You are on page 1of 15

Desa Adat atau Desa Administratif : Kontestasi

Politik Revisi Perda Nagari1


Oleh:

Nurul Firmansyah

ABSTRACT

The fall of the New Order changed the character of Indonesian Governance from being centralized to being
decentralized. Many local governments use this opportunity to return to village government based on adat
(customary rules), such as Nagari in West Sumatra and Customary Village in Bali using the regional government law
regime. However, in reality, changes in the village system are not fully rooted in adat because they only distribute
authority of the central government to the local governments. In this context, village is just a government unit that
exercises local governments authority at the village level. Village autonomy based on adat does not fully exist.
Therefore, institutional dualism between village customary institution and village government occurs. As a result,
village customary rights are not fully recognized, especially with regards to control over natural resources. Hence,
conflicts over natural resources continue to prevail between villages and the Central and Local Government.

The 2014 Village Law gives local government and villages an opportunity to choose between two village models:
customary village or administrative village. The customary village model brings consequences regarding recognition
of village customary rights (the rights of origin), especially control over natural resources, while the administrative
village model only brings consequences with regards to administrative functions. The provision regarding the two
village models in the 2014 Village Law maintains the logic of separation between customary village institution and
village government.

In the West Sumatra context, the choice between customary village model and administrative village model creates a
debate between two interest groups with regards to the revision process of West Sumatera Provincial Regulation
regarding Nagari. The first group comprises of civil society organizations, Indigenous Peoples and the academia that
are pushing for customary village model based on recognition of the rights of customary village while the second
group consisting of local bureaucracy and politicians are pushing for administrative village model whose argument
pertains to the amount of government budget allocated for villages.

This paper proposes to explain the political and legal process of the revision of West Sumatera Provincial Regulations
regarding Nagari and stakeholders participation in the process. The paper employed a qualitative method with
descriptive-analytic approach.

Keywords: Nagari (Customary Village), Local Governance, Rights to Natural Resources, Village-State Interaction.

1
Disampaikan dalam workshop New Law, New Villages? Changing Rural Indonesia dari 19 sampai dengan 20
Mai 2016, yang diselenggarakan oleh KITLV bekerjasama dengan the Asian Modernities and Traditions (AMT)
Research Program, the Van Vollenhoven Institute of Leiden University, dan the Norwegian Centre for Human
Rights at the University of Oslo (NCHR) di Leiden, Belanda

1
1. Pendahuluan

Arus desentralisasi paska runtuhnya orde baru membuka babak baru pengakuan masyarakat
adat. Desentralisasi banyak menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Arus ini melahirkan implikasi positif
dan negatif terhadap agenda pengakuan masyarakat adat. Sisi positifnya membuka peluang pengakuan
masyarakat adat melalui reorganisasi desa. Sedangakan, sisi negatifnya adalah cengkraman kekuasaan elit
daerah dengan menggunakan identitas adat (etnisitas) terhadap sumber daya. Akibatnya, desa menjadi
lokus kontestasi kepentingan-kepentingan tersebut, terutama terkait akses dan kontrol terhadap sumber
daya.

Arus desentralisasi dengan hukum pemda baru menjadi alat yang digunakan para aktor untuk
perebutan sumber daya tersebut. Elit daerah mempunyai kepentingan langsung untuk mengelola sumber
daya desa, baik sumber daya alam maupun anggaran. Elit daerah membatasi masyarakat adat untuk
mengontrol sumber daya dengan memanipulasi adat sebatas formalitas.2 Mereka menguasai institusi-
institusi formal Pemerintah Daerah dan menggunakan adat untuk melegitimasi kepentingan elit atas
sumber daya (Nordholt and Klinken, 2014). Nagari di Sumatera Barat adalah contoh bagaimana kembali
ke nagari dari sistem desa orde baru tidak sepenuhnya dapat memulihkan kembali otonomi dan sumber
daya masyarakat adat. Persoalan utama gagalnya nagari sebagai desa berakar adat yang kuat adalah
hambatan struktural untuk mendapatkan kembali sumber daya nagari dan belum tuntasnya integrasi
pemerintahan dengan adat.

Di sisi lain, masyarakat adat menggunakan adat untuk memulihkan kembali kapasitas desa adat.
Revitalisasi desa adat ini berlandaskan pada dua kepentingan, yaitu; mengembalikan tradisi adat sebagai
basis pemerintahan dan mengklaim asset desa (khususnya tanah ulayat). Nagari malalo di kabupaten
tanah datar, Sumatera Barat adalah contoh kasus yang diulas dalam makalah ini untuk melihat
kebangkitan nagari dari arus bawah. Desentralisasi membuka jalan nagari malalo untuk mengklaim

2
Penggunaan istilah Nagari dalam sistem desa di sumatera barat tidak diringi dengan re-organisasi nagari sebagai
unit pemerintahan sekaligus unit sosial masyarakat adat secara tuntas. Dualisme nagari sebagai unit pemerintahan
dengan unit sosial masyarakat adat tetap terjadi dengan tiga indikator, yaitu : pertama, dualisme kelembagaan adat
dengan pemerintah nagari tetap berlangsung, terutama dalam hal pengurusan sumber daya alam (hak ulayat), kedua,
penggabungan desa kedalam unit nagari paska pemberlakukan Perda Nagari tahun 2000 tidak diiringi dengan
penggabungan wilayah adat. Batas nagari tetap menjadi problem yang belum tuntas diselesaikan yang berakibat
pada konflik batas nagari antar nagari dan konflik nagari dengan negara dan atau pemilik konsesi sumber daya alam.
dan Ketiga, terjadinya pemekaran nagari-nagari pemerintahan yang disponsori oleh Pemerintah Kabupaten yang
tidak diiringi dengan pemekaran nagari secara adat. Akibatnya, nagari tetap berwatak desa seperti yang terjadi pada
masa rezim orde baru.

2
kembali asset nagari dan otonominya. Proses tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus akibat persoalan
belum jelasnya batas territorial adat dan dualisme makna nagari sebagai adat dan pemerintahan.

Secara umum, arus desentralisasi paska orde baru memposisikan Pemerintah Daerah sebagai
otoritas penentu pengakuan hukum masyarakat adat (desa adat).3 Implikasinya, kualitas proses politik
daerah dalam reorganisasi desa menjadi penting untuk menciptakan posisi seimbang antara elit dengan
warga dalam agenda pengakuan desa adat dan perebutan sumber daya masyarakat adat di desa. Isu
krusial dalam reorganisasi desa adalah soal status legal desa yang menentukan bentuk kewenangan desa,
apakah mengembalikan kewenangan adat (asal usul) yang terintegrasi dengan desa, atau kewenangan
unit pemerintahan desa saja (administratif) sebagai bagian dari struktur negara yang lebih tinggi. UU Desa
baru (Kemudian disebut UU Desa 2014) menjadi penentu rute panjang pengakuan desa adat tersebut,
yang sebenarnya usaha untuk mengembalikan desa adat telah dimulai sejak arus desentralisasi terjadi di
Indonesia.

Makalah ini fokus pada wacana reorganisasi nagari (desa adat) kedepan sejak diberlakukan UU
Desa 2014 di Sumatera Barat. Selain melihat dalam level provinsi, makalah ini juga fokus pada unit yang
lebih kecil di Nagari Guguk Malalo kabupaten Tanah Datar untuk melihat kecenderungan arah perubahan
nagari kedepan paska UU Desa 2014 lahir dan perubahan Perda Nagari untuk implementasi UU Desa
2014 tersebut di Sumatera Barat.

2. Desa dan Masyarakat Adat

Konsep masyarakat adat di Indonesia telah muncul sejak zaman kolonial. Paling tidak, terdapat
dua pendapat besar tentang konsep masyarakat adat, yaitu; pertama, masyarakat adat adalah bagian dari
konsep pribumi, dan pendapat kedua masyarakat adat adalah komunitas yang khas (distinctiveness) dari
kelompok masyarakat yang dominan (Safitri, 2015). Pendapat pertama terkait dengan keberlanjutan
konsep masyarakat adat dari kategori ras pada masa kolonial belanda, yaitu ; pribumi, eropa dan timur
asing (foreign oriental). Dalam pengertian ini, Masyarakat adat atau disebut juga dengan masyarakat
hukum adat (rechtsgemeenschappen) adalah pendalaman konsep pribumi dari pendekatan hukum adat
(Safitri and Uliyah, 2014). Cornelis Van Vallenhoven menjelaskan bahwa pemberlakukan hukum adat
ditopang oleh unit sosial masyarakat adat seperti nagari, negeri, huta dan lain-lain, yang mempunyai dua

3
Hukum Indonesia mengenal dua jalur pengakuan masyarakat adat, yaitu melalui pengakuan desa adat dan
pengakuan langsung atas komunitas-komunitas adat. Dalam pembahasan lebih lanjut dalam makalah ini, penulis
akan menjelaskan jalur-jalur hukum pengakuan hukum tersebut dan relasinya dengan masyarakat adat

3
unsur utama, yaitu ; representasi otoritas lokal yang khusus (kepemimpinan adat), dan harta kekayaan
komunal, terutama tanah dan wilayah adat (Safitri and Uliyah, 2014).

Pendapat kedua terkait dengan translasi masyarakat adat dari pengertian internasional.
Pengertian ini merupakan respon dari kolonialisasi-imprealisme dan dampak kapaitalisme global terhadap
komunitas masyarakat adat. Kelompok NGO gerakan lingkungan dan hak asasi manusia adalah pengusung
utama konsep ini (Andiko and Firmansyah, 2014). Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah
masyarakat dengan ikatan asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu dengan kekhasan sistem
nilai, ideologi, ekonomi, politik dan budaya. Masyarakat adat dalam pengertian tersebut merupakan
kelompok non-dominance yang cenderung menjaga wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan
kepercayaan lokal secara terus menerus (Safitri, 2015).

Menurut penulis, pengertian pertama dan pengertian kedua saling berhubungan namun memiliki
titik fokus yang berbeda. Pengertian pertama fokus pada bekerjanya adat dalam unit-unit masyarakat
adat, sedangkan pengertian kedua fokus pada identitas masyarakat adat sebagai kelompok
minoritas/marjinal. Oleh sebab itu, pengertian pertama cenderung pada pengakuan legal terhadap unit-
unit sosial masyarakat adat dalam sistem Negara, terutama terkait dengan otonomi dalam pemerintahan
dan hak sumber daya alam sebagai atribut utamanya. Dalam pengertian ini, masyarakat adat adalah
bagian dari fungsi Negara (Andiko and Firmansyah, 2014). sedangkan pada pengertian kedua, pengakuan
legal masyarakat adat dalam dimensi yang lebih luas sebagai komunitas etnis dengan identitas yang khas
pada berbagai bidang, baik itu pengakuan hak sumber daya alam, hak agama lokal, hak budaya dan lain-
lain.

Konstitusi Indonesia mengakui pengakuan masyarakat adat dalam dua dimensi ini, yaitu sebagai
unit sosial dalam fungsi negara (pemerintahan) dan masyarakat adat sebagai identitas etnis. Masyarakat
adat sebagai unit sosial dalam fungsi negara terdapat dalam pasal 18 B ayat 2, sedangkan masyarakat
adat sebagai identitas etnis dalam pasal 28 i. Pengakuan masyarakat adat dalam sistem negara pada pasal
18 ayat (2) merupakan integrasi unit sosial masyarakat adat dalam sistem pemerintahan, yang disebut
dengan desa atau nama lain. Sedangkan pasal 28 i adalah pengakuan masyarakat adat secara lebih luas,
terkait identitas masyarakat adat, yang tidak mesti terintegrasi dengan sistem pemerintahan.

Persoalan pokok pengakuan masyarakat adat adalah untuk memastikan pelaksanaan hak dan
kewajiban konstitusi masyarakat adat dalam berbagai dimensi tersebut, terutama hak atas sumber daya
alam dan pemerintahan. Hukum Indonesia memberlakukan pengakuan bersyarat atas status legal

4
masyarakat adat, yang harus melalui penetapan masyarakat adat sebagai subjek hukum terlebih dahulu
berdasarkan kriteria-kriteria legal yang ada (Firmansyah, 2016). Selain bersyarat, pengaturan hak-hak
masyarakat adat terpisah-pisah dan tumpang-tindih. Kondisi ini berimplikasi pada penafsiran beragam
pelaksanaan hak masyarakat adat pada level operasional. Tabel 1 dibawah ini menjelaskan bagaimana
peta pengaturan pengakuan masyarakat adat dan ruang lingkup pengaturan hak masyarakat hukum adat
(Firmansyah, 2016) :

Tabel 1. Pengakuan dan Aspek Perlindungan Masyarakat Adat

No Aspek Bentuk / Kategori Penetapan Kategori Hak Masyarakat Prosedur Penetapan


perlindungan Masyarakat Hukum Masyarakat Hukum Adat Hak
Adat Hukum Adat
1 Penguasaan tanah Masyarakat Hukum Peraturan Daerah Hak Ulayat: hak Penerbitan hak
dan Sumber Daya Adat dan atau Surat penguasaan tanah atau komunal masyarakat
Alam Keputusan Kepala wilayah masyarakat hukum adat
Daerah hukum adat

Hak atas hutan Adat yang Surat keputusan


merupakan bagian dari menteri Lingkungan
hak ulayat yang berada di Hidup dan Kehutanan
kawasan hutan

Hak Komunal yang Penetapan melalui


merupakan bagian dari surat Keputusan
hak ulayat pada tingkat Kepala daerah yang
klan atau sub-klan kemudian didaftarkan
ke BPN untuk
sertifikasi hak komunal
2 Pemerintahan Desa Adat Peraturan Daerah Hak pemerintahan yang Penetapan Desa Adat
dilaksanakan oleh melalui Peraturan
masyarakat hukum adat Daerah
dalam bentuk desa adat, Kabupaten/kota secara
yang terdiri dari : otomatis penetapan
1. Hak asal usul hak asal usul
(termasuk hak ulayat)
2. Hak tradisional

Tabel 1 memperlihatkan bahwa desa adat adalah salah satu jalur pengakuan masyarakat adat
dalam sistem pemerintahan desa dengan menintegrasikan masyarakat adat dengan desa. Istilah Desa
adat muncul sejak pemberlakukan UU Desa 2014, namun jauh sebelumnya, Desa adat adalat desa-desa
yang berakar pada adat seperti nagari, marga dan lain-lain. UU Desa 2014 mengoreksi UU Desa lama (UU
No 5/1979) yang menghancurkan desa-desa adat. UU Desa lama menyeragamkan desa dengan model
desa jawa dan memposisikan desa sebatas pelaksana urusan Pemerintah Pusat di tingkat desa (asas
residualitas) , sehingga desa menjadi subjek pemerintahan yang lemah (Yasin,dkk, 2015).

5
Gelombang desentraliasi paska orde baru menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Pergeseran
tersebut tidak otomotis memperkuat kapasitas legal desa (khususnya desa adat) secara utuh. Pemulihan
Desa-desa adat pada masa desentralisasi tidak sepenuhnya terjadi. Pergeseran kekuasaan ke daerah
memposisikan desa, yang awalnya perpanjangan tangan pemerintah pusat menjadi perpanjangan tangan
pemerintah daerah. Walaupun sebagian daerah menggunakan momentum desentraliasi untuk mencoba
memulihkan desa-desa adat, seperti di Sumatera Barat dan Aceh, namun hanya sebatas perubahan nama
desa menjadi nama-nama lokal, seperti nagari, mukim dan lain-lain. Perubahan ini tidak menyelesaiakn
persoalan mendasar desa adat, yaitu otonomi pengelolaan asset desa (termasuk SDA desa) dan
pemerintahan desa berakar adat.

Pada garis yang lain, pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat juga lahir
seiring dengan desentralisasi. Pengakuan ini adalah model pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas
masyarakat adat, yang komunitasnya tidak mesti terintegrasi dengan desa. Misalnya, Pengakuan
komunitas Badui di kabupaten Lebak. Pemda Lebak melahirkan aturan daerah yang mengatur khusus
masyarakat adat badui sebagai komunitas masyarakat hukum adat (Andiko and Firmansyah, 2014)

Secara umum, model pengakuan hukum masyarakat adat yang beragam melahirkan
ketidakpastian hukum. Masyarakat adat menghadapi pilihan-pilihan model pengakuan dan tumpang
tindih mekanisme perlindungan hak. Perlindungan hak masyarakat adat menjadi sektoral dibawah
otoritas-otoritas pemerintah yang berbeda-beda. Baik itu pengakuan masyarakat adat kedalam desa
maupun pengakuan komunitas masyarakat adat dilaksanakan melalui otoritas Pemerintah Daerah yang
seiring dengan arus desentralisasi.4 Dalam konteks ini, dinamika politik daerah menjadi penting dalam
agenda pengakuan masyarakat adat dan perlindungan hak.

UU Desa 2014 mempunyai arti penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat kedalam desa,
karena : Pertama, populasi masyarakat adat dan sumber dayanya pada umumnya berada di wilayah
pedesaan. Perubahan kebijakan negara terhadap desa dan wilayah pedesaan berimplikasi pada
pengurangan kapasitas otonomi masyarakat adat, baik terhadap sumber daya maupun pemerintahan.
Kedua, UU Desa 2014 memberikan saluran pengakuan masyarakat adat melalui konsep desa adat, yang
berbasis asas pengakuan yang menggantikan asas residualitas yang sentralistik.

4
Peraturan Menteri Agraria No.9/1999 tentang Pedoman pengakuan hak ulayat masyarakat adat sebagai aturan pertama
penyerahan kewenangan pengakuan masyarakat adat ke pemerintah daerah yang diikuti oleh perundang-undangan lain yang
bersifat sektoral termasuk UU Desa dan Mahkamah Konstitusi memperkuat kewenangan pemerintah daerah tersebut melalui
Putusan MK No.35/2012 tentang hutan adat.

6
Selanjutnya, dengan segala peluang itu, persoalan normatif muncul dalam pengaturan UU Desa
2014 terkait dengan aturan pilihan status desa. Masyarakat desa dibuka peluang untuk mengajukan
status desanya melalui melaknisme inisiatif desa, namun tetap, secara formil, Pemerintah Daerah adalah
otoritas penentu penetapan status desa tersebut melalui aturan daerah. Oleh sebab itu, politik daerah
dan dinamikanya menjadi faktor penting implementasi UU Desa 2014 dalam menentukan nasib desa dan
masyarakat adat kedepan.

3. Nagari dan Pilihan Model - Model Desa

UU Desa 2014 mengatur dua model desa, yaitu model desa adat dan model desa biasa (desa
administratif). Desa adat merupakan status desa khusus yang membedakaannya dengan desa
administratif karena pelaksanaan hak asal usul. Hak asal usul desa adat meliputi pertama, pelaksanaan
kehidupan masyarakat desa berdasarkan adat, kedua, pengelolaan wilayah adat (asset desa) dan dan
ketiga, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pembedaan status desa adat dengan desa administratif ini menentukan kualitas otonomi desa.
Pada model desa adat, otonomi desa memungkinkan untuk mengurus warga dan wilayah yang berakar
pada hak adat (hak ulayat), sekaligus otonomi sebagai unit pemerintahan dalam struktur negara.
Sedangkan, pada model desa administratif, otonomi desa sebatas pada urusan pemerintahan dan
otonomi warga desa untuk mengurus diri sendiri dalam skala lokal desa. Artinya, pembeda dari dua model
desa tersebut adalah kewenangan mengurus wilayah (hak ulayat).

Pada model desa administratif, penentuan batas wilayah desa ditentukan berdasarkan kapasitas
desa untuk mengurus warganya berdasarkan kepentingan demografis, sehingga penentuan batas desa
berdasarkan tingkat populasi dan kapasitas untuk melaksanakan pemerintahan desa. Sedangkan,
penentuan batas wilayah desa adat berdasarkan hak untuk mengurus dan mengelola wilayah adat
sebagai bentuk pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam
pengelolaan sumber daya alam (hak ulayat). Dalam konteks desa adat, maka agenda pengakuan
masyarakat adat dan otonomi desa adat mesti menjawab dua persoalan pokok tentang status desa adat
yang bersifat khusus itu, yaitu; pertama, Penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa dan kedua,
Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pertama, penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa. Penyatuan wilayah adat dengan wilayah
desa adalah konsekuensi integrasi desa dengan masyarakat adat. Integrasi ini menentukan batas
pelaksanaan kewenangan desa adat dan pelaksanaan hukum adat dalam unit adminsitrasi. Artinya,

7
kepastian batas wilayah adat menjadi dasar penentuan wilayah desa adat dan kewenangan-kewenangan
asli yang melekat didalamnya.

Sampai saat ini, wilayah adat dengan wilayah administrasi desa dan bahkan dengan adminsitrasi
kabupaten masih tumpang tindih. Setidaknya, tiga bentuk tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah
adminsitrasi yang ditemukan, yaitu; pertama, wilayah adat lebih besar dibandingkan wilayah administratif
desa, sehingga dalam satu wilayah adat terdapat desa administratif didalamnya. Kedua, wilayah adat lebih
kecil dibandingkan wilayah desa, sehingga di dalam satu wilayah desa terdapat wilayah-wilayah adat, dan
ketiga, wilayah adat melampaui batas wilayah administrasi kabupaten.5 Pada konteks tumpang tindih
wilayah adat dengan admnistrasi desa, cara yang mesti dilakukan adalah penggabungan atau pemecahan
desa mengikuti wilayah adat dalam proses awal penetepan status desa adat melalui aturan daerah.
Sedangkan pada situasi ketiga, persoalan menjadi lebih kompleks akibat penetapan administrasi
kabupaten ditetapkan melalui undang-undang.

Inisiatif integrasi ini sebenarnya telah di coba oleh Sumatera Barat jauh sebelum UU Desa 2014
lahir melalui aksi kolektif Baliak ka Nagari (Benda-Beckmann, 2014). Desa-desa yang dulu dipecah pada
masa Orde Baru disatukan kembali ke dalam wilayah nagari. Penggabungan desa-desa ke dalam wilayah
nagari tidak sepenuhnya berjalan lancar. Kasus nagari guguk malalo kabupaten tanah datar adalah contoh
kasus. Kasus ini mengungkap hambatan penggabungan wilayah adat dengan wilayah desa tersebut.
Berdasarkan sejarah,6 Nagari guguk malalo adalah hasil pembelahan dari nagari malalo di masa kolonial
belanda. Pemerintahan kolonial belanda membagi nagari malalo menjadi tiga jurai, yaitu jurai guguk, jurai
padang laweh dan jurai tanjung sawah. Alasan pembelahan nagari pada masa itu adalah untuk efektivitas
pelaksanaan pemerintahan adat di wilayah nagari malalo yang luas. Pembelahan pemerintahan adat ini
tidak diikuti dengan pembelahan wilayah adat nagari (ulayat nagari), akibatnya wilayah nagari tidak
merujuk pada jurai, namun pada wilayah lama malalo. Setelah kemerdekaan Indonesia, tiga jurai dilebur
menjadi dua nagari pemerintahan, yaitu nagari guguk malalo yang berasal dari jurai guguk dan nagari
padang laweh malalo yang berasal dari jurai padang laweh dan tanjung sawah. Penggabungan ini tetap
bertahan sampai pemberlakukan UU orde baru yang membagi-bagi dua nagari ini menjadi desa-desa

5
Situasi tumpang tindih batas wilayah adat dengan wilayah desa disampikan oleh Muhammad Arman dari AMAN
dalam workshop tantangan masyarakat adat dalam implementasi putusan MK 35 dan UU Desa yang
diselenggarakan oleh The Asia Foundation pada tanggal 3-4 Februari 2015. Selain itu, tumpang tindih pada point
ketiga, yaitu antara wilayah adat dengan wilayah administrasi kabupaten juga ditemukan penulis nagari guguk
malalo kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.
6
Sejarah nagari tidah sepenuhnya dapat dilacak secara dokumen. Sejarah nagari tersebut lebih banyak ditemukan
melalui pengetahuan oral masyarakat.

8
kecil. Di masa reformasi, dua nagari ini dikembalikan kembali ke bentuk nagari awal sebelum
pemberlakukan UU desa orde baru.

Masalah Kedua adalah wilayah adat nagari malalo melintasi batas administrasi kabupaten dan
kawasan hutan. Wilayah adat nagari malalo dibelah oleh batas administrasi kabupaten Tanah datar dan
Kabupaten Padang Pariaman dan juga kawasan hutan lindung. Secara historis, kampung asam pulau, yaitu
pemukiman masyarakat malalo di kabupaten padang pariaman berasal dari perluasan wilayah
pemukiman dan pertanian nagari asal. Perluasan tersebut melintasi gugus perbukitan bukit barisan di sisi
barat nagari. Sejak penetapan kawasan hutan lindung pasa masa colonial belanda, akses menuju wilayah
pemukiman baru tersebut dibatasi, namun interaksi sosial tetap terjaga dan kampung asam pulau masih
tunduk dalam adat nagari malalo.

Kedua, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli. UU Desa 2014 menyebutkan bahwa
pelaksanaan desa adat sebangun dengan struktur asli (adat) yang dikenal pada desa adat masing-masing.
Struktur asli adalah organisasi asli masyarakat adat yang akan diadopsi menjadi model organisasi desa
adat. Perdebatan struktur asli telah terjadi seiring Baliak Ka Nagari pada awal 1998 di Sumatera Barat.
Pada masa itu, perdebatan struktur asli nagari berkutat pada model nagari ideal, apakah pada model
nagari pra-kolonial, colonial, orde lama, atau orde baru. Dengan Perda 9/2000 tentang Nagari,
Perdebatan model nagari ini akhirnya diputuskan untuk kembali pada model nagari dengan batas teritori
sebelum UU Desa orde baru.

Model nagari ini masih bersifat ambivalen karena mengatur KAN7 sebagai reperesentasi adat
namun tidak masuk dalam struktur pemerintah nagari. Posisi KAN sebagai representasi adat adalah
semacam lembaga semi-formal dengan fungsi penyelesaian sengketa adat, namun fungsi lain sebagai
otoritas adat dalam mengelola asset nagari, termasuk tanah ulayat nagari diserahkan kepada Pemerintah
Nagari yang baru. Pemerintah Nagari kesulitan mengklaim ulayat nagari karena berhadapan dengan KAN
sebagai lembaga yang dianggap sebagai otoritas adat. Persaingan antara Pemerintah Nagari dengan KAN
dalam mengelola ulayat nagari terjadi, begitu juga kompromi diantara keduanya (Benda Beckmann,
2014).

Model Pemerintah Nagari mengadopsi format desa modern dengan membelah kekuasaan
eksekutif di tangan pemerintahan nagari dan legislatif di tangan Badan Musyawarah Nagari. Badan

7
KAN adalah forum ketua adat dari suku-suku nagari yang dimasa orde baru menjadi lembaga representasi
masyarakat adat untuk menghindari kehancuran nagari akibat pembelahan nagari menjadi desa-desa administratif

9
musyawarah nagari memuat tiga unsur klasik kepemimpinan minangkabau, yaitu adat, agama dan
cendikiawan yang ditambah dengan kelompok fungsional baru ORLA dan ORBA, yaitu wanita-wanita adat
dan kaum muda (Benda Beckmann, 2014).

Merujuk pada situasi lapangan di nagari malalo, model organisasional nagari selalu berinteraksi
terus menerus dengan negara. Menemukan kembali struktur asli adat menjadi sulit, apakah nagari
sebelum belanda ?, apakah berdasarkan jurai ? atau nagari sekarang yang terbagi atas dua nagari ? Situasi
ini menunjukan bahwa struktur nagari asli berinteraksi dengan negara dan membentuk model baru
yang hybrid. Artinya, memilah nagari (desa) antara adat dengan administratif secara biner tidak
memungkinkan lagi.

Dalam konteks wilayah adat, ingatan kolektif nagari malalo sebagai kesatuan masyarakat adat
diikat dalam batas wilayah adat malalo. Wilayah adat ini masih utuh akibat kuatnya adat mengatur tanah
di level suku (sub-clan). Kepala-kepala suku menjadi penjaga adat dalam pengurusan tanah dan wilayah.
Namun pada tingkat ulayat nagari sebagai asset nagari, situasi ketidakpastian muncul akibat kaburnya
batas wilayah adat dengan batas administrasi serta kawasan hutan, dan lembaga pengelola yang belum
jelas. Secara internal, ketidakjelasan lembaga pengelola ulayat nagari memicu ketegangan antara
pemerintah nagari dengan KAN, dan juga antara dua nagari dalam wilayah adat malalo. Secara eksternal,
klaim hutan negara memicu konflik antara nagari malalo dengan otoritas yang lebih tinggi, yaitu
Pemerintah daerah dan pusat.

4. Kontestasi Politik Daerah

Pada sebuah diskusi terfokus yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada
tanggal 4 april 2016, Gubernur Sumatera Barat menyatakan bahwa pembelahan nagari berguna untuk
menambah dana desa untuk sumatera barat. Gubernur membandingkan Sumatera barat dengan Aceh
dalam hal perolehan dana desa, dimana Aceh mendapatkan dana desa yang lebih besar dibanding
Sumatera Barat akibat banyaknya jumlah desa. Pernyataan ini memperlihatkan kecenderungan arus balik
nagari untuk kembali lagi pada model desa orde baru. Beberapa kecenderungan politik ini dapat dalam
dua hal :

Pertama, Maraknya pembelahan nagari untuk memperoleh anggaran pemerintah pusat


sebenarnya telah terjadi sejak sistem pembiayaan pemerintah pada 2005. Dengan sistem ini, agenda
Baliak Ka Nagari menjadi tidak menarik lagi (Vel and Bedner, 2016). Kecenderungan pembelahan nagari
beriringan dengan karakter hibridasi nagari yang memungkinkan pembelahan nagari tanpa harus

10
membelah KAN sebagai lembaga adat dan pembelahan wilayah adat untuk mengikuti batas nagari yang
baru. Model ini memungkinkan dalam UU Desa 2014 dengan membentuk lembaga adat sebagai
penanda peran adat dalam pemerintahan desa, sehingga nagari tidak harus berstatus desa adat penuh
(Vel and Bedner, 2016).

Kedua, rancangan perda nagari baru provinsi Sumatera Barat untuk meresepon UU Desa 2014
mengalami kebuntuan. Rancangan perda nagari baru ini cenderung ke model desa adat dengan melebur
KAN kedalam struktur Nagari. Rancangan Perda ini merubah format KAN sebagai lembaga adat semi-
formal menjadi legislatif nagari yang diisi tidak hanya pemangku adat, namun juga unsur kepemimpinan
klasik minangkabau lainnya dan kelompok fungsional nagari. Rancangan Perda Nagari ini juga
menyebutkan bahwa nagari adalah pemerintahan desa yang merujuk pada wilayah adat. Perdebatan
muncul sejak rancangan perda ini diajukan pemerintah provinsi. Uniknya, kelompok adat di LKAAM
menolak perubahan format KAN tersebut karena perubahan format KAN menghilangkan sifat eksklusif
pemangku adat dalam struktur hybrid nagari. Perubahan format KAN berarti menghilangkan otoritas
lembaga adat terhadap aset nagari, khususnya ulayat nagari. Paralel dengan itu, kelompok birokrat dan
politisi berpengaruh menginginkan dualisme kelembagaan tetap berjalan. Model baru nagari dalam
Rancangan Perda ini menghilangkan kemungkinan pembelahan nagari tanpa membelah wilayah adat dan
struktur nagari.

Akhirnya pada awal tahun 2016, Rancangan Perda nagari dikembalikan DPRD kepada Pemerintah
Provinsi untuk dikaji ulang. Sejalan dengan itu, Gubernur menerbitkan surat edaran tertanggal 22 Maret
2016 kepada bupati dan walikota untuk melaksanakan penataan nagari dengan landasan kriteria-kriteria
desa administratif. Keinginan untuk menata nagari secara administratif oleh Pemerintah daerah
kabupaten/kota didukung sebagian pemerintah kabupaten. Misalnya, Pemerintah daerah Pasaman
menolak pengaturan baru nagari oleh provinsi karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah
pasaman yang berbasis model desa orde baru yang telah ada sejak tahun 2011. Arah kebijakan provinsi
sumatera barat ini memperlihatkan kecenderungan mengalihkan reorganisasi nagari ke pemerintah
kabupaten dan kota. Artinya, kecenderungan proses reorganisasi nagari paska UU Desa 2014 tidak lagi
menggunakan provinsi sebagai aktor utama, seperti halnya pada masa awal Baliak Ka Nagari tahun
1998.

Paralel dengan itu, masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau Sumatera Barat mendorong
implementasi model desa adat untuk nagari sebagai peluang memperkuat nagari. Debat tentang model
nagari adat ideal kembali lagi seperti masa-masa awal Baliak Ka Nagari. Bagi kelompok ini, identitas

11
nagari sebagai penanda etnisitas minangkabau dan argumen klasik tentang ikatan nagari dengan wilayah
adat kembali muncul. wacana tersebut diekspresikan dalam berbagai media, artikel, berita daerah, dan
diskusi-diskusi. Pengalihan penataan nagari ke Pemerintah daerah kabupaten/kota sangat disayangkan
oleh kelompok ini.

Masyarakat nagari malalo menanggapi UU Desa 2014 secara beragam. Model desa adat memang
dianggap ideal, namun rumit dilaksanakan. Hambatan terbesar model desa adat adalah konsensus ulang
dua nagari yang telah terbelah dan perubahan batas wilayah adat yang melintasi batas administrasi
kabupaten. Kecenderungan hybridasi nampaknya muncul kuat dengan inisiatif mendorong pengakuan
wilayah adat dalam skema hutan adat (lihat tabel 1). Dalam skema ini, batas administrasi tidak perlu
menyatu dengan wilayah adat, yang penting adalah pengakuan nagari malalo sebagai masyarakat adat
oleh kabupaten atau provinsi (karena melintasi batas administrasi kabupaten) sebagai prasyarat untuk
mengembalikan wilayah adat dari hutan negara.

Inisiatif masyarakat nagari untuk mengklaim kembali asset nagari telah digagas sejak 2005
bersama NGO Qbar yang didukung oleh HuMa (Firmansyah, 2011). Ditingkat nagari guguk malalo bahkan
telah menghasilkan peraturan nagari (peraturan desa) untuk menyatukan konsensus pengelolaan asset
nagari antara KAN dengan Pemerintah Nagari dan telah berhasil bernegosiasi dengan Perusahaan Listrik
Negara untuk membayar kerugiaan atas pemanfaatan air untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga
Air (Firmansyah, 2013). Putusan MK 35 menjadi momentum penting bagi nagari untuk mengklaim
kembali wilayah adat secara utuh, baik itu tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Dua nagari yang
terpisah bersatu dalam inisiatif tersebut untuk meminta otoritas daerah dan pusat mengembalikan
wilayah adat melalui skema hutan adat.

Di sisi lain, jalur pengakuan masyarakat adat nagari malalo masih belum jelas tentang lembaga
pengelola wilayah adat apakah berbentuk model pengelolaan bersama dua nagari atau menghidupkan
kembali struktur lama jurai. Diskusi-diskusi tentang kelembagaan nagari masih berlangsung, begitu juga
kemungkinan-kemungkinan model desa adat di tingkat diskusi-diskusi kampung.

5. Penutup
1. Implementasi UU Desa 2014 tidak terlepas dari agenda pengakuan masyarakat adat yang telah
bergulir sejak arus desentralisasi paska pemerintah otoriter orde baru. Antara agenda pengakuan
masyarakat adat dan desentralisasi tarik menarik pada dua kepentingan pokok di Sumatera Barat,

12
yaitu; kepentingan untuk mengklaim kembali wilayah adat sebagai atribut utama nagari dan
kepentingan alokasi anggaran desa dari pemerintah pusat ke daerah.

2. Proses hybridasi nagari telah ada sejak pemerintah kolonial belanda sampai dengan sekarang.
Karakter hybridasi nagari muncul akibat dinamika adat-negara yang saling bersaing dan
mengakomodasi. Perubahan terbesar dari dinamika ini adalah perubahan struktur nagari dan batas-
batas wilayah adat. UU Desa 2014 mengenal dua model desa, yaitu desa adat dan desa administrasi
yang berkonsekuensi pada status otonomi desa dan penguasaan wilayah adat.

3. Desa adat adalah model ideal untuk nagari, namun rumit diimplementasikan. Setidaknya, dua atribut
utama desa adat yaitu struktur asli dan wilayah adat belum sepenuhnya jelas dalam konteks nagari.
Karakter hybridasi nagari menciptakan batas politik dan sosial baru akibat pembelahan institusi adat
dengan negara dan pembelahan nagari-nagari baru, sehingga menemukan struktur asli untuk
prasyarat desa adat yang paling memungkinkan adalah hybridasi berakar padat, yaitu Hybridasi
dalam struktur nagari yang berada pada batas wilayah adat dengan administrasi nagari yang sama. Di
sisi lain, wilayah adat sebagai batas kewenangan asli nagari (adat) cukup kuat yang sekarang
berhadapan dengan batas-batas administratif dan kawasan hutan. Kuatnya wilayah adat karena
berfungsi sebagai penopang utama penanda adat dan kepatuhan warga terhadap adat dalam urusan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

4. Kontestasi politik daerah menjadi penentu nasib nagari kedepan. Kecenderungan arus balik Baliak Ka
Nagari yang kembali ke sistem desa orde baru terlihat, setidaknya pada dua indikator, yaitu;
Pertama, provinsi tidak lagi menjadi aktor utama mendorong nagari berakar adat namun sebaliknya
menjadi aktor utama nagari model desa administratif (desa orde baru), Kedua, pembelahan nagari
sedang berlangsung untuk memperkuat hybridasi nagari berakar negara yang ditopang oleh
kebijakan nagari di level Pemerintah Kabupaten/Kota sejak tahun 2005. Sejalan dengan itu, semangat
nagari berakar adat terus disuarakan kelompok masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau,
namun mereka cenderung terjebak pada nostalgia nagari ideal, kelompok ini belum mampu
membangun sebuah formula yang terkini untuk nagari dengan perubahan-perubahan yang telah
terjadi dan mencari titik temu paling realistis untuk memperkuat nagari berakar adat. Kontestasi
tersebut sedang berjalan dan mencari titik temu atas kontradiksi-kontradiksi. Berbagai level
masyarakat sumatera barat membahas, berdialog dan mencari formula untuk nagari kedepan. Di level

13
nagari sendiri, inisiatif mengklaim kembali asset nagari menjadi agenda utama dan terus berlangsung,
seiring dengan diskusi-diskusi untuk menacari formula paling tepat untuk tidak melepas peran adat
dalam struktur negara.

***

14
Kepustakaan

Andiko dan Nurul Firmansyah (2014), Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah Untuk Pengakuan
Masyarakat Adat : Kiat-Kiat Praktis Bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil
(Pelaku Advokasi) dan Pemimpin Masyarakat Adat, HuMa, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dkk (2016), Mengakui Minoritas ! Kajian Tentang Kelompok Minoritas Dan Kewajiban
Negara untuk Menjamin Hak-Haknya, Pelapor Khusus Hak-Hak Minoritas, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dan Wing Prabowo (2013), Berhukum Dari Desa : Memotret Proses Lahirnya Aturan
Berbasis Masyarakat Desa, HuMa, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dkk (2011), Aturan Daerah Dan Tenure Masyarakat Adat (Studi Kasus Di Palopo,
Donggala, Tanah Datar Dan Pesisir Selatan, HuMa, Jakarta.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken (2014), Politik Lokal di Indonesia, KITLV, Jakarta.

Safitri, Myrna dan Luluk Uliyah (2014), Adat di Tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk
Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epsitema
Institute, Jakarta.

Safitri, Myrna (2015), Indigenous Peoples in ASEAN : Indonesia, AIPP, Chiang May.

Vel, Jacqueline dan Adriaan W. Bedner (2016), Desentralisasi Dan Pemerintahan Desa Di Indonesia : Kasus
Baliak Ka Nagari dan Kaitannya Dengan UU Desa : Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun
XVIII, 2016, INSIST.

Yasin, Muhammad dkk (2015), Anotasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, PATTIRO,
Jakarta.

Zakaria, Yando (2016), Baliak Ka Nagari Dan Desa Adat : Geliat Lokal Di Aras Nasional : Wacana
Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

15

You might also like