Professional Documents
Culture Documents
NUNIK RACHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Nunik Rachmawati
NRP A156100254
ABSTRACT
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN
MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN MAJALENGKA
NUNIK RACHMAWATI
TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER SAINS
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, M. Si.
Judul Tesis : Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam
Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka
Nama : Nunik Rachmawati
NRP : A156100254
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Didit Okta Pribadi, SP. M.Si.
Ketua Anggota
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pembangunan
Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di
Kabupaten Majalengka dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Didit Okta Pribadi, SP., M.Si. selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan
bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini
2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini
3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan
beasiswa yang diberikan kepada penulis
5. Pemerintah Kabupaten Majalengka yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini
6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 dan
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini
Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada suamiku Dudung
Abdurrohman, SP. dan anakku Aisyah Nurlathifah A. beserta seluruh keluarga,
atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan
selama ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga
dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya,
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih.
Nunik Rachmawati
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………….... v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………...……... viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….......... x
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………. 6
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 9
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………... 9
1.5. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 9
1.6. Pengertian/Definisi ……………………………………………... 12
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka
Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah) ….…………………... 3
14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka ……………………………………………............. 72
30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif …….. 87
39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan .. 124
40. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan …... 125
41. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran ….. 126
43. Luas Panen dan Produksi Komoditas Tanaman Pangan ……………….. 129
46. Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ... 132
viii
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pikir penelitian …………….……………………………… 11
13. Matriks daya saing luas tanam komoditas subsektor tanaman bahan
makanan Kabupaten Majalengka ……………………………... 90
30. Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian …... 121
36 Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem …….. 138
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Tahun 2009 …………………………………………………………….... 159
12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah) …... 175
efisien. Kajian seksama mengenai perkembangan sektor ini perlu dilakukan untuk
menemukan dan mengenali potensi dan kondisi yang ada, dengan demikian peran
dan dukungan pemerintah yang dibutuhkan juga akan teridentifikasi dengan baik.
Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka selama ini telah berjalan dengan baik, namun
untuk menilai pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini belumlah
cukup jika hanya menilai perkembangannya di dalam wilayah Kabupaten
Majalengka. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana posisi
dan daya saing subsektor pertanian tanaman bahan makanan ini dan apa
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di
Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan
dan komoditasnya di Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Jawa Barat.
Untuk meningkatkan daya saing subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka, maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
ini perlu diupayakan fokus pada komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif agar dapat bersaing dengan komoditas lain di luar
wilayah Kabupaten Majalengka.
Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka perlu juga diketahui peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam pengembangan wilayah yang meliputi keterkaitan antar
sektor serta nilai multiplier effectnya. Keterkaitan antar sektor ini penting
diketahui untuk menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu dikembangkan
untuk meningkatkan pembangunan sektor subsektor tanaman bahan makanan.
Nilai multiplier effect dapat menunjukkan besarnya pengaruh pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan terhadap pengembangan wilayah yang dalam
hal ini ditunjukkan oleh nilai output multiplier, total value added multiplier,
Income multiplier dan multiplier pajak.
Berdasarkan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk dapat
mengetahui kondisi, potensi, keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan
dengan sektor-sektor lain serta besarnya nilai multiplier effect subsektor tanaman
bahan makanan, sehingga bisa diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Dari hasil analisis
6
Kegiatan Pembangunan
Sektor-sektor
Perekonomian
Komoditas Unggulan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
Prioritas Pembangunan
Persepsi Stakeholders
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
Peta Arahan
Pengembangan Interpretasi
Komoditas Unggulan
Arahan Pembangunan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
1.6. Pengertian/Definisi
1. Komoditas Unggulan adalah komoditas yang mampu bersaing dengan
produk sejenis dari wilayah lain. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam
Hendayana (2003) dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan
kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Dalam penelitian ini
komoditas unggulan ditetapkan dengan menggunakan metode LQ dan SSA
serta analisis input-output.
2. Kawasan Andalan adalah bagian dari kawasan budidaya baik di ruang darat
maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 pasal 1).
3. Sektor Strategis adalah sektor yang memiliki sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial (Rustiadi, et al. 2009).
4. Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan
suatu sektor/komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditas
yang sama pada wilayah lainnya.
5. Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu
wilayah. Metode LQ dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif suatu sektor.
6. Shift Share Analysis (SSA) adalah tehnik analisis yang digunakan untuk
melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah
agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektoral di wilayah tersebut.
7. Evaluasi Kesesuaian Lahan adalah proses untuk menduga potensi
sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya dengan membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
karakteristik lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Sitorus, 2004).
8. Evaluasi Ketersediaan Lahan : proses evaluasi untuk menentukan luas lahan
yang sesuai dan tersedia untuk suatu penggunaan lahan yang akan diterapkan.
Evaluasi ketersediaan dilakukan dengan mengurangi luas keseluruhan lahan
13
yang sesuai dengan luas lahan yang sesuai tetapi tidak dapat digunakan
karena telah dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data
penggunaan lahan (landuse) serta tidak sesuai dengan arahan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka.
14
15
merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan
ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan
suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada
peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke
depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu
bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu
tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak
rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan
yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu,
investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah
dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan
wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006)
Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya
pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan
dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18
memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor
pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan
produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang
berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing
dengan produk-produk pertanian dari luar.
Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih
menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran,
sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah
dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja
sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan
berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah
menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input
produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya
pembangunan sektor pertanian.
Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian
menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya
ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga
yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam
penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan
menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu,
pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement).
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang
besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB
suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling
banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu
dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan
secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah
keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap
sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan
komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal.
Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan
didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan
komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient
(LQ).
23
Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat
diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen.
Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian
dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan
manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses
sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para
pelaku agribisnis.
segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong
terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi
faktor kendala pembangunan.
Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan
masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus
mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya
masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam
rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan
melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan
memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal
di wilayah lokal tersebut.
Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan
pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan
pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu
daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih
dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian,
perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan
pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih
terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam
perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).
Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting
dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih
tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31
ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan
ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat
pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral.
Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta
keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti
jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil
sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi
agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis-
bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi.
Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam
pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.
Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan
pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan
membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah
diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk-
produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung
memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang
akan datang (Anugrah, 2003).
Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang
potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis
hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan
kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas
pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang
mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui
AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008).
Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32
alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan
sektor pertanian.
Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu
utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi
tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung
pengembangan wilayah.
Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya
dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi
konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif
kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih
karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana
aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif
yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi
sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki
fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks
yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang
tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian
dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)
33
Statistik Kab. Majalengka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat serta data-
data lain dari instansi terkait.
Data sekunder tersebut meliputi data PDRB Kabupaten/Kota per sektor se-
Jawa Barat Tahun 2005 dan 2009, data luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon komoditas pertanian Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Tahun 2005
dan 2009, Peta tanah, Landsystem, RTRW Kab. Majalengka, tabel input-output
Kabupaten Ciamis tahun 2008, data harga komoditas tanaman bahan makanan.
Data primer meliputi data hasil kuisioner dari para responden. Data primer
diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Responden yang dimaksud adalah seluruh stakeholder
yang terlibat dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka yang terdiri dari : unsur-unsur pemerintah daerah meliputi
Bappeda, Dinas Pertanian dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (BP4K), bagian pembangunan dan bagian
perekonomian Setda Kabupaten Majalengka, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya,
dan Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan
(KUKMPERINDAG); unsur perbankan diwakili oleh Bank Rakyat Indonesia
(BRI); unsur masyarakat meliputi petani dan tokoh tani; unsur swasta meliputi
para pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian subsektor tanaman bahan makanan. Rincian lengkap mengenai
responden disajikan pada Tabel 3. Tehnik sampling yang dipakai untuk
menentukan responden adalah purposive sampling dengan jumlah responden
keseluruhan sebanyak 21 orang. Pada prinsipnya responden dipilih sedemikian
rupa yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan sektor
pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
(expert). Responden diminta pendapatnya mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan melalui metode Analitycal Hierarchy Process
(AHP) yang memiliki struktur hierarki terdiri dari 4 level. Pada level 2, responden
yang digunakan sebanyak 18 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur
pemerintahan, 5 orang dari tokoh tani dan 5 orang dari unsur swasta. Adapun pada
level 3 dan 4 digunakan responden sebanyak 21 orang. Tambahan 3 responden
35
merupakan perwakilan dari petani untuk komoditas padi dan kedelai 1 orang,
jagung 1 orang dan mangga 1 orang. Tujuan, jenis, sumber data, cara
pengumpulan, analisis data serta output yang diharapkan, disajikan pada Tabel 4.
36
Tabel 4. Tujuan, Jenis , Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang diharapkan
Teknik
No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Output yang diharapkan
Analisis Data
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini.
a. Mengetahui kondisi dan Data PDRB per sektor BPS LQ, SSA Kondisi dan potensi daya
potensi daya saing subsektor Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 saing subsektor tanaman
tanaman bahan makanan Kab. dan 2009 bahan makanan Kab.
Majalengka di wilayah Prop. Majalengka saat ini di
Jabar Wilayah Prop. Jabar
b. Mengetahui komoditas Data luas tanam, luas panen Dinas Tanaman Pangan LQ, SSA Potensi komoditas
subsektor tanaman bahan produksi dan jumlah pohon Prop. Jabar subsektor tanaman bahan
makanan Kab. Majalengka komoditas subsektor tanaman makanan Unggulan
yang menjadi basis dan bahan makanan Kab./Kota di Kabupaten Majalengka di
memiliki keunggulan Jabar Tahun 2005 dan 2009 wilayah Prop. Jabar
komparatif & kompetitif
2. Mengetahui peran subsektor Tabel Input-Ouput Kabupaten BPS, Dinas Pertanian dan Analisis Input- Backward/Fordward
tanaman bahan makanan Majalengka 2009 (hasil RAS Perikanan Kab. Majalengka Output Linkage, Multiplier Effect.
dari Tabel I-O Ciamis 2008),
PDRB Kab. Majalengka Tahun
2009, Harga Komoditas
Tanaman Bahan Makanan.
3. Mengetahui komoditas ungulan Nilai LQ, SSA , keterkaitan Hasil analisis LQ, SSA dan Komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan antar sektor dan multiplier effect tabel input-output subsektor tanaman bahan
makanan komoditas makanan
4. Mengetahui prioritas Kuesioner Pendapat responden AHP Persepsi Stakeholder
pembangunan subsektor tentang prioritas
tanaman bahan makanan pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan
5. Menyusun arahan pembangunan Data komoditas unggulan, peta Hasil analisis potensi dan Deskriptif dan Arahan pengembangan
subsektor tanaman bahan Tanah 1:250.000, landsystem kondisi sektor pertanian sintesis hasil subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan 1:250.000, RTRW, Landuse, saat ini, hasil analisis analisis makanan dalam
wilayah keterkaitan antar sektor dan Input-Output Balai Besar pengembangan wilayah
multiplier effect komoditas Sumberdaya Lahan,
tanaman bahan makanan. Bappeda Kab. Majalengka
37
untuk analisis LQ serta data tahun 2005 dan tahun 2009 untuk analisis SSA. Hasil
analisis LQ dan SSA merupakan indikasi keunggulan dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian dan komoditas-komoditas
sebsektor tanaman bahan makanan lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat.
Keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkan terhadap ouput, total
nilai tambah, pendapatan dan pajak dianalisis dengan menggunakan tabel input-
output Kabupaten Majalengka. Tabel input-output Kabupaten Majalengka diperoleh
dengan metode RAS dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Analisis
keterkaitan antar sektor dan nilai multiplier effect ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian
wilayah di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
menjadi unggulan Kabupaten Majalengka, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil
analisis potensi dan kondisi serta hasil analisis keterkaitan dan multiplier effect
komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Persepsi para stakeholder mengenai
prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diidentifikasi dengan
menggunakan kuesioner dan hasilnya dianalisis dengan metode AHP.
Selanjutnya dari hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan saat ini, hasil analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dalam
perekonomian wilayah, analisis komoditas unggulan dan hasil analisis persepsi
stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka akan disusun untuk memberikan informasi dan arahan bagi
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk memberikan arahan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan secara spasial ditambahkan pula informasi
mengenai kesesuaian lahan sebagai arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan. Adapun tahapan pelaksanaan dari penelitian ini
dapat dilihat dalam bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 3.
39
Prioritas Pembangunan
Peta Arahan Pengembangan Subsektor Tabama
Komoditas Unggulan
39
40
3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan
Makanan
Analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan metode LQ dan SSA. Metode ini dilakukan untuk mengetahui
sektor basis, keunggulan komparatif dan kompetitif subsektor tanaman bahan
makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan
dengan cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini kabupaten/kota yang ada
di Jawa Barat. Hasil analisis ini menunjukkan indikasi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya yang dimiliki Kabupaten
Majalengka dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Jawa Barat.
LQ X IJ
/ X I.
IJ
X .J
/ X ..
Dimana :
LQij : Indeks kuosien lokasi kabupaten i untuk sektor/komoditas j.
Xij : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi masing-masing
sektor/komoditas j di kabupaten i.
Xi. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total di kabupaten i.
X.j : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total sektor/komoditas j
di Jawa Barat.
X.. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total seluruh sektor/
komoditas di Jawa Barat.
X .. ( t1) X . j ( t1) X ..
( t1) X ij ( t1) X . j ( t1)
SSA 1
X .. (t 0) X . j (t 0) X ..
(t 0) X ij ( t 0 ) X . j (t 0)
a b c
dimana :
a : Komponen share
b : Komponen proportional shift
c : Komponen differential shift, dan
X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah
X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
t1 : Titik tahun akhir
t0 : Titik tahun awal
Tahun 2009. Selanjutnya, setelah data-data tersebut sudah tersedia maka siap di
RAS dengan menggunakan software GAMS dengan prinsip iterasi. Tahapan
metode RAS ditampilkan pada Gambar 4.
: … … … … … … … … … … …
i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi
: … … … … … … … … … … …
n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn
W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W
Tambah
Nilai
T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T
S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S
Input
Eksternal M M1 … … … … Mn CM GM IM - M
Wilayah
Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X
Sumber : Rustiadi et al. 2009.
Keterangan :
ij : sektor ekonomi
Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Xi : total output sektor i
Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama
dengan total input
Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap
output sektor i
Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor
i; output sektor i yang menjadi barang modal
Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke
luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i
Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)
Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah
sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga
yang bekerja di sektor j
Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai
tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha
47
X ij
aij atau X ij aij .X j
X j
di mana :
aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
( atau disebut pula sebagai koefisien input.
Bj n.B j
B*j i
n Bj Bj
j j
48
n xij
Fi aij
j xj j
Fi nFi
Fi* 1
n Fi Fi
i i
akhir satu unit sektor pertanian yang dapat meningkatkan total output seluruh
sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
n
BL j bij
i
FLi bij
j
bij n bij
i i
j 1
n
bij bij
i j i j
49
6. Kepekaan terhadap signal pasar permintaan akhir atau indeks daya kepekaan
(foreward power of dispersion) ( .i) menunjukkan sumbangan relatif sektor
pertanian dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor
perekonomian yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :
bij
j
i 1
n bij
i j
X (I A) 1.F d
V vˆ. X
dimana V : matriks NTB
v̂ : matriks diagonal koefisien NTB
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd
W ˆ .X
w
50
T tˆ. X
bahan makanan lainnya. Pada level mikro dilakukan analisis terhadap angka luas
panen dan produksi pada Tahun 2009. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain
itu luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian dari setiap level kriteria tersebut
dilakukan sintesis untuk memilih komoditas yang menjadi unggulan. Dalam
penentuan komoditas unggulan, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok komoditas tanaman pangan, buah-
buahan dan sayuran-sayuran. Komoditas yang akan ditetapkan sebagai komoditas
unggulan adalah komoditas yang memenuhi kriteria unggul di setiap levelnya
dilihat pada Gambar 5. Struktur hirarki tersusun atas 4 level. Level 1 merupakan
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan di level 2, 3 dan 4. Level 2 merupakan
tahapan untuk menentukan komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan dalam rangka pencapaian tujuan di level 1. Level 3 merupakan
tahapan untuk menentukan subsistem mana yang diprioritaskan untuk mendukung
level 2. Level 4 merupakan tahapan untuk menentukan aspek pendukung mana
yang menjadi prioritas untuk mendukung level 2 dan 3. Faktor-faktor pada level 2,
3 dan 4 dinilai dengan cara perbandingan berpasangan. Misalnya untuk
perbandingan pada level 2 yaitu pemilihan komoditas unggulan, mana yang lebih
penting antara pengembangan komoditas padi dan jagung, antara komoditas padi
dan kedelai, antara komoditas unggulan padi dan mangga dan seterusnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 3 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Subsistem Agribisnis Hulu, menunjukkan kegiatan ekonomi yang
menghasilkan sarana produksi primer dan perdagangan sarana produksi
pertanian seperti industri pembibitan/perbenihan, pupuk, obat-obatan, alat dan
mesin pertanian, dll.
2. Subsistem Usahatani menunjukkan kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer.
3. Subsistem Agribisnis Hilir menunjukkan kegiatan ekonomi yang mengolah
komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan baik berupa
produk intermediate maupun produk akhir beserta kegiatan perdagangannya.
4. Subsistem Jasa Layanan Pendukung, menunjukkan kegiatan yang
menghasilkan dan menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti perbankan,
transportasi, penelitian dan pengembangan, layanan informasi agribisnis,
kebijakan pemerintah, penyuluhan dan konsultasi, dll.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 4 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Faktor SDM menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dari para pelaku
kegiatan pertanian. Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama
aktivitas pertanian meliputi petani, dan pelaku pengolahan serta pemasaran
hasil pertanian.
55
serta telah sesuai dengan arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka.
Evaluasi kesesuaian dan ketersdiaan lahan tersebut digunakan untuk mendapatkan
peta arahan pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dan tersedia. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
arahan pengembangan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gambar 6.
Overlay
yang memiliki luas wilayah paling luas adalah Kecamatan Kertajati sedangkan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadipaten.
4.1.4. Iklim
Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk kedalam iklim
tropis dengan suhu udara rata-rata berdasarkan data Tahun 2009 berkisar antara
25,9oC sampai dengan 29,3oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober
yaitu 35,9oC, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus dengan
suhu sebesar 22,2oC.
Variasi curah hujan bulanan pada Tahun 2009 antara 60 mm sampai 419
mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan. Dengan
menggunakan pembagian tipe hujan dari Oldeman, maka Kabupaten Majalengka
termasuk tipe iklim C yaitu daerah yang memiliki bulan basah 5-6 bulan. Curah
hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Februari 2009 yang
mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26 hari, sedangkan kemarau terjadi
pada bulan Agustus dan September. Adapun data iklim di Kabupaten Majalengka
selama Tahun 2009 disajikan pada Tabel 8.
4.2.1. Kependudukan
Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan.
Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan
permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk
dan tidak meratanya penyebaran penduduk.
Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan
hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan
606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,83% bila dibandingkan jumlah
penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk
perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan
sex ratio 99.02%. Jumlah penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan kepadatan
penduduk di Kabupaten Majalengka selama kurun 2005-2009 dapat dilihat pada
Tabel 10.
Gambar 11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009
4.2.2. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya
diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut
peningkatan penyediaan lapangan kerja.
Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka
sebanyak 13.417 orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang
laki-laki. Rincian tentang pencari kerja terdaftar dan yang telah ditempatkan
selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka berdasarkan tingkat pendidikannya
dapat dilihat pada Tabel 11.
69
Tabel 11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Belum Telah
Pencari Kerja Persentase
Tingkat Pendidikan Ditempatkan Ditempatkan
(Orang) (%)
(Orang) (Orang)
SD 1.158 8,63 847 311
SLTP 1.550 11,53 1.361 189
SLTA 6.305 46,99 6.252 53
D1, D2, D3 1.523 11,35 1.523 -
Sarjana 2.881 21,47 2.881 -
Pasca Sarjana - - - -
Jumlah 13.417 12.864 553
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu besarnya nilai PDRB dari suatu
wilayah akan sangat tergantung pada kedua faktor tersebut, sehingga dengan
beragamnya kondisi dan keterbatasan dari kedua faktor di atas menyebabkan nilai
PDRB bervariasi antar daerah. PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah
yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran
pembangunan suatu wilayah, sehingga walaupun dianggap memiliki berbagai
kelemahan tetapi PDRB ini merupakan tolak ukur yang paling operasional karena
tidak ada satu wilayah pun yang tidak melakukan pengukuran nilai PDRB.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari
laju PDRB atas dasar harga konstan yang mengalami peningkatan, nilai ini
menunjukan terjadinya peningkatan produk yang dihasilkan dibandingkan
tahun sebelumnya. Stuktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang
digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menunjukan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi
andalan dalam memberikan nilai tambah PDRB Kabupaten Majalengka,
dimana kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majalengka atas
dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun 2006-2009 mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kenaikan hampir semua sektor
lapangan usaha dengan dominasi sektor pertanian diikuti sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pada tahun 2006 PDRB atas
dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 3.686.235.930.000, tahun 2007
sebesar Rp.3.865.690.520.000, dan pada tahun 2008 sebesar Rp.
4.041.007.620.000 serta pada tahun 2009 sebesar Rp. 4.225.926.070.000.
Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 setiap tahun
mengalami kenaikan dari Rp. 3.126.217,78 pada tahun 2006 menjadi Rp.
3.502.046,13 pada tahun 2009. Kenaikan PDRB per kapita menunjukkan bahwa
kondisi perekonomian Kabupaten Majalengka meningkat, sejalan dengan jumlah
penduduk dan keadaan penduduk pada tahun berjalan. Gambaran mengenai
perkembangan kontribusi sektoral dan nilai PDRB per kapita Kabupaten
Majalengka atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 13.
72
Tabel 13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah)
TAHUN
No. LAPANGAN USAHA SATUAN
2006 2007 2008 2009
1 PDRB atas dasar harga 3.686.235,93 3.865.690,52 4.042.240,29 4.225.926,07
konstan thn 2000 (Jutaan
Rupiah)
Pertanian Rp.000.000,00 1.046.430,59 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
% (28,39) (28,30) (28,05) (28,04)
Pertambangan dan Rp.000.000,00 150.590,75 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Galian % (4,09) (4,13) (4,11) (3,84)
Industri Pengolahan Rp.000.000,00 624.229,78 657.996,42 691.093,64 724.330,61
% (16,93) (17,02) (17,10) (17,14)
Listrik, Gas, Air Bersih Rp.000.000,00 24.480,32 26.149,82 27.540,86 28.810,27
% (0,66) (0,68) (0,68) (0.68)
Bangunan Rp.000.000,00 165.831,17 175.415,37 185.168,46 195.870,28
% (4,50) (4,54) (4,58) (4,63)
Perdagangan, Hotel dan Rp.000.000,00 724.540,91 756.470,52 797.726,94 838.517,68
Restoran % (19,66) (19,57) (19,73) (19,84)
Pengangkutan dan Rp.000.000,00 238.842,61 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Komunikasi % (6,48) (6,48) (6,44) (6,43)
Keuangan Rp.000.000,00 205.604,05 219.085,84 229.950,10 240.097,63
% (5,58) (5,67) (5,69) (5,68)
Jasa Rp.000.000,00 505.685,75 526.643,19 550.497,06 579.121,25
% (13,72) (13,62) (13,62) (13,70)
2 PDRB per Kapita (Rp) 3.126.217.78 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2010
4.3.2.1. Pertanian
Pertanian di Kabupaten Majalengka secara umum memiliki potensi yang
besar dan variatif, serta didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
73
Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka
Tahun Luas Panen Hasil per Hektar Produksi
(Ha) (Kuintal) (Ton)
2008 88.503 57,92 512.596
2009 93.517 60,72 567.796
Laju 5,67 4,83 10,77
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Seperti yang telah disebutkan diatas, selain padi dan palawija, tanaman
lain yang termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan adalah sayuran dan
buah-buahan. Perkembangan produksi sayuran dan buah-buahan pada Tahun 2009
disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.
5.1. Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan
di Kabupaten Majalengka Terkini
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang
akan disajikan dalam hasil dan pembahasan ini adalah kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka berdasarkan
hasil analisis dari data Tahun 2009. Pembahasan mengenai kondisi dan potensi
daya saing subsektor tanaman bahan makanan terkini penting untuk disajikan
karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi terbaru dari subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menentukan strategi dan
arahan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.
dari kemajuan pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah. Tidak semua sektor
ekonomi memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu dalam
perencanaan pembangunan suatu wilayah diantaranya harus dapat memanfaatkan
keberadaan sektor-sektor basis yang dianggap bisa menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi
aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis adalah
melalui metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan perbandingan
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang cakupannya lebih
luas dalam suatu wilayah sehingga metode LQ juga dapat menunjukkan
keunggulan komparatif suatu aktivitas di suatu wilayah. Variabel yang digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan potensi aktivitas ekonomi sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka dalam analisis LQ adalah nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 dengan wilayah referensi Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa terdapat 8 sektor dari
13 sektor yang dianalisis, yang menjadi sektor basis di Kabupaten Majalengka.
Kedelapan sektor tersebut adalah sektor pertanian tanaman bahan makanan,
tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan
penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat
pemusatan aktivitas ekonomi pada kedelapan sektor tersebut di Kabupaten
Majalengka sehingga sektor-sektor tersebut memiliki potensi dan daya saing yang
lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah lainnya atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif
di wilayah Jawa Barat.
Sektor yang menjadi sektor non basis di Kabupaten Majalengka ada 5
sektor yaitu kehutanan, perikanan, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih
serta perdagangan hotel dan restoran. Hasil analisis LQ secara lengkap disajikan
pada Tabel 19.
79
Selain menggunakan metode LQ, kondisi dan potensi daya saing aktivitas
ekonomi di suatu wilayah juga dapat diketahui dengan metode Shift Share
Analysis (SSA). Analisis SSA merupakan teknik analisis yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif. Analisis ini juga dapat digunakan
untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah
berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab
pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total),
komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen
differential shift (komponen pergeseran diferensial).
Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor lain di wilayah
Provinsi Jawa Barat digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam
pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan
karena ingin mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di kabupaten
Majalengka yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas
sektor-sektor tersebut di wilayah Kabupaten Majalengka itu sendiri apabila
dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, bukan karena pengaruh
pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total
(regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu
wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya
80
masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-
faktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak
mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif
ini adalah nilai PDRB sedangkan rentang waktu yang digunakan untuk melihat
pergeseran adalah 5 tahun sehingga data PDRB yang digunakan adalah data
PDRB Tahun 2005 dan 2009.
Hasil analisis SSA menunjukkan ada 7 sektor yang memiliki nilai
differential shift yang positif yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa.
Berdasarkan hal tersebut maka keenam sektor tersebut memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya sehingga keenam
sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki keunggulan kompetitif untuk
wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis SSA secara lengkap disajikan pada
Tabel 20.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Sektor Non basis Sektor Basis
- Industri pengolahan - Tanaman bahan makanan
- Tanaman perkebunan
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Peternakan dan hasil-hasilnya
Positif
- Pertambangan dan galian
- Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan
- Jasa-jasa
- Kehutanan
- Perikanan - Bangunan
- Listrik, gas dan air bersih - Pengangkutan dan Komunikasi Negatif
- Perdagangan, hotel & restoran
bahan makanan yang ditandai dengan nilai LQ > 1 dan nilai differential shift yang
positif. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/kota
lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Tabel 21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa
Barat
Nilai Differential Nilai Differential
No Kab/Kota Shift
No Kab/Kota Shift
LQ LQ
1 Garut 4,81 Negatif 14 Purwakarta 0,84 Positif
2 Cianjur 4,01 Negatif 15 Bandung Barat 0,70 Negatif
3 Tasikmalaya 3,41 Positif 16 Bandung 0,59 Negatif
4 Kuningan 3,07 Negatif 17 Kota Tasikmalaya 0,37 Negatif
5 Majalengka 2,74 Positif 18 Bogor 0,31 Positif
6 Sukabumi 2,39 Negatif 19 Kota Sukabumi 0,16 Negatif
7 Subang 2,29 Negatif 20 Bekasi 0,14 Positif
8 Sumedang 2,29 Negatif 21 Kota Depok 0,06 Negatif
9 Ciamis 2,27 Negatif 22 Kota Bekasi 0,04 Negatif
10 Cirebon 2,04 Positif 23 Kota Bogor 0,02 Negatif
11 Indramayu 1,56 Positif 24 Kota Cirebon 0,02 Negatif
12 Kota Banjar 1,29 Positif 25 Kota Bandung 0,01 Negatif
13 Karawang 1,10 Positif 26 Kota Cimahi 0,01 Negatif
Sumber : Hasil Analisis (2011)
menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman
pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas
buah-buahan. Data-data tersebut digunakan sebagai representasi dari sumberdaya
lokal yang dimiliki. Cakupan wilayah analisis adalah Kabupaten/Kota se-Jawa
Barat, sedangkan data yang digunakan adalah data-data pada Tahun 2005 dan
2009.
Kriteria penilaian dalam menentukan komoditas basis/keunggulan
komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, sedangkan
apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti komoditas tersebut termasuk ke
dalam komoditas non basis/bukan unggulan.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas tanam
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas lahan yang digunakan untuk
usahatani suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut
unggul dalam aspek luas lahan yang digunakan untuk budidaya.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas panen
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas panen suatu komoditas. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek frekuensi panen
yang juga berarti komoditas tersebut sangat produktif.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel produksi
menggambarkan bahwa ada pemusatan jumlah produksi dari suatu komoditas. Hal
ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek jumlah produksi
Adapun hasil analisis LQ untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang unggul secara komparatif
dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada dua komoditas yaitu
jagung dan kacang hijau. Komoditas lainnya, seperti padi hanya unggul pada
aspek produksi, kedelai unggul dari aspek luas panen dan produksi sedangkan
komoditas kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu tidak unggul dari aspek ketiganya
yaitu aspek luas tanam, luas panen maupun produksi.
84
Apabila dilihat dari aspek luas panen, terdapat 5 komoditas sayuran yang
memiliki nilai LQ lebih dari satu. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada
Tabel 24. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek luas panen.
85
Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu baik dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
bawang merah, bawang daun dan cabe rawit.
Hasil analisis LQ untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 15 komoditas dari 22 jenis
komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari
satu. Kelima belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Hal ini
menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah pohon yang
ditanam.
86
Tabel 29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Kentang 6,80
2 Terung 0,86
3 Sawi 0,64
4 Tomat 0,50
5 Kembang Kol 0,20
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Apabila dilihat dari aspek luas panen terdapat 6 komoditas sayuran yang
memiliki nilai differential shift positif. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 30. Hal ini menunjukkan bahwa keenam komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan luas panen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, keenam komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas panen.
Tabel 30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,61
2 Sawi 0,58
3 Tomat 0,43
4 Labu siam 0,19
5 Wortel 0,03
6 Kembang kol 0,005
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 29, Tabel 30 dan Tabel 31 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
terung, sawi dan kembang kol.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 16
komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki
nilai differential shift positif. Keenam belas belas komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 32.
.
Tabel 32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang
Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Sukun 0,91
2 Mangga 0,58
3 Alpukat 0,55
4 Salak 0,53
5 Sawo 0,41
6 Jambu biji 0,38
7 Petai 0,36
8 Durian 0,25
9 Nenas 0,21
10 Pepaya 0,13
11 Pisang 0,11
12 Melinjo 0,05
13 Nangka 0,05
14 Dukuh 0,04
15 Rambutan 0,04
16 Sirsak 0,03
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
90
Berdasarkan Tabel 32 dan Tabel 33 dapat dilihat bahwa ada sembilan jenis
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek jumlah pohon dan produksi. Komoditas-komoditas tersebut adalah mangga,
alpukat, sukun, salak, jambu biji, petai, pisang, melinjo dan rambutan.
91
Hasil analisis LQ dan shift share dari luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon kemudian dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif
dan kompetitifnya. Pengelompokkan komoditas-komoditas tersebut disajikan
dalam bentuk matriks daya saing.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas tanam tersaji pada
Gambar 13.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kedelai - Jagung
- Kentang - Kacang hijau
Postif
- Sawi - Kembang kol
- Tomat
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Padi
- Kacang tanah - Bawang merah
Negatif
- Ubi kayu - Bawang daun
- Ubi jalar - Kubis
- Wortel - Cabe besar
- Lobak - Cabe rawit
- Kacang merah
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung
Gambar 13. Matriks Daya Saing Luas Tanam Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas tanam diatas terdapat
tiga komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas tanam yaitu jagung,
kacang hijau dan kembang kol.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas panen tersaji pada
Gambar 14. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas panen tersebut
terdapat dua komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena
92
memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas panen
yaitu jagung dan kacang hijau.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
Positif
- Wortel
- Tomat
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Labu siam
- Padi
- Kacang tanah - Kedelai
Negatif
- Ubi kayu - Bawang merah
- Ubi jalar - Bawang daun
- Kentang - Kubis
- Lobak - Cabe besar
- Kacang merah - Cabe rawit
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Kangkung
Gambar 14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kentang - Jagung
- Kembang kol - Kedelai
- Sawi - Kacang hijau
- Kacang panjang - Bawang merah
- Terung - Alpukat
Positif
- Buncis - Jambu biji
- Jambu air - Jeruk
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Manggis - Mangga
- Pisang - Melinjo
- Rambutan - Petai
- Sukun
- Salak
- Kacang tanah - Belimbing
- Ubi kayu - Duku - Padi
Negatif
- Ubi jalar - Durian - Bawang daun
- Kubis - Jeruk Besar - Cabe rawit
- Wortel - Nenas - Nangka
- Lobak - Pepaya
- Kacang merah - Sawo
- Cabe besar - Markisa
- Tomat - Sirsak
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Duku - Alpukat
- Nenas - Mangga
- Sawi - Durian
- Rambutan - Jambu biji
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Salak - Pisang
Positif
- Nangka
- Pepaya
- Sawo
- Melinjo
- Petai
- Sirsak
- Sukun
Negatif
- Manggis - Jambu air
- Markisa - Jeruk
Berdasarkan matriks daya saing, maka untuk komoditas non basis tetapi
memiliki nilai differential shift positif (kuadran II), komoditas-komoditas tersebut
sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
pertumbuhan yang diatas rata-rata pertumbuhan komoditas lain maupun
komoditas sejenis di wilayah lain di provinsi Jawa Barat. Hanya saja diperlukan
usaha untuk terus meningkatkan kapasitasnya secara keseluruhan agar menjadi
komoditas basis. Begitupula dengan komoditas yang berada di kuadran IV (basis
tetapi differential shift negatif), komoditas ini sebetulnya masih memiliki potensi
untuk dikembangkan karena memiliki aktivitas yang memusat (basis), hanya saja
diperlukan usaha untuk meningkatkan aktivitas tersebut agar mengalami
peningkatan/pertumbuhan dari tahun ke tahun secara positif.
Selain memiliki potensi luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah
pohon atas komoditas-komoditas diatas, Kabupaten Majalengka juga memiliki
potensi atas beberapa komoditas yang menjadi varietas unggul. Menurut Dirjen
Hortikultura (2010), varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh
95
Tabel 35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah)
No Lapangan Usaha 2007 2008 2009
1 PERTANIAN 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
a. Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
b. Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
c. Peternakan dan hasil-hasilnya 97.494,29 103.072,99 108.488,65
d. Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
e. Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
2 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 159.586,22 166.138,45 162.266,81
a. Minyak dan Gas Bumi 79.999,73 83.519,72 72.402,41
b. Pertambangan Tanpa Migas - - -
c. Penggalian 79.586,49 82.618,73 89.864,40
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 657.996,42 691.093,64 724.330,61
a. Industri Migas - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - -
2. Gas Alam Cair - - -
b. Industri Non Migas 657.996,42 691.093,64 724.330,61
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 26.149,82 27.540,86 28.810,28
a. Listrik 24.581,92 25.835,14 26.997,72
b. Gas - - -
c. Air Bersih 1.567,90 1.705,72 1.812,56
5 BANGUNAN 175.415,37 185.168,46 195.870,26
6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 756.470,52 797.726,95 838.517,68
a. Perdagangan Besar dan Eceran 518.476,56 547.326,06 573.594,47
b. H o t e l 1.419,45 1.453,53 1.516,95
c. Restoran 236.574,51 248.947,36 263.406,26
7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 250.435,89 260.476,07 271.937,70
a. Angkutan 218.909,88 226.173,66 236.860,72
1. Angkutan Rel - - -
2. Angkutan Jalan Raya 203.174,35 209.818,15 219.799,89
3. Angkutan Laut - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. - - -
5. Angkutan Udara - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 15.735,53 16.355,51 17.060,83
b. Komunikasi 31.526,01 34.302,41 35.076,98
8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN 219.085,84 229.950,11 240.097,64
a. Bank 83.767,96 88.151,52 92.341,18
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank 19.121,65 20.305,72 21.016,42
c. Jasa Penunjang Keuangan - - -
d. Sewa Bangunan 96.859,03 101.285,49 105.737,04
e. Jasa Perusahaan 19.337,20 20.207,38 21.003,00
9 JASA-JASA 526.643,19 550.497,06 579.121,25
a. Pemerintahan umum & pertahanan 384.323,14 399.104,80 419.799,12
b. Swasta 142.320,05 151.392,26 159.322,13
1) Sosial Kemasyarakatan 26.190,13 27.559,87 28.817,80
2) Hiburan dan Rekreasi 7.850,60 8.211,73 8.507,05
3) Perorangan dan Rumah tangga 108.279,32 115.620,66 121.997,28
PDRB DENGAN MINYAK DAN GAS BUMI 3.865.690,53 4.042.240,31 4.225.926,09
PDRB TANPA MINYAK DAN GAS BUMI 3.785.690,80 3.958.720,59 4.153.523,68
Sumber : PDRB Kabupaten Majalengka Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009
98
dari total PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 atau menempati peringkat
ke-1 dari 23 sektor perekonomian
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah; sektor industri
pengolahan (17,14%), perdagangan besar dan eceran (13,57%), padi (13,53%),
pemerintahan umum dan pertahanan (9,93%) dan restoran (6,23%). Sektor
industri pengolahan menempati peringkat tertinggi karena di Kabupaten
Majalengka terdapat beberapa industri yang cukup berkembang. Industri-industri
tersebut diantaranya adalah industri genteng yang banyak terkonsentrasi di
Kecamatan Jatiwangi, kerajinan rotan yang banyak terdapat di Kecamatan
Rajagaluh dan industri pengolahan makanan yang banyak terdapat di Kecamatan
Cikijing. Selain itu sektor industri pengolahan itu sendiri merupakan salah satu
sektor yang tergolong cepat memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Selain melalui PDRB, peranan sektor ekonomi dapat dilihat melalui
analisis Tabel input-output. Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun
2009 terdiri atas 28 sektor yaitu : (1) padi, (2) jagung, (3) ubi kayu, (4) buah-
buahan, (5) sayur-sayuran, (6) bahan makanan lainnya, (7) tanaman perkebunan,
(8) peternakan dan hasil-hasilnya, (9) kehutanan, (10) perikanan, (11)
pertambangan dan penggalian, (12) industri pengolahan, (13) listrik, (14) air
bersih, (15) bangunan, (16) perdagangan besar dan eceran, (17) hotel, (18)
restoran, (19) angkutan jalan raya, (20) jasa penunjang angkutan, (21)
komunikasi, (22) bank dan lembaga keuangan lainnya, (23) sewa bangunan, (24)
jasa perusahaan, (25) pemerintahan umum dan pertahanan, (26) jasa sosial
kemasyarakatan, (27) jasa hiburan dan rekreasi dan (28) jasa perorangan dan
rumah tangga. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel
input-output Tahun 2009 yang terdiri dari 28x28 sektor disajikan pada Tabel 37.
Berdasarkan Tabel 37 tersebut dapat diketahui bahwa dari struktur output
Kabupaten Majalengka sebesar Rp 7.437.306,17 juta, sebanyak 26,99% (Rp
2.007.422,80 juta) merupakan permintaan antara dan sebanyak 73,01% (Rp
5.429.883,37 juta) merupakan permintaan akhir. Secara umum, komponen
permintaan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap dan perubahan stok menggambarkan transaksi
100
Struktur Tabel I-O dengan nilai total output yang lebih banyak
dialokasikan sebagai permintaan akhir menunjukkan bahwa output yang ada
cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung baik oleh masyarakat
maupun belanja pemerintah, investasi dan langsung diekspor daripada digunakan
untuk transaksi antar sektor dalam proses produksi.
Berdasarkan struktur inputnya, perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 terdiri atas input antara sebesar 94,27% (Rp 2.007.422,80 juta) dan
input primer sebesar 5,73% ( Rp 121.997,28 juta). Input primer merupakan selisih
antara total input dengan input antara. Input primer sering disebut juga nilai
tambah bruto (NTB). Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa pemakaian
faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha,
101
penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan struktur input primer atau NTB,
sebanyak 30,23% dari NTB merupakan upah gaji (Rp 36.879,18 juta), 60,23%
merupakan surplus usaha (Rp 73.480,52 juta), 5,74% merupakan penyusutan (Rp
6.997,97 juta) dan 3,80% adalah pajak tak langsung (Rp 4.639,60 juta).
Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau
keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Investasi akan
bermanfaat bagi suatu daerah jika dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal yang ada di daerah tersebut. Adapun struktur tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Pada Tabel 38 ditampilkan total output tiap sektor berdasarkan Tabel I-O
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut, maka peran
subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memberikan
kontribusi sebesar Rp 684.744,12 juta atau 9,21%, sayur-sayuran memberikan
kontribusi sebesar Rp. 233.993,77 juta atau 3,15%, buah-buahan memberikan
kontribusi sebesar Rp 150.744,16 juta atau 2,03%, jagung memberikan kontribusi
sebesar Rp 87.616,79 juta atau 1,18%, bahan makanan lainnya memberikan
kontribusi sebesar Rp 37.418,21 juta atau 0,50% dan ubi kayu memberikan
kontribusi sebesar Rp 12.374,13 juta atau 0,17 %. Secara keseluruhan kontribusi
dari keenam komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila
digabungkan adalah sebesar Rp 1.206.891,18 juta atau 16,23% dari total output
seluruh sektor perekonomian atau menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor
perekonomian.
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
total output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah : sektor
industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, bangunan, padi serta
pemerintahan umum dan pertahanan. Kontribusi paling besar disumbangkan oleh
sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 1.937.571,83 juta atau 26,05% .
102
Tabel 38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Total Output Persentase
No. Sektor Perekonomian
(Juta rupiah) (%)
1 Industri pengolahan 1.937.571,83 26,05
2 Perdagangan besar dan eceran 800.083,26 10,76
3 Bangunan 687.069,09 9,24
4 Padi 684.744,12 9,21
5 Pemerintahan umum dan pertahanan 681.837,89 9,17
6 Angkutan jalan raya 433.929,60 5,83
7 Restoran 410.117,34 5,51
8 Sayur-sayuran 233.993,77 3,15
9 Peternakan dan hasil-hasilnya 207.747,73 2,79
10 Pertambangan dan penggalian 200.775,78 2,70
11 Perorangan dan rumah tangga 182.386,59 2,45
12 Bank dan lembaga keuangan lainnya 176.271,41 2,37
13 Sewa bangunan 157.957,08 2,12
14 Buah-buahan 150.744,16 2,03
15 Jagung 87.616,79 1,18
16 Listrik 75.661,82 1,02
17 Tanaman perkebunan 51.427,38 0,69
18 Jasa sosial kemasyarakatan 49.757,97 0,67
19 Komunikasi 48.083,54 0,65
20 Perikanan 47.874,81 0,64
21 Bahan makanan lainnya 37.418,21 0,50
22 Jasa perusahaan 31.944,81 0,43
23 Jasa penunjang angkutan 23.020,48 0,31
24 Jasa hiburan dan rekreasi 14.441,16 0,19
25 Ubi kayu 12.374,13 0,17
26 Kehutanan 6.946,69 0,09
27 Hotel 3.078,32 0,04
28 Air bersih 2.430,40 0,03
Jumlah 7.437.306,17 100,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)
menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DIFL sebesar 1,0271 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DIFL sebesar 1,0089 serta
menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DIFL ini maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Keempat komoditas
tersebut memiliki nilai DIFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang juga merupakan
bagian dari sektor pertanian.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect
Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung dan
tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada
Gambar 20.
sendiri adalah sebesar 65,05% dari total input antara. Komoditas padi ini
memerlukan sarana produksi sebagai inputnya. Pemenuhan kebutuhan akan sarana
produksi (bibit, pupuk, dll) dapat dipenuhi dari sektor padi itu sendiri dan sektor
perdagangan besar dan eceran.
Keterkaitan langsung antara komoditas jagung dengan sektor-sektor
lainnya baik keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang disajikan pada
Gambar 22. Keterkaitan langsung tertinggi baik keterkaitan langung ke depan
maupun ke belakang komoditas jagung adalah dengan komoditas jagung itu
sendiri. Adapun besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang komoditas jagung
dengan komoditas jagung itu sendiri berturut-turut sebesar 29,30% dari
permintaan antara dan 30,59% dari total input antara. Komoditas jagung banyak
membutuhkan input dari komoditas jagung itu sendiri sebagai benih,
membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta
membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output
komoditas jagung ini juga digunakan untuk sektor perikanan dan peternakan
sebagai pakan ternak serta sebagian diolah oleh industri pengolahan.
merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi
permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata sektor yang lain. Nilai indeks daya
kepekaan sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 26.
Komoditas dengan nilai Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Daya
Kepekaan (IDK) tinggi merupakan suatu komoditas yang memiliki basis domestik
yang baik dari sisi input maupun output. Artinya komoditas-komoditas tersebut
lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestiknya
dan lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari
sektor produksi domestik. Dengan kata lain komoditas tersebut lebih sedikit
menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk
memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan
indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain.
Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan
cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya.
Berdasarkan IDP dan IDK, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
di Kabupaten Majalengka yang memiliki basis domestik yang baik hanyalah
komoditas padi. Komoditas padi ini memiliki basis domestik dari sisi output.
Artinya komoditas ini lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi
kebutuhan input antara sektor-sektor domestik. Selain itu komoditas ini juga
merupakan komoditas yang akan cepat terpengaruh dengan adanya perubahan di
sektor lainnya.
sebesar 1,0860 yang menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,0814 yang menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect output tersebut maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan komoditas lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect output jagung sebesar 1,1772 berarti bahwa setiap
peningkatan permintaan akhir jagung sebesar satu satuan, maka output
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka akan meningkat sebesar ekivalen
1,1772. Dengan kata lain, apabila permintaan akhir jagung meningkat 1 milyar
rupiah maka dampak terhadap perekonomian wilayah (output) meningkat sebesar
1,1772 milyar rupiah.
memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua
komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas
tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.
Nilai NTB multiplier jagung sebesar 1,1447 berarti bahwa apabila
permintaan akhir komoditas jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak
terhadap nilai tambah/PDRB akan meningkat sebesar 1,1447 milyar rupiah.
Multiplier Effect NTB/PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 28.
26 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,1127 menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan tersebut maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan
dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect pendapatan untuk komoditas jagung bernilai 1,2260
berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas jagung
sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di
sektor komoditas jagung sebanyak 1,2260 kali. .
Selain itu, berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan terlihat bahwa
untuk komoditas ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pendapatan pada urutan
ke-3 diantara komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan menempati posisi
diatas komoditas padi, hal ini karena komoditas ubi kayu merupakan komoditas
yang relatif mudah ditanam dan tidak terlalu membutuhkan banyak input serta
perlakuan khusus dalam membudidayakannya tetapi hasilnya sangat dibutuhkan
untuk konsumsi penduduk maupun untuk bahan baku industri sehingga dapat
memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Adapun komoditas padi
merupakan komoditas yang menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat
sehingga campur tangan pemerintah dalam mengendalikan komoditas ini cukup
besar termasuk dalam pengendalian harga jual yang mengakibatkan komoditas
padi tidak memberikan multipier effect yang besar terhadap peningkatan
pendapatan.
permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung pada
sektor tersebut. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir pada suatu
sektor tertentu sebesar satu rupiah, maka akan berdampak pada meningkatnya
pajak tak langsung sebesar nilai pengganda pajak di sektro tersebut. Nilai
multiplier effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 30.
Dari nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut dapat diketahui
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pajak
tak langsung adalah : komoditas buah-buahan memiliki nilai multiplier effect
pajak sebesar 1,5827 menempati urutan ke-11, jagung memiliki nilai multiplier
effect pajak sebesar 1,4884 menempati urutan ke-13, ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect pajak sebesar 1,2911 menempati urutan ke-17, padi memiliki
nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2145 menempati urutan ke-20, sayur-
123
sayuran memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1925 menempati urutan
ke-22 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar
1,1536 menempati urutan ke-24. Nilai multiplier effect pajak untuk komoditas
buah-buahan bernilai 1,5827 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan
akhir komoditas buah-buahan sebesar satu satuan akan meningkatkan pajak tak
langsung sebesar ,1536 kali.
Berdasarkan nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut maka
komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan
lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan
yang merupakan bagian sektor pertanian.
Hotel memiliki nilai multiplier effect pajak tak langsung yang paling
tinggi, hal ini karena tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 merupakan
hasil turunan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, sehingga hasil
perhitungan multiplier effect pajak tak langsung sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki potensi kunjungan
wisata yang tinggi karena memiliki beberapa obyek wisata andalan seperti pantai
pangandaran, batu hiu, karang nini dan green canyon (cukang taneuh). Hal
tersebut menjadi potensi yang dapat mengakibatnya tingginya nilai multiplier
effect pajak tak langsung dari sektor hotel. Adapun untuk Kabupaten Majalengka
multiplier effect pajak tak langsung sektor hotel yang tinggi kurang mencerminkan
kondisi yang ada di lapangan hal ini salah satu penyebabnya karena potensi wisata
di Kabupaten Majalengka masih rendah.
Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui
analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum komoditas-komoditas subsektor
tanaman bahan makanan masih memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect
yang rendah, sehingga upaya pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
yang dapat dilakukan dalam mewujudkannya menjadi salah satu sektor unggulan
yang strategis adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan
makanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah Kabupaten
Majalengka.
124
Tabel 39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan
Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Padi 0,97 0,97 1,03 -0,03 -0,02 -0,09
2 Jagung 1,91 2,15 2,32 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17 0,23 -0,04 0,08
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31 -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91 0,36 0,31 0,05
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43 -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Hasil Analisis (2011)
komoditas ini sudah memiliki angka luas tanam, luas panen maupun produksi
yang sudah cukup besar sehingga tingkat pertumbuhan/pergeserannya kecil
(negatif) sehingga dalam hal ini tetap dikategorikan sebagai komoditas basis.
Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas buah-
buahan tersaji pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel 40 terlihat banyak sekali
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif
sehingga komoditas buah-buahan yang merupakan komoditas basis dan memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah alpukat, durian, jambu biji,
jambu air, jeruk, mangga, nangka, papaya, pisang, sawo, sirsak, sukun, melinjo
dan petai.
Tabel 42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Multiplier Effect
No Komoditas
Pendapatan Pajak PDRB Output
1 Padi 1,14 1,21 1,12 1,13
2 Jagung 1,23 1,49 1,14 1,18
3 Ubi Kayu 1,15 1,29 1,06 1,08
4 Buah-buahan 1,22 1,58 1,10 1,12
5 Sayur-sayuran 1,13 1,19 1,07 1,09
6 Bahan makanan lainnya 1,11 1,15 1,10 1,11
Sumber : Hasil Analisis (2011)
130
Dari tabel tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
pendapatan diatas rata-rata adalah jagung dan buah-buahan, komoditas yang
memiliki nilai multiplier effect pajak diatas rata-rata adalah jagung dan buah-
buahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect PDRB diatas rata-rata
adalah padi dan jagung serta komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
Output diatas rata-rata adalah padi dan jagung. Berdasarkan hal tersebut maka
komoditas yang memiliki nilai multiplier effect yang besar adalah padi, jagung
dan buah-buahan.
keenam komoditas tersebut, perlu diketahui mana yang menurut para stakeholder
perlu diprioritaskan dalam rangka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di wilayah Kabupaten Majalengka. Hal ini penting untuk diketahui agar
pengembangan komoditas unggulan selaras dengan kebutuhan dan persepsi para
stakeholdernya.
Dari enam komoditas unggulan terpilih berdasarkan hasil analisis yaitu
komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo, para stakeholder
memilih komoditas padi sebagai prioritas pertama dengan skor penilaian sebesar
0,324, jagung sebagai prioritas kedua dengan skor 0,250, mangga sebagai prioritas
ketiga dengan skor 0,180, kedelai sebagai prioritas keempat dengan skor 0,122,
pisang sebagai prioritas kelima dengan skor 0,071 dan melinjo sebagai prioritas
terakhir dengan skor 0,052. Gambar 34 menunjukkan hasil persepsi para
stakeholder dalam menentukan prioritas komoditas unggulan.
sektor pertanian primer, (3) subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk siap dimasak
maupun siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya serta (4) subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan, penyuluhan, penelitian
pengembangan dan kebijakan pemerintah.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan,
dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem-subsistem tersebut.
Namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan adanya ketimpangan
perkembangan diantara subsistem tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan
usahatani tidak memberikan hasil yang maksimal bagi para petani sebagai pelaku
utamanya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan sesuai konsep agribisnis, diperlukan arahan untuk mengetahui
prioritas pengembangan subsistem agribisnis yang dibutuhkan berdasarkan
pengalaman para stakeholder di lapangan.
Persepsi para stakeholder pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan
Gambar 35 tersebut, menunjukkan bahwa untuk pengembangan komoditas padi
yang perlu diprioritaskan adalah pengembangan subsistem agribisnis hulu diikuti
dengan pengembangan subsistem usahatani, agribisnis hilir dan jasa layanan
pendukung. Para stakeholder lebih memprioritaskan subsistem agribisnis hulu
karena subsistem agribisnis hulu menyangkut ketersediaan benih yang bermutu,
pupuk, obat-obatan dan sarana produksi lainnya yang sangat menentukan tingkat
keberhasilan petani dalam melakukan usahatani padi.
Urutan prioritas subsistem dalam pengembangan komoditas jagung
berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, agribisnis hulu dan jasa
layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa aspek pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil komoditas jagung merupakan aspek yang menjadi prioritas
untuk dikembangkan. Untuk pengembangan kedelai yang perlu diprioritaskan
secara berturut-turut adalah subsistem usahatani, agribisnis hilir, sgribisnis hulu
dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani
kedelai yang selama ini dilakukan belum optimal sehingga masih dibutuhkan
dukungan program-program pemerintah misalnya berupa pembinaan dan
137
penyuluhan yang intensif dalam hal tehnik budidaya yang baik dan benar untuk
memperoleh hasil yang maksimal.
Persepsi stakeholder dalam pengembangan mangga menunjukkan bahwa
subsistem agribisnis hulu sebagai prioritas pertama kemudian subsistem agribisnis
hilir, usahatani dan jasa layanan pendukung. Dari hasil analisis persepsi tersebut
menunjukkan bahwa ketersedian sarana produksi merupakan hal yang masih
sangat diperlukan untuk pengembangan mangga sebagai komoditas unggulan.
Berdasarkan wawancara di lapangan diketahui bahwa subsistem hulu dipilih
menjadi prioritas dalam pengembangan mangga karena banyak sekali
permasalahan yang terkait dengan hama penyakit sehingga ketersediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Adapun untuk pengembangan pisang persepsi stakeholder menunjukkan
bahwa yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem agribisnis
hilir, usahatani, hulu dan jasa layanan pendukung, demikian pula untuk
pengembangan melinjo, subsistem agribisnis hilir menempati prioritas pertama
kemudian diikuti dengan subsistem usahatani, jasa layanan pendukung dan
agribisnis hulu. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengembangan pisang dan
melinjo aspek pengolahan dan pemasaran hasil menjadi prioritas yang diperlukan.
Nilai dari masing-masing prioritas pengembangan subsistem agribisnis per
komoditas berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) disajikan pada
Gambar 35.
Berdasarkan pertimbangan untuk pengembangan keseluruhan komoditas
unggulan maka subsistem usahatani merupakan subsistem yang terpilih sebagai
prioritas pertama untuk dikembangkan dengan skor 0,287 kemudian subsistem
agribisnis hulu dengan skor 0,275, subsistem agribisnis hilir dengan skor 0,273
dan subsistem jasa layanan pendukung dengan skor 0,166. Hal ini menunjukkan
bahwa menurut persepsi para stakeholder, dalam pengembangan komoditas
unggulan di Kabupaten Majalengka masih diperlukan peningkatan tehnik-tehnik
budidaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas hasil produksi.
138
Gambar 36. Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem
dengan skor 0,249. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan sistem
agribisnis faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang paling penting
untuk dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilannya. Hasil analisis AHP secara keseluruhan disajikan pada
Gambar 37.
Pembangunan Subsektor
Tanaman Bahan
Makanan
Sumberdaya Sarana
Kelembagan
Manusia Prasarana
(0,249)
(0,448) (0,303)
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta
dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Subsektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis di Kabupaten
Majalengka sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan
kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan
kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi jagung, kedelai,
kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan
petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah
alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo,
petai, sirsak dan sukun. Kondisi dan potensi yang baik ini membawa implikasi
bagi Kabupaten Majalengka untuk lebih memberi perhatian dan prioritas
terhadap pembangunan subsektor tanaman bahan makanan agar mampu
menjadi motor penggerak pengembangan wilayah di masa yang akan datang.
2. Subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan sumbangannya
terhadap PDRB (23,80%) dan pembentukan output total (16,23%). Walaupun
subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai yang rendah untuk semua
indikator keterkaitan dan multiplier effect, namun demikian, subsektor ini
memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo merupakan
komoditas unggulan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisis pada level
makro, meso dan mikro.
4. Prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan jenis
komoditas unggulan secara berturut-turut adalah padi, jagung, mangga,
154
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain agar terus dilakukan, baik yang memiliki keterkaitan ke depan
maupun ke belakang sehingga mampu meningkatkan nilai tambah di dalam
wilayah serta mengurangi terjadinya kebocoran wilayah.
2. Perlu dikembangkan rantai sistem agribisnis dalam pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat terbangun
keterkaitan antar subsistem agribisnis maupun antar sektor lainnya.
3. Perlu dilakukan survey tanah yang lebih detil sehingga informasi mengenai
evaluasi kesesuaian lahan untuk lokasi pengembangan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan akan lebih akurat.
155
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah IS. 2003. Asean Free Trade Area (AFTA). Otonomi Daerah dan Daya
Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Peneliti Agro
Ekonomi 21(1):1-11.
[BPS Jabar]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Produk Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Bandung:
Badan Pusat Statistik.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Tanaman
Pangan. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
Djaenudin. D., Marwan H., Subagjo H., Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak.
Ilham N. 2008. Profil Teknologi pada Usahatani Padi dan Implikasinya Terhadap
Peran Pemerintah. Analisis Kebijakan Pertanian 6:335-351.
Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Dalam:
Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan
Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Wilayah. hlm 47-65.
Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J.
Applied Decision Sciences 1(1):24-79.
Supriatna, A. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani
di Tingkat Pedesaan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):111-118.
Zakaria AK, Sejati WK, Kustiari R. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas
Kedelai Menurut Agroekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia.
Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 21-37.
159
LAMPIRAN
160
Lampiran 1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotien t (LQ) Luas Tanam
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
No Kabupaten/Kota
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,62 0,00 0,03 0,07 1,30 0,61 - 0,26 1,54 0,50 0,62 0,62 1,70 1,54 1,39 1,34 4,71 5,23
2 Sukabumi 0,09 - 0,65 0,02 0,33 0,96 2,68 0,33 0,09 0,42 1,79 1,33 1,50 1,38 1,72 1,85 1,56 1,43 0,11 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,77 0,03 0,54 2,08 1,32 3,45 2,90 0,37 0,94 1,23 1,32 1,05 1,02 1,85 0,95 0,86 0,34 0,24
4 Bandung 0,93 2,83 1,11 2,99 2,36 0,92 1,11 1,66 2,14 1,39 0,11 0,32 0,22 0,92 0,08 0,37 0,26 0,23 0,15 0,09
5 Garut 0,53 2,36 0,74 1,75 1,69 0,81 0,72 1,02 - 2,04 0,36 1,45 1,05 1,66 0,65 0,75 0,31 1,27 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 1,00 0,01 0,13 0,14 0,54 0,04 0,08 0,46 1,93 1,69 0,83 1,19 1,65 3,54 2,14 2,54 0,96 1,01
7 Ciamis - - 1,17 - 0,05 - 0,25 0,01 0,33 1,91 2,15 1,56 1,57 1,05 1,70 1,51 1,32 1,10 1,19 1,91
8 Kuningan 2,01 - 4,41 0,11 0,25 1,15 0,87 0,66 - 0,18 0,57 0,55 1,99 0,86 0,13 1,23 0,48 0,29 0,02 -
9 Cirebon 9,95 - - - - - - - - - 0,22 2,16 0,11 0,02 1,26 - 0,47 - 0,15 -
10 Majalengka 3,95 - 2,48 0,97 1,10 1,15 0,57 0,23 0,07 0,31 0,15 1,05 1,13 0,43 0,80 0,35 0,39 0,16 0,03 0,01
11 Sumedang 0,25 - 0,64 0,19 1,32 0,30 0,56 0,12 - 4,57 0,79 1,38 1,23 1,43 0,56 0,52 1,20 1,21 0,23 0,01
12 Indramayu 1,73 - - - - 1,05 0,29 - - - 2,76 1,23 2,96 0,45 3,25 - 3,11 0,22 0,71 0,72
13 Subang 0,15 - 0,51 0,06 0,15 1,22 0,36 0,13 2,10 - 4,40 0,72 1,36 0,93 2,41 1,64 2,35 3,00 0,83 0,50
14 Purwakarta - - 0,52 - 0,02 0,13 0,60 0,22 1,79 - 3,32 0,68 1,68 0,78 2,02 1,11 2,89 1,69 2,02 1,72
15 Karawang - - - - - - 0,84 - - - 4,93 0,18 3,09 - 2,90 - 3,80 - 1,03 0,33
16 Bekasi - - - - - - 1,50 - 3,65 - 0,86 0,39 0,05 - 0,78 - 2,05 0,29 7,66 8,60
17 Bandung Barat 0,03 - 0,40 0,53 0,47 6,31 0,85 0,76 3,00 0,87 1,87 0,78 1,77 1,38 1,29 1,96 1,93 3,67 0,27 0,57
18 Kota Bogor - - 0,37 - - - 1,21 - - 0,52 1,58 0,47 1,10 1,38 2,43 2,56 1,36 - 4,29 3,69
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,38 - - - 2,29 0,66 - 1,76 0,81 0,42 2,17 - 0,77 0,07
20 Kota Bandung - - 1,32 - - 7,34 1,27 - - 1,59 1,89 0,77 2,14 1,56 2,87 1,42 0,22 8,53 0,92 -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,92 0,78 0,44 - 1,46 - 2,38 - 7,49 7,84
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,47 - - - 0,18 0,03 0,07 - 0,22 - 0,21 - 9,23 9,86
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,33 0,12 - - 3,47 - 2,00 - 8,48 7,23
24 Kota Cimahi - - 1,29 - - - 3,71 - - - 0,81 0,55 1,30 0,83 1,42 1,53 0,17 9,74 1,57 4,30
25 Kota Tasikmalaya - - 0,20 - - - 1,43 - - - 2,26 1,43 0,15 0,11 1,23 1,85 3,02 - 2,62 3,66
26 Kota Banjar 0,16 - 0,22 - - - 1,00 - - 1,47 3,12 0,42 1,15 0,26 0,96 - 2,47 1,43 4,01 2,58
Lampiran 2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Luas Panen
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
No Kabupaten/Kota
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,68 0,00 0,03 0,09 1,33 0,63 - 0,26 1,58 0,54 0,75 0,62 1,81 1,58 1,44 0,82 4,23 4,93
2 Sukabumi 0,09 - 0,63 0,02 0,31 0,81 2,55 0,34 0,09 0,42 1,84 1,31 1,52 1,37 1,81 2,04 1,56 0,91 0,09 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,93 0,03 0,56 2,06 1,36 3,64 2,72 0,38 0,92 1,14 1,52 0,99 0,97 1,75 0,88 0,77 0,38 0,31
4 Bandung 1,03 2,66 1,02 3,11 2,34 0,94 1,04 1,53 2,01 1,31 0,10 0,33 0,23 0,96 0,07 0,36 0,24 1,06 0,15 0,09
5 Garut 0,56 2,39 0,84 1,60 1,68 0,89 0,69 1,01 - 2,08 0,34 1,39 0,98 1,68 0,65 0,74 0,31 1,41 0,22 0,15
6 Tasikmalaya - - 1,01 0,00 0,13 0,12 0,59 0,04 0,05 0,46 1,90 1,62 0,83 1,12 1,58 3,52 2,19 1,27 0,99 0,98
7 Ciamis - - 1,21 - 0,05 - 0,29 0,01 0,08 1,86 1,93 1,73 1,44 0,99 1,53 1,61 1,52 0,35 1,65 1,15
8 Kuningan 2,07 - 4,54 0,10 0,24 1,36 0,97 0,61 - 0,08 0,54 0,58 2,22 0,92 0,13 1,34 0,49 0,63 0,11 -
9 Cirebon 10,86 - - - - - - - - - 0,24 2,06 0,11 0,02 1,22 - 0,48 - 0,27 -
10 Majalengka 4,06 - 2,36 0,86 1,08 0,90 0,61 0,25 - 0,37 0,17 1,18 1,42 0,43 0,89 0,39 0,50 0,48 0,03 0,01
11 Sumedang 0,28 - 0,70 0,18 1,35 0,34 0,52 0,13 - 4,80 0,78 1,36 1,16 1,37 0,52 0,58 1,15 0,84 0,23 -
12 Indramayu 1,81 - - - - 1,19 0,29 - - - 2,77 1,29 2,45 0,37 3,19 - 3,03 0,13 0,93 0,74
13 Subang 0,14 - 0,57 0,07 0,16 1,17 0,38 0,16 2,31 - 4,35 0,69 1,18 0,98 2,45 1,75 2,12 2,19 0,72 0,47
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,01 0,13 0,57 0,20 1,55 - 3,15 0,96 1,47 0,68 2,16 1,10 2,76 1,02 1,97 1,76
15 Karawang - - - - - - 0,86 - - - 4,78 0,16 2,84 - 3,12 - 3,65 - 1,11 0,44
16 Bekasi - - - - - - 1,75 - 4,58 - 0,87 0,39 0,04 - 0,67 - 2,17 - 7,16 8,33
17 Bandung Barat 0,03 - 0,38 0,49 0,46 5,95 0,70 0,64 2,80 0,79 1,65 1,46 1,75 1,35 1,13 1,65 1,81 2,88 0,26 0,48
18 Kota Bogor - - 0,39 - - - 1,20 - - 0,56 1,64 0,48 0,77 1,35 2,25 2,02 1,58 - 4,31 3,93
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,12 - - - 2,44 0,68 - 1,70 0,89 0,42 2,08 - 1,40 -
20 Kota Bandung - - 1,30 - - 7,54 1,42 - - 1,52 1,68 0,49 1,83 1,59 2,00 1,75 - 15,95 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,79 0,79 0,59 - 1,33 - 2,22 - 7,45 8,08
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,63 - - - 0,22 0,02 0,05 - 0,26 - 0,19 - 9,13 10,00
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,85 0,10 - - 3,92 - 2,04 - 7,26 6,63
24 Kota Cimahi - - 1,47 - - - 3,56 - - 0,05 0,73 0,57 1,57 1,02 1,63 1,25 0,16 7,69 1,34 3,67
25 Kota Tasikmalaya - - 0,06 - - - 1,49 - - - 2,20 1,61 0,26 - 1,22 1,99 2,97 - 2,44 3,48
161
26 Kota Banjar 0,16 - 0,19 - - - 0,95 - - 1,40 2,91 0,58 1,53 0,26 1,00 - 2,44 0,73 3,97 2,45
162
Lampiran 3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
No Kabupaten/Kota
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,49 0,00 0,04 0,16 1,33 0,55 - 0,11 1,94 0,39 0,33 0,32 2,21 1,01 1,50 0,11 7,50 10,39
2 Sukabumi 0,14 - 0,75 0,02 0,26 0,53 2,93 0,26 0,07 0,37 2,02 0,97 0,84 1,12 2,47 1,58 1,54 2,24 0,04 0,05
3 Cianjur 0,03 - 1,65 0,03 0,46 1,83 1,29 3,00 2,98 0,40 1,15 1,06 1,94 1,12 1,29 2,03 1,02 0,79 0,30 0,15
4 Bandung 0,71 1,88 0,72 2,13 1,78 0,83 1,01 1,40 1,73 1,09 0,13 0,43 0,18 1,26 0,08 0,35 0,32 1,33 0,21 0,06
5 Garut 0,42 1,96 0,78 1,43 1,47 0,73 0,74 0,89 - 1,94 0,39 1,44 0,94 1,40 0,91 0,83 0,34 0,77 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 0,67 0,00 0,10 0,08 0,69 0,04 0,03 0,51 2,12 2,90 0,95 0,72 2,23 4,08 2,48 0,39 1,31 0,88
7 Ciamis - - 0,73 - 0,07 - 0,28 0,01 0,03 0,90 2,03 3,93 1,79 1,05 1,75 1,90 1,81 0,12 1,73 0,82
8 Kuningan 1,80 - 7,27 0,10 0,24 1,58 1,25 0,69 - 0,05 0,40 0,33 2,00 0,47 0,10 1,04 0,43 0,27 0,24 0,00
9 Cirebon 16,92 - - - - - - - - - 0,26 2,11 0,08 0,00 1,34 - 0,93 - 0,42 0,03
10 Majalengka 6,44 - 3,74 0,97 0,60 0,95 0,93 0,09 - 0,39 0,14 0,72 1,10 0,38 0,94 0,38 0,35 0,08 0,01 0,04
11 Sumedang 0,33 - 0,63 0,18 2,06 0,23 0,55 0,20 - 4,84 1,10 1,06 1,47 1,09 0,60 0,48 2,08 0,20 0,37 0,02
12 Indramayu 2,10 - - - - 1,81 0,32 - - - 3,48 1,07 2,51 0,18 4,73 - 4,30 0,11 2,21 0,41
13 Subang 0,32 - 0,59 0,06 0,10 0,34 0,34 0,01 1,57 - 4,89 1,00 1,88 0,99 2,75 2,36 2,48 0,67 0,65 0,75
14 Purwakarta - - 0,59 - 0,02 0,17 0,65 0,23 1,53 - 5,55 0,68 1,30 0,46 1,75 1,30 3,50 0,16 3,05 1,92
15 Karawang - - - - - - 0,67 - - - 7,74 0,14 3,72 - 2,54 - 4,52 - 1,66 0,61
16 Bekasi - - - - - - 1,78 - 4,93 - 1,08 0,07 0,00 - 0,32 - 4,05 - 8,48 10,30
17 Bandung Barat 0,03 - 0,36 0,29 0,32 5,56 0,57 0,51 1,53 0,35 1,21 1,33 3,03 0,47 0,94 2,14 1,78 5,01 0,22 0,23
18 Kota Bogor - - 0,25 - - - 0,72 - - 0,58 2,11 0,94 0,91 0,91 3,02 2,68 1,58 - 6,74 4,78
19 Kota Sukabumi - - - - - - 4,26 - - - 2,61 0,55 - 0,65 0,93 0,42 2,28 - 8,29 -
20 Kota Bandung - - 1,46 - - 7,78 1,48 - - 1,96 2,18 0,51 1,90 0,73 2,56 2,13 - 5,33 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 5,51 1,09 0,39 - 1,09 - 3,16 - 7,42 7,80
22 Kota Bekasi - - - - - - 4,08 - - - 0,49 0,06 0,17 - 0,42 - 0,28 - 10,77 14,39
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 6,15 0,12 - - 3,61 - 1,71 - 10,96 6,79
24 Kota Cimahi - - 1,46 - - - 3,20 - - 0,08 0,56 0,59 1,63 0,86 0,68 0,29 0,01 1,22 1,21 13,66
25 Kota Tasikmalaya - - 0,18 - - - 1,41 - - - 3,03 2,24 0,29 - 1,23 2,21 5,04 - 2,55 1,92
26 Kota Banjar 0,54 - 0,41 - - - 1,20 - - 1,07 2,94 0,78 1,99 0,20 1,21 - 3,83 0,50 4,31 3,65
Lampiran 4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Jumlah Pohon
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
Petai
Duku
No Kabupaten/Kota
1 Bogor 1,27 3,64 8,48 4,07 2,36 2,58 0,57 0,33 0,33 5,02 2,99 0,72 4,11 0,85 3,80 0,10 1,13 0,78 1,38 1,26 1,03 2,37
2 Sukabumi 1,14 1,38 1,02 1,80 1,17 2,00 1,45 1,47 1,20 1,64 2,00 0,06 5,16 2,24 1,02 0,06 2,55 1,54 1,72 0,59 0,17 0,81
3 Cianjur 1,10 0,75 0,45 1,19 1,25 1,03 0,70 0,62 0,59 0,24 1,04 0,08 0,62 2,68 0,39 0,09 1,49 - 2,64 0,59 0,54 1,22
4 Bandung 13,38 3,49 0,14 2,45 5,18 4,80 1,75 8,89 1,19 0,81 4,09 0,00 2,11 1,22 0,55 0,02 5,34 3,03 1,75 8,93 1,19 3,19
5 Garut 5,46 1,24 0,78 1,03 1,42 1,14 10,14 0,66 1,89 0,35 1,48 0,02 2,02 1,63 0,83 0,01 1,39 5,26 2,28 1,55 0,74 1,48
6 Tasikmalaya 0,43 0,34 0,88 0,83 0,35 0,27 0,70 0,23 0,26 2,26 0,45 0,03 0,60 0,61 0,76 4,80 0,73 0,13 1,27 0,75 0,24 0,59
7 Ciamis 0,97 1,28 3,88 1,50 0,90 1,74 0,91 2,39 0,69 1,96 0,93 0,09 1,06 2,24 1,08 0,28 0,16 10,36 1,81 1,79 0,75 2,87
8 Kuningan 0,57 0,76 0,20 1,87 2,25 0,63 0,98 0,26 3,52 0,11 1,82 0,02 0,89 1,45 1,61 0,22 0,23 - 1,05 3,36 8,50 2,82
9 Cirebon 0,12 1,80 0,15 0,44 7,49 4,14 0,71 0,11 9,64 - 1,58 0,00 3,74 0,94 0,41 0,02 2,76 - 0,87 0,85 3,02 0,50
10 Majalengka 3,10 2,38 0,17 2,12 2,02 1,99 1,31 0,57 4,49 0,18 3,26 0,02 1,09 1,26 0,78 0,04 1,04 0,08 1,01 2,30 8,06 2,70
11 Sumedang 2,24 0,50 0,47 1,63 1,04 0,43 1,11 9,39 1,85 0,40 2,45 0,04 1,04 1,52 1,09 1,31 5,41 - 0,44 1,06 1,54 2,73
12 Indramayu 0,09 5,07 - 0,01 2,81 4,06 0,48 0,11 11,48 - 2,62 - 0,91 0,81 0,03 0,01 2,10 - 1,35 3,45 4,07 1,58
13 Subang 0,02 0,10 0,02 0,12 0,07 0,09 0,22 0,02 0,07 0,13 0,06 2,66 0,10 0,19 0,47 0,00 0,05 - 0,09 0,05 0,06 0,04
14 Purwakarta 0,15 0,65 0,45 1,24 1,09 1,01 0,32 0,74 0,54 3,91 0,63 0,05 0,47 2,59 2,82 0,01 0,67 0,19 0,84 0,35 0,81 0,76
15 Karawang 0,05 6,86 0,06 3,96 3,77 8,75 0,97 0,14 4,87 0,24 3,58 0,04 2,50 0,95 4,14 0,00 2,31 - 5,00 2,35 1,69 2,44
16 Bekasi 0,01 3,13 12,75 0,78 3,48 6,46 0,44 - 2,40 0,06 2,82 - 1,17 1,75 3,33 0,16 1,20 - 0,80 2,08 2,14 0,94
17 Bandung Barat 3,26 0,98 0,45 1,39 2,93 0,96 0,81 1,30 0,33 0,77 1,69 0,50 1,78 1,78 1,62 0,15 1,40 0,22 1,04 2,64 1,16 0,85
18 Kota Bogor 1,20 10,03 1,95 1,43 10,20 9,63 2,89 3,07 0,37 1,25 1,70 0,16 11,70 1,22 2,12 0,02 3,60 - 3,50 1,25 0,50 0,25
19 Kota Sukabumi 3,94 2,72 - 4,19 0,83 5,53 - - 2,87 3,21 8,83 - 4,55 1,04 1,96 - 0,64 8,39 0,36 10,35 3,01 3,80
20 Kota Bandung 3,91 14,33 0,09 1,86 7,07 11,85 4,28 17,54 3,40 - 5,78 - 5,18 0,37 1,50 - 4,97 - 6,04 14,17 3,39 2,24
21 Kota Cirebon 0,18 5,96 9,12 0,16 7,31 11,04 1,25 - 10,48 0,11 1,96 - 1,30 0,40 0,28 - 3,87 - 2,41 2,54 3,33 2,61
22 Kota Bekasi 0,32 16,73 7,27 5,20 7,39 11,37 0,64 5,12 1,85 0,14 3,04 0,01 6,84 0,33 8,91 0,01 7,91 - 2,15 1,44 5,23 0,50
23 Kota Depok 0,49 64,70 0,09 2,68 8,65 1,99 1,61 2,33 1,03 0,90 4,03 0,14 14,96 0,55 4,99 0,06 3,50 - 0,36 0,14 1,03 0,05
24 Kota Cimahi 3,50 14,24 6,21 4,36 6,14 9,54 1,35 1,85 1,96 1,07 2,73 - 4,39 0,23 2,92 0,03 1,86 12,72 1,55 19,52 1,18 11,20
163
25 Kota Tasikmalaya 0,37 0,39 1,11 2,33 0,77 0,52 0,20 0,01 1,29 0,44 3,31 0,00 0,34 0,24 3,80 4,01 0,29 0,10 0,42 6,05 0,99 2,23
26 Kota Banjar 0,14 0,32 - 2,56 0,28 0,66 0,21 0,16 1,03 0,11 0,91 0,01 0,27 2,33 3,57 0,04 2,13 - 0,66 0,38 4,06 1,05
164
Lampiran 5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
No Kabupaten/Kota
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
Petai
Duku
1 Bogor 0,57 5,07 6,04 4,23 2,89 1,26 0,36 0,55 0,17 3,32 2,78 0,21 3,59 0,60 2,63 0,11 0,90 0,85 0,85 0,95 0,67 1,78
2 Sukabumi 0,46 0,43 0,37 0,64 0,95 0,68 0,73 2,28 0,67 0,25 1,17 0,01 7,22 1,36 0,05 0,01 1,55 1,40 1,19 0,45 0,24 0,29
3 Cianjur 0,47 0,45 0,83 0,82 0,99 0,72 0,57 0,92 0,19 0,10 0,74 0,01 0,29 2,04 0,16 0,01 0,94 - 1,52 0,15 0,26 0,46
4 Bandung 6,11 3,93 0,37 1,18 2,97 4,13 1,87 9,56 0,40 0,01 3,40 0,00 1,13 0,92 0,20 0,01 2,41 7,80 2,09 2,72 0,99 2,65
5 Garut 5,57 0,45 0,99 1,34 0,75 0,53 4,93 0,20 0,79 0,24 0,46 0,00 0,34 1,37 0,27 0,01 0,61 2,42 3,04 0,32 0,10 0,97
6 Tasikmalaya 0,25 0,29 1,20 1,12 0,28 0,40 0,25 0,35 0,09 6,95 0,68 0,01 0,47 0,85 0,34 9,36 0,76 0,08 1,71 2,59 0,13 0,53
7 Ciamis 0,58 0,43 4,41 1,40 0,53 1,10 0,82 1,74 0,32 1,33 0,65 0,01 0,43 1,77 0,32 0,45 1,43 7,69 0,98 0,31 0,12 2,13
8 Kuningan 0,76 0,16 0,34 4,15 1,06 0,37 1,75 0,31 1,75 0,01 1,38 0,01 0,35 0,96 0,67 0,16 0,10 - 0,72 1,42 5,75 2,62
9 Cirebon 0,17 1,11 0,07 0,65 8,84 1,58 0,17 0,12 4,18 - 1,54 0,00 0,95 0,32 0,10 0,00 1,58 - 0,60 0,90 4,40 0,65
10 Majalengka 1,59 0,97 0,11 0,93 1,17 0,91 1,09 0,31 3,56 0,05 1,19 0,00 0,29 0,59 0,25 0,04 0,89 - 0,18 0,62 9,73 2,45
11 Sumedang 0,86 0,28 1,13 1,67 0,43 0,16 0,96 5,39 2,02 0,02 3,57 0,00 0,27 0,90 0,42 1,82 3,25 - 0,18 0,16 0,94 3,87
12 Indramayu 0,01 1,50 - 0,02 1,15 2,70 0,06 0,12 6,24 - 0,71 - 0,14 0,16 0,02 0,00 1,56 - 0,35 9,39 0,74 0,55
13 Subang 0,04 0,11 0,06 0,17 0,10 0,09 0,17 0,01 0,43 0,54 0,18 4,73 0,05 0,25 2,27 0,01 0,18 - 0,06 0,07 0,15 0,09
14 Purwakarta 0,07 0,26 0,35 0,47 0,50 0,90 0,23 0,43 0,14 0,87 0,30 0,01 0,09 1,70 2,49 0,01 0,54 0,04 0,42 0,14 0,64 0,94
15 Karawang 0,03 2,67 0,23 1,54 3,56 12,74 1,17 0,25 2,14 0,04 2,32 0,01 1,22 0,27 2,36 0,00 1,60 - 4,14 1,12 0,54 4,18
16 Bekasi 0,00 2,19 0,43 0,03 4,79 10,33 0,82 - 2,25 0,00 1,87 - 0,42 0,49 2,72 0,04 1,24 - 0,10 1,05 1,55 0,94
17 Bandung Barat 2,54 0,31 1,11 0,47 1,81 1,56 2,09 0,51 0,12 0,28 1,80 0,13 0,19 1,13 3,07 0,03 0,78 0,02 0,66 0,68 2,08 0,32
18 Kota Bogor 1,33 7,06 4,04 2,78 6,14 6,18 3,48 4,45 0,31 0,94 1,16 0,05 5,96 0,59 0,86 0,02 3,19 - 0,97 0,42 1,97 0,29
19 Kota Sukabumi 3,63 1,94 - 3,04 1,36 0,48 - - 0,75 0,13 14,25 - 4,52 0,39 0,51 - - - 0,28 0,58 0,54 0,40
20 Kota Bandung 4,69 8,05 - 1,74 0,90 4,01 9,14 33,28 0,75 - 4,64 - 2,19 0,38 0,30 - 4,68 - 3,86 5,40 1,47 0,75
21 Kota Cirebon 0,08 4,20 - - 3,00 7,85 0,75 - 3,89 - 5,82 - 0,29 0,30 0,06 - 2,63 - 1,88 1,84 2,31 2,32
22 Kota Bekasi 0,27 8,95 2,70 2,92 2,52 15,98 0,73 5,11 0,73 - 2,13 0,00 2,00 0,23 3,72 - 3,83 - 0,48 0,26 4,73 0,62
23 Kota Depok 0,86 77,84 4,18 2,35 5,59 0,45 0,19 0,02 0,14 0,03 1,96 0,03 5,33 0,19 2,03 0,02 0,92 - 0,10 0,05 0,64 0,03
24 Kota Cimahi 1,74 6,85 0,36 11,21 3,59 10,70 0,99 0,82 0,24 0,25 0,80 - 0,70 0,07 1,04 0,02 0,36 9,17 0,22 16,09 0,33 8,15
25 Kota Tasikmalaya 0,43 0,53 0,72 0,09 0,36 0,22 - - 2,20 0,07 2,31 0,00 0,48 0,30 0,77 8,62 0,49 - 1,14 2,61 0,83 2,29
26 Kota Banjar 0,40 0,07 4,59 7,01 0,27 1,14 0,09 0,19 0,49 0,14 1,14 0,00 0,44 0,77 2,87 0,07 4,48 - 0,72 0,86 7,02 2,46
Lampiran 6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,20 -0,07 -0,21 4,46 0,28 0,10 -0,78 -0,06 -0,15 0,03 0,04 -0,07 -0,18 -0,07 -0,32 0,41 0,66 0,79
2 Sukabumi 0,31 - -0,07 -0,59 0,18 19,46 -0,15 0,58 - -0,12 -0,12 0,51 -0,29 0,03 -0,25 -0,14 -0,13 0,46 -0,64 -0,63
3 Cianjur 2,71 - -0,01 -0,25 0,02 7,16 0,00 0,09 0,15 -0,07 0,63 0,70 -0,21 0,10 0,53 0,08 0,81 0,33 0,24 -0,23
4 Bandung -0,39 -0,02 0,48 -0,08 -0,15 -0,32 -0,10 -0,20 -0,23 -0,02 -0,34 -0,55 -0,12 -0,32 -0,49 -0,30 0,94 -0,38 -0,16 -0,80
5 Garut 0,58 0,07 0,03 0,17 0,36 1,47 0,15 0,29 - 0,23 0,46 0,17 0,04 0,22 0,52 0,19 -0,06 0,22 -0,05 -0,05
6 Tasikmalaya -0,94 - 0,37 -0,47 0,19 -0,07 -0,07 -0,10 -0,63 -0,32 -0,01 -0,07 -0,10 0,10 -0,22 0,09 -0,25 -0,21 -0,41 -0,36
7 Ciamis - - -0,32 -0,74 -0,20 - -0,27 -0,66 -0,28 0,09 -0,17 0,21 0,08 -0,01 -0,20 -0,08 -0,47 3,33 -0,65 -0,37
8 Kuningan -0,16 - -0,32 - 0,01 1,80 -0,07 -0,12 - 0,97 0,94 0,55 0,66 0,23 -0,45 1,11 0,32 0,18 -1,22 -
9 Cirebon 0,27 - - - - - - - - -0,89 -0,53 -0,13 -0,30 -0,47 -0,43 - -0,49 - -0,84 -1,27
10 Majalengka -0,03 - -0,16 6,80 -0,21 0,20 0,64 -0,06 -0,56 -0,25 -0,45 -0,13 -0,38 0,50 0,86 -0,01 -0,26 -0,47 -0,64 -
11 Sumedang -0,14 - -0,23 -0,34 0,27 0,46 -0,24 0,25 - -0,29 0,10 0,16 -0,14 0,08 0,07 0,30 -0,05 0,27 0,12 -0,61
12 Indramayu 0,24 - - -0,74 - - - - - - -0,07 -0,26 7,35 0,27 0,31 - 0,39 - 1,49 13,13
13 Subang - - 0,89 -0,46 0,24 0,71 2,11 0,18 0,85 -0,89 -0,21 0,11 -0,27 0,17 0,22 -0,05 -0,33 1,45 -0,26 -0,16
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,88 - 0,15 - 6,72 - 0,33 0,32 1,28 0,44 0,18 0,11 0,31 0,81 0,40 0,49
15 Karawang -0,94 - - - - - -0,45 - - - 0,03 -0,14 0,42 - -0,07 - 0,14 - -0,70 -1,00
16 Bekasi -0,94 - - - - - 0,56 - 3,53 - -0,24 0,32 8,92 - 0,05 - -0,10 -0,51 0,12 0,19
17 Bandung Barat 0,04 - 0,38 0,05 -0,17 -0,27 0,32 0,04 0,01 0,65 0,37 -0,46 0,35 -0,14 0,40 -0,10 2,04 -0,29 -0,03 -0,53
18 Kota Bogor - - -0,19 - - - 1,04 - - -0,38 -0,10 -0,63 0,66 -0,37 -0,35 0,24 -0,12 - -0,52 -0,88
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,21 - - - -0,27 -0,12 -1,08 -0,36 -0,82 -0,65 -0,56 -0,67 -0,95 -
20 Kota Bandung - - -0,79 - - - -0,80 - - -0,14 0,29 3,06 1,42 4,20 - 2,22 -0,55 - -1,04 -1,27
21 Kota Cirebon - - - - - - #DIV/0! - - -0,89 0,37 0,06 -0,79 - 0,24 - -0,05 - 0,20 0,16
22 Kota Bekasi - - - - - - -0,16 - -0,78 - -0,21 0,06 -0,08 - -0,30 - -0,19 - -0,29 -0,27
23 Kota Depok - - - - - - #DIV/0! - - - -0,07 -0,70 - -0,80 -0,19 - 0,17 - -0,22 -0,32
24 Kota Cimahi - - 0,65 - - - -0,09 -0,71 - -0,89 8,14 14,06 - 1,53 1,59 4,88 - - 0,92 1,87
25 Kota Tasikmalaya - - -0,39 - - - -0,20 - - - -0,11 -0,10 -0,58 0,20 -0,16 -0,05 -0,14 - 0,00 0,27
165
26 Kota Banjar - - -0,11 - - - -0,33 - -0,78 -0,49 1,61 -0,42 0,15 -0,09 -0,24 -0,78 5,55 0,83 0,40 -0,46
Lampiran 7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
166
Nilai Differential Shift Luas Panen
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,13 -0,26 -0,07 5,50 0,14 0,09 -0,84 -0,18 -0,20 0,09 0,00 -0,04 -0,08 -0,06 -0,40 0,65 0,40 0,54
2 Sukabumi 0,30 - -0,04 -0,71 0,16 - -0,20 0,65 - -0,10 -0,13 0,49 -0,38 0,04 -0,30 -0,07 -0,16 0,07 -0,74 -0,64
3 Cianjur 2,13 - 0,07 -0,20 0,03 5,91 0,04 0,10 0,08 -0,05 0,66 0,74 -0,08 0,09 0,53 -0,03 0,74 0,00 0,40 0,07
4 Bandung -0,27 -0,02 0,50 -0,01 -0,11 -0,21 -0,09 -0,20 -0,26 0,03 -0,20 -0,48 0,22 -0,27 -0,40 -0,24 1,20 0,17 -0,05 -0,34
5 Garut 0,57 0,06 0,14 0,08 0,35 1,54 0,05 0,25 - 0,20 0,34 0,10 -0,17 0,18 0,48 0,16 -0,10 0,26 -0,19 0,12
6 Tasikmalaya -0,87 - 0,61 -0,72 0,55 0,10 0,11 -0,02 -0,74 -0,21 0,04 -0,01 -0,11 0,10 -0,08 0,23 -0,14 -0,74 -0,26 -0,33
7 Ciamis - - -0,21 -0,86 -0,20 - -0,11 -0,65 -0,70 0,38 -0,24 0,42 0,00 0,09 -0,42 -0,06 -0,30 0,69 -0,41 -0,61
8 Kuningan -0,13 - -0,32 -0,60 -0,04 2,22 0,00 -0,21 - 0,00 0,83 0,94 1,32 0,38 -0,56 1,13 0,31 10,69 -0,86 -
9 Cirebon 0,22 - - - - - - - - -0,89 -0,59 -0,25 -0,59 -0,58 -0,59 - -0,53 - -0,37 -1,28
10 Majalengka -0,12 - -0,34 -0,01 -0,32 0,005 0,58 0,03 -0,84 -0,28 -0,51 -0,14 -0,27 0,43 0,61 -0,07 -0,16 0,19 -0,39 -
11 Sumedang -0,09 - -0,16 -0,46 0,21 0,27 -0,38 0,26 - -0,28 0,05 0,07 -0,32 0,00 -0,08 0,33 -0,11 0,03 0,11 -1,28
12 Indramayu 0,31 - - - - - - - - - -0,12 -0,36 5,95 0,06 0,29 - 0,09 - 3,17 13,12
13 Subang - - 1,35 -0,54 0,39 0,76 1,44 0,61 1,33 -0,89 0,00 -0,05 -0,41 -0,02 0,53 0,11 -0,37 2,40 -0,53 -0,28
14 Purwakarta - - 0,54 - 0,01 - 0,22 - 6,16 - 0,32 0,69 0,92 0,43 0,37 0,15 0,35 0,47 0,57 0,54
15 Karawang -0,87 - - - - - -0,32 - - - 0,05 -0,17 1,53 - -0,04 - 0,15 - -0,70 -0,81
16 Bekasi - - - - - - 0,84 - - - -0,29 -0,23 8,74 - 0,13 - 0,11 -1,31 0,05 0,10
17 Bandung Barat -0,16 - 0,22 -0,08 -0,28 -0,30 0,10 -0,01 -0,05 -0,06 0,07 -0,28 0,21 -0,15 -0,10 -0,25 1,72 -0,34 -0,16 -0,81
18 Kota Bogor - - 0,13 - - - 1,32 - - -0,26 -0,09 -0,62 0,36 -0,35 -0,47 0,16 0,04 - -0,43 -0,77
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,20 - - - -0,25 0,02 -1,26 -0,41 -0,90 -0,67 -0,60 - -0,58 -
20 Kota Bandung - - -0,70 - - - -0,77 - - 0,31 -0,46 -0,05 1,24 1,09 2,84 3,20 -1,12 0,52 -1,39 -1,28
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,89 0,21 0,08 -0,83 - 0,09 - -0,17 - 0,09 0,17
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,06 - -0,84 - 0,10 -0,25 -0,26 - -0,10 - -0,15 - -0,16 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 0,55 -0,74 - -0,91 0,22 - 0,42 - -0,05 -0,13
24 Kota Cimahi - - 6,88 - - - -0,10 - - -0,84 2,47 - - 3,84 2,84 3,87 - - 14,61 2,52
25 Kota Tasikmalaya - - -0,78 - - - -0,04 - - - -0,10 -0,15 -0,59 -0,91 -0,53 -0,15 -0,16 - -0,08 0,33
26 Kota Banjar - - 0,08 - - - -0,23 - -0,84 -0,45 0,61 0,45 1,24 -0,05 -0,36 -0,80 0,36 0,19 0,76 -0,49
Lampiran 8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - -0,04 -0,47 0,10 13,97 0,26 0,07 -0,77 -0,45 -0,04 -0,29 -0,69 -0,58 0,61 -0,05 -0,46 -1,16 1,00 0,65
2 Sukabumi 0,38 - 0,02 -0,78 -0,08 - -0,19 0,16 - -0,47 -0,27 -0,17 -1,16 -0,42 -0,39 -0,17 -0,25 2,87 -1,23 -1,07
3 Cianjur 0,41 - -0,30 -0,38 -0,20 3,99 -0,25 -0,17 -0,04 -0,56 0,22 0,48 -0,11 0,13 0,10 -0,21 0,32 0,71 0,23 -0,74
4 Bandung -0,38 -0,01 0,49 0,00 -0,07 -0,12 -0,11 -0,01 -0,13 0,12 -0,38 -0,14 1,41 -0,10 -0,51 -0,22 0,65 -0,18 -0,90 -1,20
5 Garut 0,64 0,03 0,42 0,04 0,40 1,64 0,41 0,68 - 0,21 0,62 0,19 -0,10 0,29 1,22 0,70 0,33 1,62 0,01 0,21
6 Tasikmalaya -1,04 - 0,71 -0,73 0,78 0,09 0,64 0,16 -0,69 0,44 0,28 -0,34 -0,58 -0,38 -0,41 0,36 -0,33 -0,87 -0,41 -0,69
7 Ciamis - - -0,34 -0,90 -0,24 - 0,04 -0,51 -0,70 -0,62 -0,20 1,03 1,75 0,56 -0,58 -0,06 -0,42 0,76 -0,93 -0,86
8 Kuningan -0,08 - 0,10 -0,66 0,02 3,71 0,23 0,13 - -0,24 0,92 0,36 0,75 0,38 -0,40 1,83 0,28 24,68 0,57 -
9 Cirebon 0,14 - - - - - - - - -0,97 -0,15 0,26 0,10 -0,90 -0,42 - 0,70 - -0,88 -1,14
10 Majalengka 0,09 - -0,22 0,10 -0,49 0,018 0,17 -0,36 -0,77 -0,27 0,25 -0,60 -0,91 -0,74 0,99 0,26 -0,22 -1,14 -1,19 -
11 Sumedang 0,18 - 0,08 -0,45 0,64 0,69 0,04 1,80 - -0,17 0,49 -0,01 0,09 0,49 0,40 0,53 0,06 -0,56 -0,46 -0,34
12 Indramayu 0,04 - - - - - - - - - -0,21 -0,26 9,90 3,35 0,14 - 0,13 - 2,31 2,03
13 Subang - - 2,72 -0,61 0,29 -0,07 1,79 -0,48 1,20 -0,97 -0,05 1,31 0,68 2,85 0,27 1,06 -0,19 1,86 -1,14 0,10
14 Purwakarta - - 0,66 - 0,11 - 0,21 - 6,46 - 0,59 0,26 0,71 0,59 0,44 0,36 0,84 -0,34 3,13 0,68
15 Karawang -1,04 - - - - - -0,43 - - - 0,24 0,11 7,93 - -0,34 - 0,42 - -0,99 -0,78
16 Bekasi - - - - - - 1,28 - - - -0,48 -0,31 -0,54 - -0,65 - -0,32 -1,36 0,69 0,41
17 Bandung Barat -0,26 - 0,27 - - - 0,05 0,29 -0,06 -0,26 -0,34 0,09 2,11 -0,59 -0,36 -0,21 1,25 -0,29 -0,82 -1,12
18 Kota Bogor - - 0,11 - - - 0,43 - - 0,56 2,57 2,50 5,79 3,98 1,42 0,80 2,33 - 7,09 0,17
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,07 - - - -0,23 0,25 -1,54 -0,88 -0,68 -0,52 -0,46 - 5,43 -
20 Kota Bandung - - -0,57 - - - -0,65 - - -0,04 -0,38 0,00 1,38 0,75 5,72 2,72 -1,00 1,15 -1,54 -1,66
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,97 0,07 -0,16 -1,23 - 0,09 - -0,03 - -0,10 -0,11
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,51 - -0,77 - 0,02 -0,25 0,53 - 0,11 - 0,00 - 0,06 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 1,73 -0,68 - -1,45 -0,62 - -0,57 - -0,76 -1,32
24 Kota Cimahi - - 32,74 - - - 0,14 - - -0,86 1,37 - - 7,90 0,67 1,27 - - -0,01 25,78
167
25 Kota Tasikmalaya - - -0,48 - - - -0,38 - - - -0,46 -0,65 -1,15 -1,45 -0,94 -0,45 -0,28 - -1,21 -1,04
26 Kota Banjar - - 0,98 - - - -0,47 - -0,77 -0,85 -0,53 -0,20 0,13 -0,70 -0,70 -0,68 -0,06 -0,01 -0,68 -1,23
Lampiran 9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
168
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
No Kabupaten/Kota
Petai
Duku
1 Bogor 0,54 0,02 0,00 0,12 0,09 0,03 -0,60 -0,06 -0,17 0,68 -0,10 0,47 -0,43 -0,28 -0,05 0,17 0,16 0,22 0,35 -0,33 0,31 2,57
2 Sukabumi 0,00 0,24 0,37 -0,01 0,01 0,19 -0,17 -0,06 0,50 0,74 0,58 0,00 1,13 0,14 0,26 0,79 0,78 1,53 -0,25 0,83 -0,02 -0,01
3 Cianjur 0,16 0,05 -0,06 -0,04 -0,15 -0,01 -0,21 -0,51 0,42 -0,33 0,05 0,21 0,09 -0,10 0,04 0,32 0,35 - -0,11 0,03 0,17 0,00
4 Bandung -0,02 -0,04 -0,13 -0,10 -0,05 -0,12 -0,42 -0,25 0,00 -0,22 -0,19 0,00 -0,08 0,85 -0,05 -0,12 0,65 1,72 -0,24 0,44 -0,16 0,06
5 Garut -0,14 -0,01 -0,33 -0,03 -0,07 -0,02 0,54 -0,42 -0,10 -0,13 0,17 0,12 0,06 0,24 0,01 0,26 0,41 -0,15 0,02 -0,03 -0,09 -0,08
6 Tasikmalaya -0,17 0,12 0,16 0,18 -0,07 0,04 0,47 -0,48 -0,01 -0,09 0,13 0,62 0,31 0,13 0,28 0,01 0,50 1,44 0,25 0,22 0,19 0,04
7 Ciamis -0,22 -0,09 -0,07 -0,21 -0,18 -0,19 -0,01 0,10 -0,13 -0,43 -0,27 0,26 -0,03 -0,15 -0,30 -0,55 -0,66 - -0,02 -0,40 -0,48 -0,28
8 Kuningan 1,50 -0,11 -0,06 -0,21 -0,13 0,09 -0,24 -1,25 -0,10 -0,46 0,07 0,00 0,12 0,16 -0,02 0,35 0,40 - -0,03 -0,33 0,05 -0,27
9 Cirebon 0,10 -0,29 -0,12 -0,27 0,37 1,11 -0,13 -1,41 -0,23 - -0,22 -0,43 1,34 -0,19 -0,30 11,70 0,21 - -0,39 -0,64 0,07 -0,40
10 Majalengka 0,55 -0,02 0,04 0,25 0,38 -0,04 -0,15 -0,24 0,58 -0,34 0,05 0,21 0,13 0,11 0,04 0,53 0,41 -0,09 0,03 0,91 0,05 0,36
11 Sumedang 0,09 0,00 0,24 -0,28 0,35 0,03 -0,15 0,65 0,09 2,68 -0,03 0,16 0,19 0,12 -0,01 0,19 1,02 - -0,08 1,61 0,08 0,01
12 Indramayu -0,80 -0,01 - -0,22 -0,09 -0,03 -1,03 -0,68 -0,22 - 0,01 - 0,01 -0,15 0,41 17,13 0,55 - 0,11 -0,35 0,09 -0,14
13 Subang 0,53 0,00 0,19 0,81 0,09 -0,07 0,22 -0,36 -0,19 -0,01 0,05 -0,01 -0,44 -0,16 -0,13 0,90 0,38 - 0,00 -0,49 -0,26 -0,45
14 Purwakarta -0,08 0,04 0,04 0,03 -0,19 -0,16 -0,03 -0,46 0,37 0,26 0,11 0,15 0,29 -0,03 0,08 0,04 0,69 3,47 0,11 -0,02 0,23 1,26
15 Karawang -0,19 0,07 0,06 1,11 0,15 -0,01 0,51 0,00 0,44 1,60 0,11 0,32 0,67 -0,51 0,91 -0,37 0,76 - 0,05 -0,16 0,88 0,43
16 Bekasi -0,67 -0,06 0,06 0,65 -0,12 0,01 -0,43 -1,60 0,27 -0,34 0,26 -0,62 0,09 0,42 0,00 0,01 0,07 - -0,11 1,26 0,12 -0,77
17 Bandung Barat -0,04 -0,06 -0,17 -0,10 -0,05 -0,08 -0,13 -0,17 -0,01 -0,33 -0,18 0,04 -0,19 0,87 -0,02 -0,11 0,83 1,82 -0,16 0,48 -0,19 0,04
18 Kota Bogor -0,43 -0,24 -0,47 -0,60 1,02 0,64 1,10 -0,73 -0,49 -0,60 0,12 -0,10 1,09 2,77 -0,54 -0,67 0,18 -0,20 -0,27 -0,31 -0,41 -0,12
19 Kota Sukabumi -0,20 -0,03 - -0,03 -0,21 1,18 -1,08 - 0,13 0,11 0,01 - -0,39 0,32 0,29 - 0,32 1,28 0,56 2,43 0,11 -0,08
20 Kota Bandung -0,17 0,04 0,06 -0,18 -0,06 0,00 -0,08 -0,60 -0,17 - 0,06 - 0,22 0,09 -0,06 - 0,32 - 0,07 -0,29 0,07 -0,37
21 Kota Cirebon -0,32 -0,42 - -0,38 -0,20 -0,03 -0,35 - -0,06 -0,63 0,00 - -0,49 0,05 -0,08 - 0,19 - -0,08 0,09 -0,09 -0,31
22 Kota Bekasi 0,28 0,09 -0,40 -0,39 -0,13 0,03 -0,17 -0,34 -0,20 -0,92 -0,22 0,09 0,16 -0,07 -0,25 -0,02 0,34 - 0,46 -0,01 -0,22 0,02
23 Kota Depok 0,18 0,09 -0,93 -0,20 0,00 0,09 -0,12 -0,57 -0,13 -0,34 0,07 0,28 -0,06 -0,17 -0,08 -0,23 0,28 - 0,29 0,07 0,21 -0,34
24 Kota Cimahi -0,06 0,01 79,00 0,41 -0,11 0,28 -0,06 -0,48 0,35 1,65 -0,07 - 0,25 -0,37 1,20 0,87 0,29 2,13 0,34 5,42 0,47 17,47
25 Kota Tasikmalaya 0,46 -0,06 2,23 -0,43 -0,25 -0,20 -0,28 - -0,43 -0,56 -0,15 0,34 0,15 0,02 -0,20 -0,11 0,27 - -0,02 -0,27 0,10 2,04
26 Kota Banjar -0,05 0,03 -0,94 -0,29 -0,40 -0,29 -0,07 0,72 -0,23 0,33 -0,19 0,70 0,43 0,05 0,19 0,15 0,57 - 0,02 0,03 -0,10 -0,59
Lampiran 10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Differential Shift Produksi
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
No Kabupaten/Kota
Petai
Duku
1 Bogor -0,52 -0,46 2,84 2,70 -0,44 -1,19 -0,03 -0,56 -0,29 -0,64 -0,25 2,86 -1,39 -0,18 0,05 1,49 -0,37 0,07 0,90 0,00 -0,71 0,85
2 Sukabumi 0,75 1,45 3,72 -1,20 2,59 0,27 2,85 8,10 8,40 5,75 0,68 -0,99 4,39 1,42 -1,28 0,13 2,32 32,55 3,15 21,30 5,97 1,97
3 Cianjur -0,10 -0,30 -0,16 -0,86 -0,75 0,51 -0,88 -1,08 -0,48 0,62 -0,06 -0,70 -0,87 -0,38 -1,43 0,30 0,47 - -0,41 0,08 -0,54 0,12
4 Bandung -0,49 1,99 0,32 0,83 -0,26 0,29 0,39 -1,07 -0,54 -0,48 0,26 25,30 -0,80 0,12 8,03 0,62 -0,21 9,22 1,74 2,27 3,11 1,60
5 Garut -0,07 0,17 8,70 7,50 -0,49 -0,80 -0,02 -2,08 -0,81 2,20 -0,12 -0,43 0,12 1,03 -0,43 1,03 -0,51 -0,75 0,00 -1,93 0,52 0,21
6 Tasikmalaya 0,37 0,27 0,28 -0,02 -0,23 1,54 0,55 -1,27 1,06 0,35 -0,26 0,16 -0,23 0,24 -1,20 -0,10 -0,12 55,03 1,03 3,71 -0,32 0,18
7 Ciamis 2,61 0,98 -0,32 4,03 1,78 1,89 3,51 13,43 0,17 -0,46 -0,52 0,06 -0,81 0,17 -1,82 0,85 -0,78 - 0,65 -1,09 -0,70 0,32
8 Kuningan 0,00 0,10 6,52 -0,60 0,29 -1,06 -0,06 -1,91 -0,68 -1,57 -0,67 -0,57 -0,75 0,35 -1,20 1,53 -0,98 - 0,18 -2,06 -0,75 -1,05
9 Cirebon 8,60 2,56 14,27 - 1,23 2,89 10,35 15,32 0,81 - 1,46 0,44 3,84 0,56 4,72 3,31 0,34 - 7,74 13,93 1,22 1,07
10 Majalengka 0,45 -0,28 -0,19 -0,23 1,21 0,82 0,15 -1,88 0,48 1,99 -0,60 -0,60 -1,20 0,31 0,42 0,47 -0,56 -0,97 -0,07 0,23 1,75 0,93
11 Sumedang 1,25 1,53 6,03 2,62 0,31 0,52 1,57 -0,14 5,58 -0,55 4,15 -0,51 -0,56 0,14 0,63 2,96 1,44 - 0,88 5,73 -0,15 1,14
12 Indramayu 2,53 4,73 - 12,73 3,88 1,28 -1,20 7,11 -0,37 - -0,71 - 0,01 0,60 -1,93 - 1,62 - 0,29 -0,42 3,92 1,48
13 Subang 1,94 -0,33 0,26 -0,73 0,87 -0,98 0,11 -2,70 0,35 0,17 0,09 -0,01 -1,41 -0,32 0,73 5,46 0,02 - 0,75 -0,28 -0,73 -1,09
14 Purwakarta 0,34 0,85 -0,26 1,15 0,36 0,69 1,73 -0,65 0,48 -1,18 -0,70 0,04 -1,05 0,44 0,51 1,10 1,02 - -0,03 0,10 0,66 1,05
15 Karawang -0,11 0,96 - 1,42 -0,11 -0,51 9,67 0,25 -0,45 -0,17 -0,46 1,15 -0,58 -0,49 0,53 5,01 -0,05 - 1,66 -0,98 1,38 0,28
16 Bekasi -0,14 0,46 -0,21 -1,82 -0,73 0,40 1,67 - 0,71 -1,68 -0,87 -1,49 -1,61 -0,13 -0,70 3,99 3,54 - -0,26 10,90 0,83 10,99
17 Bandung Barat 0,06 0,27 2,39 0,49 1,06 1,25 4,03 -1,24 0,87 1,04 1,02 24,19 -0,93 1,00 11,11 2,09 0,72 19,53 2,24 10,69 1,78 2,48
18 Kota Bogor 1,64 0,75 1,13 1,18 2,44 -0,54 3,40 9,94 1,00 -0,54 0,20 5,79 4,09 21,92 -0,71 2,07 1,19 - 5,68 11,77 77,32 78,59
19 Kota Sukabumi -0,24 -0,66 - -1,55 -0,76 -1,28 -1,25 - -0,92 -0,94 1,21 - -1,40 0,66 8,28 - - -0,97 6,11 - - 48,59
20 Kota Bandung 1,72 1,76 - -0,47 -1,34 -0,46 0,84 - -0,68 - 10,45 - -1,05 0,67 - - 0,77 - 0,96 -1,91 0,19 -0,96
21 Kota Cirebon 2,91 0,23 - - 0,44 4,38 5,94 - 0,47 - 2,85 - -0,89 0,56 -0,02 - 3,38 - 7,45 28,84 4,61 28,17
22 Kota Bekasi 1,44 -0,27 -0,65 -1,91 -1,06 0,70 - - - - -0,99 1,51 -0,17 1,01 -1,85 - -0,40 - -0,28 -2,19 0,33 3,28
23 Kota Depok 3,45 -0,13 -0,52 -1,54 -0,58 -1,35 -1,06 -2,97 -1,02 -1,65 -0,44 -0,65 -1,27 -0,39 -0,88 -0,41 -0,61 - -0,19 -2,02 0,96 8,97
24 Kota Cimahi 0,94 1,68 3,27 - 1,90 5,45 0,85 20,99 1,38 -0,60 1,84 - -0,46 -0,27 7,97 4,21 -0,59 3,92 -0,26 69,46 0,13 25,39
169
25 Kota Tasikmalaya 9,49 0,12 -0,19 0,33 -0,93 -0,99 -1,25 ##### 66,80 -0,75 10,37 -0,04 -0,19 0,57 2,38 12,00 7,09 - 2,11 6,15 18,29 53,16
26 Kota Banjar 2,63 -0,95 0,48 0,96 -0,39 0,13 -0,79 -1,96 0,33 -0,24 0,34 0,42 -0,63 -0,45 2,08 1,21 2,59 - -0,12 -0,62 43,97 3,07
170
SETS
i sektor input antara/1*28/;
ALIAS (i,j);
PARAMETERS
11 162266.81
12 724330.61
13 26997.72
14 1812.56
15 195870.26
16 573594.47
17 1516.95
18 263406.26
19 219799.89
20 17060.83
21 35076.98
22 113357.60
23 105737.04
24 21003.00
25 419799.12
26 28817.80
27 8507.05
28 121997.28 /;
+ 9 10 11 12 13 14 15 16
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.1729 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0000 0.0126 0.0000 0.0037 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0000 0.0006 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0136 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0005 0.0000 0.0053 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0572 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
8 0.0000 0.0012 0.0000 0.0232 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0103 0.0031 0.0000 0.0068 0.0000 0.0000 0.0160 0.0000
172
+ 17 18 19 20 21 22 23 24
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0003 0.0013 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0001 0.0025 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0006 0.0078 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0004 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0040 0.0061 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0001 0.0036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
8 0.0435 0.0156 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0002 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
10 0.0085 0.0162 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0858 0.0980 0.0179 0.0123 0.0021 0.0019 0.0033 0.0041
13 0.0113 0.0027 0.0015 0.0012 0.0137 0.0053 0.0013 0.0046
14 0.0006 0.0006 0.0002 0.0002 0.0006 0.0001 0.0003 0.0003
15 0.0046 0.0010 0.0028 0.0010 0.0001 0.0007 0.1247 0.0039
16 0.0671 0.0728 0.0377 0.0237 0.0043 0.0046 0.0037 0.0110
17 0.0003 0.0000 0.0007 0.0019 0.0016 0.0013 0.0011 0.0024
18 0.0012 0.0003 0.0105 0.0086 0.0024 0.0050 0.0008 0.0129
19 0.0011 0.0011 0.0243 0.0006 0.0037 0.0141 0.0065 0.0089
20 0.0008 0.0001 0.0107 0.0160 0.0084 0.0026 0.0023 0.0079
21 0.0062 0.0005 0.0013 0.0026 0.0272 0.0047 0.0038 0.0069
22 0.0027 0.0012 0.0274 0.0086 0.0351 0.0966 0.0401 0.0612
23 0.0004 0.0014 0.0027 0.0010 0.0017 0.0015 0.0078 0.0037
24 0.0114 0.0020 0.0047 0.0185 0.0283 0.0291 0.0268 0.0163
25 0.0031 0.0006 0.0034 0.0004 0.0005 0.0059 0.0149 0.0244
26 0.0018 0.0004 0.0005 0.0011 0.0029 0.0029 0.0013 0.0228
27 0.0015 0.0005 0.0008 0.0001 0.0018 0.0002 0.0000 0.0000
28 0.0012 0.0025 0.0974 0.0045 0.0153 0.0649 0.0221 0.0242
+ 25 26 27 28
1 0.0000 0.0000 0.0010 0.0000
2 0.0001 0.0004 0.0004 0.0000
3 0.0000 0.0002 0.0012 0.0000
4 0.0030 0.0237 0.0109 0.0000
5 0.0001 0.0011 0.0003 0.0000
6 0.0003 0.0024 0.0005 0.0000
7 0.0000 0.0002 0.0001 0.0003
8 0.0004 0.0123 0.0010 0.0000
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0009
10 0.0002 0.0045 0.0000 0.0000
173
PARAMETERS
TB(i) Original estimate for sectoral Total Output or Input cells 2009
QB(i,j) Original estimate for intersectoral IO transaction cells 2009
VB(j) Original estimate for sectoral Value Added cells 2009
MB(j) Original estimate for sectoral Import cells 2009
FB(i) Original estimate for sectoral Final Demand cells 2009
TW(i) Weight for sectoral Total Output or Input cells
QW(i,j) Weight for sectoral intersectoral IO transaction cells
VW(j) Weight for sectoral Value Added cells
MW(j) Weight for sectoral Import cells
FW(i) Weight for sectoral Final Demand cells;
Lampiran 11. (Lanjutan)
TB(i) = Q2009(i);
QB(i,j) = A2008(i,j)*TB(j);
VB(j) = PDRB2009(j);
MB(j) = TB(j)-VB(j)- Sum(i,QB(i,j));
FB(i) = TB(i)-Sum(j,QB(i,j));
TW(i)$(TB(i) GT 0) = 1;
QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) = 1;
VW(j)$(VB(j) GT 0) = 1;
MW(j)$(MB(j) GT 0) = 1;
FW(i)$(FB(i) GT 0) = 1;
TW(i)$(TB(i) EQ 0) = 0;
QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) = 0;
VW(j)$(VB(j) EQ 0) = 0;
MW(j)$(MB(j) EQ 0) = 0;
FW(i)$(FB(i) EQ 0) = 0;
VARIABLES
SSDEV Sum of Squared Deviation estimating Information Gain
T(i) Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells
2009
Q(i,j) Optimal estimates for Intersectoral Transaction cells 2009
M(j) Optimal estimates for Sectoral Import cells 2009
F(i) Optimal estimates for Sectoral Final Demand cells 2009
FM Optimal estimates for Final Demand for Import cells 2009
FF Optimal estimates for Final Demand for Final Demand cells 2009;
174
EQUATIONS
OBJ Objective Function
CBal(j) Column Balance Constraint Function
RBal(i) Row Balance Constraint Function
TBal total Balance Constraint Function
TM Total Import Constraint Function
TF Total Final Demand Constraint Function;
TF ..Sum(i,F(i))+FF=E=TotF;
MODEL ModelRAS/ALL/;
Q.L(i,j)=QB(i,j)$QW(i,j) ;
T.L(i)=TB(i)$TW(i) ;
M.L(i)=MB(i)$MW(i) ;
F.L(i)=FB(i)$FW(i) ;
SETS Item/MP2009,FD2009,TO2009 /;
PARAMETERS
HslL (i,Item) Tabel Hasil Level Optimal
HslM (i,Item) Tabel Hasil Marginal Value ;
HslL(i,"MP2009")=M.L(i) ;
HslL(i,"FD2009")=F.L(i) ;
HslL(i,"TO2009")=T.L(i) ;
HslM(i,"MP2009")=M.L(i);
HslM(i,"FD2009")=F.L(i);
HslM(i,"TO2009")=T.L(i);
DISPLAY Q.L, Q.M, T.L, M.L, F.L, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M;
175
Lampiran 12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah)
Kode
1 2 3 4 5
Sektor
1 49.250,965
2 3.735,642
3 204,031
4 4.823,594
5 1.359,069
6
7
8 759,479 2.299,463 153,756 3.877,858 2.341,870
9
10
11 23,360
12 3.479,581 714,251 102,917 787,076 710,126
13
14
15 69,187 165,840 60,248 209,122
16 13.766,205 2.496,657 254,596 3.905,931 8.255,857
17
18
19 764,491 1.078,522 38,694 529,580 2.684,423
20
21
22 5.610,314 541,770 11,195 180,946 93,048
23
24 68,875 130,326 1,237 46,258
25
26 45,413
27
28 1.940,852 1.049,402 24,898 362,173 46,560
190 75.709,949 12.211,873 791,324 14.572,819 15.769,693
200 37.278,496 6.421,258 437,583 8.192,458 25.043,671
201 104.777,936 12.473,960 1.111,991 13.739,471 31.660,103
202 448.457,744 55.404,408 9.948,077 113.288,793 157.380,678
203 9.883,938 468,363 11,284 374,780 979,228
204 8.636,065 636,934 73,865 575,837 3.160,405
205 - - - - -
209 571.755,684 68.983,665 11.145,217 127.978,881 193.180,414
210 684.744,129 87.616,796 12.374,124 150.744,158 233.993,778
176
11 12 13 14 15
Kode Sektor
1 349.197,820
2 7.600,544
3 3.867,307
4 27.833,217
5
6 10.791,849
7 50.187,799 28,850
8 47.348,504
9 3.883,192 2.900,307
10 24.241,429
11 13.257,740 13.977,348 8.745,408 1.191,425
12 78,797 73.832,314 1.093,504 22,297 86.757,746
13 6.961,498 566,577 81,562 209,412
14 204,289 27,448 69,643
15 319,698 1.431,514 22,635 12,645 557,738
16 7.119,414 254.319,563 10.059,009 41,879 99.858,735
17 103,259 3,400 0,664 194,521
18 3.078,625 30,293 1,220 6.577,763
19 1.886,852 16.227,035 37,897 10,992 5.462,617
20 1.634,223 2,672 557,111
21 615,142 52,960 1,707 908,806
22 80,014 9.621,990 400,327 16,067 3.559,530
23 819,452 15,117 2,436 1.047,655
24 99,448 3.257,598 127,677 33,404 3.123,069
25 205,416 22,739 140,074
26 410,992 60,663 5,132 630,587
27
28 80,077 3.892,653 907,103 6,821 4.121,054
190 22.922,040 915.544,572 22.145,309 266,946 217.896,643
200 15.586,927 297.696,648 26.518,789 350,894 273.302,183
201 75.779,555 125.853,765 5.937,103 180,559 59.428,047
202 83.697,942 526.739,843 19.752,772 1.494,951 110.351,013
203 2.113,325 56.440,449 861,922 79,232 15.182,823
204 675,989 15.296,553 445,923 57,818 10.908,377
205 - - - - -
209 162.266,810 724.330,610 26.997,720 1.812,560 195.870,260
210 200.775,777 1.937.571,830 75.661,818 2.430,400 687.069,086
178
16 17 18 19 20
Kode Sektor
1
2 1,180 537,418
3 0,391 1.023,726
4 2,354 3.212,104
5 1,577 248,964
6 15,639 2.498,875
7 0,243 606,479
8 170,336 6.405,777
9 0,408 10,470
10 33,059 6.582,139
11
12 3.595,828 333,387 39.759,894 7.631,077 279,586
13 11.926,359 44,344 1.112,410 649,429 27,699
14 404,725 2,351 246,627 86,388 4,606
15 18,037 411,488 1.210,744 23,054
16 7.620,291 261,374 29.650,492 16.134,742 540,802
17 1.394,173 0,591 67,734 9,983
18 8.295,754 4,717 123,908 4.557,342 199,002
19 23.686,615 4,326 454,705 10.555,735 13,895
20 2.671,035 3,135 41,102 4.621,507 368,441
21 8.450,226 24,354 206,311 563,688 60,105
22 17.278,744 10,594 494,338 11.861,304 198,483
23 46.677,069 1,570 577,135 1.169,643 23,096
24 2.903,968 44,569 819,220 2.023,011 424,549
25 162,803 12,191 248,034 1.477,010 9,264
26 1.954,416 7,081 165,423 217,296 25,486
27 5,907 207,138 348,280 2,321
28 8.686,577 4,711 1.030,668 42.196,676 103,938
190 145.708,583 1.008,426 96.674,845 105.371,606 2.314,310
200 80.780,202 552,943 50.036,241 108.758,108 3.645,345
201 178.016,575 285,868 74.608,408 125.744,604 3.949,131
202 294.590,436 609,965 96.912,108 66.979,986 11.187,915
203 64.523,810 618,747 44.810,813 15.802,786 859,917
204 36.463,649 2,370 47.074,931 11.272,514 1.063,867
205 - - - - -
209 573.594,470 1.516,950 263.406,260 219.799,890 17.060,830
210 800.083,255 3.078,319 410.117,346 433.929,604 23.020,485
179
21 22 23 24 25
Kode Sektor
1
2 68,783
3
4 2.055,558
5 69,040
6 204,479
7
8 273,288
9
10 135,206
11
12 99,418 329,931 513,618 129,527 7.222,973
13 658,659 934,614 205,475 147,567 5.415,538
14 28,779 17,593 47,307 9,602 273,566
15 4,802 123,285 19.685,054 124,955 21.771,954
16 204,361 801,880 578,110 348,853 17.212,635
17 17,310 51,778 39,237 17,671 1.148,622
18 115,673 883,903 126,760 414,853 24.670,991
19 178,476 2.494,666 1.030,779 286,451 9.560,166
20 402,884 457,396 362,664 252,828 6.086,500
21 1.309,670 830,054 601,521 221,681 1.922,314
22 1.687,284 17.032,352 6.337,246 1.963,015 6.991,269
23 81,778 264,664 1.233,553 118,763 960,264
24 1.352,667 5.101,721 4.211,303 519,874 4.634,392
25 24,120 1.043,921 2.362,984 785,368 2.269,795
26 139,951 513,322 206,250 734,164 3.784,525
27 87,017 35,463
28 736,054 11.451,929 3.495,304 776,824 27.095,001
190 7.128,903 42.368,472 41.037,165 6.851,996 143.826,859
200 5.877,661 20.545,342 11.182,878 4.089,819 118.211,911
201 11.789,692 29.328,640 27.582,980 6.489,440 88.711,069
202 19.118,391 75.374,384 38.771,806 9.588,216 223.945,206
203 2.031,160 3.890,490 34.069,209 4.451,655 96.117,211
204 2.137,737 4.764,086 5.313,045 473,689 11.025,634
205 - - - - -
209 35.076,980 113.357,600 105.737,040 21.003,000 419.799,120
210 48.083,544 176.271,414 157.957,083 31.944,815 681.837,890
180
26 27 28 180
Kode Sektor
1 14,206 399.079,319
2 19,946 5,783 12.747,787
3 9,879 17,185 5.296,323
4 1.177,267 156,988 39.323,563
5 55,058 4,354 1.742,931
6 118,590 7,163 16.348,907
7 4,043 0,585 22,338 51.427,382
8 609,228 14,361 78.420,620
9 41,573 6.946,686
10 220,534 32.714,510
11 37.195,281
12 2.011,266 868,329 2.371,286 261.525,284
13 104,365 48,992 857,429 30.139,103
14 19,833 7,188 36,401 1.486,346
15 332,554 8,635 127,542 49.874,668
16 2.864,070 569,748 9.558,049 507.757,364
17 3,335 0,642 20,570 3.078,318
18 209,249 85,228 1.298,487 50.957,875
19 94,739 41,927 988,398 82.045,951
20 24,789 25,875 254,795 17.774,230
21 248,862 17,317 164,435 16.207,558
22 397,525 197,383 930,276 86.411,057
23 74,589 41,811 2.372,968 55.513,038
24 741,114 161,876 1.414,690 31.387,675
25 189,487 26,025 73,218 9.052,449
26 1.651,207 744,899 640,921 11.968,349
27 74,959 678,100 1.439,185
28 358,051 74,977 438,116 109.561,041
190 11.614,539 3.819,577 21.611,492 2.007.422,800
200 9.325,627 2.114,530 38.777,814 1.203.957,287
201 8.836,258 348,141 36.879,185 1.087.733,855
202 18.152,049 7.038,014 73.480,519 2.606.351,141
203 1.534,774 724,149 6.997,972 364.465,098
204 294,719 396,747 4.639,605 167.375,996
205 - - - -
209 28.817,800 8.507,050 121.997,280 4.225.926,090
210 49.757,966 14.441,157 182.386,586 7.437.306,177
181
309 310
Kode Sektor
1 285.664,805 684744,124
2 74.869,003 87616,791
3 7.077,804 12374,127
4 111.420,596 150744,159
5 232.250,844 233993,774
6 21.069,301 37418,208
7 51427,383
8 129.327,111 207747,731
9 6946,686
10 15.160,304 47874,814
11 163.580,495 200775,776
12 1.676.046,544 1937571,831
13 45.522,719 75661,819
14 944,055 2430,400
15 637.194,419 687069,087
16 292.325,892 800083,257
17 3078,317
18 359.159,468 410117,344
19 351.883,652 433929,604
20 5.246,253 23020,482
21 31.875,985 48083,543
22 89.860,354 176271,412
23 102.444,046 157957,084
24 557,141 31944,814
25 672.785,442 681837,890
26 37.789,618 49757,968
27 13.001,974 14441,159
28 72.825,546 182386,587
190 5.429.883,371 7.437.306,171
182
Kode Sektor
1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Buah-buahan
5 Sayur-sayuran
6 Bahan makanan lainnya
7 Tanaman Perkebunan
8 Peternakan dan hasil-hasilnya
9 Kehutanan
10 Perikanan
11 Pertambangan dan Penggalian
12 Industri Pengolahan
13 Listrik
14 Air Bersih
15 Bangunan
16 Perdagangan Besar dan Eceran
17 Hotel
18 Restoran
19 Angkutan Jalan Raya
20 Jasa Penunjang Angkutan
21 Komunikasi
22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
23 Sewa Bangunan
24 Jasa Perusahaan
25 Pemerintahan umum dan pertahanan
26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
28 Jasa Perorangan dan Rumah tangga
190 Jumlah Input Antara
200 Impor (Dari nilai LQ)
201 Upah dan Gaji
202 Surplus Usaha
203 Penyusutan
204 Pajak tak Langsung
205 Subsidi
209 NTB / PDRB
210 Total Input
180 Jumlah Permintaan Antara
309 Permintaan Akhir (Final Demand )
310 Jumlah Permintaan (Total Output )
183
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
10 11 12 13 14 15 16
Sektor
1 - - 0,1802 - - - -
2 0,0128 - 0,0039 - - - -
3 0,0006 - 0,0020 - - - -
4 - - 0,0144 - - - -
5 0,0001 - - - - - -
6 0,0005 - 0,0056 - - - -
7 - - 0,0259 - - 0,0000 -
8 0,0012 - 0,0244 - - - -
9 0,0008 - 0,0020 - - 0,0042 -
10 0,0314 - 0,0125 - - - -
11 - 0,0660 0,0072 0,1156 - 0,0017 -
12 0,1219 0,0004 0,0381 0,0145 0,0092 0,1263 0,0045
13 0,0008 - 0,0036 0,0075 0,0336 0,0003 0,0149
14 - - 0,0001 - 0,0113 0,0001 0,0005
15 0,0130 0,0016 0,0007 0,0003 0,0052 0,0008 -
16 0,0848 0,0355 0,1313 0,1329 0,0172 0,1453 0,0095
17 - - 0,0001 0,0000 0,0003 0,0003 0,0017
18 0,0009 - 0,0016 0,0004 0,0005 0,0096 0,0104
19 0,0033 0,0094 0,0084 0,0005 0,0045 0,0080 0,0296
20 - - 0,0008 - 0,0011 0,0008 0,0033
21 - - 0,0003 0,0007 0,0007 0,0013 0,0106
22 0,0106 0,0004 0,0050 0,0053 0,0066 0,0052 0,0216
23 0,0005 - 0,0004 0,0002 0,0010 0,0015 0,0583
24 0,0016 0,0005 0,0017 0,0017 0,0137 0,0045 0,0036
25 - - 0,0001 0,0003 - 0,0002 0,0002
26 0,0002 - 0,0002 0,0008 0,0021 0,0009 0,0024
27 - - - - - - -
28 0,0003 0,0004 0,0020 0,0120 0,0028 0,0060 0,0109
190 0,2854 0,1142 0,4725 0,2927 0,1098 0,3171 0,1821
200 0,2123 0,0776 0,1536 0,3505 0,1444 0,3978 0,1010
201 0,1895 0,3774 0,0650 0,0785 0,0743 0,0865 0,2225
202 0,2882 0,4169 0,2719 0,2611 0,6151 0,1606 0,3682
203 0,0188 0,0105 0,0291 0,0114 0,0326 0,0221 0,0806
204 0,0057 0,0034 0,0079 0,0059 0,0238 0,0159 0,0456
205 - - - - - - -
209 0,5023 0,8082 0,3738 0,3568 0,7458 0,2851 0,7169
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
185
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
17 18 19 20 21 22 23
Sektor
1 - - - - - - -
2 0,0004 0,0013 - - - - -
3 0,0001 0,0025 - - - - -
4 0,0008 0,0078 - - - - -
5 0,0005 0,0006 - - - - -
6 0,0051 0,0061 - - - - -
7 0,0001 0,0015 - - - - -
8 0,0553 0,0156 - - - - -
9 0,0001 0,0000 - - - - -
10 0,0107 0,0160 - - - - -
11 - - - - - - -
12 0,1083 0,0969 0,0176 0,0121 0,0021 0,0019 0,0033
13 0,0144 0,0027 0,0015 0,0012 0,0137 0,0053 0,0013
14 0,0008 0,0006 0,0002 0,0002 0,0006 0,0001 0,0003
15 0,0059 0,0010 0,0028 0,0010 0,0001 0,0007 0,1246
16 0,0849 0,0723 0,0372 0,0235 0,0043 0,0045 0,0037
17 0,0002 - 0,0002 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002
18 0,0015 0,0003 0,0105 0,0086 0,0024 0,0050 0,0008
19 0,0014 0,0011 0,0243 0,0006 0,0037 0,0142 0,0065
20 0,0010 0,0001 0,0107 0,0160 0,0084 0,0026 0,0023
21 0,0079 0,0005 0,0013 0,0026 0,0272 0,0047 0,0038
22 0,0034 0,0012 0,0273 0,0086 0,0351 0,0966 0,0401
23 0,0005 0,0014 0,0027 0,0010 0,0017 0,0015 0,0078
24 0,0145 0,0020 0,0047 0,0184 0,0281 0,0289 0,0267
25 0,0040 0,0006 0,0034 0,0004 0,0005 0,0059 0,0150
26 0,0023 0,0004 0,0005 0,0011 0,0029 0,0029 0,0013
27 0,0019 0,0005 0,0008 0,0001 0,0018 0,0002 -
28 0,0015 0,0025 0,0972 0,0045 0,0153 0,0650 0,0221
190 0,3276 0,2357 0,2428 0,1005 0,1483 0,2404 0,2598
200 0,1796 0,1220 0,2506 0,1584 0,1222 0,1166 0,0708
201 0,0929 0,1819 0,2898 0,1715 0,2452 0,1664 0,1746
202 0,1981 0,2363 0,1544 0,4860 0,3976 0,4276 0,2455
203 0,2010 0,1093 0,0364 0,0374 0,0422 0,0221 0,2157
204 0,0008 0,1148 0,0260 0,0462 0,0445 0,0270 0,0336
205 - - - - - - -
209 0,4928 0,6423 0,5065 0,7411 0,7295 0,6431 0,6694
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
186
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
24 25 26 27 28
Sektor
1 - - - 0,0010 -
2 - 0,0001 0,0004 0,0004 -
3 - - 0,0002 0,0012 -
4 - 0,0030 0,0237 0,0109 -
5 - 0,0001 0,0011 0,0003 -
6 - 0,0003 0,0024 0,0005 -
7 - - 0,0001 0,0000 0,0001
8 - 0,0004 0,0122 0,0010 -
9 - - - - 0,0002
10 - 0,0002 0,0044 - -
11 - - - - -
12 0,0041 0,0106 0,0404 0,0601 0,0130
13 0,0046 0,0079 0,0021 0,0034 0,0047
14 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0002
15 0,0039 0,0319 0,0067 0,0006 0,0007
16 0,0109 0,0252 0,0576 0,0395 0,0524
17 0,0006 0,0017 0,0001 0,0000 0,0001
18 0,0130 0,0362 0,0042 0,0059 0,0071
19 0,0090 0,0140 0,0019 0,0029 0,0054
20 0,0079 0,0089 0,0005 0,0018 0,0014
21 0,0069 0,0028 0,0050 0,0012 0,0009
22 0,0615 0,0103 0,0080 0,0137 0,0051
23 0,0037 0,0014 0,0015 0,0029 0,0130
24 0,0163 0,0068 0,0149 0,0112 0,0078
25 0,0246 0,0033 0,0038 0,0018 0,0004
26 0,0230 0,0056 0,0332 0,0516 0,0035
27 - - 0,0015 0,0470 -
28 0,0243 0,0397 0,0072 0,0052 0,0024
190 0,2145 0,2109 0,2334 0,2645 0,1185
200 0,1280 0,1734 0,1874 0,1464 0,2126
201 0,2031 0,1301 0,1776 0,0241 0,2022
202 0,3001 0,3284 0,3648 0,4874 0,4029
203 0,1394 0,1410 0,0308 0,0501 0,0384
204 0,0148 0,0162 0,0059 0,0275 0,0254
205 - - - - -
209 0,6575 0,6157 0,5792 0,5891 0,6689
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
187
Lampiran 16. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah Irigasi (Oryza sativa )
Persyaratan penggunaan lahan/ Kelas kesesuaian lahan
karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc)
0
Temperatur rerata ( C) 24 - 29 22 - 24 18 - 22 < 18
29 - 32 32 - 35 > 35
Ketersediaan air (wa)
Kelembapan (%) 33 - 90 30 - 33 < 30 ; <90
Media perakaran (rc)
Drainase agak terhambat, terhambat, sangat terham- cepat
sedang baik bat agak cepat
Tekstur halus, agak halus sedang agak kasar kasar
Bahan kasar (%) <3 3 - 15 15 - 35 > 35
Kedalaman tanah (cm) > 50 40 - 50 25 - 40 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 200
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
+
Kematangan saprik saprik, hemik, fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 < 35
pH H2 O 5,5 - 8,2 4,5 - 5,5 < 4,5
8,2 - 8,5 > 8,5
C-organik (%) 0,8 - 1,5 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <2 2-4 4-6 >6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <3 3-5 5-8 >8
Bahaya erosi sangat rendah rendah sedang berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0,F11,F12 F13,F22,33 F14,F24,F34 F15,F25
F21,F23,F31,F32 F41,F42,43 F44 F35,F45
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
keterangan :
Saprik+ , hemik+ ,fibrik+ = saprik, hemik, fibrik dengan sisipan bahan mineral/pengkayaan
192
efisien. Kajian seksama mengenai perkembangan sektor ini perlu dilakukan untuk
menemukan dan mengenali potensi dan kondisi yang ada, dengan demikian peran
dan dukungan pemerintah yang dibutuhkan juga akan teridentifikasi dengan baik.
Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka selama ini telah berjalan dengan baik, namun
untuk menilai pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini belumlah
cukup jika hanya menilai perkembangannya di dalam wilayah Kabupaten
Majalengka. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana posisi
dan daya saing subsektor pertanian tanaman bahan makanan ini dan apa
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di
Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan
dan komoditasnya di Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Jawa Barat.
Untuk meningkatkan daya saing subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka, maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
ini perlu diupayakan fokus pada komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif agar dapat bersaing dengan komoditas lain di luar
wilayah Kabupaten Majalengka.
Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka perlu juga diketahui peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam pengembangan wilayah yang meliputi keterkaitan antar
sektor serta nilai multiplier effectnya. Keterkaitan antar sektor ini penting
diketahui untuk menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu dikembangkan
untuk meningkatkan pembangunan sektor subsektor tanaman bahan makanan.
Nilai multiplier effect dapat menunjukkan besarnya pengaruh pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan terhadap pengembangan wilayah yang dalam
hal ini ditunjukkan oleh nilai output multiplier, total value added multiplier,
Income multiplier dan multiplier pajak.
Berdasarkan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk dapat
mengetahui kondisi, potensi, keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan
dengan sektor-sektor lain serta besarnya nilai multiplier effect subsektor tanaman
bahan makanan, sehingga bisa diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Dari hasil analisis
6
Kegiatan Pembangunan
Sektor-sektor
Perekonomian
Komoditas Unggulan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
Prioritas Pembangunan
Persepsi Stakeholders
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
Peta Arahan
Pengembangan Interpretasi
Komoditas Unggulan
Arahan Pembangunan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan
1.6. Pengertian/Definisi
1. Komoditas Unggulan adalah komoditas yang mampu bersaing dengan
produk sejenis dari wilayah lain. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam
Hendayana (2003) dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan
kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Dalam penelitian ini
komoditas unggulan ditetapkan dengan menggunakan metode LQ dan SSA
serta analisis input-output.
2. Kawasan Andalan adalah bagian dari kawasan budidaya baik di ruang darat
maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 pasal 1).
3. Sektor Strategis adalah sektor yang memiliki sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial (Rustiadi, et al. 2009).
4. Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan
suatu sektor/komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditas
yang sama pada wilayah lainnya.
5. Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu
wilayah. Metode LQ dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif suatu sektor.
6. Shift Share Analysis (SSA) adalah tehnik analisis yang digunakan untuk
melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah
agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektoral di wilayah tersebut.
7. Evaluasi Kesesuaian Lahan adalah proses untuk menduga potensi
sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya dengan membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
karakteristik lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Sitorus, 2004).
8. Evaluasi Ketersediaan Lahan : proses evaluasi untuk menentukan luas lahan
yang sesuai dan tersedia untuk suatu penggunaan lahan yang akan diterapkan.
Evaluasi ketersediaan dilakukan dengan mengurangi luas keseluruhan lahan
13
yang sesuai dengan luas lahan yang sesuai tetapi tidak dapat digunakan
karena telah dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data
penggunaan lahan (landuse) serta tidak sesuai dengan arahan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka.
15
merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan
ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan
suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada
peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke
depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu
bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu
tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak
rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan
yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu,
investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah
dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan
wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006)
Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya
pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan
dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18
memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor
pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan
produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang
berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing
dengan produk-produk pertanian dari luar.
Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih
menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran,
sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah
dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja
sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan
berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah
menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input
produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya
pembangunan sektor pertanian.
Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian
menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya
ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga
yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam
penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan
menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu,
pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement).
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang
besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB
suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling
banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu
dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan
secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah
keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap
sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan
komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal.
Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan
didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan
komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient
(LQ).
23
Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat
diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen.
Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian
dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan
manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses
sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para
pelaku agribisnis.
segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong
terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi
faktor kendala pembangunan.
Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan
masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus
mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya
masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam
rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan
melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan
memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal
di wilayah lokal tersebut.
Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan
pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan
pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu
daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih
dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian,
perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan
pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih
terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam
perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).
Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting
dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih
tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31
ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan
ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat
pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral.
Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta
keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti
jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil
sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi
agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis-
bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi.
Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam
pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.
Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan
pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan
membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah
diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk-
produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung
memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang
akan datang (Anugrah, 2003).
Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang
potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis
hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan
kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas
pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang
mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui
AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008).
Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32
alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan
sektor pertanian.
Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu
utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi
tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung
pengembangan wilayah.
Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya
dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi
konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif
kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih
karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana
aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif
yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi
sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki
fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks
yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang
tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian
dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)
33
Statistik Kab. Majalengka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat serta data-
data lain dari instansi terkait.
Data sekunder tersebut meliputi data PDRB Kabupaten/Kota per sektor se-
Jawa Barat Tahun 2005 dan 2009, data luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon komoditas pertanian Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Tahun 2005
dan 2009, Peta tanah, Landsystem, RTRW Kab. Majalengka, tabel input-output
Kabupaten Ciamis tahun 2008, data harga komoditas tanaman bahan makanan.
Data primer meliputi data hasil kuisioner dari para responden. Data primer
diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Responden yang dimaksud adalah seluruh stakeholder
yang terlibat dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka yang terdiri dari : unsur-unsur pemerintah daerah meliputi
Bappeda, Dinas Pertanian dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (BP4K), bagian pembangunan dan bagian
perekonomian Setda Kabupaten Majalengka, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya,
dan Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan
(KUKMPERINDAG); unsur perbankan diwakili oleh Bank Rakyat Indonesia
(BRI); unsur masyarakat meliputi petani dan tokoh tani; unsur swasta meliputi
para pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian subsektor tanaman bahan makanan. Rincian lengkap mengenai
responden disajikan pada Tabel 3. Tehnik sampling yang dipakai untuk
menentukan responden adalah purposive sampling dengan jumlah responden
keseluruhan sebanyak 21 orang. Pada prinsipnya responden dipilih sedemikian
rupa yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan sektor
pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
(expert). Responden diminta pendapatnya mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan melalui metode Analitycal Hierarchy Process
(AHP) yang memiliki struktur hierarki terdiri dari 4 level. Pada level 2, responden
yang digunakan sebanyak 18 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur
pemerintahan, 5 orang dari tokoh tani dan 5 orang dari unsur swasta. Adapun pada
level 3 dan 4 digunakan responden sebanyak 21 orang. Tambahan 3 responden
35
merupakan perwakilan dari petani untuk komoditas padi dan kedelai 1 orang,
jagung 1 orang dan mangga 1 orang. Tujuan, jenis, sumber data, cara
pengumpulan, analisis data serta output yang diharapkan, disajikan pada Tabel 4.
36
Tabel 4. Tujuan, Jenis , Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang diharapkan
Teknik
No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Output yang diharapkan
Analisis Data
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini.
a. Mengetahui kondisi dan Data PDRB per sektor BPS LQ, SSA Kondisi dan potensi daya
potensi daya saing subsektor Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 saing subsektor tanaman
tanaman bahan makanan Kab. dan 2009 bahan makanan Kab.
Majalengka di wilayah Prop. Majalengka saat ini di
Jabar Wilayah Prop. Jabar
b. Mengetahui komoditas Data luas tanam, luas panen Dinas Tanaman Pangan LQ, SSA Potensi komoditas
subsektor tanaman bahan produksi dan jumlah pohon Prop. Jabar subsektor tanaman bahan
makanan Kab. Majalengka komoditas subsektor tanaman makanan Unggulan
yang menjadi basis dan bahan makanan Kab./Kota di Kabupaten Majalengka di
memiliki keunggulan Jabar Tahun 2005 dan 2009 wilayah Prop. Jabar
komparatif & kompetitif
2. Mengetahui peran subsektor Tabel Input-Ouput Kabupaten BPS, Dinas Pertanian dan Analisis Input- Backward/Fordward
tanaman bahan makanan Majalengka 2009 (hasil RAS Perikanan Kab. Majalengka Output Linkage, Multiplier Effect.
dari Tabel I-O Ciamis 2008),
PDRB Kab. Majalengka Tahun
2009, Harga Komoditas
Tanaman Bahan Makanan.
3. Mengetahui komoditas ungulan Nilai LQ, SSA , keterkaitan Hasil analisis LQ, SSA dan Komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan antar sektor dan multiplier effect tabel input-output subsektor tanaman bahan
makanan komoditas makanan
4. Mengetahui prioritas Kuesioner Pendapat responden AHP Persepsi Stakeholder
pembangunan subsektor tentang prioritas
tanaman bahan makanan pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan
5. Menyusun arahan pembangunan Data komoditas unggulan, peta Hasil analisis potensi dan Deskriptif dan Arahan pengembangan
subsektor tanaman bahan Tanah 1:250.000, landsystem kondisi sektor pertanian sintesis hasil subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan 1:250.000, RTRW, Landuse, saat ini, hasil analisis analisis makanan dalam
wilayah keterkaitan antar sektor dan Input-Output Balai Besar pengembangan wilayah
multiplier effect komoditas Sumberdaya Lahan,
tanaman bahan makanan. Bappeda Kab. Majalengka
37
untuk analisis LQ serta data tahun 2005 dan tahun 2009 untuk analisis SSA. Hasil
analisis LQ dan SSA merupakan indikasi keunggulan dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian dan komoditas-komoditas
sebsektor tanaman bahan makanan lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat.
Keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkan terhadap ouput, total
nilai tambah, pendapatan dan pajak dianalisis dengan menggunakan tabel input-
output Kabupaten Majalengka. Tabel input-output Kabupaten Majalengka diperoleh
dengan metode RAS dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Analisis
keterkaitan antar sektor dan nilai multiplier effect ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian
wilayah di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
menjadi unggulan Kabupaten Majalengka, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil
analisis potensi dan kondisi serta hasil analisis keterkaitan dan multiplier effect
komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Persepsi para stakeholder mengenai
prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diidentifikasi dengan
menggunakan kuesioner dan hasilnya dianalisis dengan metode AHP.
Selanjutnya dari hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan saat ini, hasil analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dalam
perekonomian wilayah, analisis komoditas unggulan dan hasil analisis persepsi
stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka akan disusun untuk memberikan informasi dan arahan bagi
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk memberikan arahan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan secara spasial ditambahkan pula informasi
mengenai kesesuaian lahan sebagai arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan. Adapun tahapan pelaksanaan dari penelitian ini
dapat dilihat dalam bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 3.
39
Prioritas Pembangunan
Peta Arahan Pengembangan Subsektor Tabama
Komoditas Unggulan
39
40
3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan
Makanan
Analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan metode LQ dan SSA. Metode ini dilakukan untuk mengetahui
sektor basis, keunggulan komparatif dan kompetitif subsektor tanaman bahan
makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan
dengan cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini kabupaten/kota yang ada
di Jawa Barat. Hasil analisis ini menunjukkan indikasi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya yang dimiliki Kabupaten
Majalengka dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Jawa Barat.
LQ X IJ
/ X I.
IJ
X .J
/ X ..
Dimana :
LQij : Indeks kuosien lokasi kabupaten i untuk sektor/komoditas j.
Xij : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi masing-masing
sektor/komoditas j di kabupaten i.
Xi. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total di kabupaten i.
X.j : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total sektor/komoditas j
di Jawa Barat.
X.. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total seluruh sektor/
komoditas di Jawa Barat.
X .. ( t1) X . j ( t1) X ..
( t1) X ij ( t1) X . j ( t1)
SSA 1
X .. (t 0) X . j (t 0) X ..
(t 0) X ij ( t 0 ) X . j (t 0)
a b c
dimana :
a : Komponen share
b : Komponen proportional shift
c : Komponen differential shift, dan
X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah
X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
t1 : Titik tahun akhir
t0 : Titik tahun awal
Tahun 2009. Selanjutnya, setelah data-data tersebut sudah tersedia maka siap di
RAS dengan menggunakan software GAMS dengan prinsip iterasi. Tahapan
metode RAS ditampilkan pada Gambar 4.
: … … … … … … … … … … …
i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi
: … … … … … … … … … … …
n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn
W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W
Tambah
Nilai
T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T
S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S
Input
Eksternal M M1 … … … … Mn CM GM IM - M
Wilayah
Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X
Sumber : Rustiadi et al. 2009.
Keterangan :
ij : sektor ekonomi
Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Xi : total output sektor i
Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama
dengan total input
Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap
output sektor i
Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor
i; output sektor i yang menjadi barang modal
Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke
luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i
Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)
Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah
sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga
yang bekerja di sektor j
Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai
tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha
47
X ij
aij atau X ij aij .X j
X j
di mana :
aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
( atau disebut pula sebagai koefisien input.
Bj n.B j
B*j i
n Bj Bj
j j
48
n xij
Fi aij
j xj j
Fi nFi
Fi* 1
n Fi Fi
i i
akhir satu unit sektor pertanian yang dapat meningkatkan total output seluruh
sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
n
BL j bij
i
FLi bij
j
bij n bij
i i
j 1
n
bij bij
i j i j
49
6. Kepekaan terhadap signal pasar permintaan akhir atau indeks daya kepekaan
(foreward power of dispersion) ( .i) menunjukkan sumbangan relatif sektor
pertanian dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor
perekonomian yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :
bij
j
i 1
n bij
i j
X (I A) 1.F d
V vˆ. X
dimana V : matriks NTB
v̂ : matriks diagonal koefisien NTB
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd
W ˆ .X
w
50
T tˆ. X
bahan makanan lainnya. Pada level mikro dilakukan analisis terhadap angka luas
panen dan produksi pada Tahun 2009. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain
itu luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian dari setiap level kriteria tersebut
dilakukan sintesis untuk memilih komoditas yang menjadi unggulan. Dalam
penentuan komoditas unggulan, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok komoditas tanaman pangan, buah-
buahan dan sayuran-sayuran. Komoditas yang akan ditetapkan sebagai komoditas
unggulan adalah komoditas yang memenuhi kriteria unggul di setiap levelnya
dilihat pada Gambar 5. Struktur hirarki tersusun atas 4 level. Level 1 merupakan
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan di level 2, 3 dan 4. Level 2 merupakan
tahapan untuk menentukan komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan dalam rangka pencapaian tujuan di level 1. Level 3 merupakan
tahapan untuk menentukan subsistem mana yang diprioritaskan untuk mendukung
level 2. Level 4 merupakan tahapan untuk menentukan aspek pendukung mana
yang menjadi prioritas untuk mendukung level 2 dan 3. Faktor-faktor pada level 2,
3 dan 4 dinilai dengan cara perbandingan berpasangan. Misalnya untuk
perbandingan pada level 2 yaitu pemilihan komoditas unggulan, mana yang lebih
penting antara pengembangan komoditas padi dan jagung, antara komoditas padi
dan kedelai, antara komoditas unggulan padi dan mangga dan seterusnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 3 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Subsistem Agribisnis Hulu, menunjukkan kegiatan ekonomi yang
menghasilkan sarana produksi primer dan perdagangan sarana produksi
pertanian seperti industri pembibitan/perbenihan, pupuk, obat-obatan, alat dan
mesin pertanian, dll.
2. Subsistem Usahatani menunjukkan kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer.
3. Subsistem Agribisnis Hilir menunjukkan kegiatan ekonomi yang mengolah
komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan baik berupa
produk intermediate maupun produk akhir beserta kegiatan perdagangannya.
4. Subsistem Jasa Layanan Pendukung, menunjukkan kegiatan yang
menghasilkan dan menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti perbankan,
transportasi, penelitian dan pengembangan, layanan informasi agribisnis,
kebijakan pemerintah, penyuluhan dan konsultasi, dll.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 4 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Faktor SDM menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dari para pelaku
kegiatan pertanian. Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama
aktivitas pertanian meliputi petani, dan pelaku pengolahan serta pemasaran
hasil pertanian.
55
serta telah sesuai dengan arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka.
Evaluasi kesesuaian dan ketersdiaan lahan tersebut digunakan untuk mendapatkan
peta arahan pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dan tersedia. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
arahan pengembangan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gambar 6.
Overlay
yang memiliki luas wilayah paling luas adalah Kecamatan Kertajati sedangkan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadipaten.
4.1.4. Iklim
Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk kedalam iklim
tropis dengan suhu udara rata-rata berdasarkan data Tahun 2009 berkisar antara
25,9oC sampai dengan 29,3oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober
yaitu 35,9oC, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus dengan
suhu sebesar 22,2oC.
Variasi curah hujan bulanan pada Tahun 2009 antara 60 mm sampai 419
mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan. Dengan
menggunakan pembagian tipe hujan dari Oldeman, maka Kabupaten Majalengka
termasuk tipe iklim C yaitu daerah yang memiliki bulan basah 5-6 bulan. Curah
hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Februari 2009 yang
mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26 hari, sedangkan kemarau terjadi
pada bulan Agustus dan September. Adapun data iklim di Kabupaten Majalengka
selama Tahun 2009 disajikan pada Tabel 8.
4.2.1. Kependudukan
Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan.
Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan
permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk
dan tidak meratanya penyebaran penduduk.
Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan
hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan
606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,83% bila dibandingkan jumlah
penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk
perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan
sex ratio 99.02%. Jumlah penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan kepadatan
penduduk di Kabupaten Majalengka selama kurun 2005-2009 dapat dilihat pada
Tabel 10.
Gambar 11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009
4.2.2. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya
diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut
peningkatan penyediaan lapangan kerja.
Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka
sebanyak 13.417 orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang
laki-laki. Rincian tentang pencari kerja terdaftar dan yang telah ditempatkan
selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka berdasarkan tingkat pendidikannya
dapat dilihat pada Tabel 11.
69
Tabel 11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Belum Telah
Pencari Kerja Persentase
Tingkat Pendidikan Ditempatkan Ditempatkan
(Orang) (%)
(Orang) (Orang)
SD 1.158 8,63 847 311
SLTP 1.550 11,53 1.361 189
SLTA 6.305 46,99 6.252 53
D1, D2, D3 1.523 11,35 1.523 -
Sarjana 2.881 21,47 2.881 -
Pasca Sarjana - - - -
Jumlah 13.417 12.864 553
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu besarnya nilai PDRB dari suatu
wilayah akan sangat tergantung pada kedua faktor tersebut, sehingga dengan
beragamnya kondisi dan keterbatasan dari kedua faktor di atas menyebabkan nilai
PDRB bervariasi antar daerah. PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah
yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran
pembangunan suatu wilayah, sehingga walaupun dianggap memiliki berbagai
kelemahan tetapi PDRB ini merupakan tolak ukur yang paling operasional karena
tidak ada satu wilayah pun yang tidak melakukan pengukuran nilai PDRB.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari
laju PDRB atas dasar harga konstan yang mengalami peningkatan, nilai ini
menunjukan terjadinya peningkatan produk yang dihasilkan dibandingkan
tahun sebelumnya. Stuktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang
digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menunjukan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi
andalan dalam memberikan nilai tambah PDRB Kabupaten Majalengka,
dimana kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majalengka atas
dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun 2006-2009 mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kenaikan hampir semua sektor
lapangan usaha dengan dominasi sektor pertanian diikuti sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pada tahun 2006 PDRB atas
dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 3.686.235.930.000, tahun 2007
sebesar Rp.3.865.690.520.000, dan pada tahun 2008 sebesar Rp.
4.041.007.620.000 serta pada tahun 2009 sebesar Rp. 4.225.926.070.000.
Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 setiap tahun
mengalami kenaikan dari Rp. 3.126.217,78 pada tahun 2006 menjadi Rp.
3.502.046,13 pada tahun 2009. Kenaikan PDRB per kapita menunjukkan bahwa
kondisi perekonomian Kabupaten Majalengka meningkat, sejalan dengan jumlah
penduduk dan keadaan penduduk pada tahun berjalan. Gambaran mengenai
perkembangan kontribusi sektoral dan nilai PDRB per kapita Kabupaten
Majalengka atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 13.
72
Tabel 13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah)
TAHUN
No. LAPANGAN USAHA SATUAN
2006 2007 2008 2009
1 PDRB atas dasar harga 3.686.235,93 3.865.690,52 4.042.240,29 4.225.926,07
konstan thn 2000 (Jutaan
Rupiah)
Pertanian Rp.000.000,00 1.046.430,59 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
% (28,39) (28,30) (28,05) (28,04)
Pertambangan dan Rp.000.000,00 150.590,75 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Galian % (4,09) (4,13) (4,11) (3,84)
Industri Pengolahan Rp.000.000,00 624.229,78 657.996,42 691.093,64 724.330,61
% (16,93) (17,02) (17,10) (17,14)
Listrik, Gas, Air Bersih Rp.000.000,00 24.480,32 26.149,82 27.540,86 28.810,27
% (0,66) (0,68) (0,68) (0.68)
Bangunan Rp.000.000,00 165.831,17 175.415,37 185.168,46 195.870,28
% (4,50) (4,54) (4,58) (4,63)
Perdagangan, Hotel dan Rp.000.000,00 724.540,91 756.470,52 797.726,94 838.517,68
Restoran % (19,66) (19,57) (19,73) (19,84)
Pengangkutan dan Rp.000.000,00 238.842,61 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Komunikasi % (6,48) (6,48) (6,44) (6,43)
Keuangan Rp.000.000,00 205.604,05 219.085,84 229.950,10 240.097,63
% (5,58) (5,67) (5,69) (5,68)
Jasa Rp.000.000,00 505.685,75 526.643,19 550.497,06 579.121,25
% (13,72) (13,62) (13,62) (13,70)
2 PDRB per Kapita (Rp) 3.126.217.78 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2010
4.3.2.1. Pertanian
Pertanian di Kabupaten Majalengka secara umum memiliki potensi yang
besar dan variatif, serta didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
73
Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka
Tahun Luas Panen Hasil per Hektar Produksi
(Ha) (Kuintal) (Ton)
2008 88.503 57,92 512.596
2009 93.517 60,72 567.796
Laju 5,67 4,83 10,77
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Seperti yang telah disebutkan diatas, selain padi dan palawija, tanaman
lain yang termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan adalah sayuran dan
buah-buahan. Perkembangan produksi sayuran dan buah-buahan pada Tahun 2009
disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.
5.1. Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan
di Kabupaten Majalengka Terkini
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang
akan disajikan dalam hasil dan pembahasan ini adalah kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka berdasarkan
hasil analisis dari data Tahun 2009. Pembahasan mengenai kondisi dan potensi
daya saing subsektor tanaman bahan makanan terkini penting untuk disajikan
karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi terbaru dari subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menentukan strategi dan
arahan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.
dari kemajuan pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah. Tidak semua sektor
ekonomi memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu dalam
perencanaan pembangunan suatu wilayah diantaranya harus dapat memanfaatkan
keberadaan sektor-sektor basis yang dianggap bisa menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi
aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis adalah
melalui metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan perbandingan
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang cakupannya lebih
luas dalam suatu wilayah sehingga metode LQ juga dapat menunjukkan
keunggulan komparatif suatu aktivitas di suatu wilayah. Variabel yang digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan potensi aktivitas ekonomi sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka dalam analisis LQ adalah nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 dengan wilayah referensi Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa terdapat 8 sektor dari
13 sektor yang dianalisis, yang menjadi sektor basis di Kabupaten Majalengka.
Kedelapan sektor tersebut adalah sektor pertanian tanaman bahan makanan,
tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan
penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat
pemusatan aktivitas ekonomi pada kedelapan sektor tersebut di Kabupaten
Majalengka sehingga sektor-sektor tersebut memiliki potensi dan daya saing yang
lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah lainnya atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif
di wilayah Jawa Barat.
Sektor yang menjadi sektor non basis di Kabupaten Majalengka ada 5
sektor yaitu kehutanan, perikanan, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih
serta perdagangan hotel dan restoran. Hasil analisis LQ secara lengkap disajikan
pada Tabel 19.
79
Selain menggunakan metode LQ, kondisi dan potensi daya saing aktivitas
ekonomi di suatu wilayah juga dapat diketahui dengan metode Shift Share
Analysis (SSA). Analisis SSA merupakan teknik analisis yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif. Analisis ini juga dapat digunakan
untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah
berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab
pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total),
komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen
differential shift (komponen pergeseran diferensial).
Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor lain di wilayah
Provinsi Jawa Barat digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam
pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan
karena ingin mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di kabupaten
Majalengka yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas
sektor-sektor tersebut di wilayah Kabupaten Majalengka itu sendiri apabila
dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, bukan karena pengaruh
pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total
(regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu
wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya
80
masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-
faktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak
mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif
ini adalah nilai PDRB sedangkan rentang waktu yang digunakan untuk melihat
pergeseran adalah 5 tahun sehingga data PDRB yang digunakan adalah data
PDRB Tahun 2005 dan 2009.
Hasil analisis SSA menunjukkan ada 7 sektor yang memiliki nilai
differential shift yang positif yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa.
Berdasarkan hal tersebut maka keenam sektor tersebut memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya sehingga keenam
sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki keunggulan kompetitif untuk
wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis SSA secara lengkap disajikan pada
Tabel 20.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Sektor Non basis Sektor Basis
- Industri pengolahan - Tanaman bahan makanan
- Tanaman perkebunan
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Peternakan dan hasil-hasilnya
Positif
- Pertambangan dan galian
- Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan
- Jasa-jasa
- Kehutanan
- Perikanan - Bangunan
- Listrik, gas dan air bersih - Pengangkutan dan Komunikasi Negatif
- Perdagangan, hotel & restoran
bahan makanan yang ditandai dengan nilai LQ > 1 dan nilai differential shift yang
positif. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/kota
lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Tabel 21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa
Barat
Nilai Differential Nilai Differential
No Kab/Kota Shift
No Kab/Kota Shift
LQ LQ
1 Garut 4,81 Negatif 14 Purwakarta 0,84 Positif
2 Cianjur 4,01 Negatif 15 Bandung Barat 0,70 Negatif
3 Tasikmalaya 3,41 Positif 16 Bandung 0,59 Negatif
4 Kuningan 3,07 Negatif 17 Kota Tasikmalaya 0,37 Negatif
5 Majalengka 2,74 Positif 18 Bogor 0,31 Positif
6 Sukabumi 2,39 Negatif 19 Kota Sukabumi 0,16 Negatif
7 Subang 2,29 Negatif 20 Bekasi 0,14 Positif
8 Sumedang 2,29 Negatif 21 Kota Depok 0,06 Negatif
9 Ciamis 2,27 Negatif 22 Kota Bekasi 0,04 Negatif
10 Cirebon 2,04 Positif 23 Kota Bogor 0,02 Negatif
11 Indramayu 1,56 Positif 24 Kota Cirebon 0,02 Negatif
12 Kota Banjar 1,29 Positif 25 Kota Bandung 0,01 Negatif
13 Karawang 1,10 Positif 26 Kota Cimahi 0,01 Negatif
Sumber : Hasil Analisis (2011)
menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman
pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas
buah-buahan. Data-data tersebut digunakan sebagai representasi dari sumberdaya
lokal yang dimiliki. Cakupan wilayah analisis adalah Kabupaten/Kota se-Jawa
Barat, sedangkan data yang digunakan adalah data-data pada Tahun 2005 dan
2009.
Kriteria penilaian dalam menentukan komoditas basis/keunggulan
komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, sedangkan
apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti komoditas tersebut termasuk ke
dalam komoditas non basis/bukan unggulan.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas tanam
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas lahan yang digunakan untuk
usahatani suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut
unggul dalam aspek luas lahan yang digunakan untuk budidaya.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas panen
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas panen suatu komoditas. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek frekuensi panen
yang juga berarti komoditas tersebut sangat produktif.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel produksi
menggambarkan bahwa ada pemusatan jumlah produksi dari suatu komoditas. Hal
ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek jumlah produksi
Adapun hasil analisis LQ untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang unggul secara komparatif
dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada dua komoditas yaitu
jagung dan kacang hijau. Komoditas lainnya, seperti padi hanya unggul pada
aspek produksi, kedelai unggul dari aspek luas panen dan produksi sedangkan
komoditas kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu tidak unggul dari aspek ketiganya
yaitu aspek luas tanam, luas panen maupun produksi.
84
Apabila dilihat dari aspek luas panen, terdapat 5 komoditas sayuran yang
memiliki nilai LQ lebih dari satu. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada
Tabel 24. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek luas panen.
85
Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu baik dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
bawang merah, bawang daun dan cabe rawit.
Hasil analisis LQ untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 15 komoditas dari 22 jenis
komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari
satu. Kelima belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Hal ini
menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah pohon yang
ditanam.
86
Tabel 29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Kentang 6,80
2 Terung 0,86
3 Sawi 0,64
4 Tomat 0,50
5 Kembang Kol 0,20
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Apabila dilihat dari aspek luas panen terdapat 6 komoditas sayuran yang
memiliki nilai differential shift positif. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 30. Hal ini menunjukkan bahwa keenam komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan luas panen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, keenam komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas panen.
Tabel 30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,61
2 Sawi 0,58
3 Tomat 0,43
4 Labu siam 0,19
5 Wortel 0,03
6 Kembang kol 0,005
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 29, Tabel 30 dan Tabel 31 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
terung, sawi dan kembang kol.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 16
komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki
nilai differential shift positif. Keenam belas belas komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 32.
.
Tabel 32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang
Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Sukun 0,91
2 Mangga 0,58
3 Alpukat 0,55
4 Salak 0,53
5 Sawo 0,41
6 Jambu biji 0,38
7 Petai 0,36
8 Durian 0,25
9 Nenas 0,21
10 Pepaya 0,13
11 Pisang 0,11
12 Melinjo 0,05
13 Nangka 0,05
14 Dukuh 0,04
15 Rambutan 0,04
16 Sirsak 0,03
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
90
Berdasarkan Tabel 32 dan Tabel 33 dapat dilihat bahwa ada sembilan jenis
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek jumlah pohon dan produksi. Komoditas-komoditas tersebut adalah mangga,
alpukat, sukun, salak, jambu biji, petai, pisang, melinjo dan rambutan.
91
Hasil analisis LQ dan shift share dari luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon kemudian dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif
dan kompetitifnya. Pengelompokkan komoditas-komoditas tersebut disajikan
dalam bentuk matriks daya saing.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas tanam tersaji pada
Gambar 13.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kedelai - Jagung
- Kentang - Kacang hijau
Postif
- Sawi - Kembang kol
- Tomat
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Padi
- Kacang tanah - Bawang merah
Negatif
- Ubi kayu - Bawang daun
- Ubi jalar - Kubis
- Wortel - Cabe besar
- Lobak - Cabe rawit
- Kacang merah
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung
Gambar 13. Matriks Daya Saing Luas Tanam Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas tanam diatas terdapat
tiga komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas tanam yaitu jagung,
kacang hijau dan kembang kol.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas panen tersaji pada
Gambar 14. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas panen tersebut
terdapat dua komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena
92
memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas panen
yaitu jagung dan kacang hijau.
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
Positif
- Wortel
- Tomat
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Labu siam
- Padi
- Kacang tanah - Kedelai
Negatif
- Ubi kayu - Bawang merah
- Ubi jalar - Bawang daun
- Kentang - Kubis
- Lobak - Cabe besar
- Kacang merah - Cabe rawit
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Kangkung
Gambar 14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kentang - Jagung
- Kembang kol - Kedelai
- Sawi - Kacang hijau
- Kacang panjang - Bawang merah
- Terung - Alpukat
Positif
- Buncis - Jambu biji
- Jambu air - Jeruk
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Manggis - Mangga
- Pisang - Melinjo
- Rambutan - Petai
- Sukun
- Salak
- Kacang tanah - Belimbing
- Ubi kayu - Duku - Padi
Negatif
- Ubi jalar - Durian - Bawang daun
- Kubis - Jeruk Besar - Cabe rawit
- Wortel - Nenas - Nangka
- Lobak - Pepaya
- Kacang merah - Sawo
- Cabe besar - Markisa
- Tomat - Sirsak
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung
KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Duku - Alpukat
- Nenas - Mangga
- Sawi - Durian
- Rambutan - Jambu biji
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Salak - Pisang
Positif
- Nangka
- Pepaya
- Sawo
- Melinjo
- Petai
- Sirsak
- Sukun
Negatif
- Manggis - Jambu air
- Markisa - Jeruk
Berdasarkan matriks daya saing, maka untuk komoditas non basis tetapi
memiliki nilai differential shift positif (kuadran II), komoditas-komoditas tersebut
sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
pertumbuhan yang diatas rata-rata pertumbuhan komoditas lain maupun
komoditas sejenis di wilayah lain di provinsi Jawa Barat. Hanya saja diperlukan
usaha untuk terus meningkatkan kapasitasnya secara keseluruhan agar menjadi
komoditas basis. Begitupula dengan komoditas yang berada di kuadran IV (basis
tetapi differential shift negatif), komoditas ini sebetulnya masih memiliki potensi
untuk dikembangkan karena memiliki aktivitas yang memusat (basis), hanya saja
diperlukan usaha untuk meningkatkan aktivitas tersebut agar mengalami
peningkatan/pertumbuhan dari tahun ke tahun secara positif.
Selain memiliki potensi luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah
pohon atas komoditas-komoditas diatas, Kabupaten Majalengka juga memiliki
potensi atas beberapa komoditas yang menjadi varietas unggul. Menurut Dirjen
Hortikultura (2010), varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh
95
Tabel 35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah)
No Lapangan Usaha 2007 2008 2009
1 PERTANIAN 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
a. Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
b. Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
c. Peternakan dan hasil-hasilnya 97.494,29 103.072,99 108.488,65
d. Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
e. Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
2 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 159.586,22 166.138,45 162.266,81
a. Minyak dan Gas Bumi 79.999,73 83.519,72 72.402,41
b. Pertambangan Tanpa Migas - - -
c. Penggalian 79.586,49 82.618,73 89.864,40
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 657.996,42 691.093,64 724.330,61
a. Industri Migas - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - -
2. Gas Alam Cair - - -
b. Industri Non Migas 657.996,42 691.093,64 724.330,61
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 26.149,82 27.540,86 28.810,28
a. Listrik 24.581,92 25.835,14 26.997,72
b. Gas - - -
c. Air Bersih 1.567,90 1.705,72 1.812,56
5 BANGUNAN 175.415,37 185.168,46 195.870,26
6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 756.470,52 797.726,95 838.517,68
a. Perdagangan Besar dan Eceran 518.476,56 547.326,06 573.594,47
b. H o t e l 1.419,45 1.453,53 1.516,95
c. Restoran 236.574,51 248.947,36 263.406,26
7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 250.435,89 260.476,07 271.937,70
a. Angkutan 218.909,88 226.173,66 236.860,72
1. Angkutan Rel - - -
2. Angkutan Jalan Raya 203.174,35 209.818,15 219.799,89
3. Angkutan Laut - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. - - -
5. Angkutan Udara - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 15.735,53 16.355,51 17.060,83
b. Komunikasi 31.526,01 34.302,41 35.076,98
8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN 219.085,84 229.950,11 240.097,64
a. Bank 83.767,96 88.151,52 92.341,18
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank 19.121,65 20.305,72 21.016,42
c. Jasa Penunjang Keuangan - - -
d. Sewa Bangunan 96.859,03 101.285,49 105.737,04
e. Jasa Perusahaan 19.337,20 20.207,38 21.003,00
9 JASA-JASA 526.643,19 550.497,06 579.121,25
a. Pemerintahan umum & pertahanan 384.323,14 399.104,80 419.799,12
b. Swasta 142.320,05 151.392,26 159.322,13
1) Sosial Kemasyarakatan 26.190,13 27.559,87 28.817,80
2) Hiburan dan Rekreasi 7.850,60 8.211,73 8.507,05
3) Perorangan dan Rumah tangga 108.279,32 115.620,66 121.997,28
PDRB DENGAN MINYAK DAN GAS BUMI 3.865.690,53 4.042.240,31 4.225.926,09
PDRB TANPA MINYAK DAN GAS BUMI 3.785.690,80 3.958.720,59 4.153.523,68
Sumber : PDRB Kabupaten Majalengka Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009
98
dari total PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 atau menempati peringkat
ke-1 dari 23 sektor perekonomian
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah; sektor industri
pengolahan (17,14%), perdagangan besar dan eceran (13,57%), padi (13,53%),
pemerintahan umum dan pertahanan (9,93%) dan restoran (6,23%). Sektor
industri pengolahan menempati peringkat tertinggi karena di Kabupaten
Majalengka terdapat beberapa industri yang cukup berkembang. Industri-industri
tersebut diantaranya adalah industri genteng yang banyak terkonsentrasi di
Kecamatan Jatiwangi, kerajinan rotan yang banyak terdapat di Kecamatan
Rajagaluh dan industri pengolahan makanan yang banyak terdapat di Kecamatan
Cikijing. Selain itu sektor industri pengolahan itu sendiri merupakan salah satu
sektor yang tergolong cepat memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Selain melalui PDRB, peranan sektor ekonomi dapat dilihat melalui
analisis Tabel input-output. Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun
2009 terdiri atas 28 sektor yaitu : (1) padi, (2) jagung, (3) ubi kayu, (4) buah-
buahan, (5) sayur-sayuran, (6) bahan makanan lainnya, (7) tanaman perkebunan,
(8) peternakan dan hasil-hasilnya, (9) kehutanan, (10) perikanan, (11)
pertambangan dan penggalian, (12) industri pengolahan, (13) listrik, (14) air
bersih, (15) bangunan, (16) perdagangan besar dan eceran, (17) hotel, (18)
restoran, (19) angkutan jalan raya, (20) jasa penunjang angkutan, (21)
komunikasi, (22) bank dan lembaga keuangan lainnya, (23) sewa bangunan, (24)
jasa perusahaan, (25) pemerintahan umum dan pertahanan, (26) jasa sosial
kemasyarakatan, (27) jasa hiburan dan rekreasi dan (28) jasa perorangan dan
rumah tangga. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel
input-output Tahun 2009 yang terdiri dari 28x28 sektor disajikan pada Tabel 37.
Berdasarkan Tabel 37 tersebut dapat diketahui bahwa dari struktur output
Kabupaten Majalengka sebesar Rp 7.437.306,17 juta, sebanyak 26,99% (Rp
2.007.422,80 juta) merupakan permintaan antara dan sebanyak 73,01% (Rp
5.429.883,37 juta) merupakan permintaan akhir. Secara umum, komponen
permintaan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap dan perubahan stok menggambarkan transaksi
100
Struktur Tabel I-O dengan nilai total output yang lebih banyak
dialokasikan sebagai permintaan akhir menunjukkan bahwa output yang ada
cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung baik oleh masyarakat
maupun belanja pemerintah, investasi dan langsung diekspor daripada digunakan
untuk transaksi antar sektor dalam proses produksi.
Berdasarkan struktur inputnya, perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 terdiri atas input antara sebesar 94,27% (Rp 2.007.422,80 juta) dan
input primer sebesar 5,73% ( Rp 121.997,28 juta). Input primer merupakan selisih
antara total input dengan input antara. Input primer sering disebut juga nilai
tambah bruto (NTB). Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa pemakaian
faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha,
101
penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan struktur input primer atau NTB,
sebanyak 30,23% dari NTB merupakan upah gaji (Rp 36.879,18 juta), 60,23%
merupakan surplus usaha (Rp 73.480,52 juta), 5,74% merupakan penyusutan (Rp
6.997,97 juta) dan 3,80% adalah pajak tak langsung (Rp 4.639,60 juta).
Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau
keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Investasi akan
bermanfaat bagi suatu daerah jika dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal yang ada di daerah tersebut. Adapun struktur tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Pada Tabel 38 ditampilkan total output tiap sektor berdasarkan Tabel I-O
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut, maka peran
subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memberikan
kontribusi sebesar Rp 684.744,12 juta atau 9,21%, sayur-sayuran memberikan
kontribusi sebesar Rp. 233.993,77 juta atau 3,15%, buah-buahan memberikan
kontribusi sebesar Rp 150.744,16 juta atau 2,03%, jagung memberikan kontribusi
sebesar Rp 87.616,79 juta atau 1,18%, bahan makanan lainnya memberikan
kontribusi sebesar Rp 37.418,21 juta atau 0,50% dan ubi kayu memberikan
kontribusi sebesar Rp 12.374,13 juta atau 0,17 %. Secara keseluruhan kontribusi
dari keenam komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila
digabungkan adalah sebesar Rp 1.206.891,18 juta atau 16,23% dari total output
seluruh sektor perekonomian atau menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor
perekonomian.
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
total output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah : sektor
industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, bangunan, padi serta
pemerintahan umum dan pertahanan. Kontribusi paling besar disumbangkan oleh
sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 1.937.571,83 juta atau 26,05% .
102
Tabel 38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Total Output Persentase
No. Sektor Perekonomian
(Juta rupiah) (%)
1 Industri pengolahan 1.937.571,83 26,05
2 Perdagangan besar dan eceran 800.083,26 10,76
3 Bangunan 687.069,09 9,24
4 Padi 684.744,12 9,21
5 Pemerintahan umum dan pertahanan 681.837,89 9,17
6 Angkutan jalan raya 433.929,60 5,83
7 Restoran 410.117,34 5,51
8 Sayur-sayuran 233.993,77 3,15
9 Peternakan dan hasil-hasilnya 207.747,73 2,79
10 Pertambangan dan penggalian 200.775,78 2,70
11 Perorangan dan rumah tangga 182.386,59 2,45
12 Bank dan lembaga keuangan lainnya 176.271,41 2,37
13 Sewa bangunan 157.957,08 2,12
14 Buah-buahan 150.744,16 2,03
15 Jagung 87.616,79 1,18
16 Listrik 75.661,82 1,02
17 Tanaman perkebunan 51.427,38 0,69
18 Jasa sosial kemasyarakatan 49.757,97 0,67
19 Komunikasi 48.083,54 0,65
20 Perikanan 47.874,81 0,64
21 Bahan makanan lainnya 37.418,21 0,50
22 Jasa perusahaan 31.944,81 0,43
23 Jasa penunjang angkutan 23.020,48 0,31
24 Jasa hiburan dan rekreasi 14.441,16 0,19
25 Ubi kayu 12.374,13 0,17
26 Kehutanan 6.946,69 0,09
27 Hotel 3.078,32 0,04
28 Air bersih 2.430,40 0,03
Jumlah 7.437.306,17 100,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)
menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DIFL sebesar 1,0271 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DIFL sebesar 1,0089 serta
menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DIFL ini maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Keempat komoditas
tersebut memiliki nilai DIFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang juga merupakan
bagian dari sektor pertanian.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect
Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung dan
tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada
Gambar 20.
sendiri adalah sebesar 65,05% dari total input antara. Komoditas padi ini
memerlukan sarana produksi sebagai inputnya. Pemenuhan kebutuhan akan sarana
produksi (bibit, pupuk, dll) dapat dipenuhi dari sektor padi itu sendiri dan sektor
perdagangan besar dan eceran.
Keterkaitan langsung antara komoditas jagung dengan sektor-sektor
lainnya baik keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang disajikan pada
Gambar 22. Keterkaitan langsung tertinggi baik keterkaitan langung ke depan
maupun ke belakang komoditas jagung adalah dengan komoditas jagung itu
sendiri. Adapun besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang komoditas jagung
dengan komoditas jagung itu sendiri berturut-turut sebesar 29,30% dari
permintaan antara dan 30,59% dari total input antara. Komoditas jagung banyak
membutuhkan input dari komoditas jagung itu sendiri sebagai benih,
membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta
membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output
komoditas jagung ini juga digunakan untuk sektor perikanan dan peternakan
sebagai pakan ternak serta sebagian diolah oleh industri pengolahan.
merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi
permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata sektor yang lain. Nilai indeks daya
kepekaan sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 26.
Komoditas dengan nilai Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Daya
Kepekaan (IDK) tinggi merupakan suatu komoditas yang memiliki basis domestik
yang baik dari sisi input maupun output. Artinya komoditas-komoditas tersebut
lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestiknya
dan lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari
sektor produksi domestik. Dengan kata lain komoditas tersebut lebih sedikit
menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk
memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan
indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain.
Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan
cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya.
Berdasarkan IDP dan IDK, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
di Kabupaten Majalengka yang memiliki basis domestik yang baik hanyalah
komoditas padi. Komoditas padi ini memiliki basis domestik dari sisi output.
Artinya komoditas ini lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi
kebutuhan input antara sektor-sektor domestik. Selain itu komoditas ini juga
merupakan komoditas yang akan cepat terpengaruh dengan adanya perubahan di
sektor lainnya.
sebesar 1,0860 yang menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,0814 yang menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect output tersebut maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan komoditas lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect output jagung sebesar 1,1772 berarti bahwa setiap
peningkatan permintaan akhir jagung sebesar satu satuan, maka output
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka akan meningkat sebesar ekivalen
1,1772. Dengan kata lain, apabila permintaan akhir jagung meningkat 1 milyar
rupiah maka dampak terhadap perekonomian wilayah (output) meningkat sebesar
1,1772 milyar rupiah.
memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua
komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas
tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.
Nilai NTB multiplier jagung sebesar 1,1447 berarti bahwa apabila
permintaan akhir komoditas jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak
terhadap nilai tambah/PDRB akan meningkat sebesar 1,1447 milyar rupiah.
Multiplier Effect NTB/PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 28.
26 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,1127 menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan tersebut maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan
dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect pendapatan untuk komoditas jagung bernilai 1,2260
berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas jagung
sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di
sektor komoditas jagung sebanyak 1,2260 kali. .
Selain itu, berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan terlihat bahwa
untuk komoditas ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pendapatan pada urutan
ke-3 diantara komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan menempati posisi
diatas komoditas padi, hal ini karena komoditas ubi kayu merupakan komoditas
yang relatif mudah ditanam dan tidak terlalu membutuhkan banyak input serta
perlakuan khusus dalam membudidayakannya tetapi hasilnya sangat dibutuhkan
untuk konsumsi penduduk maupun untuk bahan baku industri sehingga dapat
memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Adapun komoditas padi
merupakan komoditas yang menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat
sehingga campur tangan pemerintah dalam mengendalikan komoditas ini cukup
besar termasuk dalam pengendalian harga jual yang mengakibatkan komoditas
padi tidak memberikan multipier effect yang besar terhadap peningkatan
pendapatan.
permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung pada
sektor tersebut. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir pada suatu
sektor tertentu sebesar satu rupiah, maka akan berdampak pada meningkatnya
pajak tak langsung sebesar nilai pengganda pajak di sektro tersebut. Nilai
multiplier effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 30.
Dari nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut dapat diketahui
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pajak
tak langsung adalah : komoditas buah-buahan memiliki nilai multiplier effect
pajak sebesar 1,5827 menempati urutan ke-11, jagung memiliki nilai multiplier
effect pajak sebesar 1,4884 menempati urutan ke-13, ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect pajak sebesar 1,2911 menempati urutan ke-17, padi memiliki
nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2145 menempati urutan ke-20, sayur-
123
sayuran memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1925 menempati urutan
ke-22 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar
1,1536 menempati urutan ke-24. Nilai multiplier effect pajak untuk komoditas
buah-buahan bernilai 1,5827 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan
akhir komoditas buah-buahan sebesar satu satuan akan meningkatkan pajak tak
langsung sebesar ,1536 kali.
Berdasarkan nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut maka
komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan
lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan
yang merupakan bagian sektor pertanian.
Hotel memiliki nilai multiplier effect pajak tak langsung yang paling
tinggi, hal ini karena tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 merupakan
hasil turunan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, sehingga hasil
perhitungan multiplier effect pajak tak langsung sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki potensi kunjungan
wisata yang tinggi karena memiliki beberapa obyek wisata andalan seperti pantai
pangandaran, batu hiu, karang nini dan green canyon (cukang taneuh). Hal
tersebut menjadi potensi yang dapat mengakibatnya tingginya nilai multiplier
effect pajak tak langsung dari sektor hotel. Adapun untuk Kabupaten Majalengka
multiplier effect pajak tak langsung sektor hotel yang tinggi kurang mencerminkan
kondisi yang ada di lapangan hal ini salah satu penyebabnya karena potensi wisata
di Kabupaten Majalengka masih rendah.
Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui
analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum komoditas-komoditas subsektor
tanaman bahan makanan masih memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect
yang rendah, sehingga upaya pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
yang dapat dilakukan dalam mewujudkannya menjadi salah satu sektor unggulan
yang strategis adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan
makanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah Kabupaten
Majalengka.
124
Tabel 39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan
Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Padi 0,97 0,97 1,03 -0,03 -0,02 -0,09
2 Jagung 1,91 2,15 2,32 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17 0,23 -0,04 0,08
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31 -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91 0,36 0,31 0,05
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43 -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Hasil Analisis (2011)
komoditas ini sudah memiliki angka luas tanam, luas panen maupun produksi
yang sudah cukup besar sehingga tingkat pertumbuhan/pergeserannya kecil
(negatif) sehingga dalam hal ini tetap dikategorikan sebagai komoditas basis.
Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas buah-
buahan tersaji pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel 40 terlihat banyak sekali
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif
sehingga komoditas buah-buahan yang merupakan komoditas basis dan memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah alpukat, durian, jambu biji,
jambu air, jeruk, mangga, nangka, papaya, pisang, sawo, sirsak, sukun, melinjo
dan petai.
Tabel 42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Multiplier Effect
No Komoditas
Pendapatan Pajak PDRB Output
1 Padi 1,14 1,21 1,12 1,13
2 Jagung 1,23 1,49 1,14 1,18
3 Ubi Kayu 1,15 1,29 1,06 1,08
4 Buah-buahan 1,22 1,58 1,10 1,12
5 Sayur-sayuran 1,13 1,19 1,07 1,09
6 Bahan makanan lainnya 1,11 1,15 1,10 1,11
Sumber : Hasil Analisis (2011)
130
Dari tabel tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
pendapatan diatas rata-rata adalah jagung dan buah-buahan, komoditas yang
memiliki nilai multiplier effect pajak diatas rata-rata adalah jagung dan buah-
buahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect PDRB diatas rata-rata
adalah padi dan jagung serta komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
Output diatas rata-rata adalah padi dan jagung. Berdasarkan hal tersebut maka
komoditas yang memiliki nilai multiplier effect yang besar adalah padi, jagung
dan buah-buahan.
keenam komoditas tersebut, perlu diketahui mana yang menurut para stakeholder
perlu diprioritaskan dalam rangka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di wilayah Kabupaten Majalengka. Hal ini penting untuk diketahui agar
pengembangan komoditas unggulan selaras dengan kebutuhan dan persepsi para
stakeholdernya.
Dari enam komoditas unggulan terpilih berdasarkan hasil analisis yaitu
komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo, para stakeholder
memilih komoditas padi sebagai prioritas pertama dengan skor penilaian sebesar
0,324, jagung sebagai prioritas kedua dengan skor 0,250, mangga sebagai prioritas
ketiga dengan skor 0,180, kedelai sebagai prioritas keempat dengan skor 0,122,
pisang sebagai prioritas kelima dengan skor 0,071 dan melinjo sebagai prioritas
terakhir dengan skor 0,052. Gambar 34 menunjukkan hasil persepsi para
stakeholder dalam menentukan prioritas komoditas unggulan.
sektor pertanian primer, (3) subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk siap dimasak
maupun siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya serta (4) subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan, penyuluhan, penelitian
pengembangan dan kebijakan pemerintah.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan,
dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem-subsistem tersebut.
Namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan adanya ketimpangan
perkembangan diantara subsistem tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan
usahatani tidak memberikan hasil yang maksimal bagi para petani sebagai pelaku
utamanya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan sesuai konsep agribisnis, diperlukan arahan untuk mengetahui
prioritas pengembangan subsistem agribisnis yang dibutuhkan berdasarkan
pengalaman para stakeholder di lapangan.
Persepsi para stakeholder pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan
Gambar 35 tersebut, menunjukkan bahwa untuk pengembangan komoditas padi
yang perlu diprioritaskan adalah pengembangan subsistem agribisnis hulu diikuti
dengan pengembangan subsistem usahatani, agribisnis hilir dan jasa layanan
pendukung. Para stakeholder lebih memprioritaskan subsistem agribisnis hulu
karena subsistem agribisnis hulu menyangkut ketersediaan benih yang bermutu,
pupuk, obat-obatan dan sarana produksi lainnya yang sangat menentukan tingkat
keberhasilan petani dalam melakukan usahatani padi.
Urutan prioritas subsistem dalam pengembangan komoditas jagung
berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, agribisnis hulu dan jasa
layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa aspek pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil komoditas jagung merupakan aspek yang menjadi prioritas
untuk dikembangkan. Untuk pengembangan kedelai yang perlu diprioritaskan
secara berturut-turut adalah subsistem usahatani, agribisnis hilir, sgribisnis hulu
dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani
kedelai yang selama ini dilakukan belum optimal sehingga masih dibutuhkan
dukungan program-program pemerintah misalnya berupa pembinaan dan
137
penyuluhan yang intensif dalam hal tehnik budidaya yang baik dan benar untuk
memperoleh hasil yang maksimal.
Persepsi stakeholder dalam pengembangan mangga menunjukkan bahwa
subsistem agribisnis hulu sebagai prioritas pertama kemudian subsistem agribisnis
hilir, usahatani dan jasa layanan pendukung. Dari hasil analisis persepsi tersebut
menunjukkan bahwa ketersedian sarana produksi merupakan hal yang masih
sangat diperlukan untuk pengembangan mangga sebagai komoditas unggulan.
Berdasarkan wawancara di lapangan diketahui bahwa subsistem hulu dipilih
menjadi prioritas dalam pengembangan mangga karena banyak sekali
permasalahan yang terkait dengan hama penyakit sehingga ketersediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Adapun untuk pengembangan pisang persepsi stakeholder menunjukkan
bahwa yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem agribisnis
hilir, usahatani, hulu dan jasa layanan pendukung, demikian pula untuk
pengembangan melinjo, subsistem agribisnis hilir menempati prioritas pertama
kemudian diikuti dengan subsistem usahatani, jasa layanan pendukung dan
agribisnis hulu. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengembangan pisang dan
melinjo aspek pengolahan dan pemasaran hasil menjadi prioritas yang diperlukan.
Nilai dari masing-masing prioritas pengembangan subsistem agribisnis per
komoditas berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) disajikan pada
Gambar 35.
Berdasarkan pertimbangan untuk pengembangan keseluruhan komoditas
unggulan maka subsistem usahatani merupakan subsistem yang terpilih sebagai
prioritas pertama untuk dikembangkan dengan skor 0,287 kemudian subsistem
agribisnis hulu dengan skor 0,275, subsistem agribisnis hilir dengan skor 0,273
dan subsistem jasa layanan pendukung dengan skor 0,166. Hal ini menunjukkan
bahwa menurut persepsi para stakeholder, dalam pengembangan komoditas
unggulan di Kabupaten Majalengka masih diperlukan peningkatan tehnik-tehnik
budidaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas hasil produksi.
138
Gambar 36. Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem
dengan skor 0,249. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan sistem
agribisnis faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang paling penting
untuk dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilannya. Hasil analisis AHP secara keseluruhan disajikan pada
Gambar 37.
Pembangunan Subsektor
Tanaman Bahan
Makanan
Sumberdaya Sarana
Kelembagan
Manusia Prasarana
(0,249)
(0,448) (0,303)
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta
dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Subsektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis di Kabupaten
Majalengka sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan
kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan
kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi jagung, kedelai,
kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan
petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah
alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo,
petai, sirsak dan sukun. Kondisi dan potensi yang baik ini membawa implikasi
bagi Kabupaten Majalengka untuk lebih memberi perhatian dan prioritas
terhadap pembangunan subsektor tanaman bahan makanan agar mampu
menjadi motor penggerak pengembangan wilayah di masa yang akan datang.
2. Subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan sumbangannya
terhadap PDRB (23,80%) dan pembentukan output total (16,23%). Walaupun
subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai yang rendah untuk semua
indikator keterkaitan dan multiplier effect, namun demikian, subsektor ini
memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo merupakan
komoditas unggulan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisis pada level
makro, meso dan mikro.
4. Prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan jenis
komoditas unggulan secara berturut-turut adalah padi, jagung, mangga,
154
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain agar terus dilakukan, baik yang memiliki keterkaitan ke depan
maupun ke belakang sehingga mampu meningkatkan nilai tambah di dalam
wilayah serta mengurangi terjadinya kebocoran wilayah.
2. Perlu dikembangkan rantai sistem agribisnis dalam pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat terbangun
keterkaitan antar subsistem agribisnis maupun antar sektor lainnya.
3. Perlu dilakukan survey tanah yang lebih detil sehingga informasi mengenai
evaluasi kesesuaian lahan untuk lokasi pengembangan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan akan lebih akurat.
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN
MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN MAJALENGKA
NUNIK RACHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
155
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah IS. 2003. Asean Free Trade Area (AFTA). Otonomi Daerah dan Daya
Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Peneliti Agro
Ekonomi 21(1):1-11.
[BPS Jabar]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Produk Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Bandung:
Badan Pusat Statistik.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Tanaman
Pangan. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
Djaenudin. D., Marwan H., Subagjo H., Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak.
Ilham N. 2008. Profil Teknologi pada Usahatani Padi dan Implikasinya Terhadap
Peran Pemerintah. Analisis Kebijakan Pertanian 6:335-351.
Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Dalam:
Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan
Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Wilayah. hlm 47-65.
Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J.
Applied Decision Sciences 1(1):24-79.
Supriatna, A. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani
di Tingkat Pedesaan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):111-118.
Zakaria AK, Sejati WK, Kustiari R. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas
Kedelai Menurut Agroekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia.
Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 21-37.
159
LAMPIRAN
160
Lampiran 1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotien t (LQ) Luas Tanam
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
No Kabupaten/Kota
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,62 0,00 0,03 0,07 1,30 0,61 - 0,26 1,54 0,50 0,62 0,62 1,70 1,54 1,39 1,34 4,71 5,23
2 Sukabumi 0,09 - 0,65 0,02 0,33 0,96 2,68 0,33 0,09 0,42 1,79 1,33 1,50 1,38 1,72 1,85 1,56 1,43 0,11 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,77 0,03 0,54 2,08 1,32 3,45 2,90 0,37 0,94 1,23 1,32 1,05 1,02 1,85 0,95 0,86 0,34 0,24
4 Bandung 0,93 2,83 1,11 2,99 2,36 0,92 1,11 1,66 2,14 1,39 0,11 0,32 0,22 0,92 0,08 0,37 0,26 0,23 0,15 0,09
5 Garut 0,53 2,36 0,74 1,75 1,69 0,81 0,72 1,02 - 2,04 0,36 1,45 1,05 1,66 0,65 0,75 0,31 1,27 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 1,00 0,01 0,13 0,14 0,54 0,04 0,08 0,46 1,93 1,69 0,83 1,19 1,65 3,54 2,14 2,54 0,96 1,01
7 Ciamis - - 1,17 - 0,05 - 0,25 0,01 0,33 1,91 2,15 1,56 1,57 1,05 1,70 1,51 1,32 1,10 1,19 1,91
8 Kuningan 2,01 - 4,41 0,11 0,25 1,15 0,87 0,66 - 0,18 0,57 0,55 1,99 0,86 0,13 1,23 0,48 0,29 0,02 -
9 Cirebon 9,95 - - - - - - - - - 0,22 2,16 0,11 0,02 1,26 - 0,47 - 0,15 -
10 Majalengka 3,95 - 2,48 0,97 1,10 1,15 0,57 0,23 0,07 0,31 0,15 1,05 1,13 0,43 0,80 0,35 0,39 0,16 0,03 0,01
11 Sumedang 0,25 - 0,64 0,19 1,32 0,30 0,56 0,12 - 4,57 0,79 1,38 1,23 1,43 0,56 0,52 1,20 1,21 0,23 0,01
12 Indramayu 1,73 - - - - 1,05 0,29 - - - 2,76 1,23 2,96 0,45 3,25 - 3,11 0,22 0,71 0,72
13 Subang 0,15 - 0,51 0,06 0,15 1,22 0,36 0,13 2,10 - 4,40 0,72 1,36 0,93 2,41 1,64 2,35 3,00 0,83 0,50
14 Purwakarta - - 0,52 - 0,02 0,13 0,60 0,22 1,79 - 3,32 0,68 1,68 0,78 2,02 1,11 2,89 1,69 2,02 1,72
15 Karawang - - - - - - 0,84 - - - 4,93 0,18 3,09 - 2,90 - 3,80 - 1,03 0,33
16 Bekasi - - - - - - 1,50 - 3,65 - 0,86 0,39 0,05 - 0,78 - 2,05 0,29 7,66 8,60
17 Bandung Barat 0,03 - 0,40 0,53 0,47 6,31 0,85 0,76 3,00 0,87 1,87 0,78 1,77 1,38 1,29 1,96 1,93 3,67 0,27 0,57
18 Kota Bogor - - 0,37 - - - 1,21 - - 0,52 1,58 0,47 1,10 1,38 2,43 2,56 1,36 - 4,29 3,69
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,38 - - - 2,29 0,66 - 1,76 0,81 0,42 2,17 - 0,77 0,07
20 Kota Bandung - - 1,32 - - 7,34 1,27 - - 1,59 1,89 0,77 2,14 1,56 2,87 1,42 0,22 8,53 0,92 -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,92 0,78 0,44 - 1,46 - 2,38 - 7,49 7,84
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,47 - - - 0,18 0,03 0,07 - 0,22 - 0,21 - 9,23 9,86
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,33 0,12 - - 3,47 - 2,00 - 8,48 7,23
24 Kota Cimahi - - 1,29 - - - 3,71 - - - 0,81 0,55 1,30 0,83 1,42 1,53 0,17 9,74 1,57 4,30
25 Kota Tasikmalaya - - 0,20 - - - 1,43 - - - 2,26 1,43 0,15 0,11 1,23 1,85 3,02 - 2,62 3,66
26 Kota Banjar 0,16 - 0,22 - - - 1,00 - - 1,47 3,12 0,42 1,15 0,26 0,96 - 2,47 1,43 4,01 2,58
Lampiran 2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Luas Panen
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
No Kabupaten/Kota
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,68 0,00 0,03 0,09 1,33 0,63 - 0,26 1,58 0,54 0,75 0,62 1,81 1,58 1,44 0,82 4,23 4,93
2 Sukabumi 0,09 - 0,63 0,02 0,31 0,81 2,55 0,34 0,09 0,42 1,84 1,31 1,52 1,37 1,81 2,04 1,56 0,91 0,09 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,93 0,03 0,56 2,06 1,36 3,64 2,72 0,38 0,92 1,14 1,52 0,99 0,97 1,75 0,88 0,77 0,38 0,31
4 Bandung 1,03 2,66 1,02 3,11 2,34 0,94 1,04 1,53 2,01 1,31 0,10 0,33 0,23 0,96 0,07 0,36 0,24 1,06 0,15 0,09
5 Garut 0,56 2,39 0,84 1,60 1,68 0,89 0,69 1,01 - 2,08 0,34 1,39 0,98 1,68 0,65 0,74 0,31 1,41 0,22 0,15
6 Tasikmalaya - - 1,01 0,00 0,13 0,12 0,59 0,04 0,05 0,46 1,90 1,62 0,83 1,12 1,58 3,52 2,19 1,27 0,99 0,98
7 Ciamis - - 1,21 - 0,05 - 0,29 0,01 0,08 1,86 1,93 1,73 1,44 0,99 1,53 1,61 1,52 0,35 1,65 1,15
8 Kuningan 2,07 - 4,54 0,10 0,24 1,36 0,97 0,61 - 0,08 0,54 0,58 2,22 0,92 0,13 1,34 0,49 0,63 0,11 -
9 Cirebon 10,86 - - - - - - - - - 0,24 2,06 0,11 0,02 1,22 - 0,48 - 0,27 -
10 Majalengka 4,06 - 2,36 0,86 1,08 0,90 0,61 0,25 - 0,37 0,17 1,18 1,42 0,43 0,89 0,39 0,50 0,48 0,03 0,01
11 Sumedang 0,28 - 0,70 0,18 1,35 0,34 0,52 0,13 - 4,80 0,78 1,36 1,16 1,37 0,52 0,58 1,15 0,84 0,23 -
12 Indramayu 1,81 - - - - 1,19 0,29 - - - 2,77 1,29 2,45 0,37 3,19 - 3,03 0,13 0,93 0,74
13 Subang 0,14 - 0,57 0,07 0,16 1,17 0,38 0,16 2,31 - 4,35 0,69 1,18 0,98 2,45 1,75 2,12 2,19 0,72 0,47
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,01 0,13 0,57 0,20 1,55 - 3,15 0,96 1,47 0,68 2,16 1,10 2,76 1,02 1,97 1,76
15 Karawang - - - - - - 0,86 - - - 4,78 0,16 2,84 - 3,12 - 3,65 - 1,11 0,44
16 Bekasi - - - - - - 1,75 - 4,58 - 0,87 0,39 0,04 - 0,67 - 2,17 - 7,16 8,33
17 Bandung Barat 0,03 - 0,38 0,49 0,46 5,95 0,70 0,64 2,80 0,79 1,65 1,46 1,75 1,35 1,13 1,65 1,81 2,88 0,26 0,48
18 Kota Bogor - - 0,39 - - - 1,20 - - 0,56 1,64 0,48 0,77 1,35 2,25 2,02 1,58 - 4,31 3,93
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,12 - - - 2,44 0,68 - 1,70 0,89 0,42 2,08 - 1,40 -
20 Kota Bandung - - 1,30 - - 7,54 1,42 - - 1,52 1,68 0,49 1,83 1,59 2,00 1,75 - 15,95 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,79 0,79 0,59 - 1,33 - 2,22 - 7,45 8,08
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,63 - - - 0,22 0,02 0,05 - 0,26 - 0,19 - 9,13 10,00
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,85 0,10 - - 3,92 - 2,04 - 7,26 6,63
24 Kota Cimahi - - 1,47 - - - 3,56 - - 0,05 0,73 0,57 1,57 1,02 1,63 1,25 0,16 7,69 1,34 3,67
25 Kota Tasikmalaya - - 0,06 - - - 1,49 - - - 2,20 1,61 0,26 - 1,22 1,99 2,97 - 2,44 3,48
161
26 Kota Banjar 0,16 - 0,19 - - - 0,95 - - 1,40 2,91 0,58 1,53 0,26 1,00 - 2,44 0,73 3,97 2,45
162
Lampiran 3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
Tomat
Terung
Merah
Merah
No Kabupaten/Kota
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,49 0,00 0,04 0,16 1,33 0,55 - 0,11 1,94 0,39 0,33 0,32 2,21 1,01 1,50 0,11 7,50 10,39
2 Sukabumi 0,14 - 0,75 0,02 0,26 0,53 2,93 0,26 0,07 0,37 2,02 0,97 0,84 1,12 2,47 1,58 1,54 2,24 0,04 0,05
3 Cianjur 0,03 - 1,65 0,03 0,46 1,83 1,29 3,00 2,98 0,40 1,15 1,06 1,94 1,12 1,29 2,03 1,02 0,79 0,30 0,15
4 Bandung 0,71 1,88 0,72 2,13 1,78 0,83 1,01 1,40 1,73 1,09 0,13 0,43 0,18 1,26 0,08 0,35 0,32 1,33 0,21 0,06
5 Garut 0,42 1,96 0,78 1,43 1,47 0,73 0,74 0,89 - 1,94 0,39 1,44 0,94 1,40 0,91 0,83 0,34 0,77 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 0,67 0,00 0,10 0,08 0,69 0,04 0,03 0,51 2,12 2,90 0,95 0,72 2,23 4,08 2,48 0,39 1,31 0,88
7 Ciamis - - 0,73 - 0,07 - 0,28 0,01 0,03 0,90 2,03 3,93 1,79 1,05 1,75 1,90 1,81 0,12 1,73 0,82
8 Kuningan 1,80 - 7,27 0,10 0,24 1,58 1,25 0,69 - 0,05 0,40 0,33 2,00 0,47 0,10 1,04 0,43 0,27 0,24 0,00
9 Cirebon 16,92 - - - - - - - - - 0,26 2,11 0,08 0,00 1,34 - 0,93 - 0,42 0,03
10 Majalengka 6,44 - 3,74 0,97 0,60 0,95 0,93 0,09 - 0,39 0,14 0,72 1,10 0,38 0,94 0,38 0,35 0,08 0,01 0,04
11 Sumedang 0,33 - 0,63 0,18 2,06 0,23 0,55 0,20 - 4,84 1,10 1,06 1,47 1,09 0,60 0,48 2,08 0,20 0,37 0,02
12 Indramayu 2,10 - - - - 1,81 0,32 - - - 3,48 1,07 2,51 0,18 4,73 - 4,30 0,11 2,21 0,41
13 Subang 0,32 - 0,59 0,06 0,10 0,34 0,34 0,01 1,57 - 4,89 1,00 1,88 0,99 2,75 2,36 2,48 0,67 0,65 0,75
14 Purwakarta - - 0,59 - 0,02 0,17 0,65 0,23 1,53 - 5,55 0,68 1,30 0,46 1,75 1,30 3,50 0,16 3,05 1,92
15 Karawang - - - - - - 0,67 - - - 7,74 0,14 3,72 - 2,54 - 4,52 - 1,66 0,61
16 Bekasi - - - - - - 1,78 - 4,93 - 1,08 0,07 0,00 - 0,32 - 4,05 - 8,48 10,30
17 Bandung Barat 0,03 - 0,36 0,29 0,32 5,56 0,57 0,51 1,53 0,35 1,21 1,33 3,03 0,47 0,94 2,14 1,78 5,01 0,22 0,23
18 Kota Bogor - - 0,25 - - - 0,72 - - 0,58 2,11 0,94 0,91 0,91 3,02 2,68 1,58 - 6,74 4,78
19 Kota Sukabumi - - - - - - 4,26 - - - 2,61 0,55 - 0,65 0,93 0,42 2,28 - 8,29 -
20 Kota Bandung - - 1,46 - - 7,78 1,48 - - 1,96 2,18 0,51 1,90 0,73 2,56 2,13 - 5,33 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 5,51 1,09 0,39 - 1,09 - 3,16 - 7,42 7,80
22 Kota Bekasi - - - - - - 4,08 - - - 0,49 0,06 0,17 - 0,42 - 0,28 - 10,77 14,39
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 6,15 0,12 - - 3,61 - 1,71 - 10,96 6,79
24 Kota Cimahi - - 1,46 - - - 3,20 - - 0,08 0,56 0,59 1,63 0,86 0,68 0,29 0,01 1,22 1,21 13,66
25 Kota Tasikmalaya - - 0,18 - - - 1,41 - - - 3,03 2,24 0,29 - 1,23 2,21 5,04 - 2,55 1,92
26 Kota Banjar 0,54 - 0,41 - - - 1,20 - - 1,07 2,94 0,78 1,99 0,20 1,21 - 3,83 0,50 4,31 3,65
Lampiran 4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Jumlah Pohon
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
Petai
Duku
No Kabupaten/Kota
1 Bogor 1,27 3,64 8,48 4,07 2,36 2,58 0,57 0,33 0,33 5,02 2,99 0,72 4,11 0,85 3,80 0,10 1,13 0,78 1,38 1,26 1,03 2,37
2 Sukabumi 1,14 1,38 1,02 1,80 1,17 2,00 1,45 1,47 1,20 1,64 2,00 0,06 5,16 2,24 1,02 0,06 2,55 1,54 1,72 0,59 0,17 0,81
3 Cianjur 1,10 0,75 0,45 1,19 1,25 1,03 0,70 0,62 0,59 0,24 1,04 0,08 0,62 2,68 0,39 0,09 1,49 - 2,64 0,59 0,54 1,22
4 Bandung 13,38 3,49 0,14 2,45 5,18 4,80 1,75 8,89 1,19 0,81 4,09 0,00 2,11 1,22 0,55 0,02 5,34 3,03 1,75 8,93 1,19 3,19
5 Garut 5,46 1,24 0,78 1,03 1,42 1,14 10,14 0,66 1,89 0,35 1,48 0,02 2,02 1,63 0,83 0,01 1,39 5,26 2,28 1,55 0,74 1,48
6 Tasikmalaya 0,43 0,34 0,88 0,83 0,35 0,27 0,70 0,23 0,26 2,26 0,45 0,03 0,60 0,61 0,76 4,80 0,73 0,13 1,27 0,75 0,24 0,59
7 Ciamis 0,97 1,28 3,88 1,50 0,90 1,74 0,91 2,39 0,69 1,96 0,93 0,09 1,06 2,24 1,08 0,28 0,16 10,36 1,81 1,79 0,75 2,87
8 Kuningan 0,57 0,76 0,20 1,87 2,25 0,63 0,98 0,26 3,52 0,11 1,82 0,02 0,89 1,45 1,61 0,22 0,23 - 1,05 3,36 8,50 2,82
9 Cirebon 0,12 1,80 0,15 0,44 7,49 4,14 0,71 0,11 9,64 - 1,58 0,00 3,74 0,94 0,41 0,02 2,76 - 0,87 0,85 3,02 0,50
10 Majalengka 3,10 2,38 0,17 2,12 2,02 1,99 1,31 0,57 4,49 0,18 3,26 0,02 1,09 1,26 0,78 0,04 1,04 0,08 1,01 2,30 8,06 2,70
11 Sumedang 2,24 0,50 0,47 1,63 1,04 0,43 1,11 9,39 1,85 0,40 2,45 0,04 1,04 1,52 1,09 1,31 5,41 - 0,44 1,06 1,54 2,73
12 Indramayu 0,09 5,07 - 0,01 2,81 4,06 0,48 0,11 11,48 - 2,62 - 0,91 0,81 0,03 0,01 2,10 - 1,35 3,45 4,07 1,58
13 Subang 0,02 0,10 0,02 0,12 0,07 0,09 0,22 0,02 0,07 0,13 0,06 2,66 0,10 0,19 0,47 0,00 0,05 - 0,09 0,05 0,06 0,04
14 Purwakarta 0,15 0,65 0,45 1,24 1,09 1,01 0,32 0,74 0,54 3,91 0,63 0,05 0,47 2,59 2,82 0,01 0,67 0,19 0,84 0,35 0,81 0,76
15 Karawang 0,05 6,86 0,06 3,96 3,77 8,75 0,97 0,14 4,87 0,24 3,58 0,04 2,50 0,95 4,14 0,00 2,31 - 5,00 2,35 1,69 2,44
16 Bekasi 0,01 3,13 12,75 0,78 3,48 6,46 0,44 - 2,40 0,06 2,82 - 1,17 1,75 3,33 0,16 1,20 - 0,80 2,08 2,14 0,94
17 Bandung Barat 3,26 0,98 0,45 1,39 2,93 0,96 0,81 1,30 0,33 0,77 1,69 0,50 1,78 1,78 1,62 0,15 1,40 0,22 1,04 2,64 1,16 0,85
18 Kota Bogor 1,20 10,03 1,95 1,43 10,20 9,63 2,89 3,07 0,37 1,25 1,70 0,16 11,70 1,22 2,12 0,02 3,60 - 3,50 1,25 0,50 0,25
19 Kota Sukabumi 3,94 2,72 - 4,19 0,83 5,53 - - 2,87 3,21 8,83 - 4,55 1,04 1,96 - 0,64 8,39 0,36 10,35 3,01 3,80
20 Kota Bandung 3,91 14,33 0,09 1,86 7,07 11,85 4,28 17,54 3,40 - 5,78 - 5,18 0,37 1,50 - 4,97 - 6,04 14,17 3,39 2,24
21 Kota Cirebon 0,18 5,96 9,12 0,16 7,31 11,04 1,25 - 10,48 0,11 1,96 - 1,30 0,40 0,28 - 3,87 - 2,41 2,54 3,33 2,61
22 Kota Bekasi 0,32 16,73 7,27 5,20 7,39 11,37 0,64 5,12 1,85 0,14 3,04 0,01 6,84 0,33 8,91 0,01 7,91 - 2,15 1,44 5,23 0,50
23 Kota Depok 0,49 64,70 0,09 2,68 8,65 1,99 1,61 2,33 1,03 0,90 4,03 0,14 14,96 0,55 4,99 0,06 3,50 - 0,36 0,14 1,03 0,05
24 Kota Cimahi 3,50 14,24 6,21 4,36 6,14 9,54 1,35 1,85 1,96 1,07 2,73 - 4,39 0,23 2,92 0,03 1,86 12,72 1,55 19,52 1,18 11,20
163
25 Kota Tasikmalaya 0,37 0,39 1,11 2,33 0,77 0,52 0,20 0,01 1,29 0,44 3,31 0,00 0,34 0,24 3,80 4,01 0,29 0,10 0,42 6,05 0,99 2,23
26 Kota Banjar 0,14 0,32 - 2,56 0,28 0,66 0,21 0,16 1,03 0,11 0,91 0,01 0,27 2,33 3,57 0,04 2,13 - 0,66 0,38 4,06 1,05
164
Lampiran 5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
No Kabupaten/Kota
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
Petai
Duku
1 Bogor 0,57 5,07 6,04 4,23 2,89 1,26 0,36 0,55 0,17 3,32 2,78 0,21 3,59 0,60 2,63 0,11 0,90 0,85 0,85 0,95 0,67 1,78
2 Sukabumi 0,46 0,43 0,37 0,64 0,95 0,68 0,73 2,28 0,67 0,25 1,17 0,01 7,22 1,36 0,05 0,01 1,55 1,40 1,19 0,45 0,24 0,29
3 Cianjur 0,47 0,45 0,83 0,82 0,99 0,72 0,57 0,92 0,19 0,10 0,74 0,01 0,29 2,04 0,16 0,01 0,94 - 1,52 0,15 0,26 0,46
4 Bandung 6,11 3,93 0,37 1,18 2,97 4,13 1,87 9,56 0,40 0,01 3,40 0,00 1,13 0,92 0,20 0,01 2,41 7,80 2,09 2,72 0,99 2,65
5 Garut 5,57 0,45 0,99 1,34 0,75 0,53 4,93 0,20 0,79 0,24 0,46 0,00 0,34 1,37 0,27 0,01 0,61 2,42 3,04 0,32 0,10 0,97
6 Tasikmalaya 0,25 0,29 1,20 1,12 0,28 0,40 0,25 0,35 0,09 6,95 0,68 0,01 0,47 0,85 0,34 9,36 0,76 0,08 1,71 2,59 0,13 0,53
7 Ciamis 0,58 0,43 4,41 1,40 0,53 1,10 0,82 1,74 0,32 1,33 0,65 0,01 0,43 1,77 0,32 0,45 1,43 7,69 0,98 0,31 0,12 2,13
8 Kuningan 0,76 0,16 0,34 4,15 1,06 0,37 1,75 0,31 1,75 0,01 1,38 0,01 0,35 0,96 0,67 0,16 0,10 - 0,72 1,42 5,75 2,62
9 Cirebon 0,17 1,11 0,07 0,65 8,84 1,58 0,17 0,12 4,18 - 1,54 0,00 0,95 0,32 0,10 0,00 1,58 - 0,60 0,90 4,40 0,65
10 Majalengka 1,59 0,97 0,11 0,93 1,17 0,91 1,09 0,31 3,56 0,05 1,19 0,00 0,29 0,59 0,25 0,04 0,89 - 0,18 0,62 9,73 2,45
11 Sumedang 0,86 0,28 1,13 1,67 0,43 0,16 0,96 5,39 2,02 0,02 3,57 0,00 0,27 0,90 0,42 1,82 3,25 - 0,18 0,16 0,94 3,87
12 Indramayu 0,01 1,50 - 0,02 1,15 2,70 0,06 0,12 6,24 - 0,71 - 0,14 0,16 0,02 0,00 1,56 - 0,35 9,39 0,74 0,55
13 Subang 0,04 0,11 0,06 0,17 0,10 0,09 0,17 0,01 0,43 0,54 0,18 4,73 0,05 0,25 2,27 0,01 0,18 - 0,06 0,07 0,15 0,09
14 Purwakarta 0,07 0,26 0,35 0,47 0,50 0,90 0,23 0,43 0,14 0,87 0,30 0,01 0,09 1,70 2,49 0,01 0,54 0,04 0,42 0,14 0,64 0,94
15 Karawang 0,03 2,67 0,23 1,54 3,56 12,74 1,17 0,25 2,14 0,04 2,32 0,01 1,22 0,27 2,36 0,00 1,60 - 4,14 1,12 0,54 4,18
16 Bekasi 0,00 2,19 0,43 0,03 4,79 10,33 0,82 - 2,25 0,00 1,87 - 0,42 0,49 2,72 0,04 1,24 - 0,10 1,05 1,55 0,94
17 Bandung Barat 2,54 0,31 1,11 0,47 1,81 1,56 2,09 0,51 0,12 0,28 1,80 0,13 0,19 1,13 3,07 0,03 0,78 0,02 0,66 0,68 2,08 0,32
18 Kota Bogor 1,33 7,06 4,04 2,78 6,14 6,18 3,48 4,45 0,31 0,94 1,16 0,05 5,96 0,59 0,86 0,02 3,19 - 0,97 0,42 1,97 0,29
19 Kota Sukabumi 3,63 1,94 - 3,04 1,36 0,48 - - 0,75 0,13 14,25 - 4,52 0,39 0,51 - - - 0,28 0,58 0,54 0,40
20 Kota Bandung 4,69 8,05 - 1,74 0,90 4,01 9,14 33,28 0,75 - 4,64 - 2,19 0,38 0,30 - 4,68 - 3,86 5,40 1,47 0,75
21 Kota Cirebon 0,08 4,20 - - 3,00 7,85 0,75 - 3,89 - 5,82 - 0,29 0,30 0,06 - 2,63 - 1,88 1,84 2,31 2,32
22 Kota Bekasi 0,27 8,95 2,70 2,92 2,52 15,98 0,73 5,11 0,73 - 2,13 0,00 2,00 0,23 3,72 - 3,83 - 0,48 0,26 4,73 0,62
23 Kota Depok 0,86 77,84 4,18 2,35 5,59 0,45 0,19 0,02 0,14 0,03 1,96 0,03 5,33 0,19 2,03 0,02 0,92 - 0,10 0,05 0,64 0,03
24 Kota Cimahi 1,74 6,85 0,36 11,21 3,59 10,70 0,99 0,82 0,24 0,25 0,80 - 0,70 0,07 1,04 0,02 0,36 9,17 0,22 16,09 0,33 8,15
25 Kota Tasikmalaya 0,43 0,53 0,72 0,09 0,36 0,22 - - 2,20 0,07 2,31 0,00 0,48 0,30 0,77 8,62 0,49 - 1,14 2,61 0,83 2,29
26 Kota Banjar 0,40 0,07 4,59 7,01 0,27 1,14 0,09 0,19 0,49 0,14 1,14 0,00 0,44 0,77 2,87 0,07 4,48 - 0,72 0,86 7,02 2,46
Lampiran 6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,20 -0,07 -0,21 4,46 0,28 0,10 -0,78 -0,06 -0,15 0,03 0,04 -0,07 -0,18 -0,07 -0,32 0,41 0,66 0,79
2 Sukabumi 0,31 - -0,07 -0,59 0,18 19,46 -0,15 0,58 - -0,12 -0,12 0,51 -0,29 0,03 -0,25 -0,14 -0,13 0,46 -0,64 -0,63
3 Cianjur 2,71 - -0,01 -0,25 0,02 7,16 0,00 0,09 0,15 -0,07 0,63 0,70 -0,21 0,10 0,53 0,08 0,81 0,33 0,24 -0,23
4 Bandung -0,39 -0,02 0,48 -0,08 -0,15 -0,32 -0,10 -0,20 -0,23 -0,02 -0,34 -0,55 -0,12 -0,32 -0,49 -0,30 0,94 -0,38 -0,16 -0,80
5 Garut 0,58 0,07 0,03 0,17 0,36 1,47 0,15 0,29 - 0,23 0,46 0,17 0,04 0,22 0,52 0,19 -0,06 0,22 -0,05 -0,05
6 Tasikmalaya -0,94 - 0,37 -0,47 0,19 -0,07 -0,07 -0,10 -0,63 -0,32 -0,01 -0,07 -0,10 0,10 -0,22 0,09 -0,25 -0,21 -0,41 -0,36
7 Ciamis - - -0,32 -0,74 -0,20 - -0,27 -0,66 -0,28 0,09 -0,17 0,21 0,08 -0,01 -0,20 -0,08 -0,47 3,33 -0,65 -0,37
8 Kuningan -0,16 - -0,32 - 0,01 1,80 -0,07 -0,12 - 0,97 0,94 0,55 0,66 0,23 -0,45 1,11 0,32 0,18 -1,22 -
9 Cirebon 0,27 - - - - - - - - -0,89 -0,53 -0,13 -0,30 -0,47 -0,43 - -0,49 - -0,84 -1,27
10 Majalengka -0,03 - -0,16 6,80 -0,21 0,20 0,64 -0,06 -0,56 -0,25 -0,45 -0,13 -0,38 0,50 0,86 -0,01 -0,26 -0,47 -0,64 -
11 Sumedang -0,14 - -0,23 -0,34 0,27 0,46 -0,24 0,25 - -0,29 0,10 0,16 -0,14 0,08 0,07 0,30 -0,05 0,27 0,12 -0,61
12 Indramayu 0,24 - - -0,74 - - - - - - -0,07 -0,26 7,35 0,27 0,31 - 0,39 - 1,49 13,13
13 Subang - - 0,89 -0,46 0,24 0,71 2,11 0,18 0,85 -0,89 -0,21 0,11 -0,27 0,17 0,22 -0,05 -0,33 1,45 -0,26 -0,16
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,88 - 0,15 - 6,72 - 0,33 0,32 1,28 0,44 0,18 0,11 0,31 0,81 0,40 0,49
15 Karawang -0,94 - - - - - -0,45 - - - 0,03 -0,14 0,42 - -0,07 - 0,14 - -0,70 -1,00
16 Bekasi -0,94 - - - - - 0,56 - 3,53 - -0,24 0,32 8,92 - 0,05 - -0,10 -0,51 0,12 0,19
17 Bandung Barat 0,04 - 0,38 0,05 -0,17 -0,27 0,32 0,04 0,01 0,65 0,37 -0,46 0,35 -0,14 0,40 -0,10 2,04 -0,29 -0,03 -0,53
18 Kota Bogor - - -0,19 - - - 1,04 - - -0,38 -0,10 -0,63 0,66 -0,37 -0,35 0,24 -0,12 - -0,52 -0,88
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,21 - - - -0,27 -0,12 -1,08 -0,36 -0,82 -0,65 -0,56 -0,67 -0,95 -
20 Kota Bandung - - -0,79 - - - -0,80 - - -0,14 0,29 3,06 1,42 4,20 - 2,22 -0,55 - -1,04 -1,27
21 Kota Cirebon - - - - - - #DIV/0! - - -0,89 0,37 0,06 -0,79 - 0,24 - -0,05 - 0,20 0,16
22 Kota Bekasi - - - - - - -0,16 - -0,78 - -0,21 0,06 -0,08 - -0,30 - -0,19 - -0,29 -0,27
23 Kota Depok - - - - - - #DIV/0! - - - -0,07 -0,70 - -0,80 -0,19 - 0,17 - -0,22 -0,32
24 Kota Cimahi - - 0,65 - - - -0,09 -0,71 - -0,89 8,14 14,06 - 1,53 1,59 4,88 - - 0,92 1,87
25 Kota Tasikmalaya - - -0,39 - - - -0,20 - - - -0,11 -0,10 -0,58 0,20 -0,16 -0,05 -0,14 - 0,00 0,27
165
26 Kota Banjar - - -0,11 - - - -0,33 - -0,78 -0,49 1,61 -0,42 0,15 -0,09 -0,24 -0,78 5,55 0,83 0,40 -0,46
Lampiran 7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
166
Nilai Differential Shift Luas Panen
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - 0,13 -0,26 -0,07 5,50 0,14 0,09 -0,84 -0,18 -0,20 0,09 0,00 -0,04 -0,08 -0,06 -0,40 0,65 0,40 0,54
2 Sukabumi 0,30 - -0,04 -0,71 0,16 - -0,20 0,65 - -0,10 -0,13 0,49 -0,38 0,04 -0,30 -0,07 -0,16 0,07 -0,74 -0,64
3 Cianjur 2,13 - 0,07 -0,20 0,03 5,91 0,04 0,10 0,08 -0,05 0,66 0,74 -0,08 0,09 0,53 -0,03 0,74 0,00 0,40 0,07
4 Bandung -0,27 -0,02 0,50 -0,01 -0,11 -0,21 -0,09 -0,20 -0,26 0,03 -0,20 -0,48 0,22 -0,27 -0,40 -0,24 1,20 0,17 -0,05 -0,34
5 Garut 0,57 0,06 0,14 0,08 0,35 1,54 0,05 0,25 - 0,20 0,34 0,10 -0,17 0,18 0,48 0,16 -0,10 0,26 -0,19 0,12
6 Tasikmalaya -0,87 - 0,61 -0,72 0,55 0,10 0,11 -0,02 -0,74 -0,21 0,04 -0,01 -0,11 0,10 -0,08 0,23 -0,14 -0,74 -0,26 -0,33
7 Ciamis - - -0,21 -0,86 -0,20 - -0,11 -0,65 -0,70 0,38 -0,24 0,42 0,00 0,09 -0,42 -0,06 -0,30 0,69 -0,41 -0,61
8 Kuningan -0,13 - -0,32 -0,60 -0,04 2,22 0,00 -0,21 - 0,00 0,83 0,94 1,32 0,38 -0,56 1,13 0,31 10,69 -0,86 -
9 Cirebon 0,22 - - - - - - - - -0,89 -0,59 -0,25 -0,59 -0,58 -0,59 - -0,53 - -0,37 -1,28
10 Majalengka -0,12 - -0,34 -0,01 -0,32 0,005 0,58 0,03 -0,84 -0,28 -0,51 -0,14 -0,27 0,43 0,61 -0,07 -0,16 0,19 -0,39 -
11 Sumedang -0,09 - -0,16 -0,46 0,21 0,27 -0,38 0,26 - -0,28 0,05 0,07 -0,32 0,00 -0,08 0,33 -0,11 0,03 0,11 -1,28
12 Indramayu 0,31 - - - - - - - - - -0,12 -0,36 5,95 0,06 0,29 - 0,09 - 3,17 13,12
13 Subang - - 1,35 -0,54 0,39 0,76 1,44 0,61 1,33 -0,89 0,00 -0,05 -0,41 -0,02 0,53 0,11 -0,37 2,40 -0,53 -0,28
14 Purwakarta - - 0,54 - 0,01 - 0,22 - 6,16 - 0,32 0,69 0,92 0,43 0,37 0,15 0,35 0,47 0,57 0,54
15 Karawang -0,87 - - - - - -0,32 - - - 0,05 -0,17 1,53 - -0,04 - 0,15 - -0,70 -0,81
16 Bekasi - - - - - - 0,84 - - - -0,29 -0,23 8,74 - 0,13 - 0,11 -1,31 0,05 0,10
17 Bandung Barat -0,16 - 0,22 -0,08 -0,28 -0,30 0,10 -0,01 -0,05 -0,06 0,07 -0,28 0,21 -0,15 -0,10 -0,25 1,72 -0,34 -0,16 -0,81
18 Kota Bogor - - 0,13 - - - 1,32 - - -0,26 -0,09 -0,62 0,36 -0,35 -0,47 0,16 0,04 - -0,43 -0,77
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,20 - - - -0,25 0,02 -1,26 -0,41 -0,90 -0,67 -0,60 - -0,58 -
20 Kota Bandung - - -0,70 - - - -0,77 - - 0,31 -0,46 -0,05 1,24 1,09 2,84 3,20 -1,12 0,52 -1,39 -1,28
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,89 0,21 0,08 -0,83 - 0,09 - -0,17 - 0,09 0,17
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,06 - -0,84 - 0,10 -0,25 -0,26 - -0,10 - -0,15 - -0,16 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 0,55 -0,74 - -0,91 0,22 - 0,42 - -0,05 -0,13
24 Kota Cimahi - - 6,88 - - - -0,10 - - -0,84 2,47 - - 3,84 2,84 3,87 - - 14,61 2,52
25 Kota Tasikmalaya - - -0,78 - - - -0,04 - - - -0,10 -0,15 -0,59 -0,91 -0,53 -0,15 -0,16 - -0,08 0,33
26 Kota Banjar - - 0,08 - - - -0,23 - -0,84 -0,45 0,61 0,45 1,24 -0,05 -0,36 -0,80 0,36 0,19 0,76 -0,49
Lampiran 8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
Cabe Besar
Labu Siam
Kangkung
Kembang
Ketimun
Bawang
Kentang
Panjang
Bawang
Bawang
Kacang
Kacang
Bayam
Buncis
Wortel
Lobak
No Kabupaten/Kota
Tomat
Terung
Merah
Merah
Kubis
Sawi
Putih
Daun
Kol
1 Bogor - - -0,04 -0,47 0,10 13,97 0,26 0,07 -0,77 -0,45 -0,04 -0,29 -0,69 -0,58 0,61 -0,05 -0,46 -1,16 1,00 0,65
2 Sukabumi 0,38 - 0,02 -0,78 -0,08 - -0,19 0,16 - -0,47 -0,27 -0,17 -1,16 -0,42 -0,39 -0,17 -0,25 2,87 -1,23 -1,07
3 Cianjur 0,41 - -0,30 -0,38 -0,20 3,99 -0,25 -0,17 -0,04 -0,56 0,22 0,48 -0,11 0,13 0,10 -0,21 0,32 0,71 0,23 -0,74
4 Bandung -0,38 -0,01 0,49 0,00 -0,07 -0,12 -0,11 -0,01 -0,13 0,12 -0,38 -0,14 1,41 -0,10 -0,51 -0,22 0,65 -0,18 -0,90 -1,20
5 Garut 0,64 0,03 0,42 0,04 0,40 1,64 0,41 0,68 - 0,21 0,62 0,19 -0,10 0,29 1,22 0,70 0,33 1,62 0,01 0,21
6 Tasikmalaya -1,04 - 0,71 -0,73 0,78 0,09 0,64 0,16 -0,69 0,44 0,28 -0,34 -0,58 -0,38 -0,41 0,36 -0,33 -0,87 -0,41 -0,69
7 Ciamis - - -0,34 -0,90 -0,24 - 0,04 -0,51 -0,70 -0,62 -0,20 1,03 1,75 0,56 -0,58 -0,06 -0,42 0,76 -0,93 -0,86
8 Kuningan -0,08 - 0,10 -0,66 0,02 3,71 0,23 0,13 - -0,24 0,92 0,36 0,75 0,38 -0,40 1,83 0,28 24,68 0,57 -
9 Cirebon 0,14 - - - - - - - - -0,97 -0,15 0,26 0,10 -0,90 -0,42 - 0,70 - -0,88 -1,14
10 Majalengka 0,09 - -0,22 0,10 -0,49 0,018 0,17 -0,36 -0,77 -0,27 0,25 -0,60 -0,91 -0,74 0,99 0,26 -0,22 -1,14 -1,19 -
11 Sumedang 0,18 - 0,08 -0,45 0,64 0,69 0,04 1,80 - -0,17 0,49 -0,01 0,09 0,49 0,40 0,53 0,06 -0,56 -0,46 -0,34
12 Indramayu 0,04 - - - - - - - - - -0,21 -0,26 9,90 3,35 0,14 - 0,13 - 2,31 2,03
13 Subang - - 2,72 -0,61 0,29 -0,07 1,79 -0,48 1,20 -0,97 -0,05 1,31 0,68 2,85 0,27 1,06 -0,19 1,86 -1,14 0,10
14 Purwakarta - - 0,66 - 0,11 - 0,21 - 6,46 - 0,59 0,26 0,71 0,59 0,44 0,36 0,84 -0,34 3,13 0,68
15 Karawang -1,04 - - - - - -0,43 - - - 0,24 0,11 7,93 - -0,34 - 0,42 - -0,99 -0,78
16 Bekasi - - - - - - 1,28 - - - -0,48 -0,31 -0,54 - -0,65 - -0,32 -1,36 0,69 0,41
17 Bandung Barat -0,26 - 0,27 - - - 0,05 0,29 -0,06 -0,26 -0,34 0,09 2,11 -0,59 -0,36 -0,21 1,25 -0,29 -0,82 -1,12
18 Kota Bogor - - 0,11 - - - 0,43 - - 0,56 2,57 2,50 5,79 3,98 1,42 0,80 2,33 - 7,09 0,17
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,07 - - - -0,23 0,25 -1,54 -0,88 -0,68 -0,52 -0,46 - 5,43 -
20 Kota Bandung - - -0,57 - - - -0,65 - - -0,04 -0,38 0,00 1,38 0,75 5,72 2,72 -1,00 1,15 -1,54 -1,66
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,97 0,07 -0,16 -1,23 - 0,09 - -0,03 - -0,10 -0,11
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,51 - -0,77 - 0,02 -0,25 0,53 - 0,11 - 0,00 - 0,06 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 1,73 -0,68 - -1,45 -0,62 - -0,57 - -0,76 -1,32
24 Kota Cimahi - - 32,74 - - - 0,14 - - -0,86 1,37 - - 7,90 0,67 1,27 - - -0,01 25,78
167
25 Kota Tasikmalaya - - -0,48 - - - -0,38 - - - -0,46 -0,65 -1,15 -1,45 -0,94 -0,45 -0,28 - -1,21 -1,04
26 Kota Banjar - - 0,98 - - - -0,47 - -0,77 -0,85 -0,53 -0,20 0,13 -0,70 -0,70 -0,68 -0,06 -0,01 -0,68 -1,23
Lampiran 9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
168
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
No Kabupaten/Kota
Petai
Duku
1 Bogor 0,54 0,02 0,00 0,12 0,09 0,03 -0,60 -0,06 -0,17 0,68 -0,10 0,47 -0,43 -0,28 -0,05 0,17 0,16 0,22 0,35 -0,33 0,31 2,57
2 Sukabumi 0,00 0,24 0,37 -0,01 0,01 0,19 -0,17 -0,06 0,50 0,74 0,58 0,00 1,13 0,14 0,26 0,79 0,78 1,53 -0,25 0,83 -0,02 -0,01
3 Cianjur 0,16 0,05 -0,06 -0,04 -0,15 -0,01 -0,21 -0,51 0,42 -0,33 0,05 0,21 0,09 -0,10 0,04 0,32 0,35 - -0,11 0,03 0,17 0,00
4 Bandung -0,02 -0,04 -0,13 -0,10 -0,05 -0,12 -0,42 -0,25 0,00 -0,22 -0,19 0,00 -0,08 0,85 -0,05 -0,12 0,65 1,72 -0,24 0,44 -0,16 0,06
5 Garut -0,14 -0,01 -0,33 -0,03 -0,07 -0,02 0,54 -0,42 -0,10 -0,13 0,17 0,12 0,06 0,24 0,01 0,26 0,41 -0,15 0,02 -0,03 -0,09 -0,08
6 Tasikmalaya -0,17 0,12 0,16 0,18 -0,07 0,04 0,47 -0,48 -0,01 -0,09 0,13 0,62 0,31 0,13 0,28 0,01 0,50 1,44 0,25 0,22 0,19 0,04
7 Ciamis -0,22 -0,09 -0,07 -0,21 -0,18 -0,19 -0,01 0,10 -0,13 -0,43 -0,27 0,26 -0,03 -0,15 -0,30 -0,55 -0,66 - -0,02 -0,40 -0,48 -0,28
8 Kuningan 1,50 -0,11 -0,06 -0,21 -0,13 0,09 -0,24 -1,25 -0,10 -0,46 0,07 0,00 0,12 0,16 -0,02 0,35 0,40 - -0,03 -0,33 0,05 -0,27
9 Cirebon 0,10 -0,29 -0,12 -0,27 0,37 1,11 -0,13 -1,41 -0,23 - -0,22 -0,43 1,34 -0,19 -0,30 11,70 0,21 - -0,39 -0,64 0,07 -0,40
10 Majalengka 0,55 -0,02 0,04 0,25 0,38 -0,04 -0,15 -0,24 0,58 -0,34 0,05 0,21 0,13 0,11 0,04 0,53 0,41 -0,09 0,03 0,91 0,05 0,36
11 Sumedang 0,09 0,00 0,24 -0,28 0,35 0,03 -0,15 0,65 0,09 2,68 -0,03 0,16 0,19 0,12 -0,01 0,19 1,02 - -0,08 1,61 0,08 0,01
12 Indramayu -0,80 -0,01 - -0,22 -0,09 -0,03 -1,03 -0,68 -0,22 - 0,01 - 0,01 -0,15 0,41 17,13 0,55 - 0,11 -0,35 0,09 -0,14
13 Subang 0,53 0,00 0,19 0,81 0,09 -0,07 0,22 -0,36 -0,19 -0,01 0,05 -0,01 -0,44 -0,16 -0,13 0,90 0,38 - 0,00 -0,49 -0,26 -0,45
14 Purwakarta -0,08 0,04 0,04 0,03 -0,19 -0,16 -0,03 -0,46 0,37 0,26 0,11 0,15 0,29 -0,03 0,08 0,04 0,69 3,47 0,11 -0,02 0,23 1,26
15 Karawang -0,19 0,07 0,06 1,11 0,15 -0,01 0,51 0,00 0,44 1,60 0,11 0,32 0,67 -0,51 0,91 -0,37 0,76 - 0,05 -0,16 0,88 0,43
16 Bekasi -0,67 -0,06 0,06 0,65 -0,12 0,01 -0,43 -1,60 0,27 -0,34 0,26 -0,62 0,09 0,42 0,00 0,01 0,07 - -0,11 1,26 0,12 -0,77
17 Bandung Barat -0,04 -0,06 -0,17 -0,10 -0,05 -0,08 -0,13 -0,17 -0,01 -0,33 -0,18 0,04 -0,19 0,87 -0,02 -0,11 0,83 1,82 -0,16 0,48 -0,19 0,04
18 Kota Bogor -0,43 -0,24 -0,47 -0,60 1,02 0,64 1,10 -0,73 -0,49 -0,60 0,12 -0,10 1,09 2,77 -0,54 -0,67 0,18 -0,20 -0,27 -0,31 -0,41 -0,12
19 Kota Sukabumi -0,20 -0,03 - -0,03 -0,21 1,18 -1,08 - 0,13 0,11 0,01 - -0,39 0,32 0,29 - 0,32 1,28 0,56 2,43 0,11 -0,08
20 Kota Bandung -0,17 0,04 0,06 -0,18 -0,06 0,00 -0,08 -0,60 -0,17 - 0,06 - 0,22 0,09 -0,06 - 0,32 - 0,07 -0,29 0,07 -0,37
21 Kota Cirebon -0,32 -0,42 - -0,38 -0,20 -0,03 -0,35 - -0,06 -0,63 0,00 - -0,49 0,05 -0,08 - 0,19 - -0,08 0,09 -0,09 -0,31
22 Kota Bekasi 0,28 0,09 -0,40 -0,39 -0,13 0,03 -0,17 -0,34 -0,20 -0,92 -0,22 0,09 0,16 -0,07 -0,25 -0,02 0,34 - 0,46 -0,01 -0,22 0,02
23 Kota Depok 0,18 0,09 -0,93 -0,20 0,00 0,09 -0,12 -0,57 -0,13 -0,34 0,07 0,28 -0,06 -0,17 -0,08 -0,23 0,28 - 0,29 0,07 0,21 -0,34
24 Kota Cimahi -0,06 0,01 79,00 0,41 -0,11 0,28 -0,06 -0,48 0,35 1,65 -0,07 - 0,25 -0,37 1,20 0,87 0,29 2,13 0,34 5,42 0,47 17,47
25 Kota Tasikmalaya 0,46 -0,06 2,23 -0,43 -0,25 -0,20 -0,28 - -0,43 -0,56 -0,15 0,34 0,15 0,02 -0,20 -0,11 0,27 - -0,02 -0,27 0,10 2,04
26 Kota Banjar -0,05 0,03 -0,94 -0,29 -0,40 -0,29 -0,07 0,72 -0,23 0,33 -0,19 0,70 0,43 0,05 0,19 0,15 0,57 - 0,02 0,03 -0,10 -0,59
Lampiran 10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Differential Shift Produksi
Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing
Jambu Air
Manggis
Rambutan
Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat
Nangka
Pepaya
Durian
Pisang
Sukun
Sirsak
Nenas
Salak
Jeruk
Sawo
No Kabupaten/Kota
Petai
Duku
1 Bogor -0,52 -0,46 2,84 2,70 -0,44 -1,19 -0,03 -0,56 -0,29 -0,64 -0,25 2,86 -1,39 -0,18 0,05 1,49 -0,37 0,07 0,90 0,00 -0,71 0,85
2 Sukabumi 0,75 1,45 3,72 -1,20 2,59 0,27 2,85 8,10 8,40 5,75 0,68 -0,99 4,39 1,42 -1,28 0,13 2,32 32,55 3,15 21,30 5,97 1,97
3 Cianjur -0,10 -0,30 -0,16 -0,86 -0,75 0,51 -0,88 -1,08 -0,48 0,62 -0,06 -0,70 -0,87 -0,38 -1,43 0,30 0,47 - -0,41 0,08 -0,54 0,12
4 Bandung -0,49 1,99 0,32 0,83 -0,26 0,29 0,39 -1,07 -0,54 -0,48 0,26 25,30 -0,80 0,12 8,03 0,62 -0,21 9,22 1,74 2,27 3,11 1,60
5 Garut -0,07 0,17 8,70 7,50 -0,49 -0,80 -0,02 -2,08 -0,81 2,20 -0,12 -0,43 0,12 1,03 -0,43 1,03 -0,51 -0,75 0,00 -1,93 0,52 0,21
6 Tasikmalaya 0,37 0,27 0,28 -0,02 -0,23 1,54 0,55 -1,27 1,06 0,35 -0,26 0,16 -0,23 0,24 -1,20 -0,10 -0,12 55,03 1,03 3,71 -0,32 0,18
7 Ciamis 2,61 0,98 -0,32 4,03 1,78 1,89 3,51 13,43 0,17 -0,46 -0,52 0,06 -0,81 0,17 -1,82 0,85 -0,78 - 0,65 -1,09 -0,70 0,32
8 Kuningan 0,00 0,10 6,52 -0,60 0,29 -1,06 -0,06 -1,91 -0,68 -1,57 -0,67 -0,57 -0,75 0,35 -1,20 1,53 -0,98 - 0,18 -2,06 -0,75 -1,05
9 Cirebon 8,60 2,56 14,27 - 1,23 2,89 10,35 15,32 0,81 - 1,46 0,44 3,84 0,56 4,72 3,31 0,34 - 7,74 13,93 1,22 1,07
10 Majalengka 0,45 -0,28 -0,19 -0,23 1,21 0,82 0,15 -1,88 0,48 1,99 -0,60 -0,60 -1,20 0,31 0,42 0,47 -0,56 -0,97 -0,07 0,23 1,75 0,93
11 Sumedang 1,25 1,53 6,03 2,62 0,31 0,52 1,57 -0,14 5,58 -0,55 4,15 -0,51 -0,56 0,14 0,63 2,96 1,44 - 0,88 5,73 -0,15 1,14
12 Indramayu 2,53 4,73 - 12,73 3,88 1,28 -1,20 7,11 -0,37 - -0,71 - 0,01 0,60 -1,93 - 1,62 - 0,29 -0,42 3,92 1,48
13 Subang 1,94 -0,33 0,26 -0,73 0,87 -0,98 0,11 -2,70 0,35 0,17 0,09 -0,01 -1,41 -0,32 0,73 5,46 0,02 - 0,75 -0,28 -0,73 -1,09
14 Purwakarta 0,34 0,85 -0,26 1,15 0,36 0,69 1,73 -0,65 0,48 -1,18 -0,70 0,04 -1,05 0,44 0,51 1,10 1,02 - -0,03 0,10 0,66 1,05
15 Karawang -0,11 0,96 - 1,42 -0,11 -0,51 9,67 0,25 -0,45 -0,17 -0,46 1,15 -0,58 -0,49 0,53 5,01 -0,05 - 1,66 -0,98 1,38 0,28
16 Bekasi -0,14 0,46 -0,21 -1,82 -0,73 0,40 1,67 - 0,71 -1,68 -0,87 -1,49 -1,61 -0,13 -0,70 3,99 3,54 - -0,26 10,90 0,83 10,99
17 Bandung Barat 0,06 0,27 2,39 0,49 1,06 1,25 4,03 -1,24 0,87 1,04 1,02 24,19 -0,93 1,00 11,11 2,09 0,72 19,53 2,24 10,69 1,78 2,48
18 Kota Bogor 1,64 0,75 1,13 1,18 2,44 -0,54 3,40 9,94 1,00 -0,54 0,20 5,79 4,09 21,92 -0,71 2,07 1,19 - 5,68 11,77 77,32 78,59
19 Kota Sukabumi -0,24 -0,66 - -1,55 -0,76 -1,28 -1,25 - -0,92 -0,94 1,21 - -1,40 0,66 8,28 - - -0,97 6,11 - - 48,59
20 Kota Bandung 1,72 1,76 - -0,47 -1,34 -0,46 0,84 - -0,68 - 10,45 - -1,05 0,67 - - 0,77 - 0,96 -1,91 0,19 -0,96
21 Kota Cirebon 2,91 0,23 - - 0,44 4,38 5,94 - 0,47 - 2,85 - -0,89 0,56 -0,02 - 3,38 - 7,45 28,84 4,61 28,17
22 Kota Bekasi 1,44 -0,27 -0,65 -1,91 -1,06 0,70 - - - - -0,99 1,51 -0,17 1,01 -1,85 - -0,40 - -0,28 -2,19 0,33 3,28
23 Kota Depok 3,45 -0,13 -0,52 -1,54 -0,58 -1,35 -1,06 -2,97 -1,02 -1,65 -0,44 -0,65 -1,27 -0,39 -0,88 -0,41 -0,61 - -0,19 -2,02 0,96 8,97
24 Kota Cimahi 0,94 1,68 3,27 - 1,90 5,45 0,85 20,99 1,38 -0,60 1,84 - -0,46 -0,27 7,97 4,21 -0,59 3,92 -0,26 69,46 0,13 25,39
169
25 Kota Tasikmalaya 9,49 0,12 -0,19 0,33 -0,93 -0,99 -1,25 ##### 66,80 -0,75 10,37 -0,04 -0,19 0,57 2,38 12,00 7,09 - 2,11 6,15 18,29 53,16
26 Kota Banjar 2,63 -0,95 0,48 0,96 -0,39 0,13 -0,79 -1,96 0,33 -0,24 0,34 0,42 -0,63 -0,45 2,08 1,21 2,59 - -0,12 -0,62 43,97 3,07
170
SETS
i sektor input antara/1*28/;
ALIAS (i,j);
PARAMETERS
11 162266.81
12 724330.61
13 26997.72
14 1812.56
15 195870.26
16 573594.47
17 1516.95
18 263406.26
19 219799.89
20 17060.83
21 35076.98
22 113357.60
23 105737.04
24 21003.00
25 419799.12
26 28817.80
27 8507.05
28 121997.28 /;
+ 9 10 11 12 13 14 15 16
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.1729 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0000 0.0126 0.0000 0.0037 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0000 0.0006 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0136 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0005 0.0000 0.0053 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0572 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
8 0.0000 0.0012 0.0000 0.0232 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0103 0.0031 0.0000 0.0068 0.0000 0.0000 0.0160 0.0000
172
+ 17 18 19 20 21 22 23 24
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0003 0.0013 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0001 0.0025 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0006 0.0078 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0004 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0040 0.0061 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0001 0.0036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
8 0.0435 0.0156 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0002 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
10 0.0085 0.0162 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0858 0.0980 0.0179 0.0123 0.0021 0.0019 0.0033 0.0041
13 0.0113 0.0027 0.0015 0.0012 0.0137 0.0053 0.0013 0.0046
14 0.0006 0.0006 0.0002 0.0002 0.0006 0.0001 0.0003 0.0003
15 0.0046 0.0010 0.0028 0.0010 0.0001 0.0007 0.1247 0.0039
16 0.0671 0.0728 0.0377 0.0237 0.0043 0.0046 0.0037 0.0110
17 0.0003 0.0000 0.0007 0.0019 0.0016 0.0013 0.0011 0.0024
18 0.0012 0.0003 0.0105 0.0086 0.0024 0.0050 0.0008 0.0129
19 0.0011 0.0011 0.0243 0.0006 0.0037 0.0141 0.0065 0.0089
20 0.0008 0.0001 0.0107 0.0160 0.0084 0.0026 0.0023 0.0079
21 0.0062 0.0005 0.0013 0.0026 0.0272 0.0047 0.0038 0.0069
22 0.0027 0.0012 0.0274 0.0086 0.0351 0.0966 0.0401 0.0612
23 0.0004 0.0014 0.0027 0.0010 0.0017 0.0015 0.0078 0.0037
24 0.0114 0.0020 0.0047 0.0185 0.0283 0.0291 0.0268 0.0163
25 0.0031 0.0006 0.0034 0.0004 0.0005 0.0059 0.0149 0.0244
26 0.0018 0.0004 0.0005 0.0011 0.0029 0.0029 0.0013 0.0228
27 0.0015 0.0005 0.0008 0.0001 0.0018 0.0002 0.0000 0.0000
28 0.0012 0.0025 0.0974 0.0045 0.0153 0.0649 0.0221 0.0242
+ 25 26 27 28
1 0.0000 0.0000 0.0010 0.0000
2 0.0001 0.0004 0.0004 0.0000
3 0.0000 0.0002 0.0012 0.0000
4 0.0030 0.0237 0.0109 0.0000
5 0.0001 0.0011 0.0003 0.0000
6 0.0003 0.0024 0.0005 0.0000
7 0.0000 0.0002 0.0001 0.0003
8 0.0004 0.0123 0.0010 0.0000
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0009
10 0.0002 0.0045 0.0000 0.0000
173
PARAMETERS
TB(i) Original estimate for sectoral Total Output or Input cells 2009
QB(i,j) Original estimate for intersectoral IO transaction cells 2009
VB(j) Original estimate for sectoral Value Added cells 2009
MB(j) Original estimate for sectoral Import cells 2009
FB(i) Original estimate for sectoral Final Demand cells 2009
TW(i) Weight for sectoral Total Output or Input cells
QW(i,j) Weight for sectoral intersectoral IO transaction cells
VW(j) Weight for sectoral Value Added cells
MW(j) Weight for sectoral Import cells
FW(i) Weight for sectoral Final Demand cells;
Lampiran 11. (Lanjutan)
TB(i) = Q2009(i);
QB(i,j) = A2008(i,j)*TB(j);
VB(j) = PDRB2009(j);
MB(j) = TB(j)-VB(j)- Sum(i,QB(i,j));
FB(i) = TB(i)-Sum(j,QB(i,j));
TW(i)$(TB(i) GT 0) = 1;
QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) = 1;
VW(j)$(VB(j) GT 0) = 1;
MW(j)$(MB(j) GT 0) = 1;
FW(i)$(FB(i) GT 0) = 1;
TW(i)$(TB(i) EQ 0) = 0;
QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) = 0;
VW(j)$(VB(j) EQ 0) = 0;
MW(j)$(MB(j) EQ 0) = 0;
FW(i)$(FB(i) EQ 0) = 0;
VARIABLES
SSDEV Sum of Squared Deviation estimating Information Gain
T(i) Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells
2009
Q(i,j) Optimal estimates for Intersectoral Transaction cells 2009
M(j) Optimal estimates for Sectoral Import cells 2009
F(i) Optimal estimates for Sectoral Final Demand cells 2009
FM Optimal estimates for Final Demand for Import cells 2009
FF Optimal estimates for Final Demand for Final Demand cells 2009;
174
EQUATIONS
OBJ Objective Function
CBal(j) Column Balance Constraint Function
RBal(i) Row Balance Constraint Function
TBal total Balance Constraint Function
TM Total Import Constraint Function
TF Total Final Demand Constraint Function;
TF ..Sum(i,F(i))+FF=E=TotF;
MODEL ModelRAS/ALL/;
Q.L(i,j)=QB(i,j)$QW(i,j) ;
T.L(i)=TB(i)$TW(i) ;
M.L(i)=MB(i)$MW(i) ;
F.L(i)=FB(i)$FW(i) ;
SETS Item/MP2009,FD2009,TO2009 /;
PARAMETERS
HslL (i,Item) Tabel Hasil Level Optimal
HslM (i,Item) Tabel Hasil Marginal Value ;
HslL(i,"MP2009")=M.L(i) ;
HslL(i,"FD2009")=F.L(i) ;
HslL(i,"TO2009")=T.L(i) ;
HslM(i,"MP2009")=M.L(i);
HslM(i,"FD2009")=F.L(i);
HslM(i,"TO2009")=T.L(i);
DISPLAY Q.L, Q.M, T.L, M.L, F.L, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M;
175
Lampiran 12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah)
Kode
1 2 3 4 5
Sektor
1 49.250,965
2 3.735,642
3 204,031
4 4.823,594
5 1.359,069
6
7
8 759,479 2.299,463 153,756 3.877,858 2.341,870
9
10
11 23,360
12 3.479,581 714,251 102,917 787,076 710,126
13
14
15 69,187 165,840 60,248 209,122
16 13.766,205 2.496,657 254,596 3.905,931 8.255,857
17
18
19 764,491 1.078,522 38,694 529,580 2.684,423
20
21
22 5.610,314 541,770 11,195 180,946 93,048
23
24 68,875 130,326 1,237 46,258
25
26 45,413
27
28 1.940,852 1.049,402 24,898 362,173 46,560
190 75.709,949 12.211,873 791,324 14.572,819 15.769,693
200 37.278,496 6.421,258 437,583 8.192,458 25.043,671
201 104.777,936 12.473,960 1.111,991 13.739,471 31.660,103
202 448.457,744 55.404,408 9.948,077 113.288,793 157.380,678
203 9.883,938 468,363 11,284 374,780 979,228
204 8.636,065 636,934 73,865 575,837 3.160,405
205 - - - - -
209 571.755,684 68.983,665 11.145,217 127.978,881 193.180,414
210 684.744,129 87.616,796 12.374,124 150.744,158 233.993,778
176
11 12 13 14 15
Kode Sektor
1 349.197,820
2 7.600,544
3 3.867,307
4 27.833,217
5
6 10.791,849
7 50.187,799 28,850
8 47.348,504
9 3.883,192 2.900,307
10 24.241,429
11 13.257,740 13.977,348 8.745,408 1.191,425
12 78,797 73.832,314 1.093,504 22,297 86.757,746
13 6.961,498 566,577 81,562 209,412
14 204,289 27,448 69,643
15 319,698 1.431,514 22,635 12,645 557,738
16 7.119,414 254.319,563 10.059,009 41,879 99.858,735
17 103,259 3,400 0,664 194,521
18 3.078,625 30,293 1,220 6.577,763
19 1.886,852 16.227,035 37,897 10,992 5.462,617
20 1.634,223 2,672 557,111
21 615,142 52,960 1,707 908,806
22 80,014 9.621,990 400,327 16,067 3.559,530
23 819,452 15,117 2,436 1.047,655
24 99,448 3.257,598 127,677 33,404 3.123,069
25 205,416 22,739 140,074
26 410,992 60,663 5,132 630,587
27
28 80,077 3.892,653 907,103 6,821 4.121,054
190 22.922,040 915.544,572 22.145,309 266,946 217.896,643
200 15.586,927 297.696,648 26.518,789 350,894 273.302,183
201 75.779,555 125.853,765 5.937,103 180,559 59.428,047
202 83.697,942 526.739,843 19.752,772 1.494,951 110.351,013
203 2.113,325 56.440,449 861,922 79,232 15.182,823
204 675,989 15.296,553 445,923 57,818 10.908,377
205 - - - - -
209 162.266,810 724.330,610 26.997,720 1.812,560 195.870,260
210 200.775,777 1.937.571,830 75.661,818 2.430,400 687.069,086
178
16 17 18 19 20
Kode Sektor
1
2 1,180 537,418
3 0,391 1.023,726
4 2,354 3.212,104
5 1,577 248,964
6 15,639 2.498,875
7 0,243 606,479
8 170,336 6.405,777
9 0,408 10,470
10 33,059 6.582,139
11
12 3.595,828 333,387 39.759,894 7.631,077 279,586
13 11.926,359 44,344 1.112,410 649,429 27,699
14 404,725 2,351 246,627 86,388 4,606
15 18,037 411,488 1.210,744 23,054
16 7.620,291 261,374 29.650,492 16.134,742 540,802
17 1.394,173 0,591 67,734 9,983
18 8.295,754 4,717 123,908 4.557,342 199,002
19 23.686,615 4,326 454,705 10.555,735 13,895
20 2.671,035 3,135 41,102 4.621,507 368,441
21 8.450,226 24,354 206,311 563,688 60,105
22 17.278,744 10,594 494,338 11.861,304 198,483
23 46.677,069 1,570 577,135 1.169,643 23,096
24 2.903,968 44,569 819,220 2.023,011 424,549
25 162,803 12,191 248,034 1.477,010 9,264
26 1.954,416 7,081 165,423 217,296 25,486
27 5,907 207,138 348,280 2,321
28 8.686,577 4,711 1.030,668 42.196,676 103,938
190 145.708,583 1.008,426 96.674,845 105.371,606 2.314,310
200 80.780,202 552,943 50.036,241 108.758,108 3.645,345
201 178.016,575 285,868 74.608,408 125.744,604 3.949,131
202 294.590,436 609,965 96.912,108 66.979,986 11.187,915
203 64.523,810 618,747 44.810,813 15.802,786 859,917
204 36.463,649 2,370 47.074,931 11.272,514 1.063,867
205 - - - - -
209 573.594,470 1.516,950 263.406,260 219.799,890 17.060,830
210 800.083,255 3.078,319 410.117,346 433.929,604 23.020,485
179
21 22 23 24 25
Kode Sektor
1
2 68,783
3
4 2.055,558
5 69,040
6 204,479
7
8 273,288
9
10 135,206
11
12 99,418 329,931 513,618 129,527 7.222,973
13 658,659 934,614 205,475 147,567 5.415,538
14 28,779 17,593 47,307 9,602 273,566
15 4,802 123,285 19.685,054 124,955 21.771,954
16 204,361 801,880 578,110 348,853 17.212,635
17 17,310 51,778 39,237 17,671 1.148,622
18 115,673 883,903 126,760 414,853 24.670,991
19 178,476 2.494,666 1.030,779 286,451 9.560,166
20 402,884 457,396 362,664 252,828 6.086,500
21 1.309,670 830,054 601,521 221,681 1.922,314
22 1.687,284 17.032,352 6.337,246 1.963,015 6.991,269
23 81,778 264,664 1.233,553 118,763 960,264
24 1.352,667 5.101,721 4.211,303 519,874 4.634,392
25 24,120 1.043,921 2.362,984 785,368 2.269,795
26 139,951 513,322 206,250 734,164 3.784,525
27 87,017 35,463
28 736,054 11.451,929 3.495,304 776,824 27.095,001
190 7.128,903 42.368,472 41.037,165 6.851,996 143.826,859
200 5.877,661 20.545,342 11.182,878 4.089,819 118.211,911
201 11.789,692 29.328,640 27.582,980 6.489,440 88.711,069
202 19.118,391 75.374,384 38.771,806 9.588,216 223.945,206
203 2.031,160 3.890,490 34.069,209 4.451,655 96.117,211
204 2.137,737 4.764,086 5.313,045 473,689 11.025,634
205 - - - - -
209 35.076,980 113.357,600 105.737,040 21.003,000 419.799,120
210 48.083,544 176.271,414 157.957,083 31.944,815 681.837,890
180
26 27 28 180
Kode Sektor
1 14,206 399.079,319
2 19,946 5,783 12.747,787
3 9,879 17,185 5.296,323
4 1.177,267 156,988 39.323,563
5 55,058 4,354 1.742,931
6 118,590 7,163 16.348,907
7 4,043 0,585 22,338 51.427,382
8 609,228 14,361 78.420,620
9 41,573 6.946,686
10 220,534 32.714,510
11 37.195,281
12 2.011,266 868,329 2.371,286 261.525,284
13 104,365 48,992 857,429 30.139,103
14 19,833 7,188 36,401 1.486,346
15 332,554 8,635 127,542 49.874,668
16 2.864,070 569,748 9.558,049 507.757,364
17 3,335 0,642 20,570 3.078,318
18 209,249 85,228 1.298,487 50.957,875
19 94,739 41,927 988,398 82.045,951
20 24,789 25,875 254,795 17.774,230
21 248,862 17,317 164,435 16.207,558
22 397,525 197,383 930,276 86.411,057
23 74,589 41,811 2.372,968 55.513,038
24 741,114 161,876 1.414,690 31.387,675
25 189,487 26,025 73,218 9.052,449
26 1.651,207 744,899 640,921 11.968,349
27 74,959 678,100 1.439,185
28 358,051 74,977 438,116 109.561,041
190 11.614,539 3.819,577 21.611,492 2.007.422,800
200 9.325,627 2.114,530 38.777,814 1.203.957,287
201 8.836,258 348,141 36.879,185 1.087.733,855
202 18.152,049 7.038,014 73.480,519 2.606.351,141
203 1.534,774 724,149 6.997,972 364.465,098
204 294,719 396,747 4.639,605 167.375,996
205 - - - -
209 28.817,800 8.507,050 121.997,280 4.225.926,090
210 49.757,966 14.441,157 182.386,586 7.437.306,177
181
309 310
Kode Sektor
1 285.664,805 684744,124
2 74.869,003 87616,791
3 7.077,804 12374,127
4 111.420,596 150744,159
5 232.250,844 233993,774
6 21.069,301 37418,208
7 51427,383
8 129.327,111 207747,731
9 6946,686
10 15.160,304 47874,814
11 163.580,495 200775,776
12 1.676.046,544 1937571,831
13 45.522,719 75661,819
14 944,055 2430,400
15 637.194,419 687069,087
16 292.325,892 800083,257
17 3078,317
18 359.159,468 410117,344
19 351.883,652 433929,604
20 5.246,253 23020,482
21 31.875,985 48083,543
22 89.860,354 176271,412
23 102.444,046 157957,084
24 557,141 31944,814
25 672.785,442 681837,890
26 37.789,618 49757,968
27 13.001,974 14441,159
28 72.825,546 182386,587
190 5.429.883,371 7.437.306,171
182
Kode Sektor
1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Buah-buahan
5 Sayur-sayuran
6 Bahan makanan lainnya
7 Tanaman Perkebunan
8 Peternakan dan hasil-hasilnya
9 Kehutanan
10 Perikanan
11 Pertambangan dan Penggalian
12 Industri Pengolahan
13 Listrik
14 Air Bersih
15 Bangunan
16 Perdagangan Besar dan Eceran
17 Hotel
18 Restoran
19 Angkutan Jalan Raya
20 Jasa Penunjang Angkutan
21 Komunikasi
22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
23 Sewa Bangunan
24 Jasa Perusahaan
25 Pemerintahan umum dan pertahanan
26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
28 Jasa Perorangan dan Rumah tangga
190 Jumlah Input Antara
200 Impor (Dari nilai LQ)
201 Upah dan Gaji
202 Surplus Usaha
203 Penyusutan
204 Pajak tak Langsung
205 Subsidi
209 NTB / PDRB
210 Total Input
180 Jumlah Permintaan Antara
309 Permintaan Akhir (Final Demand )
310 Jumlah Permintaan (Total Output )
183
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
10 11 12 13 14 15 16
Sektor
1 - - 0,1802 - - - -
2 0,0128 - 0,0039 - - - -
3 0,0006 - 0,0020 - - - -
4 - - 0,0144 - - - -
5 0,0001 - - - - - -
6 0,0005 - 0,0056 - - - -
7 - - 0,0259 - - 0,0000 -
8 0,0012 - 0,0244 - - - -
9 0,0008 - 0,0020 - - 0,0042 -
10 0,0314 - 0,0125 - - - -
11 - 0,0660 0,0072 0,1156 - 0,0017 -
12 0,1219 0,0004 0,0381 0,0145 0,0092 0,1263 0,0045
13 0,0008 - 0,0036 0,0075 0,0336 0,0003 0,0149
14 - - 0,0001 - 0,0113 0,0001 0,0005
15 0,0130 0,0016 0,0007 0,0003 0,0052 0,0008 -
16 0,0848 0,0355 0,1313 0,1329 0,0172 0,1453 0,0095
17 - - 0,0001 0,0000 0,0003 0,0003 0,0017
18 0,0009 - 0,0016 0,0004 0,0005 0,0096 0,0104
19 0,0033 0,0094 0,0084 0,0005 0,0045 0,0080 0,0296
20 - - 0,0008 - 0,0011 0,0008 0,0033
21 - - 0,0003 0,0007 0,0007 0,0013 0,0106
22 0,0106 0,0004 0,0050 0,0053 0,0066 0,0052 0,0216
23 0,0005 - 0,0004 0,0002 0,0010 0,0015 0,0583
24 0,0016 0,0005 0,0017 0,0017 0,0137 0,0045 0,0036
25 - - 0,0001 0,0003 - 0,0002 0,0002
26 0,0002 - 0,0002 0,0008 0,0021 0,0009 0,0024
27 - - - - - - -
28 0,0003 0,0004 0,0020 0,0120 0,0028 0,0060 0,0109
190 0,2854 0,1142 0,4725 0,2927 0,1098 0,3171 0,1821
200 0,2123 0,0776 0,1536 0,3505 0,1444 0,3978 0,1010
201 0,1895 0,3774 0,0650 0,0785 0,0743 0,0865 0,2225
202 0,2882 0,4169 0,2719 0,2611 0,6151 0,1606 0,3682
203 0,0188 0,0105 0,0291 0,0114 0,0326 0,0221 0,0806
204 0,0057 0,0034 0,0079 0,0059 0,0238 0,0159 0,0456
205 - - - - - - -
209 0,5023 0,8082 0,3738 0,3568 0,7458 0,2851 0,7169
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
185
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
17 18 19 20 21 22 23
Sektor
1 - - - - - - -
2 0,0004 0,0013 - - - - -
3 0,0001 0,0025 - - - - -
4 0,0008 0,0078 - - - - -
5 0,0005 0,0006 - - - - -
6 0,0051 0,0061 - - - - -
7 0,0001 0,0015 - - - - -
8 0,0553 0,0156 - - - - -
9 0,0001 0,0000 - - - - -
10 0,0107 0,0160 - - - - -
11 - - - - - - -
12 0,1083 0,0969 0,0176 0,0121 0,0021 0,0019 0,0033
13 0,0144 0,0027 0,0015 0,0012 0,0137 0,0053 0,0013
14 0,0008 0,0006 0,0002 0,0002 0,0006 0,0001 0,0003
15 0,0059 0,0010 0,0028 0,0010 0,0001 0,0007 0,1246
16 0,0849 0,0723 0,0372 0,0235 0,0043 0,0045 0,0037
17 0,0002 - 0,0002 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002
18 0,0015 0,0003 0,0105 0,0086 0,0024 0,0050 0,0008
19 0,0014 0,0011 0,0243 0,0006 0,0037 0,0142 0,0065
20 0,0010 0,0001 0,0107 0,0160 0,0084 0,0026 0,0023
21 0,0079 0,0005 0,0013 0,0026 0,0272 0,0047 0,0038
22 0,0034 0,0012 0,0273 0,0086 0,0351 0,0966 0,0401
23 0,0005 0,0014 0,0027 0,0010 0,0017 0,0015 0,0078
24 0,0145 0,0020 0,0047 0,0184 0,0281 0,0289 0,0267
25 0,0040 0,0006 0,0034 0,0004 0,0005 0,0059 0,0150
26 0,0023 0,0004 0,0005 0,0011 0,0029 0,0029 0,0013
27 0,0019 0,0005 0,0008 0,0001 0,0018 0,0002 -
28 0,0015 0,0025 0,0972 0,0045 0,0153 0,0650 0,0221
190 0,3276 0,2357 0,2428 0,1005 0,1483 0,2404 0,2598
200 0,1796 0,1220 0,2506 0,1584 0,1222 0,1166 0,0708
201 0,0929 0,1819 0,2898 0,1715 0,2452 0,1664 0,1746
202 0,1981 0,2363 0,1544 0,4860 0,3976 0,4276 0,2455
203 0,2010 0,1093 0,0364 0,0374 0,0422 0,0221 0,2157
204 0,0008 0,1148 0,0260 0,0462 0,0445 0,0270 0,0336
205 - - - - - - -
209 0,4928 0,6423 0,5065 0,7411 0,7295 0,6431 0,6694
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
186
Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
24 25 26 27 28
Sektor
1 - - - 0,0010 -
2 - 0,0001 0,0004 0,0004 -
3 - - 0,0002 0,0012 -
4 - 0,0030 0,0237 0,0109 -
5 - 0,0001 0,0011 0,0003 -
6 - 0,0003 0,0024 0,0005 -
7 - - 0,0001 0,0000 0,0001
8 - 0,0004 0,0122 0,0010 -
9 - - - - 0,0002
10 - 0,0002 0,0044 - -
11 - - - - -
12 0,0041 0,0106 0,0404 0,0601 0,0130
13 0,0046 0,0079 0,0021 0,0034 0,0047
14 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0002
15 0,0039 0,0319 0,0067 0,0006 0,0007
16 0,0109 0,0252 0,0576 0,0395 0,0524
17 0,0006 0,0017 0,0001 0,0000 0,0001
18 0,0130 0,0362 0,0042 0,0059 0,0071
19 0,0090 0,0140 0,0019 0,0029 0,0054
20 0,0079 0,0089 0,0005 0,0018 0,0014
21 0,0069 0,0028 0,0050 0,0012 0,0009
22 0,0615 0,0103 0,0080 0,0137 0,0051
23 0,0037 0,0014 0,0015 0,0029 0,0130
24 0,0163 0,0068 0,0149 0,0112 0,0078
25 0,0246 0,0033 0,0038 0,0018 0,0004
26 0,0230 0,0056 0,0332 0,0516 0,0035
27 - - 0,0015 0,0470 -
28 0,0243 0,0397 0,0072 0,0052 0,0024
190 0,2145 0,2109 0,2334 0,2645 0,1185
200 0,1280 0,1734 0,1874 0,1464 0,2126
201 0,2031 0,1301 0,1776 0,0241 0,2022
202 0,3001 0,3284 0,3648 0,4874 0,4029
203 0,1394 0,1410 0,0308 0,0501 0,0384
204 0,0148 0,0162 0,0059 0,0275 0,0254
205 - - - - -
209 0,6575 0,6157 0,5792 0,5891 0,6689
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
187
Lampiran 16. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah Irigasi (Oryza sativa )
Persyaratan penggunaan lahan/ Kelas kesesuaian lahan
karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc)
0
Temperatur rerata ( C) 24 - 29 22 - 24 18 - 22 < 18
29 - 32 32 - 35 > 35
Ketersediaan air (wa)
Kelembapan (%) 33 - 90 30 - 33 < 30 ; <90
Media perakaran (rc)
Drainase agak terhambat, terhambat, sangat terham- cepat
sedang baik bat agak cepat
Tekstur halus, agak halus sedang agak kasar kasar
Bahan kasar (%) <3 3 - 15 15 - 35 > 35
Kedalaman tanah (cm) > 50 40 - 50 25 - 40 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 200
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
+
Kematangan saprik saprik, hemik, fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 < 35
pH H2 O 5,5 - 8,2 4,5 - 5,5 < 4,5
8,2 - 8,5 > 8,5
C-organik (%) 0,8 - 1,5 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <2 2-4 4-6 >6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <3 3-5 5-8 >8
Bahaya erosi sangat rendah rendah sedang berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0,F11,F12 F13,F22,33 F14,F24,F34 F15,F25
F21,F23,F31,F32 F41,F42,43 F44 F35,F45
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
keterangan :
Saprik+ , hemik+ ,fibrik+ = saprik, hemik, fibrik dengan sisipan bahan mineral/pengkayaan
192