You are on page 1of 9

ISSN : 2580-7544

Volume 4, No. 2, September 2020

MITOLOGI PEMENTASAN WAYANG SAPUH LEGER


DALAM ESTETIKA HINDU
I Nengah Juliawan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja
E-mail: camebinkjulian@gmail.com

ABSTRACT
Wayang (puppet) is a relic of the community life sector which was condensed because it
was sacred or considered sacred. the tradition of sapuh leger puppet show is a cultural heritage of
Balinese life which is traditional and considered sacred, so it includes wali (part of the ceremony)
held for religious ceremonies (manusia yajna), namely for children/people born in wuku
wayang.Tumpek Wayang is one of the puppets Hindu aesthetic day in Bali because it is believed in
the Tumpek Wayang is a manifestation of Sang Hyang Iswara so that for his analysis and efforts
humans are able to be creative in realizing Aikyam, Ciwam, Sundaram. The ritual activity as a form
of gratitude for Sang Hyang Taksu, which is often symbolized by the shadow puppet ceremony,
because it contains various elements of art or total theater, in this art, all the existence and essence
of the arts have been included. The meaning of the Tumpek Wayang, As we know life in the world is
always covered by two forces called Rwa Bineda, which of course exist on the side of human life, by
reflecting on tattwa, religious philosophy is able to bring human life to be more dignified. Because
the teachings or philosophies of religion will be able to enlighten the mind which will also be able to
create one's morality for the better.

Keywords: Teacher, Professionalism, Quality of Education

1. PENDAHULUAN
Sebuah fenomena menarik di Bali Wayang, demi keselamatan anaknya itu,
berkenaan tentang kelahiran anak pada hari masyarakat di Bali yang beragama Hindu
yang dianggap keramat yaitu pada waktu Wuku berusaha mengupacarainya dengan
Wayang. Fenomena tersebut diyakini oleh orang didahului mementaskan Wayang Sapuh
Bali bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut Leger berikut aparatusnya dipersiapkan
patutlah diupacarai lukatan (ruwatan) besar jauh lebih banyak (berat) dari perlengkapan
yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak yang sesajen jenis wayang lainnya.
diupacarai lahir bertepatan dengan waktu itu Geguritan Suddamala memperjelas
dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan tentang Tumpek wayang berdasarkan waktu
(buruan) Dewa Kala. Menurut lontar Sapuh jatuhnya hari tersebut yang sesuai dengan
Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin sistem penanggalan (kalender Bali) pada
kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang khususnya yakni, tepat pada Saniscara kliwon
yang dilahirkan pada wuku Wayang (cf. Gedong wuku wayang, dikenal dengan nama Tumpek
Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, Wayang dimana secara rincian hari yakni
apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan Saniscara merupakan hari terakhir pada
pada wuku perhitungan Saptawara, Kajeng adalah hari

74
MITOLOGI PEMENTASAN WAYANG SAPUH LEGER....(I Nengah Juliawan, 74-82)

terakhir pada perhitungan Triwara, kliwon yang yang menjadi dasar atau pijakan
adalah perhitungan terakhir dalam pancawara, masyarakat Bali atas kepercayaannya
dan Tumpek Wayang merupakan Tumpek terhadap pengaruh-pengaruh kelahiran anak
terakhir pada pawukon Bali, jadi Tumpek pada waktu-waktu tertentu yang dianggap
Wayang menjadi hari yang penuh dengan waktu special serta wajib mendapatkan perhatian
peralihan, oleh karena itu dipercaya oleh lebih guna menyelaraskan kehidupan Sekala
masyarakat khususnya di Bali bahwa anak yang (nyata) dan Niskala (astral).
lahir pada saat itu ditakdirkan menderita dan
dianggap dapat menyusahkan orang lain. 2. PEMBAHASAN
Tumpek Wayang merupakan tumpukan waktu- A. Mitologi Pementasan Wayang
waktu transisi. Waktu-waktu transisi itu adalah Sapuh Leger dalam Estetika Hindu
waktu yang sering mengacaukan keselamatan Pertunjukan wayang kulit di Bali secara
seseorang saat melakukan perjalanan untuk tradisional memang erat kaitannya dengan
melawan akibat keadaan yang tidak mendukung upacara penyucian atau pembersihan, ditandai
tersebut, orang Bali melakukan upacara dengan keterlibatannya pada setiap upacara.
penebusan dosa terhadap Anak yang yang lahir Wayang selalu hadir pada setiap upacara baik
pada Tumpek Wayang atau pada Wuku Wayang sebagai bagian (wali) maupun sebagai pengiring
diwajibkan diupacarai lukatan (pembersihan) (bebali) disamping jenis kesenian lainnya. Suatu
yang disebut “Sapuh Leger”, yang ditujukan hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa
agar terhindar dari buruan atau gangguan Dewa upacara sapuh leger selalu dikaitkan dengan
Kala. Tumpek Wayang merupakan manifestasi wayang?. Menurut Sunarto Timur (seorang ahli
Sanghyang Iswara yang berfungsi untuk pewayangan dan pemerhati budaya asal
menerangi kegelapan, memberikan pencerahan Surabaya) menyatakan bahwa budaya ruwatan
ke hidupan di dunia serta mampu dengan pertunjukkan wayang di Jawa ada tiga
membangkitkan daya seni dan keindahan. Dari faktor yang mendukung, antara lain: Tradisi,
karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali hak, sejarah, pasemon filosofik. Secara tradisi,
percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wayang merupakan suatu peninggalan sektor
wuku Wayang harus mendapatkan penyucian kehidupan masyarakat yang diadatkan karena
yang khusus dengan upacara sapuh leger serta disakralkan atau dianggap sakral, oleh sebab itu
menggelar wayang. sulit dihapus. Dalam perjalanan sejarahnya
Pertunjukan wayang kulit yang ada adalah suatu kenyataan bahwa asal mula
sampai saat ini kenyataannya tidak dapat wayang merupakan perabot sarana upacara
dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita keagamaan (ritus) pada zaman animisme nenek
mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya moyang kita. Sumber kajian filosofisnya,
dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan wayang sarat dengan perlambang atau makna
lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung simbolik mengenai kehidupan dunia melalui
tinggi oleh Umat Hindu yang ada di Bali. Secara siratan lakon atau perwatakan tokoh-tokoh
etika dan estetika pementasan Wayang Sapuh wayang itu sendiri, sehingga ada kemungkinan
Leger tidak seperti pementasan wayang pada untuk melakukan pangkajian filosofis terkait
umumnya seperti wayang kulit lainnya yang ada dengan makna kehidupan manusia.
di Bali, karena secara spiritnya, pementasan
Wayang Sapuh Leger bersifat sakral dan Tan Analogi dengan pernyataan diatas,
Wenang (tidak diizinkan) dipentaskan secara secara tradisi pertunjukkan wayang sapuh leger
profan. Hal-hal yang mengakibatkan aturan merupakan suatu peninggalan budaya
tersebut kembali pada sumber-sumber sastra kehidupan masyarakat Bali yang diadatkan dan

75
Volume 4, No. 2, September 2020 ISSN : 2580-7544

dianggap sakral, maka ia termasuk wali (bagian “Di bumi tepatnya di depan rumah Bale
upacara) diselenggarakan untuk upacara Gede, dibuatkan sebuah panggung atau
keagamaan (manusia yajna) yaitu untuk anak/ arena Hyang Trisamaya, digelar
orang yang lahir pada wuku wayang. pertunjukkan wayang memakai kelir,
Pertunjukkan ini berfungsi sebagai inisiasi yang Bhatara Iswara bertindak sebagai
dalang/pembicara, didampingi oleh
merupakan salah satu upacara ritus yang
Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu,
menyangkut keselamatan kehidupan umat
diiringi gamelan Gender dan kecapi,
manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini
menyanyikan lagu yang diikuti dengan gerak
sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dalam
tari yang menawan, menceritakan perjalanan
perilaku kehidupan sosial masyarakat Bali,
kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala
dengan peristiwa tetap secara periodik, Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca
berulang tiap-tiap 6 bulan (210 hari) menurut Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula
perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi. adanya wayang (ringgit) di bumi Jawa,
Lakon Dewa Kala (Batara Kala di Jawa) orang yang menonton sangat banyak”.
mendapat kedudukan yang istimewa dalam
kehidupan masyarakat Bali, karena lakon Sementara itu lontar Tantu
tersebut termasuk mitos yang diyakini dan Panggelaran juga menyebutkan tentang
dipercayai. Menurut Peursen, mitos adalah asal mula pertunjukkan wayang yang
sebuah cerita yang memberikan pedoman dan berasal dari dewa-dewa di sorga.
arah tertentu kepada sekelompok orang karena Adapun isinya adalah sebagai berikut:
mitos pada hakekatnya adalah cerita yang “Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu
mengandung berbagai simbol dan berkaitan umawara pandah Bhatara Kalarudra:
dengan hal-hal yang bersifat magis dan religius. tumurun maring madyapada hawayang sira,
Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, bahwa umucapaken tattwa Bhatara mwang Bhatari
ring bhuwana. Mapanggung maklir sira,
lakon Dewa Kala dalam pertunjukkan wayang
walulang inukir maka wayang nira,
sapuh leger adalah jenis cerita yang
kinudangan panjang langonlangon. Bhatara
mengandung pasemon filosofik dan berkaitan
Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang
dengan hal-hal yang bersifat magis-religius. Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana
Orang Bali secara mitologis menganggap masang gina hawayang, tineher
pertunjukkan wayang berasal dari dewa-dewa di habandagina hawayang: mangkana mula
sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan dalam dua kacarita nguni”.
naskah lontar yaitu lontar Siwagama dan lontar Dalam terjemahan bebas artinya
Tantu Panggelaran. “Para dewa menjadi takut, Siwa yang berwujud
Kalarudra berkeinginan akan membinasakan
Lontar Siwagama menyebutkan
segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma, dan
sebagai berikut:
Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke
“sinasa ring lemah, ryyarepaning
bumi dan mengadakan pertunjukkan wayang.
saluagung, ginaweken pnggung Hyang
Mereka menceritakan siapa sesungguhnya
Trisamaya, kumenaken kelirning
Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukkan itu
awayang Bhatara Iswara hudipan,
rinaksa de Sanghyang Brahma Wisnu, diadakan di atas panggung dengan kelir,

ginameling langon-langon, winahyaken sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari

lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai
Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira nyanyian yang menawan. Iswara bertindak
purwakaning hana ringgit ring Yawa sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan
mandala, tinonton ing wwang akweh”. Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan
Dalam terjemahan bebas artinya

76
MITOLOGI PEMENTASAN WAYANG SAPUH LEGER....(I Nengah Juliawan, 74-82)

bermain musik dan memainkan berbagai jenis kesenian seperti wayang,


wayang. Dengan ini terciptalah barong, rangda, topeng, dan segala jenis
suatu pertunjukkan wayang kulit”. gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai
bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang
Naskah lontar Siwagama dan Tantu Taksu yang sering disimboliskan dengan
panggelaran, cukup jelas menyebutkan upacara kesenian wayang kulit, karena ia
adanya pertunjukkan wayang lengkap dengan mengandung berbagai unsur seni atau teater
aparatusnya. Walaupun secara ekspilisit total, dalam berkesenian ini, semua eksistensi
disebutkan asal mula pertunjukkan wayang dan esensi kesenian sudah tercakup.
ada di Jawa (Yawa Mandala), namun secara Tumpek wayang merupakan cerminan
implisit mendekati bentuk pertunjukkan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan,
wayang kulit di Bali. Hal itu ditandai dengan kebodohan, keangkuhan, dan
digelarnya wayang kulit di tempat khusus keangkaramurkaan. Oleh sebab itu Dewa Siwa
(Bale Gede), dalang dibantu 2 orang kanan pun mengutus Sanghyang Samirana turun ke
dan kiri disebut katengkong/tututan, serta dunia untuk memberikan kekuatan kepada
menggunakan iringan/gamelan gender. Ketiga manusia yang nantinya sebagai mediator di
dewa (Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu) dalam menjalankan aktifitasnya. Orang yang
sampai sekarang diyakini oleh dalang-dalang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang
Bali membantu mensukseskan pertunjukkan atau Samirana. Sanghyang Iswara juga
wayang, hal ini jelas sekali tercantum dalam memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga
Dharma Pewayangan. mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya
Geguritan Suddamala. Tumpek (seperti tarik yang mampu memberikan sugesti kepada
membaca : sumpek) terdiri dari dua suku kata orang lain yaitu para penontonnya. Kekuatan
“tum” yang artinya kesucian dan “pek” yang inilah yang disebut dengan taksu maupun
artinya putus atau terakhir, jadi “tumpek” adalah raganya, karena didalam pementasan wayang
hari suci yang jatuh pada penghujung akhir kulit, seorang Dalang mampu menyampaikan
Saptawara dan pancawara seperti Saniscara cerita yang penuh dengan filsafat humor, kritik,
Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang. saran, serta realita kehidupan sehari-hari
Tumpek Wayang merupakan salah satu hari sehingga para penonton membius alam
estetika Hindu di Bali karena diyakini dalam pikirannya dan muncullah kekuatan sugesti dari
Tumpek Wayang merupakan menifestasi dari diri masing-masing. Oleh karena itu kehidupan
Sang Hyang Iswara sehingga atas analisis dan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak
usahanya manusia mampu untuk berkreasi hanya memelihara fisik semata namun perlu
dalam mewujudkan Aikyam, Ciwam, Sundaram. keseimbangan antara fisik dan mental spiritual
Senada dengan beberapa refrensi yang telah yang mana banyak tercermin di dalam
dikemukakan, di dalam sumber kutipan kalender pelaksanaan atau perayaan Tumpek Wayang
bali digital, juga ditambahkan upacara yadnya bagi umat Hindu yang dirayakan setiap enam
ini juga disebutkan berkenaan dengan kesenian bulan (210 hari).
khususnya wayang, yang persembahannya Makna dari Tumpek Wayang,
kehadapan Bhatara Iswara untuk memohon agar Sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia
kesenian tersebut lestari, menyenangkan, selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut
bertuah yang dirayakan setiap dina saniscara Rwa Bineda, yang sudah tentu ada pada sisi
kliwon wuku wayang, dimaknai dengan ‘’hari kehidupan manusia, dengan bercermin dari
kesenian’’ karena hari tersebut secara ritual tatwa, filsafat agama mampu membawa
diupacarai (kelahiran) kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.

77
ISSN : 2580-7544
Volume 4, No. 2, September 2020
Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu kali diciptakan, setelah yang baik-baik
akan memberikan pencerahan kepada pikiran diciptakan, maka kemudian Bhatari Uma
yang nantinya mampu pula menciptakan berubah rupa menjadi Bhatari Durgha dan
moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi Pretenjala juga berubah rupa menjadi
aktifitas agama sehari-hari kita mendapatkan air Bhatara Kala ini, lalu bersama-sama
suci kehidupan melalui tirta pengelukatan yang menciptakan segala jenis bhuta kala
berfungsi untuk ngeruak atau melebur dosa di dengan segala penyakit serta godaan-
dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang godaan yang ditimbulkan, sehingga di alam
Dalanglah yang mendapat anugerah untuk semesta ini terjadilah ketidak harmonisan
melukat diri manusia baik alam pikirannya antara sifat baik dan buruk (Rwa Bhineda).
maupun raganya. Anak yang lahir tepat pada Sebagaimana yang disebutkan juga,
tumpek wayang ini, disebutkan sebaiknya Palinggih Bhatara Kala, putra Dewa Siwa ini
mengadakan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh yang berada di Merajan dengan Bhiseka Ratu
Leger yang bertujuan untuk keselamatan dari Ngurah dan Pengapit Lawang (dua buah di kiri-
Dewa Kala. kanan Pamedal Agung) disebutkan bertugas
Orang yang lahir pada Wuku Wayang menjadi pecalang atau penjaga Sanggah
(lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan Pamrajan sebagai tempat suci pekarangan
hari kelahiran yang cemer, mala serta melik rumah. Dewa Siwa yang menyamar sebagai
(kepingit). Kebanyakan orang tua yang pengembala, merasa bertanggung jawab
mempunyai anak lahir pada wuku wayang dengan penyamarannya dan mengakui Dewa
merasakan ketakutan dan was was atas Kala sebagai putranya. Atas pertanyaan Dewa
kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan Kala makanan apa yang bisa disantap, Dewa
yakin dengan adanya cerita Geguritan Siwa memberi Ijin kepada putranya orang yang
Suddamala yang menceritakan ; Dewa Siwa lahir menyamai kelahiran Dewa Kala itu sendiri.
pura pura sakit keras , dan mengutus Dewi Uma Ternyata, putra siwa berikutnya yakni Rare
mencari susu dari Lembu Putih dialam fana Kumare lahir pada Tumpek Wayang. Dewa Kala
sebagai obat, dan sebelum susu didapat Dewi mengetahui bahwa Dewa Rare Kumara putra
Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka, bungsu dari Dewa Siwa lahir pada wuku
Sang dewi sangat patuh melaksanakan wayang. Pada suatu hari bertepatan pada wuku
perintahnya, singkat cerita Dewi Uma wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa
menemukan Lembu Putih tersebut, ternyata Kala hendak dimakannya. Dewa Rare Kumara
untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus lari kesana ke mari menghindarkan dirinya dari
melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus tangkapan Dewa Kala. Ketika tengah hari tepat,
mengorbankan kehormatannya dengan si dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan
gembala, atas perbuatannya itu Dewa Siwa Dewa Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara
mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durga, Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh
berujud raksasa dan tinggal di Setra karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Dewa
Gandamayu. Selanjutnya dari hubungan itu Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini
lahirlah seorang anak bermasalah yaitu Dewa disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah
Kala sosok makhluk raksasa yang hari tepat dalam wuku wayang.
menyeramkan yang konon lahir pada Saniscara
Kliwon Wuku Wayang (Tumpek Wayang) dan Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela
merupakan putra dari Dewa Siwa dengan Dewi dimakan oleh putranya Dewa Kala, dengan
Durga. Sebagaimana disebutkan dalam syarat Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan
mithologi caru, ketika alam semesta ini pertama

78
MITOLOGI PEMENTASAN WAYANG SAPUH LEGER....(I Nengah Juliawan, 74-82)

menerka ini serangkuman sloka yang Kala telah memakan sesajen wayang itu sebagai
diucapkan Dewa Siwa. Bunyi sloka tersebut : tebusannya. Dewa Kala tidak lagi berdaya
“ Om asta pada sad lungayan, Catur melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa
puto dwi puruso, Eko bhago muka Rare Kumara akhirnya selamat.
enggul, Dwi crengi sapto locanam” Dengan demikian dikisahkan Dewa Rare
Kumara sebagai mitologi bahwa anak yang lahir
Dewa Kala pun segera menterjemahkan pada hari yang bertepatan dengan Wuku
sloka itu serta menerka maksudnya ; “Om asta Wayang dianggap anak sukerta dan akan
pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yaitu menjadi santapan Bhatara Kala, karena itu anak
kaki Dewa Siwa enam kaki Dewi Uma dua, bersangkutan harus dilukat dengan tirta
semuanya delapan, “Sad Lungayan, tangan Wayang Sapuh leger. Kata “Sapuh Leger” di
enam yaitu tangan Dewa Siwa empat, tangan Bali secara khusus dihubungkan dengan
Dewi Uma dua semua enam, “ Catur puto, buah pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk
kelamin laki-laki empat, yaitu buah kelamin pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat
Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu pada wuku wayang dalam siklus kalender
dua,semuanya empat, “ Dwi puruso, dua tradisional Bali. Istilah sapuh leger berasal dari
kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kata dasar “sapuh” dan “leger”, dalam kamus
kelamin lembu satu, semuanya dua, “ Eka Bali-Indonesia, terdapat kata sapuh yang artinya
bhago, satu kelamin perempuan yaitu kelamin membersihkan, dan kata leger bersinonim
Dewi Uma, “ Dwi crengi dua tanduk yaitu tanduk dengan kata leget (bahasa jawa) yang artinya
lembu, “ Sapto locanam, tujuh mata yaitu mata tercemar atau kotor. Sehingga secara harfiah
Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata sapuh leger yang diartikan pembersihan atau
lembu dua, yaitu hanya enam mata tidak tujuh, penyucian dari keadaan tercemar atau kotor.
mana lagi saya tidak tahu. Dewa Siwa bersabda Secara keseluruhan, wayang sapuh leger adalah
mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada suatu drama ritual dengan sarana pertunjukkan
satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan
seluruh alam ditutup dengan cudamani. atau penyucian diri seseorang akibat tercemar
Akhirnya Dewa Kala tidak dapat menerka atau kotor secara rohani. Secara ritual upacara
dengan sempurna ini sloka itu, tambahan pula pemurnian dinamakan lukat/ nglukat, yaitu
matahari condong kebarat, maka Dewa Kala suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta)
tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya. yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (ida
pedanda) maupun seorang dalang (Mangku
Karena itu Dewa Kala meneruskan Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan
pengejaran kepada Dewa Rare Kumara yang mala (kekotoran) rohani seseorang.
telah jauh larinya masuk ke halaman rumah-
rumah orang. Akhirnya, pada malam hari Di masyarakat berkembang adanya suatu
bertemu dengan seorang dalang yang sedang pertanyaan sekaligus pendapat tentang hal itu, yaitu
mengadakan pertunjukan wayang, Rare Kumara yang benar dan patut tentang “dalang brahman atau
masuk ke bumbung (pembuluh bambu) gender brahmana dalang”. untuk hal itu, disamping sebagai
wayang (musik wayang) dan Dewa Kala karena wujud bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida
lapar yang ia rasakan lantas memakan sesajen Sang Hyang Widhi Wasa dan juga sebagai
wayang tersebu, oleh karena itu, Ki Mangku pelaksanaan bhakti sosial kehadapan umat hindu juga
Dalang menasehati Dewa Kala agar jangan untuk memberikan pemahaman kehadapan umat
meneruskan niatnya hendak memakan Dewa hindu tentang pelaksanaan upacara Sapuh
Rare Kumara, karena Dewa

79
ISSN : 2580-7544
Volume 4, No. 2, September 2020
Leger baik dari segi tata laksana proses dan 2. Watang Sapuh Leger wajib dilengkapi
yang berhak dan berkewenangan untuk dengan sesajen (banten) yang secara
“muput”. Sesuai dengan apa yang disebutkan di khusus meliputi pohon pisang (gedebong)
depan tentang pemberian suatu pemahaman berikut buah jantungnya, serta berbagai
perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada sesajen lainnya sebagai pelengkap inisiasi
kesempatan ini disampaikan beberapa hal yang dalam pertunjukan wayang Sapuh Leger.
harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang
3. Wayang Sapuh Leger hanya boleh
yang berkewenangan sebagai pemuput dan
dipergelarkan oleh seorang dalang
dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai
yang telah disucikan (Ki Mangku
berikut : Dalang seharusnya seorang Dalang
Dalang/Sang Mpu Leger) dan
Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai
memahami isi lontar Dharma
Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang
Pewayangan dan lontar Sapuh Leger.
yang disebut Ida Mpu Leger. Beliau adalah
seorang Mpu Leger yang mampu dan paham Sesuai dengan apa yang disebutkan
serta menguasai Ketattwaning/Dharma dalam beberapa lontar penunjang, khususnya
Pewayangan.Beliau juga tahu dan paham serta Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping
menguasai mantram pengelukatan seperti : Agni juga atas petunjuk dan hasil wawancara (baca:
Nglayang,Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger
Leger serta mantram pengelukatan tentang pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton
lainnya.Beliau memang benar-benar mampu dan Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa
menguasai Gagelaran (pertunjukan) sebagai untuk upacaranya sebagi berikut :
seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala Secara umum untuk upakara yang dimaksud
tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas adalah dihaturkan kehadapan-Nya bagi sang
dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya maweton secara keseluruhan antaranya :
sebagai Sang Satya Wadi, Sang Apta, Sang 1. Ngadegang Sanggar Tuttuan /
Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa (siwa- Tawang (sanggar tawang ).
sadha siwa-parama siwa). 2. Ring Sor Surya : Caru mancasata
3. Banten Panebasan san Maweton
4. Banten arepan Kelir
B. Sarana dan Prasarana dalam 5. Ring Lalujuh Kelir
Pementasan Wayang Sapuh Leger 6. Banten Sang Dalang Mpu Leger :
Ada 3 jenis pertunjukkan wayang yang
Bebangkit Asoroh
mendapat kedudukan istimewa diantara jenis
7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku
wayang lainnya, yakni: Wayang Sapuh Leger,
Suddhamala
Wayang Lemah, dan Wayang Sudamala yang
8. Tebasan Sungsang Sumbel
dianggap sakral karena memiliki fungsu
9. Tebasan Sapuh Leger
ngruwat, namun diantara ketiga wayang itu,
10. Tebasan Tadah Kala
wayang sapuh leger yang dikatagorikan
11. Tebasan Penolak Bhaya
paling istimewa, kenyataan ini didukung oleh
12. Tebasan Pangenteg Bayu
ciri-ciri spesifik antara lain:
13. Tebasan Pengalang Hati
1. Wayang Sapuh Leger menggunakan 14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan
repertoar khusus yakni Bhatara Kala, 15. Daksina Panebusan Bhaya
suatu mitos yang diyakini ada dan 16. Medudus Luwun setra lan luwun
sangat menakutkan serta berbahaya. pempatan, luwun pasar
17. Gumpang injin

80
MITOLOGI PEMENTASAN WAYANG SAPUH LEGER....(I Nengah Juliawan, 74-82)

18. gumpang ketan f. Wetu Sukra (hari jumat) : Sesayut Raja


19. gumpang padi Kusuma Jati / Wilet Jaya Raja Dira
20. rambut Ida Pandita lan menyan g. Wetu Saniscara (hari sabtu) :
21. Suci pejati lan segehan panca Sesayut Gni Bang Kusuma Jati /
warna ditempatkan di pane Kusuma Gandha Kusuma

Semua proses ini dilakukan didepan Gelar Wayang Sapuh Leger pada saat
angkul-angkul (pintu masuk) baru dilanjutkan tumpek wayang bersifat religius, magis, dan
dengan pelukatan (pembersihan) secara spiritual. Simbol-simbol tersebut terungkap baik
bersama-sama ring pemedal lebuh (tepat di lewat lakon sekian artistik maupun sarana-
depan pintu masuk rumah). prasarana yang digunakan. Maknanya
Tirta pemuput : mengendap dan menjadikan sistem nilai budaya
1. Tirta Kelebutan berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi perilaku
2. Tirta Campuan masyarakat Bali khususnya Agama Hindu.
3. Tirta Segara Wayang Sapuh Leger berfungsi
4. Tirta Melanting sebagai pemurnian bagi anak atau orang yang
5. Tirta Pancuran lahir pada tumpek wayang. Sehari sebelum
6. Tirta Tukad Teben Seme/Setra tumpek wayang masyarakat Hindu dibali
7. Tirta Padmasari ring Sekrtariat melakukan upacara Meselat Pandan. Daun
8. Tirta Merajan soang soang pandan yang digunakan bukan daun pandan
9. Tirta Pengelukatan Wayang yang biasa seperti umumnya namun daun
10. Tirta Jagat Nata pandan berduri yang dipercaya mempunyai
11. Tirta Pemuput/ Sulinggih kekuatan magis. Menciptakan keseimbangan
alam adalah membangun masa depan umat
Secara khusus disamping upakara manusia, sewajarnyalah manusia menghargai
secara umum di atas, untuk masing-masing dari segenap pribadinya. Untuk itu melalui sebuah
mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus tradisi sacral ini yakni Penglukatan atau
sesuai hari kelahiran, antaranya berupa Pengruatan, akan mampu menjadikan
: Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 manusia yang sempurna.
asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran,
sesayut pengenteg bayu, merta utama, pageh III. PENUTUP
urip dan disurya munggah Suci pejati, Bungkak Wayang Sapuh Leger merupakan
Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan representative dari sebuah penciptaan seni atau
dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan estetika dimana disetiap unsurnya merupakan
kelahiran dalam wuku wayang sebagai berikut: sebuah keindahan, yang diawali dari analisis
a. Wetu Redite (hari minggu) : Sesayut Sweka usul lampaan (cerita) yang diperoleh dari
Kusuma beberapa literasi sastra Hindu serta sarana dan
b. Wetu Soma (hari senin) : Sesayut prasarananya yang menyimbolkan estetika
Nila Kusuma Jati / Citarengga taksu jangkep (lengkap/sempurna), semua hal
c. Wetu Anggara (hari selasa) : Sesayut tersebut tidak lepas dari ajaran Agama Hindu
Jinggawati Kusuma / Carukusuma yakni tentang tiga penggambaran sifat manusia
d. Wetu Budha (hari rabu) : Sesayut yaitu sifat satwam,sifat rajas dan sifat tamas.
Pita Kusuma Jati / PurnasukaWetu Ketiga sifat itu ada dalam diri manusia. Hanya
e. Wraspati (hari kamis) : Sesayut Pawal yang menjadi titik permasalahan, dari ketiga
Kusuma Jati / Gandha Kusumajati sifat tersebut, sifat mana yang lebih ditonjolkan

81
Volume 4, No. 2, September 2020 ISSN : 2580-7544

pada diri manusia. Jika sifat satwam yang bayu saja. Karena manusia memiliki tri
ditonjolkan maka sifat Dewa Rare Kumara yang pramana itulah sebabnya manusia
lebih dominan ditampilkan, dimana sifat Dewa dikatakan makhluk yang paling sempurna.
Rare Kumara penuh dengan sifat welas asih,
suka menolong dan penyayang, sehingga Dewa DAFTAR PUSTAKA
Rare Kumara menjadi suatu keyakinan serta
kepercayaan bagi wanita Bali yang mempunyai Lontar Kala Purana (Pusdok Denpasar
anak kecil, bahwa Dewa Rare Kumara yang lembaran 1 s/d 89).
membantu dan memelihara anak mereka. Hal ini Lelampahan Wayang Sapuh Leger (K
dapat dibuktikan dengan adanya Pelangkiran 2244) 1 s/d 100 dan bebantenannya.
(tempat suci yang terbuat dari kayu) sebagai Lontar Siwagama
tempat memuja Dewa Rare Kumara, Kidung Sapuh Leger (645).
ditempatkan di kamar tidur si anak. Begitu pula Geguritan Suddamala
sebaliknya, jika sifat rajas dan tamas yang lebih Ida Bagus Puja. “Pedoman Pelaksanaan
dominan pada diri manusia maka sifat Dewa Bebayuhan Sapuh Leger”
Kala yang akan ditampilkan sehingga Warespati Tatwa lan Bebayuhan Oton
cenderung akan bersifat angkuh, rakus dan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger
egoisme. MGPSSR Kecamatan Gianyar 2010
Didalam cerita sapuh leger diungkapkan I Dewa Ketut Wicaksana. “Wayang
Betara Kala hanya mampu menebak dari badan Sapuh Leger Fungsi dan
fisik Dewa Siwa, seperti kaki beliau, tangan Maknanya dalam Masyarakat Bali”
beliau, alat kelamin beliau dan sebagainya. Akan
tetapi, Dewa Kala tidak mampu menebak mata
ketiga dari Dewa Siwa. Kalau kita analisis
kembali cerita sapuh leger bahwa Dewa Kala
hanya mampu melihat badan fisik dari Dewa
Siwa, tetapi tidak mampu melihat dunia yang
ada di luar kekuatan diri manusia atau kekuatan
Tuhan. Sama halnya dengan manusia yang
dipengaruhi oleh keinginan dan hawa nafsu dia
hanya mampu melihat alam sekala (alam nyata)
tetapi tidak mampu melihat alam niskala (alam
maya). Manusia wajib menjaga keseimbangan
ekosistem, sehingga kehidupan dapat berjalan
serasi dan harmonis. Salah satu dari komponen
ekosistem rusak atau terganggu, maka akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Di
alam ini yang termasuk makhluk hidup adalah
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Manusia dikatakan memiliki tri pramana (tiga
unsur kehidupan), yaitu bayu (tenaga), idep
(pikiran) dan sabda (suara). Binatang memiliki
dwi pramana yaitu bayu dan sabda, sedangkan
tumbuh-tumbuhan memiliki eka pramana yaitu

82

You might also like