You are on page 1of 29

Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No.

Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia

Ahmad Solikhin
Staf Pengajar FISIPOL Universitas Islam Darul ‘Ulum Lamongan
akhmad.sholikin@gmail.com
Abstract: The role of political parties in Indonesia after the reform era is to become
the main actor of democracy in mobilizing the political life of the nation and state.
Unfortunately, the democratization process does not work well in the body of the
political party itself. Political parties tend to be antithetical to democracy in
government politics. Political decentralization and the authority of political parties
are the most important elements in evaluating the working system of political
parties. To date, the dynamics of party-party at the local level are still strongly
dominated by the center. As a result politics in the region is a political derivation in
Jakarta. Stakeholder party with decentralized authority will not create a democracy
at the local level in political parties, because the party's internal democratic
practices are highly centralized, clientelistic and oligarchic. The challenge must be
answered if it wants to create a democracy within the internal political party.
Particularly related to efforts to build decentralization of political party authority in
determining candidate process in elections. By viewing the party as an organization
of public legal entity which is one of the instruments of democracy, the political
party should have started democratizing internally if it is not desirable to be
abandoned by society and has the goal of improving Indonesian democracy.
Keywords: Democracy, Political Party, Political Party Decentralisation

Pendahuluan menyebut masa tersebut dengan masa


Masa reformasi membawa transisi di mana muncul setelah rezim
perubahan politik di Indonesia, otoriter runtuh. Masa transisi ini
setelah lebih 30 tahun di bawah merupakan sebuah masa yang krusial
bayang-bayang Orde Baru Indonesia karena demokrasi menjadi hal yang
memulai dengan harapan baru dipertaruhkan. Konsolidasi
menuju alam demokrasi. Masa ini demokrasi merupakan suatu
ditandai dengan turunnya Soeharto keniscayaan bagi masa depan
dari kursi presiden pada pertengahan demokrasi itu sendiri. Proses
tahun 1998. Dengan berakhirnya konsolidasi demokrasi tersebut
rezim Orde Baru tersebut kemudian memang sebuah proses yang sulit
didesakkan untuk konsolidasi bahkan rumit. Bahkan mungkin perlu
demokrasi. Para ilmuwan politik
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 37

waktu lama untuk merajut sebuah ini nampaknya akan berjalan lebih
jalan menuju demokrasi. lama dari perkiraan sebelumnya,
Perubahan penting yang dialami karena lemahnya komponen-
Indonesia dalam menjalankan proses komponen yang bisa menjamin
demokratisasi adalah munculnya terselenggaranya sistem yang
berbagai macam partai politik. Di era demokratis. Salah satu komponen
reformasi setelah dibukanya kran tersebut adalah partai poiitik. Kurang
kebebasan mendirikan partai politik, berfungsinya serta proses
nuansa politk bangsa sangat disesaki institusionalisasi partai poiitik yang
oleh aktivitas partai politik. Berbagai belum maksimal di Indonesia
motif pendirian partai potitik merupakan permasalahan umum
mendasari kehadiran partai-partai itu, dalam era transisi demokrasi.
seperti : (1) partai hadir atas dasar Permasalahan ini masih harus
keinginan orang-orang yang ditambah dengan permasalahan
berkuasa, (2) motif ekonomi, orang konsolidasi internal partai, sehingga
masih memimpikan bahwa partai demokrasi yang diharapkan akan
potitik adalah tempat mengeruk semakin sulit dicapai. Permasalahan
keuntungan dan memperkaya diri, konsolidasi internal partai banyak
keluarga, dan kelompok, (3) motif terlihat dari timbulnya konflik-
kekuasaan pragmatis dengan berbagai konflik Internal yang berimplikasi
alasan, misalnya ideologi, gagasan, langsung terhadap kekuatan partai
dan struktur yang baru. (4) politik secara institusi.
transaksional, (5) bargaining Realitas politik pada era reformasi
position. Kondisi ini menyebabkan menunjukkan adanya penurunan
partai tidak lebih sebagai event tingkat kepercayaan (kredibilitas)
organizer dari orang-orang yang haus masyarakat terhadap partai politik
akan kekuasaan (Efriza, 2012 : 351- secara massif. Hal ini dikarenakan
352). partai politik tidak mampu
Indonesia sampai saat ini masih memainkan fungsinya secara optimal.
berada dalam tahap transisi menuju Partai-partai politik tidak memiliki
konsolidasi demokrasi. Proses transisi kemampuan mengerahkan dan
38 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

mewakili kepentingan warga negara menjadi tidak tepat sasaran. Otoritas


maupun menghubungkan warga pemerintah pusat yang hampir
negara dengan pemerintah. Sehingga mengatur segala urusan pemerintah
bukannya menjadi institusi yang daerah, menjadikan kesejahteraan
mengantar masyarakat kepada masyarakat di daerah tidak merata.
kehidupan yang lebih demokratis, Ketika Reformasi datang, konsep
partai politik malah berubah menjadi desentralisasi akhirnya disuarakan
sebuah institusi yang hanya mengejar dan kemudian dipertegas dalam
kepentingan sendiri dan melupakan Undang-Undang Otonomi Daerah.
hakikat keberadaannya dalam sistem Lahirnya Undang-Undang Otoda
politik. Proses institusionalisasi yang mengubah konsep sentralistik
kurang baik, manajemen internal menjadi desentralistik. Hal ini
yang rendah dan kurang dikelola menghasilkan harapan yang lebih
secara demokratis mengakibatkan besar bagi percepatan pembangunan,
partai politik belum dapat menjadi regenerasi kepemimpinan dan
institusi publik yang mampu pengembangan sumberdaya manusia
menggerakkan kader secara massif di daerah. Konsep baru ini juga
untuk menerima kedaulatan institusi dengan cepat melahirkan elit politik
organisasi (Romli, 2012). Tentunya lokal yang mampu bersaing dengan
praktik ini hampir menjangkiti elit pusat, misalnya fenomena
sebagian besar partai di Indonesia Jokowi. Meskipun belum mencapai
baik di tingkatan pusat maupun kondisi yang ideal, setidaknya
daerah. desentralisasi yang saat ini diterapkan
Kita masih ingat betul bagaimana sedang “on the track” dalam
era Orde Baru yang bersikap mewujudkan kesejahateraan yang
sentralistik, yang hanya melihat merata sesuai dengan aspirasi
kondisi lokal dengan kacamata masyarakat lokal.
pemeritah pusat. Sentralisasi di era Memasuki era Reformasi, kran
Orde Baru menghasilkan kebijakan pendirian Partai Politik dibuka
yang kebanyakan tidak sesuai dengan selebar-lebarnya, sehingga di awal
aspirasi lokal sehingga kebijakan Reformasi begitu banyak parpol baru
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 39

berdiri, meskipun tiga partai (Golkar, Jika menilik sejarah Parpol di


PPP dan PDI (Sekarang PDI Indonesia, pendirian Indische Partij
Perjuangan)) yang lahir sejak Orde pada tanggal 25 Desember 1912 oleh
Baru masih eksis hingga hari ini. Dan Douwes Dekker, Ki Hadjar
kompetisi antar parpol yang terlihat Dewantara, dan Tjipto
lebih seimbang di era Reformasi. Mangunkoesoemo menjadi awal
Namun seleksi alam dengan seiring mula berdirinya parpol di Indonesia
waktu berjalan, menyisakan sedikit yang saat itu dijadikan wahana politik
partai yang bisa bertahan. Sayangnya demi menghimpun kesadaran rakyat
semangat desentralisasi di era untuk mencapai tujuan nasional,
Reformasi belum dianut oleh parpol- yakni kemerdekaan Indonesia.
parpol, meskipun masih lebih baik Beberapa era telah berlalu, parpol
dibanding era Orde Baru. Sistem berevolusi sesuai dengan zamannya,
parpol yang masih sentralistik di era Reformasi, partai politik
akhirnya membuat DPP (Dewan nampaknya sudah mulai melupakan
Pimpinan/Pengurus Pusat) sebagai tugasnya sebagai wahana
pimpinan tertinggi partai menjadi membangun kesadaran rakyat untuk
yang “paling didengar” atau bahkan mencapai tujuan nasional. Saat ini,
“harus didengar dan dipatuhi”. parpol lebih fokus dalam kompetisi
Masalahnya, terkadang instruksi politik untuk menjadi pemenang
partai dikeluarkan tanpa melalui pemilu, pileg ataupun pilkada. Entah
mekanisme musyawarah yang disadari apa tidak, sistem setralisasi
mendalam di internal parpol di tiap yang masih dianut oleh parpol dapat
tingkatan. Seperti contoh dalam kasus memicu konflik terbuka di internal
penetapan rekomendasi parpol untuk parpol, baik secara horizontal
kandidat dalam Pilkada atau maupun vertikal. Padahal Parpol
pergantian Ketua Umum DPW dilahirkan untuk melakukan
(wilayah), pengurus DPD (daerah), pendidikan politik bagi masyarakat.
atau Anggota DPRD yang bila tidak Sejak paradigma baru diterapkan
dipatuhi oleh pengurus di daerah dalam tatakelola penyelenggaraan
dapat berujung pada pemecatan. kekuasaan pemerintahan daerah di
40 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Indonesia, menyusul reformasi politik yang sesunggunya ditingkat lokal


1998 yang telah mengakhiri sejarah tidak benar-benar dicapai. (Agustino
rezim otoritarian dan dimulainya fase dan Yusoff, 2010 : 5)
baru sejarah demokrasi, pelaksanaan Di samping itu, dalam beberapa
otonomi daerah sejauh ini telah aspek yang secara teoritik disarankan
menunjukkan sejumlah kemajuan atau bahkan dianggap sebagai suatu
yang cukup berarti dalam banyak keniscayaan otonomi daerah
aspek. Namun demikian kemajuan- berdasarkan substansi yang
kemajuan itu bukan berarti bahwa dikandungnya, yakni desentralisasi,
pelaksanaan otonomi daerah tidak implementasi otonomi daerah juga
menghadapi kendala dan masalah. masih menyisakan sejumlah
Bersama dengan keberhasilan- problematika yang belum tuntas.
keberhasilan itu, pelbagai distorsi Salah satunya adalah menyangkut
juga muncul dalam praktik soal desentralisasi politik dan
impementasi otonomi daerah. kewenangan pada ranah partai politik
Kekuasaan rezim orde baru sebelum sebagai elemen paling penting
reformasi telah menghambat masyarakat sipil. Hingga sejauh ini,
menguatnya perpolitikan oleh elit dinamika kepartaian di tingkat lokal
lokal di tingkat daerah yang masih sangat didominasi oleh pusat.
menghasilkan dua hal penting dalam Akibatnya politik di daerah
perpolitikan lokal. Pertama, kendali merupakan derivasi politik di Jakarta.
politik di tingkat lokal dipimpin oleh Lebih jauh lagi, bukan cuma politisi
elit yang merupakan kolaborasi dari daerah bergantung pada dukungan
penguasa pusat dan lokal; dan kedua, politisi nasional, tetapi perilaku
munculnya orang-orang kuat di politisi di daerah lebih dipengaruhi
daerah. Setelah masa reformasi, "petunjuk" pimpinan partai di pusat
kolaborasi antara elit pusat dan lokal daripada diwarnai aspirasi di daerah
pun menghilang, namun justru (Baswedan, 2008). Demikian pula
semakin menguatkan posisi halnya menyangkut kewenangan
penguasa-penguasa lokal. Sehingga (authority), menurut Undang-Undang
pemerintahan demokratis oleh rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 41

2016 tentang pemilihan Gubernur, pada ranah kehidupan kepartaian di


Bupati, dan Walikota pasal 42 point Indonesia ? Saat ini, besar keinginan
(4a) dalam hal pendaftaran Pasangan para elit lokal agar parpol dapat
Calon Gubernur, Bupati dan Walikota menerapkan sistem desentralisasi.
tidak dilaksanakan oleh Pimpinan Sehingga penentuan kebijakan partai
Partai Politik di tingkat Kabupaten, politik di tingkatan lokal diharapkan
Kota atau Provinsi, tetapi pendaftaran sesuai dengan aspirasi pengurus
pasangan calon yang telah disetujui partai politik di daerah, yang lebih
oleh Partai Politik tingkat pusat dan tahu banyak permasalahan lokal.
pendaftaran dilakukan oleh pimpinan Bukan malah sebaliknya, kebijakan di
Partai Politik tingkat Pusat. Hal ini daerah sesuai dengan selera elit pusat
menunjukkan bahwa Partai politik di tanpa memperhatikan aspirasi elit
tingkat lokal, pada umumnya hanya lokal. Bila dipaksakan, cara-cara
diberi kewenangan untuk melakukan otoriter yang dilakukan elit pusat
proses penjaringan para bakal akan menjadi bencana bagi demokrasi
kandidat; sementara kendali lokal yang mengharapkan parpol
keputusan penetapan para bakal bergerak sesuai dengan geopolitik.
kandidat itu tetap merupakan
kewenangan pusat Pemilu dan Partai Politik
Tulisan ini merupakan kajian Dilihat dari sisi pengalaman
mengenai isu partai politik sebagai demokrasi penyelenggaraan Pemilu
salah satu elemen masyarakat sipil di Indonesia, dapat dikatakan bahwa
dalam kerangka pelaksanaan otonomi partai politik memiliki pengalaman
daerah di Indonesia berdasakan yang cukup dalam proses
perspektif desentralisasi politik demokratisasi. Pada pemilu 1955,
(political decentralisation peserta pemilu terdiri dari empat
perspecitve) atau yang lazim disebut kelompok besar yakni; (a) Kelompok
sebagai devolusi kekuasaan partai politik sebanyak 39 parpol, (b)
(devolution of power), dengan fokus Kelompok Organisasi sebanyak 46,
permasalahan : bagaimana (c) Kelompok Perorangan sebanyak
mewujudkan konsep desentralisasi
42 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

59 dan (d) Kelompok Kumpulan PSII 2,9 8


Parkindo 2,6 8
Pemilih sebanyak 56.
Partai 2,0 6
Ada dua hal penting yang dapat Katolik
PSI 2,0 5
dipetik dari pengalaman pemilu 1955.
Lainnya 12,5 32
Pertama, adanya partisipasi politik Total 100 257
masyarakat yang begitu tinggi. Hal ini Sumber: Rülland, 2001.

dikarenakan pemilu ketika itu Empat partai terpenting, yang


diyakini masyarakat Indonesia secara kolektif meraih 4/5 suara pada
sebagai sebuah solusi yang paling tahun 1955 (lihat Tabel 1), telah
tepat terhadap semua persoalan yang tumbuh dari basis aliran yang ada dan
dihadapi bangsa ketika itu. Kedua, pada saat yang sama membentuk
empat kelompok besar sebagai ulang dan mempolitisasi aliran
kontestan pemilu seperti yang tersebut (Feith, 1957: 31ff; Feith,
digambarkan di atas, menunjukan 1962: 125ff). PNI yang nasionalis
betapa keterbukaan politik ketika itu merepresentasikan semua anggota
sangat besar, bahkan politik aliran bukan priyayi Jawa dan mencari
berkembang bebas dan ikut bersaing nafkah sebagai pegawai negara dan
secara sehat. Namun diakui, semua pegawai negri atau sebagai klien
kontestan pemilu 1955 dari empat mereka.
kelompok besar tersebut, belum PKI mungkin adalah partai yang
berhasil mengkonsolidasi dirinya terbaik pengorganisasiannya dengan
secara matang, sehingga kesan pengikutnya yang setia di kalangan
euphoria pada partisipasi politik pekerja abangan di kota dan daerah
ketika itu juga cukup kuat (AlRasyid, perdesaan. PKI sebagian besar terdiri
2010:47). atas kader yang tidak sekuler dan
Tabel 1: Hasil Pemilu untuk kurang ideologis. Ia harus
Parlemen Nasional (1955) menyesuaikan retorika agenda

Partai Presentase Jumlah revolusinya dengan pandangan


Politik Kursi keagamaan dari kebanyakan pengikut
PNI 22,3 57
Masyumi 20,9 57 abangannya dari pedesaan di Jawa
NU 18,4 45 dan juga harus membangun hubungan
PKI 16,4 39
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 43

patron-klien. Pada tahun 1964, Pada Pemilu selanjutnya karena


menurut perhitungan mereka sendiri, kekurangmampuan kelembagaan
PKI mempunyai sekitar 2,5 juta (sentralisasi yang berlebihan,
anggota partai (1954: 165.000) dan 16 misalnya, yang memungkinkan
juta dari anggota organisasi massa naiknya pergerakan kedaerahan mulai
yang terkait (Mortimer, 1969). Santri pada tahun 1956 dan seterusnya),
yang ortodoks terdiri dari modernis meningkatnya pengaruh militer,
dan tradisionalis. Yang tradisionalis meluasnya korupsi, polarisasi antara
di bawah NU terdiri dari ulama sekuler dan Islamis dalam Badan
(akademisi agama) dan pengikutnya; Konstituante, dan oposisi
yang modernis di bawah Masyumi fundamental PKI terhadap demokrasi
terdiri dari cendekiawan kota, liberal, parlementarisme lambat laun
pedagang dan seniman dari luar pulau kehilangan legitimasinya.
Jawa. Pada bulan Juli 1959, Sukarno
Pada pemilu bebas dan adil yang memberlakukan kembali UUD 1945,
pertama di tahun 1955, terutama yang memberikan kewenangan besar
dengan masa kampanyenya yang pada dirinya sendiri sebagai presiden.
lama, identifikasi aliran menjadi kuat Berbagai partai politik kehilangan
dan sering menjadi pemicu beberapa sebagian besar pengaruhnya semasa
konflik bahkan di daerah pedesaan, periode Demokrasi Terpimpin ini
sebagai contohnya pertikaian antara (1959-65). Kabinet dan parlemen
pengikut PNI yang sekuler dengan dipertahankan untuk menjadi alat
pengikut Masyumi yang saleh. Oleh bagi Sukarno dan kepemimpinan
karena fragmentasi dan polarisasi militer. Demokrasi Terpimpin ini
sistem partai yang sangat besar, jatuh pada tahun 1965/66.
koalisi-koalisi biasanya sangat lemah Sebaliknya pada pemilu 1971,
dan tidak tahan lama. NU dan PNI proses fusi sudah dilakukan yang
atau Masyumi dan PSI biasanya pada akhirnya mengkerucut menjadi
bekerjasama dalam koalisi-koalisi ini, tiga partai peserta pemilu.
yang biasanya tidak Selanjutnya, pelaksanaan pemilu
mengikutsertakan PKI. selama masa orde baru berjalan sesuai
44 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

rencana penguasa yakni setiap lima relatif lengkap sampai ke tingkat


tahun sekali, dengan peserta pemilu daerah (desa).
yang tidak pernah bertambah yakni Para elit Orde Baru (1965/66-98)
dua partai ditambah Golkar. Namun di bawah pimpinan Suharto, mulai
demikian sistem partai di Indonesia untuk mendepolitisasi masyarakat,
tidak dapat dikatakan menggunakan melakukan sentralisasi administrasi
sistem multi partai, walau ada dua dan merampingkan sistem politik.
partai peserta tetap selama lima kali Partai-partai dipotong habis dan
pemilu masa orde baru dan pula pemilu ”basa-basi” diperkenalkan.
sebaliknya. Sedangkan pemilu selama Pada tahun 1973, kendali politik
masa orde baru, lebih dilihat sebagai diperkuat dengan penyederhanaan
formalitas untuk memberikan sistem kepartaian yang memaksakan
legitimasi baru setiap lima tahun penggabungan partai-partai yang ada
kepada kekuasaan Suharto. Tidak ada menjadi hanya 3 partai (lihat Tabel 2).
proses persaingan yang fair diantara Golkar, yang menjadi kendaraan
peserta pemilu, karena kemenangan rejim, selalu mampu mendapatkan
hampir telah dipastikan sebelum dua pertiga kursi mayoritas di
pemilu berlangsung. parlemen nasional, sedangkan PPP
Dengan demikian, tidak ada proses dan PDI hanya ada untuk mengisi
pembelajaran yang berarti bagi dua fungsi adanya partai oposisi yang
partai untuk memperkuat dirinya terkukung.
dalam persaingan setiap pemilihan
umum. Secara struktural, kedua partai
(PDI dan PPP) memiliki struktur yang
Tabel 2: Hasil Pemilu Parlemen* 1971-1997 (%)
1971** 1977 1982 1987 1992 1997
Golkar 62,8 62,1 64,2 73,2 68,1 74,5
PPP 27,1 29,3 28,0 16,0 17,0 22,4
PDI 10,1 8,6 7,9 10,9 14,9 3,1
Sumber: Rüland 2001.
Namun kendali penuh atas suatu tidak pernah berhasil dilakukan, dan
masyarakat yang begitu beragam ideologi Orde Baru terlalu dangkal
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 45

untuk mempengaruhi publik secara korps pegawai negeri, dapat


mendalam dan meluas. Sehingga menguasai seluruh jaringan dan
nasionalisme sekuler yang sangat potensi sampai ke tingkat daerah.
moderat yang direpresentasikan oleh Termasuk memperkuat sistem
PDI dan kelompok muslim yang tidak organisasinya sehingga semakin
bergigi seperti direpresentasikan oleh kokoh dan mantap dibandingkan
PPP ditoleransi. Di tengah krisis partai lain yang sangat rapuh.
finansial negara-negara Asia, era Menurut William Liddle, dalam buku
Orde Baru jatuh, bukan karena Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut

munculnya perlawanan partai politik, Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) bahwa


pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat
melainkan bangkitnya demonstrasi
yang memadai untuk mengukur suara
mahasiswa dan juga hasil dari konflik
rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan
dan tawar-menawar antar elit.
melalui sebuah proses yang
Pertanyaannya, apakah struktur
tersentralisasi pada tangan-tangan
tersebut dapat terkonsolidasi secara birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya
efektif untuk melaksanakan fungsi mengatur hampir seluruh proses pemilu,
partai secara ideal sampai ke tingkat namun juga berkepentingan untuk
daerah? Belum tentu, pusat merekayasa kemenangan bagi “partai
kekuasaan ada pada milik pemerintah”. Kompetisi ditekan
pemerintah.Sebaliknya, Golkar seminimal mungkin, dan keragaman

(bukan partai golkar), dengan pandangan tidak memperoleh tempat


yang memadai.
ditopang oleh kekuatan militer dan
Pemilu 1999 merupakan pemilu pemilu 1955 kembali muncul dengan
pertama pasca Suharto mundur. wajah yang berbeda.
Pelaksanaan pemilu ditandai dengan Perbedaannya, peserta pemilu pada
euphoria yang luar biasa setelah pemilu 1999 hanya terdiri dari partai
puluhan tahun terkekang. Disain politik, sedangkan pada pemilu 1955,
undang-undang politiknya sangat selain partai politik ada tiga
terbuka terhadap partisipasi kelompok lain sebagai kontestan
masyarakat, sehingga tidak heran pemilu. Setidaknya ada persamaan
partai politik aliran yang muncul pada yang dapat kita cermati. Pertama,
46 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

baik pemilu 1955 maupun pemilu tercapai dan masyarakat kecewa.


1999 dan 2004, masyarakat memiliki Kedua, semua kontestan pemilu
keyakinan dan harapan yang sama (partai politik) gagal melakukan
yakni pemilu merupakan pilihan yang konsolidasi diri secara baik, sistem
tepat untuk menyelesaikan semua kepartaian belum mantap bahkan
persoalan yang dihadapi bangsa. sistem rekrutmen calon legislatifnya
Namun harapan tersebut tidak masih amburadul.
Tabel 3: Hasil Pemilu 1999 dan 2004* (DPR)
Partai Politik Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Suara Kursi Suara Kursi
1999 (%) 1999 2004 (%) 2004**
Golkar 22.5 120 21.6 127
PDI-P 33.8 153 18.5 109
PKB 12.6 51 10.6 52
PPP 10. 7 58 8.2 58
PD - - 7.5 56
PK (2004 : 1.4 7 7. 3 45
PKS)
PAN 7.1 34 6.4 53
PBB 1.9 13 2.6 11
PBR - - 2.4 14
PDS - - 2.1 13
Partai Lainnya 26 12
TNI*** 38 -
Total 500 550
Source: nanta/Arifin/Suryadinata 2005
Pada tingkat nasional, peserta PKB, PAN, PD, dan PKS. Kedua,
pemilu 2009 berjumlah 38 partai partai-partai baru berdiri dan lolos
politik. dari jumlah tersebut, secara berdasarkan syarat-syarat
katagoris dapat diklasifikasikan keikutsertaan dalam pemilu. Syarat
sebagai berikut. Pertama, partai- keikutsertaan dalam pemilu itu
partai yang lolos electoral threshold meliputi: (a) memiliki kepengurusan
sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu di 2/3 jumlah provinsi, dan memiliki
sebelumnya. Pada katagori ini, kepengurusan di 2/3 jumlah
terdapat 7 partai yang lolos electoral kabupaten/kota di provinsi yang
threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, bersangkutan, (b) memiliki anggota
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 47

sekurang-kurangnya 1.000 orang atau partai dari peserta pemilu 2004 yang
1/1.000 dari jumlah penduduk pada tidak lolos electoral threshold dan
setiap kepengurusan partai politik, (c) tidak mendapatkan kursi di DPR,
sebagai bagian dari affirmative action terdapat 4 partai dalam katagori ini,
gerakan perempuan, partai politik yaitu Partai Merdeka, Partai
juga harus menyertakan sekurang- Persatuan Nahdlatul Ummah
kurangnya 30% keterwakilan Indonesia, Partai Serikat Indonesia,
perempuan pada kepengurusan partai dan Partai Buruh. Kelompok partai ini
politik tingkat pusat, (d) partai harus dapat menjadi peserta pemilu 2009
mempunyai kantor tetap untuk setiap karena gugatan mereka atas ketidak
level kepengurusan serta mengajukan adilan dari pasal 316 huruf d
nama dan tanda gambar partai kepada dikabulkan oleh Mahkamah
KPU. Masuk dalam katagori ini Konstitusi (MK). Atas putusan MK
terdapat 27 partai. tersebut, KPU tanpa melakukan
Kelompok partai yang pada verivikasi keabsahan syarat-syarat
pemilu 2004 mendapatkan kursi di ikut serta dalam pemilu 2009
DPR tetapi perolehan kursinya tidak mengesahkan mereka menjadi peserta
mencapai electoral threshold 2%. pemilu 2009.
Terdapat 10 partai yang masuk dalam
katagori ini. Terakhir, kelompok
Tabel 4 : Hasil Pemilu 2009 (DPR)
No. Nama Partai Politik Jumlah Kursi
1. Partai Hati Nurani Rakyat 17
2. Partai Gerakan Indonesia Raya 26
3. Partai Keadilan Sejahtera 57
4. Partai Amanat Nasional 46
5. Partai Kebangkitan Bangsa 28
6. Partai Golongan Karya 107
7. Partai Persatuan Pembangunan 2009 37
8. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 95
9. Partai Demokrat 150
10. Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1
Sumber : Diolah dari data KPU Indonesia
48 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Pemilihan Umum tahun 2009 proporsionalitas nilai kursi,


merupakan masa akhir elit lama, pembentukan kepartaian yang efektif,
berseminya elit baru. Menyongsong dan sebagainya, berusaha diatasi.
pemilu 2009, DPR melakukan Dengan demikian, tiap partai rata-rata
perubahan regulasi yang terkait berpotensi kehilangan atau
dengan penyelenggaraan pemilu. kelimpahan suara. Bagi partai yang
Perubahan itu dimaksudkan untuk citranya baik atau membaik, ada
dapat menjawab persoalan-persoalan peluang mendapat limpahan suara
mendasar yang muncul dalam pemilu pemilih migran. Namun bagi partai
sebelumnya. Beberapa persolan yang yang citranya rusak karena terkena
muncul dalam sistem pemilu kasus, akan berpotensi kehilangan
sebelumnya diantaranya berupa minimal suaranya.
representasi wakil rakyat,
Tabel 5: Perolehan Suara Partai Politik Pada Pemilu 2014
No. Partai Politik Perolehan Prosentase
Suara
1. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 8.402.812 6,72%
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 11.298.957 9,04%
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8.480.204 6,79%
4. Partai PDI-Perjuangan (PDI-P) 23.681.471 18,95%
5. Partai Golongan Karya (GOLKAR) 18.432.312 14,75%
6. Partai Gerindra 14.760.371 11,81%
7. Partai Demokrat 12.728.913 10,19%
8. Partai Amanat Nasional (PAN) 9.481.621 7,59%
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8.157.488 6,53%
10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 6.579.498 5,26%
11. Partai Bulan Bintang (PBB) 1.825.750* 1,46%
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.143.094* 0,91%
(PKPI)
Jumlah 124.972.491 100,00%
Sumber : Diolah dari data KPU Indonesia *(tidak lolos Parliamentary Threshold)

Dulu, Pemilu 1955 dipandang Indonesia dalam kelompok negara


demokratis, tapi tujuh pemilu masa yang terseret dalam gelombang-surut
Orde Baru merupakan suatu demokratisasi ketiga (the third
kemunduran tragis sehingga pada reverse of
1990-an Huntington menempatkan democratization). Pada 1998 keadaan
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 49

berubah. Pemilu 1999 dan Pemilu Indonesia pasca Soeharto. Pertama,


2004 memberi kepastian bahwa semenjak krisis ekonomi terjadi yang
demokrasi Indonesia bergerak membawa Soeharto ”lengser” dari
menuju kematangan. Dalam Pemilu kursi kekuasaannya hingga melewati
2009 dan 2014 saat ini ada keraguan, beberapa periode kepemimpinan,
seolah tidak ada keyakinan bahwa ekonomi Indonesia belum
demokrasi akan bertumbuh dewasa. menunjukkan kinerja yang membaik
Bahkan, seperti yang bahkan masih berjalan dalam kondisi
dikhawatirkan Heru Nugroho (2002) kritis. Meskipun pada awal
yang mengutip istilah Sorensen, pemerintahan Megawati berkuasa
Indonesia mengalami ancaman terjadi sentimen positif dari pasar,
demokrasi beku (frozen democracy). namun lambat laun perekonomian
Sorensen mengembangkan empat nasional secara umum kembali
indikator yang mendasari melemah. Sektor industri, riil, jasa
beroperasinya konsep demokrasi dan keuangan yang seharusnya
beku. Pertama, sempoyongannya menjadi panglima dalam penyerapan
ekonomi baik di tingkat nasional tenaga kerja pada kenyataannya justru
maupun lokal. Kedua, mandegnya yang paling banyak melakukan
proses pembentukan masyarakat pemutusan hubungan kerja. Hingga
warga (civil society). Ketiga, pengangguran di tanah air mencapai
konsolidasi yang cenderung tidak 40 juta jiwa. Angka ini merupakan
pernah mencapai soliditas namun angka pengangguran terbesar yang
cenderung semu, dan keempat, pernah ada di Indonesia. Sementara
penyelesaian masalah-masalah sosial- sektor informal yang mampu
politik-hukum warisan rezim menyedot banyak tenaga kerja justru
(otoriter) terdahulu yang tidak pernah hanya diperankan sebagai katub
tuntas. pengaman ekonomi politik nasional.
Dari keempat indikator tersebut Hal ini menunjukkan betapa
Heru Nugroho (2002), mencoba rendahnya tanggung jawab negara
memaparkan beberapa bukti pada perekonomian rakyat.
bagaimana kondisi sosial politik
50 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Kedua, dengan jatuhnya rezim yang akan dilalui. Berbagai kasus


Orde Baru, secara bersamaan hukum yang mengemuka ternyata
sebenarnya keberadaan negara hanya diberlakukan sebagai
demikian lemah dihadapan komoditas politik untuk menekan
masyarakat. Sementara di sisi lain pihak lawan, sama sekali tidak ada
terjadi penguatan terhadap komitmen dari para elit politik untuk
masyarakat. Hal ini ditandai dengan menegakkan rule of law. Akibat
semakin maraknya kehadiran rapuhnya konsolidasi di tingkat elit,
organisasi-organisasi sosial maupun maka integrasi sosial di tingkat akar
politik, dan Lembaga Swadaya rumput juga terancam. Konflik yang
Masyarakat (LSM) yang kian hari berbau agama, etnis, dan politik
kian marak melakukan pemberdayaan masih menjadi bahaya laten yang
dan pendidikan politik kepada sewaktu-waktu siap meledak
masyarakat. Namun sayangnya, kembali.
menguatnya kekuatan masyarakat ini Keempat, bangsa Indonesia masih
tidak dibarengi dengan perbaikan di memiliki sejumlah masalah sosial-
aras negara. Akibatnya yang terjadi politik-hukum yang tidak pernah
adalah social chaos. Orang tidak mau tuntas. Masalah-masalah tersebut ada
lagi patuh kepada hukum karena yang dibiarkan menggantung seperti
apparat pemerintah tidak lagi kasus peradilan terhadap mantan
mempunya wibawa. Masyarakat Presiden Soehartobeserta kroni-
terlanjur tidak percaya kepada apparat kroninya, maupun penyelesaian
pemerintah karena perilaku mereka kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi
yang cenderung korup. Manusia (HAM) yang masuk kategori
Ketiga, konsolidasi sosial politik ringan dan berat semasa Orde Baru
yang berjalan tersedat. Dari realitas Soeharto berkuasa. Kesemua kasus di
politik yang ada dapat dilihat bahwa atas apabila tidak segera diselesaikan
elit politik masih berjalan sesuai oleh pemerintah di masa sekarang
dengan agenda politik masing- maupun masa yang akan datang maka
masing. Belum ada kesamaan yang muncul kemudian adalah
pandangan tentang route reformasi political distrust, yang pada
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 51

gilirannya pasti akan mengancam adalah kendaraan utama bagi


legitimasi pemerintah yang berkuasa perwakilan politik; Kedua, partai
maupun demokrasi sebagai agenda politik adalah mekanisme utama bagi
bersama. Kondisi ini pun tentu saja penyelenggaraan pemerintahan;
menjadi ancaman serius bagi transisi Ketiga, partai politik adalah saluran
yang saat ini sedang berlangsung di utama untuk memelihara
Indonesia. akuntabilitas demokrasi (Romli, 2008
: 21 dan Netherland Institute for
Problem Institusionalisme Partai Multiparty Democrazy (NIMD), 2006
Politik di Indonesia : 10 ).
Meluasnya gagasan bahwa rakyat Secara garis besar, peran dan
merupakan faktor yang perlu fungsi partai politik dapat dibedakan
dtperhitungkan serta diikutsertakan menjadi dua (Efriza, 2012 : 226).
dalam proses politik negara, maka Pertama, peran dan tugas internal
dibentuklah sebuah institusi yang organisasi. Dalam hal ini organisasi
mampu merepresentasikan suara dari partai politik memerankan peranan
masyarakat di satu pihak untuk penting dalam pembinaan, edukasi,
dihubungkan dengan pemerintah di pembekalan, kaderisasi, konsolidasi
pthak lain. Dewasa ini, partai politik dan melanggengkan ideologi politik
menempati posisi vital dalam yang menjadi latar belakang
menunjang demokratisasi pendirian partai politik. Kedua, fungsi
dibandingkan dengan partai politik yang bersifat eksternal
organisasiorganisasi politik lainnya organisasi. Di sini peran dan fungsi
yang terdapat dalam sebuah negara. partai politik terkait dengan
Menurut catatan dari Netherland masyarakat luas, bangsa, dan negara.
Institute for Multyparty Democrazy Kehadiran parpol juga memiliki
(NIMD), mengungkapkan paling tanggungjawab konstitusional, moral,
tidak terdapat tiga alasan sehingga dan etika untuk membawa kondisi
partai politik diperlukan agar dan situasi masyarakat menjadi lebih
demokrasi dalam sebuah negara baik.
berfungsi. Pertama, partai politik
52 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Berkenaan dengan perkembangan of attitudes and culture). Proses


institusionalisasi yang dialami oleh pelembagaan ini mengandung dua
partai politik pada era demokrasi aspek, yaitu aspek internal-eksternal
modern, maka partai politik dituntut dan aspek struktural-kultural. Bila
memiliki fungsi urgen yang perlu kedua dimensi ini dipersilangkan,
dilaksanakan, yakni : (1) Komunikasi maka akan tampak sebuah tabel
politik; (2) Perwakilan; (3) Konversi, empat sel, yaitu; pertama, dimensi
artikulasi kepentingan dan agregasi; kesisteman suatu partai (systemness)
(4) Pendidikan politik; (5) Integrasi sebagai hasil persilangan aspek
(partisipasi politik, sosialisasi politik, internal dengan struktural. Kedua,
dan mobilisasi politik); (6) Persuasi dimensi identitas nilai suatu partai
dan represi; (7) Kaderisasi; (8) (value infusion) sebagai hasil
Rekrutmen politik; (9) Membuat persilangan aspek internal dengan
pertimbangan, perumusan kebijakan, kultural. Ketiga, dimensi otonomi
dan kontrol terhadap pemerintah; (10) suatu partai dalam pembuatan
Mengkordinasi lembaga-lembaga keputusan (decisional autonomy)
pemerintah; (11) Alat pengontrol sebagai hasil persilangan aspek
kepentingan pribadi politisi yang eksternal-struktural. Keempat,
duduk sebagai wakil rakyat maupun dimensi pengetahuan atau citra publik
pejabat publik; dan (12) Fungsi (reification) terhadap suatu partai
dukungan (Supportive function) politik sebagai persilangan aspek
(Efriza, 2012 : 237-238). eksternal-kultural (Randal and
Institusionalisasi partai politik Svasand, 2002).
adalah proses pemantapan partai  Dimensi kesisteman,
politik baik secara struktural dalam systemness memiliki arti
rangka mempolakan perilaku, sebagai proses pelaksanaan
maupun secara kultural dalam fungsi-fungsi partai politik,
mempolakan sikap dan budaya (the yang dilakukan menurut
process by wich the party becomes aturan, persyaratan, prosedur
established in terms of both dan mekanisme yang
integrated patterns on behavior and
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 53

disepakati dalam partai pengetahuan publik atas


politik. keberadaan partai politik
 Dimensi identitas nilai, value tersebut.
infusion partai politik
Penilaian terhadap proses
merupakan nilai yang
institusionalisasi partai politik di
didasarkan pada ideologi atau
Indonesia masih begitu rendah. Hal
platform partai. Nilai inilah
ini diukur dari empat dimensi yakni
yang menjadi basis kesatuan
dimensi systemness, value infusion,
bagi para anggota dan
decisional autonomy dan reification.
supporter untuk mendukung
Dari dimensi systemness, partai
partai tersebut karena value
politik di Indonesia masih belum
infusion adalah representasi
memiliki kesatuan yang erat di dalam
dari pola dan arah perjuangan
tubuh internal partai. Sedangkan dari
partai politik.
dimensi value infusion, partai politik
 Dimensi decisional
masih belum mampu
autonomy, independensi
menginternalisasi nilai-nilai yang
partai politik akan ditentukan
menjadi ciri partai yang dapat
oleh kemampuan partai untuk
membawa manfaat jangka panjang.
membuat keputusan secara
Sebagian besar partai di Indonesia
otonom. Rendahnya nilai
masih terfokus untuk mendapatkan
decisional autonomy
popularitas dan keberhasilan secara
menunjukkan bahwa
instan, sehingga pengabaian pada
pembuatan keputusan di
penumbuhan ideologi dan platform
dalam partai merupakan
jangka panjang membuat partai
transaksi kepentingan antara
tersebut menjual pragmatisme
elite partai dengan
sebagai produk politik kepada
kepentingan aktor lain yang
masyarakat. Dari dimensi decisional
berada di luar partai.
autonomy, pembuatan keputusan
 Dimensi yang terakhir atau
partai politik biasanya sarat dengan
citra publik, reification
hasil negosiasi lingkaran elite politik
merupakan kedalaman
54 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

di level pusat dan bukan ditentukan diposisikan sebagai individu yang


oleh suara dan kepentingan para nilai gunanya ditentukan dari suara
pendukungnya. Dan yang terakhir, yang mereka berikan dalam
dari dimensi reification, partai politik pemilihan (Angulo, 2012). Dalam
baru mampu menanamkan citra posisi dan peran seperti itu, partai
partainya kepada masyarakat melalui bukannya bertindak sebagai corong
serangkaian simbol-simbol aspirasi dan kepentingan rakyat,
kepartaian saja misalnya warna atau tetapi justru menggunakan rakyat
gambar partai, bukan pada visi misi sebagai alat dalam memperjuangkan
yang dibawa oleh partai tersebut nilai dan kepentingan pribadi partai.
(Angulo, 2010). Singkatnya, partai menjadikan rakyat
Keberadaan institusionalisasi sebagai sumber daya pasif untuk
partai politik begitu penting dalam membangun kekuatan partai dalam
konteks kenegaraan, hal ini kompetisi politik.
disebabkan karena partai politik Keberlanjutan partai politik di
berperan sebagai komponen Indonesia pun hanya mengandalkan
pendukung bagi terwujudnya sistem pada kharisma atau pamor si
demokrasi yang sehat. Rendahnya pemimpin dalam meraih massa.
institusionalisasi menyebabkan Kepemimpinan merupakan pokok
timpangnya sistem perpolitikan yang sangat penting di dalam partai,
Indonesia yang kekuasaannya tidak namun mendasarkan keberlanjutan
berputar di sekeliling masyarakatnya hidup partai pada tokoh tunggal si
melainkan ke segelintir elite politik. pemimpin saja, secara
Secara mikro, gambaran sistem kontraproduktif melemahkan
kepartaian di Indonesia diwarnai kapabilitas partai politik tersebut
dengan begitu dominannya peran secara internal. Partai politik
pemimpin politik dalam menentukan seharunsya melakukan kaderisasi
keberhasilan partai di arena politik pada pemimpin-pemimpin yang
negara. Hal ini dikarenakan partai muda. Upaya ini dapat dilihat sebagai
politik tidak berbasis pada grassroots representasi kesungguhan partai
sehingga masyarakat hanya dalam membangun pemimpin
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 55

sehingga pada nantinya partai Berdasarkan Undang-Undang


tersebut mampu menciptakan produk Nomor 5 Tahun 1974, proses
pemimpin yang baik. Proses pemilihan wali kota, bupati, dan
melahirkan kepemimpinan seperti ini gubernur dilakukan oleh DPRD, tapi
tentunya akan menghentikan penentu utama siapa yang bakal
fenomena munculnya aktor politik menjadi kepala daerah pada waktu itu
dadakan demi meningkatkan adalah menteri dalam negeri, Golkar,
popularitas dan voting level partai. TNI, dan tentu saja atas restu
presiden. Nuansa sentralisme sangat
Sentralisasi Partai Politik dalam terasa pada waktu itu.
Pilkada Demokratisasi menunjukkan
Sejak memasuki era reformasi dan sedikit perbaikan setelah, dalam
pasca-perubahan UUD 1945, regulasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun
tentang pilkada merupakan salah satu 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
peraturan yang paling sering diubah. DPRD memiliki peran utama dalam
Dinamika regulasinya pada awalnya menentukan siapa yang menjadi
digulirkan untuk penguatan kepala daerah. Tapi kasus di berbagai
demokratisasi dan desentralisasi. daerah menghadirkan distorsi antara
Berawal dari Undang-Undang Nomor keinginan elite politik dan anggota
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok DPRD di satu pihak yang berhadapan
Pemerintahan di Daerah yang sangat dengan masyarakat bawah mengenai
sentralistik sampai Undang-Undang calon kepala daerah. Bahkan, isu
Nomor 24 Tahun 2014 tentang adanya politik uang mewarnai
Pemerintah Daerah yang fenomenal pelaksanaan pilkada oleh DPRD ini.
karena baru berusia dua tahun telah Asumsi dan temuan terkait dengan
mengalami perubahan dua kali, hal tersebutlah yang kemudian
melalui Undang-Undang Nomor 8 mendorong terjadinya perubahan
Tahun 2015 dan Undang-Undang metode dalam pemilihan kepala
Nomor 16 Tahun 2016. Ini daerah. Yang semula dipilih oleh
membuktikan betapa krusialnya DPRD diubah menjadi dipilih oleh
pemilihan kepala daerah. rakyat.
56 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Pergumulan pemikiran untuk Demikian halnya untuk pasangan


mencari solusi atas keruwetan tata calon gubernur dan wakil gubernur,
cara pilkada yang terdikotomi antara harus ada surat keputusan tentang
dipilih oleh DPRD dan rakyat itu persetujuan dari partai politik pusat
diselingi perdebatan yang atas calon yang diusulkan oleh
sesungguhnya tidak penting. pengurus tingkat provinsi. Artinya,
Perdebatan tersebut, antara lain, persetujuan, yang dalam bahasa
adalah apakah pilkada itu rezim politiknya menjadi rekomendasi
pemerintah daerah ataukah rezim ketua partai, merupakan syarat
pemilu? Bagaimana dengan calon mutlak untuk dapat mendaftarkan diri
independen? Bagaimana hubungan sebagai calon gubernur, bupati,
antara kepala daerah dan wakil kepala ataupun wali kota. (Lihat Pasal 42
daerah? Apa kedudukan inkumben ayat 5 dan 6 Undang-Undang Nomor
dalam pilkada serta perlu izin atau 10 Tahun 2016)
cutikah jika inkumben mencalonkan Pilihan sistem pemerintah daerah
diri lagi ? adalah desentralisasi, yang berfokus
Perdebatan itu sungguh tak ada pada penyerahan kekuasaan dari
pengaruhnya terhadap hasil pemerintah pusat kepada daerah. Jika
pemilihan kepala daerah. Sebab, ada pemerintah pusat sudah menyerahkan
satu hal yang dilupakan, yakni masih urusan-urusannya kepada daerah,
kuatnya cengkeraman partai politik seolah-olah masalah desentralisasi
terhadap kader-kader partai di daerah. telah selesai. Padahal, dalam
Sentralisme dalam diri partai politik penyelenggaraan pemerintahan
itu dapat dilihat pada persyaratan daerah itu semestinya masyarakat
pendaftaran pasangan calon bupati daerah mendapatkan porsi yang
dan pasangan calon wali kota yang memadai untuk berkontribusi atas
dilengkapi dengan surat keputusan keberhasilan penyelenggaraan
pengurus partai politik tingkat pusat pemerintah daerahnya.
tentang persetujuan atas calon yang Namun dengan sentralisasi sistem
diusulkan oleh pengurus partai di pencalonan kepala daerah dalam
provinsi. tubuh partai politik ini sesungguhnya
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 57

sistem pemerintahan desentralisasi awal tahun 2000 ini dengan


belum ada. Sebab, pemimpin partai dijalankannya UU Nomor 22 Tahun
politik di tingkat pusat masih sangat 1999, kemudian diperbarui dengan
menentukan siapa yang bisa menjadi UU 32 Nomor 2004, dan terakhir
calon-calon kepala daerah. Hal itu dengan UU Nomor 23 Tahun 2014
yang lepas dari perhatian kita semua. tentang Pemerintahan Daerah,
Sentralisasi dikritik, tapi tetap tampaknya memang tidak bisa serta
diabadikan untuk menentukan siapa merta mampu mewujudkan prinsip-
yang akan menjadi kepala daerah. prinsip devolusi politik secara
Sudah saatnya desentralisasi komprehensif pada lokus kepartaian
dilakukan sepenuhnya. Oleh sebab dalam kerangka pelaksanaan otonomi
itu, perlu penguatan kepada partai daerah. Tujuan dan manfaat
politik di daerah agar mempunyai desentralisasi politik seperti
kekuatan untuk menentukan siapa dipetakan Smith masih akan sukar
yang pantas memimpin daerahnya. dicapai manakala kebijakan itu tidak
Ini bisa diselenggarakan lewat ditopang oleh ikhtiar lain yang
konvensi di daerah atau pimpinan kompatibel.
partai politik di daerah Terkait hal ini penulis
bermusyawarah untuk menentukan menawarkan dua jalan keluar dari
siapa kader partainya yang akan problematika ketergantungan partai
dijagokan dalam pilkada. Hal itu politik di daerah terhadap pusat
perlu agar desentralisasi berjalan hirarkisnya di Jakarta yang
seiring dengan kekuasaan partai mengakibatkan partai politik belum
politik yang diserahkan juga kepada mampu memberi kontribusi yang
pemimpin di daerah. berarti pada aspek politik dari
kerangka pelaksanaan otonomi
Menimbang Desentralisasi bagi daerah. Pertama, melalui pengaturan
Partai Politik yang lebih assertif mengenai
Kebijakan desentralisasi politik desentralisasi politik dan kewenangan
(devolution of power) yang secara partai politik yang dituangkan di
normatif sudah diberlakukan sejak dalam UU Partai Politik dan Pemilu.
58 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Kedua, melalui pemisahan politik, serta agregasi dan artikulasi


pelaksanaan kegiatan Pemilu antara kepentingan konstituen di daerah.
Pemilu Nasional dengan Pemilu Misalnya dalam konteks pengajuan
Lokal. bakal calon Kepala Daerah/Wakil
Sejauh ini berbagai klausul Kepala Daerah sebagaimana sudah
pengaturan hubungan internal hirarki dijelaskan di muka tadi.
di tubuh partai politik cenderung Jalan keluar yang kedua adalah
bercorak patron-client dan bersifat melalui pemisahan kategori dan
memperkokoh dominasi pusat atas jadwal kegiatan pelaksanaan Pemilu,
daerah. Model pengaturan seperti ini sebuah gagasan yang saat ini sedang
jelas tidak memberi ruang yang berproses secara dinamis. Artinya
lapang bagi partai politik di daerah Pemilu dilaksanakan dengan dua
untuk berkiprah sesuai dengan kategori dan dua jadwal yang
tuntutan reformasi dan kebutuhan berbeda. Yaitu Pemilu nasional untuk
memberdayakan entitas politik lokal memilih Presiden dan anggota
di hadapan dominasi kepolitikan parlemen nasional; dan Pemilu lokal
nasional. Akibatnya aktor-aktor untuk memilih Kepala Daerah/Wakil
politik lokal, gagasan-gagasan politik Kepala Daerah dan anggota legislatif
cerdas di daerah, bahkan juga aspirasi daerah. Pemisahan ini sekurang-
dan kepentingan konstituen di daerah sekurangnya akan memberikan tujuh
menjadi sangat bergantung pada potensi manfaat (Baswedan, 2008).
“niyat baik” (jika itu ada) pusat. Pertama, dengan pemisahan
Dengan pengaturan hubungan yang pemilu, rakyat pemilih bisa dengan
memberi lebih luas dan assertif jelas membedakan politik daerah dan
kekuasaan dan kewenangan kepada politik nasional. Dan pemisahan
partai politik di tingkat lokal, jadwal pemilu itu membuat pemilu di
diharapkan partai politik di daerah daerah menjadi lebih merdeka dari
dapat lebih leluasa memainkan pengaruh politik Jakarta.
perannya, baik sebagai sarana Kemandirian ini akan membuat isu
komunikasi dan partisipasi politik, Jakarta-centris jadi tidak salable di
maupun sebagai sarana rekrutimen tingkat daerah.
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 59

Kedua, politisi daerah akan berjalan 40 tahun, tetapi afiliasi partai


kesulitan untuk sekadar membonceng dari rakyat pemilih tidak berubah.
nama politisi nasional dan politisi Kelima, kesadaran korelasi antara
"dipaksa" responsif pada isu daerah proses politik dan isu keseharian ini
bila ingin survive dalam politik akan membuat perseteruan ideologis
daerah. yang abstrak harus diterjemahkan jadi
Ketiga, implikasi institusional dari kompetisi ideologis yang praktis.
perubahan ini adalah partai politik Dengan demikian meski
dipaksa serius membangun organisasi ideologi/aliran tetap bisa eksis tetapi
dan agenda politiknya di tingkat penerjemahan praktis dari ideologi itu
daerah. agar relevan dengan isu keseharian
Keempat, terangkatnya isu daerah rakyat jadi lebih penting.
dalam arena politik itu, merangsang Keenam, kompetisi ideologis yang
rakyat untuk menyadari korelasi isu praktis itu pada gilirannya akan
keseharian yang relevan dengan membuat proses politik jadi
proses politik. Kesadaran rakyat transaksional dalam arti positif.
pemilih tentang korelasi antara proses Artinya, rakyat pemilih bukan cuma
politik dan isu keseharian ini bisa memberikan suara dukungan pada
menjadi breakthrough yang politisi tetapi juga menuntut imbalan
mencerdaskan dalam politik dalam bentuk kepedulian politisi
Indonesia. Mengapa ? Karena terhadap kepentingan dan aspirasi
kuatnya politik aliran di Indonesia rakyat pemilihnya. Ketujuh, dengan
membuat rakyat pemilih cenderung proses politik yang transaksional ini
tak peduli terhadap performance maka kepentingan dan hajat hidup
politisinya. Sebuah studi tentang rakyat di tingkat daerah akan
perilaku pemilih yang dilakukan diperhatikan, sebab para politisi sadar
Dwight King menunjukkan, hasil bahwa dalam proses yang
Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 transaksional, rakyat bisa
memiliki kesamaan polarisasi pemilih "menghukum" politisi/partai politik
(King, 2000). Artinya, waktu telah dengan memilih politisi/partai politik
lain.
60 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Di sisi lain supremasi eksekutif Dengan hilangnya kekuatan


lokal akan berdampak pada otonom parpol di tingkat lokal dalam
pelemahan kekuatan partai politik bekerja dengan masyarakat -demi
secara internal. Tidak berdayanya membangun kekuatan bersama- maka
parpol di tingkat lokal ditandai dapat dianalogikan bahwa
dengan pemilihan legislatif daerah penumbuhan parpol di tingkat lokal di
yang merupakan wujud transaksi Indonesia tidak ubahnya sebagai
antar sumber daya elite nasional dan rangkaian sistem franchise (Angulo,
massa elite lokal. Dengan demikian, 2012). Parpol di tingkat lokal
peran parpol di tingkat lokal dalam mengadopsi secara serupa segala hal
konteks politik nasional hanya dilihat yang distandarisasi oleh parpol di
sebagai basis dukungan terhadap tingkat pusat dan bahkan pemimpin
parpol di tingkat pusat. Artinya, parpol di tingkat lokal tersebut
jumlah massa dan vote yang mampu dengan begitu mudah dapat
dihimpun oleh parpol di tingkat lokal dipengaruhi dan diperintah oleh
merupakan sumber kekuatan bagi parpol di tingkat pusat. Secara
parpol di tingkat pusat. Hal ini tentu berjangka, maka hal ini berkontribusi
saja menyalahi esensi dari dalam pelemahan institusionalisasi
pemberlakuan sistem multipartai parpol di tingkat lokal.
dalam kerangka kerja desentralisasi Sebagai contoh, demi meraih
karena idealnya pembangunan dukungan massa, pemilihan calon
kekuatan parpol di tingkat lokal parpol di tingkat lokal yang akan
dibentuk melalui kerja dengan berkompetisi dalam Pilkada tidak
masyarakat lokal. Penisbian didasarkan pada kapabilitas tiap bakal
hubungan partai politik dengan calon yang telah mendaftar melalui
masyarakat akan melanggengkan DPW melainkan berdasarkan survey
sistem "money politic" karena hanya popularitas. Pemilihan calon tersebut
dengan menawarkan kompensasi juga akan sangat kental dengan
uang maka masyarakat akan tertarik campur tangan kepentingan parpol di
untuk memilih partai politik yang tingkat pusat. Krisis kepemimpinan
miskin citra tersebut. parpol di tingkat lokal seperti ini
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 61

berakibat destruktif. Jika sipil sehingga akan tercipta tuntutan-


keberlanjutan parpol di tingkat lokal tuntutan kepada partai politik untuk
hanya didasarkan pada popularitas si membuat program dan platform yang
pemimpin maka secara internal partai sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
tidak ubahnya sebagai mesin yang (Angulo, 2012).
arah dan gerakannya akan sangat
bergantung pada keinginan si Kesimpulan
pemimpin tersebut. Pemimpin Desentralisasi politik dan
popular yang kapabilitasnya rendah kewenangan partai politik menjadi
tentu akan mempengaruhi kualitas elemen paling penting dalam
governance di tingkat lokal dan mengevaluasi sistem kerja partai
secara signifikan dapat menciptakan politik tersebut. Hingga sejauh ini,
hambatan-hambatan dalam dinamika kepartaian di tingkat lokal
konsolidasi demokrasi. masih sangat didominasi oleh pusat.
Berbagai permasalahan demokrasi Akibatnya politik di daerah
dan desentralisasi di Indonesia akan merupakan derivasi politik di Jakarta.
mengakibatkan rendahnya Kepengurusan partai dengan
institusionalisasi partai politik. kewenangan yang desentralistik tidak
Terkait permasalahan ini Angulo akan menciptakan sebuah demokrasi
(2012) memberikan solusi yang dapat di tingkat lokal pada partai politik,
digunakan untuk meningkatkan karena praktik demokrasi internal
institusionalisasi partai, antara lain: partai yang sangat sentralistik,
meningkatkan akuntabilitas klientelistik serta oligarkis.
horizontal; mentransformasikan DPD Desentralisasi kekuasaan dan
sebagai cabang partai di tingkat lokal kewenangan dalam lingkup atau
yang mampu menjadi corong bagi lokus politik kepartaian. Hubungan
aspirasi dan kepentingan daerah; hirarki kepartaian masih bercorak
memisahkan pemilihan legislatif patron-client dan bersifat
lokal dengan legislatif nasional; memperkokoh dominasi pusat atas
meningkatkan otonomi fiskal daerah; daerah. Akibatnya partai politik di
meningkatkan kekuatan masyarakat
62 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

daerah memiliki ketergantungan akut mampu memberikan kontribusi,


terhadap pusat. bukan hanya pada aspek penguatan
Gejala dependensi akut itu tentu demokrasi, tetapi juga berkontrbusi
saja memberi pengaruh negatif bukan pada aspek perwujudan tatakelola
saja terhadap situasi internal partai, kekuasaan lokal yang lebih equal,
tetapi juga terhadap aspirasi dan partisipatif, akuntabel dan responsif
kepentingan politik konstituen partai sebagaimana dibayangkan oleh
di daerah. Salah satu fenomena massif Smith.
dampak ketergantungan ini adalah
menyangkut soal pencalonan Kepala DAFTAR PUSTAKA
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Alfian. 1983. Pemilihan Umum dan
setiap kali perhelatan Pemilukada Prospek Demokrasi di
digelar, dimana para calon yang Indonesia,” dalam Demokrasi
muncul seringkali lebih dan Proses Politik, Jakarta:
merepresentasikan kepentingan pusat LP3ES.
hirarki partai daripada aspirasi dan
AlRasyid, M. Harun. 2010. Ancaman
kepentingan konstituen di daerah.
Oligarki Partai dalam
Terkait problematika ini, penulis
Pemilu dalam Jurnal
menawarkan dua jalan keluar.
Kybernan, Vol. 1, No. 2
Pertama melalui pengaturan yang
September 2010.
lebih assertif mengenai desentralisasi
politik dan kewenangan partai politik
Ananta, A., Arifin, E. N.,
yang dituangkan di dalam UU Partai
Suryadinata, L. 2005.
Politik dan Pemilu. Kedua melalui
Emerging Democracy in
melalui pemisahan kategori dan
Indonesia; Singapore.
jadual pelaksanaan kegiatan Pemilu,
menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Angulo, Joan Richart. 2010, dalam
Lokal.Dengan dua pilihan jalan Seminar kebijakan
keluar itu diharapkan nantinya partai internasional (policy forum)
politik di daerah akan lebih leluasa dengan tajuk "Desentralisasi
“berkreasi” secara politik sehingga dan Sistem Kepartaian"
Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia 63

yang diselenggarakan pada


Jurnal IDEA International. 2008.
tanggal 10 Agustus 2010
"Penilaian Demokratisasi di
bertempat di Ruang Seminar
lndonesia.pdf, disampaikan
MAP UGM.
pada forum untuk Reformasi
Baswedan, Anies R., 2008. Demokratis.
“Memerdekakan Arena
Kindleberger, Charles P., Maniacs,
Politik Daerah”, dalam
Panics, and Crashes. 1996. A
aniesbaswedan.blogspot.co
History of Financial Crises,
m, 14 Agustus 2008. Diakses
(New York : Johan Wiley &
pada 20:41 WIB, tanggal 25
Sons, Inc., edisi 3).
Maret 2016.
King, D.Y. 2003. Half-Hearted
Brian C, Smith. 2012. Desentralisasi,
Reform. Electoral
Dimensi Teritorial Suatu
Institutions and the Struggle
Negara, Terjemahan Tim
for Democracy in Indonesia;
MIPI, Jakarta MIPI.
Westport, Connecticut and
Efriza. 2012. Political Explore: London. The emergence of
Sebuah Kajian ilmu Politik,
the Cartel Party; di dalam:
Bandung: Alfabeta.
Party Politics; 1(1); hal 5-28.
Haris, Syamsuddin (ed). 2007. Partai
dan Parlemen Lokal Era Kurniawan, Robi Cahyadi.
Transisi Demokrasi di Kepemimpinan Politik Lokal
Indonesia. Jakarta ; LIPI. (Telaah undang-undang no
23 tahun 2014 tentang
Hidayat, Syarif. 2008.
pemerintahan daerah),
“Desentralisasi Dan
dalam Proceeding Seminar
Otonomi Daerah Dalam
Nasional "UU Pemda: Solusi
Perspektif State-Society
atau Masalah Yang Baru?"
Relation”, Jurnal Poelitik,
Bandar Lampung, 30 April
Volume 1 Nomor 1 Tahun
2015.
2008.
64 Journal of Governance, Juni 2017 Volume 2, No. 1

Liddle, R.W.(2003): New Patterns of Democracies, Party Politic,


Islamic Politics in Vol 8, No. 1, Sage
Democratic Indonesia; di Publication, London, Hal 5-
dalam: Asia Program; 29.
no.110; Woodrow Wilson Romli, Lili. 2008. "Masalah
International Center for Kelembagaan Partai Politik
Scholars; Washington, D.C.; di Indonesia Pasca-Orde
hal 4-13. Baru". Jumal Polrtika. Vol 6
Tahun 2008
Mortimer, R. (1969): The Downfall
of Indonesian Communism;
Sutisna, Agus. 2011. Analisis Konflik
di dalam: Miliband, R. /
Pemilihan Umum Kepala
Saville, J.(eds.): The
daerah dan Wakil Kepala
Socialist Register; London;
Daerah dalam Rangka
hal 189-217.
Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Kota
Nugroho, Heru (kata pengantar)
Cilegon Tahun 2010, Tesis,
dalam John Markoff. 2002.
Jakarta : SPs Universitas
Gelombang Demokrasi
Satyagama.
Dunia. CCSS: Pustaka
Pelajar.

Randal, Vicky and Lars Svasand.


2002. Party
Institusionalization in New

You might also like