You are on page 1of 19

PENGARUH KONSERVATISME DALAM LAPORAN KEUANGAN TERHADAP

EARNINGS RESPONSE COEFFICIENT

LILIK PUJIATI
lilik.pujiati@yahoo.com

STIE PGRI Dewantara Jombang

ABSTRACT

Earning information that generated in the conservatism financial statemen are


considered to have benefits for the investor to predict the reaction of financial
statement reporting. This study aims to determine the effect of conservatism in the
financial statements of the earnings response coefficient (ERC) as well as to determine
the effect of good corporate governance (GCG) on the relationship between
conservatism in financial statements with the earnings response coefficient (ERC). The
data used in this study is a secondary data obtained from the Indonesia Stock
Exchange and of the Indonesian Capital Market Directory (ICMD). To determine the
effect of conservatism and good corporate governance in the financial statements of the
earnings response coefficient is used multiple linear regression.
Based on the results of simultaneous tests using the F test is known that the
overall conservatism of the independent variables, good corporate governance, and
firm size simultaneously have significant effect on the earnings response coefficient.
This suggests that the results of this study support the hypothesis that has been
presented. Based on the results of the partial test using t test between each independent
variable conservatism, good corporate governance, and firm size on earnings response
coefficient is known that the variable conservatism, good corporate governance, and
firm size partially have significant effect on the earnings response coefficient (ERC) .
This suggests that the results of this study support the hypothesis that has been
presented.
Cause of the results of this study show the influence of conservatism on
earnings response coeficient then conservatism is still relevant for use by the issuer in
the presentation of information in financial statements.

Keywords: conservatism, earnings response coefficient, good corporate governance


PENDAHULUAN
Pengumuman yang terkait dengan laba yang menyebabkan timbulnya reaksi pasar
mencakup pengumuman laporan tahunan awal, laporan tahunan rinci, laporan interim
awal, laporan interim rinci, laporan perubahan metode-metode akuntansi, laporan auditor,
dan sebagainya (Hartono, 2000). Laba yang berkualitas adalah laba yang dapat
mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earnings) di masa depan, yang ditentukan oleh
akrual dan aliran kasnya (Penman, 2001).
Prinsip akuntansi yang berlaku umum (Generally Accepted Accounting Principles)
memberikan fleksibilitas bagi manajemen dalam menentukan metode maupun estimasi
akuntansi yang dapat digunakan. Fleksibilitas tersebut akan mempengaruhi perilaku
manajer dalam melakukan pencatatan akuntansi dan pelaporan transaksi keuangan
perusahaan. Dalam kondisi keragu-raguan, seorang manajer harus menerapkan prinsip
akuntansi yang bersifat konservatis.
Laba mempunyai tingkat konservatisme yang berbeda. Konservatisme merupakan
konvensi laporan keuangan yang penting dalam akuntansi, sehingga disebut sebagai prinsip
akuntansi yang dominan. Konvensi seperti konservatisme menjadi pertimbangan dalam
akuntansi dan laporan keuangan merupakan masalah penting bagi investor, dan menurut
Wolk (2000), Givoly dan Hayn (2002) terdapat indikasi kecenderungan peningkatan
konservatisme secara global.
Konservatisme telah menjadi prinsip akuntansi yang banyak dianut oleh para
akuntan sejak abad ke-15 dan semakin popular penggunaannya dalam tiga dekade terakhir.
FASB Statement of Concept No. 2 mendefinisikan konservatisme sebagai reaksi hati-hati
(prudent reaction) menghadapi ketidakpastian. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
ketidakpastian dan resiko yang melekat pada situasi bisnis telah cukup dipertimbangkan.
Sampai saat ini masih terjadi pertentangan mengenai manfaat konservatisme dalam
laporan keuangan. Sebagian peneliti berpendapat bahwa laba yang dihasilkan dari metode
yang konservatif kurang berkualitas, tidak relevan, dan tidak bermanfaat, sedangkan
sebagian lainnya berpendapat sebaliknya. Peneliti yang memiliki pandangan kedua
menganggap bahwa laba konservatif, yang disusun menggunakan prinsip akuntansi yang
konservatif mencerminkan laba minimal yang dapat diperoleh perusahaan. Laba yang
disusun dengan metoda yang konservatif tidak merupakan laba yang dibesar-besarkan
nilainya, sehingga dapat dianggap sebagai laba yang berkualitas.
Sejak beberapa dekade, hubungan antara reaksi pasar dengan variabel-variabel
akuntansi telah menjadi topik menarik bagi peneliti serta bagi investor, dan manajer
perusahaan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menghasilkan simpulan yang
berbeda atas reaksi pasar terhadap konservatisme laporan keuangan. Menurut Giner (2001)
konservatisme identik dengan bad news. Dan Ginner (2001) menunjukkan bahwa bad news
memiliki dampak yang lebih besar atas harga sekuritas dibandingkan good news. Reaksi
pasar atas bad news semakin besar ketika terdapat informasi berkaitan kapitalisasi yang
rendah.
Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Gigler dan Hemmer (2001) menunjukkan
bahwa pasar bereaksi lebih cepat terhadap informasi-informasi dari perusahaan yang
kurang konservatif (lebih optimis). Penelitian-penelitian terdahulu yang juga menguji
pengaruh penerapan prinsip konservatisme terhadap reaksi pasar antara lain penelitian
Panman dan Zhang (2002) yang meneliti pengaruh akuntansi konservatisme terhadap
kualitas laba. Panman dan Zhang mendefinisikan kualitas laba sebagai kemampuan laba
sekarang untuk memprediksi laba masa depan. Panman dan Zhang (2002) menemukan
perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif dan pertumbuhan investasi yang
berfluktuasi memiliki kualitas laba yang rendah.
Dewi (2004) menguji pengaruh konservatisme laporan keuangan terhadap earnings
response coefficient dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon pasar berbeda atas

2
laba yang konservativ dengan laba yang optimis. Selanjutnya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Suaryana (2006) yang meneliti koefisien respons laba perusahaan yang
menerapkan akuntansi konservatisme dan akuntansi yang lebih optimis. Suaryana (2006)
memasukkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi koefisien respons laba. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa akuntansi konservatif mempunyai daya prediksi yang lebih rendah
dibandingkan akuntansi non konservatif.
Adanya hasil yang pro dan kontra seputar penelitian tentang pengaruh penerapan
prinsip konservatisme dalam laporan keuangan terhadap koefisien respon laba mendorong
peneliti untuk memasukkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai variabel pemoderasi.
Peneliti menduga bahwa ada variabel lain yang menginteraksi pengaruh konservatisme
akuntansi terhadap koefisien respon laba.

TINJAUAN TEORETIS
Konservatisme Akuntansi
Konsep konservatisme menyatakan bahwa dalam keadaan yang tidak pasti manajer
perusahaan akan menentukan pilihan perlakuan atau tindakan akuntansi yang didasarkan
pada keadaan, harapan kejadian, atau hasil yang dianggap kurang menguntungkan.
Implikasi konsep ini terhadap prinsip akuntansi adalah akuntansi mengakui biaya atau rugi
yang kemungkinan akan terjadi, tetapi tidak segera mengakui pendapatan atau laba yang
akan datang walaupun kemungkinan terjadinya besar (Suwardjono, 2002). Basu (1997)
menyatakan bahwa konservatisme merupakan praktik akuntansi dengan mengurangi laba
(dan menurunkan nilai aktiva bersih) ketika menghadapi praktik bad news, akan tetapi tidak
meningkatkan laba (dan menaikkan nilai aktiva bersih) ketika menanggapi good news.
Konservatisme, dari sudut pandang manajemen atau penyusun laporan keuangan
didefinisikan sebagai metoda akuntansi berterima umum yang melaporkan aktiva dengan
nilai terendah, kewajiban dengan nilai tertinggi, menunjukkan bahwa akuntansi konservatif
tidak saja berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi, tetapi juga estimasi yang
mengakibatkan nilai buku aktiva menjadi relatif rendah (Watts 1986; Wolk 2000; Penman
dan Zhang 2002). Definisi konservatisme yang lebih deskriptif adalah memilih prinsip
akuntansi yang mengarah pada minimalisasi laba kumulatif yang dilaporkan yaitu
mengakui pendapatan lebih lambat, mengakui biaya lebih cepat, menilai asset dengan nilai
yang lebih rendah, dan menilai kewajiban dengan nilai yang lebih tinggi.
PSAK sebagai standar pencatatan akuntansi di Indonesia menjadi pemicu timbulnya
penerapan prinsip konservatisme. Pengakuan prinsip konservatisme di dalam PSAK
tercermin dengan terdapatnya berbagai pilihan metode pencatatan di dalam sebuah kondisi
yang sama. Pilihan metode pencatatan tersebut cenderung menimbulkan laporan laba
perusahaan yang konservatif, karena Akuntan akan cenderung memilih metode pencatatan
yang mebhasilkan nilai aktiva bersih dan laba perusahaan yang terkecil.
Literatur-literatur menyebutkan berbagai alasan perusahaan memilih metode
akuntansi. Foster (1986) menyebutkan 6 alasan, yaitu menaati peraturan yang berlaku,
konsistensi pada model akuntansi, menyajikan keadaan ekonomi yang sebenarnya, dapat
dibandingkan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama, konsekuensi ekonomi
terhadap peruahaan, konsekuensi ekonomi terhadap manajemen.
Watts (2003) menunjukkan bahwa terdapat tiga ukuran konservatisme yaitu:
earnings/stock return relation measures, earnings/accrual measures, net asset measures.
Earnings/stock return relation measures , Stock market price berusaha untuk merefleksikan
perubahan nilai asset pada saat terjadinya perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba
dalam nilai asset- stock return tetap berusaha untuk melaporkannya sesuai dengan
waktunya. Basu (1997) menyatakan bahwa konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian
yang merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak sama
(asimetri waktu pengakuan).

3
Hal ini disebabkan karena salah satu definisi konservatisme menyebutkan bahwa
kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan harus segera
diakui sehingga mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan
kabar baik. Basu (1997) memprediksikan bahwa pengembalian saham dan earnings
cenderung merefleksikan kerugian dalam periode yang sama, tapi pengembalian saham
merefleksikan keuntungan lebih cepat daripada earnings.
Literatur terdahulu menyebutkan berbagai cara untuk mengukur tingkat
konservatisme. Penman dan Zhang (2002, 2000) menggunakan conservatism index (C-score)
sebagai proksi konservatisme neraca, dan earnings quality indicator (Q-socre) untuk
menghitung tingkat konservatisme laporan laba rugi. C-score menunjukkan tingkat estimasi
cadangan akibat penggunaan metode akuntansi konservatif. Q-score menunjukkan kualitas
laba akibat penggunaan metode yang konservatif.
Ukuran konservatisme lainnya berdasarkan pada observasi bahwa konservatisme
menyebabkan kejadian-kejadian yang merupakan bad news atau good news terefleksi dalam
laba pada waktu yang tidak sama. Hal ini disebabkan karena salah satu definisi
konservatisme menyebutkan bahwa kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan
kerugian bagi perusahaan harus segera diakui sehingga mengakibatkan bad news lebih cepat
terefleksi dalam laba dibandingkan good news (Givoly dan Hayn 2002, 2000; Beekes, Pope,
dan Young 2002; Ball, Kothari, dan Robin 1999; Basu 1997, Holthausen dan Watts 2001).
Hasil penelitian Gigler dan Hemmer (2001) bertentangan dengan penelitian yang
menyebutkan bad news lebih cepat terefleksi dalam harga sekuritas. Gigler dan Hemmer
yang mengembangkan sebuah teori mengenai hubungan antara bias dalam laporan
keuangan dan dorongan bagi manajer untuk menerbitkan laporan sukarela dengan tepat
waktu, membuktikan bahwa perusahaan yang menerapkan akuntansi optimis/liberal lebih
tepat waktu menerbitkan laporan sukarela. Penelitian itu menyimpulkan bahwa informasi
perusahaan yang menerapkan akuntansi optimis lebih cepat terefleksi dalam harga sekuritas
dibandingkan perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif.
Konservatisme juga diukur menggunakan akrual, yaitu selisih antara net income dan
cash flow. Net income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi dan amortisasi,
sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow operasional. Apabila akrual bernilai
negatif, maka laba digolongkan konservatif (Givoly dan Hayn 2002). Hal ini disebabkan
karena laba lebih rendah dari cash flow yang di peroleh oleh perusahaan pada periode
tertentu. Penelitian ini akan menggunakan akrual sebagai proksi konservatisme.
Ukuran lain yang dapat digunakan untuk mengetahui konservatisme laporan
keuangan adalah nilai aktiva yang understatement dan kewajiban yang overstatements.
Proksi pengukuran ini menggunakan rasio market-book value yang mencerminkan nilai pasar
aktiva relatif terhadap nilai buku aktiva perusahaan. Rasio yang bernilai lebih dari 1,
mengindikasi penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan mencatat nilai
perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya. Rasio ini digunakan oleh Beaver dan Ryan
(2000) ketika meneliti tingkat konservatisme.

Earnings Response Coefficient (ERC)


Jika suatu pengumuman mengandung informasi, maka dimaksudkan pasar akan bereaksi
pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Reaksi tersebut ditunjukkan dengan
perubahan harga sekuritas yang bersangkutan. Jika suatu pengumuman mengandung
informasi, maka akan tercermin dengan adanya abnormal return yang diterima oleh
investor.
Laba diyakini sebagai informasi utama yang disajikan dalam laporan keuangan
perusahaan. Pertanyaan seberapa jauh kegunaan laba bagi para pengguna laporan keuangan
menjadi hal yang penting baik bagi para peneliti, praktisi, dan juga otoritas pembuat
kebijakan. Penelitian Ball dan Brown (1968) menemukan bukti bahwa naik turunnya laba

4
akuntansi mempengaruhi naik turunnya harga saham. Hasil penelitiannya mereka memberi
petunjuk bahwa ada perbedaan respon pasar terhadap informasi laba akuntansi, sekaligus
menegaskan bahwa laba akuntansi yang dilaporkan dalam laporan laba rugi bermanfaat
bagi investor untuk mengambil keputusan investasi.
Namun demikian, earnings itu sendiri memiliki keterbatasan yang mungkin
dipengaruhi oleh asumsi perhitungan dan juga kemungkinan manipulasi yang dilakukan
oleh manajemen perusahaan, sehingga dibutuhkan informasi lain selain laba untuk
memprediksi return saham perusahaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, penelitian Ball dan Brown dinilai masih
mengandung keterbatasan atau kelemahan. Penelitian mereka dinilai masih kurang teliti
dalam mengukur besarnya respon harga saham terhadap laba akuntansi, karena kandungan
informasi yang diteliti oleh Ball dan Brown (1968) hanya diklasifikasifikasikan dalam berita
baik (good news) dan berita buruk (bad news). Berdasarkan kelemahan tersebut, penelitian
selanjutnya banyak diarahkan pada penelitian koefisien respon laba akuntansi.
Cho dan Jung (1991) mendefinisikan earnings response coefficient (ERC) sebagai
pengaruh setiap dollar laba kejutan (unexpected earnings) terhadap return saham, yang
ditunjukkan sebagai slope coefficient dalam regresi abnormal return saham dengan unexpected
earnings. ERC disebut juga koefisien sensitivitas laba akuntansi, yaitu ukuran sensitivitas
perubahan harga saham terhadap perubahan laba akuntansi (Beaver, 1998:103).
Penelitian-penelitian yang berusaha mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan
respon pasar terhadap informasi laba dikenal dengan penelitian earnings response
coefficient (ERC). ERC merupakan koefisien yang mengukur respon abnormal returns
sekuritas terhadap unexpected accounting earnings perusahaan-perusahaan yang menerbitkan
sekuritas. Collins dan Kothari (1989); Easton dan Zmijewski (1989); Lipe (1990); Dhaliwal et
al (1991); Lev dan Thiagarajan (1993); Dhaliwal dan Reynolds (1994); Billings (1999)
menunjukkan bahwa ERC bervariasi secara cross-sectional dan intertemporal.
Perkembangan penelitian berikutnya mengarah pada pengujian bahwa nilai buku
ekuitas juga merupakan faktor yang relevan dalam penilaian Ohlson (1995); Feltham dan
Ohlson (1995). Model kapitalisasi laba sederhana dinilai kurang memadai. Untuk
perusahaan-perusahaan yang rugi, model kapitalisasi laba sederhana akan menghasilkan
hubungan laba-harga negatif (Hayn, 1995). Dengan memasukkan nilai buku ekuitas ke
dalam model penilaian, akan mengeliminasi hubungan negatif tersebut (Collins et. al. 1999).

Good Corporate Governance (GCG)


Monks dan Minow dalam Darmawati (2005) mendefinisikan corporate governance
sebagai hubungan partisipan dalam menentukan arah dan kinerja. Corporate governance
didefinisikan oleh IICG (Indonesian institute of Corporate Governance) sebagai proses dan
struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama
meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders yang lain. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur
perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.
Prinsip-prinsip transparansi, keadilan, akuntabilitas, responsibilitas dan independen
GCG dalam mengurus perusahaan, sebaiknya diimbangi dengan good faith (bertindak atas
itikad baik) dan kode etik perusahaan serta pedoman GCG, agar visi dan misi perusahaan
yang berwawasan internasional dapat terwujud. Pedoman GCG yang telah dibuat oleh
Komite Nasional Corporate Governance hendaknya dijadikan kode etik perusahaan yang
dapat memberikan acuan pada pelaku usaha untuk melaksanakan GCG secara konsisten
dan konsekuen. Hal ini penting mengingat kecenderungan aktivitas usaha yang semakin
mengglobal dan dapat dijadikan sebagai ukuran perusahaan untuk menghasilkan suatu
kinerja perusahaan yang lebih baik.

5
Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam suatu perusahaan
merupakan salah satu bahan pertimbangan utama bagi kreditor dalam mengevaluasi potensi
suatu perusahaan untuk menerima pinjaman kredit. Bahkan bagi perusahaan yang
berdomisili di negara-negara berkembang, implementasi prinsip corporate governance secara
konkret, dapat memberikan kontribusi untuk memulihkan kepercayaan para kreditor
terhadap kinerja suatu perusahaan yang telah dilanda krisis, misalnya di Indonesia. Di
dunia Internasional, penerapan good corporate governance sudah merupakan suatu syarat
utama dalam perjanjian pemberian kredit. Seringkali perusahaan yang telah
mengimplementasikan prinsip-prinsip good corporate governance, mempunyai kemungkinan
besar untuk memperoleh bantuan kredit bagi usahanya.
Hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan filosofi dasar kepentingan para kreditor,
yaitu bahwa kepentingan utama kreditor adalah mendapatkan keuntungan maksimal dan
menekan seminimal mungkin resiko kegagalan pengembalian pinjaman. Keuntungan
maksimal ini dapat diperoleh dengan berbagai jalan, salah satunya adalah dengan
meningkatkan tingkat kemampuan perusahaan debitor untuk mengembalikan dana yang
telah dipinjam melalui efektivitas kinerja perusahaan tersebut.
Penerapan prinsip good corporate governance ini adalah untuk menghasilkan kinerja
perusahaan yang efektif dan efisien, melalui harmonisasi manajemen perusahaan.
Dibutuhkan peran yang penuh komitmen dan independen dari dewan direksi dan dewan
komisaris dalam menjalankan kegiatan perusahaan, sehingga menghasilkan kinerja
perusahaan yang baik.

Konservatisme dan Implementasi Good Corporate Governance (GCG)


Penerapan akuntansi yang konservatif dalam laporan keuangan perusahaan salah satunya
dipengaruhi oleh mekanisme corporate governance yang berkaitan dengan karakteristik
dewan komisaris. Karakteristik dewan komisaris tersebut secara spesifik berkaitan dengan
proporsi komisaris independen, kepemilikan oleh komisaris yang terafiliasi, dan ukuran
dewan komisaris.
Untuk meminimalisasi adanya permasalahan agensi, maka dibuatlah kontrak-
kontrak dalam perusahaan baik kontrak antara pemegang saham dengan manajernya
maupun kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Namun,
konflik yang terjadi tidak dapat diatasi secara menyeluruh dengan menggunakan kontrak
tersebut karena dalam membuat kontrak membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karena itu,
mekanisme corporate governance memainkan peran penting dalam mengurangi konflik
tersebut.
Dengan adanya Good Corporate Governance dapat membantu terciptanya hubungan
yang kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan di antara elemen dalam perusahaan
(dewan komisaris, dewan direksi, dan para pemegang saham) dalam rangka meningkatkan
kinerja perusahaan. Hal tersebut menuntut adanya pertanggungjawaban manajemen kepada
dewan komisaris dan adanya pertanggungjawaban dewan komisaris kepada para pemegang
saham. Dalam paradigma ini, dewan komisaris berada pada posisi untuk memastikan
bahwa manajemen telah benar-benar bekerja demi kepentingan perusahaan sesuai strategi
yang telah ditetapkan serta menjaga kepentingan para pemegang saham yaitu untuk
meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Terlebih lagi, dewan komisaris memegang
peranan penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta
memastikan bahwa para manajer benar-benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai
bagian dari pencapaian tujuan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia).
Dengan adanya monitoring dewan komisaris diharapkan akan membentuk good
corporate governance yang akan mempengaruhi tingginya transparansi laporan keuangan,
rendahnya manipulasi akuntansi, dan adanya batasan terhadap kemampuan manajer dalam
menyembunyikan bad news dalam waktu yang lama (Lara et. al, 2005). Jadi, corporate

6
governance yang kuat diharapkan akan mengakibatkan permintaan yang tinggi untuk
informasi yang tepat dan mencegah manajer dalam menyembunyikan informasi yang
kurang menyenangkan.

Pengembangan Hipotesis
Konservatisme laba mempengaruhi return saham selama periode dua belas bulan dari
delapan bulan sebelum akhir tahun keuangan sampai empat bulan setelah akhir tahun
keuangan. Konservatisme laba dapat menambah nilai Adjusted R2 dan menambah
signifikansi dari hubungan return saham dan laba tahunan (Espahbodi, 2000).
Konservatisme laba mempunyai peran penting dalam praktik akuntansi karena bisa
digunakan untuk memprediksi kondisi mendatang yang sesuai dengan tujuan laporan
keuangan (Mayangsari dan Wilopo, 2002). Prinsip akuntansi konservatif cenderung
membuat laba lebih berfluktuasi (Zhang dan Panman, 2002). Laba yang berfluktuasi akan
mengurangi daya prediksi laba. Penurunan daya prediksi laba dapat mengakibatkan
informasi laba tahun berjalan menjadi kurang bermanfaat dalam memprediksi laba masa
depan. Kemudian meningkatkan koefisien respons laba perusahaan (Setiati dan Kusuma,
2004). Dewi (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh konservatisme laporan keuangan
terhadap earnings respon coefficient.
Dalam penelitian itu terdapat dua hipotesis yang diajukan. Hipotesis pertama,
menguji apakah ada hubungan antara akrual diskresioner dan konservatisme laporan
keuangan perusahaan. Sedangkan hipotesis kedua, menguji apakah ada hubungan antara
earnings response coefficient dengan konservatisme laporan keuangan, khususnya bahwa
earnings response coefficient laporan optimis lebih besar dibandingkan earnings response
coefficient laporan konservatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara akrual diskresioner dengan konservatisme laporan keuangan serta, respon
pasar berbeda atas laba yang konservatif dengan laba yang optimis.
Suaryana (2006) mengembangkan penelitian Panman dan Zhang (2002) yang meneliti
pengaruh akuntansi konservatisme terhadap kualitas laba. Panman dan Zhang
mendefinisikan kualitas laba sebagai kemampuan laba sekarang untuk memprediksi laba
masa depan. Dalam penelitian tersebut meneliti koefisien respons laba perusahaan yang
menerapkan akuntansi konservatisme dan akuntansi yang lebih optimis. Praktik akuntansi
konservatisme diduga secara tidak langsung mempengaruhi koefisien respons laba
perusahaan. Penelitian itu mengembangkan studi determinan ERC diarahkan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ERC. Hasilnya menunjukkan bahwa
adanya perbedaan daya prediksi laba.
Hipotesis pertama dalam penelitian adalah sebagai berikut:
H1: Konservatisme dalam laporan keuangan berpengaruh terhadap earnings response
coefficient (ERC)
Penelitian ini akan memasukkan good corporate governance (GCG) sebagai variabel
pemoderasi. Klapper dan Love (2002) menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif antara
corporate governance terhadap kinerja dan nilai perusahaan dan perusahaan yang
menerapkan corporate governance secara konsisten akan memperoleh manfaat yang lebih
besar pada negara yang lingkungan hukumnya buruk. Terdapat reaksi pasar yang bersifat
positif terhadap pengumuman pembentukan komite audit yang merupakan komponen
penting dalam corporate governance di Indonesia (Mayang Sari dan Murtanto, 2002).
Arifin (2003) melakukan penelitian event study pengumuman earnings perusahaan
yang masuk dalam Corporate Governance Perception Index (CGPI). Dengan menggunakan
return saham, penelitian tersebut ingin mengetahui kandungan informasi atas pengumuman
earnings dan volume transaksi perdagangan saham pada perusahaan dengan penerapan CG
yang baik dan yang kurang baik.

7
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi yang diukur oleh
abnormal return atas pengumuman earnings oleh perusahaan dengan penerapan CG yang
baik tidak secara signifikan lebih tinggi daripada perusahaan dengan penerapan CG yang
kurang baik, sedangkan dilihat dari volume perdagangan, pengumuman earnings oleh
perusahaan dengan penerapan CG yang baik secara signifikan lebih rendah dibandingkan
perusahaan dengan penerapan CG yang kurang baik.
Rustiarini (2010) menunjukkan bahwa corporate governance berpengaruh pada nilai
perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa investor bersedia memberikan premium lebih
kepada perusahaan yang memberikan transparasi atas pelaksanaan good corporate governance
dalam laporan tahunan mereka. Semakin tinggi tingkat transparansi perusahaan, maka
semakin tinggi pula nilai perusahaan yang ditunjukkan dengan tingginya harga saham
perusahaan.
Dengan demikian hipotesis kedua yang diajukan adalah:
H2: Good Corporate Governance (GCG) memperkuat pengaruh konservatisme dalam laporan
keuangan dengan earnings response coefficient (ERC)

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Gambaran Populasi (Objek) Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sampai dengan tanggal 31 Desember
2010. Target sampel yang akan diteliti adalah perusahaan manufaktur yang sahamnya
terdaftar dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Teknik Pengambilan Sampel


Populasi dari penelitian ini adalah seluruh perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Perusahaan yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Metode
pemilihan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode pemilihan
sampel dengan beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sbb:
1. Perusahaan termasuk dalam kategori industri pemanufakturan
2. Perusahaan sudah terdaftar di BEI sejak tanggal 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2010
3. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan yang telah diaudit untuk periode 31
Desember 2006 sampai 31 Desember 2010
4. Perusahaan memiliki data mengenai komposisi dewan komisaris, ukuran dewan
komisaris, keberadaan komite audit, ukuran komite audit, jumlah komite audit
independen, ukuran dewan direksi, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan
institusional dalam Indonesia Capital Directory
37 Market (ICMD)
5. Terdapat tanggal pengumuman laporan tahunan.

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi yaitu dengan
mengumpulkan data sekunder, yang diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari
Indonesian Capital Market Directory (ICMD).
Data yang digunakan meliputi:
1. Data laporan keuangan tahunan meliputi laba operasi, laba bersih, aliran kas tahunan,
depresiasi dan amortisasi, dan total aktiva diperoleh dari laporan keuangan tahunan
perusahaan
2. Data return abnormal kumulatif sekitar tanggal pengumuman laporan keuangan
3. Tanggal pengumuman dan penyerahan laporan keuangan tahunan diperoleh dari
BAPEPAM.

8
Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya
Definisi Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Variabel Dependen
Earnings Response Coefficient yang disimbolkan dengan (ERC)
2. Variabel Independen
Konservatisme yang diberi simbol (CONC), yang diukur dengan menggunakan variabel
dummy yaitu:
Score 1, jika perusahaan menerapkan prinsip konservatisme dan score 0, jika perusahaan
tidak menerapkan prinsip konservatisme.
3. Variabel Pemoderasi
Good Corporate Governance di beri simbol dengan (GCG)
4. Variabel Kontrol
Penelitian ini memasukkan ukuran perusahaan (SIZE) sebagai variabel kontrol. Ukuran
perusahaan merupakan proksi dari keinformatifan harga. Perusahaan besar dianggap
memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil. Konsekuensinya
semakin informatif harga saham maka semakin kecil pula muatan informasi earnings
sekarang. Mulyani (2007) menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan akan
mempunyai informasi yang lebih daripada perusahaan kecil sehingga investor akan
menggunakan ukuran perusahaan salah satu faktor yang dapat digunakan dalam
pembuatan keputusan investasi.

Pengukuran Variabel
Variabel dependen
Earnings Response Coefficient (ERC)
Besarnya ERC diperoleh dengan melakukan beberapa tahap perhitungan. Tahap pertama
menghitung cumulative abnormal return (CAR) masing-masing sampel dan tahap kedua
menghitung unexpected earnings (UE) sampel.
1) Cummulative abnormal return (CAR)
Cummulative abnormal return (CAR) merupakan proksi dari harga saham atau reaksi
pasar. CAR pada saat laba akuntansi dipublikasikan dihitung dalam jendela perioda
(event window) pendek 7 hari, yaitu pada tanggal publikasi laba serta tiga hari sebelum
dan 3 hari sesudah tanggal publikasi. Dalam penelitian ini, jendela perioda (-3,+3)
dipandang cukup untuk mendeteksi abnormal return yang terjadi akibat publikasi laba,
sebelum confounding effect mempengaruhi abnormal return tersebut.
ARit = Rit – RI
Di mana:
ARit : Abnormal return sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke t
Rit : Return saham ke-i pada periode peristiwa ke t
RI : Return ekspektasi sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke t
a. Pendapatan saham yang sebenarnya (actual return)
Actual return merupakan pendapatan yang telah diterima investor berupa capital gain
yang didapatkan dari perhitungan :
Pt  Pt 1
Rit 
Pt 1
Di mana :
Rit : Actual Return saham perusahaan i pada hari t
Pt : Harga saham pada hari ke t
Pt-1 : Harga saham pada hari ke t-1

9
b. Return Ekspektasi
Model yang digunakan untuk estimasi abnormal return adalah Mean-adjusted return
(Brown dan Warner, 1985) yang didefinisikan:

T2

 E(R )
j  t1
i

Ri 
T
Di mana:
Ri : Return ekspektasi sekuritas ke-I pada periode peristiwa ke-t
E(Rit): Return realisasi sekuritas ke-i pada periode estimasi ke-t
T : Lamanya periode estimasi, yaitu dari t1 sampai dengan t2
Periode estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 hari. Alasan
digunakan periode pengamatan ini adalah untuk memperkecil confounding effect
yang memungkinkan mempengaruhi perilaku data. (Mulyani, 2007)
Rumus perhitungan CAR adalah:

3
CARit = CARi(-3,+3) =  ARit
3
ARit : abnormal return untuk saham i pada hari t
2) Unexpected Earnings (UE)
Unexpected Earnings (UE) diukur menggunakan pengukuran Mulyani (2007):
( Eit  Eit 1 )
UEit 
Eit 1
UEit : unexpected earnings perusahaan i pada periode (tahun)t
Eit : Laba akuntansi perusahaan i pada periode (tahun) t
Eit-1 : Laba akuntansi perusahaan i pada periode (tahun) sebelumnya (t-1)
Earnings Response Coefficient (ERC) merupakan koefisien yang diperoleh dari regresi antara
cummulative abnormal return (CAR) dan unexpected earnings (UE) sebagaimana dinyatakan
dalam model berikut ini
CARit = β0 + β1UE + ε
β1 merupakan Earnings Response Coefficient (ERC)

Variabel Independen
Pengukuran Konservatisme
Konservatisme dengan ukuran Akrual seperti yang digunakan oleh Givoly dan Hayn (2000),
Dewi (2004), Widya (2004), dan Sari (2004):

CONC it = NIit – CFOit


Dimana:
CONCit : Tingkat konservatisme perusahaan i pada periode t
NIit : Net income sebelum extra ordinary item dikurangi depresiasi atau amortisasi
CFOit : Cash Flow dari kegiatan operasi
Jika selisih antara laba bersih dan arus kas dari aktivitas operasi bernilai negatif, maka
perusahaan tersebut dikategorikan konservatif (1), dan jika hasilnya positif maka laba
dikategorikan non konservatif (0).
Hal ini disebabkan karena laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh perusahaan
pada periode tertentu.s (Dewi, 2004).

10
Variabel Pemoderasi
Variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah good corporate governance.
Pengukurannya menggunakan pengukuran sesuai dengan Wahidahwati (2010).
Kriteria Penskoran dan bobot masing-masing.
Presence of board of commisionar: weight 45%, Audit Commite: Weight 20%, Management :
Weight 20%, Shareholder: Weight 15%
1. BOARD OF COMMISSIONER / Dewan Komisaris (45%)
Dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari
implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir
permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham.
a. COM_SIZE (Size of Commissioner)
Ukuran dewan komisaris dapat dilihat dari jumlah seluruh anggota komisaris dalam
perusahaan sampel. Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal
dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan komisaris yang
terafiliasi.
Range Score
0-3 2
4-6 4
6-8 6
9-11 8
>11 10
b. COM_IND (Independent Commisioner)
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali,
serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi
kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2004). Proporsi
dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indicator persentase
anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan terhadap jumlah seluruh
anggota dewan komisaris perusahaan.
Range Score
0%-20% 2
21%-40% 4
41%-60% 6
61%-80% 8
81% and above 10
c. %COM_OWN (Ownership Commisioner)
Kepemilikan kmisaris diukur dengan persentase kepemilikan saham dewan
komisaris dibagi dengan jumlah saham yang beredar.
Range Score
0%-20% 2
21%-40% 4
41%-60% 6
61%-80% 8
81% and above 10
d. AUD (Big Four)
De Angelo (1981) menyatakan bahwa kualitas audit yang dilakukan oleh akuntan
publik dapat dilihat dari ukuran KAP yang melakukan audit. KAP besar (big Four)
dipersepsikan akan melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan

11
KAP kecil (Non Big Four). Hal tersebut karena KAP besar memiliki lebih banyak
sumber daya dan lebih banyak klien sehingga mereka tidak tergantung.
Range Score
Ya 10
Tidak 0
2. AUDIT COMMITTEE/Komite Audit (20%)
Komite audit bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit
eksternal, dan mengamati system pengendalian internal (termasuk audit internal) dapat
mengurangi sifat opportunistic manajemen.
a. AUD_SIZE (Size of Audit Committee)
Ukuran komite audit yaitu jumlah total anggota komite audit baik yang berasal dari
internal perusahaan maupun dari eksternal perusahaan.
Range Score
0-3 2
4-6 4
6-8 6
9-11 8
>11 10
b. AUD_IND (Independent Audit Commite)
Jumlah komite audit independen yaitu persentase jumlah anggota komite audit
independen terhadap jumlah total komite audit yang ada dalam susunan komite
audit perusahaan sampel.
Range Score
0% - 20% 2
21% - 40% 4
41% - 60% 6
61% - 80% 8
81% and above 10
c. FINEXPERT
Adanya seorang ahli dalam bidang keuangan (financial expert) yang bertindak sebagai
konsultan.
Range Score
Ya 10
Tidak 0
3. MANAGEMENT/Manajemen (20%)
Managemen atau direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab
secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Jumlah anggota direksi disesuaikan
dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam
pengambilan keputusan.
a. DIR_SIZE
Ukuran dewan direksi adalah jumlah keseluruhan anggota dewan direksi.
Range Score
0-3 2
4-6 4
6-8 6
9-11 8
>11 10
b. M_OWN (Managerial Ownership)
Kepemilikan manajerial diukur dengan persentase kepemilikan saham dewan direksi
dan dewan komisaris dibagi dengan jumlah saham yang beredar.

12
Range Score
0%-20% 2
21%-40% 4
41%-60% 6
61%-80% 8
81% and above 10
c. Family Relations
Range Score
Ya 0
Tidak 10
4. SHAREHOLDER/Pemegang Saham (15%)
INST_OWN (Institutional Ownership)
Kepemilikan institusional dapat dilihat berdasarkan persentase kepemilikan saham oleh
perbankan, perusahaan asuransi, dana pensiun, reksadana dan institusi lain dibagi total
jumlah saham yang beredar.
Range Score
0%-20% 10
21%-40% 8
41%-60% 6
61%-80% 4
81% and above 2
Penghitungan score GCG masing-masing sampel adalah:
(Score yang diperoleh : score tertinggi) x % Bobot
Total Score = Jumlah dari score masing-masing point.

Variabel Kontrol
Dalam penelitian ini memasukkan ukuran perusahaan (SIZE) sebagai variabel kontrol.
Fungsi dari variabel kontrol itu sendiri adalah untuk mencegah adanya hasil perhitungan
yang bias. Ukuran perusahaan (SIZE) merupakan nilai logaritma dari total asset perusahaan.

Teknik Analisis Data


1. Statistik Deskriptif
Variabel konservatisme, good corporate governance, dan earnings response coefficient akan
dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Statistik deskriptif menjelaskan nilai
minimum, maksimum, mean, dan deviasi standar dari ketiga variabel yang digunakan
dalam penelitian ini.
2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi antara anggota sampel yang diurutkan
berdasarkan waktu. Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan melalui pengujian terhadap
nilai Durbin Watson (uji DW), dengan ketentuan sebagai berikut:
DW < Du : Terjadi autokorelasi positif
DL ≤ DW ≤ Du : Tidak terjadi autokorelasi
DW > DL : Terjadi autokorelasi negatif
b. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau exact (pasti)
diantara variabel-variabel independen dalam model regresi. Uji multikolinearitas
bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar

13
variabel bebas (independen). Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu
dengan cara:
1) Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi,
tetapi secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan
mempengaruhi variabel terikat.
2) Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel bebas. Pedoman suatu model
regresi yang bebas multikol adalah koefisien antar variabel independen haruslah
lemah, jika variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya di atas 0,90),
maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
3) Besaran VIF (Varian Inflation Factor) dan Tolereance
a) Nilai VIF (Varian Inflation Factor) < 10
b) Nilai TOL (Tolereance) > 0,10
c. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi penting dalam model linear klasik adalah bahwa kesalahan sama
dengan pengganggu (Ui) untuk variabel-variabel bebas yang diketahui mempunyai
varian yang sama. Heteroskedastisitas menunjukkan bahwa variabel pengganggu
(eror atau residual) memiliki varian yang berbeda dari satu observasi ke observasi
lainnya. Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain.
Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dapat menggunakan dua cara, yaitu:
1) Pendekatan Grafis
2) Metoda korelasi spearman (ρ) antara variansi faktor pengganggu dengan variabel
independennya. Apabila hasil korelasi menunjukkan nilai lebih besar dari 0,7
maka model regresi mengandung masalah heteroskedastisitas.
3. Analisis Regresi
ERCi = α + β1 CONC + β2GCG + β3CONC*GCG + β4SIZE + ε
Keterangan:
ERC = Earnings Response Coefficient
CONC = Konservatisme
GCG = Good Corporate Governance
SIZE = Ukuran Perusahaan
α = Konstanta
β1, β2, β3, β4 = Koefisien Regresi

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Program SPSS diperoleh hasil
sebagai berikut:

14
Tabel 1
Koefisien Regresi
a
Coefficients

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 7,162 6,008 1,192 ,235
CONC -3,852 2,012 ,218 -1,915 ,024 ,272 3,217
GCG 6,328 2,089 ,104 3,029 ,008 ,458 2,149
CONC*GCG -4,117 2,042 -,066 -2,017 ,019 ,385 2,613
SIZE 5,331 2,049 -,234 2,602 ,010 ,742 1,347
a. Dependent Variable: ERC

Tabel tersebut menunjukkan persamaan regresi yang dapat menjelaskan ada atau
tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat serta dapat
menginformasikan besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Dari tabel
diperoleh model regresi linier berganda sebagai berikut:
ERC = 7,162 - 3,852 CONC + 6,328 GCG – 4,117 CONC*GCG + 5,331 SIZE

Pengujian Pengaruh Simultan dengan Uji F


Uji signifikansi model ini dapat dilihat pada nilai F hitung yang telah diperoleh dari
program SPSS sebagai berikut:
Tabel 2
Anova
ANOVAb

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 16,039 4 4,010 5,012 ,030 a
Residual 316,843 159 1,993
Total 332,882 163
a. Predictors: (Constant), SIZE, GCG, CONC, CONC*GCG
b. Dependent Variable: ERC

Karena nilai sig < 0,05 yaitu 0,030 < 0,05, maka H0 ditolak, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa keseluruhan variabel bebas konservatisme, good corporate governance, dan
ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap earning response coefficient.

Pengujian dengan Koefisien Determinasi Berganda (R2)


Tabel 3
Model Summary
Model Summaryb

Adjusted Std. Error of Durbin-W


Model R R Square R Square the Estimate atson
1 ,795 a ,632 ,524 1,412 1,730
a. Predictors: (Constant), SIZE, GCG, CONC, CONC*GCG
b. Dependent Variable: ERC

15
Diketahui bahwa koefisien determinasi berganda (R2) atau R Square adalah sebesar
0,632 atau 63,2%, ini berarti bahwa keseluruhan variabel bebas konservatisme, good
corporate governance, dan ukuran perusahaan mampu menjelaskan turun naiknya variabel
earning response coefficient sebesar 63,2%, sedangkan sisanya sebesar 36,8% dijelaskan
faktor lain di luar model penelitian.

Pengujian Pengaruh Parsial dengan Uji t


Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Program SPSS diperoleh hasil uji t
sebagai berikut:
1) Uji parsial antara variabel bebas konservatisme (CONC) terhadap earning response
coefficient (ERC), dengan nilai sig = 0,024.
Karena nilai sig 0,024 < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa variabel bebas konservatisme (CONC) secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap earning response coefficient (ERC).
2) Uji parsial antara variabel bebas good corporate governance (GCG) terhadap earning
response coefficient (ERC), dengan nilai sig = 0,008.
Karena nilai sig 0,008 < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa variabel bebas good corporate governance (GCG) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap earning response coefficient (ERC).
3) Uji parsial antara variabel CONC*GCG terhadap earning response coefficient (ERC),
dengan nilai sig = 0,019.
Karena nilai sig 0,019 < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa variabel GCG berpengaruh terhadap hubungan antara
konservatisme dengan earning response coefficient (ERC).
4) Uji parsial antara variabel bebas ukuran perusahaan (SIZE) terhadap earning response
coefficient (ERC), dengan nilai sig = 0,010.
Karena nilai sig 0,010 < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa variabel bebas ukuran perusahaan (SIZE) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap earning response coefficient (ERC).

Interpretasi
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh simultan yang signifikan antara
konservatisme, GCG, dan ukuran perusahaan terhadap earning response coefficient (ERC).
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut secara bersama-sama
menciptakan informasi di pasar modal sehingga para investor meresponnya dengan
signifikan. Berdasarkan perhitungan juga diketahui adanya pengaruh parsial yang
signifikan antara konservatisme, GCG, dan ukuran perusahaan terhadap earning response
coefficient (ERC). Konservatisme (CONC) mempunyai arah pengaruh yang negatif terhadap
earning response coefficient (ERC), artinya semakin konservatif laporan keuangan suatu
perusahaan maka ERC makin menurun, sedangkan GCG dan SIZE mempunyai arah
hubungan yang positif, artinya bila GCG dan SIZE meningkat maka ERC makin menurun.
Adanya pengaruh konservatisme yang negatif disebabkan bahwa secara umum
perusahaan-perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini menerapkan
konservatisme yang terlihat dari nilai rata-rata variabel konservatisme yang negatif, di mana
menurut Givoly dan Hayn (2002) apabila akrual bernilai negatif, maka laba digolongkan
konservatif. Kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan
harus segera diakui oleh perusahaan mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi
dalam harga saham dibandingkan kabar baik. Hasil penelitian ini sesuai menurut Giner
(2001) bahwa konservatisme identik dengan bad news, dan Ginner menunjukkan bahwa bad
news memiliki dampak yang lebih besar atas harga sekuritas dibandingkan good news. Reaksi
pasar atas bad news semakin besar ketika terdapat informasi berkaitan kapitalisasi yang

16
rendah. Selain itu Basu (1997) menyatakan bahwa konservatisme menyebabkan kejadian-
kejadian yang merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak
sama (asimetri waktu pengakuan). Lebih lanjut Basu (1997) memprediksikan bahwa
pengembalian saham dan earnings cenderung merefleksikan kerugian dalam periode yang
sama, tapi pengembalian saham merefleksikan keuntungan lebih cepat daripada earnings.
Adanya unsur Good Corporate Governance (GCG) yang turut memoderasi pengaruh
antara konservatisme terhadap ERC mendukung beberapa peneliti terdahulu seperti Lins
dan Warnock (2004) yang menyimpulkan bahwa secara umum mekanisme yang dapat
mengendalikan perilaku manajemen atau sering disebut mekanisme corporate governance
dapat mempengaruhi sensitifitas harga saham. Selain itu Wardhani (2008) menunjukkan
bahwa semakin besar kepemilikan institusional dalam struktur kepemilikan perusahaan
akan semakin mendorong penggunaan prinsip akuntansi yang konservatis. Hasil penelitian
itu konsisten dengan LaFond dan Roychowdhury (2007) yang menyatakan bahwa
konservatisme dalam laporan keuangan ini merupakan salah satu mekanisme dalam
mengatasi permasalahan agensi ketika timbul antara pemisahan dan kepemilikan dan
pengendalian. Hasil ini juga mendukung hasil penelitian Arifin (2003) dan Rustiarini (2010)
yang memasukkan good corporate governance (GCG) sebagai variabel pemoderasi.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Berdasarkan hasil uji simultan dengan menggunakan uji F diketahui bahwa keseluruhan
variabel bebas konservatisme, good corporate governance, dan ukuran perusahaan secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap earning response coefficient. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan.
2. Berdasarkan hasil uji parsial dengan menggunakan uji t antara masing-masing variabel
bebas konservatisme, good corporate governance, dan ukuran perusahaan terhadap earning
response coefficient diketahui bahwa variabel konservatisme, good corporate governance, dan
ukuran perusahaan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap earning response
coefficient (ERC). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
yang telah dikemukakan.

Implikasi
1. Implikasi Praktis
a. Karena hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara konservatisme
terhadap earnings response coeficient maka konservatisme masih relevan untuk
digunakan oleh emiten dalam penyajian informasi dalam laporan keuangan.
b. Laba merupakan salah satu bagian laporan keuangan yang dihasilkan emiten yang
disusun berdasarkan norma atau standar akuntansi keuangan, sehingga tidak dapat
dihindarkan adanya tindakan manajemen laba. Para investor sebaiknya berhati-hati
dalam pengambilan keputusan bisnis, tidak hanya berfokus pada informasi laba,
tetapi juga mempertimbangkan informasi non keuangan, seperti GCG.
2. Implikasi Teoretis
Terdapat kontroversi mengenai manfaat prinsip konservatisme dalam laporan keuangan,
pendapat yang mendukung tidak adanya manfaat konservatisme di antaranya adalah
Staubus (1995), Basu (1997), Hendriksen dan Van Breda (1992), serta Penman dan Zhang
(1992). Dengan adanya hasil penelitian ini yang menyatakan adanya pengaruh antara
konservatisme terhadap earnings response coeficient maka informasi laba yang dihasilkan
dalam pelaporan secara konservatisme dinilai memiliki manfaat untuk memprediksikan
reaksi investor atas penyajian laporan keuangan.

17
Keterbatasan
Walapun penelitian ini telah dilakukan dengan baik, namun terdapat beberapa
keterbatasan antara lain:
1. Jumlah pengamatan (jumlah sampel) terbatas pada 80 perusahaan manufaktur dan
jumlah periode penelitiannya hanya dari tahun 2006 sampai 2010.
2. Pengukuran konservatisme yang digunakan hanya ditinjau dari satu cara pengukuran
saja, sedangkan Watts (2003) mengajukan tiga cara pengukuran konservatisme.
3. Variabel GCG yang ada dalam penelitian ini kurang dapat mengukur secara
komprehensif realitas praktik GCG dalam perusahaan.
4. Hasil penelitian menunjukkan Koefisien Determinasi sebesar 63,2%, ini berarti bahwa
masih ada variabel lain yang masih bisa ditambahkan dalam model penelitian
Mengacu dari beberapa keterbatasan yang disebutkan di atas, maka peneliti
mengajukan saran-saran yang dapat digunakan untuk pengembangan dan penyempurnaan
penelitian berikutnya, yaitu:
1. Menambah jumlah sampel penelitian dan periode penelitian, serta memperluas lingkup
penelitian bukan hanya terbatas pada perusahaan manufaktur.
2. Pengukuran konservatisme yang digunakan sebaiknya juga menggunakan pengukuran
lain yaitu stock relation measures dan net assets measures sebagaimana pengukuran yang
diajukan oleh Watts (2003).
3. Pengukuran GCG yang digunakan sebaiknya lebih komprehensif seperti yang tertuang
KNKG.
4. Dapat menembahkan beberapa variabel independen lain yang mampu menjelaskan
earnings response coeficient.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, et. al. 2000. Accounting Conservatism & Cost of Debt: An Empirical Test of Efficient
Contracting. SRRN Working Paper. Maret

Ball, R. dan P. Brown. 1968. ”An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers”.
Journal of Accounting Research (Autum), hal. 159-178.

Basu, S. 1997. “The conservatism Principle and The Asymetric Timeliness of Earnings”.
Journal of Accounting and Economic 24, hal. 3-37.

Dewi, R. 2004. “Pengaruh Konservatisma Laporan Keuangan Terhadap Earnings Response


Coefficient”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 2(7): 207-223

Fala, S. Dwi Yana. 2007. “Pengaruh Konservatisma Akuntansi Terhadap Penilaian Ekuitas
Perusahaan Dimoderasi Oleh Good Corporate Governance”. Dipresentasikan di
Simposium Nasional Akuntansi 10 di Makassar.

Foster, G. 1986. Financial Statement Analysis. Second Edition. USA: Prentice Hall.

Gigler, Frank B. dan Thomas Hemmer. 2001. Conservatism, Optimal Disclosure Policy, and
the Timeliness of Financial reports. The Accounting Review Vol. 76 No. 4. October (p.
471-493)

Giner, Begona dan William Rees. 2001. On Asymmetric Recognition of Good and Bad News
in France, Germany and United Kigdom. Journal of Business Finance.

18
Givoly, Dan dan Carla Hayn. 2002. Rising Conservatism: Implications for Financial Analysis.
AIMR, January/February

Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometric. Fourth Edition. McGraw-Hill Book Co.

Hartono, J. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi ke-2. Yogyakarta: BPFE.

Hendriksen E. and M. Van Breda. 1992. Accounting Theory, 5th edition, Irwin, Homewood, II.

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. “Standar Akuntansi Keuangan: Per 1 September 2007.”
Penerbit Salemba Empat. Jakarta

Indriani, R. 2010. “Pengaruh Kualitas Pelaporan Keuangan Terhadap Informasi Asimetri”.


Dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi 13 di Purwokerto.

Mayangsari, S. dan Wilopo. 2002. ”Konservatisme Akuntansi, Value Relevance dan


Discretionary Accruals: Implikasi Empiris Model Feltham Ohlson (1996)”. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia 3, hal. 291-310.

Panman, S. H. dan X. J. Zhang. 2002. “Accounting Conservatism, The Quality of Earnings,


and Stock Return”. The Accounting Review, Vol. 77, No. 2, hal. 237-264

Pinasti, M. 2004. “Faktor-Faktor yang Menjelaskan Variasi Relevansi-Nilai Informasi


Akuntansi: Pengujian Hipotesis Alternatif”. Dipresentasikan di Simposium Nasional
Akuntansi VII di Denpasar, Bali.

Scott, William R. 2000. Financial Accounting Theory, Second edition. Prentice Hall Canada Inc.
Scarborough, Ontario.

Suaryana, Agung. 2006. “Pengaruh Konservatisme Laba Terhadap Koefisien Respons Laba”.
Dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XII di Palembang

Suwardjono, 1989. Teori Akuntansi: Perekayasaan Akuntansi Keuangan. Edisi Kedua. BPFE.
Yogyakarta.

Triyono. 1999. “Hubungan Kandungan Informasi Total Arus Kas, Komponen Arus Kas, dan
Laba Akuntansi dengan Harga atau Return Saham”. Dipresentasikan di Simposium
Nasional Akuntansi II di Malang.

Wardhani, Ratna. 2008. ”Tingkat Konservatisme Akuntansi di Indonesia dan Hubungannya


dengan Karakteristik Dewan sebagai Salah Satu Mekanisme Corporate Governance”.
Dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XI di Pontianak.

Widya. 2004. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Perusahaan terhadap


Akuntansi Konservatif”. Dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi VII di
Denpasar, Bali.

Wolk, Harry I. Dan Michael G. Tearney, 2000. Accounting Theory: A Conceptual and
Institutional Approach. 5th ed. South-Western College Publishing.

19

You might also like