Professional Documents
Culture Documents
Desentralisasi di Indonesia
Abstract
The village is one of the most important parts in implementing decentralization and
democratization in the regions. The village is the spearhead of the success of the
decentralization policy itself, because the village is the institution that is closest to the
community at the local level. Through the policy of decentralization, the village through the
village level government can be seen as agents of change and providers of public services
closest to the community. Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution normatively
recognizes and respects indigenous peoples and their traditional rights. However, in the
empirical context, a number of questions arise which stem from the problem of whether or not
the role of customary law exists in the administration of the village administration. Law Number
6 of 2014 finally accommodates the existence of traditional villages and villages. One of the new
things regulated in Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government is a firm
statement regarding regional rights to determine regional policies to carry out government
affairs which are under regional authority. The results of the study concluded, with the role of
customary law, the community felt that they were responsible for the implementation of the
village government system. However, along with national law development policies, customary
law is sometimes neglected. This study provides an analysis of regional policies in Law no. 6 of
2014 as the basis for building the application of customary law in regional administration.
Abstrak
Desa merupakan salah satu bagian terpenting dalam pelaksanaan desentralisasi dan
demokratisasi di daerah. Desa merupakan ujung tombak dari keberhasilan kebijakan
desentralisasi itu sendiri, sebab desa merupakan pranata yang paling dekat dengan masyarakat
di tingkat lokal. Melalui kebijakan desentralisasi desa melalui pemerintahan tingkat desa dapat
dipandang sebagai agen perubahan dan penyedia pelayanan publik yang paling dekat dengan
masyarakat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara normatif mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun dalam
konteks empiris muncul sejumlah pertanyaan yang bersumber pada permasalahan perihal ada
tidaknya peran hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut. Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 akhirnya mengakomodir eksistensi desa dan desa adat. Salah satu
hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah adalah pernyataan tegas tentang hak daerah menetapkan kebijakan daerah untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Hasil penelitian
menyimpulkan, dengan berperannya hukum adat, warga masyarakat merasa ikut
bertanggungjawab terhadap terselenggaranya sistem pemerintahan Desa. Namun seiring
dengan kebijakan pembangunan hukum nasional terkadang hukum adat terabaikan. Penelitian
ini memberikan analisis kebijakan daerah dalam UU No. 6 Tahun 2014 sebagai dasar
membangun penerapan hukum adat dalam penyelenggaran daerah.
Pembahasan
Otonomi Daerah
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sesuai UUD 1945 terdapat dua nilai
dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris
diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan
lain di dalamnya yang bersifat Negara ("Eenheidstaat"), artinya kedaulatan yang melekat pada
rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-
urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui sebagai domain rumah tangga daerah
otonom tersebut.
Secara administratif desa diartikan sebagai satu kesatuan hukum dan didalamnya
bertempat tinggal sekelompok masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Dalam belantara teori dan praktik rekognisi, desa atau yang disebut dengan nama lain, hampir
tidak dikenal. Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus kelompok-kelompok
minoritas, kelompok-kelompok budaya atau identitas tertentu yang berbeda, dan masih banyak
lagi. Menurut Sutoro Eko, ada 5 (lima) makna tentang Desa dalam konteks Indonesia yaitu:
a. Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah.
b. Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI
lahir pada tahun 1945, yang sudah memiliki susunan asli maupun membawa hak asal usul.
c. Desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak serta
merta bisa diseragamkan.
d. Dalam lintasan sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi
terhadap tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil mulai dari kerajaan,
pemerintah kolonial, hingga pemerintah NKRI.
e. Konstitusi telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa
atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya.3
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (43),
Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian dari kedua undang-undang tersebut memiliki kesamaan yaitu pada
mengatur dan mengurus pemerintahan. Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya
pengaruh adat terhadap organisasi dan sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya
lokal, dan kehidupan sosial budaya. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi
pengaturan hidup bersama atau berkepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara
turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat
agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa
Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas
wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul. 4
Dengan demikian pemerintah daerah merupakan subjek hukum yang
merepresentasikan daerah, dan kepala daerah (bupati/walikota) merupakan personifikasi
pemerintah daerah. Sedangkan desa “kesatuan masyarakat hukum” adalah organisasi
kekuasaan atau organisasi pemerintahan, yang secara jelas mempunyai batas-batas wilayah
3
Sutoro Eko, dkk, Desa Membangun Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit FPPD, 2014) h.6
4
Sutoro Eko, dkk, Desa Membangun Indonesia, h.28
serta mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Karena definisi ini, desa bukanlah kelompok atau organisasi
komunitas lokal (local community) semata, atau desa bukanlah masyarakat. Namun posisi
sebagai organisasi pemerintahan yang melekat pada desa berbeda dengan posisi pemerintahan
desa terendah di bawah camat sebagaimana dikonstruksi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979. Pemerintahan desa juga berbeda dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan
daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan perangkat birokrasi.
7
Soerjono Soekanto, 2010, Hukum Adat Indonesia, h.71
8
Surojo Wignjodipuro, 1973, h.6
Pemahaman mengenai kondisi geostrategis desa dengan kekhasannya diperlukan untuk
menentukan penyelenggaraan pemerintahan desa agar sesuai dengan prinsip-prinsip
“sinoptika” kebijakan hukum (legal policy). Secara garis besar berdasarkan data empiris
penelitian, keberagaman desa dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) tipe desa, yaitu:
a. Tipe “Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk desa asli dan
tertua di Indonesia. Konsep “otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian desa adat ini.
Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa
campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administrative yang diberikan
oleh negara. Saat tersisa sebagai bentuk desa yang jelas memiliki komunitas masyarakat adat,
namun tidak bisa dikatakan desa adat.
b. Tipe “Desa administratif” (local state government) adalah desa sebagai satuan wilayah
administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas
administrative yang diberikan negara. Desa administrative secara sebstansial tidak mempunyai
otonomi dan demokrasi. Kelurahan merupakan merupakan contoh dari tipe desa administratif.
c. Tipe “Desa otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai
local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara
konseptual, desa otonom adalah desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga
mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa
otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang
membuat peraturan desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Pada prinsipnya UU Nomor 23 tahun 2014 menggunakan terminology ”urusan
pemerintahan” bukan kewenangan. Pemakaian istilah ini sangat menarik karena terjadi
perubahan pola pijak pengelolaan otonomi daerah. Istilah urusan pemerintahan lebih bermakna
pada aspek administratif saja, sebab ada urusan-urusan yang menjadi bagian pusat dan ada
urusan-urusan yang menjadi bagian daerah. Dimana urusan-urusan tersebut telah dipatron
mengikuti pola yang telah digariskan oleh pusat dan daerah, kurang memiliki diskresi untuk
berkreasi dan berinovasi dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan aspek
kewenangan lebih bermakna pada aspek pemberdayaan, dimana daerah memiliki keleluasaan
(diskresi) untuk mengelola kewenangan pemerintahan yang ada dengan berbagai kreasi dan
inovasi sesuai potensi daerah.
Dalam hal membentuk kebijakan daerah, para pembuat kebijakan daerah (local policy
maker) harus memahami bahwa pemerintah daerah hanya memiliki 1 (satu) kewenangan yaitu
urusan pemerintahan konkuren yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berdasarkan UU
No 23 tahun 2014 meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,
perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum dan
pelindungan masyarakat, dan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang sejatinya merupakan perbaikan dari Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
berupaya mengolaborasi semangat membangun demokratisasi dengan prinsip efisien,
transparan dan efektif dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Lahirnya konsep desentralisasi merupakan upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan
yang demokratis untuk mengakhiri pemerintahan yang sentralistik. Dalam implementasinya
desentralisasi adalah pembentukan badan-badan yang terpisah dari pusat, di mana badan-
badan perwakilan lokal memiliki kekuasaan formal untuk memutuskan tentang beragam isu
publik. Basis politik badan-badan lokal dan bukan nasional. Wilayah kewenangannya dibatasi
dan diikat oleh hukum nasional. Kewenangan dan pembatasannya hanya bisa diubah oleh
legislasi baru. Badan-badan tersebut memiliki sumber-sumber pembiayaan dan digunakan
untuk keperluan yang dirancang sendiri. Pelaksanaan pemerintahan di daerah dengan
mengedepankan aspek desentralisasi bertujuan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada
satu lapisan pemerintahan (pusat), yang sekaligus menjadi sumber pengakuan pemerintah
terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah.
Realisasi dari sistem desentralisasi tersebut, daerah- daerah perlu diberikan kewenangan. Salah
satu kewenangan pemerintah kabupaten terkait dengan urusan wajib adalah pemberdayaan
masyarakat dan desa sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, BAB XVIII, Desa.
Dengan melaksanakan desentralisasi hingga ke tingkat desa maka pemerintahan menjadi
lebih demokratis. Hal ini karena dalam negara yang menganut paham demokrasi, seharusnya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya hingga ke level yang terendah
yakni desa untuk ikut serta dalam pemerintahan. Kalau semboyan demokrasi pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the
people) benar-benar hendak direalisasi, maka tidaklah cukup dengan melaksanakannya pada
tingkat nasional atau pusat saja, tetapi juga hingga di tingkat desa. Sehingga terciptalah
kemandirian desa. Saat ini penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai “unit” pemerintahan yang
paling dekat dengan masyarakat, maka dalam penyelenggaraannya sangat diwajibkan untuk
melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena
penyelenggaraan pemerintah di tingkat desa tentu berbeda dengan penyelenggaraan
pemerintah yang ada di tingkat atasnya.
Tujuan ditetapkaninya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan penjabaran lebih
lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasan Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan
kebenagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi selunuh rakyat Indonesia;
3. Melestanikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, tenbuka, serta
bertanggung jawab;
6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyanakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat
Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional; dan
9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Dilihat dari elemen-elemen tersebut, desa dapat dianggap sebagai sebuah wilayah
pemerintahan yang bersifat formal sebagaimana Kabupaten/Kota dan Propinsi yang diisi oleh
perangkat pemerintahan daerah menurut masing-masing tingkatan tersebut. Dalam hal ini, desa
tidak dapat lagi dianggap sebagai komunitas informal yang hanya berbasis perkembangan
social dan ekonomi masyarakatnya saja namun juga menjadi bagian instrumen kebijakan untuk
tujuan pembangunan dan kepentingan masyarakat secara luas.
Satu hal yang menguatkan Undang-Undang ini sebagai basis pembaharuan terhadap desa
adalah upaya menjadikan desa tidak lagi menjadi objek pembangunan, namun sebagai subjek
pembangunan, yang artinya desa menjadi pelaksana bagi pembangunannya sendiri. Hal ini bisa
dilakukan apabila desa diberikan keleluasaan untuk mandiri. Desa diajak untuk mengelola
segala sumber daya yang ada di wilayahnya untuk menopang pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan publik. Desa harus bisa melakukan perencanaan pembangunannya sendiri, dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan di kabupaten/kota. Undang-Undang ini
menggunakan dua pendekatan pembangunan yaitu “desa membangun” dan “membangun desa”.
Dalam perkembangannya, dinamika dan problematika implementasi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tetap ada. Sejak lahirnya Undang-Undang Desa, telah
membuka babak sejarah baru dalam perjalanan republik ini. Regulasi baru yang mengusung
semangat pembaharuan desa ini mendorong munculnya optimisme yang merebak, terutama di
kalangan masyarakat desa, akademisi ilmu sosial, dan para pegiat advokasi isu pedesaan.
Dengan berlandaskan prinsip yang jauh lebih substantif dan komprehensif, banyak pihak yang
meyakini bahwa Undang-Undang Desa yang baru tersebut bakal mampu membawa desa
meninggalkan citra keterbelakangan dan ketertinggalannya menuju desa yang kuat, demokratis,
maju, sejahtera, dan mandiri. Sebagaimana diketahui bahwa ruang lingkup kebijakan daerah
mengacu kepada penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU No. 23 tahun 2014 adalah Perda, Perkada dan
keputusan kepala daerah.
Kesimpulan
Persoalan desa tidak dapat hanya diselesaikan melalui pendekatan yang sifatnya formil dan
struktural semata. Amat diperlukan pendekatan sosial dan budaya yang sudah menjadi karakter
dari setiap desa di Indonesia. Regulasi dalam hal ini juga perlu memperhitungkan aspek historis
dan sosial tersebut. Dalam mengantisipasi persoalan tersebut pemerintah dan DPR pada
akhirnya menerbitkan regulasi khusus yang mengatur tentang desa melalui UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Perkembangan dan perubahan desa dan pemerintahan desa mengalami
perkembangan seturut dengan perubahan berbagai regulasi yang mengaturnya. Seiring dengan
perubahan tersebut, desa dan pemerintahan desa juga harus menyesuaikan diri dengan
perubahan konsep dalam kebijakan desentralisasi yang berlaku.
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 memberikan peranan dan kedudukan yang tidak berbeda jauh
dengan rejim UU No. 23 Tahun 2014. Keberadaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa merupakan bentuk revitalisasi peraturan sebelumnya yang menjadi koreksi dan
otokritik terhadap peraturan perundang-undangan tentang desa selama ini yang terkesan tidak
serius dan memiliki komitmen besar terhadap standar pembangunan di desa, dimana desa
merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota.
Undang-Undang Desa tetap berada pada koridor pemerintah mengakui seluruh hak asal-usul
desa beserta pranata tradisionalnya yang telah ada sejak dahulu, dan desa tetap diakui oleh
pemerintah terhadap desa-desa adat di Indonesia. Di samping itu, desa juga diberikan
kewenangan otonom untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (subsidiaritas).
Pasal 18 Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia hanya dibagi dalam
dua tingkatan pemerintah daerah yaitu Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka pemerintahan desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dengan
sendirinya akan berada dibawah lingkup pemerintahan Kabupaten/Kota. Selanjutnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa maka pemerintah Desa secara
administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten/Kota (local self government) dan tetap
memiliki hak serta kewenangan khusus untuk mengurus urusan masyarakat sesuai dengan hak
asal-usul dan adat istiadat yang masih hidup (self governing community).
Hal tersebut diperkuat dengan asas rekognisi yaitu pengakuan terhadap hak asal usul,
dalam hal ini berarti desa diakui keberadaannya oleh negara sebagai suatu organisasi
pemerintahan yang sudah ada dan dilakukan dalam kesatuan masyarakat adat sebelum lahirnya
NKRI. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa sebagai kesatuan masyarakat adat, desa diakui
keberadaannya oleh Negara sebagai satuan pemerintahan yang paling kecil dan terlibat bagi
terbentuknya Negara. Desa mempunyai keududukan yang sederajat dan sama pentingnya
dengan kesatuan pemerintahan seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung
makna, bahwa kesatuan masyarakat hukum atau sebutan nama lainya berhak atas segala
perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai subsistem NKRI, dengan tetap berada
pada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, hadirnya Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan kewenangan kepada desa yang meliputi: 1)
kewenangan berdasarkan hak asal usul; 2) kewenangan lokal berskala Desa; 3) Kewenangan
yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota; dan 3) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Artikel/Buku/Laporan
Aulia, M. Zulfa. “Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi”.
Undang: Jurnal Hukum, 1, 1 (2018): 159-185.
Nuring Setpyasa Laksana. “Bentuk-bentuk Partsipasi Masyarakat Desa”, Jurnal Kebijakan dan
Manajemen Publik, Vol. 1, No. 1 (2013): 18-30.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Eko, Sutoro. Dkk. Desa Membangun Indonesia, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktek: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo,
2007.
Radjab, Dasril. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Sudjatmiko, Budiman dan Yando Zakaria, Desa Kuat, Indonesia Kuat!: Buku Pegangan bagi
Aparat/Perangkat Desa Seluruh Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014.