You are on page 1of 47

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340088198

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS BANGUNAN MIXED-USE "CIBADAK


BUILDING", ASTANAANYAR, BANDUNG DENGAN SISTEM RANGKA SRPMK
ARTIKEL

Article · March 2020

CITATIONS READS

0 247

1 author:

Debora Chyntia Anggraeni


Bandung Institute of Technology
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Debora Chyntia Anggraeni on 22 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERANCANGAN STRUKTUR ATAS BANGUNAN
MIXED-USE “CIBADAK BUILDING”,
ASTANAANYAR, BANDUNG DENGAN SISTEM
RANGKA SRPMK

ARTIKEL
Diajukan sebagai salah satu tugas pengganti UTS pada mata kuliah Komposisi Tahun
Akademik 2019-2020

PEMBIMBING
Dr. A. Wawan Jatnika, M.Hum

oleh
DEBORA CHYNTIA ANGGRAENI
15016031

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2020
1. ABSTRACT

Cibadak Building is intended to be built as a mixed-use building, which can


be used as apartment, hotel, and mall The building itself consist of 11 stories with
total height of 46,35 meters with regular beam and column configuration. However,
the building consists of two towers with three skywalk as the main connector. The
skywalk bridges are not supported by any column in between its’ length, they only
rest on a beam that act as an abutment. This building’s material component is
reinforced concrete with no shear wall, therefore, it’s an open-frame structure. The
designed structure is classified as seismic design category D which has to be
designed with special moment resisting frames.
The objectives of this article are to create the preliminary structural model
as the first step of full structural analysis that’s going to be done in more thorough
research papers/thesis. On the planning, the Cibadak Building structure is designed
for earthquake resistant building.
Cibadak Building structure planning involves literature studies and
structural modelling using a lot of references and some softwares. The dynamic
analysis and structural design refers to Indonesia national standard, SNI 1726:2012,
SNI 1727:2013, SNI 1729:2015, and SNI 2847:2013. Several engineering software
are going to be used to execute structural analysis and design, including ETABS
2017 and SAPFIRE 2000.

Keywords: structure, earthquake, concrete, skywalk, design


2. PENDAHULUAN

Apartemen merupakan salah satu bangunan yang berfungsi sebagai tempat

tinggal. Apartemen menjadi alternatif tempat tinggal yang baik mengingat lahan

kosong di kota semakin sedikit. Selain itu, dalam beberapa gedung apartemen

biasanya juga terdapat fasilitas hiburan dan komersil, bahkan tempat kegiatan

perekonomian lain sehingga dapat berperan sebagai gedung yang memiliki banyak

fungsi (mixed-use).

Bangunan mixed-use sendiri sudah diatur dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia. Sudah seharusnya kawasan bangunan mixed-use menjadi

kawasan mandiri untuk berbagai kegiatan, sehingga para penghuninya akan sedikit

melakukan mobilisasi karena sudah banyak kebutuhan yang terpenuhi di dalam

gedung itu sendiri. Hal tersebut dapat menjadi solusi untuk mengurangi kepadatan

jalan serta memaksimalkan pembangunan di lahan yang relatif kecil, terutama di

pusat kota seperti di daerah Cibadak, Bandung.

Cibadak Building merupakan bangunan mixed-use yang rencananya akan

dibangun di jalan Cibadak, Astanaanyar, Bandung yang merupakan area

metropolitan kota Bandung yang cenderung ramai. Bangunan ini memiliki potensi

besar dalam meningkatkan kegiatan perekonomian di area Cibadak serta dapat

menjadi potensi alternatif tempat tinggal. Banyak fungsi dalam bangunan

menyebabkan Cibadak Building menjadi tempat yang banyak dikunjungi orang

sehingga diperlukan struktur gedung yang aman terhadap risiko.

Pembangunan Cibadak Building membutuhkan perancangan strukur, baik

struktur atas dan struktur bawah, yang aman dan tahan terhadap beban yang akan
muncul selama masa layan bangunan. Selain itu, Cibadak Building berada di daerah

kota Bandung yang cenderung mengalami gempa sehingga struktur gedung

Cibadak Building haruslah didesain sebagai suatu struktur tahan gempa. Hal ini

ditujukan agar Cibadak Building dapat menjadi bangunan dengan fungsi yang dapat

dimaksimalkan dengan baik dan bermanfaat bagi banyak orang.


3. DASAR TEORI

Penulisan artikel mengacu kepada beberapa peraturan desain struktur

gedung sesuai standar yang berlaku di Indonesia, yaitu:

1. SNI 1727:2013 mengenai “Beban minimum untuk perencanaan bangunan

gedung dan struktur lain”

2. SNI 2847:2013 mengenai “Persyaratan beton struktural untuk bangunan

gedung”

3. SNI 1726:2012 mengenai “Tata cara perencanan ketahanan gempa untuk

struktur bangunan gedung dan non gedung”

4. SNI 1725:2016 mengenai “Pembebanan untuk Jembatan”

5. AASHTO LRFD 2012 – Bridge Design Specification.

3.1 Material Struktur

Dalam perancangan, terdapat ketentuan material yang harus ditaati. Material

ini ditentukan di awal perancangan sesuai dengan pertimbangan proyek baik dari

segi struktural maupun faktor lain. Spesifikasi material yang akan digunakan dalam

perancangan harus mengacu kepada standar berikut:



1. Mutu beton kolom (fckolom ) = 35 MPa.

2. Mutu beton balok (fcbalok ) = 35 MPa.

3. Mutu beton pelat (fcpelat ) = 35 MPa.
4. Baja tulangan menggunakan baja dengan tegangan leleh (fy) = 400 MPa dan
tegangan ultimit (fu) = 550 MPa.
3.2 Beban yang Diterima Struktur

Untuk merancang struktur suatu bangunan, perlu ditentukan beban-beban yang

bekerja pada bangunan. Beban ini akan menentukan dimensi elemen struktur

gedung yang akan dibangun. Beban yang ada berasal dari berat bangunan, manusia,

interior dalam bangunan, efek lingkungan, serta gaya akibat kerja bangunan.

Terdapat berbagai macam beban yaitu sebagai berikut:

a. Beban mati

Berdasarkan SNI 1727:2012, beban mati adalah berat seluruh badan struktur

gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding

partisi tetap, finishing, serta komponen arsitektural dan struktural lain yang

terpasang.

Beban mati terbagi menjadi dua jenis, yaitu beban mati akibat berat elemen

struktur (DL) dan beban mati tambahan (Super-Imposed Dead Load/SIDL). Beban

mati tambahan yang bekerja pada struktur ini disebabkan oleh finishing, plumbing,

serta ME. Akan diasumsilkan SIDL bervariasi setiap lantai berdasarkan fungsi

bangunan.

b. Beban hidup

Berdasarkan SNI 1727:2012, beban hidup (Live Load/LL) adalah beban

yang diakibatkan oleh pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain

yang tidak termasuk beban konstruksi dan beban lingkungan, seperti beban angin,

beban hujan, beban gempa, beban banjir, atau beban mati. Beban hidup mengacu

pada SNI 1727:2013 tabel 4-1. Beban hidup yang bekerja dibedakan berdasarkan

fungsi bangunan.
c. Beban hujan

Beban hujan dihitung menggunakan rumus yang ada pada SNI 1727:2013

pasal 8.

R=0,0098×〖(d〗_s+d_h) kN/m^2

Di mana:

R = beban air hujan pada atam yang tidak melendut

d_s = kedalaman air pada atap yang tidak melendut meningkat ke lubang

masuk sistem drainase sekunder apabila sistem drainase primer

tertutup

d_h = tambahan kedalaman air pada atap yang tidak melendut di atas lubang

masuk sistem drainase sekunder pada aliran air rencana

d. Beban gempa

Beban gempa adalah besarnya getaran yang terjadi di dalam struktur rangka

bangunan akibat adanya pergerakan tanah oleh gempa. Perencanaan beban gempa

diatur dalam SNI 1726:2012 dan versi SNI terbaru yaitu SNI 1726:2019. Dalam

SNI tersebut, gempa yang diperhatikan adalah gempa yang kemungkinan terlewati

2 persen perbesarannya dalam 50 tahun.

Langkah untuk menghitung beban gempa yaitu sebagai berikut:

1. Menentukan kategori risiko bangunan

Kategori risiko bangunan ditentukan menurut Tabel 1 SNI

1726:2012, tergantung dengan fungsi bangunan yang akan dibangun.


2. Menentukan faktor keutamaan gempa (Ie)

Faktor keutamaan gempa ditentukan menurut Tabel 2 SNI

1726:2012, nilai faktor keutamaan gempa yaitu sebesar 1,0 untuk kategori

risiko bangunan II

3. Menentukan kategori desain seismik

Untuk menentukan kategori desain seismik, diperlukan analisis

spektra untuk wilayah situs bangunan. Diperlukan parameter percepatan

batuan dasar untuk periode 0,2 detik (Ss) dan periode 1 detik (S1). Kedua

nilai tersebut didapat dari peta gempa Indonesia dari lampiran SNI

1726:2012 sebagai berikut:

Gambar 3.1 Parameter Gerak Tanah Ss, gempa maksimum yang dipertimbangkan

risiko-tertarget (MCER) wilayah Indonesia untuk spektrum respons 0,2 detik

(redaman kritis 5%)


Gambar 3.2 Parameter Gerak Tanah Ss, gempa maksimum yang dipertimbangkan

risiko-tertarget (MCER) wilayah Indonesia untuk spektrum respons 0,2 detik

(redaman kritis 5%)

Dari kedua peta di atas, berdasarkan warna daerah dan range nilai

percepatan.

Setelah didapatkan nilai tersebut, dicari nilai percepatan di permukaan

yang memerlukan koefisien situs Fa dan Fv yang dapat diambil dari Tabel 4

dan tabel 5 pada SNI 1726:2013. Pada SNI 1726:2019, kedua tabel tersebut

tercantum dalam Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel koefisien situs terlampir

sebagai berikut:

Tabel 3.1 Koefisien Situs Fa – Tabel 4 SNI 1726:2013


Tabel 3.2 Koefisien Situs Fv – Tabel 5 SNI 1726:2013

Kedua nilai diambil berdasarkan kelas situs dan nilai percepatan

batuan dasar. Kemudian digunakan rumus di bawah ini:

a. Percepataan permukaan periode pendek (SMS)

SMS = Ss × Fa

b. Percepataan permukaan periode 1,0 detik (SM1)

SMS = S1 × Fv

Untuk menentukan respon spektra bangunan, diperlukan nilai percepatan

gempa desain yang didapatkan dari perkalian percepatan gempa permukaan

dengan nilai koefisien pengecil. Hal ini mengacu pada Pasal 6.3 SNI

1726:2019 sebagai berikut:

a. Percepataan desain periode pendek (SDS)

2
SDS = × SMS
3

b. Percepataan desain periode 1,0 detik (SD1)

2
SD1 = × SM1
3

Dari Tabel 8 dan Tabel 9 SNI 1726:2019 dapat ditentukan kategori desain

seismik (KDS) untuk struktur gedung, terlampir sebagai berikut:


Tabel 3.3 Kategori Desain Seismik berdasarkan Parameter Respons Percepatan

pada Periode Pendek

Tabel Error! No text of specified style in document..1 Kategori Desain Seismik

berdasarkan Parameter Respons Percepatan pada Periode 1 Detik

Dengan nilai SDS sebesar 0,9 g dan nilai SD1 sebesar 0,55 g serta

kategori risiko II, didapatkan kategori desain seismik (KDS) untuk

bangunan yaitu KDS D.

4. Respon spektra

Respon spektra/respon spektrum adalah respon maksimum struktur dalam

suatu periode getar struktur berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu.

Spektrum respons desain dari struktur dapat ditentukan mengacu pada Pasal

6.4 SNI 1726:2019 dengan menggunakan ketentuan berikut:

a. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, spektrum respons percepatan

desain, Sa, harus diambil dari persamaan:

T
Sa = SDS (04 + 0,6 × )
T0
b. Untuk periode yang lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil

dari atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa, sama

dengan SDS.

c. Untuk periode lebih besar dari Ts tetapi lebih kecil dari atau sama

dengan TL, respons spektral percepatan desain, Sa, diambil berdasaran

persamaan:

SD1
Sa =
T

Rumus periode dapat diambil sebagai berikut:

SD1
T0 = 0,2
SDS

SD1
Ts =
SDS

e. Kombinasi Pembebanan

Kombinasi pembebanan diatur dalam SNI 1726:2012 yang di dalamnya

terdapat kombinasi beban akibat gempa. Dalam kombinasi beban gempa, terdapat

faktor redundansi (ρ) yang ditentukan untuk struktur dengan KDS D sampai F.

Pasal 7.3.4.2 pada SNI menyatakan sebagai berikut:

Untuk struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, atau F,

ρ harus sama dengan 1,3 kecuali jika satu dari dua kondisi berikut dipenuhi di mana

ρ diijinkan diambil sebesar 1,0:

a. Masing-masing tingkat yang menahan lebih dari 35 persen geser dasar

dalam arah yang ditinjau harus sesuai dengan tabel 12 sebagai berikut:
Tabel Error! No text of specified style in document..2 Tabel 12 SNI 1726:2012

Persyaratan untuk Masing-masing Tingkat yang Menahan > 35% Gaya Geser

Dasar

b. Struktur dengan denah beraturan di semua tingkat dengan sistem penahan

gaya gempa terdiri dari paling sedikit dua bentang perimeter penahan gaya

gempa yang merangka pada masing-masing sisi struktur dalam masing-

masing arah ortogonal di setiap tingkat yang menahan lebih dari 35 persen

geser dasar. Jumlah bentang untuk dinding geser harus dihitung sebagai

panjang dinding geser dibagi dengan tinggi tingkat atau dua kali panjang

dinding geser dibagi dengan tingkat, hsx, untuk konstruksi rangka ringan.

Kombinasi pembebanan yang digunakan yaitu:

1. 1,4 (DL+SIDL)
2. 1,2 (DL+SIDL) + 1,6 LL + 0,5 LR
3. 1,2 (DL+SIDL) + 1,6 LL + 0,5 R
4. 1,2 (DL + SIDL) + 1,6 LR + LL
5. 1,2 (DL + SIDL) + 1,6 LR
6. 1,2 (DL + SIDL) + 1,6 R + LL
7. 1,2 (DL + SIDL) + 1,6 R
8. 1,2 (DL+SIDL) + LL + 0,5 LR
9. 1,2 (DL+SIDL) + LL + 0,5 R
10. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 1ρE𝑥 + 0,3ρE𝑦 + LL
11. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 1ρE𝑥 - 0,3ρE𝑦 + LL
12. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 1ρE𝑥 + 0,3ρE𝑦 + LL
13. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 1ρE𝑥 - 0,3ρE𝑦 + LL
14. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 0,3ρE𝑥 + 1ρE𝑦 + LL
15. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 0,3ρE𝑥 - 1ρE𝑦 + LL
16. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 0,3ρE𝑥 + 1ρE𝑦 + LL
17. (1,2 + 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 0,3ρE𝑥 - 1ρE𝑦 + LL
18. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 1ρE𝑥 + 0,3ρE𝑦
19. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 1ρE𝑥 - 0,3ρE𝑦
20. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 1ρE𝑥 + 0,3ρE𝑦
21. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 1ρE𝑥 - 0,3ρE𝑦
22. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 0,3ρE𝑥 + 1ρE𝑦
23. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) + 0,3ρE𝑥 - 1ρE𝑦
24. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 0,3ρE𝑥 + 1ρE𝑦
25. (0,9 - 0,2 SDS) (DL+SIDL) - 0,3ρE𝑥 - 1ρE𝑦
26. 0,9 (DL+SIDL)
3.3 Standar Desain Awal

Hal yang harus dilakukan pertama kali yakni melakukan desain awal untuk

dimensi balok, kolom, pelat, dan komponen struktur lain. Desain mengacu kepada

SNI 2847:2013.
4. METODE

Sifat penelitian itu bersifat deskriptif. Penelitian ini mendeskripsikan data

yang didapatkan dari literatur dan sumber data untuk kemudian dianalisis dan

didesain.
5. PERMASALAHAN

Beberapa permasalahan yang dikaji yaitu sebagai berikut:


1. Apakah bangunan struktur atas dan bawah sesuai dengan desain arsitektur
dari Cibadak Building dapat dirancang dengan mengacu pada parameter
struktur yang ada?
2. Bagaimana perancangan dimensi awal struktur atas untuk Cibadak
Building?
6. ANALISIS

6.1 Gambaran Umum Proyek

Cibadak Building merupakan bangunan mixed-use, yang berfungsi sebagai

hotel, apatemen, serta area hiburan dan komersil. Terdapat 13 lantai yang terdiri

dari 2 lantai basement untuk lahan parkir, 4 lantai untuk area komersial, serta 7

lantai untuk hotel dan apartemen. Cibadak Building terletak di Jalan Cibadak,

Tegalega, Bandung, Jawa Barat.

Gambar 6.1 Lokasi Rencana Proyek

Wilayah proyek dibatasi oleh Jalan Cibadak pada sisi utara lahan, Jalan

Karang Anyar pada sisi selatan lahan, Gang Abuya pada sisi barat, Gang Kote pada

sisi timur, serta Toko Printing Pacific Jaya pada sisi barat daya yang memotong

rencana lahan proyek. Jalan Cibadak dan Jalan Karang Anyar merupakan jalan
dengan akses jalan satu arah, sedangkan Gang Kote memiliki akses 2 arah. Area

sekitar site merupakan daerah pertokoan dan perumahan warga. Di lokasi site

sendiri terdapat bangunan eksisting yang terdiri dari 1 lantai hingga 4 lantai.

Denah arsitektur dari gedung ini terlampir sebagai berikut:

Gambar 6.2 Denah Basement Lantai I

Gambar 6.3 Denah Basement Lantai II


Gambar 6.4 Denah Lantai Dasar

Gambar 6.1 Denah Lantai Podium Komersil II


Gambar 6.6 Denah Lantai Podium Apartemen I

Gambar 6.2 Denah Lantai Podium Apartemen II


Gambar 6.3 Denah Tipikal 2 Tower Apartemen Lantai Ganjil dan Genap

Tinggi lantai pada gedung ini bervariasi bergantung pada fungsi ruang di

dalam bangunan. Tinggi lantai untuk banguan ini sebagai berikut:

Tabel 6.9 Tinggi Lantai Struktur Cibadak Building

TINGGI LANTAI
B2-B1 3 m
B1-Level Ground 3 m
Level Ground-P1 5 m
P1-P2 5 m
P2-P3 4,2 m
P3-P4 3,54 m
P4-5 3,57 m
5-6 3,57 m
6-7 3,57 m
7-8 3,57 m
8-9 3,57 m
9-10 3,57 m
10-11 3,57 m
11-Atap 3,62 m
Total tanpa basement & atap 42,73 m
Total tanpa basement 46,35 m
TOTAL KESELURUHAN 52,35 m
6.2 Analisis Gambar Arsitektur

Rancangan arsitektural yang ada meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

1. Bentuk struktur atas gedung

Dari denah dan tampak 3D yang terlihat pada perangkat lunak Sketch

Up, dapat dilihat bahwa gedung terdiri dari tower kembar dengan lantai

tipikal.

Gambar 6.4 Tampak 3 Dimensi Cibadak Building

Hal ini akan menyebabkan ketidakberaturan sudut dalam. Oleh karena

itu, dalam desain tower kembar seperti ini, lebih baik dimodelkan dalam 2

file yang berbeda. Jika dilakukan pemodelan terpisah seperti itu, perlu dicek

story drift kedua tower dan harus dipastikan saat tower mengalami drift

tidak menabrak tower yang lain.

2. Terdapat basement dua lantai

Gedung diharapkan memiliki basement 2 lantai. Dari segi

perancangan struktur, hal ini menyebabkan gedung harus melalui analisis

dan pemodelan 2 tahap, yakni pemisahan pemodelan antara struktur atas dan
struktur bawah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan respon gempa yang

diterima oleh struktur di atas tanah dan struktur di bawah tanah. Struktur Commented [DCA1]: blom pasti sumbernya, baru ada
statement orang
bawah tanah harus jauh lebih kaku disbanding dengan struktur di atasnya.

Struktur atas dimodelkan terlebih dulu dan dijepit di ground level. Setelah

didapat gaya dalam, gaya dalam tersebut ditransfer ke basement sebagai


Ratas
ρatas
beban setelah dikalikan dengan faktor Rbawah .
ρbawah

3. Bentuk kolom

Dari gambar arsitek yang ada, dapat dilihat bahwa arsitek

menghendaki kolom untuk lantai basement hingga lantai podium apartemen

2 berbentuk bulat, sedangkan untuk tower kembar apartemen diinginkan

bentuk kolom kotak.

Gambar 6.5 Bentuk Kolom Bangunan

Secara struktural, hal ini akan menimbulkan ketidakberaturan struktur

secara vertikal. Secara proses konstruksi, kolom bulat cenderung lebih sulit

dalam proses pengecoran. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan yakni
kolom struktural secara keseluruhan tetap berbentuk kotak, namun di

beberapa bagian akan diberi finishing bentuk bulat.

4. Bentuk pelat

Gambar arsitek menunjukan banyak pelat yang memiliki bentuk

melengkung dan tidak beraturan.

Gambar 6.6 Contoh Bentuk Pelat Bangunan

Pelat tersebut hanyalah suatu elemen arsitektur pendukung estetika

yang tidak didesain untuk menahan beban. Hal ini cenderung menyulitkan

saat dilakukan pemodelan. Solusi yang dilakukan yaitu menyederhanakan

bentuk pelat dalam aplikasi pemodelan, namun tetap melakukan rekayasa di

bagian beban pelat sehingga tebal pleat yang tidak akan menerima beban

dapat didesain lebih tipis dari pelat lain yang menerima beban.

5. Posisi kolam renang

Kolam renang berada di lantai podium apartemen 1 (lantai ke-3 dari

atas tanah) dengan kedalaman kolam 3 meter. Hal ini akan menyebabkan

balok di lantai 3 ada yang putus dan tidak menerus. Balok kolam renang

akan mengalami penurunan elevasi dan nantinya akan menyebabkan

ketidakberaturan struktur.
Gambar 6.7 Posisi Kolam Renang

Gambar 6.8 Potongan Kolam Renang

6. Skywalk antar gedung

Di antara gedung, terdapat 3 buah skywalk yang berperan sebagai

akses jalan antar podium. Skywalk memiliki 3 jenis bentang, yakni 9 m; 11,3

m; dan 20 m tanpa ditumpu kolom di bagian bawahnya.


Gambar 6.9 Skywalk Bentang 9 m

Gambar 6.10 Skywalk Bentang 11,3 m

Gambar 6.11 Skywalk Bentang 19,5 m

Pada gambar memang terlihat seakan skywalk tersebut memiliki

bentang pendek. Namun dikarenakan balok-balok skywalk direncanakan


akan bertumpu pada balok induk, maka panjang secara struktural dari

skywalk tersebut bernilai lebih besar.

6.3 Desain Awal Struktur

Desain awal yang dibuat yakni desain balok, pelat, kolom, serta jembatan
struktur.

a. Desain awal balok

Preliminary balok mengacu pada SNI 2847:2013 pasal 9. Dalam Tabel

9.5(a) terdapat tebal minimum untuk balok non prategang.

Tabel 6.9 Tebal Minimum Balok Non-Prategang atau Pelat Satu Arah

Dari bentang balok struktur yang sudah ada pada tabel III.10, dihitung dimensi tebal

dan lebar penampang dengan langkah sebagai berikut:

1. Menghitung tebal minimum (h) penampang balok induk dan anak

Balok merupakan balok yang tertumpu sederhana. Rumus untuk

menentukan tebal minimum balok yaitu:

L
Balok Induk → h =
Rumus Tebal Minimum Balok { 12
L
Balok Anak → h =
16

Di mana:

L = bentang terbesar balok terkait

Digunakan balok induk 2 untuk contoh perhitungan,


L 8000
h= = = 666,667 mm ≅ 700 mm
12 12

Nilai tebal balok dibulatkan dengan kelipatan 50. Maka didapat tebal balok

induk 2 sebesar 700 m.

2. Menghitung lebar (b) penampang balok

Diasumsikan lebar penampang balok induk dan balok anak sebesar 0,5 kali

tebal penampang. Digunakan balok induk 2 untuk contoh perhitungan,

h
b=
2

h 700
b= = = 350 mm
2 2

Nilai tebal balok dibulatkan dengan kelipatan 50. Maka didapat lebar balok

induk 2 sebesar 350 m.

Didapatkan perhitungan dimensi preliminary untuk seluruh bentang balok sebagai

berikut:

Tabel 6.10 Dimensi Preliminary Balok

PRELIMINARY BALOK
Lmax h hbalok b bbalok
Balok
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Balok Induk 1 6000 486 500 250 250
Balok Induk 2 8000 647,619 650 325 350
Balok Induk 3 10000 809,524 850 425 450
Balok Anak 1 (kantilever) 2000 194 200 100 100
Balok Anak 2 6000 364 400 200 200
Balok Anak 3 11313,71 687 700 350 350
b. Desain awal pelat

Preliminary untuk pelat mengacu pada SNI 2847:2013 pasal 9.5.3.3 tentng

tebal minimum pelat dengan balok yang membentang di antara tumpuan pada tiap

sisinya. Dalam menentukan jenis pelat yang digunakan, terdapat ketentuan di mana

nilai β harus bernilai kurang dari sama dengan 2 untuk menggunakan pelat dua arah.

ly
β= ≤2
lx

Di mana:

𝛽 = Rasio bentang bersih dalam arah panjang terhadap pendek pelat

ly = Sisi terpanjang suatu pelat

lx = Sisi pendek dalam suatu pelat

Dari gambar arsitektur, pelat paling besar adalah pelat yang diapit balok induk 1

dan balok anak 3. Pelat tersebut akan dikaji untuk preliminary. Sisi terpanjang pelat

yaitu 6000 mm dan sisi terpendek pelat 4000 mm. Maka, denan menggunakan

ketentuan di atas:

6000
β= = 0,667 ≤ 2
4000

Maka, digunakan jenis pelat dua arah untuk struktur Cibadak Building. Langkah

untuk perhitungan dimensi preliminary pelat yaitu sebagai berikut:

1. Mencari nilai koefisien alpha rata-rata (𝛼fm )

Koefisien ini adalah hasil dari perbandingan modulus elastisitas dan inersia

balok terhadap modulus elastisitas dan inersia pelat. Secara matematis

ditulis sebagai berikut:


Ebalok × Ibalok
α=
Epelat × Islab

Untuk preliminary, diasumsikan nilai fc′ untuk balok dan pelat bernilai

sama, maka nilai modulus elastisitas akan bernilai sama. Rumus α dapat

disederhanakan menjadi:

Ibalok
α=
Islab

Nilai α berbeda-beda untuk setiap segmen pada pelat tergantung jenis balok

yang ditentukan oleh posisi balok. Terdapat balok eksterior dan balok

interior.

Balok eksterior merupakan balok yang hanya memiliki satu perpanjangan

di salah satu sisinya dan terletak pada ujung/pinggir struktur, sedangkan

balok interior merupakan balok yang berada di tengah struktur dan memiliki

dua perpanjangan pada kedua sisi. Diambil nilai tebal asumsi 150 mm.

Analisis nilai α menggunakan penampang berikut:

Gambar 6.17 Penampang Preliminary Pelat

Pada SNI, ditentukan nilai αminimum sebesar 0,8. Di bawah ini akan

diberikan contoh perhitungan untuk salah satu nilai α, yakni perhitungan α1 .


Tabel 6.11 Tabel Perhitungan 𝛂𝟏

α1 (Interior)
INERSIA BALOK
b1 350 mm b2 150 mm 1
h1 150 mm h2 100 mm
A1 52500 mm2 A2 15000 mm2 2
y1 175 mm y2 50 mm
y total 147,222 mm Ibalok 293229167 mm4
α1 0,1738
INERSIA PELAT
bslab 6000 mm Islab 1687500000 mm
hslab 150 mm

Langkah perhitungannya sebagai berikut:

a. Mencari inersia balok (Ibalok)

Dimensi balok yang digunakan yakni:

b1 = 350 mm ; h1 = 150 mm

b2 = 150 mm ; h2 = 100 mm

Pertama-tama, dicari luas area balok:

𝐴1 = b1 × h1 = 350 × 150 = 52500 mm2

𝐴2 = b2 × h2 = 150 × 100 = 15000 mm2

𝐴total = A1 + A2 = 52500 + 15000 = 67500 mm2

Titik berat balok:

h1 150
y1 = + h2 = + 100 = 175 mm
2 2

h2 100
y2 = = = 50 mm
2 2
A1 × y1 + A2 × y2 52500 × 175 + 15000 × 50
ytotal = = = 147,222 mm
∑A 67500

Inersia balok pertama:

1
𝐼1 = × b × h3 + A × d2
12
1
𝐼1 = × 350 × 1503 + 350 × 150 × (175 − 147,222)2
12

𝐼1 = 138946759,3 mm4

Inersia balok kedua:

1
𝐼2 = × b × h3 + A × d2
12
1
𝐼2 = × 150 × 1003 + 150 × 100 × (147,222 − 50)2
12

𝐼2 = 154282407,4 mm4

Didapatkan inersia balok total:

𝐼total = I1 + I2 = 138946759,3 + 154282407,4 = 293229166,7 mm4

b. Mencari inersia pelat (Ipelat)

Dimensi pelat yang digunakan yakni:

bslab = 6000 mm ; hslab = 150 mm

Inersia pelat:

1 1
𝐼slab = × b × h3 = × 6000 × 1503 = 1687500000 mm4
12 12

c. Menghitung nilai α1

Nilai dihitung dengan rumus berikut:

Ibalok 293229166,7
α= = = 0,174
Islab 1687500000

Nilai α yang lain dicari dengan cara yang sama.


Tabel 6.12 Tabel Perhitungan 𝛂𝟐

α2 (Interior)
INERSIA BALOK
b1 950 mm b2 250 mm 1
h1 150 mm h2 350 mm
2 2
A1 142500 mm A2 87500 mm 2
y1 425 mm y2 175 mm
4
y total 329,891 mm Ibalok 4,549E+09 mm
α2 4,0433
INERSIA PELAT
bslab 4000 mm Islab 1,125E+09 mm
hslab 150 mm

Tabel 6.13 Tabel Perhitungan 𝛂𝟑

α3 (Exterior)
INERSIA BALOK
b1 250 mm b2 150 mm 1
h1 150 mm h2 100 mm
2
A1 37500 mm A2 15000 mm2 2
y1 175 mm y2 50 mm
y total 139,286 mm Ibalok 250223214 mm4
α3 0,2966
INERSIA PELAT
bslab 3000 mm Islab 843750000 mm
hslab 150 mm

Tabel 6.14 Tabel Perhitungan 𝛂𝟒

α4 (Exterior)
INERSIA BALOK
b1 500 mm b2 250 mm 1
h1 150 mm h2 350 mm
2 2
A1 75000 mm A2 87500 mm 2
y1 425 mm y2 175 mm
4
y total 290,385 mm Ibalok 3,558E+09 mm
α4 0,800
INERSIA PELAT
bslab 2125 mm Islab 597656250 mm
hslab 150 mm

Nilai αfm dapat dicari dengan merata-ratakan ke-4 α yang ada.

0,174 + 4,043 + 0,297 + 0,8


αfm = = 1,328
4

2. Mencari nilai hminimum

Berdasarkan SNI pasal 9.5.3.3, karena nilai αfm ≤ 2 digunakan rumus

berikut untuk mencari hminimum:


fy 400
ln × (0,8 +
1400) (6000 − 150) × (0,8 +
1400 )
hmin = = = 140 mm
36 + 5β(αfm − 0,2) 36 + 1,5 × (1,328 − 0,2)

Asumsi nilai tebal pelat awal dapat digunakan yaitu h = 150 mm.

c. Preliminary Kolom

Preliminary untuk kolom dimulai dengan menentukan skema pembebanan kolom

serta luasan tributary area terbesar yang diterima kolom untuk setiap fungsi kolom

yang berbeda. Luas tributary area didapatkan dengan menggunakan bentang balok

berikut:

Tabel 6.15 Tabel Area Tributari

TRIBUTARY AREA TERBESAR


x y
8000 6000 mm2
2
8000 8000 mm
56000000 mm2
LUAS
56 m2

Tributary area atau area tributary menerima beban mati, beban mati

tambahan, beban hidup, beban gempa, serta beban hujan. Dalam preliminary design

kolom, digunakan beban mati dan beban hidup dengan kombinasi beban

1,2 DL + 1,6LL. Beban mati terdiri dari beban akibat elemen struktur dan beban

mati tambahan yang sudah didefinisikan pada sub-subbab III.1.3.

Kolom diasumsikan seragam pada setiap lantai bergantung fungsinya.

Khusus untuk lantai podium, terdapat beberapa kolom yang tidak menerus sampai

apartemen, sehingga beban yang diterima oleh kolom tersebut lebih kecil dari

kolom lain yang terdapat pada lantai yang sama. Namun, agar konservatif, kolom

tetap dibedakan sesuai fungsi masing-masing lantai.


Terdapat 15 klasifikasi kolom seperti berikut:

6.16 Tabel Klasifikasi Kolom

LANTAI
Atap I-Atap II
11-Atap I
10-11
9-10
8-9
7-8
6-7
5-6
P4-5
P3-P4
P2-P3
Level Ground-P2
B1-Level Ground
B2-B1
Kolom Tinggi Ground-5

Langkah perhitungan preliminary kolom sebagai berikut:

1. Menghitung beban mati kumulatif

Beban mati kumulatif merupakan penjumlahan dari berat balok, pelat, serta

SIDL pada setiap lantai. Diambil contoh untuk beban mati yang diterima

oleh kolom level ground. Kolom level ground menahan beban dari lantai

atas-atasnya. Contoh perhitungan sebagai berikut:

a. Perhitungan beban mati balok

Diambil contoh perhitungan beban mati untuk bentangan balok 1

yang merupakan gabungan balok induk 1 dan balok induk 2 sebagai

berikut:

Balok Induk 1

DLbalok 1 = γc × Vbeton balok

(500 × 250 × (6000 + 8000) × 0,5)


DLbalok 1 = 2400 × 9,81 × × 10−3
109

DLbalok 1 = 30,254 kN
Balok Induk 2

DLbalok 2 = γc × Vbeton balok

(650 × 350 × 8000)


DLbalok 2 = 2400 × 9,81 × × 10−3
109

DLbalok 2 = 42,850 kN

Total beban mati bentangan balok induk 1 sebesar 60,508 kN.

Berikut hasil perhitungan bentangan balok untuk preliminary kolom:

Tabel 6.17 Beban Mati

Dead Load
Bentangan balok 1 30,254 kN
Bentangan balok 2 42,850 kN
Berat Pelat 197,770 kN

b. Perhitungan beban mati pelat

Beban mati pelat dihitung dengan rumus yang sama seperti beban

mati beton sebagai berikut:

DLpelat = γc × Vbeton pelat

tebal pelat
DLpelat = 2400 × 9,81 × tributary area ×
1000

150
DLpelat = 2400 × 9,81 × 56 × = 197,770 kN
1000

c. Perhitungan beban mati kolom

Beban mati kolom didapat dari volume kolom pada lantai atasnya.

Beban mati didapat dengan rumus yang sama dengan beban mati

pelat dan balok, yakni berat jenis dikalikan dengan volume kolom.
d. Perhitungan kumulatif beban mati

Beban mati total untuk kolom level ground sebagai berikut:

DL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = ∑ DLBalok + DLPelat + DLKolom + DLatas

DL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 78,598 + 197,77 + +68,082 + 3535,755

DL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 3880,205 kN

2. Menghitung beban mati tambahan

Level ground memiliki fungsi sebagai area komersil. Beban mati tambahan

pada level ground terdiri dari beban area komersil serta tambahan beban

mati tambahan pada lantai di atasnya sebagai berikut:

SIDL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = SIDLkomersial + SIDLatas

SIDL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 1,472 × tributary area pelat + 1043,896

SIDL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 1,472 × 56 + 1043,896 = 1126,328 kN

3. Menghitung beban hidup

Cara untuk menghitung beban hidup serupa dengan cara menghitung beban

SIDL, yaitu dengan mengalikan beban hidup pada SNI dengan luasan area

tributri. Berikukt adalah contoh perhitungan untuk beban hidup level

ground:

LL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = LLlevel ground × Tributary Area

LL𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 4,79 × 56 = 268,24 kN

Nilai beban hidup seluruh lantai dijumlahkan secara kumulatif.


4. Menghitung Pu

Pu merupakan nilai beban ultimate yang bekerja pada struktur kolom. Untuk

menghitung nilai P, digunakan kombinasi beban 1,2(DL+SIDL) + 1,6 LL.

Nilai DL, SIDL, dan LL yang digunakan merupakan nilai beban yang sudah

dihitung kumulatif untuk setiap lantainya. Contoh perhitungan Pu untuk

level ground adalah sebagai berikut:

Pu𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 1,2DL + 1,6LL

Pu𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 1,2 × (3880,205 + 1126,328) + 1,6 × 1931,776

Pu𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = 9098,681 kN

5. Menghitung Ag

Ag merupakan luas bruto penampang beton yang dihitung menggunakan

rumus berikukt:

Pu𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑
Ag 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 =
0,375 × fc′

9098,681
Ag 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = = 0,693 m2
0,375 × 35

6. Menghitung nilai a

Nilai a merupakan nilai dimensi minimum untuk kolom. Kolom

diasumsikan berbentuk persegi sehingga nilai b = h. Nilai dimensi minimum

untuk kolom level ground sebagai berikut:

a𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = √Ag 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑

a𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 = √0.693 = 0.833 m ≅ 0,85 m = 850 mm


Didapat nilai dimensi minum sebesar 850 mm. Namun, untuk mengurangi

variasi dimensi kolom agar dilakukan penyesuaian dimensi sehingga hanya

terdapat 4 jenis dimensi kolom. Hal ini dilakukan untuk mengurangi variasi

detailing yang mungkin terjadi sehingga struktur cenderung menjadi lebih

sederhana. Kolom lantai level ground diambil sebesar 900 mm.

7. Pengecekan kelangsingan kolom

Nilai kelangsingan dapat dicek dengan menggunakan rumus berikut:

kl
λ= < 22
r

Struktur kolom adalah jepit-jepit sehingga nilai k = 0,65. Nilai r dapat dicari

dengan menggunakan akar dari I/A atau penyerdehanaan berupa 0,3h untuk

kolom kotak. Untuk kolom level ground:

0,65 × 3,57
λ= = 8,59 < 22 (OK)
0,3 × 0,9

8. Pengecekan rasio kolom

Dalam syarat ketidakberaturan SNI, terdapat syarat rasio dimensi antara 2

kolom yang berbeda tidak boleh melebihi 1,3. Contoh pengecekan untuk

kolom B1 dengan kolom B2:

0.95
= 1,06 < 1,3 (OK)
0.9

Diperoleh dimensi kolom preliminary sebagai berikut:


Tabel 6.18 Dimensi Kolom Preliminary

Penyesuaian
LANTAI Dimensi Kolom
(m)
Atap I-Atap II 0,6
11-Atap I 0,6
10-11 0,75
9-10 0,75
8-9 0,75
7-8 0,75
6-7 0,75
5-6 0,75
P4-5 0,75
P3-P4 0,9
P2-P3 0,9
Level Ground-P2 0,9
B1-Level Ground 0,9
B2-B1 0,95
Kolom Tinggi Ground-5 1,5

Jika dalam analisis didapati ada elemen struktur yang tidak kuat menahan

beban, maka akan dilakukan penyesuaian dimensi. Baik itu untuk balok, kolom,

maupun pelat.

d. Preliminary Jembatan

Sebagaimana dinyatakan dalam bab II, dalam struktur terdapat 3 jenis skywalk.

Ketiga skywalk ini akan di-refer sebagai jembatan karena proses desainnya sama

seperti proses desain sebuah jembatan penyebrangan orang. Jembatan awalnya

diasumsikan merupakan jembatan beton bertulang biasa. Akan dicek apakah

jembatan memenuhi syarat desain sebagai beton bertulang. Contoh perhitungan


akan diberikan untuk bentang jembatan 19,5 meter. Spesifikasi umum jembatan

19,5 meter yakni sebagai berikut:

Gambar 6.19 Spesifikasi Umum Jembatan 19,5 m

SPESIFIKASI UMUM
Panjang jembatan 19500 mm Gambar arsitek
Bentang jembatan 4500 mm Gambar arsitek
Jumlah girder 3 buah Asumsi
Spasi bentang 1500 mm Bentang/jumlah

Jumlah girder merupakan asumsi, yang akhirnya menghasilkan jarak antar girder

sebesar 1,5 meter. Langkah perhitungan selanjutnya sebagai berikut:

1. Menghitung tinggi girder

Tinggi girder mengacu kepada tinggi girder minimum yang diatur pada

AASHTO LRFD 2012 pada tabel 2.5.2.6.3-1 untuk jembatan penyebrangan

orang, yaitu sebagai berikut:

Tinggi girder minimum = Panjang jembatan × 0,035

Tinggi girder minimum = 19500 × 0,035 = 682,5 mm

Diambil tinggi girder sebesar 700 mm (dibulatkan ke atas).

2. Menentukan lebar girder dan tebal pelat jembatan

Lebar girder diasumsikan merupakan tinggi girder dibagi 2, maka didapat

lebar girder 350 mm. Tebal pelat jembatan diambil serupa dengan tebal pelat

gedung sebesar 150 mm.

3. Menentukan pembebanan

Beban yang terjadi untuk skywalk 19,5 m merupakan beban mati akibat

berat sendiri, beban SIDL, serta beban hidup. Beban SIDL diasumsikan

sebesar 1 kN/m2 yang sudah mencakup beban marka jalan, beban papan,
serta beban keramik/batu skywalk (bila diperlukan). Sedangkan beban hidup

diambil asumsi sebesar 500 kg/m2 atau sebesar 4,905 kN/m2 yang dianggap

memperhitungkan beban orang yang lewat. Kedua beban tersebut dikalikan

dengan area tributari yang diterima girder agar menjadi beban garis.

4. Menentukan kombinasi pembebanan

Kombinasi pembebanan diambil dari SNI 1725:2016 tabel 3 dan tabel 4.

Diambil nilai kombinasi pembebanan sebagai berikut:

Tabel 6.20 Kombinasi Pembebanan Jembatan

KOMBINASI PEMBEBANAN

DL γMS 1,2 Tabel 3, Beton precast


SIDL γMA 2 Tabel 4, Umum
Gaya jembatan tanpa
LL Kuat I γP 1,8
beban angin
Beban kendaraan
LL Kuat II γP 1,4
khusus

5. Pemodelan dalam SAP2000 untuk mencari gaya dalam

Setelah didapatkan dimensi awal dan kombinasi pembebanan, dilakukan

pemodelan pada aplikasi SAP2000 untuk mendapatkan gaya dalam.

Pemodelan yang dilakukan berupa pemodelan 1 girder dengan beban garis

yang diterimanya. Didapat gaya dalam dan diagram gaya sebagai berikut:

Tabel 6.21 Gaya Dalam Jembatan 19,5 m

GAYA DALAM
Momen maksimum 1342,749 kN-m SAP2000
Geser maksimum 275,617 kN SAP2000
Joint 1 (Sendi) 275,617
Kombo 1
Joint 2 (Rol) 275,617
Base Reaction (kN)
Joint 1 (Sendi) 246,921
Kombo 2
Joint 2 (Rol) 246,921
Tabel 6.22 Diagram Gaya Dalam Jembatan 19,5 m

DIAGRAM GAYA DALAM

Diagram momen

Diagram geser

Base Reaction Kombo 1

Base Reaction Kombo 2

6. Pengecekan penulangan jika jembatan menggunakan beton bertulang biasa.

Pengecekan tulangan dilakukan dengan metode perancangan tulangan

lentur dengan mengasumsikan girder merupakan balok T yang nantinya

akan dicek apakah termasuk T palsu atau T murni. Untuk ketiga jembatan,

didapatkan susunan tulangan sebagai berikut:


RENCANA PEMASANGAN

Gambar 6.18 Rencana Tulangan Jembatan 9 m

RENCANA PEMASANGAN

Gambar 6.19 Rencana Tulangan Jembatan 11,3 m

RENCANA PEMASANGAN

Gambar 6.20 Rencana Tulangan 19,5 m

Saat dihitung, tulangan masih bernilai sekitar 3% dari luas gross beton. Nilai

tersebut masih mencukupi syarat maksimum yakni 6% sehingga beton

bertulang tetap dapat dirancang dan dicor meski padat. Oleh karena itu,

jembatan dapat menggunakan beton bertulang.


7. SIMPULAN

Dari analisis yang telah dilakukan, diambil beberapa kesimpulan berikut:

1. Dapat dilaksanakan alur pemodelan sebagai berikut:

Gambar 7.1 Skema Pemodelan

2. Hasil dimensi struktur sebagai berikut:

Gambar 7.2 Dimensi Struktural


8. DAFTAR PUSTAKA

AASHTO LRFD 2012. 2012. Bridge Design Specification 6th Edition 2012.
Washington, DC: AASHTO LRFD

Badan Standardisasi Nasional. 2013 Beban Minimum untuk Perencanaan


Bangunan Gedung dan Struktur Lain (SNI 1727:2013). Indonesia.

Badan Standardisasi Nasional. 2013. Persyaratan Beton Struktural untuk


Bangunan Gedung (SNI 2847:2013). Indonesia.

Badan Standardisasi Nasional. 2012. Tata Cara Perencanan Ketahanan


Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung (SNI 1726:2012).
Indonesia.

Badan Standardisasi Nasional. 2016. Pembebanan untuk Jembatan (SNI


1725:2016). Indonesia.

Imran, Iswandi & Fajar Hendrik. 2014. Perencanaan Lanjut Struktur Beton
Bertulang. Bandung: Penerbit ITB Bandung

View publication stats

You might also like