Hutan Indonesia juga diketahui memiliki keanekaragaman jenis pohon palem (Arecaceae) tertinggi
di dunia, lebih dari 400 spesies (70%) pohon meranti (Dipterocarpaceae) terbesar di dunia sebagai
jenis kayu tropika primadona, dan memiliki 122 spesies bambu dari 1.200 spesies bambu yang
tumbuh di bumi. Tingginya kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut juga ditunjukkan oleh
kekayaan di hutan Kalimantan. Misalnya, dalam satu hektar dapat tumbuh lebih dari 150 spesies
pohon yang berlainan, tercatat 3.000 spesies pohon, serta memiliki 19 dari 27 spesies durian yang
terdapat di kawasan Melanesia. Indonesia juga memiliki lebih dari 350 jenis rotan dan merupakan
penghasil ¾ rotan dunia.

Meskipun dari jumlah spesies tumbuhan, Indonesia tercatat sebagai negara dengan kekayaan
tumbuhan yang tinggi, namun sayang potensi sumberdaya genetik yang terkandung di dalamnya belum
diketahui semuanya. Hanya sebagian kecil spesies tumbuhan yang telah diketahui informasi
sumberdaya genetiknya, terutama untuk jenis-jenis yang telah dikembangkan pemanfaatannya secara
komersial.

3.2. Status Kelangkaan

Eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati, penebangan liar, konversi kawasan hutan menjadi
areal lain, perburuan dan perdagangan liar adalah beberapa faktor yang menyebabkan terancamnya
keanekaragaman hayati. Untuk mendorong usaha penyelamatan sumberdaya alam yang ada, dan
adanya realitas meningkatnya keterancaman dan kepunahan sumberdaya hayati, maka ditetapkan
adanya status kelangkaan suatu spesies. Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman dan
kepunahan spesies tumbuhan tertinggi di dunia dan merupakan hot-spot kepunahan satwa. Tercatat
sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan langka, diantaranya banyak yang merupakan spesies
budidaya.Paling sedikit 52 spesies keluarga anggrek, 11 spesies rotan, 9 spesies bambu, 9 spesies
pinang, 6 spesies durian, 4 spesies pala, dan 3 spesies mangga (Mogea et al. 2001).Selain itu ada 44
spesies tanaman obat dikategorikan langka, seperti pulasari, kedawung, jambe, pasak bumi, gaharu,
sanrego (Rifai et al. 1992; Zuhud et al. 2001) (Tabel 3).

Dari catatan lain untuk dunia flora, juga diketahui sekitar 36 spesies kayu di Indonesia terancam
punah, termasuk kayu ulin di Kalimantan Selatan, sawo kecik di Jawa Timur, Bali Barat dan Sumbawa,
kayu hitam di Sulawesi, dan kayu pandak di Jawa. Pakis haji (Cycas rumphii) yang pernah populer
sebagai tanaman hias kini sulit ditemukan di alam, demikian pula Pakis hias (Ponia sylvestris), Anggrek
jawa (Phalaenopsis javanica) dan sejenis rotan (Ceratobulus glaucescens) kini hanya tinggal beberapa
batang di pantai selatan Jawa Barat. Bahkan Whitten (1994) dalam Suhirman et al.(1994) menduga
bahwa tiga spesies anggrek endemik Jawa telah punah, yaitu spesies Habenaria giriensis, Plocoglottis
latifolia dan Zeuxine tjiampeana.

73
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999 terdapat tidak kurang dari 58 spesies
tumbuhan yang termasuk kedalam 6 famili termasuk kategori dilindungi, diantarannya yaitu
keluarga talas-talasan (miss. Amorphohalus titanum), palem (Ceratolobus glaucencens), anggrek
(Phalaenopsis javanica), kantong semar (Nephenthes spp.), bunga patma (Rafflesia spp) dan
meranti (Shorea spp.). Daftar spesies tumbuhan yang dilindungi dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 3.Beberapa spesies tumbuhan obat yang dikategorikan langka

Bagian
Nama Lokal/ Bagian yang Nama Lokal/ yang
No. Nama Ilmiah No. Nama Ilmiah
Perdagangan digunakan Perdagangan digunakan

Parameria Rafflesia
1 Kayu rapet Kulit kayu 23 Patmosari Bunga
laevigata patma

R.
2 Pulasari Alyxia halmaherai Akar 24 Padma Bunga
zollingeriana

Anaxagorea
3 Pulasari A. reinwardtii Akar 25 Pelir musang Daun
javanica

Caesalpinia Aquilaria
4 Secang Kayu 26 Gaharu Kayu
sappan beccariana

A.
5 Kedawung Parkia roxburghii Biji 27 Gaharu Kayu
malaccensis

Cryptocarya Cibotium
6 Mesoyi Kulit kayu 28 Paku simpai Rimpang
massoi barometz

Cinnamomum
7 Kemukus Piper cubeba Buah 29 Kulit lawang Kulit
culilaban

Usnea Curcuma
8 Rasuk angin Talus daun 30 Temu putri Rimpan
misaminensis petiolata

Seluruh Elettariopsis
9 Jambe Areca catechu 31 Puar tenganau Akar
bagian sumatrana

Eurycoma Kadsura
10 Pasak bumi Akar 32 Ki lembur Akar
longifolia scandens

Woodfordia Oroxylum
11 Sidowayah Bunga 33 Kayu pedang Kayu
floribunda indicum

Kaempferia Parkia
12 Kunci pepet Rimpang 34 Petir Biji
angustifolia intermedia

Scutellaria
13 Nagasari Mesua ferrea Bunga 35 Perlutan Kulit kayu
javanica

Pimpinella Strychnos
14 Purwoceng Akar 36 Cetek Buah
pruatjan ignatii

15 Sukmodiluwih Gunnera Kembang 37 Ki sariawan Symplocos Talus daun

74
macrophylla odoratissima

Cinnamomum Hamperu Voacanga Seluruh


16 Sintok lekat Kulit 38
sintoc bebek grandifolia bagian

Strychnos Lunasia
17 Bidara laut Kayu 39 Sanrego Akar
ligustrina amara

Rauvolfia
18 Pulai Alstonia scholaris Kulit 40 Pule pandak Bunga
serpentina

Murraya
19 Kayu ules Helicteres isora Daun 41 Kemuning Rimpang
paniculata

Terminalia Ficus
20 Joholawe Buah 42 Tabat barito Akar
balerica deltoidea

Euchresta Tamarindus
21 Pranajiwo Biji 43 Asem glugur Kembang
horsfIeldii indicus

Merremia Pangium
22 Bidara upas Umbi 44 Kluwek Kulit
mammosa edule

Sumber: Rifai et al. (1992), Zuhud et al. (2001)

Tabel 4. Spesies tumbuhan yang dilindungi (Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun
1999)

TUMBUHAN

I. ARACEAE

1 Amorphophallus decussilvae Bunga bangkai jangkung

2 Amorphophallus titanum Bunga bangkai raksasa

II. PALMAE

75
3 Borrassodendron borneensis Bindang, Budang

4 Caryota no Palem raja/Indonesia

5 Ceratolobus glaucescens Palem Jawa

6 Cystostachys lakka Pinang merah Kalimantan

7 Cystostachys ronda Pinang merah Bangka

8 Eugeissona utilis Bertan

9 Johanneste ijsmania altifrons Daun payung

10 Livistona spp. Palem kipas Sumatera (semua jenis dari genus Livistona)

11 Nenga gajah Palem Sumatera

12 Phoenix paludosa Korma rawa

13 Pigafatta filaris Manga

14 Pinanga javana Pinang Jawa

II. RAFFLESSIACEA

15 Rafflesia spp. Rafflesia, Bunga padma (semua jenis dari genus Rafflesia)

III. ORCHIDACEAE

16 Ascocentrum miniatum Anggrek kebutan

17 Coelogyne pandurata Anggrek hitan

18 Corybas fornicatus Anggrek koribas

19 Cymbidium hartinahianum Anggrek hartinah

76
20 Dendrobium catinecloesum Anggrek karawai

21 Dendrobium d'albertisii Anggrek albert


1
9
3
22 Dendrobium lasianthera Anggrek stuberi

23 Dendrobium macrophyllum Anggrek jamrud

24 Dendrobium ostrinoglossum Anggrek karawai

25 Dendrobium phalaenopsis Anggrek larat

26 Grammatophyllum papuanum Anggrek raksasa Irian

27 Grammatophyllum speciosum Anggrek tebu

28 Macodes petola Anggrek ki aksara

29 Paphiopedilum chamberlainianum Anggrek kasut kumis

30 Paphiopedilum glaucophyllum Anggrek kasut berbulu

31 Paphiopedilum praestans Anggrek kasut pita

32 Paraphalaenopsis denevei Anggrek bulan bintang

33 Paraphalaenopsis laycockii Anggrek bulan Kaliman Tengah

34 Paraphalaenopsis serpentilingua Anggrek bulan Kaliman Barat

35 Phalaenopsis amboinensis Anggrek bulan Ambon

36 Phalaenopsis gigantea Anggrek bulan raksasa

37 Phalaenopsis sumatrana Anggrek bulan Sumatera

77
38 Phalaenopsis violacose Anggrek kelip

39 Renanthera matutina Anggrek jingga

40 Spathoglottis zurea Anggrek sendok

41 Vanda celebica Vanda mungil Minahasa

42 Vanda hookeriana Vanda pensil

43 Vanda pumila Vanda mini

44 Vanda sumatrana Vanda Sumatera

IV. NEPHENTACEAE

45 Nephentes spp. Kantong semar (semua jenis dari genus Nephentes)

V. DIPTEROCARPACEAE

46 Shorea stenopten Tengkawang

47 Shorea stenoptera Tengkawang

48 Shorea gysberstiana Tengkawang

49 Shorea pinanga Tengkawang

50 Shorea compressa Tengkawang

51 Shorea semiris Tengkawang

52 Shorea martiana Tengkawang

53 Shorea mexistopteryx Tengkawang

54 Shorea beccariana Tengkawang

78
55 Shorea micrantha Tengkawang

56 Shorea palembanica Tengkawang

57 Shorea lepidota Tengkawang

58 Shorea singkawang Tengkawang

79
4. Klasifikasi Ekosistem

Kartawinata telah membuat bagan unit-unit ekosistem atau tipe-tipe ekosistem darat dan rawa yang
ada di Indonesia. Tipe ekosistem dianggap unit-unit yang paling kecil dan dibentuk berdasarkan
fisi-ognomi (kenampakan) struktur dan takson (unit tak-sonomi) yang khas atau dominan dari vegetasi
yang dikombinasikan dengan faktor-faktor iklim dan ketinggian dari permukaan laut serta tanah.
Faktor-faktor fisik lingkungan lainnya tidak dimasukkan ka-rena datanya kurang, lagipula perincian
ekosistem dengan cirri-ciri vegetasi dan lingkungan dapat diang-gap cukup. Berdasarkan komposisi
jenis masing-masing tipe ekosistem dapat saja terdiri dari unit-unit yang lebih kecil. Ekosistem hutan
kerangas misalnya, mungkin tersusun dari unit komunitas Combretocar-pus-Dactylocladus dan
Tristania-Cratoxylum.

Menurut Klasifikasi Kartawinata (1976) ini, ada ti-ga tingkatan klasifikasi, yaitu: Bioma, Subbioma,
dan Tipe Ekosistem. Bioma dapat pula disebut sebuah ekosistem yang merupakan unit komunitas
terbesar yang mudah dikenal dan terdiri atas formasi vegetasi dan hewan serta makhluk hidup lainnya,
baik yang sudah mencapai fase klimaks maupun yang masih dalam fase perkembangan. Di Indonesia
dapat dikenal beberapa bioma, yaitu: (a) Hutan Hujan, (b) Hutan Musim, (c) Savana, dan (d) Padang
Rumput. Unit-unit ekosistem ini masih terlalu besar untuk digunakan dengan maksud-maksud khusus,
sehingga memer-lukan pembagian yang lebih kecil lagi.

Pembagian Bioma menjadi Subbioma didasarkan pada keadaan iklim, misalnya untuk Hutan Hujan
dibedakan antara Hutan Hujan Tanah Kering dan Hu-tan Hujan Tanah Rawa (permanen atau musiman).
Adapun pembagian tipe-tipe ekosistem sebagai unit yang paling kecil dibentuk berdasarkan struktur
fisi-ognomi, faktor-faktor iklim, ketinggian dari per-mukaan laut, dan jenis tanah.

Khusus untuk flora pegunungan, van Steenis pada tahun 1972 dalam bukunya yang berjudul The
Mountain Flora of Java mengemukakan batas-batas orografik dari flora pegunungan Malesia seperti
tertera pada Tabel 6.

Tabel 5. Satuan-satuan ekosistem di Indonesia berdasarkan struktur fisiognomi, faktor-faktor iklim, ketinggian dari permukaan
laut, dan jenis tanah (Kartawinata 1976)

80
Tabel 6. Batas-batas orografik dari flora pegunungan Malesia

Elevasi (mdpl) Vegetasi Zonasi Keterangan

-5-1 ZONA LITORAL (lamun dan alga) ZONA LAUT

-1-0.25 MANGROVE

0.25-1 FLORA PANTAI

1-5 BARRINGTONIA & GUMUK


ZONA PANAS
PASIR

5-500 ZONA PAMAH

500-1000 ZONA BUKIT

Hutan tertutup berbatang pohon ZONA SUBPEGU-


1000 – 1500
tinggi dan miskin akan lumut NUNGAN
VEGETASI POHON
Hutan tertutup berbatang pohon
1600-2000 ALAMI
tinggi di atas elevasi 2000 m, den-

gan diameter batang yang bertam- ZONA PEGUNUNGAN

2100-2400 bah kecil dan lumut yang bertambah

81
banyak

Hutan rapat rendah dengan pohon-

pohon tinggi, menyendiri, sering


2500-3300
berlumut, atau terdapat konifera

3400-3600 BATAS HUTAN ZONA SUBALPIN

Semak-semak rendah menyendiri


3700-3900
atau berupa rumput atau konifera

4000 BATAS POHON

GURUN BATU

Dengan lumut, lumut kerak dan


4100-4500 ZONA ALPIN
beberapa Fanerogam, terutama VEGETASI TERNA ALPIN

rumput dan teki ALAMI

ZONA SALJU (NIVAL


4600-5000 SALJU ABADI
ZONE)

82
Daftar Pustaka

16. Abdulhadi R, Kartawinata K, Sukardjo S. 1981. Effect on mechanized logging in the lowland dipterocarp forest at Lempake,
East Kalimantan. Malaysian Forester 44: 407-418.

17. Abdulhadi R, Mirmanto E, Kartawinata K. 1987. A lowland dipterocarp forest in Sekundur, North Sumatra, Indonesia: five
years after mechanized logging. Pp. 255-237 in Kostermans, AJGH. 9Ed.) Proceedings of the Third Round Table
Conference on Dipterocarps. UNESCO/ROSTSEA, Jakarta.

18. Abdulhadi R, Mirmanto E, Yusuf R. 1989. Struktur dan komposisi petak hutan Dipterocarpaceae di Ketambe, Taman
Nasional Gunung Leuser. Ekologi Indonesia 1:29-36.

19. Abdulhadi R, Yusuf R, Kartawinata K. 1991. A riverine tropical rain forest in Ketambe, Gunung Leuser National Park,
Sumatra, Indonesia. In Soerianegara I, Tjitrosomo SS, Umaly RC, Umboh I. (Eds.). 1991. Proceeding of the fourth
round-table conference on dipterocarpus. BIOTROP Special Publication No. 41: 247-255.

20. Abdulhadi R, Srijanto A, Kartawinata K. 1998. Composition, structure, and changes in a montane rain forest at the Cibodas
Biosphere Reserve, West Java, Indonesia. Pp. 601-612 in Dallmeier F and Comiskey JA (Eds.). 1998. Forest biodiversity
research, monitoring, and modeling. Conceptual background and Old World case studies. Man and the Biosphere Series
Vol. 20, UNESCO, Paris.

9. Abdulhadi. 1992. Floristic change in a sub-tropical rain forest succession. Reinwardita 11: 13-23.

10. Anderson JAR. 1976. Observation on the ecology of five peat swamp forest in Sumatera and Kalimantan. In Proceedings
ATA 106 Midterm Seminar on Peat and Podzolic Soils and their Potential for Agriculture in Indonesia. Soil Research
Institute, Bogor.

11. [BAPPENAS] Badan Perencana Pembangunan Nasional.1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Jakarta:
BAPPENAS.

12. Bratawinata AA. 1986. Bestandesgliederung eines bergenwaldes in Ostkalimantan/Indonesien nach floristischen
undstrukturellen Markmalen [Disertasi]. Georg-Augus-Universitat Gottingen, Germany.

13. Kartawinata K, Abdulhadi R, Partomihardjo T. 1981. Composition and structure of a lowland dipterocarp forest at
Wanariset, East Kalimantan. Malaysian Forester 44: 397-406.

14. Kartawinata K, Afriastini JJ, Heriyanto M, Samsoedin I. 2004. A tree species inventory in the Batang Gadis National Park,
North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12: 2004.

15. Kartawinata K. 2005. Six decades of natural vegetation studies in Indonesia. Hal. 95-140 dalam Soemodihardjo S dan
Sastrapradja (Ed.), Six Decades of Science and Scientist in Indonesia. Naturindo, Bogor.

16. Mansur M, Wardi. 2004. Penelitian ekologi tumbuhan di sekitar G. Wani, SMS Buton Utara, Sulawesi Tenggara.
Lap. Teknik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. hal.103-113.

6. Mansur M. 2003. Analisis vegetasi hutan di Desa Salua dan Kaduwaa Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
J.Tek.Ling 4(1): 1-7.

7. Mirmanto E, Simbolon. H. 1998. Vegetation analysis of Citorek forest, Gunung Halimun National Park: 41-59. In Simbolon
H, M Yoneda, Sugardjito J. (Eds.) Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia, vol. IV – Gunung Halimun: the
Last Submontane Tropical Forest in West Java. LIPI, JICA, & PHPA, Bogor.

8. Mogea JP, Gandawidjaja D, Wiriadinata H, Nasution RE, Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Herbarium
Bogoriense P3 Biologi-LIPI, Bogor.
83
9. Partomihardjo T. 1991. Analisis vegetasi hutan sekitar Air Garam, Jayawijaya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Hayati 1990/1991. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor.

10. Partomihardjo T, Supardiyono. 1993. Penelaahan ekologi kawasan hutanWanduga dan Jalur Wamens-Tengon (Km 65),
Jayawijaya, Irian Jaya: 234-240. In Adikehrana, AS Waluyo EB, Yulistiono H (Eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya Hayat. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor, 4 Juni 1993.

11. Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999. Tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

12. Rahayoe. 1996. Fisiognomi dan keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Nasional Gunung Halimun: 1-9. In Arief AJ, et
al. (Eds.). Laporan Teknik Proyek Penelitian, Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat Tahun 1995/1996. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor.

13. Rifai MA, Rugayah, Widjaja EA (Eds.). 1992. Tiga Puluh Tumbuhan Obat Langka Indonesia. Penggalang Taksonomi
Tumbuhan Indonesia, Bogor.

14. Riswan S. 1987. Structure and floristic composition of a mixed dipterocarp forest at Lempake, East Kalimantan. Pp. 435-457
in Kostermans AJGH (Ed.). 1987. Proceedings of the third-round table conference on dipterocarps. UNESCO, Jakarta.

31. Sidiyasa K. 1995. Structure and composition of ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) forest in West Kalimantan.
Wanatrop 8(2): 1-11.

32. Sist P, Saridan A. 1999. Stand structure and floristic composition of primary lowland dipterocarp forest in East Kalimantan. J.
Trop. For. Sci. 11: 704-722.

33. Van Steenis CGGJ, Hamzah A, Toha M. 1972. Mountain Flora of Java. E. J. De Brill, Leiden.

34. Whitemore TC, Sidiyasa K. 1986. Composition and structure of a lowland rain forest at Toraut, Northern Sulawesi. Kew Bull
41: 747-756.

35. Whitemore TC, Sidiyasa K, Whitmore TJ. 1987. Tree species enumeration of 0.5 hectare on Halmahera. Gardens Bulletin
Singapore 40:31-34.

36. Wielke P, Argent G, Cambell E, Saridan A. 2004. The diversity of 15 ha of lowland mixed dipterocarp forest, Central
Kalimantan, Indonesia. Hydrology and Conservation 13: 695-708.

37. Yamada I. 1975. Forest ecological studies of the montane forest of Mt. Pangrango, West Java. I. Stratification and floristic
composition of the montane rain forest near Cibodas. The Southeast Asian Studies 13: 402-426.

38. Yamada. 1976. Forest ecological studies of the montane forest of Mt. Pangrango, West Java. II. Stratification and floristic
composition of the forest vegetation of the higher part of Mt. Pangrango. The Southeast Asian Studies 13: 513-534.

39. Yamada I. 1977. Forest ecological studies of the montane forest of Mt. Pangrango, West Java. IV. Floristic along the altitude.
The Southeast Asian Studies 15: 226-254.

40. Zuhud EAM, Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Fakultas
Kehutanan IPB, Bogo

84
85
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON

Volume 1, Nomor 3, Juni 2015 ISSN: 2407-8050

Halaman: 472-476 DOI: 10.13057/psnmbi/m010316

Analisis keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di hutan


lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah dan potensinya
sebagai kawasan konservasi burung

Analysis of the fruit plant species diversity in Surokonto conservation forest,


Kendal, Central Java and its potential as a bird conservation area

ARY SUSATYO NUGROHO♥, TRIA ANIS, MARIA ULFAH


Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPATI, Universitas PGRI Semarang. Jl. Dr. Cipto, Sidodadi Timur No. 24, Semarang 50125,
Jawa Tengah. Tel. +62-24-8316377, Faks. +62-24-8448217, ♥email: arysusatyo@upgrismg.ac.id

Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 26 April 2015.

Abstrak. Nugroho AS, Anis T, Ulfah M. 2015. Analisis keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di hutan lindung
Surokonto, Kendal, Jawa Tengah dan potensinya sebagai kawasan konservasi burung. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon 1: 472-476. Tumbuhan berbuah merupakan komponen penting dalam menyediakan sumber pakan bagi
berbagai jenis burung pada ekosistem hutan. Hutan lindung Surokonto merupakan hutan hujan tropis yang terletak
di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Di dalam hutan ini terdapat
berbagai jenis tumbuhan berbuah yang berpontensi sebagai sumber pakan berbagai jenis burung. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di hutan lindung Surokonto, Kendal dan
potensinya sebagai kawasan konservasi burung. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014 melalui observasi
langsung. Pengambilan data dilakukan dengan metode transect line. Dari hasil pengambilan data, ditemukan 13
spesies tumbuhan berbuah yang berpotensi sebagai sumber pakan burung dengan nilai Indeks keanekaragaman
jenis 2,47 serta indeks kemerataan mencapai 0,96. Spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi adalah
86
Muntingia calabura, sedangkan nilai kerapatan terendah adalah Ficus benjamina. Dari hasil penelitian
disimpulkan bahwa tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah yang berpotensi sebagai sumber pakan
burung di hutan lindung Surokonto, Kendal tergolong kategori sedang. Dengan keanekaragaman tumbuhan
berbuah ini, hutan lindung Surokonto, Kendal berpotensi sebagai kawasan konservasi burung-burung liar untuk
menjaga agar terhindar dari kepunahan.

Kata kunci: Keanekaragaman tumbuhan berbuah, pakan burung, hutan lindung Surokonto, kawasan konservasi

Abstract. Nugroho AS, Anis T, Ulfah M. 2015. Analysis of the fruit plant species diversity in Surokonto protection
forest, Kendal, Central Java and its potential as a bird conservation area. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1:
472-476. The fruit plants are the important component in providing a feed source for many species of birds in the
forest ecosystem. The Surokonto protection forest is a tropical rain forest located in the Surokonto Wetan Village,
Pageruyung Subdistrict, Kendal District, Central Java. In the forest, there are various species of fruit plant as feed
for various birds species. This aim of this study was to determine the diversity of fruit plant species in the
Surokonto protection forest, Kendal, Central Java and its potential as a bird conservation area. The study was
conducted between May and June 2014 by direct observation. The data collection was performed by transect line
method. In this study found 13 species of fruit plants potentially as a source feed of birds with the value of diversity
index of 2.47 and evenness index of 0.96. The species that have the highest density was Muntingia calabura, while
the lowest was Ficus benjamina density. The conclusion is the potential level of fruit plant species diversity as bird
feed source in Surokonto protection forest, was medium category. By this fruit plant diversity, Surokonto
protection forest has potential as conservation of wild birds to keep in order avoiding extinction.

Keywords: Fruit plants diversity, bird feed, Surokonto conservation forest, conservation areas

87
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia
(megabiodiversity countries) bersama dengan Brazil dan Zaire (RD Congo). Keanekaragaman hayati
tersebut meliputi tumbuhan dan hewan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia
menempati urutan keempat dunia untuk keanekaragaman jenis tumbuhan, yaitu memiliki kurang lebih
38.000 jenis. Keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut tergambar pada hutan-hutan yang tersebar di
seluruh kawasan Indonesia (Indrawan et al. 2007).

Tumbuhan merupakan organisme autotrof yang dapat menghasilkan bahan organik untuk keperluan
hidupnya dan menjadi ujung rantai makanan bagi beragam jenis organisme heterotof. Dari beragam
jenis tumbuhan terdapat jenis-jenis tumbuhan berbunga yang menghasilkan buah baik buah sederhana,
buah agregat maupun buah majemuk. Tumbuhan yang mengasilkan buah mempunyai peran sangat
penting dalam ekosistem hutan. Selain membentuk iklim mikro dan menyediakan relung ekologik,
buah dari tumbuhan tersebut menjadi sumber makanan utama bagi beragam jenis hewan (Odum 1996).

Hewan yang memanfaatkan buah sebagai sumber makanan antara lain adalah beragam jenis burung.
Sebagian besar burung herbivora memanfaatkan buah sebagai sumber makanan baik buah basah
maupun buah kering atau biji-bijian serta nektar. Burung omnivora juga memanfaatkan buah sebagai
sumber makanannya selain sumber makanan lain. Dengan kata lain keberadaan dan kelestarian
burung-burung tersebut sangat tergantung dari keberadaan dan kelimpahan tumbuhan berbuah sehingga
keanekaragaman tumbuhan berbuah menjadi kunci bagi kehidupan dan pelestarian berbagai jenis
burung (Irwan 2010).
Indonesia mempunyai sekitar 17% dari total jenis burung di dunia. Indonesia menempati urutan
kelima untuk keanekaragaman jenis burung (1.531 jenis, 397 jenis di antaranya endemik), bahkan
khusus untuk keaneka-ragaman burung paruh bengkok, Indonesia menempati urutan pertama dengan 75
jenis, 38 jenis di antaranya endemik. Namun demikian, Indonesia juga merupakan negara dengan
tingkat keterancaman keanekaragaman hayati yang tinggi akibat berbagai macam gangguan. Oleh
karena itu diperlukan upaya serius dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman burung yang ada
(Indrawan et al. 2007).
Hutan lindung Surokonto merupakan salah satu hutan lindung yang terdapat di Kecamatan
Pageruyung Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah. Hutan lindung ini mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Peraturan Presiden
Nomor 28 tahun 2011).

Di dalam hutan lindung Surokonto terdapat beberapa jenis tumbuhan berbuah seperti pohon Bendo
(Artocarpus elasticus), Kepoh (Sterculia foetida), Salam (Antidesma bunius), Talok (Muntinga
calabura), Preh (Ficus ribes Reinw), Klampok (Syzygium samarangense), Wuni (Antidesma bunius),
Kopi (Coffea arabica), Rau (Dracontomelon dao), Pucung (Pangium edule), Beringin (Ficus
benjamina), Jambu Klampok atau Jambu Alas (Syzygium densiflora) dan lain sebagainya. Buah dari
beberapa jenis tumbuhan tersebut secara alami menjadi sumber makanan bagi berbagai jenis hewan
yang terdapat di hutan tersebut termasuk di antaranya jenis-jenis burung pemakan buah. Dengan
demikian keberadaan tumbuhan berbuah tersebut turut mendukung penyediaan sumber pakan bagi
berbagai jenis burung pemakan buah (Indrawan et al. 2007).

Keanekaragaman tumbuhan berbuah di hutan lindung Surokonto belum banyak diketahui dengan
pasti. Data-data hasil penelitian yang telah dilakukan juga belum banyak mengungkap keanekaragaman
jenis tumbuhan berbuah tersebut. Di sisi lain tumbuhan berbuah merupakan komponen penyusun
ekosistem hutan yang sangat penting. Oleh karena itu penelitian tentang keanekaragaman jenis
tumbuhan berbuah sebagai sumber pakan burung di hutan lindung Surokonto perlu dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekayaan jenis dan tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan
berbuah di hutan lindung Surokonto dan potensinya sebagai kawasan pelestarian burung.

BAHAN DAN METODE

88
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014 di kawasan hutan lindung Surokonto,
Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Peta lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 1. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode Transect line, yaitu dengan berjalan
menyusuri hutan di sepanjang garis transek yang telah ditentukan. Garis transek dibuat sepanjang 500
meter membelah kawasan hutan dengan jarak antargaris transek100 meter. Garis transek secara
keseluruhan berjumlah enam garis. Selanjutnya dilakukan inventarisasi dan penghitungan tumbuhan
berbuah di sepanjang garis transek dengan jarak pandang 50 meter ke kanan dan 50 meter ke kiri dari
garis yang dilewati. Data yang diambil meliputi jenis-jenis tumbuhan berbuah, jumlah individu tiap
jenis tumbuhan berbuah, jenis tumbuhan berbuah yang buahnya dimakan oleh burung, dan jenis-jenis
burung yang memakan buah, serta kondisi lingkungan hutan meliputi suhu udara, kelembapan udara,
intensitas cahaya, serta faktor-faktor edafik dan topografi. Data sekunder diambil melalui penelusuran
kajian pustaka terhadap berbagai literatur, baik jurnal, buku, makalah, mass media maupun informasi
dari internet yang berkaitan dengan tema penelitian.
Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan
dengan cara mengkaji dan mendeskripsikan fakta-fakta yang ada berkaitan dengan jenis-jenis tumbuhan
berbuah, kondisi lingkungan hutan dan potensi hutan lindung Surokonto sebagai kawasan konservasi
burung. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara menganalisis data yang telah diperoleh
menggunakan Indeks-indeks ekologik, yaitu Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kemerataan
Jenis serta Kerapatan Relatif populasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi lingkungan hutan lindung Surokonto

Hutan lindung Surokonto merupakan hutan hujan tropis dengan posisi geografis terletak di antara
109˚43’-110˚24' Bujur Timur dan 6˚51’-7˚7’ Lintang Selatan dan secara administratif berada di Desa
Surokonto, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Vegetasi hutan lindung
Surokonto merupakan vegetasi khas hutan hujan tropis. Kondisi kanopi dalam hutan relatif rapat dan
berstratifikasi. Hutan lindung Surokonto mempunyai luas wilayah 76,6 hektar, berada pada ketinggian
1.200-1.400 m. dpl dengan suhu udara rata-rata 27-28°C, kelembapan udara rata-rata 78-90% dan
permukaan lantai hutannya bergelombang, curam serta berbatu. Secara lengkap kondisi lingkungan di
hutan lindung Surokonto disajikan pada Tabel 1.

89
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di hutan lindung Surokonto, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa
Tengah

Tabel 1. Kondisi lingkungan hutan lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah

Faktor Lingkungan Kisaran

Klimatik Suhu udara (°C ) 27-28


Kelembapan udara (%) 78-90

Intensitas cahaya (Lux) 450-1.580

Edafik Keasaman tanah 5-6

Suhu tanah (°C) 27-28

Kelembapan tanah (%) 5-7

Topografi Ketinggian tempat (m. dpl) 1.200-1.400

Permukaan lahan Bergelombang,

curam dan berbatu

Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan berbuah di kawasan hutan lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah yang
ditemukan di sepanjang jalur transek.

Nama spesies Nama daerah

Annona muricata Sirsak


Antidesma bunius Wuni

Dysoxylum gaudichaudianu Kedoya

Ficus benjamina Beringin

Ficus ribes reinw Sepreh

Mangifera indica Mangga

90
Manilkara kauki Sawo

Muntinga calabura Kresen/talok

Schleichera oleosa Kesambi

Syzygium cumini Duwet

Syzygium densiflora Jambu alas

Syzygium polyanthum Salam

Syzygium samarangense Jambu klampok

Tabel 3. Kerapatan tumbuhan berbuah di kawasan hutan lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah

Nama spesies ∑ pohon KR (%)

Annona muricata 3 7,5

Antidesma bunius 3 7,5

Dysoxylum gaudichaudianu 2 5,0

Ficus benjamina 1 1,6

Ficus ribes reinw 2 5,0

Mangifera indica 5 12,5

Manilkara kauki 4 9,9

Muntinga calabura 6 14,9

Schleichera oleosa 2 5,0

Syzygium cumini 3 7,5

Syzygium densiflora 4 9,9

Syzygium polyanthum 3 7,5

Syzygium samarangense 2 5,0

Total 40 100

Indeks keanekaragan jenis 2,47344

Indeks kemerataan jenis 0,96432

Kondisi lingkungan hutan lindung Surokonto seperti tersebut di atas merupakan kondisi lingkungan
yang umum dijumpai pada hutan-hutan tropis di Indonesia. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai bagi
hidup dan berkembangnya berbagai jenis satwa liar termasuk berbagai jenis burung liar. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar burung mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kondisi
hutan. Wisnubudi (2009) menyatakan bahwa berbagai jenis burung liar di kawasan wisata taman nasional
Gunung Halimun-Salak dapat menyebar secara vertikal menyesuaikan dengan kebutuhan dan keberadaan
pakan.

Tabel 4. Jenis-jenis tumbuhan berbuah dan jenis burung yang memakannya di kawasan hutan lindung
Surokonto, Kendal, Jawa Tengah

Nama tumbuhan Jenis burung pemakan buah

Annona muricata Kutilang, cucak hijau


Antidesma bunius Cucak hijau, kutilang emas, trocok

91
Dysoxylum gaudichaudianu Betet, pelatuk, cucuk

Ficus benjamina Cucak hijau, trucuk jenggot, katik.

Ficus ribes Kutilang, cucak jenggot, trocokan,

cucak hijau

Mangifera indica Cucak hijau

Manilkara kauki Kutilang

Muntinga calabura Cucak hijau, kepodang, kutilang

Schleichera oleosa Kutilang, cucak jenggot

Syzygium cumini Kutilang dan trocokan

Syzygium densiflora Cucak hijau

Syzygium polyanthum Cicak hijau, kutilang emas

Syzygium samarangense Cucak hijau, kutilang

Jenis tumbuhan berbuah sebagai sumber pakan burung

Dari hasil observasi di kawasan hutan lindung Surokonto Kecamatan Pageruyung Kabupaten
Kendal diperoleh 17 jenis tumbuhan berbuah yang terdapat dalam jalur transek dan13 jenis di
antaranya diketahui buahnya menjadi makanan bagi berbagai jenis burung. Tingkat keanekaragaman
jenis tumbuhan berbuah tersebut tergolong dalam kategori sedang. Jenis- jenis tumbuhan berbuah
yang dijadikan sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis burung disajikan pada Tabel 2.
Tumbuhan berbuah tersebut di atas berdasarkan jumlah ovary (bakal buah) termasuk dalam jenis
buah sederhana, berdasarkan umur atau daur hidupnya termasuk dalam tumbuhan berumur panjang
atau tahunan (parennial). Kerapatan Relatif, Indeks Keanekaragaman jenis dan Indeks Kemerataan
Jenis tumbuhan berbuah secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa
kerapatan tumbuhan berbuah sebagai sumber pakan burung di hutan lindung Surokonto Kecamatan
Pageruyung Kabupaten Kendal yang paling banyak adalah Kresen (Muntinga calabura) dan mangga
( Mangifera indica) dibandingkan dengan spesies lainnya. Sedangkan pohon beringin (Ficus
benjamina) merupakan tumbuhan yang paling sedikit.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di
kawasan hutan lindung Surokonto Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal adalah 2,47344. Nilai
indeks keanekaragaman jenis yang berkisar antara 1 hingga 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman
jenis pada suatu transek termasuk kategori sedang. Nilai indeks keanekaragaman tergantung dari
variasi jumlah spesies dan jumlah individu spesies yang didapatkan. Semakin kecil jumlah spesies
dan variasi jumlah individu tiap spesies maka keanekaragaman suatu ekosistem semakin kecil.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem apabila terjadi gangguan atau
tekanan dari lingkungan, yang berarti hanya jenis tertentu yang mampu bertahan hidup. Nilai indeks
kemerataan jenis adalah 0,96432. Hasil pengukuran indeks kemerataan jenis yang diperoleh adalah
mendekati 1. Hal ini mengindikasi bahwa jenis keanekaragaman pohon berbuah yang ada dilokasi
penelitian menunjukkan komunitas dengan tingkat kemerataan tinggi.

Keanekaragaman hayati yang tinggi menunjukkan bahwa dalam komunitas tersebut memiliki
kompleksitas tinggi dan akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi atau jaring
makanan, predasi, pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks dan lebih stabil.
Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu
komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil walaupun terdapat gangguan terhadap
komponen-komponennya (Sriyati 2011).

Potensi hutan lindung Surokonto sebagai kawasan konservasi burung

Burung merupakan plasma nutfah yang memiliki keunikan dengan nilai ekologis, ilmu pengetahuan,
wisata dan budaya yang tinggi. Spesies-spesies burung akan dapat saling berinteraksi dan terdistribusi
pada komunitasnya (Desmawati 2010) . Namun demikian keberadaan burung liar di alam bebas dari
waktu ke waktu semakin tertekan akibat berbagai gangguan dari manusia.

Gangguan terhadap burung dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama gangguan langsung pada
burung, yaitu gangguan pada individu burung atau populasi burung. Kedua gangguan tidak langsung,
yaitu gangguan atau tekanan pada habitat burung. Gangguan langsung terhadap burung, yaitu dengan

92
membunuh burung untuk bahan makanan, bulu, minyak, olahraga berburu, dan sebagainya. Sedangkan
gangguan tidak langsung adalah perubahan atau modifikasi lingkungan alami oleh manusia menjadi
lahan pertanian, kebun, perkotaan, jalan raya, dan industri. Partasasmita (2003) melaporkan bahwa
aktivitas penebangan dan konversi hutan telah mengakibatkan jenis burung yang sensitif kepadatannya
semakin menurun.

Dalam rangka mendukung konservasi burung diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat
menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat
berlindung, berkembang biak dan tempat untuk bermain serta mengasuh anak. Untuk keperluan tersebut,
kawasan hutan lindung Surokonto mempunyai potensi yang tinggi untuk memenuhi beragam kebutuhan
konservasi burung. Hutan lindung Surokonto merupakan sebuah hutan dengan luas wilayah 76,7 hektar
dan di dalamnya terdapat beragam jenis tumbuhan berbuah dengan tingkat keanekaragaman sedang
serta kondisi lingkungan yang masih alami.

Keanekaragaman jenis burung berbeda pada setiap habitat, tergantung dari kondisi lingkungan dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Burung merupakan pengguna ruang yang cukup baik. Dilihat
dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal dapat
dilihat dari tipe habitat yang dihuni oleh burung, sedangkan secara vertikal dari stratifikasi profil hutan
yang dimanfaatkan. Keberadaan jenis burung menurut perbedaan strata dapat dikelompokkan menjdi
strata semak, strata antara semak, pohon dan strata tajuk. Penyebaran vertikal terbagi dalam kelompok
burung penghuni atas tajuk dan kelompok burung pemakan buah.

Mardiastuti et al. (2001) menyatakan bahwa burung besar atau pemakan buah cenderung memilih
tajuk bagian atas karena kemudahannya mendatangi tempat tersebut dan persaingan dengan jenis lain.
Burung lainnya memilih bagian tepi karena kemudahannya berpindah dari dan ke pohon lain terdekat.
Bagian tengah yang lebih terlindung dipilih oleh burung-burung yang relatif kecil dan mudah berpindah.
Kuswanda (2010) menyatakan bahwa komposisi tumbuhan di Taman Nasional Batang Gadis
mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.

Burung memerlukan habitat yang digunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain
dan tempat berkembang biak. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan burung yang
hidup di dalamnya secara normal. Odum (1996) menyatakan bahwa habitat memiliki kapasitas (daya
dukung) tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Burung di alam bebas akan
lebih banyak ditemukan pada habitat yang memiliki sumber daya yang dibutuhkan, sebaliknya jarang
atau tidak ditemukan pada lingkungan yang kurang menguntungkan. Widodo (2010) menyatakan
bahwa keanekaragaman burung di hutan alami lebih tinggi dibanding hutan produksi.

Hutan lindung Surokonto memiliki beragam jenis tumbuhan dengan beragam bentuk, ukuran dan
ketinggian tajuk. Tiap jenis tumbuhan mempunyai tajuk yang khas. Antar tumbuhan juga membentuk
ruang yang dapat dimanfaatkan oleh beragam jenis burung. Dengan demikian hutan lindung Surokonto
dapat memenuhi kebutuhan ruang bagi burung baik secara vertikal maupun horizontal.

Hutan lindung Surokonto juga dapat memenuhi kebutuhan makanan bagi burung. Hutan ini
memiliki 13 jenis tumbuhan berbuah di mana buah tumbuhan tersebut menjadi makanan alami bagi
jenis-jenis burung yang ada. Di kawasan lain Hidayat (2014) menemukan 14 jenis tumbuhan yang
menjadi sumber pakan kakatua sumba di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Di Taman Nasional
Manusela Seram terdapat 47 jenis tumbuhan sebagai sumber pakan alami burung (Widodo 2006).
Jenis-jenis tumbuhan berbuah dan jenis burung yang memakan buahnya disajikan pada Tabel 4.

Menurut Novarino et al. (2002) burung pemakan buah-buahan merupakan kelompok yang umum
dijumpai di daerah hutan sekunder. Selain itu juga ditemukan jenis burung yang merupakan pemakan
serangga. Hal ini mengindikasikan bahwa tumbuhan berbuah tidak hanya dimanfaatkan oleh burung
pemakan buah saja, tetapi juga dimanfaatkan oleh jenis burung lainnya seperti burung pemakan
serangga.

Hubungan antara burung dengan tumbuhan merupakan interaksi yang saling menguntungkan. Bagi
tumbuhan, diasporanya akan tersebar jauh dari tumbuhan induknya. Hal ini terutama terjadi pada
diaspora yang tidak dapat disebarkan oleh angin. Selain itu, biji juga akan lebih cepat berkecambah
karena kulit dan daging buah telah dihancurkan pada saat melewati pencernaan burung. Burung juga
mendapatkan keuntungan dari interaksi tersebut terutama bagi burung pemakan buah atau nektar yang
memanfaatkan bagian tumbuhan sebagai sumber makanan (Mardiastuti 2001).

Burung memililki peran penting sebagai indikator kesehatan lingkungan dan pengatur ekosistem,
seperti pengendali hama, pemencar biji dan penyerbuk. Keberadaan burung di suatu tempat menjadi
indikator bahwa tempat tersebut memberikan daya dukung terhadap kelangsungan hidupnya, sebagai
contoh, tersedianya sumber makanan, tempat bersarang, tempat bersembunyi dan tempat bertengger.

93
Keberadaan burung-burung di kawasan hutan lindung Surokonto saat pengamatan menunjukkan bahwa
kawasan tersebut mempunyai daya dukung bagi kelangsungan hidup burung dan mempunyai potensi
tinggi sebagai kawasan konservasi burung.
Dari hasil analisis dan kajian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa kawasan hutan
lindung Surokonto yang terletak di Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal Jawa Tengah dengan
luas wilayah 76,6 hektar mempunyai 13 jenis tumbuhan berbuah dengan tingkat keanekaramana sedang
dan dapat dijadikan sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis burung liar. Hutan lindung Surokonto
mempunyai potensi yang tinggi sebagai kawasan konservasi burung liar di luar kawasan konservasi
yang telah ditetapkan pemerintah.

94
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat O. 2014. Komposisi, Preferensi dan Sebaran Jenis Tumbuhan Pakan Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata)
di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 3 (1): 25-36.

Indrawan M, Primack RB, SupriatnaJ. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Irwan ZA. 2010. Prinsip-prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan, dan Pelestariannya. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Kuswanda W. 2010. Pengaruh komposisi tumbuhan terhadap populasi burung di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (2): 193-213.

Mardiastuti A, Salim LR, Mulyani YA. 2001. Perilaku makan rangkong Sulawesi pada dua jenis Ficus di Suaka Margasatwa
Lambusango, Buton. Media Konservasi 6 (1): 7-10.

Novarino W, Salsabila A, Jarulis. 2002. Struktur Komunitas Burung Lapisan Bawah pada Daerah Pinggir Hutan Sekunder
Dataran Rendah Sumatera Barat. Zoo Indonesia 29: 51-58.

Odum EP. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan: Samingan T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Partasasmita R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Peranannya Sebagai Penyebar Biji. Makalah Falsafah Sains Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2011 tentang: Penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah.

Sriyati. 2011. Keanekaragaman dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di Hutan Aek Naulin Kabupaten Simalungun. [Tesis].
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Widodo W. 2006. Kemelimpahan dan sumber pakan burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah.
Biodiversitas 7: 54-58.

Widodo W. 2010. Studi keanekaan jenis burung dan habitatnya di lereng timur hutan Pegunungan Slamet, Purbalingga, Jawa
Tengah. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik 12 (2): 68-77.

Wisnubudi G. 2009. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di kawasan wisata Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vis
Vitalis 2 (2): 41-49.

95
J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 20, No. 2, Juli. 2013: 119 - 128

Juli. 2013 WIRYONO DAN LIPRANTO: THE DIVERISTY OF LOCALLY 119

96
THE DIVERSITY OF LOCALLY USEFUL PLANTS IN BATU AMPAR
VILLAGE NEAR BUKIT RAJA MANDARA PROTECTED FOREST AREA
IN SOUTH BENGKULU DISTRICT
(Keanekaragaman Jenis Tumbuhan yang Berguna Secara Lokal
di Desa Batu Ampar, di Dekat Kawasan Hutan Lindung Bukit Raja Mandara,
Kabupaten Bengkulu Selatan)

Wiryono* and Lipranto


Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu

Jalan Kandang Limun, Bengkulu 38371A


*Email: wiryonogood@yahoo.com

Diterima: 24 April 2013 Disetujui: 21 Juni


2013

Abstract

The diversity of plant species serves many purposes for community, especially those
living in rural areas. Each traditional community in Indonesia may have specific knowledge
and use of plants found in their environment. Having many plant species and tribes,
Indonesia is rich in biological and cultural diversity. Modern agriculture and globalization,
however, tends to reduce both diversities. It is, therefore, essential that traditional knowledge
and uses of biological diversity be preserved. This study was aimed to document the diversity
of plants used by villagers of Batu Ampar, Kedurang Subdistrict, South Bengkulu District.
Results showed that villagers used as many as 83 species of plants for eight categories,
namely food, followed by medicine, construction, firewood, fence and hedge, handycraft,
coloring agent and poison with 35, 30, 16, 9, fence and hedge 9, handicraft 9, coloring agent
1 and poison 1 species respectively. Fifty five of the plant species were taken from private
land and 28 from forest. Economically, 54 species were used for the villagers’ own purpose,
while 29 species were not only for their own use but also for sale.

Keywords: ethnobotany, plant diversity, traditional ecological knowledge, Bengkulu.

Abstrak

Keanekaragaman jenis tumbuhan memiliki banyak fungsi bagi masyarakat, terutama


adalah mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Masing-masing masyarakat tradisional di
Indonesia memiliki pengetahuan khusus tentang tumbuhan yang terdapat di lingkungan
mereka dan pemanfaatanya. Memiliki banyak jenis tumbuhan dan suku bangsa, Indonesia
kaya akan keanekaragaman biologi dan budaya. Namun, pertanian modern dan globalisasi
cenderung menurunkan keanekaragaman biologi dan budaya tersebut. Oleh kare-na itu,
pelestarian pengetahuan dan pemanfaatan tradisional sangat penting untuk dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan keanekaragaman jenis tumbuhan yang
digunakan oleh penduduk desa Batu Ampar, di Kecamatan Kedurang, Kabupaten Bengkulu
Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk desa tersebut memanfaatkan 83

97
jenis tanaman dalam 8 kategori, yaitu bahan makanan sebanyak 35 jenis, bahan obat-obatan
30 jenis, bahan bangunan 16 jenis, kayu bakar 9 jenis, pagar dan pagar hidup 9 jenis,
kerajinan tangan 9 jenis, pewarna 1 jenis dan racun 1 jenis. Lima puluh lima jenis tumbuhan
diambil dari lahan pribadi dan 28 jenis dari hutan. Secara ekonomis, 54 jenis tumbuhan
dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, sedangkan 29 jenis tumbuhan selain dimanfaatkan
sendiri juga dijual.

Kata kunci: ethnobotani, keanekaragaman jenis tumbuhan, pengetahuan tradisional ekologi,


Bengkulu.

98
INTRODUCTION

Indonesia has very high biological and cultural diversities. Those two aspects of
diversity are reflected in the variety of plant uses by different ethnic groups in Indonesia. The
knowledge of plants and their uses is an essential part of ecological knowledge which is
acquired by societies through long and intensive interaction with nature searching for food
and other needs (Pilgrim et al. 2008). Both biological diversity and cultural diversity are our
precious treasure which we must preserve and protect from threats of globalization and
modernization of agriculture. Around the world, globalization of culture and modernization
of agriculture tend to homogenize culture and biological resources.

Throughout the world, traditional knowledge of plants is being lost (Ramirez, 2007).
In agriculture sector, during the 20th century, about 70% of plant genetic diversity has
disappeared as farmers worldwide have abandoned their local varieties for genetically
uniform, high-yielding varieties (Gleissman, 2007). In Sumatra, modern agriculture and
forestry have converted vast areas of highly diverse natural forest into monoculture, such
as oil palm plantation or acacia plantation (Uryu et al, 2010).

The negative impact of modern agriculture has revived interest on traditional


agriculture which usually maintains high

diversity through agroforestry. The combination of agricultural crops and trees makes
agroforestry ecologically and economically beneficial to local people (Langenberger et al,
2009). In Indonesia, agroforestry has several forms, such as home garden (pekarangan)
and traditional garden (kebun). Unlike modern plantation which is usually monoculture,
home gardens to some degree resembles natural forest in structure and species diversity
(Soemarwoto, 1983). Despite modernization of agriculture, it is encouraging that many
villagers maintain their traditional home gardens and gardens. Those traditional
agricultural lands as well as forest still provide high diversity of plants to rural
community for many purposes. For example, as many as 113 plant species from forest,
gardens and home gardens were used by villagers in Kandang Village, in Bengkulu
(Sunesi and Wiryono, 2007), 99 species in Enggano Island of Bengkulu (Arianto, 2008)
and 160 species in Aimas Village, Papua (Attamimi, 1997), 65 species in Kabaena Island,
Central Sulawesi (Rahayu and Rugayah, 2010) . Maintenance of local knowledge on
plant diversity and its uses is important for biodiversity conservation, which in turn is
essential for the survival of human. Aiona et al (2007) declared that ethnobotany is the
science of survival. The objective of this study was to know the diversity of useful plants
in Batu Ampar village, near Bukit Raja Mandara protected forest area, South Bengkulu
District.

MATERIALS AND METHODS

Sites and time

The study was conducted in 2006 in Batu Ampar Village, Kedurang Sub-District, South
Bengkulu District, Bengkulu province. The village was purposively chosen for this study
because it is located near Bukit Raja Mandara Protected Forest and the people still use plants
for several purposes in their daily life. The village is located at an elevation of 500 m above
sea level, with an average temperature between 25oC – 28 oC. The average rainfall is 300 mm
per month, and relative humidity between 80% - 88%. Most of villagers (60%) did not
graduated from elementary school, 23% graduated from elementary school, and only 9%
graduated from junior or senior high school. All villagers work as farmers, although some

99
have additional income from other jobs. The majority of villagers belong to Serawai and
Semende tribes.

Data collection

Every species of plant has intrinsic val-ue and is ecologically useful. But in this study,
the term useful plants refer to species of plants utilized by the community of Batu Ampar
Village for one or more purposes. This anthropocentric point of view, however,

100
does not mean to neglect the intrinsic and ecological values of other species. Data of
useful plants were collected from respondents, selected through a stratified random
sampling. A total of 170 families in the village were divided into 4 classes based on
education level, and then 20% of them were sampled randomly from each class. Each
respondent was interviewed to get data of the plant name and its parts which were used,
types of uses, its economic value (for sale or for own use), and its origin (state-owned
forest area or private land).

Data analyses

Based on raw data, the uses of plants were grouped into 8 categories, namely food,
medicine, construction material, hedge and fence material, fire wood, craft and ropes,
coloring agent, and poison. The usefulness (use value) of each species was calculated using
this formula (Albuquerque et al, 2006).

n Ui
UV 

n
i

Whereby UV is use value and Ui is the number of uses of the species mentioned by
each respondent and n is the total number of respondents. All data were then tabulated
and analyzed descriptively.

For comparison with similar studies (Arianto, 2008; Sunesi and Wiryono, 2007), a
modified Sørensen Index of Similarity was calculated, using this formula:

Sørensen Index of Similarity =

2c

ISS = x 100 %
AB

i. = common species used by 2 communities being compared.

A = the number of all species utilized by community A

B = the number of all species utilized by community B

This formula is originally used to compare the species composition of two biological
communities (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974).

RESULTS AND DISCUSSION

The diversity of useful species

101
Villagers of Batu Ampar village used as many as 83 species, 55 of which were used
solely for their own needs, while 28 of which were also sold to other people. Most plant
species (50) were taken from private land, and 33 from forest. The plant uses could be
classified into eight categories, namely 1) food, 2) medicine, 3) construction,

18. firewood, 5) fence and hedge, 6) hand-icraft, 7) coloring agent and 8) poison. Most
plants (35 species) fell into the category of food, followed by medicine 30, construc-tion
material 16, handicraft 9, firewood 9, fence and hedge 9. Only one species was used as a
coloring agent, and also one spe-cies for poisoning. Parts of the plants used were fruit (30
times), woody trunk (24), root, rhizome and tube (11), bark (4), non woody stem (4) and
flower (3).

Villagers of Batu Ampar utilized fewer species than Kandang Villagers, Bengkulu,
which was 113 species (Sunesi and Wiryono, 2007), and in Enggano Island, Bengkulu,
99 species (Arianto, 2008). Assuming that the number of utilized species reflected the
local knowledge of economic botany, Batu Ampar villagers knew less than the other two
communities. The similarity indexes between useful plants in Batu Ampar and Kandang
Village was the same with that between Batu Ampar and Enggano Island, which was
39%. Considering that the three communities live in the same province, the similarity
index was relatively low.

The number of species used by communities in three communities in Bengkulu


Province above was lower than that in Aimas Villages, Sorong, Papua which was 160
species (Attammimi, 1997), in villages surrounding Gunung Halimun National Park,
which was 243 species (Rahayu and Harada, 2004) and in Banten which was 163 species
(Wardah, 2003).

Judged from several aspects, coconut was the most useful species in Batu Ampar. It
had the highest use value, namely 76 and it was used by all respondents in four categories.
The leaves, fruit and trunk were all useful. Its fruit and milk were used for varie-ty of
foods, and its milk was also used to treat poisoned persons. Its trunk was used as
construction material and its leaves were used for fire wood. Compared with the use of
coconut in Javanese tribe, the types of coconut uses in Batu Ampar village was rel-atively
low. In Java, the coconut leaves as well as young fruits are used as decoration for many
cultural ceremonies, such as wedding, and the husk is used for handicraft. The second
most useful plant was bamboo which had 52 use value and was used by 95% of
respondents. Bamboo was used for construction material and handicraft.

Plants used as food

Of the 35 plant species used as food, only three were sources of carbohydrate,
namely rice (Oriza sativa), yam (Ipomoea batatas) and cassava (Manihot utilissima).
Rice is still the most important staple food in most areas in Indonesia, including in Batu
Ampar village. The data of plants utilized by respondents in this study were based on the
plants they took from their private land or state forest, and didn’t include the plant
products they bought from market. If the latter included, rice should have been used by
100% respondents because everybody eats rice every day.

Other food species were mainly used as vegetables, spices and fruits. Only one species
was used as beverage, namely coffee. Before the booming of oil palm plantation in Bengkulu
in the 1990s, coffee was the most common plantation in Bengkulu. Until now,

coffee plantation is still important in Bengkulu. Compared with oil palm plantation, coffee
plantation requires less caring.

Plants used as medicine

102
Many traditional communities in Indonesia as well as in other countries still used
traditional medicine in combination with modern medicines (Calvet-Mir et al, 2008). In
Puguk village, as many as 30 species of plants were used as traditional medicines. This
number was relatively small compared with 119 species used as medicines in Keluru
Village, Kerinci District, Jambi Province (Asra et al, 2008) and 161 species in the buffer
zone of Bukit Tiga Puluh National Park in Semerantihan hamlet, Tebo District, Jambi
Province (Julianti et al, 2008).

Plants used for construction materials Trees were the main sources for wood

as construction material. Out of 16 tree species used as construction material, 15 were


taken from state forest and only one from private land. Forest apparently played

8. very important role in supplying construction material in this village. Legally, it is


forbidden to cut trees from state forest, but in many places in Sumatra, rural people still
get timber from forest.

Plants used for handicrafts

As many as 9 plants species were used to make ropes, baskets and other woven
products. Six of them were taken from forest and only three from private land. In Kandang
village of Bengkulu (Sunesi and Wiryono, 2007) and in Enggano of Bengkulu (Arianto,
2008), only 7 species were used for handicraft.

Plants used for fences and hedges

In Batu Ampar Village, people still used living plants as hedges and dead plant
materials as fences. As many as 9 species of plants were used for hedges and fences.
Hedges in Indonesian villages usually serve several purposes. In addition to being used as
border between private lands hedges also provide many plant products such as timber, fire
wood, forage and fruits.

Plants used as firewood


Wood is the main energy for cooking in the village. The respondents used as many as 9
species of plants for firewood, 5 or which were taken from forest and 4 from private land.
In Kandang village also in Bengkulu, the community used 17 species of plants for
firewood (Sunesi and Wiryono, 2007), in Muko-muko, Bengkulu 11 species
(Yeniarti, 2007), and in Sorong 10 species (Attamimi, 1997).

103
Plants used for coloring agent and poison Only two 2 species of plants were used
as coloring agent and one species as poison.

CONCLUSSION

As many as 83 species of plants, 55 of which from private land and 28 from forest, were
used by Villagers of Batu Ampar in eight categories of uses, namely food as many as 35
species, medicine 30, construction 16, firewood 9, fence and hedge 9, hand-icraft 9, coloring
agent 2 and poison 1. Fifty four species were taken for the villagers’ own use, while 29 species
were not only for their own use but also for sale.

104
REFERENCES

Aiona, K., M. J. Balick, B. C. Bennett, K. Bridges, D. A. Burney, L. P. Burney, et al. 2007.


Ethnobotany, the science of survival: a declaration from Kaua‘i. Economic Botany,
61(1): 1–2.

Albuquerque, U.P., R.F.P. Lucena, J.M. Monteiro, A. T.N. Florentino and C.F.C. B.R.
Almeida. 2006. Evaluating two quantitative ethnobotanical techniques. Ethnobotany
Research & Applications 4: 051-2006.

Arianto, W. 2008. Kajian ethnobotani pada beberapa suku di Pulau Enggano. Konservasi
Hayati 4(02): 74-81.

Asra, R., Muswita, P.Murni and Nurfaizah. 2008. Studi etnobotani tentang tumbuhan obat di
hutan adat Temedak oleh masyarakat Keluru, Kabupaten Kerinci. Konservasi Hayati 05
(01): 11-23.

Attamimi, F. 1997. Pengetahuan masyarakat suku Mooi tentang pemanfaatan


sumberdaya nabati di Dusun Maibo De-sa Aimas, Kabupaten Sorong. Skripsi.
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Cendrawasih.

Calvet-Mir, L., V. Reyes-Gracia and S. Tanner. 2008. Is there a divide between local
medicinal knowledge and western medicine? A case study among Am-azonian in
Bolivia. Journal of Ethno-botany & Ethnomedicine. 4 (1):1-11 Gleissman, S.R. 2007.
Agroecology. The Ecology of Sustainable Food Systems. Second ed. CRC Press.
Boca Raton, Florida.
Julianti, R., R. Asra, A. Subagyo and Mus-wita. 2008. Studi etnobotani tum-buhan obat
oleh suku Talang Mamak di buffer zone Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT)
dusun Semerantihan Ka-bupaten Tebo, Jambi. Konservasi Hayati 05 (01): 24-45.

105
Langenberger, G., V. Prigge., K. Martin, B. Belonias and J. Sauerborn. 2009.
Ethnobotanical knowledge of Philippine lowland farmers and its application in
agroforestry. Agroforestry System 7: 173-194.
Mueller-Dombois, D and H. Ellenberg, 1974. Aims and Methods in Vegetation Ecology.
John Willey & Sons. New York.
Pilgrim, S.E., Cullen, L.C., Smith, D.J. and Pretty, J. 2008. Ecological knowledge is lost
in wealthier communities and countries.Environ Science and Technology 42 (4):
1004-1009.
Rahayu, M dan K. Harada. 2004. Peran tumbuhan dalam kehidupan tradisional
masyarakat lokal di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Berita Biologi 7
(2): 17-23.
Rahayu M, Rugayah. 2010. Local knowledge and utilization of plants by local
communities Kabaena Island, Southeast Sulawesi. Berita Biologi 10 (1): 67-75.

Ramirez, C.R. 2007. Ethnobotany and the loss of traditional knowledge in the 21st
century. Ethnobotany Research & Applications 5: 245-247.
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Penerbit
Djambatan. Jakarta
Sunesi, I and Wiryono. 2007. The diversity of plant species utilized by villagers living
near protected forest in Kepahiang District, Bengkulu Province. Indonesian Journal of
Agricultural Sciences, Special Edition (3): 432-439. Uryu, Y, Purastuti, E,
Laumonier, Y, Sunarto, Setia Budi, et al. 2010. Suma-tra’s forests, their wildlife and the
cli-mate. Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and 2009. A quantitative assessment
of some of Sumatra’s natural resources submitted as technical report by invitation to
the National Forestry Council (DKN) and to the National Development Planning
Agency (BAPPENAS) of Indonesia. Jakarta. WWF Indonesia.
Wardah. 2003. Pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat
Baduy Dalam sekitar Gunung Kendeng Selatan, Kabupaten Lebak, Banten. Berita
Biologi 5 (6): 679-689.
Yeniarti, L. 2007. Inventarisasi tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di
sekitar hutan di Desa Gajah Makmur, Kecamatan Muko-Muko Selatan, Kabupaten
Muko-Muko. Skripsi. Jurusan Kehutanan, Universitas Bengkulu.Yeniarti, L.

106
Table 1. The diversity of plants utilized by villagers of Batu Ampar, near Bukit Raja
Mandara Protection Forest, South Bengkulu District

eco- %
No Local name Scientific name Family Parts uses origin UV
nomic users

1 Niugh Cocos nucifera L Arecaceae Frt, Fod, Med,

Trk,Lef Con, Frw PL SL, OU 76 100.0

2 Buluh Bambusa spp Poaceae

(Graminae) Trk, Sht Con, Hcr SF OU 52 94.1

3 Umbut wi Calamus spp Arecaceae Sht,Trk Fod, Hcr SF OU 47 100.0

4 Merampoya Rhodamnia cinerea Myrtaceae Con, Frw,

n Jack Trk Fen SF OU 43 85.3

5 Teghap Artocarpus elasticus Moraceae

Reinw. ex Bl. Trk Con, Hcr SF OU 42 100.0

6 Deghian Durio zibethinus L Bombacaceae Frt, Trk Fod, Con,

Frw PL SL, OU 36 70.6

7 Serikan Rot Hcr SF OU 34 100.0

8 Kawe Coffea arabica L Rubiaceae Frt, Trk Fod, Frw PL OU,SL 33 58.8

9 Padi Oriza sativa L Poaceae

(Gramineae) Frt Fod PL SL, OU 32 94.1

10 Unji Amomum maximum

Roxb. Zingiberaceae Flw, Frt Fod SF SL, OU 31 91.2

11 Kayu res Gliricidia sepium Fabaceae

Steud (Leguminosae) Trk Frw, Fen PL OU 31 91.2

12 Pisang Musa paradisiaca L Musaceae Frt Fod, Med PL OU 28 79.4

13 Puar Amomum walang

(BL) Val. Zingiberaceae Lef Con SF OU 27 79.4

14 Kayu gadis Cinnamomum

porrectum (Roxb.)

Kosterm. Lauraceae Trk Con, Frw SF SL, OU 27 64.7

15 Jarak Jatropha curcas L. Euphorbiaceae Rot, Sap Med, Fen PL OU 22 55.9

16 Kacang Arachis hipogea L. Fabaceae

goreng (Leguminosae) Tub Fod PL SL, OU 17 50.0

17 Simpugh Dillenia excelsa

(Jack) Gilg. Dilleniaceae Trk Con,Frw SF SL, OU 17 44.1

18 Pasang Quercus sp. Fagaceae Trk Frw SF OU 17 50.0

107
19 Kandis Garcinia parvifolia

Miq. Clusiaceae Flw Fod SF OU 16 47.1

20 Petai Parkia speciosa Fabaceae

Hassk (Leguminosae) Frt Fod PL SL, OU 16 47.1

21 Leban Vitex pinnata L Verbenaceae Trk Frw, Fen SF OU 16 47.1

22 Teghung Solanum melongena

L Solanaceae Frt Fod PL SL, OU 15 73.5

23 Kacang Vigna sinensis L Fabaceae

panjang (Leguminosae) Frt Fod PL SL, OU 15 73.5

31. NangkeArtocarpus hetero-

phyllus Lam Malvaceae Frt Fod PL OU 14 41.2

25 Sangsile Carica papaya L Caricaceae Frt Fod,Med PL SL, OU 14 35.3

108
Lanjutan Tabel 1.

26 Paku Diplazium esculentum

Retz. Sw Polypodiaceae Lef, stem Fod SF OU 14 41.2

27 Tebu Saccharum Poaceae

officinarum L. (Graminae) Stem Fod PL OU 13 38.2

28 Kumis Othosiphon aristatus Lamiaceae

kucing (Bl.) Miq. (Labiatae) Lef Med PL OU 10 29.4

23. Mbanglai Zingiber purpureum

Roxb. Zingiberaceae Riz Med PL OU 10 29.4

30 Kenidai Bridelia monoica Merr Phyllantaceae Trk Fen SF OU 10 29.4

31 Jeghing Pithecellobium jiringa Fabaceae

(Leguminosae) Frt Fod PL SL, OU 9 26.5

32 Cintuali Tinospora crispa L. Menisperma-

ceae Lef Med PL OU 9 26.5

33 Pokat Persea americana Mill Lauraceae Frt Fod, Med PL SL, OU 8 23.5

34 Jambu

Keghas Psidium guajava L Myrtaceae Frt Fod, Med PL OU 8 23.5

35 Damagh Agathis sp Araucariaceae Trk Con SF OU 7 20.6

36 Rumput

belande Ageratum conyzoides L. Asteraceae Lef Med SF OU 7 20.6

37 Cabe Capsicum annum L. Solanaceae Frt Fod PL SL, OU 7 20.6

38 Kelinyu Cromolaena odorata Asteraceae Lef, Riz Med PL OU 7 20.6

Curcuma domestica

39 Kunyit Val. Zingiberaceae Tub Med PL OU 7 20.6

40 Mangga Mangifera indica L Anacardiaceae Frt Fod PL SL, OU 7 20.6

41 Bekayu Manihot utilissima Phol Euphorbiaceae Tub, Lf Fod PL OU 7 20.6

42 Bayur Pterospermum javani-

cum Jungh Trk Con SF SL, OU 7 20.6

43 Plawi Alstonia scholaris R.Br. Apocynaceae Trk Con SF SL, OU 6 17.6

44 Limau Citrus aurantifolia

nipis Swingle. Rutaceae Frt Med PL OU 6 17.7

Bunge Hibiscus rosa-sinensis

45 raye L. Malvaceae Lef Med PL OU 6 17.7

46 Besile Ipomoea batatas ( L) Convolvolace-

109
Lam Descourt ae Tub, Lef Fod PL SL, OU 6 17.7

47 Peghie Momordica charantia L Cucurbitaceae Frt Fod PL SL, OU 6 17.7

48 Selasih Ocimum basilicum L. Lamiaceae Lef, Frt,

(Labiatae) Flw Med PL OU 6 17.7

49 Sarkaye Annona squamosa L Annonaceae Frt Fod PL OU 5 14.7

50 Kebiul Caesalpinia bonduc L. Fabaceae

(Leguminosae) Frt Med SF OU 5 14.7

110
Lanjutan Tabel 1.

51 Labu manis Cucurbita pepo L. Cucurbitaceae Frt Fod PL OU 5 14.7

52 Sighih Piper betle L. Piperaceae Lef Med PL OU 5 14.7

53 Tlusugh Plantago asiatica L. Plantaginaceae

ughat Lef Med PL OU 5 14.7

54 Bebie Bauhinia sp Fabaceae

(Leguminosae) Trk Med SF OU 4 11.8

55 Lepang Cucumis sativus L Cucurbitaceae Frt Fod PL SL, OU 4 11.8

56 Duku Lansium domesticum Corr Meliaceae


Frt Fod PL SL, OU 4 11.8

57 Sungkai Peronema canescens Jack Verbenaceae


Trk Con, Fen PL SL, OU 4 11.8

58 Seletup Physalis peruviana L. Solanaceae Lef,

Rot,stem Med SF OU 4 11.8

59 Jambu ayik Syzygium aqueum (Burm f) Myrtaceae

Alston Frt Fod PL OU 4 11.8

60 Dedap Erythrina variegata L. Fabaceae

(Leguminosae) Trk Med PL OU 3 8.8

61 Seluai Hopea spp Dipterocar-

paceae Trk Con SF SL, OU 3 8.8

62 Kandang Lantana camara L. Verbenaceae

ayam Lef Med SF OU 3 8.8

63 Kepayang Pangium edule Reindw Salicaceae Frt Fod SF SL, OU 3 8.8

64 Meranti Shorea spp Dipterocar-

paceae Trk Con SF SL, OU 3 8.8

65 Karas Aquilaria malaccensis Lam. Thymelaeaceae Brk Hcr SF OU 2 5.9

66 Nau Arenga pinnata Merr Arecaceae Frt, Sap Fod PL SL, OU 2 5.9

67 Kapuk Ceiba pentandra (L) Malvaceae

Gaertn Trk Fen PL OU 2 5.9

68 Kecubung Datura mete L. Solanaceae Lef Med PL OU 2 5.9

69 Ubar Gymnacranthera ocellata Myristicaceae

R.T.A. Schouten. Blume. Brk Col SF OU 2 5.9

70 Waru Hibiscus tiliaceus L Malvaceae Brk Hcr SF OU 2 5.9

71 Kederat Mirabilis jalapa L. Nyctaginaceae Rot Med PL OU 2 5.9

111
72 Remunggai Moringa pterygosperma Moringaceae

Gaernt Trk Fen PL OU 2 5.9

73 Rambutan Nephelium lappaceum L Sapindaceae


Frt Fod PL SL, OU 2 5.9

74 Purun Scirpus grossus L. Cyperaceae Lef Hcr PL OU 2 5.9

75 Gelinggang Senna alata (L) Roxb. Fabaceae

(Leguminosae) Lef Med SF OU 2 5.9

112
Lanjutan Tabel 1.

76 Pedas padi Zingiber officinale Rosc Zingiberaceae Riz Med PL OU 2 5.9

77 Rumbai Rhynchospora

corymbosa (L.) Britt Cyperaceae Lef Hcr PL OU 2 5.9

78 Belimbing Averrhoa carambola L Oxalidaceae Frt Fod PL OU 1 2.9

79 Jelutung Dyera costulata Hook.f. Apocynaceae Trk Con SF SL, OU 1 2.9

80 Manggus Garcinia mangostana L. Guttiferae

(Clusiaceae) Frt Fod PL SL, OU 1 2.9

21. Pecah beling Strobilanthes crispus

Blume. Acanthaceae Lef Med PL OU 1 2.9

82 Tuba Derris eliptica Benth Fabaceae

(Leguminosae) Rot, stem Psn SF OU 1 2.9

83 Beringin Ficus benyamina L. Moraceae Brk Hcr SF OU

Abbreviation:

113
Lef = leaf

Frt = fruit

Trk = trunk

Rot = root

Riz = Rizome

Tub = Tuber

Flw = flower

OU = for own

Brk = bark

Sht = shoot

Sdl = seedling

SL = for sale

SF = state forest

PL = private land

Use Med = medicine

Psn = poison

Hcr = handycraft

Fod = food

Con = construction

Frw = fire wood

Col = coloring agent

Fen = fence and

hedge

Note: Stem and sap are abbreviation

114
BAB 4
P-ISSN: 1693-5853 E-ISSN: 2407-2524 Tersedia online http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr

Terakreditasi SK Menristek Dikti


12/M/Kp/II/2015 Nomor DOI: 10.17358/JMA.12.2.126

Pengaruh Atmosfer Kedai Kopi Terhadap Emosi Dan


Keputusan Pembelian Ulang

Vania Pramatatya*)1, Mukhamad Najib**), dan Dodik Ridho Nurrochmat***)

*) Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor

Jl. Raya Pajajaran, Bogor 16151

**) Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajamen, Institut Pertanian Bogor
115
Jl. Kamper, Wing 4 Level 5 Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

**) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga Bogor 16680

ABSTRACT

This research aims to identify the effect of coffeeshop atmospheric stimuli


on repeat-purchase decisions through consumers’ emotions in their minds.
The object of this research took place in Rumah Kopi Ranin, a coffee shop
in Bogor town with a unique atmosphere concept as one of their strategies
in marketing of Indonesian’s specialty coffee and to welfare the Indonesian
coffee farmers. This research was conducted to 166 patrons of Rumah
Kopi Ranin by convenience sampling method. The data is processed by
using a statistical method called PLS (Partial Least Squares) to test the
hypothesis of the variables’ influences such as atmospherics stimuli factors
(exterior, layout, interior, sound, scent, temperature and human variables),
emotions (Pleasure, Arousal, Dominance), and the repeat-purchase
decisions. Findings indicate that interior and consumers’ emotions
influences consumer’s positive affect on repurchase decisions, especially
the interior. While the human variable have a positive influence on
consumers’ emotions, which means patrons view the positive emotions
from the atmosphere is very important in determining their repeat
purchase decisions.

Keyword: specialty coffee, coffee shop, consumers’ emotions, repeat-purchase


decisions,

PLS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh stimulus


atmosfer kedai kopi terhadap keputusan pembelian ulang melalui
emosi di benak konsumen. Objek penelitian ini mengambil lokasi di
Rumah Kopi Ranin, sebuah kedai kopi di Kota Bogor dengan konsep
atmosfer yang unik sebagai salah satu strategi mereka dalam
memasarkan kopi spesial Indonesia dan mensejahterakan petani kopi
Indonesia. Penelitian ini dilakukan kepada 166 pengunjung Rumah
Kopi Ranin dengan metode convenience sampling. Data diolah dengan
menggunakan metode statistika yang disebut PLS (Partial Least
Squares) untuk menguji hipotesis dari pengaruh variabel-variabel
seperti faktor stimulus atmosfer (Eksterior, layout, interior, suara,
aroma, temperatur, dan human variable), emosi (Pleasure, arousal,
dominance), dan keputusan pembelian ulang. Temuan menunjukan
bahwa interior dan emosi konsumen berpengaruh positif signifikan
terhadap keputusan pembelian ulang, terutama interior. Sementara itu,
human variable berpengaruh positif signifikan terhadap emosi yang
berarti pengunjung memandang bahwa emosi positif dari atmosfer
sangat penting dalam menentukan keputusan pembelian ulang mereka.

Kata kunci: kopi spesial, kedai kopi, emosi konsumen, keputusan pembelian ulang, PLS

PENDAHULUAN

116
Indonesia sebagai salah satu negara produsen komoditi kopi terbesar di dunia memiliki
peran penting dalam perdagangan global yaitu dengan perdagangan kopi spesialti. Kopi spesialti
merupakan salah satu komoditi unggulan bagi negara produsen kopi seperti Indonesia karena cita
rasa kopi tersebut. Setiap tempat yang menghasilkan kopi jenis ini memiliki aroma dan rasa yang
berbeda sehingga menjadikan kopi jenis ini tidak dapat ditemukan ditempat selain dimana asal
kopi tersebut ditanam. Sebagian besar negara penghasil komoditi ini adalah negara berkembang
dan negara kurang berkembang. Sedangkan negara-negara yang mengembangkan kopi spesialti
hingga memiliki merek global merupakan negara yang tidak memiliki perkebunan kopi sendiri,
seperti Amerika Serikat dengan merek Starbucks. Dalam perkembangan perdagangan kopi, posisi
kopi spesialti Indonesia memiliki nilai tambah yang rendah sebagai negara produsen kopi,
sedangkan nilai tambah lebih tinggi terdapat di negara konsumen. Oleh karena itu, untuk dapat
berjaya di rumah sendiri, Indonesia harus memiliki strategi pengembangan yang lebih fokus pada
industri hilir seperti membangun merek, citra, dan positioning.

Perkembangan perdagangan kopi spesialti saat ini bertransformasi menuju kafe atau kedai
kopi. Semakin menjamurnya kedai kopi multinasional dewasa ini maka perusahaan nasional
dituntut untuk mampu menghadapi persaingan tersebut. Salah satu strategi perusahaan dalam
menarik minat beli konsumen adalah dengan membuat atribut kedai kopi yang menarik. Seperti
produk, sebuah kedai kopi juga memiliki kepribadian. Beberapa kedai kopi bahkan memiliki
atribut yang jelas di dalam benak konsumen. Dengan kata lain atribut kedai kopi adalah
kepribadian sebuah kedai kopi. Kepribadian atau atribut cafe menggambarkan apa yang dilihat dan
dirasakan oleh konsumen terhadap cafe tertentu (Sopiah, 2008).

Terdapat tujuh komponen untuk atribut cafe seperti atmosfer toko, lokasi, fasilitas
kemudahan, nilai, layanan pramuniaga, layanan purna jual, dan barang dagangan (Koo, 2003).
Menurut Damanik (2008), motivasi konsumen berkunjung ke kedai kopi bukan hanya untuk
menikmati minuman kopi dan makanan yang disajikan, namun juga untuk menikmati suasana
di kedai kopi tersebut. Suasana di dalam istilah pemasaran adalah lingkungan fisik atau
atmosfer. Pengaruh atmosfer pada perilaku pembelian juga didukung oleh banyak penelitian.
Beberapa diantaranya adalah Kotler (2003), Turley dan Milliman (2000), Wakefield dan Baker
(1998), dan Kusumowidagdo (2010). yang menyatakan bahwa perencanaan atmosfer toko yang
tepat akan menghadirkan nuansa, suasana dan estetika yang menarik bagi konsumen sehingga akan
mempengaruhi perilaku konsumen. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Levy
and Weitz (2004): “Atmospherics refer to the design of an environment through visual
communications, lighting, colors, music, and scent that stimulate costumers perceptual and
emotional responses and ultimately affect their purchase behavior”. Dari teori tersebut dapat
disimpulkan bahwa atmosfer memiliki peran penting dalam menarik pembeli secara tidak langsung.
Berdasarkan teori tersebut maka penelitian ini mengambil unsur-unsur lain yang berkaitan, yaitu
emosi dan keputusan pembelian ulang.

Menurut Solomon (2008), suasana hati dapat dipengaruhi oleh desain toko, cuaca, atau
faktor spesifik lainnya bagi konsumen. Mehrabian dan Russell (1974) mengemukakan bahwa
lingkungan tertentu dapat memengaruhi respon emosi pada individu, yang pada gilirannya
menyebabkan individu untuk mendekati atau menghindari lingkungan. Respon emosi tersebut
dapat digambarkan oleh model Stimulus-Organism-Respons (S.O.R) dalam tiga dimensi, antara
lain: kesenangan (pleasure), gairah (arousal), dan dominasi (dominance). Disamping
memengaruhi emosi, atmosfer juga memengaruhi keputusan pembelian. Keputusan pembelian
merupakan perilaku konsumen dalam memperlakukan pengambilan keputusan konsumen sebagai
pemecahan masalah yang dihadapinya. Pemahaman kebutuhan dan proses pembelian konsumen
adalah sangat penting dalam membangun strategi pemasaran yang efektif. Ketika pelanggan
memiliki pengalaman positif terhadap suatu produk maka hal ini akan cenderung membuat mereka
melakukan pembelian ulang pada produk tersebut (Setiadi, 2008).
117
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh stimulus atmosfer di Rumah Kopi
Ranin terhadap emosi dan keputusan pembelian ulang pengunjung. Adapun stimulus atmosfer
yang diteliti adalah eksterior, layout, desain interior, suara, aroma, temperatur, dan manusia.
Besarnya peranan masing-masing stimulus atmosfer tersebut perlu dikaji lebih jauh untuk
dijadikan masukan dalam perencanaan atmosfer Rumah Kopi Ranin dan dapat mewakili
atmosfer kedai kopi lain pada umumnya.

METODE PENELITIAN

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Unit analisis
adalah individu, yaitu pengunjung kedai kopi. Objek penelitian ini mengambil lokasi di
Rumah Kopi Ranin, Jalan Ahmad Sobana 22A, Bantarjati, Bogor. Kedai kopi yang dibangun
pada tahun 2012 ini merupakan salah satu kedai kopi di Bogor yang memiliki atribut unik,
begitu juga dengan konsep atmosfer yang mereka tawarkan. Pemilik sebagai perancang
suasana kedai kopi berusaha untuk memberikan kepada pengunjung di dalam ruangan dengan
konsep lokalitas, seperti penggunaan barang-barang antik khas Indonesia, furniture daur ulang,
dan lain-lain. Prinsip lokalitas tersebut berangkat dari gagasan kedaulatan pangan yang
diusung oleh pemilik, yang berarti menyatukan eco-sosio metabolisme manusia dan alam agar
kopi bisa nikmat secara lestari.

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer berupa informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara
pemilik/manajer, observasi dan penyebaran kuesioner kepada pengunjung Rumah Kopi Ranin.
Data sekunder meliputi dokumen yang berkaitan dengan kedai kopi berupa foto kondisi kedai
kopi yang diteliti, data lagu-lagu yang digunakan, suhu ruangan, tingkat kebisingan di dalam
kedai kopi tersebut, serta data-data yang diperoleh melalui media internet dan jurnal mengenai
atmosfer toko ataupun teori-teori relevan yang terkait dengan penelitian ini.

Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung Rumah Kopi Ranin yang berusia
diatas 16 tahun. Teknik pengambilan sampel yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
coenvenience sampling. Dengan teknik ini, peneliti dapat mudah memilih contoh di mall atau
tempat keramaian karena pada tempat tersebut banyak responden yang dapat memberikan
jawaban atau informasi yang dibutuhkan peneliti (Sumarwan, 2014). Sesuai dengan alat
analisis yang akan digunakan yaitu Structural Equation Model (SEM) maka penentuan jumlah
sampel minimum yang representatif menurut Hair et al. (2006) adalah jumlah parameter yang
diduga dikali 5 sampai 10. Penentuan sampel diambil dari ukuran minimal, yaitu 165
responden (33 buah indikator x 5 ).

Menurut Kotler (1973), atmosfer merupakan usaha merancang lingkungan membeli


untuk menghasilkan pengaruh emosional khusus kepada pembeli yang kemungkinan
meningkatkan pembeliannya. Konsep utama atmosfer adalah suasana sekitar. Kotler
menyebutkan bahwa atmosfer ditangkap melaui panca indera. Dari pengalaman lima dimensi
berdasarkan panca indera, Kotler mendefinisikan kembali istilah atmosfer untuk ‘faktor
lingkungan’ yang menekankan suara, perasaan, aroma, dan penglihatan. Turley dan Miliman
(2000) membagi stimulus atau elemen atmosfer menjadi lima kategori antara lain: eksterior
toko, general interior toko, layout toko, display interior dan human variable. Atmosfer dapat
118
memengaruhi keadaan emosional positif pembeli dan keadaan tersebut dapat menyebabkan
pembelian terjadi. Menurut Kotler (1973), mekanisme atmosfer toko memengaruhi keputusan
pembelian didasarkan dari rantai sebab akibat: 1) objek pembelian berada di ruang yang ditandai
dengan kualitas sensorik tertentu; 2) pembeli mempresepsikan kualitas sensorik ruang; 3) kualitas
yang dirasakan dari atmosfer dapat memengaruhi informasi dan keadaan afektif pembeli; 4)
Perubahan informasi dan keadaan afektif pembeli dapat meningkatkan kemungkinan pembelian.
Hubungan atmosfer toko dengan emosi konsumen dan keputusan pembelian juga dapat
digambarkan oleh model S.O.R yang menunjukkan bahwa lingkungan tertentu dapat memengaruhi
respon emosi pada individu yang pada gilirannya, menyebabkan individu untuk mendekati atau
menghindari lingkungan (Mehrabian dan Russell, 1974). Teori dan penelitian terdahulu yang
terkait dengan penelitian maka kerangka penelitian dapat ditunjukkan pada Gambar 1.

Hipotesis dalam penelitian ini terdiri atas:


H
1 : Eksterior berpengaruh signifikan terhadap
emosi konsumen

H2 : Eksterior berpengaruh signifikan terhadap


keputusan pembelian ulang

H3 : Layout berpengaruh signifikan terhadap


emosi konsumen

H4 : Layout berpengaruh signifikan terhadap


keputusan pembelian ulang

H5 : Desain interior berpengaruh signifikan terhadap emosi konsumen

H6 : Desain Interior berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian ulang

H7 : Suara berpengaruh signifikan terhadap


emosi konsumen

H8 : Suara berpengaruh signifikan terhadap


keputusan pembelian ulang

H9 : Aroma berpengaruh signifikan terhadap


emosi konsumen
H
10 : Aroma berpengaruh signifikan terhadap
keputusan pembelian ulang
H
11 : Temperatur berpengaruh signifikan terhadap
emosi konsumen

119
H
12 : Temperatur berpengaruh signifikan terhadap
keputusan pembelian ulang
H
13 : Human variable berpengaruh signifikan
terhadap emosi konsumen
H
14 : Human variable berpengaruh signifikan
terhadap keputusan pembelian ulang
H
15 : Emosi di benak konsumen akan berpengaruh
signifikan terhadap keputusan pembelian

ulang

HASIL

Karakteristik Responden

Segmen pasar Rumah Kopi Ranin dapat digambarkan oleh profil responden pada Tabel 1.
Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 16–24 tahun, berpendidikan
sarjana, bekerja sebagai karyawan, dan berdomisili di Kota Bogor. Survei responden menunjukkan
bahwa motivasi responden pergi ke kedai kopi adalah untuk bersantai. Pada umumnya mereka
berkunjung dalam bentuk rombongan bersama teman-teman. Rumah Kopi Ranin merupakan kedai
kopi yang paling dikenal dan paling sering dikunjungi dibandingkan dengan kedai kopi lainnya di
kota Bogor karena rekomendasi dari mulut-ke-mulut yang dilakukan konsumen. Mayoritas
pengunjung melakukan pembelian di Rumah Kopi Ranin karena kualitas rasa dari produk yang
ditawarkan.

Pendugaan Model Pengukuran dan Struktural

Model struktural dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan program SmartPLS 2.0 yang
ditampilkan pada Gambar 2. Konsep dan model penelitian diuji dalam suatu model prediksi
hubungan relasional dan kausal setelah melewati tahap purifikasi dalam model pengukuran.
Model pengukuran tersebut digunakan untuk menguji validitas konstruk dan realibilitas
instrumen. Setelah diuji dengan PLS, model struktural pada Gambar 2 dapat dinyatakan telah
memenuhi ukuran kebaikan model yang baik untuk menjelaskan data.

Uji validitas konvergen dapat ditunjukkan pada output SmartPLS dengan nilai semua outer
loading (koefisien korelasi) di atas nilai yang disarankan yaitu sebesar 0,5 yang berarti faktor
tersebut signifikan (Hair et al. 2006). Dengan demikian indikator yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah valid atau telah memenuhi convergent validity. Sementara itu, pada kriteria
cross loading, suatu model dikatakan baik jika loading factor dengan indikator asalnya memang
paling tinggi dibandingkan dengan konstruk lain. Hasil uji validitas diskriminan ditunjukkan oleh
nilai Average Variance Extracted (AVE) yang di atas 0,5 untuk semua konstruk yang terdapat pada

120
model penelitian. Dalam hal ini output smartPLS sudah memenuhi kriteria tersebut. Sedangkan

Kategori Jumlah (n) Presentasi

pada uji realibilitas, hasil output penelitian menunjukkan bahwa nilai composite reliability untuk
semua konstruk adalah di atas 0,7 yang menunjukkan bahwa semua konstruk pada model yang
diestimasi memenuhi kriteria discriminant validity. Uji reabilitas ini diperkuat dengan nilai
Cronbach’s Alpha yang menunjukkan bahwa semua konstruk berada di atas 0,6. Hal ini berarti
keseluruhan variabel saling memperkuat variabel laten atau sudah mampu mengukur variabel
latennya.

Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria outer model, berikutnya dilakukan pengujian
model struktural (Inner model). Hasil output SmartPLS menunjukkan nilai R-square untuk emosi
yaitu sebesar 45,46%, sedangkan sisanya 54,54% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
terdapat dalam model penelitian. Variabel emosi berperan sebagai persepsi konsumen karena
merupakan interpretasi dari rangsangan fisik dan keadaan individu yang bersangkutan (Kotler,
2003). Terdapat beberapa faktor yang turut memengaruhi persepsi individu terhadap suatu objek
antara lain atensi (perhatian), faktor fungsional (personal), dan faktor struktural (situasional)
(Rakhmat, 2007). Dapat disimpulkan bahwa variabel konstruk atmosfer hanya mampu
menjelaskan 45,46%, sedangkan sisanya 54,54% dapat dijelaskan oleh faktor atensi dan faktor
fungsional.

Tabel 1. Deskripsi statistik profil responden

121
Jenis kelamin Laki-laki 109 66%

Perempuan 57 34%

Total 166 100%


Usia 16–24 79 48%

25–33 64 39%

34–42 19 11%

>43 4 2%

Total 166 100%


Pendidikan SMU/SMK 36 22%

Diploma 10 6%

Sarjana 106 64%

Master 12 7%

Doktor 2 1%

Total 166 100%


Pekerjaan Pelajar/mahasiswa 57 34%

Karyawan 68 41%

Pekerja lepas 17 10%

Wirausaha 22 13%
Ibu rumah tangga/belum
bekerja 2 1%

Total 166 100%


Domisili Kota Bogor 131 79%

Luar Bogor 35 21%

Total 166 100%

122
Pada variabel keputusan pembelian ulang dihasilkan R-square sebesar 45,83%, sedangkan
sisanya 54,16% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Menurut Kotler (2003) perilaku
pembelian konsumen dipengaruhi oleh empat faktor, diantaranya faktor budaya, faktor sosial,
faktor pribadi, dan faktor psikologis. Dalam hal ini, emosi di benak konsumen berperan
sebagai faktor psikologis karena dibangun berdasarkan persepsi. Dapat disimpulkan bahwa
variabel konstruk emosi hanya mampu menjelaskan 45,83% sebagai faktor terhadap
keputusan pembelian, sedangkan 54,16% dijelaskan oleh faktor budaya, faktor sosial, dan
faktor pribadi yang terkait.

Gambar 2. Model struktural penelitian

Pada Tabel 2 menjelaskan mengenai hubungan variabel dan indikator. Di samping itu,
menunjukkan seberapa besar atau kuat indikator mampu mengukur atau merepresentasikan
variabel latennya. Semakin nilai koefisien korelasi (outer model) mendekati nilai 1 maka
semakin erat hubungan indikator tersebut terhadap suatu variabel.

Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis ditunjukkan pada Tabel 3 berdasarkan hasil output SmartPLS. Pengujian
hipotesis didapat dengan menggunakan perbandingan T-table dan t-statistic. Batas untuk menolak

123
dan menerima hipotesis adalah >1,96 dimana apabila nilai t kurang dari 1,96 maka hipotesis akan
ditolak atau dengan kata lain menerima hipotesis nol (H0) (Hartono, 2008). Tabel 3 menunjukkan
bahwa dari ketujuh variabel independen (stimulus atmosfer) hanya variabel interior yang diterima
sebagai variabel yang memengaruhi keputusan pembelian ulang dengan nilai 2,458 (>1.96).
Variabel emosi diterima sebagai variabel intervening yang memengaruhi keputusan pembelian
ulang dengan nilai 2,406 dan human variable diterima sebagai variabel independen (stimulus
atmosfer) yang memengaruhi emosi dibenak konsumen dengan nilai 3,288. Dalam hal ini, emosi
berperan sebagai penghubung antara human variable dengan keputusan pembelian ulang. Interior
sebagai variabel atmosfer berpengaruh terhadap keputusan pembelian secara langsung.

124
Pengaruh Interior

Uji hipotesis menunjukkan bahwa keputusan pembelian di Rumah Kopi Ranin dipengaruhi
signifikan oleh perencanaan interior yang baik di kedai kopi tersebut. Hal ini sejalan dengan teori
tentang interior yang dikemukakan oleh Berman dan Evans (1995) bahwa interior yang menarik
perhatian pengunjung akan membantu memudahkan mereka dalam proses keputusan pembelian.
Berpengaruh signifikannya variabel laten interior ini terhadap keputusan pembelian ulang juga
sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Donovan dan Rossiter (1982), Ali dan Hansu (2011),
Lisan dan Meldarianda (2010), Ma’ruf (2006), dan Widyanto (2014). Studi tersebut menemukan
bahwa interior memengaruhi pelanggan untuk berkunjung dan melakukan pembelian, minat beli,
tingkat kenyamanan, dan penjualan. Interior berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan
pembelian ulang tetapi tidak signifikan terhadap emosi. Hal ini dikarenakan interior pertama kali
memberi kesan tertentu secara visual dan mengkomunikasikan suasana yang ingin dibangun, yang
pada akhirnya akan memengaruhi emosi.

Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa skema warna atau kombinasi warna pada interior
Rumah Kopi Ranin menjadi tolak ukur utama yang membentuk persepsi interior di kedai kopi ini.
Urutan kedua dengan nilai koefisien terbesar diperoleh pada variabel indikator furniture dan urutan
ketiga, yaitu pencahayaan.

Pada variabel laten interior, ketiga variabel indikator tersebut memiliki kemampuan menarik
perhatian pengunjung Rumah Kopi Ranin dibandingkan dengan variabel indikator lainnya.
Adapun karakteristik dari ketiga variabel indikator tersebut antara lain berupa penggunaan
warna-warna solid seperti aksen warna merah pada elemen-elemen interior Rumah Kopi Ranin,
pengunaan furnitur antik bergaya khas Indonesia yang dimodifikasi kembali sehingga terlihat
sangat unik, dan pencahayaan buatan dengan jenis lampu pijar yang menggunakan lampu gantung
dan lampu downlight LED untuk menerangi area pengunjung, serta jenis LED spotlight lamp dan
decorative lighting yang digunakan untuk menyoroti elemen-elemen interior.

Pengaruh Human Variable

Penelitian ini menunjuk karakteristik pengunjung, sikap pegawai, dan penampilan pegawai
sebagai faktor dengan kontribusi paling besar dalam merepresentasikan human variable. Ketiga
aspek itu akan berpengaruh terhadap emosi konsumen yang diukur dengan rasa senang dan
semangat. Berpengaruhnya human variable terhadap emosi sejalan dengan penelitian oleh Ly
(2011) yang menyatakan bahwa faktor sosial seperti kerumunan, keberadaan manajer, dan
keberadaan pegawai berpengaruh terhadap kesenangan pelanggan dan citra toko yang positif.

125
Tabel 2. Nilai Koefisien korelasi dan t-hitung setiap variabel indikator

Variabel Kode Variabel indikator Koefisien korelasi

Eksterior EXT1 Tampak depan 0,659

EXT2 Petanda nama toko 0,608

EXT3 Area parkir 0,655

EXT4 Lingkungan sekitar 0,790

Layout LAY1 Alokasi ruang 0,883

LAY2 Arus lalu lintas 0,887

Interior INT1 Lantai 0,520

INT2 Dinding 0,601

INT3 Plafon 0,582

INT4 Barang-barang dekorasi 0,609

INT5 Furnitur 0,714

INT6 Logo 0,595

INT7 Fasilitas penunjang 0,553

INT8 Skema warna 0,745

INT9 Pencahayaan 0,692

INT10 Petunjuk informasi 0,570

Suara SND1 Jenis musik 0,914

SND2 Tempo musik 0,922

SND3 Tingkat kebisingan 0,786

Aroma SCT Perasaan senang yang ditimbulkan 1

Temperatur TEMP Sejuk 1

Manusia MAN1 Kerumunan orang-orang 0,594

MAN2 Sikap pegawai 0,797

MAN3 Karakteristik pengunjung 0,802

Penampilan pegawai 0,783

Emosi EMT1 Senang, gembira, dan puas 0,818

EMT2 Semangat, aktif, bergairah 0,813

EMT3 Bebas/tidak dibatasi 0,738

Keputusan PB1 Nyaman berlama-lama 0,804


pembelian PB2 Merekomendasikan kepada pihak lain 0,840
ulang
PB3 Menjadi preferensi pembelian 0,781

PB4 Membuat ingin menambah pesanan/pembelian 0,753

PB5 Membuat ingin berkunjung kembali 0,792

126
Tabel 3. Uji hipotesis (uji-t) model

Hipotesis Koefisien T-statistic Kesimpulan

H1 Exterior -> Emosi -0,051 0,489 Terima H0

H2 Exterior -> Pembelian 0,097 0,917 Terima H0

H3 Layout -> Emosi 0,089 1,004 Terima H0

H4 Layout -> Pembelian 0,041 0,361 Terima H0

H5 Interior -> Emosi 0,192 1,793 Terima H0

H6 Interior -> Pembelian 0,318 2,458 Tolak H0

H7 Suara -> Emosi 0,136 1,540 Terima H0

H8 Suara -> Pembelian -0,000 0,002 Terima H0

H9 Aroma -> Emosi 0,005 0,058 Terima H0

H10 Aroma -> Pembelian 0,004 0,039 Terima H0

H11 Temperatur -> Emosi 0,003 0,033 Terima H0

H12 Temperatur -> Pembelian -0,144 1,605 Terima H0

H13 Human Variable -> Emosi 0,418 3,288 Tolak H0

H14 Human Variable -> Pembelian 0,107 0,910 Terima H0

H15 Emosi -> Pembelian 0,314 2,406 Tolak H0

Sementara itu Baker, Levy, dan Grewal (1992) menemukan bahwa semakin banyak isyarat
sosial hadir di dalam lingkungan toko, semakin tinggi pula rasa semangat dan gairah yang
ditimbulkan oleh konsumen.

Karakteristik pengunjung akan mencerminkan citra dari Rumah Kopi Ranin. Karakteristik
pengunjung ini memberikan informasi tentang atribut kedai kopi berdasarkan pengalaman
berbelanja di kedai kopi tersebut. Dalam hal ini pengunjung Rumah Kopi Ranin yang mayoritas
berusia antara 16–24 tahun mencari tempat yang menurut mereka dapat mewakili diri mereka dan
merasa identik dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kedai kopi tersebut. Sementara itu,
menurut pengamatan yang dilakukan, baik pemilik maupun pegawai menunjukkan sikap ramah
terhadap setiap pengunjung yang singgah. Hal tersebut pemilik/pegawai lakukan untuk menjaga
hubungan baik antara pegawai dan pengunjung. Pemilik seringkali menghampiri pengunjung
untuk sekedar bertegur sapa atau menanyakan tentang opini mereka terhadap produk dan servis
dari Rumah Kopi Ranin. Sebagai pemasar, pemilik tidak hanya bersikap ramah tetapi juga ikut
berinteraksi lebih banyak dengan pengunjung. Pengunjung sering dilibatkan secara langsung oleh
pemilik pada kegiatan di Rumah Kopi Ranin seperti acara diskusi terbuka, acara cupping (uji cita
rasa kopi), pemutaran film, dan lain-lain sehingga menciptakan suatu komunitas yang saling
terhubung dan menguntungkan bagi kedua pihak.

Pengaruh Emosi terhadap Keputusan Pembelian Ulang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi berpengaruh positif signifikan terhadap


keputusan pembelian ulang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dari Hawkins et al. (2007)
yang mendefinisikan emosi sebagai perasaan kuat dan kecenderungan yang tak terkendali
yang memengaruhi perilaku kita. Pendapat lainnya dipaparkan oleh Solomon et al. (2008)

127
dimana suasana hati seseorang atau kondisi psikologis pada saat pembelian dapat memiliki
dampak besar pada apa yang dia beli atau bagaimana ia menilai pembeliannya. Hasil juga
didukung oleh penelitian terdahulu dari Michon, Chebat, dan Turley (2005) yang menyatakan
bahwa emosi memberikan kontribusi terhadap perilaku berbelanja. Emosi positif
menyebabkan pembeli untuk berlama-lama dan berinteraksi dengan pegawai lainnya (Babin
dan Darden, 1995, Dawson et al. 1990, dan Donovan dan Rossiter, 1982). Emosi positif
memudahkan konsumen dalam keputusan pembelian (Babin et al. 1992), membangun sebuah
citra toko yang baik (Darden dan Babin, 1994), dan meningkatkan persepsi barang dan
kualitas pelayanan (Baker et al. 1994).

Implikasi Manajerial

Atmosfer yang efektif dapat optimal dicapai ketika semua variabel lingkungan seperti suasana,
desain, dan sosial selaras dengan keseluruhan citra toko (Baker, 1998). Pada penelitian ini
walaupun terdapat variabel lain yang pengaruhnya tidak signifikan tetapi perlu dipelihara dan
ditingkatkan untuk meningkatkan pengalaman yang menyenangkan dan kualitas pelayanan bagi
pengunjung dengan prinsip keselarasan. Perlu diperhatikan oleh pemasar bahwa reaksi konsumen
terhadap atmosfer toko sifatnya tidak universal. Berbagai tipe konsumen akan berperilaku berbeda
ketika diberi stimulus atmosfer yang sama (Turley dan Milliman, 2000). Oleh karena itu, implikasi
manajerial penelitian ini tentunya hanya diperuntukkan pada Rumah Kopi Ranin. Adapun
implikasi manajerial Rumah Kopi Ranin dapat dilihat di Tabel 4.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Segmen pasar Rumah Kopi Ranin dapat digambarkan oleh profil responden yang sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 16-24 tahun, berpendidikan sarjana, bekerja
sebagai karyawan, dan berdomisili di Kota Bogor. Survei responden menunjukkan bahwa
motivasi responden pergi ke kedai kopi adalah untuk bersantai. Pada umumnya mereka
berkunjung dalam bentuk rombongan bersama teman-teman. Rumah Kopi Ranin merupakan
kedai kopi yang paling dikenal dan paling sering dikunjungi dibandingkan dengan kedai kopi
lainnya di kota Bogor karena rekomendasi dari mulut ke mulut yang dilakukan konsumen.
Mayoritas pengunjung melakukan pembelian di Rumah Kopi Ranin karena kualitas rasa dari
produk yang ditawarkan.

Hasil pengolahan data menggunakan smartPLS menunjukkan bahwa suasana atau atmosfer
Rumah Kopi Ranin berpengaruh sebesar 45,83% terhadap keputusan pembelian, sisanya
adalah variabel lain diluar model penelitian seperti faktor budaya, faktor sosial, dan faktor
pribadi. Hasil penelitian secara keseluruhan berdasarkan urutan nilai pengaruh yang terbesar
adalah sebagai berikut:

9. Human variable berpengaruh positif signifikan terhadap emosi. Hasil penelitian


menggambarkan bahwa human variable atau apa yang sudah diupayakan manajemen
Rumah Kopi Ranin dalam menjalin interaksi dengan pengunjung seperti karakteristik

128
pengunjung, keramahan pegawai, dan penampilan pegawai sudah efektif menciptakan
emosi positif konsumen.

32.Interior berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian ulang. Hasil


menggambarkan bahwa interior Rumah Kopi Ranin sudah efektif dalam menciptakan
Hasil penelitian Implikasi manajerial

keputusan pembelian ulang yang ditunjukkan oleh skema warna, furnitur, dan pencahayaan
dimana ketiga faktor tersebut merupakan faktor terbesar yang berkontribusi dalam
merepresentasikan interior.

33.Emosi berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian ulang. Hasil


menunjukkan bahwa persepsi emosi positif konsumen yang diukur dari rasa senang dan
semangat yang didapat dari atmosfer Rumah Kopi Ranin sudah efektif dalam menciptakan
pembelian ulang konsumen.

Merupakan suatu pemborosan apabila perubahan terhadap variabel stimulus atmosfer yang
tidak berpengaruh terhadap emosi dan keputusan pembelian ulang dilakukan secara
besar-besaran. Maka sebagai implikasinya, sebaiknya manajemen Rumah Kopi Ranin
membuat perubahan yang lebih mendukung secara riil, seperti perubahan desain petanda nama
toko yang lebih menonjol dan menarik perhatian pengunjung, perawatan bangunan, mengatur
ruangan agar selalu memenuhi standar kenyamanan ruang yang ada (standar temperatur,
standar tingkat kebisingan, dan lain-lain).

Saran

Prosedur yang sama dapat dikembangkan untuk model atmosfer pada industri sejenis, yaitu kafe
atau kedai kopi. Penelitian ini menyangkut respon emosi sehingga diharapkan penelitian
selanjutnya merupakan penelitian yang sifatnya eksperimental karena meneliti kelompok yang
diberi stimulus. Selain itu, penelitian ini hanya berfokus pada satu objek sehingga kurang
representatif terhadap strategi atmosfer di kedai kopi. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada
kedai kopi lain di daerah lainnya di Kota Bogor atau membandingkan dengan kedai kopi lain
bermerek terkenal seperti Starbucks, Coffeebean, dan lain-lain untuk dapat dibandingkan dengan
penelitian ini. Atmosfer toko hanya berperan sebagai faktor penunjang saja. Oleh karena itu,
penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan dengan meneliti atribut kafe lainnya seperti
kualitas rasa produk dari Rumah Kopi Ranin terhadap pembelian, karena sebagian besar
alasan utama pembelian pengunjung di Rumah Kopi Ranin adalah kualitas rasa dari produk.

Tabel 4. Implikasi manajerial

129
• Interior berpengaruh positif dan Dengan terbuktinya pengaruh interior terhadap keputusan pembelian ulang, maka
signifikan terhadap keputusan seharusnya Rumah Kopi Ranin meningkatkan pelayanannya dengan membuat

pembelian ulang. elemen-elemen interior menjadi lebih baik lagi, misalnya sebagai berikut:

Implikasi dengan biaya rendah:


1. Memperbaiki bagian plafon yang rusak dan mengecat bagian yang bernoda.

2. Menambah kecepatan koneksi Wi-fi.


3. Memperbarui buku menu yang sudah rusak, memperbaui konten papan
informasi secara berkala dengan konten yang persuasif dan tipografi yang
menarik.
4. Memberbanyak desain grafis dan komunikasi visual pada dinding dalam

bentuk poster/mural.

Implikasi dengan biaya tinggi:


1. Menambahkan instalasi penutup lantai (misal: paket kayu) yang menarik pada
lantai eksisting di Rumah Kopi Ranin.
2. Mengolah desain plafon dengan membuat dekorasi yang menarik seperti
pemasangan instalasi kayu/instalasi dekorasi/pembuatan mural pada plafon.
3. Memperbanyak elemen pencahayaan buatan seperti lampu dekoratif pada

plafon/dinding/furnitur built-in.
Adapun implikasi pada elemen-elemen interior harus menyesuaikan dengan tema
lokalitas Indonesia sehingga dapat mewakili gagasan dasar bisnis Rumah Kopi

Ranin.
• Human variable berpengaruh Hasil penelitian menggambarkan bahwa apa yang sudah diupayakan manajemen
Rumah Kopi Ranin dalam menjalin interaksi dengan pengunjung
positif dan signifikan terhadap seperti
keputusan pembelian ulang. keramahan, melibatkan pengunjung dalam kegiatan acara yang kreatif dan
edukatif, dan lain-lain sudah efektif menciptakan emosi positif di benak mereka.
Oleh sebab itu, manajemen Rumah Kopi Ranin harus tetap memelihara dan
meningkatkan interaksi yang baik antara pegawai dengan pengunjung Rumah
Kopi Ranin. Hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan panduan bagi pegawai
dalam berinteraksi dengan pengunjung jika pemilik tidak berada di kedai kopi,
mengharuskan pegawai agar berpenampilan menarik, misalnya mengenakan

seragam atau atribut dengan model dan grafis yang menarik.


• Emosi berpengaruh signifikan Pengunjung memandang bahwa emosi positif dari atmosfer sangat penting dalam
terhadap keputusan pembelian menentukan pembelian mereka. Segmen pasar Rumah Kopi Ranin didominasi
ulang. oleh anak muda berusia 16-24 tahun. Perlu diketahui bahwa konsumen pada
rentang umur 18-25 adalah konsumen dengan konsumsi kopi tertinggi, segmen ini

Perlu diperhatikan bahwa meskipun perencanaan atmosfer yang lebih baik akan menambah
citra toko, tidak selalu perencanaan tersebut akan menambah keuntungan perusahaan. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian yang dapat membuat analisis perhitungan terhadap
kemungkinan keuntungan perusahaan apabila perbaikan pada atmosfer toko dilaksanakan.

130
terbukti sangat memengaruhi dan mendorong pengambilan keputusan konsumen
kopi (Wahyudian et al. 2004). Untuk itu manajemen Rumah Kopi Ranin harus
berupaya membuat strategi atmosfer yang dapat memenuhi harapan konsumennya
terutama anak muda yang merupakan konsumen potensial mereka.

Penerapan stimulus atmosfer harus mengacu kuat kepada tema lokalitas yang
mewakili gagasan dasar Rumah Kopi Ranin dan masing-masing stimulus atmosfer
juga harus tanggap dan fleksibel dalam mengikuti tren yang selalu berubah pada
segmen pasar tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dengan rutin mengadakan acara
seperti diskusi, pemutaran film, live akustik, cupping, membuat dekorasi yang
temanya disesuaikan dengan perayaan tertentu, dan lain-lain.

131
DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Hansu SAF. 2011. An Analysis Of In-Store Shopping Environment On Consumers’


Impulse Buying: Evidence From Pakistan. Proceedings of 3rd SAICON: 1–9.

Babin BJ, Darden WR. 1995. Consumer self-regulation in a retail environment. Journal of
Retailing 71(1): 47–70. http://dx.doi.org/10.1016/0022-4359(95)90012-8.

Baker J, Levy M, Grewal D. 1992. An experimental approach to making retail store


environmental decisions. Journal of Retailing 68(4): 445–460.

Baker J, Grewal D. Parasuraman. 1994. The influence of store environment on quality


inferences and store image. Journal of the Academy of Marketing Science 22(4): 328–
339. http://dx.doi. org/10.1177/0092070394224002.

Baker J. 1998. Examining the informational value of store environments, in service-scapes:


the concepts of place in contemporary markets. NTC Business Books: 55-79.

Berman B, Evans JR. 1995. Retail Management: A Strategic Approach (6th Edition). New
York:

Macmillan.

Damanik AM. 2008. Analisis sikap dan preferensi Konsumen terhadap coffee shop De
Koffie-Pot Bogor [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Darden WR, Babin BJ. 1994. Exploring the concept of affective quality: expanding the concept of
retail personality. Journal of Business Research 29(2): 101–110.
http://dx.doi.org/10.1016/0148-2963(94)90014-0.

Dawson S, Bloch P, Ridgway NM. 1990. Shopping motives, emotional states and retail
outcomes. Journal of Retailing 66(4): 408–427.

Donovan RJ, Rossiter. 1982. Store atmosphere: an environmental psychology approach.


Journal of Retailing 58(1): 34–57.

Hair JF et al. 2006. Multivariate Data Analysis, 6th Edition. Englewood Cliffs. NJ: Prentice
Hall.

Hawkins DI, Best RJ, Coney KA. 2007. Consumer Behavior: Building Marketing Strategy.
New York: McGraw-Hill.

Koo DM. 2003. Inter-relationships among stores images, stores satisfaction, and store loyalty
among Korea discount retail patrons. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics
15(4):42–71. http://dx.doi.org/10.1108/13555850310765033.

Kotler P. 1973. Atmospherics as a marketing tool.

Journal of retailing 49(4): 48–64.

Kotler P. 2003. Marketing Management, 11th Edition.

132
NJ: Prentice Hall.

Kusumowidagdo A. 2010. Pengaruh desain atmosfer toko terhadap perilaku belanja. Jurnal
Manajemen Bisnis 3(1): 17–32.

Levy M, Weitz B. 2004. Retailing Management 5th Edition. New York: McGraw Hill, Irwin.

Lisan H, Meldarianda R. 2010. Pengaruh store atmosphere terhadap minat beli konsumen
pada Resort Kafe Atmosphere Bandung. Jurnal Bisnis dan Ekonomi 17(2): 97– 08.

Ly LS. 2011. A multi-method exploration on coffee shop atmospherics [tesis]. Montreal:


Concordia University.

Mehrabian A, Russell JA. 1974. An approach to environmental psychology. MA: MIT Press.

Michon R, Chebat JC, Turley. 2005. Mall atmospherics: the interaction effects of the mall
enviroment on shopping behavior. Journal of Business Research 58(5): 576–583.
http://dx.doi.org/10.1016/j. jbusres.2003.07.004.

Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.

Setiadi N. 2008. Perilaku Konsumen Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian
Pemasaran. Jakarta : Kencana Prenada Group.

Solomon MR, Marshall W. 2008. Marketing Real People, Real Choice. New Jersey: Prentice

Hall. Sopiah, Syihabudhin. 2008. Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Sumarwan U. 2014. Metode Riset Bisnis dan Konsumen. Bogor: IPB Press.

Turley LW, Miliman RE. 2000. Atmospheric effects on shopping behavior: a review of the
experimental avidence. Journal of Business Research Elsevier Science Inc 49(2): 193–211.
http://dx.doi. org/10.1016/s0148-2963(99)00010-7.

Wakefield LK, Baker J. 1998. Excitement at the mall: determinant and effect on shopping
response. Journal of Retailing 74(4): 515–539. http://
dx.doi.org/10.1016/S0022-4359(99)80106-7.

Widyanto AI, Yulianto E, Sunarti. 2014. Pengaruh store atmosphere terhadap keputusan
pembelian (survey pada konsumen distro Planet Surf Mall Olympic Garden Kota
Malang). Jurrnal Administrasi Bisnis 14(1):1–6.

133
p-ISSN 1858-1110

Kajian Variabilitas CaCO3 Terlarut Untuk Mengetahui Tingkat Pelarutan


dan Penyerapan Karbon Atmosfer Dalam Proses Karstifikasi Kawasan Karst
Rembang

Munif Prawira Yudha

munifpy@gmail.com

Eko Haryono

e.haryono@geo.ugm.ac.id

ABSTRACT

Indonesia is expected to have karst denudasional with an area of


140.000.000 km2. Through the process of karst denudation area in Indonesia, the
amount of absorbed carbon dioxide is estimated at 13.482 Gg CO2/year. The
value of carbon absorption is 13.428 Gg CO2/year it only comes from the process
of denudasional, by adding vegetation components, carbon sequestration rate
will be even greater in the karst region. There are still many springs in Rembang
karst area which the variability of CaCO3 and sequestration rate of atmospheric
carbon haven't examined in detail. Quantity of discharge flow become one of the
factors that affect CO 2 sequestration aggressiveness, the greater discharge flow
then the greater CO2 which can be absorbed. Rembang karst area with an area of
about 30,2 km2 has sequestration rate of CO2 is 19,45 Gg CO2/year. Then the
result of denudation rate calculations in the study area is 94,45 m3/year/km2.
Keywords: Karstification, CaCO3, Denudation Rate, Carbon Sequestration.

ABSTRAK

Indonesia diperkirakan memiliki luas area denudasional karst seluas


140.000.000 km2. Melalui proses denudasi kawasan karst di Indonesia, jumlah
karbondioksida yang terserap diperkirakan mencapai 13.482 Gg CO2/tahun.
Nilai penyerapan karbon sebesar 13.428 Gg CO2/tahun ini hanya berasal dari
proses denudasional, dengan menambahkan komponen-komponen vegetasi
sebagai penutup lahan, laju penyerapan karbon akan semakin besar pada wilayah
karst. Sejauh ini masih banyak mataair yang berada di daerah karst Rembang
yang belum dikaji variabilitas CaCO3 dan laju penyerapan karbon atmosfer (CO2)
secara detail. Besaran debit aliran menjadi
134 salah satu faktor yang mempengaruhi
agresivitas penyerapan karbondioksida (CO2), semakin besar debit aliran maka
semakin besar karbondioksida (CO2) yang dapat terserap. Kawasan karst
rembang dengan luas sekitar 30,2 km 2 memiliki nilai laju penyerapan
karbondioksida (CO2) sebesar 19,45 Gg CO2/tahun. Kemudian, hasil
perhitungan tingkat pelarutan pada wilayah kajian menghasilkan nilai sebesar
94,45 m3/tahun/km2.

Kata kunci: Karstifikasi, CaCO3, Tingkat Pelarutan, Penyerapan Karbon.

PENDAHULUAN
Bentang lahan karst merupakan kenampakan alam yang banyak dijumpai di
wilayah Indonesia. Letaknya tersebar luas di tiap-tiap kepulauan, dari ujung barat
hingga ke timur nusantara. Karst merupakan istilah dalam Bahasa Jerman yang
diturunkan dari Bahasa Slovenia (kras) yang bermakna lahan gersang berbatu.
Menurut Ford dan Williams (2007), karst merupakan suatu wilayah dengan system
hidrologi yang khas serta berkembang pada jenis batuan yang mudah larut dan
porositas sekunder yang baik. Berkembangnya porositas sekunder dan aliran
bawah tanah cenderung menyebabkan kondisi permukaan di wilayah karst
menjadi kering dan gersang.

Karst merupakan sumber daya alam non hayati yang tidak dapat
diperbaharui
karena proses pembentukannya membutuhkan waktu ribuan sampai jutaan
tahun. Walaupun terlihat kering dan gersang pada bagian permukaannya,
bentuklahan karst memiliki cadangan airtanah yang sangat besar. Air tersebut
terletak di bawah permukaan sebagai tampungan air resapan hingga terbentuk
sungai bawah tanah. Sama seperti jenis airtanah lainnya, kualitas airtanah di
wilayah karst tersimpan dengan baik dalam rongga-rongga batuan ataupun
dalam tampungan alami.

Potensi yang terdapat pada bentuk lahan karst selain dari nilai jual
pertambangannya adalah peran wilayah karst dalam penyerapan emisi karbon yang
berada di atmosfer. Indonesia diperkirakan memiliki luas area denudasional karst
seluas 140.000.000 km2. Haryono (2011) menyebutkan bahwa melalui proses
denudasi kawasan karst di Indonesia, jumlah karbondioksida yang terserap
diperkirakan mencapai 13.482 Gg CO2/tahun. Terlihat bahwa proses karstifikasi
memiliki peran cukup besar dalam kaitannya mengurangi emisi karbon di atmosfer.
Nilai penyerapan karbon sebesar 13.428 Gg CO2/tahun ini hanya berasal dari
proses denudasional, dengan menambahkan komponen-komponen vegetasi
sebagai penutup lahan, potensi penyerapan karbon akan semakin besar pada
wilayah karst (Haryono, et al. 2016).
Kajian terhadap potensi bentuklahan karst dalam menyerap karbon atmosfer
(CO2) masih sangat minim. Dilihat dari luasan wilayah karst Indonesia yang cukup
besar (140 juta km2), diperlukan perhatian khusus dan intensitas kajian yang
menyeluruh. Karst Rembang merupakan 135 salah satu karst yang terdapat di
Indonesia yang memiliki potensi penyerapan karbon atmosfer (CO 2) tinggi,
sehingga perlu dikaji lebih detail peran dan potensi penyerapan karbon atmosfer
(CO2) pada daerah tersebut.
Sejauh ini masih banyak mataair yang berada di daerah karst Rembang yang
belum dikaji variabilitas CaCO3 dan potensi penyerapan karbon atmosfer (CO2)
secara detail. Diperlukan kajian spasial dan temporal untuk variabilitas CaCO 3 dan
potensi penyerapan karbon atmosfer (CO2) pada setiap mataair, untuk mendukung
kedetailan hasil pengukuran potensi penyerapan karbon atmosfer pada daerah karst
Rembang. Penyerapan karbon atmosfer (CO2) pada daerah penelitian berdasarkan
tangkapan air yang ber-outlet pada masing-masing mataair yang akan diteliti.
Melalui interpretasi kondisi aliran airtanah pada mataair akan diperoleh daerah
tangkapan air yang masuk pada sistem akuifer karst tersebut. Sehingga dapat
diketahui CaCO3 yang terlarut dan nilai penyerapan karbon atmosfer (CO2) pada
denudasional karst melalui proses karstifikasi. Potensi penyerapan karbon
atmosfer (CO2) dapat diketahui dengan menghitung terlebih dahulu nilai
CaCO3 yang terlarut.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini berupa metode kuantitatif dengan teknik pengukuran
langsung di lapangan. Variabel yang diukur adalah variabel yang mempengaruhi
kandungan CaCO3 terlarut berupa karakteistik fisik air dan tipe kimia air di
mataair Sumber Sewu dan beberapa mataair disekitarnya, di Kabupaten
Rembang. Dasar dari penentuan tipe kimia airtanah dilakukan dengan tujuan
untuk memberikan informasi awal mengenai asal proses serta karakteristik
akuifer, terutama material penyusun akuifer yang mengalami kontak langsung
dengan airtanah (Chebotarev, 1955 dalam Jankowski, 2002). Penentuan tipe
kimia airtanah pada masing-masing mataair perlu dilakukan sebagai bukti
bahwa wilayah kajian memiliki sistem akuifer karst. Kegiatan lapangan yang
dilakukan adalah pengukuran dan pengambilan sample air. Untuk mencapai
tujuan penelitian maka digunakan metode purposive sampling dengan variasi
waktu yang konstan. Purposive sampling dipilih untuk melihat variasi CaCO 3
terlarut secara temporal dan pengaruh variable-variable terhadap penyerapan
karbon atmosfer di mataair. Proses pengukuran dan pengambilan sample
dilakukan sekurang-kurangnya 4 minggu sekali pada mataair Sumber Sewu;
Brubulan; Kajar, dan Sumur Gondang.

Perhitungan nilai CaCO3 didasarkan dari Hukum Lavosier dengan


menggunakan persamaan koefisien muatan. Bila nilai koefisien muatan H2O,
CO2, dan HCO3- telah diketahui, maka proses kimia dari proses pelarutan pada
karst akan menghasilkan skema:

H2O + CO2 + CaCO3 Ca2+ + 2HCO3-

Metode perhitungan laju penyerapan karbon pada proses karstifikasi


dilakukan dengan rumus perhitungan yang dikemukakan oleh Liu, Z. & Zhao J.
(2000) dalam jurnalnya mengenai penyerapan karbon pada kawasan karst.
Diperlukan data debit aliran mataair dan data HCO3- terlarut untuk menghitung laju
penyerapan karbon dengan rumus tersebut. Pengukuran HCO3- terlarut
menggunakan Alkalinity test kit dengan dilakukan titrasi pada saat pengambilan
sampel air. Kemudian pengukuran debit aliran mataair dihitung dengan
menggunakan metode pelampung. Pengukuran debit aliran mataair hanya
dilakukan pada Mataair Sumber Sewu136 disebabkan kondisi mataair-mataair lainnya
yang tidak memungkinkan untuk diukur debitnya.
Berikut rumus perhitungan laju penyerapan karbon pada proses karstifikasi
yang dikemukakan oleh Liu, Z. & Zhao J. (2000):

F = 1/2 x HCO3 x Q x (M CO2 / M

HCO3)

Dimana :

F = Penyerapan Karbon (g/s)

HCO3 = Konsentasi HCO3 dalam air (g/l)

Q = Debit (l/s)

M CO2 = Berat Molekul (Mr) CO2


M HCO3 = Berat Molekul (Mr) HCO3

Metode perhitungan tingkat pelarutan dilakukan dengan rumus


perhitungan yang dikemukakan oleh Corbel (1956) dalam sebuah jurnal
mengenai penyerapan karbondioksida pada proses pelarutan karst (Haryono,
dkk., 2009). Berikut rumus perhitungan tingkat pelarutan yang dikemukakan
oleh Corbel (1956) :

V = 4 x E x T / 100

Dimana :

j. = Tingkat Pelarutan (m3/tahun/km2) E = Run-off (dm)

19. = Konsentrasi CaCO3 Terlarut (mg/l)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Lokasi utama penelitian ini berupa
137 beberapa mataair yang terletak di
sekitaran kawasan karst Rembang. Mataair sebagai output aliran merupakan salah
satu media pembuangan pada akuifer karst yang membawa informasi tentang
proses-proses yang terjadi pada zona input. Akuifer karst memiliki sifat aliran
anisotropis karena terdapat pengaruh dari kontrol geologi yang kuat. Mataair yang
dipilih untuk dikaji pada penelitian ini adalah Mataair Sumber Sewu; Mataair
Brubulan; Mataair Kajar; dan Sumur Gondang. Mataair tersebut merupakan aliran
keluar yang diyakini memiliki recharge area di perbukitan karst Rembang.
Berikut Gambar 1. berupa peta administratif kajian penelitian sebagian Kabupaten
Rembang.

Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan

Daerah Penelitian

Penelitian variabilitas kalsium karbonat ini dilakukan pada empat mataair yang
berada di tiga desa dalam dua kecamatan bagian timur kabupaten Rembang (BPS
Rembang, 2015). Keterdapatan jumlah mataair di dua kecamatan tersebut dan
disekitarnya cukup banyak, namun berdasarkan pertimbangan kelayakan dan
kesesuaian kajian penelitian ini maka di pilih empat mataair yang terus mengalir
sepanjang tahun (perennial). Mataair Sumber Sewu dengan debit aliran air yang terlihat
paling besar di pilih sebagai mataair utama (main spring) dengan mataair Kajar,
mataair Brubulan, dan Sumur Gondang sebagai mataair pendukung (secondary spring).

Mataair Sumber Sewu dipilih sebagai objek penelitian utama untuk mengetahui
“Variabilitas CaCO3 Terlarut Untuk Mengetahui Tingkat Pelarutan dan Penyerapan
Karbon Atmosfer Dalam Proses Karstifikasi”. Pemilihan mataair Sumber Sewu sebagai
objek penelitian utama didasarkan dari mudahnya aksesibilitas menuju mataair, tutupan
vegetasi yang masih alami disekitar mataair, dan dapat di ukur debitnya secara berkala.
Mataair Sumber Sewu merupakan gabungan beberapa mataair yang mengalir menuju
aliran utama sebagai run-off. Melihat debit alirannya yang cukup tinggi, mataair
Sumber Sewu jugs digunakan sebagai 138 sumber air untuk PDAM kabupaten Tuban.
Tipe Kimia Airtanah
Hasil dari uji laboratorium sebanyak 36 sampel air pada masing-masing
mataair kajian ditentukan tipe kimia airtanahnya dengan Klasifikasi
Szczukariew-Priklonski (Jankowski, 2002). Dasar dari penggunaan klasifikasi
tersebut adalah karena memanfaatkan data kandungan kimia mayor dalam air yang
juga digunakan dalam analisis lain dalam penelitian ini, serta klasifikasi ini juga
lebih sederhana untuk digunakan terhadap sampel dengan berjumlah banyak.
Penentuan tipe kimia airtanah dengan

Klasifikasi Szczukariew-Priklonski membutuhkan data kandungan ion mayor


baik kation maupun anion dalam satuan meq/liter. Kandungan dengan
persentase lebih dari 20% digunakan sebagai penentu tipe kimia airtanah
tersebut, dengan penulisan anion terlebih dahulu lalu diikuti oleh kation.

Hasil pengklasifikasian dengan metode Szczukariew-Priklonski dalam


penentuan tipe kima airtanah pada masing-masing mataair kajian menunjukan
dominasi kandungan bikarbonat (HCO3-) dan kalsium (Ca2+) serta kandungan
magnesium (Mg2+) di beberapa waktu. Keterdapatan kandungan magnesium
(Mg2+) di beberapa waktu pengambilan sampel air pada uji laboratorium secara
dominan menunjukan lama waktu kontak air dengan material batuan yang cukup
panjang (Hiscock dan Bense, 2014). Lamanya waktu kontak air dengan material
batuan terjadi di bulan-bulan pertengahan tahun pada musim kemarau. Intensitas
curah hujan akan menurun pada musim kemarau sehingga kecepatan aliran air
juga akan semakin melambat, menjadikan waktu kontak air dengan material
batuan semakin memanjang.
Keterdapatan tiga kandungan kimia yang berada pada kisaran angka 20%,
menunjukan bahwa jenis air dari masing-masing mataair di klasifikaskan
sebagai airtanah dengan tipe kimia HCO3-Ca-Mg serta HCO3-Mg-Ca. Airtanah
dengan tipe kimia tersebut mengindikasikan bahwa airtanah berasal dari sistem
akuifer karst yang mengalami kontak dengan material karbonat pejal dan
karbonat dolomitan dengan proses utama berupa pelarutan (dissolution). Selain
itu jika dilihat dari tipe kimia airtanahnya, karakteristik akuifer dari
masing-masing mataair tidak sepenuhnya tersusun atas material karbonat
melainkan juga ikut mengalami kontak dengan material lempung. Beberapa
mataair muncul karena adanya perlapisan batuan. Bagian atas pada mataair ini
mempunyai litologi batu gamping yang permiabel kemudian di bagian bawah
berupa batu lempung yang impermiabel. Maka ketika air masuk melalui batu
gamping kemudian air keluar ketika bertemu dengan perlapisan di bawahnya
yang berupa batu lempung. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi geologi
daerah penelitian yang menunjukan bahwa daerah penelitian di dominasi oleh
Formasi Paciran tersusun dari material batugamping yang menumpang diatas
Formasi Wonocolo tersusun dari material napal dan batu lempung.

Variabilitas CaCo3

Kajian mengenai kandungan kalsium karbonat (CaCO3) merupakan faktor


penting dalam keberlangsungan proses pelarutan. Tinggi atau rendahnya kandungan
kalsium karbonat (CaCO3) yang terlarutkan menunjukan intensifitas tingkat pelarutan
pada batugamping. Kandungan kalsium karbonat (CaCO3) dalam batugamping pada
daerah penelitian tersusun dari jenis batugamping terumbu (bioherm). Proses pelarutan
pada batugamping terumbu (bioherm) akan lebih intensif bila dibandingkan dengan
139
batugamping klastik. Jenis penyusun batugamping yang sama antar mataair di daerah
penelitian menjadikan nilai kandungan kalsium karbonat (CaCO3) yang terlarut pada
masing-masing mataair tidak terlalu signifikan. Berikut Tabel 1. hasil pengukuran
kandungan nilai kalsium karbonat (CaCO3) pada masing-masing mataair:

Tabel 1. Nilai CaCO3 (mg/l)

Sumber Sumur
Bulan Sewu Kajar Brubulan Gondang

Januari 325,13 300,12 300,12 325,13

Februari 315,13 310,12 300,12 325,13


Maret 290,12 320,13 285,11 310,12

April 320,13 330,13 275,11 300,12

Mei 320,13 325,13 280,11 320,13


Agustus 300,12 290,12 295,12 315,13

September 300,12 310,12 285,11 315,13

November 300,12 340,14 320,13 310,12


Januari 17 290,12 305,12 275,11 320,13

Sumber: Analisis Data Lapangan, 2017

Kandungan kalsium karbonat (CaCO3 ) terlarut pada masing-masing


mataair menunjukan fluktuasi hasil kandungan terlarut secara spasial dan
temporal yang kurang signifikan. Perbedaan jumlah kalsium karbonat (CaCO3)
terlarut sangat ditentukan oleh laju pelarutan yang terjadi pada masing-masing
daerah tangkapan air. Dilihat secara spasial, jarak antara mataair tidak terlalu
jauh dan material batuan penyusun pada masing-masing mataair tidak terlalu
berbeda. Kemudian dilihat secara temporal, curah hujan ketika musim
penghujan dan musim kemarau menunjukan variasi yang berbeda antar bulan
namun lokasi keberadaan stasiun hujannya yang kurang representatif. Kondisi
jenis aliran pada masing-masing mataair dengan tipe aliran diffuse dan masih
berkembang menjadikan hasil pelarutan antar mataair cenderung seragam
serta masih kurang signifikan.
Sumur Gondang memiliki kandungan nilai kalsium karbonat (CaCO3)
terlarut paling tinggi secara keseluruhan diantara mataair lainnya selama satu
tahun penelitian. Secara kondisi fisik, Sumur Gondang memiliki tipe aliran
yang statis tidak bergerak karena bentuknya berupa tampungan sedangkang
tipe aliran pada mataair lainnya mengalir dinamis. Kandungan kalsium
karbonat (CaCO3) hasil proses pelarutan akan tertampung pada sumur yang
kemudian bertambah pekat seiring140 berjalannya waktu. Tingginya kandungan
kalsium karbonat (CaCO3) terlarut pada Sumur Gondang menunjukan bahwa
laju proses pelarutan berbanding terbalik dengan laju volume aliran.
Konsentrasi karbon akan terencerkan pada volume aliran yang besar
sedangkan kandungan karbon akan terpekatkan pada volume aliran yang kecil,
menjadikan agresifitasnya semakin tinggi dalam melarutkan kalsium karbonat
(CaCO3). Berikut Gambar 2. hubungan kandungan nilai kalsium karbonat
(CaCO3 ) dengan curah hujan pada masing-masing mataair:

Gambar 2. Variabilitas Spasial dan Temporal CaCO3 Mataair

Tingkat Pelarutan

Jumlah curah hujan dan nilai konsentrasi kalsium karbonat (CaCO3)


merupakan faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat pelarutan pada kawasan
karst. Tingkat pelarutan pada kawasan karst di tunjukan dalam satuan
kecepatan m3/tahun/km2. Satuan tersebut menunjukan besaran volume
pelarutan yang terjadi pada luasan tertentu di kawasan karst dalam kurun waktu
satu tahun. Curah hujan menjadi faktor pengontrol sedangkan konsentrasi
kalsium karbonat (CaCO3) menjadi faktor pendorong laju pelarutan. Curah
hujan adalah subjek dari proses pelarutan dan konsentrasi kalsium karbonat
(CaCO3) adalah objek dari proses pelarutan.
141
Tingkat pelarutan pada masing-masing mataair kajian menunjukan
fluktuasi nilai yang cukup seragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah curah
hujan pada wilayah kajian yang sama dan nilai konsentrasi kalsium karbonat
(CaCO 3) terlarut yang tidak jauh berbeda. Dilihat dari Tabel 2. Nilai tingkat
pelarutan tertinggi terdapat pada Sumur Gondang, yaitu sebesar 97,15
m3/tahun/km2 dan nilai tingkat pelarutan terendah terdapat pada mataair
Burbulan, yaitu sebesar 89,45 m3/tahun/km2, dengan rata-rata nilai tingkat
pelarutan sebesar 94,45 m3/tahun/km2. Tingginya tingkat pelarutan di Sumur
Gondang dipengaruhi oleh besarnya nilai konsentrasi kalsium karbonat
(CaCO3) terlarut pada sumur tersebut.

Tabel 2. Tingkat Pelarutan Mataair Kajian

V
E T
Mataair (m3/tahun/
(dm) (mg/l)
km2)

Sumber Semen 306,79 94,41

Kajar 314,57 96,81


Brubulan 7,69 290,67 89,45

Sumur Gondang 315,68 97,15


Total 306,93 94,45

Sumber: Analisis Data Lapangan, 2017

Meskipun Sumur Gondang memiliki tingkat pelarutan yang tinggi namun


kecepatan denudasi di Sumur Gondang relatif masih rendah. Kecepatan denudasi pada
kawasan karst memiliki hubungan berbanding lurus dengan besarnya debit aliran
(Adji, dkk., 2012). Diketahui bahwa Sumur Gondang memiliki besaran debit aliran
yang paling rendah jika di bandingkan dengan mataair kajian lain, yaitu hanya sebesar
1 liter/detik. Sumur Gondang memiliki konsentrasi kalsium karbonat (CaCO3) yang
tinggi namun interval pengangkutannya masih lambat. Interval pengangkutan hasil
proses pelarutan dipengaruhi oleh besaran debit aliran. Semakin tinggi besaran
debit aliran maka interval pengangkutan hasil proses pelarutan akan semakin cepat.
Dengan demikian mataair Sumber Sewu terindikasi memiliki kecepatan denudasi
tertinggi jika dibandingkan dengan mataair kajian lainnya. Hal tersebut
dipengaruhi oleh mataair Sumber Sewu yang memiliki besaran debit paling tinggi
dari mataair kajian lain, yaitu sebesar 532 liter/detik.

Hasil perhitungan tingkat pelarutan pada wilayah kajian kawasan karst Rembang
menghasilkan nilai sebesar 94,45 m3/tahun/km2. Nilai tersebut cukup tinggi jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya mengenai tingkat pelarutan di wilayah
karst Gunung Sewu, yaitu sebesar 50,91 m3/tahun/km2 (Haryono, dkk., 2009). Serta
sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata tingkat pelarutan karst di
Indonesia, yaitu sebesar 82,9 m3/tahun/km2 (Haryono, 2011). Namun jika
dibandingkan dengan luas wilayah kajian karst Rembang yang hanya sekitar 30,2 km 2
(Wacana, dkk., 2014) dan wilayah karst Gunung Sewu sekitar 1.300 km 2 (Haryono,
dkk., 2009), maka nilai tersebut masih
142 cukup berimbang. Masih terdapat beberapa
mataair di wilayah kajian yang belum diketahui kandungan kalsium karbonat (CaCO3)
terlarutnya, sehingga perhitungan tingkat pelarutan ini masih bersifat lokal dan
belum menyeluruh khususnya pada kawasan karst Rembang.

Penyerapan Karbon

Laju penyerapan karbondioksida (CO2) di pengaruhi oleh proses karstifikasi


pada kawasan karst. Konsentrasi bikarbonat (HCO3-) sebagai hasil proses pelarutan
batugamping berperan dalam mengikat karbondioksida (CO2) pada proses
karstifikasi. Curah hujan merupakan media pelarut utama dalam proses karstifikasi.
Semakin tinggi curah hujan pada suatu kawasan karst maka semakin besar media
pelarutnya, sehingga tingkat pelarutan pada batuan karbonat juga semakin besar.
Kemudian, temperatur mendorong proses karstifikasi terutama dalam kaitannya
dengan aktifitas organisme. Wilayah dengan temperatur yang hangat seperti di
wilayah tropis merupakan tempat yang ideal bagi makhluk hidup untuk
berkembang yang selanjutnya menghasilkan karbondioksida (CO2) dengan jumlah
besar. Sebagai dasar, kecepatan proses karstifikasi cenderung lebih tinggi bila
terpengaruh oleh suhu yang rendah, dikarenakan konsentrasi karbondioksida (CO2)
akan lebih tinggi pada temperatur rendah (Adji, dkk., 2012). Namun untuk wilayah
tropis yang hangat tingkat pelarutan pada wilayah tersebut lebih tinggi dikarenakan
ketersediaan air hujan yang melimpah dan aktifitas organisme yang lebih banyak.

Proses perhitungan laju penyerapan karbondioksida (CO2) pada kawasan


karst Rembang di gunakan rumus yang dikemukakan oleh Liu dan Zhao (2000),
namun dengan skala yang lebih luas data yang diperlukan dalam proses
perhitungannya sedikit berbeda. Kandungan konsentrasi bikarbonat (HCO3-) dan
debit aliran merupakan data-data yang digunakan dalam proses perhitungan laju
penyerapan karbondioksida (CO2 ). Kandungan konsentrasi bikarbonat (HCO3-)
yang diperoleh langsung di lapangan pada empat mataair kajian yang dilakukan
sebanyak sembilan kali proses pengambilan data dalam kurun waktu satu tahun
digunakan untuk menggambarkan rata-rata kandungan konsentrasi bikarbonat (HCO3
-
) terlarut pada mataair disekitar kawasan karst Rembang secara keseluruhan.
Kemudian debit aliran diketahui melalui perkalian antara luas kawasan karst Rembang
dan selisih antara rata-rata tebal hujan dengan nilai evapotranspirasi pertahun.
Diketahui bahwa kawasan karst Rembang memiliki luas sekitar 30,2 km 2 (Wacana,
dkk., 2014) sedangkan selisih antara rata-rata tebal hujan dari tahun 2011 hingga tahun
2016 dengan nilai evapotranspirasi pertahun di daerah penelitian sebesar 477
mm/tahun.
Perhitungan laju penyerapan karbondioksida (CO2) pada kawasan karst
Rembang dinyatakan dalam satuan Gg CO2/tahun. Satuan Gg merupakan satuan
berat kependekan dari Gigagram. Berat Gigagram sendiri sama halnya dengan berat
1.000 ton. Hasil perhitungan laju penyerapan karbondioksida (CO2) pada kawasan
karst Rembang pada tahun 2016 menghasilkan nilai 19,45 Gg CO2/tahun. Berikut
Tabel 3. laju penyerapan karbondioksida (CO2) pada kawasan karst Rembang. Nilai
perhitungan laju penyerapan karbondioksida (CO2) sebesar 19,45 Gg CO2/tahun
tidak lebih dari 1 persen dari laju penyerapan karbondioksida (CO2) di Indonesia,
yaitu sebesar 13.482 Gg CO2/tahun (Haryono, 2011). Laju penyerapan
karbondioksida (CO2) pada kawasan karst Rembang memiliki nilai yang tidak
cukup tinggi jika dibandingkan dengan kawasan karst di Indonesia dikarenakan
luasan kawasan karst Rembang yang sempit hanya sekitar 30,2 km2, sedangkan
secara keseluruhan luasan karst di Indonesia memiliki luas sebesar 140.000.000
km2. Selain itu, dikarenakan tipe kimia akuifer pada masing-masing mataair di
wilayah kajian tidak sepenuhnya tersusun atas material karbonat melainkan juga
143
ikut mengalami kontak dengan material lempung. Jenis akuifer pada
masing-masing mataair yang tidak sepenuhnya tersusun atas material karbonat
menjadikan rendahnya kandungan konsentrasi bikarbonat (HCO3-) sebagai hasil
proses pelarutan batugamping yang berperan dalam mengikat karbondioksida
(CO2).

Tabel 3. Laju Penyerapan CO2 Terlarut

Kawasan Karst Rembang

CO2

CO2 CO2
HCO3 Debit (Mr) (Mr) Luas (Gg/

Lokasi (mg/l) (l/thn) CO2 HCO3 (km2) (mg/ (Gg/ thn/

thn) thn) km2)

1944
Kawasan

144054 6345
Karst 374,30 44 61 30 19,45 0,64
000000 3836
Rembang
07

Kawasan

140000 0,000
Karst - - - - - 13482
000 096
Indonesia

Sumber: Analisis Data Lapangan, 2017

KESIMPULAN

Tinggi atau rendahnya kandungan nilai kalsium karbonat (CaCO3) yang


terlarutkan menunjukan intensifitas tingkat pelarutan yang terjadi pada
batugamping. Secara keseluruhan kandungan nilai kalsium karbonat (CaCO3 )
terlarut pada masing-masing mataair selama penelitian paling tinggi berada di
Sumur Gondang dengan rerata nilai sebesar 315,68 mg/l, namun puncak nilainya
terdapat di mataair Kajar yaitu sebesar 340,14 mg/l. Tingginya kandungan nilai
kalsium karbonat (CaCO3) terlarut pada Sumur Gondang menunjukan bahwa laju
proses pelarutan berbanding terbalik dengan laju volume aliran. Konsentrasi karbon
akan terencerkan pada volume aliran yang besar sedangkan kandungan karbon akan
terpekatkan pada volume aliran yang kecil, menjadikan agresifitasnya semakin
tinggi dalam melarutkan batugamping.

Besaran debit aliran menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas
penyerapan karbondioksida (CO2), semakin besar debit aliran maka semakin besar
karbondioksida (CO2) yang dapat terserap. Kawasan karst rembang dengan luas sekitar
30.2 km2 memiliki nilai laju penyerapan karbondioksida (CO2) sebesar 19,45 Gg
CO2/tahun. Laju penyerapan karbondioksida (CO2) sebesar 19,45 Gg CO2/tahun tidak
lebih dari 1 persen dari laju penyerapan karbondioksida (CO2) di Indonesia, yaitu
sebesar 13.482 Gg CO2/tahun. Kemudian, hasil perhitungan tingkat pelarutan pada
wilayah kajian menghasilkan nilai sebesar 94,45 m3/tahun/km2. Nilai tersebut cukup
144 sebelumnya di wilayah karst Gunung Sewu,
tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
yaitu sebesar 50,91 m3/tahun/km2. Jumlah curah hujan dan nilai konsentrasi kalsium
karbonat (CaCO3) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelarutan pada
kawasan karst.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, T. N., Sunariya, M. I. T., Wicaksono, M.Z., 2012. Laju Penyerapan


Karbondioksida Daerah Aliran Sungai Bawah Tanah Bribin, Karst
Gunungsewu. Laporan Akhir. Yogyakarta: Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada. Badan Pusat Statistik, 2015. Kabupaten Rembang Dalam Angka
2015.
Corbel J., 1956. A new method for the study of limestone regions, Revue
Canadienne de Geographie, 10, pp. 240–2.

Ford, D. and William, P. W., 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology.


Chicester: John Willey and Sons.
Haryono, E., 2011. Atmospheric carbon dioxide sequestration trough karst
denudation processes, Proceeding Asian trans-disciplinary Karst
Converence.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Haryono, E., Adji, T.N., Widyastuti, M., dan Trijuni, S., 2009. Atmospheric
Carbondioxide Sequestration Trough Karst Denudation Process :
Preliminary Estimation from Gunung Sewu Karst. Yogyakarta : Kelompok
Studi Karst Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

Haryono, E., Danardono, Mulatsih, S., Putro, S. T., Adji, T. N., 2016. The Nature of
Carbon Flux in Gunungsewu Karst Java-Indonesia.ACTA
CARSOLOGICA. Yogyakarta : Karst Research Group, Faculty of
Geography, Universitas Gadjah Mada.
Hiscock, K. M. and Bense V. F., 2014.
Hydrogeology Principles and Practice. Chichester: John Willey and
Sons.
Jankowski, J., 2002. Groundwater Environment, Short Course Note.
Sydney: School of
Geology, University of New South Wales.
145
Liu, Z. & Zhao J., 2000, Contribution of carbonate rock weathering to the
atmospheric CO2 sink. Environmental Geology. 39, pp.
1053-1058.
Wacana, P., Irfanianto, Rodhialfiah, A., dkk., 2014. Kajian Potensi Kawasan
Karst Kendeng Utara Pegunungan Rembang Madura Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, Seminar Nasional Kebumian. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi,
Universitas Gadjah Mada.

Atmospheric and Climate Sciences, 2018, 8, 307-317

http://www.scirp.org/journal/acs

ISSN Online: 2160-0422

ISSN Print: 2160-0414


146
The Impact of Atmospheric
Phenomena on South Korean
Students’ Engagement at School
through the Mediating Effect of the
Students’ Health

Shelley Choi

Yongsan International School of Seoul, Seoul, South Korea

How to cite this paper: Choi, S. (2018)


Accepted: May 21, 2018

The Impact of Atmospheric Phenomena on


Published: May 24, 2018

South Korean Students’ Engagement at

Copyright © 2018 by author and Scientific Research


School through the Mediating Effect of the
Publishing Inc.

Students’ Health. Atmospheric and Climate


This work is licensed under the Creative

Sciences, 8, 307-317.
Commons Attribution International

https://doi.org/10.4236/acs.2018.83020
License (CC BY 4.0).

http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
Received: April 5, 2018

Abstract

This study examined how South Korea’s regular significant atmospheric phe-nomena, the yellow dust
and the monsoon, affected students’ health and aca-demic engagement at school. Five hundred middle
and high school students were surveyed to figure out the atmospheric impacts on the students’ lives. The
results of this study found that the severity of yellow dust and monsoon conditions experienced by the
students negatively influenced their academic engagement. However, the variable of students’ concerns
about their health was shown to have a mediating effect between the intensity of yellow dust and the
level of academic engagement. These results indicated the need to alleviate the yellow dust and
monsoon atmospheric phenomena and their effects at both the school and national levels in order to
improve the academic engage-ment of students in South Korea.
147
Keywords : Atmospheric Conditions, Yellow Dust, Monsoon, Students’ Health, Academic
Engagement, South Korea

148
1. Introduction

Over the last few decades, climate change has significantly increased average global temperatures,
damaged forests and marine life, and reduced air quality. The main types of air pollution, namely smog,
acid rain, and ozone depletion, have hindered people’s ability to conduct their daily lives and been a
source of increased mortality. Air pollution was named as the fourth leading risk factor for

premature death around the world. Studies have reported that approximately 5.5 million deaths occurred
due to diseases associated with air pollution in 2013. In the United States alone, air pollution has
contributed to nearly 200,000 deaths, largely caused by asthma, bronchitis, and heart disease [1]. Air
pollution is also economically detrimental. In 2016, it cost the global economy about 225 billion USD in
lost labor income [2].

Similar to many other residents living in major cities who are exposed to par-ticulates in the air from
various sources, urbanites in South Korea encounter air pollution such as vehicle exhaust fumes every
day. However, regardless of whether they reside in urban or rural areas, Koreans face substantially
reduced air quality due to the yellow dust from Mongolian deserts every spring. Along with this yellow
dust, pollution from China is also added, thereby making Ko-rea’s air quality definitively worse. When
special alerts are given on particularly polluted days, half of all vehicles are banned from operating on
public roads and all government buildings’ parking lots in Seoul are shut down to discourage workers
from using their cars. The elderly, children, and patients with respira-tory illnesses are advised to
remain indoors for the duration of the alert [3] [4]. In addition to the dust and pollution, Koreans are
confronted with a heavy rainy season every summer, a weather phenomenon known as the monsoon.
The monsoon can inflict massive casualties, leave thousands of people homeless, de-stroy industrial
capacity, and cause severe transportation delays [5].

In order to address the consequences of these atmospheric phenomena, the scientific community in
South Korea has recently begun taking a greater interest in the ways that atmospheric phenomena
impact people’s lives. In the past, re-search simply focused on the loss of life and damage to the
agriculture, fisheries, and manufacturing industries caused by atmospheric phenomena, overlooking
their effects on people’s daily lives [6] [7] [8] [9]. Most importantly, no study has been conducted
regarding the effects on students’ lives at school, even though middle and high school students are more
impacted by atmospheric conditions than any other demographic group as their physical education
classes and re-cesses are conducted differently based on the day’s atmospheric conditions. Do students
feel bothered by adverse atmospheric conditions, such as blankets of yellow dust and heavy rainfall,
when studying? Are their mental and physical health negatively affected by these severe atmospheric
conditions? This study was designed to explore whether the yellow dust and monsoon affect students’
engagement in their studies through the mediating variable of their health. The outcomes of this study
will be helpful for determining whether there are negative effects on students’ academic engagement at
school and, if so, what sort of insti-tutional and policy changes should be made to mitigate them.

2. Impacts of the Atmosphere: Jangma and Hwangsa

South Korea has four distinct seasons, each of which has a different amount of precipitation. Annual
precipitation ranges from 1000 mm to 1800 mm, but more than half of it falls during the monsoon
season, called jangma, during which a stationary monsoon front lingers across the Korean peninsula for
149
about a month in summer from late June to mid-July [10]. Monsoons occur when the moist air over the
Pacific meets the cooler continental air mass [11]. Heavy rainfall during the jangma season causes
floods and landslides, destroys homes, kills people, and generates significant economic loss. In addition,
diseases like cholera run ram-pant in flooded areas. During the monsoon season in 1987, 167 people lost
their lives and 512 more died as a result of the Thelma typhoon that struck during the monsoon period
[12]. In 2001, the jangma was causing rain at a rate of 100 mm per hour and killed 54 people in the Seoul
metropolitan area and flooded 21,144 houses, leaving more than 40,000 people homeless [13].
Although South Korea has developed flood control systems to prevent overall flooding, sudden local
torrential rainfall can cause a significant amount of death and destruction.

Although the Korean climate has relatively stable levels of precipitation dur-ing the fall and winter,
each spring yellow dust known as hwangsa blows over the country. The yellow dust has blown into
Korea from the dry Mongolian desert for a long time. The hwangsa brings particles that are mostly
between 1 and 10 μm. It also carries various minerals, such as aluminum, calcium, potas-sium, and
silicon, from Chinese industrial areas. Yellow dust has been blowing in more frequently and has become
more harmful than ever before to the point that, on March 21, 2017, Seoul had the worst air quality in
the world, second only to New Delhi [14]. The hwangsa can irritate the soft tissues in the eyes, nose,
mouth, and throat, and provoke respiratory and cardiovascular problems due to its high concentration of
minerals and other pollutants [15]. It can also damage sensitive equipment, such as computers, and stop
production in facto-ries. For instance, it increases the number of defects in silicon wafers produced for
use in semiconductor chips and causes painting in automobile factories to stop due to concerns about
dust particles getting into the paint. On days when the concentration of particulates is particularly high,
hundreds of flights are suspended and approximately 30% of construction workers face lost wages
be-cause most construction must stop. The hwangsa also blocks sunlight, hindering the growth of crops
[16].

Beyond macro-level effects, atmospheric conditions have strong effects on in-dividuals’ health and
lifestyles. Students who spend most of their time partici-pating in various indoor and outdoor activities
are also vulnerable to undesirable atmospheric conditions. However, non-empirical research has been
conducted on the impact of atmospheric conditions on South Korean students. This study attempted to
fill this gap by examining the influence of the yellow dust in spring and the heavy monsoon rains in
summer on middle- and high-school students’ health and academic engagement. This study would
therefore provide basic data to determine whether institutional and policy changes should be made to
im-prove students’ engagement at school.

3. Methods

Atmospheric conditions are expected to influence both students’ health and academic engagement at
school. Thus, the current study examined how the yel-low dust and monsoon affected students’
engagement as mediated by the effects on their health. The study was structured according to the
following hypotheses:

Hypothesis 1: The intensity of air pollution caused by yellow dust and amount of rain caused by the
monsoon would negatively affect middle and high school students’ academic engagement.

Hypothesis 2: Middle and high school students’ health would be a mediat-ing factor between
atmospheric conditions and the students’ academic en-gagement at school.

The independent variables in this study were the student experience of the in-tensity of yellow dust in
the spring and the amount of rainfall in the summer for a given year. The respondents were asked with a
single-item question, “How se-riously have you recently experienced the yellow dust during the last
spring (or the monsoon during the last summer)?” They also had to respond by choosing one option
from a 5-point Likert scale where 1 corresponded150
to “not a problem at all” and 5 corresponded to “a very
serious problem” such that higher scores indicated greater severity of the relevant atmospheric
condition.

The dependent variable for this study was students’ academic engagement at school as measured by
responses to Choo and Sohn’s Korean version of the Utrecht Work Engagement Scale-Student
(UWES-S) [17] [18]. The UWES-S consisted of 17 items scored on 7-point Likert scale with higher
scores where 0 corresponded to “never” and 6 corresponded to “always” such that higher scores
indicated greater frequency. The scale’s Cronbach’s Alpha was 0.953 in this study, indicating that it had
high reliability and internal consistency.

Student health, which consists of both physical and mental health, was the mediating factor between
atmospheric conditions and academic engagement at school. Physical health was measured by
responses to the Korean version of the Whiteley Index (WI) developed by Shin and Won [19], which
has been widely used to assess concerns or beliefs about physical illness. Responses to the WI questions
could be given on a 5-point Likert scale where 1 corresponded to “not at all” and 5 corresponded to “a
great deal” such that higher scores indicated that the respondent was more anxious about their physical
health. The scale’s Cron-bach’s Alpha was 0.822. Mental health was measured by responses to Park and
Seo’s Korean version of the Perceived Stress Scale (PSS) scale developed by Co-hen, Kamarck, and
Mermelstein [20] [21]. The PSS has been commonly used to measure perceived stress in various
cultures. Responses to the PSS questions could be given on a 5-point Likert scale where 0 corresponded
to “never” and 4 corresponded to “very often” such that higher scores indicated that the respon-dent
experienced stress due to the event in question more frequently. The scale’s Cronbach’s Alpha was
0.933.

k. This study controlled for the effects of communication


between parents and children on academic engagement because previous studies have shown that
communication between parents and children affects behaviors at school [22][24]. Kim’s Korean
version of Parent-Adolescent Communication (PAC) survey originally developed by Barners and Olson
was used to determine the quality of the communication between parents and children [25] [26]. The
res-pondents were asked how accurately each statement described their relation-ships with their parents
where a 0 corresponded to “not at all” and a 4 corres-ponded to “very well” such that higher scores
indicated that the statement more accurately described their essence of communication. The first 10
items were re-lated to the degree to which communication was open and the other 10 items were related
to problems in communication. The Cronbach’s Alpha for the openness part of the survey was 0.936
and the Cronbach’s Alpha for the proble-matic communication part of the survey was 0.934. SPSS
Statistics v.25 was used to conduct the statistical analyses.

In terms of sampling, this study’s subjects came from one middle school for girls and one high school
for girls, both of which were located in Seoul, South Korea, that allowed for the conduct of surveys on
their students. Based on the practice followed in other studies, a preliminary questionnaire was designed
for a pilot study which was conducted in July, 2017. The main questionnaire was then revised based on
the findings of the pilot study. A total of 500 students, 300 of which were from the middle school and
200 of which were from the high school, were randomly selected by a random number generator, and
the official survey was conducted in August, 2017. Of the 351 questionnaires that were re-turned, which
indicates a return rate of 70.2%, 345 valid questionnaires were ap-plied for the final analysis.

4. Results

The subjects for the study were 13 to 16 years old (M = 14.59, SD = 1.12). More than two-thirds of them
were reported to be middle school students (72.3%): 19.8% were in their first year of middle school,
29.7% were in their second year of middle school, 22.7% were in their third year of middle school, and

151
27.7% were in their first year of high school. In terms of gender, the respondents con-sisted of females
only because the selected schools were girls’ schools.

The survey results showed that 78.9% of the respondents reported experienc-ing serious atmospheric
conditions in the previous year. The mean score of the question asking students about the seriousness of
yellow dust that they had ex-perienced during the preceding spring was 4.2 out of 5 and 79.1% of the
subjects described the yellow dust as “a slightly serious problem” or “a very serious prob-lem”. The
mean score of the question asking students about the volume of rain that they had experienced during
the preceding summer was 4.26 out of 5 and 78.8% of the subjects described the volume of rain as “a
slightly serious prob-lem” or “a very serious problem”.

As for the correlations among the variables, significant positive correlations emerged between yellow
dust intensity and amount of rainfall (r = 0.173, р < 0.01), yellow dust and students’ concerns about their
health (r = 0.110, р < 0.05), students’ concerns about their health and problematic communication
withparents (r = 0.221, р < 0.01), and open communication with parents and aca-demic engagement at
school (r = 0.204, р < 0.01). However, other correlations, such as those between monsoon and academic
engagement (r = −0.116, р < 0.05), students’ concerns about their health and academic engagement (r =
−0.297, р < 0.01), students’ concerns about their health and open communica-tion (r = −0.128, р < 0.05),
open communication and problematic communica-tion (r = −0.638, р < 0.01), and problematic
communication and academic en-gagement (r = −0.121, р < 0.05) were negatively correlated. The
correlation be-tween open communication and problematic communication were relatively high
because they were sub-variables of the same variable. The overall results of the analysis are given in
Table 1.

Meanwhile, the maximum r-value found in this analysis was 0.638, the maxi-mum Variance Inflation
Factor (VIF) was less than 2.014, and the minimum to-lerance among the variables was 0.537.
Multicollinearity may be problematic when the correlation coefficients are greater than or equal to 0.7,
the VIF values are greater than 10, or tolerance values are less than 0.1 [27], but based on the results of
this study, multicollinearity was not problematic.

In order to examine whether the data supported the hypotheses, Baron and Kenny’s four-step
procedures were used to determine statistical significance: 1) between the independent variable and the
dependent variable, 2) between the independent variable and the mediator variable, 3) between the
mediator and the dependent variable, and 4) between the independent and the dependent va-riable while
controlling for the mediator variable. If the results of the last analy-sis result in a statistically
insignificant relationship between the original inde-pendent and dependent variables, there is full
mediation. If it only reduces the statistical significance of the relationship, not completely blocking,
then there is partial mediation [28].

According to this procedure, the statistical significance of the relationships between student perceptions
of both yellow dust and amount of rainfall,

Table 1. Means, standard deviations, and correlations among the variables.

Variable Mean SD 1 2 3 4 5 6

1) Academic engagement 1.934 0.247 1 −0.078 −0.116* −0.297** 0.204** −0.121*

2) Yellow dust intensity 4.200 0.791 −0.078 1 0.173** 0.110* −0.029 0.046

3) Amount of rainfall
4.260 0.932 −0.116* 0.173** 1 0.037 −0.018 0.074
(monsoon)

4) Students’ concerns 1.123 0.412 −0.297** 0.110* 0.037 1 −0.128* 0.221**


152
about their health

5) Parents-students:
2.930 0.235 0.204** −0.029 −0.018 −0.128* 1 −0.638**
Open comm.

6) Parents-students:
1.905 0.265 −0.121* 0.046 0.074 0.221** −0.638** 1
Problematic comm.

∑ (y n
i =1 i
Note: SD = − y ) n −1 . *Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed); **Correlation is
2

significant at the 0.01 level (2-tailed).

academic engagement at school, and students’ concerns about their health were measured. Table 2
shows the detailed results of the four-step procedure testing for mediation effects. Model 1 indicated
that student perceptions of both at-mospheric phenomena were statistically significantly related to their
academic engagement (yellow dust: B = 0.405, р < 0.05; monsoon: B = 0.503, р < 0.01) such that the
more severe that they perceived the intensity of yellow dust or greater that they perceived the volume of
rain, the less that they engaged with studying at school. Open communication in the parent-student
relationship was positively related to students’ academic engagement. However, only student
perception of the intensity of yellow dust positively influenced students’ con-cerns about their health,
which is indicated by Model 2 (B = 1.285, р < 0.05). Problematic parent-student communication was
positively correlated with stu-dents’ concerns about their health. Model 3 also showed that students’
concerns about their health negatively affected academic engagement (B = 0.051, р < 0.01). Open
parent-student communication was positively correlated with aca-demic engagement. Model 4 finally
showed the relationship between student perception of the intensity of yellow dust and academic
engagement at school became statistically insignificant when the variable of students’ concerns about
their health was controlled. This result indicated the full mediating effect of stu-dents’ health concern
between the independent and dependent variables. Al-though there seemed to be a statistically
significant relationship between student perception of volume of rain and academic engagement
[monsoon (B = 0.436,

Table 2. Logistic regression results of testing for mediation effect.

Model 4
Model 1 Model 2 Model 3
(atmosphere, health

(atmosphere→ (atmosphere→ (health concerns→


Variable academic engagement) concerns→academic
153health concern) academic engagement)
engagement)

B Exp (B) B β B Exp(B) B Exp (B)

(Constant) 0.548 1.730 25.412*** 2.053 7.794 1.601 4.956

Yellow dust intensity 0.405* 0.667 1.285* 0.118 −0.313 0.732

Amount of rainfall
0.503** 1.654 −0.611 −0.066 0.436* 1.547
(monsoon)

Parents-students:

−0.376** 0.686 0.166 0.024 −0.325* 0.722 −0.352* 0.703


Open comm.

Parents-students:

−0.029 0.972 1.686*** 0.235 0.096 1.100 0.052 1.054


Problematic comm.

Students’ concerns
0.051** 0.951 0.046* 0.955
about their health

df = 4 df = 3 df = 5

−2Log likelihood = 337.042 F = 5.475 −2Log likelihood = 332.188 −2Log likelihood = 323.631
2 2 2
X = 24.152*** R = 0.064 X = 18.419*** X2 = 26.976***

Cox & Snell R 2 = 0.070 Adj. R2 = 0.053 Cox & Snell R2 = 0.055 Cox & Snell R2 = 0.080

Overall Percentage = 77.0% Overall Percentage = 76.9% Overall Percentage = 76.2%

Note: Academic engagement (0 = high; 1 = low). *р < 0.05, **р < 0.01, ***р < 0.001.

P< 0.05)], mediation effect of students’ health concerns about their health was irrelevant; there was no
statistically significant relationship between the amount of rainfall and students’ concerns, which has
already been examined by Model 2. These results indicated that the more severe students perceived
yellow dust to be, the more concerned they became about their health, which in turn reduced

their academic engagement at school.

Additionally, this study examined the mediation effect of students’ concerns about their health by using
bootstrapped confidence intervals. Controlling for open and problematic parent-student communication,
5000 sample mediation effects were applied. As shown in Table 3, lower to upper limit of the
boot-strapped confidence intervals were −0.161 to −0.008 at a 95% confidence level. Given that the
confidence interval between the Lower Limit (LL) and the Upper Limit (UL) did not include 0, the
mediation effect was determined to be signifi-cant [29]. Testing for mediation effects using
bootstrapping also proved that at-mospheric conditions were likely to increase students’ concerns about
their health and thereby reduce their academic engagement at school.

5. Conclusions

Too often, we are unaware of the magnitude of the atmosphere’s influence on our day-to-day lives and
on Earth’s ecosystem as a whole. Although previous studies have been conducted on these
cause-and-effect relationships, the effect that the atmosphere has on students’ lives in South Korea has
been overlooked. Thus, this study examined how atmospheric phenomena particularly affected South
154
Korean students’ academic engagement at school. Responses to question-naires from 345 middle and
high school students in Seoul, South Korea were in-cluded in this study’s final analysis.

In order to investigate the mediating effects of students’ concern about their health on atmospheric
conditions and school engagement, this study conducted Baron and Kenny’s four-step regression
analysis procedure and a bootstrap analy-sis. The results showed that both the perceived intensity of
yellow dust and the perceived amount of rain negatively affected the students’ academic engagement at
school. However, the variable of students’ concerns about their health was shown to completely mediate
the relationship between perceived levels of yellow dust and academic engagement. No such mediating
effect was shown on the relationship between the perceived amount of rain and academic engagement.

Table 3. Mediation effect as measured by bootstrapping.

Bootstrap

Mediator Coefficient S.E. Confidence interval (95%)

Boot LLCI Boot ULCI

Indirect effect −0.059 0.038 −0.161 −0.008

Note: LLCI = Lower Level (2.5th percentile) Confidence Interval; ULCI = Upper Level (97.5th percentile)

Confidence Interval.

There are a number of policy suggestions to improve students’ academic en-gagement that can be made
based on the findings of this study. First, the amount of yellow dust during the spring should be reduced
by preventing desertification in southern Mongolia and northern China. Although China has begun to
com-bat desertification by planting forests, Mongolia has struggled to do so because of a lack of funds
[30]. A great deal of this yellow dust ultimately descends upon the Korean peninsula, so the Korean
government should cooperate with other countries to assist in preventing desertification, perhaps in the
form of providing economic aid to Mongolia. In order to reduce the damage caused by heavy rain-fall
during the monsoon, the government should forecast the amount of precipi-tation as accurately as
possible, repair embankments and walls to prevent landslides, and improve sewer systems to more
effectively deal with floods.

Second, school authorities should recognize the seriousness of the impact that yellow dust and heavy
rainfall have on students’ academic engagement at school. Yellow dust can impact students’ concerns
regarding their health and academic engagement at the same time. Thus, schools should provide air
purifiers to re-duce students’ concerns about their health and practical education, training, and manuals
for teachers on how to respond to yellow dust.

This study was the first on the effect of atmospheric phenomena on students’ academic engagement at
school, but it had some limitations. The subjects sur-veyed in this study were only from Seoul, so
national or international popula-tions must be studied to generalize the results of this study. This study
also did not control for various variables, such as school facilities, that might affect stu-dents’ academic
155
engagement. Thus, future studies must overcome these limita-tions to better understand how
atmospheric phenomena affect students’ lives at school.

References

10. Chu, J. (2013) Study: Air Pollution Causes 200,000 Early Deaths Each Year in the

US: New MIT Study Finds Vehicle Emissions Are the Biggest Contributor to These Premature Deaths. MIT News.
http://news.mit.edu/2013/study-air-pollution-causes-200000-early-deaths-each-year -in-the-us-0829

11. The World Bank (2016) Air Pollution Deaths Cost Global Economy US$225 Billion. The World Bank News.
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2016/09/08/air-pollution-deaths-cost-global-economy-225
-billion

12. Bak, S.H. (2018) Talks Continue on “Alternate No-Driving Day” to Fight Dust. The Korea Herald.
http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20180118000899&ACE_SEARCH=1

13. Ladouceur, A. (2013) A Korean Spring: The Beautiful and the Ugly. Korea4expats.com News.
http://www.korea4expats.com/news-yellow-spring-korea.html

34. Ministry of Public Administration and Security (2014) Annual Disaster Report. Se-jong City.An, J.H., Lim,
C.H., Jung, S.H., Kim, A.R. and Lee, C.S. (2016) Effects of Climate Change on Biodiversity and Measures
for Them. Journal of Wetlands Research, 18, 474-480. https://doi.org/10.17663/JWR.2016.18.4.474

35. Eom, K.H., Kim, H.S., Han, I.S. and Kim, D.H. (2015) An Analysis of Changes in Catch Amount of Offshore
and Coastal Fisheries by Climate Change in Korea. The Journal of Fisheries Business Administration, 46,
31-41. https://doi.org/10.12939/FBA.2015.46.2.031

36. Lee, G.S. (2014) Effects of Climate Change on the Crops Growing Environment. M.Sc. Thesis, Chonnam
National University, Yeosu, Unpublished.

37. Oh, H. (2015) Measuring the Weather Risk in Manufacturing and Service Sectors in Korea. Environmental
and Resource Economics Review, 24, 551-572. https://doi.org/10.15266/KEREA.2015.24.3.551

38. Korea Meteorological Administration (2009) Climate of Korea.


http://web.kma.go.kr/eng/biz/climate_01.jsp

39. Uyeda, H., Jou, B.J. and Lee, D. (2017) Recent Development of Heavy Rain Research Associated with
Summer Monsoon in East Asia Excited by Advances in Weather Radar. In: Chang, C., Kuo, H., Lau, N.,
Johnson, R.H., Wang, B. and Wheeler, M.C., Eds., The Global Monsoon System: Research and Forecast,
World Scientific Pub-lishing, Danvers, MA, 227-243. https://doi.org/10.1142/9789813200913_0018

40. Ministry of Public Administration and Security (2014) Annual Disaster Report. Se-jong City.

41. Ban, G.S. (2013) Jangma.


http://terms.naver.com/entry.nhn?docId=3576687&cid=58947&categoryId=58981

42. Volodzko, D.J. (2017) China Is to Blame for Korea’s Pollution? Really? South China Morning Post.
http://www.scmp.com/week-asia/politics/article/2087447/china-blame-koreas-pollu tion-really

156
43. (2015) Yellow Sand-Dust, Hwangsa.
http://www.korea4expats.com/article-yellow-dust-korea.html

44. Yeo, S.M. (2017) Chinese Hwangsa’s Causes, Damages, and Future Management.
https://blog.naver.com/cnsisa9582/221039556875

45. Schaufeli, W.B. and Bakker, A.B. (2004) Utrecht Work Engagement Scale: Prelimi-nary Manual.
http://www.wilmarschaufeli.nl/publications/Schaufeli/Test%20Manuals/Test_manu al_UWES_English.pdf

46. Choo, H.T. and Sohn, W.S. (2012) Validating the Korean Version of the Utretch Work Engagement
Scale-Student (UWES-S). Journal of Education Evaluation, 24, 897-920.

47. Shin, H.K. and Won, H. (1997) A Study on the Development of the Korean Alexi-thymia Scale. Korean
Journal of Clinical Psychology, 16, 219-231.

48. Cohen, S., Kamarck, T. and Mermelstein, R. (1983) A Global Measure of Perceived Stress. Journal of Health
and Social Behavior, 24, 385-396. https://doi.org/10.2307/2136404

49. Park, J. and Seo, Y.S. (2010) Validation of the Perceived Stress Scale (PSS) on Sam-ples of Korean
University Students. Korean Journal of Psychology: General, 29, 611-629.

Fan, W. and Williams, C.M. (2010) The Effects of Parental Involvement on Stu-dents’ Academic Self-Efficacy,
Engagement and Intrinsic Motivation. EducationalPsychology, 30, 53-74.
https://doi.org/10.1080/01443410903353302

24. Kim, N.H. and Lee, J. (2013) The Relationship between Perceived Parent-Adolescent Relationship and the
Middle School Students’ Learning Flow: The Mediating Effects of Self-Determinated Motivation. The Korea
Journal of Youth Counseling, 21, 211-231.

25. Park, Y.S., Lee, Y.S., Lee, S.H. and Kim, T.O. (2015) The Effects of Parent-Child Re-lationship and
Self-Efficacy on Adolescent Academic Achievement and Filial Piety. The Korean Journal of Educational
Psychology, 29, 505-542. https://doi.org/10.17286/KJEP.2015.29.3.06

26. Kim, J.H. (2004) Parent-Adolescent Communication and the Stress and Stress Coping Style of Middle School
Student. M.Sc. Thesis, Kookmin University, Seoul, Unpublished.

27. Barnes, H.L. and Olson, D.H. (1982) Parent-Adolescent Communication Scale. In: Olson, D.H., McCubbin,
H.I., Barnes, H., Larsen, A., Muxen, M. and Wilson, M., Eds., Family Inventories: Inventories Used in a
National Survey of Families across the Family Life Cycle, Family Social Science, University of Minnesota,
Saint Paul, MN, 33-48.

28. Dormann, C.F., Elith, J., Bacher, S., Buchmann, C., Carl, G., Carré, G., Marquéz, J. R.G., Gruber, B.,
Lafourcade, B., Leitão, P.J., Münkemüller, T., McClean, C., Os-borne, P.E., Reineking, B., Schröder, B.,
Skidmore, A.K., Zurell, D. and Lautenbach, S. (2013) Collinearity: A Review of Methods to Deal with It and
a Simulation Study Evaluating Their Performance. Ecography, 36, 27-46.
https://doi.org/10.1111/j.1600-0587.2012.07348.x

29. Baron, R.M. and Kenny, D.A. (1986) The Moderator—Mediator Variable Distinc-tion in Social
Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Consid-erations. Journal of Personality and
Social Psychology, 51, 1173-1182. https://doi.org/10.1037/0022-3514.51.6.1173

30. Shrout, P.E. and Bolger, N. (2002) Mediation in Experimental and Nonexperimental Studies: New
Procedures and Recommendations. Psychological Methods, 7, 422-445.
https://doi.org/10.1037/1082-989X.7.4.422

31. (2015) Steps against Yellow Dust. The Korean Times.


http://www.koreatimes.co.kr/www/news/opinon/2016/01/202_174065.html
157
BAB 5

Volume VII Nomor 1, Januari 2016 ISSN:


2086-3098

EKOLOGI DAERAH URBAN (PERKOTAAN) DAN GANGGUAN KESEHATAN JIWA

Yunita Satya Pratiwi (Prodi S1 Ilmu Keperawatan FIKES Universitas Muhammadiyah Jember)

ABSTRACT

City is a form of ecological systems are complex, dynamic, and dominated


by humans. In this case, the city is considered as an ecosystem that is an
artificial
environment, the result of a process of interaction between man and
man and
between man and his environment. The growth of urban population in
the world, especially in Indonesia is relatively high, will continue with a high
acceleration. In the period 2005-2030 the number of the world's urban population
is expected to increase 56%, Asia up 71%, and up 74% in Indonesia.

In 2005 the Indonesian population living in urban areas reached more than
107.9 million people, where 20% of whom were in Greater Jabodetabek (UNDP and
ADB, 2006). Rate of population growth is not accompanied by the growth of the
region, will result in overcrowding. This causes an imbalance of urban
ecosystems. In addition to the emergence of poverty, unemployment, crime,
uneven development, urbanization, suspected to be the cause of many
community members are prone to stress and anxiety that lead to mental disorders. It
is supported by a number of research results that show the prevalence trend of
population show symptoms of mental health disorders in relatively more in urban
than in rural areas.

Keywords: Urban ecology, Ecosystems and Mental disorder

158
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota adalah sistem ekologi yang kompleks didominasi oleh manusia. Dalam hal ini kota dapat
dianggap sebagai sebuah ekosistem, yaitu sebagai lingkungan hidup buatan hasil dari suatu
proses interaksi antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan lingkungannya
(Harsiti, 1992).

Dalam kurun waktu 2005-2030 jumlah penduduk perkotaan di dunia diperkirakan akan
meningkat 56%, di Asia naik 71%, dan khususnya di Indonesia naik 74%. Pada tahun 2005
jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan mencapai lebih dari 107.9 juta
jiwa, di mana 20% di antaranya berada di Jabodetabek (UNDP and ADB, 2006).

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan pertumbuhan wilayah, akan
mengakibatkan terjadinya kepadatan penduduk yang menambah beban berat bagi kota dalam rangka
persiapan infrastruktur baru seperti pendidikan, kesehatan serta pelayanan-pelayanan perkotaan
lain-nya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem perkotaan
(urban). Masalah-masalah lain yang diduga timbul adalah tingkat pengangguran, kriminalitas
tinggi, arus urbanisasi penduduk dari desa ke kota.

Selain fenomena yang telah dipaparkan diatas, dampak terganggunya keseimbangan ekosistem
perkotaan terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup memprihatinkan salah satunya
adalah kemiskinan dan himpitan ekonomi. Hal tersebut diduga menjadi penyebab banyaknya anggota
masyarakat rentan terhadap stress dan kecemasan yang mengakibatkan gangguan jiwa (Dimyati,
2012).

Data Riskesdas 2007 menunjukan angka nasional gangguan jiwa nasional gangguan mental
emosional (kecemasan, depresi) pada penduduk pada usia kurang lebih 15 tahun adalah 11,6%
atau sekitar 19 juta penduduk. Sedangkan dengan gangguan jiwa berat rata-rata sebesar 0,64%
sekitar 1 juta penduduk. Kerugian negara akibat gangguan kesehatan jiwa ini sedikitnya
mencapai Rp. 20 T. Jumlah yang sangat besar di bandingkan dengan dana jamkesmas Rp. 5,1 T
dengan kerugian Rp. 6,2 T (Kemenkes, 2007).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perlu dilakukan kajian yang
mengupas tuntas tentang keterkaitan ekologi urban dan gangguan kesehatan jiwa.

159
Tujuan

Studi ini bertujuan memaparkan konsep ekologi urban (perkotaan), gangguan kesehatan jiwa
dan keterkaitan keduanya secara komprehensif.

Manfaat

Diharapkan studi ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan ekologi urban (perkotaan) dan ganggguan kesehatan jiwa, serta menjadi sumber
informasi teoritis dan empiris bagi rumah sakit jiwa dan pemerintah dalam proses pengambilan
kebijakan program.

METODE STUDI

Dalam studi ini digunakan metode literature review yaitu menelaah berbagai sumber pustaka
mengenai ekologi urban dalam kaitannya dengan gangguan kesehatan jiwa.

HASIL STUDI

Ekologi Urban

Bedasarkan prinsip dasar dari ekologi maka ekologi daerah urban adalah studi ilmiah tentang
hubungan organisme hidup satu sama lain dan lingkungannya dalam konteks lingkungan
perkotaan yang menjadi kajian. Lingkungan perkotaan mengacu pada lingkungan yang
didominasi oleh bangunan perumahan yang sangat padat dan komersial, permukaan beraspal,
dan pengaruh manusia yang dominan dalam penciptaan landscape yang unik dan berbeda
dengan lingkungan yang banyak dipelajari sebelumnya di bidang ekologi (Niemela, 1999).

Studi ekologi perkotaan meningkat dan menjadi penting, karena dalam empat puluh tahun ke
depan, dua pertiga dari penduduk dunia akan tinggal di kota dan memperluas pusat-pusat
perkotaan (United Nations, 2007). Selain dari itu ekologiurban bersifat interdisipliner yang memiliki
akar berbagai disiplin ilmu meliputi sosiologi perencanaan, geografi perkotaan, arsitektur lanskap,
teknik, ekonomi, antropologi, klimatologi, kesehatan masyarakat, dan ekologi (Marzluff et al,
2008).

Ekosistem tidaklah statis, dapat mengalami perubahan keseimbangannya (dinamis).Artinya


komponen penyusun ekosistem dapat mengalami kenaikan maupun penurunan jumlah populasi,
namun dalam komposisi yang proporsional.

Dalam konteks ekologi urban, kota adalah sistem ekologi yang kompleks didominasi oleh
manusia.

Model ekosistem urban yang berisi komponen ekosistem urban disajikan pada Gambar 1
sebagai berikut:

160
Gambar 1. Komponen Dasar Ekosistem Urban (Marzluff et al.; dimodifikasi oleh Endlicer et
al., 2007)

Elemen manusia membuat mereka berbeda dari ekosistem alam dalambanyak hal. Dari
dinamika, dan aliran energi dan materi (Rebele, 1994; Collins et al, 2000; Pickett et al, 2001).
Karena perubahan adalah properti yang melekat pada sistem ekologi, kapasitas ekosistem
perkotaan untuk merespon dan beradaptasi pada perubahan ini merupakan faktor penting dalam
menciptakan kota yang berkelanjutan secara jangka panjang (Alberti dan Marzluff, 2004).

Ekologi telah memberikan bukti peningkatan peran manusia secara dramatis mengubah
ekosistem bumi melalui

peningkatan heterogenitas lanskap, perubahan siklus energi dan materi bumi (Vitousek et al.
1997). Tindakan manusia telah merubah 30% hingga 50% permukaan tanah dan telah
menggunakan setengah dari akses air tawar. Sekarang lebih banyak fiksasi nitrogen secara
sintetis dibandingkan alami dalam ekosistem darat. (Vitousek et al. 1986).

Menurut penilaian ekosistem terbaru global, manusia memiliki kemampuan mengubah


ekosistem yang lebih cepat selama 50 tahun terakhir, dibanding waktu lain dalam sejarah
manusia, dan sebagai konsekuensinya telah dimodifikasi keanekaragaman hayati yang
sifatnya ireversibel (Turner et al. 1990, MEA, 2005). Dengan demikian ekosistem bumi semakin
dipengaruhi oleh kecepatan dan pola pertumbuhan perkotaan, dan sangat berpengaruh untuk
membuat daerah perkotaan yang berkelanjutan.

Perubahan urbanisasi yang luar biasa menentukan masa depan ekosistem, akan tergantung
pada perubahan yang dilakukan akibat aktivitas manusia. Kota telah berkembang pesat dalam
beberapa dekade terakhir di seluruh dunia dengan total 20 kota sekarang memiliki populasi lebih
dari 20 juta, dibandingkan tahun 1950. Pertumbuhan penduduk yang diperkirakan dalam 25 tahun
ke depan (tahun 2000 dan 2030, sekitar dua miliar orang) akan terkonsentrasi di daerah
perkotaan. Di dunia populasi urban akan mencapai lebih dari 60 persen (4,9 miliar) pada tahun
2030. Ini adalah tiga kali totalpopulasi planet 100 tahun lalu (1,7 miliar orang) (UN, 2006, Gambar
2).

161
Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk Urban dan Pedesaan, Aktual dan Proyeksi Tahun 1900-2025
(Sumber: United Nations, 2007)

Sebagai ekosistem yang adaptif, dinamis dan kompleks, faktor manusia dalam ekosistem
urban, tidak terisolasi dari faktor biotik maupun abiotik lainnya bersama-sama.Namun sebagai
gabungan sistem manusia alam, sebagai driver (penggerak) dan dipengaruhi oleh pola dan
proses yang mereka buat (Gambar 3).

Gambar 3. Kerangka Konseptual Ekologi Perkotaan (Alberti et al 2003,. P. 1175, © American


Institute of Biological Sciences)

Dalam model konseptual, driver adalah kekuatan manusia dan biofisik yang menghasilkan
perubahan dalam manusia dan pola biofisik dan proses. Pola adalah distribusi spasial dan
temporal dari variabel manusia atau biofisik. Proses adalah mekanisme interaksi variabel
manusia dan biofisik, dan mempengaruhi kondisi ekologi Efek adalah perubahan kondisi
manusia dan ekologi yang dihasilkan dari interaksi tersebut (Alberti et al, 2003)

Gangguan Kesehatan Jiwa

162
Menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan "Kesehatan Jiwa" adalah
suatu kondisi yang

memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang
dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa
mempunyai sifat-sifat yang har-monis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam
kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain (Departemen Kesehatan RI,
1966).

Gangguan jiwa adalah penyakit yang mempengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku kontrol.
Serta secara substansial mengganggu baik dengan kemampuan anak-anak untuk belajar dan
dengan kemampuan orang dewasa untuk berfungsi dalam keluarga mereka, di tempat kerja, dan
di masyarakat luas.

Etiologi gangguan jiwa cukup kompleks yang melibatkan interaksi antara beberapa faktor risiko
genetik dan nongenetik. Gender berkaitan dengan risiko dalam banyak kasus: laki-laki memiliki
tingkat yang lebih tinggi dari gangguan hyperactivity, defisit perhatian, autisme, dan gangguan
substansi penggunaan; perempuan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari depresi gangguan
mayor, gangguan kecemasan, dan gangguan makan(Hyman 2000).

Stressor kesehatan jiwa di masyarakat adalah sebagai berukur seperti dibawah ini :

l. Timbulnya pengharapan yang berlebihan

m. Meningkatnya Kebutuhan

n. Penerapan Tehnologi Modern

o. Urbanisasi

p. Kepadatan Penduduk

Gangguan jiwa yang ada dimasyarakat

seperti gangguan mental organic (GMO) seperti : Skizofrenia, gangguan mood disorder seperti
depresi dan mania, ansietas (kecemasan), ganguan tidur, makan dan sexual. Gangguan
kepribadian dan perilaku, retardasi mental, autisme, hiperkinetik dan gangguan perilaku pada
anak dan remaja (Royal College Psychiatrists, 2006).

Dalam upaya meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat dan mengurangi angka gangguan
kesehatan jiwa di masyarakat, diperlukan upaya-upaya yang terpadu, komprehensif dan
berkesimnambungan.

Menurut Azizah (2011) kesehatan jiwa masyarakat menekankan pada prinsip-prinsip


pencegahan sebagai berikut :

20. Menekankan pada praktik di masyarakat

21. Berusaha meningkatkan pela-yanan dan program yang diarahkan pada masyarakat bukan
pada individu.

22. Pelayanan pencegahan sebagai prioritas tertinggi.

23. Petugas memberikan pelayanan tidak langsung seperti konsultasi, pendidikan kesehatan jiwa,
pelatihan pada Pembina masyakat (training of trainer) seperti pada guru, perawat kesehatan
masyarakat, bidan dan yang lainnya.

24. Pengembangan strategi klinis yang inovatif untuk kesehatan jiwa masyarakat, seperti
intervensi klinis.

25. Ada keterikatan antara pengendalian demografi masyarakat dengan program kesehatan jiwa
masyarakat.

26. Mengidentifikasi sumber-sumber stress di masyarakat dan tidak meremehkan terjadinya


gangguan yang bersifat individual.

PEMBAHASAN

Keterkaitan Antara Ekologi Perkotaan dan Gangguan Kesehatan Jiwa

163
Banyak bukti dari beberapa studi atau penelitian tentang keterkaitan antara ekologi uban
dengan kecenderungan timbulnya gangguan kesehatan jiwa dibandingkan di pedesaan. Salah
satunya adalah penelitian Kristina Sundquist dan rekan-rekannya (Sundquist K, 2004) yaitu
tentang “Hubungan antara Urbanisasi dan Perkembangan Gangguan Kejiwaan”adalah signifikan.
Dengan desain studi yang kuat, menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat urbanisasi dan
timbulnya pertama kali psikosis (penyakit kejiwaan). Untuk pria,risiko masuk pertama untuk
psikosis adalah 68% lebih tinggi padasebagian besar wilayah paling padat di Swedia, daripada
daerah yang dihuni paling sedikit kepadatan penduduknya (pada skala dengan lima kategori
urbanisasi). Bagi wanita, risiko adalah 77% lebih tinggi. Hasil ini adalah semua bersifat
independen atas usia, status perkawinan, pendidikan, dan status imigran. Hasil untuk psikosis
berbeda dengan korelasi yang lemah ditemukan untuk depresi (12% lebih tinggi untuk laki-laki
dan 20% lebih tinggi bagi perempuan). Dijelaskan bahwa peningkatan risikodi wilayah perkotaan
dibandingkan dengan pedesaan adalah perbedaan dalam hal dukungan sosial, kehidupan yang
penuh stres, dan kewajiban keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Einar Kringlen dan rekan-rekannya (Einar et al, 2006) singkatnya,
prevalensi 12 bulan dan masagangguan mental jauh lebih rendah di pedesaan barat bagian dari
Norwegia daripada di kota Oslo. Namun, pola yang sama diamati di pedesaandan perkotaan,

dengan penyalahgunaan alkohol/ ketergantungan dan depresi utama adalah gangguan yang
paling umum di kedua tempat. Rurality (kehidupan non-perkotaan) tidak menjelaskan perbedaan
besar dalam tingkat gangguan jiwa di dua lokasi. Penjelasan tentang social ekonomi dan budaya
yang lebih aplikatif. Ini akan muncul bahwa masyarakat yang stabil tanpa perubahan sosial yang
cepat, dengan tingkat perceraian yang rendah, tingkat konsumsi alkohol yang moderat,
rendahnya kriminalitas dan kepatuhan pada nilai-nilai moral dan agama tradisional, mendorong
tercapainya kesehatan mental yang baik pada anak-anak dan orang dewasa.

Pada penelitian yang dilakukan oleh William A. Vega dan rekan-rekannya, menunjukkan
bahwa meskipun tingkat pendidikan dan pendapatan yang sangat rendah, orang
Meksiko-Amerika telah memiliki tingkat gangguan kejiwaan sepanjang hidup yang lebih rendah
dibandingkan tingkat populasi Amerika Serikat yang dilaporkan oleh The National Comorbidity
Survey. Morbiditas kejiwaan diantara orang Meksiko-Amerika utamanya dipengaruhi oleh variasi
budaya, daripada dibandingkan pengaruh status sosial ekonomi atau lokasi tempat tinggal di perkotaan
(urban) atau pedesaan. Namun demikian, hasil prevalensi tertinggi gangguan jiwa terjadi pada
responden yang tinggal di kota (35,7%) dibandingkan dengan yang tinggal di kota kecil (32,1%) dan
yang tinggal di pedesaan (29,8%). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan gangguan jiwa
relatif lebih banyak terjadi di perkotaan (William et al, 1998).

Sebuah studi pada orang dewasa muda di daerah urbanisasi baru (Khartoum, Sudan)
menemukan bahwa gejala gangguan mental umum lebih banyak terjadi di perkotaan daripada di
daerah pedesaan. Faktor risikonya adalah kesepian, ekspresi dari pengusiran, isolasi dan
kurangnya dukungan sosial yang terjadi ketika penduduk pedesaan bermigrasi dari keluarga dan
saudara-saudara mereka. Ada bukti bahwa faktor-faktor sosial, khususnya peristiwa yang
mengancam jiwa, kekerasan dan kurangnya dukungan sosial, memainkan penting dalam etiologi
gangguan mental yang umum.

Kenyataan menunjukkan, lingkungan perkotaan merupakan salah satu dengan banyak


kemalangan, termasuk kemiskinan, kekerasan, dan isolasi (Leventhal T, 2000). Dikaitkan dengan
resiko yang signifikan, ditemukan pengalaman banyak pemuda perkotaan dengan kombinasi
tantangan (Tuma, 1989; Day C, Roberts MC, 1991) Akibatnya, telah ditemukan bahwa remaja
perkotaan Afrika Amerika berada pada risiko lebih besar mendapatkan masalah psikologis relatif
terhadap pemuda dalam populasi umum (Grant et al, 2000 ; Tolan et al, 1997).

Hasil survey yang dilakukan oleh U.S. Department of Health and Human Services, penyakit
mental menunjukkan proporsi yang lebih besar dari kecacatan di negara maju daripada kelompok
lain dari penyakit, termasuk kanker dan penyakit jantung. Pada tahun 2004, sekitar 25% orang
dewasa di Amerika Serikat dilaporkan memiliki penyakit mental dalam tahun sebelumnya. Biaya
ekonomi dari penyakit mental di Amerika Serikat adalah substansial, sekitar $ 300 miliar pada
tahun 2002 (U.S. Department of Health and Human Services , 2011).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ekologi daerah urban (perkotaan) adalah studi ilmiah tentang hubungan organisme hidup satu
sama lain dan lingkungannya dalam konteks lingkungan perkotaan yang menjadi kajian. Kajian ini
bersifat interdisipliner dan pengaruh manusia sangat dominan. Studi ekologi perkotaan meningkat
dan menjadi penting, karena dalam empat puluh tahun ke depan, dua pertiga dari penduduk dunia
akan tinggal di dan memperluas pusat-pusat perkotaan. Selain dari itu ekologi urban sangat
dinamis (perubahan dari seimbang menjadi tidak seimbang) begitupun sebaliknya.

164
Gangguan jiwa adalah penyakit yang mempengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku kontrol dan
secara substansial mengganggu baik dengan kemampuan anak-anak untuk belajar dan dengan
kemampuan orang dewasa untuk berfungsi dalam keluarga mereka, di tempat kerja, dan di
masyarakat luas. Faktor penyebab gangguan jiwa adalah genetik dan non genetik.

Keterkaitan antara ekologi urban dan gangguan kesehatan jiwa ditunjukkan oleh hasil-hasil
penelitian. Berdasarkan hasil

penelitian, terdapat kecenderungan prevalensi dan gejala gejala gangguan mental umum
lebih banyak terjadi di perkotaan daripada di daerah pedesaan. Diduga faktor-faktor determinan
atau yang menjadi pemicu diantaranya adalah peristiwa yang mengancam jiwa, kekerasan,
kurangnya dukungan sosial, kemiskinan, dan kehidupan yang penus stress di wilayah perkotaan.

Saran

Perlu dilakukan upaya yang signifikan oleh semua pihak untuk mengoptimalkan dan
mengurangi timbulnya ketidakseimbangan serta kerusakan ekosistem urban, mengingat
sangat pentingnya fungsi ekosistem urban dalam menyangga kehidupan dalam semua aspek
bagi seluruh lapisan masyarakat.

Pengaruh yang dominan manusia dalam ekologi urban, perlu diatur dalam sistem yang baik
dan tegas secara hukum apabila ada penyimpangan. Sistem tersebut dibuat oleh manusia yang
bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem urban yang nantinya berguna untuk
kesejahteraan umat manusia.

Upaya promotif dan preventif harus menjadi upaya utama seluruh tenaga kesehatan dalam
rangka meminimalkan terjadinya gangguan kesehatan secara umum dan kesehatan jiwa
khususnya.

165
DAFTAR PUSTAKA

Alberti, M., and J. Marzluff. 2004a. Ecological Resilience in Urban Ecosystems: Linking Urban
Patterns to Human and Ecological Functions.Urban Ecosystems , 7:241–265.

Alberti, M., J. Marzluff, E. Shulenberger, G.

Bradley, C. Ryan, and C.Zumbrunnen.

2003. Integrating humans into ecology:

Opportunities and challenges for studying

urban ecosystems.BioScience; 53(12):1169-1179.

Azizah. 2011. Keperawatan Jiwa ; Aplikasi Praktek Klinik. Yokyakarta: Graha Ilmu.

Burgess, E. 1929. Urban areas.In: Smith, T.V. & White, L.D. (eds.): Chicago (eds ed.). Chicago:
University of Chicago Press.

Burgess, E., In: Park, R., & Burgess, E. &. 1925. The growth of the city: Introduction to a research
project ; The City (eds ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Collins, J. P. 2000. A new urban ecology.

American Scientist, hal. 88:416–425.

Collins, J. P. 2000. A New Urban Ecology.American Scientist 88 , hal. 416-425.

Davis, B. 1978. Symposia of the Royal Entomological Society of London. London: Blackwell
Scientific Publications, Oxford.

Day C, Roberts M.C. 1991. Activities of The Child and Adolescent Service System Program for
Improving Mental Health Services for Children and Families. J Clin Child Psychol ; 20: 340–
350

.Departemen Kesehatan RI. 2011. The Great Push : Investing in Mental Health . Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 1966. Undang-Undang Tentang Kesehatan Jiwa. Indonesia. Jakarta :
Depkes RI.

Dimyati, V. 2012.Penduduk Kota Rentan

Terkena Gangguan Mental. Dipetik

Desember Selasa, 2012, dari Jurnas

Com:

http://www.jurnas.com/news/70632/Pend

uduk_Kota_Rentan_Terkena_Gangguan

_Mental/1/Sosial_Budaya/Kesehatan

Dirjen Bina Upaya Kesehatan. 2011. Hargailah Gangguan Penderita Penyakit Jiwa. Dipetik
Desember Selasa, 2012, dari Kemenkes RI Web Site:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option =com_content&view=article&id=211:harg
ailah-gangguan-penderita-penyakit-jiwa.

Duvigneaud, P. 1974. L’écosystème “Urbs.” Mém. Soc. Roy. Belg.

Einar Kringlen, Svenn Torgersen, Victoria Cramer. 2006.Mental Illness in A Rural

Aea, A Norwegian Pychiatric Eidemiological Study. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol;


41:713–719.

Endlicher, W. M. 2007. Shrinking Cities: Effects on Urban Ecology and Challenges for Urban
Development.

Peter Lang, InternationalerVerlag derWissenschalten.

Forman, R. A. 1986.Landscape ecology 619.

166
New York: John Wiley and Sons.

Fortinash, W. 1996. Psychiatric Mental Health Nursing. Missouri: CV Mosby St Louise.

Grant, K.E., O’Koon, J., Davis, T., Roache, N., Poindexter, L., Armstrong, M., Minden, J.A.,
McIntosh, J.M. 2000. Protective Factors Affecting Low-Income Urban African American Youth
Exposed to Stress. J Early Adolesc ; 20: 388-417.

Harris, C. &. 1945. The Nature of Cities. Annals of the American Academy for Political Science.

Harsiti. 1992. Pusat Analisis Informasi Ekologi Perkotaan. Perpustakaan Universitas Indonesia.

Hatcher, B. G. 1990. Coral Reef Primary Productivity. A Hierarchy of Pattern and Process".
Trends in Ecology and Evolution (5 ed.).

Hyman, S. E. 2000. “The Genetics of Mental Illness: Implications for Practice.Bulletin of the World
Health Organization; 78(4): 455-63.

Leventhal, T., Brooks-Gunn, J. 2000. The neighborhoods they live in: the effects of neighborhood
residence on child and adolescent outcomes. Psychol Bull;126: 309–337.

Marzluff, J. M., Shulenberge, E., Endlicher, W., Alberti, M., Bradley, G., Ryan, C., et al. 2008.
Urban Ecology, An International Perspective on the Interaction Between Hunmans and Nature.
Dalam J. M. al (Penyunt.). (hal. VII-VIII). New York: Springer Science+Business Media, LLC.

McDonnell, M. J., and S. Pickett (eds.). 1993. Humans as Components of Ecosystems: The
Ecology of Subtle Human Effects and Populated. New York: Springer-Verlag.

MEA. 2005. Ecosystems and Human Well-being: Synthesis. Millennium Ecosystem Assessment.
Washington, DC: Island Press.

Niemela, J. 1999. Ecology and Urban Planning. Biodiversity and Conservation.

Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology (3nd edition ed.). New York: Saunders.

Pickett STA, B. W. 1997b. Conceptual Framework for The Study of Human Ecosystems in Urban
Areas. Urban Ecosystems.

Pickett, S. T. 2001. Urban ecological systems:Linking terrestrial ecological, physical, and


socioeconomic components of metropolitan areas. hal. 32:127–157.

Rebele, F. 1994. Urban Ecology and Special Features of Urban Ecosystems. hal. 4:173–187.

Royal College Psychiatrists. 2009. Introduction to Mental Illness, (online), dipetik Desember 27,
2012, dari Nossal Institute for Global Health web site:
http://www.rcpsych.ac.uk/files/samplecha pter/75_7.pdf.

Schulze, E.D., and A. Freibauer. 2005.

Environmental Science: Carbon Unlocked from Soils.Nature, 437(7056), 205–206.

Sukopp H, B. H. 1979. Laurie I C (ed) Nature in Cities. 115-132: John Wiley, Chichester.

Sundquist K, F. G. 2004. Urbanisation and Incidence of Psychosis and Depression: Follow-up


Study of 4·4 million Women and Men in Sweden. Br J Psychiatry; 184: 293–98.

The United States Department of Health and Human Services. 2012. "Mental Health: A Report of the
Surgeon General. "Chapter

14. The Fundamentals of Mental Health and Mental Illness. , hal. pp 39 [1].

Tolan, P.H., Guerra, N.G., Montaini-Klovdahl, L. 1997. Staying Out of Harm’s way: Coping and
The Development ofInner-City Children Stressors. Dalam H. o. Stressor, & W. (. Sandier I
(Penyunt.),Linking Theory, Research and Interventions (hal. pp 453–479). New York:
Plenum.

Tuma, J. 1989. Mental Health Services for Children: The State of The Art. Am Psychol; 44:
188–199.

167
Turner, B. L. II., W. Clark, R. Kates, J. Richards, J. Mathew, and W. Meyer
(eds). 1990. The Earth as Transformed by Human Action: Global and Regional Changes in the
Biosphere Over the Past 300 Years. Cambrige, United Kingkom:

Cambridge University Press.

U.S. Department of Health and Human Services.

Services. 2011. Mental Illness Surveillance Among Adults in the United States.Morbidity
and Mortality Weekly

Report.

UNDP and ADB. 2006. Urbanization and


Sustainability in Asia. Jakarta: PBB.

United Nation. 2005. World Urbanization

Prospects: The 2005 Revision.

Population Division, Department of

Economic and Social Affairs. United

Nations, Working Paper No.

ESA/P/WP/200.

United Nations. 2007. World


Urbanization

Prospects. New York: UN.

Vitousek, P.M., C. M. D’Antonio, L. L. Loope,

M. Rejmanek, and R. Westbrooks. 1997.

Introduced species: ASignificant

Component of Human-Caused Global Change.New Zealand Journal of Ecology; 21:1–16.

Vitousek, P. M., P. R. Ehrlich, A. H. Ehrlich, and P. A. Matson. 1986. Human appropriation of the
products of photosynthesis.Bioscience, 36:368–373.

Wachter, M. 2003. Theorie und Praxis stadtökologischer Forschung (9 ed.). Leipzig: UFZ Ber.

William, A., Vega., Bohdan, K., Sergio, A.G, Ethel, A., Ralph, C., Jorge, C.A. 1998. Lifetime
Prevalence of DSM-III-R Psychiatric Disorder Among Urban and

Rural Mexican Americans in California.Arc Gen Psychiatry; 55: 771-778.

Wittig, R.A. 1993.Was ist Stadtokologie? Stadtokologie. Stuttgart. Jerman: Gustav Fischer Verlag.

World Health Organization. 2000. Cross-National Comparisons of The Prevalences and Correlates of
Mental Disorders. hal. 78.4.

168
J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 23, No. 3, September 2016:
394-401

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGELOLAAN

HUTAN LINDUNG WOSI RENDANI


(Participation of Communities in the Wosi Rendani Protected Forest Management)

Anton Silas Sinery* dan Jacob Manusawai Fakultas Kehutanan Universitas Papua,
Manokwari-Papua Barat, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Papua Barat, 98314.

*
Penulis korespondensi. Tel: 085244308802. Email: anton_sineri@yahoo.com.

Diterima: 15 Februari 2016 Disetujui: 2 Mei


2016

Abstrak

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program merupakan hal mendasar yang menentukan
keberhasilan penyelenggaraan program. Dalam perspektif konservasi sumber daya alam, partisipasi
merupakan prinsip dasar yang menentukan keberhasilan pencapaian program. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui fungsi, intensitas dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan hutan
lindung Wosi Rendani. Fungsi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung Wosi
Rendani tertinggi pada kampung Kentekstar (60,0%), diikuti Ipingoisi (31,11%), Soribo (28,57%) dan
Tanah Merah Indah (27,27%) dengan frekuensi 41 responden (34,75%). Konsentrasi responden pada
fungsi partisipasi distribusi dengan frekuensi partisipasi 26 responden (22,03%). Intensitas partisipasi
tertinggi pada kampung Kentekstar (60,00%), diikuti Tanah Merah Indah (36,36%), Ipingoisi (31,11%),
dan Soribo (28,57%) dengan frekuensi 41 responden (34,75%). Tingkat partisipasi masyarakat masuk
dalam kategori “sangat tidak aktif dengan indek partisipasi berada pada rentang 1 – 25.

Kata kunci: lingkungan, hutan lindung, manajemen, masyarakat, partisipasi, Wosi Rendani.

Abstract

Participation of community in the management is fundamental that determines the success of the
programs. In the perspective of natural resources conservation, participation is a basic principle that
determines the success of achieving the programs. The purpose of research is to determine the function,
the intensity and the level of community participation in Wosi Rendani protected forest management
program. The results of the research that participation indexs in the management of protected forest of
Wosi Rendani based functions at Kentekstar village highest participation (60.0%) followed Ipingoisi
(31.11%), Soribo (28.57%) and lowest in Tanah Merah Indah (27.27%) with the value of the frequency of
participation of 41 respondents (34.75%). Overall all respondents would participate in the function of the
distribution with participation frequency of 26 respondents (22.03%). Intensity of participation at
Kentekstar village is highest (60.0%) followed Tanah Merah Indah (36.36%), Ipingoisi (31.11%) and
lowest in the Soribo (28.57%) with the value of the frequency of participation of 41 respondents (34.75%).
The level of community participation in the category of "very active with Participation Index values were
in the range 1 – 25.

Keywords: community, environment, management, participation, protection forest, Wosi Rendani.


169
PENDAHULUAN

Hutan Wosi Rendani merupakan salah satu hutan lindung di wilayah Provinsi Papua Barat yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Irian Barat No.18/GIB/1969 sebagai hutan
lindung guna mempertahankan fungsi tanah dan mengatur tata air (hidroologis). Rekonstruksi
kawasan hutan ini pada tahun 1983 oleh Balai Planologi Kehutanan VI Maluku-Irian Jaya dan pada
tahun 1990 direkonstruksi lagi oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (Sub BIPHUT)
Manokwari. Dari hasil tersebut diketahui bahwa panjang batas kawasan ini 7,75 Km dengan 118 pal
batas (ukuran 10x10x130 cm) dengan luas kawasan 300,65 ha (Sinery dkk, 2015).
Kenyataan menunjukkan bahwa kawasan Hutan Lindung Wosi Rendani telah mengalami
perubahan yang sangat besar dan kurang lebih 95 % kawasan ini telah mengalami perubahan akibat
pembangunan pemukiman, jaringan jalan dan pembukaan kebun/ladang masyarakat. Kondisi
tersebut, diperkirakan akan terus meningkat dengan adanya peningkatan penduduk dan
pembangunan yang menuntut kebutuhan akan sumberdaya alam termasuk kebutuhan lahan
pembangunan. Menurut Sardjono (2004) ketergantungan tersebut dimulai sejak masyarakat secara
berkelompok hidup pada masa meramu dan berburu, dan berlangsung walaupun budidaya tanaman
dan domestifikasi hewan telah mulai dikenal. Bentuk-bentuk interaksi tersebut mengikat masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam baik secara personal, keluarga maupun kelompok lebih besar
(Uluk dkk, 2001 dan Sardjono, 2004). Interaksi masyarakat dengan kawasan terlihat dengan adanya
pemanfaatan sumber daya alam di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menimbulkan saling
ketergantungan antara masyarakat dengan sumber daya alam (Pattiselano, 2007; Pattiselano dan
Mentansan, 2010). Kondisi tersebut dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk pemanfaatan sumber
daya alam seperti perburuan satwa liar secara aktif maupun tidak aktif (Pattiselano, 2006) . Bahkan
dari sejumlah interaksi yang terjadi pada berbagai wilayah mulai menghawatirkan sumber daya alam
seperti halnya satwaliar. Menurut Robinson dan Bodmer (1999) perburuan satwa di area hutan hujan
tropis tidak lagi berkelanjutan (sustainable) dan sumberdaya satwa liar di hutan ini sangat rawan
terhadap eksploitasi yang berlebihan, sehingga spesies satwa buruan dikhawatirkan dapat menuju
kepunahan. Kondisi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh perubahan pola pemanfaatan
sumberdaya alam. Menurut Sinery dkk (2016) telah terjadi perubahan pola pemanfaatan sumber daya
alam dari pola pemenuhan kebutuhan dasar ( basic need) menjadi pola ekonomi (ekonomic need).

Upaya-upaya pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani telah dilaksanakan seperti penataan
batas kawasan, rehabilitasi lahan serta kegiatan monitoring dan pengamanan kawasan. Namun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa laju konversi kawasan ini sangat tinggi dan upaya-upaya
yang diharapkan dapat mengembalikan fungsi hutan tersebut semakin sulit terwujud. Kendala utama
penanganan permasalahan ini mencakup minimnya kegiatan pengelolaan, perencanaan kembali

170
peruntukan kawasan (tata ruang) sesuai kondisi dan potensi kawasan serta diduga akibat rendahnya
partisipasi masyarakat dalam penyelanggaraan kegiatan pengelolaan. Menurut Sinery (2015), banyak
pengelolaan kawasan konservasi atau lindung yang tidak berhasil akibat perbedaan pemahaman
konsep dasar konservasi/lindung yang sebernarnya mengakomodir juga keinginan masyarakat
untuk mengelola sumber daya alam dalam kawasan. Karena konservasi tidaklah bertentangan
dengan pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahkan sebaliknya
pembangunan tidak akan bisa berkelanjutan tanpa adanya konservasi (Boer, 2011).

Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi fungsi dan intensitas serta tingkat
partisipasi unsur masyarakat dalam program pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani.

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi

Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan (Juli sampai Desember 2015) pada kawasan
Hutan Lindung Wosi Rendani Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dan difokuskan
pada masyarakat di kampung Ipingoisi, Kentestar, Soribo dan kampung Tanah Merah.

Alat dan Bahan

Kamera untuk mendokumentasikan objek penelitian, tape recorder untuk dokumentasi


informasi saat dilakukan wawancara sehingga dapat dipastikan tidak ada informasi responden
yang tidak didokumentasi, alat tulis menulis, kalkulator dan komputer. Kuisioner untuk
koleksi data dari responden yang merupakan data utama penelitian dan peta - peta serta
dokumen-dokumen hasil penelitian dan berbagai laporan lainnya.

Prosedur Penelitian

Penentuan responden
Responden yang disampel ditentukan dengan “Stratified Sampling” (membagi populasi
dalam beberapa strata sesuai dengan tuntutan rumusan pengolahan data). Stratifikasi
responden mencakup pemimpin (leader), kelompokminat (interst group), kepala
keluarga (all households), wanita (women) dan pemuda (youth). Sampel responden pemimpin
(leader) sebanyak 16 responden (13,56%) terdiri atas 4 orang kepala kampung, 5
orang kepala suku dan 7 orang tokoh masyarakat. Kelompok minat (petani) 29 responden
(24,58%), sampel responden kepala keluarga 28 responden (23,73%), responden wanita
24 responden (20,34%) dan pemuda 21 responden (17,80%).

Pengambilan data

Observasi (pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan,
sehingga dapat mendeskripsikan secara faktual, cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan,
kegiatan manusia serta konteks dimana kegiatan itu berada). Wawancara (pengumpulan data
dengan cara mengajukan pertanyaan tertulis kepada responden dengan menggunakan kuisioner
yang telah disiapkan sebelumnya). Studi dokumentasi (pengumpulan data untuk memperoleh
data tertulis melalui buku, gambar, foto ataupun yang sejenisnya guna mendukung data-data
yang diperoleh melalui observasi dan kuisioner).

171
Analisis data

Editing data (setelah data terkumpul seluruhnya, maka dilakukan editing terhadap data yang
merupakan kegiatan meneliti kembali data yang diperoleh). Koding (mengklarifikasikan

berdasarkan sumber responden dan mengklarifikasikan jawaban responden sesuai kategorinya).


Menghitung frekwensi (setelah koding selesai dikerjakan maka baik sumber responden maupun
jawaban responden dapat terdistribusi ke dalam kategori - kategori dan frekwensinya dapat
dihitung. Tabulasi (proses penyusunan data dalam bentuk tabel sehingga data dapat dibaca
dengan mudah dan maknanya mudah dipahami).

Penilaian tentang tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pelaksanaan program


pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani, didasarkan pada perkalian angka indeks pelaku,
dengan angka indek dalam hal apa dan angka indeks bagaimana partisipasi, sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi Partisipasi Masyarakat

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan Hutan Lindung Wosi Rendani pada
fungsi partisipasi dalam program pengelolaan kawasan hutan lindung tersebut ditentukan oleh
partisipasi masyarakat itu sendiri. Menurut Sallatang (1987) dan Sinery dkk (2015) dalam
penyelenggaraan proyek-proyek pembangunan, pada tahap pelaksanaan masyarakat relatif
berpartisipasi secara aktif dalam berbagai bentuk, antara lain yang penting adalah mengikuti
penerangan, menjadi peserta obyek dan memanfaatkan keuntungan ekonomi. Namun biasanya
jumlah warga yang berpartisipasi belum memadai. Di pihak lain, pada tahap perencanaan dan
penilaian pada umumnya masyarakat tidak berpartisipasidengan alasan tidak dilibatkan.

Partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan akan menumbuhkan pengalaman dan


rasa memiliki yang pada tahap berikutnya akan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan
kemauan untuk mempertahankan kawasan hutan lindung ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan
hutan lindung Wosi Rendani berdasarkan fungsi partisipasi tertinggi pada Kampung Kentekstar
(60,0%) selanjutnya diikuti kampung Ipingoisi (31,11%) , Soribo (28,57%) dan dan terendah pada
kampung Tanah Merah Indah (27,27%) dengan nilai frekuensi partisipasi 41 responden (34,75%) dari
118 responden yang disampling. Secara keseluruhan semua responden lebih berpartisipasi dalam
fungsi partisipasi distribusi terkait pelaksanaan kegiatan fisik pengelolaan kawasan berupa penyaluran
tanaman, pemasangan patok dan plang papan dengan jumlah frekuensi partisipasi 26 responden
(22,03%). Selanjutnya jumlah responden yang berperan dalam bentuk implementation (pelaksana
program pengelolaan berupa penanaman tanaman, pesangan patok dan plang informasi) sebanyak 14
responden (11,86%), sedangkan pada fungsi partisipasi maintenance hanya 1 responden (0,85%) yang
berasal dari kampung Kentekstar. Hal tersebut terkait dengan adanya masyarakat setempat yang
merupakan staf pada dinas kehutanan Kabupaten Manokwari sehingga terlibat secara langsung dalam
mendukung keberhasilan program khususnya menjaga dan merawat tanaman, patok, plang informasi.

Tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam program pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani
khususnya di kampung Tanah Merah Indah disebabkan letak kampung yang berada di luar
kawasan hutan lindung Wosi Rendani disamping jumlah penduduk yang lebih sedikit
dibandingkan ketiga kampung lainnya. Hal tersebut terlihat dengan kurang dilibatkannya
masyarakat dalam program pengelolaan kawasan hutan lindung ini. Menurut Sallatang (1987)
dalam penyelenggaraan proyek pembangunan, pada tahap pelaksanaan masyarakat relatif
berpartisipasi secara aktif dalam berbagai bentuk, antara lain yang penting adalah mengikuti
penerangan, menjadi peserta obyek dan memanfaatkan keuntungan ekonomi. Namun biasanya
jumlah warga yang berpartisipasi belum memadai. Di pihak lain, pada tahap perencanaan dan
penilaian pada umumnya masyarakat tidak berpartisipasi dengan alasan tidak dilibatkan.

172
Tabel 1. Indeks partisipasi.
Siapa Fungsi Intensitas
5. Remaja 5. Pengelolaan 5. Pengawasan
4. Wanita 4. Perencanaan 4. Melakukan inisiatif tindakan
3. Ibu rumah tangga 3. Pelaksanaan 3. Pengambilan keputusan

2. Kelompok minat 2. Rehabilitasi 2. Memberikan konsultasi


1. Pemimpin 1. Distribusi 1. Memberikan informasi
Sumber : Poli (1997) dalam Sutrisno (2004)

Keterangan : angka 1, 2, 3, 4, 5 adalah indeks.

Angka tertinggi 125, terendah 1, skala penilaian tingkat partisipasi nilai terendah sampai tertinggi
dengan 5 kelompok dengan katagori; sangat tidak aktif, tidak aktif, cukup aktif, aktif, sangat aktif.

Tabel 2. Fungsi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani
berdasarkan pemukiman.
No Bentuk Jumlah responden

partisipasi Soribo Persen Ipingoisi Persen Kentekstar Persen Tanah Persen


masyarakat (%) (%) (%) Merah (%)

Indah
1. Pengelolaan - - - - - - - -
2. Perencanaan - - - - - - - -
3. Pelaksanaan 4 9,52 5 11,11 4 20,00 1 9,09
4. Rehabilitasi - - - - 1 5,00 - -
5 Distribusi 8 19,05 9 20,00 7 35,00 2 18,18
Jumlah responden 12 28,57 14 31,11 12 60,00 3 27,27

berpartisipasi
Jumlah responden 30 71,43 31 68,89 8 40,00 8 72,73

tidak berpartisipasi

Jumlah 42 100,00 45 100,00 20 100,00 11 100,00


Sumber: Sinery dkk (2015). Keterangan :

q. Pengelolaan (memberikan informasi, konsultasi, pengambilan keputusan, memprakarsai


tindakan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi).

r. Manajemen program (perencanaan, penanaman tanaman dan pembangunan sarana dan


prasarana).

s. Penggunaan atau pendistribusian ( penanaman tanaman, pemasangan patok, plang dan


pengamanan kawasan)

t. Mendukung keberhasilan program (menjaga/ merawat tanaman, patok, plang).

u. Pengguna program pengelolaan kawasan

Tabel 3. Intensitas partisipasi masyarakat.


No Bentuk Jumlah responden

partisipasi Soribo Persentase Ipingoisi Persentase Kentekstar Persentase Tanah Persentase

173
masyarakat (%) (%) (%) Merah (%)

Indah
1. Pengendalian - - - - - - - -
2. Memprakarsai - - - - - - - -
tindakan
3. Pengambilan - - - - - - -
keputusan
4. Memberikan 1 2,38 1 2,22 1 5,00 1 9,09
konsultasi
5 Memberikan 11 26,19 13 28,89 11 55,00 3 27,27

informasi
Jumlah responden
12 28,57 14 31,11 12 60,00 4 36,36
berpartisipasi
Jumlah responden
30 71,43 31 68,89 8 40,00 7 63,64
tidak berpartisipasi

Jumlah 42 100,00 45 100,00 20 100,00 11 100,00


Sumber: Sinery dkk (2015). Keterangan:
27. Pengendalian (partisipasi dalam bentuk kegiatan demi kesuksesan program).
28. Memprakarsai tindakan (partisipasi dalam bentuk inisiatif tindakan)

29. Pengambilan keputusan (partisipasi dalam menentukan hal-hal yang seharusnya dilakukan
dalam program)
30. Memberikan konsultasi (partisipasi dalam memecahkan permasalahan).

31. Memberikan informasi (partisipasi dalam penyampaian informasi baik secara lisan maupun
tulisan, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan program).

174
Intensitas Partisipasi Masyarakat

Gambaran tentang intensitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Wosi
Rendani dapat dilihat pada Tabel 3.
Data pada Tabel 3, menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
kawasan hutan lindung Wosi Rendani berdasarkan intensitas partisipasi tertinggi pada kampung
Kentekstar (60,00%), selanjutnya diikuti kampung Tanah Merah Indah (36,36%), kampung
Ipingoisi (31,11%),dan terendah pada kampung Soribo (28,57%) dengan nilai frekuensi
partisipasi 41 responden (34,75%) dari 118 responden yang disampling. Berbeda dengan fungsi
partisipasi, pada intensitas partisipasi hanya mencakup dua bentuk partisipasi berupa keterlibatan
masyarakat dalam memberikan konsultasi dan keterlibatan masyarakat dalam memberikan informasi.
Intensitas partisipasi dalam bentuk consultation (pemecahan yang timbul berkenaan dengan program
pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani) sebanyak 4 responden (3,39%), sedangkan intensitas
partisipasi informing sebanyak 38 responden (32,20%). Hal tersebut menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan yang tergambar dalam program kerja yang muncul sebagai
inisiatif masyarakat sebenarnya tidak ada kecuali pada kegiatan konsultasi maupun informasi. Kedua
bentuk partisipasi inipun merupakan bentuk kegiatan yang tidak secara langsung dikelola oleh instansi
berwenang.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani tertinggi pada
kelompok keluarga (12 responden atau 10,17%) selanjutnya diikuti kelompok minat (10
responden atau 8,47%), kelompok wanita (8 responden atau 6,78%), kelompok pemuda (7
responden atau 5,93%) dan kelompok pemimpin (4 responden atau 3,39%).
Sebagaimana pada fungsi partisipasi, pada intensitas partisipasi terlihat bahwa keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani tertinggi pada kelompok keluarga
(12 responden atau 10,17%) selanjutnya diikuti kelompok minat (10 responden atau 8,47%),
kelompok wanita (8 responden atau 6,78%), kelompok pemuda (7 responden atau 5,93%) dan
kelompok pemimpin (4 responden atau 3,39%).

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kelompok keluarga merupakan kelompok yang paling
banyak berpartisipasi dalam program pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani yang menunjukkan
kondisi normal dalam stratifikasi masyarakat. Menurut Sardjono (2004) kelompok keluarga dalam hal
ini kepala keluarga merupakan anggota keluarga yang paling pertama menerima inovasi selanjutnya
akan terlibat dalam pengelolaan inovasi. Menurut Sinery dkk (2015) walaupun ada perbedaan dalam
akses terhadap sumber daya alam, namun kepala keluarga menjadi tumpuan utama

masyarakat dalam menerima suatu inovasi/program/kegiatan yang selanjutnya


diimplementasikan. Sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat bahwa kepala
keluarga dan anak laki-laki merupakan unsur keluarga yang berperan dalam pengelolaan sumber
daya alam khususnya berburu (Pattiselano and Koibur, 2008, Rahawarin dkk, 2014). Kondisi
tersebut dapat disebabkan adanya adaptasi terhadap inovasi atau program yang dikembangkan.
Menurut Imang dkk (2002) pengaruh dari luar dan modernisasi ikut mempengaruhi cara berburu dan
peralatan buru yang digunakan dan berdampak terhadap hasil buruan dan keberadaan satwa buruan di
lokasi berburu.

Unsur pemimpin dalam penelitian ini terdiri atas kepala kampung, kepala suku dan tokoh
masyarakat. Kepala kampung dan kepala suku memiliki kemampuan yang baik dalam
mengarahkan masyarakat sehingga menjadi panutan dalam program pengelolaan khususnya
implementasi program kegiatan. Menurut Margiyono (1999), lurah (kepala kampung) selaku
pemimpin di kelurahan (kampung) bertanggung jawab atas tugas dan kewenangannya kepala
kampung dalam menjalankan tugasharus mensukseskan setiap program pembangunan di
wilayahnya. Selanjutnya tokoh masyarakat yang dimaksud di atas terdiri atas guru, guru jemaat
yang memiliki karismatik pemimpin sehingga selalu dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan.
Tokoh masyarakat selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga setiap
program pembangunan mendapat dukungan dari masyarakat. Unsur masyarakat pemimpin yang
berpartisipasi dalam program pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani sebanyak 4 responden
(3,39%) yang terlibat pada fungsi partisipasi “pelaksana”, demikian pada intensitas partisipasi
sebanyak 4 responden (3,39%) pada “konsultasi”. Kelompok minat adalah unsur dari masyarakat
yang berpartisipasi secara aktif pada program pembangunan karena kelompok minat lazimnya
dekat dengan program yang diminati. Sebagai suatu organisasi yang terbentuk dari masyarakat
itu sendiri mestinya keberadannya dapat dijadikan penggerak bagi keberhasilan suatu program.
175
Namun kenyataan di lapangan sering terjadi kelompok minat terbentuk secara tidak alami, tetapi
lebih karena untuk persyaratan tertentu (Margiyono, 1999).

Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok minat yang terlibat dalam program Pengelolaan
Hutan Lindung Wosi Rendani terdiri 10 responden yang merupakan kelompok petani. Partisipasi
unsur masyarakat kelompok minat pada program Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani terfokus
pada fungsi partisipasi “pelaksana” sebanyak 3 responden (30%) dan fungsi partisipasi “distribusi”
sebanyak 7 responden (70%). Selanjutnya partisipasi masyarakat kelompok terfokus intensitas
partisipasi “informasi” sebanyak 10 responden (100%). Kepala keluarga (kelompok rumah tangga)
merupakan unsur masyarakat terbesar yang berpartisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan
dibandingkan unsur masyarakat lainnya. Partisipasi aktif dari keseluruhan kelompok rumah tangga
dalam setiap program pembangunan merupakan prasyarat bagi keberhasilan penyelenggaraan
program. Hal tersebut karena kelompok keluarga merupakan basis terdepan dalam struktur
masyarakat yang memungkinkan terlaksananya program. Margiyono, (1999) mengemukakan bahwa
kelompok pemimpin rumah tangga merupakan kelompok yang berperan lebih besar dalam berbagai
kegiatan dan dalam berbagai hal sehingga selalu dilibatkan. Partisipasi masyarakat kepala keluarga
pada program Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani pada fungsi partisipasi sebanyak 12
responden yang terlibat pada fungsi partisipasi “distribusi”, 8 responden (66,7%), “pelaksanaan” 3
responden (25,0%) dan “implementasi” 1 responden (8,3%). Selanjutnya 12 responden (100%)
terlibat dalam intensitas fungsi partisipasi “informasi”. Partisipasi wanita dalam program
pembangunan khususnya pada program Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani sebagai unsur
masyarakat yang tinggal di dalam maupun di luar kawasan merupakan bagian yang mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan program.

Partisipasi unsur masyarakat wanita pada program Pengelolaan Hutan Lindung Wosi
Rendani adalah sebanyak 8 responden, terdiri atas 6 responden (75,0%) terlibat pada fungsi
partisipasi “distribusi” dan 2 responden pada fungsi partisipasi “pelaksana” (25,0%). Selanjutnya
pada intensitas partisipasi sebanyak 8 responden (100%) berpartisipasi pada intensitas partisipasi
“informasi”.

Guna mewujudkan keberhasilan yang berkelanjutan, maka pemuda harus dijadikan salah satu
pelaku pembangunan, partisipasinya dalam program pembangunan akan mengantarkan pada
kesinambungan pembangunan, karena di alamnya akan terjadi proses pengenalan, pembelajaran dan
pemahaman dari segala dari segala sesuatu yang terkait dengan program dan akan membangkitkan
rasa memiliki dan tanggung jawab yang lebih besar. Hal ini juga berlaku bagi keberhasilan program
pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani.

Hasil analisis menunjukkan bahwa partisipasi unsur masyarakat pemuda pada program
pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani adalah sebanyak 7 responden, terdiri atas 5 responden
(71,4%) terlibat pada fungsi partisipasi “distribusi” dan 2 responden pada fungsi partisipasi
“pelaksana” (28,6%). Selanjutnya pada intensitas partisipasi sebanyak 7 responden (100%)
berpartisipasi pada intensitas partisipasi “informasi”.

Tingkat Partisipasi Masyarakat

Partisipasi unsur pemimpin terdiri atas 4 responden (100%) pada fungsi “pelaksana” dengan
intensitas partisipasi 4 responden (100%) pada “konsultasi”. Bentuk partisipasi unsur pemimpin
memiliki angka indeks 3 dengan fungsi “implementasi”. Intensitas partisipasi pada “konsultasi”
dengan angka indeks 2. Tingkat partisipasi sebesar 1 x 3 x 2 = 6, sehingga masuk dalam kategori
“sangat tidak aktif” (pada rentang nilai 1 - 25).

Partisipasi unsur kelompok minat sebanyak 3 responden (30%) pada fungsi “pelaksana”
dengan 7 responden (70%) pada intensitas “distribusi” dan intensitas partisipasi 10 responden
(100%) pada “informasi”. Bentuk partisipasi unsur kelompok minat memiliki angka indeks 3
dengan fungsi “implementasi” dan intensitas partisipasi pada “informasi” angka indeks 1.
Tingkat partisipasi kelompok minat sebesar 2 x 3 x 1 = 6, sehingga partisipasi kelompok minat
masuk dalam kategori “sangat tidak aktif”(pada rentang nilai 1 - 25). Partisipasi kelompok minat
pada fungsi partisipasi dengan persentase tertinggi pada “distribusi” (70,0%) dengan angka
indeks 1, pada intensitas partisipasi dengan persentase tertinggi pada “informasi” (100%) dengan
angka indeks 1. Tingkat partisipasi 2 x 1 x 1 = 2, sehingga partisipasi kelompok minat masuk
dalam kategori “sangat tidak aktif” (rentang nilai 1 – 25).

176
Partisipasi unsur kepala keluarga sebanyak 3 responden (25,0%) pada fungsi
“implementasi”, 1 responden (8,3%) pada fungsi partisipasi “perawatan” dan 8 responden
(66,7%) berpartisipasi pada fungsi partisipasi “distribusi”. Intensitas partisipasi 12 responden
(100%) pada intensitas partisipasi “informasi”. Tingkat partisipasi unsur kepala keluarga
memiliki angka indeks 3, dalam fungsi “pelaksana” dengan angka indeks = 3. Intensitas
partisipasi pada “informasi” dengan angka indeks tetinggi = 1 dengan tingkat partisipasi kepala
keluarga 3 x 3 x 1 = 9, sehingga partisipasi kelompok kepala keluarga masuk dalam kategori
“sangat tidak aktif” yakni berada pada rentang nilai 1 - 25.

Partisipasi kelompok keluarga pada fungsi partisipasi “perawatan” (8,3%) pada angka
indeks 2, pada intensitas partisipasi dengan persentase pada “informasi” (100%) dan angka
indeks 1. Tingkat partisipasi kelompok keluarga adalah 3 x 2 x 1 = 6, sehingga masuk dalam
kategori “sangat tidak aktif” yakni berada pada rentang nilai 1 - 25. Partisipasi kelompok
keluarga pada fungsi partisipasi “distribusi” (66,6%) dengan angka indeks 1, sedangkan pada
intensitas partisipasi dengan persentase pada “informasi” (100%) pada angka indeks 1, sehingga
tingkat partisipasi kelompok keluarga 3 x 1 x 1 = 1. Dengan demikian partisipasi kelompok
kepala keluarga masuk dalam kategori “sangat tidak aktif” yakni berada pada rentang nilai 1 - 25.

Partisipasi unsur wanita pada sebanyak 2 responden (25,0%) pada fungsi partisipasi
“pelaksana”dan 6 responden (75%) dalam fungsi “distribusi”. Pada intensitas partisipasi sebanyak 8
responden (100%) pada intensitas “informasi”. Tingkat partisipasi unsur masyarakat wanita memiliki
angka indeks 4, dalam fungsi partisipasi “pelaksana” dengan angka indeks 3. Selanjutnya intensitas
partisipasi pada “informasi” dengan angka indeks tetinggi = 1, sehingga nilai tingkat partisipasi
kelompok wanita 4 x 3 x 1 = 12. Dengan demikian partisipasi kelompok wanita masuk dalam kategori
“sangat tidak aktif” yakni berada pada rentang nilai 1 - 25. Partisipasi kelompok wanita pada fungsi
partisipasi “distribusi” (75,0%) dengan angka indeks 1 dan intensitas partisipasi pada “informasi”
(100%) dengan angka indeks 1, sehingga tingkat partisipasi kelompok wanita 4 x 1 x 1 = 4. Dengan
demikian partisipasi kelompok wanita masuk dalam kategori “sangat tidak aktif” yakni berada pada
rentang nilai 1 - 25.

Partisipasi unsur pemuda sebanyak 2 responden (28,6%) pada fungsi “pelaksana”,


sedangkan 5 responden (71,4%) pada fungsi “distribusi”. Intensitas partisipasi sebanyak 7
responden (100%) pada intensitas “informasi”, dengan angka indeks 1, dan tingkat partisipasi
kelompok 5 x 3 x 1 = 15, sehingga partisipasi kelompok pemuda masuk dalam kategori “sangat
tidak aktif” yakni berada pada rentang nilai 1 - 25.

Partisipasi unsur masyarakat pemuda sebanyak 5 responden (71,4%) pada fungsi partisipasi
“distribusi” dengan intensitas partisipasi 7 responden (100%) pada intensitas partisipasi
“informasi”, dengan angka indeks 1. Tingkat partisipasi kelompok pemuda adalah 5 x 1 x 1 = 5,
sehingga partisipasi kelompok pemuda masuk dalam kategori “sangat tidak aktif” yakni berada
pada rentang nilai 1 - 25.

Kelompok pemuda memiliki angka indeks tertinggi (angka indeks 5), ini menunjukkan
bahwa partisipasi pemuda dalam program pembangunan sangat tinggi, termasuk pada program
Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani, dimana keterlibatan pemuda merupakan jaminan
kelanjutan pembangunan dimasa mendatang. Menurut Sardjono (2004) pemuda merupakan
unsur masyarakat yang dinamis, sehingga dapat dengan cepat memberikan respon terhadap
inovasi atau program apabila dilibatkan secara baik dalam implementasi kegiatan.

Secara keseluruhan tingkat partisipasi termasuk kategori “sangat tidak aktif” yang
menggambarkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat termasuk rendah yang akan berdampak
pada ketidakberhasilan program konservasi. Menurut Margiyono (1999), seluruh unsur
masyarakat seharusnya terlibat secara aktif dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan
karena tanpa keterlibatan (partisipasi) aktif masyarakat keberhasilan dan keberlanjutan
pembangunan sangat tidak mungkin dicapai, bahkan tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan permasalahan dan bahkan kegagalan bagi pembangunan itu sendiri.

Guna mengembalikan fungsi kawasan sebagaimana mestinya, maka perlu diupayakan


peningkatan kegiatan sosialisasi terkait status dan fungsi kawasan bagi masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan. Diupayakan juga penataan kawasan sesuai potensi yang ada sebagai dasar
pembuatan peraturan daerah tentang Hutan Lindung Wosi Rendani dan selanjutnya dapat disusun
program kerja berbasis masyarakat guna mengoptimalkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan di kawasan ini

177
KESIMPULAN

Partisipasi unsur kelompok pemimpin pada fungsi partisipasi pelaksana, kelompok minat
pada fungsi pelaksana dan distribusi, kelompok kepala keluarga pada fungsi pelaksana,
perawatan dan distribusi, kelompok wanita pada fungsi pelaksana, distribusi dan fungsi
partisipasi pemuda pada pelaksana dan distribusi.

Partisipasi unsur kelompok pemimpin pada intensitas partisipasi konsultasi, kelompok


minat pada intensitas partisipasi informasi, kelompok kepala keluarga pada intensitas partisipasi
informasi, dan kelompok pemuda pada intensitas informasi.

Tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Wosi Rendani
masuk dalam kategori “sangat tidak aktif dengan nilai Participation Empowerment Indeks berada
pada rentang 1–25 karena minimnya upaya pengelolaan secara bersama dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Boer, C., 2011. Bagaimana Hutan Tropis Bisa Rusak. Makindo Grafika, Yogyakarta.

Margiyono, 1999. Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pembangunan Pedesaan.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makasar.

Pattiselanno, F., 2006. The Wildlife Hunting in Papua, Biota, 11(1):59–61.

Pattiselanno, F., 2007. Perburuan Kuskus (Phalangeridae) oleh Masyarakat Napan di Pulau
Ratewi, Nabire Papua. Jurnal Biodiversitas, 8(4):274–278.

Pattiselanno, F., dan Koibur, J.F., 2008. Cuscus (Phalangeridae) Hunting by Biak ethnic group
in Surrounding North Biak Strict Nature Reserve, Papua. Hayati Journal of Bioscience
15:130-134.

Pattiselanno, F., dan Mentasan, G., 2010. Kearifan Tradisional Suku Maybrat dalam Perburuan
178 Makara-Sosial Humaniora, 14(2):75–82.
Satwa sebagai Penunjang Pelestarian Satwa.
Rahawarin, Y.Y., Kilmaskossu, M.St.E., Kerepea, Y., Mofu, W.Y., Angrianto, R., Peday,
H.F.Z., Sinery, A.S., dan Dimara, P.A., 2014. Perburuan Kasuari (Casuarius sp.) Secara
Tradisional oleh Masyarakat Suku Nduga di Distrik Sawaerma Kabupaten Asmat.
Manusia dan lingkungan: 21 (1): 98 – 105.

Robinson, J.G., dan Bodmer, R.E., 1999. Towards Wildlife Management in Tropical Forest.
Journal of Wildlife Management, 63:1-13.
Sallatang, M.A., 1987. Faktor-Faktor yang Menghambat Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan di Sulawesi Tengah. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Makasar.

Sardjono, M.A., 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian
Sumber Daya. Debut Press, Jogyakarta.

Sinery, A., 2015. Strategi Pengelolaan Kuskus di Pulau Numfor. Deepublish, Yogyakarta.
Sinery, A., Angrianto, R., Rahawarin, Y.Y., dan Peday, H.F.Z., 2015. Potensi dan Strategi
Pengelolaan Hutan Lindung Wosi Rendani. Deepublish, Yogyakarta.

Sinery, A., Farida, W.R., dan Manusawai, J., 2016. The Population of Spotted Cuscus (Spilocuscus
maculatus) and Its Habitat Carrying Capacity in Numfor Island, Papua, Indonesia. Biodiversitas,
17(1):315-321.

Sutrisno, A., 2004. Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Hutan Lindung Tarakan. Tesis
Pascasarjana Universitas Mulawarman. Samarinda.

Uluk, A., Sudana, M., dan Wollenberg, E., 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap
Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Center for International Forestry Research
(CIFOR), Bogor.

179
J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol 23, No3, September 2016:
390-393

COMMUNITY ENGAGEMENT WITH URBAN RIVER IMPROVEMENT:

THE CASE OF YOGYAKARTA CITY


(Melibatkan Masyarakat dalam Memperbaiki Lingkungan Sungai Perkotaan :
Kasus Kota Yogyakarta)

Hari Kusnanto*, Suprapto Dibyosaputro, Suwarno Hadisusanto, and Sri Puji


Saraswati

*Center for Environmental Studies, Universitas Gadjah Mada


Jl. Lingkungan Budaya, Sekip Utara Yogyakarta, 55281.

*
Corresponding author. Tel: 0811293649. Email: harikusnanto@yahoo.com.

Diterima: 21 Januari 2016 Disetujui: 31 Juli 2016

Abstract

The restoration of urban rivers has shifted from predominantly physical and ecological to community
oriented social and economic improvement. Community engagement is needed in the people approach of
development. Information sharing and public consultation are not enough. A case study among the
riverside communities living in Yogyakarta city indicated that these communities need to move out of
poverty and destitution through coaching and mentoring by various experts, and at the same time they
would assure the ecosystem functioning of urban rivers..

Keywords: community engagement, riverside communities, urban rivers, Yogyakarta city.

Abstrak

Restorasi sungai-sungai perkotaan telah bergeser dari peningkatan fisik dan ekologis menjadi lebih
berorientasi pada sosial dan ekonomi. Keterlibatan masyarakat dibutuhkan dalam pendekatan
manusiawi pembangunan. Pemberian informasi dan konsultasi public tidak cukup studi kasus pada
komunitas-komunitas yang hidup di pinggir sungai di kota Yogyakarta menunjukkan bahwa komunitas
180
tersebut perlu mengentaskan diri dari kemiskinan dan keterbelaknagn dengan bantuan ahli, dan pada
saat yang sama menjaga fungsi ekosistem sungai-sungai perkotaan.

Kata kunci: sungai perkotaan, masyarakat pinggir sungai, keterlibatan masyarakat, kota Yogyakarta.

INTRODUCTION

Urban development altered the quantity and quality of urban water bodies (Lange et al .,
2015). Larger amount of impervious cover due to building and other infrastructure development,
removal of vegetation and soil, construction of drainage networks, led to increased runoff to
creeks and rivers. Urban flooding becomes more frequent because the needed capacity to drain
away high volumes of rain is lacking (Tingsanchali, 2012). Water running from the impervious
cover tends to carry gasoline, motor oil, trash, fertilizer, pesticide and other pollutants (Frazer,
2005), which may seriously deteriorate the quality of streams and rivers.

Cities have attracted migrants from rural areas, with an increasing intensity during the past
few decades. These migrants are less educated and do not have necessary skills to work in the
formal sector (Lu, 2010). The urban infrastructure and services are lacking to support the influx
of migrants, usually less educated and poor. This is particularly true for temporary squatter
kampung (Tunas and Peresthu, 2010). The urban poor are forced to work for low wages and live
in the sprawling slums and squatter settlements, usually encroaching the river basins in the cities.
Yogyakarta is a city where slums at the riverside have been in existence for many years
(Setiawan, 2002) . There are three rivers crossing the city, creating overcrowded settlements on
their flood plains. Slum areas (also called kampung) have attracted migrants to occupy pieces of
land with low cost. However, beginning in the 1990s the price of land started to increase, and
commercialization of spaces in slums areas flourished.

Slums and squatters find their ways to river basins. People have been overcrowding the riverside.
Extensive impervious surfaces, which increase runoff response to rainfall, and ecological pressure by
people dwelling at the riverside always threat the urban inhabitants with floods and polluted water
sources. Eutrophication and degraded aquatic ecosystem are pervasive issues concerning urban rivers
in Yogyakarta. Waterborne and water -deprived diseases (such as diarrhea, dysentery, skin infections
and conjunctivitis) and water-related diseases, such as rodent-borne leptospirosis (Sakundarno et al.,
2014) are endemic in neighborhoods of the river basins. Due to poorly constructed houses built along
the river flood plains, pneumonia and tuberculosis, associated with overcrowding, poor
ventilation and lack of natural light, are more frequently encountered.

Urban development in Indonesia has taken into consideration how kampung could be upgraded
focusing on better roads, pathways, water supplies, storm water drainage, waste disposal and other
infrastructure to support productive socio-economic activities of the people living in the slum areas
(Minnery et al., 2013). Kampung Improvement Program was implemented in 1969 (in Jakarta),
however, the program did not sustainably improve the social and economic conditions of the kampung
inhabitants. Other related programs, such as Healthy River Project (Projek Kali Bersih), Urban
Settlement Improvement Project (Projek Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kota), Environment
and Settlement Health Improvement Project (Projek Peningkatan Kesehatan Lingkungan dan
Pemukiman), failed to initiate sustained improvement of the physical, biological and social
environment for people living in slums and squatters along the urban rivers.

Until recently development activities to improve slums and squatters in the river basin areas
are usually project-based, often donor-driven, and with limited involvement of people living in
the areas (Firman, 2004). Beneficiaries of the projects are usually poor, working in the informal
sectors, and often without legal status over their settlements. As part of project planning,
communities are usually involved in consultation processes (such as focus group discussions or
in person interviews), while more time-consuming community engagement has never been done.

Community engagement is known as a process of involving community members and the


reliance on resources owned by the communities as the foundation for designing, implementing,
and evaluating solutions to problematic conditions that affect them. Even when hard engineering
is successful in solving environmental problems, behavioral change at the individual, household
and community levels are essential in improving the environment (Bell et al., 2013).
181
People living along riverside, many of them constructed semi-permanent or permanent buildings
to stay on the rivers’ banks or flood plains, may be involved in constructive participation to create a
river improvement plan that is technically sound, economically attractive and generally understood
and preferred by those affected by the plan. Zhu (2015) indicated that the success of community
engagement was enhanced by social milieu (level of social cohesion) and physical environment
(communal space). The main objective of this study is to know the level and variability of
engagement among people living at the river basins with activities to improve the structure,
functioning and quality of the urban river.

EXPERIMENTAL METHOD

In person interviews, focus group discussion and direct observations were carried out to know
the extent and variability of engagement levels with improvement of three urban rivers in Yogyakarta
city, among people living at the riverside. Informants of this study were heads and informal leaders of
Rukun Tetangga or RT (neighborhood association) and Rukun Warga or RW (community
association), tenants (of cheap rental rooms or houses), and owners of legal or illegal estates along the
rivers’ banks and flood plain.

Data analyses included various techniques, especially pattern -matching and explanation
building based on data collected from multiple sources, aiming at optimal triangulation processes
(examining and establishing validity of the study). Peer debriefing (data assessment by peers to
enhance the credibility of the study), member checking (informant feedback or validation),
reflexivity (examining the researcher’s role in the process and outcomes of research) and thick
description (providing cultural context and meaning that people place on actions and things) were
techniques, beside triangulation, to ensure rigor of case study data analyses and interpretation.

RESULTS AND DISCUSSION

Development of river basins in Yogyakarta was initially meant to maintain the river channel
through the construction of hard banks. Channel realignment and shape changes may reduce
erosion and prevent flooding. Ideally a river should be left on its own rein, without maintenance
works, such as bank repairs. However, due to potential damage to riparian property and
infrastructure, hard engineering solutions lead by the government have been implemented with
no or minimal consultations involving the communities who lived along the rivers.

Romo Mangun (a catholic priest, award winning writer and architect, and human right activist),
who lived for 6 years among slum dwellers along the Code River, was an advocate for riverside
society, transforming the life of the people from vdestitutes to descent informal and formal

182
Governance (eg. devolvement Information sharing (eg. by

of projects or programs) local bureaucracy)

Involvement in Consultation (eg. by

activities (eg. project developer)

Figure 1. Levels of community engagement

workers with better social and family lives . The settlement along Code River was uplifted to
become lively colorful houses, built with affordable materials (Widodo, 2012). The riverside
community were fully engaged in social, cultural and educational activities, including efforts to
keep the river clean.

Inspired by the Code riverside community led by Romo Mangun, community-based


development to improve the structure, functioning and quality of urban rivers has gained better
acceptance in Yogyakarta. Communities who lived along Gajah Wong River engaged in the
construction of communal water treatment plan, development of waste disposal facilities and
commitment to free Gajah Wong River from trash or domestic waste. The initiatives were led by
local bureaucracies, in collaboration with other stakeholders, including companies such as
Martha Tilaar Group, PT Gramedia, PT Prodia, Affandi Foundation, Kehati Foundation and
Rotary Club of Yogyakarta District.

A group of young architects (known as ARKOM or Community Architects) played pivotal


roles in small-scale project involving the local communities, such as building Balai Warga
(Community Hall) at the riverside of Winongo River. ARKOM established a community called
Kalijawi (Winongo and Gajah Wong communities) to maintain development from below, where
communities at the grass- root level continuously learn how to make a better neighborhood and
their habitat along the riverside. ARKOM and the communities who live at the Winongo
riverside always put pressure on the local government to involve the communities in any policy
regarding the restoration or rehabilitation of urban rivers in Yogyakarta, and consider the river as
an integral part of the communities living in the riverside.
Towards the end of the 1980s, the flood plain of Code River was fully occupied by urban
squatters who remain poor until now. Similarly, Gajah Wong and Winongo Rivers have seen
rapid development of semi-permanent or permanent houses, although changes did not occur as
quickly as those in Code riverside. Small areas of open space are found along the banks of the two
rivers, which could be maintained as ecological oasis in the densely populated areas of the city.

The hard engineering or ecological approaches in restoration, rehabilitation or improvement of


urban rivers in Yogyakarta left people who live along urban riverside to be even more marginalized
and driven away from their already meager living.

Socially oriented development to improve urban rivers needs community engagement, to


ensure warm, welcoming, and productive reciprocity, which consolidates the social lives of
people living in the slum areas and at the same time uplifts the ecosystem functioning of urban
rivers. At least there are 4 levels of community engagement, practiced among the riverside
communities in Yogyakarta: better knowledge through information sharing, participation
through public consultation, involvement in activities, and governance in community projects or
programs (Figure 1).

Development of urban rivers and the riverside communities should transform poor and
marginalized people, who live at the risk of floods and diseases due to the absence of basic hygiene
183
and sanitation, into descent neighborhood with more opportunities to earn a living. These efforts could
not be done without active involvement of the people themselves under mentoring or coaching of
various experts. Community engagement need effective learning processes over time, when
empowered communities are capable to direct, plan and implement their own trajectories to more
equitable and prosperous neighborhood, as an integral well-functioning ecosystem of urban
rivers..

CONCLUSION

Hard engineering solutions and ecological approaches of urban river restoration seem to
marginalize poverty- ridden riverside communities who could not afford urban housings, but
slums and squatters encroaching river banks and flood plains. Community engagement has
become an acceptable approach in the development of urban rivers. Information sharing and
public consultation increase community participation, but still fall short of transforming the
livelihood of the communities to decent social standing. Mentoring and coaching by experts are
needed initially so that the communities could actively engage with their own social and
economic improvement, while contributing to clean and well-functioning ecosystem.

REFERENCES

Bell, K.B., Lindenfeld, L., Speers, A.E., Teisl, M.F., and Leahy, J.E., Creating Opportunity for
Improving Lake-Focused Stakeholder Engagement: Knowledge-Action Systems,
Pro-Environment Behavior and Sustainable Lake Management. Lakes & Reservoirs:
Research and Management, 18:5-14.

Firman, T., 2004. Major Issues in Indonesia’s Urban Land Development. Land Use
Policy ,21:347-355.

Frazer, L., 2005. Paving Paradise: The Peril of Impervious Surfaces. Environmental Health
Perspectives, 114(1):A21.
Lange, C., Schneider, M., Mutz, M., Haustein, M., Halle, M., Seidel, M., Sieker, H., Wolter, C.,

Hinkelmann, R., 2015. Model-Based Design for Restoration of A Small Urban River.
Journal of Hydro-environment Research, 9(2):226-236.

Lu, Y., 2010. Rural-Urban Migration and Health: Evidence from Longitudinal Data in Indonesia.
Social Science and Medicine, 70(3):412-419.

Minnery, J., Argo, T., Winarso, H., Hau, D., Veneracion, C.C., Forbes, D., and Childs, I., 2013.
Slum Upgrading and Urban Governance: Case Studies in Three South East Asian Cities.
Habitat International, 39:162-169.

Sakundarno, M., Bertolatti, D., Maycock, B., Spickett, J., and Dhaliwai, S., 2014. Risk Factors
for Leptospirosis Infection in Humans and Implications for Public Health Intervention in
Indonesia and the Asia-Pacific Region. Asia Pacific Journal of Public Health, 26(1):15-32.

Setiawan, B., 2002. Community Initiatives and Involvement in Creating Healthy and Friendly
Cities: Lessons from Yogyakarta, Jurnal Manusia dan Lingkungan, 9(1):1-15.
Tinglanchali, T., 2012. Urban Flood Disaster
Management, Procedia Engineering, 32(1):25-37.

Tunas, D., and Peresthu A., 2010. The Self-Help Housing in Indonesia: The Only Option for The Poor?
Habitat International, 34:315-322.

Widodo, J., 2012. Urban Environment and Human Behavior: Learning from History and Local
Wisdom. Procedia, 42:6-11.

184
Zhu, Y., 2015. Toward Community Engagement: Can The Built Environment Help? Grassroots
Participation and Communal Space in Chinese Urban Communities. Habitat International,
46:44-53.

BAB 6
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004

p-ISSN 0215-8179

PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF EKOFEMINISME (ANALISIS KRITIS


PARADIGMA TEORI PEMBANGUNAN DAN URGENSI PEMBANGUNAN
PERSPEKTIF DEMOKRATIS KULTURIS DALAM UPAYA MENINGKATKAN
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

Ema Khotimah*

Abstrak

185
Pembangunan yang dilaksanakan oleh negera-negara Dunia Ketiga secara
paradigmatik telah banyak dikecam dan dikritisi oleh para peneliti di Negara -negara
Selatan dan sejumlah Negara Timur. Mengapa? Pertama, karena pembangunan telah
banyak menimbulkan dampak sosial, budaya, politik dan ekologis yang harus ditanggung
oleh masyarakat yang dikenai pembangunan tersebut. Selain semua kebijakan
pembangunan bersifat top-down juga atas nama pertumbuhan ekonomi telah
mengabaikan aspek-aspek lainnya selain ekonomi dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Kedua, pembangunan menempatkan masyarakat terutama kaum perempuan sebagai objek
pembangunan, misalnya jelas terlihat dalam kebijakan program Keluarga Berencana.

Oleh karena secara paradigmatik teori pembangunan diadopsi sepenuhnya dari


konsep pembangunan di negara-negara maju, dengan sendirinya indikator -indikator
pembangunan pun menggunakan parameter negera-negara maju tersebut. Bahkan, saat
pertumbuhan ekonomi dijadikan tulang punggung keberhasilan pembangunan, parktik
pembangunan ini telah menggunakan kepercayaan pada ilmu ekonomi yang “bebas
budaya” dengan sendirinya netral. Resiko yang ditanggung pembangunan dengan titik
pandang ini sejak pembangunan dicanangkan hingga saat ini masih menyisakan
persoalan yang rumit secara sosial, ekonomi, politik, budaya, dan ekologis.

Perempuan di Indonesia misalnya, dengan populasi 49,9% (102.847.415)


berdasarkan Sensus Penduduk 2000 dari total 206.264.595 penduduk Indonesia masih
menangggung marjinalisasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan akses secara politis.
Padahal, salah satu tolok ukur Indeks Pembangunan Manusia yang ditetapkan oleh
UNDP adalah indeks kesehatan dan pendidikan. Sehingga tidak mengherankan bila
Indonesia dari 117 negara yang disurvey untuk Indeks Pembangunan Manusia ini
menempati urutan ke 111. Kaum Ekofeminisme menuduh mengejar kemajuan
pembangunan hanya menempatkan perempuan sebagai “korban” (objek) pembangunan
ketimbang subjek yang ikut serta aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Berangkat dari fakta tersebut, tulisan ini berusaha melakukan analisis kritis secara
paradigmatis atas teori-teori pembangunan dan kedudukan perempuan dalam
pembangunan dalam perspektif Ekofeminisme. Juga, menawarkan alternatif kerangka
paradigmatik teori pembangunan yang sensitif gender dan berbasis budaya yang selama
ini diabaikan dalam paradigma pembangunan lama. Karena rendahnya kualitas
perempuan dalam akses pendidikan , kesehatan dan politik di Indonesia juga menjadi
penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.

Kata Kunci: Pembangunan, ekofeminisme, Indeks Prestasi Manusia (IPM).

1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia kerapkali dikejutkan oleh laporan badan dunia UNDP (United Nations
Development Programs) yang mengumumkan urutan kualitas SDM (Sumber Daya
Manusia) sejumlah Negara di dunia. Persoalannya setiap kali laporan badan dunia tersebut
dikeluarkan posisi SDM Indonesia semakin menurun. Lembaga ini bukan hanya telah
meyakinkan strata kualitas suatu bangsa tetapi juga telah melahirkan penghampiran baru
dalam mengukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa dengan sebutan human
development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM).

Sebelum tahun 2000, laporan-laporan UNDP mengenai kesejahteraan


(pembangunan manusia) diuntai dalam perspektif “tingkat pengurangan kemiskinan” atau
tingkat keberhasilan pembangunan manusia. Namun pada tahun-tahun 2000-an,
sekurangnya pada laporan tahun 2001 dan 2004 laporan UNDP mengenai pembangunan
manusia juga memasuki, indikator lain, yaitu perspektif demokrasi. Terlepas dari
ukuran-ukuran yang serba kuantitatif dalam IPM tersebut, Indonesia tahun 2004 hanya
mampu menempati urutan ke 111 dari 177 negara yang diperingkat oleh lembaga yang
bernaung pada PBB tersebut. Pada tahun 2002, Indonesia berada pada rangking ke-110
setelah Vietnam (109)dari sebanyak 173 negara yang dinilai. Sedangkan tahun 2003,
Indonesia menempati peringkat 112, karena merosotnya kualitas hidup warga Negara
Indonesia pada angka 0,002 berdasarkan skala yang ditentukan UNDP.

186
Indeks pembangunan manusia (IPM) terdiri atas tiga komposit, yakni indeks
harapan hidup (life expectancy index) atau indeks kesehatan, indeks pendidikan (education
index), dan indeks daya beli (GDP index). Komposit indeks pendidikan terdiri atas indeks
rata-rata lama sekolah (RLS) dan melek huruf (adult literacy rate). Rata -rata lama sekolah
dihitung melalui komponen partisipasi sekolah tingkat (kelas) yang sedang (pernah)
dijalani, dan jenjang pendidikan, yang ditamatkan.

Prestasi dunia pendidikan di Indonesia memprihatinkan karena tertinggal jauh


dibawah Negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang dan Malaysia. Bahkan
jika dilihat dari indeks sumber daya manusia dari tahun ke tahun peringkat dunia
pendidikan di Indonesia semakin menurun.

Indikator rendahnya mutu pendidikan di Indonesia mengacu pada skala


Internasional menurut laporan Bank Dunia adalah prestasi siswa sebagaimana dirilis
RIAU POS Studi IEA (International Association for Evaluation A chievement) menyatkan
bahwa keterampilan membaca kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 persen dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. (Muslim, 2006:1)

Belum lagi, berbicara tentang indeks harapan hidup (life expectancy index) atau
indeks kesehatan, kasus kelaparan di Papua, dan maraknya kasus balita yang menderita
gizi buruk. Di Provinsi Jawa Barat saja masih menjadi masalah sosial dan kesehatan.
Tahun 2005, hampir satu persen balita dinyatakan mengidap gizi buruk. Relative tingginya
kasus gizi buruk di provinsi ini berkorelasi dengan tingkat kemiskinan (KOMPAS, 19
Agustus 2006;F)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, saat ini di Jabar
terdapat 2,9 juta rumah tangga miskin. Sementara itu, angka kemiskinan di Indonesia
sendiri masih berkisar antara 16% sanpai 23,4%. Meski Tim Indonesia Bangkit
memperkirakan angka tersebut mengalami kenaikan pasca kenaikan harga BBM pada
Oktober 2005 lalu.

Bagi kaum perempuan, menurut menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia


Hatta, kemiskinan menjadi beban tambahan, karena ia tidak saja harus menjaga dirinya
tetapi juga harus menjaga kelanjutan hidup anak dan keluarganya (2006:1). Penyebab
kemiskinan terutama di kalangan perempuan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik,
sosial dan Budaya. “Secara kultural sebagian masyarakat masih dipengaruhi secara kuat
oleh budaya patriarki yang menimbulkan ketimpangan struktur sehingga perempuan
menjadi terbatas untuk memperoleh pendidikan, akses ekonomi dan berorganinasi”. (Hatta,
2006:1)

Ditambahkan oleh Hatta, bahwa hasil data BPS tahun 2004 memperlihatkan bahwa
jumlah perempuan usia sekolah yang memperoleh pendidikan lanjutan tingkat atas lebih
kecil dibandingkan rekan laki-laki sebayanya. Dalam banyak kasus, anak perempuan
terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan.

Sebenarnya, estimasi rendahnya posisi pendidikan kaum perempuan sejak tahun


1985 sudah banyak ditulis para ahli dalam bidang pendidikan. Salah satunya yang ditulis
oleh Santoso S. Hamijoyo,

Data SUPAS 1985 antara lain menunjukkan bahwa lebih banyak wanita yang
berpendidikan di bawah SD 6 tahun (62,7% dari populasi wanita) di bandingkan
dengan kaum lelaki (50,6% dari populasi lelaki). Wanita yang berpendidikan di atas
SMTA (Diploma, Akademi, P.T.) hanya 0,45%, sedangkan lelaki 1,11%. Penduduk
yang masih buta huruf ada sekitar 22 juta orang tua 19,07%. Namun diantara
penduduk wanita tercatat ada 25,72% yang buta huruf dibandingkan lelaki 12,22%
(dihitung dari masing- masing populasi) antara 1985 dan 1990 tentang akan terjadi
perubahan atau perbaikan, tetapi usaha lima tahun tidak akan merubah situasi taraf
pendidikan tersebut secara radikal (1990:33).

Ternyata perubahan yang radikal dalam belum juga dilakukan, sebab data terbaru
BPS 2004 masih menggambarkan perempuan masih menempati posisi rendah dalam
memperoleh akses pendidikan. Padahal, menurut analisa Bank Dunia pada Negara-negara
berpendapatan menengah sebesar satu persen saja, telah dapat meningkatkan pendapatan
per kapita sebesar 0,3 persen, ini berarti investasi pada sumber daya. Manusia itu demikian
187
penting dalam menunjang terciptanya indikator-indikator peningkatan hasil-hasil
pembangunan.

Kenyataan ini, meunjukkan betapa perempuan dalam kancah “pembangunan” masih


termarjinalkan, perempuan bahkan telah banyak menjadi korban bagi sebuah arena yang
dinamai “pembangunan”.

1.2 Perumusan Masalah

32.Bagaimana posisi perempuan dalam konteks paradigma Pembangunan Klasik ?

33.Bagaimana posisi perempuan dalam pembangunan perspektif demokratis dan kulturis.

1.3 Tujuan dan Manfaat Tulisan

Tulisan ini bertujuan untuk:

15.Menganalisis kritis posisi perempuan dan pembangunan dalam perspektif paradigma


klasik yang telah dilaksanakan Negara-negara Dunia ketiga termasuk Indonesia.

16.Menganalisis kritis urgensi peluang pemberdayaan perempuan dalam kerangka


pembangunan berperspektif demokratis dan kulturis dengan harapan dapat menunjang
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia

Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak berikut ini :

50.Menumbuhkan riset-riset dalam memotret perempuan dalam perspektif pembangunan


yang telah dilaksanakan di Indonesia

51.Memberi input bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam menetapkan

kebijakan pembangunan yang sensitif gender. Juga menstimulasi Perguruan Tinggi


agar mengembangkan aspek paradigmatic baru dalam menelaah pembangunan melalui
kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
2 Tinjauan Pustaka

2.1 Persoalan Paradigmatik teori-teori Pembangunan

Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian, yaitu:


paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.
Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim,
Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma pertama menganut
dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam
fungsinya masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam
fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap
substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas -aktivitas atau substruktur lainnya.
Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan
evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung
status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori
ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalisme demokrasi Barat.(dalam Susanto,
2003 : 1)

Sedangkan Habermas membagi paradigma ilmu-ilmu sosial ke dalam tiga bagian


yang tergolong kategori sosiologis.

188
Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini,
pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya.
Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma
fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja
ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan
generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value)
agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua , paradigma
interpretif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi
filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya
adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya
memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan
pembebasan. Prinsipnya tetap bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra
dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritis. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses
katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak
lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas).
Paradigma ini menempatkan rakyat atau
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah
menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok
dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
(Susanto, 2003 : 1-2)

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan


masing-masing.Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah
ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah
diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma
tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan
karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja
penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan
kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan
verstehen- nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang
cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan
realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritis, penulis yakin, akan
lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena
melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses
perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari


kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang
sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja.
Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh
positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak
bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau
yang bisa kita sebut sebagai paradigma interpretif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma
ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan
pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih
mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami
dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu
deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita
tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian
inheren dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik penulis kira, sangat dekat dengan
pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian”
sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik
juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam
realitas sosial.

Di dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia sendiri, sampai 1980-an, dikuasai


oleh teori modernisasi. Selama lebih dari tiga dekade itu, teori modernisasi – yakni teori
yang mengatakan bahwa kemiskinan suatu negara berpangkal pada persoalan internal
negara bersangkutan, sehingga solusinya adalah memodernkan negara tersebut – menjadi
pilihan utama untuk menjelaskan dan menyelenggarakan pembangunan negara. Sebagian
besar kaum terdidik yang berperan dalam wacana pembangunan di Indonesia adalah para
lulusan Barat yang berkiblat pada paradigma modernisasi.

Dunia ilmu sosial Indonesia tiba-tiba tersentak oleh uraian Arief Budiman tentang
“teori struktural,” sebagai alternatif terhadap paradigma modernisasi. Menurutnya, asumsi
dasar teori modernisasi bahwa kemiskinan bersumber pada faktor-faktor internal suatu
negara itu keliru. Sesungguhnya, kekuatan-kekuatan luar telah menyebabkan suatu negara
gagal menjalankan pembangunannya. Dalam sebuah wawancara di jurnal Prisma (Juni
1983), Arief mengatakan bahwa ilmu sosial di Indonesia bersifat ahistoris, karena ia
189
mengabaikan konteks kesejarahan. Para ilmuwan sosial kita cenderung mengimpor begitu
saja teori-teori sosial dari Barat tanpa mempertanyakan keabsahannya, terutama ketika
diterapkan dalam konteks lokal. Padahal, kata Arief Budiman, “ilmu- ilmu sosial tidak
bebas nilai” dan “ilmu sosial itu sebenarnya merupakan satu ideologi imperialisme
ekonomi.” (Budiman, 2006 : 1)

Arief beranggapan bahwa upaya pemberantasan kemiskinan dan pembangunan


negara di Dunia Ketiga tidak akan berhasil jika struktur hubungan antara negara -negara
maju (Barat) dan negara-negara miskin tidak diubah. Sebab, struktur hubungan itu tidaklah
sejajar, karena negara-negara maju cenderung bersifat hegemonik dan eksploitatif terhadap
mitra-mitranya yang lebih lemah.

Dalam berbagai tulisannya di beberapa harian nasional maupun jurnal Prisma, Arief
menggunakan teori struktural untuk menjelaskan berbagai kegagagalan pembangunan yang
dijalankan pemerintahan Soeharto. Bersamaan dengan itu, ia gigih mengampanyekan
perlunya bersikap kritis akan peran ilmu-ilmu sosial. Kampanye ini mendapat tanggapan
dari para sarjana dan intelektual terkemuka. Jika wacana ilmu sosial Indonesia kemudian
terasa amat “kiri” (dalam arti bersikap tajam terhadap teori modernisasi yang biasanya
dianggap berada di “kanan”), maka orang yang paling bertanggung jawab adalah Arief
Budiman.

Untuk mengokohkan pandangannya, Arief menerbitkan beberapa buku, yang


mempermudah pembaca Indonesia memahami perdebatan seputar pembangunan negara.
Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi (1997) merupakan bukunya yang jernih
berbicara tentang teori negara. Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995) dan Negara dan
Pembangunan (1991) adalah karya-karya lain yang mendiskusikan isu-isu fundamental
tentang negara dan pembangunan. Ia ingin menekankan bahwa teori alternatif sudah
saatnya mendapat perhatian lebih besar dalam khazanah ilmu sosial di Indonesia.

Salah satu penjelasan favorit Arief adalah teori ketergantungan, yang merupakan
varian dari teori struktural. Kendati berinduk pada teori struktural yang sangat Marxis,
teori ketergantungan sebetulnya merupakan gabungan antara pandangan liberal dan
sosialis. Inti teori ketergantungan adalah bahwa sebab utama kemiskinan dan kegagalan
pembangunan di Dunia Ketiga bukanlah keterlambatan dalam melakukan modernisasi,
tapi campur tangan negara-negara kapitalis yang menghalangi perkembangan
negara-negara itu. Pada dasarnya negara-negara Dunia Ketiga (yang biasa disebut
“negara-negara pinggiran” dalam kapitalisme internasional) memiliki dinamika yang
berbeda dari negara-negara Barat. Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai
juga harus berbeda.

Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama


mengapa negara-negara pinggiran sulit berkembang. Pola hubungan yang tidak setara
menciptakan kesenjangan yang terus melebar antara negara-negera kapitalis dan negara
-negara miskin. Solusinya adalah memberikan kebebasan bagi negara-negara pinggiran itu
untuk mengembangkan dirinya dengan melihat konteks budaya dan kesejarahannya
sendiri.

Menurut Johan Galtung “Disiplin teoritis yang disebut ‘studi pembangunan’, dan
bidang kebijakan yang disebut ‘praktik pembangunan’ adalah sebuah bidang yang selalu
diperdebatkan dengan sengit” (2003:281). Mengapa demikian? Bidang teoritis ini lanjut
Galtung dipenuhi bom-bom intelektual, bidang praktis yang didalamnya memuat terorisme
anti-negara dan alat-alat penyiksa dari penyiksaan Negara. Hal ini disebabkan
pembangunan telah menciptakan Negara -negara yang kaya dan kuat, menciptakan
elite-elite yang kaya dan kuat, dan menciptakan umat manusia, rakyat yang kuat atau
setidaknya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Jika pembangunan
cenderung menumbuhkan kekerasan struktural dan kultural, maka dalam studinya tentang
perdamaian, Galtung mengemukakan tesis yang memfokuskan diri pada pengurangan
kekerasan strukturan dan kultural. Oleh karena itu berkenaan dengan studi pembangunan,
Galtung mengemukakan 15 tesisnya dalam menelaah studi pembangunan versus studi
perdamaian.

Pertama: Pembangunan adalah peningkatan sebuah budaya; merealisasikan kode


atau kosmologi budaya itu.

Kedua: Pembangunan adalah pemuasan progresif kebutuhan-kebutuhan alam


manusia dan non-manusia, yang dimulai dengan mereka yang paling membutuhkan.
190
Tabel 1.1 Kebutuhan Manusia dan Pemuas-pemuas lain

Kebutuhan Dasar Manusia Pemuas-pemuas


Integritas tubuh manusia Perlindungan manusia
Input Udara (bersih), air, nutrisi Air, Air, makanan
Input rangsangan (menyenangkan), visual, Lingkungan
auditif, penciuman Menyenangkan
Output produk Buargon, pembuangan Kakus, dll.
Suhu, kelembaban, kontrol argin Pakaian, Perlindungan
Tidur, Istirahat Ketenangan
Gerakan Ruang
Seks Privasi
Reproduksi Semua hal diatas

Ketiga: Pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa mengorbankan


siapapun.

Keempat: Kata benda ‘pembangunan’ hanya dapat dipahami dalam bentuk jamak
sebagai pembangunan-pembangunan, bukan dalam bentuk tunggal.

Kelima: Kata kerja ‘membangun’ hanya dapat dipahami sebagai kata kerja
intransitive atau reflektif atau timbal-balik, bukan sebagai kata kerja transitif
Keenam: Peradaban Barat memahami dirinya sendiri sebagai peradaban universal,
dan menguniversalisasikan sejarahnya sebagai sejarah pembangunan bagi pihak lain, yang
berarti bahwa:

32. Pembangunan=pembangunan Barat = Modernisasi dan

33. Pembangunan=Pertumbuhan=pertumbuhanekonomi=pertumbuhan

GNP

Ketujuh: Syarat utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah kerja keras,


menabung/investasi, tamak, dan ketidakpedulian.

Kedelapan: Pembawa utama ketidak pedulian adalah pria, Protestan dan Ekonomi,
khususnya jika digabungkan.
Kesembilan: Ada dua daerah pertumbuhan ekonomi utama di dunia Barat laut yang
beragama Yahudi-Kristen (YK) dan Tenggara yang beragama Budha-Konficius (BK).

Kesepuluh: Seluruh dunia untuk sementara ini benda dalam status pinggiran dalam
sistem pertumbuhan ekonomi dunia.

Kesebelas : Bantuan pembangunan merupakan keturunan sah dari ayah imperialis


Barat dan ibu misionaris kristen, dan sang anak membawa kode keduanya.

Keduabelas: Bantuan pembangunan merupakan pasar internasional yang sangat


kompetitif di mana negara donor dan negara penerima proyek di bawah berbagai slogan
(pra-investasi infrastruktur, biaya transaksi, pembangunan masyarakat, partisipasi,
pengganti impor, pengganti ekspor, kebutuhan dasar, untuk negara-negara termiskin,
untuk rakyat termiskin dari negara-negara
191termiskin untuk wanita, untuk wanita -wanita
termiskin di pedesaan, untuk lingkungan hidup, untuk pembangunan berkelanjutan) guna
meningkatkan bagian mereka dan apa yang ditawarkan dan diterima.

Ketigabelas: Bantuan pembangunan dapat mengambil bentuk menghilangkan


rintangan struktural besar, struktur pusat-pinggir, dan menempatkan tuntutan yang
menantang dengan pinggir.

Keempatbelas: Syarat yang diperlukan bagi bantuan pembangunan adalah timbal


balik, saya bantu anda, anda bantu saya.

Kelimabelas: Penyedia terbaik bantuan pembangunan mungkin adalah


organisasi-organisasi rakyat suka rela yang terlibat dalam dialog rakyat- rakyat dan bukan
ahli-ahli, dengan memberikan bantuan yang lebih dekat dengan kebutuhan dasar, dan siap
untuk menerima timbalbalik yang sangat membantu adalah organisasi-organisasi sukarela
wanita.

2.2 Teori pembangunan Demokratik

Terhadap teori-teori yang telah menciptakan krisis kemanusiaan, dan alienasi,


Soedjatmoko mengajukan teori pembangunan demokratik. Dalam kerangka pemikirannya,
Soedjatmoko ingin keluar dari teori-teori pertumbuhan yang berwatak konvensional di
satu sisi dan teori-teori struktural yang berwatak revolusioner di sisi lain.

Dalam kerangka ini, ”pembangunan dapat dilihat sebagai kemauan subjek/suatu


bangsa untuk mencapai martabatnya. Di sini martabat itu tidak dengan sendirinya akan
terjamin oleh pertumbuhan ekonomi. Maka terhadap teori-teori yang menjagokan
investasi produktif sebagi esensi pertumbuhan ekonomi, Soedjatmoko mengajukan
antitesis teori pembangunan ekonomi sebagai pengerahan (dalan Ibrahim, 2004:96)

Teori pembangunan demokratik ini menurut Soedjatmoko harus memiliki


kemampuan analitik dan menjelaskan agar kita dapat lebih memahami hubungan antara
perubahan dan pembangunan. Dalam kontek aktual Soedjatmoko mengajukan, beberapa
premis yang dapat membantu memahami proses perubahan dan menerangi pilihan-pilihan
yang muncul dihadapan kita dalam kerangka nilai-nilai dasar umat manusia. Sejumlah
premis yang mendukung teori demokratik ini antara lain :

Pertama, ia harus didasarkan atas premis bahwa ada batas kemampuan setiap sistem
politik untuk mengatur dan mendamaikan konflik dan data adalah penting
mengidentifikasikannya, meskipun batas-batas ini bukan tanpa perubahan.

Dalam pandangan Soedjatmoko, hal tersebut merupakan fungsi dari sejumlah faktor,
termasuk diperolehnya informasi, adanya komunikasi, ambang toleransi- ketakutan, maupun
pengaruh dan manipulasi dari luar secara historis dan geopolitik, yang semuanya berbeda -beda
bagi masyarakat.

Kedua , ia harus mempunyai makna operasional dalam pengertian memberikan


pegangan-pegangan konseptual tentang masalah-masalah perubahan struktural sedemikian
rupa sehingga masyarakat tetap langgeng dan efektif di tingkat kursi yang terendah.
Ketiga, premis bahwa kebebasan manusiawi ditentukan oleh cara dimana tuntutan
perubahan yang bertikai, stabilitas dan keadilan berada dalam keseimbangan dan bahwa
politik yang moderat di dalam proses perubahan, struktural hanya mungkin bila
kemampuan suatu sistem politik untuk menghasilkan penyesuaian secara sukarela, bisa
ditingkatkan (Soedjatmoko dalam Ibrahim, 2004:97)

Soedjatmoko mengajukan adanya transformasi (perubahan) struktural berupa :

22.memperbaiki ketidakseimbangan antara sektor perkotaan dan sektor pedesaan;


23.penghapusan kemiskinan absolut menuntut realokasi sumber-sumber secara masif;

192
24.pengarahan kembali pertumbuhan industri untuk memenuhi kebutuhan mayoritas, dan
mengurangi dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari luar.

Pentingnya kerangka paradigmatik yang mampu mengatasi berbagai ketimpangan


praktik pembangunan yang selama ini dilakukan.. Sependapat dengan ini adalah
Dorodjatun Kuntjoro Jakti, adalah makin banyaknya teori ekonomi pembangunan yang
muncul, baik dari kalangan pemikir di kubu kapitalis maupun sosialis, yang ternyata
meskipun semakin berusaha untuk sekrouprehensif dan seaktual mungkin, tetapi ternyata
kalau dikaji makin tidak meperjelas penggambaran situasi yang dihadapi (1985:317).
Menurut Kuntjoro Jakti, teori tersebut juga memberikan rekomendasi yang saling
bertentangan atau menimbulkan masalah trade-off yang sulit, atau bahkan bersifat
tautologis. Rekomendasi-rekomendasi dari para teoritis itu juga berarti penerapan
sejumlah paradigma negara -negara sudah maju kepada negara Dunia Ketiga. Bahkan,
menurutnya rekomendasi-rekomendasi cenderung bersifat normatif, meskipun cocok
secara ideologis atau politis, tapi sifatnya terlalu idealis sehingga tidak praktis; ”menuntut
penyelesaian permasalahan pembangunan dalam skala yang terlalu komprehensif, atau
terlalu bersifat radikal (dalam Jakti, 1985:317).

2.3 Ekofeminisme

Banyak orang menginterpretasikan berakhirnya konfrontasi Timur-Barat bukan


hanya sebagai akhir impian kaum sosialis dan utopis tetapi juga seluruh ideologi universal
yang berdasarkan pada konsep universal umat manusia dan hubungannya dengan alam dan
umat manusia lainnya. Ideologi ini telah di”dekonstruksi” sebagai Eropa Sentris,
Egosentris dan menurut beberapa kaum feminist-Androsentris, dan Materialistis. (Mies
dan Shiva, 2005:12)

Akhir dari ideologi ini diproklamasikan oleh pemikir postmo, orang yang
berpendapat bahwa universalisasi modern – proyek pencerahan Eropa telah gagal
kemudian sejumlah kalangan enviromentalist dan developmentalist yang berpendapat
bahwa penekanan pada perkembangan materi dan perkembangan ekonomi dan usaha untuk
menyamai model Barat dalam masyarakat industri, telah gagal memahami sumbangan
kebudayaan masyarakat non-Eropa yang memberikan penekanan cukup signifikan.
Lebih-lebih menurut Mies dan Shiva, ”mereka menekankan bahwa pembagian dualistik
antara ekonomi dan kebudayaan, (atau dalam terminologi. Marxis dikenal dengan basis dan
suprastruktur) tidak tepat ditempatkan pada masyarakat yang sangat terbelakang”
(2005:12). Mereka selanjutnya mengkritik paradigma pembangunan Barat yang ada yaitu
strategi modernisasi yang mengakibatkan hancurnya kebudayaan, dan juga
keanekaragaman biologi. Berangkat dari argumen-argumen inilah kaum ekofeminisme,
perdamaian dan ekologi kendati istilah ini pertama kali digunakan oleh Francoise
D’Eaubanne, namun menjadi populer dalam kaitannya dengan gerakan protes dan aktivis
menentang perusakan lingkungan hidup yang dipicu oleh bencana ekologis.

Ekofeminisme banyak mengkritik paradigma pembangunan Barat, mereka menolak


proses homogenisasi yang dihasilkan oleh pasar dunia dan proses produksi kapitalis.
Ekofeminisme selanjutnya mengkritik pembagian yang berdasarkan pada dualisme antara
suprastruktur atau kebudayaan dan ekonomi atau basis. Dalam pandangan ekofeminisme,
perlindungan terhadap bentuk kehidupan dimuka bumi yang berbeda-beda dan kebudayaan
masyarakat manusia merupakan prasyarat untuk mempertahankan hidup di planet ini.

Menurut Megawangi, ”perspektif ekofeminisme timbul karena ketidak puasan akan


arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok (dalam Sunarto, 2000:66). Salah
satu kritikan pedas ekofeminisme adalah pada gerakan- gerakan feminisme modern
terutama feminisme liberal, dan feminisme sosialis/marxisme.

Berbeda dari teori-teori feminisme modern yang berasumsi bahwa individu adalah
makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkunganya dan berhak menentukan jalan
hidupnya sendiri, maka teori ekofeminisme memiliki titik berdiri yang berbeda, aliran ini
memandang individu secara lebih komprehensif sebagai makhluk yang terikat dan
berinteraksi dengan lingkungannya.

3 Pembahasan
193
3.1 Posisi Perempuan dalam Paradigma Pembangunan lama

Penduduk perempuan yang jumlahnya 49,9% (102.847.415) dari total (206.264.595)


penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang
cukup besar. Partisipasi perempuan dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat
tercapainya tujuan pembangunan kurang berperannya kaum perempuan akan
memperlambat proses pembangunan atau bahkan dapat menjadi beban pembangunan itu
sendiri.

Kenyataannya, dalam berbagai praktekpembangunan perempuan kurang dapat


berperan aktif. Hal ini disebabkan kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan
dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan
mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan
dan pendidikan yang rendah sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum
perempuan. Sebagimana dikritisi oleh Johan Galtung dan kaum ekofeminisme atas
pemaksaan indikator- indikator pembangunan di negara-negara maju kepada dunia ketiga,
maka yang terjadi akibat penerapan pembangunan paradigma tersebut adalah ketidak
adilan gender.

Awalnya, pembangunan yang dilaksanakan, pemerintah merupakan pembangunan


yang ”buta gender” yang menghasilkan kesenjangan gender dan merugikan kaum
perempuan. Kemudian tahun 1975 pemerintah berusaha memperbaiki kehidupan
perempuan melalui pendekatan perempuan dalam pembangunan (Women in Development /
WID) melalui: Menteri Muda Urusan Peranan Wanita Tahun 1978. Namun, sampai saat ini
ketimpangan gender dalam arus utama pembangunan masih berlangsung. Hal ini terbukti :

Dalam laporan pembangunan Manusia Indonesia 2004 yang bertajuk, ”The


Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia”
menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi
pada upaya pembangunan manusia dan ”bagaimana pembiayaannya. Dalam laporan
tersebut juga menyebutkan posisi perempuan dibidang pendidikan dan kesehatan
tidak terlalu menggembirakan. Partisipasi dalam angkatan kerja dibidang non
pertanian kembali menurun menjadi 28 persen tahun 2002 dan 38 persen tahun 1998.
Dari 3,9 juta pegawai negeri sipil (PNS), 38 persen diantaranya perempuan, namun
1,8 juta adalah staf biasa, dan hanya sekitar 160.000 menduduki posisi yang ”lebih
tinggi”. Sebagian besar perempuan bekerja sebagai guru dan perawat. Pada tahun
2003 hanya 45 perempuan dari 462 anggota DPR.

Menurut Agus Wariyanto: ”pembangunan manusia tak akan adil, berkesinambungan


dan holistik, manakala pembangunan tadi tak mengenai dan mepersoalkan kesenjangan
relasi gender dan kebutuhan serta permasalahan perempuan dan laki-laki (2003:2). Ima
bentuk ketidakadilan gender yang lazim diteriui dalam praktek pembangunan di Indonesia”
adalah :

17.Marjinalisasi (peminggiran ekonomi): banyak bentuk peminggiran ekonomi perempuan,


salah satu yang paling nyata adalah lemahnya peluang perempuan terhadap
sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit dan pasar

18.Subordinasi (penomorduaan) perempuan, sehingga tak mempunyai peluang untuk


mengambil keputusan yang menyangkut dirinya

19.Beban kerja berlebihan: perempuan memiliki tiga peran (triple role), yakni produktif,
reproduktif, dan memelihara masyarakat yang lebih dominan sementara peran politik
dalam masyarakat lebih dominan laki-laki

20.Cap-cap (Stereotip) negatif perempuan sering digambarkan emosional, lemah, tak


mampu memimpin, tak rasional, sering dilontarkan dari kecil hingga dewasa.
Perempuan selama ini masih sering ditempatkan pada posisi domestik. Sebuah peran
stereotipe dalam aspek kehidupan seperti hanya mitos perempuan identik dengan
tempat tidur, sumur, dan tempat memasak atau dapur

21. Kekerasan berbasis gender, meliputi perkosaan, serangan fisik, penyiksaan, pelacuran,
pornografi, pemaksaan, pelecehan seksual, dan sebagainya (Wariyanto, 2003:2)
194
Sejauh ini, kita telah menyaksikan dampak-dampak ekologis dari strategi mengejar
pembangunan di negara-negara berkembang. Bagi kaum perempuan yang hidup di
negara-negara, Industri maju, mengejar pembangunan berarti hubungan laki-laki
perempuan yang patriarkal akan dihapus dan diganti dengan kebijakan kesetaraan gender.
Dilanjutkan penghapusan diskriminasi dalam bidang politik dan lapangan kerja.harapan
srupa diipikan oleh kaum perempuan negara-negara Dunia Ketiga saat roda pembangunan
dijalankan. Namun yang kerap dialami perempuan diwilayah ini adalah telah menjalani
kolonisasi, pemiskinan, penggusuran (peminggiran) kekerasan struktural maupun kultural,
menjadi kelinci percobaan, lebih menjadi objek ketimbang subjek dalam pola konsumsi.

Vandara Shira dan Maria Mies pegiat ekofeminisme mengemukakan kasus di India.

Pada tahun 1951, dengan rencana Pembangunan lima tahunnya yang pertama, India
merupakan negara pertama yang menyusun sebuah Kebijakan Nasional Pengendalian
Penduduk. Bercirikan ’top down’, kebijakan tersebut direncanakan, dibiayai dan diawasi
secara terpusat, untuk dilakukan ditingkat pusat hingga lokal. Diaraskan, disusun dan
dirancang oleh agen-agen eksternal, kebijakan tersebut diimplementasikan oleh
pemerintah India dan para pejabatnya. Rencana ini tidak memerlukan laporan evaluasi
jangka menengah Planning Commission untuk menilai kegagalan kebijakan pengendalian
penduduk, seperti yang terjkadi pada statistik yang tidak sesuai dengan kebutuhan
penduduk. Setelah kesalahan kampanye sterilisasi yang bersifat memaksa selama Masa
Darurat (1975-1977) tema program irubah dari ’keluarga berencana’
menjadi ’kesejahteraan keluarga’, namun strategi-strategi dan pendekatannya dalam
menghargai perempuan tetap tidak berubah. Perempuan dipandang tolol, buta huruf dan
bodoh, hanya menginginkan kelahiran anak-anak menghambat kesuburan mereka jelas
sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terjun dibidang perawatan kesehatan, kebijakan
pengendalian jumlah penduduk India merupakan malapetaka ganda: pertama, karena
mereka gagal memahami dan melayani kebutuhan kontrasepsi perempuan; dan kedua,
karena mereka meminggirkan dan memundurkan seluruh kerja perawatan kesehatan
lainnya.

Bagimana dengan Indonesia? kasus serupa tentu saja terjadi, saat paradigma
pembangunan yang sama coba diterapkan. Program Keluarga Berencana adalah contoh
kasus betapa perempuan menjadi subordinat dan telah dimarjinalkan dalam pembangunan.
Atas nama ledakan penduduk dan upaya mengurangi kemiskinan dengan slogan keluarga
kecil adalah keluarga bahagia dan sejahtera telah memaksa perempuan menjadi objek
program tersebut. Di Indonesia dan India misalnya, perempuan melalui program Keluarga
Berencana telah mengalami kekerasan fisik juga kekerasan struktural. Bahkan, dalam
beberapa kasus penerapan alat kontrasepsi secara massal perempuan diperlakukan tidak
manusiawi. Seperti digambarkan oleh Shiva dan Mies :

Selama rentang waktu tersebut banyak perempuan yang benar-benar menderita sakit,
tetapi bukan lantaran kesuburan mereka; mereka jatuh sakit karena mempertahankan
kesuburan dengan memakai kontrasepsi. Telah diketahui, bahwa kemandulan yang banyak
dikeluhkan perempuan dewasa ini merupakan bagian dari hasil metode kontrasepsi yang
merusak, contohnya, Dalkon Shield dan berbagai pemakai IUD lainnya dan pengobatan
dokter tapa perasaan ( 2005 : 216).

Strategi program memerangi kesuburan perempuan di negara-negara Dunia Ketiga


juga telah mengabaikan efek jangka panjang terhadap kesehatan perempuan. Perempuan
miskin tidak diperlakukan sebagai manusia namun hanya sebatas entitas angka statistik
kependudukan di dalam pembangunan. Di beberapa negara yang sedang membangun
seperti Indonesia, pemerintah telah menjadi agen-agen bagi negara donatur untuk
melakukan pengawasan terhadap jumlah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah telah
menjalankan berbagai kebijakan guna memenuhi target tersebut melalui petugas-petugas
lapangan yang siap memaksa perempuan untuk bersedia dipasangkan IUD, sterilisasi dan
lain sebagainya. Perempuan di Dunia Ketiga juga telah menjadi apa yang disebut Shiva dan
Mies sebagai ”kelinci percobaan” oleh industri obat-obatan multinasional dalam
melanggengkan dominasi ekonomi mereka melalui proyek pembatasan jumlah kelahiran di
berbagai belahan negara Dunia Ketiga.

3.2 Posisi Perempuan dalam pembangunan perspektif Demokratis dan kuturis.

Sejatinya, seperti dikembangkan Vinod Thomas (dkk), pembangunan berkaitan


dengan perbaikan kualitas hidup rakyat, memperluas kemampuan mereka untuk
membentuk masa depan mereka sendiri (2001:xxx). Pembangunan juga dalam manuskrip
195
World Bank disebutkan: kesempatan kerja, gender, kesehatan dan nutrisi yang lebih baik,
lingkungan alam yang lebih bersih dan lestari, keadilan dalam sistem hukum, kebebasan
politik dan sipil, serta kehidupan kultural yang lebih kaya. Namun kerangka yang
direkomendasikan negara-negara yang mengusung paradigma tersebut terlampau normatif
bahkan idealistis. Bahkan, kerapkali dengan berbekal keyakinan yang diusung ilmu
ekonomi yang ”bebas budaya dan karenanya netral” (Galtung, 2003:283), menjadikan
pembangunan dilakukan dengan mengorbankan siapapun atas nama pertumbuhan
ekonomi.

Dominasi akan tuntutan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan


terbengkalainya aspek-aspek lain dalam proses pembangunan. Misalnya fkus
pembangunan ekonomi telah banyak merusak ekosistem, ”munculnya perekonomian
internasional yang berkembang pesat sekarang ini telah memberikan kemungkinan bagi
perpindahan kelangkaan sumberdaya dari satu negara ke negara lain, semacam teori
domino untuk gangguan dan kerusakan ekologi (Brown, 1987:8).

Packrd Winklor membedakan cara memandang hubungan antara kebudayaan dan


pembangunan salah satunya bahwa ”kegiatan pembangunan harus disesuaikan dalam
konteks kebudayaan” (Pronk, 1993:287) untuk menjawab berbagai dampak negatif
pembangunan. Bahkan pada level yang lebih jauh kegiatan pembangunan dicangkokan
pada konteks kebudayaan dengan hasil keduanya menjadi lebih kuat.

Kiranya perlu dikaji pembangunan Nasional yang dilaksanakan dengan pendekatan


Integratif, demokratis sekaligus kulturis. ”Pemikiran pendekatan kebudayaan timbul dari
pengamat bahwa dalam perubahan sisial yang cepat brbagai aspek-sektor kehidupan tidak
berjalan seimbang” (Pasaribu dan Simanjuntak, 1986:184). Dalam juangka panjang
keadaan ini apabila dibiarkan akan menimbulkan disorganisasi sosial bahan disintegrasi
kultural.

Pendekatan kultural dan demokrasi dalam pembangunan diharapkan dapat


memberikan langkah-langkah solutif atas permasalahan pembangunan. Jika pendekatan
kulturismenyediakan langkah- langkah proses inkulturasi hingga asimilasi terma-terma
pembangunan dalam konteks budaya masyarakat, maka perspektif pembangunan
demokratik akan memberikan akses keadilan, keseimbangan dan menjauhkan pada upaya
pembangunan masyarakat yang lebih humanis. Mengapa? sebab pembangunan yang
selama ini bersifat fisik (melalui ukuran-ukuran ekonomi telah melahirkan
ketimpangan-ketimpangan secara sosial budaya bahkan sudah sejak lama hingga kini
Suparjo menyebutkan adanya sikap pasif, untuk tidak mengatakan sikap masa bodoh yang
masih mewarnai peta psikologis dan mentalitas sebagian masyarakat Indonesia (dalam
Lubis, 1993:186). Karenanya, mentalitas pembangunan yang ideal seperti prakarswa sikap
produktif, kesediaan untuk mengorbankan kepentingan-kepentingan marjinal dan
sebagainya, ternyata masih relatif lemah. Selo Sumardjan menyebutkan; ”adanya gejala
korupsi yang semakin meluas, gelombang kejahatan yang semakin meningkat, ketegangan
antara golongan kaya dan miskin, keresahan putusan kubu orang yang tidak sempat
memperoleh pendidikan (dalam Lubis, 1993:186)

4 Penutup

4.1 Kesimpulan

Perempuan di Indonesia telah dirugikan oleh kemiskinan dan dimarjinalkan oleh


proses pembangunan. Dari perspektif perempuabn, definisi kemiskinan tidak hanya dilihat
dari rendahnya pendapatan, tetapi juga kurangnya kesempatan bekerja, berkarya, dan akses,
serta hak untuk mengambil keputusan atas diri dan keluarganya. Rendahnya akses terhadap
pendidikan akibat kemiskinan dan budaya partriarki juga menambah buruknya kualitas
sumbar daya perempuan Indonesia. Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah contoh kongkrit
rendahnya mutu pendidikan sehingga menjadikan perempuan tak lebih sebagai asset yang
dapat dieksploitasi. Kemiskinan struktual dalam berbagai praktek pembangunan telah
memarjinalkan perempuan dan menempatkannya sebagai korban.

Dalam kerangka mengubah arah pembangunan yang bias gender inilah, kaum
Ekofeminisme melakukan gerakan dalam menyelamatkan ekosistem yang telah dirusak
atas nama pembangunan. Sebagai gerakan feminis dan aktivis lingkungan, gerakan ini juga
mencoba mengkonstruksi epistimologis ekofeminisme dan aspek-aspek metodologis dalam,
“mendukung pembebasan konsumen dan produksi subsistence, keberlanjutan dan
196
regenerasi; dan mereka mendorong penerimaan terhadap konsep keterbatasan alam dan
hubungan timbal balik, dan sebuah penolakan terhadap eksploitasi , kebutuhan tak terbatas
terhadap komoditas dan kekerasan” (Shiva dan Mies, 2005).

Kegagalan pembangunan dalam mengusung tujuan sejatinya juga telah banyak


menuai kritik dari kalangan akademisi. Berbagai tawaran paradigmatik diajukan oleh
berbagai kalangan, salah satu yang banyak digaris bawahi adalah urgensi atas
pembangunan selaras dengan kebudayaan tempat di mana pembangunan itu dilaksanakan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Galtung dalam tesis-tesisnya, saat kebudayaan diakomodir
dalam kerangka pembangunan, dengan sendirinya akan ada berbagai perspektif
pembangunan yang sesuai dengan kondisi budaya Negara-negara yang membangun
tersebut.

Alternatif yang ditawarkan Soedjatmoko dalam mengubah arah pembangunan kira


patut ditelaah lebih serius oleh para penentu kebijakan pembangunan. Pembangunan
demoktratis, kulturis, dan humanis kiranya harus menjadi pilihan Negara -negara Dunia
Ketiga dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan yang telah sekian lama
dialami. Dalam perspektif ini, dimungkinkan adanya jaminan keadilan, kesetaraan,
perspektif subjek (partisipatif) dalam memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik.
Mudah- mudahan juga dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
apabila kita sepakat dengan ukuaran-ukuran kuantitatif atas pembangunan yang ditetapkan
oleh UNDP tersebut.

4.2 Saran

Dalam mengusung perubahan paradigma atas konsep-konsep pembangunan tersebut,


Perguruan Tinggi menempati posisi yang demikian strategis dalam melakukan riset
pembangunan dan memberikan feed back kepada pihak pengambil kebijakan akan
perlunya perubahan perspektif teori-teori dan praktik pembangunan selama ini. Perguruan
Tinggi juga melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakatnya
seharusnya menjadi tulang punggung dalam melakukan proses meningkatkan sumber daya
manusia. Pemerintah hendaknya bermitra dengan Perguruan Tinggi dalam merumuskan
berbagai kebijakan pembangunan dengan sikap yang jujur dan penuh tanggungjawab
dalam upaya mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukkan dan ketertinggalan.

197
DAFTAR PUSTAKA

Sunarto. 2002. Analisis Wacana ”Ideologi Gender” Media Anak-Anak.


Semarang : Yayasan Adikarya Ikapi dan Ford Foundation.

Jakt, Dorojatun Kuntjoro. 1984. Teori Pembangunan Ekonomi: Menuju Ketidakpastian?


(Memelihara Momentum Pembangunan). Jakarta : Gramedia.
Ibrahim, Idi Subandy. 2004. Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan (Ruang
Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko. Yogyakarta : Jalasutra.

Shiva, Vandara dan Mies Maria. 2005. Ecofeminisme: Perspektif Gerakan,


Perempuan & Lingkungan. Yogyakarta : IRE PRESS.
Galtung Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik
Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka.

Hatta, Meutia. 2006. ”Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Rendah” Sambutan tertulis
pada pengukuhan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Perempuan dan
Perlindungan Anak.

Muslim. 2006. Reformasi Otonomi Pendidikan, RIAU POS, 28 Maret 2006.

Hamijoyo. Santoso S. 1990. ”Lima Jurus Strategi Dasar Pendidikan, dalam Era Globalisasi,
dalam jurnal pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No 4 tahun IX Desember 1990.
Bandung : University Press IKIP Bandung.

Vinod, Thomas, dkk. 2001. the Quality of Growth: Kualitas Pertumbuhan.


Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.

Pronk, J.P. 1993. Sedunia Perbedaan Sebuah Acuan Baru dalam kerjasama pembangunan
Tahun 1990-an. Jakarta : yayasan Obor Indonesia..

Pasaribu I.L dan Simandjuntak B. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung :


Tarsito.

Brown Lester R, dkk. 1987. Dunia penuh Ancaman. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Lubis, Mochtar, 1993. ”Budaya Masyarakat dan Manusia Indonesia : Himpunan Catatan
Kebudayaan Mochtar Lubis”. Majalah Horison, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.

198
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

Refleksi Teori Kritik Seni Holistik : sebuah Pendekatan


Alternatif dalam Penelitian Kualitatif bagi Mahasiswa Seni
(Reflection on Art Criticism and Holistic Art Criticism :

an Alternative Approach of Qualitative Research for Art Students)

S. Suharto
Staf Pengajar Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang

199
Abstrak
Kritik seni sudah lama dikenal dalam dalam dunia seni maupun sastra. Dalam dunia
pendidikan maupun penelitian pun sudah banyak diterapkan. Walaupun semula,
seperti sifatnya yang evaluatif, pendekatan kritik seni digunakan untuk penelitian
evaluatif, namun dalam perkembangannya dapat digunakan untuk jenis penelitian
lainnya baik penelitian dasar maupun terapan karena sebenarnya dalam pendekatan
ini ada aspek deskriptif, interpretatif, dan aspek evaluatif. Pendekatan kritik seni
yang dalam analisisnya menggunakan tiga faktor seperti faktor genetik, objektif, dan
afektif dapat memecahkan masalah penelitian secara komprehensip seperti sifat
penelitian kualitatif yang fenomenologis dan hermeneutik. Sifatnya yang lentur,
pendekatan ini dirasa sangat aplikatif untuk penelitian-penelitian pada umumnya
lebih khusus lagi untuk penelitian dalam cabang ilmu humaniora.

Kata kunci : pendekatan kritik seni holistik, refleksi, fenomenologi, hermeneutik

v. Pendahuluan dianggap lebih penting yang


mendorong untuk memilih istilah
Tidak bisa dipungkiri bahwa khusus untuk membedakan dengan
azas mereka dengan azas yang lain
penelitian naturalistik yang dikenal (Lincoln & Guba, 1985). Menurut
Sutopo (1995 : 4) pilihan istilah seperti
secara luas sebagai penelitian disebut di atassering didasarkan pada
bidang ilmu yang
kualitatif mengalami perkembangan
yang sangat pesat dengan berbagai menggunakannya, misalnya penelitian
naturalistik datang dari sosiologi,
bentuknya. Istilahnya pun bisa
etnografi datang dari antropologi, dan
bermacam-macam misalnya studi kasus datang dari psikologi.

penelitian naturalistik,

pasca positivistik, etnografi, Penelitian kualitatif bersifat sangat


lentur sehingga sangat
fenomenologis, hermeneutik,
subjektif, interpretif, humanistik, dan
studi kasus. Biasanya istilah-istilah
ini muncul karena adanya penekanan
pandangan yang berbeda yang

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

200
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

terbuka bagi bidang-bidang ilmu


peneliti yang mengamati suatu
secara luas.Dalam segi disainnya, subjek. Jika fenomenanya
misalanya, penelitian kualitatif bisa mendukung maka deskripsinya

bergerak luwes mengikuti irama dapat dipertanggung jawabkan.

interpretasi, refleksi, yang juga bisa Karena menyangkut penafsiran

tesebut maka tidak lepas dari


bersifat subjektif. Penyusunannya penelitinya dan yang diteliti (teks).
bisa disesuaikan dengan kondisi Dalam menafsirkan sebuah karya seni,
bisa disebut teks, sebuah hasil
sebenarnya yang dijumpai di penafsiran sepenuhnya ada di tangan
lapangan. Itulah sebabnya penganut
peneliti. Penafsiran termasuk evaluasi
aliran positivisme sangat sebuah karya seni memerlukan
menentangnya. Mereka memandang tahap-tahap dan aspek-aspek yang
penelitian kualitatif tidak ilmiah. dikaji. Tahap-tahap ini sesuai dengan
Namun demikian, perdebatan panjang yang ada pada penelitian kualitatif.
ini malah berdampak positif terutama
dalam meningkatkan kemantapan
paradigma penelitian Istilah kritik seni sudah lama
didengungkan oleh para peneliti seni,
kualitatf, terutama dalam kritikus seni maupun pemerhati sastra.
metodologinya. Guba (1985) adalah Bahkan, dalam bidang ilmu lain, kritik
salah satu tokoh kualitatif yang banyak seni dapat digunakan. Dalam disiplin
mengkritik pandangan positifisme ilmu humaniora, misalnya, Eliot Eisner
sebagai aliran penelitian kuantitatif (1979:1983) menganjuran perlunya
yang dianggap kurang memadai. penelitian dan evaluasi dengan
menggunakan pendekatan kritik seni.
Aktivitas penelitian kualitatif Seperti halnya sifat kegiatan kritis
sangat kuat diwarnai oleh tafsir yang bersifat evaluatif, kegiatan Eisner
hermeneutik yang mengarahkan pada ini lebih memfokuskan kepada
penafsiran ekspresi yang penuh makna aktivitas evaluasi program pendidikan.
dan dilakukan dengan sengaja oleh Dari pengalaman
manusia. Setiap karya maupun penelitian-penelitiannya Eisner
peristiwa selalu memiliki makna semakin mantap dan mempertegas
sebagai hasil interpretasi para pelaku bahwa kritik mampu menyajikan tiga
atau pembuat karyanya. Karya seni aspek pokok dalam evaluasi, yaitu (1)
misalnya,merupakan hasil interpretasi aspek deskriptif,
atas sesuatu, jika sampai pada
pengamat karya tersebut harus 34. aspek interpretative, dan (3) aspek
diinterpretasi pula. Dalam penelitian evaluatif (Sutopo : 1995:6).
kualitatifalur disainnya mirip dengan
proses pengamatan seni yang sering
Adalah HB. Sutopo yang sejak
disebut
tahun 1990-an lebih gencar
mendengungkan kritik seni dan
kritik seni. Peneliti tidak pernah selanjutnya kritik seni holistik di
menganggap bahwa setiap deskripsi Indonesia sebagai sebuah pendekatan
penelitian kualitatif. Beberapa usaha
bersifat definitif, seperti halnya
dalam penelitian kuantitatif. Tidak telahdipaparkannya sekaligus

ada kesimpulan yang bersifat diterapkandalampenelitian-


general. Sesuai dengan sifatnya yang
fenomenologis, bisa saja beda tafsir jika penelitiannya,dilingkungan
ada dua pengamat seni atau

Vol. VIII No. 1 / Januari –201


April 2007
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

akademiknya, maupun masyarakat Tulisan ini sedikit memaparkan


akademik pada umumnya. teori tentang kritik seni dan kritik seni
holistik, dan juga hubungannyadengan
Pendekatan kritik seni yang penelitian kualitatif. Paparan ini juga
dianggap sangat komprehensif
merupakan refleksi sebuah teori yaitu
dianggap para praktisi penelitian dan
kritik seni yang dimulai dari definisi,
akademisi cukup layak
baik dari bagian-bagian teori tersebut
dan hubungannya satu sama lain
diterapkan dalam penelitian kualitatif. termasuk dalam penelitian kualitatif.
Pendekatan ini juga

sekaligus menutup bebarapa


kekurangan yang sering dialami
beberapa pendekatan yang masih
dianggap berat sebelah dalam
17. Refleksi Teori Kritik Seni dan
Kritik Seni Holistik
memecahkan sebuah masalah
misalnya pendekatan historis, formalis, Banyak definisi yang
maupun pendekatan lain yang
dianggap kurang komprehensif untuk
berhubungandengan kritik seni
memecahkan suatu masalah
penelitian.
yang dikemukakan oleh para ahli.
Wikipedia (2006) mendifnisikan
Masalah ini juga sering penulis
secara umum bahwa “art criticism
jumpai pada penelitian-
is the written discussion or evaluation of
penelitian mahasiswa yang
visual art. Art criticism usually criticize
art in the context of aesthetics
mengupas suatu permasalahan
or the theory of beauty. Kritik seni
hanya permukaan saja yang juga
hanya dilihat dari satu sisi saja tanpa
merupakan diskusi tertulis atau

melihat sisi lain yang juga


evaluasi tentang seni visual. Kritik
mempengaruhi suatu karya, maupun
seni biasanya mengkritisi seni dalam
program, atauperistiwa.Namun
konteks keindahan atau teori tentang
demikian, dalam perkembangannya
keindahan. Menurut Wikipedia,
ide pendekatan kritik seni ini bukan
kritik seni ini sudah menjadi genre
tidak mendapat hambatan atau
tersendiri yang merujuk pada sebuah
pertentangan. Masih banyak praktisi
studi seni yang sistematik yang
penelitian maupun para akademisi
diciptakan
meragukan pendekatan ini, apalagi
jika diterapkan untuk semua bidang oleh para ahli. (www.en.
ilmu dalam penelitian kualitatif.
Pertaanyaan sederhana pernah wikipedia.org/wiki/art-criticism. up
disampaikan beberapa peneliti seni,
“Bagaimana jika yang diteliti atau
dated onDesember2, 2006)

pecipta karya, atau program sudah


Definisi yang lebih rinci juga
dikemukakan oleh Swarts (2001)
meninggal dunia?” Pertanyaan yang yang menjelaskan bahwa “art
selalu ditanyakan bagi peneliti selain criticism is the process of analyzing, and
seni adalah “Bagaimana mungkin interpreting works of art in terms of form,
sebuah pendekatan penelitian seni content, and context”. Kritik seni
yang memiliki karakter tersendiri bisa adalah sebuah proses menganalisa
diterapkan untuk penelitian pada dan menginterpretasi karya seni
umumnya?”. dalam hal bentuk (form), isi
(content), dan konteks (konteks).
Bentuk (form) dapat

202
Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

203
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

membuat sebuah dampak yang


cukup signifikan dalam penggunaan
didefinisikan sebagai elemen karya kritik seni dalam pendidikan seni
seni yang bebas dari maknanya
(misalnya warna, komposisi, atau
ukuran pada sebuah bendera).
Bentuk ini lepas dari emosi maupun
simbol yang melekat pada bendera
tersebut. Jadi, “form is how the works is
put together”.

Isi (content) merupakan


jawaban pertanyaan, “what is this

artwork about, including

iconography, straightforward imagery,

and describable facts or actions”.

Karya seni berbicara tentang apa?


Misalnya, bendera tadi ; merupakan
representatif dari nasionalisme,
kebebasan.

Konteks (context) sebuah karya


mengarah pada lingkungan di
sekitar seniman, karya seni, dan
penikmatnya (audience). Misalnya

sebuah bendera yang dicipta

selama perang dunia II; seniman

atau pencipta karya tadi berusaha


menciptakan suasana perasaan (mood)
negara pada saat itu. Pertanyaan
yang timbul sekarang adalah
bagaimana kritik seni dapat
menganalisa, mengevaluasi, dan
menginterpretasi seni dalam hal
bentuk, isi, dan konteksnya.

Pendekatan-pendekatan yang
mungkin berbeda menunjukkan
perlu adanya aturan dalam metode

kritik ini. Karena metode kritik

seni berkembang sebagai bagian

dari sebuah teori, maka

kebanyakan kritik jaman sekarang


nampaknya setuju bahwa

keragaman pendekatan sangat


diperlukan (www.zeroland.co.nz

/art_theory. up dated on December 3,


2006).
Stephen C, Pepper telah

204
thought, feeling, and imagination, so that (the
student) can all learn toward the work of art
sympathically and knowingly” (Stolnitz,
1960: 494)
Ia
dengan multi-teorinya. merujuk
(Kritik seni berhubungan dengan karya
pada proses kritik seni yang seni mengarah kepada dunia yang besar
dan menunjukkan relevansinya dengan
mengkonsolidasi fakta-fakta tentang
pengalaman kita sendiri. Dalam banyak
form, content, dan context hal kritik seni bersifat mendidik. Kritik
dalam sebuah objek seni seni mengajarkan, tetapi tidak secara
sebagai “the world hypothesis”
(Cromer, 1990:37). Ia juga
sederhana memberi dampak
pengetahuan. Secara langsung maupun
berfikir bahwa setiap aplikasi tidak langsung mengajak persepsi,
teori kritik seni dapat pikiran, perasaan, dan imajinasi, agar
menghasilkan supaya (para siswa) dapat belajar dan
lebih tahu tentang karya seni dengan
interpretasi unik dalam “the simpatik).
world hypothesis”. Pepper
mendisain empat teori, yang
dianggapnya sebagai “proses Teori kritik menyokong
kritik yang menyeluruh”
(holistic processes of criticism). keterbukaan, yang secara terus

Dalam bukunya “The menerus berproses sendiri, dan


Critisism of Art”, Stolnitz
menulis akhirnya memberi kontribusi pada
reformasi sosial (Swarts, 2006:1).
“[Art criticism] relates the work of Jelaslah bahwa jikakritik seni mengajak
art to the great world and shows its persepsi, pikiran, perasaan,
relevance to own experience. In
many ways, criticism is educative.
It teaches, but it doses not simply dan imajinasi, sementara kritik
impact knowledge. Directly or
indirectly, it instructs perception, tersebut menyokong sebuah

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

205
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

keterbukaan, dan dengan sendirinya Sudah diakui bahwa di dalam


terus menerus berproses, maka bisa hal dunia kritik seni terdapat beragam
ini bisa menjadi formula yang struktur yang sering saling
bertentangan. Menurut Osbone (dalam
baik untuk sebuah pengalaman Sutopo, 1995:8):
Para kritikus sering saling
belajar. Menurut Stolnitz (dalam
berbenturan tidak hanya
Swarts, 2006:2) jika pendidikan tidak
membicarakan reformasi sosial maka penggunaan metode yang
hal itu tidak bisa dikatakan pendidikan. dianggapnya sah tetapi juga berbeda
Pendidikan memerlukan perubahan mengenai peran yang harus
yang mensyaratkan peran pendidik dipenuhinya. Perbedaana itu itu
ynag tidak hanya mengisi anak didik kemudian memunculkan kritikus yang
dengan pikiran dengan informasi, cenderung berkelompok untuk
tetapi jauh dari itu harus menjaga aktivitas kritiknya supaya
tetap mencerminkan secara kuat
disiplin ilmunya.
mengisi pikiran mereka dengan

keteramplan bagaimana Kritik aliran sosiologis dan


psikologis yang selanjutnya pecah
mendapatkan, menganalisis,dan menjadi dua arah yaitu aktivitas
memprosesinformasi. Menurut psikologis senimannya dan aktiviats
psikologis penghayatnya, lebih
Stolnitz, masadepan sebuah menjelaskan adanya keragaman kritik
tersebut.
masyarakat tidak menjadikan
kemampuan masyarakatnya untuk Jika diperhatikan, perbedaan
memiliki pengalaman hidup yang kritik yang tampak jelas pada
strukturnya terutama disebabkan
pasif tetapi menjadikan kemampuan adanya pemihakan yang berlebihan
pada sumber nilai seni yang dianggap
mereka ke dalam pengalaman hidup
paling sah dalam mengevaluasi karya.
secara aktif. Jadi, kemampuan
Sumber nilai setiap karya seni pada
menangkap, berfikir, merasakan,
dasarnya berkaitan langsung dengan
membayangkan seperti dalam proses
tiga komponen utama, yaitu (1)
kritik yang terbuka diperlukan untuk
seniman,
semua profesi.

52. karya seni, dan (3) penghayat.


Menurut Stolnitz (dalam
Menurut Sutopo (1995 : 8), tidak ada
Sutopo, 1995:7) kritik seharusnya
kehidupan seni dalam masyarakat
berupa aktivitasevaluasi yang
memandang seni sebagai objek untuk
pengalaman estetik. Pengalaman itu mana pun yang salah satu komponen
dihasilkan lewat kajian teliti atas karya seni itu ditiadakan. Inilah yang
seni sejalan dengan pandangan Flaccus menjadikan proses tersebut tidak
(1981) yang merumuskan kritik cukup dengan sebutankritik seni saja
sebagai studi rinci dan apresiatif tetapi kritik seni holistik. Kritik seni
tentang karya seni. Dari pandangan ini, harus melibatkan tiga komponen itu
di satu sisi kritik merupakan dalam satu kesatuan yang saling
keyakinan dan semangat yang lebih berkaitan. Dalam mengevaluasi
besar dari logika seorang pecinta seni sebuah karya seni tidak bisa
yang berusaha mendukung karya, mengabaikan salah satu komponen
sedang di sisi lain ia merupakan sumber nilai tersebut jika
analisis cendekia dan teliti atas karya
seni disertai berbagai tafsir dengan
alasan-alasannya.

Vol. VIII No. 1 / Januari –206


April 2007
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

ingin mendapatkan pemahaman yang Kecenderungan pada historisme dapat


utuh. dilihat pada kritik seni yang
menggunakan asumsi realis dan
Pepper (dalam Swarts, 2006:2) ekspresionis (Osborne,1955) formistik
sebenarnya telah memberikan gagasan
tentang empat teorinya yang
(Pepper,1970), instrumentalis
(Feldman, 1981), dan simbolistrik
dipercayai sebagai proses kritik (Read, 1969). Kelompok Formalisme
menekankan nilai pada karya seni itu
holistik (holistic processes of criticism). sendiri, Sutopo menjebutnya sebagai
Menurut Pepper sistem dalam kritik faktor objektif. Kecenderungan kritik
seni adalah; (1) mechanistic criticism, ini menurut pandangan Barat
(2) formalistic criticism, (3) dianggap paling rasional. Kelompok
contextualistic criticism, dan (4) kritik seni ini bisa dilihat pada pada
organismic critcism. Mechanistic kritik seni denganasumsi
criticism berdasarkan pada estetik konfigurasional (Osborne, 1955)
kesenangan (pleasure aesthetics. kritik organisti (Pepper, 1970),
Formistic criticism berkaitan dengan strukturalisme dan formalisme (Bell,
intelektual, fisik, dan norma budaya 1958; Feldman, 1982; Fry, 1956).
yang menyangkut isi karya (content). Kelompok kritik emosionalisme
Contextualistic criticism, berarti para menekankan pada emosi yang timbul
para pelaku (contextualist) bekerja dari
seluruh karya ke bagian-bagian, agar
pada penghayatnya, Sutopo
supaya memahami secara lebih
menyebutnya sebagai faktor afektif.
baik. Organismic criticism Kelompok ini bisa dilihat pada kritik

memfokuskan pada hubungan yang menggunakan asumsi emosional


dan trasedental (Osborne, 1955) kritik
bagian-bagian sehingga menjadi mekanistik, dan kritik ekspresivisme
(Read, 1967).
seluruh karya yang menyatu. Menurut
Pepper, walaupun setiap teori Faktor genetik, faktor objektif,
dicurahkan ke aspek-aspek dan faktor afektif adalah tiga hal

yang menjadi pijakan dalam


yang berbeda dari apa yang pendekatan kritik seni holistik yang
disebutnya “what makes art Art”, setiap dikemukakan Sutopo. Seniman
bagian akan menjalinkan sebuah dianggap sebagai sumber informasi
pengungkapan bentuk (form), isi genetik komponen ini meliputi banyak
(content), dan konteks (context). hal seperti kepribadian senimannya,
kondisi psikologisnya,
Dalam sejarah kritik, terjadi
perbedaan pandangan mengenai seleranya, keterampilanya,
sumber nilai yang paling penting. kemampuan dan pengalamannya, latar
Dalam menyikapi pandangan atau belakang sosial budayanya, dan juga
teori-teori seperti di atas setelah berbagai peristiwa di sekitarnya yang
mengkaji hal tersebut, Sutopo (1988, bekaitan dengan proses penciptaannya
1989) membagi tiga aliran pokok yaitu karya seni.
(1) kelompok kritik genetik atau
historis, (2) kelompok kritik fomalistik Karya seni dipandang sebagai
atau kritik intrinsik, dan sumber informasi objektif atau faktor
intrinsik yang berupa kondisi objektif
34. kelompok kritik emosional. karya seni tersebut. Jadi faktor objektif
Pengikut historisme menekankan meliputi karya itu sendiri
pengkajian pada faktor seniman dan
latar belakang budayanya, yang
disebut nya sebagai faktor genetik.

207
Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

208
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

yang menurut pandangan Barat paling mendekatkan suatu permasalahan


rasional dan sebagai standar yang dengan kaca mata yang kita kenakan,
pantas karena mensyaratkan karya itu bukan jenis kaca mata yang lain.
sendiri, bukan dari luar karya yang
dipandang sebagai faktor ekstra Jika kita menggunakan pendekatan
estetik. kritik seni holistik, maka ketiga faktor
seperti faktor genetik, objektif dan
afektif menjadi batu pijakan atau
Penghayat sebagai sumber kerangka untuk mencari data,
informasi afektif yaitu informasi yang menganalis data sampai pada
berupa dampak emosional pada diri penarikan kesimpulan.
penghayat. Dampak ini timbul setelah
menghayati karya dengan beragam Jika pendekatan berisi penerapan
tafsir makna nilai akibat melakukan teori-teori maka teori-tori itulah yang
interaksi secara dialektis dengan karya
seni di dalam proses penghayatan. menjadi cermin dalam mengungkap

permasalahan. Pendekatan itu


misalnya pendekatan antropologis,
C. Kritik Seni Holistik sebagai pendekatan historis, pendekatan
Pendekatan Penelitian Kualitatif
sosiologis, pendekatan musikologis,
dan sebagainya.
Pendekatan dalam istilah
penelitian kadang disamakan dengan Beberapa teori kritik seni telah
disinggung di atas. Beberapa
paradigma, kerangka teori, perspektif,
atau kerangka pemikiran. Secara konsepnya dapat digunakan sebagai
sederhana, pendekatan bisa juga landasan mengapa kritik seni dapat
diartikan sudut pandang yang
diterapkan untuk pendekatan
bisa berisi model-model suati penelitian kualitatif.

kegiatan, konsep-konsep, maupun Pepper, misalnya,

mengemukakan teori yang disebut


metode-metode. Jika pendekatan sama
dengan paradigmam misalnya, “the world hypotesis”
mengkonsolidasi fakta-fakta tentang
maka munculah pengertian
pendekatan penelitian kualitatif, form, content, dan context dalam sebuah
pendekatan kuantitatif, karena objek seni. Fakta-fakta ini
menggunakan paradigma tersebut,
walaupun rancu dengan nama jenis sangat sejalan dengan prinsip
penelitian. Namun demikianlah yang
penelitian kualitatif yang bersifat

digunakan sebagian masyarakat kontekstual. Menurutnya aplikasi

penelitian. Jika pendekatan teori kritik seni dapat menghasilkan

disamakan dengan sebuah model, interpretasi unik dalam hipotesis

sudut pandang maka pendekatan tersebutd hypothesis”, sehingga ia

kritik seni inilah contohnya, karena mendisain empat teori, yang


pendekatan ini menggunakan model,
dianggapnya sebagai “holistic
sudut pandang, sebagai batu pijakan
untuk melaksanakan penelitian. processes of criticism.”
Pendekatan di sini penulis ibaratkan
Swarts, walaupun menerapkan
sebagai kaca mata yang akan merubah
cara pandang, yang berisi kritik seni dalam pendidikan, namun
konsep-konsep, model-model untuk sifat proses kritik ini sangat cocok

diterapkan pada penelitian kualitatif.


209
Penggunaan persepsi, pikiran, menimbulka sifat terbuka, berfikir
perasaan, dan imajinasi, sehingga kritik yang merupakan bagian dari

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

210
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

tersebut, kemudian memberikan

interpretasinya. Peneliti bebas


interpretasi subuah karya atau

peristiwa, merupakan bagian

karakter dalam penelitian kualitatif.


Tafsir hermeneutik yang juga sangat
kuat mewarnai aktivitas penelitian
kualitatif, adalah perspektif yang
mengarah pada interpretasi ekspresi
yang penuh dengan makna dan

dilakukan dengan sengaja oleh

manusia. Menurut Smith (1984)


melakukan interpretasi atas

interpretasi yang dilakukan oleh


pribadi atau kelompok terhadap

situasi mereka sendiri, adalah tugas


penting peneliti kualitatif. Setiap
peristiwa atau karya selalu memiliki
makna sebagai hasil interpretasi atas

sesuatu tersebut, selanjutnya


menghadapi pengamatnya dan
ditangkap dengan interpretasi pula.
Mengikuti pernyataan Gadamer
(dalam Sutopo, 1995:5), mengenai
karya seni bahwa setiap karya akan
selalu diciptakan kembali oleh
penghayatnya, dan mendapatkan
makna baru sebagai ciptaan
penghayatnya pula. Demikian pula
dengan penelitian kualitatif, seorang
peneliti hanyadapat menyajian
interpretasi atas interpretasi orang lain
(subjek yang diteliti) yang juga
didasarkan pada nilai, minat, dan

tujuannya sendiri (Smith &

Heshusius, 1986). Dalam perpektif


hermeneutik pula atas fenomena
kesenian, sudah lama para
antropologis menganggap kesenian
tertentu sebagai teks, sesuatu
yang

harus dibaca dan ditafsirkan.


perspektif
Dalam ini seorang

peneliti harus dapat menafsirkan


suatu peristiwa pertunjukan, atau
karya, dengan lebih dahulu

memperhatikan pandangan seniman


dan masyarakat penghasil seni
211
hermeneutik, maka setiap

menafsirkan berdasarkan persepsi, kesimpulan akhir selalu dalam

pandangan, data-data yang sifatnya yang terbuka untuk bisa


mendukungnya. Seniman diperbaharui berdasarkan fenomena
dengan latar belakang dan baru yang ditemukan kemudian, atau
pandangannya dalam kritik diganti dengan tafsir baru. Dengan
seni holistik termasuk faktor demikian kritik seni memiliki sifat
genetik, sementara lentur dan terbuka dan selalu bersifat
masyarakat seninya termasuk
pengamat dan masuk faktor kontekstual sesuai dengan
afektif. karaktersistik penelitian kualitatif.
Menurut Sutopo (1995:18), dalam
Dalam perpektif sajian kritikmaka yang tampak adalah
fenomenologi yang tahap penampilan kritik yaitu secara
merupakan sentral di dalam berurutan disajikan(1) deskripsi latar
metodologi penelitian belakang, (2) analisis formal, (2)
kualitatif, mendorong para interpretasi, dan (4) simpulan atau
peneliti dalam merumuskan sintesis.
masalah yang dikaji di dalam
Penerapan pendekatan ini bisa
aktivitasnya, dan bagaimana untuk penelitian selain seni atau
melakukannya di dalam penelitian yang biasanya bersifat
situasi penelitian, sangat
tergantung pada perspektif evaluatif, misalnya penelitian
teoritis yang digunakan
(Bodan & Taylor, 1975). program, peristiwa, bahkan penelitian
Karena struktur kritik seni ini lain baik penelitian dasar maupun
dilandasi oleh penelitian terapan.

perspektif fenomenologis dan Penggunaanstruktur kritik


tafsir holistik dalam penelitian pada

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

212
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

umumnya dalam aktivitas penelitian, yang diwarnai pola pikir


karya seni bisa digantikan dengan fenomenologis dengan menggunakan
sasaran penelitian, atau dalam bentuk-bentuk trianggulasi. Di
penelitian programmerupakan samping itu, informant review juga bisa
program yang dievaluasi. Dengan digunakan sebagai usaha
demikian, karya, peristiwa, program, pengembangan validitas penelitian.
lembaga, atau prilaku, merupakan
faktor objektifnya. Ini berarti sasaran Model analisis data yang
kajian diarahkan pada faktor genetik disajikan oleh Miles dan Huberman
dan faktor afektif (dampaknya atau (1984) semua bisa digunakan baik
hasil/capaian dalam program). model analisis jalinan (flow model of

Dalam penggunaan analysis) maupun model analisis


pendekatan holistik penuh, misalnya
etnografi, di mana fokus penelitian interaktif. Namun demikian, analisis
ditemukan dan ditentukan di
interaktif lebih disarankan,yang

lapangan, maupun penelitian prosesnya dilakukan bersamaan


terpancang yang fokus dan dengan proses pengumpulan data.
variabelnya sudah ditentukan dalam
Yang sedikit berbeda adalah
rancangan sebuah penelitian, urutan sajian
pendekan kritik ini bisa diterapkan. dalam pelaporannya.

Demikian pula dengan Urutan sajian memperhatikan


penggunaaanya pada studi kasus susunan yang sesuai dengan
tunggal maupun ganda, baik pada
tingkat eksploratif, deskriptif, penampilan kritik holistik yang
terbagi menjadi (1) deskripsi latar
maupun eksplanatif yang belakang, (2)konsisi objektif yang
merumuskan hubungan kausal antar diteliti, (3) interpretasi, dan (4)
variabelnya. Simpulan. Yang perlu dicatat adalah
pendekatan kritik seni harus tetap
Dalam pengumpulan datanya mengikuti pola penelitian kualitatif
baik untuk faktor genetik, objektif, yang bersiffat siklus, untuk tetap
maupun afektif, sama dengan
penelitian kualitatif, yang berarti menjaga kelenturan dan
teknik pengumpulan datanya pun
tidak berbeda. keterbukaan.

Seperti halnya sifat penelitian


kualitatif, teknik sampling yang 25. Penutup
digunakan yaitu purposive sampling,
atau bisa disebut criterion based Ketajaman analisis kritik sangat
sampling (Goetz & LeCompte, 1984).
Sampling tidak mewakili populasi membantu kedalaman analisis dalam
seperti pada penelitian kuantitatif
tetapi mewakili informasi, karena
penelitian kualitatif yang
menggunakan pendekatan kritik seni
tidak ada generalisisasi, holistik. Hal ini disebabkan adanya
kecenderungannya pada generalisasi penyatuan metodologi yang ada dalam
teoritik (Sutopo, 1995:19). kritik seni yang menurut Swarts dapat
meningkatkan cara berpikir kritis,
Pengembangan validitas terbuka, karena adanya banyak diskusi,
dalam penelitian kualitatif bisa dan karakter dalam penelitian
memanfaatkan cara-cara kualitatif kualitatif yang juga bersifat terbuka,
lentur, tekstual, dan

sebagianya yang akan menjawab


permasalahan penelitian.

213
Setelah membaca uraian keraguan yang masih
singkat ini diharapkan

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

214
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

Research inform Educational

Practice ?” Monreat Canada


ada dari disiplin ilmu selalin seni, atau
mungkin dari peneliti seni sendiri, 22. Unpabliser Paper.
dapat dihilangkan. Keraguan
Gadamer,H.G.1976.Philosopycal Hermeneuitics.
faktor genetik misalnya, yang
Linge Berkely

meragukan bagaimana jika


senimannya sudah meninggal, juga
bisa dijawab, bahwa catatan
senimannya tentang pandangannya,

persepsinya, karyanya, dan sebagainya


dapat digali dengan dokumen yang
menyangkut seniman itu baik yang
ditulis oleh orang lain, atau bahkan
informasi dari orang lain termasuk
keluarganya.

Akhirnya pengembangan
metodologi dengan kritik seni holistik
ini minimal dapat memperkaya
khasanahpenelitian kualitatif
terutama dalam bidang

ilmu humaniora. Juga, dalam


penelitian-penelitian (skripsi) yang
dilakukan mahasiswa, tulisan ini bisa
menjadi alternatif pendekatan yang
bisa digunakan. Pengalaman penulis

Daftar Pustaka

Cromer, J. (1990). History, theory, and


Practice of art criticism in art

education. Reston,
VA:National Art Education
Association.

Flaccus, L.W.1981.The spirit and


Substance of Art

(3rd.edition).New York:
F.S.

Crofts and Co.

Danto, Arthur C. 1983. “Art,

Phiosophy, and the

Philosophy of Art.”

Humanities, Vol IV, No 1.

1983.

Eisner, E.W.1983. “Can Educational


215
dalam mengarahkan beberapa

mahasiswa yang diberi tawaran


15. Universiyu Of
Calivornia Press.
menggunakan pendekatan
kritik seni holistik, ternyata Goetz, J.P & LeCompte, M.D. 1984.
selesai lebih cepat
Ethnography and Qualitative
dalam penyusunan dibandingkan
Design in Educational
lainnya. Yang lebih penting adalah

mereka lebih terfokus dalam Research. New York :

menentukan sasaran penelitian, Adkademic Press, Inc.


pengambilan datanya, maupun cara
Licoln, Y.S. & Guba, E.G..1985.
melaporkannya. Mahasiswa pada
Naturalistic Inquiry. Beverly
umumnya cenderung tidak fokus Hills:Sage Publications.

sehingga analisisnya juga


Miles, M.B.& Huberman, A.M. 1984.
mengambang sehingga kesannya Qualitative Data Analysis: a

tidak tuntas, hanya permukaannya Sourchbook of New

yang ditampilkan dalam


Methods. Beverly Hills:Sage
pelaporannya. Sekali lagi mungkin Publications.

pendekatan ini menjadi tawaran Pepper, S.C.1970. The Basic of Art


Criticism.Cambridge:Havaa
yang perlu didiskusikan. rd University Press.

Read, H. 1967. Art and Alienation : The


Role of The Artist in Society.
New York : Horizon Press.

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

216
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

Rina Murwani P. 2003. “Analisis

Lagu Seriosa Pantai Sepi

Karya Liberty Manik”

(Sebuah Pendekatan Kritik

Seni Holistik). Skripsi tidak

dipublikasikan. Jurusan

Sendratasik. UNNES.

Steinkraus, W. 1983. Philosophy of Art.

New York: University Press

of America.

Stolnitz.J.1960. Aestetics and


Philosophy of Art Criticism: A

Critical Introduction.

Bostom:The Riverside Press.

Sutopo, Heribertus. 1988. “Kritik Seni

Holistik” Makalah dalam

seminar sehari menyambut

bulan bahasa di Universitas

Sebelas Maret, Surakarta.

41. 2002. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

. 1989. “A Holistic Model of Art Criticism


for Appreciating the Traditional Art”.
Makalah

dalam First ASEAN Symposium on


Aestetics di Kuala Lumpur Malaysia.

. 1995. “Kritik Seni Holistik sebagai


Model Pendeatan

Penelitian Kualitatif.” Makalah


disampaikan pada Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Budaya. UNS

Tanggal 3 Mei 1995.


217
Swarts, Heather. 2001. Reflection on Art

Criticism theory in Education.

www.zeroland.co.nz/art_th
eory.html. up dated on
December 3, 2006).

Wikipedia Encyclopedia, 2006.

(www.en. Wikipedia

.org/wiki/art-criticism.html.

up dated on Desember 2,

2006).

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

218
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

Lampiran 1 :

Contoh Model Penelitian dengan Pendekatan Kritik Seni Holistik Judul


“Kajian Sematik dan Musikal dalam Penerjemahan Lagu” oleh Suharto

( Modifikasi dari Sutopo, 1995:16)

INPUT

Lagu Asli Lagu Terjemahan

(Source language) (Target language)

PENDEKATAN KRITIK

SENI HOLISTIK

Informasi latar Informasi objectif Informasi hasil –

belakang dan lagu (musik dan dampak persepsi

proses bahasa)

Analisis
Analisis
kontrastif
komposisi
(bahasa)
(musik)

Deskripsi latar Interpretasi -


Deskripsi analisis
belakang pembahasan
formal

219
Simpulan

(Output)

Vol. VIII No. 1 / Januari – April 2007

220
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI

Lampiran 2 :

Contoh Model Penelitian dengan Pendekatan Kritik Seni Holistik

(Modifikasi dari Sutopo, 1995:16)

“Analisis Lagu Seriosa Pantai Sepi Karya Liberty Manik”

oleh Rina Murwani Prihartini, 2003

L. Mank

Simpulan

deskripsi

latar L . deskripsi deskripsi

Manik isi,strutur tanggapan

bentuk lagu penghayat &

informasi

informasi informasi , hasil,

latar isi, bentuk dampak

belakang L. dan struktur penghayat

Manik lagu

latar lagu penghayat

belakang “Pantai

kehidupan Sepi”

221
Analisis laporan :

historisme
sajian : latar

belakang kondisi
Formalisme
formal interprestasi holistisis emosionalisme

diskusi

kesimpulan &

rekomendasi

Jenis data –

informasi

bahaan analisis

hasil:

wawancara

obsevasi

content

analysis

memilih

sumber jenis

data: informan

tempat/peris-

tiwa-benda

dokumen

kerangka kerja

konseptual

222
J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 22, No.1, Maret 2015:
129-134

SPECIFIC ALLOCATION FUND FOR ENERGY EFFICIENCY TO


INCREASE QUALITY OF THE ENVIRONMENT IN INDONESIA (Mekanisme
Dana Alokasi Khusus Efisiensi Energi dalam Mendukung Perbaikan Lingkungan
di Indonesia)

Joko Tri Haryanto*

Centre for Climate Change Financing and Multilateral Policy,


Fiscal Policy Office-Ministry of Finance of Indonesia, Jl. Dr Wahidin Raya No 1, Jakarta
Pusat.

*
Korespondensi. No Tel: 628176069905. Fax : 622134831677. Email:
djohar78@gmail.com.

Diterima: 6 Mei 2014 Disetujui: 16 Februari


2015

Abstract

Related to the climate change and economic development of environmentally friendly (green
economy) issues, the President has committed to reducing emissions of greenhouse gases (GHG) by 26%
on their own sources (BAU), and up to 41% with international support in 2020 through Presidential
Decree No. 61 in 2011 about the National Action Plan for Greenhouse Gas Emission Reduction
(RAN-GRK) . In addition to regulating the sectors that are considered to be the largest contributor to
GHG emissions, the regulation also establishes funding sources RAN-GRK either through the APBN,
APBD, as well as a variety of other sources constituted under the legislation. The main research question
are; Is specific allocation fund (DAK) can be used to fund energy efficiency?; if so, what procedure
should be done? and how monitoring and evaluating of the energy efficiency of the use of DAK ? To
answer those questions, researcher using qualitative library research, cross sectional collection of data for
intensive analysis, interviews to some leading experts in the field and a number of Focused Group
Discussions were also conducted to construct the policy analysis. Based on the analysis of the mechanism
of transfer to the regions in Indonesia, it is possible to enlarge of DAK field for energy efficiency by
asking Line Minister to proposed mechanism and send to the Ministry of Finance. This can be addressed
to support the achievement of environmental friendly activities and reduce the burden of state budget
subsidies. Some of things that must be done is to propose the allocation of DAK EE into government
programs and to develop a variety of specificized and technical indicators related.

Keywords: energy conservation, energy efficiency, energy subsidy, green house gas emission, specific allocation
fund.

Abstrak

Terkait dengan komitmen dalam mengatasi dampak perubahan iklim serta isu pengembangan
ekonomi rendah karbon, Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun
223Emisi Gas Rumah Kaca Nasional (RAN-GRK) tahun
2011 tentang rencana Aksi Nasional Penurunan
2020 sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan pendanaan asing. Dalam Perpres
tersebut telah diatur sektor-sektor apa saja yang dianggap menjadi sumber emiten terbesar termasuk
sektor energi, sekaligus adanya kewajiban pendanaan APBN/APBD dalam mengatasinya. Di sisi lain,
kegiatan efisiensi energi tercatat sebagai salah satu aksi penurunan emisi GRK yang cukup signifikan
dalam sektor energi baik untuk bangunan maupun mesin. Sayangnya kegiatan tersebut membutuhkan
investasi yang cukup besar. Akibatnya kegiatan efisiensi energy menjadi tidak menarik. Di sinilah peran
pendanaan APBN/ APBD menjadi sangat krusial. Terkait dengan pengaturan pengalokasian pendanaan
APBN/APBD inilah peran Kemenkeu menjadi sangat vital, khususnya dalam mekanisme pengalokasian
Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menjadi kewenangannya. Dari hasil analisis, mekanisme alokasi DAK
ternyata memungkinkan untuk ditujukan bagi pendanaan kegiatan efisiensi energi. Namun demikian,
mekanisme yang harus dijalankan lebih difokuskan kepada inisiatif Kementerian/Lembaga (K/L) yang
berwenang dalam pengusulan alokasi DAK tersebut.

Kata kunci: dana alokasi khusus, energi efisiensi, emisi gas rumah kaca, konservasi energi, subsidi energi.

224
INTRODUCTION

Energy continues to be one of the crucial issues faced by each country. Appropriate policies
in the energy sector will have a positive impact to economic stability. Conversely, improper
policy will cause trapping of a country in a state of high economic costs as a result of
inefficiencies in the economy of the country round. The population of Indonesia is increasing
from year to year due to increased economic growth and a variety of economic activities
undertaken by the community will always be followed by the need for significant energy resource.
According to the World Bank, Indonesia's economic growth increased from 5.7% in 2005 to
5.9% in 2010, and is projected to reach 6.6% by the end of 2012 (Anonymous, 2012 in Setyawan,
2013) and Indonesia's interest to manage and use energy effectively and efficiently as possible.

The burden of energy subsidies from year to year, is a logical consequence of rising incomes
and purchasing power and increased economic activity. The high energy subsidy has hindered
efforts to encourage the development of different types of alternative energy and renewable
energy, because a very large energy subsidies have distorted the market and provide a major
obstacle for clean energy investment.

Subsidies for energy become very onerous burden Budget of the state (the state budget). As
the fiscal authorities, the Ministry of Finance should strive to nourish from the state budget
expenditure on subsidy burden by encouraging energy efficiency initiatives. In this context, the
Ministry of Finance has provided various forms of incentives to influence economic actors in
order to implement energy savings programs on an ongoing basis eg tax facilities and facilities
duty for components / parts and raw materials used to produce energy-efficient appliances.

But until now, these incentives have not been able to fully affect the efficient use of energy
investment. The perpetrators are still in need of support investment in other forms of support such
as low-interest financing. Support is in line with the mandate of Law No. 30 of 2007 on Energy,
which is then further regulated by Government Regulation No. 70 of 2009 on Energy
Conservation which Article 20 stated that one of the forms of government incentives that can be
given is the facility of low interest rates to fund investment energy conservation (Setyawan,
2013).

If we learnt from Thailand's Energy Efficiency Revolving Fund Model (TEERF), this
funding get revenue from the excess of levies on fuel at 0.04 THB (USD 0.001) per litre. From
the total revenue over the levies, this funding revolve to be the source of funds for supporting the
energy efficiency programs and renewable energy and became the forerunner of the
establishment of a revolving fund energy efficiency programs. In this program, the maximum
loan amount is restricted up to THB 50 million (USD 1.25 million) per project (Grüning et al,
2012).

In order to distribute the funds, the Government of Thailand is involving 11 commercial banks.
This funding scheme is provided by the government (DEDE) to the commercial banks through 5
phases. For the phase 1 (period 2003-2006), as a part of the government energy efficiency programs,
the government gave a free interest rate financing. Then, the next phases (period 2006-2013), the
government charging interest rate to banks with 0.5%.

The bank then lends it to the projects with interest not more than 4% per year in order to fund
energy efficiency projects and renewable energy projects (at that time the Thailand market
interest rates is ranging from 6-7%). These financing schemes can generate additional revenues
in average up to USD 50 million per year. As of June 2011, the Energy Conservation Fund has
raised more than USD 500 million (Sutabur, 2012).

Related to climate change and economic development of environmentally friendly (green


economy) issues, the President has committed to reducing emissions of greenhouse gases (GHG)
by 26% on their own sources (BAU), and up to 41% with international support in 2020, through
Presidential Decree Number 61 in 2011, about the National Action Plan for Greenhouse Gas
Emission Reduction (RAN-GRK). Based on this regulation, government has consider 6th sectors
as the sources of pollution are industry, energy, forestry and peat land, waste also transportation.
In addition to regulating the sectors that are considered to be the largest contributor to GHG

225
emissions, the regulation also establishes funding sources RAN-GRK either through the APBN,
APBD, as well as a variety of other sources constituted under the legislation.

As the fiscal authorities, the Ministry of Finance have to make efforts in order to nourish the
APBN. One of the initiatives that need to be supported is an effort to reduce their energy use. In
this context, the Ministry of Finance has provided various forms of incentives to affect various
economic actors in order to implement energy savings programs are self-sustaining facilities such
as tax incentives and import duties for components and raw materials used to produce
energy-efficient appliances.

However, these incentives have not been fully influence behavior change in the community
and business energy use. Responding to this issue, the expansion is still needed fiscal support in
the form of another. One form of fiscal support that is expected by the market participants in
order to encourage investment in capital equipment, which is also a best practice in many
countries, is funding the scheme through the Specific Allocation Fund (DAK) Energy Efficiency
in the mechanism of Transfer to Regions.

In general, DAK has advantages compared to other Regional Transfer component either
DAU or DBH, especificly if associated with budget allocation specification purposes. Some
DAK scheme was already allocated to the sector GHG emission reductions already have DAK
funding, such as forestry, agriculture, and environmental sectors. In terms of funding through
DAK characteristics, which are focused on the physical activity, as well as the general focus of
activity is the activity performed and the affairs of the district and city governments, the context
of the funding through the complementary function of DAK funding through Grants.

Within this framework, mechanisms DAK-Energy Efficiency (DAK-EE) is expected not


only to encourage investment in projects that are energy efficient, but also can have a positive
impact on the reduction of energy subsidies through the efficient use of energy and reduction of
greenhouse gas emissions in Indonesia. DAK-EE is expected to occur in energy efficiency
projects aimed to reduce electricity subsidies, encourage the use of energy-efficient technologies,
stimulate the involvement of the financial sector (banking / financial institutions) to support the
development of energy conservation and assist efforts to achieve national GHG emission
reduction target by 2020.

Energy conservation activities are expected to contribute to the reduction of GHG emissions
by 22:29 million tCO2 by 2020. DAK-EE policy proposal is in line with the program that is being
developed by the Ministry of Energy and Mineral Resources. In this regard, the Ministry of
Energy in order to improve the implementation of energy conservation in the industrial and
building sectors have implemented Partnership Program that provides services and capacity
building energy audits free of charge to companies committed to implementing energy audit
recommendations.

From a more national perspective, improving energy efficiency may also improve the security of
energy supply, lead to employment or productivity gains (including competitive advantages for
industry) and alleviate energy poverty. At the more regional level, higher energy efficiency leads to
health benefits from lower emissions of local pollutants (e.g. nitrogen oxides and sulfur). Finally, at
the company level, improving energy efficiency reduces energy costs and may improve profitability
and competitiveness. However, maximizing energy efficiency does not always correspond to
maximizing economic efficiency, since the latter implies the optimal use of all resources - not just
energy inputs (Sutherland, 1994).

With this explanation, the main research questions on this paper are; Is the specific
allocation fund (DAK) can be used to fund energy efficiency?. If yes it does, what procedure
should be done and also how to monitoring and evaluating this mechanism. This paper will focuses
on the mechanism of DAK for financing energy efficiency and how to build monitoring and
evaluation to ensure DAK more efficient and efective.

In general, the concept of energy efficiency is defined as the ratio of energy needs devided
by input energy. One of the concept that support energy efficiency is called Trias Energetica
Concept. This simple and logical concept can be applied as an effort to achieve energy savings as
well as to reduce the reliance on fossil fuel in the context of saving the environment.

There are three fundamental elements of trias energetica concepts i.e. reduce energy demand
as much as possible by implementing energy saving measures, utilize renewable energy sources,
226
and use fossil energy as efficiently as possible and only if sustainable sources are inadequate.
There were many studies had been discussed about the concepts of energy efficiency. According
to Lovin (1976) the concept of energy efficiency can be defined as the economical usage of
energy in order to increase the economic output. In the study, Lovin explaining a large number of
energy alternatives, renewable, and more environmentally energy compare to fossil fuel.

Soon after its publication, various ideas about energy efficiency began having a significant
effect on public policy concept (Golove and Eto, 1996). According to Hinge et al (2004), energy
efficiency is defined as how much energy services should be prepared per unit of energy input.
Related to economic problems, the economics of energy efficiency is about the question of
balancing the costs and benefits. In addition to that, Golove and Eto (1996) mentioned that
energy efficiency defined as providing equivalent energy service at lower total cost. There are
some debates on energy efficiency due to consumer decisions over energy use.

According to Sanstad and Howarth (1994) the behaviour of energy consumers in deciding
energy use is depending on maximization preference. Hinge et al (2004) observed that personal
energy user have some considerations i.e. a greater initial cost in buying energy-efficient
products over expectation of future cost saving benefit. Other findings from Robinson (1991) the
costs and benefits of energy efficiency labelling does not ameliorate decision making of energy
user.

Moreover, Stern (1986) observed that individuals tend to overvalue the amounts of energy used
and technology saved. Another study, Kirsch (1993) discovered that people who do not understand
numerical calculations seems difficult to arrive at a right energy-related decisions. Another debates
on energy efficiency is regarding the market barriers. Blumstein et al. (1980) observed that
energy conservation actions probably hampered by social and institutional barriers, even though
there are economically logical responses to the energy crises.

According to Golove and Eto (1996) there are at least seven market barriers were identified:
misplaced incentives, lack of access to financing, flaws in market structure, mis- pricing imposed
by regulation, decision influenced by custom, lack of information or misinformation, and gold
plating and Inseparability of Features. Therefore, decision makers need a mix of sound analysis
and pragmatism to establish a good energy efficiency policy.

Empirically, the thrust of engineering-economic type analyses suggests that there is a large
potential for energy efficiency measures that appear profitable under actual economic and
institutional conditions, that is, even if energy prices factors are not at their socially optimal
levels (e.g. IPCC 2007). Because of barriers to energy efficiency these seemingly profitable
measures are not being adopted.

Barriers at the macro level involve price distortions or institutional failures. In comparison,
the literature on barriers at the micro level tries to explain why organizations fail to invest in
energy efficiency even though it appears to be profitable under current economic conditions
determined at the macro level - a phenomenon that is also known as the "energy efficiency gap"
or the "energy efficiency paradox" (Jaffe and Stavins, 1994).

Except the energy efficiency concepts from various researches and studies, the Government
of Indonesia has its own definition in regards of energy efficiency concept. According to
Government Regulation No. 70 Year 2009 regarding Energy Conservation, the definition of
Energy Conservation is systematic efforts, well-planned and integrated in order to conserve
domestic energy resources as well as to enhance the efficiency utilization. Efficiency constitutes
one of the implementation step in achieving energy conservation. Energy efficiency generally
defined as energy savings.

There are four types of intergovernmental transfer introduced in the law 32/2004 and
33/2004: natural resources revenue sharing, tax sharing, general allocation fund, and specific
allocation fund. Among these four types, the general allocation fund may be the most significant
for almost all local governments in Indonesia, while the natural resources revenue sharing only
matters for few provinces or districts.
Specific allocation fund could be classified as a conditional grant in which local
governments will receive the grant if the central government asks them to do certain tasks. Those
certain tasks are mostly the central government’s interests or in other words, the central

227
government can use the specific allocation fund to direct the regional development in order to
fulfill their macro target.

According to the government regulation, this fund can be utilized to improve inter-districts
roads, to help the local governments to reach minimum standard of basic services (basic
education, water distribution, and health services), to support irrigation system and
transmigration program, to overcome environmental problems, and to give specific assistance to
very poor areas.

In the government regulation, it is stated that the amount of specific allocation fund depends
on the existing fiscal condition. The slow recovery of national economic condition forced the
central government to make a conservative budget that focuses more on necessary items such as
general allocation fund and neglects, at least temporarily, the specific allocation fund. For the
every fiscal year, the specific allocation fund can only be utilized to protect the environment
through the reforestation fund that used to be a non-budgetary fund but now becomes a part of the
specific allocation fund (Suminto, 2003).

EXPERIMENTAL METHOD

This paper have an aims to finding mechanism to accelerating energy efficiency through
DAK. The type of data that used in this study, mostly on the secondary data obtained from several
institutions such as the Ministry of Finance, Directorate General Fiscal Balance and other
stakeholders. This research using descriptive analysis by using some technical interpretation of
the criteria required in the preparation of DAK process. Library research, cross sectional
collection of data for intensive analysis, interviews to some leading experts in the field and a
number of Focused Group Discussions were also conducted to construct the policy analysis.
Collections of information are compared and developed in order to create a new mechanism to
build mechanism of Specific Allocation Fund for Energy Efficiency (DAK-EE).

RESULTS AND DISCUSSION

DAK allocated to help fund the program in the region / activities under the authority of local and
national priorities. DAK is a regional destination that can provide infrastructure facilities and
infrastructure are adequate public services in accordance with Minimum Service Standards each
field. DAK allocated based on three criteria, namely: Common Criteria, Specific Criteria and
Technical Criteria. General criteria calculated to see the ability to finance budget needs in the
context of regional development reflected from the general revenue budget reduced personnel
expenses. In formula form, the General criteria can be shown in equations (1) and (2).

Fiscal Capacity = General Revenue (APBD) –


Apparatus Expenses (1)
General Revenue (APBD) = Local Own Revenue +
General Allocation Fund + Revenue Sharin (2)
Act 33 of 2004 on Fiscal Balance Between Central Government and Local Government
Article 40 Paragraph 3 explains that "specific criteria established by observing the rules
legislation and regional characteristics", and added through Government Regulation No. 55 Year
2005 on Fund Balance Article 56 Paragraph 2. "Specific criteria formulated through regional
index by the Minister of Finance to consider input from the Minister of Bappenas and Line
Ministry.

Specific criteria are used in the calculation DAK allocation of attention: Regulation
Legislation a specific area; entire district / city in the province of Papua, West Papua province,
and Regional backward / remote, and characteristics areas that include coastal areas and / or
small islands, regions borders with other countries, disaster-prone areas, entry areas persistence
in the category of food, and tourism regions. Provision data on the specificity of the Minister of
Finance to coordinate regional with related institutions.

228
Technical criteria are criteria that reflect the condition of facilities and infrastructure of each
field. Areas of facilities and conditions poor infrastructure will be prioritized to get DAK. The
criteria set by the relevant technical ministries. In DAK allocation calculations, the amount of
technical criteria formulated as index technical fiscal (IFT). DAK allocated to each Regions
based on the calculation of the General criteria, Specific criteria, Technical criteria and areas
particular attention to the need of specific treatment.

Based on the regulation, there are a number of procedures to be performed in the DAK allocation
to each region. These steps are systematically is as follows: first determine whether the area meets the
general criteria, namely the area has fiscal capacity below the national average fiscal capacity: If it
meets the general criteria indicated with Netto Fiscal Index (NFI), then the area is worthy of the DAK
allocation and If it does not meet, then see the first specific criteria, namely whether the area is an
area that is included in the specific autonomy arrangements and including disadvantaged areas. If
included then automatically the area deserve DAK allocation.

If the area is not included in the specific criteria in point two, then refer back to the second
specific criteria, namely territorial characteristics indicated by the Territorial Characteristics
Index (IKW). After that, we should combine IKW to produce IFN and Regional Fiscal Index
(IFW), if the area has IFW is greater than one, then the area is automatically deserving of DAK
allocation.

As a conclusion, from the above bullet points, areas which deserve the DAK allocation is:
areas that have a fiscal capacity below the national average, areas that include specific autonomy
and disadvantaged areas and also IFW areas having greater than one.

From all areas worthy of DAK allocation, determined weight of a region (BD) by
multiplying the value of the IFW Construction Cost Index (CCI). Worthy of all the regions are
also determined index value Technical (IT) from each field, and then calculated weights
Technical (BT) by multiplying IT with CCI. DAK allocation amount for each field specified by
Weight of DAK is an amalgamation of BD and BT.

In 2006, DAK allocated only for nine sectors; education, health, roads, irrigation, drinking
water, infrastructure, government, marine and fisheries, agriculture and the environment.
Subsequently, in the year 2008 increased two areas, namely the field of family planning (FP) and
forestry. For 2009 increased two areas also are trade and rural areas of infrastructure, so into
thirteen fields. With the drinking water separation and DAK DAK sanitation in the previous year
standing in a field, then DAK field in 2010 to fourteen fields. DAK field in in 2011 increased to
nineteen fields. As for the additional 5 new fields that rural electric field, housing and settlements,
land transport safety, transport rural infrastructure and border areas.

In the planning and allocation mechanism for DAK, consist of several activities such are setting
of program and activities, DAK simulation, determination of the allocation and the use of Specific
Allocation Fund and budgeting of Specific Allocation Fund. For the activity 1, we should stated DAK
allocated in the state budget according to national priority programs contained in the budget RKP
concerned. Line Ministry proposes specific activities that will be funded from the DAK and
determined after coordination with the Minister of Home Affairs, Ministry of Finance, and Minister of
State for National Development Planning, in accordance with the RKP.

For the 2nd step, DAK calculation is done through two phases; determination of the
specific areas that receive DAK and also determination of the amount of DAK allocation of each
area. Determination of Specific Areas must meet the general criteria, specific criteria and
technical criteria. DAK allocation amount of each region is determined by calculating an index
based on the general criteria, specific criteria and technical criteria.

For the rest activities, we can describes that DAK allocation per area defined by the
Regulation of the Minister of Finance issued shortly after the State Budget Law. Based on the
determination of DAK allocation, Line Ministry prepare Technical Guidelines for Use of DAK,
no later than 2 weeks after the PMK set. Areas receiving it shall state the allocation and use of
DAK in the budget. DAK can be done in accordance with the Technical Instructions DAK.
DAK can not be used to fund the administration of the activities, preparation of physical
activities, research, training, and business travel DAK allocation amount of each region is
determined by calculating an index based on the general criteria, specific criteria and technical
criteria.

229
CONCLUSION

Based on the analysis of the mechanism of transfer to the regions in Indonesia, to answer the
first research question, it is possible to enlarge of DAK field for energy efficiency by asking Line
Minister to proposed mechanism and send to the Ministry of Finance. To answer the second research
question, developing DAK for energy efficiency can be addressed to support the achievement of
environmentally friendly activities and reduce the burden of state budget subsidies. Some of things
that must be done is to propose the allocation of DAK EE into government programs and to develop
a variety of specificized and technical indicators related. To monitoring and evaluating DAK
efficiency energy, at the initial step, we could rely on the existing regulation regarding the DAK
mechanism on the intergovernmental transfer.

REFERENCES

Anonymous, 2012. Peer Review on Low Carbon Energy Policies in Thailand Final Report, the
APEC Energy Working Group. Bangkok.
Blumstein, C. Kreig, B. Schipper, L and York, C., 1980. Overcoming Social and Institutional Barriers
to Energy Efficiency. Energy, 5(4):355–371.

Golove, W.H., and Eto, J.H., 1996. Market Barriers to Energy Efficiency: A Critical Reappraisal of the
Rationale for Public Policies to Promote Energy Efficiency. LBNL, Berkeley. Pp 66.

Grüning, C., Menzel, C., Panofen, T., and Shuford, L.S., 2012. Case Study: The Thai Energy
Efficiency Revolving Fund. Frankfurt School of Finance & Management gGmbH. Frankurt.

Hinge, A. Bertoldi, P., and Waide, P., 2004. Comparing Commercial Building Energy Use Around the
World; The 2004 ACEEE Summer Study on Energy Efficiency in Buildings

Jaffe, A.B., and Stavins, R.N., 1994. Energy-Efficiency Investments and Public Policy. The Energy
Journal, 15(2):43-65.

Kirsch, I., 1993. Adult Literacy in America: A First Look at the Results of the National Adult Literacy
Survey. Website : http://literacy. kent.edu/Oasis/Pubs/nalsrev.htm.

Lovins, A., 1976. Energy Strategy: The Road Not Taken? Rocky Mountain Institute. Website :
www.rmi.org.

Robinson, J.B., 1991. The Proof of the Pudding: Making Energy Efficiency Work. Energy Policy,
September, pp 631-645.

Stern, P.C., 1986. Blind Spots in Policy Analysis: What Economics Doesn't Say about Energy Use.
Journal of Policy Analysis and Management, 5(2):200-227.

Sanstad, A.H., and Howarth, R.B., 1994. Normal Markets, Market Imperfections, and Energy
Efficiency. Energy Policy, 22(10):811-818.

Setyawan, D., 2013. Formulating Revolving Fund Scheme to Support Energy Efficiency Project in
Indonesia, Energy Procedia Journal, 47:37-46.

Suminto, 2003. Beberapa Catatan Tiga Tahun Desentralisasi Fiskal. Majalah Anggaran, (edisi
khusus), Jakarta.

Sutabur, T., 2012. Finance Energy Efficiency Projects through Financial Institutions: Energy
Efficiency Revolving Fund. Department of Alternative Energy Development and Efficiency.
Ministry of Energy. Thailand, Bangkok.

230
Sutherland, R.J., 1994. Energy Efficiency or The Efficient Use of Energy Resources?. Energy Sources,
16:257-268.

BAB 7
H.J. Mukono, Kedudukan Amdal

KEDUDUKAN AMDAL
DALAM PEMBANGUNAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN
(SUSTAINABLE DEVELOPMENT)

H.J.Mukono1)

1)Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Airlangga

Abstract : Historically, Environmentally Impact


Assessment (EIA) or AMDAL was changed according to
government regulation number 51 of 1993. According to
act of the Republic of Indonesia number 23 of 1997
regarding Environmental Management, the government
regulation number 51 of 1993 has to be changed to
government regulation number 27 of 1997. The important
material is the wipe ring out all of the AMDAL commission
at the Environmental Ministry Office and changed to the
Center of Evaluation Commission. The most important
things at the government regulation number 27 of 1997
are open information and role of community. AMDAL is
composed procedures such as impact identification and
action plan have to analyze basic environmental condition,
prediction and evaluation of important impact and also
direction of environmental monitor and management plan.
To implement environmentally sustainable development,
the practice of AMDAL management should be changed to
be self-management system. The implementation of that

231
system such as the undertaker has to develop Voluntary
Environment Practice Code (VEPC) and Polluter Pays
Principle System (PPPS).

Keywords: Environmental Impact Assessment, Environmental Sus-


tainable Development, Government Regulation, PPPS
and VEPC.

PENDAHULUAN

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)


pertama kali dicetuskan berdasarkan atas ketentuan yang
tercantum dalam pasal

w. Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang


ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Sebagai penjabaran pasal 16 tersebut,
diundangkan suatu Peraturan Pemerintah (PP) No. 29
tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) pada tanggal 5 Juni 1986.
Peraturan Pemerintah No. 29/1986 tersebut berlaku
efektif pada tanggal 5 Juni 1987 yang mulai selang satu
tahun setelah ditetapkan. Hal tersebut diperlukan karena
masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak
terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan
yang menganut paham holistik yaitu

232
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 19 - 28

tidak saja mengenai lingkungan fisik atau kimia saja namun meliputi
pula lingkungan sosial.
Berdasarkan pengalaman penerapan PP No. 29/1986 ter-sebut
dilakukan deregulasi dan untuk mencapai efisiensi maka PP No. 29/1986
diganti dengan PP No. 51/1993 yang diundangkan pada tanggal 23
Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk
mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir
penetapan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan
keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dengan demikian tidak
diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan Analisis
Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL),
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dibuat sekaligus yang
berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan
tersebut diintrodusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelo laan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi
kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh Menteri
Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menter i Negara
Lingkungan Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL
disederhanakan dan dihapuskannya dewan kualifikasi dan ujian negara.

Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 23 tahun 1997


tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH), maka PP No.
51/1993 perlu diganti dengan PP No. 27/1999 yang diundangkan pada
tanggal 7 Mei 1999, yang efektif berlaku 18 bulan kemudian.
Perubahan besar yang terdapat dalam PP No. 27/1999 adalah di
hapuskannya semua Komisi AMDAL Pusat dan diganti dengan satu
Komisi Penilai Pusat yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup. Di
daerah yaitu propinsi, mempunyai Komisi Penilai Daerah. Apabila
penilaian tersebut tidak layak lingkungan maka instansi yang
berwenang boleh menolak permohohan ijin yang diajukan oleh
pemrakarsa. Suatu hal yang lebih ditekankan dalam PP No. 27/1999
adalah keterbukaan informasi dan peran masyarakat.
Implementasi AMDAL sangat perlu disosialisasikan tidak
hanya kepada masyarakat namun perlu juga pada para calon investor
agar dapat mengetahui perihal AMDAL di In donesia. Karena proses
pembangunan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Dengan imple -
mentasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang ada, maka di
harapkan akan berdampak positip pada pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ( sustainable
develop-ment).

233
H.J. Mukono, Kedudukan Amdal

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)

Definisi AMDAL

AMDAL adalah kajian mengenai dampak bes ar dan penting


suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan ten tang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Dasar Hukum AMDAL

Sebagai dasar hukum AMDAL adalah PP No. 27/1999 yang


didukung oleh paket Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.
17/2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi dengan AMDAL.

Tujuan dan Sasaran AMDAL

Tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu


usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berke -
sinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui st udi
AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien,
meminimumkan dampak negatip dan memaksimalkan dampak positip
terhadap lingkungan hidup.

Mulainya Studi AMDAL

AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan suatu ren -


cana usaha dan/atau kegiatan. Sesuai dengan PP No. 27/1999 maka
AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menda patkan
ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Oleh karenanya AMDAL
harus disusun segera setelah jelas alternatif lokasi usaha dan/atau
kegiatannya serta alternatif teknologi yang akan digunakan.

AMDAL dan Perijinan

Agar supaya pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat


mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan de -
ngan mekanisme perijinan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Berdasarkan PP No. 27/1999 suatu ijin untuk melakukan usaha
dan/atau kegiatan baru akan diberikan bila hasil dari studi AMDAL
menyatakan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak
lingkungan. Ketentuan dalam RKL/RPL menjadi bagian dari ketentuan
ijin.

Pasal 22 PP No. 27/1999 mengatur bahwa instansi yang


bertanggung jawab (Menteri Lingkungan Hidup atau Gubernur)
memberikan keputusan layak atau tidak lingkungan apabila sesuai
dengan hasil penilaian Komisi. Keputusan tersebut harus diikuti oleh
instansi yang berwenang menerbitkan ijin usaha. Apabila pejabat

234
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 19 - 28

yang berwenang menerbitkan ijin usaha tidak mengikuti keputusan


tersebut, maka pejabat yang berwenang tersebut dapat menjadi obyek
gugatan tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sudah saatnya sistem hukum kita memberikan ancaman sanksi tidak
hanya kepada masyarakat umum, tetapi harus berlaku pula bagi
pejabat yang tidak melaksanakan Undang -undang seperti sanksi
disiplin ataupun sanksi pidana.

Prosedur penyusunan AMDAL

Secara garis besar proses AMDAL mencakup langkah


sebagai berikut :

35. Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan .


36. Menguraikan rona lingkungan awal.
37. Memprediksi dampak penting.
38. Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL dan
RPL.
Dokumen AMDAL terdiri dari 5 (lima) rangkaian dokumen
yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu :

18. Konsultasi Masyarakat sebagai implementasi Kepka Bapedal


No. 8/2000
19. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-
ANDAL)
20. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
21. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
22. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Pendekatan Studi AMDAL

Dalam rangka untuk mencapai efisiensi dan efektivitas


pelaksanaan AMDAL, penyusunan AMDAL bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan dapat dilakukan melalui pendekatan studi AMDAL
sebagai berikut :

53. Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Tunggal


54. Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Terpadu
55. Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Dalam Kawasan

Penyusunan AMDAL

Untuk menyusun studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta


jasa konsultan untuk menyusunnya. Anggota penyusun (minimal
koor-dinator pelaksana) harus bersertifikat Penyusun AMDAL (AMDAL
B). Sedangkan anggota penyusun lainnya adalah para pemegang
sertifikat Dasar AMDAL dan para ahli dibidangnya yang sesuai de -
ngan bidang kegiatan yang dibuat dokumen AMDALnya.

235
H.J. Mukono, Kedudukan Amdal

Peran Serta Masyarakat

Semua kegiatan dan/atau usaha yang wajib AMDAL, diwa -


jibkan bagi pemrakarsa untuk mengumumkan terlebih dulu kepada
masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun AMDAL yaitu
pelak-sanaan Kepka Bapedal No. 8/2000 tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam proses AMDAL.

Dalam jangka waktu 30 hari sejak diumumkan, masyarakat


berhak memberikan saran, pendapat, dan tanggapan. Dalam proses
pembuatan AMDAL, maka peran masyarakat tetap diperlukan, untuk
memberikan pertimbangan, saran, pendapat dan tanggapan dalam
pelaksanaan studi AMDAL. Pada proses penilaian AMDAL oleh
Komisi Penilai AMDAL maka saran, pendapat, dan tanggapan
masyarakat akan menjadi dasar pertimbangan penetapan kelayakan
lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

Penilaian dokumen AMDAL dilakukan oleh Komisi Penilaian


AMDAL Pusat yang berkedudukan di Jakarta, yait u untuk menilai
dokumen AMDAL dari usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis,
lokasinya melebihi satu propinsi, berada di wilayah sengketa, berada
di ruang lautan, dan/atau lokasinya di lintas batas negara RI dengan
negara lain.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, untuk tingkat propinsi
penilaian dokumen AMDAL dilakukan ole h Bapedal Propinsi, yaitu
untuk menilai usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya melebihi satu
Kabupaten/Kota.

Untuk tingkat Kabupaten/Kota sudah tersedia pula tim penilai


yaitu para pejabat yang sudah mendapatkan serti fikat Penilai (AMDAL
C). Penilaian dokumen AMDAL dilakukan untuk beberapa dokumen
dan meliputi penilaian terhadap kelengkapan administrasi dan is i
do-kumen.

Dokumen yang dinilai, meliputi :


35. Penilaian dokumen Kerangka Acuan (KA).
36. Penilaian dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) .
37. Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) .
38. Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan
(RPL) . Penilaian Kerangka Acuan (KA), meliputi :
26. Kelengkapan administrasi.
27. Isi dokumen, yang terdiri dari :
a. Pendahuluan.
b. Ruang lingkup studi.
c. Metode studi.
d. Pelaksanaan studi.
e. Daftar pustaka dan lampiran.

236
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 19 - 28

Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), meliputi :


23. Kelengkapan administrasi.
24. Isi dokumen, meliputi :
a. Pendahuluan.
b. Ruang lingkup studi.
c. Metode studi.
d. Rencana usaha dan/atau kegiatan.
e. Rona lingkungan awal.
f. Prakiraan dampak penting.
g. Evaluasi dampak penting dan daftar pustaka serta lampiran.
Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) , meliputi :
16. Lingkup RKL.
17. Pendekatan RKL.
18. Kedalaman RKL.
19. Rencana pelaksanaan RKL.
20. Daftar pustaka dan lampiran.
Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), meliputi :
42. Lingkup RPL.
43. Pendekatan RPL.
44. Rencana pelaksanaan RPL.
45. Daftar pustaka dan lampiran.

KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN


DAERAH KABUPATEN/KOTA

Komisi tersebut di bentuk oleh Bupati/ Walikota. Tugas komisi


penilai adalah menilai dokumen KA, ANDAL, RKL, dan RPL. Dalam
melaksanakan tugasnya komisi penilai dibantu oleh tim teknis komis i
penilai dan sekretaris komisi penilai.

Susunan keanggotaan komisi penilai terdiri dari ketua,


biasanya dijabat oleh Ketua Bapedalda Kabupaten/Kota dan
sekre-taris biasanya dijabat oleh salah seorang pejabat yan g
menangani masalah AMDAL. Sedangkan anggotanya terdiri dari Wakil
Bape - dalda, instansi yang bertugas mengendalikan dampak
lingkungan, instasi bidang penanaman modal, instansi bidang
pertanahan, instansi bidang pertahanan, instansi bidang kesehatan,
instan si yang terkait dengan lingkungan kegiatan dan anggota lain
yang dianggap perlu.

Secara garis besar komisi penilai AMDAL dapat terdiri dari


beberapa unsur, yaitu (1) unsur pemerintah; (2) wakil masyarakat
terkena dampak; (3) perguruan tinggi; (4) pakar, dan (5) organisasi
lingkungan.

Ada semacam kerancuan dalam kebijakan AMDAL dimana


dokumen tersebut ditempatkan sebagai sebuah studi kelayakan ilmiah di
bidang lingkungan hidup yang menjadi alat bantu bagi pengambilan

237
H.J. Mukono, Kedudukan Amdal

keputusan dalam pembangunan. Namun demik ian komisi penilai yang


bertugas menilai AMDAL beranggotakan mayoritas wakil dari instansi
pemerintah yang mencermikan heavy bureaucracy dan wakil-wakil yang
melakukan advokasi. Dari komposisi yang ada dapat meng - akibatkan
hal-hal sebagai berikut (1) keputusan kelayakan lingkungan didominasi
oleh suara yang didasarkan pada kepentingan birokrasi;

[35]. wakil masyarakat maupun LSM sebagai kekuatan counter


balance dapat dengan mudah terkooptasi ( captured or coopted)
dikarenakan berbagai faktor; (3) keputusan cukup sulit untuk dicapai
karena yang mendominasi adalah bukan pertimbangan ilmiah obyektif
akan tetapi kepentingan pemerintah atau kepentingan
masyarakat/LSM secara sepihak.

Jika pengusaha atau investor ingin akan melaksanakan studi


AMDAL, sebaiknya melakukan konsultasi pada 3 (tiga) komisi penilai
AMDAL, yaitu :

1. Komisi Penilai AMDAL Pusat .


2. Komisi Penilai AMDAL Propinsi .
3. Komisi AMDAL Kabupaten/ Kota .
Tergantung dari jenis rencana kegiatan yang akan di lakukan studi
AMDALnya.

EVALUASI PROSES PENILAIAN DOKUM EN AMDAL

Proses dan prosedur penilaian AMDAL secara umum cukup


baik, yang ditandai dengan singkatnya waktu penilaian, memang
waktu penilaian sangat tergantung dari kualitas KA dan dokumen
AMDALnya sendiri.

Kemampuan teknis dan obyektifitas dari penilaian

Anggota komisi penilai yang telah memiliki sertifikat kursus


AMDAL A, B, dan C cukup baik secara teknis dan obyektif, lebih
profesional serta anggota penilai yang pernah melakukan penyusunan
AMDAL walaupun jumlahnya relatif tidak banyak. Anggota komisi
penilai yang berasal dari institusi sektoral ata u dari pemerintah daerah
(bukan dari tim penilai tetap) sering belum banyak menguasai
mengenai AMDAL. Penilaian oleh LSM dan wakil dari masyarakat
kadang-kadang kurang obyektif. Tim teknis yang ikut duduk di d alam
komisi penilai perlu lebih memahami peran bidangnya dalam AMDAL.

Evaluasi keterlibatan masyarakat

Usaha melibatkan masyarakat dalam penilaian AMDAL cukup


memadai dengan dilibatkannya LSM lokal dan Pemerintah daerah
(Bappeda), dan tokoh masyarakat.

238
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 19 - 28

AMDAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Dengan dilaksanakannya AMDAL yang sesuai dengan aturan,


maka akan didapatkan hasil yang optimal dan akan berpengaruh ter -
hadap pembangunan dan kebangkitan ekonomi. Mengapa demikian?
Dalam masa otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah
menganut paradigma baru, antara lain :

1. Sumber daya yang ada di daerah merupakan bagian dari sistem


penyangga kehidupan masyarakat, seterusnya masyarakat
merupakan sumber daya pembangunan bagi daerah.

2. Kesejahteraan masyarakat merupakan sat u kesatuan dan


bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian sumber daya
yang ada di daerah.

Dengan demikian, maka dalam rangka otonomi daerah, fungsi


dan tugas pemerintah daerah seyogyanya berpegang pada hal -hal
tersebut dibawah ini :

1. Pemda menerima desentralisasi kewenangan dan kewajiban .


2. Pemda meningkatkan pelayanan kepada masyarakat .
3. Pemda melaksanakan program ekonomi kerakyatan .
4. Pemda menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya di
daerah secara konsisten.
5. Pemda memberikan jaminan kepastian usaha .
6. Pemda menetapkan sumber daya di daerah sebagai sumber
daya kehidupan dan bukan sumber daya pendapatan.

Keberhasilan Implementasi Amdal d i Daerah

Sebagai syarat keberhasilan implementasi AMDAL di daerah


adalah :
1. Melaksanakan peraturan atau perundang-undangan yang ada.
Sebelum pembuatan dokumen AMDAL , pemrakarsa harus
melaksanakan Kepka Bapedal No. 8/2000 tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL ,
yaitu dengan melaksanakan konsultasi masyarakat sebelum
pembuatan KA. Apabila konsultasi masyarakat berjalan dengan
baik dan lancar, maka pelaksanaan AMDAL serta implementasi
RKL dan RPL akan berjalan dengan baik dan lancar pula. Hal
tersebut akan berimbas pada kondisi lingkungan baik lingkungan
fisik atau kimia, sosial-ekonomi-budaya yang kondusif sehingga
masyarakat terbebas dari dampak negatip dari kegiatan dan
masyarakat akan sehat serta perekonomian akan bangkit.
2. Implementasi AMDAL secara profesional, transparan dan
terpadu.
Apabila implementasi memang demikian maka implementasi
RKL dan RKL akan baik pula. Implementai AMDAL, RKL dan
RPL yang optimal akan meminimalkan dampak negatif dari

239
H.J. Mukono, Kedudukan Amdal

kegiatan yang ada. Dengan demikian akan meningkatkan status


kesehatan, penghasilan masyarakat meningkat dan masyarakat
akan sejahtera. Selain itu pihak industri dan/atau kegiatan dan
pihak pemrakarsa akan mendapatkan keuntungan yaitu terbebas
dari tuntutan hukum (karena tidak mencemari lingkungan) dan
terbebas pula dari tuntutan masyarakat (karena masyarakat
merasa tidak dirugikan). Hal tersebut aka n lebih mudah untuk
melakukan pendekatan sosial-ekonomi-budaya dengan
masyarakat di sekitar pabrik/industri/kegiatan berlangsung.

PENUTUP

AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan untuk bidang


lingkungan hidup, yang merupakan alat untuk memprakirakan d an
mengelola dampak yang terjadi. Dalam prakteknya AMDAL diatur oleh
pemerintah dengan ketentuan yang sangat rinci, dalam Kepka
Bapedal No. 9/2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL. Dalam
pedoman penyusunan RKL dan RPL dapat dilihat pula uraian yang
rinci namun tidak diuraikan pemanfaatan RKL dan RPL dalam S istem
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kekakuan peraturan tentang AMDAL dan s istem birokrasinya akan
mengakibatkan terkekangnya perkembangan teknologi AMDAL.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknologi AMDAL sangat
statis. Hal tersebut dapat diketahui bahwa PP.No. 29/1986 tentang
AMDAL dan peraturan yang terbaru tidak mengalami perubahan dan
perkembangan.

Otto Soemarwoto (2001) mengintrodusir pengelolaan lingkungan


hidup Atur-Diri-Sendiri (ADS) . Pengertian ADS adalah pemrakarsa
bertanggung jawab menjaga kepatuhan dan penegakan peraturan
perundang-undangan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat.
Pendekatan sistem ADS ini dipelopori oleh pengusaha dengan alasan
adanya kebebasan untuk mengatur diri sendiri. Dalam perkem -
bangannya para pengusaha tersebut mengembangkan sistem
pengelolaan lingkungan hidup bersifat sukarela (voluntary
environmental practice code). Contoh implementasi pengelolaan
lingkungan hidup yang bersifat sukarela tersebut adalah ISO14.000
(International Standardization Organization –14.000) dan Responsible
Care. Malah ada perusahaan di USA yaitu 3M, sudah membuktikan
bahwa teknologi yang bersifat cost effective yaitu Polluter Pays
Principle cukup baik untuk menangani masalah pencemaran.

240
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 19 - 28

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Meneg LH No.2 tahun 2000 tentang Panduan


Penilaian dokumen AMDAL.

Keputusan Kepala Bapedal No. 8 tahun 2000 tentang


Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan
Informasi dalam Proses

AMDAL

Keputusan Meneg LH No. 30/MENLH/10/1999 tentang


Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan
Lingkungan.

Keputusan Meneg LH No. 17 tahun 2001 tentang Jenis


Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
Wajib Dilengkapi dengan
AMDAL.

Keputusan Meneg LH No. 41 tahun 2000 tentang


Pedoman Pembentukan Komisi Penilai
AMDAL Kabupaten/Kota

Keputusan Kepala Bapedal No. 9 tahun 2000 tentang


Pedoman Penyusunan AMDAL

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 tahun 1999 tentang


AMDAL

Soemarwoto, Otto. (2001). Evaluasi AMDAL dan Saran


Penyempurnaanya. Seminar sehari oleh
Bapedal. Jakarta 18-10-2001.

Soemarwoto, Otto. (2001). Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University


Press.

241
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186

Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Analisis


Dampak Lingkungan (AMDAL) Reklamasi Pantai di
Kota Bandar Lampung

Eka Deviani

Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara FH Universitas Lampung

Abstrak
242
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum
lingkungan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
reklamasi pantai di Kota Bandar Lampung, dan faktor-faktor yang menjadi
penghambat dalam penegakan hukum terhadap AMDAL reklamasi pantai
di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil penelitian dokumen dan
wawancara ditemukan bahwa penegakan hukum lingkungan yang
dilakukan di Bandar Lampung adalah mencakup penegakan hukum pidana
(code penal), perdata dan administrasi. Adapun faktor-faktor yang menjadi
penghambat adalah faktor Hukum, faktor Aparat (Pemerintah) dan faktor
Ekonomi.

Kata Kunci : AMDAL, reklamasi pantai, dan faktor penghambat.

243
I. PENDAHULUAN pembangunan pariwisata dan
perekonomian daerah.

Pelaksanaan penimbunan Reklamasi pantai pada


dasarnya akan menimbulkan dampak
pantai Teluk Lampungbersifat
reklamasi, berarti mengembalikan perubahan garis pantai dan
pantai pada kondisi pantai semula lingkungan yang akan berpengaruh
yaitu dengan ketentuan penimbunan terhadap keselamatan lalu lintas
atau reklamasi pantai maksimum kapal maupun kepentingan instansi
sampai batas terluar atau sampai terkait lainnya. Oleh karena
kedalaman 2,5 m LWS, atau sesuai reklamasi pantai secara langsung
dengan rekomendasi Perumpel II
Panjang dan atau Badan Pertanahan akan menimbulkan perubahan
Nasional (BPN) sesuai dengan lingkungan, maka pemberian izin
ketentuan yang berlaku. Penimbunan reklamasi pantai harus dilengkapi
tersebut pada prinsipnya merupakan
pengembalian areal daratan semula dengan Rencana Pengelolaan
sebelum terjadi abrasi pantai. Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL) yang
Pelaksanaan reklamasi pantai merupakan produk akhir dari
pada kawasan Teluk Lampun
dilakukan sejalan dengan Program Analisis Mengenai Dampak
Pemerintah, untuk mengembalikan Lingkungan (AMDAL).
kondisi pantai, menciptakan pantai
baru yang serasi, menunjang
Dalam kenyataan masih banyak
perusahaan-perusahaan baik yang
bergerak di bidang pariwisata ataupun
bisnis melakukan reklamasi pantai
tanpa memiliki RKL dan RPL.

244
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186

perlindungan dan pengolahan


lingkungan hidup, PP RI No.27
Th.1999 tentang analisis
dampak lingkungan hidup,
Kepres RI No.10

Th.2000 tentang pengendalian


Hal ini terlihat dengan adanya dampak lingkungan. Penegakan
beberapa Surat Keputusan Gubernur hukum tersebut diperlukan agar
mengenai pemberian izin reklamasi para pengusaha tidak
sewenang-wenang melakukan
reklamasi pantai tanpa
pantai terhadap memikirkan dampaknya
perusahaan-perusahaan yang ada terhadap perusakan lingkungan
tidak dilengkapi dengan RKL dan pantai.
RPL. Jadi RKL dan RPL yang
merupakan produk akhir dari Amdal
hanya sebagai alat kelengkapan Pelaksanaan penimbunan
admintrasi, karena dalam hal ini yang atau reklamasi pantai di Kota
Bandar
terjadi izin penimbunan pantai dahulu
baru RKL dan RPL, yang seharusnya
RKL dan RPL dahul dan izin-izin lain
selanjutnya izin penimbunan.

Fungsi RKL dan RPL yang


merupakan produk akhir dari Amdal
terhadap reklamasi pada dasarnya

adalah untuk mengendalikan


perusakan lingkungan akibat adanya
reklamasi pantai. Oleh karena itu
pemberian izin penimbunan terhadap
reklamasi pantai harus dilengkapi
RKL dan RPL. Berdasarkan hal
tersebut maka penegakan hukum
perlu diterapkan baik penegakan
hukum pidana, perdata maupun
administrasi, terhadap perusahaan-

perusahaan yang menjalankan

usahanya dengan melakukan


reklamasi pantai tanpa dilengkapi
RKL dan RPL. Dengan acuan
penegakan hukum tersebut adalah

x. RI No.32 Th.2009 245


tentang
Berdasarkan identifikasi

masalah tersebut permasalahan


dirumuskan sebagai berikut :

39. Bagaimana penegakan hukum


lingkungan terhadap Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
Lampung selain mempunyai dampak (AMDAL) reklamasi pantai di
negatif, juga mempunyai dampak positif, Kota Bandar Lampung?
diantaranya terdapat banyak investor yang
akan menanamkan 40. Faktor-faktor apakah yang
menjadi penghambat dalam
modalnya untuk mendirikan perusahaan di penegakan hukum terhadap
Bandar Lampung terutama di daerah Teluk Analisis Mengenai Dampak
Lampung, sehingga menyebabkan Lingkungan (AMDAL) reklamasi
tersedianya banyak lapangan pekerjaan pantai di Kota Bandar Lampung?
bagi warga setempat yang ingin bekerja
pada perusahaan yang melakukan
penimbunan/reklamasi pantai yaitu II. METODE PENELITIAN
sehingga mereka tidak menganggur.

Selain itu dampak positif dari Penelitian ini merupakan


penimbunan/reklamasi pantai yaitu penelitian normative dan empiris.
meningkatkan jumlah Pendapatan Asli Pendekatan yuridis, ditujukan untuk
Daerah (PAD) Provinsi mengkaji keterkaitan peraturan

Lampung, karena banyak perundang-undangan lingkungan


hidup antara satu dengan yang lain
investor/pengusaha yang
dalam hubungannya dengan
menanamkan modalnya serta mendirikan
perusahaan di Bandar Lampung.

246
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186
Dipertegas dalam UU RI
No.32 Th.2009 tentang
perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup


terhadapa sangsi
pidana/ketentuan pidana pada
Bab XV pasal 97 s/d 120.
penegakan hukum lingkungan.
Pendekatan empiris dilakukan
b. Penegakan Hukum
dengan cara melihat atau Perdata

mempelajari kenyataan-kenyataan
Keterkaitan pengelolaan
hukum dalam bentuk perilaku,
lingkungan hidup terhadap
pendapat, perasaan, sikap secara masalah
nyata.
penegakan hukum
AMDAL
23. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN

3.1.Penegakan Hukum Lingkungan


Terhadap Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL)
Reklamasi Pantai di Kota Bandar
Lampung

a. Penegakan Hukum Pidana

Didalam rangka penegakan


hukum lingkungan dilihat dari sudut

hukum pidana, maka perlu


pemrakarsa dalam hal ini pengusaha
dapat dikenakan denda atau

kurungan bilamana melakukan


kegiatan tidak memenuhi salah satu
syarat perizinan dalam hal ini
termasuk proses AMDAL.

Konsultan AMDAL dapat


dikenakan sanksi pidana apabila studi
AMDAL (data dan informasi) yang
disampaikan tidak berdasarkan studi
yang benar/palsu, (misal AMDAL
fiktif). Hal ini dibuktikan dengan
kesaksian ahli di pengadilan.
247
hukum pidana dan hukum

administrasi dalam rangka penegakan


hukum di bidang AMDAL Reklamasi
Pantai ini terutama bertujuan agar
tercapai ketertiban kehidupan
masyarakat

Reklamasi Pantai di Kota Bandar Lampung secara keseluruhan, sedangkan


dilihat dari sudut hukum perdata, mengacu hukum perdata bertujuan untuk
pada ajaran mengenai perbuatan melawan
hukum pasal 1365 Kitab Undang-undang memberikan perlindungan
Hukum Perdata (KUHPdt). Menurut Pasal
1365 KUHPdt, perbuatan melawan hukum
kepentingan warga masyarakat secara
yang membawa kerugian kepada orang lain,
individual dalam hubungan dengan
mewajibkan orang yang karena salahnya
warga masyarakat.
menimbulkan kerugian itu, untuk
mengganti kerugian.
39. Penegakan Hukum
Unsur-unsur Pasal 1365 KUHPdt
Administrasi
yang harus dibuktikan ialah:

a. Perbuatan tersebut harus melawan


Berdasarkan hasil wawancara
hukum;
dengan Kepala Sub Bidang AMDAL
dan Kepala Bidang Konservasi,
56. Pelaku harus bersalah Rehabilitasi Lingkungan Hidup dan
57. Ada kerugian
Mitra Lingkungan Bapedalda
58. Ada hubungan sebab akibat Provinsi Lampung, maka terhadap

antara perbuatan dengan kerugian. perusahaan yang tidak/belum

Selanjutnya penggunaan

248
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186
Pasal 76 s/d 83

3.2. Faktor-Faktor Penghambat


Penegakan Hukum Terhadap
Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL)
memiliki izin AMDAL tetapi sudah Reklamasi Pantai Di Bandar
melakukan penimbunan/reklamasi
pantai dan sudah menjalankan Lampung.
usahanya dapat dikenakan sanksi
administrasi.
Faktor penghambat
Jika terjadi pelanggaran penegakan
peraturan, misalnya mengenai izin
hukum terhadap pelaksanaan
AMDAL dalam rangka reklamasi pantai yang telah
penimbunan/reklamasi pantai, maka lama dilaksanakan yaitu sejak
langkah represif untuk memaksakan tahun 1983, disebabkan oleh
beberapa faktor,
kepatuhan dilakukan melalui

penerapan sanksi administrasi,


beberapa jenis sanksi administrasi
sebagai sarana penegakan hukum
lingkungan adalah :

28. Paksaan pemerintah


(bestuursdwang)

29. Uang paksa (publiekrechtelijke


dwangsom)

30. Penutupan tempat usaha (slutting


van een inrichting)

31. Penghentian kegiatan mesin


perusahaan
(buitengebruikstelling van een
roastel);

32. Pencabutan izin (Muhammad


Akib, 2000 : 72).

Dipertegas dalam UU No.32 Th.


2009 tentang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup


terhadap
249
sanksi administrative pada
pencemaran dan perusakan
lingkungan akan sulit ditegakkan.

Apabila perkara pencemaran


dan perusakan lingkungan hidup
diselesaikan melalui Peradilan Tata
Usaha Negara, maka kemungkinan
pengajuan gugatan pencabutan izin
seperti faktor hukum yakni kurang tegasnya ke PTUN akan menemui kendala,
penerapan sangsi oleh antara lain karena panjangnya alur
penyelesaian sengketa dan tidak
instansi terkait dalam penyelenggaraan jelasnya tenggang waktu pengajuan
reklamasi pantai terhadap perusahaan yang gugatan bagi pihak ke tiga.
tidak
Selain faktor hukum, faktor
melaksanakan kewajiban aparat pemerintah yang dalam hal ini
yaitu koordinasi antar instansi yang
sebagaimana mestinya yang ditentukan di
dalam surat keputusan pemberian izin terkait dalam penyelenggaraan
penimbunan pantai merupakan kendala reklamasi pantai belum mantap karna
penyelenggaraan reklamasi pantai. secara teknis kewenangan ada pada
masing-masing instansi pemberi izin
Tidak adanya peraturan yang dalam dengan berbagai keterbatannya.
hal ini Perda yang secara khusus mengatur
tentang reklamasi pantai, sehingga Faktor ekonomi juga
penegakan hukum AMDAL reklamasi menyebabkan hukum tidak dapat
pantai terhadap perusahaan yang tidak ditegakkan sebagaimana mestinya.
memiliki izin Mislanya apabila perusahaan tersebut
ditutup atau di cabut izin usahanya,
AMDAL serta melakukan maka dalam hal ini akan
mengakibatkan puluhan bahkan
ratusan buruh akan menganggur

250
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186
reklamasi yang bermasalah
dihindari dahulu, terutama
yang menyangkut ganti
rugi.

(kehilangan pekerjaan) dan


perusahaan akan menderita kerugian
yang sangat besar sehingga keadaan
ekonomi akan memburuk.

Selain faktor-faktor
penghambat penegakan hukum
AMDAL reklamasi pantai di Kota
Bandar Lampung, berdasarkan hasil
penelitian di lapangan terdapat pula
faktor-faktor penghambat dalam
penyelenggaraan reklamasi pantai
antara lain :

25. Luasnya pantai yang direklamasi


oleh perusahaan, merupakan
kendala dalam penyelenggaraan
reklamasi pantai, apalagi bila
tidak ditunjang dengan dana yang
cukup besar serta peralatan yang
canggih dan lengkap maka

sebagian masyarakat akan


terhambat.

26. Adanya sebagian masyarakat


yang masih belum bersedia
meninggalkan lokasi yang akan di
timbun, karena alasan dekat
dengan tempat usaha.

27. Hambatan lain yang dihadapi

selama ini lebih banyak


menyangkut pemindahan rumah,

misalnya sudah dibayar kemudian


kembali ketempat asalnya. Dalam
soal reklamasi tidak ada istilah ke
tempat asalnya, yang ada adalah
sistem kerja sama dengan pihak
terkait
251
dengan menggunakan pendekatan.
Oleh karena itu daerah-daerah
Arief, Barda Nawawi. 2000. Hukum
Penegakan Lingkungan Hukum

Dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan.
Citra Aditya Bakti. Bandung.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian tersebut,


dapat disimpulkan sebagai berikut :

21. Bahwa dalam rangka penegakan hukum


lingkungan dilihat dari sudut hukum
pidana, maka pemrakarsa dalam hal ini
pengusaha dapat dikenakan denda atau
kurungan bilamana

melakukan kegiatan tidak memenuhi


salah satu syarat perizinan dalam hal ini
termasuk proses AMDAL. Sedangkan
perusahaan yang tidak/belum memiliki
izin AMDAL tetapi

sudah melakukan
penimbunan/reklamasi pantai dan
sudah menjalankan usahanya

dapat dikenakan sanksi administrasi


sesuai dengan UU No.32 Th. 2009
Terhadap sanksi administrasi.

22. Faktor-faktor penghambat dalam

rangka penegakan hukum terhadap


AMDAL reklamasi pantai di Kota
Bandar Lampung adalah meliputi
Faktor Hukum, Faktor Aparat
(Pemerintah) dan faktor Ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Akib,Muhammad, 2000. Justicia


Pengendalian Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan (Kajian dari
Aspek Hukum Lingkungan
Administrasi). Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
252
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012, ISSN 1978-5186

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Peraturan Pemerintahan Nomor 27


Tahun 1999 Tentang
Hukum Tata Lingkungan. Analisis
Gadjah Mada University Press. Mengenai Dampak
Yogyakarta. Lingkungan
Mamudji,Sri dan Soerdjono Harian Radar Lampung, Senin 20
Soekanto. 1995. Penelitian Agustus 2001.
Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Mechsan, Sudirman. 1997. Justicia.


Reklamasi Pantai Untuk
Keperluan Pembangunan dan
Kaitannya Dengan
Pendaftaran Tanah. Fakultas

Hukum. Universitas Lampung.

Nurhalim, H. 1999. Pengertian dan


Dasar-Dasar AMDAL
Pelatihan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Lautan.
Pekan Baru, 28 Juni s.d 7 Juli

1999

Silalahi, Daud. 1995. Penelitian


Aspek-Aspek Hukum Tentang
Ketentuan AMDAL Dalam

253
Pembangunan Industri. Bahan
Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman.

Soemartono, R.M. Gatot P. 1996.


Hukum Lingkungan Indonesia.

Sinar Grafika, Jakarta.

Laporan Akhir Rencana Tata


Bangunan Dan Lingkungan
Kawasan Arteri Pusat Kota
Bandar Lampung Tahun
Anggaran 1996/1997. Pemda
Kotamadya Daerah Tingkat II

Bandar Lampung.

Undang-undang Nomor 23 Tahun


1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 22 Tahun


1999 Tentang Pemerintahan

Daerah.

JOURNAL OF DEGRADED AND MINING LANDS MANAGEMENT

ISSN: 2339-076X (p); 2502-2458 (e), Volume 4, Number 4 (July 2017):


927-936 DOI:10.15243/jdmlm.2017.044.927

Research Article

Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui,


South Kalimantan, Indonesia

Vivi Novianti1*, D.N. Choesin2, D.T. Iskandar2, D. Suprayogo3

y.
Department of Biology, State University of Malang, Malang 65145, Indonesia

z.
School of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung, Bandung 40132, Indonesia

254
aa.
Faculty of Agriculture, Brawijaya University, Malang 65145, Indonesia

*
corresponding author: vivi.novianti.fmipa@um.ac.id

Received 28 April 2017, Accepted 22 June 2017

Abstract

Coal mine overburden (OB) materials were nutrient-poor, loosely adhered particles of shale,
stones, boulders, and cobbles, also contained elevated concentration of trace metals. This
condition cause OB substrate did not support plants growth. However, there were certain species
that able to grow on overburden dumping site. This investigation sought to identify plants species
that presence on coal mine overburden. The research was conducted on opencast coal mine OB
dumping site in Satui, South Kalimantan. Vegetation sampling was carried out on six different
ages of coal mine OB dumps (7, 10, 11, 42, 59 and 64 month) using line transect. Species
identification used information from local people, AMDAL report of PT Arutmin
Indonesia-Satui mine project, and website. There were 123 plant species, consisted of 79 herbs
(Cyperaceae, Poaceae and Asteraceae), 10 lianes, bryophyte, 9 ferns, 10 shrubs, and 14 trees. A
number of Poaceae, i.e., Paspalum conjugatum, Paspalum dilatatum, and Echinochloa colona
generally present among the stones, boulders, and cobbles. While Cyperaceae such as
Fimbristylis miliaceae, Cyperus javanicus, Rhyncospora corymbosa and Scleria sumatrensis
most often found in and around the basin/pond with its smooth and humid substrate
characteristics. Certain species of shrubs and trees have been present on the 7 month OB dumping
site. They were Chromolaena odorata, Clibadium surinamense, Melastoma malabathricum,
Trema micrantha, and Solanum torvum (Shrubs), Ochroma pyramidale and Homalanthus
populifolius (trees). This plant species could be used for accelerating primary succession purpose
on coal mine overburden dumping site. Nevertheless, species selection was needed to avoid
planting invasive species.

Keywords: accelerating, mining, overburden, plants, succession

To cite this article: Novianti, V., Choesin, D.N., Iskandar, D.T. and, D. Suprayogo, D. 2017. Plant species
from coal

mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia. J. Degrade. Min. Land Manage. 4(4):
927-936,

DOI: 10.15243/jdmlm.2017.044.927.

2004; Ghose, 2004). Furthermore, loss of


Introduction soil
during stripping and stockpiling causes not
all
Ninety five percent coal mine in Indonesia using
mined areas will be recovered with soil during
opencast mining method (Gautama 2007;

Riawan, 2008). revegetation (BPK, 2008). This area is known as


Setianingprang and The chief
overburden (OB). Coal mine overburden is stone,
environmental impacts of its practice are changes
located above (referred to as roof rock) or
in soil stratification, reduced biotic diversity, and between (interburden) or below (floor rock) the

255
alteration of structure and functioning of
coal (Novianti, 2013). OB materials are nutrient-
ecosystems; these changes ultimately influence

water and poor, loosely adhered particles of shale, stones,


nutrient dynamics, and trophic
boulders, cobbles, and so forth (Gogoiet al., 2007;
interactions (Matson et al., 1997; Almas et al.,
Novianti, 2013). Mine OB materials also contain

256
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

elevated concentrations of trace metals (Dobson et is host to a vast area of the country`s remaining
al., 1997; Novianti, 2013). This character of tropical rainforests where various endemic flora and
overburden is the reason why fast growing and fauna can be found. Rainforests in the Heart of
invasive species, such as Acacia mangium, is Borneo also have a crucial function as the lungs of the
planted on previously mined coal areas. Therefore, world because they produce oxygen needed to help
reclamation approach to improve post-coal mining overcome the impact of climate change. On the other
land has not yet successful because there is no hand, it contains nearly 60 percent of Indonesia’s coal
implication of returning to an original state and reserves where over exploitation occur. Ecological
restore biodiversity but rather to a useful one. restoration approach is thus critical to be carried out
in Kalimantan to restore its biodiversity and
Overburden condition is identical to the ecosystem function.
primary succession i.e. vegetation development on
newly formed or exposed substrate, proceeds on
raw material rather than a developed or modified
soil, and is usually characterized by low fertility, Materials and Methods
no biological legacy (no previous vegetation, no
seed bank, no organic matter derived from prior
vegetation) (Glenn-Lewin et al., 1992). Hence, Description of study area
ecologycal succession in a mine OB is a lengthy
process. A minimum period of ecologycal
succession is 50 years to a century to establish The study was conducted at the mine site of PT.
advanced specific plant species in denuded, mine Arutmin Indonesia (AI), Satui mine project in
OB-filled land; but this long time scales due to South Kalimantan, Indonesia. Mining operational
specific problems can be overcome by artificial and office area are located at a distance of ± 165
interventions, that once identified, which are most km Southeast of Banjarmasin.
successful if they use or mimic natural process
(Dobson et al., 1997).
Characteristics and determination of overburden
Local vegetation is one of the keys of this age as study area
process. This investigation sought to identify plant
species that present on coal mine OB dump. This
Vegetation sampling area was carried out on
study will be helpful in giving references of coal
out-pit dump (overburden that dumped at
mine OB plant species in order to accelerate
dedicated disposal site outside the mine pit), and
ecological restoration on coal OB dumping site.
This research was conducted in Satui, South without leveled on its surface (free dump).
Kalimantan. Kalimantan or also known as Borneo Determination of OB dumping site is based on the
following conditions: (1) no disposal process (final
dump),

41. the age of mine OB is known, (3) the origin


depth of OB is identified, and (4) geology
formation of OB is identified. According to that
requirement, there are six overburden used as
vegetation sampling location (Table 1).

Table 1. Characteristics of overburden dumping site as study area

No. Age of mine OB (month) High of OB dump Width of OB Dump Origin depth

(m) (ha) (m asl)


1 7 38.18 2.68 30 s/d -80
2 10 20.07 2.06 30 s/d -80
3 11 16.18 3.66 30 s/d -80

257
4 42 19.90 7.09 30 s/d -80
5 59 24.11 2.14 30 s/d -80

6 64 29.85 11.87 30 s/d -80

determination of coal mine OB is based of the following formula:

T = T 2 – T1

Annotation:
T = age of mine OB (month)
T2 = starting time of sampling vegetation (month and year)

T1 = time of final OB dump (month and year)

258
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

The origin depth and geological formation of coal 9. http://app.ctu.edu.vn/forum/viewtopic.php?p=


mine OB in each pile was obtained using 78508&sid=70b76c420bff5faa564bd35
geological data belong to PT. Arutmin, Satui mine 10. http://www.natres.psu.ac.th/Departement/Pla
project. ntScience/weed/weedinplantation.htm
11. http://www.plantamor.com
Vegetation sampling and species identification

Vegetation sampling was conducted using line


transect. The lenght of line transect following the
lenght of OB dump area that able to be reached. In
order to represent plant communities on coal mine
dumping site, the distance between transect are
made of 5 m while total line transect following the
width of dump area that can be accomplished
(Figure 1).

Segment sign is made in every five meter of line


transect to facilitate the process of sampling
(Figure 2). Each plant that exposed to the transect
line is recorded, documented (using camera) and
coded for further species identification through
local people, EIA report of PT. AI Satui Mine
Project, and website bellow:

24. http://www.nationalherbarium.nl/MacMalBor
neo/indonesian/index.htm
25. http://www.indonesianchm.or.id
26. http://www.biotrop.org/database.php?act=dbi
as&kategori=&paper=1
27. http://www.natureloveyou.sg/plants-D.html
28. http://www.iewf.org/weedid/All_common_na
me.htm

29. http://www.rimbundahan.org/environment/pl
ant_lists/dipterocarpaceae/index.htm

30. http://www.dld.go.th/nutrition/ANIMAL_NU
TRITION_DIVISION_files/Native_grass.ht
m
31. http://app.ctu.edu.vn/forum/viewtopic.php?p
=
34293&sid=a6744de8ccd359178366065b38a

Figure 1. Ilustration of line transect in an OB 06346

dump area

259
Figure 2. Segment on transect line

Results and Discussion

Typology of coal mine overburden

Stockpiles of overburden was like a hill. The top of


it consists of flat and uneven part (Figure 3). The
uneven section due to a number of OB mounds so
that its surface becomes undulating. Therefore, it
can be devided into three parts i.e., peak, slope and
valley (Figure 4). The valley formed by confluence
of several OB mounds will form a basin that will be
filled water when rain comes so that it resembles a
pond. The size and depth of basin are varies
(Figure 5). This stagnant water accelerates the
destruction of boulder (>256 mm), cobble (64-256
mm), and gravel (2-4 mm) develop into clay (1/256
mm). In contrast to substrate that is not inundated
by water still in the form of boulder, cobble, and
gravel for a longer period of time. Eventually, the
differences of particel size and moisture played a
role in determining the types of plants which
present on coal mine OB dump. The compositions
of overburden substrate at six study sites are
boulder, pebble, cobble and gravel of clay stone.
According to PT. Arutmin Indonesia (2009),
Tanjung Formation in Satui Mine derived from
Eocene aged (± 50 million years).

Plants species on coal mine overburden dumping


site

Based on species identification on six overburden


dumps, there are 123 plants species consisting of 79
herbs (grass, sedge, and herbaceous flowering), 10
lianas, lichen, 9 ferns, 10 shrubs, and 14 trees that
able to grow on OB substrate (Table 2).

260
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

Figure 3. Overburden stockpile was like a hill (A-B). The top of it comprises of flat (C) and uneven (D)

261
Figure 4. Illustration of undulating surface on coal mine OB dump (Source: Hairiah et al., 2000)

Figure 5. Some basins are formed by the confluence of OB mounds

262
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

Table 2. Plants species and life form on six overburden dumps

No. Name Family Life span Class Age of overburden (month)

7 10 11 42 59 64
Herbs
1 Ageratum conyzoides Linn. Asteraceae Annual Magnoliopsida v v v
2 Andropogon aciculatus Retz. Poaceae Annual Liliopsida v
3 Andropogon chinensis (Ness) Merr. Poaceae Annual Liliopsida v
4 Blyxa japonica (Mix.) Maxim. Hydrocharitaceae Annual Liliopsida v
5 Celosia argentea Linn. Amaranthaceae Annual Magnoliopsida v v v
6 Cyperus babakans Steud. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
7 Cyperus brevifolius (Rottb.) Hassk Cyperaceae Annual Liliopsida v
8 Cyperus compactus Retz. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v
9 Cyperus compressus Linn. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
10 Cyperus difformis Linn. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
11 Cyperus entrerianus Boeckl. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
12 Cyperus halpan Linn. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
13 Cyperus iria Linn. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
14 Cyperus javanicus Houtt Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v v
15 Cyperus kyllinga Endl. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v
16 Cyperus polystachyos Rottb. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
17 Cyperus pulcherrimus Will. Ex. Kunth. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
18 Cyperus pygmaeus Rottb. Cyperaceae Annual Liliopsida v
263
19 Cyperus sp.1 Cyperaceae Annual Liliopsida v
20 Cyperus sp.2 Cyperaceae Annual Liliopsida v
21 Cyperus sp.3 Cyperaceae Annual Liliopsida v v
22 Cyperus sp.4 Cyperaceae Annual Liliopsida v v
23 Cyperus sp.5 Cyperaceae Annual Liliopsida v
24 Cyperus sp.6 Cyperaceae Annual Liliopsida v
25 Axonopus compressus Poaceae Annual Liliopsida v
26 Cyperus sulcinux C. B. Clarke. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v v v
27 Demodium heterophyllum (Willd.) DC. Fabaceae Annual Liliopsida v
28 Echinochloa colona (Linn.) Link. Poaceae Annual Liliopsida v v v v v v
29 Eclipta prostrata Linn. Asteraceae Annual Magnoliopsida v
30 Eleusine indica (L.) Gaertn. Poaceae Annual Liliopsida v v v v v
31 Emilia sonchifolia (Lin.) DC. Asteraceae Annual Magnoliopsida v v v v

32 Eragrostis japonica (Thunb.) Trin. Poaceae Annual Liliopsida v v v v v

264
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

No. Name Family Life span Class Age of overburden (month)

7 10 11 42 59 64
33 Eragrostis leptostachya (R. Br.) Steud. Poaceae Annual Liliopsida v
34 Eragrostis tenella (Linn.) P Beauv. Poaceae Annual Liliopsida v v v v v
35 Eragrostis unioloides (Retz.) Nees ex Steud. Poaceae Annual Liliopsida
36 Erechtites valerianifolia (Wollf) DC. Asteraceae Annual Magnoliopsida v v v
37 Eulophia graminae Lindl. Orchidaceae Annual Liliopsida v
38 Fimbristylis dichotoma (Linn.) Vahl. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v v v
39 Fimbristylis miliaceae (Linn.) Vahl. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v v v
40 Fimbristylis schoenoides (Retz.) Vahl. Cyperaceae Annual Liliopsida v v
41 Fimbristylis sp.1 Cyperaceae Annual Liliopsida v
42 Fimbristylis sp.2 Cyperaceae Annual Liliopsida v
43 Hyptis capitata Jacq. Lamiaceae Annual Magnoliopsida v v
44 Ipomoea aquatica Forsk. Convolvulaceae Annual Magnoliopsida v
45 Lindernia crustacea (Linn.) F.Muell. Scrophulariaceae Annual Magnoliopsida v v
46 Melochia corchorifolia Linn. Sterculiaceae Annual Magnoliopsida v v v
47 Mitracarpus hirtus (Linn.) DC Rubiaceae Annual Magnoliopsida v
48 Polygala paniculata Linn. Polygalaceae Annual Magnoliopsida v
49 Porophyllum ruderale (Jacq.) Cass. Asteraceae Annual Magnoliopsida v v v v v
50 Scleria bancana Miq. Cyperaceae Annual Liliopsida v
51 Scleria sumatrensis Retz. Cyperaceae Annual Liliopsida v v v v v v
52 Vernonia cinerea (L.) Less. Asteraceae Annual Magnoliopsida v v v

265
53 Ottochloa nodosa Kunth. Poaceae Annual Liliopsida v
54 Alternanthera pungens Kunth. Amaranthaceae Perennial Magnoliopsida v v
55 Alternanther asessilis Linn. Amaranthaceae Perennial Magnoliopsida v v v v v
56 Centotheca lappacea (Linn.) Desv. Poaceae Perennial Liliopsida v v
57 Chloris barbata Swartz. Poaceae Perennial Liliopsida v
58 Cynodon dactylon (Linn.) Pers. Poaceae Perennial Liliopsida v v v v
59 Dactyloctenium aegyptium (Linn.) Willd. Poaceae Perennial Liliopsida v
60 Digitaria ciliaris (Retz.) Koeler Poaceae Perennial Liliopsida v v
61 Elaphoglossum blumeanum (Fée) J. Sm. Elaphoglossaceae Perennial Polypodiopsid v v
62 Elocharis dulcis (Burm. f.) Trin. ex. Henschel. Cyperaceae Perennial Liliopsida v v v
63 Erigeron sumatrensis Retz. Asteraceae Perennial Magnoliopsida v v
64 Imperata cylindrica (L.) Raeuschel Poaceae Perennial Liliopsida v v v v v
65 Leersia hexandra Swartz Poaceae Perennial Liliopsida v v v v v

66 Vitaceae Vitaceae Perennial Magnoliopsida v v

266
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

85
86
No.
87
88
67 89

68
90
69
70
71 91
72
92
73
93
74
94
75
95
76
96
77
97
78
79

80

81
82
83
84
267
Mimosa pudica Linn. Fabaceae Annual Magnoliosida v v v v
Araujia hortorum E. Fourn Asclepiadaceae Perennial Magnoliosida v v v
Name Benincasa hispida (Thunb.) Cogn. Family Life span
Cucurbitaceae Class
Perennial Age of overburden
Magnoliosida (month)v
Centrosema molle Benth. Fabaceae Perennial 7 10
Magnoliosida11 42 59 64 v v
Ludwigia hyssopifolia (G. Don)pubescens
Centrosema Exell. Benth. Onagraceae Perennial
Fabaceae Magnoliopsida
Perennial Magnoliosida v v v v v v
Neyraudia reynaudiana (Kunth) Keng ex Hitchc Poaceae Perennial Liliopsida v v v v v
Hodgsonia heteroclita (Roxb.) Hook f. & Thomson Cucurbitaceae Perennial Magnoliosida v
Panicum repens Linn.
Mikania micrantha Kunth. Poaceae Perennial
Asteraceae Liliopsida
Perennial Magnoliosida v v v
Paspalum conjugatum Berg. foetida Linn.
Passiflora Poaceae Perennial
Passifloraceae Liliopsida
Perennial v v
Magnoliosida v vv v vv v v v
Paspalum dilatatum Poir. Poaceae Perennial Liliopsida v v v v v v
Wedelia trilobata (Linn.) Hitchc. Asteraceae Perennial Magnoliosida v v
Paspalum scrobiculatum Linn. Poaceae Perennial Liliopsida v v v v v v
Bryophyte
Phyllanthus urinaria Linn. Euphorbiaceae Perennial Magnoliosida v v
Bryophyta Annual v v v v V
Rhyncospora corymbosa (Linn.) Britton Cyperaceae Perennial Liliopsida v v v v v v
Ferns
Saccharum spontaneum Linn. Poaceae Perennial Liliopsida v v
Fern sp.1 Annual v
Sacciolepis indica (Linn.) Chase Poaceae Perennial Liliopsida v v v
Christella dentata (Forsk.) Browney & Jermy Thelypteridaceae Perennial Filicopsida v
Sacciolepis strata (Linn.) Nash Poaceae Perennial Liliopsida v
Lycopodium cernuum Linn. Lycopsida Annual Lycopodiopsida v
Scirpus mucronatus (Linn.) Palla Cyperaceae Perennial Liliopsida v v v
Lygodium microphyllum (Cav.) R Br. Lygodiaceae Annual Filicopsida v v
Typha angustifolia Linn. Typhaceae Perennial Liliopsida v v v v v v
Nephrolepis sp. Nephrolepidaceae Annual Filicopsida v
Liana
Blechnum orientale Linn. Blechnaceae Perennial Pterdidopsida v v
Citrullus lanatus (Thunb.) Cucurbitaceae Annual Magnoliosida v
Pityrogramma calomelanos (Linn.) Link Polypodiaceae Perennial Pterdidopsida v v v v v

268
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

No. Name Family Life span Class Age of overburden (month)

7 10 11 42 59 64
98 Pteridium esculentum (G. Forst.) Cockayne Dennstaedtiaceae Perennial Pteridopsida v

99 Pteris vittata Linn. Pteridaceae Perennial Filicopsida v v v v


Shrubs
100 Blumea balsaminifera (Linn.) DC. Asteraceae Perennial Magnoliosida v v v
101 Chromolaena odorata (Linn.) King & Robinson Asteraceae Perennial Magnoliosida v v v v v v
102 Clibadium surinamense Linn. Asteraceae Perennial Magnoliosida v v v v v v
103 Lantana camara Linn. Verbenaceae Perennial Magnoliosida v
104 Leea indica (Burm.f.) Merr. Vitaceae Perennial Magnoliosida v v
105 Melastoma malabathricum Linn. Melastomaceae Perennial Magnoliosida v v v v
106 Piper aduncum Linn. Piperaceae Perennial Magnoliosida v
107 Solanum torvum Swartz. Solanaceae Perennial Magnoliosida v v v v v
108 Trema micrantha (L.) Blume Ulmaceae Perennial Magnoliosida v v v v v v

109 Trema orientalis (L.) Blume Ulmaceae Perennial Magnoliosida v v v v v v


Trees
110 Morinda citrifolia Linn. Rubiaceae Perennial Magnoliosida v
111 Ochroma pyramidale (Cav. Ex Lam.) Urb. Bombacacea Perennial Magnoliosida v
112 Acacia mangium Wild. Fabaceae Perennial Magnoliosida v v v
113 Anthocephalus macrophyllus Havil. Rubiaceae Perennial Magnoliosida v
114 Homalanthus populifolius Graham Euphorbiaceae Perennial Magnoliosida v v v v
115 Macaranga gigantea (Reichb.f.& Zoll.) Műll.Arg. Euphorbiaceae Perennial Magnoliosida v

269
116 Macaranga tanarius (L.) Muell.Arg. Euphorbiaceae Perennial Magnoliosida v v
117 Mollatus paniculatus (Lam.) Mull.Arg. Euphorbiaceae Perennial Magnoliosida v v
118 Palaquium oblongifolium (Burck) Burck Sapotaceae Perennial Magnoliosida v
119 Tree sp. 1 Perennial Magnoliosida v
120 Tree sp. 2 Perennial Magnoliosida v
121 Tree sp. 3 Perennial Magnoliosida v
122 Tree sp. 4 Perennial Magnoliosida v
123 Psidium guineense Swartz Myrtaceae Perennial Magnoliosida v

270
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

Particular species of Poaceae, i.e., Paspalum condition (Figure 6). It indicates that Cyperaceae
needs better substrate physically (grain size) and
chemically (humidity) than Poaceae. According to
conjugatum, Paspalum dilatatum, and
Del Moral and Bliss (1993), undulating area gives
Echinochloa colona are mostly present among the
higher soil humidity because of the present of
boulders, cobble and gravel. While, Cyperacea
such as Fimbristylis miliaceae, Cyperus javanicus, stagnant water and keep refined particle compare
Rhyncospora corymbosa, and Scleria sumatrens is to the flat area.
generally found in and around the bassin that
contain refined substrate and moist

Figure 6. Substrate of Cyperaceae (A-C) and Poaceae (D-F)

271
Figure 7. Seedling of Ochroma pyramidale (top) and Homalanthus populifolius (bottom) at the age of
seven months coal mine OB dump

According to Aththorick (2005), cover vegetation small shrubs. Some of them are annual, binual and
commonly are Poaceae, Cyperaceae, and perennial with life form are clump, solitary, erect,
Asteraceae. They are grass, sedge, herbs, and liana or climbing. Odum (1993) states that early

272
Plant species from coal mine overburden dumping site in Satui, South Kalimantan, Indonesia

Almas, A.R., Bakken, L.R. and Mulder, J. 2004.


Changes in tolerance of soil microbial communities
stage development of a community is characterized in Zn and Cd contaminated soils. Soil Biology and
Biochemistry 36: 805–813.
by low organic matter while inorganic nutrients are
extrabiotic, biochemical diversity is low and space
heterogeneity is high. Vegetation that able to
utilize that kind of community structure is species
with reproduction strategy “ruderal selection” and
production is based on quantity. This vegetation is
herbs and mostly is grass. Some of certain shrubs
and trees have been present at the age of seven
months on coal mine OB dump, shows that
substrate has been available for vascular plants.
They are Chromolaena odorata, Clibadium
surinamense, Melastoma malabathricum, Trema
micrantha, Solanum torvum (shrubs), Ochroma
pyramidale and Homalanthus populifolius (trees)
(Figure 7). This result indicates that revegetation
acceleration can be done on coal mine OB dump by
applying plant species above which have been
proven able to grow on substrate OB condition.
However, species selection is needed to avoid
planting of invasive species such as Acacia
mangium and Centrosema pubenscens.

Conclusions

Although physical, chemical and biological of coal


mine OB substrates do not support the growth of
many plants, but there are particular species
present on OB substrate. Cyperaceae (such as
Fimbristylis miliaceae, Cyperus compactus,
Scleria sumatrensis, Rhyncospora corymbosa)
often found in and around ponds, while Poaceae
(Paspalum conjugatum and Echinocloa colona)
and liana (Passiflora foetida, Hodgsonia
heteroclita and Benincasa hispida) are generally
present among boulders, rubble, gravel and
pebbles. Accelerating succession on coal mine OB
dumps can be implemented by planting the species
above (Table 2), but selection is needed to avoid
invasive species.

Acknowledgements

The Author is greatful to PT. Arutmin Indonesia,


especially Satui Mine Project, South Kalimantan for
supporting financial and all facilities for this study.
Author are also thankful to the anonymous reviewer for
his critical suggestions and comments in improving the
manuscript.

References

273
PT. Arutmin Indonesia. 2009. Terms of Reference Draft
for the Environmental Impact Assessment.
Aththorick, T.A. 2005. Similarities of ground cover Increased Coal Production PKP2BDU318/South
Kalimantan, Satui Mine and DU-308 /South
plant communities in several types of plantation
Kalimantan Mine, Karuh Kintap District of Tanah
ecosystems in Labuhan Batu. Journal of
Laut subdistrict Satui Tanah Bumbu regency, South
Communication Studies 17:42-48
Kalimantan. Banjarmasin.
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia).
2008. Examination results the second half of the Setianingprang, P. and Riawan, I. 2008.Role of
fiscal year (ta) 2007 for the general mining damage Geological Data for Preventing Acid Mine Drainage
control in 2003-2007 in the Department of Energy on Coal Mine: Case Study at PT. Indominco Mandiri.
and Mineral Resources and related companies in Proceeding Seminar of Acid Mine Drainage and
South Kalimantan and East Kalimantan, in Jakarta, Ex-Mine Land Reclamation in Indonesia. Bandung.
Banjarmasin and Samarinda. Main Auditor at State
Finance IV.

Del Moral, R. and Bliss, L.C. 1993. Mechanisms of


primary succession: insights resulting from the
eruption of mount St.Helens. Advances in Ecological
Research 24:1-66

Dobson, A.P., Bradshaw, A.D., Baker, A.J.M. 1997.


Hopes for the future: restoration ecology and
conservation biology. Science 277:515–522.

Gautama, R.S. 2007. Speech of Professor of ITB: Mine

drainage management: an important aspect in

environmentally mining.

http://www.itb.ac.id/news/trackback/1486.

Ghose, M.K. 2004. Effect of opencast mining on soil


fertility. Journal of Scientific and Industrial
Research 63 1006–1009.

Glenn-Lewin, D.C., Peet, R.K. and Veblen, T.T. (eds.)


1992. Plant Succession: Theory and Prediction. ix +
352 pp. Chapman and Hall, New York, NY. ISBN
0-412-26900-7.

Gogoi, J., Pathak, N., Dowarah, J. and Deka Boruah, H.P.


2007. In Situ Selection of Tree Species in
Environmental Restoration of Open cast Coal mine
Wasteland; Proceedings of Int. Sem. on MPT 2007.
Allied Publisher. p 678–681.

Hairiah, K., Widianto, Utami, S,R., Suprayogo, D.,


Sunaryo, S.M., Lusiana, B., Mulia, R., van
Noordwijk, M. and Cadisch, G. 2000. Acidic Soil

Management Biologically: Reflections on


Experience of North Lampung. SMT Grafika Desa
Putera, Jakarta.

Matson, P.A., Parton, W.J., Powere, A.G. and Swift, M.J.


1997. Agricultural intensification and ecosystem
properties. Science. 277 504–509.

Novianti, V. 2013. Process of Primary Succession and


Its Application on Previously Mined Coal Areas.
PhD thesis. Bandung (ID): Institut Teknologi
Bandung.

Odum, E.P. 1993. Basics Ecology.Third edition.


Translated by Tjahjono Samingan. Gajah Mada
University Press. Jogjakarta.

274
BAB 8

J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 23, No.3, September 2016:


381-389

PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR KABUPATEN BULELENG MELALUI


PENGEMBANGAN MINA WISATA BAHARI (Management of Buleleng Coastal
Areas Through the Marine Fisheries Tourism Development)

Gede Ari Yudasmara*


Jurusan Budidaya Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Pendidikan Ganesha, Jl. Udayana No. 11, Singaraja-Bali, 81116.

*
Korespondensi: Tel: 082147662800. Email: ariyudasmara@gmail.com.

Diterima: 18 Desember 2015 Disetujui: 5 Agustus


2016

Abstrak

Kawasan pesisir Kabupaten Buleleng saat ini telah dimanfaatkan dengan berbagai kegiatan
kepariwisataan, akan tetapi kegiatan tersebut masih belum memberikan manfaat yang optimal bagi
masyarakat dan memiliki kecenderungan mengalami kejenuhan. Untuk itu, diperlukan suatu
pengembangan wisata alternatif yang sesuai dengan kondisi dan potensi sumber daya alam yang ada serta
saling bersinergi dengan aktivitas wisata lainnya, seperti contohnya pengembangan mina wisata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kondisi dan potensi sumberdaya alam pesisir
dan laut, tingkat kesesuaian kawasan pesisir Buleleng dalam menunjang pengembangan mina wisata dan
menghasilkan model aktivitas mina wisata di kawasan pesisir Buleleng yang terpadu dan berkelanjutan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kesesuaian kawasan dengan rancangan penelitiannya berupa
survei lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesisir Kabupaten Buleleng apabila dilihat dari
kondisi dan potensi sumberdaya alamnya masih mampu untuk mendukung aktivitas mina wisata dengan
tingkat kesesuaian kawasan berdasarkan indeks kesesuaian wisata, yaitu pesisir Buleleng timur
terkategori cukup sesuai (76,92), pesisir Buleleng tengah terkategori cukup sesuai (61,53) dan pesisir
Buleleng barat terkategori sangat sesuai (87,17). Rencana model mina wisata yang dapat dikembangkan
antara lain pesisir Buleleng timur adalah mina wisata budidaya laut (ikan hias dan karang) dan mina
wisata perikanan tangkap (pemancingan dan spearfishing adventures), pesisir Buleleng tengah adalah
mina wisata budidaya laut (rumput laut) dan mina wisata perikanan tangkap (pemancingan dan
spearfishing adventures), dan pesisir Buleleng barat adalah mina wisata budidaya laut (rumput laut,
Bandeng, Kerapu, Mutiara, ikan hias dan karang) dan mina wisata perikanan tangkap (pemancingan dan
spearfishing adventures).

Kata kunci: kawasan pesisir Buleleng, mina wisata, wisata bahari, pengelolaan, tingkat kesesuaian.

Abstract

Buleleng coastal area has been used for various tourism activities, however, the activities have not
given an optimum benefit for the community and tend to experience saturation. This study was aimed at
investigating the condition and potentiality of the coastal area and the sea, the degree of fit of Buleleng
coastal area in supporting the development of fisheries tourism and at producing a model of the coastal
area tourism activities that are integrated and sustainable. This study used the approach of area
suitability with field survey design. The results showed that Buleleng regency coastal area, viewed from
275
the point of the condition and the potentiality of the natural resources still has the capacity to support
fisheries tourism. The model plannings of fisheries tourisms that can be developed, among others, are:
the East Buleleng coastal area (76.92) is suitable for marine culture fisheries tourism (ornamental fish
and coral) and fished fisheries tourism (fishing and spearfishing adventures); the central Buleleng
coastal area (61.53) for marine culture fisheries tourism (seaweed) and fished fisheries tourism (fishing
and spearfishing adventures), and the West Buleleng coastal area (87.17) for marine culture fisheries
tourism (seaweed, milk fish, grouper, pearl, ornamental fish and coral) and fished fisheries tourism
(fishing and spearfishing adventures).

Keywords: Buleleng coastal area, fisheries tourism, level of conformity, management, marine tourism.

276
PENDAHULUAN pengembangan dan peningkatan sektor
kepariwisataan. Kendatipun kabupaten ini telah
mengembangkan kegiatan kepariwisataan, terutama
Kabupaten Buleleng yang secara geografis wisata bahari, namun kegiatan tersebut masih belum
terletak di bagian utara Pulau Bali memiliki potensi memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat
kelautan cukup tinggi. Hal ini terkait dengan panjang dan memiliki kecenderungan mengalami kejenuhan.
pantai hingga mencapai 157,05 km (Anonim, 2013). Saat ini aktivitas wisata bahari di Kabupaten Buleleng
Kondisi ini tentunya memberikan peluang bagi masih mengandalkan wisata selam
berbagai usaha pemanfaatan termasuk di dalamnya

277
382 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 3

(diving), snorkeling, dan dolphin watching pada


beberapa tempat wisata seperti kawasan Lovina, Batu
Ampar, Sambirenteng dan Pulau Menjangan. Di sisi
lain kualitas sumberdaya dan lingkungan di beberapa
tempat wisata juga mengalami penurunan. Sebagai
contoh di tahun 2010, penurunan atau kerusakan
kondisi ekosistem terumbu karang pada kawasan
Pulau Menjangan telah mencapai hingga 46

bb. (Yudasmara, 2010). Penurunan ini juga diikuti


oleh penurunan jumlah kunjungan wisatawan ke
Pulau Menjangan dari tahun 2001 sebesar 21.660
orang menjadi 13.970 orang di tahun 2011
(Yudasmara, 2013).

Kondisi tersebut menggambarkan aktivitas


wisata bahari di Kabupaten Buleleng perlu dibenahi
dan dikembangkan lagi, tidak hanya dengan atraksi
wisata yang sudah ada tetapi juga mengembangkan
aktivitas wisata alternatif lainnya yang sesuai dengan
kondisi dan potensi sumber daya alam yang ada serta
saling bersinergi dengan aktivitas wisata yang sudah
lebih dahulu ada, seperti contohnya pengembangan
mina wisata bahari. Mina wisata adalah pemanfaatan
kawasan wisata dengan pengembangan produksi
perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat
pengguna akan pengembangan perikanan pada
kawasan wisata tersebut (Darmawan dan Miftahul,
2012). Dengan kata lain, mina wisata adalah Gambar 1. Lokasi penelitian.
pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat
dan wilayah yang berbasis pada pemanfaatan potensi
sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara
terintegrasi pada suatu wilayah tertentu (Kasnir, 2011). METODE PENELITIAN
Erlend dkk. (2011), Volstad dkk. (2011), Strehlow
dkk. (2012) dan Ferter dkk. (2013) menyebutkan
bahwa pengembangan wisata perikanan dapat Waktu dan Lokasi
meningkatkan keuntungan ekonomi dalam skala lokal
dengan beberapa skenario pengelolaan di dalamnya.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April
Oleh karena itu, peneliti memandang perlu segera
sampai Agustus 2014 dengan lokasi penelitian
dihasilkan suatu alternatif pengembangan dan
sepanjang pesisir Kabupaten Buleleng-Bali Utara
pengelolaan wisata bahari yang secara terintegrasi
yang terbagi dalam 3 (tiga) stasiun pengamatan, yaitu:
melibatkan seluruh komponen ekologi/lingkungan,
pesisir Buleleng Timur, Tengah, dan Barat (Gambar
ekonomi dan sosial masyarakat melalui sebuah model
1). Secara spesifik pengambilan sampel di ketiga
mina wisata bahari terpadu dan berkelanjutan dengan
stasiun tersebut mempertimbangkan kawasan yang
harapan model ini mampu meningkatkan daya saing
masyarakat Buleleng-Bali. Untuk itu, perlu dikaji dan sudah ada aktivitas wisatanya, dengan maksud agar
dianalisis kondisi dan potensi sumberdaya alam mudah diperkenalkan kepada para wisatawan yang
pesisir-laut, aktivitas ekonomi wisata bahari, kondisi datang berkunjung ke kawasan tersebut.
sosial budaya masyarakat lokal, dan tingkat
kesesuaian kawasan pesisir Buleleng dalam
menunjang aktivitas Mina wisata bahari serta untuk Prosedur Penelitian
menemukan dan menghasilkan model pengembangan
dan pengelolaan Mina wisata bahari yang tepat dan Penelitian ini menggunakan rancangan berupa
optimal secara ekologi, ekonomi dan sosial dalam survei lapangan. Untuk pengamatan kondisi karang
menjamin keberlangsungan sumber daya alam dan278 menggunakan metode Manta Tow dan Line
kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Intercept Transect (LIT) mengikuti English dkk.
(1994), pengamatan ikan menggunakan
Underwater fish Visual Census (UVC),
pengamatan kualitas air menggunakan alat water
quality checker (merk Horiba), dan pengamatan
sosial ekonomi masyarakat melalui wawancara
langsung dan penyebaran kuesioner.

Analisis Data

Data yang diperoleh, dianalisis secara


deskriptif kualitatif dan kuantitatif tanpa
menggunakan analisis statistika. Untuk penutupan
karang, dihitung dengan rumus tutupan karang
hidup menurut English dkk. (1994), yaitu :

Panjang kategori life form ke-i


Penutupan karang =

Total panjang transek

100% (1)
Bachtiar (2001) menyatakan bahwa persentase
penutupan terumbu karang dapat dibagi menjadi lima
kategori, yaitu sangat jelek : 0 - 10 %, jelek : 11

279
September 2016 GEDE ARI YUDASMARA : PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR 383

42. 30 %, sedang : 31 - 50 %, baik : 51 - 75 % dan di mana :


sangat baik : 76 - 100 %.
IKW = indeks kesesuaian wisata
Untuk menganalisis kesesuaian lahan ini
mengacu pada Hutabarat dkk (2009), adalah Ni = nilai parameter ke-i (bobot x skor)
sebagai berikut: Nmak = nilai maksimum

Ni Pada tabel 1 disajikan matriks kesesuaian lahan


yang digunakan untuk skoring pada penelitian ini.
IKW = ΣN mak 100 (2)
> 50 0
Tabel 1. Matriks kesesuaian lahan. Sumber: Davis dan Tisdell (1995); Davis dan Tisdell
(1996); deVantier dan Turak (2004); Hutabarat dkk.
No Parameter Bobot Standar Skor

Parameter (2009); Simon dkk. (2004).


1 Tutupan 3 > 75 3 Keterangan:
karang > 50 - 75 2 Nilai maksimum = 39
hidup (%) 25 - 50 1 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai IKW 80 – 100
< 25 0 S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai IKW 45 - < 60
2 Kecerahan 3 100 3 S2 = Cukup sesuai, dengan nilai IKW 60 - < 80
perairan 80 - < 100 2 S4 = Tidak sesuai, dengan nilai IKW < 45
(%) 20 - < 50 1
< 20 0

3 Jumlah 2 > 12 3 100

jenis life < 7 - 12 2 80

form 4-7 1 (%)


<4 0 60
Stasiun
4 Jumlah 2 > 100 3
Persentase

jenis ikan 50 - 100 2 I


40
karang 20 - < 50 1
Stasiun
< 20 0
20 II
5 Kedalaman 2 6 - 15 3

terumbu > 15 – 20 2
0
karang (m) atau 3 - 5 1
Penyusun tutupan karang
> 20 - 30 0
> 30 atau <
3
6 Kecepatan 1 0 - 15 3
arus > 15 - 30 2
(cm/det) > 30 - 50 1 280
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk persentase tutupan karang hidup pada
kedalaman 10 meter sebesar 16,45 % untuk jenis
acropora, non acropora sebesar 12,23 %, biota lain
Kondisi dan Potensi Sumber Daya Kawasan 9,58 %, dead coral 10,05 % dan abiotik 9,20 %.
Pesisir Buleleng
Jenis acropora yang ditemukan didominasi
Ekosistem terumbu karang oleh acropora branching, acropora digitate, dan
Terumbu karang sebagai salah satu sumber daya acropora tabulate sedangkan non acropora
alam di kawasan pesisir Buleleng memiliki gugusan didominasi oleh coral foliose, coral branching, dan
karang yang sangat khas. Berdasarkan hasil
pengamatan pada 3 stasiun pengamatan (pesisir
Buleleng timur, pesisir Buleleng tengah dan pesisir
Buleleng barat), memiliki kontur karang yang
25
beranekaragam dari kontur yang datar sampai ke
kontur yang tiba-tiba berubah drastis menjadi terjal 20
atau dalam istilah selam disebut “drop off”.
(%
)
Pesisir Buleleng secara keseluruhan hampir
merata dikelilingi oleh terumbu karang dari jenis 15 Stasiun I
karang tepi. Gambaran persentase tutupan karang di Per
sen
tas

pesisir Buleleng disajikan pada Gambar 2. e

10 Stasiun
Lokasi titik pengamatan pertama berada di II
pesisir Buleleng bagian timur, yaitu sekitar
kecamatan Tejakula pada kedalaman 3 dan 10 5 Stasiun
meter, terdapat hamparan pasir hitam yang luas. III
Hasil yang didapatkan dengan menggunakan
metode LIT, bahwa persentase tutupan karang
0
hidup pada kedalaman 3 meter sebesar 49,35 %
jenis acropora, non acropora 36,68 %, biota lain Penyusun tutupan karang
28,73 %, dead coral 30,15 % dan abiotik 27,60 %.

(a) (b)

Gambar 2. Persentase tutupan karang pada kedalaman (a) 3 dan (b) 10 meter.

281
384 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 3

Kondisi ini dapat disebabkan karena pada stasiun II


banyak terdapat pemukiman penduduk, hotel,
gedung-gedung, dan beberapa muara air sungai.
coral massive. Selain itu, dijumpai pula biota Kondisi inilah yang mengakibatkan pada stasiun II
lainnya seperti soft coral dan zooxanthid serta ini tutupan karang hidupnya rendah. Terumbu
karang mati. Komponen abiotik terdiri dari pasir karang akan sulit hidup dan berkembang apabila di
dan rubble (pecahan karang). lingkungan perairannya tidak mendukung untuk

Pada stasiun pengamatan I ini profil rataan


terumbu dengan kedalaman kurang dari 3 meter
banyak diisi oleh hamparan pasir dan karang mati,
namun semakin jauh dari pantai semakin banyak
karang yang hidup dengan kedalaman lebih dari 3
meter atau berada pada tubir karang. Begitu pula
pada kedalaman 10 meter banyak ditemukan
patahan-patahan karang, kondisi ini diakibatkan
sebelumnya telah terkena hama Acanthaster plancii
dan terjadi bleaching. Kondisi ini juga diakibatkan
oleh pelemparan/penambatan jangkar dan aktivitas
pariwisata yang tidak bersahabat.

Penyelaman dan snorkeling yang ceroboh


berpotensi dalam memindahkan patahan karang
maupun menambah terjadinya patahan karang
tersebut. Morfologi tubir dengan derajat
kemiringan yang cukup tinggi, menyebabkan
jatuhnya patahan karang ke kedalaman di
bawahnya, sehingga berpotensi menimbulkan
kerusakan fisik berantai. Secara umum dapat
dikatakan bahwa tutupan karang hidup di stasiun I
memiliki kondisi sedang, yaitu sebesar 57,35 %.

Stasiun kedua berada di pesisir Buleleng bagian


tengah, yaitu berada didekat pemukiman penduduk.
Transek diambil pada kedalaman 3 meter dan 10 meter.
Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3
meter adalah sebesar 26,44 % dari jenis acropora dan
non acropora sebesar 22,80 %. Selain itu, ditemukan
juga biota lain seperti soft coral dengan persentase
tutupan sebesar 21,15 % serta komponen abiotik yang
sedikit berupa substrat pasir dan rubble sebesar
31,80 %.

Pada lokasi ini karang mati yang ditemukan


berupa bongkahan karang mati dari jenis massive
dengan persentase sebesar 40,31 %. Persentase
tutupan karang pada kedalaman sekitar 10 meter
adalah sebesar 8,81 % yang didominasi oleh jenis
acropora dan jenis non acropora hanya 7,60 %.
Pada lokasi ini juga dijumpai juga biota lain seperti
soft coral dengan persentase tutupan sebesar 7,05 %,
komponen abiotik yang sedikit berupa substrat
pasir dan rubble sebesar 10,60 % serta persentase
tutupan karang mati sebesar 13,44 %.

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di


stasiun II ini tergolong dalam kategori cukup, yaitu282
32,83 % dari kedua kedalaman yang diteliti.
Berdasarkan pengamatan pada tiga stasiun
menunjukkan bahwa jenis ikan karang yang
ditemukan pada umumnya berupa ikan hias dengan
hidupnya, jumlah muara sungai dan belum lagi jumlah sekitar 52 jenis. Ikan tersebut kebanyakan
jumlah aktivitas masyarakat di lingkungan pesisir, membentuk schooling fish (kumpulan ikan) dengan
sehingga memberikan tekanan yang berat bagi
karang untuk hidup dan bertahan.

Stasiun ketiga berada di pesisir Buleleng


bagian barat, yaitu berada di kecamatan Gerokgak
sampai ke kawasan Pesisir Buleleng. Semakin ke
arah barat hamparan pasirnya akan semakin
berubah dari hitam menjadi putih begitu juga
dengan vegetasi pohonnya akan lebih banyak
menemukan vegetasi mangrove daripada vegetasi
pohon lainnya, seperti kelapa, waru, dan pandan.

Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter


didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar
61,69 % dengan jenis karang berupa acropora dan
54,01 % berupa non acropora. Persentase tutupan
untuk biota lain sebesar 33,35 %, sedangkan
komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir
dan rubble sebesar 21,12 % serta persentase tutupan
karang mati sebesar 17,34 %. Untuk pengukuran
transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil
berupa acropora 20,56 % dan non acropora 18,00 %,
sedangkan 11,12 % adalah biota lain seperti soft
coral. Komponen lain seperti substrat pasir dan
rubble sekitar 7,04 % dan tutupan karang mati
sebesar 5,78 %.

Kondisi terumbu karang di stasiun ini


tergolong dalam kategori baik yaitu 77,13 %.
Kondisi lingkungan di lokasi ini memiliki
gelombang dan arus yang cukup kuat, sehingga
perlu perhatian yang lebih. Kondisi arus tersebut,
memberikan pengaruh terhadap peningkatan
jumlah karang lunak, gorgonian, sponge dan non
acropora (coral foliose, coral massive, coral
submassive, dan coral mushrom) pada rataan
terumbu, tubir, dan dinding serta profil dindingnya
yang hampir tegak lurus. Dexter dkk. (2014) dan
Stone dkk. (2015) menyatakan bahwa arus perairan
yang kuat akan membentuk corak habitat yang
cukup beragam, sehingga keanekaragaman bentuk
karang menjadi semakin tinggi.

Secara keseluruhan persentase tutupan karang


hidup di pesisir Buleleng sebesar 55.77 % atau
dalam kategori baik. Menurut kriteria dari
Hutabarat dkk. (2009), untuk aktivitas wisata bahari
diperlukan syarat kondisi tutupan karang minimal
sebesar 25 % sampai lebih dari 75 %. Hasil
perhitungan tersebut menunjukkan bahwa semua
titik stasiun pengamatan dapat menunjang
pengembangan kegiatan mina wisata bahari.
283
Ikan karang
September 2016 GEDE ARI YUDASMARA : PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR 385

Kabupaten Buleleng merupakan salah satu


kabupaten yang terletak dibagian utara Pulau Bali
berbatasan dengan Laut Bali, sehingga sebagian
warna dan bentuk yang beranekaragam.
Keanekaragaman ikan hias tersebut terdiri dari: ikan
target seperti famili Acanthuridae, famili Serranidae
dan famili Labridae; ikan indikator dari famili
Chaetodontidae dan ikan mayor seperti famili

Pomacentridae, famili Scaridae, famili


Pomacanthidae, famili Aulostomidae, famili
Balistidae, famili Ephipidae, famili Holocentridae,
famili Nemipteridae, famili Ostraciidae, famili
Pinguipedidae, famili Tetraodontidae, dan famili
Zanclidae.

Keberadaan ikan di area terumbu karang


sangat bergantung pada kondisi terumbu karang itu
sendiri. Seperti kelompok ikan indikator (ikan
Kepe-Kepe; butterfly fish; famili Chaetodontidae)
yang merupakan ikan indikator untuk menilai
kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan
yang cukup banyak. Begitu pula dengan kelompok
ikan mayor, seperti Chromis analis, Chromis
antripectoralis, Chromis caudalis dan Chromis
margaritifer yang cukup banyak dijumpai
kehadirannya hampir di setiap stasiun pengamatan.

Masih cukup banyak dijumpainya ikan


indikator, yaitu dari famili Chaetodontidae,
menandakan kondisi terumbu karang masih cukup
baik. Menurut Nybakken (1993), ikan indikator
merupakan ikan yang aktif memangsa koloni
karang, seperti ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae),
ikan Kakak Tua (Scaridae), ikan Pakal Tato
(Balistidae), dan ikan Buntal (Tretaodontidae),
Martinez dan Albenson (2013) serta Sammarco dkk
(2014) menyebutkan bahwa kehadiran ikan
Kepe-Kepe tidak terlepas dari keberadaan terumbu
karang, karena ikan ini merupakan salah satu
indikator kesehatan karang.

Semakin beragamnya spesies ikan dari kelompok


ini menandakan tingkat kesehatan karang semakin
tinggi. Keanekaragaman spesies ikan yang tinggi juga
disebabkan oleh variasi habitat yang ada di ekosistem
terumbu karang (Chateau dan Wantiez, 2009). Variasi
habitat seperti daerah berpasir, berbagai lekuk dan
celah, daerah alga, serta perairan yang dangkal atau
dalam dapat menambah keragaman tidak hanya ikan
tetapi juga biota laut lainnya, seperti berbagai jenis
dari mega benthos.

Potensi perikanan
284
Kualitas Perairan
besar wilayah kabupaten merupakan kawasan
pesisir dengan panjang pantai 157,05 km dengan Secara umum nilai rata-rata parameter kualitas
aneka ragam kekayaan laut yang potensial (luas laut air di pesisir Buleleng masih layak atau mendukung
319,680 ha). Dari penduduk yang berjumlah untuk dilakukannya kegiatan mina wisata bahari. Hal
sebanyak 786,972 pada tahun 2009 sebanyak 4.314 ini dapat dilihat dari nilai yang didapatkan masih
orang (0,67%) bermata pencaharian sebagai berada pada kisaran baku mutu air untuk wisata bahari
nelayan, sedangkan yang bekerja sebagai petani yang ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No. 51
ikan (pembudidaya) sebanyak 864 orang (0,13%) tahun 2004. Kondisi kualitas air pada perairan pesisir
(Anonim, 2013). Buleleng dapat dilihat pada Tabel 2.

Perkembangan produksi di bidang perikanan Dari 6 parameter yang diuji (Tabel 2), tidak ada
terutama perikanan tangkap di Buleleng menunjukkan parameter yang melebihi atau melewati ambang batas
peningkatan, tercermin dari peningkatan produksi baku mutu air laut untuk wisata bahari sesuai Kepmen
yang cukup pesat dari tahun 2012 sebesar 12,276 ton, Negara LH No. 51 tahun 2004. Namun kondisi yang
perlu mendapat perhatian adalah di stasiun II, di mana
2013 sebesar 14,243 ton dan di tahun 2014 sebesar
kondisi periran lebih rendah dari stasiun lainnya.
17,711 ton dengan 27 jenis ikan yang tertangkap
Kondisi kualitas perairan stasiun II tidak terlepas dari
(Anonim, 2014). Potensi perairan kabupaten Buleleng,
keadaan pesisirnya yang banyak terdapat pemukiman
selain memiliki potensi perikanan tangkap juga
penduduk dan letaknya yang cukup dekat dengan
mempunyai potensi perikanan budidaya. Kawasan
pantai, sehingga limbah antropogenik dapat masuk ke
laut yang dapat dimanfaatkan sebagai budidaya
perairan.
mencapai luas 1000 ha, dengan jenis budidaya sebagai
berikut : 1) budidaya Kerapu dan Bandeng yang dapat
seluas 500 ha dan pada tahun 2012 pemanfaatan baru Kondisi kualitas perairan pesisir Buleleng yang
mencapai 3,50 ha (0,70%) dengan hasil produksi secara umum masih tergolong baik, sudah tentu akan
sebesar 56,70 ton, dan sisa peluang investasi seluas berpengaruh terhadap biota dan lingkungan sekitar-
496,5 ha (99,3% ) (Anonim, 2013).

Tabel 2. Kondisi kualitas perairan lokasi penelitian.


Stasiun Temperatur (ºC) Turbiditas (NTU) pH Salinitas ( 0/00) DO (mg/L) NH3 (mg/L)
1 28 0,055 7,6 31,4 7,87 0
2 29 2,033 7,4 30,0 6,88 0
3 28 0,030 7,8 31,8 8,05 0
Sumber : Hasil pengukuran.

285
386 J. MANUSIA
DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 3

nya termasuk di dalamnya adalah terumbu karang.


Semua karang hermatipik membutuhkan cahaya
yang cukup untuk kegiatan fotosintesis. Karang
hermatipik adalah karang yang mampu dapat menurunkan pertumbuhan dan potensi
menghasilkan terumbu. Karang hermatipik hidup reproduksinya (Abelson dan Yehiam, 2002).
bersimbiosis dengan alga (zooxanthellae) yang
melakukan proses fotosintesis. Penetrasi cahaya
matahari (illumination) sangat menentukan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kawasan
kedalaman habitat terumbu karang (Sammarco dkk.
2014)
Pertumbuhan karang ditinjau dari penetrasi Pesisir Buleleng
cahaya yang biasanya rendah diakibatkan oleh Secara sosial budaya masyarakat pesisir
jumlah partikel-partikel tersuspensi dari air sungai Buleleng telah mengenal dan terbiasa dalam hal
yang masuk ke laut (Harris dkk. 2013). Kekeruhan pariwisata terutama aktivitas wisata bahari, maka
dan sedimentasi yang terjadi di pesisir Buleleng pengembangan kegiatan mina wisata bahari dapat
masih dalam batas yang dapat ditoleransi oleh diterima oleh masyarakat terlebih aktivitas ini
organisme karang, namun demikian sedimentasi dan merupakan pengembangan aktivitas wisata bahari
kekeruhan sangat berpotensi terjadi karena dekat yang telah ada atau telah eksis sebelumnya seperti
dengan daratan, sehingga merupakan ancaman bagi
diving dan snorkeling sehingga dapat menjadi
terumbu karang.
alternatif aktivitas wisata serta dapat menjadi
Kekeruhan air laut dan sedimentasi dapat jembatan antara masyarakat yang bermata
memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan pencaharian dari sektor pariwisata dengan masyarakat
karang dan morfologi karang (McManus dkk. 2000). yang berprofesi sebagai nelayan, karena konsep mina
Kekeruhan yang disebabkan nutrien yang kaya di wisata berbasiskan perikanan, sehingga ada sinergi di
perairan akan membahayakan karang dan bahkan
dalam pemanfaatan sumberdaya untuk mewujudkan
mampu membunuh terumbu karang, salah satunya
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat pesisir.
adalah akibat kompetisi antara karang dengan alga
Erlend dkk. (2011) menyebutkan bahwa wisata
yang sudah sangat luas terjadi di sejumlah terumbu
perikanan dapat memberikan stimulus positif bagi
karang dengan melibatkan sejumlah interaksi. Karang
masyarakat lokal dari segi ekonomi.
yang bertahan di bawah kondisi stres berat

Analisis Dampak Kegiatan Wisata Bahari

Terhadap Masyarakat
Suatu kegiatan apapun yang memanfaatkan
alam atau lingkungan, pasti memiliki dampak.
Untuk menganalisis dampak tersebut digunakan
analisis melalui penggunan matriks IFE (Tabel 3)
dan EFE (Tabel 4).

Tabel 3. Hasil pengolahan matriks IFE.


Faktor-faktor strategi internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
1. Potensi biofisik. 0,212 4 0,848
2. Dukungan dari masyarakat. 0,198 4 0,792
3. Potensi tenaga kerja. 0,089 4 0,356

Kelemahan
1. Keterampilan yang masih rendah. 0,113 2 0,226
2. Pendidikan yang masih rendah. 0,114 2 0,228

286
3. Kurangnya modal usaha. 0,274 1 0,274

Total 1,000 - 2,724


Nilai rating: 1: kelemahan mayor, 2: kelemahan minor, 3: kekuatan minor, 4: kekuatan mayor.

Tabel 4. Hasil pengolahan matriks EFE.


Faktor-faktor strategi eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
1. Adanya kesempatan kerja. 0,086 3 0,258
2. Adanya kesempatan berusaha. 0,132 4 0,528
3. Diversifikasi usaha. 0,142 4 0,568

4. Bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat. 0,140 3 0,420


Ancaman
1. Kerusakan sumberdaya. 0,088 3 0,264

2. Tumpang tindih kewenangan. 0,183 4 0,732


3. Pencemaran lingkungan. 0,144 2 0,288
4. Perubahan pola hidup. 0,085 2 0,170

Total 1,000 - 3,228


Nilai rating: 1 = respon masyarakat kurang, 2 = respon rata-rata, 3 = respon bagus, 4 = respon masyarakat sangat bagus

287
September 2016 GEDE ARI YUDASMARA : PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR 387

Tabel 5. Rencana model pengembangan mina wisata.


No Wilayah Aktivitas
1. Mina wisata perikanan budidaya (ikan hias dan karang)
1 Pesisir Buleleng Timur 2. Mina wisata perikanan tangkap (pemancingan, spearfishing adventures)
3. Reef walking
1. Mina wisata perikanan budidaya (rumput laut)
2 Pesisir Buleleng Tengah
2. Mina wisata perikanan tangkap (pemancingan, spearfishing adventures)
1. Mina wisata perikanan budidaya (rumput laut, Bandeng, Kerapu, Mutiara,

ikan hias, karang)


3 Pesisir Buleleng Barat
2. Mina wisata perikanan tangkap (pemancingan, spearfishing adventures)

3. Reef walking

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan


Hasil perhitungan matriks IFE, berdasarkan akan mendapatkan keuntungan ganda. Pertama
nilai rating maka diperoleh faktor internal yang mereka memperoleh pendapatan keluarga melalui
menjadi kekuatan utama (mayor) dari masyarakat pemanfaatan sumberdaya untuk pariwisata, kedua
yaitu potensi biofisik dengan skor nilai 0,848, mereka pasti menjaga kelestarian dan
dukungan dari masyarakat dengan skor nilai 0,792, keberlangsungan dari sumberdaya yang
dan potensi tenaga kerja dengan skor nilai 0,356.
dimanfaatkan karena jika sumberdaya rusak maka
Kekuatan minor dari masyarakat tidak ada. Untuk
akan berdampak pada penurunan penghasilan
faktor internal yang menjadi kelemahan terpenting
mereka sehingga secara tidak langsung mereka
bagi masyarakat dalam pengembangan wisata
akan menjaga keberadaan sumberdaya tersebut agar
bahari yaitu kurangnya modal usaha dengan skor
tetap mendapatkan penghasilan untuk keperluan
nilai 0,274.
keluarga mereka.

Untuk hasil perhitungan matriks EFE, faktor


eksternal yang menjadi peluang terpenting bagi
masyarakat dalam pengembangan mina wisata bahari
yaitu diversifikasi usaha dengan skor nilai 0,568, dan
adanya kesempatan berusaha dengan skor nilai 0,528.
Untuk faktor ekternal yang dapat menjadi ancaman
bagi masyarakat dan dapat mempengaruhi
pengembangan wisata bahari berupa tumpang tindih
kewenangan dengan skor nilai 0,732.

Dilihat dari hasil perhitungan matriks IFE dan


EFE tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat
menginginkan adanya pengembangan wisata bahari di
tempat tinggal mereka. Untuk itu masyarakat harus
diberi kesempatan ikut serta atau dilibatkan dalam
pengelolaan, terlebih untuk konsep pengelolaan pulau
Menjangan yang berkelanjutan yang menjadi
alternatif strategi pengelolaan. Dengan melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan, selain dapat menjamin
kelestarian sumberdaya kelautan juga dapat menjamin
kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakat
sekitarnya.
288
Nijikuluw (2002), menyatakan bahwa pelibatan
masyarat lokal dalam pengelolaan meberikan manfaat
positif yaitu mampu mendorong pemerataan (equity)
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, mampu
merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang
spesifik, responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi
sosial dan lingkungan lokal dan masyarakat lokal
termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara
berkelanjutan.

Tingkat Kesesuaian, Daya Dukung Kawasan


dan Rencana Model Mina Wisata Bahari

Untuk tingkat kesesuaian dan daya dukung


kawasan dalam menunjang kegiatan mina wisata
bahari di kawasan Pesisir Buleleng dapat dikatakan
sesuai berdasarkan hasil perhitungan menurut
indeks kesesuaian kawasan untuk mina wisata
bahari dengan daya dukung yang terkategori tinggi,
sedangkan rencana bentuk model mina wisata yang
nantinya akan dikembangkan dapat dilihat pada
Tabel 5.

KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan yang diperoleh


maka dapat disimpulan bahwa pesisir Kabupaten
Buleleng apabila dilihat dari kondisi dan potensi
sumberdaya alamnya masih mampu untuk
mendukung aktivitas mina wisata bahari dengan
tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk
aktivitas mina wisata bahari terkategori sesuai,
sehingga pengembangan mina wisata di pesisir
Buleleng dapat dilakukan dengan pertimbangan
rencana bentuk model mina wisata yang
dikembangkan antara lain mina wisata perikanan
budidaya (rumput laut, Bandeng, Kerapu, Mutiara,
ikan hias, karang), mina wisata perikanan tangkap
(pemancingan, spearfishing adventures) dan reef
walking.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih


kepada pihak DP2M Dikti atas kepercayaan yang
diberikan kepada penulis untuk mengerjakan

289
388 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 3

Davis, D., dan Tisdell, C., 1996. Economic


Managementof Recreational SCUBA
Diving and The Environment. Journal of
penelitian dengan SPK nomor: 54/UN48.14/PL/ Environmental Management,
48:229-248.
2014 Tanggal 6 Maret 2014.

deVantier, L., dan Turak, E., 2004. Managing


DAFTAR PUSTAKA Marine Tourism in Bunaken National
Park and Adjacent Waters. Technical
Report was preprared by The Natural
Resources Management (NRM III)
Abelson, A., dan Yehiam, S., 2002. Comparison of Program’s Protected Areas and
The Development of Coral and Fish Agriculture Team. Manado.
Communities on Rock Aggregated Artificial
Reefs In Eilat Red Sea. ICES Journal of
Marine Science, 59:122-126. Dexter, W., Ronald, D., dan Maria, V., 2014.
Community Based, Low-Tech Method
of Restoring A Lost Thicket of Acropora
Anonim, 2001. Peta Potensi Sumber Daya Alam Corals. ICES Journal of Marine Science,
Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Buleleng 71(7):1866-1875.

Provinsi Bali, Buleleng. English, S., Wilkinson, C., dan Baker, V.,
1994.
Anonim, 2013. Buleleng Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Buleleng, Buleleng Survey Manual for Tropical Marine
250 hal. Resource.

Anonim, 2014. Produksi Penangkapan Perikanan


Laut Menurut Jenis Ikan di Kabupaten
Buleleng. Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Buleleng, Buleleng.
Bachtiar, 2001. Pengelolaan Terumbu Karang.
Pusat Kajian Kelautan Universitas Mataram.
Mataram, 74 hal.

Chateau, O., dan Wantiez, L., 2009. Movement


Patterns of Four Coral Reef Fish Species in A
Fragmented Habitat in New Caledonia:
Implications for The Design of Marine
Protected Area Networks. ICES Journal of
Marine Science, 66(1):50-55.

Darmawan, A., dan Miftahul, A., 2012.


Pengembangan Minawisata Pulau-Pulau Kecil
Untuk Mendukung Implementasi Blue
Economy . KONAS VIII Pengelolaan Pesisir,
Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Mataram.

Davis, D., dan Tisdell, C., 1995. Recreational


SCUBA Diving and Carrying Capacity in
Marine Protected Areas. Ocean and Coastal
Management, 26:19-40.

290
Nikijuluw, V., 2002. Rezim Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka
Cidesindo. Jakarta.
Australian Institute of Marine Science.

Townsville. Sammarco, P,W., Lirette, A., Tung, Y,F., Boland,


G.S., Genazzio, M., dan Sinclair, J., 2014.
Erlend, M., Jakob, G., Guillaume, L., Eirik, M., Esben, M., Coral Communities on Artificial Reefs In The
Hakan, T., dan Volstad, J., 2011. Effects of Fishing Gulf of Mexico: Standing vs Toppled Oil
Tourism in a Coastal Municipality: a Case Study Platforms. ICES Journal of Marine Science,
from Risor Norway. Ecology and Society, 71(2):417-426.
16(3):11-21.

Ferter, K., Weltersbach, M.S., Strehlow, H.V., Volstad,


J.H., Alo´s, J., Arlinghaus, R., Armstrong, M.,
Dorow, M., de Graaf, M., van der Hammen, T.,
Hyder, K., Levrel, H., Paulrud, A., Radtke, K.,
Rocklin, D., Sparrevohn, C.R., dan Veiga, P., 2013.
Unexpectedly High Catch-And-Release Rates In
European Marine Recreational Fisheries:
Implications for Science and Management. ICES
Journal of Marine Science, 70:1319– 1329.

Harris, P, Bridge, T., Beaman, R., Webster, J., Nichol, S.,


dan Brooke, B., 2013. Submerged Banks in The
Great Barrier Reef, Australia, Greatly Increase
Available Coral Reef Habitat. ICES Journal of
Marine Science, 70(2):284-293.

Hutabarat, A., Yulianda, F., Fahrudin, A., Harteti, S., dan


Kusharjani., 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut
Secara Terpadu (Edisi I). Pusdiklat

Kehutanan. Deptan. SECEN-KOREA International


Coorperation Agency.

Kasnir, M., 2011. Analisis Aspek Ekologi Penatakelolaan


Minawisata Bahari di Kepulauan Spermonde
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu
Kelautan, 16(2):61-69.

Martinez, S., dan Abelson, A., 2013. Coral Recruitment:


The Critical Role of Early Post-Settlement Survival.
ICES Journal of Marine Science, 70(7):1294-1298.

McManus, J., Menez, L., Kesner-Reyes, L., Vergara, S.,


dan Ablan, M., 2000. Coral Reef Fishing and
Coral-Algal Phase Shifts: Implications for Global
Reef Status. ICES Journal of Marine Science,
57(3):572-578.

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology. An Ecological


Approach. Third Edition. Harper Collins College
Publishers. New York.

291
September 2016 GEDE ARI YUDASMARA : PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR 389

Simon, F., Yeamduan, N., dan Daniel, P., 2004. Carrying Capacity in The Tourism Industry: A
Case Study of Hengistbury Head. Tourism Management Journal, 25:275-283.

Strehlow, H,V., Schultz, N., Zimmermann, C., dan Hammer, C., 2012. Cod Catches Taken by The
German Recreational Fishery In The Western Baltic Sea, 2005–2010: implications For Stock
Assessment And Management. ICES Journal of Marine Science, 69:1769-1780.

Stone, R,P., Michele, M, dan John F,K., 2015. Assessing The Ecological Importance of Red Tree
Coral Thickets in The Eastern Gulf of Alaska. ICES Journal of Marine Science,
72(3):900-915.

Volstad, J,H., Korsbrekke, K., Nedreaas, K,H., Nilsen, M., Nilsson, G,N., Pennington, M.,

Subbey, S., dan Wienerroither, R., 2011. Probability-Based Surveying Using Self-Sampling
to Estimate Catch and Effort In Norway’s Coastal Tourist Fishery. ICES Journal of Marine
Science, 68:1785–1791.

Yudasmara, A.G., 2010. Model Ekowisata Bahari di Pulau Menjangan Kawasan Taman
Nasional Bali Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yudasmara, A.G., 2013. Pendekatan Sistem
Dinamik dalam Pemodelan Pengelolaan
Wisata Bahari di Kawasan Pesisir Kabupaten
Buleleng. Laporan Penelitian Hibah Unggulan
Perguruan Tinggi. Lembaga Penelitian,

Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.

292
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN, EMPATI DAN KOMITMEN TERHADAP
LINGKUNGAN DENGAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PROGRAM
PARTICIPANTS RESPONSIBILITY PADA BANK RAKYAT
INDONESIA DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN

MOCH. SJAFAAT ISMAIL

Dosen STIE Ganesa Jakarta

Abstract
The objective of the research is to find out the relationship between
knowledge of sustainable development, emphaty, and commitment toward
environment with development program partisipants responsibility of
environmental preservation. The sampel of this research were 73 persons which

293
randomly taken. The data were analyzed by using regression and correlation
techicques. Findings of the research concluded: 1) there is positive correlation
between knowledge of the sustainable development with development program
partisipants responsibility of environment preservation, 2) there is positive
correlation between emphaty with development program partisipants
responsibility of environment preservation, 3) there is positive correlation
between commitment toward environment with development program
partisipants responsibility of environmental preservation, and furthermore 4)
there are correlation between knowledge of the sustainable development,
emphaty, and commitment toward environment with development program
partisipants responsibility of environmental preservation. Based on this
development program partisipants result of responsibility of environmental
preservation enhanced by increasing knowledge of the sustainable development,
emphaty, and commitment toward environment.

Keywords: responsibility of environmental preservation, knowledge of


sustainable development, emphaty, and commitment of
environment.

PENDAHULUAN masih banyak ditemukan permasalahan


Pembangunan yang dilaksa lingkungan yang justru menjadi ancaman
nakan oleh Pemerintah Indonesia tidak bagi manusia dan kelestarian lingkungan
hidup itu sendiri. Ancaman
dapat dipisahkan dengan peran terhadap
perbankan. Pendanaan program kelestarian hidup bukan saja merugikan
pembangunan terkait dengan peran umat manusia pada saat ini, tetapi juga
lembaga perbankan. Lembaga per- menjadi potensi bencana bagi kehidupan
bankan menjadi mitra bagi pelaku generasi yang akan datang.
pembangunan baik pihak pemerin-tah Peran bank di dalam mendukung
maupun swasta. proses pembangunan di segala bidang
Hakikat pembangunan ber-tujuan tidak diragukan lagi. Penyaluran kredit
untuk mensejahterakan ma-syrakat. Pada oleh lembaga perbankan dalam
saat ini kaidah-kaidah pembangunan pembiayaan pembangunan merupakan
yang berkelanjutan telah mata rantai awal terjadi perubahan
diimplementasikan oleh subjek yang lingkungan. Konversi hutan menjadi
berwawasan lingkungan, dan bahkan lahan perkebunan dan pertanian terjadi
menggunakan teknologi yang ramah hampir di seluruh kawasan pulau-pulau
lingkungan, namun kenyataan di lapang

14
Volume XIII Nomor 01 Maret 2012 ISSN 1411-1829

294
di Indonesia. Luas hutan alam dari waktu sempurna, yang memiliki berbagai
ke waktu mengalami penyusutan. kelebihan-kelebihan dibandingkan
Banyak hal yang menjadi dengan makhluk lainnya seharusnya
penyebab rendahnya tanggung jawab menjadi pengelola lingkungan di planet
manusia dalam pelestarian lingkungan bumi dengan penuh tanggung jawab.
yang bertumpu kepada aspek manusia. Apabila pengelolaan dapat dilakukan
Pertama, kese-rakahan yang mengiringi dengan baik, maka ling-kungan alam ini
pem-bangunan sosial dan ekonomi yang akan menjadi tempat hidup dan
berwatak kapitalis. Kedua, kalangan kehidupan yang berkesinambungan baik
ilmuwan berpengetahuan lemah dalam bagi manusia maupun makhluk hidup
meyakinkan penyelenggara negara untuk lainnya. Lingkungan hidup di bumi ini
membangun masyarakat yang cerdas dan perlu dipelihara kelestariannya, dan
menempatkan aspek pengelolaan apabila dimanfaatkan harus dilakukan
lingkungan hidup secara kolektif pada secara baik dengan memper-hitungkan
posisi strategis. Ketiga, kelompok kebutuhan bagi generasi yang akan
lapisan masyarakat miskin yang besar datang. Pengetahuan tentang
dan masih minim pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan penting
lingkungan. dimiliki oleh aparatur yaitu peserta
Teknologi yang tidak ramah program pengembangan staf Bank
lingkungan dan didorong oleh aspek Rakyat Indonesia (PPS BRI) yang
keserakahan manusia sebagaimana banyak bersentuhan dengan pelaku
disebutkan oleh Chiras (1991: 458), usaha.
yang menyatakan bahwa manusia adalah Peran bank dalam bermitra
makhluk yang mempunyai sifat biology dengan swasta dalam pembangunan
imperialism, di mana secara kodrati tidak disangsikan lagi, sehingga dalam
manusia dikendalikan nafsu untuk pelayanan pihak bank dengan para
menguasai segala benda, material yang pelaku pembangunan dalam hal
diinginkannya. Sifat ini yang mendorong pengajuan berbagai bentuk kegiatan
manusia dalam sudut pandang kebutuhan pembangunan berlangsung komuni-kasi
materi berperilaku serakah. yang intensif. Kesempatan pihak bank
Banyak hal yang menjadi melalui para stafnya mem-berikan
penyebab terjadinya kerusakan ling- edukasi kepada mitra kerja menjadi lebih
kungan yang pada dasarnya bertumpu terbuka. Berbagai proposal baik dari
295
kepada aspek manusianya. Pertama, usaha kecil sampai usaha yang berskala
keserakahan yang mengiringi besar akan menjadi sasaran pelayanan
pembangunan sosial dan ekonomi yang para pimpinan maupun staf bank. Dalam
berwatak kapitalis. Kedua, lemahnya konteks demikian, maka bank melalui
kalangan ilmuwan berpengetahuan untuk staf-stafnya dapat menjadi jalan untuk
meyakinkan penyelenggara negara untuk mewarnai aktivitas mitra dalam
mem-bangun masyarakat yang cerdas melakukan pembangunan di berbagai
yang menempatkan aspek penge-lolaan bidang agar menempatkan aspek
lingkungan hidup secara kolektif pada lingkungan menjadi komponen yang
posisi strategis. Ketiga, besarnya diperhitungkan. Tanggung jawab dalam
kelompok lapisan ma-syarakat miskin, pelestarian lingkungan seseorang
masih minim penge-tahuan tentang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti:
lingkungan. pengetahuan seseorang tentang
Manusia sebagai makhluk pembangunan berkelanjutan, per-hatian,
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang komitmen, persepsi, sikap, empati,

tingkat pendidikan, kesadaran diri, Program Pengem-bangan Staf BRI (PPS


kepedulian terhadap lingkungan, dan BRI). Penelitian ini dilaksanakan pada
sebagainya. Masing-masing faktor bulan April 2011.
mempunyai andil terhadap kadar Penelitian ini menggunakan metode
tanggung jawab seseorang. survai. Menurut Singarimbun (1987:3),
Dari beberapa faktor yang dapat penelitian survai adalah penelitian yang
mengambil sampel dari populasi
mempengaruhi seseorang dalam hal dan
menggu-nakan kuesioner sebagai
tanggung jawabnya terhadap pelestraian alat
lingkungan, penulis mencoba pe-ngumpul data yang pokok. Penelitian
mengungkap keterkaitan tiga variabel, survai dalam Disertasi ini bersifat
yaitu: pengetahuan tentang explanatory atau confirmatory
pembangunan berkelanjutan, empati, dan (penjelasaan).
komitmen terhadap lingkungan dengan Di dalam penelitian ini dijelaskan
tanggung jawab dalam pelestarian hubungan kausal antara variabel-variabel
296
lingkungan. melalui pengujian hipotesis. Secara
skematik maka konstelasi masalah dalam
METODOLOGI PENELITIAN penelitian ini dapat digambarkan sebagai
Penelitian ini dilaksanakan berikut:
di Divisi Diklat BRI di Ragunan Jakarta
Selatan. Unit analisisnya adalah Peserta

X1

Y
X2

X3

Gambar 1. Konstelasi Masalah Penelitian

Keterangan:
Y= Tanggung jawab peserta PPS BRI dalam Pelestarian Lingkungan
X1= Pengetahuan tentang Pembangunan Berkelanjutan
X2= Empati; X3= Komitmen terhadap Lingkungan

Populasi target dalam penelitian ini beberapa tahap, yaitu mengundi peserta
297
adalah seluruh peserta PPS BRI. berdasarkan Batch yang dalam hal ini
Sedangkan populasi terjangkau adalah diambil secara purposive random
peserta PPS BRI Tahun Akademik sampling sebanyak 3 Batch yang
2010/2011 yang berjumlah 838 orang berjumlah 161 peserta PPS sesuai yang
yang tersebar dalam 15 Batch. Istilah diizinkan poleh Divisi Diklat. Tiga
Batch tersebut adalah Batch 20
Batch di sini adalah periode seleksi (33
peserta), Batch 26 (42 peserta),
penerimaan peserta PPS yang dilakukan dan
oleh BRI. Batch 29 (86 peserta).
Berdasarkan populasi terjangkau,
Dalam penelitian ini teknik
maka jumlah sampel yang diambil secara
pengambilan sampel dilakukan dengan

298
acak dengan undian adalah sebanyak 75 dilakukan dengan Uji Kolmogorov
orang. Namun demikian, dalam Smirnov. Uji ini relevan terhadap
pelaksanaan pengambilan data terdapat pengujian hipotesis dengan uji-F melalui
dua res-ponden yang jawabannya tidak ANAVA (Putrawan, 1990: 133).
lengkap sehingga tidak digunakan untuk Pro-gram analisis untuk mengolah data
dianalisis. Sampel penelitian yang layak dalam penelitian ini digunakan software
untuk keperluan analisis dalam penelitian Excel dan SPSS versi 17.0 for Windows.
ini berjumlah 73 responden.
Instrumen yang digunakan dalam
HASIL PENELITIAN
penelitian ini mencakup insrumen tes dan
instrumen non-tes berupa angket. Secara cc. Deskripsi Data Tanggung jawab
bertahap data penelitian dianalisis Ukuran statistik yang dideskripsikan
melalui: 1) analisis deskriptif, 2)
pengujian persyaratan analisis, dan 3) dalam penelitian ini diukur dari sampel
pengujian hipotesis. Persyaratan uji yang penelitian yang berjumlah 73 responden.
dilakukan antara lain uji normalitas Adapun harga-harga sta-tistik deskriptif
dapat diringkas da-lam tabel sebagai
berikut:

Tabel 1. Ukuran Statistik Skor Tanggung jawab Peserta PPS BRI dalam
Pelestarian Lingkungan
No Ukuran Besaran Statistik Harga
1. Gejala Pusat Mean 83,92

Median 85,00

Modus 86,00
2. Keragaman Skor Maksimum 110,00

Skor Minimum 59,00

Rentang 51,00

3. Variabilitas Simpangan Baku 10,73

Dari Tabel 1 khususnya pada memungkinkan sebaran data mendekati


ukuran gejala pusat yaitu: mean= 83,92, simetris.
median= 85,00, dan modus= 86,00 2. Deskripsi Data Pengetahuan
ketiganya ternyata tidak sama besar tentang Pembangunan
sehingga kurva distribusi normal data Berkelanjutan
penelitian ini tidak simetris. Ukuran Ukuran statistik yang dideskripsikan
median dan mean selisihnya tidak besar. dalam penelitian ini diukur dari sampel
Sifat mean dan median lebih stabil penelitian yang ber-jumlah 73
dibandingkan modus, berarti perbedaan responden. Adapun harga-harga statistik
yang tidak terlalu besar ini masih deskriptif dapat di-ringkas dalam tabel

299
sebagai berikut:
Tabel 2. Ukuran Statistik Skor Pengetahuan tentang Pembangunan
Berkelanjutan
No Ukuran Besaran Statistik Harga

1. Gejala Pusat Mean 16,66

Median 17,00
Modus 19,00

2. Keragaman Skor Maksimum 20,00

Skor Minimum 12,00

Rentang 8,00
3. Variabilitas Simpangan Baku 2,13

17
Volume XIII Nomor 01 Maret 2012 ISSN 1411-1829

300
Dari Tabel 2 khususnya pada ukuran mungkinkan sebaran data mendekati
gejala pusat yaitu: mean=16,66, median= simetris.
17,00, dan modus=19,00 ketiganya 3. Deskripsi Data Empati
ternyata tidak sama besar sehingga kurva Ukuran statistik yang
distribusi nor-mal data penelitian ini dideskripsikan dalam penelitian ini
tidak simetris. Ukuran median dan mean diukur dari sampel penelitian yang
selisihnya tidak besar, berarti perbedaan berjumlah 73 responden. Adapun harga-
yang tidak terlalu besar ini masih me- harga statistik deskriptif dapat di-ringkas
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Ukuran Statistik Skor Empati
No Ukuran Besaran Statistik Harga

1. Gejala Pusat Mean 39,40

Median 40,00

Modus 45,00

2. Keragaman Skor Maksimum 45,00

Skor Minimum 33,00

Rentang 12,00

3. Variabilitas Simpangan Baku 4,18

Dari Tabel 3 khususnya pa-da 4. Deskripsi Data Komitmen terhadap


ukuran gejala pusat yaitu: mean= 39,40, Lingkungan
median= 40,00, dan modus= 45,00
ketiganya ternyata tidak sama besar Ukuran statistik yang dides-kripsikan
sehingga kurva distribusi normal data dalam penelitian ini diukur dari sampel
penelitian ini tidak simetris. Ukuran penelitian yang berjumlah 73 responden.
median dan mean selisihnya tidak besar, Adapun harga-harga statistik deskriptif
berarti perbedaan yang tidak terlalu besar dapat di-ringkas dalam tabel sebagai
ini masih memberikan kemungkinan berikut:
sebaran data mendekati simetris.

Tabel 4. Ukuran Statistik Skor Komitmen terhadap Lingkungan

No Ukuran Besaran Statistik Harga

1. Gejala Pusat Mean 89,07

Median 88,00

Modus 70,00

2. Keragaman Skor Maksimum 115,00

Skor Minimum 62,00


301
Rentang 8,00

3. Variabilitas Simpangan Baku 2,07

Dari Tabel 4 khususnya pa-da besar ini masih memungkinkan sebaran


ukuran gejala pusat yaitu: mean= 16,68, data mendekati simetris.
median= 17,00, dan modus= 19,00
ketiganya ternyata tidak sama besar
Pengujian Hipotesis
sehingga kurva distribusi normal data
penelitian ini tidak simetris. Ukuran Hipotesis Pertama:
median dan mean selisihnya tidak besar,
berarti per-bedaan yang tidak terlalu Besarnya harga konstanta dan
koefisien yang dicari dari pengujian
hipotesis ini digunakan untuk
membangun model persamaan regresi
empirik. Persamaan regresi linear

Volume XIII Nomor 01


Maret 2012 ISSN 1411-1829

302
sederhana empirik yang diperoleh adalah dengan variabel terikat Y (ry1) sebesar
Ŷ= 12,712 + 0,047X1. Melalui hasil uji 0,237. Hasil uji keberartian regresi Y atas
hipotesis pertama ini diperoleh koefisien X1 dapat diringkas hasilnya sebagai
korelasi nihil antara variabel bebas X1 berikut:

Tabel 5. Ringkasan Uji Keberartian dan Linearitas Regresi melalui Analisis


Varians Regresi Y atas X1

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel

Variasi Kebebas-an Kuadrat Tengah Fhitung α= 0,05 α= 0,01

(dk) (JK) (KT)

Total 73 5223374,00

Koef. (a) 1 5223047,662


Regresi b/a) 1 18,334 18,334 4,22* 4,00 7,08

Sisa 71 308,104 4,339

Tuna Cocok 32 144,804 4,525 1,08ns 2,09 2,95

Galat 39 163,300 4,187

Keterangan:

**) Persamaan Regresi Sangat berarti; ns = non signifikan.

Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bentuk hubungan linear dari


pertama yang hasilnya diringkas dalam per-samaan regresi linear sederhana Ŷ=
Tabel 5 diperoleh kenyataan bahwa: uji 12,712+0,047X1 adalah signifikan.
signifikansi persamaan regresi Y atas X1
yang diperoleh Ŷ= 12,712+ 0,047X1 Hasil uji ini dilanjutkan dengan
menghitung kekuatan korelasi parsil,
menunjukkan harga Fhitung= 4,22 > F(0,05) mengingat persamaan regresi sebagai
(1;71)= 4,00, ber-arti tolak Ho pada α= 0,05. temuan dalam pe nelitian ini signifikan.
Dengan demikian persamaan Berdasarkan hasil perhitungan uji
signifikansi harga-harga koefisien
regresi linear sederhana Ŷ=
korelasi parsil dapat diringkas dalam tabel
12,712+0,047X1 adalah signifikan. Pada
uji linearitas re-gresi Y atas X1 diperoleh berikut

Fhitung= 1,08 < F(0,05) (7:64)= 2,09, berarti


Ho pada α= 0,05. Hasil
terima uji

Tabel 6. Hasil Uji Signifikansi Harga Koefisien Korelasi Parsil antara Variabel X1
dengan Y
303
No Korelasi Parsil Harga r thitung ttabel Kesimpulan

1. ry1.2 0,302 2,67** 2,63 Sangat signifikan

2. ry1.3 0,224 1,89* 1,65 Signifikan


3. ry1.23 0,212 2,12* 1,65 Signifikan

Keterangan: ttabel adalah t(0,05) (73) = 1,65 ; t(0,01) (73) = 2,63

*) signifikan; dan **) sangat signifikan.

Harga indeks determinasi yang peserta PPS BRI dalam pelestarian


diambil dari R square menun-jukkan lingkungan adalah 5,6%.
sebesar 0,056. Ini berarti besarnya
kontribusi variabel penge-tahuan tentang
Hipotesis Kedua:
pembangunan berke-lanjutan (X1)
terhadap variasi skor tanggung jawab Besarnya harga konstanta dan
koefisien yang dicari dari peng-ujian

Volume XIII Nomor 01


Maret 2012 ISSN 1411-1829

304
hipotesis ini digunakan untuk membangun korelasi nihil antara varaibel bebas X2
model persamaan regresi empirik. dengan variabel terikat Y (ry2) sebesar
Persamaan regresi linear sederhana empirik 0,292. Hasil uji keberartian regresi Y atas
yang dipe-roleh adalah Ŷ= 54,361 + 0,75X2. X2 dapat diringkas hasilnya sebagai
Melalui hasil uji hipotesis kedua ini berikut:
diperoleh koefisien

Tabel 7. Ringkasan Uji Keberartian dan Linearitas Regresi melalui Analisis


Varians Regresi Y atas X2

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel

Variasi Kebebas-an Kuadrat (JK) Tengah Fhitung α= 0,05 α= 0,01


(dk) (KT)

Total 73 5223374,000
Koef. (a) 1 5215080,493
Regresi b/a) 1 707,743 707,743 6,62* 4,00 7,08

Sisa 71 585,764 106,692


Tuna Cocok 11 581,241 178,330 0,45ns 2,09 2,95
Galat 22 7004,522 103,643

Keterangan:

*) Persamaan Regresi berarti; ns = non signifikan.

Berdasarkan hasil uji hipote-sis menunjukkan bentuk hubungan linear dari


kedua yang hasilnya diringkas dalam persamaan regresi linear sederhana Ŷ=
Tabel 7 diperoleh kenyataan bahwa: uji 54,361 + 0, 75X2 adalah signifikan.
signifikansi persamaan regresi Y atas X2
yang diperoleh Ŷ= 54,361+0,75X2 Hasil uji ini dilanjutkan dengan
menghitung kekuatan korelasi parsil,
menun-jukkan harga Fhitung= 6,62 > F(0,05) mengingat persamaan regresi sebagai
(1;71)= 4,00, berarti tolak Ho pada α= 0,05. temuan dalam penelitian penelitian ini
Dengan demikian persamaan signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan
uji signifikansi harga-harga koefisien
regresi linear sederhana Ŷ= 54,361 +
korelasi parsil dapatdiringkas dalam tabel
0,75X2 ada-lah signifikan. Pada berikut:
uji
linearitas regresi Y atas X2 diperoleh
Fhitung= 0,45 < F(0,05) (11:22)= 2,09, berarti
terima Ho pada α= 0,05. Hasil uji

Tabel 8. Hasil Uji Signifikansi Harga-harga Koefisien Korelasi Parsil antara


Variabel X2 dengan Y
305
No Korelasi Parsil Harga r thitung ttabel Kesimpulan

1. ry2.1 0,304 2,82** 2,63 Sangat signifikan

2. ry2.3 0,276 2,52* 1,65 Signifikan


3. ry2.13 0,289 1,77* 1,65 Signifikan

Keterangan:

ttabel adalah t(0,05) (73) = 1,65; dan t(0,01) (73) = 2,63

*) signifikan ; dan **) sangat signifikan.

Berdasarkan pengujian dengan harga koefisien korelasi antara


signi-fikansi koefisien korelasi parsil di empati dengan tanggung jawab dalam
atas, secara keseluruhan diperoleh bahwa pelestarian ling-kungan benar-benar
harga thitung > ttabel. Dengan demikian signifikan.
kekuatan hubungan yang ditunjukkan

Volume XIII Nomor 01 Maret 2012 ISSN 1411-1829

306
Untuk memperoleh gambar-an hipotesis ini digunakan untuk
kontribusi variabel X2 terhadap variabel Y, membangun model persamaan regresi
maka dihitung harga indeks determinasi empirik. Persamaan regresi linear
yaitu kuadrat dari harga koefisien korelasi sederhana empirik yang diperoleh dalam
nihil (ry2)2. Harga indeks determinasi penelitian ini adalah Ŷ= 67,366 + 0,86X3.
yang diambil dari R square menunjukkan Melalui hasil uji hipotesis ketiga ini
sebesar 0,085. Ini berarti besarnya diperoleh koefisien korelasi yang
kontribusi variabel empati (X2) terhadap menunjukkan kekuatan hubungan nihil
variasi skor tanggung jawab peserta PPS antara variabel bebas X3 dengan variabel
BRI dalam pelestarian lingkungan adalah terikat Y (ry3) sebesar 0,231. Hasil uji
8,5%. keberartian regresi Y atas X3 dapat
diringkas hasilnya sebagai berikut:
Hipotesis Ketiga:
Besarnya harga konstanta dan
koefisien yang dicari dari pe-ngujian

307
Tabel 9. Ringkasan Uji Keberartian dan Linearitas Regresi melalui Analisis
Varians Regresi Y atas X3

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel

Variasi Kebebasan Kuadrat Tengah Fhitung α= 0,05 α= 0,01

(dk) (JK) (KT)

Total 73 5223374,000

Koef. (a) 1 5215880,493


Regresi b/a) 1 442,549 442,549 4,002* 4,00 7,08

Sisa 71 7050,958 110,577

Tuna Cocok 33 3580,291 108,494 0,97ns 2,09 2,95

Galat 38 4270,667 112,386

Keterangan:

**) Persamaan Regresi Sangat berarti.


ns = non signifikan.

Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bentuk hubungan linear


ketiga yang hasilnya diringkas dalam dari persamaan regresi linear sederhana
Tabel 9 diperoleh kenyataan bahwa: uji Ŷ= 67,366+0,86X3 adalah signifikan.
signifikansi persamaan regresi Y atas X3 Hasil uji ini dilanjutkan dengan
yang diperoleh Ŷ= 67,366 + 0,86X3 menghitung kekuatan korelasi parsil,
menunjukkan harga Fhitung= 4,002> F(0,05) mengingat persama-an regresi sebagai
(1;71)= 4,00, ber-arti tolak Ho pada α= temuan dalam penelitian penelitian ini
0,05. Dengan demikian persamaan signifikan. Berdasarkan hasil
regresi linear sederhana Ŷ= perhitungan uji signifikansi harga-harga
67,355+0,86X3 ada-lah signifikan. Pada koefisien korelasi parsil dapat diringkas
uji linearitas regresi Y atas X3 diperoleh dalam tabel berikut:
Fhitung= 0,97 < F(0,05) (7:64)= 2,09, berarti
α= 0,05.
terima Ho pada Hasil uji

308
Tabel 10. Hasil Uji Signifikansi Harga-harga Koefisien Korelasi Parsil antara
Variabel X3 dengan Y
No Korelasi Parsil Harga r thitung ttabel Kesimpulan
1. ry3.1 0,212 1,83* 1,65 Signifikan

2. ry3.2 0,210 1,85* 1,65 Signifkan

3. ry3.12 0,202 1,77* 1,65 Signifikan

Keterangan:
ttabel adalah t(0,05) (73) = 1,65
*) signifikan.

Berdasarkan pengujian lingkungan (X3) terhadap variasi skor


signifikansi koefisien korelasi parsil di tanggung jawab peserta PPS BRI dalam
atas, secara keseluruhan diperoleh bahwa pelestarian lingkungan adalah 5,3%.
thitung > ttabel pada α= 0,05. Dengan
Hipotesis Keempat:
demikian koefisien korelasi yang
Besarnya harga konstanta dan
menyatakan hubungan antara komitmen
koefisien yang dicari dari pengujian
terhadap lingkungan dengan tanggung
hipotesis ini digunakan untuk
jawab peserta PPS BRI dalam
membangun model per-samaan regresi
pelestarian lingkungan benar-benar
empirik. Persamaan regresi linear jamak
signifikan.
empirik yang diperoleh adalah Ŷ=
Untuk memperoleh gambar-an
23,665 + 1,148X1+0,702X2+0,151X3.
kontribusi variabel X3 terhadap variabel
Koefisien korelasi jamak (Ry) yang
Y, maka dihitung harga indeks
diperoleh dari pengujian hipotesis
determinasi yaitu kuadrat dari harga
keempat adalah sebesar 0,421. Hasil uji
2
koefisien korelasi nihil (ry3) .
keberartian persamaan regresi tersebut
Harga indeks determinasi yang
adalah sebagai berikut:
309
diambil dari R square menunjukkan
sebesar 0,053. Ini berarti besarnya
kontribusi variabel komitmen terhadap

Tabel 11. Uji Keberartian Regresi Y atas X1, X2, dan X3 melalui Daftar Anava

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel

Variasi Kebebas- Kuadrat Tengah Fhitung α= 0,05 α= 0,01

an (dk) (JK) (KT)

Regresi 3 1470,074 490,058 4,956** 2,76 4,13

Sisa 69 6823,333 98,889

Keterangan:

**) Sangat signifikan.

Hasil uji keberartian persamaan 0,177. Ini berarti kon-tribusi pengetahuan


regresi Ŷ= 23,665+ 1,148X1+0,702X2+ tentang pem-bangunan berkelanjutan
0,151X3 sebagai -mana dirangkum dalam (X1), empati (X2), dan komitmen
Tabel 14 adalah sangat signifikan. Untuk terhadap lingkungan (X3) secara
memperoleh gambaran kontribusi ketiga bersama-sama terhadap variasi yang
variabel bebas terhadap variasi variabel terjadi pada skor tanggung jawab peserta
terikat, maka dihitung harga indeks PPS BRI dalam pelestarian ling-kungan
determinasi (Ry)2 yang hasilnya sebesar (Y) sebesar 17,7%. Dari

310
pengujian hipotesis penelitian kesatu, Ketiga, makin tinggi komitmen
kedua, ketiga, dan keempat diperoleh terhadap lingkungan maka semakin
kenyataan bahwa keseluruhan hipotesis tinggi pula tanggung jawab peserta PPS
teruji. Dengan hasil uji ini berarti tidak BRI dalam pelestarian lingkungan.
ada hasil uji hipotesis yang bertentangan Keempat, makin tinggi
dengan kerangka berpikir yang pengetahuan tentang pembangunan
dikembangkan berdasarkan kajian berkelanjutan, empati, dan komitmen
teoretik. Oleh karena itu hasil penelitian terhadap lingkungan maka semakin
ini dapat dipandang menjadi mem- tinggi pula tanggung jawab peserta PPS
perkaya khasanah pengetahuan ilmiah BRI dalam pelestarian lingkungan.
khususnya berkaitan dengan tanggung
jawab dalam pelestarian lingkungan IMPLIKASI
dengan memperhitungkan faktor Berdasarkan kesimpulan
pengetahuan tentang pembangunan penelitian di atas, maka sebagai
berkelanjutan, empati, dan komitmen konsekuensi untuk meningkatkan
terhadap lingkungan. tanggung jawab peserta PPS BRI dalam
pelestarian lingkungandapat dilakukan
KESIMPULAN dengan meningkatkan pengetahuan
Secara umum, pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan,
tentang pembangunan berkelanjut-an, empati, dan komitmen terhadap
empati, dan komitmen terhadap lingkungan baik secara sendiri maupun
lingkungan baik secara sendiri mau-pun bersama-sama.
bersama-sama menentukan tinggi 1.
Upaya Peningkatan Tanggung
rendahnya tanggung jawab peserta PPS
Jawab Peserta PPS BRI dalam
BRI dalam pelestarian lingkungan.
Pelestarian Lingkungan me-lalui
Dengan mengontrol terha-dap
Peningkatan Pengetahu-an tentang
masing-masing variabel bebas, koefisien
Pembangunan Berkelanjutan
korelasi masing-masing variabel bebas
Dalam konteks penelitian ini,
dengan tanggung jawab peserta PPS
untuk memberikan kesempatan yang
BRI dalam pelestarian lingkungan secara
luas kepada peserta PPS BRI agar dapat
murni tetap signifikan. Hubungan yang
311
meningkat pengetahuannya tentang
kuat
paling di antara ketiga variabel
pembangunan berkelanjutan dapat
bebas terdapat pada hubungan antara
dilakukan sebagai berikut:
empati dengan tanggung jawab peserta
Pertama, mengintegrasikan
PPS BRI dalam pelestarian lingkungan.
materi pengetahuan tentang pem-
Berdasarkan analisis data hasil
bangunan berkelanjutan ke dalam silabus
penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan
mata ajar pendidikan dan pelatihan tanpa
sebagai berikut:
harus merubah mata ajar yang telah ada.
Pertama, makin tinggi pe-
Kedua, memperkaya sumber
ngetahuan tentang pembangunan
bacaan di perpustakaan dengan sumber
berkelanjutan maka semakin tinggi pula
informasi baik berupa buku maupun
tanggung jawab peserta PPS BRI dalam
publikasi lain seperti jurnal, majalah
pelestarian lingkungan.
ilmiah, koran kampus, dan sebagainya
Kedua, makin tinggi empati
yang memfokuskan tentang materi
maka semakin tinggi pula tanggung
berkaitan dengan pengetahuan tentang
jawab peserta PPS BRI dalam
pembangunan berkelanjutan.
pelestarian lingkungan.
Ketiga, sejalan dengan pen-
citraan lembaga perbankan seperti
23

312
halnya dengan BRI yang telah mem- 3. Upaya Peningkatan Tanggung
jawab Peserta PPS BRI
punyai motto peduli (care) terhadap dalam
lingkungan, maka di lingkungan Pelestarian Lingkungan me-lalui
pendidikan dan pelatihan diterapkan Peningkatan Komitmen terhadap
prinsip-prinsip berkelanjutan di dalam Lingkungan
penyelenggaraan aktivitas sehari-hari. Dalam konteks penelitian ini,
Sebagai contoh: dalam penggunaan maka untuk meningkatkan komit-men
fasilitas kerja meng-gunakan bahan- terhadap lingkungan peserta PPS BRI
bahan yang ramah lingkungan, dapat dilakukan dengan upaya, antara
menerapkan efisiensi penggunaan energi lain:
listrik, menerapkan pengelolaan sampah Pertama, secara internal ke-
lembagaan BRI sebagai mitra
yang higienis, dan sebagainya. dalam
pelayanan penyelengaraan pem-
2. Upaya Peningkatan Tanggung
bangunan harus memperkuat kebijakan
jawab Peserta PPS BRI dalam
yang mengakomodir komitmen terhadap
Pelestarian Lingkungan mela-lui
lingkungan. Kebijakan ini akan menjadi
Peningkatan Empati
panduan bagi siapa pun yang bekerja
Dalam rangka meningkatkan
sama dengan BRI.
empati peserta PPS BRI harus di-
Kedua, mengaktualisasikan
upayakan dapat tersentuh perasa-annya
kebijakan-kebijakan yang telah ada
mana kala melihat keadaan lingkungan
berkenaan dengan tanggung jawab
yang memprihatinkan. Upaya-upaya
dalam pelestarian lingkungan kepada
yang dapat dilakukan untuk
peserta
PPS BRI selama pen-didikan
meningkatkan empati, antara lain:
berlangsung.
Pertama, mengembangkan
Ketiga, menjaga konsistensi
kebersamaan dengan menggalang kerja
aktivitas keseharian di segenap sivi-tas
sama dan gotong royong antara sesama
penyelenggaraan pendidikan dan
peserta PPS BRI selama berlangsung
313
pelatihan di kampus dengan tidak
pendidikan di lingkungan pusat
bertentangan dengan prinsip-prinsip
pendidikan dan pelatihan.
lingkungan, seperti: pelibatan dalam
Kedua, menginisiasi kesadaran
menjaga keindahan kampus, peng-
peserta PPS BRI dalam hal menjaga
hijauan kampus, dan kebersihan kampus.
fasilitas umum di lingkung-an
pendidikan. Kesadaran ini akan
SARAN
menumbuhkan perasaan saling menjaga
Berdasarkan kesimpulan pe-
fungi-fungsi fasilitas umum bagi
nelitian ini dapat diajukan beberapa
kepentingan bersama sehingga dapat
saran sebagai berikut:
meningkatkan empati.
Pertama, bagi Pusdiklat BRI.
Ketiga, penyebar luasan
Dalam rangka meningkatkan tang-gung
informasi berkenaan dengan aspek
jawab peserta PPS BRI dalam
permasalahan lingkungan. Dalam
pelestarian lingkungan, maka perlu
konteks ini empati dapat dikuatkan
dipertimbangkan kemungkinan dila-
dalam bentuk tindakan, misalnya:
kukan pengintegrasian materi tentang
menyumbang musibah bencana alam,
pembangunan berkelanjut-an ke dalam
menyumbang kegiatan relawan
mata ajar yang telah ada tanpa
lingkungan, dan menyumbang kegiatan
mengurangi esensi kegiatan program
bakti sosial.
pendidikan yang sudah berjalan.

314
Kedua, bagi pimpinan BRI. Feitelson, Eran. “Introducing Envi-
Dalam rangka penguatan tanggung ronmental Equity Dimensions in
jawab dalam pelestarian lingkungan di the Sustainable Transport
kalangan internal BRI, maka perlu Discourse: Issues and Pit-
diaktualisasikan secara terus-mene-rus falls”,Transportation Rese-arch
kebijakan internal kelembagaan BRI Part D 7 (2002) 99 – 118,
sebagai mitra pembangunan yang bervisi Department of Geo-graphy, The
ramah lingkungan. Hebrew Univer-sity of
Jerussalem, Mount Scopus,
DAFTAR PUSTAKA 91905, Jerussalem, Israel., p. 3.
Field, Tiffany M., et al. Review of
Baldwin, John D. and Janice I Baldwin.
Human Development. New York:
Behavior Principles in Everyday
McGraw-Hill, 1982.
Life. New Jersey: Prentice Hall,
1986. Hadi, Sudharto P. Dimensi Ling-kungan
Perencanaan Pemba-ngunan.
Benkhoff. “Ignoring Commitment is
Yogyakarta: Gadjah Mada
Costly: New Approaches
University Press, 2001.
Establish the Missink Link
Munangsihe, Mohan. Sustainable
Between Organizational Com- De-
mitment and Performance”, velopment Triangle. Washing-ton
Human Relations. 50, (6), 1997., D.C.: Environmental In-formation
Council
p. 3. Coalition, National for
Science and the Environment,
Bernard, Chester I. Buku Pegangan
2007.
Fungsi Eksekutif, terjemahan.
Myers, David G. Psychology. New
Rohmulyati Hamzah. Jakarta: PT
York: McGraw Hill-Book Com-
Pustaka Binaman Pressindo,1982.
pany, 1983.
Bernes, Alison and Paul Thagard.
Empathy and Analogy. Water-loo: Nyle, Brady C. The Nature and
Ontario, 1997: http: wa- Properties of Soil. New York: The
315
terloo.ca/articles/pages/empathy.h Macmillan,1992.
tml.
Putrawan, I Made. Pengujian Hipo-tesis
Bloom, Benjamin S., et.al., Taxo-nomy
dalam Penelitian-Pene-litian
of Educational Objec-tives: The
Sosial. Jakarta: Rineka Cipta,
Classification of Educational
1990.
Goal. London: Logman Group
Salim, Emil. Lingkungan Hidup dan
Ltd., 1984.
Pembangunan. Jakarta: Mu-tiara,
Bower, Gordon M., Richard R. Bootzin.,
1983.
and Robert B. Zajone. Principles
__________ “Sustainable Deve-
of Psy-chology Today. New York:
lopment: An Indonesian Per-
Random House, 1987.
spective”, Paper on Presen-ted at
Carlson, Neil R. Psychology the Science
AISEC, Jakarta, 9-10 March 1989.
of Behavior. Boston: Allyn and
Shawa, Delery and Abdulla. “Orga-
Bacon, 1990.
nizational Commitment and
Davenport, Tom and Larry Prusak.
Performance Among Guest
Working Knowledge (1999), p.l.
Workers and Citizens of an Arab
http:llwww. Compotenet.
Country”, Journal of Business
Org.br/slides allee 22/ tsldo htm).
Research, 56, 2003., p. 2.

316
Singarimbun, Masri. “Metode dan Proses Penelitian”. Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi (ed). Metode Pene-litian Survai. Jakarta: LP3ES,
1987.

Slocum, John W. and Don Hellriegel. Fundamental of Organizatio-nal


Behavior. Australia: Thomson, South Western, 2007.
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Ling-kungan Hidup dan Pemba-ngunan Jakarta:
Djambatan, 2001.

Suhatmansyah, “Hubungan antara


Pendapatan Masyarakat, Perhatian terhadap Keles-tarian Fungsi
DAS, dan Komitmen dalam Kelompok Tani dengan Perilaku
Ma-syarakat dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Sub-Das Citarik
Kabupaten Bandung, Tahun 2002” Sinopsis Disertasi. Jakarta:
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, 2004.
Sudjana. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung; Tarsito, 1983.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta, 2006.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Western, Drew. Psychology Mind and Brain and Culture. New York: John Wiley & Sons,
Inc., 1996.

Yani, Akhmad. Pengaruh Persepsi pada Iklim Organisasi, Pe-ngetahuan tentang Polusi
Udara, Motivasi
Hidup Se-hat terhadap Partisipasi dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
(Survei di PT Aneka Tambang Tbk, 2009” Sinopsis Disertasi. Jakarta: program
Pasca-sarjana, Universitas Negeri Jakarta, 2009.

Stout, Kenneth and Allan Walker,

Teams, Team Work and Team


Building, The Manager Guide to
Teams in Organizations.

Singapore: Prentice-Hall, 1995.

Tudor, Child. Development. New York:


McGraw-Hill Book Company,
1981.

Vaughan, Graham and Michael Hogg.

317
Introduction to Social
Psychology. Sydney: Prentice
Hall, 1995.

MIMBAR, Volume 32, Number 1 (June, 2016), pp. 17-23

Identification of Status and Value of Mangrove


Ecosystem for Muaragembong Sustainable
Development

dd. Hilwati Hindersah, 2 Yulia Asyiawati, 3 Lely Syiddatul Akliyah

Department of Urban and Regional Planning, Faculty of Engineering, Bandung Islamic


1,2,3

University. email: 1 hilwati_hindersah@yahoo.com; 2 yulia_asyiawati@yahoo.com; 3


ulil_sa@yahoo.com

Abstract. The existence of mangrove ecosystem in Kecamatan Muaragembong


Bekasi Regency is in decline along with the rise of development that change
mangrove forest into settlement and agricultural area. To achieve sustainable
development, preserving the mangrove forest should be aligned with
community economic development efforts. There is a need to identify the status
and value of mangrove ecosystem as the first step to know the role of
318
mangrove in supporting society’s economy system. Using groundcheck survey
method and unstructured interview, this research reveals condition of the
mangrove ecosystem that has already damaged with the tree density status
ranging from 59 – 145 trees/ha. It reveales that there are many valueable
components of the benefit of mangrove forest ecosystem identified using travel
cost method and the willingness to pay for the use benefit.

Keywords: ecosystem status, value, sustainable development.

319
Introduction in that coastal areas.

Changes in coastal and sea areas is In line with the increasing number of
caused by natural phenomena and also is highly population in Muaragembong, development
affected by human activity. Coastal area is an activities are also raising to meet the needs of
area that has the highest pressure compare the community’s livelihood. Meanwhile, the
with land area. This occurred because of the land availability for the activities in the coastal
increasing development activities in line with areas of Muaragembong is limited because
the function of coastal areas in developing most of the land area is the conservation areas
settlement activity, aquaculture (fishpond), as mangrove forest. This condition has
trade, port and other activities. These activities triggered the community to utilize mangrove
either directly or indirectly provide for changes forest to become settlement as well as ponds
on the coastal and natural resources including for fishery cultivation. This condition has also
among others the mangrove ecosystem. reduced quantity and quality of the mangrove
ecosystem in Muaragembong, that eventually
resulted in the impairment of the mangrove
The existence of mangrove ecosystem in
ecosystem functions, with the impact of
coastal areas in Kecamatan Muaragembong
declining the quality of the environment and
Bekasi Regency has currently been declined in
line with the increasing population and the income of the community in
development activities that convert the Muaragembong.
mangrove ecosystem from its protective
function into cultivation functions. This has The condition of mangrove ecosystem is
provided the implication on the quality of
directly proportional to the quality of the
environment in Kecamatan Muaragembong,
environment and the income of the community
particularly in coastal areas, since the
in accordance with its mangrove ecosystem
mangrove ecosystem has an essential function
function. The deeper the declining quality of
in keeping the environmental balance and its
mangrove, the faster the declining income
ability to raise the income of the people
levels of the community, so that it can lead to
poverty. Furthermore, the

Received: September 03, 2015, Revision: April 01, 2016, Accepted: June 20, 2016

Print ISSN: 0215-8175; Online ISSN: 2303-2499. Copyright@2016. Published by Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba
Accredited by Kemenristekdikti, No.040/P/2014, valid 18-02-2014 until 18-02-2019

320
Hilwati Hindersah, et.al. Identification of Status and Value of Mangrove Ecosystem for Muaragem.......

Alder (1999 in Asyiawati, 2010: 9) that


coastal region or coastal zone is an unique

poverty in coastal communities was caused by


seasonal fluctuations of fish availability, limited
quality of human resources, limited capital, lack
of accessibility, and fish trading network that
tends to be exploitative to fishermen as
producer, the negative impact of modernization
of fishery which has quickly and excessively
exhausted the marine resources, and the
limited opportunities for fishermen to diversify
their source of income outside fishing in the sea
(Sri Haryono, 2005: 119-120 in Zamzami, 2011:
114). Hence preserving mangrove ecosystem
should be aligned with community economic
development efforts. This is an indication that a
challenge to reach sustainable development is
the effort to resolve the conflict of interest
between economic development and the efforts
to preserve nature (Hindersah, 2013: 529).

This article aims to identify the status


and value of the benefit of mangrove
ecosystem as the first step to understand the
role of mangrove ecosystem in supporting
the economic system of the community in
Kecamatan Muaragembong, Bekasi Regency.
This preliminary study is expected to produce
the rudimentary consideration to formulate
strategies in utilizing and supervising
mangrove land use so that its value is
sustainable both economically and
ecologically.

To achieve this objective, data has been


collected through the use of groundcheck
survey and unstructured interview methods
with the coastal communities Muaragembong
to identify the condition of mangrove
ecosystem and the value of mangrove
ecosystem to the community in utilizing the
mangrove. Variable used as indicators to
undertake the identification is the area of
mangrove ecosystem, the number of trees in a
mangrove ecosystem, and utilization of
mangrove ecosystem by the coastal
communities of Muaragembong. The result of
this identification of status and value of
mangrove ecosystem can be used as the basis
for consideration in preparing the direction of
mangrove ecosystem management in the
future in order to realize sustainable
development in Muaragembong coastal areas.

The Definition of Coastal


and Mangrove Ecosystems

321
There are many definitions of coastal
region, such as that described by Kay and
Small Islands, the coastal region is an area of
transition between terrestrial and marine
ecosystems that are affected by changes in the
land and the sea, which has a diversity of
area, since the coastal region is a meeting
coastal resources. The coastal resources
place of land and sea in the context of the
consist of biological resources (including fish,
landscape. On the other hand, Dahuri et al.
coral reefs, seagrass beds, mangroves and
(2008: 6) explain that the coastal region is
other marine life); non-biological resources
an area of transition between land and sea,
(including sand, sea, seabed mineral); artificial
in which the coast borders towards the land
resources (including marine infrastructure
is an arbitrary distance from the mean high
associated with marine and fisheries); and
tide, and the borders towards the sea is the
environmental services (in the form of natural
jurisdiction boundary of the territory or
beauty, the sea floor, underwater installations
country.
related to marine and fisheries, and the ocean
wave energy available in the coastal area).
Another definition of the coastal region
explained that the coastal region is a system
There are varieties of human activities in
that consists of several sub-systems, including
the coastal region that provide direct and
human resources, natural resources, artificial
indirect impact the coastal region, either in the
resources and capital resources, that unite and
terrestrial environment or the aquatic
interact with each other. The coastal region is
environment (Chua, 2006: 468). From this
the region that has the potential of natural
definition, it can be concluded that the coastal
resources to be developed, so as to increase
region is a system that consists of terrestrial
the community incomes. Therefore, in
environment, aquatic environment (marine)
managing the coastal region, it is necessary to
and the social-economic activities subsystems.
consider its integration and sustainability so
Each subsystem interacts with each other on a
that the existing resources (especially
regular basis to achieve its purpose. The
non-renewable) will not be extinct and to avoid
purpose of the interaction between subsystems
the degradation.
found in the system of coastal region is the
integrated management of the coastal region to
As explained in the Law Number 27 of achieve harmonious
2007 on the Management of Coastal Region and

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

322
MIMBAR, Volume 32, Number 1 (June, 2016), pp. 17-23

and sustainable development of the coastal Method (CVM) (Akliyah & Hindersah, 2014: 23).
environment in the future. As described by Travel Cost Method is done by conducting
Fauzi and Oxtavianus (2014: 43) that the interviews with tourists to calculate their travel
concept of sustainable development is an expenses incurred. This travel expenses
improved quality of life adapted to the incurred (Akliyah & Hindersah, 2014: 25) is
carrying capacity of the environment. In almost the same as the other study conducted
connection with this definition, the by Akliyah & Sundari (2006: 18), including: the
development of sustainable coastal region is cost of travel from home to the tourist
a way to improve the quality of life adapted attractions; the cost of lodging; the cost of local
to the environmental carrying capacity of transportation (boat rental and ojeg ); the cost
coastal region. of food consumption; the cost of merchandise
(processed from mangrove trees and the fish
catch); the cost of documentation; and fees
The mangrove ecosystem is one of the and other costs during the tour.
coastal ecosystem has an important role in
maintaining the balance of marine
environments. The ecological functions of
The Characteristics of Coastal
mangrove ecosystems as described by Bengen
(2004, in Asyiawati 2010: 13), include: (1) as Region at Muaragembong Region
the buffer of waves and wind storms, protector
of coastal abrasion, mudguard and sediments
Coastal of Muaragembong, which has a
trap transported by the flow of surface water;
boundary with the Java Sea, has an area of
(2) as a producer of a large amount of detritus,
122.90 km2, includes 6 (six) villages, namely
mainly derived from the leaves and branches of
Pantai Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Sederhana,
mangrove loss. Most of the detritus can be used
Pantai Mekar, Pantai Jaya Sakti, and Pantai
as a food ingredient for the detritus eaters, and
Harapan Jaya. The total population in
the rest will be bacterially dissolved into
Muaragembong District is increasing every year.
nutrient minerals that play a role in the
This is in line with the development of the
enrichment of the waters; and (3) as nursery
region. Total Population of Muaragembong
ground, feeding ground and spawning ground of
District in 2010 is 35.503 people, while in 2011
various marine organisms (fish, shrimp and
the population is 37.358 people, implying an
shellfish) both living in the coastal and offshore.
average population growth rate of 5.20% per
On the other side, the mangrove ecosystem has
annum (Bekasi Regency in Figures, 2012). This
economic function, such as a backup of natural
suggests that the growth of population in the
resource (raw material) to be processed into
study region is quite high, that was caused by
tradable commodities that could add to the
high population growth who were coming from
welfare of local communities. As explained by
the surrounding area, since the coastal region
Bengen (2004 in Asyiawati, 2010: 14),
is an open region. Fishermen from outside the
mangrove ecosystems have direct benefits and
area may stop and then settle down there.
indirect benefits to human life. The immediate
benefits of the mangrove ecosystem is its use
for firewood, construction materials, materials Coastalresourcesownedb
for making charcoal, and can also be made for y Muaragembong Distric are mangrove
the pulp, whereas the indirect benefits of the ecosystem, estuary (Asyiawati & Akliyah,
mangrove ecosystem is the development of 2014: 28) and oil and gas resources. The
mangrove-tourism activities. Therefore, the resource has a function and a very important
existence of mangrove ecosystems in coastal role in maintaining the balance of
region, in addition to the functioning as a buffer Muaragembong Region. Natural resources
zone, it also has high economic value. that can be made the prime mover to support
the economy of Muaragembong society is the
biological resources such as fisheries
resources.
The economic value of Mangrove
ecosystems can be assessed using several
methods. One of the steps in analyzing the Community’s economic activities are
value of mangrove ecosystems is to identify the dominated by the fisheries sector (capture
value of the existing benefits in the mangrove fisheries / fisherman and aquaculture / fish
ecosystem. The method that can be used in farmers). Survey results (Hindersah et al.,
identifying the value of mangrove ecosystem 2015: 91 -92) shows that the type of fish
benefits is the cost of travel approach and323
the resources found in the Jakarta Bay consist of
Contingent Valuation
large pelagic category (which include mackerel, tuna fish and swordfish); small

324
Hilwati Hindersah, et.al. Identification of Status and Value of Mangrove Ecosystem for Muaragem.......
on the environment of Muaragemb o ng Coastal
area (Asyiawati & Akliyah, 2014: 33).

pelagic category (which include yellow tail fish,


bloating, baronang fish, fish float, layur fish, kue fish,
manung fish, kuro fish, song, anchovy fish, trevally
fish, “golok-golok” fish, “pisang-pisang” fish, mullet);
demersal category (which include red snapper,
pomfret, rays, groupers); crustaceans category
(shrimp); and molusca category (includes squid,
cuttlefish). In addition, space of Muaragembong
region are used for settlement, coastal border,
protected forest (mangrove forests), production
forest, industry and tourism. Most of the land is
dominated by forest (mangrove forests) which
spread along the coastal areas and Citarum River.

A research by Handayani (2006, in Asyiawati


& Akliyah, 2014: 31) showes that the mangrove
ecosystems area has decreased by 6.74% (data of
1992 and 2002 data). Based on the data of 2012,
the mangrove ecosystems area in the
Muaragembong Region is 822.24 ha, so that the
average rate of area reduction of mangrove is
5.90% (in the period 1992-2012). The changes in
the designation of mangrove ecosystem are
dominated by aquaculture activities (fishpond). This
can be seen from the extensive changes in the pond
area which suggests the addition of extensive
fishpond of 4.55% (data of 1992 and 2002 data).
Meanwhile, from the year 2012 data, there has been
an additional total area of 723.253 ha of pond area
compared with 2002 data, which means an addition
17.60% of pond area (2002 data and the data of
2012). While the settlement area has increased to
3003.88 hectares in 2012, with the addition of an
area of 8.76% of the total settlement in 2002. This
indicates that there has been a shift in the use of
mangrove forest that turned into aquaculture and
settlements. Based on the results of groundcheck, it
was found that almost 85% of the land area in the
Muaragembong Region as an aquaculture. This
gives a significant influence on the condition of
mangrove ecosystems and environmental
conditions in the region.

The dimin i shing area of mangrove


ecosystem s has resulted in bad mangrove
ecosystem condition. Such a condition implied that
there has been a change in mangrove ecosystem
function, from ecological function to become an
economic function. This has been one of the
cause of decreasing ecological function of
325
mangrove ecosystem, that have a negativ e impact
From 2012 data, it was found that the total of
p opulation by educational level is dominated by
people who finished primary and junior high school,
while the population who have h igh school
education is very small. This indicates that the level
of quality of human resources in Muragembong
Region is categorized as low. Meanwhile, the total
population by occupation of Muaragembong Region
is dominated by fishpond farmers and fishe r men of
6978 people (49.85%), as farmers are 2,233 people
(15.95%), as traders are 1,480 people (10,57%), as
the industrial workers are 423 people (3.02%), as
the f r eight services are 349 people (2.49%), as civil
servants, military / police and pensioners are 183
people (1.31%), as employees are 1,498 people
(10.70%), and as self- employed are 854 people
(6.10%). From these conditions it can be concluded
that the community’s economic activity in
Muaragembong region highly dependent on
fisheries sector both capture fisheries as well as
aquaculture.

The Identification of Mangrove


Ecosystem Status

Subdistrict Muaragembong – a coastal


region located in the northern part of Bekasi District
– has mangrove ecosystems which function as a
protected forest as outlined in the Space Pattern
Plan contained in Spatial Plan Do c ument (RTRW)
of Bekasi District Year 20 0 9-2029. This has been
extremely supportive on ecological function of
mangrove ecosystems. In addition, mangrove
ecosystem also has economic functions in that
mangrove ecosyst e m can be utilized to produce
raw materia l s for pharmaceutical industry, as
producer of foodstuffs such as fish, shrimp, clams,
crabs, as well as a place for recreation and tra v el
(Bengen 2004 in Asyiawati & Akliyah, 2014: 28).

Based o n a study conducted by Foresti a n


(2011: 30) on the Estimation of Biom a ss and the
Density of Mangrove Vegetat i on using Landsat
ETM+ (a study in the p rotected forest and the
permanent production forest in Muaragembong,
Bekasi District), the mangrove ecosystems existed
in Sub- d istrict Muaragembong consists of

43. type s dominated by Api-api (Avicennia spp.),


B akau (Rhizophora spp.), Pedada (Sonneratia
caseolaris). While the associated mangrov e
forests consist of 13 species dominat e d by Bintan
(Cerbera odollam), Kiser (Fimbristylis
326
verruginea) and Ketapang (Terminalia catapp).
The type of vegetation
MIMBAR, Volume 32, Number 1 (June, 2016), pp. 17-23

Location density (tree/ha)

1 Harapan Jaya Beach 1450


found in Muara Tawar Air consists of 11 types
dominated by Kiser (Fimbristylis verruginea) 2 Bahagia Beach 187
and Nipah (Nypha fruticans). 3 Sederhana Beach 617

4 Mekar Beach 675


Based on secondary data, there are as
many as 158 types of birds found in the 5 Jayasakti Beach 1251
Protected Forest Areas of Ujung Karawang –
6 Bakti Beach 59
Muaragembong. Of these number of types, 7
species are endemic and 6 types of protected
groups under IUCN criteria. Raja Udang Biru
Alcedo coerulecens and Layang-layang Batu
Hirundo tahitica are found in significant number
along the Citarum River and Bungin River. In
the northern part of the beach, there are
several species of water birds, including Kuntul
Perak (Egretta intermedia), Kuntul Kecil
( Egretta garzetta), and Cangak Abu (Ardea
cinerea). Seabirds, such as Cilakang Christmas
(Fregata andrewsi) and Dara-sea (greater
crested tern and small Dara-sea) which are
migrant bird species, are found around the
coast. While Pecuk-Padi-Hitam (Black
Cormorant Rice -bird) are found in fishing
platform in the middle of the sea. There are 15
species of mammals which are dominated by
Long Tailed Macaques (Macaca fascicularis) and
Surili (Presbitis cristata). There are six types of
reptiles, three species of them are included in
the CITES Appendix, among other forest
Tortoise and Lizard (Varanus salvator). Types
of fish that are found in mangrove areas are
Blodok fish (Periophtalmus sp.) (Timdu 2005 in
Forestian, 2011: 26). In addition, there are also
a number of fauna such as butterflies,
mosquitoes, gnats, and mangrove crabs.

Based on the observations and the


results of studies conducted by Forestian (2011:
35) on Mangrove ecosystem conditions in the
Sub-district Muaragembong, there had been a
decrease in the density of mangroves from
55.78 % in 2001 to 8.43% in 2010. The results
of recent survey (Hindersah et al., 2014: 86),
the existing condition of mangrove tree density
for each village can be seen in Table 1 below.

Table 1

Mangrove Tree Density

in Muaragembong

327
No. Observation Mangrove tree
mangrove ecosystem in Muaragembong coastal
areas is the CVM method, undertaken by
conducting interviews with local fishermen/
community, asking them of their willingness to
Source : Hindersah et al., 2014: 86
pay the benefits of mangrove ecosystem in the
region. The components that can be assessed
Based on the observation and analysis include, among others (Akliyah & Hindersah, 2014:
conducted with reference to the Decree of the 25-26): (1) The willingness to pay the benefit of
Minister of the Environment No. 201 of 2004 on mangrove ecosystem as the fish spawning place in
Standard Criteria and Guidelines for the waters, mainland protection from wave
Determining Mangrove Damage, the status of abrasion, mainland protection from the wind blow,
mangrove ecosystems in this area falls within the filter of sea water intrusion into the land, as
the criteria of bad status, with tree density well as heavy metal content that is harmful to life;
ranging between 59-1450 trees /hectare. (2) The willingness to pay the functions of
mangroves as spawning and fishing place;

The Identification of Mangrove 32. The willingness to pay the value of the
Ecosystem Benefits Value ecosystem as a drag abrasion (balancing
environment); (4) The willingness to pay for the
mangrove trees that can produce fruit that can be
As described by Bengen (2004 in Asyiawati,
processed into a variety of different preparations
2010: 14), the mangrove ecosystem has high
such as syrups, chips, dodol, snacks such as
economic value in supporting the public economy
dumplings dry (see Figure 3); (5) The willingness
of coastal areas. Based on the interviews with the
to pay the benefits of mangrove trees as charcoal
community and direct observation in
and fuelwood (see Figure 4); (6) The willingness
Muaragembong, it was found that mangrove
to pay the benefits of mangrove trees as one of
ecosystems are exploited for firewood, and raw
the main ingredients to make a shuttlecock used
materials for the manufacture of chips, syrups,
in badminton; (7) The willingness to pay the
dodol, various snacks such as dried dumplings, as
benefits of mangrove ecosystems that serve as
well as to produce shuttlecock for playing
wildlife ecological habitat (langur); (8) The
badminton.
willingness to pay the benefits of mangrove
ecosystems as providers of building materials
According to Akliyah & Hindersah (2014:
24), the method of analysis used to assess the

328
Hilwati Hindersah, et.al. Identification of Status and Value of Mangrove Ecosystem for Muaragem.......

(wood). the mangrove ecosystem condition is bad with

rare to moderate condition, with the range of

tree density between 59 and 1450 tree /ha.

It causes environmental problems namely

abrasion and flooding, and reduces the quality

and quantity of fisheries production (catch

fishery and aquaculture /ponds culture). This

condition is allegedly affected by land use

change, which in this area there are a lot of

fishponds community land.

On the other hand, mangrove ecosystem

is the ecosystem that has high economic value

in support of improving society economy.

Based on the identification, mangrove


Picture 3. Vidada Fruit
ecosystem in Muaragembong coastal areas

is used for firewood, material raw for making

chips, syrup, dodol, various snacks as dry

onde-onde, for making shuttlecock used for

badminton sport.

Looking at the status and value of the

benefits of mangrove ecosystem that was

found in Muaragembong coastal regions, it

is a need to study the mangrove ecosystem

management, so that sustainable development

can be achieved, which can improve the

society welfare. Direct efforts is to conduct

mangrove ecosystem rehabilitation through

replanting mangrove trees.This certainly

need to be supported by participation of

Picture 4. Mangrove Stems local communities and local governments.

Stakeholders outside Muaragembong area


(Source: Akliyah & Hindersah, 2014: 26)
can be invited to participate restoring the

existence of mangrove forest to function as

The above variables can be used as the conservation areas.

basis for determining the initial cost offered

to the respondents (community/fisherman)


329 References
for their willingness to pay for the value of

mangrove ecosystem benefits they enjoy.


Akliyah, Lely S. & Sundari, Eva S. (2006).

How much the public is willing to pay Penilaian Valuasi Ekonomi Taman Hutan

so that they remain willing to manage and Raya (Tahura) Ir. H. Juanda Kota Bandung

maintain the mangrove ecosystem they are Dengan Metode Biaya Perjalanan, Laporan

utilizing is the magnitude of the value of Penelitian, LPPM Unisba, Bandung.

ecosystem benefits (Akliyah & Hindersah, Akliyah, Lely S. & Hindersah, Hilwati. (2014).

2014: 26). Konsep Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove

di Kecamatan Muaragembong Kabupaten

Bekasi dengan Metode Biaya Perjalanan

Conclusions dan Metode CVM, Buku 2: Pengembangan

Wilayah dan Kota Berkelanjutan, hal.20-27.


Mangrove ecosystem has a strategic

Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik


significance both ecologically and economically

Universitas Islam Bandung: Menciptakan Nilai


in support of community life in coastal

Tambah dalam Pembangunan Berkelanjutan,


areas. The use of mangrove ecosystem

22 Mei 2014, Unisba, Bandung.


which do not consider the environment

Asyiawati, Yulia. (2010). Analisis Status


balance, will have a negative impact on

Ekosistem Pesisir Bagi Penyusunan Rencana


the environment and the social economic

Tata Ruang Wilayah Pesisir di Kawasan Teluk


condition of the community. The identification

Kota Ambon, Disertasi, Institut Pertanian


result of mangrove ecosystem status in

Bogor, Bogor.
Muaragembong coastal areas concludes that

330
MIMBAR, Volume 32, Number 1 (June, 2016), pp. 17-23

Asyiawati, Yulia & Akliyah, Lely S. (2014). Identifikasi Dampak Perubahan Fungsi Ekosistem
Pesisir Terhadap Lingkungan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Muaragembong, Buku 2:
Pengembangan Wilayah dan Kota Berkelanjutan, hal.28-33. Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung: Menciptakan Nilai Tambah dalam Pembangunan
Berkelanjutan, 22 Mei 2014, Unisba, Bandung.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi. (2012).

Kecamatan Muaragembong Dalam Angka

Tahun 2012.

Chua, TE. (2006). The Dynamic of Integrated Coastal Management : Practical Applications in the
Sustainable Coastal Development in East Asia, p. 460-472, Global Environment
Facility/UNDP/PEMSEA, Quezone City.

Dahuri, R., Rais, J., & Sitepu, MJ. (2008). ‘Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu’, Pradnya Paramita, Jakarta.

Fauzi, A., & Oxtavianus, A. (2014). Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.


Mimbar Volume 30. No. 1 Juni 2014: 42-52.

Forestian, O. (2011). Estimasi Biomassa dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data
Landsat ETM+ (Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muaragembong, Kabupaten
Bekasi Provinsi Jawa Barat), Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hindersah, Hilwati. (2013). Islamic Concept of Sustainable Development in The

River Estuary, International Conference Proceeding: Redefining the Concept of Islamic


Architecture and Built Environment, International Conference on Architecture & Built
Environment, pp. 529-539, 7th & 8th November 2013, KAED, IIUM & Putrajaya, Malaysia.

Hindersah, Hilwati., Asyiawati, Yulia., & Akliyah, Lely S. (2014). Peranan Ekosistem
Mangrove Dalam Mendukung Sistem Perekonomian Di Kecamatan Muaragembong
Kabupaten Bekasi. Laporan Akhir Penelitian Tahap I, Hibah Bersaing Dikti, Universitas
Islam Bandung.

Hindersah, Hilwati., Asyiawati, Yulia., & Akliyah, Lely S. (2015). Peranan Ekosistem Mangrove
Dalam Mendukung Sistem Perekonomian Di Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi.
Laporan Kemajuan Penelitian Tahap II, Hibah Bersaing Dikti, Universitas Islam Bandung.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku
dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-pulau Kecil. Departemen kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Zamzami, Lucky. (2011). Pemberdayaan

Ekonomi Masyarakat Pesisir di Nagari

Ampiang Perak, Sumatera Barat. Mimbar,


331
Volume XXVII. No. 1: 113-125.

332

You might also like