You are on page 1of 35

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334761955

PEMEROLEHAN BAHASA INDONESIA ANAK USIA 2 TAHUN PADA TATARAN


SINTAKSIS

Article · April 2014

CITATIONS READS

0 417

1 author:

Ismarini Hutabarat
University of Sumatera Utara
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 2 Tahun dan 3 Tahun View project

All content following this page was uploaded by Ismarini Hutabarat on 30 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMEROLEHAN BAHASA INDONESIA ANAK USIA 2 TAHUN PADA
TATARAN SINTAKSIS

Oleh:
Ismarini Hutabarat, S.S., M.Hum
Dosen dpk Fakultas Sastra
Universitas Darma Agung Medan

ABSTRACT

This research is done based on the the cognitive-biological theory of Chomsky


which says that every child is born with the biological potential for language and
language acquisition and language development happen not only because of the
biological potential and but also because of the supporting language environment.
A two-year old girl was chosen as the subject of this research. Her conversations
with her parents and her sister were recorded and then analyzed to know her
production of sentences based on the sentences moods. Finally, the factors
affecting her syntax acquisition were analyzed. It was found that the subject of the
study was already capable of producing sentences in declarative, interrogative
and imperative mood although her utterances were still in simple sentences. It
could also be concluded that her ability to produce sentences was influenced by
internal factor, such as the normal stage of development and external factors,
such as nutrition and environment.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan sarana perumusan maksud,
melahirkan perasaan, memungkinkan kita menciptakan kegiatan sesama manusia,
mengatur berbagai aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan
rnasa depan kita. Bahasa sebagai alat komunikasi diperoleh manusia karena
manusia dilengkapi dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB) sejak lahir sampai
pada usia yang berbeda-beda menurut pandangan para ahli, yang dikenal dengan
istilah nativistik pemerolehan bahasa. Orang dewasa selalu terpesona oleh
perkembangan bahasa yang ajaib pada anak-anak. Meskipun sepenuhnya lahir
tanpa bahasa secara verbal, pada saat mereka berusia 3 atau 4 tahun, anak-anak
secara khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi dan
gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk bagaimana cara
menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam banyak latar sosial.
Pemenuhan ini terjadi pada setiap masyarakat yang dikenal, apakah terpelajar atau
bukan, dalam tiap-tiap bahasa dan hampir pada semua anak-anak, dengan
mengabaikan bagaimana cara mereka dibesarkan. Alat-alat linguistik modern dan
psikologi telah memungkinkan kita untuk mengatakan banyak hal tentang apa
yang dipelajari anak-anak, dan langkah-langkah yang mungkin mereka lewati
dalam perjalanan menuju kemampuan komunikatif orang dewasa.
Akan tetapi kita masih mempunyai banyak pertanyaan yang tidak terjawab
tentang bagaimana sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa. Bagaimana cara
mereka menentukan apa makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan
ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar atau yang
diproduksi sebelumnya? Peneliti tidak mampu untuk sepakat mengenai beberapa
hal, seperti mengapa anak-anak belajar bahasa: Apakah anak-anak belajar bahasa
karena orang dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena mereka
diprogramkan secara genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar
gramatika yang kompleks hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka
belajar dalam rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan
orang lain?
Chomsky mengatakan bahwa setiap manusia mernpunyai apa yang
dinamakan falcuties of the mind, yakni semacam kapling-kapling intelektual
dalam benak atau otak mereka dan salah satunya dijatahkan untuk pemakaian dan
pemerolehan bahasa. Seorang anak yang normal akan memperoleh bahasa ibu
dalam waktu singkat. Hai ini bukan karena anak memperoleh rangsangan saja,
lalu si anak mengadakan respon, tetapi karena setiap anak yang lahir telah
dilengkapi dengan seperangkat peralatan dalam memperoleh bahasa ibu. Alat ini
disebut dengan Language Acquisition Device (LAD) atau lebih dikenal dengan
nama piranti pemerolehan bahasa (PPB).
Seorang anak tidak perlu menghapal dan menirukan pola-pola kalimat agar
mampu menguasai bahasa itu. Piranti pemerolehan bahasa diperkuat oleh
beberapa hal, yakni: (1) Pemerolehan bahasa anak mengikuti tahap-tahap sama;
(2) Tidak ada hubungan pemerolehan bahasa anak dengan tingkat kecerdasan; (3)
Pemerolehan bahasa tidak terpengaruh oleh emosi maupun motivasi; dan (4)
Pemerolehan tata bahasa anak di seluruh dunia sama saja. Si anak akan mampu
mengucapkan suatu kalimat yang belum pernah didengar sebelumnya dengan
menerapkan kaidah-kaidah tata bahasa yang secara alami diketahuinya melalui
pemerolehan bahasa dan kemudian dicamkan dalam hatinya.

1.2 Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus penelitian ini adalah
pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun yang difokuskan pada tataran
sintaksis.

1.3 Masalah Penelitian


Yang menjadi pertanyaan pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun pada
tataran sintaksis?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pemerolehan bahasa
Indonesia anak usia dua tahun pada tataran sintaksis?

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka
penelitian ini bertujuan
1. Untuk mengetahui pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun
pada tataran sintaksis.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemerolehan
bahasa Indonesia anak usia dua tahun pada tataran sintaksis.

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi dalam hal
penelitian tentang pemerolehan bahasa Indonesia anak usia 2 tahun pada tataran
sintaksis. Selain itu, penelitian ini diharapkan pula sebagai bahan masukan bagi
penelitian yang relevan, khususnya dalam hal pemerolehan bahasa anak usia di
bawah 5 tahun.

II. KERANGKA TEORETIS


2.1 Hakikat Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung
di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu
seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa
pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Simanjuntak,
1986).
Schutz (2006:12) mengutip Krashen yang mendefenisikan pemerolehan
bahasa sebagai "the product of a subconscious process very similar to the process
children undergo when they acquire their first language. Dengan kata lain
pemerolehan bahasa adalah proses bagaimana seseorang dapat berbahasa atau
proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa pada anak usia dua sampai tiga tahun terjadi secara
alamiah. Pemeroleh bahasa biasanya secara natural artinya pemerolehan bahasa
yang terjadi secara alamiah tanpa disadari bahwa seorang anak tengah
memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa ia tengah
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Schutz menambahkan hasil dari
pemerolehan bahasa yakni kompetensi yang diperoleh juga bersifat alamiah. Anak
pada umumnya memperoleh bahasa secara alamiah dari lingkungannya tanpa
proses belajar secara formal di bangku sekolah. Pemerolehan bahasa secara
alamiah ini tidak dikaitkan secara ketat, tetapi pemerolehan bahasa itu diperoleh
sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri.
Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa merupakan
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat
bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan
komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan
artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz, 2006:12), dan
pemerolehan bahasa dibedakan menjadi pemerolehan bahasa pertama dan
pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum
pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini dapat
satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga dua
bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan dapat lebih dari
dua bahasa (multilingual FLA). Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi jika
seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan
proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa
asing.
Menurut Vygotsky pemerolehan bahasa pertama diperoleh dari interaksi
anak dengan lingkungannya, walaupun anak sudah memiliki potensi dasar atau
piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut language acquisition
device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat
stimulus dari lingkungan.
Chomsky dalam Schutz (2006:1) tampaknya setuju dengan hakikat dasar
masalah bahasa. Dalam analisis tentang pemerolehan bahasa, ia berpendapat
bahwa misteri perbuatan belajar berasal dari dua fakta utama tentang penggunaan
bahasa, yakni bahasa itu taat asas dan kreatif. Lanjut Chomsky, penutur yang
mengetahui konstituen dan pola gramatikal dapat menuturkannya kendati belum
mendengarnya, begitu juga pengamat tidak dapat berharap mampu membuat
daftar konstituen, dan pola gramatikal itu karena kemungkinan kombinasinya itu
tak terbatas.
Menurut Bloomfield, tata bahasa merupakan pemerian analog yang sesuai
dengan suatu bahasa, dan belajar adalah seperangkat prosedur penemuan yang
dengan cara itu seorang anak membentuk analogi-analogi. Pemerolehan bahasa
berproses tanpa kompetensi tentang aturan-aturan bahasa, tetapi lebih
memperhatikan pesan atau makna yang dipahami. Berbeda dengan belajar bahasa
membutuhkan kompetensi bahasa sebagai modal bagi penggunaan bahasa yang
dipelajari.
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada
dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa
pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses
performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi
adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik) secara alamiah. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir.
Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-
anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan
anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua
proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses
pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-
kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan
menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Simanjuntak, 1986).
Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pengguna bahasa
mengerti struktur dari bahasanya yang membuat seseorang dapat mengkreasikan
kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat seseorang
mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif
yang dimiliki seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange).
Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan
dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan
oleh kompetensi.
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi anak dalam
memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang
sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini,
Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan
ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa
pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya
dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh
pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal
kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep
universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang
universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh
tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah
yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan
wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa


Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang lambat,
sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti berikut ini:

a. Faktor Alamiah.
Yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat
prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition
Divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah
mendapat stimulus dari lingkungan. Proses perolehan melalui piranti ini sifatnya
alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk
mendapatkan bahasa, anak tersebut akan n.ampu menerima apa yang terjadi
disekitarnya. Slobin rnengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah
pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh
Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah
yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.

b. Faktor Perkembangan Kognitif.


Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan
kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan
bahasa dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya
kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya
berkembang dalam lingkup interaksi sosial. Piaget dalam Brainerd seperti dikutip
Ginn mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan
berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan
gagasan. Termasuk, kegiatan kognitif; aktivitas mental, mengingat, memberi
simbol, mengkategorikan atau mengelompokkan, memecahkan masalah,
menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya dengan rnempelajari bahasa,
kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan bahasa seseorang. Menurut
Lenneberg, dalam usia dua tahun (kematangan kognitif) hingga usia pubertas,
otak manusia itu masih sangat lentur yang memungkinkan seorang anak untuk
memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Lanjut Lenneberg,
pemerolehan bahasa secara alamiah sesudah pubertas akan terhambat oleh
selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian otak
sebelah kiri. Piaget memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan
konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang
terus menerus. Anak- anak sewaktu -bergerak menjadi dewasa memperoleh
tingkat pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu menjadi meningkat lebih
kuat. Piaget berpendapat bahwa kemampuan merepresentasikan pengetahuan itu
adalah proses konstruktif yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang
lama terhadap lingkungan. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan
mental anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau
memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak
struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan
batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang
dimilikinya. Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak sudah diselesaikannya
pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat
mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.

c. Faktor Latar Belakang Sosial.


Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok
sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam
pemerolehan bahasa anak (Vygotsky, 1978). Semakin tinggi tingkat interaksi
sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak)
memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah
keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh
bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal
dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan
kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya. Misalnya, seorang
anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio,
sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-
benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak
yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan
memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, dvd player, laptop,
game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut merupakan benda-
benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Perbedaan dalam pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa kelompok
menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit
dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka.
Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat
dipahami penting intinya untuk menjadi anggota kelompok. Anak yang mampu
berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan
mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya
ketimbang anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

d. Faktor Keturunan,
Faktor keturunan meliputi:
1. Jenis kelamin.
Jenis kelamin turut mempengaruhi perolehan bahasa anak. Biasanya anak
perempuan lebih superior daripada anak laki-laki. Meskipun dalam berbagai studi
ilmiah perbedaan mendasar mengenai hal itu belum sepenuhnya dapat dijelaskan
oleh para ahli.
2. Intelegensia.
Perolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensi yang
dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna
sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ
yang berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin
cepat memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat
memperoleh bahasa.

3. Kepribadian dan Gaya/Cara Pemerolehan.


Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan
perolehan bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian
seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa.
Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam
otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu
diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati
tata bahasa dari bahasa orang dewasa.
Menurut Piaget seperti dikutip Ginn, mengklasifikasi perkembangan
bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban (Pralinguistik 0,0-0,5)
Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua: Kata Nomsens, (c)
tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-2,0), (d) Tahap Linguistik II
Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik III. Pengembangan Tata Bahasa
(3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata Bahasa Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g)
Tahap Linguistik V Kompetensi Penuh (5,0-....).
Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan bunyi
secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah dapat mengoceh
atau membabel dengan pola suku kata yang diulang-ulang. Bahkan menjelang usia
1 tahun anak sudah mulai mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan.
Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan serangkaian bunyi ujaran
yang menghasiikan bunyi ujaran tunggal yang bermakna. Pada tahap linguistik II
kosa-kata anak mulai berkembang dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri
atas dua kata dan mengandung satu konsep kalimat yang lengkap. Pada tahap
linguistik III anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang
diungkapkan biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun
kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada penggunaan
infeksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang terakhir anak sudah
memiliki kompetensi penuh dalam berbahasa.
Vygotsky seperti ditulis Schutz mengemukakan urutan perkembangan
pemerolehan bahasa ke dalam tipe-tipe ujaran , sebagai berikut:

1. Ujaran luas (sosialisasi).


Yang dimaksud dengan ujaran luas adalah ujaran yang disesuaikan dengan
perilaku seseorang yang diajak bicara. Hal ini terjadi apabila anak mampu
mengubah perspektif mental mereka dan mampu memandang situasi dari sudut
pandang orang lain ketimbang dari sudut pandang mereka sendiri. Kemudian
mereka mampu berkomunikasi dan melibatkan diri dalam pertukaran ide. Karena
pertanyaan meminta perhatian yang lebih banyak ketimbang pernyataan,
kebanyakah ujaran yang berpusat pada orang lain (ujaran luar) pada awalnya
mengambil bentuk pengajuan pertanyaan.

2. Ujaran Pribadi (egosentris).


Dalam konteks ini, anak berbicara bagi kesenangan dirinya atau karena
kesenangan yang berhubungan dengan seseorang yang kebetulan bersamanya.
Mereka tidak berusaha untuk bertukar ide atau memperhatikan pendapat
seseorang. Nilai utamanya dalam perkembangan bicara adalah membantu anak
memperoleh kemampuan berbicara dan mengetahui bagaimana reaksi orang lain
terhadap apa yang mereka katakan. Tahap ini terdiri:
Tahap 1 : Bahasa prasosial yang menstimulasi diri sendiri
Tahap 2 : Ujaran pribadi yang mengarah ke luar
Tahap 3 : Ujaran pribadi yang mengarah ke diri sendiri
Tahap 4 : Manifestasi-manifestasi eksternal ujaran dalam
Tahap 5 : Ujaran dalam hati atau pikiran
3. Ujaran Dalam.
Anak dalam hal ini hanya memfokuskan pada sikap mental individunya
dalam mengolah bentuk-bentuk ujaran yang dikehendakinya.

2.3 Hakikat Sintaksis


Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang
berarti dengan dan tattein yang berarti menempatkan. Jadi, sintaksis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Dalam setiap bahasa ada seperangkat kaidah yang sangat menentukan
apakah kata-kata yang ditempatkan bersama-sama tersebut akan berterima atau
tidak. Perangkat kaidah ini sering disebut sebagai alat-alat sintaksis, yaitu urutan
kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor yang biasanya berupa konjungsi.
Keunikan setiap bahasa berhubungan dengan alat-alat sintaksis ini. Ada
bahasa yang lebih mementingkan urutan kata daripada bentuk kata. Ada pula
bahasa yang lebih mementingkan intonasi daripada bentuk kata. Bahasa Latin
sangat mementingkan bentuk kata daripada urutan kata. Sebaliknya, bahasa
Indonesia lebih mementingkan urutan kata.
Sintaksis memiliki unsur-unsur pembentuk yang disebut dengan istilah
satuan sintaksis. Satuan tersebut adalah kata, frase, klausa, dan kalimat.
Pembahasan kata dalam tataran sintaksis berbeda dengan pembahasan kata pada
tataran morfologi. Dalam tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang
membentuk frase, klausa, dan kalimat. Oleh karena itu kata sangat berperan
penting dalam sintaksis, sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori
sintaksis, dan sebagai perangkai satuan-satuan sintaksis. Kata dapat dibedakan
atas dua klasifikasi yaitu kata penuh dan kata tugas.
Frase biasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari dua
kata atau lebih dan tidak memiliki unsur predikat. Unsur-unsur yang membentuk
frase adalah morfem bebas. Berdasarkan bentuknya, frase dapat dibedakan atas
frase eksosentrik, frase endosentrik, dan frase koordinatif.
Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang
berkonstruksi predikatif. Di dalam klausa ada kata atau frase yang berfungsi
sebagai predikat. Selain itu, ada pula kata atau frase yang berfungsi sebagai
subjek, objek, dan keterangan.
Kalimat adalah satuan sintaksis yang terdiri dari konstituen dasar, yang
biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan disertai
intonasi final.

2.4 Kalimat
Banyak definisi tentang kalimat telah dibuat orang. Kalimat yang
dimaksud di sini adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang
biasanya berupa klausa dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai
dengan intonasi final (Chaer, 2009:44).
Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya kalimat terdiri atas
konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi ada hanya apabila diperlukan.
Konstituen dasar biasanya berupa klausa. Kata dan frase juga bisa dianggap
sebagai konstituen dasar, yaitu pada kalimat ”jawaban singkat” atau kalimat minor
yang tentu saja bukan ”kalimat bebas” (Chaer, 2009:44). Hal ini berbeda kalau
konstituen dasarnya berupa klausa, maka dapat terbentuk sebuah kalimat bebas.
Intonasi dasar yang merupakan syarat penting dalam pembentukan sebuah
kalimat dapat berupa intonasi deklaratif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda
titik), intonasi interogatif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda tanya), intonasi
imperatif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda seru), dan intonasi interjektif
(dalam bahasa ragam tulis diberi tanda seru). Tanpa intonasi final ini sebuah
klausa tidak akan menjadi sebuah kalimat. Namun, kalimat yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah satuan sintaksis yang terdiri dari satu kata atau lebih
yang memiliki satu atau lebih unsur kalimat yang berupa subjek, predikat atau
objek yang telah memiliki makna sehingga dapat dimengerti oleh orang-orang
yang terlibat dalam percakapan.
Secara formal kalimat dibedakan menjadi kalimat berita, kalimat tanya dan
kalimat perintah (http://www.situsbahasa.info/2011/01/tindak-tutur-berdasarkan-
derajat.html). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk
memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu,
dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau
permohonan.

2.4.1 Kalimat dilihat dari segi isi/amanatnya


Pembagian kalimat berdasarkan dari segi isi/amanatnya adalah pembagian
kalimat berdasarkan isi atau amanat yang ingin disampaikan kepada pendengar
(Chaer, 2009). Berdasarkan segi isi/amanatnya, kalimat dibedakan atas kalimat
dalam kalimat deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif.

2.4.1.1 Kalimat Deklaratif


Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya menyampaikan pernyataan
yang ditujukan kepada orang lain (Chaer, 2009:187). Kalimat deklaratif ini tidak
memerlukan jawaban baik secara lisan maupun dengan tindakan. Namun, bisa
saja diberikan komentar oleh pendengar bila dianggap perlu.
Kalimat deklaratif ini bisa dibangun oleh sebuah klausa, dua buah klausa,
tiga buah klausa atau juga lebih; atau dalam wujud kalimat sederhana, kalimat
rapatan, kalimat luas setara, kalimat luas bertingkat, maupun kalimat luas
kompleks; sesuai dengan besarnya atau luasnya isi pernyataan yang ingin
disampaikan. Pada anak usia dua tahun dan tiga tahun, biasanya kalimat dalam
modus deklaratif ini berupa kalimat yang terdiri dari satu klausa dan berupa
kalimat sederhana.
Dilihat dari maksud penggunaannya, kalimat dalam modus deklaratif ini
dapat dibedakan atas kalimat yang:
1) Hanya untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan alam
sekitar atau pengalaman penutur. Contoh:
a. Di luar lagi hujan.
b. Abang suka nonton Upin Ipin.
c. Abang dan dedek makan nasi pake’ nugget.

2) Untuk menyampaikan keputusan atau penilaian. Contoh:


a. Baju baru abang bagus.
b. Makanan ini enak sekali.
c. Sayur ini rasanya kurang garam.

3) Untuk menyatakan perjanjian, peringatan, nasihat, dan sebagainya.


Contoh:
a. Kami harap Anda mau menerima keputusan ini.
b. Kamu harus berhati-hati setibanya di Jakarta.
c. Besok kita harus bicarakan lagi masalah ini.

4) Untuk menyatakan ucapan selamat atas suatu keberhasilan atau ucapan


prihatin atas suatu kemalangan. Contoh:
a. Kami turut berbela sungkawa atas meninggalnya orang tua Anda.
b. Saya ikut merasa sedih atas musibah yang Anda alami.
c. Kami bersyukur bahwa Anda telah berhasil menunaikan ibadah haji.

5) Untuk memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang.


Contoh:
a. Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah.
b. Kami beritahukan yang tidak hadir adalah Siti, Siska, dan Ani.
c. Kami jelaskan sekali lagi bahwa pinjaman itu tidak dikenai bunga.

2.4.1.2 Kalimat Interogatif


Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengharapkan adanya jawaban
secara verbal (Chaer, 2009:189). Jawaban ini dapat berupa pengakuan,
keterangan, alasan atau pendapat dari pihak pendengar atau pembaca.
Misalnya:
a. Siapa namamu?
b. Mengapa orang itu berlari?
c. Bagaimana kalau kita makan di kedai itu?
d. Berapa harga minyak goreng sekarang?

Dilihat dari reaksi jawaban yang diberikan dibedakan adanya:


(1) Kalimat interogatif yang meminta pengakuan jawaban ”ya” atau ”tidak”,
atau ”ya” atau ”bukan”.
(2) Kalimat interogatif yang meminta keterangan mengenai salah satu unsur
(fungsi) kalimat.
(3) Kalimat interogatif yang meminta alasan.
(4) Kalimat interogatif yang meminta pendapat atau buah pikiran orang lain.
(5) Kalimat interogatif yang menyungguhkan.

2.4.1.3 Kalimat Imperatif


Kalimat imperatif adalah kalimat yang meminta pendengar atau pembaca
melakukan suatu tindakan (Chaer, 2009: 197). Kalimat imperatif ini dapat berupa
kalimat perintah dan kalimat larangan.
Kalimat imperatif adalah kalimat yang dibentuk untuk memancing
responsi yang berupa tindakan. Kalimat imperatif mempunyai ciri :
a. Intonasi yang ditandai nada rendah di akhir kalimat.
b. Pemakaian partikel penegas, penghalus dan kata tugas ajakan,
harapan, permintaan dan larangan.
c. Susunan inversi sehingga menjadi tidak selalu terungkap predikat –
subjek jika diperlukan.
d. Pelaku tindakan tidak selalu terungkap.

2.5 Hakikat Pemerolehan Sintaksis


Pada umumnya para peneliti tentang pemerolehan bahasa beranggapan
bahwa pemerolehan sintaksis adalah pemerolehan yang bermula pada saat seorang
anak mulai menggabungkan dua kata atau lebih yang memiliki arti. Hal ini terjadi
pada anak yang berusia dua tahun ke atas. Oleh karena itu, peringkat satu kata
(holofrase) pada umumnya dikesampingkan dan dianggap tidak berkaitan dengan
perkembangan sintaksis. Bagaimanapun Clark (1977) beranggapan bahwa
peringkat holofrase ini mungkin dapat memberikan gambaran secara internal
mengenai perkembangan sintaksis pada anak. Maksudnya, peringkat holofrase
kemungkinan besar merupakan apa yang sebenarnya yang ingin diungkapkan
seorang anak. Oleh karena itu, ada baiknya peringkat holofrase diikutsertakan
dalam sebuah teori pemerolehan sintaksis. Pandangan yang sama juga disuarakan
oleh Garman (1990).
Pandangan dan sikap-sikap para peneliti pemerolehan sintaksis tersebut
berasal dari data hasil penelitian mereka. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
ucapan-ucapan holofrase ini sukar ditafsirkan, karena si penyelidik harus merujuk
pada situasi dan lingkungan di mana holofrase ini diucapkan untuk menafsirkan
artinya. Lagipula, ucapan-ucapan holofrase ini sangat terbatas dan susah untuk
dikumpulkan sehingga sering menimbulkan ketidaksabaran peneliti. Apabila anak
sudah mencapai peringkat dua kata atau lebih, ucapan-ucapan pun semakin
banyak dan semakin mudah ditafsirkan, sehingga peneliti lebih cenderung
memulai penelitian pemerolehan bahasa pada peringkat ini.
Namun, dalam penelitian ini, ujaran pada peringkat holofrase dianggap
sebagai satu kalimat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa anak dalam usia
dua tahun masih menggunakan ujaran pada peringkat holofrase untuk
mengungkapkan pikiran, ide atau gagasan yang dimilikinya. Dengan demikian,
ujaran pada peringkat holofrase termasuk sebagai data yang dianalisis dalam
penelitian ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Tujuan Khusus Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
pemerolehan bahasa anak umur dua tahun selama kurun waktu kurang lebih
seminggu, khususnya yang mencakup tataran sintaksis. Melalui kajian ini akan
diketahui pemerolehan bahasa dari segi sintaksis yang sudah dapat diproduksi
oleh Tasia.

3.2 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah anak salah seorang penulis, Ismarini
Hutabarat, seorang anak perempuan yang bernama Anastasia Uli Sinaga yang
berusia dua tahun yang diamati selama kurang lebih satu bulan.

3.4 Data dan Sumber Data Penelitian


Data penelitian ini berupa data kebahasaan lisan yang direkam (spoken
teks). Data ini berbentuk wacana interaksional. Wujud data yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah wujud verbal atau bentuk bahasa yang digunakan dalam
peristiwa tutur di rumah penulis. Data-data tersebut diperoleh dari kegiatan,
percakapan formal antara subjek penelitian dan penulis sendiri yang direkam
dengan tape recorder dan dilengkapi dengan catatan lapangan.

3.5 Prosedur Pengumpulan dan Perekam Data


Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian
sebagai sumber data dibiarkan bercakap-cakap secara alamiah. Percakapan
alamiah itu diharapkan memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah
menjadi ciri khas penelitian ini.
Data dalam penelitian sederhana ini diperoleh melalui teknik perekaman dan
pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antar keluarga.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian sederhana ini kecuali peneliti sendiri,
juga digunakan tape recorder untuk merekam selama terjadinya proses
komunikasi dan alat pencatat yang digunakan setelah perekaman berlangsung.
3.6 Analisis Data
Data secara keseluruhan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif. Langkah yang dilakukan adalah data yang berupa rekaman
ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan.

IV. ANALISIS DATA

4.1 Pemerolehan Sintaksis


Pemerolehan sintaksis hanya bermula jika kanak-kanak mulai
menggabungkan dua kata atau lebih sekitar umur dua tahun. Ini menunjukkan
bahwa peringkat satu kata pada umumnya telah dianggap tidak berkaitan dengan
perkembangan sintaksis. Apabila kanak-kanak telah mencapai peringkat dua kata
atau lebih, ucapan pun semakin banyak dan mudah ditafsirkan.
Analisis pemerolehan bahasa Tasia mencakup bagaimana perkembangan
bahasa yang diproduksi termasuk kalimat. Kalimat yang dihasilkannya termasuk
kalimat yang lengkap dan sudah dapat dimengerti dengan cukup mudah, karena
walaupun dia baru genap berusia dua tahun, ucapan fonemnya sudah cukup jelas.
Dalam pernbahasan tentang kalimat-kalimat yang dihasilkan oleh Tasia, kita akan
melihat bahwa Tasia mulai dari ujaran dua kata, tiga kata dan juga multi kata.

4.1.1 Kalimat Deklaratif


Walaupun baru genap berumur dua tahun, Tasia sebenarnya sudah banyak
mengungkapkan kalimat-kalimat sederhana yang dapat mengandung makna
lengkap. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kalimat deklaratif yang
diungkapkan oleh Tasia, bentuk percakapan berikut ini dapat memberikan
gambaran kalimat-kalimat tersebut. ;
Mama: Lagi ngapain kakak Eva itu, dek?
Tasia : Lagi manggocok (menyetrika) dia.
Mama: Menggosok apa kakak itu, dek?
Tasia : Gocok baju mama.
Mama : Terus?
Tasia: Gocok baju dedek.
Mama: Terus?
Tasia: Baju abang.
Pada kesempatan lain ketika sedang menonton televisi, mamanya
bertanya:
Mama: Lagi ngapain dedek?
Tasia: Lagi duduk.
Mama: Lagi duduk? Duduk sama siapa?
Tasia: Duduk cama mama. (Duduk sama mama)
Dari kalimat-kalimat yang diucapkan di atas, nampak kalimat-kalimat
yang diucapkan Tasia masih terpotong-potong namun pengucapannya sudah
cukup sempurna. Secara gramatikal, kalimat-kalimat tersebut sudah dapat
digolongkan dalam bentuk kalimat lengkap. Hal ini ditandai dengan Subjek (S) +
Verb (V). Secara umum, bentuk S+V untuk awal pemerolehan bahasa sudah dapat
digolongkan dalam kalimat lengkap karena maknanya sudah dapat dikatakan
sempurna.
Demikian juga ketika mamanya bertanya: Dedek, udah makan?
Tasia: Udah.
Mama: Pake apa?
Tasia: Pake ikan dila, dila, dila (nila).
Mama: Pake ikan nila?
Tasia: Iya.
Pada kalimat terakhir, Tasia belum mengucapkan kata ‘nila’ secara
sempurna, namun kalimatnya sudah dapat dimengerti dengan jelas, bahkan dia
sudah mengetahui ikan apa yang dia makan. Jawaban yang diberikan Tasia secara
gramatikal dapat dimengerti; dengan melihat rangkaian pertanyaan atau kalimat
sebelumnya. Jadi jawaban itu bisa dikategorikan sebagai jawaban lengkap.

4.1.2 Kalimat Imperatif


Dalam mengungkapkan kalimat imperatif, Tasia juga sudah cukup baik.
Dia sudah dapat merangkai dua kata bahkan lebih untuk mengungkapkan
permintaannya. Hal ini dapat dilihat ketika dia mengucapkan beberapa kalimat
berikut;
Ayok kita mandi, kak ; Pak, bagushkan candal dedek, pak (Perbaiki sandal dedek,
pak (ketika dia kesulitan memakai sandalnya sendiri)); Buat Dola, kak (Putarkan
film Dora, kak (ketika dia ingin menonton kartun Dora The Explorer), Ambilkan
punya dedek, kak (ketika ia meminta mainannya); maka kalimat imperatif yang
diungkapkannya sudah mernpunyai makna lengkap. Seperti ungkapan
sebelumnya, sebagian fonem-fonem yang diucapkannya masih beium sempurna,
sedangkan logika kalimat imperatifnya kadang-kadang beium berurutan sesuai
dengan kaidah-kaidah kalimat imperatif. Walaupun demikian, dari susunan
kalimatnya, sudah dapat dikatakan bahwa dalam percakapan atau dalam situasi
tertentu, kalimat seperti itu lazim apalagi dalam ragam tidak formal khususnya
dalam pemerolehan bahasa anak.
4.1 3 Kalimat interogatif
Kalimat interogatif kadang-kadang muncul secara sporadik. Pernah pada
suatu hari, Tasia tidur siang. Ketika dia bangun dari tempat tidurnya, dia langsung
menanyakan Bapaknya: Bapak mana Ma?
Kalimat ini terungkap karena Bapaknya tidak ada didekatnya. Ibunya
menjawab: Bapak lagi kerja. Dari situasi percakapan di atas antara Ibu dan Tasia,
terlihat bahwa pemerolehan dan produksi kalimat tanya Tasia sudah dapat
diucapkan tanpa berpikir. Hal ini menunjukan bahwa kalimat semacam itu sudah
diperolehnya dan dengan mudah diproduksinya. Contoh-contoh lain kalimat
seperti ini sering juga diungkapkannya tatkala dia ingin sesuatu; misalnya, pada
waktu dia mencari mainannya, dia katakan, Mana punya dedek? (maksudnya
mainan miliknya). Ini ditanyakan pada abangnya atau pada kakak pengasuhnya.
Pada kesempatan yang lain, ketika ia menonton televisi, Tasia bertanya tentang
pemeran dalam film yang sedang menangis: Apa kakaknya, Ma? (Kenapa
kakaknya, Ma?). Dari kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh Tasia, dapat
disimpulkan bahwa walaupun umurnya baru dua tahun Tasia dapat memproduksi
kalimat interogatif yang baik dan bisa dimengerti dengan mudah. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang anak seperti Tasia yang berusia dua tahun sudah
dapat mengungkapkan kalimat tanya dengan lengkap.

4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemerolehan Sintaksis Bahasa


Indonesia Tasia
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa seorang
anak, yaitu faktor alamiah, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang
sosial dan faktor keturunan yang berupa faktor intelegensia dan faktor kepribadian
dan gaya/cara pemerolehan bahasa.
Perkembangan pemerolehan sintaksis Tasia dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu:

4.2.1 Faktor Alamiah


Dari hasil pengamatan terhadap Tasia dapat disimpulkan bahwa Piranti
Pemerolehan Bahasa (PPB) yang dimiliki Tasia berfungsi dengan baik.
Berdasarkan hasil analisis kalimat-kalimat yang dihasilkan dan pengamatan yang
dilakukan terhadap Tasia ditemukan bahwa Tasia sudah mampu berkomunikasi
dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Tasia sudah mampu memberikan
respon atas pernyataan dan pertanyaan orang lain, mengajukan pertanyaan kepada
orang lain, meminta orang lain melakukan sesuatu dan juga mengungkapkan
emosi yang dirasakannya seperti rasa kaget dalam kalimat. Hal ini menunjukkan
bahwa Tasia memiliki faktor alamiah berupa PPB yang sempurna.
Hal ini juga dapat dilihat dari perkembangan pemerolehan sintaksis yang
terjadi pada Tasia. Tasia dapat mengolah dan menyerap data linguistik yang
didapatnya dari lingkungan sekitarnya dengan baik. Hal ini terbukti dengan
kemampuan Tasia untuk mengujarkan kalimat yang terdiri dari dua kata, tiga kata,
bahkan kadang-kadang empat kata.

4.2.2 Faktor Perkembangan Kognitif


Kognitif merupakan sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan
berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan
gagasan. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa kognitif Tasia
berkembang dengan sangat baik. Tasia sudah mampu mengungkapkan ide yang
dimilikinya ketika menjawab pertanyaan dan memberikan penjelasan dan
informasi tentang sesuatu hal, juga ketika Tasia mengungkapkan emosinya seperti
rasa kaget dan penolakannya terhadap sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa Tasia
memiliki perkembangan kognitif yang baik, sehingga memberikan pengaruh yang
baik terhadap pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan sintaksis, yang
dialaminya.
Contohnya ketika Tasia bertanya tentang bapaknya, ketika dia menjawab
pertanyaan-pertanyaan ibunya dan ketika dia menginginkan sesuatu, dia dapat
mengungkapkan semua hal tersebut dalam ujaran berupa kalimat interogatif,
deklaratif dan imperatif yang terdiri atas dua kata atau lebih dengan baik sehingga
orang-orang di sekitarnya mengerti maksudnya. Hal ini membuktikan bahwa
perkembangan kognitif Tasia memberikan pengaruh terhadap pemerolehan
bahasanya khususnya pada tataran sintaksis.

4.2.3 Faktor Latar Belakang Sosial


Faktor latar belakang sosial cukup berpengaruh pada pemerolehan bahasa
Tasia. Latar belakang sosial yang dimaksud di sini adalah interaksi sosial Tasia
dengan sekitarnya dan status sosial berdasarkan status orang tuanya.
Dipandang dari segi interaksinya dengan lingkungan sekitarnya, Tasia bisa
dikatakan cukup aktif. Di dalam rumah, Tasia berkomunikasi dengan aktif dengan
kedua orang tuanya, abangnya dan kakak pengasuhnya. Dia tidak pernah berhenti
bercakap-cakap dengan orang-orang di dekatnya. Orang tua dan kakak
pengasuhya membiasakan Tasia untuk mengikuti ujaran mereka sebagaimana
yang diujarkan orang dewasa, sehingga kata-kata yang diujarkan Tasia merupakan
kata-kata yang cukup jelas pengucapannya. Bahkan, jika dibandingkan dengan
abangnya, ada beberapa huruf yang sudah bisa diucapkannya lebih baik dari
abangnya, antara lain huruf g dan k. Abangnya masih mengucapkan huruf g
menjadi d, dan huruf k menjadi t, sedangkan Tasia sudah bisa mengucapkan dua
huruf itu dengan baik.
Tasia mempunyai interaksi sosial yang cukup aktif dengan lingkungan di
luar rumah, terutama dengan tetangga. Hampir setiap sore, jika cuaca
mengizinkan, Tasia dan abangnya bermain-main di luar rumah. Tasia sudah dapat
berkomunikasi dengan baik dengan para tetangga, baik dengan anak-anak lain
ataupun dengan orang dewasa. Jika ada tetangga yang dikenalnya lewat di depan
rumahnya, Tasia pasti akan memanggilnya. Atau, Tasia pasti memanggil anak
yang tinggal di sebelah rumahnya, jika dia melihat anak tersebut sedang duduk di
teras rumahnya.
Di samping itu, kedua orang tua Tasia mempunyai latar belakang
pendidikan yang cukup baik. Ayahnya seorang wiraswatawan yang pendidikan
terakhirnya adalah sarjana (S1) teknik. Sedangkan ibunya adalah seorang dosen
yang sedang menjalani pendidikan jenjang magister (S2). Kebetulan pendidikan
ibunya berlatar belakang bahasa, yaitu bahasa Inggris, sehingga ibunya berusaha
agar Tasia dan abangnya dapat berbahasa dengan baik. Selain melalui komunikasi
langsung, orang tuanya membiasakan Tasia dan abangnya menonton acara yang
baik untuk bahasa anak-anak baik dari televisi maupun dari DVD. Ini memberikan
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pemerolehan bahasa Tasia.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tasia memiliki interaksi
sosial yang cukup baik dengan lingkungan di dalam ataupun di luar rumahnya.
Demikian juga dengan status sosial yang dimilikinya dikaitkan dengan pekerjaan
dan latar belakang pendidikan orang tuanya. Hal ini sangat membantu dalam
perkembangan pemerolehan bahasa Tasia, khususnya pada tataran sintaksis.

4.2.4 Faktor Keturunan


Faktor keturunan yang mempengaruhi pemerolehan bahasa Tasia, antara
lain:
a. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa seorang
anak. Kebanyakan anak perempuan lebih superior dalam
pemerolehan bahasa daripada anak laki-laki, karena sudah sifat anak
laki-laki untuk lebih suka bertindak daripada berbicara.
Namun, pada kasus Tasia, dia dan abangnya hampir sama baiknya
dan aktifnya dalam berbahasa, karena abangnya termasuk anak
sangat aktif dalam berbicara.

b. Intelegensia
Berdasarkan pengamatan di lapangan, Tasia termasuk anak yang ber-
IQ tinggi. Hal ini disimpulkan demikian, karena Tasia bisa dengan
mudah menyerap kata-kata yang diajarkan kepadanya. Biasanya,
orang tua atau kakak pengasuhnya mengulang, paling banyak, tiga
kali suatu kata, setelah itu Tasia sudah dapat mengulangnya dan
mengerti maksud kata itu.

c. Kepribadian dan Gaya/Cara Pemerolehan.


Dalam hal ini Tasia sudah mampu mengungkapkan ujaran yang
berupa:
• Ujaran luas (sosialisasi)
Hal ini terlihat ketika Tasia mampu memberikan respon terhadap
pertanyaan atau situasi tertentu yang terjadi di sekitarnya. Dia
sudah dapat mengungkapkan responnya dalam kalimat-kalimat
yang terdiri dari dua kata atau lebih dengan baik, sehingga orang
lain yang menjadi lawan bicaranya bisa mengerti apa yang
dimaksudnya dengan baik.

• Ujaran pribadi (egosentris)


Dari segi ujaran pribadi, Tasia juga sudah bisa merangkai kata-
kata untuk bercakap-cakap sendiri ketika dia bermain atau ketika
dia berimajinasi dengan abangnya.

V. SIMPULAN
Setelah menganalisis pemerolehan bahasa Tasia dari segi pemerolehan dan
produksi sintaksis seperti yang dikemukan di atas, dapat disirnpulkan bahwa:
1. Walaupun umurnya baru genap dua tahun, kelihatannya Tasia sudah bisa
merangkai kata-kata secara sederhana, mulai dari satu, dua sampai empat
kata, dan akhirnya membentuk kalimat. Kalimat sederhana yang
dikemukakannya masih berkisar pada urutan sederhana dan belum teratur.
Namun makna kalimat itu sudah dapat ditangkap dengan baik, berupa
kalimat berita, kalimat imperatif ataupun kalimat tanya.
2. Dari hasil pemantauan pada Tasia, kalimat-kalimat tersebut sudah dapat
diproduksi pada saat Tasia baru berumur dua tahun. Di samping kata-kata
dan kalimat yang diperoleh seperti dikemukakan di atas, di sini dapat pula
disimpulkan bahwa seorang anak yang normal, akan mampu memperoleh
bahasa pertama bila saraf dan jaringan otaknya tidak terganggu selama
masa pertumbuhannya. Perkembangan kejiwaan dan juga gizi serta
lingkungan memegang peranan penting dalam pertumbuhan motorik
khususnya dalam pemerolehan dan produksi bahasa anak.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 1998 Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.

Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:


Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta


Chomsky, N. 1957. Syntactic Structure. The Hangue: Mouton.
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass.: The
MIT Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak


Indonesia. Jakarta: Grasindo

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
First Language Acquisition : The Argument. The Language Acquisition Device
(2006) p.22
(http://perso.clubnternet.fr/tmason/WebPages/LangTeach/Licence/CM/Old
lectures/lntroduction-.htm).

Garman, Michael. 1990. Psycholinguistics. Cambridge: Cambridge University


Press.

Goodluck, Helen. 1991. Language Acquisiton: A Linguistic Introduction. Oxford,


UK: Blackwell.

Gustianingsih. 2002. Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Pada


Anak Usia Taman Kanak-Kanak. Medan: Pascasarjana USU.

Ginn, Wanda Y. Jean Piaget - Intellectual Development (Online, 3 de macro de


2006) p. 7. (http://www.sk.com.br/.sk-vyqot.html).

Lyons, Johns. 1979. Sematics Vol 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Ogden, C.K. & f.A. Richard. 1972. The Meaning of Meaning. London: Routledge
and Kegau Paul Ltd.

Schutz, Ricardo. Stephen Krashen’'s Theory of Second language Acquisition


(Online. 30 de janero de 2006) p.12, (http://www.sk.com.br/sk-
krash.html).

Schutz, Ricardo. "Noam Chomsky", 'Language and Mind (2006) p.1


(http://www.sk.com.br/sk-krash.html).

Sigel, I and Cocking, R. Cognitive Development from Childhood to Adolescence:


A Construc/ivist Perspective. (2000), p. 5.
(http://fccl.ksu.ru/papers/gp002.htm).

Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik, Menelusuri


Bahasa, Pemerolehan Bahasa dan Hubungan Bahasa dengan Otak.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Simanjuntak, Mangantar. 1986. Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala


Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Thomas, Murray. Second Language Acquisition and Teaching (2006), p. 1
(http://www. coh. arizona.edu/slat/default.html).
Vygotsky, L.S. 1978. Mind and Society: The Development of Higher Mental
Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
30
31
32
33
34

View publication stats

You might also like