You are on page 1of 15

Penerapan Hukum Adat Terhadap Pengembangan Desa Adat dalam Tatanan

Desentralisasi di Indonesia

Nama Penulis (Nama Penulis ditulis lengkap dengan tanpa gelar)


Afiliasi Penulis (nama lembaga atau tempat penulis berkarya)
Alamat Surel

Abstract

The village is one of the most important parts in implementing decentralization and
democratization in the regions. The village is the spearhead of the success of the
decentralization policy itself, because the village is the institution that is closest to the
community at the local level. Through the policy of decentralization, the village through the
village level government can be seen as agents of change and providers of public services
closest to the community. Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution normatively
recognizes and respects indigenous peoples and their traditional rights. However, in the
empirical context, a number of questions arise which stem from the problem of whether or not
the role of customary law exists in the administration of the village administration. Law Number
6 of 2014 finally accommodates the existence of traditional villages and villages. One of the new
things regulated in Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government is a firm
statement regarding regional rights to determine regional policies to carry out government
affairs which are under regional authority. The results of the study concluded, with the role of
customary law, the community felt that they were responsible for the implementation of the
village government system. However, along with national law development policies, customary
law is sometimes neglected. This study provides an analysis of regional policies in Law no. 6 of
2014 as the basis for building the application of customary law in regional administration.

Keywords: Decentralization policy; Village Government, Position and Authority

Abstrak

Desa merupakan salah satu bagian terpenting dalam pelaksanaan desentralisasi dan
demokratisasi di daerah. Desa merupakan ujung tombak dari keberhasilan kebijakan
desentralisasi itu sendiri, sebab desa merupakan pranata yang paling dekat dengan masyarakat
di tingkat lokal. Melalui kebijakan desentralisasi desa melalui pemerintahan tingkat desa dapat
dipandang sebagai agen perubahan dan penyedia pelayanan publik yang paling dekat dengan
masyarakat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara normatif mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun dalam
konteks empiris muncul sejumlah pertanyaan yang bersumber pada permasalahan perihal ada
tidaknya peran hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut. Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 akhirnya mengakomodir eksistensi desa dan desa adat. Salah satu
hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah adalah pernyataan tegas tentang hak daerah menetapkan kebijakan daerah untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Hasil penelitian
menyimpulkan, dengan berperannya hukum adat, warga masyarakat merasa ikut
bertanggungjawab terhadap terselenggaranya sistem pemerintahan Desa. Namun seiring
dengan kebijakan pembangunan hukum nasional terkadang hukum adat terabaikan. Penelitian
ini memberikan analisis kebijakan daerah dalam UU No. 6 Tahun 2014 sebagai dasar
membangun penerapan hukum adat dalam penyelenggaran daerah.

Kata kunci: Kebijakan Desentralisasi; Pemerintahan Desa; Kedudukan dan Kewenangan


Pendahuluan
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang terdiri dari atau atas desa dan dari
desa dan desa, menjadi pelopor dari sistem pemerintahan demokrasi yang otonom dan
berdaulat penuh atas masyarakat. Masyarakat desa dan keberadaan desa telah lama mendiami
bangsa sebelum Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Pada
pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa
“Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan
“Volksgemeens-chappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang, dan sebagainya”. 1 Adanya susunan original atau asli di dalamnya oleh
karena itu daerah ini bersifat istimewa dan kedudukan yang pantas untuk dihormati terkait
segala peraturan negara akan daerah-daerah itu yang memiliki hak-hak atas latar belakang
daerah tersebut. Keberadaan desa tersebut wajib untuk diakui dan diberi perlindungan dalam
menjaga kebertahanan hidup nilai adatnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara yang plural, artinya jamak atau majemuk, memberikan
arah pemahaman pada pluralisme yang merupakan suatu bentuk kelembagaan secara sah dan
legal dapat melindungi kesetaraan, kerjasama, pengembangan diri atau kelompok, hak hak dan
kewajiban secara setara. Pluralisme lebih menekankan pada kesetaraan dalam mengembangkan
setiap potensi yang di milikin diri ataupun kelompok, sehingga hak-hak dan kewajiban setiap
warga Negara dapat di imlementasikan dengan baik sesuai dengan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan suatu nilai
positif yang memerlukan perhatian khusus agar hal tersebut mampu menjadi sumber kekuatan
dan ciri khas bangsa Indonesia di dunia internasional. Dan salah satu nilai penting dalam
pluralisme adalah toleransi.2 Toleransi memberikan arti yang mengarah pada kesediaan untuk
mengakui, menghargai keberadaan orang atau kelompok lain yang bebrbeda.
Keberagaman karakteristik dan jenis desa, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri
bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan.
Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi
Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap
keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya.
1
Penjelasan umum UU Desa
2
Franz Magnis Suseno, Kebangsaan Demokrasi Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, (Jakarta: Penerbit
Kompas, 2015) h.13
Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945, sekarang setelah perubahan menyebutnya Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUDNRI Tahun 1945), pengaturan tentang
desa dilihat dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang
menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur
dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7), membuka kemungkinan adanya
susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pasal 18 UUDNRI Tahun 1945, menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang. Hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang
wilayahnya terbagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah
kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Perhatian hukum Indonesia terhadap eksistensi hukum adat, terlihat dari kaidah-kaidah
yang terkandung dalam peraturan perundangundangan. Sebagai hukum dasar UUD 1945 Pasal
18B ayat (2) dengan tegas mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa serta mengakui dan menghormati
kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selain mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat
khusus, Negara juga mengakui dan menghormati hukum adat yang berlaku dalam kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat. Walaupun pengakuan tersebut haruslah sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Adanya kesatuan masyarakat hukum adatitu terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar,
yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial.
UU No. 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat merupakan
gabungan antara genealogis dan territorial. Gemenschaft bersifat community (paguyuban)
dengan ciri terikat secara emosional, memiliki tradisi, luas, ada sebelum negara serta bersifat
bottom up. Hal ini berbeda dengan bentuk Gesselschaft yang bersifat society (patembayan)
dengan ciri terikat secara rasional, otonomi berian, terbatas, ada setelah negara, serta bersifat
top down. Oleh karena desa dalam kasus Indonesia bersifat community, maka idealnya
pendekatannya pun bersifat self governing community, bukan didominasi oleh negara maupun
daerah sebagaimana pendekatan local state government dan local self goverment. Dalam UU No.
6/2014 Tentang Desa tampak pengaturannya dilakukan secara terintegrasi, sekalipun self
governing community menjadi pijakan utama. Namun dalam konteks empiris, muncul sejumlah
pertanyaan yang bersumber pada permasalahan perihal ada tidaknya peran hukum adat dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut, antara lain berkenaan dengan bagaimana
kebijakan pemerintah desa terhadap penerapan hukum adat dalam pengembangan desa.
Tentunya, peran hukum adat dalam penyelenggaran pemerintahan desa berkaitan erat dengan
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia bukan merupakan hal yang baru karena
sebelum Indonesia merdeka telah ada kesatuan dan persekutuan masyarakat hukum dengan
berbagai macam nama, seperti: desa (Jawa), huta (Sumatera Utara), nagari (Sumatera Barat),
kampung (Kalimantan Timur), gampong (Aceh), marga (Sumatera Selatan) yang
keseluruhannya terorganisir dalam suatu pola tertentu dengan melandaskan
penyelengaraannya pada hukum adat masing masing. Hal ini pulalah yang kemudian memberi
kesan bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk. Setelah Indonesia merdeka,
pengaturan mengenai pemerintahan desa telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Peraturan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
dan saat ini diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya
disebut UU Pemerintahan Daerah).
Peraturan perundang-undangan yang ada umumnya mengatur mengenai hak, kewajiban
dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa. Berdasarkan pengaturan tentang desa di
Indonesia yang sangat banyak menimbulkan permasalahan terkait perubahan kewenangan
yang diberikan kepada pemerintah desa. Dari perubahan pengaturan tersebut menunjukan
bahwa tidak adanya konsistensi dari pemerintah Indonesia terhadap kewenangan yang
diberikan kepada pemerintah daerah, termasuk desa.
Seperti diketahui bahwa pembahasan tentang Desa tidak dapat dilepaskan dari proses
reformasi yang bergulir sejak 1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang
sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong
terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih luas untuk
menjalankan urusannya sendiri, alih-alih hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Hal ini dilakukan melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Selain mengatur tentang desentralisasi pemerintahan
daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini juga memberikan porsi cukup banyak
terhadap tata kelola pemerintahan Desa, yaitu Desa diberi keleluasaan untuk mengatur
pemerintahannya sendiri dan mengembangkan proses demokratisasi.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan permasalahan yang ditelusuri peneliti
pada penulisan jurnal ini yaitu bagaimana pelaksanaan pengembangan desa dalam tatanan
desentralisasi, bagaimana pelaksanaan peran hukum adat dalam kewenangan kebijakan
pemerintahan desa dalam penyelenggaraannya. Tentunya, peranan hukum adat dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa akan berkaitan erat terhadap kebijakan pemerintahan
desa. Berdasarkan hal tersebut, penelusuran dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normative yang didasarkan pada studi literature. Dengan pendekatan
undang-undang (statue approach) analisis terhadap data akan dilakukan secara deskriptif
kualitatif, yang objek utamanya adalah norma atau kaidah, penelitian terhadap kebijakan akan
menyinggung aspek empiric yang diteliti guna menganalisis data menjadi sebuah penjelasan
yang mungkin optimal perihal eksistensi hukum adat dalam sistem pemerintahan desa.

Pembahasan
Otonomi Daerah
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sesuai UUD 1945 terdapat dua nilai
dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris
diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan
lain di dalamnya yang bersifat Negara ("Eenheidstaat"), artinya kedaulatan yang melekat pada
rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-
urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui sebagai domain rumah tangga daerah
otonom tersebut.
Secara administratif desa diartikan sebagai satu kesatuan hukum dan didalamnya
bertempat tinggal sekelompok masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Dalam belantara teori dan praktik rekognisi, desa atau yang disebut dengan nama lain, hampir
tidak dikenal. Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus kelompok-kelompok
minoritas, kelompok-kelompok budaya atau identitas tertentu yang berbeda, dan masih banyak
lagi. Menurut Sutoro Eko, ada 5 (lima) makna tentang Desa dalam konteks Indonesia yaitu:
a. Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah.
b. Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI
lahir pada tahun 1945, yang sudah memiliki susunan asli maupun membawa hak asal usul.
c. Desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak serta
merta bisa diseragamkan.
d. Dalam lintasan sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi
terhadap tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil mulai dari kerajaan,
pemerintah kolonial, hingga pemerintah NKRI.
e. Konstitusi telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa
atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya.3
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (43),
Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian dari kedua undang-undang tersebut memiliki kesamaan yaitu pada
mengatur dan mengurus pemerintahan. Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya
pengaruh adat terhadap organisasi dan sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya
lokal, dan kehidupan sosial budaya. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi
pengaturan hidup bersama atau berkepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara
turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat
agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa
Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas
wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul. 4
Dengan demikian pemerintah daerah merupakan subjek hukum yang
merepresentasikan daerah, dan kepala daerah (bupati/walikota) merupakan personifikasi
pemerintah daerah. Sedangkan desa “kesatuan masyarakat hukum” adalah organisasi
kekuasaan atau organisasi pemerintahan, yang secara jelas mempunyai batas-batas wilayah

3
Sutoro Eko, dkk, Desa Membangun Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit FPPD, 2014) h.6
4
Sutoro Eko, dkk, Desa Membangun Indonesia, h.28
serta mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Karena definisi ini, desa bukanlah kelompok atau organisasi
komunitas lokal (local community) semata, atau desa bukanlah masyarakat. Namun posisi
sebagai organisasi pemerintahan yang melekat pada desa berbeda dengan posisi pemerintahan
desa terendah di bawah camat sebagaimana dikonstruksi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979. Pemerintahan desa juga berbeda dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan
daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan perangkat birokrasi.

Desentralisasi dan Demokrasi Substantif


Desentralisasi dapat didefinisikan sebaga pengalihan tanggung jawab untuk
perencanaan, manajemen dan pengelolaan sumber daya dan alokasi dana dari pemerintah
pusat dan lembaga-lembaganya kepada: (a) sebuah unit lapangan kementerian pemerintah
pusat, (b) unit di bawah pemerintah pusat atau tingkat pemerintahan, (c) otoritas publik yang
semiotonom atau perusahaan, (d) daerah, otoritas regional atau fungsional, atau (e) organisasi
swasta atau non-pemerintah (NGOs)5.
Menurut Rondinelli, Nellis dan Cheema6, desentralisasi merupakan sebuah harapan yang
akan mengurangi kelebihan beban dan kemacetan administrasi dan komunikasi dalam
pemerintahan. Desentralisasi yang memiliki turunan yaitu otonomi daerah menjadi desain yang
diperkirakan dapat meningkatkan respon terhadap masyarakat dan meningkatkan kuantitas
juga kualitas layanan yang disediakan. Desentralisasi dapat menjadi rute yang positif bagi
negara-negara berkembang. Desentralisai juga memungkinkan untuk representasi yang lebih
besar dari kelompok-kelompok politik, agama, etnis, dan suku yang berbeda dalam proses
pengambilan keputusan. Sehingga dapat menyebabkan pemerataan alokasi sumber daya dan
pendanaan pemerintah. Desentralisasi juga dapat meningkatkan stabilitas politik dan persatuan
nasional dengan memungkinkan populasi yang berbeda untuk mengambil bagian lebih leluasa
dalam pengambilan keputusan, sehingga meningkatkan demokratisasi dalam sistem politik.
Namun, desentralisasi juga menjadi perdebatan, ketika pada kenyataannya,
desentralisasi hanya sebagai kebutuhan pragmatis tertentu. Kebijakan desentralisasi dijalankan
karena beberapa politisi negara meyakini penurunan kekuatan jangka pendek mereka bisa
meningkatkan popularitas jangka panjang mereka. Meskipun otonomi yang besar dimiliki
pemerintah daerah, belum tentu atau bahkan gagal untuk membantu pembangunan terhadap
pengembangan dalam mengentaskan perlindungan hak-hak yang secara spesifik memiliki
keterkaitan dengan bangsa Indonesia. Hal ini menyambungkan konsep Desentralisasi pada
Demokrasi substantif.
5
Rondinelli, dkk, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries, (Beverly
Hills/London/New Delhi : sage publications Conyer, 1983), h. 87
6
Rondinelli,dkk, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries, h.110
Demokrasi substantif berusaha memastikan perlunya pelembagaan dalam sector-sektro
vital masyarakat, sehingga pertimbangan keputusan tidak diputuskan sepihak oleh elit-elit yang
berkuasa. Dalam demokkrasi substantif, apa yang menjadi perhatian publik (public concern)
menjadi titik pijakan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana keseluruhan warga negara
dijamin kesetaraan politiknya serta memiliki kapasitas aktual untuk mengambil bagian dan
mempengaruhi kebijakan. Dengan kata lain, dalam demokrasi substansial, masyarakat
memainkan peran nyata dalam menjalankan urusan politik. demokrasi substantif menghendaki
terpenuhinya struktur dan kultur bagi tata pemerintahan yang demokratis yakni adanya
pelembagaan partisipasi politik warga, kontrol efektif parlemen dan kekuatan kritis masyarakat
sipil, transparansi dalam proses kebijakan, serta adanya akuntabilitas kepada rakyat selaku
pemilik kedaulatan. Selain itu, perlunya penguatan modal sosial yang didalamnya menyangkut
nilai, institusi dan mekanisme penguatan masyarakat sipil yang mendorong pengembangan tata
pemerintahan dengan dilandasi semangat perubahan sesuai dengan konteks perkembangan
masyarakat. Logika utama dalam demokrasi substantif bahwa demokrasi tidak akan berwujud
secara efektif dan berkesinambungan tanpa subtansi yang berupa jiwa, kultur, serta ideologi
demokratis yang mewarnai pengorganisasian institusi-institusi publik atau politik formal
(misalnya, partai politik dan birokrasi). Demos (rakyat) sepakat dengan makna demokrasi,
memahami cara kerja dan kegunaanya.

Pembangunan Desa Adat dalam Penerapan Hukum Adat terhadap Penyelenggaran


Tatanan Desentralisasi : Analisis Kebijakan dalam UU No. 6 Tahun 2014
Kriteria desa adat diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
dinyatakan Pasal 97 bahwa penetapan Desa Adat harus memenuhi syarat:
a. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup adalah:
a. Harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur
adanya: masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok, pranata
pemerintahan adat, harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau perangkat norma hukum
adat.
b. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila: keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang
yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat
dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral dan substansi
hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia.
c. Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak
mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik
dan kesatuan hukum yang tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik lndonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Program pembangunan desa adat atau pelestarian ini merupakan sebuah upaya yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas keberadaan desa adat dalam menggiatkan aktivitas-
aktivitas budaya. UUD NRI 1945 telah menegaskan keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat)
dalam Pasal 18 B ayat (2) pada bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) pada
bab tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak -hak tradisionaln ya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 18 B ayat (2)). “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” (Pasal 28 l ayat
(3)).
Ketentuan konstitusional tersebut di atas merupakan ‘imperative constitutional’ agar
hukum adat dan lembaga-lembaga adat yang diakui keberadaannya dan digunakan dalam
kehidupan oleh masyarakat luas dan yang tumbuh berkembang di daerah-daerah, berkualifikasi
sebagai nilai-nilai dan ciri-ciri budaya serta kepribadian bangsa, perlu diberdayakan, dibina dan
dilestarikan. Hal ini dilakukan agar hukum adat tidak hilang karena desakan hukum modern. 7
Ter Haar menyatakan bahwa sanksi dalam hukum adat tidak hanya sanksi yang dijatuhkan oleh
aparat hukum formal seperti penguasa legislatif dan eksekutif, tetapi juga oleh fungsionaris
hukum yang lain seperti kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas dalam lapangan
agama dan petugas lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Ter Haar menyampaikan
teori keputusan atau besslissing theory, yang pada intinya menyatakan bahwa adat istiadat
telah berubah menjadi hukum adat, serentak setelah penguasa menjatuhkan hukuman terhadap
si pelanggar adat istiadat itu.8

7
Soerjono Soekanto, 2010, Hukum Adat Indonesia, h.71
8
Surojo Wignjodipuro, 1973, h.6
Pemahaman mengenai kondisi geostrategis desa dengan kekhasannya diperlukan untuk
menentukan penyelenggaraan pemerintahan desa agar sesuai dengan prinsip-prinsip
“sinoptika” kebijakan hukum (legal policy). Secara garis besar berdasarkan data empiris
penelitian, keberagaman desa dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) tipe desa, yaitu:
a. Tipe “Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk desa asli dan
tertua di Indonesia. Konsep “otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian desa adat ini.
Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa
campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administrative yang diberikan
oleh negara. Saat tersisa sebagai bentuk desa yang jelas memiliki komunitas masyarakat adat,
namun tidak bisa dikatakan desa adat.
b. Tipe “Desa administratif” (local state government) adalah desa sebagai satuan wilayah
administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas
administrative yang diberikan negara. Desa administrative secara sebstansial tidak mempunyai
otonomi dan demokrasi. Kelurahan merupakan merupakan contoh dari tipe desa administratif.
c. Tipe “Desa otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai
local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara
konseptual, desa otonom adalah desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga
mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa
otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang
membuat peraturan desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Pada prinsipnya UU Nomor 23 tahun 2014 menggunakan terminology ”urusan
pemerintahan” bukan kewenangan. Pemakaian istilah ini sangat menarik karena terjadi
perubahan pola pijak pengelolaan otonomi daerah. Istilah urusan pemerintahan lebih bermakna
pada aspek administratif saja, sebab ada urusan-urusan yang menjadi bagian pusat dan ada
urusan-urusan yang menjadi bagian daerah. Dimana urusan-urusan tersebut telah dipatron
mengikuti pola yang telah digariskan oleh pusat dan daerah, kurang memiliki diskresi untuk
berkreasi dan berinovasi dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan aspek
kewenangan lebih bermakna pada aspek pemberdayaan, dimana daerah memiliki keleluasaan
(diskresi) untuk mengelola kewenangan pemerintahan yang ada dengan berbagai kreasi dan
inovasi sesuai potensi daerah.
Dalam hal membentuk kebijakan daerah, para pembuat kebijakan daerah (local policy
maker) harus memahami bahwa pemerintah daerah hanya memiliki 1 (satu) kewenangan yaitu
urusan pemerintahan konkuren yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berdasarkan UU
No 23 tahun 2014 meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,
perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum dan
pelindungan masyarakat, dan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang sejatinya merupakan perbaikan dari Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
berupaya mengolaborasi semangat membangun demokratisasi dengan prinsip efisien,
transparan dan efektif dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Lahirnya konsep desentralisasi merupakan upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan
yang demokratis untuk mengakhiri pemerintahan yang sentralistik. Dalam implementasinya
desentralisasi adalah pembentukan badan-badan yang terpisah dari pusat, di mana badan-
badan perwakilan lokal memiliki kekuasaan formal untuk memutuskan tentang beragam isu
publik. Basis politik badan-badan lokal dan bukan nasional. Wilayah kewenangannya dibatasi
dan diikat oleh hukum nasional. Kewenangan dan pembatasannya hanya bisa diubah oleh
legislasi baru. Badan-badan tersebut memiliki sumber-sumber pembiayaan dan digunakan
untuk keperluan yang dirancang sendiri. Pelaksanaan pemerintahan di daerah dengan
mengedepankan aspek desentralisasi bertujuan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada
satu lapisan pemerintahan (pusat), yang sekaligus menjadi sumber pengakuan pemerintah
terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah.
Realisasi dari sistem desentralisasi tersebut, daerah- daerah perlu diberikan kewenangan. Salah
satu kewenangan pemerintah kabupaten terkait dengan urusan wajib adalah pemberdayaan
masyarakat dan desa sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, BAB XVIII, Desa.
Dengan melaksanakan desentralisasi hingga ke tingkat desa maka pemerintahan menjadi
lebih demokratis. Hal ini karena dalam negara yang menganut paham demokrasi, seharusnya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya hingga ke level yang terendah
yakni desa untuk ikut serta dalam pemerintahan. Kalau semboyan demokrasi pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the
people) benar-benar hendak direalisasi, maka tidaklah cukup dengan melaksanakannya pada
tingkat nasional atau pusat saja, tetapi juga hingga di tingkat desa. Sehingga terciptalah
kemandirian desa. Saat ini penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai “unit” pemerintahan yang
paling dekat dengan masyarakat, maka dalam penyelenggaraannya sangat diwajibkan untuk
melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena
penyelenggaraan pemerintah di tingkat desa tentu berbeda dengan penyelenggaraan
pemerintah yang ada di tingkat atasnya.
Tujuan ditetapkaninya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan penjabaran lebih
lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasan Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan
kebenagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi selunuh rakyat Indonesia;
3. Melestanikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, tenbuka, serta
bertanggung jawab;
6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyanakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat
Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional; dan
9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Dilihat dari elemen-elemen tersebut, desa dapat dianggap sebagai sebuah wilayah
pemerintahan yang bersifat formal sebagaimana Kabupaten/Kota dan Propinsi yang diisi oleh
perangkat pemerintahan daerah menurut masing-masing tingkatan tersebut. Dalam hal ini, desa
tidak dapat lagi dianggap sebagai komunitas informal yang hanya berbasis perkembangan
social dan ekonomi masyarakatnya saja namun juga menjadi bagian instrumen kebijakan untuk
tujuan pembangunan dan kepentingan masyarakat secara luas.
Satu hal yang menguatkan Undang-Undang ini sebagai basis pembaharuan terhadap desa
adalah upaya menjadikan desa tidak lagi menjadi objek pembangunan, namun sebagai subjek
pembangunan, yang artinya desa menjadi pelaksana bagi pembangunannya sendiri. Hal ini bisa
dilakukan apabila desa diberikan keleluasaan untuk mandiri. Desa diajak untuk mengelola
segala sumber daya yang ada di wilayahnya untuk menopang pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan publik. Desa harus bisa melakukan perencanaan pembangunannya sendiri, dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan di kabupaten/kota. Undang-Undang ini
menggunakan dua pendekatan pembangunan yaitu “desa membangun” dan “membangun desa”.
Dalam perkembangannya, dinamika dan problematika implementasi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tetap ada. Sejak lahirnya Undang-Undang Desa, telah
membuka babak sejarah baru dalam perjalanan republik ini. Regulasi baru yang mengusung
semangat pembaharuan desa ini mendorong munculnya optimisme yang merebak, terutama di
kalangan masyarakat desa, akademisi ilmu sosial, dan para pegiat advokasi isu pedesaan.
Dengan berlandaskan prinsip yang jauh lebih substantif dan komprehensif, banyak pihak yang
meyakini bahwa Undang-Undang Desa yang baru tersebut bakal mampu membawa desa
meninggalkan citra keterbelakangan dan ketertinggalannya menuju desa yang kuat, demokratis,
maju, sejahtera, dan mandiri. Sebagaimana diketahui bahwa ruang lingkup kebijakan daerah
mengacu kepada penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU No. 23 tahun 2014 adalah Perda, Perkada dan
keputusan kepala daerah.

Kesimpulan
Persoalan desa tidak dapat hanya diselesaikan melalui pendekatan yang sifatnya formil dan
struktural semata. Amat diperlukan pendekatan sosial dan budaya yang sudah menjadi karakter
dari setiap desa di Indonesia. Regulasi dalam hal ini juga perlu memperhitungkan aspek historis
dan sosial tersebut. Dalam mengantisipasi persoalan tersebut pemerintah dan DPR pada
akhirnya menerbitkan regulasi khusus yang mengatur tentang desa melalui UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Perkembangan dan perubahan desa dan pemerintahan desa mengalami
perkembangan seturut dengan perubahan berbagai regulasi yang mengaturnya. Seiring dengan
perubahan tersebut, desa dan pemerintahan desa juga harus menyesuaikan diri dengan
perubahan konsep dalam kebijakan desentralisasi yang berlaku.
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 memberikan peranan dan kedudukan yang tidak berbeda jauh
dengan rejim UU No. 23 Tahun 2014. Keberadaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa merupakan bentuk revitalisasi peraturan sebelumnya yang menjadi koreksi dan
otokritik terhadap peraturan perundang-undangan tentang desa selama ini yang terkesan tidak
serius dan memiliki komitmen besar terhadap standar pembangunan di desa, dimana desa
merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota.
Undang-Undang Desa tetap berada pada koridor pemerintah mengakui seluruh hak asal-usul
desa beserta pranata tradisionalnya yang telah ada sejak dahulu, dan desa tetap diakui oleh
pemerintah terhadap desa-desa adat di Indonesia. Di samping itu, desa juga diberikan
kewenangan otonom untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (subsidiaritas).
Pasal 18 Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia hanya dibagi dalam
dua tingkatan pemerintah daerah yaitu Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka pemerintahan desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dengan
sendirinya akan berada dibawah lingkup pemerintahan Kabupaten/Kota. Selanjutnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa maka pemerintah Desa secara
administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten/Kota (local self government) dan tetap
memiliki hak serta kewenangan khusus untuk mengurus urusan masyarakat sesuai dengan hak
asal-usul dan adat istiadat yang masih hidup (self governing community).
Hal tersebut diperkuat dengan asas rekognisi yaitu pengakuan terhadap hak asal usul,
dalam hal ini berarti desa diakui keberadaannya oleh negara sebagai suatu organisasi
pemerintahan yang sudah ada dan dilakukan dalam kesatuan masyarakat adat sebelum lahirnya
NKRI. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa sebagai kesatuan masyarakat adat, desa diakui
keberadaannya oleh Negara sebagai satuan pemerintahan yang paling kecil dan terlibat bagi
terbentuknya Negara. Desa mempunyai keududukan yang sederajat dan sama pentingnya
dengan kesatuan pemerintahan seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung
makna, bahwa kesatuan masyarakat hukum atau sebutan nama lainya berhak atas segala
perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai subsistem NKRI, dengan tetap berada
pada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, hadirnya Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan kewenangan kepada desa yang meliputi: 1)
kewenangan berdasarkan hak asal usul; 2) kewenangan lokal berskala Desa; 3) Kewenangan
yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota; dan 3) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Daftar Pustaka

Artikel/Buku/Laporan

Aulia, M. Zulfa. “Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi”.
Undang: Jurnal Hukum, 1, 1 (2018): 159-185.
Nuring Setpyasa Laksana. “Bentuk-bentuk Partsipasi Masyarakat Desa”, Jurnal Kebijakan dan
Manajemen Publik, Vol. 1, No. 1 (2013): 18-30.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Eko, Sutoro. Dkk. Desa Membangun Indonesia, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktek: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo,
2007.
Radjab, Dasril. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Sudjatmiko, Budiman dan Yando Zakaria, Desa Kuat, Indonesia Kuat!: Buku Pegangan bagi
Aparat/Perangkat Desa Seluruh Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014.

Wignjosoebroto, Soetandyo. “Penelitian Hukum dan Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah”.


Dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, diedit oleh Sulistyowati Irianto
dan Shidarta, 83-120. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Peraturan dan Putusan Hukum


Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; LNRI Tahun 2014
Nomor 7; TLNRI Nomor 5495.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia, Pengadilan Niaga Jakarta. Putusan Nomor 99/PDT.SUS-
Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst perihal Perkara Merek IKEA.

You might also like