Professional Documents
Culture Documents
Karakteristik IndustriSelulosa
Nanoserat dari Ampas …………………………
Pertanian
23 (1):38-45 (2013)
ABSTRACT
Cellulose nanofibers were isolated from cassava pulp. The objectives of this study were to study the
physical properties of cellulose nanofibers and to determine the effect of its application as filler on mechanical
properties of tapioca-film produced. Cellulose nanofibres from cassava pulp were obtained through a series of
chemical treatments (alkali treatment and bleaching) and mechanical treatment (high velocity mixer). The
cassava pulp cellulose nanofibers were treated to have diameters in the range of 20-30 nm and estimated lengths
of several micrometers. Zeta potential measurement indicated that cellulose nanofibers suspension had good
stability. Fourier Transform Infrared (FTIR) spectroscopic of cellulose nanofibers demonstrated that the
chemical treatment led to partial removal of hemicelluloses and lignin from the structure of fibers. XRD results
revealed that chemical treatment also improved crystallinity of fibers to 33.25% . It was observed that the
addition of fiber improved of tensile strength of films. The highest tensile strength of film was achieved by the
addition of 3% cellulose nanofibers (22.41 MPa). The addition of cellulose nanofibers up to 3% had no effect on
elongation at break of the film.
Keywords: cellulose nanofibers, cassava pulp, tapioca-film
ABSTRAK
Nanoserat selulosa telah diisolasi dari ampas tapioka dengan tujuan untuk mempelajari sifat fisiknya
dan untuk mengetahui pengaruh aplikasinya sebagai bahan pengisi terhadap sifat mekanis film tapioka yang
dihasilkan. Nanoserat selulosa diperoleh melalui serangkaian metode kimiawi (perlakuan alkali dan pemucatan)
dan mekanis (mixer berkecepatan tinggi). Diameter nanoserat selulosa yang diperoleh berukuran 20-30 nm dan
panjangnya diperkirakan beberapa mikrometer. Pengukuran zeta potential menunjukkan bahwa suspensi
nanoserat selulosa memiliki kestabilan yang baik. Pengamatan menggunakan spektroskopi Fourier Transform
Infrared (FTIR) menunjukkan bahwa perlakuan kimia menyebabkan penghilangan sebagian hemiselulosa dan
lignin dari struktur serat. Hasil XRD mengungkapkan bahwa perlakuan kimia juga meningkatkan kristalinitas
serat, yaitu menjadi 33,25%. Penambahan nanoserat selulosa dapat meningkatkan kuat tarik film tapioka. Kuat
tarik tertinggi film dicapai pada penambahan nanoserat selulosa 3% (22,41 MPa). Penggunaan nanoserat selulosa
sampai 3% tidak berpengaruh terhadap pemanjangan putus film.
Kata kunci: nanoserat selulosa, ampas tapioka, film tapioka
Penggunaan serat asal limbah pertanian hot plate stirrer, termometer, cetakan film, dan
selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga cabinet dryer.
diharapkan dapat mengurangi eksploitasi hutan
untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri. Isolasi Nanoserat Selulosa
Selain itu, limbah pengolahan hasil pertanian pada Sebanyak 10 g ampas tapioka lolos ayak
umumnya juga mengandung sedikit lignin karena 100 mesh direndam dan diaduk dalam larutan KOH
sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga 4% pada suhu 80oC satu jam. Selanjutnya bahan
memudahkan dalam mengekstraksi serat. Salah satu dipucatkan (bleaching) sebanyak dua kali dengan
sumber serat yang berasal dari limbah industri NaClO2 5% pada suhu 70oC masing-masing selama
pertanian adalah ampas tapioka (onggok). 1 jam sambil diaduk. Bahan setelah dicuci kembali
Ampas tapioka merupakan sisa ekstraksi diberi perlakuan alkali dengan KOH 4% pada suhu
industri tapioka. Ekstraksi tapioka dari 100 kg ubi 80oC selama selama satu jam, kemudian dicuci
kayu menghasilkan tapioka kasar sekitar 22 kg dan untuk menghilangkan residu alkali. Tahap akhir
limbah padat berupa ampas sebanyak 54,5 kg (Fauzi berupa perlakuan mekanis, bahan dihomogenisasi
et al., 2010). Ampas tapioka hasil samping industri menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm
tapioka di Indonesia di tahun 2011 mencapai selama 10 menit.
11.328.986 kg (BPS, 2013). Komponen utama Pembuatan Film
ampas tapioka adalah pati sisa ekstraksi (± 60% Film dibuat dengan metode casting, yaitu
basis kering) dan serat (±18 % basis kering) pencetakan pada pelat cetakan dan dikeringkan,
(Rattanachomsri et al., 2009). Berdasarkan data sehingga terbentuk lembaran film. Tapioka sebanyak
tersebut, maka serat yang berasal dari ampas tapioka 5% (basis kering) dipanaskan dalam akuades pada
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku suhu 80oC sambil diaduk selama 15 menit.
industri untuk produk tertentu, misalnya sebagai Nanoserat selulosa ditambahkan sebanyak 0%, 1%,
bahan penguat plastik. 2%, dan 3% dari berat kering tapioka. Sorbitol
Perkembangan aplikasi nanoteknologi di ditambahkan sebanyak 1% dari total larutan film.
berbagai bidang, menarik peneliti untuk mengisolasi Larutan film dituangkan ke permukaan cetakan
serat berukuran nano. Penggunaan nanoserat dengan ketebalan ± 5 mm. Pengeringan dilakukan
selulosa dalam film tapioka diharapkan dapat pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan
meningkatkan efisiensi penguatan akibat perubahan cabinet dryer. Film yang terbentuk selanjutnya
sifat fungsional bahan, terkait dengan perubahan dilepas dari cetakan dan disimpan dalam wadah
sifat dispersinya (Lin et al., 2009) dan peningkatan kedap udara. Film dengan bahan pengisi ampas
luas permukaan total bahan pengisi yang dapat tapioka juga dibuat sebagai pembanding. Ampas
memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih tapioka lolos ayak 100 mesh digunakan sebanyak
besar dengan bahan lain (Liang dan Pearson, 2009). 1%, 2%, dan 3% dari berat kering tapioka.
Oleh karena itu, penelitian tentang aplikasi nanoserat
selulosa dari ampas tapioka sebagai bahan pengisi Karakterisasi Nanoserat Selulosa dan Film
film berbasis tapioka menarik untuk dilakukan. Tapioka
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik Sifat fisik ampas tapioka dan nanoserat
nanoserat selulosa dari ampas tapioka dan untuk selulosa yang diamati meliputi morfologi serat, nilai
mengetahui pengaruh aplikasinya sebagai bahan zeta potential, spektra inframerah, dan difraksi sinar
pengisi terhadap sifat mekanis film tapioka yang X. Sifat mekanis film yang diamati meliputi kuat
dihasilkan. tarik dan pemanjangan putus film.
A B C
Gambar 1. Pengamatan morfologi ampas tapioka perbesaran 100 x dengan menggunakan SEM (A), nanoserat
selulosa perbesaran 20.000 x (B), dan 100.000 x (C) dengan menggunakan TEM
Diameter nanoserat selulosa yang diperoleh Teixeira et al. (2009) menggunakan hidrolisis asam
Teixeira et al. (2009) sebesar 2–11 nm, dengan untuk menghasilkan nanoserat selulosa. Perlakuan
panjang 360-1.700 nm. Perbedaan perlakuan asam menyebabkan serat lebih terdisintegrasi
hidrolisis menghasilkan bentuk serat yang berbeda. (Cherian et al., 2010). Berdasarkan bentuknya,
nanoserat selulosa yang dihasilkan dari penelitian ini nanoserat selulosa memiliki kestabilan yang baik (Si
dapat digolongkan sebagai nanofibrils, pada dan Samulski, 2008; Silva et al., 2012). Suspensi
umumnya berdiameter 10-40 dengan panjang >1.000 nanoserat selulosa yang diperoleh tidak mudah
nm (Siró dan Plackett, 2010). mengendap. Keadaan ini jauh berbeda dengan ampas
Perlakuan alkali dan suhu tinggi tapioka yang sangat mudah mengendap jika
menyebabkan hemiselulosa terhidrolisis dan larut disuspensikan dalam air. Kondisi yang mudah
dalam air. Perlakuan bleaching membantu mengendap ini terkait dengan ukuran partikel ampas
menghilangkan sebagian besar lignin. Lignin tapioka yang masih relatif besar. Partikel berukuran
teroksidasi oleh klorin menyebabkan terdegradasi besar memiliki muatan permukaan partikel yang
dan terbentuk gugus hidroksil, karbonil, dan rendah, menyebabkan partikel lebih mudah
karboksilat, sehingga mudah larut dalam medium berinteraksi dengan partikel lain, sehingga mudah
alkali (Cherian et al., 2010). Hilangnya hemiselulosa mengendap (Elanthikkal et al., 2010).
dan lignin yang mengikat serat, menyebabkan serat
berukuran nano terlepas dari berkas serat yang besar. Spektra Inframerah Nanoserat Selulosa
Perlakuan mekanis digunakan untuk membelah serat Analisis inframerah dilakukan untuk
hingga diameternya lebih kecil dan pendek serta mengetahui keberadaan gugus fungsional tertentu
dapat meningkatkan pemisahan kumpulan nanoserat dalam bahan terkait dengan senyawa lignin,
selulosa (Cao et al., 2012). hemiselulosa, dan selulosa, serta perubahannya
setelah perlakuan yang diberikan. Hasil pengamatan
Zeta Potential Nanoserat Selulosa spektroskopi inframerah menggunakan spektrometer
Zeta potential (ZP) merupakan parameter FTIR dapat dilihat pada Gambar 2.
penting untuk mengetahui kestabilan dispersi Spektrum FT-IR ampas tapioka
partikel dalam suatu suspensi. Suspensi yang stabil memperlihatkan adanya absorpsi inframerah pada
ditunjukkan oleh nilai ZP yang besar, menunjukkan bilangan gelombang 1734,75 cm-1yang diduga
adanya gaya tolak-menolak yang besar antara berasal dari vibrasi regangan C=O. Daerah 1765-
partikel yang satu dan partikel lain dalam suatu 1715 cm-1 pada spektrum FT-IR merupakan daerah
sistem suspensi. Nilai ZP yang tinggi juga vibrasi regangan C=O dari gugus asetil dan gugus
menunjukkan kapasitas dispersi yang tinggi (Tonoli ester uronat dari pektin, hemiselulosa atau ikatan
et al., 2012). ester gugus karboksilat asam ferulat (ferulic) dan p-
Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa kumarat (p-coumaric) dari lignin dan/atau
ZP nanoserat selulosa sebesar 46,47 mV. Nilai ZP hemiselulosa (Abraham et al., 2011; Mandal dan
lebih dari ± 40 mV menunjukkan bahwa suspensi Chakrabarty, 2011; Sundari dan Ramesh, 2012).
Gambar 2. Spektrum FT-IR ampas tapioka sebelum perlakuan (A) dan setelah perlakuan kimiawi (B)
Ampas tapioka juga menunjukkan absorpsi khususnya berasal dari gugus aryl (Abraham et al.,
inframerah pada bilangan gelombang 1423,65 cm-1 2011; Mandal dan Chakrabarty, 2011; Rosa et al.,
yang diduga berasal dari vibrasi regangan C=C pada 2012). Pita absopsi tersebut tampak melemah
cincin aromatik lignin (Alemdar dan Sain, 2008) dan bahkan ada yang tidak muncul lagi pada spektrum
pada bilangan gelombang 1244,56 cm-1 yang diduga nanoserat selulosa. Kondisi tersebut menunjukkan
berasal dari vibrasi cincin aromatik pada lignin bahwa terdapat deformasi struktur lignin dan
hemiselulosa akibat perlakuan kimiawi yang yang berdekatan (Sheltami et al., 2012). Kristalinitas
diberikan. ampas tapioka sebelum dan setelah perlakuan yang
Keberadaan selulosa juga dapat diduga dari diperoleh dalam penelitian ini adalah 14,52% dan
munculnya sinyal pada bilangan gelombang sekitar 33,25%. Peningkatan kristalinitas ini disebabkan
895,86 cm-1. Peningkatan intensitas sinyal pada oleh penurunan komposisi serat yang bersifat amorf
bilangan gelombang tersebut merupakan pola khas akibat perlakuan kimiawi.
adanya struktur selulosa (Alemdar dan Sain, 2008). Perlakuan kimiawi diarahkan untuk
Absorpsi inframerah pada bilangan gelombang menghilangkan hemiselulosa, lignin, pektin, yang
sekitar 900 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ikatan merupakan komponen serat yang berkontribusi
β glikosida di antara unit glukosa dalam selulosa terhadap bagian amorf serat (Morán et al., 2008).
(Adel et al., 2010; Mandal dan Chakrabarty, 2011). Bagian amorf lebih mudah terhidrolisis
Pola difraksi sinar X ampas tapioka dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga
sebelum proses kimiawi dan setelah proses kimiawi perlakuan hidrolisis menyebabkan serat menjadi
untuk menghasilkan nanoserat selulosa dapat dilihat lebih kristalin (Elanthikkal et al., 2010). Perlakuan
pada Gambar 3. Difraktogram ampas tapioka dengan alkali, dalam hal ini KOH, dapat
memperlihatkan dua puncak utama pada 2θ = 17 o menghilangkan residu pati, hemiselulosa, dan pektin,
dan 2θ = 22,9o, sedangkan pada ampas tapioka sedangkan bleaching dengan NaClO2 dapat
setelah perlakuan kimiawi memperlihatkan puncak mereduksi lignin, sehingga lebih mudah larut dalam
utama pada 2θ = 15o dan 2θ = 22o. Difraktogram larutan alkali (Abe dan Yano, 2009).
memperlihatkan puncak difraksi sinar-X selulosa
alami yang tajam pada daerah sekitar 2θ = 22o (Adel Sifat Mekanis Film Tapioka
et al., 2011; Cherian et al., 2011). Nanoserat selulosa yang dihasilkan
Perubahan pada intensitas puncak difraksi diaplikasikan sebagai bahan pengisi film tapioka
menunjukkan terjadi perubahan pada struktur Kristal dengan tujuan untuk memperbaiki sifat mekanis film
atau keteraturan rantai molekul selulosa (Chen et al., yang dihasilkan. Hasil pengukuran terhadap sifat
2011; Elanthikkal et al., 2010). Intensitas puncak mekanis film, meliputi kuat tarik dan pemanjangan
difraksi ampas tapioka yang telah diberi perlakuan putus disajikan pada Gambar 4. Penambahan ampas
tampak lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan, tapioka dan nanoserat selulosa menunjukkan
menunjukkan bahwa kristalinitasnya lebih tinggi. pengaruh yang sangat nyata berdasarkan analisis
Kristalinitas yang tinggi mencirikan susunan rantai sidik ragam. Mekanisme penguatan terkait
polimer dalam bahan tersusun secara teratur atau kemampuan serat dalam membentuk struktur
kisi-kisi kristal lebih sempurna (Lu dan Hsieh, jaringan penguat dalam matriks film, sehingga
2010). Struktur kristal terbentuk akibat adanya memungkinkan terjadi peralihan beban dari matriks
interaksi ikatan hidrogen melalui gugus hidroksil ke serat, apabila film terkena gaya mekanis (Bilbao-
intramolekuler dan ekstramolekuler pada selulosa Sainz et al., 2011).
Gambar 3. Difraktogram ampas tapioka sebelum (A) dan setelah perlakuan kimiawi (B)
25
22,41 a
3.00
19,55 b
20
16,69 c Ampas 2.50 2,22 2,19 2,16
Ampas
2,57 Tapioka
15 Serat 2.00
Nanoselulosa
14,73 c 2,07 Serat
1.50 1,81 Nanoselulos
12,65 d
10 11,93 d12,54 d 1,63 a
1.00
5
0.50
0 0.00
0 1 2 3 0 1 2 3
Penambahan Serat (%) Penambahan Serat (%)
A B
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Gambar 4. Pengaruh penambahan ampas tapioka dan nanoserat selulosa terhadap kuat tarik (A) dan
pemanjangan putus film tapioka (B)