Professional Documents
Culture Documents
Ariyanto
Fakultas Sains dan Teknologi UNISNU Jepara
ariyanto@unisnu.ac.id
Abstract
Jepara is the largest furniture industry city in Indonesia. There is a history since it was governed by
Queen Kalinyamat (1521-1546), Jepara city was already known as the city of carving. The
development of craft art in Jepara is increasing rapidly since R.A. Kartini. She also took part into art
especially crafting art. She also helped to develop arts in creating new designs that have never been
created by Jepara carving artist artists especially in making product of Architrave. But time by time
the Architrave industry in Jepara is less developed due to the limitations of industry players to create
new designs and only produce Architrave products that already exist in the market. After
understanding the processes that occur in various types of Architrave industry in Jepara, then the
authors do the design process using the method of exploration and incorporate element of Jepara
culture and the symbol of the Palace of Yogyakarta. So it can bring new designs to compete in the
growing architrave industry competition in the world. Jepara ornaments are ornnaments Nusantara
which is often used for all kinds of Architrave for Jepara ornaments when carved unlike other
ornaments. Leaf shape, niches, fruit when carved concave and convex very valuable aesthetic high,
so from that many art lovers often use Exploration of ornament Jepara. Architrave is an ornament on
the skin layer of both sills which provides aesthetic value added so that a room seemed beautiful to
achieve the architrave must be based on research and a very deep study and takes a fairly long time,
therefore architrave must be completely conceptualized.
Abstrak
Jepara merupakan kota industri mebel terbesar di Indonesia. Sejarah mencatat sejak zaman
pemerintah Ratu Kalinyamat (1521-1546) kota Jepara sudah dikenal sebagai kota ukir.
Perkembangan seni ukir di jepara semakin pesat semenjak R.A. Kartini turut mengembangkan
kesenian yang termasuk diantaranya adalah mengukir kayu. Inisiatif R.A. Kartini itu dilanjutkan
dengan menciptakan desain-desain baru yang belum pernah diciptakan para seniman ukir Jepara
sebelumnya terutama dibidang pembuatan produk Architrave. Namun semakin lama industri
Architrave di Jepara kurang berkembang yang dikarenakan keterbatasan pelaku industri untuk
menciptakan desain baru dan hanya memproduksi produk Architrave yang sudah ada dipasaran.
Setelah memahami proses-proses yang terjadi dalam berbagai jenis industri Architrave di Jepara,
kemudian penulis melakukan proses desain dengan menggunakan Metode Ekplorasi serta
memasukkan unsur-unsur budaya Jepara dan lambang Keraton Yogyakarta. Sehingga dapat
memunculkan desain-desain baru untuk bersaing dalam persaingan industri Architrave yang semakin
berkembang di dunia. Ornamen Jepara merupakan ornamen Nusantara yang sering digunakan untuk
segala jenis Architrave karena ornamen Jepara ketika di ukir tidak seperti ornamen-ornamen yang
lain. Bentuk daun,relungya, buahnya ketika diukir cekung cembungnya sangat bernilai estetika yang
tinggi, maka dari itu banyak penikmat-penikmat seni yang sering menggunakan Ekplorasi ornamen
Jepara. Architrave merupakan hiasan pada lapisan kulit kedua kusen yang memberikan nilai tambah
estetika sehingga suatu ruangan terkesan tampak indah untuk mencapainya Architrave harus
didasari dengan research dan kajian yang sangat dalam dan membutuhkan waktu yang lumayan
panjang, maka dari itu Architrave harus sepenuhnya terkonsep.
dasar sehingga data dapat berbicara atau yang diwawancarai, dengan atau tanpa
dapat difahami dengan mudah. menggunakan pedoman (guide)
4. Evaluasi. wawancara, di mana pewawancara dan
Semua data hasil observasi di informan terlibat dalam kehidupan sosial
perusahaan Architrave dan pengrajin yang relatif lama.
Architrave dievaluasi sehingga c. Metode kepustakaan.
mendapatkan hasil analisa data observasi Metode kepustakaan dilakukan dengan
berupa kebutuhan bahan dan alat yang cara mempelajari, meneliti dan menelaah
digunakan selama produksi dan model berbagai literatur yang bersumber dari
atau bentuk penerapan architrave yang buku-buku teks, jurnal ilmiah, majalah
dihasilkan dalam proses produksi. majalah ilmiah, internet maupun penelitian-
Teknik Pengumpulan Data penelitian terdahulu yang relevan dengan
Dalam penelitan Architrave, jenis data topik penelitian ini.
yang dikumpulkan adalah data primer dan Teknik Analisa Data
data sekunder. Untuk mengumpulkan data Dalam penelitian (studi kepustakaan dan
primer dan sekunder peneliti menggunakan observasi) penulis menggunakan pendekatan
beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: analisis desain menurut Eddy S. Marizar
1. Metode literature dalam bukunya Designing Furniture,
Metode literature merupakan metode perdekatan analisis tersebut adalah :
pengumpulan data dengan cara 1. Analisis Aktivitas Manusia.
mendapatkannya dari buku-buku referensi, Berdasarkan observasi penyusun, ada
selain itu juga diperoleh dari majalah, katalog banyak jenis aktifitas manusia dalam
mebel, dan brosur-brosur yang dapat kehidupan sehari-hari. Setelah
mendukung serta dapat dijadikan landasan melakukan analisis terhadap aktifitas-
teori untuk pijakan dalam melakukan aktifitas manusia, maka ditemukan
penelitiaan. berbagai macam aktifitas, hal tersebut
2. Metode studi lapangan juga mempengaruhi bentuk, fungsi, dan
Studi lapangan merupakan metode ukuran sebuah sarana untuk melakukan
pengumpulan data dengan mengadakan aktifitas, dengan demikian, sikap aktifitas
pengamatan langsung terhadap objek manusia sebagai pemakai, merupakan
penelitian. Dalam hal ini penulis menggunakan sebuah kunci dalam menciptakan sebuah
cara sebagai berikut: desain.
a. Observasi. 2. Adanya ungkapan form follows function
Observasi (observation) atau pengamatan oleh Louis Sullivan (1856-1924) yang
merupakan suatu teknik atau cara berarti bentuk mengikuti fungsi akan
mengumpulkan data dengan jalan selalu menjadidalil acuan dalam
mengadakan pengamatan terhadap perancangan architrave. Dalam
kegiatan yang sedang berlangsung. observasi, penyusun banyak menemui
Kegiatan tersebut berkenaan dengan architrave dengan bentuk yang
pengamatan konsep dan bentuk architrave, bermacam-macam akan tetapi belum ada
proses produksi serta alat dan bahan yang yang mengangkat struktur penggabungan
digunakan dalam pembuatan architrave. antara architrave dan arsitekture dalam
b. Wawancara. satu kesatuan yang berkonsep
Wawancara adalah suatu metode atau cara eksplorasi.
yang digunakan untuk mendapatkan 3. Jenis bahan yang digunakan untuk
jawaban dari responden dengan jalan membuat architrave adalah bahan kayu,
tanya jawab. Wawancara ini termasuk lebih tepatnya kayu jati. Dari segi kualitas
wawancara mendalam (in–depth interview) kayu jati termasuk kwalitas kayu yang
adalah proses memperoleh keterangan bagus, tingkat kekuatan dan keawetan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya tinggi serta serat yang cukup menarik
jawab sambil bertatap muka antara sehingga menambah nilai keindahan
pewawancara dengan informan atau orang produk.
atau membuat sket, gambar kerja agar Pesanggrahan Ambar Ketawang yang
menghasilkan suatu karya yang bernilai sekarang termasuk wilayah Kecamatan
estetika tinggi. Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan
Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu
siti hinggil ler (balairung utara),
kemandhungan ler (kemandhungan utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan
Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung
Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta
memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda benda kuno
Gambar 1. Gapura Dinas Pariwisata
dan bersejarah.
(Sumber : Penulis)
Permukaan atap joglo berupa trapesium.
Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah,
maupun seng dan biasanya berwarna merah
atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang
utama yang di sebut dengan Soko Guru yang
berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang
lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya
berwarna hijau gelap atau hitam dengan
ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah,
dan emas maupun yang lain. Untuk bagian
Gambar 2. Gerbang Utama Museum R.A bangunan lainnya yang terbuat dari kayu
KARTINI memiliki warna senada dengan warna pada
(Sumber : Penulis) tiang. Pada bangunan tertentu (misal
Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri
Tinjauan Umum Keraton Jogja dan Makna Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad,
Simbol dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Menurut Darsiti Soeratman arti keraton Untuk batu alas tiang, ompak, berwarna
memiliki beberapa makna, antara lain yang hitam dipadu dengan ornamen berwarna
pertama negara atau kerajaan dan yang kedua emas. Warna putih mendominasi dinding
yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di bangunan maupun dinding pemisah kompleks.
dalam cepuri (tembok yang mengelilingi Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih
halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih
menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan
lingkup tempat kediaman raja. tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan
Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat
pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi menempatkan singgasana Sultan.
keratin konon adalah bekas sebuah Tiap-tiap bangunan memiliki kelas
pesanggarahan yang bernama Garjitawati. tergantung pada fungsinya termasuk
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat kedekatannya dengan jabatan penggunanya.
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram Kelas utama misalnya, bangunan yang
(Kartasura dan Surakarta) yang akan dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas
dimakamkan di Imogiri. Versi lain jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih
menyebutkan lokasi keraton merupakan rumit dan indah dibandingkan dengan kelas
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan
ada di tengah hutan Beringan. Sebelum maka ornamen semakin sederhana bahkan
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain
Hamengku Buwono I berdiam di ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat
tumrap bangsa lan manungsane kang arupa- Motif Jepara merupakan destileran mulai
rupa, artinya: tumbuhan sulur yang hidup dari bercocok tanam daun telo yang merambat
merambat, melambangkan kejayaan dan daun ketela rambat tangkai kecil , daunya, dari
kemuliaan kebudayaan bangsa nusantara buah wuni, motif Jepara tangkai kecil seperti
yang lestari berkembang dan bermanfaat bagi rek reka rikal (Soekarno, Jepara).
bangsa dan rakyat yang beraneka ragam. Salah satu ragam hias yang tumbuh dan
Tinjauan Umum Ornamen Jepara berkembang di Nusantara yaitu ragam hias
Ragam hias atau ornamen merupakan Jepara, di mana ornamen tersebut
hasil kesenian yang telah lama dikenal menawarkan ciri khas dan memiliki nilai-nilai
dalam sejarah Indonesia, ragam hias ini sudah simboliknya sendiri. Ragam hias ini memiliki
ada sejak jaman pra-sejarah (neolithikum), ciri-ciri yaitu memiliki daun pokok, bentuk-
dimana nenek moyang bangsa Indonesia bentuk ukiran daun pada motif berbentuk
sudah dapat membuat barang-barang dengan segitiga dan miring, lung atau relung, fauna,
menggunakan hiasan-hiasan (Soehadji, 1985). trubusan, bunga dan buah. Adapun
Menurut Gustami dalam Sunaryo, 2009) penjabaran tentang ciri-ciri ragam hias
mengatakan bahwa ragam hias atau ornamen tersebut adalah sebagai berikut:
merupakan komponen produk seni yang 1. Daun pokok merupakan suatu bentuk
ditambahkan atau sengaja dibuat dan daun, jika dilihat dari segi volumenya
bertujuan sebagai penghias atau hiasan. lebih dominan dari bentuk daun-daun
Ragam hias atau ornamen merupakan salah yang lain. Daun pokok juga menjadi ciri
satu bentuk karya seni rupa yang banyak khas dari ragam hias tersebut. Setiap
dijumpai di dalam masyarakat, baik pada daerah memiliki ciri daun pokoknya
bangunan, pakaian, peralatan rumah tangga, sendiri-sendiri. Jadi untuk dapat
hiasan pada suatu benda, dibubuhkan pada mengenali suatu ragam hias bisa dilihat
produk-produk kerajinan dan lain sebagainya. dari daun pokoknya. Pada ragam hias
Pembuatan ragam hias dalam pembuatan Jepara daun pokoknya mempunyai ciri
suatu produk-produk tersebut diharapkan yaitu merelung-relung dan melingkar.
dapat membuat tampilan suatu produk akan Pada penghabisan relung tersebut
menjadi lebih indah dan elok dipandang. terdapat daun yang menggerombol
Karena pasalnya ragam hias memiliki tujuan (Soepratno, 1983).
sebagai penghias atau memperindah suatu 2. Lung atau relung dalam bahasa jawa
benda atau produk. Selain itu jika ragam hias menjelaskan kepada sejenis tunas atau
dibubuhkan pada pembuatan sebuah produk batang tanaman menjalar yang masih
kerajinan, akan membuat produk tersebut muda dan melengkung-lengkung
memiliki nilai simbolik atau mengandung bentuknya (Sunaryo, 2009). Lung atau
maksud-maksud tertentu sesuai dengan tujuan relung ini memiliki sifat luwes, lemah
dan gagasan pembuatnya, sehingga dapat gemulai, hal ini mencerminkan
meningkatkan status social bagi siapa yang masyarakat Jawa yang sopan, lemah
memilikinya (Sunaryo, 2009) lembut dan luwes.
3. Fauna merupakan gubahan-gubahan
bentuk binatang. Binatang yang dipakai
dalam ragam hias Jepara ini merupakan
Buah wuni yang di stylasi
pada ragam hias jeapara burung Phoenix yang telah mengalami
gubahan dan gaya motifnya yang
dipengaruhi dari kebudayaan Cina.
4. Trubusan merupakan tunas daun yang
masih muda yang tumbuh diantara lung
Daun pokok atau daun pokok.
5. Bunga dan buah merupakan hasil
gubahan dari buahwuni (orang Jepara
menyebutnya dengan nama buah buni)
Gambar 5. Ragam Hias Jepara
yang bentuknya kecil-kecil seperti buah
(Sumber: Sunaryo, 2009: 215)
Sketsa Alternativ 3
(Sumber : Penulis)
Gambar Kerja 2
(Sumber : Penulis)
Desain Terpilih
Identifikasi Bahan
Gambar Kerja 1
(Sumber : Penulis) Pemilihan Bahan
Persiapan Alat
Kontrol Kualitas
Finishing
Kalkulasi
Ngetaki
Nggrabahi
Pengampelasan halus 2
(Sumber : Penulis)
9. Pelapisan akhir (top coat)
Pada tahap akhir finishing
menggunakan bahan finishing Top
Coat Tahap ini merupakan pelapisan
antar media yaitu antara media
pengecatan dengan material
DAFTAR PUSTAKA
B.A, Soepratno. 2004. Ornamen Ukir Kayu
Tradisional Jawa. Semarang:Effhar.
Francis, D.K.Ching. 1996. Ilustrasi Desain
Interior. Jakarta: Erlangga.
Gustami,SP. 2000. Seni Kerajinan Mebel Ukir.
Jepara: Kajian Estetik Melalui
Pendekatan Multidisiplin. Yogyakarta:
Kanisius.
Haskett, John. 1980. Industrial Design.
London: Thames and Hudson.
Jamaludin. 2007. Pengantar Desain Mebel.
Bandung: Kiblat Buku Utama.
Jonathan Sarwono dan Hary Lubis. 2007.
Metode Riset Untuk Desain Komunikasi
Visual. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Julius Panero dan Martin Zelnik. 2003.
Dimensi Manusia dan Ruang Interior.
Jakarta: Erlangga.
M. Gani Kristanto. 1987. Konstruksi Perabot
Kayu. Semarang: Satya Wacana.
Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi, Konsep
Dasar dan Aplikasnya. Surabaya: Guna
Widya.
Sachari, A. 2005. Metode Penelitian Budaya
Rupa. Jakarta: Erlangga.
Setiawan. A. 2007. Membuat Mebel
Sederhana. Klaten: Saka Mitra
Kompetensi.
Sunaryo, Agus. 2003. Reka Oles Mebel Kayu.
Yogyakarta: Kanisius.
Widagdo. 2011. Desain dan Kebudayaan.
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.