You are on page 1of 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/303842195

STUDI SEKUNDER TERHADAP PENGELOLAAN LINGKUNGAN PADA HOTEL


BERBINTANG DI SEBUAH DESTINASI

Conference Paper · October 2012

CITATIONS READS

0 730

1 author:

Jaya Pramono
Universitas Dhyana Pura Bali
13 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Jaya Pramono on 08 June 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI SEKUNDER TERHADAP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
PADA HOTEL BERBINTANG DI SEBUAH DESTINASI
Jaya Pramono
Fakultas Ekonomika dan Humaniora, Universitas Dhyana Pura
Mobile Phone: 081337411717
jayapramono@gmail.com

ABSTRACT

One of the purposes of tourism is to preserve nature, environment and the


existing resources. In line with this purpose the obligation to maintain
environmental sustainability becomes a major agenda for any hotel management.
There are at least three forms of environmental management processes in the
hotel, namely: energy savings, water conservation and waste handling. Planning
and implementation of environmental management consistently at the hotel
financially will generate costs in one hand, however at the same time it will
reduce costs of operation especially through energy and water efficiency and
waste menagement.

There are some other technical weaknesses in implementating


environmental management in in star rated hotels, such as, most hotels do not
have a department that focuses on environmental issues, no written environmental
policies, weak law enforcement by the government authority that affect poor hotel
development planning, less willingness of hotel's management to send their
employees to attend trainings on environment as it requires quite high cost, lack of
documentation on what have have been achieved, what is being done and things
that will be achieved related to environment management, lack of communication
to stakeholders on environmental policies, tourists have not enough informations
on how to participate in environmental protection programs, and periodic
monitoring on environmental parameters is rarely conducted.

Keywords: Environmental Management in Star Rated Hotels

1. LATAR BELAKANG

Salah satu tujuan kepariwisataan adalah untuk melestarikan alam,


lingkungan, dan sumber daya yang ada. Hal ini tertuang dalam salah satu prinsip
dilaksanakannya kepariwisataan yaitu memelihara kelestarian alam dan
lingkungan hidup, sehingga sebagai konsekuensinya setiap pengusaha pariwisata
dan wisatawan berkewajiban, memelihara lingkungan yang sehat, bersih, asri, dan
melestariankannya, (UU-RI. No.10.tahun 2009 Tentang Kepariwisataan). Sejalan
dengan semangat ini maka kewajiban memelihara kelestarian atau keberlanjutan
lingkungan menjadi agenda utama bagi pengelolaan hotel, karena hotel
merupakan komponen dari usaha wisata yang dimiliki pengusaha pariwisata.

Hotel sebagaimana dimaksud mengalami pertumbuhan yang signifikan di


Bali. Tabel 1.1., menggambarkan perkembangan jumlah hotel, jumlah kamar yang
tersedia, dan termasuk juga jumlah wisatawan mancanegara sejak tahun 2005
sampai dengan tahun 2011 yang ada di Bali. Melalui tabel 1.1, terlihat bahwa
jumlah hotel berbintang di Bali pada sampai dengan tahun 2010 berjumlah 158
hotel, dan menyediakan ketersediaan kamar sebesar 20.588 room night, yang
mengalami pertumbuhan jumlah kamar sebesar 1178 kamar baru jika
dibandingkan dengan tahun 2005. Hal ini sejalan dengan perkembangan
wisatawan mancanegara yang langsung datang ke Bali. Di tahun 2011 sebesar
2.832.542 wisatawan, terlihat ada pertumbuhan yang signifikan sebesar 1.446.574
wisatwan asing dibandingkan dengan tahun 2005. Rerata pertumbuhan wisatawan
ini sebesar 13,74% pertahun selama 6 tahun terakhir.

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Hotel, Kamar dan Jumlah Wisatawan Manca
Negara pada Provinsi Bali Tahun 2005 - 2011.

Jumlah Jumlah Jumlah


No Tahun % % %
Hotel Kamar Wisman
1. 2005 148 - 19.940 - 1.386.449 -
2. 2006 152 2,71 20.293 1,77 1.260.317 (9,10)
3. 2007 153 0,66 20.531 1,17 1.664.854 32,10
4. 2008 155 1,31 20.719 0,92 1.968.892 18,26
5. 2009 157 1,29 21.118 1,93 2.229.945 13,26
6. 2010 158 0,64 20.588 (2,51) 2.546.023 14,17
7. 2011 - - - - 2.832.542 9,26
Rata-rata 1,32 0,65 13,74

Sumber : Disparda Provinsi Bali, 2012

Pesatnya pertumbuhan hotel dan kamar sebagai akibat langsung dari


tingginya pertumbuhan kunjungan wisatawan asing yang mencapai di atas dua
digit dalam enam tahun terakhir (rata-rata 13,74%) memberikan alternatif bagi
tersedianya jasa penginapan (accomodation) yang memudahkan wisatawan untuk
menginap, sebaliknya trend ini dapat berpengaruh pada kondisi lingkungan di
hotel dan muaranya adalah kondisi lingkungan di Bali, sehingga tingginya
permintaan terhadap kamar dan pertumbuhan jumlah wisatawan asing yang
datang, akan berkorelasi dengan tingginya penggunaan sumber daya untuk
memenuhi permintaan wisatawan, sehingga isu environmentally friendly semakin
mengemuka pada pengelolaan hotel.

Di tingkat global, sejak tahun 1987 konsep keberlanjutan pada pengelolaan


lingkungan pertama kali disuarakan pada koordinasi yang disponsori oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada komisi "Our Common Future" gerakan
menuju keberlanjutan. Organisasi pemerintah dan non pemerintah, perusahaan
dan konsumen semakin berfokus pada perlunya menjalani hidup yang selaras
dengan lingkungan dan mengurangi kerusakan lingkungan yang ada. Industri
perhotelan tidak terkecuali, konsep keberlanjutan telah mulai mendapatkan
momentum di industri perhotelan ini. (Ernst & Young, 2008)

Moreno et al, (2004), mencatat ada dua alasan utama di balik perhatian
pada isu lingkungan ini. Pertama adalah masyarakat dan pemerintah, telah
menyadari bahwa hotel sebagai lembaga komersial yang memiliki sumber daya
keuangan, kecakapan teknik, visi sebaiknya mengembangkan solusi ekologi
untuk masalah lingkungan. Kedua, kemampuan untuk mengembangkan solusi
ekologi ini berkaitan erat dengan kepentingan hotel dalam sisi promosi, karena
penanganan masalah lingkungan dengan baik dan bijaksana, akan menjadi
keunggulan kompetitif bagi hotel dari sisi promosi.

Sesuai konsep tersebut, hotel dalam operasionalnya didorong untuk


menerapkan konsep ramah lingkungan dan menuju keberlanjutan melalui inisiatif
seperti program pendidikan, program reboisasi, eko resort, melakukan efisiensi
energi, dan pengembangan bangunan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan
pemerintah, industri yang “hijau” adalah tren, dan disukai wisatawan. Dalam
sebuah survei konsumen, 75% dari wisatwan mengatakan mereka adalah
konsumen yang berpikiran ramah lingkungan, dan 54 persen dari pelanggan ini
mengatakan bahwa selain mereka berpikiran ramah lingkungan, mereka juga ingin
tinggal di hotel yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. (Feiertag,
1994).

Alexander at al. (2002) menyatakan keuntungan dari proses pengelolaan


lingkungan paling sedikit dalam tiga bentuk, yaitu; Pertama, penghematan energi
dapat dilakukan melalui pengelolaan pemanas dan sistem pendingin ruang,
pencucian harian seprai, handuk, flanel, taplak meja, kain linen dan lainnya,
pencahayaan (lighting) dengan menggunakan lampu neon yang menghasilkan
empat kali lebih banyak cahaya per watt dari lampu pijar, dan lainnya. Kedua,
konservasi air yang mendorong hotel untuk mengelola dengan lebih baik
bagaimana dan kapan air digunakan, memperhatikan isu-isu pengelolaan air baik
dari segi teknis maupun dari operatornya, mengidentifikasi dimana penggunaan
air yang berlebihan di shower, urinoir, dan lainnya. Ketiga, strategi penanganan
limbah padat di hotel memiliki banyak komponen, termasuk kertas, makanan,
berbagai logam, plastik, aluminium, dan kaca. Program ini dapat membuat
penghematan biaya pengangkutan sampah, menciptakan hotel lebih ramah
lingkungan.

Menurut Cordeiro and Sarkis (1997), perencanaan dan pelaksanaan


pengelolaan lingkungan yang konsisten pada hotel berkaitan dengan prinsip
ekonomi yang memunculkan konsep biaya, tidak hanya ditentukan oleh
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh tetapi juga berdampak pada biaya
yang pasti akan mempengaruhi tampilan bisnis.

Harapannya adalah semua hotel berbintang mengelola program kepedulian


terhadap keberlanjutan lingkungan melalui program seperti; pengelolaan limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengelolaan air, pengelolaan energi dan
program lainnya, tetapi dalam survei awal yang dilakukan pada beberapa hotel
menunjukkan ada beberapa keberatan terhadap program pengelolaan lingkungan
ini, khususnya untuk hotel yang telah beroperasi lebih dari 15 tahun. Salah satu
keberatan yang muncul kepermukaan (sesuai Cordeiro and Sarkis (1997)) adalah
bahwa penambahan fisilitas pengolahan ini menimbulkan biaya tambahan bagi
operasional hotel, ini belum lagi termasuk biaya perawatan dan penyusutan dari
fasilitas yang di bangun tersebut. Ada keraguan bahwa investasi yang dikeluarkan
merugikan perusahaan karena program ini sifatnya tidak langsung menghasilkan
keuntungan bagi pengelolaan hotel.

Kontradiktif antara manfaat dan biaya seperti yang telah didiskusikan


sebelumnya membuat isu pengelolaan lingkungan menjadi penting, apalagi
dengan gencarnya tekanan dari wisatawan dan oprator pariwisata lainnya yang
sekarang sangat peduli dengan lingkungan. Pengelolaan lingkungan ini juga
penting untuk hotel, karena banyak hotel sekarang sedang diukur tidak hanya pada
kinerja keuangannya saja tetapi pada tanggung jawabnya terhadap lingkungan,
dan hal ini ternyata mempengaruhi para pemegang saham dan konsumennya.
Penelitian ini akan mengukur proses pengelolaan lingkungan pada hotel
berbintang di Proponsi Bali berdasarkan pandangan pengelola hotel.

2. RUMUSAN MASALAH, TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan kajian awal tentang pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel


yang tersertifikasi seperti pada pendahuluan, maka permasalah dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah manfaat dan tantangan pengelolaan lingkungan pada
hotel berbintang pada destinasi Pariwisata. Sadangkan tujuan penelitian ini adalah
menjelaskan manfaat dan tantangan pengelolaan lingkungan pada hotel berbintang
pada destinasi Pariwisata.

Penelitian ini bermanfaat di bidang praktek pengelolaan lingkungan


khususnya dalam kegiatan operasional dan penggorganisasiannya , khususnya
bagaimana prilaku pengelola hotel terkait dengan lingkungan, seperti manfaat yang
akan diterima hotel dari pemotongan biaya operasional, meminimalkan konsumsi
sumber daya, dan lainnya, yang dapat dijadikan strategi yang
paling meyakinkan untuk dilakukan pengelolaan hotel saat ini.

3. KAJIAN PUSTAKA
3.1. Pengertian Hotel

SK Menparpostel nomor KM 34/HK 103/MPPT-87 mendefinisikan hotel


sebagai suatu tipe akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh
bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta
jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersial serta memenuhi
ketentuan persyaratan yang ditetapkan di dalam keputusan pemerintah. Steadmon,
at al, (1990:4) lebih spesifik lagi dengan menyatakan “hotel may be defined as an
establishment whose primary business is providing lodging facilities for the
general public and which furnishes one or more of the following services: food
and beverage service, room attendant service, uniformed service, laundering of
linens, and use of furniture and fixtures”. Collin, (1994:123) mendefinisikan hotel
as building where travelers can rent a room for a night, or eat in a restaurant, or
drink in the bar, and non-residents can eat and drink also.

3.2. Pengertian Wisatawan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10.Tahun 2009 Tentang


Kepariwisataan menjelaskan definisi tentang wisatwan. Dalam undang-undang ini
dikatakan bahwa wisatawan adalah orang yang melakukan wisata, atau wisatawan
adalah orang yang melakukan kegiatan perjalanan dengan mengunjungi tempat
tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

World Tourism Organization (UNWTO) mendifinisikan wisatwan sebagai


bagian dari pengunjung (visitor). A visitor is a traveller taking a trip to a main
destination outside his/her usual environment, for less than a year, for any main
purpose (business, leisure or other personal purpose) other than to be employed
by a resident entity in the country or place visited. A visitor (domestic, inbound
or outbound) is classified as a tourist (or overnight visitor), if his/her trip includes
an overnight stay, or as a same-day visitor (or excursionist) otherwise.

Berdasarkan definisi ini pengunjung di definisikan sebagai setiap orang


yang melakukan perjalanan ke suatu negara tempat lainnya diluar tempat
tinggalnya, dengan banyak maksud, kecuali untuk maksud mencari pekerjaan dan
menjadi pekerja bagi warga di negara lain tersebut. Batasan itu mencakup dua
katagori pengunjung yaitu; pengunjung sebagai wisatawan (tourist), dan
pengunjung sebagai excurtionist. Wisatwan di kategorikan sebagai pengunjung
sementara yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam di negara yang dikunjungi
dan maksud tujuan perjalanannya adalah untuk melakukan pesiar (leisure) yaitu
untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, olah raga,
hubungan dagang, mengunjungi sanak keluarga dan kerabat, konferensi, dan
perjalanan misi.

Salah satu ciri dari wisatawan adalah kepergiannya harus lebih dari 24 jam
hingga batas-batas waktu tertentu sesuai persyaratan suatu negara yang umumnya
kurang dari satu tahun. Sedangkan ciri lainnya adalah kepergiannya itu bukan
untuk mencari atau mendapatkan pekerjaan di negara yang dikunjunginya.
Excurtionist dikategorikan sebagai pengunjung sementara yang tinggal di negara
yang dikunjungi kurang dari 24 jam (termasuk pelancong dalam perjalanan kapal
pesiar). Dalam kaitannya dengan hotel, wisatawan yang dimaksud adalah orang
yang melakukan perjalanan wisata dan yang menginap di hotel, baik itu
wisatawan domestik maupun wisatawan internasional.

3.3. Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan mencakup studi tentang semua kegiatan teknis


dan organisasi yang bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan yang
disebabkan oleh operasional perusahaan (Cramer,1998). Definisi ini pada hotel
adalah adaya misi pengurangan dampak lingkungan, penekanan yang mengarah
ke beberapa keputusan pengelola hotel yang secara sengaja dapat mengurangi
dampak lingkungan pada hotel. Pengelolaan lingkungan melibatkan berbagai
inisiatif lingkungan yang mungkin berbeda dalam implementasinya, tergantung
pada jenis industri, karakteristik organisasi dan dampaknya terhadap lingkungan.
Inisiatif-inisiatif pengelolaan lingkungan dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kategori yang berbeda seperti kategori pencegahan teknis dan organisasional, atau
kategori polusi dan pengendalian polusi (Russo dan Fouts 1997; Cramer, 1998).
3.4. Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan

Pengelolaan lingkungan di hotel harus mencakup semua aktifitas hotel


(operasional) yang berdampak pada lingkungan dan mengembangkan praktek-
praktek yang lebih luas untuk menguranginya. Contohnya, dalam mengurangi
penggunaan energi, pengelola hotel harus mengontrol dan memperbaiki ventilasi
dan alat pendingin, pencahayaan, dan fasilitas lain yang membutuhkan energi.
Sama halnya, untuk mengurangi sampah hotel berupaya meminimalkan konsumsi
dan pakaging yang menggunakan plastik dengan pengunaan container yang dapat
diurai kembali, material yang dapat dipakai kembali, seperti gelas, kertas dan
melakukan pengumpulan sampah yang terseleksi. Akan tetapi, seperti catatan
Brown (1994), meskipun dalam beberapa praktek pada industri perhotelan
memiliki label lingkungan, alasan utamanya hotel mau terlibat dalam pengelolaan
lingkungan adalah karena adanya kepentingan peraturan pemerintah,
penghematan sumberdaya dan tekanan dari travell agent, dan pelanggannya.

3.5. Strategi Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan

Pada tahun 1995 International Hotel and Restaurant Association


mempublikasikan checklist lingkungan yang komprehensif dan action
development guide untuk hotel kecil dan menengah. Publikasi ini membantu hotel
dengan informasi yang lebih rinci untuk sistem pengelolaan lingkungan.
Hampir semua hotel telah mengimplementasikan program ini dengan berbagai
tingkat intensitas. Survei yang dilakukan tentang implementasi program ini
menunjukkan bahwa manfaat paling signifikan dari pengelolaan lingkungan bagi
hotel adalah perbaikan citra publik dan hubungan yang lebih
baik dengan masyarakat setempat (Kirk, 1995). Namun, bagi hotel kebijakan
lingkungan ini lebih bermanfaat pada kinerja pengelolaan keuangannya.

Pada ISO seri 14001, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan


lingkungan, hotel harus memiliki kebijakan lingkungan yang jelas, tujuan, sasaran
dan perencanaan yang baik. Untuk lebih meningkatkan efektivitas, para pengelola
hotel harus selalu memonitor dan meninjau sistem yang telah
diimplementasikan. Kendala yang ada selama ini adalah karena keterbatasan
sumber daya, banyak hotel yang menutup sementara upaya pengelolaan
lingkungannya setelah melakukan beberapa inisiatif praktek lingkungan seperti
kampanye hemat air, hemat energi untuk instalasi lampu, penggunaan kembali
limbah kertas dan inisiatif lainnya. Terakhir ISO seri 14001 memberikan pedoman
yang efektif pada isi audit, evaluasi kinerja lingkungan dan lainnya, dokumen ISO
14001 memiliki elemen yang sangat penting bagi pengelolaan lingkunan, karena
implementasi pengelolaan lingkungan membutuhkan banyak sumber daya,
termasuk tenaga kerja, biaya dan waktu untuk perencanaan (Sayre, 1996).
Kirk (1995) melihat adanya hubungan antara karakteristik tertentu dari
industri pariwisata dengan isu-isu lingkungan yang bisa mengkondisikan setiap
strategi lingkungan hotel. Pertama, operasional hotel terhadap lingkungan
menghasilkan buangan pada areal yang luas, karena operasional hotel terdiri dari
sejumlah besar kegiatan kecil yang dilakukan pada bagian departemen hotel, yang
masing-masing memakai sejumlah kecil energi, air, makanan, kertas dan
sumberdaya lain dan berkontribusi pada penambahan sejumlah kecil polusi
terhadap lingkungan oleh karena asap, bau, kebisingan dan polutan akibat bahan
kimia. Kedua, peraturan lingkungan dalam industri ini hampir tidak ada,
dibandingkan seperti pada sektor manufaktur. Ketiga, karena customernya adalah
wisatawan atau tamu hotel yang kehadirannya berpengaruh langsung terhadap
kegiatan pelayanan yang terjadi di hotel.

Ketiga aspek ini mengakibatkan adanya tiga bentuk pengelolaan lingkungan


pada hotel, ketiga bentuk tersebut adalah: (1) aktifitas pengelolaan lingkungan
yang bersifat sukarela (voluntary), (2) aktifitas pengelolaan lingkungan yang
melibatkan tamu sebagai pelanggan dalam implementasi usaha-usaha pengelolaan
lingkungan; dan (3) aktifitas pengelolaan lingkungan yang fokus pada usaha-
usaha prevensi terhadap polusi dan/atau aspek-aspek organisasi pengelolaan
lingkungan.

Sifat sukarela implementasi praktek-praktek lingkungan terjadi karena


kurangnya aspek normatif yang membuatnya wajib. Keadaan ini diperkuat oleh
fakta bahwa dampak lingkungan pada hotel yang meliputi area yang luas
membuat sulitnya bagi masyarakat umum untuk menerima pendapat bahwa hotel
memiliki peran langsung dalam perusakan lingkungan (Brown, 1994).

Kebutuhan untuk melibatkan pelanggan atau wisatawan didasarkan atas


peran aktif wisatawan, baik dalam pelayanan yang diharapkannya maupun dengan
cara bagaimana wisatawan dapat berkontribusi pada usaha-usaha untuk
meminimalkan dampak negatif yang diakibatkan kegiatannya pada hotel. Oleh
karenanya, dalam banyak hotel wisatawan atau pelangan dapat berkolaborasi
dalam penghematan konsumsi energi dan air, penggantian handuk, dan lainnya.
Melalui program ini wisatawan atau pelangan dilibatkan secara langsung dalam
aktifitas yang berusaha untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan. Sementara
aktifitas pengelolaan lingkungan yang fokus pada usaha-usaha prevensi dapat
dijelaskan karena dari satu sisi, tidak ada aturan normatif yang mewajibkan
kontrol terhadap polusi lingkungan, sementara di sisi lainnya, kontrol terhadap
polusi akibat operasional hotel bukan pilihan yang paling tepat ketika banyak
sumber-sumber lain yang bersamaan menghasilan dampak lingkungan juga
(Dobers, 1997).
4. KERANGKA BERPIKIR

Berkembangnya kepedulian lingkungan jika kita tarik ke akarnya


berkaitan erat dengan konsep kegagalan pasar dalam teori ekonomi mikro.
Secaranya teori penawaran dan permintaan dalam teori ekonomi mikro biasanya
mengasumsikan bahwa pasar merupakan pasar persaingan sempurna, sehingga
pembeli dan penjual di dalam pasar tidak memiliki kapasitas untuk
mempengaruhi harga barang dan jasa. Kenyataannya asumsi ini gagal, karena
beberapa pembeli maupun penjual memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
harga. Kegagalan pasar dalam ekonomi mikro tidak berarti bahwa sebuah pasar
tidak lagi berfungsi, tetapi kegagalan pasar adalah kondisi dimana pasar tidak lagi
efisien dalam mengatur produksi atau alokasi barang dan jasa ke konsumen.
(Sukirno, 2006).

Menurut Nurcahyo (2011) ada empat jenis utama penyebab kegagalan


pasar, keempat jenis tersebut adalah monopoli, eksternalitas, barang publik dan
kasus dimana terdapat informasi asimetris atau ketidak pastian (informasi yang
inefisien). Ketika outcome dari suatu pasar lebih mempengaruhi pihak lain
daripada pembeli dan penjual yang ada dalam pasar, side-effects yang ditimbulkan
disebut eksternalitas. Eksternalitas menyebabkan pasar menjadi tidak efisien, dan
selanjutnya gagal untuk memaksimumkan total surplusnya. Eksternalitas yang
pengaruhnya terhadap lingkungan kurang baik disebut sebagai eksternalitas
negative, dan ketika pengaruhnnya pada lingkungan mendatangkan manfaat,
disebut sebagai eksternalitas positif.

Pariwisata sebagai sebuah industri menurut UNWTO juga berkontribusi


dalam perusakan lingkungan. Sebagai contoh, limbah karbon yang dihasilkan dari
sektor pariwisata dan sektor perjalanan wisata sebanyak 5% dan diproyeksi bisa
mencapai 130% di masa yang akan datang (UNWTO, 2009). Hal ini adalah
kegiatan pariwisata yang menghasilkan dampak perusakan lingkungan dan polusi
(eksternalitas negatif), sehingga kemudian biaya sosial dan lingkungan dalam
produksi pariwisata lebih besar daripada biaya produksinya yang seharusnya, atau
dapat dikatakan bahwa. Untuk setiap kegiatan pariwisata yang diproduksi, social
cost termasuk biaya yang dikeluarkan oleh produsen ditambah lagi dengan biaya
yang ditanggung oleh masyarakat, dan lingkungan yang terkena polusi.

Keprihatinan yang meningkat bagi lingkungan dan ancaman perubahan


iklim mempengaruhi tren pariwisata dan perilaku perjalanan. Industri pariwisata
sangat bergantung pada kegiatan yang berbasis alam, seperti atraksi dan kegiatan
luar ruangan. Kondisi iklim yang nyaman pada destinasi merupakan motivasi
utama bagi pengunjung dan berpengaruh positif pada Kunjungan wisatawan
(permintaan). Perubahan suhu, curah hujan, musim, dan naiknya permukaan
laut akan berdampak terhadap alam dan keaneka-ragaman hayati dan akhirnya
juga pada industri pariwisata, selain itu kegiatan pariwisata juga berkontribusi
terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca yang sebagian
besar dihasilkan oleh transportasi dan akomodasi bagi wisatawan.

Berdasarkan tinjauan terhadap hasil penelitian dan kepustakaan yang


berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, terlihat bahwa pengelolaan lingkungan
yang berkesinambungan pada hotel berbintang pada sebuah destinasi dapat
didasarkan pada tiga tingkatan proses. Ketiga tingkatan proses ini meliputi:
motivasi internal dan external pengelola lingkungan, proses pengelolaan, dan
tingkat kepuasan para pemangku kepentingan.

Motivasi internal pengelola berkembang akibat terjadinya perkembangan


informasi yang dimiliki pengelola dalam penghematan penggunaan sumberdaya
yang dimiliki hotel seperti penggunaan air, energi dan listrik, perkembangan
informasi ini kemudian menjadi pengetahun. Terbentuknya pengetahuan
pengelola tentang lingkungan terjadi karena interaksi dengan semua pemangku
kepentingan (termasuk pemerintah sebagai regulator) dan bertambahnya
pengalaman pengelolaan lingkungan yang semakin lama semakin kompleks,
semakin rumit tetapi semakin baik.

Sementara motivasi external dapat dipengaruhi oleh peraturan pemerintah


tentang lingkungan, tuntutan wisatawan, tour operator dan komponen lain industri
parisiwata yang semakin peduli pada lingkungan, munculnya berbagai program
sertifikasi lingkungan (green labeling) baik itu yang berlandaskan budaya
tertentu, dorongan masyarakat global, atau murni kajian lingkungan memaksa
pengelola hotel untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian pada pengelolaan
lingkungan pada hotel sesuai dengan standard yang dipersyaratkan oleh green
labeling tersebut.

Proses pengelolaan lingkungan adalah tingkatan operasional dimana


pengelola lingkungan di hotel melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan
model yang diterapkan sesuai dengan motivasi internal dan eksternal pengelola,
kemampuan, dan kebutuhan hotel berbintang tersebut.

Harapannya proses pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan pada


hotel berbintang ini dapat berkotribusi kepada keuntungan para pemangku
kepentingan, karena hal ini akan berdampak pada tingginya motivasi internal dan
external pengelola, sehingga pengelola hotel berbintang dapat melakukan proses
pengelolaan lingkungan pada hotel secara benar dan selanjutnya menjadi
berkelanjutan, karena para pemangku kepentingan menjadi puas. Akan tetapi,
seperti catatan Brown (1994), alasan utama hotel mau terlibat dalam pengelolaan
lingkungan adalah karena adanya kepentingan peraturan pemerintah,
penghematan sumberdaya, tekanan dari travell agent, dan pelanggan atau
wisatawan.

5. METODE PENELITIAN

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif,


analogi, dan komparasi beberapa hasil penelitian dan publikasi ilmiah lainnya
yang terkait dengan manfaat dan tantangan pengelolaan lingkungan pada hotel
berbintang, yang dilakukan dengan metode desk research atau teknik penelusuran
data dan informasi secara online, menggunakan sumber data sekunder, dan
sumber publikasi ilmiah lainnya.

6. PEMBAHASAN

Penelitian tentang pengelolaan lingkungan sangat mudah ditemukan dan


telah banyak dilakukan. Umumnya penelitian tentang lingkungan banyak yang
bersifat mengetahui dampak dari operasional perusahaan baik itu di industri yang
memproduksi barang dan industri jasa. Penelitian yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan di pariwisata juga sangat mudah di temukan, tetapi yang meneliti
pengelolaan lingkungan pada hotel akibat dampak pengelolaan hotel masih sangat
sedikit.

6.1. Pengelolaan Lingkungan pada Hotel Berbintang

Studi yang dilakukan Dalem (2012) menunjukan bahwa sistem


pengelolaan lingkungan pada perhotelan sangat penting perannya dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, tetapi berbagai praktek
pengelolaan lingkungan belum dilakukan dengan baik. Studi yang dilakukan oleh
El Dief at all. (2010), menguraikan praktek pengelolaan lingkungan khususnya
kegiatan operasional dan cara mengorganisasikannya. Penelitian ini menggunakan
test model konseptual, sehingga dapat menjelaskan kenapa beberapa hotel lebih
proaktif dibandingkan dengan hotel lainnya. Penelitian ini dilakukan pada hotel-
hotel di Laut Merah sebagai respondennya dan menemukan bahwa sejak awal
1990an praktek pengelolaan lingkungan ini telah dilakukan, hanya saja belum ada
kajian akademik mengapa hanya beberapa hotel yang melakukannya sementara
yang lain tidak, dan menyarankan pemotongan biaya operasi dan meminimalkan
konsumsi sumber daya adalah strategi yang perlu dilakukan pengelola hotel.
Peluang untuk memotong biaya operasional ini dapat dilakukan dalam empat area.
Area tersebut adalah pengelolaan air, pengelolaan energi, pengurangan limbah
padat dan cair, serta pengelolaan dan pembelian produk-produk dengan label
green (IH & RA, UNEP, dan EUHOFA, 2001).

6.1.1. Pengelolaan air.

Kegiatan operasional hotel tidak terlepas dari pengelolaan air, biaya untuk
air bisa mencapai 15% dari tagihan total utilitas di sebagian besar hotel dan
hampir 95% dari air tawar dilepaskan sebagai limbah tanpa adanya treatmen atau
perawatan yang tepat. Oleh karena itu, pengelolaan air menjadi semakin penting
bagi para pelaku bisnis perhotelan karena dapat mengurangi tidak
hanya biaya total konsumsi air yang sebenarnya, tetapi juga biaya pengolahan
limbah air (Dodds dan ITP, 2005).

Sweeting and Sweeting, (2003) memberikan contoh seperti Sandal Negril


Beach Resort & Spa di Jamaika selama tiga tahun mulai dari tahun 1998 sampai
tahun 2000, mampu mengurangi konsumsi air total per malam sebesar 28,6%
melalui praktek-praktek efisiensi air menggunakan tegnologi yang telah
diperbaharui yang mengasilkan service yang sama atau bahkan lebih baik dengan
menggunakan air yang lebih sedikit.

Konservasi air mendorong hotel untuk mengelola dengan lebih baik


bagaimana dan kapan air itu digunakan, memperhatikan isu-isu pengelolaan air
baik dari segi teknis maupun dari segi SDM-nya. Dalam banyak kasus konservasi
air dapat menjadi sebuah masalah dalam bidang pembelian dan penggunaan alat
dan sistem yang tepat. Pilih produk yang mempunyai komponen yang dapat
diganti untuk perfomance terbaik yang tahan lama. Faktor-faktor yang
diperhatikan ketika mempertimbangkan sumber-sumber air dapat meliputi
kemampuan untuk diperbaharui, dampak-dampak potensial terhadap lingkungan
dan suply air, dan juga, keuntungan sekonomi. Mengidentifikasikan dimana
penggunaan air yang berlebihan, adalah hal penting bagi hotel berkelas dan hotel-
hotel di area yang sedang berkembang.

Alexander at al. 2002, melaporkan bahwa pengelolaan air pada hotel dapat
di terjadi pada air yang digunakan perkamar oleh wisatawan, penggunaan head
shower, untuk urinal dan toilet, dan penggunaan untuk mesin cuci dan laundry.

Sebuah penelitian diadakan dalam daerah Turi di Palawan, Filipina,


diperkirakan bahwa dalam periode awal dari pengembangan pariwisata di
Busuanga West, jumlah air yang diperlukan untuk satu kamar single hotel dengan
standar tertinggi adalah 396 galon per hari. Jika di bandingkan ternyata jumlah ini
cukup untuk mensupport 14 orang masyarakat lokal dalam standar kehidupan
keseharian mereka.

Shower head dengan pancuran air rendah dan keran yang beraerator adalah
beberapa alternatif conservasi air, yang sudah lumrah dalam fasilitas hotel.
Periode BEP (break event point) untuk penggunaan ini berkisar 3-4 tahun. Salah
satu contoh, Asosiasi Green Hotel yang berbasis di Houston, mengobservasi
penggunaan air di San Antonio-based La Quinta Inn, untuk periode satu bulan,
Hasilnya, menunjukan rata-rata 100 galon air digunakan oleh setiap tamu per
periode billing, dan lebih dari satu juta galon dalam sembilan bulan pertama di
tahun 1996. La Quinta inn kemudian memasag shower head dengan pancuran air
rendah dan keran yang beraerator didalam setiap kamar tamu, hasilnya terjadi
pengiritan US$ 1.50 per kamar per bulan. Dengan mengganti semua toilet dengan
toilet ultra flow dengan biaya US$ 3,250 menunjukan BEP terjadi dalam 2.1 tahun
dan penghematan air sebanyak 180,000 galon per tahun.

Urinal dan toilet dengan flushing otomatis ditemukan menggunakan air


dalam jumlah yang besar. THC Rotorua Hotel di New Zealand memiliki urinal
yang melakukan flush secara otomatis setiap sembilan menit. Setiap flush
menggunakan 10 liter air. Hal ini menambah sampai 66 liter per jam, atau 1,580
liter per hari, tidak peduli apakah urinal digunakan atau tidak. Konsumsi total
untuk urinal adalah 4,740 per hari. Hotel tersebut kemudian menginstal detektor
yang dapat merasakan kapan urinoir sedang digunakan dan kemudian flushing
terjadi tidak lama setelah dipakai. Program ini mengurangi penggunaan air
didalam urinoir dari 66 liter per jam menjadi 40 liter pada waktu siang dan 20
liter pada waktu malam. Disamping memasang sensor urinoir, hotel juga
memasang shower head dengan pancuran air rendah dengan biaya US$ 3,060.
Penghematan tahunan untuk konservasi air menjadi US$ 5,244, dengan
pengembalian investasi hanya tujuh bulan. Karena toilet dan urinal diketahui
sebagai pengguna air yang tinggi, alternatifnya tersedia yang menggunakan
volume flush lebih rendah, dan sistem diperkenalkan yang memisahkan antara
benda padat dengan cairan. Ini adalah contoh suatu unit filtrasi air dari Ecolab
yang dapat dioperasikan dalam fasilitas hotel. Sistem filtrasi diharapkan dapat
menyaring benda padat dan minyak dari sumber-sumber seperti air limbah
laundry dan membuat air bisa digunakan kembali.

Target lain untuk hotel adalah penggunaan air dalam mesin cuci dan
sistem pendinginan udara. The Saunders Hotel Group, contohnya, harus
mengurangi penggunaan air karena harga air yang tinggi dan adanya pembatasan
penggunaannya. Hotel chain terdiri dari the Boston Park Plaza Hotel, the Copley
Square Hotel, and the Lenox Hotel. Program S.H.I.N.E. dari grup hotel setiap
tahunnya dapat mengurangi empat juta galon air minum, 225,000 kilowatt listrik
dan masih banyak lagi. Mereka memasang sistem laundry baru dan efisien,
beralih dari pendingin air ke pendingin udara dengan mesin es, dan meniadakan
peralaan AC dengan pendinginan air. Projek ini mengurangi penggunaan air
sebanyak 1.5 juta gallon air per tahun.

6.1.2. Penghematan Energi

Beberapa studi telah mengidentifikasikan bahwa penghematan energi pada


hotel juga sama dengan penghematan biaya. Penghematan biaya ini terjadi dengan
melakukan penghematan energi dan praktek mengurangi konsumsi energi. Pada
banyak hotel proyek energi ini meliputi pengaturan pencahayaan, pemanasan
ruang dan sistem pendingin dapat menghemat sampai nilai 20 % atau lebih
(ORHMA, 2008). Hilton Hotel Corporation mampu menghemat hampir US $
2,5 juta dalam biaya energi. Hal ini dicapai dengan menghemat hampir 43
juta kwh listrik dan mengurangi dari 65 juta pon emisi CO2 di tahun 2000.
(www.energystar.gov).

Menurut Alexander at. al. (2002) hotel diseluruh dunia mengakui peluang
untuk melaksanakan proyek hemat energi dalam pemanasan dan sistem pendingin
ruang. Misalnya, pada Hyatt Regency Hotel di Selandia Baru, pengelola hotel
mengerti bahwa tamu sering meninggalkan peralatan sistem pemanas dan
pendingin masih bekerja pada saat mereka keluar dari kamar mereka. Hotel ini
mengembangkan sebuah proyek yang menghubungkan penggunaan energi dengan
aktivitas hunian kamar, sehingga ketika tamu meninggalkan ruangan, semua
peralatan energi di buat tidak berfungsi, (pengecualian kulkas, jam alarm, dan
peralatan penting lainnya). Biaya proyek ini sebesar US$ 16.000, sementara
periode BEPnya hanya 14 bulan, dan Hotel ini dapat melakukan penghematan
sebesar US$ 14.000 per tahun.

Sheraton Hotel and Towers di Auckland menyadari bahwa mencuci seprai,


handuk, flanel, taplak meja, dan kain linen lainnya secara harian menyumbang
35% dari energi yang dikonsumsi dalam proses pencucian, sementara pengeringan
mengkonsumsi 65%. Hotel ini mulai mengubah suhu proses mencuci dari 85
derajat Celsius menjadi 65 derajat Celcius. Perubahan ini menghemat $ 2.000
pada biaya energi dalam 3 bulan pertama, dan linen yang dihasilkan tetap bersih.
Proyek ini juga mengurangi penggunaan bahan kimia dalam pencucian dan
menghasilkan penurunan pencemaran air limbah hotel, juga memungkinkan
adanya proses edukasi kepada tamu hotel memilih untuk memiliki linen yang
dicuci beberapa hari sekali atau setiap hari. Hal ini secara signifikan dapat
membantu dalam konservasi energi dan air.
Pencahayaan adalah penggunakan energi terbesar kedua di hotel, dan
pengelolaan pencahayaan sangat mudah dan secara efektif dapat mengurangi
biaya energi. Menurut lampu neon menghasilkan empat kali lebih banyak cahaya
per watt dari lampu pijar, dan dapat bertahan delapan sampai sepuluh kali lebih
lama. Sheraton Tacoma Hotel mengembangkan sebuah proyek menggunakan
lampu neon. Staf menggantikan 2.000 lampu pijar dengan bola lampu neon di
seluruh area hotel seperti ruang tamu dan lobi, penghematan yang terjadi mencapi
US$15.000 dengan tingkat pengembalian modal 18 bulan.

Sekarang ini tenaga surya sedang dimanfaatkan sebagai sistem terbaru


penyediaan tenaga termal dan cahaya untuk hotel. Misalnya, Hotel Sanga Saby di
Swedia memasang panel surya di atap area sauna, panas yang dihasilkan
disalurkan pada kolam renang dan sauna. Listrik alami tenaga surya menjadi suatu
cara yang populer untuk penghematan energi. Panel surya di Lodge Aurum di
Alberta, Kanada, berkontribusi lebih dari 50% listrik dan memiliki kolektor
surya untuk pemanasan dan pendinginan hotel.

6.1.3. Strategi Penanganan Limbah Padat

Limbah padat di hotel memiliki banyak komponen, termasuk kertas,


makanan, berbagai logam, plastik, aluminium, dan kaca. Dalam sebuah penelitian
limbah terakhir, limbah dari 25 hotel dianalisis. Statistik menunjukkan bahwa dari
1991-1993 limbah hotel yang terdiri dari 46% sisa makanan, kertas 25,3%, 11,7%
kardus, plastik 6,7%, kaca 5,6%, dan logam 4,5%. Ini memberikan gambaran dari
berbagai limbah yang dapat dihasilkan oleh hanya sejumlah kecil dari hotel di
kota. Ketika memandang dengan sikap nol-limbah (zero waste), angka-angka ini
menunjukkan peluang baik untuk pemulihan sumber daya dan pengurangan
limbah. (Alexander at al. 2002)

Menerapkan program pengurangan limbah padat di hotel dapat membuat


penghematan biaya yang signifikan dalam biaya pengangkutan sampah, sekaligus
menciptakan hotel lebih ramah lingkungan, karena limbah padat yang menjadi isu
lingkungan yang signifikan dan memiliki kontribusi yang tinggi pada peningkatan
biaya di Tempat Pembungan Akhir.

Seringkali hotel ragu melaksnakan program pengelolaan limbah padat


karena koordinasi dan kerjasama yang diperlukan antara pengelolaan, karyawan,
dan tamu. Sesual laporan Alexander at al. 2002, The Westin San Francisco
Airport Hotel melaksanakan program daur ulang di tahun 1994. Hotel pembelian
mesin daur ulang dan melakukan langkah-langkah mengurangi sampah langkah-
langkah sebagai pembelian produk konten daur ulang, memberikan pendidikan
lingkungan kepada karyawan mereka, menyumbangkan kelebihan makanan
mereka untuk makanan bank lokal, dan kertas daur ulang, aluminium, dan plastik.
Hotel ini telah diakui memiliki upaya pengurangan limbah, dan berpartisipasi
dalam organisasi green practices. Hotel ini adalah anggota dari Recycled Paper
Coalition and the Sustainable San Mateo County Business Council, dan menerima
penghargaan dari Program Waste Reduction Awards Program pada tahun
2000. Setiap tahun, Hotel ini mendaur ulang 22 ton bahan dan menghasilkan
penghematan sebesar US$ 6.000.

Aspek lain dari program pengurangan limbah padat adalah menangani


limbah makanan, yang sering menjadi bagian terbesar sampah yang dihasilkan di
hotel dan fasilitas penginapan. Persiapan yang berlebihan, table scraps, kerugian
memasak, dan kegagalan kemasan adalah penyebab akumulasi sisa makanan,
yang mengakibatkan makanan basi padahal hal ini dapat dikomposkan, hotel
semakin menyadari bahwa pembuatan kompos adalah lebih baik dari pada
membuang bahan organik menggunakan truk ke tempat pembuangan
sampah. PolarTotem Restoran di Hotel Thunderbird di Bloomington, Minnesota
memulai program pengurangan limbah makanan dengan menugaskan kepala koki
memantau persediaan makanan, jumlah makanan per sekali makanan, dan persen
limbah per sekali makanan. Hal ini tidak sepenuhnya menghilangkan sisa
makanan, tetapi mengurangi kuantitas. Kepala koki juga mengurangi limbah
makanan dengan teratur memeriksa jumlah dan jenis makanan yang umumnya
dibuang dalam wadah daur ulang. Dengan melakukan ini, koki dapat menentukan
makanan mana yang masih dapat digunakan kembali dan selanjutnya merevisi
prosedur persiapan makanan untuk mengurangi sampah makanan. Hal ini
menghasilkan pengurangan 20% dalam limbah makanan. Penghematan biaya $
451,25 per bulan diimbangi oleh $ 128,00 biaya per bulan untuk memiliki bahan-
bahan dijemput untuk daur ulang, menghasilkan penghematan total $ 323,25.

6.1.4. Peran Wisatawan

Studi Faraji rad at al. (2010) tentang hubungan antara pariwisata dan
lingkungan menyimpulkan wisatawan memegang peranan dalam melestarikan
aset dunia untuk generasi yang akan, hal ini dikarenakan wisatawanlah akselerator
industri pariwisata yang banyak menggunakan dan berdampak bagi sumber daya
alam. Dampak negatif akan muncul ketika jumlah wisatawan melampaui daya
dukung lingkungan, dan dampak positif akan muncul ketika setiap wisatawan
memahami konsep utama dari pelestarian lingkungan dan pariwisata yang
berkelanjutan dengan hati, bukan hanya dengan kata.

Studi tentang persepsi wisatawan oleh Baysan (2001), yang terkait dengan
dampak lingkungan pariwisata, khususnya kesediaan wisatawan untuk membayar
dan sikap mereka terhadap lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi
lingkungan, di daerah pariwisata Kemer, Antalya, di Turki, terhadap wisatawan
asal kebangsaan Jerman, Rusia dan Turki wisatawan, menegaskan bahwa
perbedaan dalam 'kesadaran lingkungan' sangat terkait dengan perbedaan
kebangsaan, dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan, juga ternyata
ada perbedaan kebangsaan dalam 'kesediaan untuk membayar' untuk proses
pelestarian lingkungan.

Devis et al. (2000), melakukan studi tentang kualitas lingkungan dari


industri pariwisata di Amerika Serikat, dengan menggunakan kerangka yang
dikembangkan dari konsep ekologi industri untuk menilai dampak industri
pariwisata terhadap lingkungan, khususnya dampak langsung, operasional dan
pemeliharaan fasilitas untuk melayani wisatawan, dan dampak hilir
(downstream), di mana penyedia layanan dapat mempengaruhi pola perilaku atau
konsumsi pelanggan. Hasilnya menunjukan bahwa Agen perjalanan dapat
mempengaruhi bagaimana bentuk perjalanan wisata yang diambil wisatwan, dan
operator tour dapat mendidik wisatawan tentang cara meminimalkan dampak
kegiatannya terhadap lingkungan.

6.2. Persoalan Lingkungan Strategis Lainnya

Strategi lingkungan dapat juga didefisikan menggunakan persepsi bahwa


aktifitas perlindungan lingkungan dapat menyediakan keuntungan yang kompetitif
bagi hotel. Beberapa penelitian telah mengaplikasikan padangan berbasis
sumberdaya perusahaan ini terhadap isu-isu lingkungan, dalam upaya
memperkuat bahwa perlindungan terhadap lingkungan yang prosesnya
menguntungkan dan mengembangkan kemampuan berharga perusahaan, seperti
integrasi stakeholder, inovasi berkelanjutan atau proses pembelajaran yang lebih
tinggi dan yang berkelanjutan (Sharma and Vredenburg, 1998).

Akan tetapi, tidak semua perusahaan mampu untuk menerapkan


sumberdaya atau kemampuan yang dapat menyediakan keuntungan competitive
yang berkelanjutan (Grant, 1991). Amit and Schoemaker (1993) menjeskan
kesulitan ini dan menekankan bahwa hotel sebagai perusahaan beroperasi dalam
sebuah lingkungan yang terus berubah dan kompleks. Dalam hal ini, praktek-
praktek pengelolaan lingkungan juga mengalami variasi termasuk cara-cara
mengitegrasikannya kedalam organisasi, hal ini juga berarti bahwa tidak semua
departemen teknis operasional hotel mengapresiasi keberadaan keuntungan
kompetitif ini. Hanya yang menganggap praktek manejemen lingkungan
mempunyai karakteristik nilai, ambiguitas kausal, kompleksitas sosial dan
“imperfect imitability” menganggapnya sebagai sebuah kemampuan strategis
(Grant, 1991; Barney, 1991).
6.2.1. Dimensi Pengalaman

Typology strategi lingkungan mengisyaratkan bahwa ada satu garis yang


progresif dalam perusahaan-perusahaan yang tidak berkomitmen terhadap isu-isu
lingkungan, dengan extreme yang lain pada perusahaan-perusahaan yang sangat
memperhatikan dan menjadi pemimpin (leader) dalam pengelolaan lingkungan
(Arago´n-Correa, 1998). Kelompok-kelompok perusahaan-perusahaan dengan
lebih banyak pengalaman dalam pengelolaan lingkungan memiliki strategi
lingkungan yang lebih proaktif (Nehrt, 1996).

6.2.2. Pengaruh Stakeholder.

Tekanan sosial dapat membentuk respon asli lingkungan korporasi


termasuk hotel (Henriques and Sadorsky,1999). Pandangan ini berasumsi bahwa
setiap hotel sebagai organisasi mengadopsi inisiatif pengelolaan lingkungan
karena permintaan atau motivasi stakeholder. Menurut teori stakeholder, setiap
organisasi melakukan aktifitasnya perusahaan untuk memuaskan bebutuhan
stakeholder utama, karena dengan cara ini, perusahaan mendapatkan dukungan
yang diperlukan untuk bertahan dalam jangka panjang (Donaldson and Preston,
1995). Karenanya, suatu cara perusahaan untuk mempelajari tekanan sosial
terhadap proteksi lingkungan adalah dengan menganalisa stakeholder perusahaan
dan, khususnya, permintaan lingkungan mereka (Henriques and Sadorsky, 1999).

Setiap stakeholder mempunyai mekanisme pengaruhnya masing-masing,


yang dapat dipakai secara individual atau kolektif untuk melakukan perlindungan
pada lingkungan (Frooman, 1999), karena itu respon hotel tidak hanya hasil dari
klaim atau ketertarikan stakeholder secara individual, tetapi lebih kepada hasil
perhatian yang simultan terhadap semua stakeholder. Sebagai contoh, tour
operator yang berkomitment terhadap kelestarian lingkungan dapat memonitor
performance pengelolaan lingkungan yang dilakukan di hotel. Stakeholder lain,
seperti, pemerintah atau pelanggan tertentu, mungkin dapat menyediakan
perusahaan dengan suatu insentif, atau bahkan bekerjasama, dalam upaya
memecahkan malasah-masalah lingkungan. Karena hotel menyadari bahwa para
stakeholder mencoba mempengaruhi organisasi untuk lebih peduli kepada
pelestarian lingkungan, maka hotel akan berusaha untuk meresponnya dengan
strategi lingkungan yang lebih proaktif.

6.2.3. Pengaruh Ukuran.

Penelitian yang menganalisa pengelolaan lingkungan selalu menggunakan


perusahaan yang besar (Christmann, 2000) sebagai objek penelitiannya, hal ini
berkaitan dengan asusmsi bahwa ada hubungan antara ukuran perusahaan dan
pengelolaan lingkungan. Suatu pendapat awal yang menerangkan hubungan ini
didasarkan pada fakta bahwa dampak pengelolaan terhadap lingkungan pada
perusahaan besar lebih substansial karena: (1) dampak lingkungannya lebih
visibel (Henriques and Sadorsky, 1996); (2) lebih mudah untuk mengontrol
sumber-sumber polusi yang disentralisasi dibandingakan dengan yang menyebar
(Dobers, 1997); (3) Perusahaan ini dapat dilihat sebagai model untuk ditiru
(Ghobadian et al., 1994). (4) Perusahaan ini mempunyai ketersediaan sumberdaya
yang lebih besar untuk diinvestasikan dalam proteksi lingkungan (Sharma and
Vredenburg, 1998), (5) Perusahaan ini mengadopsi suatu pengelolaan yang lebih
formal dan ini akan dilanjutkan dengan pengelolaan lingkungan yang lebih formal
(Merritt, 1998); (6) Perusahaan ini mempunyai skala ekonomi untuk aktivitas
reuse, recycling atau mengevaluasi program pengelolaan sampah (Andersen
1997). Untuk semua alasan ini, kita dapat mengharapkan bahwa hotel besar akan
lebih didorong untuk mengadopsi strategi proaktif lingkungan dibandingkan
dengan hotel yang lebih kecil.

6.2.4. Pengaruh Affiliasi Chain.

Hotel Chain mengimplementasikan seretetan aktifitas yang bertujuan


untuk menyeragamkan pola aspek-aspek tertentu dari suatu pengelolaan hotel
yang dapat dilakukan. Standarisasi pengelolaan hotel mengizinkan chain hotel
untuk mempertahankan reputasinya dan mengambil skala keuntungan ekonomi,
yang mengarahkan pada usatu peningkatan didalam penggunaan sumberdaya
secara effisien (Brown and Dew, 1999)

6.2.5. Manfaat Ekonomi

Bagian dari motivasi internal pengelolaan lingkungan yang konsisten pada


hotel adalah manfaat ekonomi. Pengelola hotel sebaiknya menerima dan
menghormati beberapa prinsip aktivitas pegelolaan lingkungan yang
mempertimbangkan cara ekonomi yang paling tepat dalam melakukan suatu
aktivitas. karena pemenuhan prinsip-prinsip pegelolaan lingkungan yang
berkesinambungan ini memunculkan konsekuensi biaya yang secara implisit
ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh dari mengikuti
proses pengelolaan lingkungan. Dari pandangan ini, praktek-praktek pengelolaan
lingkungan seharusnya secara berdampak negatif mempengaruhi perfomance
bisnis (Cordeiro and Sarkis, 1997).

Aktifitas-aktifitas proses pengelolaan lingkungan juga berhubungan


dengan keputusan bisnis yang memiliki kemungkinan akan meningkatkan
keuntungan bagi hotel. Proses pengelolaan lingkungan seharusnya mengarah pada
suatu perbaikan lingkungan dan proses ini nantinya akan diapresiasi oleh
masyarakat sebagai suatu upaya perbaikan terhadap citra hotel, juga ada
hubungannya dengan masyarakat lokal pada khususnya (Welford, 1995).

Berbagai keuntungan potensial dari sisi ekonomi yang disebutkan terkait


isu-isu lingkungan bagi perusahaan jika dirangkum hal ini meliputi: penghematan
biaya dan perbaikan dalam efisiensi perusahaan, perbaikan dalam kualitas produk,
peningkatan dalam market share, pengurangan dalam tanggungjawab, melampaui
para pesaing atau perundangan, akses terhadap market baru, motivasi dan
kepuasan karyawan, perbaikan dalam hubungan kemasyarakatan dan akses
terhadap bantuan finansial. (Guimaraes and Liska, 1995)., tetapi ada juga laporan
bahwa hubungan antara pengelolaan lingkungan perusahaan yang berkelanjutan
dengan performance ekonomi adalah kontradiktori, karena pada satu sisi kita
menemukan penelitian yang menemukan adanya hubungan yang positif antara
perfomance ekonomi dan produktifitas dalam strategi pengelolaan lingkungan
perusahaan (Judge and Douglas, 1998), sementara yang lainnya
mengidentikasikan hubungan ini negatif (Cordeiro and Sarkis, 1997).

6.3. Permasalahan Operasional Lainnya

Permasalahan lainnya yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hotel


pada destinasi adalah: (1). pertama, telah diakui bahwa operasional pengelolaan
hotel terhadap lingkungan menghasilkan dampak pada areal yang luas, karena
operasional hotel terdiri dari sejumlah besar kegiatan kecil yang dilakukan pada
bagian departemen hotel, yang masing-masing memakai sejumlah kecil energi,
air, makanan, kertas dan sumberdaya lain dan berkontribusi pada penambahan
sejumlah kecil polusi terhadap lingkungan oleh karena asap, bau, kebisingan dan
polutan akibat bahan kimia. (2). Kedua, peraturan lingkungan dalam industri
perhotelan hampir tidak ada, dibandingkan seperti pada sektor manufaktur. (3).
Ketiga, terakahir, customernya yang adalah wisatawan atau tamu hotel yang
kehadirannya berpengaruh langsung terhadap kegiatan pelayanan yang terjadi di
hotel. Kirk (1995)

Sistem pengelolaan lingkungan sangat penting perannya dalam


mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, tetapi berbagai praktek
pengelolaan lingkungan belum dilakukan dengan baik di perhotelan di Bali
(sebagai sebuah destinasi) diantaranya adalah; sebagian besar hotel tidak memiliki
departemen yang menangani masalah lingkungan, tidak dimilikinya kebijakan
lingkungan yang tertulis, lemahnya penegakan aturan oleh pemerintah yang
berpengaruh pada lemahnya perencanaan pembangunan hotel, adanya keengganan
hotel untuk mengirimkan pekerjanya untuk mengikuti training-training
lingkungan karena memerlukan biaya yang tidak sedikit, tidak adanya
dokumentasi tentang apa yang akan, telah dan sedang dikerjakan terkait dengan
penanganan lingkungan, lemahnya komunikasi kepada para pemangku
kepentingan tentang kebijakan lingkungan, wisatawan tidak tahu bagaimana
caranya ikut berpartisipasi dalam program penyelamatan lingkungan, monitoring
secara berkala terhadap parameter lingkungan jarang dilakukan (Dalem, 2012).

7. KESIMPULAN

Tidak dapat di abaikan manfaat yang bisa didapatkan ketika sebuah hotel
melakukan pengelolaan lingkungan dalam operasionalnnya. Sesuai dengan
Alexander at al. 2002, hotel dapat melakukan penghematan untuk nilai yang besar
ketika dilakukan pengelolaan air, energi dan limbah padat, baik itu pada area
kamar, ruang publik dan restoran serta kitchen, termasuk juga pada area laundry.
Sayangnya keuntungan yang terlihat ini memerlukan investasi awal yang cukup
besar, walaupun begitu investasi ini BEPnya hanya memerlukan beberapa tahun
operasional. Sampai saat ini kontradiksi antara manfaat yang di dapat dan biaya
yang di keluarkan masih merupakan perdebatan dalam pengelolaan lingkungan
pada hotel berbintang pada semua destinasi pariwisata yang ada di dunia.

Terlepas dari perdebatan yang ada, terkait dengan nilai ekonomi proses
pengelolaan ini baik yang positif maupun yang negatif, ternyata pengelolaan
lingkungan ini sangat erat kaitannya dengan wisatawan, pengaruh affiliasi chain
hotel, pengaruh ukuran besar kecilnya hotel, pengaruh stakeholder hotel, dan
dimensi pengalaman pengelolaan lingkungan yang dilakukan hotel sebelumnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan lingkungan ini adalah bagian yang
sistemik dalam pengelolaan hotel dan tidak dapat dipisahkan dari proses
operasional pengeloaan hotel. Oleh karena itu sejalan dengan yang dikemukaan
oleh Dalem (2012)., walaupun sistem pengelolaan lingkungan sangat penting
perannya dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, tetapi berbagai
praktek pengelolaan lingkungan pada hotel termasuk hotel berbintang belum
dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Sarah and Carter Kennedy. 2002. GREEN HOTELS:


Opportunities and Resources for Success. Written by. Zero Waste Alliance
September 2002. http://www.zerowaste.org/

Amit, R. and P.J.H. Schoemaker, 1993, „Strategic Assets and Organizational


Rent‟, Strategic Management Journal, Vol.14, No.1, pp.33–46.

Andersen, O., 1997, „Industrial Ecology and some Implications for Rural
SMEs‟, Business Strategy and the Environment, Vol.6, No.3, pp.146–52.
Arago´n-Correa, J.A., 1998, „Strategic Proactivity and Firm Approach to the
Natural Environment‟, Academy of Management Journal, Vol.41, No.5.
Barney, J.B., 1991, „Firm Resources and Sustained Competitive
Advantage‟, Journal of Management, Vol.17, No.1, pp.99–120.

Baysan, Sultan. 2001. Perceptions of the environmental impacts of tourism:


a comparative study of the attitudes of German, Russian and Turkish tourists in
Kemer, Antalya. Tourism Geographies 3(2), 2001, 218-235. Social Science
Department, Adnan Menderes University, Turkey
Brown, J.R. and C.S. Dew, 1999, „Looking Beyond RevPAR: Productivity
Consequences of Hotels Strategies‟, Cornell Hotel and Restaurant Administration
Quarterly, Vol.40, No.2, pp.23–33.
Brown, M., 1994, „Environmental Auditing and the Hotel Industry: An
Accountant‟s Perspective‟, in A.V. Seaton, C.L. Jenkins, R.C. Wood, P.U.C.
Pieke, M.M. Bennet, L.R. McLellan and R. Smith (eds), Tourism: The State of the
Art, Chichester: John Willey & Sons.
Christmann, P., 2000, „Effects of “Best Practices” of Environmental
Management on Cost Advantage: The Role of Complementary Assets‟, Academy
of Management Journal, Vol.43, No.4, pp.663–80.
Colin, P.H. 1999. Dictionary of Hotel, Tourism and Catering Management.
Great Britain. Peter Collin Publishing Ltd.
Cordeiro, J.J. and J. Sarkis, 1997, „Environmental Proactivism and Firm
Performance: Evidence from Security Analyist Earning Forecast‟, Business
Strategy and the Environment, Vol.6, No.2, pp.104–14.
Cramer, J., 1998, „Environmental Management: From “Fit” to “Strech”‟,
Business Strategy and the Environment, Vol.7, No.3, pp.162–72.

Dalem, A.A. Raka. _____. Sistem Pengelolaan Lingkungan, Tri Hita


Karana dan Implementasinya pada Hotel. Kelompok Studi Ekowisata, Jurusan
Biologi, FMIPA, Kampus UNUD Bukit Jimbaran Bali Dan Program Pascasarjana
Kajian Pariwisata, Universitas Udayana, Denpasar. http://ejournal. unud.ac.id/
abstrak/sistemlkp.pdf., di unduh tanggal 29 Maret 2012.

Dharma Putra, K.G. 2009. TRI HITA KARANA AWARDS &


ACCREDITATION: Menuju Pembangunan Pariwisata yang Berkelanjutan dan
Ramah Lingkungan. Center for Environmental Studies Faculty of Science
Udayana University.
Dobers, P., 1997, „Strategies for Environmental Control: A Comparison
between Regulation and Centralized Control in Germany and Reforms Leading to
Decentralized Control in Sweden‟, Business Strategy and the Environment, Vol.6,
No.1, pp.34–45.
Dodds, R. & ITP (International Tourism Partnership) (2005). Why
environmental benchmark will help your hotel. Retrieved 23/04/2008 from
http://www. tourismpartnership.org/downloads/WWF%20Benchmarking.pdf
Donaldson, T. and L.E. Preston, 1995, „The Stakeholder Theory of the
Corporation: Concepts, Evidence, and Implications‟, Academy of Management
Review, Vol.20, No.1, pp.65–91.

El Dief, Mohammed and Xavier Font. 2010. Determinants of


environmental management in the Red Sea Hotels: personal and organizational
values and contextual variables. International Centre for ResponsibleTourism.
ICRT Occasional Paper No. 17

Ernst & Young, 2008. Hospitality going green. Global Hospitality Insights.
A publication for the hospitality industry. http://www.irei.com/uploads/
marketresearch/128/marketResearchFile/hospitality_insights_DF0052.pdf

Faraji rad, Abdoreza and Somayyeh Aghajani. 2010. The Relationship


between Tourism and Environment. Iranian Journal of Tourism & Hospitality. Vol
1, No 1, Summer 2010. Islamic Azad University, Science and Research Branch

Feiertag, H. (1994), “Boost sales with environmental-driven strategy”, Hotel


and Motel Management, Vol. 209 No. 2, p. 8.
Frooman, J., 1999, „Stakeholder Influence Strategies‟, Academy of
Management Review, Vol.24, No.2, pp.191–205.
Ghobadian, A., H. Viney, J. Liu and P. James, 1998, „Extending Linear
Approaches to Mapping Corporate Environmental Behaviour‟, Business Strategy
and theEnvironment,Vol.7,No.1, pp.13–22.
Grant, R.M., 1991, „The Resource-Based Theory of Competitive
Advantage: Implications for Strategy Formulation‟, California Management
Review, Vol.33, No.3, pp.114–35.
Guimaraes, T. and K. Liska, 1995, „Exploring the Business Benefits of
Environmental Stewardship‟, Business Strategy and the Environment, Vol.4,
No.1, pp.9–22.
Henriques, I. Y. & Sadorsky, P. (1996). The Determinants of an
Environmentally Responsible Firms, An Empirical Approach. Journal of
Environmental Economics and Management 30, 381-395.

Henriques, I. Y. & Sadorsky, P. (1999). The Relationship between


Environmental Commitment and Managerial Perceptions of Stakeholder
Importance. Academy of Management Journal 42 (1), 87-99.

IHA, IHEI & UNEP. (1995). Environmental Action Pack for Hotels-
Practical Steps to Benefit your Business and the Environment. The International
Hotel Association, The International Hotels Environment Initiative and The
United Nations Environment Programme.

Kirk, D. (1995). Environmental Management in Hotels. International


Journal of Contemporary Hospitality Management 7 (6), 3-8.
Merritt, Q., 1998, „EM into SME Won‟t Go? Attitudes, Awareness and
Practices in the London Borough of Croydon‟, Business Strategy and the
Environment, Vol.7, No.2, pp.90–100.
Moreno, et all. 2004. Environmental Strategies in Spanish Hotels:
Contextual Factors and Performance. The Service Industries Journal, Vol.24,
No.3, May 2004, pp.101–130. ISSN 0264-2069 print/1743-9507 online. DOI:
10.1080/0264206042000247786 # 2004 Taylor & Francis Ltd
Nehrt, C., 1996, „Timing and Intensity Effects of Environmental
Investments‟, Strategic Management Journal, Vol.17, No.7, pp.535–47.
Nurcahyo, Bagus. 2011. Teori Ekonomi Mikro: Eksternalitas.
http://bagus.staff. gunadarma.ac.id/Downloads/files/10033/Slide_Bab_VIII.ppt.

ORHMA. (2008). Saving Energy Dollars. Ontario Restaurant, Hotel and


Motel Association. Retrieved 13/04/ 2008 from, http://www.orhma.com/NEWS/
saving_energy_ dollars.asp

Russo, M. V. & Fouts, P.A. (1997). A Resource-Based Perspective on


Corporate Environmental Performance and Profitability. Academy of Management
Journal 40 (3), 534-559.
Sayre, D. (1996), “Into the heart of ISO 14000”, in Sayre, D. (Ed.), Inside
ISO 14000: The Competitive Advantage Of Environmental Management, St Lucie
Press, Boca Raton, FL, pp. 160-72.
Sharma, S. & Vredenbur, H. (1998). Proactive Corporate Environmental
Strategy and the Development of Competitive Valuable Organizational
Capabilities. Strategic Management Journal 19 (8), 729-753.
Steadmont, Charles E, and Michael L, Kasavana. 1988. Managing Front
Office Operation. Second Edition. USA. The American Hotel and Motel
Association. 1407. South Harrison Road. Po.Box. 1240. East Lansing Michigan.
Sukirno, Sadono. 2006.Mikro ekonomi. Teori Pengantar. Edisi ketiga.
Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor: KM.3/HK.001


/MKP.02 tentang Formulir Penilaian Penggolongan Kelas Hotel: Self Assesment.
27 Februari 2002
Sweeting, J. E. N. & Sweeting, A.R. (2003). A Practical Guide to Good
Practice, Managing Environmental and Social Issues in the Accommodation
Sector. Tour Operators Initiative for Sustainable Tourism Development, Centre
for Environmental Leadership in Business.

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 10.Tahun 2009. Tentang


Kepariwisataan. http://www.budpar.go.id/userfiles/file/4636_1364-UU Tentang
Kepariwisataannet1.pdf. 16 Januari 2009

UNWTO. 2009. From Davos to Copenhagen and Beyond: Advancing


Tourism‟s Response to C te Change. UNWTO Background Paper. http://sdt.
unwto.org/sites/all/files/docpdf/fromdavostocopenhagenbeyondunwtopaper
electronicversion.pdf. Di unggah tanggal 03/05/2012.

Welford, R., 1995, Environmental Strategy and Sustanaible Development.


The Corporate Challenge for the 21st Century, London & New York: Routledge.

World Tourism Organization (UNWTO). Understanding Tourism: Basic


Glossary. http:// media.unwto.org/en/content /understanding-tourism-basic-
glossary. Di unduh tanggal 2 April 2012.

View publication stats

You might also like