You are on page 1of 14

KEEFEKTIFAN PEMBERIAN NEBULIZER TERAPI COMBIVENT DAN

TERAPI BISOLVON TERHADAP PATENSI JALAN NAFAS PADA PASIEN


ASMA BRONKIAL DIRUANG IGD BBKPM MAKASSAR

Siti Lestari1 , Siti Handayani2, Herman Bakri3


1,2
Poltekkes Kemenkes Surakarta Jurusan Keperawatan, 3BBKPM Makasar
Diterima : 26 November 2018 , Disetujui : 3 Desember 2018
e-mail: lestaristi68@gmail.com

Abstract
Background : Asthma is a worldwide health problem. People with asthma in the world
today was estimated at 300 million peoples, and expected in 2025 reached 400 million
peoples. In Indonesia, there were currently about 12.5 million peoples. In BBKPM
Makassar, the number of people with asthma who visit in 2009 were 291 patients, in
2010 to 292 patients, and in 2011 starting from January to November, as 243 patients.
It shows the number of people with asthma who visit the BBKPM Makassar each month
has increased. Therapy of asthma treatment often used was nebulizer using combivent
and bisolvon. Purpose this study to determine the effectiveness of provision nebulizer of
combivent and bisolvon therapy to airway patency in asthma bronchial patient at ER of
BBKPM Makassar. Method: used was quase experimental with two groups pretest and
posttest design. Sample of 40 patients who met the criteria were randomly selected to be
divided into two groups, 20 samples for nebulizer of combivent therapy, and 20 samples
for nebulizer of bisolvon therapy. Method: Technique of data analysis used was paired
t test. the Research result conducted on two groups of respondents, obtained t count
value frequency of respiratory and pulmonary physiology in the treatment group of
nebulizer using combivent obtained t count of the frequency of respiratory physiology
was 15.601 and pulmonary physiology was 23.083, while the treatment groups of
nebulizer using bisolvon obtained t count value was 7.701 and pulmonary physiology
was 12.606. Result: were both higher than the t table value 1.725 at significant level
95%. Conclusion: Provision nebulizer of combivent therapy provide greater
effectiveness in reducing airway obstruction in asthma bronchial patients at ER of
BBKPM Makassar in 2012.

Keywords: Nebulizer, Combivent, Bisolvon, Airway Patency, Asthma Bronchial

PENDAHULUAN paru utama merupakan 17,4% penyebab


Asma merupakan problem dari seluruh kematian didunia, masing-
kesehatan diseluruh dunia. Jumlah masing infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%,
penderita asma didunia saat ini tuberkolosis 3,0%, kanker paru / trakhea /
diperkirakan mencapai 235 juta orang, dan bronkhus 2,1%, dan asma 0,3%
diperkirakan dan 383.000 meninggal (http://www.suara pembaruan.com, 2008).
dunia karena asma (WHO, 2015). International Study on Asthma and
Menurut laporan organisasi kesehatan Alergies in Childhood pada tahun 2005
dunia atau WHO dalam World Health menunjukkan prevalensi gejala asma
Report 2000 menyebutkan lima penyakit melonjak dari sebesar 4,2 persen menjadi

86
Siti Lestari, Keefektifan Pemberian Nebulizer Terapi Combivent 87

5,4 persen dari seluruh penduduk benar agar tidak menyebabkan kematian.
Indonesia, artinya saat ini ada sekitar 12,5 Salah satu penatalaksanaan atau terapi
juta penderita asma di Indonesia (Dewan farmakologi pada pasien asma bronkial
Asma Indonesia / DAI 2009). adalah pemberian terapi kortikosteroid
Di Balai Besar Kesehatan Paru dan albuterol dalam bentuk inhalasi atau
Masyarakat (BBKPM) Makassar, jumlah dengan nebulizer (Widjaya, I, 2010).
penderita penyakit asma cukup tinggi. Berdasarkan penggunaannya maka obat
Tahun 2009, jumlah pasien asma bronkial asma terbagi atas dua golongan yaitu
yaitu 291 penderita. Tahun 2010 menjadi pengobatan jangka panjang untuk
292 penderita, dan pada tahun 2011 mengontrol gejala asma, dan pengobatan
terhitung dari Januari - November, total jangka cepat untuk mengatasi serangan
penderita asma bronkial sebanyak 243 akut asma. Untuk mengatasi serangan akut
penderita. Sedangkan jumlah pasien asma asma yang paling cepat biasanya
yang diberikan tindakan nebulizer diruang menggunakan larutan Nebulizer, MDI
Instalasi Gawat Darurat (IGD) BBKPM (Metered - Dose Inhaler), dan DPI (Dry -
Makassar terhitung dari bulan September Power Inhaler) (Ikawati. Z., 2011).
sebanyak 13 orang, Oktober sebanyak 17
orang, dan pada bulan November menjadi METODE PENELITIAN
25 orang. Ini menunjukkan jumlah Desain penelitian yang digunakan
penderita asma yang berkunjung diruang yaitu Quase experimental two groups
IGD BBKPM Makassar tiap bulannya pretest and posttest design. Populasi
mengalami peningkatan. Adapun terapi dalam penelitian ini adalah pasien asma
yang paling sering digunakan untuk bronkial yang ditangani diruang IGD
menangani pasien yang mengalami BBKPM Makassar provinsi Sulawesi
serangan asma bronkial yaitu Selatan. Pengambilan sampel terhadap 40
menggunakan terapi nebulizer dengan responden dilakukan dengan tekhnik
obat yang digunakan adalah Combivent purposive sampling.
0,1% 1 ML (1 MG) yang kandungannya
adalah Salbutamol dan Ipatropium HASIL PENELITIAN
Bromide dimana obat ini berfungsi untuk Responden dalam penelitian ini
melonggarkan saluran nafas dengan cara adalah 40 orang, terdiri laki-laki 18 (45
merelaksasi bronkus. Akan tetapi, %) dan perempuan 22 (55%).
Ipatropium Bromide juga mempunyai efek
samping yaitu menyebabkan mulut kering, Tabel 1. Karakteristik responden
mengantuk, dan gangguan penglihatan berdasarkan adanya peningkatan frekuensi
sehingga pemberiannya harus tepat sesuai nafas pasien asma bronkial di ruang IGD
dengan dosis yang ada. Obat yang juga BBKPM Makassar
sering digunakan yaitu Bisolvon 0,2 % 1
ML (2 MG) yang kandungannya yaitu
Bromhexine Hydrocloride yang berfungsi
untuk mengencerkan dahak.
Kecenderungan peningkatan
jumlah penderita asma yang cukup tinggi,
diperlukan pengobatan yang tepat dan
Tanda dan Gejala
No Peningkatan Frekuensi Frekuensi (f) Persent
Nafas ase (%)
1 Ada 40 100
2 Tidak Ada 0 0
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas, terlihat 3. Penggunaan Otot Bantu Pernafasan
bahwa seluruh responden (100%) pada Saat Serangan.
mengalami peningkatan frekuensi nafas
selama serangan asma bronkial. Tabel 4. Karakteristik responden
1. Adanya Wheezing berdasarkan adanya penggunaan otot
bantu pernapasan pada pasien asma
Tabel 2. Karakteristik responden bronkial di ruang IGD BBKPM Makassar
berdasarkan adanya wheezing pada pasien No Penggunaan Otot Frekuensi Persentase
asma bronkial di ruang IGD BBKPM Bantu (f) (%)
Makassar 1 Ada 39 97,5
No Tanda dan Presentase 2 Tidak Ada 1 2,5
Gejala Frekuensi (f) (%) Total 40 100
Wheezing
Berdasarkan tabel diatas, terlihat
1 Ada 40 100
2 Tidak Ada 0 0
bahwa sebagian besar responden
menggunakan otot bantu pernapasan saat
Total 40 100
mengalami serangan asma yaitu sebanyak
Berdasarkan tabel diatas, terlihat
39 responden (97,5%).
bahwa 100 % responden yang
4. Kriteria Serangan
menunjukkan adanya wheezing selama
seranan asma.
Tabel 5. Karakteristik responden
2. Batuk pada Saat Serangan
berdasarkan kriteria serangan pasien
asma bronkial di ruang IGD BBKPM
Tabel 3. Karakteristik responden
Makassar.
berdasarkan adanya batuk pada pasien
asma bronkial di ruang IGD BBKPM
Makassar.
No Batuk Frekuensi (f) Persentase (%)
No Kriteria Frekuensi Persentase
Serangan (f) (%)
1 Ada 29 72,5
2 Tidak Ada 11 27,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas, terlihat 1 Baru 20 50
bahwa sebagian besar responden 2 Lama 20 50
mengalami batuk saat terjadi serangan Total 40 100
yaitu sebanyak 29 responden (72,5 %).
Berdasarkan tabel diatas, terlihat
dari 40 orang responden, 20 orang (50%)
merupakan serangan baru dan 20
responden (50 %) merupakan asma
bronkial yang kambuh.
5. Riwayat Penyakit Lain 84,35%, dengan rata-rata selisih
skor faal paru sebanyak 16,82%.
Tabel 6. Karakteristik responden b. Distribusi Frekuensi Kelompok
berdasarkan penyakit lainnya pada pasien Perlakuan dengan Bisolvon
asma bronkial di ruang IGD BBKPM (Kelompok Kontrol)
Makassar Hasil penelitian, didapatkan
No Frekuen Persentase skor kelompok perlakuan nebulizer
Riwayat Penyakit Lain
si (f) (%)
dengan menggunakan bisolvon
1 Penyakit Paru Lain 11 27,5
2 Penyakit Jantung 2 5 sebagai berikut:
3 Hamil / Menyusui 2 5 1) Frekuensi Nafas
4 Tidak Ada 25 62,5 Dari 20 responden yang
Total 40 100 diberikan perlakuan nebulizer
Berdasarkan tabel diatas, sebagian dengan menggunakan bisolvon,
besar responden tidak mengalami penyakit didapatkan penurunan frekuensi
lain selain asma bronkial yaitu sebanyak nafas terbanyak yaitu 3 dengan 8
25 responden (62,5 %). responden (40%). Penurunan
1. Analisa univariat frekuensi nafas yang tertinggi
a. Distribusi Frekuensi Kelompok yaitu 12 dengan 1 responden
Perlakuan dengan Combivent (5%), sedangkan yang terendah 2
Hasil penelitian, didapatkan dengan 3 responden (15%).
skor kelompok perlakuan nebulizer 2) Skor Faal Paru
dengan menggunakan combivent Dari 20 responden yang
sebagai berikut: diberikan perlakuan nebulizer
1) Frekuensi Nafas dengan menggunakan bisolvon,
Dari 20 responden yang didapatkan rata-rata skor faal
diberikan perlakuan nebulizer paru sebelum perlakuan sebesar
dengan menggunakan combivent, 66,71%, rata-rata skor faal paru
didapatkan penurunan frekuensi sesudah perlakuan sebesar
nafas terbanyak yaitu 6 dengan 8 78,82%, dengan rata-rata selisih
skor faal paru sebanyak 12,11%.
responden (40%). Penurunan 2. Analisa bivariat
frekuensi nafas tertinggi yaitu 9 a. Uji Homogenitas
dengan 2 responden (10%),
sedangkan yang terendah yaitu 3 Tabel 7. Hasil uji homogenitas
dengan 1 responden (5%). berdasarkankarakteristik pasien asma
2) Skor Faal Paru bronkial di IGD BBKPM Makassar
Dari 20 responden yang
diberikan perlakuan nebulizer Levene
Karakteristik N .sig simpulan
statistik
dengan menggunakan combivent,
didapatkan rata-rata skor faal Umur 40 .139 .712 Homogen
paru sebelum perlakuan sebesar Jenis Kelamin 40 .192 .664 Homogen
67,53%, rata-rata skor faal paru Batuk 40 31.382 .000 Homogen
sesudah perlakuan sebesar Kriteria serangan 40 .395 .534 Homogen
Riwayat Penyakit 40 .052 .821 Homogen
Jenis Obat 40 2.211 .121 Homogen
Hasil analisa pada tabel terapi combivent
diatas, menunjukkan nilai Lavene a) Perbedaan frekuensi nafas
Statistik dari masing-masing
variabel >0,05. Berdasarkan analisa Tabel 8. Skor Frekuensi Nafas
tersebut maka sebaran data dari Test Mean
Selisih
Df thitung ttabel
Sig (2
Mean tailed)
masing-masing variabel adalah Pre-
homogen. test 34,7
6 20 15,601 1,7247 0,000
b. Uji Normalitas Post 28,7
- test
Uji normalitas untuk Berdasarkan hasil uji
mengetahui apakah masing-masing statistik t test untuk uji dua pihak,
variabel mempunyai sebaran didapatkan nilai t hitung
distribusi data yang normal atau sebesar15,601 lebih besar dari t
tidak (Arikunto, 2007). Uji tabel 1,7247 dalam tingkat
normalitas yang digunakan dalam kepercayaan 95%, dimana ρ
penelitian ini adalah Uji value antara skor frekuensi nafas
Kolmogorov-Smirnov dengan pretest dan posttest adalah 0,000
kriteria hasil apabila perhitungan lebih kecil dari 0,05. Apabila
nilai probabilitas >0,05, maka data nilai t hitung lebih besar atau
berdistribusi normal. Hasil uji yang sama dengan nilai t tabel maka
didapatkan adalah sebagai berikut : kesimpulannya adalah signifikan
Berdasarkan tabel diatas dan ada keefektifan penggunaan
dengan signifikansi 95%, nebulizer. Sehingga
didapatkan bahwa nilai probabilitas kesimpulannya adalah ada
dari masing-masing variabel > 0,05 perbedaan antara skor frekuensi
(ρ > 0,05). Artinya sebaran nafas pretest dan skor frekuensi
distribusi data pada masing-masing nafas posttest pada kelompok
variabel dengan kurva normal tidak perlakuan nebulizer dengan
signifikan. Kesimpulannya adalah menggunakan combivent.
data pada masing-masing variabel
b) Perbedaan faal paru (FEV1)
mempunyai sebaran distribusi yang
normal. Tabel 9. Skor Faal Paru
c. Keefektifan penggunaan nebulizer Selisih Sig (2
Test Mean Df thitung ttabel
terapi combivent dan terapi bisolvon Mean tailed)
(kelompok kontrol) terhadap
penurunan frekuensi nafas dan Pretest 67,53
16,82 20 23,08 1,72 0,000
Posttest 84,35
peningkatan faal paru (FEV1) pada
pasien asma bronkial
Berdasarkan hasil uji
1) Kelompok perlakuan nebulizer
statistik t test untuk uji dua pihak,
didapatkan nilai t hitung sebesar
23,084 lebih besar dari t tabel
1,7247 dalam tingkat
kepercayaan 95%, dimana ρ
value antara skor frekuensi nafas
pretest dan posttest adalah 0,000
lebih kecil dari 0,05. Apabila menggunakan bisolvon.
nilai t hitung lebih besar atau b) Perbedaan faal paru (FEV1)
sama dengan nilai t tabel maka
kesimpulannya adalah signifikan Tabel 11. Skor Faal Paru
dan ada keefektifan penggunaan Test Mean
Selisih
Df thitung ttabel
Sig (2
Mean tailed)
nebulizer. Sehingga Pretest 66,71
kesimpulannya adalah ada Posttest 78,82 12,11 20 12,60 1,72 0,000

perbedaan antara skor faal paru Berdasarkan hasil uji


pretest dan skor faal paru posttest statistik t test untuk uji dua pihak,
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai t hitung sebesar
nebulizer dengan menggunakan 12,606 lebih besar dari t tabel
combivent. 1,7247 dalam tingkat
2) Kelompok perlakuan nebulizer kepercayaan 95%, dimana ρ
terapi bisolvon (kelompok value antara skor frekuensi nafas
kontrol) pretest dan posttest adalah 0,000
a) Perbedaan frekuensi nafas lebih kecil dari 0,05. Apabila
nilai t hitung lebih besar atau
Tabel 10. Skor Frekuensi Nafas sama dengan nilai t tabel maka
Selisih Sig (2
Test Mean Mean Df thitung ttabel tailed)
kesimpulannya adalah signifikan
Pretest 34,40
4,25 20 7,701 1,7247 0,000
dan ada keefektifan penggunaan
Posttest 30,15
nebulizer. Sehingga
Berdasarkan hasil uji kesimpulannya adalah ada
statistik t test untuk uji dua pihak, perbedaan antara skor faal paru
didapatkan nilai t hitung sebesar pretest dan skor faal paru posttest
7,701 lebih besar dari t tabel pada kelompok perlakuan
1,7247 dalam tingkat nebulizer dengan menggunakan
kepercayaan 95%, dimana ρ bisolvon.
value antara skor frekuensi nafas d. Perbedaan Keefektifan
pretest dan posttest adalah 0,000 penggunaan nebulizer terapi
lebih kecil dari 0,05. Apabila combivent dan terapi bisolvon
nilai t hitung lebih besar atau (kelompok kontrol) terhadap
sama dengan nilai t tabel maka penurunan frekuensi nafas dan
kesimpulannya adalah signifikan peningkatan faal paru (FEV1) pada
dan ada keefektifan penggunaan pasien asma bronkial
nebulizer. Sehingga 1) Perbedaan keefektifan
kesimpulannya adalah ada penggunaan nebulizer terapi
perbedaan antara skor frekuensi combivent dan terapi bisolvon
nafas pretest dan skor frekuensi (kelompok kontrol) terhadap
nafas posttest pada kelompok frekuensi nafas pada pasien
perlakuan nebulizer dengan
asma bronkial Berdasarkan hasil uji
statistik t test untuk uji dua
Tabel 12. Perbedaan Efektifitas pihak, didapatkan nilai t hitung
Penggunaan Combivent dan Bisolvon sebesar 5,220 lebih besar dari t
terhadap Penurunan Frekuensi Nafas tabel 1,6838 dalam tingkat
Selisih Sig(2
Test Mean
Mean
Df thitung ttabel
tailed) kepercayaan 95%, dimana ρ
Combivent 6 2,86 value antara skor frekuensi
1,75 40 1,68 0,010
Bisolvon 4,25 5 nafas pretest dan posttest adalah
Berdasarkan hasil uji 0,000 lebih kecil dari 0,05.
statistik t test untuk uji dua Apabila nilai t hitung lebih
pihak, didapatkan nilai t hitung besar atau sama dengan nilai t
sebesar 2,865 lebih besar dari t tabel maka kesimpulannya
tabel 1,6838 dalam tingkat adalah signifikan dan ada
kepercayaan 95%, dimana ρ keefektifan penggunaan
value antara skor frekuensi nebulizer. Sehingga
nafas pretest dan posttest adalah kesimpulannya adalah ada
0,010 lebih kecil dari 0,05. perbedaan antara peningkatan
Apabila nilai t hitung lebih faal paru antara kelompok
besar atau sama dengan nilai t perlakuan nebulizer dengan
tabel maka kesimpulannya menggunakan combivent dan
adalah signifikan dan ada kelompok perlakuan nebulizer
keefektifan penggunaan dengan menggunakan bisolvon.
nebulizer. Sehingga e. Penggunaan nebulizer yang
kesimpulannya adalah ada memberikan keefektifan lebih besar
perbedaan antara penurunan antara penggunaan nebulizer terapi
frekuensi nafas antara combivent dan terapi bisolvon
kelompok perlakuan nebulizer terhadap peningkatan patensi jalan
dengan menggunakan nafas pada pasien asma bronkial.
combivent dan kelompok
perlakuan nebulizer dengan Tabel 13. Perbandingan antara t hitung
menggunakan bisolvon. Kelompok Perlakuan Nebulizer dengan
2) Perbedaan keefektifan Combivent dan Nebulizer dengan
penggunaan nebulizer terapi Bisolvon
thitung
combivent dan terapi bisolvon Perlakuan
Frekuensi Nafas Faal Paru
(kelompok kontrol) terhadap Combivent 15,601 23,083
Bisolvon 7,701 12,606
faal paru (FEV1) pada pasien
asma bronkial Dari nilai t hitung kedua
kelompok perlakuan di atas,
Tabel 12. Perbedaan Efektifitas didapatkan nilai t hitung frekuensi
Penggunaan Combivent dan Bisolvon nafas dan faal paru pada kelompok
terhadap Peningkatan Faal Paru perlakuan nebulizer dengan
Test Mean
Selisih
Df thitung ttabel
Sig (2 menggunakan combivent lebih besar
Mean tailed)
Combivent 16,82 1,683
dari kelompok perlakuan nebulizer
Bisolvon 12,11 4,71 40 5,220 8 0,000 dengan menggunakan bisolvon
(15,601> 7,701/23,083>12,606). faktor resiko dari serangan asma,
Kesimpulannya adalah pemberian dimana jenis kelamin pria
nebulizer terapi combivent dan merupakan faktor resiko asma
terapi bisolvon efektif tehadap pada anak-anak. Pada anak
patensi jalan nafas pada pasien asma dibawah usia 14 tahun, prevalensi
bronkial asma pada anak laki-laki hampir
dua kali lipat dari anak perempuan.
PEMBAHASAN Namun demikian, pada usia
1. Karakteristik penderita asma bronkial dewasa kejadian asma lebih bnyak
di IGD BBKPM Makassar pada wanita daripada pada pria.
a. Kelompok umur Belum diketahui penyebab
Berdasarkan penelitian yang perbedaan akibat jenis kelamin ini.
telah dilakukan pada 40 Diduga, ini terjadi karena ukuran
responden, maka didapatkan paru/ saluran nafas pada pria lebih
jumlah penderita asma bronkial kecil daripada wanita saat kanak-
terbanyak adalah responden kanak, tetapi menjadi lebih besar
berusia 41 - 45 tahun dan 46 - 50 pada usia dewasa (Ikawati, 2011).
tahun berjumlah 7 orang (17,5%). c. Peningkatan frekuensi nafas
Ini menunjukkan bahwa asma Berdasarkan penelitian yang
lebih banyak ditemukan pada usia telah dilakukan pada 40 responden,
dewasa. Separuh dari semua kasus maka terlihat bahwa responden yang
asma berkembang sejak masa mengalami peningkatan frekuensi
kanak-kanak, sepertiganya pada nafas selama serangan asma
masa dewasa umur 40 tahun. Ini bronkial sebanyak 40 responden
terjadi karena pada anak-anak (100%). Ini sesuai dengan Saryono
lebih mudah terpapar allergen. (2009) bahwa pada asma, diameter
Sedangkan masa usia dewasa, bronchiolus akan berkurang selama
serangan asma pada umumnya ekspirasi dari pada selama inspirasi.
terjadi karena faktor lingkungan, Ini terjadi karena adanya
seperti asap rokok, polusi udara, peningkatan tekanan dalam paru
stress, lingkungan kerja maupun selama ekspirasi paksa menekan
karena olahraga. Namun demikian, bagian luar bronchiolus. Karena
asma dapat dimulai dari segala bronchiolus sudah tersumbat
usia, mempengaruhi pria dan sebagian, maka sumbatan
wanita tanpa kecuali, dan bisa selanjutnya adalah akibat dari
terjadi pada setiap orang pada eksternal yang menimbulkan
segala etnis (Ikawati, 2011). obstruksi berat terutama selama
b. Jenis kelamin ekspirasi. Pada penderita asma
Berdasarkan penelitian yang biasanya akan dapat melakukan
telah dilakukan pada 40 ekspirasi dengan baik dan adekuat,
responden, maka didapatkan tetapi sekali-kali melakukan
bahwa responden berjenis kelamin ekspirasi. Hal ini akan menyebabkan
perempuan sebanyak 22 responden terjadinya dispnea. Kapasitas residu
(55 %). Jenis kelamin merupakan fungsional dan volume residu paru
menjadi sangat meningkat selama mengalami batuk saat terjadi
serangan asma akibat kesulitan serangan yaitu sebanyak 29
mengeluarkan udara ekspirasi dari responden (72,5%). Ini terjadi
paru. Rahmawati (2009), dampak karena adanya penyumbatan saluran
adanya hambatan pada jalan nafas nafas oleh mukus yang disebabkan
akan menimbulkan dampak pada karena terjadinya perubahan tingkat
sistem-sistem tubuh yaitu adanya hiperplasia kalenjer submukosa pada
peningkatan frekuensi nafas, susah saluran nafas (Soemantri, 2009).
bernafas, periode inspirasi agak Kementrian Kesehatan (2017) dan
pendek dan periode ekspirasi yang Black dan Hawks, 2014, serangan
panjang. asma ditandai dengan adanya batuk-
d. Adanya wheezing batuk berkala yang terjadi karena
Berdasarkan penelitian yang iritasi mukosa yang kental dan
telah dilakukan pada 40 responden, mengumpul. Ini ditandai dengan
maka terlihat bahwa responden yang batuk disertai mukus yang jernih
menunjukkan adanya wheezing dan berbusa.
sebanyak 40 responden (100 %). f. Penggunaan otot bantu pernafasan
Hal ini sesuai dengan Soemantri Berdasarkan penelitian yang
(2009), bahwa mengi merupakan telah dilakukan pada 40 responden,
gejala khas dan harus ada. Ini sebagian besar responden
disebabkan karena terjadinya edema menggunakan otot bantu pernapasan
mukosa dan pembengkakan bronkus saat mengalami serangan asma yaitu
yang semakin menambah sebanyak 39 responden (97,5%). Ini
menyempitnya saluran nafas dijelaskan Rahmawati (2009), Pada
sehingga akan terasa sesak, berusaha penderita asma terjadi peningkatan
untuk bernafas dalam, dan ekspirasi pemendekan otot polos bronkus saat
yang memanjang (Barbara C.L, isotonik. Perubahan fungsi kontraksi
2000). Pada keadaan serangan asma, mungkin disebabkan oleh perubahan
kontraksi otot polos saluran nafas, aparatus kontraksi.
edema, dan hipersekresi dapat g. Kriteria serangan
menyumbat saluran nafas. Maka Berdasarkan penelitian yang
sebagai kompensasi penderita telah dilakukan pada 40 responden,
bernafas pada volume paru yang 20 responden (50%) merupakan
lebih besar untuk mengatasi serangan baru dan 20 responden
menutupnya saluran pernafasan. Hal (50%) merupakan asma bronkial
itu meningkatkan kerja pernafasan. yang kambuh. Ini sesuai dengan
Hiperresponsivitas saluran nafas dan Ikawati (2011), bahwa serangan
menimbulkan tanda klinis berupa asma bronkial terjadi karena dua
sesak nafas, mengi dan hiperinflasi faktor. Yang pertama faktor
(Ikawati, 2011). ekstrinsik yaitu disebabkan karena
e. Batuk pada saat serangan menghirup allergen yang biasanya
Berdasarkan penelitian yang terjadi pada anak-anak yang
telah dilakukan pada 40 responden, memiliki keluarga dengan riwayat
sebagian besar responden penyakit alergi. Tipe ini yang akan
kambuh tiap kali terpapar oleh Hal ini sesuai dengan yang
alergen. Sedangkan yang kedua dikemukakan Khairiyaf, O.C &
adalah faktor ekstrinsik yaitu Yusrizal, F. (2002) dalam
mengacu pada faktor diluar penelitiannya, bahwa pengobatan
mekanisme imunitas dan umumnya pasien asma bronkial lebih efektif
dijumpai pada usia dewasa. Faktor menggunakan nebulisasi dari pada
ini meliputi stress, olahraga, menggunakan terbutalin sub kutan.
aktifitas yang berat serta obat- Didukung dengan teori bahwa
obatan. pemberian nebulizer pada pasien
h. Riwayat penyakit lain asma bronkial menimbulkan
Berdasarkan penelitian yang medikasi langsung pada tempat /
telah dilakukan pada 40 responden, sasaran aksinya (seperti paru),
sebagian besar responden tidak pengiriman obat ke paru sangat cepat,
mengalami penyakit lain selain sehingga aksinya lebih cepat daripada
asma bronkial yaitu sebanyak 25 rute lainnya seperti subkutan atau
responden (62,5%). Ini sesuai oral, serta dosis yang rendah dapat
dengan Ikawati (2011), sebagian menurunkan absorbsi sistemik dan
besar penderita asma disebabkan efek samping sistemik (Ikawati,
oleh adanya riwayat alergi, yaitu 2011).
80%. 3. Analisa bivariat
2. Analisa univariat Berdasarkan hasil analisa data
Untuk mengetahui keefektifan mengenai perbedaan keefektifan
penggunaan nebulizer terapi penggunaan nebulizer terapi
combivent dan terapi bisolvon combivent dan terapi bisolvon
(kelompok kontrol) terhadap (kelompok kontrol) terhadap
penurunan frekuensi nafas dan penurunan frekuensi nafas dan
peningkatan faal paru (FEV1) pada peningkatan faal paru (FEV1) pada
pasien asma bronkial pasien asma bronkial didapatkan
Berdasarkan hasil analisa data signifikan atau ada perbedaan
mengenai keefektifan penggunaan penurunan frekuensi nafas dan
nebulizer terhadap penurunan peningkatan faal paru (FEV1) antara
frekuensi nafas dan peningkatan faal kelompok perlakuan nebulizer terapi
paru (FEV1) pada dua kelompok combivent dan terapi bisolvon
responden pasien asma bronkial, yaitu (kelompok kontrol). Dan didapatkan
kelompok perlakuan nebulizer terapi data:
combivent dan kelompok perlakuan a. Penurunan frekuensi nafas lebih
nebulizer terapi bisolvon (kelompok besar terjadi pada kelompok
kontrol), didapatkan bahwa signifikan perlakuan nebulizer terapi
atau ada perbedaan skor frekuensi combivent, yaitu dengan
nafas dan perbedaan skor peningkatan penurunan rata-rata skor sebesar
nilai faal paru (FEV1) antara skor 15,601 sedangkan pada kelompok
pretest dan skor posttest pada kedua perlakuan nebulizer terapi bisolvon
kelompok. didapatkan dengan penurunan rata-
rata skor 7,701
b. Peningkatan faal paru (FEV1) lebih umumnya akan menghasilkan perbaikan
besar terjadi pada kelompok pada fungsi paru 10 - 15 % lebih tinggi
perlakuan nebulizer terapi dibandingkan hanya menggunakan agonis
combivent, yaitu dengan β-2 adrenergik saja. Kombinasi agonis β2
peningkatan rata-rata skor sebesar adrenergik dan anti kolinergik bekerja
23,083% sedangkan pada dengan mengaktifasi adenilet siklase
kelompok perlakuan nebulizer sehingga meningkatkan kadar siklik AMP
terapi bisolvon didapatkan dengan intrasel dan merelaksasi otot polos
peningkatan rata-rata 12,606 % bronkus sehingga melonggarkan jalan
Hal ini sesuai dengan teori bahwa nafas pada serangan asma (Ikawati, 2011).
penambahan ipratropium bromida
umumnya menghasilkan perbaikan DAFTAR RUJUKAN
pada fungsi paru 10-15 % lebih tinggi Barbara, C. (2000). Perawatan Medikal
dibandingkan hanya menggunakan Bedah. Bandung : Yayasan IAPK
agonis β-2 adrenergik saja. Kombinasi Padjajaran. Hidayat, A.A.A
agonis β2 adrenergik dan anti (2007). Metode Penelitian
kolinergik bekerja dengan Keperawatan dan Teknik Analisa
mengaktifasi adenilet siklase sehingga Data . Jakarta : Salemba Medika
meningkatkan kadar siklik AMP Black, Joyce M dan Hawks, Jane
intrasel dan merelaksasi otot polos Hokakson (2014). Medical Surgical
bronkus sehingga melonggarkan jalan Nursing: Clinical Management for
nafas pada serangan asma (Ikawati, positive outcomes, eight edition.
2011). USA Saunders : Elsevier
Ikawati, Z. (2011). Penyakit Sistem
KESIMPULAN DAN SARAN Pernafasan dan Tata Laksana
Penggunaan nebulizer yang Terapinya. Yogyakarta : Bursa Ilmu
memberikan keefektifan lebih besar antara Ikawati, Z. (2011). Uji Funsi Paru-Paru
penggunaan nebulizer terapi combivent Tersedia di
dan terapi bisolvon terhadap peningkatan http://zuliesikawati.staff.ugm.ac.id,
patensi jalan nafas pada pasien asma retrieved 12 Januari 2012
bronkial Kartikawati, D. (2011). Buku Ajar
Berdasarkan hasil analisa data Keperawatan Gawat Darurat.
mengenai penggunaan nebulizer yang Jakarta : Salemba Medika
memberikan keefektifan lebih besar Khairiyaf, O.C & Yusrizal, F. (2002).
terhadap frekuensi nafas dan peningkatan Perbandinan Efek Terbutalin Sub-
faal paru (FEV1) pada pasien asma kutan dengan Nebulisasi pada Asma
bronkial didapatkan bahwa kelompok di Unit IGD RSUP Dr Muh Jamil
perlakuan nebulizer terapi combivent Padang “Tersedia di
memberikan efektifitas yang lebih besar http://www.webcache.googleuserco
dalam menurunkan obstruksi jalan nafas ntent.com. Retrieved 19 Desember
(frekuensi nafas dan faal paru / FEV1) 2011.
pada pasien asma bronkial. Kementerian kesehatan Republik
Hasil ini sesuai dengan teori bahwa Indonesia (2017).
penambahan ipratropium bromida http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/subdit-penyakit-paru-
kronik- dan-gangguan-
imunologi/asma- bronkial-faq
Saryono. (2009). Biokimia Respirasi.
Yogyakarta: Nuha Medika
Setyawan, B. (2011). Kefektifan
Penggunaan Nebulizer selama 20
Menit terhadap Penurunan
Obstruksi Jalan Nafas pada Pasien
Asma Bronchiale di Ruan IGD RSD
Mardi Waluyo Kota Blitar”. Skripsi
pada Program D-IV Keperawatan
Gawat Darurat, Poltekkes Surakarta
(Tidak Dipublikasikan).
Sibuaahe, W.H; Panggabean, M.M. &
Gultom, S.P. (2005). Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Rineka Cipta.
Sumantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan
Pasien dengan Ganguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba
Medika.
Wijaya, I. (2010). Buku Pintar Atasi
Asma . Yogyakarta: Pinang Merah
WHO, (2015) https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/asthm

You might also like