You are on page 1of 11

PSIKOPEDAGOGIA ©2015 Universitas Ahmad Dahlan

2015. Vol. 4, No.1 ISSN: 2301-6167

Gambaran School Well-Being pada Peserta Didik Program Kelas


Akselerasi di SMA Negeri 8 Yogyakarta

Husnul Khatimah
Program Studi Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Palu
Jl. Hang Tuah No. 114, Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia
Email: chenoel86@gmail.com

This research is about the school well-being for acceleration class’s students in SMA Negeri 8 Yogyakarta.
The Researcher wanted to describe the school well-being and its main factors which contributed to
acceleration students’ school well-being in SMA Negeri 8 Yogyakarta. The data was collected by
interview, observation, and documentation study. The research subject was taken with purposive sampling a
number of 39 students. The analysis of data using data triangulation technique . The research showed that
the school well-being of acceleration students in SMA Negeri 8 Yogyakarta were described as well
perceived on school infrastructure, excellent individual capital, unwell learning design management, well
interpersonal school interaction, well school management, and perceived parental support. The result of this
research can be used as the school’s fundamental consideration in creating learning atmosphere which led
to well-being school condition.

Keywords: school well-being, acceleration, learning atmosphere, triangulation technique

Penelitian ini merupakan penelitian tentang gambaran school well-being pada peserta didik kelas akselerasi
di SMA Negeri 8 Yogyakarta. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan school well-being dan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap school well-being siswa kelas akselerasi. Data yang
dihimpun oleh peneliti, ditempuh melalui tiga cara yaitu, wawancara, observasi dan studi dokumen. Subjek
penelitian diambil dengan purposive sampling sejumlah 39 siswa. Analsis data menggunakan teknik
trianggulasi data. Hasil penelitian menunjukkan gambaran school well-being siswa akselerasi di SMA
Negeri 8 Yogyakarta adalah well perceived on school infrastructure, excellent individual capital, unwell
learning design management, well interpersonal school interaction, well school management, dan
perceived parental support. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan sekolah dalam
menciptakan iklim belajar yang mengarah pada kondisi sekolah yang well being.

Kata kunci : school well-being, akselerasi, iklim belajar, teknik triangulasi

Pendahuluan diabaikan. Pendapat tersebut sesuai dengan


penelitian yang dilakukan oleh Torsheim (Fatimah,
Pengalaman sekolah yang kurang menyenang- 2010) bahwa stres yang dialami oleh siswa akan
kan dapat menjadi sumber stres yang signifikan dan memberikan dampak yang buruk pada hubungan
mengurangi kualitas hidup bagi peserta didik interpersonal, kemudian keadaan stres tersebut
(Huebner & McCullough, 2000). Pernyataan dapat membuatnya merasa bahwa iklim belajar di
Huebner dan McCullough didukung dengan sekolahnya tidak menyenangkan.
penelitian Fatimah (2010), yang menunjukkan Kondisi sekolah yang tidak menyenangkan,
bahwa semakin tinggi stres yang dialami siswa, menekan, dan membosankan akan berakibat pada
maka akan diikuti dengan semakin buruknya pola siswa yang bereaksi negatif, seperti stres,
penilaian siswa terhadap sekolahnya. Ketika siswa bosan, terasingkan, kesepian dan depresi. Kondisi
mengalami kejenuhan, maka ia akan merasa tidak tersebut akan berdampak pada penilaian individu
memiliki hubungan sosial yang baik dan terhadap sekolahnya. Pengukuran penilaian
pemenuhan dirinya di sekolah terasa seperti subjektif siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan di

20
21
KHATIMAH
sekolah disebut sebagai school wellbeing yang menghargai peserta didik yang memiliki
dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002). kemampuan dan kecerdasan luar biasa untuk dapat
Well-being pada siswa dapat dilihat dari menyelesaikan pendidikan lebih cepat. Tujuan lain
penilaian mereka terhadap keadaan sekolah mereka yaitu memacu kualitas peserta didik dalam
sendiri, bagaimana peran sekolah dalam proses meningkatkan spiritual, intelektual dan emosional
belajar mereka khususnya para siswa program secara berimbang, serta meningkatkan efektifitas
akselerasi. Sesuai dengan Tian, (2008) sekolah dan efisieni proses pembelajaran peserta didik
merupakan konteks lingkungan sosial yang kuat (Nisichin, dalam Hawadi, 2004)
dan potensial sebagai sarana atau tempat Kelas akselerasi yang diperpendek dari tiga
perkembangan sosial remaja. Terlebih lagi sekolah tahun menjadi dua tahun membuat aktivitas belajar
merupakan sarana yang potensial dalam siswa kelas akselerasi menjadi padat, jumlah jam
membentuk kepribadian individu serta konsep belajar di sekolah lebih banyak dibandingkan
sosial yang baik yang akhirnya akan memberikan dengan jumlah jam belajar siswa kelas reguler.
kesejahteraan itu sendiri terhadap siswa, Selain itu setiap hari siswa kelas akselerasi diberi
Program school well-being menjadi penting tugas atau pekerjaan rumah, khususnya mata
diterapkan di sekolah, karena siswa yang sehat, pelajaran non-esensial. Aktivitas dan tugas belajar
merasa bahagia dan sejahtera dalam mengikuti yang padat membuat siswa menggunakan banyak
pelajaran di kelas, dapat belajar secara efektif dan waktunya untuk belajar, melakukan kegiatan belajar
memberi kontribusi positif pada sekolah dan lebih bersama, menggunakan banyak sumber belajar, dan
luas lagi pada komunitas (Konu & Rimpela, 2006). menggunakan berbagai strategi belajar, baik strategi
Pendapat selanjutnya dikemukakan Morris (2009) kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan
bahwa well-being harus menjadi fungsi pendidikan sumber daya. Aktivitas belajar yang padat
utama, dan semua sekolah harus digerakkan untuk menjadikan siswa kelas akselerasi mampu
memaksimalkan pertumbuhan siswa dan pendidik. melakukan regulasi diri dalam belajar (Alsa, 2004).
Keinginan pemerintah indonesia untuk Pemperkayaan materi juga diperoleh siswa kelas
memberikan pelayanan terbaik bagi warga, akselerasi melalui tugas mandiri dan tugas
termanifestasi melalui program pendidikan. kelompok yang dikerjakan di luar jam sekolah.
Pemerintah berupaya menaikkan kualitas mutu Beban dan tugas belajar di dalam dan di luar
pendidikan melalui banyak program, dan satu di jam sekolah ternyata menjadi stressor positif
antaranya adalah layanan pendidikan bagi anak- (eustress) bagi siswa kelas akselerasi. Hal ini dapat
anak dengan intelegensi diatas rata-rata normal atau terjadi karena perkembangan fisik siswa sudah
yang disebut dengan anak berbakat. kuat, perkembangan kognitif siswa sudah siap, dan
Pada tahun 1998 Munandar melakukan survei di yang lebih penting adalah bahwa siswa cerdas dan
beberapa Provinsi tentang kebijakan pendidikan berbakat, learning ratenya lebih unggul
keterbakatan di Indonesia dengan responden para dibandingkan siswa normal seusianya. Mereka
pakar, kepala sekolah, guru siswa berbakat, guru mampu mengubah sikap mental dalam menghadapi
siswa biasa, orang tua siswa berbakat dan orang tua kecepatan dan kepadatan belajar, sehingga mereka
siswa biasa, ternyata seluruh responden menyetujui lebih aktif, memiliki komitmen, dan fight dalam
dilakukan akselerasi atau percepatan secara belajar (Alsa, 2004)
fleksibel dalam pendidikan keterbakatan Program akselerasi menunjukkan bahwa pada
(Munandar, 1999). Sampai saat ini tampaknya awalnya sebagian besar guru dan administrator
program akselerasi masih dalam tahap uji coba dan berpendapat bahwa akselerasi itu bisa baik dan
belum semua sekolah dapat menyelenggarakan buruk bagi anak-anak, terutama secara emosi dan
program akselerasi. Yogyakarta khususnya, sekolah sosial. Hasil dari penelitian bahwa akselerasi itu
yang telah menyelenggarakan program akselerasi baik bagi anak-anak dan tidak berbahaya. Ketika
ini salah satunya adalah SMAN 8 Yogyakarta. anak-anak diberikan program akselerasi, mereka
Program akselerasi sangat berbeda dengan jarang mengalami tekanan secara emosi dan
program pendidikan lainnya. Program terakhir tertutup dari lingkungan sosialnya yang
diperbaharui pada RAKERNAS tahun 2000 ini, menakutkan. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti
mencanangkan percepatan belajar atau akselerasi ketika orang menyadari bahwa akselerasi telah
sejak pada tingkat sekolah dasar (SD), sekolah diterapkan untuk mengatasi masalah seperti: anak
menengah pertama (SMP), hingga sekolah bosan di sekolah, guru menyadari bahwa ia tidak
menengah atas (SMA). Program ini bertujuan untuk bisa menyediakan kebutuhan anak di ruang kelas,
22
SCHOOL WELL-BEING, AKSELERASI
anak tidak merespon ketika ditanya sesuatu yang potensial siswa secara optimal, guru kurang dapat
dipelajari beberapa tahun yang lalu. Dengan gambaran yang tepat mengenai kemampuan siswa.
demikian, akselerasi hampir tidak pernah Sensitivitas guru dalam menemukan keberbakatan
mengganggu masa kanak-kanak mereka. Perbaikan anak menjadi terabaikan. Jarangnya digunakan
kurikulum untuk anak dapat meringankan situasi evaluasi portofoliojuga menyebabkan hilangnya
belajarnya daripada menciptakan situasi stres. sentuhan pribadi guru pada siswa (Hawadi, 2004).
Pernyataan dari riset yang menyatakan bahwa tidak Kolesnik (1970) mengemukakan adanya
diragukan karena akselerasi itu dapat dilihat sebagai kelemahan program akselerasi, adalah dengan
metode yang bagus tanpa konsekuensi negatif loncat kelas akan mengurangi kesempatan siswa
(Rogers, 2002). untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya,
Sejalan dengan yang diutarakan oleh Davis menimbulkan problem sosial dan emosional, beban
(2012) bahwa dalam beberapa penelitian terdahulu, tugas belajar yang banyak bisa menjadi tekanan
motivasi peserta didik yang kelasnya dipercepat (stressor) bagi kesehatan mental, kesempatan untuk
semakin meningkat. Mereka tidak menjadi pemalas, latihan kepemimpinan berkurang karena masalah
seperti yang terjadi pada anak yang tidak akseleran. fisik dan kematangan sosialnya belum sematang
Ilmu pengetahuan mereka meningkat, karena siswa lainnya yang lebih tua, melakukan akselerasi
sekolah mengakui dan mengakomodasikan dalam perkembangan intelektual, tapi tidak dalam
kemampuan mereka. Mereka berusaha belajar aspek-aspek lainnya, belajar tidak sekedar
karena mereka dihadapkan dengan materi yang menguasai ilmu pengetahuan, tapi berfikir, mencari
belum mereka ketahui. dan menggali pengetahuan, mengerti, menilai, dan
Riset lain menemukan persoalan yang justru membandingkan.
sebaliknya yakni, Hawadi (2004) memaparkan Fakta lapangan yang memperkuat asumsi
bahwa remaja yang mengikuti program akselerasi permasalahan pada kelas akselerasi ditemukan pada
merasa frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan saat studi pendahuluan. Berdasarkan data temuan
yang ada, dan bisa mengakibatkan siswa menjadi sebagaimana Gambar 1, diperoleh bahwa school
siswa yang underachiver. Sekitar 20-25 persen dari well-being pada kelas 10 kelas akselerasi terdapat
remaja yang mengikuti program akselerasi ini 40 % peserta akselerasi merasa tidak puas dengan
mengalami masalah sosial dan emosional. metode mengajar guru yang sulit dipahami. Siswa
Permasalah tersebut didukung pula oleh hasil mengeluhkan bahwa guru yang terlalu cepat
penelitian Maimunah (2009) yang menyatakan mengajar dan terkadang meremehkan pemahaman
bahwa siswa akselerasi merasa kurang puas peserta didik sendiri, sehingga mereka kurang
terhadap waktu istrahat dan bermainnya memahami materi. Sementara 25% masih dalam
dikarenakan terlalu banyak tugas yang harus aspek having mengatakan masalah yang siswa
dikerjakan, dan juga merasa tertekan karena hadapi selama menjadi peserta akselerasi adalah
dianggap mampu dalam segala hal oleh gurunya, kurang fokus dalam mengikuti belajar. Kurang
padahal siswa akseleran tersebut masih butuh fokusnya mengikuti belajar dikarenakan terlalu
pengarahan dan penjelasan. Pengalaman yang tidak banyak kegiatan sekolah maupun diluar sekolah.
menyenangkan tersebut memiliki dampak pada Permasalahan lain yang dimiliki siswa
perkembangan emosi dan sosial peserta akslerasi. akselerasi tentang banyaknya tumpukkan materi
Masalah lain yang menyangkut akselerasi dan tugas yang harus dikerjakan dalam satu waktu
adalah masalah jumlah siswa dikelas, sistem yang singkat sejumlah 25%. Permasalahan ini
evaluasi, kompetensi guru, dan cara pembelajaran. membuat siswa menjadi lelah dan sering
Jumlah siswa yang terlalu banyak dikelas mengantuk ketika di dalam kelas dan akhirnya
menyebabkan guru kurang mengenal potensi setiap membuat siswa tidak fokus dalam belajar. Dilihat
anak. Apalagi jika guru tidak menerapkan dari aspek being atau pemenuhan diri terdapat 10%
Individual Educational Program (IEP) karena peserta didik mengakui bahwa belum mampu
jumlah siswa yang melebihi kapasitas yang ideal menyesuaikan diri dengan proses belajar di kelas
(40-50 siswa perkelas). Selain itu sudah menjadi akselerasi, sehingga siswa kurang mampu
rahasis umum bahwa banyak guru yang kurang memanajemen waktu. Artinya siswa masih
menguasai materi serta pengayaan materi sehingga membutuhkan penyesuaian diri dengan gaya belajar
tidak mampu menampung aspirasi siswa. Lagi pula program akselerasi.
selama sistem evaluasi yang digunakan adalah
pilihan ganda yang kurang menggali kemampuan
23
KHATIMAH
didik yang mengeluh mengenai masalah tersebut.
10 % Meskipun demikian, tidak ada satupun peserta didik
25 %
belum
tugas yang mengalami penurunan kelas atau pindak ke
mampu
banyak kelas reguler setelah lama menjadi akseleran.
menyesua
waktu Kecenderungan yang muncul adalah motivasi
ikan diri
terbatas
peserta didik jauh lebih terpacu dalam belajar.
40 % Mereka memiliki strategi dalam menanggulangi
25 % metode
banyak masalah tersebut. Hal tersebut belaku pula dengan
mengajar
kegiatan guru sulit peserta kelas 10 dan 12. Utamanya pada kelas 10,
sekolah dipahami awal mula menjadi akseleran sering mengalami
kendala dan masalah dalam belajar karena faktor
Gambar 1. Masalah Peserta Akselerasi kelas 10 metode mengajar guru yang kurang bisa dipahami
oleh siswa dan waktu belajar yang sangat padat.
Masih dalam data yang sama yakni hasil temuan Namun, masih ada beberapa siswa yang masih
pada penelitian pendahuluan pada kelas 12 mengeluhkan masalah tersebut. (catatan lapangan
akselerasi di SMA Negeri 8 Yogyakarta dilihat dari penelitian pendahuluan pada bulan Februari, 2014).
aspek having sebagaimana Gambar 2. bahwa Mendalami teori yang telah dikemukakan dan
47.62 % mengatakan masalah yang mereka hadapi dikaitkan dengan fakta-fakta lapangan di atas, dapat
selama menjadi peserta akselerasi adalah tumpukan dicermati lebih jauh bahwa pada prinsipnya peserta
tugas dan kegiatan luar sekolah yang banyak. didik program akselerasi memiliki masalah dalam
Sementara 23.81 % mengatakan masalah yang managemen sekolahnya dan managemen
mereka hadapi adalah waktu belajar yang padat pembelajaran. Meskipun demikian, para akselaran
dengan berbagai materi. Disamping itu terdapat tidak lantas menjadikan masalah tersebut sebagai
23.81 % peserta didik mengakui bahwa masalah sebuah hambatan besar selama menuntut ilmu
lain yang mereka hadapi adalah metode guru yang disekolahnya. Berangkat dari asumsi tersebut yang
terlalu cepat dalam mengajar, sehingga mereka kemudian mendorong peneliti untuk merumuskan
tidak paham akan materi dan tertinggal dalam masalah yaitu “ Bagaimana Gambaran School
mengelolah informasi, Dan 4.76 % peserta didik Well-Being Peserta Didik kelas Akselerasi”
mengeluh akan beragam kegiatan ekstra yang Peneliti ini bertujuan untuk mendeskripsikan
dilakukan diluar proses belajar. SchoolWell-Being dan untuk mengetahui faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap School Well-
23,81 % 4,76 %
Being siswa kelas akselerasi di SMA Negeri 8
metode banyak
ekstrakuri Yogyakarta. Kondisi sekolah yang tidak
mengajar menyenangkan, menekan, dan membosankan akan
guru kuler
berakibat pada pola siswa yang bereaksi negatif,
47,62 % seperti stres, bosan, terasingkan, kesepian dan
23,81 % tidak depresi. Maka, gambaran faktor-faktor yang
materi fokus berkontribusi terhadap School Well-Being siswa
belajar belajar… kelas akselerasi penting untuk diketahui mengingat
Gambar 2. Masalah Peserta Akselerasi kelas bahwa siswa akselerasi dituntut untuk dapat belajar
XII secara cepat dan memiliki beban tugas belajar yang
berbeda dengan siswa kelas reguler. Hasil
Dari hasil temuan yang telah dipaparkan penelitian dapat dijadikan dasar pertimbangan
sebelumnya, terlihat bahwa masalah yang dihadapi sekolah dalam menciptakan iklim belajar yang
oleh siswa akselerasi lebih berfokus pada aspek mengarah pada kondisi sekolah yang well being
having dalam school well-beingyaitu pada metode sehingga siswa dapat berkembang secara optimal
mengajar guru yang kurang tepat dan tumpukan terhindar dari kondisi depresi dan stres di
materi serta tugas sekolah yang sangat banyak lingkungan sekolah.
dengan waktu yang singkat. Data diatas diperkuat
oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti
kepada guru pembimbing khusus program
akselerasi yang diketahui bahwa sejak awal
didirikannya program akselerasi, banyak peserta
24
SCHOOL WELL-BEING, AKSELERASI

Kajian Literatur lingkungan sekolah yang aman, kenyamanan,


kebisingan, ventilasi, suhu udara, dan sebagainya.
School Well Being Aspek lain dari kondisi sekolah berhadapan dengan
Lingkungan sekolah memiliki peranan penting lingkungan belajar. Hal itu meliputi kurikulum,
dalam keberhasilan siswa belajar di sekolah. Salah ukuran kelompok, jadwal dari pelajaran dan
satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan hukuman. Aspek ketiga meliputi pelayanan kepada
siswa belajar adalah school well bein . Diener 1984 siswa seperti makan siang di sekolah, pelayanan
(Tian, 2008) menerangkan bahwa well-being adalah kesehatan, wali kelas dan guru bimbingan
konstruk multidimensional yang berdampak pada konseling (Konu & Rimpela, 2002).
sikap positif seperti emosi yang positif dan selalu
dalam keadaan suka cita. Well-being negatif maka
akan mempengaruhi emosi yang negatif pula seperti
Having
mengalami kecemasan. Intinya adalah seseorang
dengan well-being yang tinggi adalah individu yang
memiliki pengalaman emosi yang positif, jarang
terlibat dengan emosi negatif dan tingkat kepuasan WELL-
hidup yang tinggi.
Loving BEING IN Being

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi


SCHOOL
school well-being siswa menurut Keyes dan Water-
man (Bornstein, Davidson, Keyes, & Moore, 2003)
Health
yaitu hubungan sosial, teman dan waktu luang,
volunteering, peran sosial, karakteristik
kepribadian, kontrol diri dan sikap optimis, serta Gambar 3. Model School Well-Being
tujuan dan aspirasi. Pervin (Bornstein dkk, 2003) (Konu & Rimpela, 2002)
menyatakan bahwa individu yang memiliki rasa
optimis mampu menyesuaikan diri dengan baik Loving (Hubungan Sosial)
pada situasi tertentu seperti saat pergi ke sekoah. Merujuk kepada lingkungan sosial belajar,
Model school wellbeing yang dikembangkan hubungan siswa guru, hubungan dengan teman
oleh Konu dan Rimpela (2002) . School well-being sekelas, dinamika kelompok, kekerasan, kerja sama
merujuk kepada model konseptual well-being yang sekolah dengan rumah, pengambilan keputusan di
dikemukakan oleh Allardt (Konu dan Rimpela, sekolah dan suasana dari keseluruhan organisasi
2002). Ia mendefinisikan well-being sebagai sekolah. Iklim sekolah dan iklim belajar
keadaan yang memungkinkan individu memuaskan mempunyai dampak pada kesejahteraan dan
kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mencakup kepuasan siswa di dalam sekolah. Hubungan yang
kebutuhan material maupun non material. baik dan suasana yang baik merupakan untuk
Kebutuhan tersebut dibagi oleh Allardt (Konu dan mempromosikan sumber manusia dalam
Rimpela, 2002) menjadi aspek having (kondisi masyarakat dan untuk meningkatkan prestasi di
sekolah), loving (hubungan sosial), being sekolah. Model sekolah sejahtera, hubungan di
(pemenuhan diri), dan health (kesehatan). antara sekolah dengan rumah ditempatkan pada
Konsep tersebut memiliki harapan bahwa kategori hubungan sosial. Lebih lanjut, hubungan
kesejahteraan sekolah siswa lebih penting, yaitu sekolah dengan lingkungan masyarakat adalah
perasaan siswa dalam menilai kelayakan sekolah penting (misal hubungan dengan masalah sosial dan
mereka sebagai lingkungan belajar yang mampu sistem pelayanan kesehatan). Hubungan siswa
memberikan dukungan, rasa aman, dan nyaman. dengan guru merupakan peran penting dalam
Selain itu, keadaan rumah siswa dan lingkungan kesejahteraan di sekolah (Konu & Rimpela, 2002).
sekitar juga berpengaruh terhadap sekolah siswa Being (Pemenuhan diri di Sekolah)
tersebut sehingga terbentuklah sebuah model school Merujuk pada masing-masing individu
well-being sebagaimana Gambar 3. Berikut menghargai sebagai bagian berharga dari
penjelasan masing masing aspek yang telah masyarakat. Kesempatan untuk bekerja dengan
disebutkan. penuh arti pada hidupnya dan untuk kesenangan
Having (Kondisi Sekolah) secara alami juga bagian penting sekali dari
Meliputi lingkungan fisik di sekitar sekolah dan pemenuhan diri. Dalam konteks sekolah, being
di dalam sekolah. Area yang diskusikan adalah dapat dilihat dengan bagaimana sekolah
25
KHATIMAH
menawarkan untuk pemenuhan diri. Masing-masing tingkatan kelas dan nilai akademik siswa.
siswa dapat mempertimbangkan sebagai anggota Kemudian dari masing-masing kelompok tersebut
yang sama pentingnya dari komunitas sekolah. dipilih perwakilan untuk di wawancara. Pembagian
Seharusnya memungkinkan masing-masing siswa kelompok berdasarkan tingkatan kelas diambil dari
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kelas 10 dan kelas 12 program akselerasi di SMA
dari sekolahnya dan aspek lain dari sekolah yang Negeri 8 yogyakarta. Sedangkan pembagian
berfokus pada dirinya. Kesempatan untuk kelompok berdasarkan nilai akademik yang
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari nilai rapor siswa yang didapat dari
merupakan lahan yang menarik bagi siswa (Konu & guru kelas masing-masing.
Rimpela, 2002). Metode pengumpulan data digunakan melalui
Health (Kesehatan) wawancara, observasi dan studi dokumen. Studi
Health (status kesehatan) Status siswa ini dokumen berupa nilai rapot masing-masing siswa
meliputi aspek fisik dan mental berupa simtom untuk mengetahui kategori nilai mereka. Data yang
psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan studi
(seperti flu), dan penghayatan akan keadaan diri dokumen dianalisis dengan menggunakan teknik
(Konu & Rimpela, 2002). trianggualasi data.
Well-being dapat dilihat dari dua indikator, Jumlah keseluruhan populasi akseleran di SMA
yakni indikator objektif dan infikator subjektif. Negeri 8 Yogyakarta kurang lebih 39 orang.
Indikator objektif didasarkan pada observasi Partisipan dalam penelitian ini terbagi atas 2 laki-
eksternal dan indikator subjektif didasarkan pada laki dan 4 perempuan masing masing berasal dari
ekspresi orang terhadap sikap mereka dan persepsi kelas X dan kelas XI. Untuk Kelas X jumlah
mereka terhadap kondisi lingkungannya (Konu & akseleran 19 orang dan peneliti mengambil 3 orang
Rimpela, 2002) perwakilan untuk dijadikan subjek penelitian
Pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey dengan pertimbangan nilai akademik yang
1949 (Colangelo, dkk, 2004) sebagai suatu diperoleh dari masing-masing ketiga subjek
kemajuan yang diperoleh dalam program tersebut yakni nilai akademik tinggi = 108.7, nilai
pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia akademik sedang = 105.4 dan nilai akademik
yang lebih muda dari pada yang konvensional. Hal rendah = 103.6
ini sangat cocok diberikan pada siswa yang Sama halnya dengan kelas XI dengan jumlah
berbakat dan siswa yang muda yang memiliki akseleran 20 orang dan peneliti mengambil 3 orang
kapasitas belajar yang tinggi. Program akselerasi ini perwakilan untuk dijadikan subjek penelitian
memberikan tantangan yang tepat dan mengurangi dengan pertimbangan nilai akademik yang di
waktu yang diperlukan siswa dalam menyelesaikan peroleh dari masing-masing ketiga subjek tersebut
studinya. yakni nilai akademik tinggi = 91.35, nilai akademik
Definisi ini menunjukkan bahwa akselerasi sedang 87.35 dan nilai akademik 84.35. Ada
meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan perbedaan penilaian dari kelas X dan kelas XI
pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga karena kelas X menggunakan penilaian kurikulum
mengusulkan proses-proses yang memungkinkan 2013 dan kelas XI masih menggunakan penilaian
siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat kurikulum 2006.
dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa
(Hawadi, 2004). Hasil dan Pembahasan

Metode Penelitian Gambaran School Well-Being Siswa Kelas


Akselerasi dii SMA Negeri 8 Yogyakarta
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 8
Yogyakarta. Sampel yang digunakan dalam Hasil penelitian tentang gambaran school well
metode penelitian ini adalah sampling variasi being siswa kelas akselerasi di SMA Negeri 8
maksimum yaitu mendokumentasikan beragam Yogyakarta, dideskripsikan kedalam 6 aspek yang
variasi dan mengidentifikasi pola-pola umum yang meliputi Well Perceived On School Infrastructure,
penting (Creswell 1998). Penelitian menggunakan Excellent Individual Capital, unwell learning
pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam penelitian design management, well interpersonal school
ini peneliti membagi sample yang terdiri dari siswa interaction. Well Perceived On School
akselerasi kedalam dua kelompok berdasarkan Infrastructure, kondisi ini menggambarkan
26
SCHOOL WELL-BEING, AKSELERASI
bagaimana infrastruktur disekolah menentukan konsekuensi yang diberikan untuk menurunkan
kenyamanan siswa. Penilaian subjektif siswa frekuensi munculnya suatu tingkah laku (Santrock,
tentang sekolah dalam hal ini yaitu tentang 2008). Tujuan diberikannya hukuman adalah untuk
pelayanan dan fasilitas sekolah yang diharapkan mengajarkan kedisiplinan bagi siswa. Oleh karena
mampu menunjang proses pembelajaran di itu, pemberian hukuman harus dilakukan dengan
lingkungan sekolah sangatlah penting, karena tepat agar siswa mampu memahami tujuan dari
dengan adanya dukungan fasilitas sekolah hukuman tersebut (Santrock, 2008). Siswa
diharapkan siswa memiliki rasa puas dalam akselerasi juga memiliki motivasi belajar yang
lingkungan belajarnya (Owoeye & Yara, 2011). tinggi terlihat dari bagaimana mereka menggunakan
Penelitian yang dilakukan oleh Konu dan Lintonen strategi belajar agar tetap memahami dan tidak
(2005) mengungkapkan kondisi fisik sekolah yang ketinggalan pelajaran. Ormrod (2003) mengatakan
paling perlu ditingkatkan aspek having yang bahwa siswa cerdas dan berbakat istimewa
mempengaruhi kepuasan siswa adalah ventilasi, memiliki motivasi yang tinggi ketika menghadapi
fasilitas toilet, dan suhu, yang merupakan beberapa tugas-tugas yang menantang, mereka juga memiliki
indikator dari aspek having yang mempengaruhi konsep diri akademik positif, memiliki fleksibilitas
kepuasan siswa. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) dalam berfikir, dan sangat fleksibel menggunakan
mengemukakan bahwa lingkungan sekolah pendekatan dalam belajar. Motivasi menurut
(meliputi kualitas udara, temperatur, kelembaban, Wlodkowsky (Sugihartono, 2007) merupakan suatu
pencahayaan, dan tingkat kebisingan) yang sesuai kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan
dapat meningkatkan performa siswa. Dalam perilaku tertentu dan yang memberi arah dan
sekolah SMA 8 Yogykarta memiliki infrastruktur ketahanan pada tingkah laku tersebut. Motivasi
yang baik seperti kondisi lingkungan yang baik belajar yang tinggi tercermin dan ketekunan yang
serta fasilitas seperti fasilitas perlengkapan belajar tidak mudah patah untuk mencapai kesuksesan
dikelas, fasiltas pembelajaran seperti laboratorium meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan,
yang lengkap dengan fasilitas yang memadai, Sugihartono (2007). Siswa akselerasi juga memiliki
layanan perpustakaan, layanan kantin dan tingkat percaya diri yang tinggi. Mereka percaya
pelayanan konseling juga sanitasi toilet yang baik akan hasil kerja mereka sendiri terkait dengan
membuat keenam subjek merasa nyaman dengan pendidikan. Hal ini sejalan dengan teori Dave,
keadaan lingkungan sekolah sehingga kegiatan Tripathi, Singh dan Udainiya (2011) menerangkan
belajar menjadi lebih kondusif. Ruang belajar yang bahwa tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh
dilengkapi pendingin ruangan juga membantu efikasi diri, yang mana keyakinan mempengaruhi
dalam pembelajaran yang nyaman. Kondisi sekolah perilaku individu. Sehingga jika siswa merasa
yang kaya dengan penghijauan. percaya diri terhadap kemampuannya, maka siswa
Excellent Individual Capital, kondisi ini akan lebih mampu melakukan kegiatannya di
menggambarkan kekuatan dasar yang ada dalam sekolah dan mendapatkan hasil akademis yang
diri siswa yang memang prima. Dalam riset ini baik.
subjek penelitian ditemukan memiliki disiplin yang Status kesehatan merupakan salah satu aspek
baik, motivasi yag tinggi, percaya diri dan fisik dalam kaitannya kesejahteraan individu yang
yang kuat serta kesehatan yang baik. Dalam memungkinkan dalam mengungkap kesehatan fisik,
kepribadian Big Five yaitu salah satu dimensinya dan kesehatan mental remaja (Shaffer-Hudkins,
adalah conscientiousness bahwa mereka seseorang Suldo, Loker, & March, 2010). Oleh karena itu
yang bertanggung jawab, terorganisir, dapat penting status kesehatan dalam school well-being
diandalkan dan orang yang gigih (Feist, J & Feist, untuk mengetahui adanya simptom-simptom yang
G. J. 2008). Individu dengan tipe kepribadian ini dirasakan siswa di sekolah, agar tercapai kepuasan
digambarkan sebagai individu yang teratur, penuh di sekolah yang menandakan kualitas sekolah yang
pengendalian diri, terorganisasikan, ambisius, fokus baik. Siswa di kelas akselerasi di SMA 8
pada pencapaian, dan disiplin diri, (Costa & Yogyakarta memiliki kesehatan yang baik dan fisik
McCrae, 1999). Kedisiplinan yang dimiliki oleh yang kuat.
subjek ada pengaruhnya dari peraturan yang dibuat Unwell learning design management.proses
oleh sekolah salah satunya adalah penerapan mengelola yang meliputikegiatan perencanaan,
hukuman disekolah memberikan manfaat yang baik pengorganisasian, pengendalian(pengarahan) dan
yakni menjadikan siswa menjadi insan yang disiplin pengevaluasian kegiatanyang berkaitan dengan
terhadap peraturan yang dibuat. Hukuman adalah proses membelajarkansi pebelajar dengan
27
KHATIMAH
mengikutsertakan berbagai faktor di dalamnya guna penelitian ini memiliki strategi dalam belajar
mencapai tujuan, Made Wena (Pelana, 2012). Teori sehingga nilai yang diperoleh cukup
tersebut tidak sejalan dengan temuan dilapangan. membanggakan. Hal ini sejalan dengan teori Alsa
Dalam penelitian ini menemukan bahwa siswa (2006) yang menyatakan bahwa Aktivitas dan tugas
menilai kondisi sekolah yang tidak mampu belajar yang padat membuat siswa menggunakan
memberikan kenyamanan pada mereka. Terlebih banyak waktunya untuk belajar, melakukan
lagi pada pelayanan yang mungkin dianggap sepele kegiatan belajar bersama, menggunakan banyak
namun krusial keberadaannya seperti waktu belajar sumber belajar, dan menggunakan berbagai strategi
yang padat dengan tugas yang banyak, istirahat belajar, baik strategi kognitif maupun strategi
yang kurang dan tidak tersedianya les atau mengelola lingkungan dan sumber daya. Aktivitas
bimbingan belajar disekolah. Hal ini merupakan belajar yang padat menjadikan siswa kelas
design alokasi waktu yang turut berkaitan dengan akselerasi mampu melakukan regulasi diri dalam
belajar agar siswa tetap nyaman dalam lingkungan belajar. Hasil penelitian yang dilakukan Ablard,
sekolah. Pemberian tugas kepada siswa harus dkk. (1994) menemukan bahwa sebagian besar
dilakukan secara seimbang antara tugas sekolah dan siswa cerdas merasakan bahwa program akselerasi
tugas di rumah. Tugas yang diberikan secara memberi dampak positif. Materi pelajaran yang
berlebihan menimbulkan ketidakpuasan siswa di menantang meningkatkan minat belajar siswa
sekolah, Gilman & Huebner (2003). Dalam sehingga kemajuan belajarnya menjadi lebih cepat.
peranannya sebagai pengelola kelas (learning Well interpersonal school interaction. Dalam
manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas teori Loving (hubungan sosial) dalam aspek school
sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek well-being merujuk kepada lingkungan
dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. pembelajaran sosial, hubungan antara guru dan
Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan- murid, hubungan dengan teman sekelas, dinamisasi
kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan kelompok, bullying, kerjasama antara sekolah dan
pendidikan. Pengawasan terhadap belajar rumah, pengambilan keputusan di sekolah, dan
lingkungan itu turut menentukan sejauh mana keselurahan atmosfir sekolah Konu & Rimpelä
lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar (2002). Temuan dalam penelitian ini menyatakan
yang baik. Lingkungan yang baik ialah yang bahwa siswa akselerasi memiliki interaksi yang
bersifat menantang dan merangsang siswa untuk positif baik itu kepada guru dan juga interaksi
belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam dengan teman sebaya. Mereka memiliki kerjasama
mencapai tujuan, Gilman & Huebner (2003). yang bagus dalam tim. Dukungan sosial yang
Masalah yang ditemukan yang sangat bersumber dari teman sebaya memiliki peran
memprihatinkan yaitu kondisi belajar mengajar penting dalam meningkatkan school wellbeing
yang cukup mengganggu dan tidak membuat siswa. Indivdu dengan dukungan teman sebaya
nyaman bagi keenam subjek dalam penelitian ini yang tinggi akan mempunyai pikiran lebih positif
dan mereka memawikili dari semua siswa terhadap sistuasi yang sulit dibandingkan indivdu
akselerasi yang berada di SMA 8 tersebut. Mereka untuk dukungan teman sebayanya rendah, Konu &
mengeluhkan metode mengajar guru yang mengajar Rimpelä (2002). Namun, masalah yang ditemukan
disekolah mereka. Para subjek menemukan peneliti trekait dengan interaksi dengan teman
beberapa guru tidak menggunakan metode sebaya, siswa akselerasi mengalami persoalan yakni
mengajar yang menurut mereka nyaman seperti kurang adanya interaksi dengan siswa reguler. Hal
guru yang monoton dalam mengajar yaitu membaca ini dikarenakan kegiatan belajar yang dilakukan
materi yang secara terus menerus dan mengajar secara terpisah. Salah satu kelemahan dari program
yang sangat cepat dan juga mengajar sangat lambat. akselerasi ini adalah dengan loncat kelas akan
Hal ini membuat siswa akslerasi merasa bosan. mengurangi kesempatan siswa untuk bersosialisasi
Kondisi seperti ini berefek negatif terhadap semua dengan teman sebayanya, Kolesnik (1970). Ormrod
siswa yakni mereka merasa lelah dan bosan. Hal ini (2003) mengatakan bahwa kemungkinan anak
juga sejalan dengan teori Kolesnik (1970) beban dengan kecerdasan istimewa mengalami kesulitan
tugas belajar yang banyak bisa menjadi tekanan dalam pergaulannya dengan teman sebaya karena ia
(stressor) bagi kesehatan mental. begitu berbeda dibandingkan dengan teman-teman
Kegiatan belajar yang sangat padat, istirahat sebayanya.
yang cukup mengakibatkan mereka lelah dan Well school management. Pelayanan sekolah
merasa bosan. Namun demikian para subjek meliputi layanan makan siang (kantin), pelayanan
28
SCHOOL WELL-BEING, AKSELERASI
kesehatan, dan konseling (Konu & Rimpelä, 2002). Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terhadap
Sekolah memberikan pelayanan yang baik dan School Well-Being Siswa Akselerasi Di SMA
cepat seperti pelayanan dalam kesehatan ketika ada Negeri 8 Yogyakarta
siswa yang sakit dan juga pelayanan konseling bagi
siswa yang sedang menghadapi masalah serta Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
pelayanan kantin. Salah satu aspek yaitu being school well-being siswa akselerasi di SMA Negeri
dalam school well-being menurut Konu dan 8 Yogyakartaterbagi menjadi dua yaitu faktor
Rimpela (2002) merupakan kesempatan siswa yang eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
diberikan sekolah untuk pemenuhan diri (self- meliputi infrastruktur yang baik, managemen
fulfillment). Pemenuhan diri yang dimaksud adalah sekolah, interaksi yang baik antara guru maupun
usaha sekolah dalam memberikan apresiasi kepada teman serta dukungan penuh dari orangtua.
siswa untuk turut mengambil peran dalam Sedangkan faktor internal adalah modal dasar
pengambilan keputusan, serta pengembangan diri personal siswa yaitu siswa yang memiliki motivasi
melalui pengetahuan, dan ketrampilan sesuai bakat belajar yang tinggi, disiplin yang tinggi, kerjasama
dan minat siswa, dimana sekolah sebagai lembaga yang baik, memiliki strategi belajar yang baik serta
payung yang bertugas mengawasi dan mengarahkan inisiatif belajar yang baik. Hal ini sejalan dengan
kegiatan siswa tersebut. Hal tersebut juga dapat teori bahwa beberapa faktor yang dapat
berupa adanya kesempatan yang sama bagi semua mempengaruhi school well-being siswa menurut
siswa untuk menjadi bagian dari masyarakat Keyes dan Waterman (Bornstein, Davidson, Keyes,
sekolah, siswa dapat melakukan pengambilan & Moore, 2003) yaitu hubungan sosial, teman dan
keputusan terkait dengan keberadaannya di sekolah, waktu luang, volunteering, peran sosial,
serta adanya kesempatan untuk mengembangkan karakteristik kepribadian, kontrol diri dan sikap
pengetahuan dan keterampilan berdasarkan minat optimis, serta tujuan dan aspirasi. Pervin (Bornstein
siswa (Konu & Rimpelä, 2002). Hal ini terlihat dkk, 2003) menyatakan bahwa individu yang
bagaimana sekolah memberikan kegiatan memiliki rasa optimis mampu menyesuaikan diri
ekstrakurikuler dan kegiatan yang menuntun siswa dengan baik pada situasi tertentu seperti saat pergi
untuk meningkatkan kreativitasnya. ke sekoah. Selain itu individu yang optimis akan
Perceived parental support. Orang tua dalam memiliki tingkat emotional well-being yang tinggi
keluarga berperan sebagai guru, penuntun, pula saat mengalami stres dibandingkan individu
pengajar, serta sebagai pemimpin pekerjaan dan yang kurang optimis. Adapun penelitian dari
pemberi contoh (Novita, 2007). Oleh karena itu, Permata (2012) yang menunjukkan bahwa semakin
sebagai orangtua harus dapat membantu dan tinggi keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakuri-
mendukung terhadap segala usaha yang dilakukan kuler, maka semakin tinggi school well-being yang
oleh anaknya serta dapat memberikan pendidikan dimiliki dan sebaliknya semakin rendah
informal guna membantu pertumbuhan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler
perkembangan anak tersebut serta untuk mengikuti maka semakin rendah school well-being yang
dan melanjutkan pendidikan pada program dimiliki.
pendidikan formal di sekolah. Orangtua memberi
peranan penting dalam tahap belajar anak dan Simpulan
prestasinya, yaitu berupa dukungan dan support.
Perhatian orangtua dapat memberikan dorongan Peneliti menyimpulkan bahwa Subjek SMA
dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan Negeri 8 Yogyakarta memiliki School Well-Being
tekun, karena anak memerlukan waktu, tempat dan yang tinggi dan merasa nyaman berada disekolah
keadaan yang baik untuk belajar, Novita (2007). mereka. Meskipun ada beberapa faktor negatif yang
Mayoritas subjek peneltian mendapatkan dukungan mempengaruhi ketidak nyamanan mereka
penuh dari orangtua mereka, namun hanya satu disekolah. Namun, siswa mampu memecahkan
subjek dari mereka mengalami sebaliknya yakni masalah tersebut dengan baik. Faktor-faktor yang
kurang mendapatkan dukungan dari orangtua. mempengaruhi mereka nyaman adalah dengan
infrastruktur yang baik seperti suhu udara didalam
kelas yang sejuk, sanitasi toilet yang baik,
perpustakaan yang memadai serta nyaman,
laboratorium yang nyaman, tempat ibadah yang
nyaman, kantin yang nyaman dan bersih. Siswa
29
KHATIMAH
akselerasi juga memiliki motivasi yang tinggi, faktor eksternal yang meliputi infrastruktur yang
disiplin yang tinggi, percaya diri yang tinggi serta baik, managemen sekolah, interaksi dengan guru
kondisi fisik yang kuat sehingga mereka mampu maupun teman sekolah baik dan dukungan orangtua
beradaptasi dengan kondisi sekolah. Manajemen baik. Sedangkan faktor internal adalah modal dasar
sekolah juga dirasakan nyaman oleh mereka seperti personal siswa yang sudah dimiliki seperti motivasi
pelayanan kesehatan, pelayanan konseling dan juga yang tinggi, disiplin yang tinggi, kerjasama yang
pelayanan administrasi sekolah. baik, memiliki inisiatif belajar yang tinggi serta
Sekolah juga menyediakan kegiatan mampu menciptakan strategi belajar yang baik.
ekstrakurikuler yang bervariatif sehingga siswa Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar
dengan bebas mengikuti. Sekolah memberikan pertimbangan sekolah dalam menciptakan iklim
kegiatan-kegiatan positif yang menunjang performa belajar yang mengarah pada kondisi sekolah yang
siswa serta kreativitas. Sekolah juga selalu well being
melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan
disekolah seperti pemilihan osis atau kegiatan- Referensi
kegiatan lainnya. Sekolah membentuk hubungan Alsa, A. (2004). Keunggulan dan Kelemahan
interpersonal yang baik seperti interaksi antara Program Akselerasi di SMA: Tinjauan Psikologi
siswa dan guru yang baik, interaksi dengan teman Pendidikan. anima. indonesian psychology
sebaya yang baik, serta hubungan sekolah dengan Jurnal. Vol. 22 (4) 309-318.
orangtua siswa dengan mengadakan pertemuan Bornstein, M.H., Davidson, L., Keyes, C.L.M., &
secara rutin. Kerja sama yang baik juga terjalin Moore, K.A. (2003). Dimensions ofWell-Being
antar siswa dan guru-guru disekolah. and Mental Health in Adulthood. Well-Being:
Peneliti menemukan siswa yang tidak merasa Positive DevelopmentAcross the Life Course.
nyaman ketika berada di sekolah yakni terkait Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,
dengan manajemen pembelajaran sekolah seperti Inc.
buku ajar yang kurang, koneksi internet yang masih Dalyono, M. (2012). Psikologi pendidikan. Jakarta:
sukar untuk dijangkau, waktu belajar yang sangat PT. Rineka Cipta.
padat serta waktu istirahat yang dirasakan tidak Dave, R., Tripathi, K. N., Singh, P., & Udainiya, R.
cukup. Metode mengajar guru juga menjadi hal (2011). Subjective wellbeing, locus of control
yang penting untuk dibahas, siswa mengeluhkan and general self-efficacy among university
metode guru yang beberapa tidak sesuai dengan students. Amity Journal of Applied Psychology ,
belajar siswa. Terjadinya diskriminasi terhadap Vol. 2 (5), 28-32.
siswa yang memiliki prestasi rendah, sekolah juga Davis, G.A. (2012). Anak Berbakat Dan
tidak menyediakan bimbingan belajar diluar Pendidikan Keberbakatan : Suatu Buku
sekolah. Sekolah tidak memberikan bekal tentang Panduan Untuk Guru Dan Orangtua. Jakarta:
orientasi masa depan kepada siswa. Ada juga PT Indeks.
masalah negatif yang dihadapi adalah beberapa Fatimah, B.S. (2010). Hubungan antara stress
orangtua dari salah satu subjek tidak memberikan dengan school well-being pada siswa kelas XI
dukungan dan support kepada anaknya dan tidak SMA Negeri di Jakarta. Skripsi (Tidak
memberikan memberikan kebebasan untuk memilih diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi
apa yang diinginkan untuk masa depannya. Adapun Universitas Indonesia.
temuan yang cukup unik adalah ada siswa yang Faubert, V. (2009). School Evaluation: Currrent
tidak percaya dengan hasil kerja teman-temannya practices in OECD countries and literature
sehingga siswa tersebut selalu mengerjakan tugas review. Paris:Dalam OECD Education Working
kelompok yang diberikan. Subjek juga mengalami Papers, No. 42.
negative diversionn to motivate himself yakni Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of
subjek dengan secara sengaja untuk tidak menyukai Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
pelajaran yang sebenarnya dirasakan mudah untuk Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in
dikerjakan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan context of Australian Schooling. The Australian
motivasi belajar dan tidak menyepelekan pelajaran- Council for Educational Research. Discussion
pelajaran tersebut. Paper.
Peneliti menemukan faktor-faktor yang Gilman, R., & Huebner, S. (2003). A Review of
berkontribusi terhadap school well-being pada Life Satisfaction research with Children and
siswa akselerasi di SMA Negeri 8 Yogyakarta yaitu
30
SCHOOL WELL-BEING, AKSELERASI
Adolescents. School Psychology Quarterly, Vol. Pengembangan Sarana Pengukuran dan
18 (2), 192- 205. Pendidikan Psikologi. Fakultas Psikologi UI.
Hawadi, A.R. (2004). Akselarasi: A-Z Informasi Rogers, K. B. (2002). Acceleration.
Program Percepatan Belajar Dan Anak JournalEducational Acceleration. Spring 2002,
Berbakat Intelektual. Jakarta: Grasindo. Vol. 24 (3), 47-57.
Huebner, S.E., & McCullough, G. (2000). Santrock, J. W. (2008). Psikologi Pendidikan.
Correlates of school satisfaction among Jakarta: Kencana Predana Media Group.
adolescents. The Journal of Educational Satori, D & Komariah. A.( 2010). Metode
Research. Vol 93 (5). 331-335. Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Karyani, U. (2013). Keluarga Sebagai Ranah Shaffer, H. E., Suldo, S., Loker, T., & March, A.
Utama Kesejahteraan Siswa. Prosiding Seminar 2010. How Adolescents’ Mental Health Predicts
Nasional Parenting 2013. Their Physical Health: Unique Contributions Of
Kolesnik, W.B. (1970). Educational Psychology. Indicators Of Subjective W ell-Being And
New York: McGraw-Hill Book Company. Psychopathology. JournalAppliedResearch in
Konu, A. I., & Rimpela, M. (2002). Well-being in Quality of Life. Volume 5 (3), 203-217.
schools: A conceptual model. Journal ofHealth Sugihartono, Fathiyah, K. N., Harahap, F.,
Promotion International Vol. 17, No. 1 , 79-87. Setiawati, F. A., & Nurhayati, S. R. (2007).
Konu, A. I., Lintonen, T. P., (2006). School well- Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
being in Grades 4–12. Journal of Health Sugono, (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Education Research Vol. 21 (5), 633–642. Departemen Pendidikan Nasional: Balai
Moleong, L.J. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Pustaka.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Morris, Ian. 2009. Teaching Happiness And Well-
Being in Schools. New York: Mixed Souces.
Muhid, Abdul., & Rohmatillah, Nely. (2010).
Perbedaan Penyesuaian Sosial Antara Siswa
Program Akselerasi Dengan Siswa Program
Reguler Di SMA Negeri 5 Surabaya. Jurnal
Proyeksi, Vol 4 (2), 1-12.
Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas
Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Novita, W. (2007). Serba Serbi Anak, Yang Perlu
Diketahui Seputar Anak Dari Dalam
Kandungan Hingga Masa Sekolah (Tinjauan
Psikologi Dan Kedokteran). Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo.
Omrod, J.E. (2003). Educational Psychology,
Developing Learners. New Jersey: Upper
Saddle River.
Owoeye, J.S & Yara, P.O. (2011). School Facilities
And Academic Achievement of Secondary
SchoolAgricultural Science in Ekiti State,
Nigeria. Journal of Asian Social Science
Vol.7.64-74.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009).
Human Development. New York: McGraw-Hill.
Pelana, R. 2012. Manajemen Pembelajaran
YangMenyenangkan Pada Mata
PelajaranPendidikan Jasmani Olahraga
DanKesehatan (Pjok). Jurnal Pendidikan Dasar
Vol. 3 (5), 185-192.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan Kualitatif
Dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga

You might also like