You are on page 1of 19

Vol.6 No.

2 2014

EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN DI BALI


DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
KHUSUSNYA DALAM
PENGELOLAAN OBYEK WISATA1
Oleh
I Gusti Ayu Agung Ariani (oka.ariani@yahoo.com)
Ni Nyoman Sukerti (nyomansukerti10@yahoo.com)2

ABSTRACT
Traditional village (Pakraman) is an indigenous people who have the
authority to manage his own household, and the authority was born out of the
village so it is often referred to as having genuine autonomy. On the other hand
with the establishment of the state covering the entire area of the country where
the indigenous villages were then raised the issue regarding the implementation
of autonomy in relation to the traditional village authorities also state that gives
autonomy to the region in accordance with the centralized system that was
followed. That's why it is necessary to examine the existence of a traditional
village in Bali autonomy within the framework of regional autonomy especially in
tourist object management.
This study were classified in empirical legal research can be seen in the
study area were selected using purposive sampling method, it can be seen that
initially the traditional village autonomy is not recognized in the context of
managing a tourist object because of the traditional village is not at all involved
in the management of tourist objects. It was only through an uphill battle, even
with through demonstrations, traditional village involved in the management of a
tourist attraction. In the original development management involving private
parties as well as third party, then is only managed as a form of cooperation
between local government and the Desa Pakraman only somewhat proportional
outcomes assessed, although there are groups of people who do not approve even
sueing Bendesa Desa Pakraman. The cooperation in tourism management
proficiency level set forth in a letter of the Collective Agreement between the
Government and Bendesa Desa Pakraman.

Keywords : existence, indigenous village autonomy , regional autonomy.

1
Penelitian ini dibiayai dari dana Dipa BLU Program studi Magister (S2) Ilmu Hukum
PPS UNUD dengan SK direktur nomor : 1428/UN .14.4/HK/2013, telah dipresentasikan dalam
seminar/FGD di Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada tanggal 11 November 2013
2
Para penulis adalah Dosen pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program
Pascasarjana UNUD dan Fakultas Hukum UNUD Denpasar-Bali.

327
Vol.6 No.2 2014

I. PENDAHULUAN Kekuasaan pertama yang


1. Latar Belakang dikemukakan di atas tampaknya
Desa Adat (sekarang Desa sejalan dengan pandangan Kusumadi
4
Pakraman) di Bali adalah satu Pujosewoyo yang menyatakan
masyarakat hukum yang memiliki bahwa masyarakat hukum adalah
otonomi asli, yaitu kewenangan masyarakat yang menetapkan aturan
untuk mengatur atau mengurus hukumnya sendiri dan tunduk sendiri
rumah tangganya sendiri, kekuasaan pada aturan yang dibuatnya itu. Di
mana terlahir dari desa itu sendiri, lingkungan desa adat di Bali, aturan-
tidak dari kekuasaan lain yang lebih aturan yang dibuat oleh desa tersurat
tinggi. Apabila otonomi dari desa
dalam satu susunan yang lengkap
adat (desa pakraman) dijabarkan
yang dikenal dengan awig-awig.
lebih lanjut dapat dilihat bahwa
Awig-awig ini menjadi pedoman
setidak-tidaknya ada tiga jenis
bertingkah laku dari warga desa
kekuasaan yang melekat pada
dalam hubungannya dengan sesama
otonomi tersebut yaitu :
warga, dengan lingkungan alam, dan
a. kekuasaan untuk menetapkan
dengan sang pencipta, sebagai
aturan-aturan hukum yang mesti
pengejawantahan dari filsafat Tri
diperhatikan dan ditaati oleh
HitaKarana.
setiap bagian dari mjasyarakat
Kekuasaan kedua yang
tersebut;
berkaitan dengan penyelenggaraan
b. kekuasaan untuk
tata kehidupan bermasyarakat untuk
menyelenggarakan tata kehidupan
mewujudkan kesejahteraan warga
masyarakat dalam rangka
dilandasi oleh corak kehidupan
mewujudkan kesejahteraan warga;
masyarakat adat yang sosial religius.
c. kekuasaan untuk menyelesaikan
Dalam kerangka inilah dapat dilihat
sengketa yang terjadi di kalangan
arti pentingnya obyek wisata yang
warga, 3

3 4
Wirta Griadhi, 1977, “ Peranan Kusumadi Pudjosewoyo, 1967,
Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, Pedoman Pelajaran tata Hukum Indonesia,
Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Penerbit Universitas Gajah Mada,
Udayana, h.50 Jogjakarta, h.32

328
Vol.6 No.2 2014

menjadi penghasil penting bagi terjadi “pertemuan” antara otonomi


kehidupan masyarakat hukum adat. dari desa pakraman dengan otonomi
Kekuasaan ketiga, untuk daerah. “Pertemuan” seperti ini dapat
menyelesaikan sengketa merupakan bersifat positif, dalam arti saling
perwujudan dari kekuasaan peradilan mendukung dalam pelaksanaannya,
yang dimiliki oleh desa adat, yaitu namun dapat pula bersifat negatif
kekuasaan untuk mewujudkan dalam arti bertentangan satu dengan
keadilan dan kepatutan manakala yang lainnya.
terjadi sengketa di kalangan warga. Sudah diketahui dari sejak
Ketiga wujud kekuasaan d dulu bahwa Bali adalah daerah
iatas terletak di tangan pemerintahan tujuan wisata yang sangat terkenal,
desa adat bersama-sama dengan dan diberikan berbagai macam gelar
warga, yang dalam pelaksanaannya yang menunjukkan
disesuaikan dengan kepentingan riil keistimewaannya. Daya tarik wisata
yang ada. dalam arti menyesuaikan yang dominan adalah kebudayaan, di
dengan perkembangan yang ada. samping alamnya yang indah,
Persoalannya menjadi penting sehingga pariwisata di Bali diberikan
manakala otonomi desa adat tersebut bentuk sebagai pariwisata budaya.
dikaitkan dengan keberadaan desa Salah satu faktor pendukung dari
pakraman dalam lingkup kehidupan wacana ini adalah desa pakraman,
bernegara, yang tersusun dalam satu yang dulunya dikenal dengan desa
bentuk pemerintahan yang adat, sebagai wadah berlangsungnya
berjenjang sejalan dengan asas serta berkembangnya kebudayaan
desentralisasi, dalam bentuk Bali. Pada bagian lain, secara politik
Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah kenegaraan ada pengakuan terhadap
Daerah (Provinsi dan otonomi dari masyarakat hukum adat
Kabupaten/Kota). Pemerintah (di desa pakraman di Bali), sebagai
Daerah memiliki otonomi yang bagian dari hak-hak tradisionalnya.
diberikan oleh negara melalui Pengakuan seperti ini dapat
peraturan perundang-undangannya, menimbulkan persepsi yang keliru,
sehingga dapat dikatakan bahwa terutama dari kalangan masyarakat

329
Vol.6 No.2 2014

hukum adat sendiri, berkenaan 2. Rumusan Masalah


dengan kewenangan yang Masalah yang menjadi
dimilikinya, yang dapat berakibat perhatian dari penelitian ini adalah :
terjadinya benturan antara 1. Bagaimana eksistensi otonomi
kewenangan desa pakraman dengan desa pakraman dalam
pemerintah daerah yang juga hubungannya dengan otonomi
diberikan kewenangan oleh negara daerah, khususnya dalam
untuk mengurus dan mengatur rumah pengelolaan obyek wisata?
tangga daerahnya sendiri. Sinergi 2. Permasalahan apa yang timbul
antara pemerintah dengan desa dalam pelaksanaan otonomi desa
pakraman dalam hubungannya pakraman dan otonomi daerah
dengan pengelolaan obyek wisata tersebut dalam pengelolaan obyek
dalam mana obyek wisata ini wisata dan bagaimana
memberikan sumbangan yang tidak penyelesaiannya?
sedikit dalam bentuk finansiil baik
II. METODE PENELITIAN
bagi daerah dalam rtangka
1. Jenis dan Sifat Penelitian
peningkatan PAD masupun bagi
Eksistensi dari otonomi desa
masyarakat desa adat sendiri,
pakraman dan implementasinya
memerlukan satu bentuk kerjasana
dalam kerangka pelaksanaan
yang positip antara pemerintah
Otonomi daerah merupakan satu
daerah dengan desa pakraman, dan
realita yang ada di dalam kehidupan
bukan satu bentuk sinergi yang
masyarakat adat di Bali yang dikenal
negatif.
dengan desa adat (desa pakraman).
Untuk itulah dipandang perlu
Karena itu penelitian ini tergolong
melakukan penelitian berkenaan
dalam penelitian hukum empiris,
dengan eksistensi otonomi desa
yang menggunakan data lapangan
pakraman dalam kerangka otonomi
sebagai data primer. Penelitian ini
daerah tersebut, khususnya dalam
tidak akan menguji hipotesis
pengelolaan obyek wisata. melainkan mengumpulkan informasi
yang sebanyak-banyaknya berkenaan
dengan implementasi otonomi desa

330
Vol.6 No.2 2014

pakraman dalam kaitannya dengan bendesa adat dari desa pakraman


otonomi daerah. Karenanya yang bersangkutan dan para
penelitian ini bersifat deskriptif, informan yaitu orang-orang yang
yaitu menggambarkan situasi yang mengetahui persoalan sekitar
ada di seputar implementasi dari pengelolaan obyek wisata.
otonomi desa pakraman, baik yang Data skunder diperoleh dari
bersifat internal maupun eksternal bahan-bahan tertulis atau dokumen-
dikaitkan dengan otonomi daerah dokumen yang memuat informasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah berkenaan dengan pengelolaan obyek
daerah provinsi maupun wisata.
kabupaten/kota, khususnya dalam
3. Teknik Pengumpulan Data
pengelolaan obyek wisata.
Pengumpulan data lapangan
2. Jenis dan Sumber Data (primer) dilakukan dengan
Data yang akan dikumpulkan menggunakan teknik wawancara
dalam penelitian ini berupa data yang berpedoman pada instrument
primer dan data skunder. Data primer berupa pedoman wawancara
diperoleh dari sumber data lapangan (interviewguide), sedangkan data
yang ada di lingkungan desa-desa sekunder yang bersumber pada
pakraman yang memiliki obyek dokumen dikumpulkan melalui studi
wisata di wilayahnya. Sebagai dokumen sederhana.
sample akan dipilih secara purposif
4. Teknik Pengolahan dan
yaitu Desa PakramanBeraban,
Analisis Data
Kecamatan Kediri, Tabanan, yang
Pengolahan dan analisis data
memiliki obyek wisata Tanah Lot.
dilakukan dengan menggunakan
Desa ini telah cukup berkembang
metode yang bersifat kualitatif
sebagai desa pariwisata dengan
dilengkapi dengan analisis
disertai perkembangan pembangunan
situasional 5.
sarana kepariwisataan yang pada
gilirannya mengarah pada persoalan
5
J Van Velsen, 1969, “The
pengelolaan pariwisata itu sendiri. Extended-Case Method and Situational
Sebagai responden adalah para Analysis”, dalam A.L. Epsytein (ed) The
Craft of Social Anttropology, London,
Tavistock, h.149.

331
Vol.6 No.2 2014

Metode ini akan dapat sebelah Barat : Sungai Yeh Kutikan


menunjukkan keberadaan dari (Desa Belalang).6
otonomi desa pakraman dalam Desa Pakraman Beraban
hubungannya dengan otonomi terdiri dari 15 banjar adat, ditambah
daerah, khususnya berkenaan dengan dengan satu Wewidangan Suci
pengelolaan obyek wisata, dengan yaitu :1) Banjar Pakraman Ulundesa
segala situasi yang meliputinya. 2) Banjar Pakraman Gegelang 3)
Banjar Pakraman Batanbuah Kaja 4)
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
Banjar Pakraman Batanbuah 5)
1. Gambaran Umum Daerah
Banjar PakramanBeraban 6) Banjar
Penelitian
Pakraman BatugaingKaja 7) Banjar
Desa Pakraman Beraban
Pakraman Batugaing Kelod 8) Banjar
terletak di pesisir pantai Selatan
Pakraman Dukuh 9) Banjar
Tabanan, merupakan bagian dari
Pakraman Enjung Pura 10) Banjar
wilayah administrasi Kecamatan
Pakraman Sinjuana Kaja 11) Banjar
Kediri. Luas wilayah Desa Beraban
Pakraman Sinjuana Tengah 12)
sekitar 692 km2 dengan jarak sekitar
Banjar Pakraman Sinjuana Kelod 13)
10 km dari ibukota kecamatan, dan
Banjar Pakraman Nyanyi 14) Banjar
13 km dari ibukota kabupaten.
Pakraman Kebon 15 ) Banjar
Secara tofografi Desa Pakraman
Pakraman Pasti 16) Wewidangan
Beraban merupakan daerah landai
suci Tanah Lot.7 .
dengan ketinggian 0 s/d 45 m dari
Tidak diketahui secara jelas
permukaan laut, dengan curah hujan
sejak kapan desa ini mulai ada
relatif tinggi, dengan batas wilayah
namun diperkirakan sekitar tahun
sebagai berikut : di sebelah Utara :
1380 masehi pada saat kedatangan
Subak Gadon I (wilayah Desa
Dalem Kresna Kepakisan ke Bali,
Pandak Gede); di sebelah Timur :
sebagai raja Bali Majapahit yang
Sungai Yeh Sungi (Desa Buwit); di
sebelah Selatan : Samufra Hindia; di
6
Kediriofficer,2011, Profile Desa
Beraban, h. 1-2
7
Desa Pakraman Beraban,2009,
Eka Likita,Desa Pakraman Beraban, h. 4-5

332
Vol.6 No.2 2014

pertama. Mengenai asal usul dari pemukiman yang disebut dengan


desa ini juga tidak diketahui secara Kebrebehandening kala. Dari kata
jelas, namun dari sumber-sumber berebehan itulah berubah menjadi
yang layak dipercaya dan juga Beraban yang merupakan nama desa
dikaitkan dengan lontar tersebut hingga sekarang.8
“MpuPradnyana Siwa” dapatlah
2. Sejarah Singkat Pengelolaan
dikemukakan sebuah ceritra
Obyek Wisata Pura Tanah
mengenai hal ini. Dikisahkan pada
Lot
saat kedatangan Dalem Kresna
Kepakisan ke Bali, beliau diiringi Pura Tanah Lot mulai berdiri
oleh para Arya dan pengikut lainnya semasa pemerintahan Dalem
menuju ke satu tempat suci yang Waturenggong, dimana pada masa
disebut dengan « Sila Ngungan » itu ada seorang Bhagawan yang
yang kini disebut dengan Batungaus bernama Dang Hyang Dwijendra
(di sebelah timur Pura Tanah Lot). atau yang dikenal juga dengan Dang
Beberapa dari pengikut beliau tidak Hyang Nirartha melakukan
ikut melanjutkan perjalanan, bahkan dharmayatra ke Bali dari tanah Jawa
membuat pemukiman di sepanjang dengan menyebarkan ajaran Agama
pantai ke barat yang namanya Hindu. Pada saat beliau mengadakan
disesuaikan dengan keadaan alam perjalanan itu beliau melihat sinar
setempat seperti Batu Negemped, suci dari arah tenggara dan
Batu gang dan sebagainya. Lebih mengikutinya sampai pada
lanjut dikisahkan bahwa di Batu sumbernya yang ternyata adalah
Gang (Batugaing) ada seorang gadis sebuah mata air. Tidak jauh dari
cantik yang lahir dari sumber mata air tersebut terdapat
« Pilahingwatu » yang pada akhirnya sebuah batu karang yang disebut Gili
mengundang bencana di mana Ki Beo karena berbentuk burung beo. Di
Dawang, pelarian dari Kunir Lidah tempat itulah beliau bermeditasi dan
(sekarang Nyitdah) menggoda si melakukan pemujaan terhadap Desa
anak gadis tersebut yang akhirnya
menimbulkan keributan di seluruh 8
Kedirioffiser, Lok cit

333
Vol.6 No.2 2014

Penguasa Laut. Kepada penduduk wisatawan lokal pada hari-hari libur


setempat beliau menyebarkan lokal seperti libur sekolah, Hari Raya
ajarannya tetapi ditentang oleh Galungan dan Kuningan dan pada
pimpinan desa yang dikenal dengan saat upacara piodalan di Pura Tanah
Bendesa Beraban Sakti dan berusaha Lot. Seiring dengan berkembanganya
mengusir beliau dengan para sektor kepariwisataan di Bali, dengan
pengikutnya. Kemudian beliau mengandalkan suasana sunsetnya
dengan kesaktiannya memindahkan yang menawan, Pura Tanah Lot
batu karang tersebut ke tengah laut mengalami peningkatan jumlah
dan menciptakan banyak ular sebagai pengunjung baik dari wisatawan
pelindung dan penjaga tempat domestik maupun Mancanegara, dan
tersebut. Batu karang itu dinamakan kunjungan tidak hanya pada saat
Tanah Lot yang berarti tanah di liburan tetapi sudah rutin setiap hari
tengah laut. Akhirnya Bendesa terutama di sore hari.
Beraban mengakui kesaktian dan Pengelolaan obyek wisata
kekuatan spiritual beliau dan mulai
Pura Tanah Lot ini semula dikelola
menjadi pengikut beliau. Di atas oleh Desa Adat Beraban sendiri
tanah itulah kemudian dibangun pura dengan melalui penjualan karcis
yang sekarang dikenal dengan Pura masuk, namun kemudian diambil
Tanah Lot, dan upacara piodalannya alih oleh Desa Dinas, selanjutnya
dilaksanakan pada hari Buda Wage diambil alih oleh Kecamatan dan
Langkir, sesuai penanggalan Bali9 sekitar tahun 1980 an diambil alih
Dikenalnya Tanah Lot oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan.
sebagai obyek wisata sebelum tahun Mulai saat itu pengelolaan obyek
1950 an dan mulai lebih dikenal lagi wisata Tanah Lot diserahkan kepada
di tahun1970 an, namun kondisi pihak swasta yaitu kepada CV Ari
infrastrukturnya masih sangat Jasa Wisata, melalui sistem kontrak.
kurang, dan hanya dikunjungi oleh per 1 Juni 1980 harga tiket masuk
Rp. 100.- per orang dengan target
9
DTW Tanah Lot, Profile pemasukan ke Pemerintah Daerah
Managemen Daya Tarik Wisata Tanah Lot,
2013, h.4-5 sebesar 3 (tiga) juta rupiah per tahun.

334
Vol.6 No.2 2014

Sistem kontrak ini terus berlangsung dengan menggunakan jalur politik


dengan mengalami perubahan target dan masyarakat oleh pihak Legislatif
pencapaian pendapatan seiring (DPRD Tabanan) dibentuklah Pansus
dengan peningkatan angka Pengkajian Kontrak Kerjasama
kunjungan dan peningkatan harga Pengelolaan Daya Tarik Wisata
tiket masuk. Di awal tahun 1980 nilai Tanah Lot antara pihak Pemerintah
kontrak kepada pemerintah daerah Daerah dengan pihak swasta. Dari
per tahun menjadi 380 juta dan harga perjuangan masyarakat ini kemudian
tiket masuk Rp. 3300/orang dewasa disepakati bentuk win-winsolution
dan Rp. 1800/anak-anak. yaitu bahwa sejak 1 Juli 2000
hingga 19 April 2011, DTW Tanah
Dalam perjalanannya Desa
Lot dikelola oleh tiga komponen
Adat Beraban telah pernah
yaitu Desa Adat Beraban, pihak
mengajukan usulan agar pengelolaan
swasta, dan Pemerintah Daerah
obyek wisata Tanah Lot diserahkan
Kabupaten Tabanan dengan pola
kepada Desa Adat Beraban namun
sharing profit. Kesepakatan ini
tidak pernah disetujui oleh pihak
tertuang dalam Surat Perjanjian
Pemda Tabanan. Pada tahun 1999
Kerja Sama Pengelolaan Obyek
dengan bergulirnya wacana otonomi
Wisata Tanah Lot, No. 01/HK/2000
daerah kembali diajukan
tertanggal 30 Juni 2000, diikuti
permohonan untuk mengelola DTW
dengan Surat Keputusan Bupati
Tanah Lot dengan membentuk
Tabanan No. 644 tahun 2000 tentang
Panitia Pengalihan Pengelolaan
Pembentukan Badan Pengelola
DTW Tanah Lot, dan mengadakan
Obyek Wisata Tanah Lot. Perjanjian
demonstrasi damai bersama Pemuda
kerja sama ini telah mengalami revisi
Desa PakramanBeraban. Pihak Desa
pada tahun 2002 menjadi Surat
Pakraman Beraban mencoba
Perjanjian Kerjasama Pengelolaan
menawarkan konsep pengelolaan
Obyek Wisata Tanah Lot Nomor
DTW Tanah Lot yang baru. Situasi
01/HK/2002. Dalam surat perjanjian
sempat memanas, apalagi diketahui
yang direvisi ini pembagian retribusi
bahwa sudah ada perpanjangan
ditentukan sebagai berikut :
kontrak hingga tahun 2011. Akhirnya

335
Vol.6 No.2 2014

1. Pemerintah daerah memperoleh 3. Pengelolaan Obyek Wisata


sebesar 55% dari hasil kotor Pura Tanah Lot Dewasa ini
setelah dikurangi biaya Dengan berakhirnya waktu
operasional dari surat perjanjian ini (1 April
2011) maka sebagian besar warga
2. CV Ari Jasa Wisata sebagai
Desa Pakraman Beraban
pengelola mendapatkan 15%
menginginkan agar pengelolaan
dari hasil kotor dikurangi biaya
obyek wisata Tanah Lot hanya
operasional
ditangani oleh dua pihak saja yaitu
3. Desa Adat Beraban mendapat
Pemerintah Daerah Kabupaten
30% dari hasil kotor dikurangi
Tabanan dan Desa Pakraman
biaya operasional.
Beraban, tanpa melibatkan lagi pihak
Biaya operasional pengelola swasta, sementara Pemerintah
obyek ditetapkan 20% dari hasil Kabupaten Tabanan tetap
kotor, dan selanjutnya ditetapkan menginginkan komposisi dari
setiap tahun atas dasar rapat badan pengelolaan tetap berjalan seperti
pengelola. Peninjauan atau sebelumnya dan hanya perlu
perubahan atas besarnya biaya dibuatkan kontrak baru saja. Pihak
operasional dapat dilakukan Desa Pakraman Beraban
sekurang-kurangnya enam bulan menghendaki pembagian hasil
sekali atas dasar rapat badan masing-masing 50% untuk
pengelola. Pemerintah Kabupaten dan 50 %

Surat perjanjian ini berlaku untuk Desa Pakraman Beraban.

hingga 1 April 2011, ditandatangani Bagian untuk Desa

oleh oleh ketiga pihak yaitu Bupati PakramanBeraban ini dibagi dua lagi

Tabanan, Bendesa Adat Beraban dan yaitu 70 % untuk Desa Pakraman dan

dari pihak CV Ari Jasa Wisata. 30 % untuk Pura Tanah Lot. Pada
pihak lainnya pemilik CV Ari Jasa
Wisata menghendaki agar tetap
diikutkan dalam pengelolaan obyek
wisata ini dengan dalih bahwa telah

336
Vol.6 No.2 2014

berjasa dalam pengembangan obyek memilki kapasitas mewakili seluruh


10
wisata Tanah Lot selama ini warga desa pakraman untuk
Akhirnya tuntutan dari Desa membuat dan menandatangani surat
Pakraman Beraban disetujui dan perjanjian tentang pengelolaan DTW
pada tanggal 17 Nopember 2011 Tanah Lot, dan karena itu dianggap
dibuatlah satu Perjanjian Kerjasama sebagai perbuatan melanggar hukum.
hanya antara Pemerintah Daerah Forad meminta agar surat perjanjian
kabupaten Tabanan dengan Desa tersebut dibatalkan. Selain itu
Pakraman Beraban saja dengan Surat mereka menuntut agar Bendesa
Perjanjian No. 12 Tahun 2011 dan didenda berupa uang dan membuat
Nomor 358/DPBRB/XI/2011, pernyataan permintaan maaf kepada
tentang Pengelolaan Daya Tarik warga di masing-masing banjar
Wisata Tanah Lot. Perjanjian melalui paruman Desa Pakraman
Kerjasama yang ditandatangani oleh Beraban, dan juga melalui media
Bendesa Desa Pakraman Beraban massa. Dengan adanya gugatan itu,
dan Bupati Tabanan mendapat justru seluruh prajuru desa pakraman
tentangan dari kelompok masyarakat kompak untuk mendukung surat
yang menamakan dirinya Gerakan perjanjian yang telah ditandatangani
Forum Aspirasi Warga Desa oleh Bendesa Desa Pakraman
Pakraman Beraban (Forad) yang Beraban dengan membuat surat
mengajukan gugatan melalui kuasa pernyataan sikap nomor
hukumnya. Dalam gugatan itu 40/DP.Brb/II/2012 tertanggal 12
dinyatakan bahwa kebijakan Bendesa Pebruari 2012 yang ditanda tangani
Desa Pakraman Beraban oleh 27 prajuru adat. Pada dasarnya
menandatangani perjanjian tidak seluruh prajuru mendukung Surat
mengindahkan aspirasi seluruh Perjanjian tersebut karena di
warga. Selain itu Bendesa tidak dalamnya telah menyerap aspirasi
Desa Pakraman dengan menetapkan
hanya dua pihak saja yang terlibat
10
Gusti Bagus Rai Utama, 2011, dalam pengelolaan obyek wisata
“World” Heritage Management Manfaat
dan Kerugian Bagi Basyarakat Lokal, h.14- Tanah Lot bahkan Desa Pakraman
15

337
Vol.6 No.2 2014

Beraban dilibatkan pula dalam masing-masing pihak dengan hak


manajemen operasionalnya. Gugatan dan kewajibannya masing-masing
Forad ke PTUN dan juga Pengadilan khususnya berkaitan dengan
Negeri Tabanan ternyata ditolak dan pembagian hasil dari obyek wisata
disarankan untuk diselesaikan secara Tanah Lot. Pada bagian awal dari
musyawarah (wawancara dengan perjanjian itu dikemukakan bahwa
Bendesa Desa Pakraman Beraban pihak pertama (Bupati Tabanan)
tanggal 13 September 2013). Dengan berkedudukan selaku pemegang
demikian pengelolaan obyek wisata kebijakan untuk mengatur,
Tanah Lot dilaksanakan sesuai Surat menjalankan, mengembangkan, dan
Perjanjian Kerjasama antara menetapkan atas Daya tarik Wisata
Pemerintah daerah Kabupaten Tanah Lot yang terletak di Desa
Tabanan dan Desa Pakraman Beraban Kecamatan Kediri,
Beraban, seperti disebutkan di atas. Kabupaten Tabanan. Sedangkan
Pada tanggal 13 Desember 2011 pihak kedua (Bendesa Desa
diadakan perubahan pada pasal 9 dari PakramanBeraban) merupakan
perjanjian tersebut melalui Perjanjian masyarakat setempat yang ikut
Kerjasama No. 16 tahun 2011 dan bersama-sama untuk
No. 376/DPBRB/XI/2011, yang mengembangkan dan mengawasi
selanjutnya dilengkapi dengan pengelolaan Daya Tarik Wisata
Peraturan Bupati Tabanan No. 40 Tanah Lot. Dalam pasal 2 dari
tahun 2011, tentang Struktur perjanjian berkenaan dengan
Organisasi, Keanggotaan, Uraian pengelolaan ditegaskan kembali
Tugas Pengurus Badan Pengelola bahwa pihak pertama (Bupati) selaku
dan Struktur Organisasi serta Uraian pemegang kebijakan berwenang
Tugas Manajemen Operasional untuk mengatur dan mengelola
Badan Pengelola Daya Tarik Wisata urusan kepariwistaan sesuai dengan
Tanah Lot. ketentuan peraturan perundang-
Dalam perjanjian tersebut undangan yang berlaku, sedangkan
dikemukakan dalam pasal demi pasal pihak kedua selaku Bendesa
tentang kedudukan dan fungsi Pakraman Beraban dan/atau

338
Vol.6 No.2 2014

masyarakat Desa Pakraman Beraban berkenaan dengan pengelolaan obyek


diberi kesempatan ikut berperan aktif wisata Tanah Lot antara lain
dalam pengelolaan Daya Tarik berkenaan dengan organisasi dalam
Wisata Tanah Lot sesuai dengan pengelolaan yaitu ditetapkan satu
tugas yang diatur dalam Peraturan Badan Pengelola dan untuk dapat
Bupati. Dalam perjanjian tersebut melaksanakan tugasnya badan
nampak dengan jelas bahwa pengelola ini dapat membentuk
pemegang kebijakan dalam Manajemen Operasional Badan
pengelolaan obyek wisata di wilayah pengelola yang nantinya ditetapkan
kabupaten adalah bupati, walaupun dengan Peraturan Bupati (pasal 5).
obyek wisata tersebut berada di Secara konkrit kedudukan
wilayah desa pakraman, sedangkan dari Bupati dan Bendesa
desa pakraman hanya diberi PakramanBeraban dalam
kesempatan untuk ikut berperan aktif pengelolaan DTW Tanah Lot
dalam pengelolaannya. Tidak ada tersebut dapat dilihat dalam
satu penegasan dalam perjanjian Peraturan Bupati No. 40 tahun 2011
tersebut yang berhubungan dengan sebagaimana disebutkan diatas, yang
kedudukan desa pakraman sebagai membagi organisasi pengelola dalam
masyarakat hukum adat yang dua macam yaitu Badan Pengelola
memiliki kewenangan untuk Daya Tarik Wisata Tanah Lot dan
mengatur segala sesuatu yang berada Manajemen Operasional DTW
di wilayahnya atau sebagai Tanah Lot.11
masyarakat hukum adat yang Dari struktur organisasi di
otonom. Namun secara implisit dapat atas pejabat dari lingkungan
dilihat bahwa ikut sertanya Desa masyarakat hukum adat ( Prajuru
Pakraman Beraban dalam Desa Pakraman Beraban) dilibatkan
pengelolaan obyek wisata Tanah Lot secara aktif dalam pengelolaan DTW
adalah karena berkedudukan sebagai Tanah Lot.
satu masyarakat hukum adat.
Dalam perjanjian kerjasama
ini diatur lebih lanjut hal-hal teknis 11
DTW Tanah Lot, Loc Cit,

339
Vol.6 No.2 2014

Selanjutnya dalam perjanjian Keputusan Ketua Umum Badan


kerjasama tersebut ditetapkan pula pengelola
mengenai sumber pendapatan, 3) Biaya pengembangan dan biaya
pembiayaan dan pembagian hasil promosi ditetapkan sebesar 15%
baik untuk pemerintah kabupaten, (lima belas persen) dari
untuk desa pakraman dan juga untuk penerimaan bruto setelah
biaya manajemen operasionalnya. dikurangi biaya Operasional
Dalam pasal 7 tentang Manajemen.
Pendapatan dikemukakan bahwa 4) Biaya pengembangan dan biaya
penerimaan pendapatan dari promosi sebagaimana dimaksud
pengelolaan DTW Tanah Lot pada ayat 3) dikelola oleh
bersumber dari : Manajemen Operasional dan
a. Penerimaan penjualan karcis dipertanggung-jawabkan kepada
masuk ; Pihak Pertama dan Pihak Kedua.
b. Penerimaan penjualan karcis 5) Perubahan biaya Operasional
parkir ; Manajemen dilakukan sekurang-
c. Penerimaan sewa tempat kurangnya 6 (enam bulan) sekali
kios/toko ; dan berdasarkan rapat Badan
d. Lain-lain penerimaan yang sah. Pengelola.
Selanjutnya dalam pasal 8 6) Penggunaan biaya Operasional
tentang Biaya, diatur : Manajemen sebagaimana
1) Biaya Pengelolaan Daya Tarik dimaksud pada ayat 1) digunakan
Wisata Tanah Lot terdiri dari untuk gaji/upah pengurus dan
biaya Operasional Manajemen karyawan/ karyawati Manajemen
dan biaya promosi dan Operasional, honor pengurus
pengembangan. Badan Pengelola, biaya rutin, dan
2) Biaya Operasional Manajemen biaya lain-lain yang sah.
dianggarkan setiap tahun Dalam pasal 9 dari Perjanjian
berdasarkan rapat Badan Kerjasama yang telah diubah pada
Pengelola dan ditetapkan dengan tanggal 13 Desember 2011 diatur

340
Vol.6 No.2 2014

mengenai Pembagian Hasil sebagai perincian sebagai berikut :


berikut : ….dst…
1) Bahwa dari hasil pendapatan 3) Pembagian sebesar 6.5% (enam
bruto setelah dikurangi dengan koma lima persen) sebagaimana
biaya-biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1) huruf e)
dimaksud dalam pasal 8, maka dibagi dengan 22 (dua puluh dua)
para pihak sepakat mengatur Desa Pakramanse- Kecamatan
hasil pembagiannya sebagai Kediri.
berikut : 4) Pembayaran pembagian
a) Pemerintah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat
Tabanan Sebesar 58% (lima 1) huruf a) sampai dengan huruf
puluh delapan persen) d) dibayarkan setiap bulan
b) Desa PakramanBeraban Dari keseluruhan uraian di
sebesar 24% (dua puluh atas dapat dilihat bahwa kedudukan
empat persen) desa pakraman sebagai satu lembaga
c) Pura Luhur Tanah Lot adat yang otonom mandapat
sebesar 7.5% (tujuh koma pengakuan secara riil dari pihak
lima persen) pemerintah, khususnya pemerintah
d) Pura-Pura terkait di kawasan kabupaten dengan melibatkan secara
tempat Daya tarik Wisata aktif desampakraman tersebut dalam
Tanah Lot sebesar 4 % pengelolaan aset daerah di wilayah
(empat persen) ; dan desa pakraman yang bersangkutan.
e) Desa Pakraman se - Namun pengakuan tersebut tidak
Kecamatan Kediri sebesar datang dengan sendirinya melainkan
6.5% (enam koma lima melalui perjuangan dari desa
persen) pakraman itu sendiri untuk dapat
2) Pembagian sebasar 4% (empat dilibatkan dalam pengelolaan aset
persen) sebagaimana dimaksud daerah tersebut, dengan satu
pada ayat 1) huruf d) selanjutnya pertimbangan yang logis yaitu bahwa
dijadikan 100% dan dibagi aset daerah yang berupa obyek
kepada pura-pura dengan wisata tersebut berada di wilayah

341
Vol.6 No.2 2014

desa pakraman sehingga desa menghasilkan uang, desa pakraman


pakraman dengan otonominya harus terlibat dalam pengelolaannya,
memiliki kewenangan pula untuk bahkan apabila perlu seluruh
mengatur atau mengelola aset pengelolaan sepenuhnya ada di
tersebut. Terlebih-lebih lagi dilihat tangan desa pakraman. Hal ini
dari sudut pandang Agama Hindu, disebabkan karena sebelum pura itu
Pura adalah bagian dari kehidupan menjadi obyek wisata yang dapat
desa pakraman yang mempunyai menghasilkan uang justru desa
tanggung jawab untuk pakraman sebagai pengempon pura
menyelenggarakan upacara dan menanggung segala biaya yang
pemeliharaan bangunan di pura diperlukan untuk pura tersebut baik
tersebut, termasuk untuk menjaga menyangkut biaya pembangunan,
kesuciannya, sehingga kehidupan di pemeliharaan dan upacaranya. Dari
wilayah desa pakraman tersebut informasi yang diperoleh melalui
dapat terjaga dengan baik. Disinilah wawancara dengan Bendesa adat
bentuk konkrit dari penerapan ajaran Desa PakramanBeraban dapat
Tri HitaKarana, yang mengupayakan diketahui betapa beratnya desa ini
keharmonisan antara alam skala dan dalam proses pembangunan,
niskala, antara manusia dengan perbaikan dan pemeliharaan serta
Tuhan melalui tempat pemenuhan biaya upacara di pura ini,
persembahyangan yang disebut bahkan setelah dikelola oleh
dengan Parhyangan, yang tidak pemerintah daerah yang bekerjasama
hanya melalui Parhyangan Desa dengan pihak swastapun hanya
yang dikenal dengan Kahyangan mendapatkan sumbangan yang
Tiga tetapi juga Parhyangan lainnya sangat kecail dan hampir tidak
yang merupakan Stana Tuhan dalam berarti bila dibandingkan dengan
fungsinya yang tertentu yang berada biaya yang dikeluarkan oleh desa
di wilayah desa pakraman. pakraman untuk menyelenggarakan
Adalah suatu kewajaran upacaranya.
bahwa setelah pura tersebut menjadi Namun yang sangat
obyek wisata yang dapat disayangkan adalah bahwa

342
Vol.6 No.2 2014

pengakuan dan pelibatan desa beban untuk menyelenggarakan


pakraman dalam pengelolaan obyek segala sesuatu yang berkaitan dengan
wisata tersebut agak terlambat dan pura baik dalam pemeliharaan
baru diterima oleh pihak pemerintah maupun pelaksanaan upacaranya.
daerah setelah melalui perjuangan
IV. SIMPULAN DAN SARAN
yang berat bahkan dengan
melakukan demonstrasi. Disinilah 1. Simpulan
kelihatan bahwa pihak Pemerintah Dari hasil penelitian yang
Daerah kurang memahami tentang telah dikemukakan di depan dapatlah
eksistensi otonomi dari desa diambil kesimpulan sebagai berikut :
pakraman berkenaan dengan
1. Otonomi desa adat (desa
wilayahnya. Mungkin ada anggapan
pakraman) dalam kenyataannya
bahwa karena Pura Tanah Lot adalah
telah mendapat pengakuan dari
Pura Dang Kahyangan, yang berarti
pemerintah daerah, khususnya
menjadi sungsungan jagat, maka
dalam pengelolaan obyek wisata
pemerintah daerah-lah yang
yang terbukti dari dilibatkannya
mempunyai kewenangan dalam
desa pakraman dalam
pengelolaannya, dengan
pengelolaan obyek wisata
mengabaikan keberadaan desa
tersebut baik dalam struktur
pakraman yang mewilayahi pura
sebagai Badan Pengelola maupun
tersebut bahkan yang punya
sebagai Manajemen Operasional-
kewajiban sebagai pengempon.
nya. Selain itu terlihat pula
Walaupun terlambat masih
bahwa desa pakraman telah
dirasakan lebih baik daripada tidak
mendapatkan pembagian hasil
sama sekali sehingga desa pakraman
dari obyek wisata tersebut
dapat bernafas lebih lega baik dilihat
dengan prosentase yang sudah
dari segi pengakuan akan
proporsional. Namun pengakuan
eksistensinya sebagai masyarakat
terhadap otonomi desa pakraman
hukum adat yang otonom maupun
tersebut diperoleh melalui
dilihat dari segi hasil yang diperoleh
perjuangan yang berat yang
sehingga tidak lagi dirasakan adanya

343
Vol.6 No.2 2014

antara lain dilakukan dengan 2. Saran-saran


demonstrasi dan pendekatan- Dapat disarankan pada
pendekatan dengan pihak kesempatan ini hal-hal sebagai
pemerintah daerah. berikut :
2. Permasalahan yang dijumpai 1. Dalam perjanjian kerjasama
berkenaan dengan eksistensi antara pemerintah daerah dan
otonomi desa pakraman tersebut Desa Pakramanhedaknya
adalah bahwa dilingkungan mencantumkan pula tentang
internal desa pakraman belum secara jelas mengenai hak dan
ada kesamaan pandangan (belum kewajiban dari para pihak dalam
kompak) dalam memperjuangkan hubungannya dengan
eksistensi dari desa pakraman pemeliharaan pura yang menjadi
tersebut, yang dapat dilihat dari obyek wisata beserta dengan
adanya gugatan dari kelompok penyelenggaraan upacaranya,
masyarakat tertentu di walaupun dapat ditafsirkan
lingkungan desa pakraman bahwa dengan adanya pembagian
terhadap apa yang telah 7.5% untuk pura sudah
dilakukan oleh bendesa adatnya, mencakup mengenai
walaupun pada akhirnya gugatan pemeliharaan dan upacaranya.
tersebut tidak membuahkan hasil.
2. Adalah menjadi tugas dari
Permasalahan yang juga muncul
Manajemen Operasional untuk
adalah terkait dengan perjuangan
terus meningkatkan upaya yang
untuk mendapatkan pembagian
dapat menjaga kelestarian pura
hasil yang dipandang adil, dan
tanah Lot serta meningkatkan
dengan melalui pembahasan yang
infra struktur yang tidak
matang akhirnya disepakati
mengganggu kesucian pura.
pembagian hasil seperti tertuang
dalam Perjanjian Kerjasama yang 3. Para pihak diinternal desa
dibuat oleh Bupati dan Bendesa pakraman yang merasa tidak puas
Adat Desa Pakraman. hendaknya dapat menjaga diri
karena kepuasan itu sifatnya

344
Vol.6 No.2 2014

relatif, sehingga kerukunan di Ter Haar, 1974, Asas-Asas dan


Susunan Hukum Adat,
lingkungan desa pakraman dapat
terjemahan K. Ng. Subakti
terjaga dengan baik dan tidak Pusponoto, Pradnya Paramita,
Jakarta.
justru menjadi tidak harmonis
lantaran perbedaan pendapat Tim Redaksi Fokusmedia, 2006,
Undang Undang Otonomi
berkenaan dengan pembagian Daerah, Fokusmedia,
hasil yang diperoleh. Bandung.

Velsen, J. Van, 1969, “TheExtended-


Case Methodand Situational
DAFTAR PUSTAKA Analysis”dalam A.L.Epsytein
(ed) The Craft of Social
Antropology, London,
BUKU
Tavistock.

Desa Pakraman Beraban : 2009, Wirta Griadhi, I Ketut,


Ekalikita Desa Pakraman 1977,”Peranan Otonomi Desa
Beraban. Adat dalam Pembangunan”,
Kertha Patrika, Fakultas
Kusumadi Pudjosewojo, 1967, Hukum Universitas Udayana,
Pedoman Pelajaran Tata Denpasar.
Hukum Indonesia, Penerbit
Universitas Gadjah Mada, Internet
Jogjakarta.
Kediriofficer, 2011,
Soepomo, R. 2007, Bab-Bab Tentang ProfilDesaBeraban,http//kedi
Hukum Adat, Pradnya ri.tabanan.go.id/?p=61.,diaks
Paramita, Jakarta. es 15 September 2013, pukul
20.30
Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum
Tata Negara Indonesia Rai Utama, I Gusti Bagus, 2011,
Setelah Amandemen UUD “World Heritage
1945, Bagian Hukum Management Manfaat dan
Tatanegara, Fakultas Hukum Kerugian Bagi Masyarakat
Universitas Udayana, Lokal,
Denpasar. http://tourismbali.word.press.
com/2011/07/18, diakses 19
September 2013, pukul 22.08

345

You might also like