You are on page 1of 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/266590813

PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Article

CITATIONS READS
70 438

9 authors, including:

Ngakan Ketut Acwin Dwijendra


Udayana University
218 PUBLICATIONS 936 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ngakan Ketut Acwin Dwijendra on 17 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


TRADISIONAL BALI

Oleh:
Ngakan Ketut Acwin Dwijendra
Dosen Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
Email: acwindwijendra@yahoo.com

ABSTRAK
Perumahan Permukiman Tradisional Bali merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat
yang berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa
(warga), dan karang desa (wilayah) dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang
melandasinya. Perumahan Permukiman Tradisional Bali tersebut pada prnsipnya dilandasi oleh konseps-
konsepsi sepert: hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu,
Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai kepada melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang memberi
arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Dalam kajian ini, konsep-
konsep tersebut dirumuskan ke dalam 4 atribut atau aspek dalam perumahan permukiman tradisional Bali,
yaitu: aspek sosial, simbolis, morfologis dan fungsional.
Kata Kunci: Perumahan Permukiman Tradisional Bali, Konsep, Pola.

ABSTRACT
Balinese Traditional Housing and Settlement is a place of unity and harmonious life that has a
traditionally pattern and consists of three elements i.e. element of the village temple (kahyangan tiga), element
of the village inhabitants (krama desa), and element of the village region (karang desa) and predominantly
based on traditionally norm and value background. The Balinese Traditional Housing and Settlement is in
essence sustained by concepts such as: harmonious relations between Bhuana Agung with Bhuana Alit, Manik
Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben till developing the value arrangement of Sanga
Mandala that offers the guidance to the spatial pattern both on the house and the settlement scale. In this study,
those concepts are mainly concluded into four aspects in the Balinese Traditional Housing and Settlement such
as: a social, symbolic, morphology and functional aspects.
Key Words: Balinese Traditional Housing and Settlement, Concept, Pattern.

Pengertian kebudayaan adalah


KONSEPSI BUDAYA TRADISIONAL BALI keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
Keberadaan manusia pada hakekatnya, mahluk sosial yang digunakan untuk memahami
terwujud sebagai manusia bersifat sosial dan dan menginterprestasi lingkungan dan
manusia yang berbudaya, berbagai kondisi pengalamannya, serta menjadi kerangka
obyektif dan perjalanan historis mengakibatkan landasan bagi mewujudkan dan mendorong
manusia berusaha mengembangkan sistem sosial terwujudnya kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya
dan sistem budayanya secara khas, seperti tradisional Bali merupakan perwujudan
misalnya sistem sosial Bali sebagai salah satu pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi
sistem sosial budaya Indonesia, diantara agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka
kebhinekaan sistem sosial yang ada di Indonesia. dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila
atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada

8 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada Dapat disimpulkan rumah arsitektur


(1990:44), menjelaskan budaya Bali tidak bisa tradisional Bali yang memiliki konsepsi-
lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang konsepsi yang dilandasi agama Hindu,
mempunyai tiga unsur kerangka dasar (tatwa, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter
susila, upacara) bagi umatnya untuk mencapai perumahan tradisional Bali sangat ditentukan
tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta
“Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. rasa seni yang mencerminkan kebudayaan.
(Bappeda, 1982:119).
Dalam kehidupan sehari-hari dalam
pembiasan-pembiasan yang berhubungan dengan Jenis-jenis lembaga tradisional dalam
tatwa, susila, upacara, lebih mengarah pada masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak, dan
perwujudan untuk mencapai hubungan yang sekehe (Bappeda, 1982:30). Bentuk lembaga
harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut
Yang Maha Esa (bhuana agung), melahirkan desa adat. Konsep desa di Bali memiliki dua
suatu adat yang banyak mencakup aspek pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa
kehidupan berupa konsepsi-konsepsi. adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
daerah Bali, yang mempunyai satu kesatuan
Konsepsi Tri Hita Karana yang
tradisi dan tata krama pergaulan hidup
mengatur keseimbangan antara manusia sebagai
masyarakat umat Hindu, yang secara turun
bhuana alit dengan bhuana agung (alam
temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang
semesta). Dalam kehidupan sehari-hari konsepsi
mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan
ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang
tersendiri serta berhak mengurus rumah
tercermin pada wadah interaksinya, yaitu pola
tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di
rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur
Bali adalah konsep Tri Hita Karana.
tesebut (Kaler, 1983:44).
Konsepsi Tri Angga yang mengatur
FILOSOFI PERUMAHAN PERMUKIMAN
susunan unsur-unsur kehidupan manusia di
TRADISIONAL BALI
alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga,
madya angga, dan nista angga. Dalam Terwujudnya pola perumahan
kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tradisional sebagai lingkungan buatan sangat
tata nilai rumah maupun desa. Suatu adat atau terkait dengan sikap dan pandangan hidup
kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi
keseimbangan hubungan manusia dengan alam, agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem
manusia dengan sesama dalam perhitungan religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan.
ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam
konsepsi Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya
(Astika, 1986:7). implikasi agama dengan berbagai kehidupan
bermasyarakat.
Rumah tradisional Bali selain
menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti:
tidur, makan, istirahat juga untuk menampung
kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan
psikologis, seperti melaksanakan upacara
keagamaan dan adat. (Sulistyawati. dkk,
1985:15). Dengan demikian rumah tradisional
sebagai perwujudan budaya sangat kuat dengan
landasan filosofi yang berakar dari agama
Gambar 1. Perwujudan Budaya dalam Rumah Hindu.
Arsitektur Tradisional Bali
Sumber: Dokumentasi, 2000. Agama Hindu mengajarkan agar
manusia mengharmoniskan alam semesta dengan
segala isinya yakni bhuana agung (Makro

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 9


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), Bhuana agung (alam semesta) yang
dalam kaitan ini bhuana agung adalah sangat luas tidak mampu digambarkan oleh
lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit manusia (bhuana alit), namun antara keduanya
adalah manusia yang mendirikan dan memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita
menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990). Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai
cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai
Manusia (bhuana alit) merupakan
dalam pola perumahan tradisional yang
bagian dari alam (bhuana agung), selain
diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama,
sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai
juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi.
unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah
Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah,
sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).
senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras
seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi
Rahim sebagai tempat yang memberikan terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
kehidupan, perlindungan dan perkembangan makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal
janin tersebut, demikian pula halnya manusia yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam
berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan
alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga
konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.
pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah
buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu parhyangan (pura desa), tenaga adalah
Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang pawongan (masyarakat) dan jasad adalah
utuh, yaitu: Tri Hita Karana. palemahan (wilayah desa). Demikian pula
halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri
(pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga
berarti tiga; Hita berarti kemakmuran, baik,
banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah
gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti
banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah
sebab musabab atau sumbernya sebab
pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni
(penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang
dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada
menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1).
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah
Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana
sabda bayu idep dan jasad adalah stula
(tenaga), 3). Angga (jasad/fisik) (Majelis
sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri
Lembaga Adat, 1992:15).
Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat
dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tri Hita Karana dalam Susunan Kosmos

Susunan/Unsur Jiwa/Atma Tenaga/Prana Fisik/Angga

Alam Semesta Paramatman Tenaga Unsur-unsur


(Bhuana Agung) (Tuhan Yang Maha Esa) (yang menggerakan alam) panca maha bhuta
Desa Kahyangan Tiga Pawongan Palemahan
(pura desa) (warga desa) (wilayah desa)
Banjar Parhyangan Pawongan Palemahan
(pura banjar) (warga banjar) (wilayah banjar)
Rumah Sanggah (pemerajan) Penghuni rumah Pekarangan rumah
Manusia Atman Prana Angga
(Bhuana Alit) (jiwa manusia) (tenaga sabda bayu idep) (badan manusia)
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:5); Meganada, (1990:72).

10 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

madya pada posisi tengah dan nista pada posisi


Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan)
terendah/kotor.
yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang
susunan jasad/angga, memberikan turunan bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara sampai yang paling mikro (manusia/bhuana
harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan
Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. pada nilai nista. Dalam perumahan, Kahyangan
Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya),
ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah
Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). dan manusia. Susunan Tri Angga dalam susunan
Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, kosmos dapat dilihat dalam Tabel 2.
dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral,
Tabel 2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos

Susunan/Unsur Utama Angga Sakral Madya Angga Netral Nista Angga Kotor

Alam Semesta Swah Loka Bwah Loka Bhur Loka


Wilayah Gunung Dataran Laut
Perumahan/Desa Kahyangan Tiga Pemukiman Setra/Kuburan
Rumah Tinggal Sanggah/Pemerajan Tegak Umah Tebe
Bangunan Atap Kolom/Dinding Lantai/Bataran
Manusia Kepala Badan Kaki
Masa/Waktu Masa depan Masa kini Masa lalu
Watamana Nagata Atita
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:6); Adhika (1994).

yang membagi ruang menjadi sembilan segmen.


Tri Angga yang memberi arahan tata
(Adhika; 1994:19).
nilai secara vertikal (secara horisontal ada yang
menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Konsep tata ruang Sanga Mandala juga
Hulu-Teben, merupakan pedoman tata nilai di lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam
dalam mencapai tujuan penyelarasan antara menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan
Bhuana agung dan Bhuana alit. Hulu-Teben harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga
memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan (Meganada, 1990:58) dan lihat Gambar 2.
sumbu bumi yaitu: arah kaja-kelod (gunung dan
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala
laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah),
menjadi pertimbangan dalam penzoningan
3). berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur-
kegiatan dan tata letak bangunan dalam
Barat (Matahari terbit dan terbenam)
pekarangan rumah, dimana kegiatan yang
(Sulistyawati. dkk, 1985:7).
dianggap utama, memerlukan ketenangan
Tata nilai berdasarkan sumbu bumi diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-
(kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk
utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-
arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu kauh), sedangkan kegiatan diantaranya
matahari; nilai utama pada arah matahari terbit diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk,
dan nista pada arah matahari terbenam. Jika 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi
kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara Pola Natah (Adhika, 1994:24) dan jelasnya lihat
imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala, Gambar 3.

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 11


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

KONSEPSI ARAH ORIENTASI RUANG

KELOD (LAUT)

KAJA (GUNUNG) KANGIN


KAUH
(MATAHARI TERBIT)
(MATAHARI TERBENAM)

KELOD (LAUT)

BERDASAR
SUMBU MATAHARI

TERBENAM TERBIT

SANGA MANDALA
UTAMA
MADYA
NISTA

UTAMANING UTAMANING UTAMANING


NISTA MADYA UTAMA

UTAMANING
MADYANING MADYANING
MADYA MADYA
NISTA

NISTANING NISTANING UTAMANING


UTAMA NISTA
KAJA NISTA MADYA
GUNUNG

MADYA
DATARAN

KELOD NISTA
LAUT
BERDASAR
SUMBU KAJA KELOD
(GUNUNG LAUT)

Gambar 2. Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala


Sumber: Eko Budihardjo (1986).

12 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

A TYPICAL
BALINESE HOUSE

Uma/Meten Sanggah
Kemulan
UTAMA

Natah
MADYA
PENJABARAN Bale
Bale Sakepat
Tiang Sanga
NISTA Lawang
Aling-aling
Bale Sakenam
KONSEP

Lumbung
Paon

Gambar 3. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah


Sumber: Eko Budihardjo (1986).

GUNUNG TUHAN ALAM

ARSITEKTUR

NISTA MADYA UTAMA


LAUT
MANUSIA

TRI LOKA/TRI ANGGA NAWA SANGA/SANGA MANIK RING CECUPU


MANDALA
Gambar 4. Konsepsi Tata Ruang Tradisional Bali
Sumber: Eko Budihardjo (1986).

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 13


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

pengurip. (Adhika, 1994:25). Lihat Gambar 5.


Dalam skala perumahan (desa) konsep
dan 6.
Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang
bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning Di dalam menentukan atau memilih tata
utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem dan letak pekarangan rumah pun menurut aturan
kuburan pada daerah nisthaning nista (klod- tradisional Bali ada beberapa pantangan yang
kauh), dan permukiman pada daerah madya, ini harus diperhatikan yaitu:
terutama terlihat pada perumahan yang memiliki
1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan
pola Perempatan (Catus Patha). (Paturusi;
langsung ada disebelah Timur atau Utara
1988:91). Sedangkan Anindya (1991:34) dalam
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau
lingkup desa, konsep Tri Mandala, menempatan:
pekarangan lain seperti: sawah,
kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut:
kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial,
Ngeluanin Pura.
ekonomi dan perumahan) madya, dan kegiatan
yang dipandang kotor mengandung limbah 2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak
daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus
memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang langsung bertemu dengan pekarangan
lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, rumah.
namun demikian pada dasarnya mempunyai 3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh
kesamaan sebagai berikut yaitu: pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
1). Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Pantangan ini dinamakan: Karang
Karana), 2). Hirarkhi tata nilai (Tri Angga), 3). Kalingkuhan.
Orientasi kosmologis (Sanga Mandala), 4).
Konsep ruang terbuka (Natah), 5). Proporsi dan 4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh
skala, 6). Kronologis dan prosesi pembangunan, cucuran atap dari rumah orang lain.
7). Kejujuran struktur (clarity of structure), 8). Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon
Kejujuran pemakaian material (truth of Amuk.
material). (Juswadi Salija, 1975; dalam Eko 5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak
Budihardjo, 1986). Lihat Gambar 4. boleh berada sebelah- menyebelah jalan
Munculnya variasi dalam pola tata ruang umum dan berpapasan. Pantangan ini
rumah dan perumahan di Bali karena adanya dinamakan: Karang Negen.
konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis 6. Pekarangan rumah yang sudut Barat
operasional yang dikenal dengan Desa-Kala- Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa- Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga
Mawa-Cara yang menjelaskan adanya berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini
fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan tidak boleh. Pantangan ini dinamakan:
filosofinya, dan ini ditunjukkan oleh keragaman Celedu Nginyah.
pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).
7. Dan lain sebagainya.
Perumahan tradisional Bali juga
memiliki konteks kehidupan pribadi dan
masyarakat serta pantangan-pantangan. Dalam PERUMAHAN PERMUKIMAN
konteks pribadi seperti halnya menentukan TRADISIONAL BALI
dimensi pekarangan dan proporsi bangunan Pengertian Perumahan Tradisional Bali
memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala atau secara tradisional disebut desa (adat),
keluarga, seperti; tangan, kaki dan lainnya. merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh
(Meganada: 1990:61). Dasar pengukuran letak dan bulat yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur
bangunan dalam pekarangan memakai telapak kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa
kaki dengan hitungan Asta Wara (Sri, Guru, (warga), dan karang desa (wilayah)
Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah (Sulistyawati, 1985:3). Sedangkan menurut

14 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Gelebet (1986: 48), perumahan atau pemukiman dengan adanya sistem desa adat, sistem
tradisional merupakan tempat tinggal yang banjar, sistem subak, sekeha, dadia, dan
berpola tradisional dengan perangkat lingkungan perbekalan.
dengan latar belakang norma-norma dan nilai-
2. Atribut Simbolik berkiatan dengan
nilai tradisional.
orientasi perumahan, orientasi sumbu utama
Perumahan Tradisional Bali yang desa, orientasi rumah dan halamannya.
dilandasi konsepsi seperti; hubungan yang
3. Atribut Morpologi menyangkut komponen
harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana
yang ada dalam suatu perumahan inti (core)
Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri
dan daerah periphery di luar perumahan,
Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai
yang masing-masing mempunyai fungsi dan
Sanga Mandala yang memberi arahan tata
arti pada perumahan tradisional Bali.
ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun
perumahan (desa). Hasil dari penurunan konsep 4. Atribut Fungsional menyangkut fungsi
tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. perumahan tradisional Bali pada dasarnya
Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang
dalam perumahan tradisional Bali, yaitu: dicirikan dengan adanya 3 pura desa.
1. Atribut Sosiologi menyangkut sistem
kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan

Tapak Tangan
Asta

Cengkang
Lengkat
Depa Asta Musti
Depa Asta

Musti

Sedemak

Tapak
Depa Agung
Tapak
Depa Alit Ngandang

Gambar 5. Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan


Sumber: Adhika (1994).

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 15


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

KETERANGAN :

UMA
2

UMA
9

KALA
ALTERNATIF PINTU MASUK
TAKSU
1
8

UKURAN JARAK ANTAR BANGUNAN


UMA
4 INDRA
GURU NAMA BANGUNAN TRADISIONAL
7

KEMULAN
KALA

YAMA
1 SANGGAH/MERAJAN
6

3
2 PENUNGGUN KARANG
5

SRI

7 SRI 5 3 SANGGAH NATAH


4

4 BALE DAJA
6
BALE DANGIN
3

6 BALE DELOD
8
2

9
7 BALE DAUH
1

8 PAWON

1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 JINENG

URIP
SRI INDRA GURU YAMA LUDRA BRAHMA KALA UMA

CARA MENGUKUR JARAK ANTAR BANGUNAN

Gambar 6. Pengukuran Jarak antar Bangunan


Sumber: Adhika (1994).

merupakan pengikat warga yang diatur dengan


Berdasarkan patokan dasar diatas maka
awig-awig desa, kebiasaan dan kepercayaan
akan diidentifikasi aset-aset yang ada pada
(Bappeda, 1982:32).
perumahan tradisional Bali yang meliputi aspek
sosial, aspek simbolis, aspek morpologis dan Dalam skala yang lebih kecil sebagai
aspek fungsional. bagian (sub unit) desa dikenal banjar baik adat
maupun dinas. Pengertian Banjar kaitannya
1. Aspek Sosial dengan desa adat di Bali adalah kelompok
Dalam pandangan masyarakat Bali masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta
konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu: merupakan persekutuan hidup sosial, dalam
pertama, teritorial sebagai satu kesatuan wilayah keadaan senang maupun susah, berdasarkan
tempat para warganya secara bersama-sama persekutuan hidup setempat atau kesatuan
melaksanakan upacara-upacara dan berbagai wilayah (Agung, 1984: 18-29; Covarrubias,
kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga
budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa tradisional merupakan bagian desa juga memiliki
sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga
nama desa dinas atau perbekalan. (Depdikbud, berupa fasilitas lingkungan berupa Bale banjar
1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat

16 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan orientasi 1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura
warga banjar. (Adhika, 1994:2). sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu
pura puseh, Bale Agung dan pura dalem.
Dari kesatuan wilayah, tidak ada
Untuk satuan banjar yang merupakan sub
ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa
bagian desa terdapat fasilitas umum berupa
adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi.
Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul
Variasinya cukup beraneka ragam dan kompleks,
dan pura banjar.
antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu
desa adat, 2). Satu desa dinas mencakup 2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa
beberapa desa adat, 3). Satu desa adat yang bersangkutan. Sebagai warga inti
mencakup beberapa desa dinas, 4). Kombinasi 2 adakah setiap pasangan suami istri yang
dan 3. telah berkeluarga. Menurut jumlah
anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan
Untuk memproleh pengertian tentang
menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila jumlah
komunitas masyarakat Bali, maka penggambaran
anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala
tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut
keluarga), banjar kecil bila anggotanya lebih
aspek-aspek sebagai berikut: legitimasi, atribut-
sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif
atribut dan ciri khusus.
dalam desa adat di Bali adalah sekitar 200
a. Legitimasi KK setiap banjar. Maka bila rata-rata
masing-masing KK ada lima orang maka
Disamping adanya pengakuan formal, setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar
maka legitimasi suatu komunitas berkembang seribu jiwa. Penelitian Prof. Antonic
pula dikalangan warga menurut persepsinya terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali
dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta dan menyimpilkan besaran efektif untuk sebuah
terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa desa adalah lima ribu jiwa (Bappeda,
kepribadian kelompok, 3). Adanya pola 1976:14).
hubungan yang bersifat intim dan cendrung
bersifat suka rela, 4). Adanya suatu tingkat 3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang
penghayatan dari sebagian besar lapangan merupakan tempat perumahan warga desa.
kehidupannya secara bulat. Perumahan berada pada kedua belah sisi
megikuti pola jalan, Bale Banjar sebagai
Beberapa syarat pokok terbentuknya fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi
desa adat, yaitu: 1). Adanya wilayah dengan yang strategis, seperti pada satu sudut
batas-batas tertentu yang disebut dengan persilangan atau pertigaan jalan di tengah-
palemahan desa atau tanah desa, 2). Adanya tengah lingkungan bajar (Putra, 1988).
warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem
kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada Disamping atribut pokok tersebut, masih
orang yang telah makurenan (berumah tangga) perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan
dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat pelayanan desa yang menjadi simbol suatu
untuk menjadi krama banjar (Anonim, 1983), komunitas masyarakat Bali yang terwujud
3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai Pertemuan
desa yang disebut kahyangan tiga, 4). Adanya (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat
suatu pemerintahan adat yang berlandasan pada desa, 2). Kuburan desa yang biasanya terletak
aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan
(Bappeda, 1982:31). Desa merupakan tempat yang dianggap keramat
dan juga sebagai tempat upacara, 4). Tata
b. Atribut Desa Adat susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri
Mandala, yaitu: Utama, Madya, dan Nista.
Atribut pokok dari suatu komunitas kecil Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus
yang terwujud sebagai desa adat di Bali fungsinya dibidang adat dan agama, seperti;
tersimpul dalam konsepsi Tri Hita Karana uapacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur
sebagai berikut: Kesanga), sedangkan dalam skala banjar adat,

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 17


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

seperti; pemeliharaan pura, upacara perkawinan, gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang
kematian dan membangun rumah. Dalam sifatnya profan ditempatkan pada arah yang
menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat menuju ke laut (kelod-kauh).
mempunya kedudukan yang otonom, dalam arti
Berdasarkan urut-urutan tingkat
tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan-
kesakralan, dari paling sakral ke paling profan
aturan (awig-awig desa). Bidang pemerintahan
elemen bangunan rumah diurutkan sebagai
berada di tangan urusan desa dinas, menangani
berikut: Sanggah (pura rumah tangga),
fungsi, antara lain: administrasi pemerintahan,
pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale
pembangunan desa, upacara nasional serta
(ruang serba guna), pawon (dapur), jineng
keamanan desa. Dalam hal kedinasan itu, desa
(lumbung), kandang ternak, teben (halaman
dinas membawahi sejumlah banjar dinas.
belakang). (Parimin, 1968).
2. Aspek Simbolik
3. Aspek Morpologis
Aspek simbolik pada perumahan adalah
Kegiatan dalam perumahan tradisional
berkenaan dengan orientasi kosmologis.
dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) peruntukan,
Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya dapat
yaitu: peruntukan inti, peruntukan terbangun,
dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang
dan peruntukan pinggiran (lihat Gambar. 7).
bersifat sakral (berkaitan dengan kegiatan
keagamaan), dan kegiatan yang bersifat profan Peruntukan inti pada perumahan yang
(berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). berpola linear terletak pada sumbu jalan menyatu
Penempatan kegiatan tersebut dibedakan dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan
berdasarkan orientasi kesakralannya. utama yang menuju ke pura desa. Pada
perumahan yang berpola perempatan (Catur
Elemen-elemen ruang yang dijadikan
patha) peruntukan inti berada pada
indikator kesakralan perumahan adalah: 1).
persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti
Sumbu perumahan berupa jalan utama (arah
umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial,
kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan,
seperti; Jineng (lumbung desa), Bale banjar dan
2). Lokasi pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi
Wantilan (Parimin, 1968:91).
pura dalem (pura kematian), dan 4). Bale
Banjar. Peruntukan terbangun adalah merupakan
Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan wilayah lama, berupa bangunan perumahan yang
dapat mengarah: dibangun pada awal terbentuknya rumah
1. Ke arah gunung atau tempat yang tinggi tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan
dimana arwah leluhur bersemayam. inti. Peruntukan pinggiran adalah wilayah yang
2. Sumbu jalan (kaja-kelod) yang menuju ke terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih
dunia leluhur yang bersemayam di gunung dibawah kontrol desa adat. Beberapa desa adat
(kaja). peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.
3. Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya.
4. Arah kaja kangin yaitu arah ke gunung 4. Aspek Fungsional
Agung. Aspek fungsional adalah fungsi elemen
Sanga Mandala yang dilandasi konsep ruang dalam kaitannya dengan orientasi
Nawa Sanga adalah konsep tradisional yang kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan
didasarkan pada orientasi kosmologis formasi ruang. Dari konsep Sanga Mandala
masyarakat Bali sebagai pengejawantahan cara yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam
menuju ke kehidupan harmonis (Budihardjo, kosep fisik, baik dalam skala rumah dan
1968). Nawa sanga menunjuk ke arah delapan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen
penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan
Dari kesembilan orientasi ini yang paling profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti
dominan adalah orientasi dengan gunung-laut Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada
dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah segmen sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten
yang paling sakral selalu ditempatkan pada arah (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan

18 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

pada segmen madya, kandang ternak atau linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak
kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah-
skala permukiman, penerapan konsep Sanga tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan
Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu: profan masing-masing terletak pada ujung utara
dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar
a. Pola Perempatan (Catus Patha) 10.
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari Pola tata ruang yang dikemukakan di
perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan) atas merupakan penyederhanaan daripada pola
dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). tata ruang yang pada kenyataannya sangat
Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali
daerah kaja-kangin diperuntukan untuk mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh
bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura faktor yang telah dikemukakan pada uraian
Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan
kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut. tradisional Bali dapat diklasifikasikan dalam 2
Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada type, yaitu:
peruntukan madya (barat-laut). Untuk jelasnya
lihat Gambar 8 dan 11. 1. Type Bali Aga merupakan perumahan
penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi
b. Pola Linear oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi
Pada pola linear konsep Sanga Mandala perumahan ini terletak di daerah pegunungan
tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis yang membentang membujur di tangah-
lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali
selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola
perumahan Bali Aga dicirikan dengan
Pada bagian ujung Utara perumahan adanya jalan utama berbentuk linear yang
(kaja) diperuntukan untuk Pura (pura bale berfungsi sebagai ruang terbuka milik
agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan komunitas dan sekaligus sebagai sumbu
(kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem utama desa. Contoh perumahan Bali Aga:
(kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan
daerah tersebut terletak perumahan penduduk Bugbug (di Karangasem).
dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang
terletak di plaza umum, seperti dijelaskan 2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan
Gambar 9. tradisional yang banyak dipengaruhi oleh
Pola linear pada umumnya terdapat pada Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini
perumahan di daerah pegunungan di Bali, tersebar di dataran bagian selatan Bali yang
dimana untuk mengatasi geografis yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type
berlereng diatasi dengan terasering. pertama. Ciri utama perumahan ini adalah
adanya Pola perempatan jalan yang
c. Pola Kombinasi mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama
adalah jalan yang membujur arah Utara-
Pola kombinasi merupakan paduan Selatan yang memotong sumbu kedua
antara pola perempatan (Catus patha) dengan berupa jalan membujur Timur-Barat
pola linear. Pola sumbu perumahan memakai (Parimin, 1986).
pola perempatan, namun demikian sistem
peletakan elemen bangunan mengikuti pola

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 19


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

KAWASAN PUSAT INTI


KAWASAN PUSAT INTI
KAWASAN PUSAT INTI WIILAYAH TERBANGUN WIILAYAH TERBANGUN

WIILAYAH TERBANGUN WIILAYAH PINGGIRAN WIILAYAH PINGGIRAN

WIILAYAH PINGGIRAN

JULAH TENGANAN BUG - BUG

Gambar 7. Morfologi Perumahan Tradisional Bali.


Sumber: Ardi P. Parimin (1986).

KETERANGAN :

a = LAMAN/BENCINGAH
b = POHON BERINGIN
c = PURA MELANTING
d = HALAMAN BALE BANJAR

1 = PURI
2 = RUANG TERBUKA
3 = PASAR
4 = BALE BANJAR

Gambar 8. Pola Perempatan (Catus patha) Perumahan Tradisional Bali.


Sumber: Eko Budiharjo (1986).

20 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

KAJA
UTAMA 1

2 2 KETERANGAN :

1 = PURA DESA
4 2 = PERUMAHAN
4 = BALE BANJAR
MADYA 5 5 = WANTILAN
6 = PASAR
7 = PURA DALAM
6 8 = KUBURAN DESA

NISTA 7
8

Gambar 9. Pola Linear Perumahan Tradisional Bali


Sumber: Eko Budiharjo (1986).

KAJA

KETERANGAN :

A = PURA DESA
B = BALE KULKUL
C = PURI
D = WANTILAN
E = POHON BERINGIN
F = PASAR

Kuburann

Gambar 10. Pola Kombinasi Perumahan Tradisional Bali


Sumber: Eko Budiharjo (1986).

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 21


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

BULELENG BANGLI GIANYAR

KARANGASEM

TABANAN DENPASAR KLUNGKUNG

KETERANGAN :

1 = PURI
2 = PASAR
3 = ALUN - ALUN
4 = WANTILAN

Gambar 11. Pusat Kerajaan Berkembang menjadi Pusat Kabupaten


Sumber: Anindya (1991).

22 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

2. Aspek Simbolik; berkenaan dengan


orientasi kosmologis antara lain orientasi
SIMPULAN
arah sakral (kaja-kangin) dan Sanga
Budaya tradisional Bali yang dilandasi Mandala atau Tri Mandala.
agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan 3. Aspek Morfologis; yang secara morfologis
Upacara untuk mecapai tujuan (Dharma), yaitu kegiatan-kegiatan dalam perumahan
“Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3
dimana harus tercapai hubungan yang harmonis (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura),
antara alam semesta yang merupakan Bhuana terbangun (perumahan) dan pinggiran
agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai (belum terbangun).
Bhuana alit (Mikro kosmos). Dalam hal ini,
4. Aspek Fungsional; berkaitan dengan
perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia
orientasi kosmologis (Sanga Mandala) yang
(Bhuana alit) yang mendirikan dan menempati
tercermin pada tata letak ruang. Dalam skala
wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana agung
rumah, Sanggah (Utama), Meten/tempat
dengan Bhuana alit yang harmonis dapat
tidur (Madya) dan yang kotor (KM/WC)
tercapai melalui unsur-unsur kehidupan yang
pada daerah Nistha. Dalam skala perumahan
sama yatu “ Tri Hita Karana”.
sesuai dengan peletakan fasilitas dan
Perumahan tradisional Bali sebagai jaringan jalan melahirkan pola Perempatan
wadah yang memiliki landasan Tatwa; yaitu (Catus Patha), Linier dan Kombinasi.
lima kepercayaan agama Hindu (Panca Srada),
Susila; etika dalam mencapai hubungan yang DAFTAR PUSTAKA
harmonis, dan Upacara; pelaksanaan lima
macam persembahan (Panca Yadnya). Rumah Adhika, I Made. 1994. Peran Banjar dalam
tradisional Bali selain menampung aktivitas Penataan Komunitas, Studi Kasus
kebutuhan hidup sehari-hari, juga untuk Kota Denpasar. Bandung: Tesis
menampung kegiatan upacara agama Hindu dan Program S2 Jurusan Perencanaan
adat, memiliki landasan filosofi hubungan yang Wilayah dan Kota ITB.
harmonis antara Bhuana agung dengan Bhuana
alit, konsepsi Manik Ring Cucupu, Tri Hita Astika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan
Karana, hirarkhi tata nilai Tri Angga, Hulu- Banjar pada Masyarakat Bali.
Teben, sampai melahirkan konsep Sanga Denpasar: Departemen Pendidikan
Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan dan Kebudayaan, Proyek
segmen berdasarkan tingkat nilai ke -Utama- Inventarisasi dan Dokumentasi
annya. Konsepsi-konsepsi ini juga berlaku untuk Kebudayaan Daerah.
perumahan tradisional.
Bappeda Tingkat I Bali dan Universitas
Penerapan konsepsi-konsepsi perumahan Udayana. 1982. Pengembangan
tradisional Bali sesuai dengan konsep Tri Arsitektur Tradisional Bali untuk
Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi Keserasian Alam Lingkungan, Sikap
landasan taktis operasional, mewujudkan pola Hidup, Tradisi dan Teknologi.
perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
diidentifikasi 4 (empat) atribut antara lain:
Budihardjo, Eko. 1986. Architectural
1. Aspek Sosial; yang menyangkut sistem Conservation in Bali. Yogyakarta:
kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar Penerbit Gajah Mada University
(adat), yang memiliki ciri-ciri, seperti: Press.
adanya legitimasi dan atribut desa adat atau
banjar.

JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO. 1 - PEBRUARI 2003 23


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Environmental Hierarchy of Sacred-


Budihardjo, Eko. 1998. Percikan Masalah Profane Concept In Bali. Japan:
Arsitektur Perumahan Perkotaan Disertasi Universitas Osaka.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Paturusi, Syamsul Alam. 1988. Pengaruh
Pariwisata terhadap Pola Tata
Gelebet, I Nyoman. 1984. Pengaruh Teknologi Ruang Perumahan Tradisional Bali.
pada Permukiman Tradisional. Bandung: Thesis S2 Program
Denpasar: Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.
Univeristas Udayana.
Putra, I Gusti Made. 1987. Pengaruh Pariwisata
Gelebet, I Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur dalam Perkembangan Bangunan
Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Perumahan Tradisional Bali di
Departemen Pendidikan dan Desa Bualu. Denpasar: Laporan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi Penelitian Universitas Udayana.
dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah. Soebandi, Ketut. 1990. Konsep Bangunan
Tradisional Bali. Denpasar:
Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Butir-butir Tercecer Percetakan Bali Post.
tentang Adat Bali. Denpasar: Bali
Agung. Sulistyawati, dkk. 1985. Preservasi Lingkungan
Perumahan Pedesaan dan Rumah
Meganada, I Wayan. 1990. Morfologi Grid Tradisional Bali di Desa Bantas,
Paterrn Pada Desa di Bali. Kabupaten Tabanan. Denpasar: P3M
Bandung: Program Pasca Sarjana S- Universitas Udayana.
2 Arsitektur, Institut Teknologi
Bandung.

Parimin, Ardi P. 1986. Fundamental Study on


Spatial Formation of Island Village,

24 JURNAL PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003

View publication stats

You might also like