Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
DANU PERMADI
G2C119024
KELAS: B
UNIVERSITAS HALUOLEO
2020
PELAKSANAAN KEWENANGAN DESA DALAM
RANGKA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA
(Studi pada Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora)
DAFTAR PUSTAKA
Eko, Sutoro dkk. (2005) Prakarsa
Desentralisasi & Otonomi Desa.
Yogyakarta, IRE Press. Emzir.
(2010) Metodologi Penelitian
Kualitatif: Analisis Data.
Jakarta, Rajawali Press.
Nurcholis, Hanif. (2011) Pertumbuhan dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta,
Erlangga.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa [Internet] Available
from: <
http://www.kemendagri.go.id/produk-
hukum/2005/12/30/peraturan-pemerintah-
nomor-72-tahun-
2005> [Accessed: 22 Agustus 2013].
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
[Internet] Available from: <
http://www.bappenas.go.id/node/123/19
/uu-no-32-tahun-2004-tentang-
pemerintahan-daerah-/> [Accessed: 22
Agustus 2013].
Wasistiono, Sadu dan M. Irwan Tahir. (2007)
Prospek Pengembangan Desa. Bandung,
Fokusmedia. Widjaja, HAW. (2003) Otonomi
Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat
dan Utuh. Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Adianto
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Riau
Email: adi_perfisi@yahoo.co.id
Mayarni
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Riau
Dadang Mashur
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Riau
Tabel 1.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Partisipasi dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
“Partisipasi masyarakat dalam pelayanan perizinan harus terlebih dahulu ditentukan dalam
konteks apa, sehingga nantinya partisipasi yang ditunjukkan tidak menganggu kinerja pelayanan
perizinan yang dilakukan. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan program layanan dan
pelaksanaan pelayanan, sangat tidak mungkin. Sebab proses itu merupakan ranah dan
wewenangnya BPTPM dalam merumuskan strategi layanan perizinan yang akan diberikan
kepada publik. Tetapi apabila partisipasi ditunjukkan melalui pengawasan, maka itu sah-sah saja.
Selama tidak menganggu proses pelaksanaan pelayanan perizinan yang dilakukan di
BPTPM Kota Pekanbaru”.
Tabel 2.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Kepastian Hukum dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
“Pemberian layanan kepada publik sesuai dengan aturan yang berlaku, memang
harus dilakukan. Supaya setiap publik juga mengetahui SOP yang akan dilalui apabila
menginginkan sebuah pelayanan perizinan. Jangan menuntut saja layanan yang baik, tetapi
tidak mau mengikuti SOP layanan yang sudah ditetapkan. Apabila ada oknum pelayanan yang
bermain kepada publik dalam pemberian layanan ditindak saja dengan tegas, sesuai dengan
sanksi yang berlaku. Supaya oknum tersebut jera dan sadar bila telah melakukan pelanggaran
dalam melayani publik. Lembaga pemberi sanksi juga harus tegas kepada siapa saja oknumnya
yang melakukan pelanggaran pelayanan, jangan tebang pilih lah dalam memberikan sanksi”.
Tabel 3.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Transparansi dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
“Menciptakan layanan perizinan yang transparan memang harus dilakukan, agar publik yang
mengurus pelayanan perizinan percaya dengan oknum pelayanan dan lembaga publik
yang melayaninya. Transparansi layanan sudah kami lakukan dengan menyediakan papan
informasi layanan di setiap loket layanan, agar setiap publik dapat mengetahui prosedur
pelayanan perizinan yang dibutuhkan. Tinggal tergantung mental dan moral publik yang
dilayani dan petugas yang melayani, sanggup tidak untuk konsisten mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan
atau berfikir untuk mencari jalan pintas dalam memperoleh layanan
perizinan”.
Tabel 4.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Daya Tanggap dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
“Kebutuhan akan petugas pelayanan yang responsif di institusi ini sangatlah tinggi, karena tidak
semuanya petugas pelayanan disini memiliki daya tanggap yang baik. Keterbatasan
petugas pelayanan yang berdaya tanggap tinggi memang terjadi di institusi ini, sehingga
untuk selalu mengetahui dan mengenali kebutuhan publik akan pelayanan yang dibutuhkan
memerlukan waktu. Perlu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi petugas pelayanan, sehingga
dapat terus mengasa daya tanggap mereka dalam memberikan pelayanan kepada publik”.
Pernyataan informan penelitian ini menciptakan petugas-petugas layanan
menjelaskan bahwa kebutuhan akan perizinan yang berdaya tanggap baik,
petugas layanan perizinan yang responsif diperlukan penambahan pengetahuan,
sangatlah tinggi. Karena dengan memiliki keahlian dan bimbingan yang diberikan
petugas layanan publik yang peka dan institusi kepada petugas layanan
berdaya tanggap tinggi, maka setiap perizinan. Penambahan pengetahuan dan
permasalahan layanan akan dapat keahlian petugas layanan perizinan dapat
diselesaikan. Untuk itu dalam upaya dilakukan dengan mengikutsertakan
5
.
Tanggapan Responden terhadap
Prinsip Orientasi kepada Konsensus
dalam Pelayanan
Perizinan di Badan
Pelayanan Terpadu
dan Penanaman
Modal (BPTPM) Kota
Pekanbaru
2. Sinergitas dalam 6
penyelengaraan pelayanan
(30 %)
3. Mensosialisasikan program 4
pelayanan
(20 %)
Sumber : Olahan Penelitian, 2016
“Untuk menciptakan layanan perizinan yang sesuai dengan kebutuhan publik, dibutuhkan
konsensus bersama. Dimana dibuat kesepakatan bersama antara pemberi layanan dengan
penerima layanan terhadap pelaksanaan proses layanan. Sehingga apabila diterapkan tidak
ada lagi komplen lagi dari pihak penerima layanan. Tetapi dalam membangun konsensus ini
masih sulit dilakukan, sebab harus membutuhkan kerangka aturan yang jelas apabila
ingin terjalin konsensus bersama antara pemberi layanan dengan penerima layanan”.
Pernyataan informan ini yang jelas dalam membuat konsensus
menjelaskan bahwa untuk menciptakan bersama terhadap pelayanan perizinan,
pelayanan perizinan yang sesuai dengan maka tindakan tersebut nantinya
kebutuhan publik perlu dijalin konsensus terkategori sebagai pelanggaran aturan
bersama antara pemberi layanan dan hukum yang berlaku. Maka dari itu untuk
penerima layanan. Sebab konsensus yang dapat mewujudkan konsensus bersama
disepakati akan menjadi standart dalam dibutuhkan payung hukum yang jelas,
memberikan pelayanan perizinan kepada sehingga dalam upaya menjalin
publik. Namun untuk mewujudkan kesepakatan tidak ada aturan hukum yang
konsensus bersama dalam pelayanan dilanggar oleh pihak penyelenggara
perizinan diperlukan kekuatan dan pelayanan perizinan atau pihak penerima
kemauan yang luar biasa dari pelayanan perizinan.
penyelenggaran pelayanan. Karena
konsensus yang dijalin bertujuan untuk 6. Equity/keadilan
menciptakan layanan perizinan yang Penerapan prinsip good
sesuai dengan keinginan publik tanpa governance dalam pelayanan perizinan di
harus melanggar aturan pelayanan yang Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman
berlaku. Oleh sebab itu untuk bisa Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru, yang
menyusun konsensus bersama diperlukan diukur melalui keadilan atau kesetaraan
regulasi yang jelas dari pemerintah tentang akan dilihat dari perlakuan yang sama
penyelanggaraan konsensus tersebut. dalam penyelenggaraan pelayanan,
Sebab apabila tidak ada aturan menciptakan iklim yang kondusif dalam
penyelenggaraan pelayanan dan 15
memberikan kesempatan yang sama Adianto et. al: Model Penerapan….
dalam proses pelayanan. Untuk
mengetahui hasil penyebaran angket dan penerapan prinsip keadilan atau
wawancara yang dilakukan terhadap kesetaraan dalam pelayanan perizinan di
Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman
Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru, dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 6.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Keadilan atau Kesetaraan dalam Pelayanan
Perizinan di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM)
Kota Pekanbaru
“Keadilan dalam memberikan pelayanan harus ditegakkan, agar setiap publik merasa nyaman
dalam mengurus setiap pelayanan yang dibutuhkan. Namun untuk memberikan layanan yang
adil dibutuhkan komitmen, sikap dan moral yang baik dari para petugas pelayanan. Bahkan perlu
sanksi yang tegas apabila ada petugas pelayanan yang coba-coba berani melakukan pelayanan
yang tidak adil kepada setiap publik yang datang untuk mengurus pelayanannya”.
Pernyataan informan penelitian ini yang berlaku tidak adil dapat secara
menjelaskan bahwa pihak pelaksana tertulis yang didukung dengan
pelayanan perizinan juga menginginkan dokumentasi dan rekaman pelanggaran
terwujudnya pelayanan yang adil kepada pelayanan. Laporan yang dibuat oleh publik
setiap publik. Bahkan penyelenggara dapat diserahkan secara langsung oleh
layanan menginginkan apabila ditemukan pihak Badan Pelayanan Terpadu dan
adanya petugas pelayanan yang tidak Penanaman Modal (BPTPM) Kota
dapat memberikan pelayanan secara adil, Pekanbaru atau dilakukan secara tidak
untuk segera melaporkan kepada pihak langsung melalui kotak saran yang
Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman tersedia dan web Badan Pelayanan Terpadu
Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru supaya dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
dapat diberikan tindakan atau sanksi yang Pekanbaru.
tegas. Namun untuk mengawasi perilaku,
sikap dan moral petugas pelayanan secara 7. Efectiviness and
detail dalam setiap penyelengaraan efficiency/efektivitas dan efisiensi
pelayanan memang masih sulit untuk Penerapan prinsip good
dilakukan. Sebab sulit menentukan governance dalam pelayanan perizinan di
ukuran atau parameter yang jelas bagi Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman
petugas pelayanan yang tidak dapat Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru, yang
berlaku adil dalam penyelengaraan diukur melalui efektivitas dan efisiensi
pelayanan. Maka dibutuhkan kerjasama akan dilihat dari kecepatan dan
dari pihak publik untuk siap melaporkan ketepatan waktu dalam penyelenggaraan
petugas pelayanan perizinan di loket pelayanan, kejelasan pembiayaan
mana saja dan siapa saja yang melakukan pelayanan dan ketersediaan SDM
perbuatan tidak adil dalam pemberian pelayanan. Untuk mengetahui hasil
layanan kepada publik. Sehingga dengan penyebaran angket dan wawancara yang
adanya laporan dari pihak publik, maka dilakukan terhadap penerapan prinsip
penyelengara pelayanan perizinan yaitu efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan
Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman perizinan di Badan Pelayanan Terpadu
Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru dapat dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
memiliki bukti untuk melakukan tindakan Pekanbaru, dapat dilihat pada tabel
dan sanksi yang tegas. Bentuk laporan dibawah ini :
dari publik terhadap petugas pelayanan
Tabel 7.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Efektivitas dan Efisiensi dalam Pelayanan
Perizinan di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM)
Kota Pekanbaru
“Efektivitas dan efisiensi pelayanan dapat diukur dengan ketepatan dan kecepatan pelayanan
yang diberikan oleh petugas pelayanan. Karena dengan pelayanan yang tepat dan cepat sesuai
dengan harapan publik akan menimbulkan kepuasan publik. Untuk mendukung pelayanan yang
cepat dan tepat tidak terlepas dari petugas pelayanan yang handal dan berkompetensi. Petugas
pelayanan yang dimiliki saat ini sudah cukup baik dalam memahami pemberian layanan
perizinan kepada publik. Sehingga dalam memberikan pelayanan kepada publik sudah dapat
cepat dan tepat waktu. Selain itu kejelasan biaya pelayanan juga penting diketahui oleh publik,
agar tidak ada lagi pungli dalam setiap pengurusan pelayanan perizinan”.
Pernyataan informan penelitian ini pelayanan memiliki SDM yang berkualitas di
menjelaskan bahwa efektivitas dan bidang pelayanan dan adanya transparansi
efisiensi pelayanan yang diukur dari pembiayaan pelayanan. Kemampuan
ketepatan pelayanan, kecepatan menempatkan SDM sesuai dengan
pelayanan dan biaya pelayanan yang jelas pengetahuan dan keahliannya merupakan
dapat terwujud apabila institusi salah satu kunci untuk bisa
18
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan Vol. 8 No. 1, Januari –Juli 2017
memiliki SDM yang berkualitas. Sebab Walaupun terkadang dalam proses
SDM yang ditempatkan pada posisi kerja pemberian pelayanan perizinan ada saja
yang tepat akan memiliki kenyamanan publik yang merasa tidak terpuaskan
dan kepuasan kerja, apabila bekerja terhadap layanan yang diberikan, hal itu
sesuai dengan bidang keahlian yang merupakan sesuatu yang wajar. Karena
dimilikinya. Untuk itu di Badan Pelayanan tidak semua publik memiliki standart
Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) kepuasan yang sama, sehingga efektivitas
Kota Pekanbaru seharusnya petugas dan efisiensi yang diharapkan dalam
pelayanan yang berada pada loket pelayanan perizinan juga berbeda-beda.
pelayanan merupakan petugas yang
memiliki keahlian di bidang pelayanan. 8. Accountability/akuntabilitas
Sehingga dalam memberikan pelayanan Penerapan prinsip good
kepada publik dapat menunjukan sikap governance dalam pelayanan perizinan di
dan perilaku sebagai pelayan publik. Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman
Realitas yang ada di Badan Pelayanan Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru, yang
Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) diukur melalui akuntabilitas akan dilihat
Kota Pekanbaru saat ini, setiap petugas dari adanya pertangungjawaban dalam
pelayanan yang ada pada masing-masing pelayanan, adanya pengawasan dalam
loket pelayanan perizinan sudah memiliki penyelenggaraan pelayanan dan adanya
pemahaman dalam melayani publik. ketercapaian target pelayanan. Untuk
mengetahui hasil penyebaran angket dan
Minimal pemahaman yang dimiliki berasal
wawancara yang dilakukan terhadap
dari pengalaman kerja sebelumnya yang
penerapan prinsip akuntabilitas dalam
juga duduk dalam bidang pelayanan.
pelayanan perizinan di Badan Pelayanan
Fakta inilah yang membuat petugas Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM)
pelayanan di Badan Pelayanan Terpadu Kota Pekanbaru, dapat dilihat pada tabel
dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota dibawah ini :
Pekanbaru selalu tanggap terhadap
kebutuhan pelayanan dari publik.
Tabel 8.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Akuntabilitas dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
Tabel 9.
Tanggapan Responden terhadap Prinsip Visi Strategis dalam Pelayanan Perizinan
di Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru
“Visi strategis yang sudah disusun oleh BPTPM Kota Pekanbaru dalam SOP pelayanan adalah
dengan memberikan pelayanan secara onlie dan menyediakan mobil pelayanan perizinan.
Sehingga masyarakat dapat mengurus pelayanan perizinan dimana saja dan kapan saja.
Visi strategis ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perizinan
di Kota Pekanbaru”.
Pernyataan informan penelitian ini Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM)
menjelaskan bahwa Badan Pelayanan Kota Pekanbaru telah menyusun visi
21
strategisnya, terutama dalam SOP Adianto et. al: Model Penerapan….
pelayanan periziann. Dimana dalam B. Faktor-Faktor yang Menghambat dan
memangkas panjangnya birokrasi Mendukung Penerapan Prinsip Good
pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Governance dalam Pelayanan
Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Perizinan Di Badan Pelayanan
Kota Pekanbaru, pihak penyedia layanan Terpadu dan Penanaman Modal
membuka pelayanan secara online. (BPTPM) Kota Pekanbaru
Sehingga dengan adanya fasilitas
pelayanan online ini akan memutus Penerapan prinsip-prinsip good
pelaksanaan pelayanan dibeberapa loket. governance dalam memberikan pelayanan
Sebab pelayanan melalui online bisa perizinan di Badan Pelayanan Terpadu
dilakukan oleh publik dimana saja dan dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
kapan saja serta bisa mengisi formulir Pekanbaru tidak akan terlepas dari
pelayanan secara online dimana pun faktor-faktor yang menghambatnya dan
publik berada. Fakta ini tentunya sangat faktor yang mendukungnya. Oleh karena
memberikan kemudahan kepada publik itu dari hasil wawancara dan observasi yang
untuk mengurus pelayanan perizinan yang dilakukan ditemukan, faktor-faktor yang
dibutuhkan. Sebab publik akan datang ke menghambat dan faktor-faktor yang
Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman mendukung sebagai berikut :
Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru hanya 1. Faktor yang menghambat
untuk menyerahkan dokumen-dokumen Faktor yang menghambat merupakan
yang menjadikan persyaratan dalam faktor yang dapat mempengaruhi
pengurusan perizinan. Apabila kegagalan penerapan prinsip good
kelengkapan dokumen sudah cukup maka governance dalam memberikan
tidak ada lagi halangan untuk pelayanan perizinan di Badan
diterbitkannya perizinan yang diurus oleh Pelayanan Terpadu dan Penanaman
publik. Selain menyediakan pelayanan Modal (BPTPM) Kota Pekanbaru.
perizinan secara online, pihak Badan Adapun faktor-faktor penghambat
Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal yang ditemukan dari hasil wawancara
(BPTPM) Kota Pekanbaru juga dan observasi, yaitu : Pertama, faktor
menyediakan mobil keliling pelayanan SDM, yang merupakan hal yang paling
perizinan yang operasionalnya ditentukan penting untuk bisa menerapkan
pada wilayah-wilayah tertentu dan prinsip-prinsip good governance dalam
dengan jam-jam tertentu pula. Melalui pelayanan perizinan. Karena tanpa
mobil keliling pelayanan perizinan, setiap adanya SDM yang handal dan
publik dapat mengurus perizinan yang berkompetensi baik akan sulit untuk
dibutuhkan ditempat mangkalnya mobil bisa memberikan pelayanan perizinan
keliling pelayanan perizinan. Mobil yang berbasis good governance.
keliling perizinan biasanya hanya Kedua, faktor pola fikir masyarakat
menangani pendaftaran pelayanan dan terhadap pelayanan, dimana pola fikir
pemeriksaan dokumen pelayanan saja. masyarakat yang kurang baik terhadap
Sedangkan penyelesaian pelayanan institusi pelayanan akan menyebabkan
perizinan tetap berada di Badan terhambatnya sebuah proses
Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal pelayanan yang dilakukan. Artinya
(BPTPM) Kota Pekanbaru. Kemudahan- belum lagi masyarakat melakukan
kemudahan yang diberikan dalam urusan pelayanan tetapi didalam
pengurusan pelayanan perizinan di Kota fikirannya sudah terkonsep bagaimana
Pekanbaru, semoga semakin membuka pelayanan yang dilakukan dapat
peluang investasi yang besar dalam upaya mudah, cepat dan segera diselesaikan
memajukan Kota Pekanbaru sebagai Kota walaupun harus mengeluarkan biaya
Metropolitan yang madani. yang besar. Pola fikir seperti inilah
yang membuat pemberian layanan
yang dilakukan oleh petugas
pelayanan tidak pernah memuaskan.
22
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan Vol. 8 No. 1, Januari –Juli 2017
2. Faktor yang mendukung menyediakan pelayanan perizinan
Faktor yang mendukung merupakan yang maksimal.
faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan penerapan prinsip good C. Model Penerapan Prinsip Good
governance dalam memberikan Governance dalam Pelayanan
pelayanan perizinan di Badan Perizinan Di Badan Pelayanan
Abstrak: Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dari Desa Tertinggal Menuju Desa Tidak
Tertinggal (Studi di Desa Muktiharjo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati). Kondisi Desa
Muktiharjo masih tertinggal, sehingga perlu adanya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Penelitian
ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik analisis interaktif menurut Miles dan
Huberman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi di Desa Muktiharjo
adalah pertanian, perikanan, pariwisata dan UKM. Pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah kabupaten adalah sebagai perencana, fasilitator, pengawas dan evaluator. Pemeritah
kecamatan sebagai fasilitator antara pemerintah kabupaten dan desa. Dan pemerintah desa meliputi
menjadikan masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan, meningkatkan partisipasi
masyarakat dan melakukan pemberdayaan seperti memberikan pelatihan/pendidikan kepada
masyarakat, mendirikan koperasi simpan pinjam serta membangun sarana dan prasarana
umum yang dibutuhkan masyarakat. Faktor pendukung yang ada meliputi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang melimpah, globalisasi dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor
penghambatnya adalah terbatasnya modal, sarana dan prasarana serta partisipasi masyarakat yang
rendah.
k
e
c
a
m
a
t
a
n
.
Daftar Pustaka
Adisasmito, Rahardjo. (2006)
Membangun Desa
Partisipatif.
Yogyakarta.Graham Ilmu.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 12, Hal. 7-11 | 11
VOLUME 1, NOMOR 2, OKTOBER 2016
PARTAI POLITIK, FENOMENA DI BENTUK HUBUNGAN PERS DENGAN
NASTI POLITIK DALAM PEMILIHAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN FUNGSil
KEPALA DAERAH, DAN MEDIA SEBAGAI KONTROL SOSIAL
DESENTRALISASI
Venezia Indra Ghassani
Budhy Prianto Praptining Sukowati
Catur Wahyudi
PUBLISIA (Jurnal Ilmu Administrasi Publik) merupakan terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan Oleh
Program Studi Administrasi Publik - FISIP Universitas Merdeka Malang. Memuat berbagai hasil
kajian teoritik dan hasil penelitian di bidang Administrasi Publik dengan tujuan untuk membangun
kolaborasi antar komunitas epistemik di bidang Administrasi Publik.
Awal berdirinya, ditahun 1997 jurnal ini bernama "Publisia: Jurnal Kebijakan Publik" terbit sebanyak 4 kali
dalam setahun, kemudian ditahun 2004 mendapatkan ISSN (p) 1410-0983 dengan judul terbitan
"Publisia: Jurnal Sosial dan Politik". Ditahun 2014, terbitan berkala ini berganti judul dengan "PUBLISIA
(Jurnal Ilmu Administrasi Publik) yang terbit secara cetak. Ditahun 2016 terbit dalam 2 versi (Cetak dan
Online), perubahan sub judul pada terbitan berkala ini diajukan pembaruan sehingga ISSN (p): 2541-
2515, di versi online ISSN (e): 2541-2035. Setiap tahun terbit sebanyak 2 kali, di Bulan April dan
Oktober.
Link Jurnal Online: http://jurnal.unm er.ac.id/index.php/jkpp
Ketua Penyunting
Chandra Dinata
Penyunting Pelaksana
Budhy Priyanto
Catur Wahyudi
Praptining Sukowati
Dwi Suharnoko
Penyunting Ahli
Sukardi (Universitas Merdeka Malang)
Purwo Santoso (Universitas Gadjah Mada)
Bambang Supriono (FIA Universitas Brawijaya Malang)
Mas’ud Said (Universitas Muhammadiyah Malang)
Agus Solahuddin, MS. (Universitas Merdeka Malang)
Yopi Gani (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) Kridawati
Sadhana (Universitas Merdeka Malang)
Sujarwoto (FIA Universitas Brawijaya Malang)
Tri Yumarni (Universitas Jenderal Soedirman)
Mitra Bestari
Mudjianto (Universitas Negeri Malang)
Alamat Penyunting & Tata Usaha: Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)
Unversitas Merdeka Malang, Jl. Terusan Raya Dieng 62-64 Malang 65145,
Telp. (0341) 580537, e-mail:
publisia.jopad@unmer.ac.id
PUBLISIA
JURNAL ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK - FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
POLITIK UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
DAFTAR ISI
Rijal Ramdani
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
rijalgarsel@gmail.com
Abstract
The aim of this research is to evaluate the engagement of local community in protecting forest areas as delegation
mechanism given by government. According to some scholars, government’s authority could be trasnfered to
community. However, in the fact that there are only a few cases can be run succeeded. Nevertheless, the final
analysis of this research shows the successful of the implementation. There are three main factors as the result;
firstly, based on regulation of HKm, its contain is very open for community to involve in the program; secondly, there
is a huge opprtunity for NGO’s to empower the capacity building of local community; thirdly, there is a political
interest from local government to encourage local community involvement. Consequently, the community has an
enough confidence and an ability to run the implementation of HKm. The data of the research was conducted by
doing deep interview with several key informants and also occurring Focus Group Discussion with other important
stakeholders.
Intisari
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap keterlibatan komunitas masyarakat di sekitar
kawasan hutan dalam melakukan fungsi perlindungan terhadap kelestarian hutan. Keterlibatan tersebut merupakan
bagian dari sekema kebijakan pendelegasian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat.
Para ahli administrasi publik melihat bahwa kebanyakan dari sekema tersebut gagal dilakukan baik sebagai akibat
dari ketidak mampuan masyarakat maupun kelemahan dari muatan kebijakannya. Sementara penelitian ini
mengkonfirmasi keberhasilannya yang didasarkan pada tiga temuan penting. Pertama, keberhasilan terjadi
disebabkan oleh muatan dari kebijakan HKm yang sangat terbuka untuk menarik masyarakat terlibat di dalamnya.
Kedua, adanya kesempatan yang besar bagi NGOs untuk ikut terlibat di dalam membangun kapasitas
institusi masyarakat. Dan ketiga adanya political will dari pemerintah daerah untuk mendorong dan memberikan
kemudahan dalam keterlibatan masyarakat. Atas dasar ketiga hal itulah, masyarakat memiliki kepercayaan diri yang
tinggi dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan HKm. Data dalam penelitian ini didapatkan dengan cara
melakukan interview mendalam dengan beberapa informan penting dan juga melakukan Focus Group Discussion
(FGD).
2010). Sementara dalam prinsip good governance kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan
hal seperti itu dinamakan dengan pelayanan public aktivitas dan mengambil manfaat secara ekonomis
yang partisipatif, yang menurut Wray (2000) baik dari hutan tetapi tetap harus menjaga fungsi
pemerintah, sector swasta dan masyarakat sipil, ekologis kelestarian hutan sebagai fungsi yang
semuanya memiliki peranan dalam mengatasi dilakukan mengingat beberapa alasan; Pertama,
tantangan yang harus dihadapi (Purwanto, 2005). berkurangnya kemampuan pemerintah dalam
Seiring dengan terjadinya perubahan dalam pengelolaan sumber daya kehutanan. Dengan
arah yang lebih demokratis, maka pelayanan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan yang
public bergerak pada kecendrungan pelibatan laju deforestasinya mencapa 1,51 juta ha/tahun
masyarakat dan pihak swasta. Hal itu terjadi (FWI, 2011). Kedua, ada kecenderungan kondisi
karena semakin kuatnya posisi masyarakat dan hutan yang dikelola oleh masyarakat jauh lebih
semakin melemahnya posisi Negara. Di sisi lain lestari dibandingkan dengan hutan yang dikelola
keberhasilan praktek kewirausahan dalam oleh Perhutani, atau pihak swasta pemegang
pelayanan public seperti pengalaman eropa, HPH, seperti hutan yang dikelola masyarakat adat.
Amerika, Australia dan New Zeland menuntut Hal itu terjadi karena kebanyakan masyarakat
pemerintah untuk lebih melibatkan dan desa mempunyai tradisi turun temurun dalam
pemerintah bisa berkolaborasi dengan pengelolaan itulah muncul kearifan local dan ilmu
memberikan kewenangannya kepada masyarakat, pengetahuan yang bisa menjaga dan melestarikan
yaitu; perencanaan dan perancangan kebijakan, hutan (Bill Ritchi, dkk, Tt).
implementasi kebijakan dan penyelenggaraan produksi atau hutan lindung kepada masyarakat di
layanan, serta mobilisasi dan pengelolaan sumber sekitar kawasan hutan melalui Izin Usaha
Salah satu dari sekian banyak urusan yang Masyarakat akan mendapatkan IUPHKm apabila
masyarakat adalah pengelolaan hutan dalam Bupati atas nama Kelompok Tani Hutan (KTH).
sekema kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Apabila izin sudah diberikan KTH berhak
1V1o9lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
mengelola, mengambil manfaat dan menjaga Metode Pengumpulan Data
kelestarian hutan selama 35 tahun. Menariknya Pengumpulan data dilakukan dengan cara
adalah dengan lembaga yang dibentuknya mengkaji dokumen-dokumen yang dimiliki oleh
masyarakat berdinamika dengan membuat KTH Sedyo Makmur dan juga dengan cara
swadaya, dan membangun jaringan dengan pihak- Kehutanan Dishutbun Provinsi DIY, Bagian
pihak tertentu dalam upaya penjagaan dan Koperasi Disperindakop Kabupaten Gunungkidul,
pelestarian hutan. Sehingga pemerintah tidak Ketua KTH Sedyo Makmur. Selain itu juga
harus bersusah payah mengeluarkan dana untuk dilakukan Focus Group Discussion dengan
reboisi dan penjagaan ilegaloging, karena kedua anggota KTH Sedyo Makmur dan LSM-LSM yang
fungsi itu sudah dilakukan oleh masyarakat terlibat di dalam melakukan pendampingan
Penelitian ini akan melihat bagaimana Kebijakan publik merupakan faktor yang
pemerintah baik dari sisi muatan kebijakannya 2008). Terdiri dari dua suku kata yaitu public dan
maupun implementasi melalui delivery inputnya policy. Public merupakan kolektivitas dari
sehingga mampu mendorong masyarakat untuk mayarakat baik sebagai bagian dari suatu bangsa,
melakukan fungsi perlindungan terhadap hutan? suatu daerah ataupun mayarakat secara umum.
Dan juga akan melihat bagaimana fungsi-fungsi Bisa juga disematkan pada mereka yang menjadi
perlindungan terhadap hutan itu dilakukan oleh bagian dari suatu kelompok tertentu yang memiliki
masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui tujuan bersama. Sementara policy diartikan
Penelitian dilakukan di desa Ngeposari dan Dictionary, 1996). Dengan demikian maka
Gunung Kidul, terhadap KTH Sedyo Makmur yang perencanaan dan tindakan yang berkaitan dengan
beranggotakan 254 anggota, terbagi ke dalam 7 kepentingan atau masalah bersama yang dihadapi
hutan froduksi petak 161 dan 162, PRH Semanu, Ada banyak definisi mengenai kebijakan
BDH Karangmojo. public, mengingat studi kebijakan public (public
1V2o0lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
policy studies) didekati oleh berbagai disiplin ilmu melakukan apapun memiliki tujuan dan memiliki
seperti ilmu politik, administrasi, ekonomi dan dampak terhadap masyarakat. Pendapat Dye
bahkan ilmu tehnik seperti yang dilakukan Patton akan bisa dipahami seandinya menggunakan kaca
dan Sawicki (1993) dalam bukunya Basic Methods mata ilmu politik, mengingat dalam terminology
of Policy Analysis and Planning. Tetapi seandinya politik bertindak atau tidak bertindak bukan
disederhanakan para ilmuan terbagi kepada dua sesuatu yang harus diperdebatkan, mengingat
kelompok, yaitu mereka yang berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utamanya adalah tercapainya
kebijakan public adalah apapun baik yang kepentingan, seperti yang dikatan Harold Laswel
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah “who get what and how” (Laster and Stewart,
hanya apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam Berbeda dengan Dye, mayoritas ilmuan
upaya menyelesaikan persoalan bersama. Baik kebijakan public seperti Sharkansky (1969:1)
kelompok pertama maupun kelompok kedua mendefinisikan kebijakan public hanya tindakan
sama-sama bersepakat bahwa focus dari studi yang dilakukan oleh pemerintah saja. Tindakan
kebijakan public hanyalah tindakan yang diambil yang dilakukan oleh pemerintah tersebut seperti
atau dilakukan oleh pemerintah saja sebagai pengadaan pelayanan public (kesehatan,
pemilik otoritas yang sah (Anderson, 2003). kesejahteraan, jalan raya), peraturan personal dan
Mengingat ada juga mereka yang berpendapat peraturan aktivitas-aktivitas lembaga (dilakukan
bahwa kebijakan public tidak hanya milik oleh polisi, pengawas pasar, pengadministraian
pemerintah tetapi juga milik actor-aktor selain obat-obatan dan makanan), perayaan peristiwa
pemerintah yang memiliki pengaruh besar bersejarah, dan control terhadap proses
Kelompok pertama diwakili oleh ilmuan politic lainnya. Tidak jauh berbeda dengan
politik besar Thomas R. Dye (1972: 1) yang Sharkansy, Peterson (2003:1030) mendefinisikan
mendefinisikan kebijakan public sebagai “whatever kebijakan public sebagai apa yang dilakukan oleh
government choose to do or not to do.” Apapun pemerintah “is that which government does”.
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut
pemerintah adalah kebijakan public. Definisi ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah
banyak dikutip oleh para ilmuan sebagai pijakan yang dihadapi bersama “address some problem.”
awal dalam memahami kebijakan public. Dye Definisi lainnya dikemukakan oleh Harold
berpendapat bahwa seandinya prasyarakat dari Lasswell, yang merupakan pelatak dasar dari ilmu
kebijakan public harus berupa tindakan yang kebijakan public yang mendefisniskan kebijakan
memiliki tujuan maka masalahnya adalah publik sebagai program atau proyek yang memiliki
sebetulnya diamnya pemerintah untuk tidak serangkain tujuan, nilai, dan kemudian
1V2o1lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
ditindaklanjuti. Sementara David Easton menyelesaian suatu persoalan atau serangkaian
mengemukakan kebijakan public sebagai dampak- persoalan yang dihadapi oleh mayarakat.
selektif dan terukur atau deklarasi yang dilakukan HKm merupakan hutan Negara di area kawasan
secara terus menerus (Lester and Stewart, 2000). hutan lindung atau hutan produksi yang
Letster dan Stewart (2002) dengan melihat pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
pendapat beberapa ilmuan politik tersebut menarik pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
keputusan yang diambil oleh pemerintah. sumberdaya hutan. Selain itu diharapkan dengan
Sehingga kebijakan public merupakan sarana adanya peningkatan kapasitas, mayarakat bisa
intervensi untuk melakukan suatu perubahan memiliki kemampuan dan kepedulian untuk
tertentu. Hal itu sejalan dengan apa yang melakukan perlindungan terhadap fungsi ekologis
dikemukakan oleh James Anderson (2003:2) yang hutan. Diharapkan dari HKm ini bisa
sesuatu yang kokoh, yang memiliki serangkaian masyarakat local sebagai bentuk pengakuan
tujuan, diikuti dengan tindakan yang dilakukan terhadap hak-hak masyarakat local untuk menjaga
oleh suatu lembaga atau beberapa lembaga fungsi rehabilitasi-konservasi, dan kelestarian
dengan tujuan untuk menyelesiakan masalah lingkungan (Elvida, dan Prahasto, 2008).
bersama. Dengan sederhana Peters mengatakan Mayarakat di sekitar kawasan hutan melalui
kebijakan public hanyalah sejumlah aktivitas yang KTH akan mendapatkan ijin apabila mengajukan
dilakukan oleh pemerintah, baik yang dilakukan permohonan kepada Bupati/Walikota. Kemudian
lain, dan tindakan tersebut memiliki dampak kepada Mentri. KTH yang mendapatkan ijin
terhadap kehidupan masyarakat (Peterson, melalui IUPHKm berhak untuk mengelola hutan
Dalam paper ini kebijakan public akan penanaman tanaman-tanaman tumpangsari, dan
dipahami sebagai keputusan atau serangkaian berhak menanam hayu hutan berikut mengambil
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai keuntungan dari kayu yang ditanam tersebut.
pihak yang memiliki otoritas dalam upaya untuk Tetapi dalam upaya menjaga kelestarian fungsi
ekologis hutan Permenhut 37/2007
1V2o2lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
mensyarakatkan pohon yang boleh ditebang untuk Gabler (1993) menekankan adanya upaya
diambil keuntungan adalah pohon yang berusia di mentrasnformasikan jiwa kewirausahaan karena
atas 15 tahun, dengan teknik penebangan semakin langkanya sumber daya public
pohon yang baru ditanam sudah tumbuh besar Pemerintahan Milik Masyarakat: Memberi
baru bisa menebang pohon lain. Wewenan Ketimbang Melayani, Osborne dan
Sebelum mengajukan ijin KTH akan Gaebler (2005) menuntut untuk melakukan
proposal pengajuan ijin. Fasilitasi tersebut masyarakat, maka tanggung jawab dalam
rencana kerja HKm, pendampingan teknologi merupakan tanggung jawab masyarakat. Fungsi
budidaya hutan dan hasil hutan, mengadakan dari pemerintah adalah sebagai katalis untuk
pendidikan dan pelatihan, membuka akses menghimpun berbagai sumber daya masyarakat,
terhadap pasar dan modal, dan pendampingan menyediakan sumber daya, dukungan, dan
yang dapat dibantu oleh Pemerintah Pusat dan kemampuan untuk melindungi dan melayani
Pemerintah Provinsi. Dan juga dapat dibantu oleh kebutuhannya sendiri, hanya saja ketika
pihak lain sepanjang memiiki kesepakatan dengan memasuka era ekonomi industry kemampuannya
KTH, seperti; perguruan tinggi/ lembaga penelitian itu diambil alih oleh tenaga professional dan
dan pengembangan masyarakat, LSM, lembaga birokrasi, sehingga mereka menjadi kehilangan
liberation, upaya membebaskan manajemen paling tahu terhadap masalah dan kebutuhan
public yang conservative dengan masuknya mereka. Kalangan professional birokrasi biasanya
prinsip-prinsip dari sector privat. Osborne dan melihat kebutuhan dan masalah yang dihadapi
1V2o3lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
masyarakat hanya dari luar saja, sehigga tidak yang berjiwa wirausaha. Hal itu dilakukan karena
akan benar-benar mengetahui inti dari kebutuhan pada prinsipnya masyarakat lebih mengetahui
dan masalah yang dihadapi masyarakat tersebut. kebutuhannya sendiri dibandingkan dengan
Pengambil alihan kewenangan yang dilakukan birokrasi. Dan pendelegasian tersebut akan jauh
oleh birokrasi terhadap kemampuan yang bisa lebih baik diberikan melalui saluran yang
dilakukan masyarakat sama dengan melemahkan dinamakan dengan komunitas. Peran pemerintah
klien. Kedua, komunitas kebih memahami Kebijakan HKm pertama kali muncul pada
masalahnya sendiri ketimbang tenaga professional tahun 1995, di masa Mentri Kehutanan Djamaludin
professional dan birokrasi memberikan pelayanan, No. 622/KPTS-11/1955 Tahun 1995. Tiga tahun
kemudian seiring pergantian rezim dari Orde Baru
sedangkan mayarakat memecahkan masalah.
ke reformasi terjadi perubahan substansial dalam
Keempat, lembaga-lembaga dan profesioanl
kebijakan HKm, dengan terbitnya SK Mentri
menawarkan pelayanan, masyarakat memberikan
Kehutanan No. 677/KPTS-II/1998 Tahun 1998.
kepedulian. Kelima, komunitas lebih fleksiberl dan
Dalam kebijakan yang baru ini masyarakat
kreatif ketimbang birokrasi pelayanan yang besar.
diberikan kejelasan jangka waktu pengelolaannya
Keenam, komunitas lebih murah ketimbang
1
professional di bidang pelayanan. Ketujuh, selama 35 tahun .
1V2o4lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
2
diundangkannya UU No. 4/ 1999 tentang 4.000 Ha yang berada di Kabupaten Gunungkidul
Kehutanan sehingga UU ini harus menjadi dan Kulonprogo. Secara resmi penetapan Provinsi
konsideran baru bagi pelaturan turunannya. DIY sebagai salah satu provinsi kawasan HKm
Melalui SK No. 31/2001 inilah Kementrian ditetapkan melalui surat No. 252/Menhut/2002
Kehutanan mengelola proyek HKm di 10 Provinsi Tahun 2002. Izin sementara diberikan melalui SK
Dengan terbitnya PP N0. 44/2004 tentang sementara dan definitive tersebut diberikan
Perencanaan Hutan dan PP No. 6/2007 tentang kepada 35 KTH di Kabupaten Gunungkidul yang
Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, salah satunya adalah KTH Sedyo Makmur.
maka Kementrian Kehutanan kembali merevisinya Pada awalanya hutan yang berada di
kawasan Jragum, Desa Ngeposari, Blok 161 dan
melalui Permenhut No. 37/Menhut-II/2007 tentang
HKm. Tidak berapa lama kemudian, pada tahun 162 BDH Karangmojo merupakan hutan berisi
tanaman junti yang getahnya dijadikan sebagai
2009, masih dalam masa kepemimpinan Mentri
bahan furniture. Lama kelamaan tanaman furniture
yang sama, M.S. Kaban, pemerintah kembali
tersebut menjadi kering akibat penuaan dan
merevisi kebijakan HKm dengan mengeluarkan
banyak yang mati. Di saat bersamaan masyarakat
Permenhut No. 18/Menhut-II/2009 Tahun 2009
di sekitar kawasan hutan banyak yang masuk
tentang Perubahan Atas Pelaturan Mentri
melakukan aktivitas di kawasan hutan, mereka
Kehutanan No. 37/Menhhut-II/7007 Tahun 2007.
melakukan penebangan terhadap pohon-pohon
Permenhut N0. 18/2009 ini hanya merubahan
junti untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat 2, 3, dan 4.
arang. Akibatnya kondisi hutan semakin hari
Sehingga sampai saat ini pelaksanaan HKm
semakin gundul dan kering, pemandangan yang
masih tetap mengacu kepada Permenhut 37/2007.
terlihat sangat gersang, dan apabila dibiarkan
Dari 13 Kabupaten yang menjadi proyek 4
akan berakibat pada kelangkaan air .
HKm di tahun 2001 oleh pemerintah pusat, salah
2
0
1
2
.
3
I
b
i
d
.
1V2o5lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
4
Berdasarkan hasil wawancara dengan Tambiyo, Ketua
KTH Sedyo Makmur, Minggu 13 Mei 2012.
1V2o6lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
Dari situlah kegiatan-kegiatan swadya kelompok
Atas keprihatinan itulah masih sejak tahun pun dilakukan, masyarakat mulai tergugah untuk
1985 muncul inisiative dari mayarakat untuk menanam pohon. Tapi lama kelamaan kegiatan
masyarakat loyo sehingga terkesan kembang-
berupaya melakukan pelestarian hutan, dimulai
kempis.
dengan terbentuknya kelompok yang
beranggotakan 100 orang. Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain pertemuan rutin setiap
senin legi, serta penanaman sono, akasia,
cendana, dan jati. Aktivitas kelompok itu tidak
akan pernah berjalan dengan baik tanpa adanya
bimbingan mantri Kehutanan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Karena
mantri Kehutananlah yang secara rutin melakukan
pendampingan baik untuk penguatan
kelembagaannya maupun memberikan
pengetahuan tatacara penanaman kayu dan
pelestarian hutan. Biasanya juga muncul bantuan-
bantuan dalam jumlah yang kecil. Di sisi lain
masyarakat pun tidak memiliki lahan pertanian
sehingga selain melindungi hutan mereka pun bisa
mendapatkan keuntungan dari tanaman tumpang
5
sari yang dilakukan .
Kemudian pada tahun 1995 mulai
terbentuklah Kelompok Petani HKm, karena atas
sosialisasi yang diberikan Mantri Kehutanan,
Gunungkidul akan ditetapkan sebagai wilayah
HKm. Jumlah anggota mengalami penambahan
sebanyak 154 orang yang terbagi kepada 7 sub
kelompok sehingga total jumlah anggotanya
sampai saat ini berjumlah 254 orang.
Penambahan itu tidak terlepas dari kebijakan HKm
yang memungkinkan bagi masyarakat untuk bisa
mendapatkan keuntungan tidak hanya dari
tumpang sari tetapi juga dari pohon yang ditanam.
1V2o7lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
5
Ibid.
2o8lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtloi
1m6 inistrasi Publik) kb)er 2| 011268
Tabel. 1.
KTH Sedyo Makmur
Barulah di tahun 2002, seiring dengan dan seiring munculnya program Gerakan
ditetapkannya Kabupaten Gunungkidul pada
tahun 2001 sebagai salah satu dari 13 wilayah
HKm, kegiatan kelompok KTH bergeliat. Hal itu
tidak terlepas dari sosialisasi-sosialisai yang
dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten baik
dengan cara mengundang ketua KTH maupun
turun langsung ke bawah. Di sisi lain LSM
menangkap isu internasional mengenai reformasi
agraria dimana tanah Negara harus dikembalikan
kepada rakyat. Maka masuklah LSM Shorea
untuk melakukan pendampingan kelembagaan
terhadap KTH Sedyo Makmur. Pendampingan
yang dilakukan LSM lebih kepada penguatan
kelembagaan. Dimana dengan kalakteristik
masyarakat desa yang tidak mengenal teknologi,
sementara prasyarat pengajuan izin IUPHKm
yang sukar dibuat proposalnya oleh anggota
KTH, maka LSM Shorea banyak melakukan
pelatihan- pelatihan terhadap pengurus KTH
sampai pengurus KTH bisa membuat
pembukuan, pendokumentasian, dan
penyusunan perencanaan program.
Dengan semakin menguatnya kelembagaan KTH
V12o7lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
Rehabilitasi Hutan (GERHAN) tahun 2004 yang
memungkinkan KTH untuk mendapatkan bantuan
dana, pupuk, dan benih maka kegiatan pelestarian
hutan melalui penanaman pohon jati oleh mayarakat
semakin massif dilakukan. Pemerintah baik melalui
Dishutbun Provinsi, Kabupaten, maupun Pusat
sering mengadakan pelatihan-pelatihan menyangkut
penguatan kelembagaan, pembibitan, pemeliharaan
tanaman, dan pengantisipasian kebakaran terhadap
ketua-ketua KTH di Kabupaten Gunungkidul.
Kemudian ketua KTH setelah mengikuti pelatihan-
pelatihan tersebut mensosialisasikannya kepada
anggota. Pemahaman anggota pun semakin
bertambah dan kepedualian terhadap kelestarian
hutan pun semakin meningkat.
Sesuai amanat permenhut 37/2007 yang
mengharuskan KTH berbentuk badan hukum
Koperasi maka masuklah Bagian Koperasi
Disperindakopkap Kabupaten Gunungkidul atas hasil
koordinasi dengan Bagian Kehutanan Dishutbun.
Bagian Koperasi pun melalui penyuluhnya turun
langsung ke KTH Sedyo Makmur untuk
memberikan sosialisasi dan
V12o8lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
simpan pinjam. Uang pinjaman biasanya digunakan
pendampingan mengenai prosedur pengajuan oleh anggota untuk modal pemeliharaan tanaman
dan penyusunan AD/ART Koperasi. Dan di tahun kayu. Selain itu dana yang tersimpan pun
diprioritaskan bagi peminjaman yang anggota
2007 terbentuklah Koperasi Sedyo Makmur yang keluarganya mengalami sakit.
diketuai Tambiyo. Melalui badan hukum koperasi
inilh KTH mengajukan Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Kayu (IUPHHK HKm) pada tahun 2009. T
a
Selain itu dengan adanya badan koperasi juga b
anggota bisa menabung dan melakukan kegiatan e
l
.
2
.
P
er
io
d
e
s
a
si
d
a
n
K
e
gi
at
a
n
P
e
n
d
a
m
pi
n
g
a
n
te
rh
a
d
a
p
K
T
H
V12o9lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
No Periode Kegiatan anggota kelompok.
1 Sebelum 1985 Sosialiasi Kepeduli
Dengan masifitas
Pe Provinsi
da dan kepedualian untuk
pi menanam itulah saat
an,
dan ini kondisi
pe
be
an
ban
uan
te
po
l
2 1985-1995 Pendampingan,
Mantri Kehutanan Dishutbun
Pro
3 1995-2002 Pendampingan,
Mantri Kehutnan Dishutbun Provinsi,
2002-2004 Mantri
Pendampingan Kehutanan
pengajuan ijin, Pelatihan Dishutbun
dan penguatan Provinsi,
keDishutbun
m Kab
aga
Gunungkidul, LSM
anShorea
Gun
LS
6 2009-Sekarang Kemandirian KTH
-
Sumber: Hasil Pengolahan
Perlindungan KTH maupun swadaya
Sering semakin masyarakat. Rata-rata
menguatnya masing-masing
kepedulian anggota kelompok memiliki
KTH terhadap tanggung jawab untuk
Perlindungan terhadap melakukan penanaman
hutan. Perlindungan seluas 0,5 sampai
tersebut dibuktikan dengan 1,25 Ha,
dengan penanaman disesuaikan dengan
pohon baik yang kemampuan dan
dengan pendanaan kapasitas
dari bantuan, individu,
V12o10lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
hutan sangat rindang tertutup oleh tutupan kayu
jati. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan
sebelum tahun 1985 di saat hutan masih dalam
kondisi gersang dan kering.
Untuk menguatkan kelembagaannya dan
menjaga kelestarian hutan KTH Sedyo Makmur
sejak tahun 2002 sudah membuat Aturan secara
tertulis melalui “Aturan Kelompok Tani Hutan
Kemasyarakatan Sedyo Makmur” yang memuat
11 Bab 19 Pasal. Menjelaskan mengenai tujuan,
keanggotaan, sanksi, dll. Mengenai kegiatan KTH
dalam pasal 4 dijelaskan bahwa kegiatan KT
V13o0lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
dari keanggotaan bagi anggota, adilnya dijabut,
terdiri dari; pertemuan rutin, simpan pinjam, kerja
dan tidak akan
bakti kawasan hutan tiap bulan, pengumpulan bibit
jati, dan pembuatan demplot rumput kelanjana.
Pertemuan rutin selapanan merupakan media
sebagai penjembatan sesame anggota untuk
berbagi dan sebagai wahana mendiskusikan
setiap hal yang harus dimusyawarahkan di dalam
keompok. Begitupun dengan kerja bakti kawasan
hutan tiap bulan dimaksudkan untuk membuka
jalan sebagai askes terhadap kawasan hutan.
Dalam Pasal 17 diatur mengenai Kemanan Hutan.
Dijelaskan bahwa semua kelompok harus
bertanggung jawab terhadap tanaman hutan,
semua kelompok harus sanggup mejaga
kemananan dan lingkungan hutan, apabila ada
pencurian atau kebakaran hutan kelompok harus
melapor langsung kepada ketua, dan apabila
pelanggaran itu tidak ditemukan tersangka akan
terus dilakukan penyelidikan oleh KTH.
Sementara di Pasal 18 diatur mengenai
sanksi atas pelanggaran. Pelanggaran
dikelompokkan pada pelanggaran ringan,
menengah, dan berat, baik yang dilakukan oleh
dan di luar anggota. Pelanggaran ringan seeprti
mengambil ranting dilahan garapan anggota lain
dengan sanksi peneguran. Pelanggaran
menengah; melakukan pencurian pohon dicopot
sampai diameter 13 cm atau mengambil ranting dari
garapan anggota lain lebih dari 2x, dan sangksinya
adalah Rp. 50.000. Sementara pelanggaran berat
adalah apabila; menebang kayu di atas diameter
13 cm di garapan sendiri, melakukan pencurian
kayu dengan membawa mobil, sangksinya
diserahkan kepada anggota berwajib, dikeluarkan
V13o1lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
mendapatkan bagian kelompok apabila terjadi bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk
bisa mengambil manfaat dari hutan baik dengan
penjarangan setelag turunnya IUPHHK HKm.
Apabila hal itu dilakukan oleh mereka yang berada
di luar anggota maka akan ditangkap dan
diserahkan kepada pihak berwajib. Khusus
pelanggaran ringan statusnya akan menjadi
pelanggaran menengah bagi mereka.
Selain itu seiring dengan semakin
membesarnya diameter kayu kemungkinan besar
untuk terjadinya pencurian kayu. KTH pun
menginisasi penjagaannya dengan membuat
jadwal ronda untuk malam hari dan penjagaan di
siang hari. Jadwal dibuat berdasarkan
kesepakatan kelompok berdasarkan blok garapan.
Sekalipun penjagaan terhadap ilegaloging setiap
hari dilakukan oleh Polisi Hutan tetapi sebagai
bentuk perlindungan KTH tetap menjalankan
fungsi perlindungannya. Dari hasil ronda dan
penjagaan yang dilakukan di tahun 2007 tim
keamanan KTH berhasil menangkap seorang
pelaku ilegaloging yang berasal dari luar anggota.
KTH melaporkan dan menyerahkan kasusunya
kepada kepolisian, karena kekurangn berkas dan
alat bukti kasus tersebut hanya sampai ke
Kejaksaan Negri Wonosari.
KESIMPULAN
Berdasarkan atas temuan yang ada, dapat
dilihat dari sisi muatan kebijakan HKm yang saat
ini dalam pelaksanannya mengacu kepada
Permenhut 37/2007 mampu memberikan
keterbukaan kepada masyarakat untuk melakukan
fungsi perlindungan terhadap hutan. Hal tersebut
didorong oleh tiga hal: pertama adanya reward
V13o2lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
Company.
melakukan tumpang sari maupun dari hail kayu
hutan. Kedua, adanya keterbukaan bagi pihak
ketiga, seperti NGO’s untuk terlibat melakukan
pendampingan terhadap masyarakat sehingga
memudahkan bagi KTH dalam memenhui proses
administrasinya. Ketiga, Permenhut
mengamantkan fungsi fasilitasi bagi KTH yang
harus dilakukan oleh Pemda melalui Dshutbun,
sehingga proses sosialisasi dan pendampingan
bisa dilakukan yang akan mampu mendorong
pada kedekatan antara pemerintah dengan
masyarakat.
Dilihat dari sisi implementasi atau deliveri
inputnya intensitas pendampingan yang dilakukan
baik mantri dari Dishutbun Provinsi maupun
penyuluh Dishutbun Kabupaten menjadikan
masyarakat berdaya, tumbuh rasa kepedualian,
dan masyarakat menjadi terorganisir.
Keterbatasan yang dimiliki pemerintah mampu
dittutupi dengan keterlibatan NGO,s dalam
melakukan pendampingan. Sehingga terjadi
seinergi antara masyarakat, pemerintah, dan
NGO,s. Dengan demikian, wajar bila kemudian
masyarakat menjadi memiliki social capital
sehingga dengan sendirinya membangun
kerjasama dan jaringan, melakukan koordinasi,
membentuk institusi, sehingga dengan kekuatan-
kekuatan yang dimilikinya itu mampu melakukan
fungsi perlindungan terhadap hutan. Maka peran
pemerintah pun menjadi tidak terlalu dominan
karena sudah didistribusikan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
V13o3lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
Dye, R. Thomas. 1972. Understanding Public Ritchi, Bill, dkk. Tt. Community Managed Forest:
Center for International Foresty Research.
Policy. New Jersey: Prentice-Hall.
Dwiyanto, Agus. 2010. Manajemen Pelayanan
Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Elvida, YS dan Prahasto, Hendro. 2008. Potensi
Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di
Hutan Produksi Way Terusan, Lampung
Tengah. Jurnal Sosial dan Ekonomi
Kehutanan, Vol. 8 No. 1, Maret 2008.
Folis Watch Indonesia, 2011. Potret Keadaan
Hutan Indonesia 2000-2009.
Marckwardt, Alberth H. Cassidy, Fredric G.
McMillan, James G (editorial board). 1996.
Webster Comprehensive Dictionary
Encyclopedic Edition. Chicago: J.G.
Ferguson Publishing Company (Volume
Two).
Muhammad, Fadel. 2007. Signifikansi Peran
Kapasitas Manajemen Kewirausahaan
Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah:
Studi Kasus Propinsi Gorontalo. Disertasi:
Ilmu Administrasi Negara UGM.
Nogroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Patton, Carl V and Sawicki, David S. 1993. Basic
Method of Policy Analisis and Planning.
USA: Prantice-Hall.Inc.
Purwanto, Erwan Agus. 2005. Pelayanan Pubik
Partisipatif. Dalam “Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik”,
Dwiyanto, Agus (Editor). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Purnomo, Eko Priyo, 2011. Pengembangan Hutan
berbais Rakyat Berkelanjutan. Yogyakarta.
New Elematera Publisher.
Osborne, David dan Gebler, Ted. 2005.
Mewirausahakan Birokrasi: Reinverting
Governement. Jakarta: PPM.
Sharkansky, Ira. 1969. Policy Analysis in Political
Science. Chicago: Markham Publishing
Company.
Lester. P. James and Jr, Stewart, James. 2000.
Public Policy: An Evolutionary Approach
(Second Edition). Belmonth USA:
Wadsworth Thomson Learning.
Peterson. A. Steven. Public Policy:
Enscyclopedia of Public Adminisstration
and Public Policy (Rabin, Jack (editor)).
New York: Marcel Dekker, Inc.
V13o5lu| PUBLISIA
meP1U,BNLoISmIAor(2J,uOrnkatloIblmeru2A0d1 (JurnaVloIlmumueA1d,mNinoimstorars2i,POukbtlo
KEGIATAN BINA DESA (BHAKTI SOSIAL MENATA DESA
DALAM PENGENTASAN DESA TERTINGGAL
(Studi di Desa Duwet Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang)
Abstract: The Activity of Bina Desa (Village Reforming Social Service) in Taking of
Underdevelopment Village (Study at Desa Duwet Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang).
The condition of Desa Duwet which is relatively as remote village by hills topography and based
on 15 criteria of underdevelopment village made Desa Duwet as one of underdevelopment village
in Kabupaten Malang. Government which is supported by SKPD Kabupaten Malang has made the
development as the priority in order to alleviate underdevelopment villages with the activity of
Bina Desa (Village Reforming Social Services) to visiting the village and doing the real activities
in underdevelopment village. The aim of this study is describes the form and the output of Bina
Desa activity in taking of underdevelopment village. The types of this research is descriptive
qualitative approach. The result of the study show that the form of Bina Desa activity consits of
physical and non-physical development. The output which are not maximized. Based on the result
of the study, the researcher gives the suggestion, there are re-evaluation and safeguarding Bina
Desa activity.
Abstrak: Kegiatan Bina Desa (Bhakti Sosial Menata Desa) dalam Pengentasan Desa
Tertinggal (Studi di Desa Duwet Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang): Kondisi Desa
Duwet yang relatif terpencil dengan topografi perbukitan dan berdasarkan 15 kriteria desa
tertinggal menjadikan status Desa Duwet sebagai salah satu desa tertinggal di Kabupaten Malang.
Pemerintah yang didukung oleh seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten
Malang telah menjadikan prioritas pembangunan dalam rangka pengentasan desa tertinggal
dengan kegiatan Bina Desa untuk berkunjung ke desa dan melakukan aktivitas yang nyata di desa
tertinggal. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk-bentuk serta output kegiatan
Bina Desa dalam pengentasan desa tertinggal. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kegiatan Bina
Desa meliputi pembangunan fisik dan non fisik serta output dalam pengentasan desa tertinggal
yang dinilai belum cukup berhasil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan
saran yaitu: mengevaluasi kembali serta melakukan pengamanan (safeguarding) kegiatan Bina
Desa.
Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. (2006).
Membangun Desa
Partisipatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Afiffuddin.
(2010). Pengantar
Administrasi Pembangunan.
Bandung: Alfabeta.
Budiman, Arief. (2000). Teori Pembangunan
Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Dokumen Daftar Desa Tertinggal di
Kabupaten Malang Berdasarkan Hasil Self
Assesment Tahun
2012 Beserta Daftar SKPD. Malang,
Bagian Tata Pemerintahan Umum.
Domai, Tjahjanulin. (2010). Desentralisasi
dan Perencanaan Pembangunan. Malang:
Lab
Administrasi Pemerintahan FIA UB.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
(KPDT). (2010). Strategi Nasional
Pembangunan
Daerah Tertinggal {Internet}. Available
from: Netlibrary
<http://satupemerintah.net/
P rogram Renstras/do wnload/44.Pdf .>
[Accessed 4 October 2013].
Miles, M.B, and Huberman, A.M.
(1992). Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy
J. (2010). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah.
(2004). Perencanaan Pembangunan
Daerah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama.
Surat Keputusan Bupati Malang Nomor:
180/121/KEP/421.013/2011 tentang Penetapan
Program
³%XSDWL 0HQ\DSD 5DN\DW´. Malang,
Bagian Tata Pemerintahan Umum.
Surat Keputusan Bupati Malang Nomor:
180/183/KEP/421.013/2013 tentang
Penetapan Desa Tertinggal dan
Sangat Tertinggal di Kabupaten
Malang. Malang, Bagian Tata
Pemerintahan Umum
Suryono, Agus. (2006). Ekonomi Politik
Pembangunan dalam Perspektif Teori
Ilmu Sosial. Malang: UM Press.
Syafiie, Inu Kencana. (2007). Pengantar Ilmu
Pemerintahan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Jakarta,
Seketaris Negara Republik Indonesia.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 4, Hal. 578-584 | 586