You are on page 1of 13

Menyoal Eksistensi Pemerintahan Nagari Di Provinsi Sumatera Barat

Desna Aromatica, Heru Nurasa, Ida Widianingsih, Entang Adhy Muhtar


Universitas Padjajaran
desnaaromatica@gmail.com

Abstract
Government Nagari is the leading government in the region of West Sumatra Province, which
was held back in 2001. The Government of Nagari has a long history in its implementation. The
government that had existed before this independent Indonesia had once been removed as part of
the system of state administration and was replaced with a Village Government by Law No. 5 of
1979 concerning Village Government. The enactment of the Law on Regional Government in
1999 became the momentum of the change in the Village Government to be re-established with
the Government Nagari in West Sumatra. The hope built on this government is the creation of a
government that is in accordance with the characteristics of the communal West Sumatra
community. As long as the reorganization of the Nagari Government, it turned out that various
institutional problems arose related to its existence as a government institution. Using a
qualitative approach, the results of the study show that the hybrid system designed by the
Central Government has been the originator of various institutional problems that emerged
throughout the administration of the Nagari Government. The birth of Law No. 6 of 2014
concerning Villages, which gave rights to the regions to choose whether to be a Village or
Customary Village with other names added to the long list of intricate problems of institutional
governance of the Nagari. The Nagari government needs to be a government institution that
combines with appropriate indigenous values into the body of public administration through
appropriate institutional adaptation.
Keywords: Government; Institutional; Nagari
Abstrak
Pemerintahan Nagari adalah Pemerintahan terdepan di wilayah Provinsi Sumatera Barat, yang
diselenggarakan kembali pada tahun 2001. Pemerintahan Nagari memiliki sejarah panjang dalam
penyelenggaraannya. Pemerintahan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka ini telah pernah
dihilangkan sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara dan diganti dengan Pemerintahan
Desa oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Diberlakukannya
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 menjadi momentum perubahan
Pemerintahan Desa menjadi kembali berPemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Harapan yang
dibangun terhadap pemerintahan ini adalah terciptanya pemerintahan yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat Sumatera Barat yang komunal. Sepanjang penyelenggaraan kembali
Pemerintahan Nagari, ternyata muncul berbagai persoalan kelembagaan terkait eksistensinya
sebagai lembaga pemerintahan. Menggunakan pendekatan kualitatif, hasil penelitian
menunjukkan bahwa hybrid sistem yang didesain oleh Pemerintah Pusat telah menjadi pencetus
berbagai persoalan kelembagaan yang muncul sepanjang penyelenggaraan Pemerintahan Nagari.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan hak pada daerah
untuk memilih apakah menjadi Desa atau Desa Adat dengan nama lain menambah daftar panjang
ruwetnya persoalan kelembagaan Pemerintahan Nagari. Pemerintah Nagari perlu menjadi
lembaga Pemerintahan yang memadukan dengan sesuai indigenous value ke dalam tubuh
administrasi publik melalui adaptasi kelembagaan yang tepat.
Kata kunci: Kelembagaan; Nagari; Pemerintahan

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 49


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

I. PENDAHULUAN
Luas dan beragamnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
kemajemukan dan keanekaragaman corak suku bangsa dan adat istiadatnya membuat pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menjadi beragam. Keberagaman terlihat dari bentuk
dan susunan pada pemerintahan terdepan yaitu Pemerintahan Desa. Pengakuan negara atas
keberagaman ini bermula sejak lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999, hingga
pemberlakuan tersendiri Undang-Undang yang mengatur khusus tentang Desa yaitu Undang-
Undang Nomor 6 tahun 2014.
Masyarakat Sumatera Barat merupakan salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Masyarakat Adat ada
jauh sebelum Indonesia Merdeka. Masyarakat adat mengembangkan lembaga dan tata kelolanya
berdasarkan kreasi sendiri dan mengelola sistem kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat yang
melembaga dari kebiasaan yang dikembangkan sendiri (indigenous people) (Nurcholis, 2017).
Kebiasaan yang dikembangkan sendiri dalam masyarakat adat kemudian menjadi konsensus dan
lahirlah sistem Adat yang berbeda di setiap Nagari. Perbedaan ini menimbulkan istilah Adaik
salingka Nagari dimana adat berlaku di satu Nagari akan berbeda di Nagari lainnya.
Peluang otonomi desa yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, hingga Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 yang mengatur khusus
tentang Desa, telah menjadi dasar berubahnya sistem pemerintahan desa di Sumatera Barat untuk
kembali menjadi Pemerintahan Nagari. Nagari merupakan “unit terbesar dari kumpulan orang-
orang di Minangkabau yang merupakan cerminan pola hidup dan kehidupan masyarakat” (Basri
& Moehar, 2008). Menjadi salah satu prioritas pembangunan/nawacita dengan memperkuat
Indonesia dari pinggir, Nagari dan berbagai persoalannya menjadi isu yang menarik dan diminati
banyak pihak untuk terus diteliti dari berbagai perspektif, terutama soal penyelenggaraan
pemerintahannya.
Keputusan Provinsi Sumatera Barat untuk kembali pada bentuk Pemerintahan Nagari
didasarkan atas harapan dapat terwujudnya efektifitas penyelenggaraan pemerintahan,
meningkatnya kesejahteraan, meningkatnya kualitas pelayan publik, tata kelola, dan daya saing
Nagari sesuai yang diinginkan pasal 7 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Ada keunggulan dari pola Pemerintahan Nagari yang dinilai dapat menjadi modal besar
bagi Pemerintahan Nagari dalam menjalankan dan mencapai tujuan pembangunan. Modal
pembangunan tersebut adalah anak Nagari, pemerintahan suku, sifat orang minang dan syarat
Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 50
DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

Nagari (Basri & Moehar, 2008). Pemanfaatan modal yang dimiliki Nagari akan menjadikan
tingginya partisipasi dan kemandirian masyarakat Nagari.
Sepanjang penyelenggaraan Pemerintahan Nagari di bawah Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, hingga
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari,
berbagai persoalan muncul. Telah berlangsung selama 15 tahun, Pemerintahan Nagari awalnya
dihadirkan kembali karena dipandang paling tepat untuk mewujudkan demokrasi, partisipasi
masyarakat, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya kualitas pelayan publik, tata
kelola dan daya saing Nagari. Hal ini sesuai yang diinginkan pasal 7 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang membawa
sejumlah perbaikan terhadap pengaturan Desa, yang direspon oleh pemerintah Provinsi Sumatera
Barat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018
Tentang Nagari, juga tidak luput dari polemik. Hal tersebut berkaitan soal pengaturan
kelembagaan Nagari sebagai Desa adat yang dinilai masih belum mengadopsi dengan tepat
indigenous value. Peraturan Daerah ini ketika masih menjadi rancangan dan akan disahkan
dianggap melemahkan fungsi adat terkait keanggotaan Kerapatan Adat Nagari yang tidak
sepenuhnya beranggotakan elit adat (niniak mamak) (Ismanto, 2018).
Kelembagaan Pemerintah adalah salah satu aspek administrasi publik yang sangat penting.
Problem dalam kelembagaan yang sangat menonjol dalam praktik administrasi publik di
Indonesia umumnya terletak pada rendahnya kualitas lembaga pemerintah. Rendahnya kualitas
lembaga pemerintah tentu akan berimbas pada tidak tercapainya dengan maksimal berbagai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Dwiyanto, 2015). Kondisi tersebut akan menjadi salah
satu pemicu lahirnya persoalan-persoalan kelembagaan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk Pemerintahan Nagari.
Berbagai persoalan kelembagaan yang terjadi sepanjang penyelenggaraan Pemerintahan
Nagari diantaranya soal hubungan kelembagaan Pemerintahan Nagari yang tidak efektif
(Zulmasyhur, 2012). Peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang tumpang tindih dengan lembaga
lainnya yang ada di Nagari (Astuti, Lala, & Nirmala, 2009). Persoalan sumber daya manusia
Pemerintah Nagari (Effendi, 2013). Kelembagaan adalah keyakinan, paradigma, kode, budaya
dan pengetahuan yang mendukung aturan dan kebiasaan (Frederickson, 2012).

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 51


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

Persoalan kelembagaan tidak hanya soal bagaimana menata bangun struktur organisasi,
namun terkait Persoalan yang lebih mendasar yaitu soal nilai yang diadopsi ke dalam organisasi.
Persoalan yang terjadi dalam tubuh organisasi akan menyebabkan sulitnya organisasi mencapai
tujuan. Organisasi yang terselenggara dengan baik dan berhasil mencapai tujuan adalah
organisasi yang tidak hanya memerlukan struktur organisasi yang tepat, namun memiliki pondasi
organisasi yang kuat. Pondasi organisasi yang kuat terbentuk dengan membangun kelembagaan
yang tepat dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan lingkungan di sekitar organisasi.
Lembaga adalah jenis struktur yang paling penting di dunia sosial. Lembaga membentuk bidang
kehidupan sosial. Meningkatnya pengakuan peran lembaga dalam kehidupan sosial melibatkan
pengakuan bahwa interaksi dan aktivitas manusia banyak terstruktur dalam peraturan
terbuka/implisit (Hodges, 2006).
Kelembagaan adalah pondasi bagi organisasi dalam mencapai tujuannya, dimana
kelembagaan yang menguatkan organisasi perlu memiliki tiga pilar kelembagaan yang terdiri
dari regulatif, normative dan culture cognitif (Scott, 2014). Membangun nilai organisasi dalam
hal ini Pemerintah Nagari dengan mengadopsi indigenous value yang masih hidup di Nagari,
adalah faktor penentu berhasilnya tujuan penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. Pengadopsian
indigenous value akan terlihat pada pilar regulative dari sebuah lembaga. Regulasi yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat Nagari akan terlihat ketika aspek normative dan
culture cognitive dikaji. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan banyak pihak terkait
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari hanya bergerak pada tataran organisasi, dengan berbagai
elemennya seperti kewenangan dan sumberdaya manusia. Penelitian ini melihat lebih dalam dan
lebih mendasar bahwa persoalan penyelenggaraan Pemerintahan Nagari yang terjadi didalam
organisasi lebih dari sekedar persoalan struktur organisasi.
Tulisan ini akan menyibak eksistensi Pemerintahan Nagari dari pilar normative. Culture
cognitif bicara soal bagaimana anggota organisasi (individu) berperilaku terhadap
lingkungannya. Perilaku ini dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap lingkungan organisasinya
yang berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Persoalan kelembagaan
Pemerintahan Nagari adalah soal kelembagaan yang dijalankan dengan regulasi yang perlu
disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Regulasi yang baik atau tepat dalam menata Pemerintahan Nagari adalah regulasi yang
lahir atas produksi yang sesuai dengan pilar normative. Saat ini regulasi yang mengatur tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari telah ada, yaitu Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018
Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 52
DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

tentang Nagari. Maka pilar normative dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan terhadap
rumusan Peraturan Daerah yang akan dibuat. Untuk itu pada kesempatan ini yang menjadi pokok
penting dalam tulisan ini adalah pondasi pilar normatif dari kelembagaan Pemerintahan Nagari.

II. METODOLOGI PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Pilihan metode ini dengan alasan
peneliti mengungkap fakta dibalik fenomena kelembagaan Pemerintahan Nagari dimana peneliti
merupakan instrumen utama penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah lembaga yaitu
Pemerintah Nagari di Kabupaten Solok. Nagari yang dipilih berdasarkan Indeks Desa
Membangun (IDM) sesuai Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 030 Tahun 2016 Tentang Status dan Kemandirian
Desa.
Penelitian dilakukan pada 4 Nagari yaitu Nagari Maju, Nagari Berkembang, Nagari
Tertinggal dan Nagari Sangat Tertinggal. Nagari yang menjadi lokasi penelitian adalah Nagari
Koto Baru di Kecamatan Kubung, Nagari Batang Barus di Kecamatan Gunung Talang, Nagari
Lolo di Kecamatan Pantai Cermin, Nagari Labuah Panjang di Kecamatan X Koto Diatas.
Informan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik purposive. Adapun
Teknik Pengumpulan Data adalah melalui wawancara, dokumentasi, dan observasi. Analisa data
dilakukan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem normatif mencakup nilai dan norma. Nilai adalah konsepsi yg disukai atau
diinginkan bersamaan dengan pembangunan standar dimana struktur atau perilaku yang ada
dapat dibandingkan dan dinilai (Scott, 2014). Norma menentukan bagaimana segala sesuatu
harus dilakukan. Sistem normatif tidak hanya menentukan tujuan atau sasaran, tetapi juga
menentukan cara yang tepat untuk menerapkan, yaitu bagaimana sesuatu dijalankan. Pilar
normative dianalisa melalui enam elemen yaitu:

Basis of Compliance

Pada Pilar normatif, elemen dasar kepatuhan dilihat dari indikator Social Obligation yang
timbul pada setiap anggota organisasi. Setiap individu yang menjadi anggota organisasi dalam
hal ini tidak hanya Pemerintah Nagari, tetapi juga masyarakat Nagari seperti elit adat, hendaknya

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 53


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

memiliki dan merasa bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Nagari adalah social obligation.
Ketika social obligation tidak hadir dalam kehidupan Pemerintahan Nagari dan masyarakat
Nagari, maka bisa jadi pertanyaan yang muncul adalah, apakah regulasi yang mengatur
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari telah sesuai dengan nilai dan norma yang dianut
masyarakat Nagari yang notabene merupakan masyarakat adat. Soal tumbuh tidaknya social
obligation terkait nilai dan norma yang berlaku di tengah Pemerintahan Nagari, dapat dilihat dari
persoalan-persoalan yang muncul sepanjang penyelenggaraan Pemerintahan Nagari.
Kembali kepada Pemerintahan Nagari adalah sebuah kondisi yang diharapkan oleh elit
adat namun tidak semua masyarakat Nagari memahami esensi pentingnya kembali ke
Pemerintahan Nagari. Hal ini timbul karena sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6
tahun 2014 tentang Desa, Pemerintahan Nagari dijalankan dengan sistem yang tidak jauh
berbeda dengan Desa. Pergantian nomenklatur Desa ke Nagari tidak disertai dengan
pengembalian otonomi asli yang dimiliki oleh Nagari. Sebagai sebuah entitas yang memiliki hak
asal-usul yang bersifat istimewa, eksistensi Pemerintahan Nagari seolah-olah hanya
perpanjangan tangan pemerintah. Sehingga esensi kembali ke Nagari tidak dirasakan sebagai
sebuah keadaan yang sungguh berbeda dengan tetap berpemerintahan Desa.
Setelah berlakunya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah
Provinsi baru bisa melahirkan Peraturan Daerah tentang Nagari pada tahun 2018. Tarik ulur
pengesahan Peraturan Daerah ini karena ada hal yang dianggap oleh Pemerintah Pusat
bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan negara. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari pada akhirnya menguatkan kedudukan Pemerintahan
Nagari sebagai Desa Adat dengan nama lain. Peraturan Daerah ini sedemikian rupa mengadopsi
sejumlah indigenous value yang menjadi karakter penting sebagai ciri dari sebuah pemerintahan
adat. Mulai dari penamaan perangkat Nagari yang mengikuti penamaan pemerintahan adat.
Contoh untuk Wali Nagari bisa disebut juga Kapalo Nagari yang merupakan seorang pemimpin
di Nagari.
Perangkat Nagari seperti Kepala Seksi diganti sesuai dengan penamaan jabatan pada saat
pemerintahan adat yaitu dikenal jabatan sebagai Manti Nagari dan Dubalang Nagari. Manti
bertugas membantu Kapalo Nagari dalam pelaksanaan urusan surat menyurat dan pembuatan
laporan kinerja Nagari. Dubalang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban Nagari. Apabila
pergantian nomenklatur ini diikuti dengan pengembalian fungsi atas jabatan tersebut
sebagaimana fungsinya dalam pemerintahan adat, maka dasar kepatuhan akan terwujud. Namun
Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 54
DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

hal ini akan menjadi persoalan baru terkait pemilihan siapa yang berhak dan dapat duduk pada
jabatan tersebut akan melahirkan konflik baru. Apabila pemilihan diserahkan pada mekanisme
adat maka hanya akan ada orang yang berhak, sementara orang yang dapat duduk dijabatan itu
akan terpinggirkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme pemilihan adat akan menghapus kesempatan
bagi orang-orang yang tidak memiliki hak dalam adat untuk menempati jabatan tersebut.
Mekanisme adat dari setiap Nagari yang menjadi lokasi penelitian memiliki mekanisme adat
yang serupa. Setiap suku dalam Nagari telah memiliki penghulu, malin, manti dan dubalang
yang dikenal sebagai empat jenis, yang gelarnya tidak dapat diturunkan pada siapa saja. Maka
social obligation akan nampak pada penduduk asli Nagari dan bisa saja berkurang pada
masyarakat pendatang. Hal ini disebabkan karena Penguatan Nagari sebagai Desa Adat dengan
nama lain melalui Peraturan Daerah tentang Nagari Nomor 7 tahun 2018 tidak serta merta
mendapat dukungan penuh. Ada kekhawatiran dari beberapa kalangan bahwa menjadi Desa Adat
justru membawa penyelenggaraan Pemerintahan Nagari mundur dalam hal demokrasi. Pro
kontra yang timbul dapat menyebabkan lemahnya elemen basis of compliance.

Basis of Order

Binding expectation menjadi dasar perintah bagi anggota organisasi dalam berperilaku
pada penyelenggaraan pemerintahan di Nagari. Nilai dan norma yang sesuai dengan apa yang
diinginkan, diyakini akan menjadi dasar kepatuhan bagi anggota organisasi dalam mematuhi
nilai dan norma yang ada. Pemerintahan Nagari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, tidak mampu menghadirkan binding expectation sebagai basis of
order dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari.
Hal ini karena meskipun Pemerintahan Nagari adalah sebuah pemerintahan yang
mengatur masyarakat hukum adat, namun pada waktu yang sama pemerintahan ini adalah bagian
dari sistem penyelenggaraan negara. Pada prinsipnya penyelenggaraan Desa atau Desa Adat
tentu tetap didasarkan pada prinsip pengaturan Desa pada pasal 3 Undang-Undang nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, yaitu berasaskan 1) rekognisi, 2) subsidiaritas, 3) keberagaman, 4)
kebersamaan, 5) kegotongroyongan, 6) kekeluargaan, 7) musyawarah, 8) demokrasi, 9)
kemandirian, 10) partisipasi, 11) kesetaraan, 12) pemberdayaan dan 13) keberlanjutan.

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 55


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

Pemerintahan Nagari yang dihadirkan kembali dipandang sebagai sebuah pemerintahan


yang efektif. Akan tetapi penyelenggaraan pemerintahan dengan memadukan antara adat dan
administrasi publik telah menyebabkan Pemerintahan Nagari sama saja dengan Pemerintahan
Desa. Hybrid system yang berat sebelah ini membuat Pemerintahan Nagari tetap saja berjiwa
desa. Porsi administrasi publik dengan pengaturan-pengaturan administrasi modern justru
mengaburkan esensi kembali ke Nagari.
Kehadiran Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari ini diharapkan
memenuhi lebih banyak harapan terhadap Pemerintahan Nagari, dibandingkan pengaturan
Pemerintahan Nagari oleh Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 yang mengatur tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. Kehadiran kebijakan ini sebenarnya jika dianalisa
berpotensi menimbulkan konflik. Apabila Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tetap
menjadikan Nagari berjiwa Desa, maka Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 ini di satu sisi
telah memenuhi harapan pihak yang ingin Pemerintahan Nagari berjiwa Nagari.
Di sisi lain peraturan ini berpotensi dalam implementasinya berbeda dengan prinsip
pengaturan desa yang ada dalam Undang-Undang. Inilah yang menjadi penyebab Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari ini menimbulkan polemik, karena substansinya
apabila dikaji sama dengan membuat wajah Nagari berjiwa desa. Kerapatan Adat Nagari (KAN)
secara adat adalah beranggotakan tokoh adat (niniak mamak) dari berbagai suku yang ada di
Nagari. Sementara dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 pada pasal 6 ayat 2 dituliskan
bahwa keanggotaan Kerapatan Adat Nagari (KAN) terdiri dari perwakilan niniak mamak dan
unsur alim ulama Nagari, bundo kanduang, cadiak pandai dan parik paga/pemuda dalam Nagari.
Apabila binding expectation tidak terwujud, maka basis of order lemah.

Mechanism

Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari tidak sepenuhnya dapat berpegang teguh pada nilai
dan norma yang dianut oleh masyarakat hukum adat. Hal ini karena Pemerintahan Nagari
merupakan bagian dari sistem pemerintahan di Indonesia yang harus taat pada prinsip
penyelenggaraan negara. Pengakuan negara terhadap kekhasan Pemerintahan Nagari ini dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 sebenarnya dalam pasal 3 telah diikat dalam berbagai
azas penyelenggaraan pemerintahan. Azas rekognisi (pengakuan terhadap hak asal-usul),
keberagaman, kebersamaan, nyatanya di Nagari bertentangan dengan azas kesetaraan yang

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 56


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

mengusung kesamaan kedudukan dan peran. Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari juga


didasarkan atas azas demokrasi, namun karena keunikannya, Nagari memiliki sistem demokrasi
sendiri yang berbeda dengan demokrasi yang dianut negara. Kebebasan ini adalah kebebasan
bersyarat bukan kebebasan absolute atau mutlak. Artinya self local community diakui selama
tidak bertentangan dengan pengaturan dalam konteks self local government dan sesuai dengan
prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang dimuat dalam pasal 3 Undang-Undang Desa
Nomor 6 Tahun 2014.
Nilai-nilai tradisional yang sulit beradaptasi dengan nilai modern akhirnya menjadi belitan
persoalan yang menggoyahkan kekuatan pemerintah Nagari sebagai lembaga. Perpaduan Nagari
adat asli dan administrasi publik yang manajemennya dijalankan secara modern melahirkan
praktik berlembaga yang unik di Nagari. Nilai-nilai tradisional dalam masyarakat adat yang
diadopsi ke dalam lembaga Pemerintahan Nagari tidak seluruhnya diterapkan. Nilai-nilai ini
bertemu dengan nilai administrasi publik menjadi nilai adaptasi. Nilai adaptasi ini diterapkan
dalam pemerintahan sehingga timbul istilah hybrid sistem. Meskipun Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2018 tentang Nagari adalah kebijakan yang menguatkan Pemerintahan Nagari sebagai
Desa Adat dengan nama lain, namun pasal-pasal dalam pengaturan Nagari dan kelembagaannya
merupakan nilai adaptasi.

Logic

Pilar normatif melihat elemen logika dari Appropriateness. Pilar normatif melihat
keberadaan lembaga dalam sebuah komunitas dilihat dari kelayakan, kepatutan dan kepantasan
keberadaan lembaga tersebut. Kelayakan ini perlu dilihat dari dua aspek, yaitu adat dan
pemerintahan dalam hal ini administrasi publik. Pemerintahan yang dijalankan dengan hybrid
system antara adat dan administrasi memiliki approriateness yang berbeda. Nilai-nilai yang
digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan nilai adaptasi sehingga secara adat
tentu tidak sepenuhnya dinilai memenuhi kelayakan sebagai Pemerintahan Nagari yang
seharusnya.
Sementara dari perspektif administrasi publik, pilihan nilai adaptasi ini adalah sebuah
upaya terbaik menyatukan nilai adat/tradisional ke dalam tubuh administrasi publik. Contohnya
dalam pemilihan Wali Nagari/Kepala Nagari selaku pemimpin di Nagari. Elit/tokoh adat
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan menentukan pemilihan Wali Nagari selaku
pimpinan pemerintahan di Nagari. Selain para perantau, keberadaan tokoh adat selaku patron

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 57


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

dapat menentukan suara Masyarakat sebagai client. Kedudukan adat seorang calon lebih sering
menjadi faktor paling menentukan seseorang untuk dapat menjadi calon Wali Nagari. Peluang ini
juga semakin mungkin karena Permendagri RI Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Desa pada bagian ketiga tentang pencalonan, paragraf 1 pendaftaran calon, pasal 21 dimana poin
d juga menyatakan bahwa seorang Wali Nagari dapat berpendidikan paling rendah tamatan
Sekolah Menengah Pertama atau sederajat.

Indicators

Pilar normatif melihat elemen indikator dari Certification accreditation. Pilar normatif
melihat elemen ini dari indikator sertifikasi akreditasi. Organisasi saat ini memiliki berbagai
sertifikat/status dari keberadaannya yang menunjukkan kinerjanya. Hal ini bisa diukur dari
berbagai hal seperti kuantitas atau kualitas sumberdaya yang dimilikinya. Pemerintah Nagari
bukanlah entitas pemerintahan yang dipimpin dan dikelola oleh aparatur sipil negara. Perangkat
Nagari mulai dari Wali Nagari selaku pimpinan dalam pemerintahan hingga perangkat Nagari
yang akan menyelenggarakan pemerintahan, dipilih dari masyarakat Nagari sendiri. Pemerintah
Nagari diisi oleh perangkat yang bukanlah pelayan publik profesional seperti Aparatur Sipil
Negara (ASN) yang memiliki jenjang karir. Di Kabupaten Solok, hanya beberapa Nagari yang
sekretarisnya berasal dari ASN, Hal ini tergantung penempatan dari Kabupaten. Bahkan banyak
diantara sekretaris Nagari yang berasal dari ASN meminta dipindahkan ke posisi lain.
Untuk meningkatkan kompetensi perangkat Nagari, pemerintah Kabupaten telah
melakukan pelatihan. Pelatihan yang dilakukan seperti pelatihan pengelolaan keuangan Nagari,
namun pemerintah Nagari seperti tidak berminat sehingga hanya sedikit peserta yang hadir. Data
Dinas (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKDPSM), dari 2013
hingga 2016 jumlah Pemerintah Nagari yang menghadiri pelatihan kurang dari setengah dari
total 74 Nagari.
Pemerintah Nagari dituntut memiliki sumberdaya manusia yang profesional dalam
melakukan pelayanan publik. Apalagi dengan diberlakukannya Permendagri Nomor 2 Tahun
2017 Tentang Standar Pelayanan Minimal Desa terhitung 3 Januari 2017. Aturan ini mengatur
tentang jenis dan mutu pelayanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari bagi masyarakat,
guna mendapatkan pelayanan minimal dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah
diatur. Aturan ini menegaskan bahwa pelayanan di Nagari harus memiliki sarana dan prasarana

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 58


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

seperti tempat/loket pendaftaran, tempat pemasukan berkas/dokumen, tempat pembayaran,


tempat penyerahan dokumen, tempat pelayanan pengaduan, ruang tunggu dan perangkat
pendukung lainnya.
Wali Nagari selaku pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial yang bagus
dalam mengelola pemerintahan, begitu juga perangkat Nagari. Sementara dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian
perangkat desa, pendidikan bagi perangkat desa minimal adalah SLTA. Hal ini membuat Nagari
akan semakin sulit mendapatkan aparatur yang profesional dalam mengelola Nagari sebagai
lembaga publik. Persoalan sumber daya manusia Pemerintah Nagari ini pada akhirnya akan
berpengaruh pada pelaksanaan tugas Pemerintah Nagari dalam mensejahterakan masyarakat
Nagari. Wali Nagari juga harus memiliki kemampuan politik yang kuat untuk menghadapi
hambatan, tantangan yang datang dari lingkungan eksternal seperti elit adat, dan perubahan
kebijakan.
Dalam pilar normatif, melihat elemen indicators dilihat dari certification, accreditation.
Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dalam hal kelembagaan sertifikasi dan akreditasi adalah
apakah nilai dan norma yang hidup dan diakui dalam masyarakat adat, juga diakui dalam sistem
pemerintahan. Menilai keberhasilan kinerja pemerintah Nagari tidak sekedar dilihat dari capaian
indeks membangun dan laporan kinerja keuangan Pemerintahan Nagari. Menilai sebuah
penyelenggaraan pemerintahan dalam pilar normatif adalah soal apakah nilai dan norma yang
diadaptasi oleh pemerintah dalam pengaturan penyelenggaran Pemerintahan Nagari mendapat
pengakuan dari masyarakat atau apakah pemerintah mengakui nilai dan norma yang hidup dalam
masyarakat adat, dan mengadopsi dalam pengaturan Pemerintahan Nagari. Kondisinya adalah
tidak ada nilai adat yang murni dimasukkan ke dalam tubuh administrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari.

Affect

Pilar normatif melihat elemen ini dari indikator Shame/Honor, yaitu adakah rasa malu
dan menghormati dari setiap anggota organisasi. Pemerintahan Nagari yang dijalankan dalam
sistem hybrid tidak melahirkan rasa malu atau bersalah. Nilai dan norma yang bermuara pada
rasa malu dan bersalah ketika ada pelanggaran atau penyimpangan tidak nampak nyata dalam
Pemerintahan Nagari. Hybrid sistem Pemerintahan Nagari hanya memproduksi sanksi atau
hukuman.

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 59


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

Basis of Legitimacy

Elemen ini dilihat dari indikator morally governed. Terkadang moral lebih tinggi dari
peraturan, sehingga tindakan yang dilakukan meskipun bertentangan dengan peraturan namun
secara moral lebih tinggi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari kondisi ini terjadi.
Contoh dalam pemilihan pemimpin Nagari. Untuk menjadi calon Wali Nagari ada keinginan
tokoh adat yang berharap agar calon-calon Wali Nagari berasal dari anak Nagari dan berasal
dari keturunan yang memiliki kedudukan terhormat dalam adat. Penolakan terhadap calon-
calon Wali Nagari di luar penilaian adat bisa saja tersingkir.

IV. KESIMPULAN

Upaya Negara untuk menerapkan azas yang sama dalam pengaturan Pemerintahan Desa
dengan bentuk pemerintahan yang tidak sama adalah upaya menjaga keberagaman tetap dalam
kesatuan. Namun penyamaan azas pengaturan dalam masyarakat komunal seperti Nagari dengan
Desa, pada akhirnya berbuah persoalan dalam Pemerintahan Nagari. Perpaduan adat dan
administrasi publik dalam konteks hybrid system telah menyebabkan Nagari sama dengan Desa.
Pemberlakuan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang direspon dengan
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 telah menguatkan kedudukan Pemerintahan Nagari
sebagai desa adat dengan nama lain. Sayangnya masih tidak ditemui pemerintahan adat yang
berotonomi sesuai hak asal-usulnya yang bersifat istimewa. Pengaturan Desa Adat dengan nama
lain diakui oleh negara selama tidak bertentangan dengan prinsip pengaturan Desa yang diatur
Undang-Undang. Pengaturan Pemerintahan Nagari dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun
2018 tentang Nagari yang menguatkan Nagari sebagai Desa Adat dengan nama lain tetap saja
merupakan hybrid system.

Eksistensi Nagari yang dihidupkan kembali oleh pemerintah adalah sesuatu yang
membuat masyarakat Nagari memiliki ekspektasi yang terlalu besar bahwa pengelolaannya akan
dapat mereka atur sebagaimana Nagari dulunya yang kental dengan nilai adat. Apabila
pemerintah tidak memberikan sepenuhnya otonomi asli maka saran yang dapat peneliti berikan
adalah pemisahan antara desa adat dengan desa administrasi.

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 60


DESNA AROMATICA, HERU NURASA, IDA WIDIANINGSIH, ENTANG ADHY MUHTAR

REFERENSI

Astuti, N. B., Lala, M. K., & Nirmala, K. P. (2009). Dilema Dalam Transformasi Desa ke
Nagari; Studi Kasus di Nagari Palembayan Provinsi Sumatera Barat. Bogor: Institute
Pertanian Bogor.

Basri, H., & Moehar, D. (2008). Otonomi Nagari; Kebijakan Efektif Untuk Memacu Percepatan
Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Sumatera Barat. Solok Selatan: Pemerintah
Kabupaten Solok Selatan.

Dwiyanto, A. (2015). Administrasi Publik; Desentralisasi, Kelembagaan, dan Aparatur Sipil


Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Effendi, S. (2013). Profil Sumberdaya Manusia Pada Lembaga Eksekutif Nagari di Provinsi
Sumatera Barat. Jurnal Demokrasi Vol. II No. 1, 79-92.

Frederickson, H. G. (2012). The Public Administration Theory Primer; Second edition.


Colorado: Westview Press.

Hodges. (2006). What Are Institution. Journal of Economic ISSUES. Vol. XL No.I, 1-25.

Ismanto. (2018), J. Tribunnews.com. Dipetik Agustus Jumat, 2018). www.Tribunnews.com:


http://m.tribunnews.com/kilas-daerah/2018/01/10/disahkan-ranperda-Nagari-lemahkan-
fungsi-adat-minangkabau

Nurcholis, H. (2017). Pemerintahan Desa; Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem


Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Bee Media Pustaka.

Scott, W. (2014). Institutions and Organizations; Ideas, Interest, and Identities. United State of
America: Sage.

Zulmasyhur. (2012). Hubungan Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari di


Era Otonomi Daerah; Studi Pada Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Bandung:
Universitas Padjajaran.

Jurnal AKP, Volume 8, Nomor 2 (Agustus 2018) 61

You might also like