You are on page 1of 20

DUALISME MEKANISME PENGUJIAN PERATURAN DESA

Eryanto Siagian
Universitas Lancang Kuning
Jl. Yos Sudarso No.KM. 8, Umban
Sari, Kec. Rumbai, Kota
Pekanbaru, Riau 28266
Tel/Fax: (0761) 52248 E-mail:
info@unilak.ac.id

Eddy Asnawi
Universitas Lancang Kuning
Jl. Yos Sudarso No.KM. 8, Umban
Sari, Kec. Rumbai, Kota
Pekanbaru, Riau 28266
Tel/Fax: (0761) 52248 E-mail:
info@unilak.ac.id

Bahrun Azmi
Universitas Lancang Kuning
Jl. Yos Sudarso No.KM. 8, Umban
Sari, Kec. Rumbai, Kota
Pekanbaru, Riau 28266
Tel/Fax: (0761) 52248 E-mail:
info@unilak.ac.id

Abstract
The state recognizes the existence of the village as the lowest unit in the Indonesian
government system. The village has a very large influence on the success of the
administration of the government system so that the Act guarantees the recognition
and protection of the village's traditional rights and provides freedom to organize its
own government system. However, in practice, legal problems arise, namely regarding
the position of village regulations and the mechanism for canceling village regulations
because in their provisions the cancellation of village regulations is not found in Law
Number 6 of 2014 and is instead regulated in PP. 43 of 2014. The purpose of writing
this scientific paper is to analyze the position of village regulations in statutory
regulations, the mechanism for canceling village regulations and the legal implications
of village regulations being canceled by the Regent/Mayor. The research method that
will be used in this study is a normative legal research method that will examine based
on the rules, principles and norms contained in the legislation.
Keywords: Village; Village Regulations; Village Autonomy; Laws and Regulations;
Cancellation of Village Regulations

Abstrak
Negara mengakui keberadaan desa sebagai unit terendah dalam sistem pemerintahan
Indonesia. Desa memiliki pengaruh yang sangat besar akan keberhasilan
penyelenggaraan sistem pemerintahan sehingga Undang-Undang menjamin
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional desa serta memberikan
kebebasan dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan sendiri. Namun dalam

213
214
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

praktiknya, problematika hukum muncul yaitu terkait kedudukan peraturan desa dan
mekanisme pembatalan peraturan desa karena dalam ketentuannya pembatalan
peraturan desa tidak ditemukan didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan
justru diatur alam PP No. 43 Tahun 2014. Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk menganalisa kedudukan peraturan desa dalam peraturan perundang-
undangan, mekanisme pembatalan peraturan desa dan bagaimana implikasi hukum
peraturan desa yang dibatalkan oleh Bupati/Walikota. Metode penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang akan
mengkaji berdasarkan kaidah, asas dan norma-norma yang tertuang didalam
peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci: Desa; Peraturan Desa; Otonomi Desa; Peraturan Perundang-Undang;
Pembatalan Peraturan Desa.

A. LATAR BELAKANG
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1 Dapat diketahui bahwa
desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-
cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Negara mengakui bahwa keberadaan desa merupakan basic system
untuk menentukan keberhasilan sebuah penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa
sehingga desa perlu untuk di lindungi, diberdayakan agar menjadi kuat dan
mandiri, diakui serta diberikan hak untuk menjalankan sistem
pemerintahannya sendiri tanpa intervensi dari pihak manapun sesuai dengan
prinsip otonom dan tugas pembantuan.2
Regulasi Pengakuan dan penghormatan negara tentang
eksistensi/keberadaan desa dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia diatur dalam konstitusi negara Indonesia yang tercantum dalam
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
2Bambang Adhi Pamungkas, Implementation Of The Post-Regulation Autonomy Of
Village Number 6 Of 2014 Concerning Village, dalam Jurnal USM Law Review Vol 2 No
2 Tahun 2019, hlm. 212-213.
215
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

1945, yang secara tegas menyatakan bahwa “negara mengakui dan


menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.3
Menurut Eddi Handono, desa digambarkan dalam dua gambaran utama,
yaitu: pertama, desa dalam perspektif sosiologis dapat digambarkan sebagai
sebuah komunitas dalam kesatuan wilayah geografis tertentu, dimana
masyarakatnya saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang
relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam, sehingga
masyarakatnya sebagian besar masih sangat tergantung dengan alam dan
kedua, desa digambarkan dalam bentuk organisasi kekuasaan yang mana,
desa diasumikan sebagai wadah politis yang notabene memiliki sebuah
keukasaan dan kewenagan dalam sistem pemeritnahan negara Indonesia. 4
Secara historis, keberadaan desa sebenarnya sudah ada sejak zaman
Hindia Belanda. Justru, pelaksanaan otonomi desa pada zaman Hindia Belanda
tersebut dirasakan lebih nyata daripada masa sekarang. Mengapa demikian,
karena pada masa pemerintahan Hinda Belanda, hak asal-usul dan hak
tradisional yang menjadi keidentikan masyarakat desa benar benar di akui
dan diperhatikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dibuktikan
bahwa pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah
peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan sebutan indische
staasgeling dan IGOB Stb. 1938 No. 490 Jo.681 yang mengatur dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk ikut berpartisipasi
menjadi bahagian dari kesatuan wilayah hukum pemerintah Belanda dan
menjadi badan hukum Indonesia.5

3 Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4
Eddie B. Handono, Kumpulan Modul APBDes Partisipatif: Membangun Tanggung Gugat
Tentang Tata Pemerintahan Desa, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: FPPD, 2005), hlm. 132.
5 Jorawati Simarmata dan Damai Magdalena, Kedudukan Dan Peranan Peraturan Desa

Dalam Kerangka Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


Tentang Desa dan Peraturan Perundang-Undangan Terkait (Position And Role Of
Village Regulation In The Frame Of Village Autonomy Based Of The Law Number 6 Of
2014 On Village And Other Related Laws And Regulations),dalam website https://e-
jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/download/414/294, diakses pada
Tanggal 22 Agustus 2021, pukul 13:09 WIB, hlm. 2
216
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Perlu dipahami bahwa tujuan negara memberikan wewenang atau


otonomi kepada pemerintah desa adalah agar desa memiliki kewenangan
yang seluas-luasnya untuk mengurus dan menjalankan rumah tangga sendiri
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat sekaligus sebagai
bukti bahwa negara mengakui dan menghormati hak asal-usul dan hak
tradisional dari masyarakat desa. 6 Maka, untuk mendukung pelaksanaan
otonomi desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut ketentuan
Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa
disebutkan bahwa pemerintah desa (Kepala Desa) diberikan kewenangan
untuk menetapkan peraturan desa atau peraturan lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan
yang diatasnya.7
Selain itu, pemberian otonomi kepada desa, bukan hanya diberikan
kepada desa yang definitif atau dengan kata lain Desa asli, melainkan
pemberian otonomi desa juga di berikan oleh Undang-Undang baik itu
Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah kepada Desa administratif. Undang-Undang ini
mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun sebutan lainnya dan
kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun
pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sementara itu, terhadap desa di
luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administrasi seperti desa yang
dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun
karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen,
maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.8

6 Innesa Destifani, et.al, Pelaksanaan Kewenangan Desa Dalam Rangka Mewujudkan


Otonomi Desa (Studi pada Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora),
dalam Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 1, No. 6,2013, hlm. 1239.
7 Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa
8
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), Cetakan Pertama, (PT. RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2008), hlm. 148.
217
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Secara yuridis formil, didalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 6


Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa Peraturan Desa merupakan
bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.9
Peraturan Desa merupakan dasar legitimasi bagi penyelenggaraan urusan
pemerintah ditingkat desa, maka dalam tahapan-tahapan pembentukannya,
peraturan desa haruslah mengacu berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yaitu mulai dari tahapan perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, perundangan hingga pada
tahapan penyebarluasan. 10 Namun dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan negara, istilah peraturan desa masih di anggap baru dan kurang
begitu populer dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya
seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan
Peraturan Daerah. Karena ketidak populeran Peraturan desa ditingkat
pemerintahan desa tersebut menyebabkan masyarakat desa minim
pengetahuan dan pemerintah desa kerap kali mengabaikan keberadaan
peraturan desa dalam sistem pemerintahan desa.11
Perlu diketahui bahwa Istilah peraturan desa sebenarnya baru dikenal
dalam sistem ketatanegaraan pada era reformasi, karena pada saat itu istilah
peraturan desa dimuat didalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, istilah peraturan desa juga
kembali dimuat didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tepatnya pada Pasal 7 ayat (2)
huruf c yang pada intinya menyebutkan bahwa peraturan desa masuk dalam
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, setelah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan

9 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa


10 Utang Rosidin, Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Proses Pembentukan Peraturan
Desa Yang Aspiratif, dalam Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 4, Nomor 1, September
2019, hlm. 174.
11 Bagus Oktafian Abrianto, Eksistensi Peraturan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan

Dan Perundang-Undangan Di Indonesia, dalam Jurnal Yuridika: Volume 26 No 3,


September-Desember 2011, hlm. 222
218
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

kebutuhan masyarakat sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun
yang menjadi masalahnya istilah peraturan desa tidak lagi ditemukan sebagai
bahagian dari hierarki peraturan perundang-undangan.12
Dengan tidak ditemukannya istilah peraturan desa didalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan kemudian melahirkan pertentangan hukum. Hal ini
disebabkan karena Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tidak sejalan dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Objektif permasalahan hukum dari kedua
peraturan ini adalah tentang siapa yang berhak untuk melakukan pembatalan
peraturan desa, apakah Bupati/Walikota dengan mekanisme executive review
atau Mahkamah Agung dengan mekanisme judicial review. Terjadi dualisme
kewenangan antara lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif terhadap
pembatalan peraturan desa. Tentu hal ini akan sangat bertentangan dengan
konsep pembagian kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif yang selama ini
menjadi pedoman pemerintah didalam menjalankan sistem pemerintahan di
Indonesia. 13
Problematika hukum terkait dengan pembatalan peraturan desa ini
sebenarnya di awali dengan permasalahan terkait dengan ketidak jelasan
kedudukan peraturan desa dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka istilah peraturan desa
tidak lagi ditemukan dalam Undang-Undang ini padahal Undang-Undang
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan melampirkan istilah peraturan
desa sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. 14

12 Eddy Asnawi, et.al, Penataan Kewenangan Dan Mekanisme Pembatalan Peraturan


Desa Dalam Kerangka Otonomi Desa Di Indonesia, dalam Jurnal Cendekia Hukum: Vol.
7, No 1, September 2021, hlm. 83-84
13 Rika Marlina, Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di

Indonesia, dalam Jurnal Daulat Vol. 1. No. 1 Maret 2018, hlm. 175
14 Chilik Handayani Gonibala, Kedudukan Dan Pengawasan Serta Pengujian Terhadap

Peraturan Desa Dari Perspektif Peraturan Perundang, dalam Jurnal Lex


Administratum, Vol. VI/No. 3 /Jul-Ags/2018, hlm. 37.
219
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Namun disisi lainnya pernyataan peraturan desa masuk dalam


kualfikasi peraturan perundang-undangan tertuang didalam Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Jo
Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Teknis Peraturan Di Desa yang menyatakan bahwa peraturan desa
merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh kepala desa
beserta Badan Permusyawaratan Desa.15
Jika di lihat dari perbedaan konsep 2 (dua) peraturan perundang-
undangan diatas, maka terdapat 2 (dua) konsep yang berbeda pula terkait
dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan desa
tersebut. Jika peraturan desa merupakan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang seperti yang dituangkan didalam Pasal 1 Ayat (7)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka seharusnya
mekanisme pembatalan Peraturan Desa tersebut dilakukan oleh Mahkamah
Agung dengan proses judicial review sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Juncto Pasal 20 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Juncto Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Namun, jika peraturan desa tersebut tidak menjadi
bahagian dari peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang,
maka seharusnya pembatalan peraturan desa tersebut dilakuakan oleh
Bupati/Walikota dengan mekanisme Eksekutif Review sesuai dengan
ketentuan Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
16

Salah satu contoh kasus terkait dengan pembatalan peraturan desa yang
dilakukan oleh seorang Bupati terjadi pada pada tahun 2018 di Provinsi Jawa
Timur tepatnya di desa Glagahwangi Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten
Bojonegoro. Saat itu Bupati mengeluarkan Surat Keputusan Nomor

15 Hafizatul Ulum, Pengujian Konstitusional Peraturan Desa Dalam Peraturan


Perundang-Undangan, dalam Jurnal Unizar Law Review, Vol. 3 Issue 2 Tahun 2020, hlm.
198-199.
16 Ibid.
220
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

188/330/KEP/412.013/2018 tentang pembatalan Peraturan Desa


Glagawangi Kecamatan Sugihwaras kabupaten Bojonegoro yang membatalkan
Peraturan Desa Nomor 06 Tahun 2018 tentang Pengisian Perangkat Desa. Hal
ini disebabkan bahwa materi muatan didalam peraturan desa mengandung
unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusional, kepentingan
umum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada
diatasnya.17
Berdasarkan uraian diatas, sangat menarik untuk membahas bagaimana
kedudukan desa menurut peraturan perundang-undangan, bagaimana
mekanisme pembatalan peraturan desa dan jika peraturan desa itu dibatalkan
oleh Bupati/Walikota menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
bagaimana kedudukan hukum dari peraturan desa tersebut.
Dari survey beberapa literatur lainnya menyebutkan bahwa mekanisme
pembatalan peraturan desa itu ada dalam peraturan perundang-undangan.
Namun berbeda dalam penelitian ini, penelitian ini justru melihat dan
mengkaji bahwa mekanisme pembatalan peraturan desa itu tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa dan hanya ketentuan kewenangan yang membatalkan
peraturan desa disematkan dalam ketentuan Pasal 87 PP No. 4 Tahun 2014.
Sehingga tujuan dalam penulisan ini benar benar ingin memberikan masukan
kepada pemerintah untuk mengatur kembali terkait dengan mekanisme
pembatalan peraturan desa untuk memberikan kepastian hukum terhadap
aparatur pemerintah desa didalam menjalankan kewenangannya.

17Suara Bojonegoro, Kades Glagahwangi Tidak Menggubris SK Bupati, dalam


https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:0Cy3AlVg4sMJ:https://sua
rabojonegoro.com/news/2018/11/18/kades-glagahwangi-tidak-menggubris-sk-
bupati+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id, di akses pada hari Minggu, 22 Agustus 2021,
pukul 16:25.
221
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif yang akan mengkaji berdasarkan kaidah, asas dan
norma-norma yang tertuang didalam peraturan perundang-undangan.
C. PEMBAHASAN
1. Kedudukan Peraturan Desa Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Sebelum masuk kedalam pembahasan kedudukan peraturan desa, maka
alangkah baiknya terlebih dahulu penulis memaparkan unsur-unsur
peraturan desa dan peraturan perundang-undangan menurut undang-undang
sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan terkait dengan kedudukan
peraturan desa.
Pertama-tama, penulis akan membahas unsur-unsur yang terkandung
menurut peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, konsep peraturan perundang-undangan adalah bentuknya tertulis,
memuat sebuah aturan/norma hukum, sifatnya mengikat dan berlaku umum,
dibuat oleh pejabat yang berwenang dan tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan lainnya.18 Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan menggolongkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari pernyataan undang-undang ini jelas tidak dicantumkan bahwa peraturan
desa bukan merupakan peraturan perundang-undangan.19Sedangkan menurut
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan disebutkan bahwa :
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

18 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan.
19 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan
222
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan


Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.20
Kemudian, setelah membahas unsur-unsur yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan, maka penulis membahas unsur-unsur/nilai-
nilai yang terkandung peraturan desa menurut peraturan perundang-
undangan. Peraturan Desa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah merupakan
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh kepala desa
setelah dibahas dan disepakati bersama dengan BPD.21 Kemudian, dalam Pasal
69 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa peraturan
desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi22 Selanjutnya dalam Pasal 84 ayat (5)
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa
peraturan desa wajib disebarluaskan oleh pemerintah desa
Jika dihubungkan klausul-klausul antara peraturan desa dan peraturan
perundang-undangan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kedudukan peraturan desa adalah merupakan bahagian dari peraturan
perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang terkandung

20 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan


Perundang-Undangan
21 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Desa.
22 Pasal 69 ayat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
223
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

didalam peraturan desa telah memenuhi syarat formil sebagai suatu jenis
peraturan perundang-undangan, kendatipun istilah peraturan desa tidak
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan.
Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa peneliti yang penulis
temukan dalam beberapa literatur salah satunya adalah Zaka Firma Aditya
dan Muhamad Reza Winata dalam jurnalnya yang berjudul Rekonstruksi
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang mengatakan
bahwa Peraturan Desa merupakan bahagian dari peraturan perundang-
undangan. Dimana Zaka Firma Aditya dan Muhamad Reza Winata
menghubungkan antara teori norma yang dikemukan oleh Hans Kelsen yang
mengatakan bahwa suatu norma hukum mempunyai legal standing dan
sifatnya mengikat secara umum kepada orang-orang yang diaturnya.
Kemudian teori norma Hans Kelsen tersebut dihubungkan dengan sifat
peraturan desa yang bersifat mengikat terhadap perangkat desa dan berlaku
umum terhadap masyarakat desa.23
Selain itu, dikutip dari beberapa literatur lainnya, dijelaskan juga bahwa
kedudukan peraturan desa bukan merupakan bahagian dari produk hukum
daerah. Hal ini dilihat berdasarkan Pasal 1 ayat 16 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
yang menyatakan bahwa produk hukum daerah produk hukum berbentuk
peraturan meliputi PERDA atau nama lainnya, PERKADA, PB KDH, Peraturan
DPRD dan berbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan
Kehormatan DPRD. Ketentuan yang diatur dalam PERMENDAGRI Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sejalan dengan UU
NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang
sama-sama menyebutkan bahwa peraturan desa bukan bahagian dari
peraturan daerah.24

23 Zaka Firma Aditya dan Muhammad Reza Winata, Rekonstruksi Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia, dalam Jurnal Negara Hukum: Vol. 9, No. 1, Juni
2018, hlm. 96.
24 Jorawati Simamora & Damai Magdalena, Kedudukan Dan Peranan Peraturan Desa

Dalam Kerangka Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


224
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwasanya Peraturan Desa (Perdes)


merupakan peraturan yang mengatur ditingkat desa yang mana jika dilihat
dari ruh nya bahwa masyarakat desa tersebut merupakan bentuk kesatuan
masyarakat hukum yang secara dejure Undang-Undang telah memberikan hak
untuk mengurus rumah tangganya sendiri sehingga seharusnya unit
pemerintahan desa tersebut memang dipisahkan dari unit pemerintah daerah
karena apabila itu tidak dipisahkan maka akan menimbulkan pesoalan yang
serius dikemudian harinya.25
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan
peraturan desa menurut peraturan perundang-undangan adalah merupakan
bahagian dari peraturan perundang-undangan dan peraturan desa bukan
bahagian dari produk hukum daerah.

2. Mekanisme Pembatalan Peraturan Desa Menurut Undang-Undang.

Setelah penulis membahas mengenai kedudukan peraturan desa sebagai


hierarki peraturan perundang-undangan dan bukan sebagai produk hukum
daerah, maka sekarang masuk kedalam pembahasan terkait dengan
mekanisme pembatalan peraturan desa. Perlu diketahui bahwa pengujian
konstitusionalis pembatalan peraturan desa di Indonesia tidak diatur secara
eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, namun justru diatur
didalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, tepatnya di
Pasal 87 yang menyebutkan bahwa peraturan desa yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dibatalkan oleh Bupati/Walikota.
Menurut Bagir Manan, regulasi pengujian produk hukum ini dilakukan
sebenarnya adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan
pelanggaran kekuasaan serta menjaga nilai-nilai dan kaidah hukum lainnya

Tentang Desa Dan Peraturan Perundang-Undangan Terkait (Position And Role Of


Village Regulation In The Frame Of Village Autonomy Based Of The Law Number 6 Of
2014 On Village And Other Related Laws And Regulations), dalam Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol 12, No. 3 Tahun 2015., hlm. 7.
25 Ibid.,hlm. 6.
225
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

agar selaras dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan peraturan


perundang-undangan lainnya.26 Menurut, Jimmly Asshiddiqqie bahwa dalam
pelaksanaan pengujian maka ada beberapa bentuk norma hukum yang dapat
diajukan sebagai syarat perngujian diantaranya yaitu Keputusan normatif
yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi
dan bersifat penetapan administratif (beschikking) dan keputusan normatif
yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.27
Terkait tidak diaturnya secara eksplisit norma hukum terkait
mekanisme pembatalan peraturan desa didalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, tentu saja akan sedikit banyaknya mencederai nilai-
nilai hukum yang terkandung dalam ruh peraturan desa sebagai instrumen
hukum pelaksanaan otonomi desa. Padahal, Undang-Undang sebelumnya telah
mengatur secara detail mengenai mekanisme pembatalan peraturan desa
seperti Pasal 6 ayat 4 Inlandsche GemeenteOrdonantie tahun 1906, Pasal 61
dan Pasal 62 Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja dikenal
dengan istilah pembatalan keputusan Desapraja dan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dikenal sebagai pembatalan
keputusan desa.28
Namun, jika ditelaah dan dihubungkan kembali terkait dengan klausul
pada Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait dengan
ketentuan pembatalan peraturan desa sebenarnya ketentuan pada Pasal 87
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 juga bertentangan dengan UU
NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menurut Eddy Asnawi yang dikutip dari
jurnalnya yang berjudul Penataan Kewenangan Dan Mekanisme Pembatalan
Peraturan Desa Dalam Kerangka Otonomi Desa Di Indonesia menuturkan
bahwa hadirnya ketentuan dalam Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 43

26 Putera Astomo, Kedudukan dan Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Desa dalam


Peraturan Perundang-undangan Position and Constitutional Review of Village Rules in
Legislation, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 2, Juni 2018, hlm. 288.
27
Achmad Mulyanto, Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial
Review) Pada Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Yustisia Vol.2
No.1 Januari – April 2013, hlm. 59.
28 Eddy Asnawi, et.al, Penataan Kewenangan Dan.................................., Loc.Cit.
226
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Tahun 2014 menciptakan sebuah norma hukum baru dan materi muatan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tersebut bertentangan dengan
materi muatan yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa. Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 87 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang tidak mengisyaratkan
adanya pengaturan lebih lanjut terkait dengan peraturan desa. Kemudian
dalam konsideran menimbang Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa tidak diamanatkan untuk melaksanakan Pasal 69 Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.29
Selanjutnya, Eddi Asnawi juga menuturkan bahwa ketentuan
pembatalan peraturan desa yang diatur dalam PP No. 43 Tahun 2014
berpotensi tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yaitu Peraturan desa
sebagai produk hukum bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
Peraturan Desa bertentangan dengan peraturan perundang-undangaan yang
kedudukannya dibawah Undang-Undang dan Peraturan Desa bertentangan
dengan kepentingan umum.30

3. Pembatalan Peraturan Desa yang dibatalkan Oleh Bupati/Walikota.


Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa dinyatakan bahwa
mekanisme pembatalan peraturan desa tidak diatur secara eksplisit dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan justru diatur didalam
Pasal 87 PP No. 43 Tahun 2014. Dimana ketentuan Pasal 87 PP No. 43 Tahun
2014 juga melahirkan sebuah pertentangan hukum baik ditinjau dari segi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peratuan Perundang-Undangan.
Pasal 87 PP No. 43 Tahun 2014 menyatakan bahwa Peraturan Desa dan
peraturan kepala Desa yang bertentangan dengan kepentingan umum

29 Ibid.,hlm. 88
30 Ibid.,hlm. 91.
227
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


dibatalkan oleh bupati/walikota.
Jika dalam pembahasan sebelumnya, penulis mengutip dari jurnal Eddy
Asnawi telah membahas bahwa ketentuan dalam Pasal 87 Pasal 87 PP No. 43
Tahun 2014 melahirkan 3 (tiga) potensi yaitu :
a. Peraturan desa sebagai produk hukum bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Jika peraturan desa masuk dalam hierarki peraturan perundang-
undangan sesuai yang dibahas sebelumnya, maka berdasarkan ketentuan
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan, pengujiannya harus dilaksanakan terlebih
dahulu oleh Mahkamah Agung melalui proses Judicial Review dan bukan
dibatalkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87
PP No. 43 Tahun 2014 tersebut. Hal senada juga dituangkan dalam ketentuan
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Juncto Pasal 20 ayat (2)
huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang
mengadili dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang melalui mekanisme Judicial Review.
Upaya tersebut diatas mengingkan tidak terjadinya dualisme
kewenangan dalam melakukan pembatalan peraturan desa yang nantinya
akan sangat bertentangan dengan konsep negara hukum yang dianut oleh
Indonesia. Pernyataan Indonesia merupakan negara hukum dituangkan dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, konsepsi negara hukum bermakna bahwa suatu negara berdasarkan
atas hukum dan bukan kekuasaan (machstaat)31 Sebagai negara hukum, segala
aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
termasuk pemerintah harus berdasarkan atas hukum yang berlaku yang
sesuai dengan sistem hukum nasional, karena pada prinsipnya negara hukum
yang di anut Indonesia adalah negara hukum modern yaitu negara hukum
Pancasila, maka fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya

31
Roy Marthen Moonti, Ilmu Perundang-Undangan, Cetakan Pertama, (Makassar,
Keretakupa, 2017), hlm. 10.
228
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

memberikan bentuk-bentuk, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam


masyarakat dan juga bukan hanya sekedar fungsi negara di bidang
pengaturan, namun peraturan perundang-undangan adalah salah satu metode
dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan
kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang di harapkan. Dalam negara
hukum modern, peraturan perundang-undangan diharapkan mampu untuk
“berjalan didepan” memimpin dan membimbing perkembangan serta
perubahan masyarakat.32
b. Peraturan Desa bertentangan dengan peraturan perundang-
undangaan yang kedudukannya dibawah Undang-Undang.
Selanjutnya, peraturan desa yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya dibawah Undang-Undang. Menurut
Eddi Asnawi, bahwa secara eksplisit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan tidak mengatur terkait
dengan mekanisme pembatalan peraturan desa yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang.
c. Peraturan Desa bertentangan dengan kepentingan umum.
Menurut Eddi Asnawi, sama halnya dengan poin (b) bahwa Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan juga tidak mengatur bagaimana mekanisme pembatalan peraturan
desa yang bertentangan dengan kepentingan umum.33
Berdasarkan dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa telah
terjadi kekosongan hukum terkait dengan pembatalan peraturan desa yang
bertentangan dengan peraturan dibawah peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang dan pembatalan peraturan desa yang bertentangan
dengan kepentingan umum. Menurut Eddi Asnawi, untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut, maka sebaiknya pembatalan peraturan desa tersebut di
bahas melalui rapat Badan Permusyawaratan Desa bersama-sama dengan
kepala desa dan tokoh-tokoh desa yang berkompeten. Hal tersebut sesuai
dengan ruh peraturan desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

32
Rahendro Jati, “Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Peraturan Undang-
Undangan Yang Responsif”, Dalam Jurnal Rechtsvinding, Vol 1 No. 3, Desember 2012,
hlm. 330.
33Eddy Asnawi, et.al, Penataan Kewenangan Dan.................................., Loc.Cit.
229
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

tentang Desa yang menginginkan bahwa peraturan desa dibuat untuk


mengatur kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan
berskala lokal desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat desa dan Badan
Permusyawaratan Desa.34Selanjutnya terjadinya kekosongan hukum akibat
dari adanya pertentangan antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-
Undang yang lainnya, maka klausul dari ketentuan yang menyebutkan bahwa
pembatalan peraturan desa yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dibatalkan oleh bupati/walikota harus dapat direvisi oleh pemerintah dengan
memperhatikan nilai-nilai dan kaida-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.

D. KESIMPULAN
Kedudukan Peraturan Desa Menurut Peraturan Perundang-Undangan
mengacu pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jo
Pasal 1 ayat (7) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Jo Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 disimpulkan bahwa Peraturan desa merupakan
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Selain itu
kedudukan peraturan desa juga bukan merupakan bahagian dari produk
hukum daerah. Mekanisme Pembatalan Peraturan Desa Menurut Undang-
Undang sebenarnya tidak diatur secara eksplisit didalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, justru mekanisme pembatalan peraturan
desa tersebut diatur dalam Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014. Namun jika dikaji kembali ketentuan dalam Pasal 87 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terdapat beberapa problematika
hukum yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan. Pembatalan Peraturan Desa Dibatalkan Oleh
Bupati/Walikota telah dituangkan dalam Pasal 87 PP NO. 43 Tahun 2014 dan
sekaligus menjadi hukum positif terhadap siapa yang berwenang dalam
melakukan pembatalan peraturan desa. Namun, klausul tersebut melahirkan

34 Ibid.,hlm. 92
230
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

sejmlah pertentangan yaitu pertama jika pembatalan peraturan desa


merupakan produk hukum yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan , maka berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan,
pengujiannya harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Mahkamah Agung
melalui proses Judicial Review dan bukan dibatalkan oleh Bupati/Walikota,
kemudian jika peraturan desa bertentangan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembutan peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara
eksplisit terkait dengan pembatalan peraturan desa tesebut dan yang terakhir
pembatalan peratuan desa yang bertentangan dengan kepentingan umum juga
tidak diatur secara eksplisit sehingga dari uraian tersebut pembataln
peraturan desa telah terjadi kekosongan hukum dan pemerintah harus segera
merevisi peraturan perundang-undangann ini untuk memberikan kepastian
hukum dan menghindari adanya dualisme kewenangan dalam melakukan
pembatalan peraturan desa.

DAFTAR PUSTAKA
a. Buku

Handono, E. B. (2005). Kumpulan Modul APBDes Partisipatif:


Membangun Tanggung Gugat Tentang Tata Pemerintahan
Desa. Yogyakarta: FPPD.
Moonti, R. M. (2017). Ilmu Perundang-Undangan,. Makassar:
Kertakupa.
Widjaja, H. (2008). Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Dalam
Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

b. Jurnal Artikel
231
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Abrianto, B. O. (2011). Eksistensi Peraturan Desa Dalam Sistem


Ketatanegaraan Dan Perundang-Undangan Di Indonesia.
Yuridika, 222.
Astomo, P. (2018). Kedudukan dan Pengujian Konstitusionalitas
Peraturan Desa dalam Peraturan Perundang-undangan
Position and Constitutional Review of Village Rules in
Legislation. Konstitusi, 288.
Eddi Asnawi, e. a. (2021). Penataan Kewenangan Dan Mekanisme
Pembatalan Peraturan Desa Dalam Kerangka Otonomi Desa
Di Indonesia. Cendekia Hukum, 83-84.
Gonibala, C. H. (2018). Kedudukan Dan Pengawasan Serta Pengujian
Terhadap Peraturan Desa Dari Perspektif Peraturan
Perundang. Lex Administratum, 37.
Innesa Destifani, e. (2013). PELAKSANAAN KEWENANGAN DESA
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA (Studi pada
Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora). Jurnal
Administrasi, 1239.
Jati, R. (2012). “Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan
Peraturan Undang-Undangan Yang Responsif”, .
Rechtsvinding, 330.
Magdalena, J. S. (2015). KEDUDUKAN DAN PERANAN PERATURAN
DESA DALAM KERANGKA. Jurnal Legislasi Indonesia, 7.
Magdalena, J. S. (2015). Kedudukan Dan Peranan Peraturan Desa
Dalam Kerangka Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan
Perundang-Undangan Terkait (Position And Role Of Village
Regulation In The Frame Of Village Autonomy Based Of The
Law . Jurnal Legislasi Indonesia, 2.
Marlina, R. (2018). Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Di Indonesia. Daulat, 175.
232
BORNEO Law Review
Desember, Volume 5 Issue 2

Mulyanto, A. (2013). Problematika Pengujian Peraturan Perundang-


Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung Dan
Mahkamah Konstitusi. Yustisia, 59.
Pamungkas, B. A. (2019). Implementation Of The Post-Regulation
Autonomy Of Village Number 6 Of 2014 Concerning Village.
JURNAL USM LAW REVIEW, 212-213.
Rosidin, U. (2019). Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Proses
Pembentukan Peraturan Desa Yang Aspiratif. Bina Mulia
Hukum, 174.
Ulum, H. (2020). Pengujian Konstitusional Peraturan Desa Dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Unizar Law Review, 198-
199.
Winata, Z. F. (2018). Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia. Negara Hukum, 96.

d. World Wide Web:


Suara Bojonegoro. (2021), Kades Glagahwangi Tidak Menggubris SK
Bupati. Available online from:
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:0
Cy3AlVg4sMJ:https://suarabojonegoro.com/news/2018/11/
18/kades-glagahwangi-tidak-menggubris-sk-
bupati+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id.

You might also like