You are on page 1of 14

Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382

Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB PERILAKU BULLYING DI PESANTREN:


SEBUAH STUDI KASUS

Sigit Nugroho1, Seger Handoyo2, Wiwin Hendriani3


1
Mahasiswa Doktoral Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Indonesia
2, 3
Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Indonesia.
e-mail: sigit.nugroho@psy.uir.ac.id

ABSTRACT
Bullying has become an international problem in as much as it has some serious impacts on academic
conditions, psychological well-being, healthy and life safety for victims, spectators and bullies. The most
serious danger from bullying is many of victims and spectators transforming to become the bullies of bullying.
The existing theoretical studies are generally non-boarding public schools. Apart from the reasons that have
been explained in the existing theory, the writer wants to see if there are specific factors in the pesantren
environment that cause bullying behavior. The aim of this study is to identify what factors contribute for
changing from victim or witness to be a perpetrator in Islamic boarding schools where Indonesian Islamic
boarding schools are perceived as a place where some positive values are taught such as values of virtue,
positive behavior, and strong religiosity values. This research used the case study method where participants
will be interviewed and data will be analyzed by using thematic analysis. Four participants, man and women,
are involved in this research. All of them graduated from Islamic boarding School for one until three years.
Individual, families, mass media, Peer group and school environment are factors which contribute to the
changing process, from victims and spectators to become bullies. Interestingly, it found some new themes that
come outside theoretic themes such as perception to bullying if bullying is only a joke and a tradition among
students. They make bullying as compensation for seeking amusement because their academic schedule is so
hectic while there are so little academic facilities for dispensing all their exhaustion after learn a whole day.

Keywords: bullying, bullying causative factors, bullies, pesantren.

ABSTRAK
Maraknya perilaku bullying atau perundungan di sekolah yang terjadi di berbagai negara menjadikannya
sebagai permasalahan internasional yang berdampak serius pada kondisi akademik, kesejahteraan psikologis,
kesehatan dan keselamatan jiwa pada korban, penonton dan pelaku. Bahaya yang lebih serius adalah banyak
korban dan penonton yang dalam perkembangannya menjadi pelaku bullying. Kajian teoretis yang ada pada
umumnya merupakan kajian pada sekolah-sekolah umum yang sifatnya non-boarding. Selain dari sebab-sebab
yang telah dijelaskan dalam teori yang sudah ada, penulis ingin melihat apakah ada faktor spesifik yang
terdapat dalam lingkungan pesantren yang menjadi penyebab munculnya perilaku bullying. Tujuan penelitian
ini mengidentifikasi faktor penyebab menjadi pelaku bullying di lingkungan pesantren sebagai suatu institusi
pendidikan Islam khas Indonesia. Pesantren diasosiasikan dengan lembaga pendidikan yang mengajarkan
nilai-nilai kebajikan, perilaku positif, dan muatan religiusitas yang kuat. Pendekatan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kasus dengan melakukan analisis tematik dari hasil wawancara dengan pelaku
bullying di pesantren yang minimal telah satu tahun menjalani pendidikannya dengan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Hasil dari penelitian ini ditemukan lima tema yang menjadi penyebab perilaku bullying di

1
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

pesantren yaitu faktor individu, keluarga, media massa, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Tiga tema,
yakni adaptasi siswa baru, persepsi terhadap perilaku bullying yang dianggap sebagai candaan dan tradisi
pesantren serta bullying sebagai kompensasi mencari hiburan di pesantren karena padatnya aktivitas belajar
dan minimnya fasilitas belajar adalah tema baru yang muncul di luar dari tema teoretis.

Kata Kunci: perundungan, faktor penyebab perundungan, pelaku perundungan, pesantren.

FIRST RECEIVED: REVISED: ACCEPTED: PUBLISHED:


29 June 2020 18 October 2020 31 October 2020 3 November 2020

PENDAHULUAN selain tidak sopan juga dilarang oleh ajaran


Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama. (3) Hidup hemat dan sederhana benar-
keagamaan merupakan institusi yang tidak bisa benar dilakukan dalam lingkungan pesantren.
diabaikan keberadaannya. Pesantren Bahkan tidak sedikit yang hidupnya terlalu
merupakan lembaga pendidikan tradisional sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang
yang lahir dan tumbuh bersamaaan dengan memperhatikan kesehatannya. (4) Semangat
datangnya Islam ke tanah Jawa. Dengan menolong diri sendiri amat terasa. Para santri
demikian, pesantren merupakan lembaga mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar
pendidikan yang asli (Indegenous) masyarakat tidurnya sendiri bahkan tidak sedikit yang
Indonesia (Ziemek, 1986). Pesantren memasak makanannya sendiri. (5) Jiwa tolong
merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan menolong atau persaudaraan sangat mewarnai
pada masa Hindu-Budha pra Islam. Dalam pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain
sistem pendidikan lama, pesantren berhasil kehidupan yang merata di kalangan dihormati,
menggabungkan sistem pendidikan yang di justru dianggap memiliki kekuasaan gaib yang
dalamnya diajarkan ajaran Islam dengan bisa membawa keberuntungan atau celaka.
budaya lokal yang ada pada saat ini. Usaha Hal-hal tersebut di atas adalah nilai-
dalam memadukan antara ajaran Islam dengan nilai yang diharapkan tumbuh subur di
budaya lokal merupakan ciri dari awal lingkungan pesantren, namun beberapa
penyebaran agama Islam, yang mengutamakan penelitian justru menunjukkan kenyataan yang
toleransi terhadap nilai-nilai yang subuh dalam berbeda. Penelitian yang dilakukan Desiree
bermasyarakat sejak Islam sebelum datang (2013) mencatat adanya berbagai bentuk
(Suteja, 1999). perilaku bullying yang terjadi di pesantren,
Bawani (1993) merumuskan beberapa seperti bullying dalam bentuk fisik (memukul,
ciri pendidikan di pesantren, yaitu: (1) Adanya menendang), bullying dalam bentuk verbal
hubungan yang akrab antara santri dengan kiai. (kata-kata kasar, ejekan) dan pengucilan.
Kiai memperhatikan sekali kepada para Nugroho dan Fardhana (2018) menemukan
santrinya dan hal ini sangat dimungkinkan, bahwa 59% siswa-siswi pesantren mengaku
karena sama-sama tinggal dalam satu menerima perlakuan bullying dari temannya.
komplek. (2) Tunduknya santri kepada kiai. Penelitian lain yang dilakukan dalam
Para santri menganggap bahwa menentang kiai konteks pesantren antara lain penelitian Yani,

2
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

Winarni, & Lestari (2016). Penelitian ini mereka merasa lebih berwibawa dan merasa
dilakukan di salah satu pesantren di Jombang. puas, namun sebagian pelaku juga merasa
Penelitian ini bertujuan untuk menggali malu dan minder.
pengalaman santri yang menjadi korban Penelitian Marthunis & Authar (2017)
bullying di pesantren, mengeksplorasi bertujuan untuk mengetahui persepsi dan
perasaan santri saat menjadi korban bullying di intervensi para guru di lingkungan di pesantren
pesantren. Dalam penelitian ini ditemukan modern terhadap bullying. Hasil dari penelitian
terdapat tujuh tema yaitu pertentangan ini menemukan bahwa guru di pesantren
menganggu, mendapat perilaku yang menganggap bullying sebagai perilaku
menyakitkan dari senior, merasa tertekan, berbahaya yang perlu ditangani. Para guru di
kehilangan motivasi, berusaha mengamankan pesantren menggunakan beberapa intervensi
diri, mencari pertolongan dan tidak dalam bentuk pendekatan reaktif daripada
menyelesaikan masalah. proaktif.
Penelitian Simbolon (2012) yang Penelitian Finiswati & Matulessy
bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk (2018) bertujuan untuk mengetahui perbedaan
perilaku bullying, faktor penyebab terjadinya kecenderungan melakukan bullying ditinjau
perilaku bullying, dampak perilaku bullying dari jenis kelamin dan urutan kelahiran pada
bagi korban, pelaku, dan lingkungan asrama, santri di pondok pesantren. Hasil penelitian
dan untuk mengetahui usaha yang telah menunjukkan santri berjenis kelamin laki-laki
dilakukan pihak institusi dalam usahanya cenderung mempunyai perilaku bullying yang
mencegah terjadinya perilaku bullying pada lebih tinggi daripada santri berjenis kelamin
mahasiswa penghuni asrama. Hasil penelitian perempuan. Selain itu santri yang menempati
menunjukkan bahwa bentuk bullying yang urutan kelahiran pertama dan terakhir
terjadi di asrama Universitas A adalah cenderung lebih tinggi dari santri yang
intimidasi, pemalakan, pemukulan, ucapan menempati urutan kelahiran ditengah.
kotor, dan melecehkan. Didapati pula bentuk Dalam penelitian ini penulis melihat
perilaku bullying yang ekstrem seperti bahwa dalam konteks pesantren yang memiliki
pemaksaan pada korban untuk menenggak kekhasan Indonesia dan nilai-nilai spesifik
minuman keras, ditelanjangi lalu korban yang dianut dan diajarkan berupa nilai-nilai
dipaksa mandi tengah malam. Faktor keislaman yang menekankan pada ajaran
penyebabnya yaitu senioritas, meniru serta tentang akhlak, adanya perilaku bullying
pengalaman masa lalu, para pelaku pada menarik untuk dikaji. Secara lebih spesisifik
umumnya melakukan bullying karena penulis tertarik meneliti sebab-sebab sumber
memiliki pengalaman menajdi korban bullying kemunculannya. Kajian teoretis yang ada pada
dimasa lampau, sehingga pelaku ingin umumnya merupakan kajian pada sekolah-
membalas dendam. Hasil penelitian juga sekolah umum yang sifatnya non-boarding.
menunjukkan bahwa bullying mengakibatkan Selain dari sebab-sebab yang telah dijelaskan
korbannya menjadi putus asa, menyendiri, dalam teori yang sudah ada, penulis ingin
tidak mau bergaul, tidak bersemangat, bahkan melihat apakah ada faktor spesifik yang
halusinasi. Berbeda halnya dengan pelaku, terdapat dalam lingkungan pesantren yang

3
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

menjadi penyebab munculnya perilaku menerima konsekuensi dari dampak tersebut


bullying? (Hendriani, 2017).
2. Faktor Keluarga
PENGERTIAN PERUNDUNGAN Peneliti lain telah menyelidiki dimensi
Rowland (1998) mendefinisikan fungsi keluarga, antara lain yakni adalah faktor
bullying sebagai kekerasan jangka panjang, gaya pengasuhan permisif, kurangnya
fisik atau psikologis, yang dilakukan oleh keterlibatan dan kehangatan (Olweus, 1980),
individu atau kelompok dan diarahkan disiplin keras (Weiss, Dodge, Bates, & Pettit,
terhadap individu yang tidak mampu membela 1992), dan pengalaman kekerasan, semua
diri. Adanya perbedaan kekuasaan dan bentuk- tampaknya merupakan faktor keluarga yang
bentuk bullying yang bervariasi adalah unsur- relevan dalam melarkan pelaku bullying.
unsur yang disepakati oleh para ahli yang Keluarga dari etnis Cina dikenal lebih otoriter
menjadi ciri khas bullying. Sejumlah penelitian daripada tipikal di negara-negara Barat. Ini
telah mengeksplorasi penyebab bullying, mungkin menjelaskan tingginya prevalensi
meskipun hasilnya tidak sepenuhnya pelaku bullying di Hong Kong. Orang tua etnis
konsisten, beberapa variabel signifikan telah Cina modern tidak seotoriter seperti pendahulu
diidentifikasi (Olweus, 1978, Laeheem, mereka, dan ada hukum di Hong Kong
Kuning, Mcneil, 2009). Penyebabnya menentang penggunaan hukuman badan
dikategorikan sebagai faktor individu, faktor terhadap anak-anak. Orang tua memiliki peran
keluarga, faktor sosial budaya, faktor pengaruh dalam perkembangan emosi anak yang dapat
kelompok, dan faktor sekolah. membentuk pola perilaku dalam kehidupan
1. Faktor Individu sehari-hari (Hartini, Suminar & Handoyo,
Faktor individu termasuk di dalamnya 2001).
kekuatan fisik dan reaksi agresif yang dimiliki 3. Media Masa
pelaku bullying dan korban. Olweus (1978) Derksen dan Strasburger (1996)
menemukan bahwa secara fisik pelaku berpendapat bahwa penyebab meningkatnya
memiliki fisik yang kuat, sementara itu korban kekerasan pemuda terletak pada kekerasan
secara fisik lebih lemah. Tidak semua anak yang ditayangkan media. Seseorang memiliki
laki-laki kuat adalah pelaku bullying, hanya perasaan yang ingin diakui untuk memenuhi
merek yang memiliki kecenderungan agresif kebutuhan psikososial pada ruang media massa
yang memiliki potensi besar untuk menjadi (Ardi, 2016). Mereka berpendapat bahwa
pelaku. Kristi dan Fardana (2012) berpendapat pengaruh media sangat halus dan mendarah
bahwa individu yang memiliki keyakinan diri daging dari waktu ke waktu termasuk dalam
mampu secara optimal berperilaku kreativitas, kekerasan. Kekerasan selalu ditunjukkan
baik itu dalam hal apapun. sebagai cara penyelesaian konflik yang dapat
Penelitian lain menunjukan bahwa era diterima di media. Anak-anak dapat secara
teknologi digital menjadi tantangan terbesar tidak sadar memodelkan perilaku yang tidak
dalam yang menyebabkan individu diberikan diinginkan (Bandura, Ross, & Ross, 1963;
kemudahan dalam askes informasi dan Heusmann, 1982). Keterampilan berbicara
meningkat Ketika individu mampu

4
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

memaksimalkan media saat ini (Muna, Degeng di sekolah umum atau nonboarding. Padahal
& Hanurawan, 2019). terdapat penelitian terdahulu yang menyatakan
4. Faktor Teman Sebaya bahwa perundungan tidak hanya terjadi di
Masa remaja adalah masa mencari sekolah umum, namun juga terjadi di sekolah
identitas dan membentuk kelompok referensi asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Edling &
mereka sendiri. Penelitian pada anak jalanan Francia, 2017). Penelitian lain menyebutkan
menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya faktor lingkungan akademik mampu
memiliki efek mendalam pada perilaku memediasi kontrak psikologis seseorang
manusia (Spergel, 1967; Whyte; 1943). dalam melakuakan aktivitasnya (Suhariadi,
Tekanan kelompok, norma kelompok, dan 2018).
identitas kelompok adalah faktor kunci yang Sebuah penelitian percontohan pada
berpengaruh terhadap perilaku teman sebaya. sekolah asrama di Jerman, yang dilakukan oleh
Arah pengaruh dari kelompok ke individu Pfeiffer dan Pinquat (2014) menemukan jika
tidak hanya melalui satu cara. Penelitian telah siswa-siswi yang belajar di sekolah asrama
menunjukkan bahwa orang paling sering lebih sering menjadi pelaku perundungan dan
memilih untuk bergabung dengan kelompok sekaligus menjadi korban perundungan
yang sesuai dengan dirinya; yang memiliki dibanding siswa siswi yang bersekolah di
nilai dan sikap yang sama (Collins, Maccoby, sekolah umum. Penelitian lain berupa survei
Steinberg, Hetherington, & Bornstein, 2000; deskriptif yang dilakukan oleh Muguve (2017)
Kass, 1999). Jadi faktor kelompok tidak dapat pada siswa sekolah dan anggota komite
mengesampingkan bagian yang dimainkan disiplin, di sebuah sekolah asrama se-tingkat
oleh faktor individu (lam &Liu, 2006). SMU di Zimbabwe menemukan ada beberapa
Penelitian lain menunjukan seseorang hal yang menjadi penyebab munculnya
remaja yang dapat menjalin hubungan yang perundungan di sekolah asrama, yaitu:
baik dengan teman sebayanya mampu bekerja Pertama, kurangnya aturan sekolah mengenai
sama dengan baik dalam mengerjakan tugas perundungan 84% komite disiplin sekolah
sekolah dan begitu juga sebaliknya (Rasyid & serta 97% siswa sekolah menyatakan setuju
Suminar, 2012). pada pernyataan kurangnya aturan sekolah
5. Lingkungan sekolah menjadi penyebab munculnya perilaku
Olweus (1993) menemukan bahwa perundungan di sekolah asrama. Ketika
jumlah guru yang ditugaskan untuk mengawasi ditemukan adanya pelaku perundungan di
waktu istirahat siswa secara negatif dikaitkan sekolah, sekolah cendrung mengabaikan si
dengan jumlah insiden bullying. Peneliti lain pelaku. Tidak adanya aturan yang jelas bagi
fokus pada dampak iklim sekolah. Licata pelaku perundungan, akan memperkuat
(1987) menunjukkan bahwa sikap positif di anggapan jika perundungan adalah hal yang
antara siswa dan staf dapat menyebabkan wajar untuk dilakukan. Kedua, faktor personal
perilaku positif, sehingga mengurangi perilaku dari pelaku dimana 40% siswa sangat setuju,
merusak. 45% siswa setuju dan 42% anggota komite
Menilik konteksnya, penelitian disiplin setuju jika pelaku perundungan
perundungan pada awalnya banyak dilakukan bertujuan untuk mencari perhatian orang

5
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

dewasa. Hal ini bisa terjadi karena pelaku sebagai ritual penyambutan yang wajar bagi
merupakan pribadi yang kurang atau secara warga asrama yang baru bergabung
akademis dinilai tidak mampu. Perundungan (Schaverian, 2004). Adanya persaingan antara
merupakan kompensasi atas ketidakmampuan siswa yang tinggal di asrama juga menjadi
pelaku. Dengan menjadi pelaku perundungan, pemicu perundungan di asrama (Pfeiffer &
pelaku akan mendapatkan perhatian orang lain Pinquart, 2014). Edling dan Francia (2017),
dan menjadi bahan pembicaraan, seolah-olah mendefinisikan kekerasan yang terjadi di
pelaku perundungan terlihat sebagai seorang sekolah asrama dengan istilah boarding school
pahlawan. Ketiga, faktor parenting atau syndrome. Istilah ini merujuk pada berbagai
pengasuhan anak yang dinilai kurang menjadi kekerasan yang rentan dialami pelajar, seperti
penyebab perundungan. Sekitar 30% siswa perundungan, pelanggaran dan gangguan.
sangat setuju jika pengasuhan yang kurang Berdasar beberapa data di atas, sekolah
optimal terhadap anak menjadi penyebab berasrama memiliki kerentanan untuk
seseorang melakukan perundungan, sementara terjadinya tindak perundungan dibandingkan
35% siswa setuju mengenai hal ini. Sekitar sekolah umum. Tinggal di sekolah berasrama
17% anggota komite disiplin sangat setuju jika diasosiasikan dengan perpisahan dengan
pengasuhan yang kurang menyebabkan orangtua, berinteraksi dengan teman dalam
seseorang melakukan perundungan, sementara jangka waktu yang lama dari proses belajar di
42% komite disiplin setuju mengenai hal ini. kelas sampai aktivitas tidur (White, 2004).
Keempat, perundungan dapat terjadi karena Penelitian yang dilakukan Pfeiffer dan
pelaku sering menghabiskan waktunya dengan Pinquart (2014) menemukan banyaknya waktu
melihat atau menonton film yang mengandung yang dihabiskan dengan teman-teman di
kekerasan fisik. Sebanyak 28% siswa sangat asrama, memungkinkan perundungan lebih
setuju mengenai hal ini dan 35% setuju dengan sering terjadi di asrama. Kurangnya
ini, sementara 42% komite disiplin sangat pengawasan orangtua dan pengawas asrama
setuju dengan hal ini dan 25% komite sekolah membuat interaksi antar siswa tidak terpantau.
setuju. Selain karena faktor pengawasan, Walford
Para korban umumnya mengalami (2009) menyebutkan bahwa siswa yang masuk
perundungan verbal. Beberapa siswa di sekolah berasrama memiliki latar belakang
melaporkan tindakan perundungan di sekolah yang rentan untuk terlibat dalam perilaku
asrama terjadi tanpa henti, mengingat target perundungan. Beberapa siswa yang terlibat
korban memiliki sedikit pilihan untuk perundungan pada sekolah berasrama,
menghindar dari pelaku di asrama (Schaverian, perilakunya dibentuk dari rumah seperti siswa
2004). Hal ini diperkuat oleh temuan korban perceraian orangtua, mereka sengaja
Donaldson & Poynting (2005), yang dimasukkan ke sekolah berasrama untuk
menyatakan tindakan perundungan berupa mengurangi efek dari permasalahan keluarga
ejekan karena isu ras dan seksual biasa terjadi tersebut.
dan telah mengakar di sebuah sekolah asrama
di Australia. Perundungan verbal berupa
ejekan yang ditujukan kepada junior dianggap

6
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

METODE PENELITIAN peneliti pada dua responden, dan pada dua


Jenis penelitian ini menggunakan responden yang lain yang dilakukan oleh
metode kualitatif pendekatan studi kasus asisten peneliti yang sudah dilatih sebelumnya.
dengan teknik analisis tematik. Analisis
tematik adalah cara mengidentifikasi tema- HASIL PENELITIAN
tema yang terpola dalam suatu fenomena. Dari hasil penelitian diperoleh tema-
Tema-tema ini dapat diidentifikasi, dikodekan tema mengenai penyebab bullying yang sesuai
secara induktif dari data kualitatif maupun dengan teori yang digunakan. Yang pertama
secara deduktif berdasarkan teori maupun hasil adalah faktor individu. Para responden yang
penelitian terdahulu (Boyatzis, 1998). Dalam melakukan bullying diidentifikasi memiliki
penelitian ini penulis menggunakan kecenderungan agresif. Hal ini tampak pada
pendekatan deduktif (theory driven). wawancara pada subjek AA, sebagai berikut;
Responden penelitian merupakan alumni “Terkadang saya menjadi, pribadi yang
pesantren sebanyak 4 orang. Responden tenang, ketika memang saya harus diam yaa
berkisar antara 1-3 tahun sebagai alumni diam, tapi tiba saatnya saya untuk agresif saya
pesantren. Semua responden pernah jadi agresif gitu, atau mungkin teman-teman
mengalami perilaku bullying sekaligus menyebut saya ini lasak atau bandel gitu”
menjadi pelaku bullying. (WSU12111AA baris 126-130).
Mengenai topik yang akan diteliti Orang-orang dengan memiliki sifat
yakni penyebab perilaku bullying di pesantren agresif cenderung akan melakukan perilaku
digunakan teori Rowland (1998) yakni aktor bullying, apalagi jika memiliki fisik yang kuat
individu, keluarga, media massa, teman sebaya (Lam & Liu, 2007, Neto, 2005) biasanya
dan lingkungan sekolah. Tema pada faktor perilaku agresif ini muncul dari anak yang
individu yakni fisik yang kuat dan lama menjadi korban bullying (Sigurdson,
kecenderungan agresif. Tema pada faktor Undheim, Wallander, Lydersen, & Sund,
keluarga meliputi gaya pengasuhan permisif, 2015).
kurangnya keterlibatan, kehangatan, disiplin Dalam penelitian ini tidak ditemukan
keras, dan pengalaman kekerasan. Tema pada tema mengenai fisik yang kuat cenderung
faktor media massa adalah kekerasan yang melakukan bullying. Hal ini terkonfirmasi dari
ditayangkan media. Tema pada faktor teman hasil observasi bahwa fisik responden tidak
sebaya adalah tekanan kelompok, norma dalam katagori fisik yang besar (kuat). Bahkan
kelompok, dan identitas kelompok. Tema pada dari keterangan responden MAF dinyatakan
faktor lingkungan sekolah adalah iklim yang bahwa anak-anak yang “bagak” atau berlagak
terdapat di sekolah. kuat akan cenderung diganggu jika dia adalah
Data diperoleh dengan wawancara anak baru. Hal ini sesuai data “satu lagi bisa
semi terstruktur menggunakan panduan jadi yang kami beli itu anak-anak yang
wawancara yang dikembangkan untuk ibaratnya sok sok bagak lah dipesantren itu
mengungkap tema-tema yang ada pada teori gini-gini di pesantren itu ibaratnya itu baru
Rowland (1998) mengenai faktor-faktor masuk tapi udah sok” (WSU22611MAF baris
penyebab bullying. Wawancara dilakukan oleh

7
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

313-315). Anak dianggap berlagak kuat saya bandel jadi saya dimasukkan ke
ditandai dengan karakteristik fisiknya. pesantren” (WSU12111AA baris 135-136).
Tema berikutnya adalah tentang pola Terdapat penelitian yang menyebutkan
asuh. Bullying dipengaruhi oleh pola asuh bahwa pola asuh otoriter dan keras menjadi
otoriter dan melakukan kekerasan. Pola asuh prediktor terhadap munculnya pada anak di
yang keras dialami oleh responden, terlihat masa akan datang. Studi longitudinal yang
dari hasil wawancara pada responden AA dan dilakukan oleh Rajendran, Kruszewski dan
MAF, sebagai berikut; Halperin (2015) menunjukkan bahwa anak-
“Kalau dikerasi orang tua waktu kecilnya saya anak yang memiliki masalah gangguan
sering dikerasi waktu itu pernah saya waktu itu perilaku agresif dengan yang tidak mengalami
mau mandi di laut itu kira-kira umur saya 5, 6 memiliki pola pengasuhan yang berbeda.
tahun Saya mandi di laut terus tahu-tahunya
Anak-anak yang memiliki masalah gangguan
pas Saya mau naik dari atas ke atas orang tua
saya datang membawa kayu yang kira-kira perilaku dibesarkan oleh gaya pengasuhan
besar paralon itu ya paralon untuk kabel kabel otoriter sedangkan anak yang tidak memiliki
itu jadi kan itu mukul saya gitu sampai patah. gangguan perilaku dibesarkan dengan gaya
ya itu tadi dimarahin sama orang tua gitu” pengasuhan yang penuh kehangatan.
(WSU12111AA baris 94-103). Penelitian senada oleh Lam & Liu (2006)
“Ketika saya masih kecil jadi seandainya kalau menyatakan bahwa pola asuh orang tua yang
saya tak sholat wajib itu bapak saya paling
melakukan kekerasan adalah prediktor yang
marah jangan kan untuk tidak salat kadang
saya tidak datang ke masjid Saya kadang konsisten dalam memprediksi perilaku
Bapak saya bisa kamu saya dulu kerap bullying pada anak.
mendapatkan perilaku yang kasar sama orang Teman sebaya sangat berpengaruh
tua saya kadang juga Saya Sadari perilaku terhadap munculnya perilaku bullying di
sayang dulu sangat susah diatur pada kan pesantren. Tindakan bullying yang dilakukan
waktu dulu itu Perilaku saya waktu kecil itu oleh senior semuanya dilaporkan oleh keempat
sering main PS kadang lupa waktu waktu
responden sebagai penyebab yang utama
ibaratnya jam sekian harus sekolah tapi
kadang saya tidak ingat dan malah asyik main bertahannya perilaku bullying di pesantren.
PS kadang saking kesalnya saya tidak bisa Data-datanya sebagai berikut;
diatur kadang Bapak saya sampai pernah “Melakukan bullying itu berkelompok karena
menampar saya pernah ibadratnya memukul kalau sendiri kami tidak berani karena
saya waktu itu dan sebagainya lah tapi itu istilahnya kami itu tak mau mengambil resiko
ibaratnya eeee setelah” (WSU22611MAF juga kalau sendiri kalau sendiri kan nanti
baris 163-176). Seandainya anak tadi itu melapor ke pengurus
Dua diantara responden yakni AA dan pastinya kami sendiri bakalan kena tapi kalau
MAF mengaku memilih pesantren karena misalnya kami beramai-ramai dalam artian
paksaan orang tuanya berdasarkan sakitnya itu bisa dirasakan beramai-ramai dan
tidak begitu malu sekali Kalau misalnya ramai-
pengakuaanya ketika ditanya alasan masuk
ramai tapi kan kalau sendiri kan pasti lah kita
pesantren. Dengan data sebagai berikut; nanggung Malu sendiri apalagi kalau nanti
“Dipaksa sama orang tua’’’ sampai dilihat sama orang yang kita kenal di
(WSU22611MAF baris 207). “pas SD karena tengok sama Ustad kita saudara-saudara kita
pasti badannya begitu malu sekali tapi kan

8
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

Kalau ramai-ramai mungkin ibaratnya masih Mysterio. Kalau untuk film yang agresif yaa itu
adalah rasa malu kita ibaratnya Ndak begitu film smackdown, naah untuk membully itu saya
malu lah rasanya kalau seandainya nanti lihat lingkungan” (WSU12111AA baris 115-
kenapa-napa kan gitu” (WSU22611MAF
119), sedangkan pada responden MAF,
baris 264-279).
“Sayakan masih kebawa niih sifat-sifat waktu tayangan game PS Grand Theft Auto (GTA)
SD yang nakal lasak terus itu yang dilakukan dan Bully Game menjadi inspirasi responden
bully kalau di pesantren waktu itu, itu dari melakukan bullying di pesantren, sebagai
Kakak kakak tingkat yang mudah merasa senior mana data berikut;
yaitu jadi dia yang melakukan hal-hal semena- “Ada salah satu game PS yang paling sangat
mena melakukan bully terhadap kami yang tenar itu namanya GTA itu adalah semacam
baru baru masuk sehingga Kami merasa apa game yang mana gangster lah Di mana
ya, di tindas diintimidasi sama kakak kakak perang antar wilayah geng sama geng satu
senior” (WSU12111AA baris 137-144). lagi ada juga namanya bully, itu adalah game
“itu sangsinya dilabrak. Istlahnya orang jawa dimana anak nakal dimasukkan kedalam
tuh dilabrak. Gimana ya. Kaya didatangi rame asrama dimana dia ingin menjadiketua
rame trus dimaki maki gitu. Kalo dijawa ya diasrama itu. Jadi mukin kami juga
bilangnya dilabrak. Trus disindir sindir sampe termotivasi dengan game-game seperti itu
kadang kalo junior yang ga betah itu sampe maka ketika zaman saya itu juga pak, banyak
boyong. Boyong itu pindah dari pondok” dulu namanya geng-geng segala macamnya
(WSU32011S baris 91-96). mulai dari anak-anak SMP sampai ke anak
“Ada pasti ada dari zaman baholak pasti ada SD sudah banyak saya temukan itu
kayak mana pun kayak gitu pasti awal-awal (WSU22611MAF baris 183-194).
kita masuk situ pasti kita ditindas dululah Penelitian-penelitian yang sudah
jangankan orang lain kita aja bisa jadi dilakukan mengenai kekerasan media yang
senioritas” (WSU42311I baris 127-130).
mempengaruhi perilaku bullying. Siswa yeng
Data-data tersebut menunjukan bahwa terpapar tontonan kekerasan memiliki
senioritas menjadi faktor utama yang hubungan dengan perilaku bullying yang
memunculkan perilaku bullying. Hal ini dilakukan di sekolah (Lee & Kim, 2007) dan
relevan dengan penelitian terdahulu, bahwa terlibat kekerasan atau tindak kejahatan di
senioritas yang diasosiasikan dengan memiliki masa depan (Anderson & Huesmann, 2007).
kekuasaan atau power mendorong orang untuk Penelitian lain adanya hubungan antara
melakukan abuse (Olweus, 1978, Rigby, kekerasan pada video games, televise dan film
2002). dengan perilaku agresi dan kekerasan di dunia
Tema berikutnya adalah pengaruh nyata (Anderson et al. 2003).
media massa terhadap munculnya perilaku Pada tema pengaruh lingkungan
bullying. Dari penjelasan responden, AA dari sekolah, muncul dalam bentuk kurangnya
MAF responden mengaku terinspirasi perilaku pengawasan kejadian bullying di malam hari
bullying dari tontonan yang mereka lihat. Pada dan adanya sistem seperti mata-mata (jasus)
subjek pertama AA tayangan smackdown mendorong untuk terjadinya perilaku bullying.
menginspirasi untuk melakukan bullying. Bullying terjadi pada area-area yang tidak ada
“Yaaa itu jadi saya itu karena postur badan pengawasan pengurus pesantren. Respon AA,
kecil jadi saya kaya ngefans sama Rey MAF dan I mengaku bahwa asrama menjadi

9
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

tempat yang lazim terjadi bullying. Dengan kami iseng-iseng datang datang ke tempat anak
data wawancara responden sebagai berikut; baru yang kira-kira bisa lah kami manfaatin
Nah dulu itu aku tuh gini ada orang yang ketika itu” (WSU22611MAF baris 144-15).
enggak suka sama aku terus tau Jasus nggak di Tema yang muncul pada faktor
jasus itu kalau nama bahasa Arab Kalau individu yang belum dijelaskan adalah faktor
bahasa Indonesianya artinya mata-mata dulu adaptasi terhadap lingkungan baru. Siswa-
kan diterapkan namanya itu bahasa Arab dan siswa yang kurang mampu beradaptasi akan
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia jadi cenderung di bullying oleh senior karena
ibaratnya itu hari ini dipanggil besok dipanggil
dianggap tidak berperilaku sesuai dengan para
jadi orang itu kayak dendam gitu sama aku dan
itu aku tahu Baru tahu ketika aku kelas 2 SMP senior. Bentuknya perilaku adalah menantang
kelas 2 MTS gitu kau kunci kamarnya dulu yang terhadap senior, terlalu lugu dan menampilan
ngasih tahu sama aku ya apa namanya kau kok diri memiliki potensi. Sebagaimana data yang
nggak pernah marah ya itu loh Benci kali sama disampaikan oleh responden MAF yakni
kau sampai dulu kau dulu pernah sering di gini sebagai berikut;
sering kena panggil sama anak bahasa kau Ketika saya sudah menjadi pelaku pembullyan
dulu pernah sempat kena malu-maluin itu bukannya ingin ada balas dendam sih pak
dibanding cowok terus kau ni malu-maluin. ibaratnya karena seperti tadi saya bilang
Terus duit kau habis kau disuruh ini itu Iya seperti sebuah tradisi karena kita merasa
ingat kali aku loh terus dia yang chat aku ya senior menjadi penguasa jadi seakan-akan itu
aku kok nggak pernah marah ya ya Kayak mana hal yang perlu kita kerjakan kita itu satu
aku mau marah Aku nggak tahu Orangnya candaan jadi tanpa Saya Sadari saya tak
siapa yang chat-an aku kayak gitu tapi ya kayak pernah mengingat lagi bagaimana masa lalu
gimana lah lagi tapi kayak mana ya emang aku keyika saya dibully tapi itu ingin saya lakukan
nggak bisa marah Orangnya sama dia ibaratnya hanya untuk becanda jadi ketika
Entahlah sifat aku yang pendiam atau gimana anak baru masuk tanyain istilahnya mana yang
tak tahulaah aku do (WSU42311I baris 134- tidak tahu karena saya bodoh bodoh segala
153). macamnya bagi saya ketika itu adalah suatu
Jarang, ustadznya taunya itu dari kakak-kakak candaan baris (WSU22611MAF baris 104-
tingkat atau namanya kalo dipesantren itu ada 115).
namanya jasus atau mata-mata jadi dia nunggu Tema lain adalah persepsi mengenai
laporan dari jasus sedangkan mata-mata ini
perilaku bullying. Bullying dianggap biasa
tadi yang melakukan bully tadi (WSU12111AA
baris 196-200). karena sebatas dianggap sebagai candaan dan
“Terjadi rata-rata ketika malam hari selesai cara bermain. Bullying dipersepsi sebagai
adanya belajar wajib Jadi kami di pesantren itu perilaku bercanda dan merupakan perilaku
setelah selesai sholat isya kami ada kegiatan yang wajar terjadi, dan perkataan ini diulang
namanya belajar wajib itu boleh kami belajar beberapa kali oleh responden MAF
sekolah formal untuk sekolah formal Bolehkan menunjukkan bahwa persepsi bullying sebagai
pelajar untuk Sekolah Diniyah jadi selesai jam
cara bercanda cukup kuat. Hal itu ditunjukan
10.00 itu kami itu kami sampai malam sampai
jam 12.00 malam habisya kami mulai mulai dari hasil wawancara dengan responden MAF
melakukan hal seperti itu ketika selesai sebagai berikut; “Karena kan gini pak
namanya belajar wajib kadangpun ketika kebanyakan orang orang itu kalau bercanda
belajar wajib kamipun melakuakan hal itu itu nggak pernah mikir batasan yang penting
ketika tidak ada yang mengawasi kan biasanya

10
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

apa yang dikerjakan puas dihati” mungkin tertekan dengan kegiatan yang full
(WSU22611MAF baris 31-33). “Kami pada di pondok akan hal seperti itu maka kami
bercanda yakan awal-awal Cuma guyonan” lakukan hal seperti itu” (WSU22611MAF
baris 247-259).
(WSU22611MAF baris 50-51). “Pesantren
mungkin hal itu ada hal yang lumrah biasa
SIMPULAN
untuk digunakan bercanda tapi mungkin
Dari tema-tema penyebab bullying
pandangan Bagaimana orang luar tetapi kami
berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan
tak tahu kan haa Jadi kami rasa itulah ada
Rowland (1998) semua tema ditemukan dari
bagi kami ketika masih menjadi anak
hasil wawancara dengan responden. Kelima
pesantren itu itu bukanlah satu hal pembullyan
faktor penyebab bullying yakni faktor
bagi kami itu hal yang lumrah gitu”
individu, keluarga, media massa, teman sebaya
(WSU22611MAF baris 55-60). “….senior
dan lingkungan sekolah muncul dalam tema-
kadang juga saya ditanyain selanya dicandak
tema yang disampaikan responden terutama
mungkin bagi mereka itu adalah suatu
pada responden AA dan MAF. Tiga tema
percandaan”. (WSU22611MAF baris 90-
yakni adaptasi siswa baru, persepsi terhadap
93). “….jadi seakan-akan itu hal yang perlu
perilaku bullying yang dianggap sebagai
kita kerjakan kita itu satu candaan
candaan dan tradisi pesantren serta bullying
(WSU22611MAF baris 108-109). Selain hal
sebagai kompensasi mencari hiburan di
tersebut, bullying juga dianggap sebagai tradisi
pesantren karena padatnya aktivitas belajar dan
yang biasa atau normal terjadi di pesantren,
minimnya fasilitas belajar adalah tema baru
dengan data dari responden MAF sebagai
yang muncul di luar dari tema teoritik. Saran
berikut; “Saya menjadi korban pembullyan
untuk peneliti selanjutnya agar dapat
yang mungkin karena itu seperti seakan-akan
memperluas responden penelitian bukan hanya
sudah menjadi tradisi di pondok pesantren”
pada pelaku saja dan menggunakan obeservasi
(WSU22611MAF baris 15-17). Bahkan yang
sebagai alat pengumpul data tambahan.
lebih menyedihkan responden yang
bersangkutan menyebutkan bahwa melakukan
DAFTAR PUSTAKA
bullying adalah alternatif hiburan ditengah
Anderson, C. A., & Huesmann, L. R. (2007).
padatnya aktivitas belajar dan minimnya Human aggression: A social- cognitive
fasilitas hiburan seperti menonton televisi; view. In M. A. Hogg & J. Cooper (Eds.),
“Kami kerjakan itu semua terbatas dari mulai The sage handbook of social psychology
Kami menggunakan fasilitas seperti yang kira- (pp. 259-287). London: Sage
kira menghibur seperti nonton TV Kami nonton Publications.
TV di pesantren itu hanya dibolehkan Pada Anderson, Craig A.; Berkowitz, Leonard;
saat jam makan siang dan itupun kira-kira Donnerstein, Edward; Huesmann, L.
tidak sampai 1 jam dan selebihnya kami hanya Rowell; Johnson, James D.; Linz,
terus belajar terus belajar terus sekolah jadi Daniel; Malamuth, Neil M.; Wartella,
mungkin karena saat itulah karena tidak ada Ellen (2003). "The influence of media
hiburan dan apa yang bisa kami kerjakan violence on youth". Psychological
begitulah jadinya hiburan yang bisa kami Science in the Public Interest.
laksanakan untuk menghibur diri lah Mungkin
kira-kira menurut saya seperti itu karena

11
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

Ardi, R. (2016). Anonimitas dan Pemenuhan Pesantren. Fenomena: Jurnal Psikologi,


Kebutuhan Psikososial melalui 1, 13-23.
Pengungkapan Diri di Media Sosial. In Hartini, H. M., Suminar, D. R., & Handoyo, S.
H. P. Indonesia, Psikologi dan Teknologi (2001). Peran Pola Permainan Sosial
Informasi (pp. 379-400). Jakarta: Dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi
Himpunan Psikologi Indonesia Anak. Jurnal Penelitian Dinamika
Bandura, A., Ross, D., & Ross, S. A. (1963). Sosial, 2(1), 66-72
Imitation of film-mediated aggressive Hendriani, W. (2017). Menumbuhkan Online
models. Journal of Abnormal and Social Resilience pada Anak di Era Teknologi
Psychology, 66, 3–11. Digital. Prosiding Temu Ilmiah
Bawani, I. (1993). Tradisionalisme dalam Nasional X Ikatan Psikologi
pendidikan Islam: studi tentang daya Perkembangan Indonesia, 1.
tahan pesantren tradisional. Al-Ikhlas. Heusmann, H. W., & Bellville, R. H. (1982).
Boyatzis RE. (1998). Transforming Wood Duck research in Massachusetts,
Qualitative Information. Sage: 1970–1980. Massachusetts Division of
Cleveland Fisheries and Wildlife, Westborough,
Collins, W. A., Maccoby, E. E., Steinberg, L., Massachusetts.
Hetherington, E. M., & Bornstein, M. H. Kass, S. (1999). Bullying widespread in
(2000). Contemporary research on middle school, say three studies. APA
parenting: The case for nature and Monitor, 30(9), 1-2.
nurture. American psychologist, 55(2), Kisti, H. H., & Fardana, N. A. (2012).
218. Hubungan antara self efficacy dengan
Derksen, D. J., & Strasburger, V. C. (1996). kreativitas pada siswa SMK. Jurnal
Media and Television Violence: Effects Psikologi Klinis dan Kesehatan
on Violence, Aggression, and Antisocial Mental, 1(02), 52-58.
Behaviors in Children (From Schools, Laeheem, K., Kuning, M., & McNeil, N.
Violence, and Society, P 62-77, 1996, (2009). Bullying: Risk factors becoming
Allan M Hoffman, ed.-See NCJ- ‘Bullies’. Asian Social Science, 5(5), 50–
170982). 57.
Desiree. (2012). Bullying di pesantren. Jurnal Lam, D.O.B & Liu, A.W.H. (2007). The path
Psikologi. FSIP_UI Dolby, R. (2011). through bullying—A process model
About bullying. Every Child, 17(1), 33. from the inside story of bullies in Hong
Donaldson, M., & Poynting, S. (2005). Snakes Kong secondary schools. Child and
and leaders: Hegemonic masculinity in Adolescent Social Work Journal, 24.
ruling-class boys' boarding schools. Men Lee & Kim (2007). Exposure to media
and Maculinities, 7, 325-346. violence and bullying at school:
Edling, S., & Francia, G. (2017). Children's mediating influences of anger and
rights and violence: A case analysis at a contact with delinquent friends. J
Swedish boarding school. Sage Journal, Adolesc Health. 2007 Dec; 41(6 Suppl 1):
24, 51-67. Doi: S6–13.
https://doi.org/10.1177/0907568216634 Licata, V. F. (1987). Creating a positive
063 school climate at the junior high level.
Finiswati, E., & Matulessy, A. (2018). Paper presented at the Annual Meeting
Kecendrungan melakukan bullying of the Michigan Association of Middle
ditinjau dari jenis kelamin dan urutan School Educators. Birmingham, A.L
kelahiran pada santri di Pondok

12
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

Marthunis., & Authar, N. (2017). Bullying at study. School Psychology International,


Aceh modern islamic boarding school 35, 580-591.
(Pesantren) Teacher’s perceptions and Rajendran, K., Kruszewski, E., & Halperin, J.
inverventions. Sukma: Jurnal (2015). Parenting style influences
Pendidikan, 1, 219-248. bullying: A longitudinal
Muguve, K. (2017). Causes of bullying in study comparing children with and
boarding high school in Zimbabwe. without behavioral problems. Journal of
International Journal of Scientific and Child Psychology and Psychiatry, 57(2),
Research Publication, 7, 652-657. 188-19.
Muna, E. N., Degeng, I. N. S., & Hanurawan, Rasyid, M., & Suminar, D. R. (2012).
F. (2019). Upaya Peningkatan Hubungan antara peer attachment
Keterampilan Berbicara Menggunakan dengan regulasi emosi remaja yang
Media Gambar Siswa Kelas IV menjadi siswa di boarding school SMA
SD. Jurnal Pendidikan: Teori, Negeri 10 Samarinda. Jurnal psikologi
Penelitian, dan Pengembangan, 4(11), pendidikan dan perkembangan, 1(3), 1-
1557-1561. 7.
Neto, A. A. (2005). Bullying- aggressive Rigby, K. (2002). New Perspectives on
behaviour among students. Journal de Bullying. Jessica Kingsley: London.
Pediatria. Brazilian Multi-professional Rowland, I. D. (1998). The culture of the High
Association for Children and Adolescent Renaissance: ancients and moderns in
Protection sixteenth-century Rome (p. 101).
Nugroho, S., & Fardhana, N.A. (2018). Cambridge: Cambridge University
Bullying at islamic boarding school: A Press.
pilot study in Pekanbaru. International Schaverian, J. (2004). Boarding school: The
Journal Of Pure And Applied trauma of the 'privileged' child. Journal
Mathematics, 199, 2095-2100. of Analytical Psichology, 45, 683-705.
Olweus, D. (1978). Aggression in the schools: Schneider, F., Gruman, J., & Coutts,
Bullies and whipping boys. Washington, L. (2012). Applied social psychology.
DC: Hemisphere. Understanding and addressing social
Olweus, D. (1980). Familial and and practical.
temperamental determinants of Sigurdson, J. F., Undheim, A. M., Wallander,
aggressive behavior in adolescent boys: J. L., Lydersen, S., & Sund, A. M.
A causal analysis. Developmental (2015). The long-term effects of being
Psychology, 16, 644–660. bullied or a bully in adolescence on
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What externalizing and internalizing mental
we know and what we can do. Oxford: health problems in adulthood. Child and
Blackwell. Orpinas, P., & Horne, A. M. Adolescent Psychiatry and Mental
(2006). Bullying prevention: Creating a Health, 9, Article 42.
positive school climate and developing Simbolon, M. (2012). Perilaku bullying pada
social competence. Washington, DC: mahasiswa berasrama. Jurnal Psikologi,
American Psychological Association. 39. 233-243.
Olweus, D., (1978) Aggression in the schools. Spergel, M. S. (1967). MS Spergel, Nuovo
Bullies and whipping boys. Cimento 47A, 410 (1967). Nuovo
Pfeiffer, J.P., & Pinquart, M. (2014). Bullying Cimento, 47, 410.
in German boarding school: A pilot Suhariadi, F. (2019). Kontrak psikologis
terhadap commitment to change:

13
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus
Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 17 No. 2, Oktober 2020 E-ISSN 2598-2168

Resiliensi akademik sebagai variabel


mediasi. Persona: Jurnal Psikologi
Indonesia, 8(2), 178-192.
Suteja. (1999). “Pola Pemikiran Kaum Santri:
Mengaca Budaya Wali Jawa”, dalam
Marzuki Wahid.et.all. (ed.), Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren (Bandung:
Pustaka Hidayah), hlm. 77.
Walford, G. (2009). Private schools in
England. Zeitschrift fu Pa dagogik, 55,
716–731.
Wang, C., Berry, B., & Swearer, S. M. (2013).
The critical role of school climate in
effective bullying prevention. Theory
Into Practice, 52, 296 –302.
http://dx.doi.org/10.1080/00405841.201
3.829735
Washnigton D.C., Hemisphere press
(Wiley).
Weiss, B., Dodge, K. A., Bates, J. E., & Pettit,
G. S. (1992). Some consequences of
early harsh discipline: Child aggression
and a maladaptive social information
processing style. Child development,
63(6), 1321-1335
White, M.A. (2004). An Australian co-
education boarding school as a crucible
for life: A humanistic sociological study
of students’ attitudes from their own
memoirs. Unpublished dissertation,
University of Adelaide.
Whyte, J. (1943). American Words and Ways,
Especially for German
Americans.Viking Press.
Yani, A.L., Winarni, A., Lestari, R. (2016).
Eksplorasi fenomena korban bullying
pada kesehatan jiwa remaja di pesantren.
Jurnal Ilmu Keperawatan, 4, 93- 113.
Ziemek, M. (1986) Pesantren Dalam
Perubahan Sosial, Jakarta: P3M.

14
Sigit Nugroho, Seger Handoyo,
dan Wiwin Hendriani:
Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Di Pesantren: Sebuah Studi Kasus

You might also like