You are on page 1of 5

PELUANG DAN TANTANGAN ARSITEKTUR

RUANG TRADISIONAL BALI SEBAGAI PENDUKUNG DESA


WISATA
SPACE STUDI KASUS: DESA ADAT CEKENG, BANGLI
Oleh: 𝐍𝐢 𝐋𝐮𝐡 𝐏𝐮𝐭𝐮 𝐀𝐦𝐛𝐚𝐫𝐚𝐬𝐰𝐚𝐭𝐢𝟏 , 𝟐

Abstract
Traditional Balinese Architecture (ATB) is one of the ethnic architectural archipelago, has grown and
developed according to the dynamics of the era. The appearance of Balinese Architecture with rapid changes
in all aspects can affect the existence of Traditional Balinese Architecture. Therefore understanding the
meaning and concept becomes strategic and vital in order to transform it into architecture. To overcome the
implications of change so that the concepts of Traditional Balinese Architecture can provide identity and
meaning in contemporary architecture, exploration efforts are needed. In addition, traditional Balinese
settlements or traditionally called villages (adat), are a whole and round place of life consisting of 3 elements,
namely: the three heavenly elements (village temples), the elements of village krama (residents), and village
corals (region). Traditional Balinese settlements which are based on several conceptions, one of which is the
hulu-teben concept. The purpose of this study, to determine whether there are changes regarding the concept,
meaning and application of traditional Balinese architectural settlement patterns, what factors develop a
tourist village and know the opportunities and challenges of the traditional village of Cekeng Sulahan, Bali as
a supporter of tourism villages with a SWOT analysis approach. This research uses qualitative research with
a descriptive approach. Data collection techniques were performed using data collection techniques to
determine the concept of settlement patterns. Case study approach is to interact by looking at objects / subjects
in the field, viewing and reading archives, such as: reading maps, documentation, reading books / journals,
and others. The results of this study are expected to find out whether there are changes regarding the concept,
meaning, and application of settlement patterns in the adat village of Cekeng Sulahan, Bangli as Supporters
of Tourism Villages.

Keywords: Traditional Balinese Architectural, Opportunities and Challenges, Tourist Village


Abstrak
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakan salah satu etnis arsitektur nusantara, telah tumbuh dan
berkembang sesuai dinamika jaman. Wujud Arsitektur Bali dengan perubahan yang cepat dalam segala aspek
dapat mempengaruhi eksistensi Arsitektur Tradsional Bali. Oleh karena itu pemahaman makna dan konsepnya
menjadi strategis dan vital agar dapat mentransformasikannya kedalam arsitektur. Untuk mengatasi implikasi
perubahan agar konsep-konsep Arsitektur Tradisional Bali dapat memberikan jati diri dan pemaknaan pada
arsitektur kekinian maka diperlukan upaya-upaya eksplorasi. Selain itu, permukiman Tradisional Bali atau
secara tradisional disebut desa (adat), merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang terdiri dari
3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah).
Permukiman Tradisional Bali yang dilandasi beberapa konsepsi salah satunya konsep hulu-teben. Tujuan
penelitian ini, untuk mengetahui apakah ada perubahan mengenai konsep, makna dan penerapan pola-pola
permukiman arsitektur tradisional bali, faktor-faktor apa yang mengembangkan desa wisata serta mengetahui
peluang dan tantangan desa adat Cekeng Sulahan, Bali sebagai pendukung desa wisata dengan pendekatan
analisis SWOT. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data untuk mengetahui konsep pola
permukiman. Pendekatan studi kasus yaitu melakukan interaksi dengan melihat objek/subjek yang ada di
lapangan, melihat dan membaca arsip, seperti halnya: membaca peta, dokumentasi, membaca buku/jurnal, dan
lain-lain. Hasil penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah ada perubahan mengenai konsep, makna,
dan penerapan pola-pola pemukiman pada desa adat Cekeng Sulahan, Bangli sebagai Pendukung Desa Wisata.
Kata kunci: Arsitektur Tradisional Bali, Peluang dan Tantangan, Desa Wisata

1 Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana


Email: luhputuambaraswati04gmail.com
Ni Luh Putu Ambaraswati ISSN: 2355-5718

Pendahuluan
Bali merupakan salah satu daerah yang mempunyai ciri khas bangunan dan memiliki
tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal permukiman. Tidak hanya
bentuk bangunannnya saja yang khas, tetapi demikian pula halnya dengan pola desanya.
Pola-pola desa adat di Bali telah menjadikan pulau Bali memiliki ciri khas tersendiri dalam
pengembangan pola desa. Pada dasarnya arsitektur merupakan suatu proses estetika total,
yaitu dampak dari pengalaman budaya total terhadap kehidupan organis, psikologis dan
sosial. Namun, arsitektur masih tetap merupakan lingkungan buatan yang tidak hanya
menjembatani antara manusia, dan lingkungan, melainkan sekaligus merupakan sarana
ekspresikultural, untuk menata kehidupan jasmaniah, psikologis, dan sosial manusia,
Boedojo dkk (1986).

Arsitektur Bali (AB) adalah arsitektur yang tumbuh, berkembang, dan dipertahankan
di Bali mengisi sejarah, ruang dan waktu dari masa ke masa. Sebagai wujud Arsitektur Bali,
Globalisasi dan perubahan yang cepat dalam segala aspek dapat mempengaruhi eksistensi
Arsitektur Tradsional Bali. Oleh karena itu pemahaman makna dan konsepnya menjadi
strategis dan vital agar dapat mentransformasikannya kedalam arsitektur kekinian (salah satu
bagian Arsitektur Bali). Untuk mengatasi implikasi perubahan agar konsep-konsep
Arsitektur Tradisional Bali dapat memberikan jati diri dan pemaknaan pada arsitektur
kekinian maka diperlukan upaya-upaya eksplorasi dan konservasi. Pengertian Permukiman
Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat), merupakan suatu tempat
kehidupan yang utuh dan bulat yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura
desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah), (Sulistyawati, 1985:3).
Sedangkan menurut Gelebet (1986: 48), perumahan atau pemukiman tradisional merupakan
tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat lingkungan dengan latar belakang
norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang memiliki tatanan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam hal permukiman.

Permukiman Tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti; hubungan yang


harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana,
Tri Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang memberi arahan
tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Konsep Hulu-Teben
merupakan arsitektur tradisional Bali karena memiliki latar belakang atau dilatari oleh
konsep “keluhuran”, artinya menghormati para leluhur dalam bentuk proses penanaman
mayat, kemudian pengabenan (ritual pembakaran jenazah) dan memukur atau nyekah (ritual
peningkatan status sang roh menjadi roh suci/sang pitara) dan terakhir dengan upacara
ngelinggihang Dewa Hyang atau dewapitara atau meningkatkan sang pitara menjadi leluhur
dan ditempatkan di Sanggah Kemulan/tempat suci di Karang Umah/rumah tinggal (Ardana,
1982:15). Pada tataran pola desa adat, Gelebet (1982; 12) menyatakan bahwa desa adat di
daerah Bali pegunungan, menempatkan zona sakral dengan tata nilai utama pada arah
gunung sebagai kaja dan Hulu desa serta arah laut atau lawan dari gunung sebagai
kelod/Teben bernilai “rendah”. Dengan konsep ini, desa-desa pegunungan cenderung
berpola linear dengan core desa sebagai penghubung zona Hulu dan Teben Desa. Sedangkan
di desa dataran di samping berpedoman pada konsep Hulu-Teben berdasarkan arah gunung-

4 SPACE - VOLUME X, NO. X, BULAN TAHUN


ISSN: 2355-5718 Peluang dan Tantangan Arsitektur Tradisional Bali sebagai Pendukung Desa Wisata

laut (kaja-kelod), juga menempatkan zona Hulu pada arah matahari terbit sebagai kangin
bernilai utama dan matahari tenggelam sebagai zona Teben sebagai Kauh yang bernilai
“nista/rendah”. Dengan kedua kiblat ini, Gelebet (1982:13) menambahkan bahwa pola desa
dataran umumnya berpola perempatan agung atau nyatur desa berupa dua jalan desa utama
menyilang desa Timur-Barat (kangin-kauh) dan Utara-Selatan (kaja-kauh) membentuk
persilangan. Titik persilangan merupakan pusat desa. Pola permukiman tradisional sering
direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya dalam
kehidupan sehari-hari tersebut yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang
bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu berakar dari suatau tempat pula
diluar determinasi sejarah yang menjadi pendukung desa wisata.

Pengembangan pariwisata perdesaan merupakan dampak dari adanya perubahan


minat wisatawan terhadap daerah destinasi wisata. Desa wisata merupakan pengembangan
suatu wilayah desa yang pada dasarnya tidak merubah apa yang sudah ada akan tetapi lebih
cenderung kepada pengembangan potensi desa yang ada dengan melakukan pemanfaatan
kemampuan unsur- unsur yang ada di dalam desa yang berfungsi sebagai atribut produk
wisata dalam skala yang kecil menjadi rangkaian aktivitas atau kegiatan pariwisata dan
mampu menyediakan serta memenuhi serangkaian kebutuhan perjalanan wisata baik dari
aspek daya tarik maupun sebagai fasilitas pendukung. Menurut Priasukmana & Mulyadin,
Desa Wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan dari suasana
yang mencerminkan keaslian dari pedesaaan itu sendiri mulai dari sosial budaya, adat
istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas dan
dari kehidupan sosial ekonomi atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta
mempunyai potensi untuk dikembangkanya berbagai komponen kepariwisataan. Pariwisata
saat ini merupakan salah satu bisnis yang akhir-akhir ini banyak dilirik oleh orang-orang
karena dirasa memiliki peluang yang baik dalam perekonomian. Begitu juga masyarakat
Bangli yang mendedikasikan Desa Adat sebagai Desa Wisata. Akan tetapi di Kabupaten
Bangli memiliki desa wisata baru yang memiliki dedikasi budaya yang memiliki tata pola
unik dengan kentalnya arsitektur tradisional bali di Desa Adat Cekeng, Sulahan Bangli.
Permukiman Desa Cekeng memiliki pola linier dengan jalan berada di tengah permukiman
dalam bentuk berundak-undak dengan 7 lapisan undakan yang dilapisi dengan batu kali dan
permukiman Desa Cekeng menggunakan konsep hulu-teben yang dimana hulu (ujung utara)
pada umumnya sebagai tempat suci dan teben (ujung selatan) yang merupakan hilir desa.

Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui apakah ada perubahan mengenai konsep,
makna dan penerapan pola-pola permukiman arsitektur tradisional bali, faktor-faktor apa
yang mengembangkan desa wisata serta mengetahui peluang dan tantangan desa adat
Cekeng Sulahan, Bali sebagai pendukung desa wisata dengan pendekatan analisis SWOT.
Hasil penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah ada perubahan mengenai konsep,
makna, dan penerapan pola-pola pemukiman dan faktor – faktor pendukung pengembangan
desa wisata pada desa adat Cekeng Sulahan, Bangli sebagai Pendukung Desa Wisata.

RUANG - VOLUME X, NO. X, BULAN TAHUN 5


Ni Luh Putu Ambaraswati ISSN: 2355-5718

Metodelogi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu prosedur pemecahan


masalah yang diteliti dengan menjabarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang.
Menurut Mukhtar 2013, penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh
gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. Metode penelitian deskriptif kualitatif ini dibuat dengan maksud untuk
mengetahui Arsitektur Tradisional Bali yang menjadi keunikan desa wisata, konsep, makna
dan penerepan pola permukiman, faktor-faktor yang menjadi pengembangan desa wisata
serta peluang dan tantangan pada Desa Adat dengan pendekatan Analisis SWOT. Metode
pengumpulan data yang digunakan dengan melakukan survey pada lokasi penelitian dan
observasi, yaitu melakukan interaksi dengan melihat objek/subjek yang ada di lapangan,
melihat dan membaca arsip, seperti halnya: membaca peta, melihat foto, membaca
buku/jurnal, dan lain-lain. Sedangkan metode analisis data yang digunakan untuk
mengungkap temuan adalah analisis data kualitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa
Adat Cekeng Sulahan, Bangli.

6 SPACE - VOLUME X, NO. X, BULAN TAHUN


ISSN: 2355-5718 Peluang dan Tantangan Arsitektur Tradisional Bali sebagai Pendukung Desa Wisata

Daftar Pustaka

Boedojo dkk (1986). Arsitektur, Manusia dan Pengamatannya. Penerbit Djambatan. Jakarta

Dwijendra, N.K.A. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal


Permukiman “Natah” Vol. No.1-Pebruari 2003:8-25.

Gelebet, I Nyoman dkk. 1982. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Mukhtar. 2013. Metode Penelitian Deskriftif Kualitatif. Jakarta: GP Press Group

RUANG - VOLUME X, NO. X, BULAN TAHUN 7

You might also like