You are on page 1of 32

 Land development techniques where a

group of separate land parcels are


assembled for unified planning, servicing
and subdivision as a single estate, with the
sale of some of the new building plots to
recover the costs and the redistribution of
the other plots back to the landowners.
 Land Pooling
 Land Readjustment
 Land Reconstitution
Land readjustment is where the land
parcels are only notionally consolidated
with the agency having the right to design
services and subdivide the land on a unified
basis, and then the landowners exchange
their rural land parcels for their building
plots as shown in the replotting plan.
Plot reconstitution - another variation - is
a regulatory arrangement imposed on
landowners that is designed to facilitate
the development of land but which
requires the owners to contribute land
and cash. Land remains in separate
ownership and partial cost recovery is
achieved through betterment tax.
Land Pooling is differentiated as
where land is legally consolidated
(‘pooled’) by the transfer of
ownership of the separate parcels
of land to the agency handling the
transaction and redesign, with the
later transfer of ownership of the
new building plots to the
landowners as shown on a
replotting plan.
 Urban land pooling is a technique for carrying out
the unified servicing and subdivision of separate
landholdings for planned urban development.
 It is also know as urban land consolidation, land
readjustment, land replotting, and land redistribution
in particular countries because it involves these
processes.
 It is widely used in Japan, South Korea and Taiwan
and in some cities in Australia and Canada. A
somewhat similar technique known as plot
reconstitution is used in some cities in India.

Lihat dalam R. W. Archer, (1992), “Introducing the urban land


pooling/readjustment technique into Thailand to improve urban
development and land supply”. Public Admin. Dev., 12: 155–174.
doi: 10.1002/pad.4230120204
 Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1991 menyatakan bahwa:
“Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai
penataan kembali penguasaan dan pengunaan tanah serta
usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber
daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.”

Berdasarkan uraian di atas maka Konsolidasi Tanah dapat dikatakan:


 suatu kegiatan terpadu menata kembali suatu wilayah sehingga
menjadi teratur, lengkap dengan perasarana dan kemudahan
yang diperlukan;
 dengan pengunaan tanah secara optional untuk tempat
pemukiman, perusahaan dan lain-lain.
 tanpa memerlukan penyediaan model dalam jumlah besar;
 karena biaya untuk penataan kembali dan pengembangan
dibiayai dari hasil pengembangan itu sendiri
 Membangun tanpa menggusur;
 Kegiatan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat;
 Dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama
(musyawarah);
 Penyediaan tanah melalui STUP (Sumbangan Tanah Untuk
Pembangunan) ;
 Pembangunan dibiayai melalui TPBP (Tanah Pengganti Biaya
Pelaksanaan);
 Transparansi;
 Keadilan;
 Kepastian hak atas tanah dengan lingkungan yang tertata.
 Konsolidasi Tanah bertujuan untuk
memanfaatkan tanah secara
proposional, seimbang dan lestari
dengan meningkatkan efesiensi
penggunaan tanah di wilayah
perkotaan dan meningkatkan
produktivitas penggunaan tanah di
wilayah pedesaan.
 Peningkatan yang demikian itu
mengarah kepada tercapainya suatu
tatanan penggunaan dan penguasaan
yang tertib dan teratur.
1. Mulanya kegiatan konsolidasi tanah diatur dengan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No. 590/5648 tanggal 9 Oktober 1985 dan No. 592/6365/Agr
tanggal 22 Desember 1986.
2. Kemudian sejak tahun 1991, diganti dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Kepala BPN no. 410-4245 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.
3. Lebih kurang 5 tahun kemudian, dengan Surat Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN tanggal 18 April 1996 No. 410-1078 barulah kemudian
dikeluarkan Petunjuk Teknis Konsolidasi Tanah.
4. Setelah itu pada tanggal 7 Juni 1996 dikeluarkan lagi Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN no. 410-1637 mengenai Tanah Pengganti
Biaya Pelaksanaan (TPBP) Konsolidasi Tanah.
5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tanggal 8 Januari 1997 No. 41-55
kepada seluruh Kakanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan di seluruh
Indonesia mengenai Organisasi Peserta Konsolidasi Tanah.
Untuk menegaskan maksud Surat edaran tersebut diatas, Deputi Bidang
Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah – BPN melalui suratnya
tanggal 20 Januari 1997 No. 410-149-D.II memberi petunjuk kepada
Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Jawa Barat mengenai pelaksanaan
Konsolidasi Tanah yang memungkinkan koperasi atau yayasan sebagai
pengelola (fasilitator) bagi peserta konsolidasi
Sasaran Konsolidasi Tanah terutama ditujukan pada kondisi di
wilayah-wilayah sebagai berikut:

WILAYAH PERKOTAAN:
› wilayah pemukiman kumuh;
› wilayah pemukiman yang tumbuh pesat secara alami;
› wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;
› wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru;
› wilayah yang relatif kosong di bagian pinggiran kota yang
diperkirakan akan berkembang sebagai daerah pemukiman.

WILAYAH PEDESAAN:
› Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi
belum tersedia jaringan irigasi;
› Wilayah yang jaringan irigasinya tersedia tetapi pemanfaatannya
belum merata;
› Wilayah yang berpengairan cukup baik namun masih perrlu
ditunjang oleh pengadaan jaringan jalan yang memadai.
MODEL KONSOLIDASI TANAH
PEREMAJAAN KOTA
• Penataan dari Horizontal menjadi Horizontal dan Vertikal (Mix Use)

Sarana prasarana

Zona rumah
tunggal

Zona Ruko

Zona
Rumah
susun

Sebelum
Sesudah
Nilai-
nilai Idiil

Norma
konstitusi
Norma Peraturan
perundang-undangan di
pusat dan daerah
KONSOLIDASI TANAH VERTIKAL

POLITIK PENATAAN
PERTANAHAN RUANG

PERUMKIM PEMKOT
 Apabila yang dimaksudkan adalah nomenklatur
kampung sebagaimana Pasal 1 angka 91 Perda
No.1 tahun 2014 maka, Zona perumahan kampung
adalah kelompok rumah yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan yang
dilestarikan/dipertahankan yang merupakan
bagian dari kota, dihuni oleh masyarakat dengan
budaya tertentu, tidak terstruktur dan tidak
terencana dengan baik, dengan tipe bangunan
deret dan ketinggian bangunan setinggi-tingginya
3 (tiga) lantai.
 Meskipun dalam Zona perumahan kampung, hanya
maksimal tiga lantai masih dapat dikategorikan sebagai hasil
penerapan konsolidasi tanah vertikal yang terbatas
ketinggiannya untuk membedakan dengan perumahan
vertikal. Dalam Pasal 1 angka 93, Zona perumahan vertikal
secara khusus didefinisikan adalah zona yang diperuntukan
sebagai hunian susun yang dilengkapi dengan fasilitas
bersama dan ruang terbuka hijau serta dijabarkan ke dalam
sub zona rumah susun dan rumah susun umum dengan KDB
di atas 30% (tiga puluh persen).
 Zona perumahan kampung dalam RDT adalah
termasuk Zona fungsi budidaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b Perda
No.1 tahun 2014, ditujukan untuk kecamatan yang
ada di 5 (lima) Kota Administrasi dan 1 (satu)
Kabupaten Administrasi di seluruh wilayah Provinsi
DKI Jakarta. Hal itu juga berarti membuka
kemungkinan dilakukannya pengembangan
melalui konsolidasi vertikal meskipun terbatas
hanya tiga lantai saja.
 Namun ada juga batasan yang harus diperhatikan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 622 ayat (2).
Huruf.d. bahwa pengalihan hak membangun
(Transfer of Development Rights) berupa luas lantai
tidak diperkenankan pada zona perumahan
kampung, zona perumahan KDB sedang-tinggi,
dan zona perumahan KDB rendah.
 Pertama, penerapan model konsolidasi tanah (konsolidasi
tanah vertikal) di perkotaan seperti di Jakarta dapat menjadi
solusi terbaik dibandingkan model pembenahan kawasan
permukiman kumuh di masa lalu. Hal itu sebagai
pengembangan dan penggabungan konsep konsolidasi
tanah dan pembangunan rumah susun yang mengandung
keserasian lingkungan perumahan dan sosial serta adanya
peningkatan kualitas hidup para penghuni perumahan dan
permukiman. Hal penting lainnya adalah dalam konsep
konsolidasi tanah tidak berakibat tergusur-terusirnya
penghuni/pemilik tanah;
 Kedua, konsep pembangunan perumahan dapat
diselaraskan dengan pengembangan pembangunan di
kawasan perkotaan melalui penerapan model konsolidasi
tanah vertikal seperti pengalaman di berbagai negara
seperti Thailand-Bangkok, Taiwan-Kaohsiung City, India-New
Delhi;
 Ketiga, dari hasil kajian ini dapat diketahui adanya
kesesuaian kebijakan pembangunan perumahan
dan permukiman pemerintah pusat dengan
kebijakan penataan ruang pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Kesesuaian itu juga sebagai adanya
landasan hukum bagi pengembangan konsep
pembangunan kampung kota yang sudah ada
dalam kebijakan Rencana Detil Tata Ruang dan
Zonasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

You might also like