You are on page 1of 415

PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN

MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI


KABUPATEN MAJALENGKA

NUNIK RACHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pembangunan Subsektor Tanaman


Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Nunik Rachmawati
NRP A156100254
ABSTRACT

NUNIK RACHMAWATI. The Development of Food Crops Subsector in


Supporting Regional Development in Majalengka Regency. Under direction of
SANTUN R.P. SITORUS and DIDIT OKTA PRIBADI

Food crops subsector is expected to be a strategic sector for regional


development in Majalengka regency in the future because it based on local
resources. The purposes of this study are : (1) identifying condition and potency
of food crops subsector in Majalengka regency, (2) identifying the role of food
crops subsector in regional economy, (3) identifying superior commodities, (4)
exploring perceptions of stakeholders regarding food crops development
priorities (5) formulating the direction of food crops subsector development for
regional development in Majalengka. The data analysis used are Location
Quotient (LQ), Shift Share, Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process
(AHP), land suitability and avaibility evaluation. The result showed that food
crops subsector is a basis sector with some commodities have superiority in
planting area, harvesting area, production and number of trees. Food crops
subsector has the highest contribution in gross regional domestic product (GDP)
up to 23,80% and contributed to total output up to 16,23%. However, it has low
linkages with other sectors. An analysis result in macro, meso and micro levels
showed that paddy, corn, soybean, mangos, banana and melinjo are superior
commodities in Majalengka regency. Based on stakeholders perception, three of
the priority commodities are paddy, corn, and mangos. While, the priority of
agribusiness subsystem is on farming system and supporting aspects of the
priorities is improving human resources. The direction in the development of food
crops subsector are to improve the performance and enhance the role and
linkages with other sector.

Keywords: food crops subsector, regional economic development, sectoral


linkages, Regency of Majalengka
RINGKASAN

NUNIK RACHMAWATI. Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka. Dibimbing oleh
SANTUN R.P. SITORUS dan DIDIT OKTA PRIBADI.

Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah untuk


lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal, mengelola dan
memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh
setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola sumberdaya
yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya. Salah satu
potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor pertanian.
Subsektor tanaman bahan makan merupakan bagian dari sektor pertanian yang
memiliki kontribusi besar terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten
Majalengka sehingga diharapkan akan terus berkembang menjadi sektor strategis
dalam pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka pada masa yang akan
datang. Sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial.
Untuk meningkatkan pembangunan subsektor ini sehingga mampu
menjadi sektor yang strategis dalam pengembangan wilayah, maka tujuan
penelitian ini adalah : (1) mengetahui kondisi dan potensi subsektor tanaman
bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, (2) mengetahui peran subsektor
tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka, (3) mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan
makanan, (4) mengetahui prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dan (5) merumuskan arahan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Analisis yang
digunakan adalah metode Location Quotient (LQ), Shift Share Analysis, Analisis
Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process (AHP), dan evaluasi kesesuaian
dan ketersediaan lahan.
Hasil identifikasi dari kondisi dan potensi menunjukkan bahwa subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis di
wilayah Propinsi Jawa Barat. Dari hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung,
kacang hijau dan kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen
adalah jagung dan kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi
adalah jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk,
mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah
pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo,
melinjo, petai, sirsak dan sukun.
Peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah
dianalisis berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB dan analisis input-output.
Berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB Tahun 2009, subsektor tanaman
bahan makanan memiliki kontribusi sebesar Rp 1.005.886,04 juta atau sebesar
23,80% dari total PDRB Kabupaten Majalengka. Nilai tersebut menempati
peringkat ke-1 dari 23 sektor perekonomian. Dari hasil analisis input-output
diketahui bahwa subsektor tanaman bahan makanan memiliki kontribusi sebesar
Rp 1.206. 891,18 juta atau 16,23% terhadap total output seluruh sektor ekonomi.
Nilai tersebut menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor perekonomian.
Berdasarkan indikator tersebut subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran
yang besar dalam preekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
Hasil analisis keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage
(DFL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan bahwa
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi
memiliki nilai DFL sebesar 0,2561 menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki
nilai DFL sebesar 0,0928 menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya
memiliki nilai DFL sebesar 0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki
nilai DFL sebesar 0,0627 menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL
sebesar 0,0238 menempati urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL
sebesar 0,0085 serta menempati urutan ke-27.
Hasil analisis keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward
Linkage (DBL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan
bahwa besarnya perananan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai
berikut : jagung memiliki nilai DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi
memiliki nilai DBL sebesar 0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan
memiliki nilai DBL sebesar 0,0967 menempati urutan ke-24, bahan makanan
lainnya memiliki nilai DBL sebesar 0,0940 menempati urutan ke-26, sayur-
sayuran memiliki nilai DBL sebesar 0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu
memiliki nilai DBL sebesar 0,0639 serta menempati urutan ke-28. Hasil analisis
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan maupun ke belakang (Direct
Indirect Forward/Backward Linkage), Indeks Derajat Kepekaan (IDK) dan Indeks
Daya Penyebaran (IDP) serta multiplier effec Output, NTB, Pendapatan dan pajak
tak langsung menunjukkan hal yang tidak berbeda jauh dengan hasil analisis DFL
dan DBL diatas. Oleh karena itu, berdasarkan parameter keterkaitan ke belakang
(DBL, DIBL, dan IDP), keterkaitan ke depan (DFL, DIFL, dan IDK), serta
multiplier effect, maka subsektor tanaman masih memiliki peran yang kecil.
Namun demikian, subsektor ini memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor
strategis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA pada level makro, analisis
keterkaitan dan multiplier effect pada level meso dan analisis luas panen serta
produksi pada level mikro maka padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan
melinjo ditetapkan sebagai komoditas unggulan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka.
Hasil analisis terhadap persepsi stakeholders dalam menentukan prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
menunjukkan bahwa berdasarkan jenis komoditas unggulan diperoleh urutan
prioritas sebagai berikut : (1) padi dengan skor 0,332; (2) jagung dengan skor
0,260; (3) mangga dengan skor 0,177; (4) kedelai dengan skor 0,117; (5) pisang
dengan skor 0,066 dan (6) melinjo dengan skor 0,048. Berdasarkan subsistem
agribisnis diperoleh urutan prioritas sebagai berikut : (1) subsistem usahatani
(0,307); (2) subsistem agribisnis hulu (0,282); (3) subsistem agribisnis hilir
(0,257) dan subsistem jasa layanan pendukung (0,155). Berdasarkan aspek
pendukung diperoleh urutan : (1) sumberdaya manusia (0,460); (2) sarana
prasarana (0,300) dan (3) kelembagaan (0,240).
Berdasarkan seluruh hasil analisis, maka arahan kebijakan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka adalah
meningkatkan kinerja subsektor ini dan meningkatkan keterkaitan subsektor
tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain, baik yang memiliki
keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang yang mampu memberikan
nilai tambah dan mengurangi terjadinya kebocoran wilayah, sehingga perannya
dalam perekonomian wilayah menjadi semakin besar. Untuk mendukung hal ini
maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan melaksanakan pembangunan subsistem agribisnis
secara terpadu dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, ketersediaan
sarana prasarana serta dukungan kelembagaan yang kuat. Arahan wilayah untuk
pengembangan padi adalah Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan,
Kertajati, Kadipaten, Palasah dan Sumberjaya. Arahan wilayah untuk
pengembangan jagung adalah Kecamatan Kertajati. Jatitujuh, Ligung,
Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan, Kadipaten, Kasokandel, Cigasong,
Talaga, Banjaran, Cikijing dan Cingambul. Arahan wilayah untuk pengembangan
mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi, Panyingkiran
dan Majalengka.

Kata kunci : subsektor tanaman bahan makanan, pengembangan ekonomi


wilayah, keterkaitan sektor, Kabupaten Majalengka
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN
MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN MAJALENGKA

NUNIK RACHMAWATI

TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER SAINS
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, M. Si.
Judul Tesis : Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam
Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka
Nama : Nunik Rachmawati
NRP : A156100254
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Didit Okta Pribadi, SP. M.Si.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : 24 Januari 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pembangunan
Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di
Kabupaten Majalengka dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Didit Okta Pribadi, SP., M.Si. selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan
bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini
2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini
3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan
beasiswa yang diberikan kepada penulis
5. Pemerintah Kabupaten Majalengka yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini
6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 dan
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini
Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada suamiku Dudung
Abdurrohman, SP. dan anakku Aisyah Nurlathifah A. beserta seluruh keluarga,
atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan
selama ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga
dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya,
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih.

Bogor, Februari 2012

Nunik Rachmawati
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Majalengka pada tanggal 24 Maret 1977


dari pasangan orang tua Bapak U. Samhudi dan Ibu I. Rodiyah (Almarhumah).
Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.
Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten
Majalengka. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Majalengka dan
kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima di jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada
Tahun 2000.
Pada Tahun 2005, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Majalengka pada Dinas Pertanian dan
Perikanan Kabupaten Majalengka hingga saat ini. Penulis mendapat kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2010 dan
diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan
bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
i

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………….... v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………...……... viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….......... x

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………. 6
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 9
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………... 9
1.5. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 9
1.6. Pengertian/Definisi ……………………………………………... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Pengembangan Wilayah ………………………………………... 15
2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan ………………….. 18
2.3. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif...………. 21
2.4. Keterkaitan Sektor …………………………………………….... 25
2.5. Komoditas Unggulan …………………………………………... 28
2.5. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah ………………… 29

III. METODE PENELITIAN


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………..… 33
3.2. Jenis Data dan Tehnik Penarikan Contoh (Sampling
Tehnique)……………………………………………………….. 33
3.3. Bahan dan Alat…………………………………...……………... 35
3.4. Bagan Alir Penelitian ……………………………...…………… 37
3.5. Teknik Analisis Data ………………………………..………….. 40
3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sektor Pertanian…..…… 40
3.5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ) ………..…... 40
3.5.1.2. Shift Share Analysis (SSA) ……………..…… 41
3.5.2. Analisis Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan ... 42
3.5.3. Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman
Bahan Makanan……………………………...………... 51
3.5.4. Analisis Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman
Bahan Makanan ………………………………………. 52
3.5.5. Penyusunan Arahan Pembangunan Subsektor
Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan
Wilayah……………………………………………….. 56
ii

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA


4.1. Kondisi Fisik Wilayah ……………………………………..…... 59
4.1.1. Kondisi Geografi ………………………………........... 59
4.1.2. Kondisi Topografi …………………………………..... 61
4.1.3. Kondisi Tanah dan Lahan…………………………….. 63
4.1.4. Iklim ………………………………………………….. 65
4.1.5. Penggunaan Lahan ………………………………….... 66
4.2. Sosial Kependudukan …………………………………………... 67
4.2.1. Kependudukan ……………………………………….. 67
4.2.2. Ketenagakerjaan ……………………………………… 68
4.2.3. Sosial Budaya ………………………………………… 69
4.3. Perekonomian Daerah ………………………...……………….. 70
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) …………... 70
4.3.2. Potensi Sektor-Sektor Ekonomi …………………….... 72
4.3.2.1. Pertanian ………………………………….. 72
4.3.2.2. Perdagangan, Hotel dan Restoran ………... 75
4.3.2.3. Industri Pengolahan ………………………. 75

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Kondisi dan Potensi Subsektor Tanaman Bahan Makanan di
Kabupaten Majalengka Terkini ………………………………… 77
5.1.1. Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan
Makanan Kab. Majalengka di Wilayah Propinsi Jawa
Barat ………………………………………………….. 77
5.1.2. Potensi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan
Makanan Unggulan Kabupaten Majalengka …………. 82
5.2. Peranan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam
Perekonomian Kabupaten Majalengka ………………………… 95
5.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun
2009 …………………………………………………... 96
5.2.2. Keterkaitan Sektoral ………………………………….. 103
5.2.3. Multiplier Effect ………………………………………. 116
5.2.3.1. Multiplier Effect Output …………………... 117
5.2.3.2. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto …….. 118
5.2.3.3. Multiplier Effect Pendapatan ……………… 120
5.2.3.4. Multiplier Effect Pajak Tak Langsung ……. 121
5.3. Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan di
Kabupaten Majalengka ………………………………………….. 122
5.3.1. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Makro ……. 123
5.3.2. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Meso ..……. 128
5.3.3. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Mikro ..…… 130
5.3.4. Penetapan Komoditas Unggulan ……………………… 132
5.4. Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ….. 134
5.4.1. Prioritas Komoditas Unggulan ………………………... 134
5.4.2. Prioritas Pengembangan Subsistem Agribisnis ……….. 135
5.4.3. Prioritas Pengembangan Aspek Pendukung …………... 138
5.5. Arahan Pengembangan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ….. 140
iii

5.6. Pembahasan Umum ……………………………………………... 149

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan ……………………………………………………… 153
6.2. Saran …………………………………………………………….. 154

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 155


LAMPIRAN ……………………………………………………………. 159
iv
v

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka
Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah) ….…………………... 3

2. Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di


Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009 ……………………………. 4

3. Rincian Data Calon Responden ………………………………………. 34

4. Tujuan, Jenis, Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang


Diharapkan ……………………………………………………………. 35

5. Sektor-sektor Perekonomian Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun


2009 (28 sektor) …………………………………………..…………... 43

6. Struktur Dasar Tabel Input-Output …………………………………… 45

7. Skala Perbandingan Berpasangan …………………………………….. 54

8. Fluktuasi Iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 ……………… 64

9. Penggunaan Lahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 ………….. 65

10. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 – 2009 ………….…………………………... 66

11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka


Tahun 2009……………………………………………………………. 68

12. Perkembangan Angka Statistik Ketenagakerjaan …………………….. 68

13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga


Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan
Rupiah)………………………………………………………………... 71

14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka ……………………………………………............. 72

15. Perkembangan Produksi Palawija di Kabupaten Majalengka (dalam


ton) …………………………………………………………………… 73

16. Perkembangan Produksi Sayuran di Kabupaten Majalengka


(dalam kuintal) ………………………………………………………... 73
vi

17. Perkembangan Produksi Buah-buahan di Kab. Majalengka (dalam


kuintal) ………………………………………………………………... 74

18. Banyaknya Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Majalengka …… 75

19. Nilai LQ Sektor Ekonomi Kabupaten Majalengka …………………… 78

20. Hasil Analisis Shift Share Sektor Perekonomian di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 – 2009 ……………………………………… 79

21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di


Jawa Barat ………………………………………………………………. 81

22. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten


Majalengka …………………………………………………………..... 83

23. Nilai LQ Luas Tanam Komoditas Sayuran (>1) ……………………… 83

24. Nilai LQ Luas Panen Komoditas Sayuran (>1) ………………………. 84

25. Nilai LQ Produksi Komoditas Sayuran (>1) ………………………… 84

26. Nilai LQ Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan (>1) ……………… 85

27. Nilai LQ Produksi Komoditas Buah-buahan (>1) …………………… 85

28. Hasil Analisis Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan di


Kabupaten Majalengka ……………………………………………….. 86

29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif …… 87

30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif …….. 87

31. Differential Shift Produksi Komoditas Sayuran Yang Positif ………... 88

32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang


Positif ………………………………………………………………… 88

33. Differential Shift Produksi Komoditas Buah-buahan Yang Positif …. 89

34. Nomor SK Pelepasan Varietas Tanaman Buah Unggulan Kab.


Majalengka …………………………………………………………… 94

35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga


Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah) ……………………………... 96

36. Persentase Sumbangan Sektoral Terhadap PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 Atas Dasar Harga Konstan ………………….. 97
vii

37. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Berdasarkan


Tabel I-O ………………………………………………………………. 99

38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 ………………………………………………. 101

39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan .. 124

40. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan …... 125

41. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran ….. 126

42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan


Makanan ……………………………………………………………….. 128

43. Luas Panen dan Produksi Komoditas Tanaman Pangan ……………….. 129

44. Produksi dan Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan …………………. 130

45. Luas Panen dan Produksi komoditas Sayur-sayuran …………………… 131

46. Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ... 132
viii
ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kerangka pikir penelitian …………….……………………………… 11

2. Peta lokasi penelitian ………………………………………………... 32

3. Bagan alir penelitian …………………………………………………. 38

4. Tahapan metode RAS ………………………………………………... 44

5. Struktur hirarki untuk penentuan prioritas pembangunan subsektor


tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka …………………. 52

6. Tahapan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan


pengembangan komoditas unggulan………………………………….. 56

7. Peta administrasi Kabupaten Majalengka ……………………………. 59

8. Distribusi luas wilayah per kecamatan (Km2) ………………………... 60

9. Peta kelas ketinggian Kabupaten Majalengka ………………………... 62

10. Peta kedalaman efektif tanah Kabupaten Majalengka ……………...... 63

11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun


2009 …………………………………………………………………... 67

12. Matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka …... 80

13. Matriks daya saing luas tanam komoditas subsektor tanaman bahan
makanan Kabupaten Majalengka ……………………………... 90

14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman


Bahan Makanan Kabupaten Majalengka …………………………….. 91

15. Matriks Daya Saing Produksi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan


Makanan Kabupaten Majalengka …………………………………...... 92

16. Matriks Daya Saing Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan


Kabupaten Majalengka ………………………………………………. 93

17. Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian ……… 103

18. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian ……... 104

19. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor


perekonomian ………………………………………………………… 106
x

20. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor


perekonomian ………………………………………………………… 107

21. Keterkaitan padi dengan sektor-sektor lainnya ……………………… 109

22. Keterkaitan jagung dengan sektor-sektor lainnya ……………………. 110

23. Keterkaitan buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya ……………... 111

24. Keterkaitan sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya ……………. 111

25. Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian ………… 113

26. Nilai Indeks Daya Kepekaan sektor-sektor perekonomian …………... 114

27. Nilai Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian …………. 116

28. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (PDRB) sektor-sektor


perekonomian ………………………………………………………… 118

29. Multiplier Effect pendapatan sektor-sektor perekonomian …………... 119

30. Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian …... 121

31. Keterkaitan ke depan komoditas subsektor tanaman bahan makanan .. 127

32. Keterkaitan ke belakang komoditas subsektor tanaman bahan


makanan ……………………………………………………………… 127

33. Proporsi Komoditas Buah-buahan dan Bahan Makanan LainTerhadap


PDRBnya …………………………………………………………….. 128

34 Hasil AHP dalam penentuan prioritas komoditas unggulan …………. 134

35 Nilai AHP masing-masing subsistem per komoditas ……………….... 137

36 Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem …….. 138

37 Hasil AHP dalam penentuan prioritas pembangunan subsektor


tanaman bahan makanan berdasarkan persepsi seluruh stakeholder …. 139

38 Peta Arahan Pengembangan Komoditas Padi ………………………... 145

39 Peta Arahan Pengembangan Komoditas Jagung …………………….. 146

40 Peta Arahan Pengembangan Komoditas Mangga …………………… 147


xi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Tahun 2009 …………………………………………………………….... 159

2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat


Tahun 2009 ……………………………………………………………... 160

3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun


2009 ……………………………………………………………………... 161

4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di


Jawa Barat Tahun 2009 …………………………………………………. 162

5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa


Barat Tahun 2009 ……………………………………………………….. 163

6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di


Jawa Barat Tahun 2009 …………………………………………………. 164

7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di


Jawa Barat Tahun 2009 …………………………………………………. 165

8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa


Barat Tahun 2009 ……………………………………………………….. 166

9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan


Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………...................... 167

10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota


di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………... 168

11 Model RAS Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 169

12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah) …... 175

13. Keterangan Kode Sektor ……………………………………………….... 182

14. Nilai Koefisien Teknis (Matriks A) ……………………………………... 183

15. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 ……………………………………... 187

16. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi ……………………… 191

17. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung …………………... 192

18. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga …………………. 193


xii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas
pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan
profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta kemampuan
untuk mengelola sumberdaya ekonomi daerah untuk peningkatan perekonomian
daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah
(kabupaten/kota) untuk lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal,
mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang
dimiliki oleh setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola
sumberdaya yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya.
Salah satu potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor
pertanian. Namun paradigma pembangunan di negara-negara berkembang yang
lebih mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung menyebabkan peran sektor
pertanian menjadi lebih rendah dibandingkan peran sektor industri. Padahal
dengan mengoptimalkan pembangunan sektor pertanian akan mendorong
tumbuhnya industri-industri yang berbasis pertanian. Industri yang berbasis
pertanian akan lebih banyak menggunakan input produksi dari hasil pertanian
yang merupakan sumberdaya lokal sehingga dapat menghasilkan multiplier effect
yang besar bagi pertumbuhan wilayah. Berkembangnya sektor pertanian dan
industri yang berbasis pertanian ini akan menghasilkan pertumbuhan wilayah
yang lebih pro masyarakat dan menghindarkan terjadinya berbagai kesenjangan.
Pengembangan pertanian (tanaman pangan dan hortikultura) di Provinsi
Jawa Barat salah satunya dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan
dengan pendekatan pewilayahan melalui kawasan andalan. Kabupaten
Majalengka merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian di Provinsi
Jawa Barat yang termasuk dalam kawasan andalan Ciayumajakuning yaitu
Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
(http://www.diperta.jabarprov.go.id).
2

Kabupaten Majalengka memiliki luas wilayah 120.424 ha dengan jumlah


penduduk sebanyak 1.206.702 jiwa. Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah
Kabupaten Majalengka diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelas utama yaitu dataran
rendah (0 - 100 m dpl) yang berada di wilayah utara Kabupaten Majalengka,
dataran sedang (>100 - 500 m dpl), umumnya berada di wilayah tengah dan
dataran tinggi (> 500 m dpl). berada di wilayah selatan Kabupaten Majalengka,
termasuk didalamnya wilayah yang berada pada ketinggian diatas 2.000 mdpl
yaitu terletak disekitar kawasan kaki Gunung Ciremai (BPS Majalengka, 2010).
Adapun bentuk topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada
daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta
perbukitan terjal. Berdasarkan ketinggian dan kondisi topografi tersebut
Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan
pertanian dengan jenis komoditas yang lebih bervariasi mulai dari komoditas
untuk dataran rendah sampai komoditas dataran tinggi.
Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang digambarkan oleh
distribusi PDRB atas dasar harga konstan menunjukan bahwa sektor pertanian
merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi andalan dalam memberikan
nilai tambah bagi perekonomian Kabupaten Majalengka. Dari tahun ke tahunnya,
diantara sektor-sektor perekonomian yang ada, sektor pertanian memberikan
kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka.
Sektor pertanian di Kabupaten Majalengka terdiri atas lima subsektor yaitu
subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan
dan perikanan. Kontribusi terbesar sektor pertanian ini berasal dari subsektor
tanaman bahan makanan yang besarnya pada Tahun 2009 mencapai 23,80 persen
dari total nilai PDRB Kabupaten Majalengka dan 84,89 persen dari total sektor
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produksi terbesar di Kabupaten
Majalengka berasal dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman
bahan makanan dalam hal ini meliputi komoditas tanaman pangan dan
hortikultura.
Adapun perkembangan kontribusi sektoral terhadap nilai PDRB
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan dari Tahun 2007 hingga 2009
dapat dilihat pada Tabel 1.
3

Tabel 1. Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka


Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah)
No. Uraian 2007 2008 2009
1. PDRB Sektoral
Pertanian 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
- Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
- Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
- Peternakan 97.494,29 103.072,99 108.488,65
- Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
- Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
Pertambangan dan penggalian 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Industri pengolahan 657.996,42 691.093,64 724.330,61
Listrik, gas dan air bersih 26.149,82 27.540,86 28.810,27
Bangunan 175.415,37 185.168,46 195.870,26
Perdagangan, hotel dan restoran 756.470,52 797.726,94 838.517.68
Pengangkutan dan komunikasi 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Keuangan, persewaan &jasa
perusahaan 219.085,84 229.950,10 240.097,63
Jasa-jasa 526.643,19 550.497,06 579.121,25
2. PDRB per Kapita 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sumber mata pencaharian


sebagian besar penduduk di Kabupaten Majalengka. Hal ini dapat terlihat
dari Tabel 2. yang menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bekerja di
sektor pertanian, jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Besarnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini menunjukkan
bahwa ada peluang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pembangunan di sektor pertanian. Atas peranannya
tersebut, pembangunan pertanian di Kabupaten Majalengka perlu terus
ditumbuhkembangkan melalui pengembangan potensi sumberdaya lokal yang
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
4

Tabel 2. Persentase Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Di


Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
PENDUDUK YANG BEKERJA MENURUT
LAPANGAN USAHA LAPANGAN USAHA (%)
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian 29,95 31,24 37,61 27,86 30,44
Pertambangan dan Penggalian 2,29 0,67 0,35 4,17 0,49
Industri Pengolahan 18,36 19,39 13,94 17,10 12,13
Listrik, gas dan air minum 0,39 0,10 0,24 0,68 0,29
Konstruksi 7,93 5,36 5,35 4,50 6,54
Perdagangan 26,15 26,65 26,61 19,51 29,40
Angkutan dan Komunikasi 5,97 5,80 5,47 6,55 7,27
Keuangan 0,68 0,51 1,19 5,59 1,04
Jasa-jasa Lainnya 8,28 10,27 9,23 13,83 12,40
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Sektor pertanian sebagai sektor yang berbasis sumberdaya alam


diharapkan dapat terus berkembang menjadi sektor strategis dalam pembangunan
dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Menurut Rustiadi et al.
(2009), pengertian sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan
besar dalam perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral
maupun spasial. Dengan demikian proses pembangunan wilayah diharapkan akan
berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembangunan
wilayah yang berimbang antara growth, equality dan tetap mempertimbangkan
aspek keberlanjutan.
Pengembangan sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal
diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah pengembangan wilayah seperti
kemiskinan dan pengangguran. Hal ini akan tercapai dengan mengoptimalkan
pembangunan di sektor pertanian, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan
pendapatan petani dan terbukanya lapangan kerja di sektor pertanian yang pada
akhirnya dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Kegiatan ekonomi rakyat yang berbasis potensi lokal dan berkembang di
suatu wilayah berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
dan menjadi motor penggerak pengembangan wilayah. Keberlangsungan sektor
ekonomi tersebut perlu didukung dengan perencanaan wilayah yang efektif dan
5

efisien. Kajian seksama mengenai perkembangan sektor ini perlu dilakukan untuk
menemukan dan mengenali potensi dan kondisi yang ada, dengan demikian peran
dan dukungan pemerintah yang dibutuhkan juga akan teridentifikasi dengan baik.
Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka selama ini telah berjalan dengan baik, namun
untuk menilai pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini belumlah
cukup jika hanya menilai perkembangannya di dalam wilayah Kabupaten
Majalengka. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana posisi
dan daya saing subsektor pertanian tanaman bahan makanan ini dan apa
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di
Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan
dan komoditasnya di Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Jawa Barat.
Untuk meningkatkan daya saing subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka, maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
ini perlu diupayakan fokus pada komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif agar dapat bersaing dengan komoditas lain di luar
wilayah Kabupaten Majalengka.
Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka perlu juga diketahui peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam pengembangan wilayah yang meliputi keterkaitan antar
sektor serta nilai multiplier effectnya. Keterkaitan antar sektor ini penting
diketahui untuk menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu dikembangkan
untuk meningkatkan pembangunan sektor subsektor tanaman bahan makanan.
Nilai multiplier effect dapat menunjukkan besarnya pengaruh pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan terhadap pengembangan wilayah yang dalam
hal ini ditunjukkan oleh nilai output multiplier, total value added multiplier,
Income multiplier dan multiplier pajak.
Berdasarkan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk dapat
mengetahui kondisi, potensi, keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan
dengan sektor-sektor lain serta besarnya nilai multiplier effect subsektor tanaman
bahan makanan, sehingga bisa diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Dari hasil analisis
6

tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap prioritas


pembangunan subsektor tanaman bahan makanan. Berdasarkan hasil analisis dan
isu-isu yang berkembang kemudian dapat disusun arahan kebijakan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka pengembangan wilayah
Kabupaten Majalengka berbasis sektor pertanian.

1.2. Perumusan Masalah


Dalam melaksanakan pembangunan wilayah, Kabupaten Majalengka tidak
terlepas dari masalah-masalah pembangunan wilayah yang bersifat umum maupun
strategis kewilayahan. Isu strategis aspek ekonomi dalam pembangunan
Kabupaten Majalengka sesuai yang tercantum dalam dokumen RPJMD
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diantaranya adalah : 1). Masih tingginya
tingkat kemiskinan, 2). Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka, 3). Masih
rendahnya produksi dan produktivitas pertanian, serta 4). Masih rendahnya
pengembangan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil
Menengah (IKM) terutama yang berbasis pengolahan hasil pertanian.
Isu strategis poin ke-3 dan ke-4 menunjukkan bahwa terdapat
permasalahan dalam pengembangan sektor pertanian. Sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka masih didominasi oleh subsektor tanaman bahan makanan
sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas serta
UKM dan IKM berbasis pengolahan hasil subsektor tanaman bahan makanan
masih rendah. Beberapa permasalahan lainnya yang terjadi dalam pengembangan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diantaranya adalah
tingginya tingkat persaingan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan, rendahnya tingkat promosi, rendahnya tingkat investasi, dan belum
berkembangnya nilai tambah dari komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan. Permasalahan-permasalahan tersebut mengindikasikan bahwa
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
belumlah optimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melaksanakan kebijakan
pengembangan pertanian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diao et al. (2010)
7

mengenai peran pertanian dalam pembangunan di Afrika yang menunjukkan


bahwa untuk kawasan perdesaan yang berbasis pertanian, pengembangan
pertanian merupakan kebijakan yang lebih pro poor dibandingkan dengan
pengembangan industri. Pengembangan sektor pertanian terbukti mampu
menurunkan jumlah penduduk miskin serta menyerap tenaga kerja lebih besar
dibandingkan dengan pengembangan industri.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka untuk mengatasi berbagai isu
strategis aspek ekonomi di Kabupaten Majalengka tersebut, peran sektor pertanian
yang diwakili oleh subsektor tanaman bahan makanan sangatlah penting.
Subsektor tanaman bahan makanan ini merupakan subsektor pertanian yang
paling berkembang dari aspek produksi di Kabupaten Majalengka. Hal ini bisa
dilihat dari sumbangannya yang paling besar terhadap PDRB diantara subsektor-
subsektor pertanian lainnya. Tetapi seberapa besar kekuatan subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka mampu mengatasi isu tersebut dan
meningkatkan perekonomian Kabupaten Majalengka belum diketahui. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui kondisi dan potensi subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka, peran subsektor ini terhadap
perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka serta prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Upaya-upaya ini
perlu dilakukan dalam rangka memacu pertumbuhan subsektor ini.
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang
adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat
adanya kemajuan pembangunan suatu wilayah. Tidak semua sektor dalam
perekonomian wilayah memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Kemampuan
suatu sektor untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Salah satu
indikasi yang biasa digunakan untuk mengetahui potensi suatu sektor dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengetahui keberadaan sektor
basis. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan wilayah perlu
memanfaatkan keberadaan sektor-sektor basis ini.
Sektor pembangunan yang strategis dapat dilihat dari besarnya peran dan
sumbangannya dalam perekonomian, serta kuatnya keterkaitan secara sektoral
8

maupun spasial dalam suatu wilayah. Setiap sektor memiliki keterkaitan ke


belakang maupun ke depan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
sektor-sektor perekonomian lainnya. Semakin kuat keterkaitan suatu sektor
dengan sektor-sektor lainnya akan semakin besar pula pengaruhnya dalam
perekonomian suatu wilayah. Oleh karena itu, untuk mengetahui peran dan
sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah serta
keterkaitannya dengan sektor lain perlu dilakukan analisis sehingga dapat
menyusun arahan pembangunan yang akurat.
Paradigma pembangunan yang berkembang saat ini adalah pembangunan
yang melibatkan partisipasi dari stakeholder dalam proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan, stakeholder yang dimaksud adalah
masyarakat petani, pemerintah daerah dan pihak swasta. Keterlibatan seluruh
stakeholder dalam setiap proses pembangunan diharapkan akan lebih menjamin
pembangunan berjalan dengan baik, lancar dan aspiratif. Oleh karena itu, dalam
menyusun rencana pembangunan subsektor tanaman bahan makanan, pendapat
dan persepsi seluruh stakeholder yang terlibat harus diketahui.
Dalam rangka menjadikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi
sektor strategis di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menjawab isu-isu
pembangunan bidang ekonomi seperti yang tertuang dalam dokumen RPJMD
maka perlu dilakukan kajian mengenai kondisi potensi dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, peran subsektor
tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka serta hal-hal apa saja yang perlu menjadi prioritas dalam
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Hasil
analisis terhadap kondisi, potensi, daya saing, peran serta persepsi stakeholder
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menyusun arahan pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.
9

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
saat ini di Kabupaten Majalengka.
2. Mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan saat ini dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka.
4. Mengetahui prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka.
5. Merumuskan arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Gambaran dan informasi mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian di Kabupaten Majalengka dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan perekonomian
wilayah;
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan
wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.

1.5. Kerangka Pemikiran


Perkembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh perkembangan
aktivitas-aktivitas ekonominya. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer
input dan output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Peningkatan
perekonomian wilayah dapat dilakukan melalui integrasi berbagai sektor ekonomi
yang ada dalam wilayah serta dengan memberdayakan sumberdaya lokal yang ada
dalam wilayah itu sendiri.
Setiap wilayah mempunyai sumberdaya yang berbeda-beda, baik jenis,
kualitas maupun kuantitasnya. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu
10

wilayah menyebabkan diperlukan adanya skala prioritas dalam perencanaan


pembangunan. Skala prioritas ditetapkan berdasarkan sifat strategis suatu sektor
di suatu wilayah. Suatu sektor yang bersifat strategis ditunjukkan dengan besarnya
sumbangan sektor tersebut terhadap perekonomian suatu wilayah. Perkembangan
sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang
signifikan terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya (Rustiadi et al. 2009).
Subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan
subsektor yang strategis karena menyumbangkan 23,80% terhadap total PDRB
Kabupaten Majalengka. Kondisi geografi, topografi dan iklim yang dimiliki oleh
Kabupaten Majalengka sangat mendukung untuk pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan. Topografi Kabupaten Majalengka yang memiliki
dataran rendah dan dataran tinggi memungkinkan untuk pengembangan berbagai
jenis komoditas pertanian. Potensi sumberdaya alam ini harus dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan perekonomian wilayah sehingga diharapkan terjadi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Peranan dan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pembangunan harus dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan. Dalam
perencanaan pengembangannya perlu memperhatikan kondisi, potensi dan daya
saing subsektor tanaman bahan makanan serta keberadaan komoditas-komoditas
unggulan yang memiliki peluang untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, diperlukan pula keterkaitan antar sektor yang kuat. Keterkaitan antar sektor
dapat berupa keterkaitan ke belakang dan ke depan serta efek pengganda atau
multiplier effect.
Keterkaitan antar sektor menjadi penting dalam pengembangan wilayah
karena pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan sektoral dilaksanakan dalam
kerangka pembangunan wilayah. Menurut Todaro (2000) dalam Rustiadi et al.
(2009) pembangunan wilayah harus memenuhi tiga komponen dasar yaitu
kecukupan memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-
esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
11

Dengan demikian pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di


Kabupaten Majalengka perlu dikaji untuk mengetahui seberapa besar dan
bagaimana peranannya dalam pembangunan Kabupaten Majalengka. Hal ini
penting agar upaya pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dapat
diarahkan untuk mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki sehingga mampu
meningkatkan daya saing komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan (tanaman pangan dan hortikultura) yang pada akhirnya diharapkan dapat
mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Adapun kerangka berfikir
penelitian disajikan pada Gambar 1.

Kegiatan Pembangunan
Sektor-sektor
Perekonomian

Kondisi dan Potensi Daya Saing


Subsektor Tanaman Bahan Peran Subsektor Tanaman
Makanan Pembangunan
Subsektor Tanaman Bahan Bahan Makanan
- Sektor Basis dan Shift Share - Keterkaitan Antar Sektor
- Komoditas Basis dan Shift Makanan Sekarang
- Multiplier Effect
Share

Komoditas Unggulan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Prioritas Pembangunan
Persepsi Stakeholders
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Peta Arahan
Pengembangan Interpretasi
Komoditas Unggulan

Arahan Pembangunan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


12

1.6. Pengertian/Definisi
1. Komoditas Unggulan adalah komoditas yang mampu bersaing dengan
produk sejenis dari wilayah lain. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam
Hendayana (2003) dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan
kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Dalam penelitian ini
komoditas unggulan ditetapkan dengan menggunakan metode LQ dan SSA
serta analisis input-output.
2. Kawasan Andalan adalah bagian dari kawasan budidaya baik di ruang darat
maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 pasal 1).
3. Sektor Strategis adalah sektor yang memiliki sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial (Rustiadi, et al. 2009).
4. Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan
suatu sektor/komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditas
yang sama pada wilayah lainnya.
5. Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu
wilayah. Metode LQ dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif suatu sektor.
6. Shift Share Analysis (SSA) adalah tehnik analisis yang digunakan untuk
melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah
agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektoral di wilayah tersebut.
7. Evaluasi Kesesuaian Lahan adalah proses untuk menduga potensi
sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya dengan membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
karakteristik lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Sitorus, 2004).
8. Evaluasi Ketersediaan Lahan : proses evaluasi untuk menentukan luas lahan
yang sesuai dan tersedia untuk suatu penggunaan lahan yang akan diterapkan.
Evaluasi ketersediaan dilakukan dengan mengurangi luas keseluruhan lahan
13

yang sesuai dengan luas lahan yang sesuai tetapi tidak dapat digunakan
karena telah dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data
penggunaan lahan (landuse) serta tidak sesuai dengan arahan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka.
14
15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Wilayah


Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan
dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan
wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai
cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan
wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu,
pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu
unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun
pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009).
Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan
pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan
karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan
geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat
tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial
budaya dan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan
sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan
sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output
industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti
terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis
(Rustiadi et al., 2009).
16

Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat


dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan
regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada
sektor-sektor kegiatan yang ada di suatu wilayah. Pendekatan ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam.
Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi
berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan
wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap
pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy.
Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama
diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang
berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari
komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand
side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui
peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi
lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong
berkembangnya sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih
mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009).
Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan
potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah
perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala
prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki
sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian
sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2)
setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan
karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak
17

merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan
ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan
suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada
peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke
depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu
bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu
tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak
rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan
yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu,
investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah
dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan
wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006)
Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya
pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan
dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18

pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan


kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan
hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang
bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang
dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001).

2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan


Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor
yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada
kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan
sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor
pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti
industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan
dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor
pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang
berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang
rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang
berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan
sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk
dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta
mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar
wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang
menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri
berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau
implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-
19

Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi


dan disparitas ekonomi antar wilayah.
Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi
basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik
dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan
ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa
faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha,
sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan
sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu
wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan
masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku
industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber
perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan;
(7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup
(Harianto, 2007).
Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan
ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut
Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu :
(1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam
melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan
agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan
sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija
dan hortikultura.
Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi
cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini
belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik.
Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor
pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung
20

memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor
pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan
produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang
berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing
dengan produk-produk pertanian dari luar.
Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih
menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran,
sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah
dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja
sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan
berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah
menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input
produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya
pembangunan sektor pertanian.
Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian
menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya
ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga
yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam
penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan
menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu,
pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement).
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang
besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB
suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling
banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21

2.3. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah
daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun
kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah,
setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas
yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki
keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang
(Tarigan, 2008).
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan
merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak
perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan
ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian
daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk
mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi.
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan
memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi
sebagai mesin ekonomi lokal.
Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang
terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya
mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan
barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah
sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya
melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum
berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah
metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam
22

cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu
dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan
secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah
keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap
sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan
komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal.
Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan
didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan
komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient
(LQ).
23

Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif


perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting
untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu
menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal
tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau
tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang
berdekatan dalam sistem wilayah.
Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor
atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu
wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu
wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu
wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu
mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif.
Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan
wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah
tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruh-
pengaruh faktor eksternal.
Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja
suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab
pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :
1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini
menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah
yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional).
Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah
agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total
dalam wilayah.
3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini
menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.
24

Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu


sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di
sub wilayah lain
Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor
atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk
mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang
dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja
sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data
yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi
digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas
aktual dari aktivitas produksi. Data produktivitas digunakan untuk
mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari
aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010).
Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia
akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara
akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Bila produk yang diperdagangkan bersifat
komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat
perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan
bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan
tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain (Saragih, 2010).
Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat
digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas
tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan
untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan
tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi
pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui
pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.
25

Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat
diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen.
Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian
dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan
manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses
sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para
pelaku agribisnis.

2.4. Keterkaitan Sektor


Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan
pengembangan wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang melalui
berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong
berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan
berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu
sistem keterkaitan antar sektor.
Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan
wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang
terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang
dan jasa antara sektor yang sangat dinamis.
Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur
ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta
keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input–Output (I-O). Tabel
input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang
menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan
antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian
di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu.
Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya
menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris
menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh
suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan
26

memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input


yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya.
Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan
dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga,
pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor
produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja,
pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan
penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan
import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai
sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka
terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010).
Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena
model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut :
(1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya
memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur
input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi.
(2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses
produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau
berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output
tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang
sebanding.
(3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai
sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masing-
masing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output
semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009).
Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan
antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen
tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses
produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi
ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki
keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan
komprehensif (BPS, 2000).
27

Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan


mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain:
(1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau
regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari
ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan
besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan
sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik
yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan
secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif
dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik.
Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh
lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis I-
O antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2)
data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis.
Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis
I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi
suatu wilayah secara terintegrasi.
Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan
daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai
merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran
sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait
dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan
pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap
perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang
besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak
pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana
sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka,
model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.
28

2.5. Komoditas Unggulan


Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah
awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk
meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era
perdagangan bebas.
Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah
menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi
penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan
dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi
dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan
komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional.
Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya
yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi
berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan
ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah
menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas
tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang
dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif
dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga
berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah.
Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan
memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan
nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi
kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar
yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5)
memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6)
dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008).
Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan
adalah sebagai berikut :
29

1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan


perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat
memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,
pendapatan dan pengeluaran.
2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward
linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas
lainnya.
3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di
pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya
produksi dan kualitas pelayanan.
4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal
pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku.
5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama
melalui inovasi teknologi.
6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala
produksinya.
7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran
(increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau
penurunan (decreasing).
8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.
9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya
keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas
insentif/disinsentif dan lain-lain.
10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan.

2.6. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah


Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan
sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi
menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan
datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat
dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana
30

segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong
terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi
faktor kendala pembangunan.
Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan
masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus
mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya
masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam
rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan
melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan
memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal
di wilayah lokal tersebut.
Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan
pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan
pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu
daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih
dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian,
perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan
pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih
terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam
perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).
Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting
dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih
tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31

ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan
ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat
pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral.
Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta
keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti
jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil
sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi
agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis-
bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi.
Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam
pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.
Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan
pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan
membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah
diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk-
produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung
memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang
akan datang (Anugrah, 2003).
Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang
potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis
hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan
kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas
pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang
mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui
AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008).
Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32

alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan
sektor pertanian.
Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu
utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi
tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung
pengembangan wilayah.
Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya
dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi
konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif
kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih
karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana
aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif
yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi
sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki
fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks
yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang
tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian
dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)
33

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak pada koordinat 60 36’ - 70 03’ Lintang Selatan dan 1080
03’ - 1080 25’ Bujur Timur. Kabupaten Majalengka memiliki 26 kecamatan
dengan luas wilayah sebesar 120.424 ha. Lokasi penelitian secara spasial dapat
dilihat pada Gambar 2.
Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis
dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan Januari 2012

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Jenis Data dan Tehnik Penarikan Contoh (Sampling Tehnique)


Jenis data terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari berbagai literatur dan dari Dinas Pertanian dan Perikanan
Kabupaten Majalengka, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat,
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka, Badan Pusat
34

Statistik Kab. Majalengka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat serta data-
data lain dari instansi terkait.
Data sekunder tersebut meliputi data PDRB Kabupaten/Kota per sektor se-
Jawa Barat Tahun 2005 dan 2009, data luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon komoditas pertanian Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Tahun 2005
dan 2009, Peta tanah, Landsystem, RTRW Kab. Majalengka, tabel input-output
Kabupaten Ciamis tahun 2008, data harga komoditas tanaman bahan makanan.
Data primer meliputi data hasil kuisioner dari para responden. Data primer
diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Responden yang dimaksud adalah seluruh stakeholder
yang terlibat dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka yang terdiri dari : unsur-unsur pemerintah daerah meliputi
Bappeda, Dinas Pertanian dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (BP4K), bagian pembangunan dan bagian
perekonomian Setda Kabupaten Majalengka, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya,
dan Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan
(KUKMPERINDAG); unsur perbankan diwakili oleh Bank Rakyat Indonesia
(BRI); unsur masyarakat meliputi petani dan tokoh tani; unsur swasta meliputi
para pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian subsektor tanaman bahan makanan. Rincian lengkap mengenai
responden disajikan pada Tabel 3. Tehnik sampling yang dipakai untuk
menentukan responden adalah purposive sampling dengan jumlah responden
keseluruhan sebanyak 21 orang. Pada prinsipnya responden dipilih sedemikian
rupa yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan sektor
pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
(expert). Responden diminta pendapatnya mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan melalui metode Analitycal Hierarchy Process
(AHP) yang memiliki struktur hierarki terdiri dari 4 level. Pada level 2, responden
yang digunakan sebanyak 18 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur
pemerintahan, 5 orang dari tokoh tani dan 5 orang dari unsur swasta. Adapun pada
level 3 dan 4 digunakan responden sebanyak 21 orang. Tambahan 3 responden
35

merupakan perwakilan dari petani untuk komoditas padi dan kedelai 1 orang,
jagung 1 orang dan mangga 1 orang. Tujuan, jenis, sumber data, cara
pengumpulan, analisis data serta output yang diharapkan, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Rincian Data Calon Responden


No. Asal Responden Jumlah (orang)
1. Unsur Pemerintah :
a. Bappeda Kabupaten Majalengka 1
b. Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka 1
c. BP4K Kabupaten Majalengka 1
d. Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Majalengka 1
e. Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Majalengka 1
f. Dinas Bina Marga dan Cipta Karya 1
g. Dinas KUKMPERINDAG 1
h. BRI 1
2. Unsur Masyarakat
Petani dan Tokoh Tani 8
3. Unsur Swasta
Pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan 5
pemasaran hasil pertanian
Jumlah Responden 21

3.3. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder dan
primer. Data sekunder meliputi data berbentuk laporan tercetak dan laporan
digital yang merupakan data tabular maupun peta-peta Kabupaten Majalengka.
Data primer merupakan data hasil kuesioner dan wawancara di lapangan. Alat
analisis yang digunakan terdiri dari beberapa software, diantaranya adalah
software GAMS, ArcGis 9.3, dan Microsoft Office program Excel.
36

36
Tabel 4. Tujuan, Jenis , Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang diharapkan
Teknik
No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Output yang diharapkan
Analisis Data
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini.

a. Mengetahui kondisi dan Data PDRB per sektor BPS LQ, SSA Kondisi dan potensi daya
potensi daya saing subsektor Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 saing subsektor tanaman
tanaman bahan makanan Kab. dan 2009 bahan makanan Kab.
Majalengka di wilayah Prop. Majalengka saat ini di
Jabar Wilayah Prop. Jabar
b. Mengetahui komoditas Data luas tanam, luas panen Dinas Tanaman Pangan LQ, SSA Potensi komoditas
subsektor tanaman bahan produksi dan jumlah pohon Prop. Jabar subsektor tanaman bahan
makanan Kab. Majalengka komoditas subsektor tanaman makanan Unggulan
yang menjadi basis dan bahan makanan Kab./Kota di Kabupaten Majalengka di
memiliki keunggulan Jabar Tahun 2005 dan 2009 wilayah Prop. Jabar
komparatif & kompetitif
2. Mengetahui peran subsektor Tabel Input-Ouput Kabupaten BPS, Dinas Pertanian dan Analisis Input- Backward/Fordward
tanaman bahan makanan Majalengka 2009 (hasil RAS Perikanan Kab. Majalengka Output Linkage, Multiplier Effect.
dari Tabel I-O Ciamis 2008),
PDRB Kab. Majalengka Tahun
2009, Harga Komoditas
Tanaman Bahan Makanan.
3. Mengetahui komoditas ungulan Nilai LQ, SSA , keterkaitan Hasil analisis LQ, SSA dan Komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan antar sektor dan multiplier effect tabel input-output subsektor tanaman bahan
makanan komoditas makanan
4. Mengetahui prioritas Kuesioner Pendapat responden AHP Persepsi Stakeholder
pembangunan subsektor tentang prioritas
tanaman bahan makanan pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan
5. Menyusun arahan pembangunan Data komoditas unggulan, peta Hasil analisis potensi dan Deskriptif dan Arahan pengembangan
subsektor tanaman bahan Tanah 1:250.000, landsystem kondisi sektor pertanian sintesis hasil subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan 1:250.000, RTRW, Landuse, saat ini, hasil analisis analisis makanan dalam
wilayah keterkaitan antar sektor dan Input-Output Balai Besar pengembangan wilayah
multiplier effect komoditas Sumberdaya Lahan,
tanaman bahan makanan. Bappeda Kab. Majalengka
37

3.4. Bagan Alir Penelitian


Penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa permasalahan, yaitu : 1).
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini, yang
meliputi analisis basis ekonomi subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-
komoditas subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa
Barat, 2). Peran subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dalam
perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka yang meliputi keterkaitan
komoditas-komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya serta
multiplier effect yang ditimbulkannya dan 3). Menentukan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan hasil analisis LQ, SSA dan analisis
tabel input-output, 4). Persepsi stakeholder mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan
makanan Kabupaten Majalengka saat ini, dilakukan dengan menggunakan metode
analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Pertama, analisis LQ
dan SSA dilakukan untuk mengetahui posisi dan potensi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor-sektor
perekonomian lainnya di cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini sektor-sektor
perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan
menggunakan data PDRB Kabupaten/Kota per sektor Tahun 2009 untuk analisis LQ,
sedangkan analisis SSA menggunakan dua titik tahun yaitu tahun 2005 dan 2009.
Kedua, analisis LQ dan SSA dilakukan untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi basis Kabupaten Majalengka
apabila dibandingkan dengan komoditas-komoditas yang dimiliki oleh Kab./Kota
lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan menggunakan
data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman pangan dan
sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas buah-buahan.
Untuk analisis yang kedua ini juga dilakukan dengan menggunakan data Tahun 2009
38

untuk analisis LQ serta data tahun 2005 dan tahun 2009 untuk analisis SSA. Hasil
analisis LQ dan SSA merupakan indikasi keunggulan dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian dan komoditas-komoditas
sebsektor tanaman bahan makanan lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat.
Keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkan terhadap ouput, total
nilai tambah, pendapatan dan pajak dianalisis dengan menggunakan tabel input-
output Kabupaten Majalengka. Tabel input-output Kabupaten Majalengka diperoleh
dengan metode RAS dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Analisis
keterkaitan antar sektor dan nilai multiplier effect ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian
wilayah di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
menjadi unggulan Kabupaten Majalengka, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil
analisis potensi dan kondisi serta hasil analisis keterkaitan dan multiplier effect
komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Persepsi para stakeholder mengenai
prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diidentifikasi dengan
menggunakan kuesioner dan hasilnya dianalisis dengan metode AHP.
Selanjutnya dari hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan saat ini, hasil analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dalam
perekonomian wilayah, analisis komoditas unggulan dan hasil analisis persepsi
stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka akan disusun untuk memberikan informasi dan arahan bagi
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk memberikan arahan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan secara spasial ditambahkan pula informasi
mengenai kesesuaian lahan sebagai arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan. Adapun tahapan pelaksanaan dari penelitian ini
dapat dilihat dalam bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 3.
39

Tabel input –output Kab. Ciamis Tahun Luas Panen, Persepsi


PDRB per sektor Luas Tanam/Luas 2008, Data PDRB Kab. Majalengka Produksi Stakeholder
Kab/Kota Panen/Produksi Komoditas Tahun 2009
di Jabar Tabama Kab/Kota di Jabar
Metode RAS
AHP
Analisis Analisis
LQ dan SSA LQ dan SSA
Tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Kondisi dan Potensi daya saing Potensi Komoditas Subsektor
Subsektor Tabama Kab. Tabama Unggulan Kabupaten
Majalengka di wilayah Jabar Majalengka
Analisis Tabel Input-
output
Kondisi dan Potensi Subsektor serta Komoditas Tabama
Peran, Keterkaitan Komoditas
Subsektor Tabama dengan sektor
Peta Tanah dan Peta lain dan Multiplier effect
Landsystem, RTRW, Landuse

Komoditas Unggulan Subsektor Tabama


Peta Kesesuaian Lahan Dan
Ketersediaan Lahan

Prioritas Pembangunan
Peta Arahan Pengembangan Subsektor Tabama
Komoditas Unggulan

ARAHAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KAB. MAJALENGKA

Gambar 3. Bagan alir penelitian.

39
40

3.5. Teknik Analisis Data


Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan
tujuan penelitian adalah : analisis LQ dan SSA untuk mengetahui kondisi dan
potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
saat ini; analisis Input-Output untuk mengetahui peran subsektor tanaman bahan
makanan yang meliputi keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman
bahan makanan dengan sektor-sektor lain serta multiplier effectnya; Analytical
Hierarcy Process (AHP) digunakan untuk mengetahui prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dan hasil ketiganya
digunakan untuk menyusun arahan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.

3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan
Makanan
Analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan metode LQ dan SSA. Metode ini dilakukan untuk mengetahui
sektor basis, keunggulan komparatif dan kompetitif subsektor tanaman bahan
makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan
dengan cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini kabupaten/kota yang ada
di Jawa Barat. Hasil analisis ini menunjukkan indikasi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya yang dimiliki Kabupaten
Majalengka dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Jawa Barat.

3.5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau
non basis pada suatu wilayah perencanaan sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan atau mengidentifikasi
keunggulan komparatif suatu sektor/komoditas di suatu wilayah. Metode analisis
LQ pada penelitian ini. menggunakan data PDRB per sektor dan data luas tanam,
luas panen serta produksi untuk komoditas tanaman pangan dan sayur-sayuran,
sedangkan untuk tanaman buah-buahan menggunakan data jumlah pohon dan
produksi. Analisis dilakukan terhadap seluruh komoditas subsektor tanaman
41

bahan makanan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Metode LQ dirumuskan


sebagai berikut :

LQ X IJ
/ X I.
IJ
X .J
/ X ..

Dimana :
LQij : Indeks kuosien lokasi kabupaten i untuk sektor/komoditas j.
Xij : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi masing-masing
sektor/komoditas j di kabupaten i.
Xi. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total di kabupaten i.
X.j : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total sektor/komoditas j
di Jawa Barat.
X.. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total seluruh sektor/
komoditas di Jawa Barat.

Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis/keunggulan


komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka sektor tersebut merupakan sektor basis/unggulan, sedangkan apabila
nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke
dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka.

3.5.1.2. Shift Share Analysis (SSA)


Shift Share Analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami
pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan
suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga
menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di
suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah
tertentu.
Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis,
yaitu :
1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen regional share). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
42

2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen


ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang
menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut
dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
(keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah
tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan SSA adalah
sebagai berikut :

X .. ( t1) X . j ( t1) X ..
( t1) X ij ( t1) X . j ( t1)
SSA 1
X .. (t 0) X . j (t 0) X ..
(t 0) X ij ( t 0 ) X . j (t 0)
a b c
dimana :
a : Komponen share
b : Komponen proportional shift
c : Komponen differential shift, dan
X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah
X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
t1 : Titik tahun akhir
t0 : Titik tahun awal

Metode SSA yang dilakukan dalam penelitian ini hanya mengambil


komponen differential shift. Hal ini dilakukan karena ingin benar-benar melihat
tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan
pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah tanpa ada pengaruh dari
pertumbuhan total wilayah (regional share) maupun pertumbuhan sektoral
(proportional shift).

3.5.2. Analisis Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dilakukan dengan
menggunakan analisis Input-Output (I-O). Analisis input-output secara teknis
43

dapat menjelaskan karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan


dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian
wilayah. Selain itu, analisis input-output dapat digunakan untuk menentukan
sektor/komoditas unggulan pada perekonomian Kabupaten Majalengka.
Tabel input-output yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel input-
output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 sebanyak 28x28 sektor yang
diturunkan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 sebanyak 45x45
sektor. Asumsi yang digunakan adalah bahwa terdapat kemiripan struktur
ekonomi antara Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Ciamis sebagai
Kabupaten tetangga.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan tabel input-output Kabupaten
Majalengka 2009 dari Tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 adalah dengan
metode RAS. Untuk melakukan RAS, tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008
(45x45) sektor diagregasi terlebih dahulu menjadi 28x28 sektor. Proses agregasi
dilakukan untuk menyesuaikan jumlah sektor yang terdapat dalam tabel input-
output Kabupaten Ciamis 2008 dengan jumlah klasifikasi sektor (lapangan usaha)
yang terdapat pada data PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009.
Untuk menguraikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi beberapa
komoditas, yaitu : padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran, sesuai
dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 diperlukan data PDRB masing-
masing komoditas tersebut. Data PDRB masing-masing komoditas tersebut
diperoleh berdasarkan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga (di
tingkat petani) komoditas tanaman bahan makanan yang kemudian diproporsikan
terhadap data PDRB subsektor tanaman bahan makanan. Untuk komoditas
tanaman pangan, buah-buahan dan sayura-sayuran lainnya yang memiliki share
kecil terhadap PDRB subsektor tanaman bahan makanan ditampilkan dalam
bentuk komoditas bahan makanan lainnya. Sektor-sektor perekonomian hasil
agregasi dan penyesuaian dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008,
yang akan digunakan menjadi sektor-sektor dalam Tabel I-O Kabupaten
Majalengka tahun 2009 ditampilkan pada Tabel 5.
44

Tabel 5 Sektor-sektor Perekonomian Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun


2009 (28 sektor)
Kode Kode
Sektor Sektor
I-O I-O
1 Padi 15 Bangunan
2 Jagung 16 Perdagangan Besar dan Eceran
3 Ubi Kayu 17 Hotel
4 Buah-buahan 18 Restoran
5 Sayur-sayuran 19 Angkutan Jalan Raya
6 Bahan Makanan Lainnya 20 Jasa Penunjang Angkutan
7 Tanaman Perkebunan 21 Komunikasi
8 Peternakan dan Hasil-hasilnya 22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
9 Kehutanan 23 Sewa Bangunan
10 Perikanan 24 Jasa Perusahaan
11 Pertambangan dan Penggalian 25 Pemerintahan Umum dan Pertahanan
12 Industri Pengolahan 26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
13 Listrik 27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
14 Air Bersih 28 Jasa Perorangan dan Rumah Tangga
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Untuk melakukan metode RAS, diperlukan data PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009, total input Kabupaten Majalengka 2009 dan matriks
koefisien teknologi tabel input-output dasar (tabel input-output Kabupaten Ciamis
2008). Data-data tersebut merupakan data yang telah diagregasi menjadi 28
sektor. Matriks koefisien teknologi digunakan untuk menduga tabel input-output
Kabupaten Majalengka tahun 2009 yang berukuran 28x28 sektor. Total input
Kabupaten Majalengka 2009 diduga dengan nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 berdasarkan proporsi dari total input Kabupaten Ciamis
2008 dengan PDRB sektoral Kabupaten Ciamis 2008.
Selain itu, diperlukan pula data total impor, total PDRB dan total
permintaan akhir Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Data total impor
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diperoleh dari hasil analisis LQ terhadap
PDRB sektoral Kabupaten Majalengka dengan PDRB sektoral Jawa Barat.
Asumsi yang digunakan adalah jika nilai LQ lebih besar dari satu menunjukkan
surplus sektor i dalam arti beberapa produknya dapat diekspor ke daerah lain.
Sebaliknya, jika nilai LQ kurang dari satu maka produknya harus didatangkan
(diimpor) dari daerah lain. Adapun data total permintaan akhir diperoleh dari
penjumlahan nilai total PDRB sektoral dengan total impor Kabupaten majalengka
45

Tahun 2009. Selanjutnya, setelah data-data tersebut sudah tersedia maka siap di
RAS dengan menggunakan software GAMS dengan prinsip iterasi. Tahapan
metode RAS ditampilkan pada Gambar 4.

Proses Agregasi Matriks Koefisien


Tabel Input Output
menjadi Tabel Input Teknis Tabel Input
Kabupaten Ciamis
Output Kabupaten Output Kabupaten
Tahun 2008
Ciamis Tahun 2008 Ciamis Tahun 2008
(45X45 sektor)
(28X28 sektor) (28X28 sektor)

Kabupaten Majalengka 2009 (28X28 sektor)

 PDRB Kab. Majalengka 2009


 Total input dugaan Kab. Majalengka 2009
Metode RAS
berdasarkan proporsi Data PDRB dan Total
Input Kabupaten Ciamis 2008
 Data total impor
 Data Permintaan Akhir

Tabel Input Output


Kabupaten
Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari Majalengka Tahun
Sumunaringtyas 2010 2009
(28X28 sektor)

Gambar 4. Tahapan metode RAS

Hasil dari metode RAS adalah tabel input-output Kabupaten Majalengka


Tahun 2009. Data yang diperoleh secara langsung dari hasil metode RAS adalah
input antara masing-masing sektor (tabel I-O kuadran I), total input/output 28
sektor, total impor 28 sektor dan permintaan akhir 28 sektor. Untuk mendetilkan
data input primer (nilai tambah) menjadi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan
dan pajak tak langsung maka didekati dengan nilai proporsi upah dan gaji, surplus
usaha, penyusutan dan pajak tak langsung terhadap total input primer (nilai
tambah) dari tabel input-output dasar (Tabel I-O Kabupaten Ciamis 2008).
Struktur dasar tabel input-output wilayah digambarkan pada Tabel 6.
46

Tabel 6. Struktur Dasar Tabel Input-Output


Output Permintaan Internal Wilayah Permintaan
Eksternal Total
Input Permintaan Antara Permintaan Akhir Wilayah Output
1 2 … j … n C G I E
1 X11 … … X1j … X1n C1 G1 I1 E1 X1
2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2
Input Antara
Input Internal Wilayah

: … … … … … … … … … … …
i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi
: … … … … … … … … … … …
n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn
W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W
Tambah
Nilai

T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T
S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S
Input
Eksternal M M1 … … … … Mn CM GM IM - M
Wilayah
Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X
Sumber : Rustiadi et al. 2009.

Keterangan :
ij : sektor ekonomi
Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Xi : total output sektor i
Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama
dengan total input
Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap
output sektor i
Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor
i; output sektor i yang menjadi barang modal
Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke
luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i
Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)
Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah
sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga
yang bekerja di sektor j
Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai
tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha
47

Mj : impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli


dari luar wilayah

Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O adalah analisis keterkaitan


antar sektor dan angka pengganda sektoral (multiplier effect). Analisis ini
dilakukan berdasarkan hasil perhitungan koefisien teknis (matriks A) dan invers
matriks Leontief (matriks B) yang diperoleh dari perhitungan tabel I-O.
Selanjutnya matrik tersebut diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai
keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier). Koefisien teknologi
sebagai parameter yang paling utama dalam analisis I-O secara matematis
diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

X ij
aij atau X ij aij .X j
X j

di mana :
aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
( atau disebut pula sebagai koefisien input.

Beberapa parameter teknis yang diperoleh melalui analisis I-O adalah :


1. Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) (Bj) yang
menunjukkan efek permintaan sektor pertanian terhadap perubahan tingkat
produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut
secara langsung. Kaitan langsung ke belakang secara matematis dirumuskan
n
sebagai berikut :
Bj aij
i

untuk mengukur secara relatif (perbandingan dengan sektor lainnya) terdapat


ukuran normalized B *j yang merupakan rasio antar kaitan langsung ke
belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya
yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

Bj n.B j
B*j i
n Bj Bj
j j
48

2. Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) (Fi) yang menunjukkan


banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh sektor-sektor lain.
Kaitan langsung ke depan (Fi) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

n xij
Fi aij
j xj j

Sementara itu, Normalized Fi atau Fi * dirumuskan sebagai berikut :

Fi nFi
Fi* 1
n Fi Fi
i i

3. Kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage)


( ) yang menunjukkan pengaruh tidak langsung dari kenaikan permintaan

akhir satu unit sektor pertanian yang dapat meningkatkan total output seluruh
sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
n
BL j bij
i

di mana bij adalah elemen-elemen matriks B atau (I-A)-1 yang merupakan


matriks Leontief.
4. Kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect foreward linkage)
(FLi), yaitu peranan sektor pertanian dapat memenuhi permintaan akhir dari
seluruh sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :

FLi bij
j

5. Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran (backward power of


dispersion) (βj) menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir sektor
pertanian dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor
perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :

bij n bij
i i
j 1
n
bij bij
i j i j
49

6. Kepekaan terhadap signal pasar permintaan akhir atau indeks daya kepekaan
(foreward power of dispersion) ( .i) menunjukkan sumbangan relatif sektor
pertanian dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor
perekonomian yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

bij
j
i 1
n bij
i j

7. Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan


tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir sektor pertanian sebesar
satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. Jenis-
jenis multiplier diantaranya dijabarkan dengan rumus sebagai berikut :
a. Output multiplier, merupakan dampak meningkatnya permintaan akhir
suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah yang
diformulasikan sebagai berikut :

X (I A) 1.F d

b. Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak


meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB.
Diasumsikan Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB berhubungan
dengan output secara linier yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

V vˆ. X
dimana V : matriks NTB
v̂ : matriks diagonal koefisien NTB
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

c. Income multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu


sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah
secara keseluruhan. Income multiplier dapat dihitung dengan rumus :

W ˆ .X
w
50

dimana W : matriks income


ŵ : matriks diagonal koefisien income
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

d. Tax multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor


terhadap peningkatan pajak tak langsung. Tax multiplier dapat dihitung
dengan rumus :

T tˆ. X

dimana T : matriks jumlah tenaga kerja


tˆ : matriks diagonal koefisien Tax
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

Analisis input-output (I-O) memberikan informasi yang penting bagi


perencanaan pembangunan daerah. Hasil analisis input-output yang meliputi
keterkaitan ke depan, keterkaitan ke belakang, keterkaitan ke depan langsung dan
tidak langsung, keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung, indeks daya
penyebaran, indeks daya kepekaan serta multiplier effect dapat memberikan
informasi mengenai keterkaitan antar sektor perekonomian dan potensi dampak
ganda bagi berbagai indikator pembangunan. Oleh karena itu, hasil analisis input-
output dapat digunakan sebagai indikator pengembangan wilayah.
Perkembangan suatu wilayah salah satunya ditentukan oleh perkembangan
aktivitas-aktivitas sektor perekonomiannya. Hasil analisis berbagai nilai
keterkaitan sektor perekonomian dalam analisis input-output dapat menjadi
indikator perkembangan aktivitas perekonomian suatu wilayah yang pada
akhirnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan/pembangunan
suatu wilayah. Selain itu, analisis input-output ini juga dapat memberikan arahan
dalam menetapkan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan wilayah.
Analisis multiplier effect dapat menjadi indikator pengembangan wilayah
karena dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ekonomi suatu wilayah. Misalnya, analisis keterkaitan komoditas-
komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya dapat menjadi
51

indikator pengembangan perekonomian wilayah karena dapat mengetahui


hubungan antar komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor lainnya dan
bagaimana solusi untuk meningkatkan keterkaitan tersebut dalam rangka
meningkatkan perekonomian wilayah. Income multiplier dapat menjadi indikator
pengembangan wilayah karena dapat melihat besarnya peningkatan pendapatan
masyarakat yang berarti terjadinya peningkatan kesejahteraan dan penurunan
kemiskinan. Dengan demikian, hasil analisis keterkaitan antar sektor dan
multiplier effect ini dapat menjawab isu-isu strategis yang disebutkan dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Majalengka khususnya mengenai isu kemiskinan.

3.5.3. Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Analisis komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan dilakukan
secara deskriptif berdasarkan hasil analisis kondisi, potensi daya saing dan peran
subsektor tanamaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka yang telah
dilakukan pada tahap sebelumnya.
Penetapan komoditas unggulan dilakukan dengan menganalisis potensi
komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso
dan mikro. Pada level makro dilakukan sintesis dari hasil analisis LQ dan SSA
(differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat. Dari
hasil sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan komoditas basis serta memiliki keunggulan secara
komparatif dan kompetitif dari berbagai aspek yang dinilai yaitu luas tanam, luas
panen, jumlah pohon dan produksi.
Pada level meso dilakukan sintesis dari hasil analisis tabel input-output
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Pada level ini bertujuan untuk melihat
tingkat keterkaitan dan multiplier effect komoditas-komoditas subsektor tanaman
bahan makanan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil
sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas yang memiliki keterkaitan dan
nilai multiplier effect yang lebih besar dibandingkan komoditas subsektor tanaman
52

bahan makanan lainnya. Pada level mikro dilakukan analisis terhadap angka luas
panen dan produksi pada Tahun 2009. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain
itu luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian dari setiap level kriteria tersebut
dilakukan sintesis untuk memilih komoditas yang menjadi unggulan. Dalam
penentuan komoditas unggulan, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok komoditas tanaman pangan, buah-
buahan dan sayuran-sayuran. Komoditas yang akan ditetapkan sebagai komoditas
unggulan adalah komoditas yang memenuhi kriteria unggul di setiap levelnya

3.5.4. Analisis Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan
Analisis prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Pengambilan keputusan atau kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan
model kebijakan karena merupakan sajian sederhana mengenai aspek terpilih dari
situasi problematik didasari atas tujuan-tujuan khusus. Ada beberapa model yang
dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan namun masing-masing model
memfokuskan perhatian pada aspek yang berbeda.
Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah
kebijakan adalah AHP. Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan
dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas
strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Dalam
perkembangannya metode ini tidak saja digunakan untuk penentuan prioritas
pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria) tetapi dalam penerapannya telah
meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam
masalah. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan
cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun
intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan,
pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami
masalah keputusan yang dihadapi.
53

Langkah awal dari proses ini adalah merinci tujuan/permasalahan kedalam


komponen-komponen dan kemudian diatur ke dalam tingkatan-tingkatan hirarki.
Hirarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa set kriteria/elemen,
sehingga diperoleh elemen-elemen spesifik yang mempengaruhi alternatif
pengambilan keputusan.
Setelah hirarki tersusun, langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas
elemen-elemen pada masing-masing tingkatan. Kemudian dibangun set matriks-
matriks perbandingan dari semua elemen pada suatu tingkat hirarki dan
pengaruhnya terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi untuk menentukan
prioritas serta mengkonversi penilaian komparatif individu ke dalam pengukuran
skala rasio. Penentuan tingkat kepentingan pada tiap hirarki dilakukan dengan
teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang menghasilkan
suatu matriks peringkat relatif untuk masing-masing tingkat hirarki.

Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan Kabupaten Majalengka

Padi Jagung Kedelai Mangga Pisang Melinjo

Subsistem Subsistem Subsistem Subsistem Jasa


Agribisnis Hulu Usahatani Agribisnis Hilir Layanan Pendukung

SDM Sapras Kelembagaan

Gambar 5. Struktur hirarki untuk penentuan prioritas pembangunan


subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka

Struktur hirarki yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk


menentukan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Gambaran dari struktur hirarki yang akan diteliti dapat
54

dilihat pada Gambar 5. Struktur hirarki tersusun atas 4 level. Level 1 merupakan
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan di level 2, 3 dan 4. Level 2 merupakan
tahapan untuk menentukan komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan dalam rangka pencapaian tujuan di level 1. Level 3 merupakan
tahapan untuk menentukan subsistem mana yang diprioritaskan untuk mendukung
level 2. Level 4 merupakan tahapan untuk menentukan aspek pendukung mana
yang menjadi prioritas untuk mendukung level 2 dan 3. Faktor-faktor pada level 2,
3 dan 4 dinilai dengan cara perbandingan berpasangan. Misalnya untuk
perbandingan pada level 2 yaitu pemilihan komoditas unggulan, mana yang lebih
penting antara pengembangan komoditas padi dan jagung, antara komoditas padi
dan kedelai, antara komoditas unggulan padi dan mangga dan seterusnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 3 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Subsistem Agribisnis Hulu, menunjukkan kegiatan ekonomi yang
menghasilkan sarana produksi primer dan perdagangan sarana produksi
pertanian seperti industri pembibitan/perbenihan, pupuk, obat-obatan, alat dan
mesin pertanian, dll.
2. Subsistem Usahatani menunjukkan kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer.
3. Subsistem Agribisnis Hilir menunjukkan kegiatan ekonomi yang mengolah
komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan baik berupa
produk intermediate maupun produk akhir beserta kegiatan perdagangannya.
4. Subsistem Jasa Layanan Pendukung, menunjukkan kegiatan yang
menghasilkan dan menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti perbankan,
transportasi, penelitian dan pengembangan, layanan informasi agribisnis,
kebijakan pemerintah, penyuluhan dan konsultasi, dll.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 4 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Faktor SDM menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dari para pelaku
kegiatan pertanian. Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama
aktivitas pertanian meliputi petani, dan pelaku pengolahan serta pemasaran
hasil pertanian.
55

2. Faktor Sarana Prasarana (Sapras) menunjukkan fasilitas pendukung yang


berupa sarana dan prasarana untuk mendukung kelancaran kegiatan
pembangunan pertanian.
3. Faktor Kelembagaan menunjukkan organisasi dan norma-norma yang berlaku
di dalam kegiatan pertanian. Kelembagaan menjadi penting karena dapat
meningkatkan posisi tawar petani.
Untuk memperoleh bobot dari tiap-tiap kriteria AHP digunakan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9. Nilai
bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama
skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut
yang paling absolut dibandingkan yang lainnya. Tabel skala perbandingan
berpasangan menurut Saaty (2008) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Skala Perbandingan Berpasangan


Tingkat
Definisi Penjelasan
Kepentingan
1 Kedua elemen sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang
pentingnya sama besar terhadap tujuannya
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting dari elemen yang lain mendukung satu elemen dibanding elemen
yang lain
5 Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat kuat
penting dari elemen yang lain mendukung satu elemen dibanding yang
lain
7 Elemen yang satu jelas lebih Satu elemen dengan kuat didukung dan
penting dari elemen yang lain dominan terlihat dalam praktek
9 Elemen yang satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen yang satu
penting dari elemen yang lain terhadap elemen yang lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada kompromi
pertimbangan yang berdekatan diantara dua pilihan
Kebalikan Reciprocals Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
bila dibandingkan dengan aktivitas j,
mempunyai nilai kebalikan bila
dibandingkan dengan i
Sumber: Saaty 2008
56

3.5.5. Penyusunan Arahan Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan dalam Pengembangan Wilayah
Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka akan disusun berdasarkan hasil
dari analisis sebelumnya yang meliputi hasil analisis kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan berdasarkan analisis
Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran subsektor
tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis input-
output, analisis penentuan komoditas unggulan serta analisis prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil
analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan
untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk
pengembangan komoditas tersebut.
Analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas unggulan
dilakukan melalui pengolahan peta dengan sistem informasi geografis. Analisis
kesesuaian lahan diperoleh dengan mengolah data peta tanah dan peta landsystem
dengan persyaratan tumbuh masing-masing komoditas unggulan. Kriteria
persyaratan tumbuh mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2003) yang disajikan pada Lampiran
16. 17 dan 18. Kesesuaian lahan ditetapkan pada tingkat ordo. Pada tingkat ordo
kesesuaian lahan dibedakan atas ordo S (Sesuai) dan ordo N (Tidak Sesuai).
Lahan yang tergolong ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka
waktu yang tidak terbatas. Lahan yang tergolong ordo N adalah lahan yang
mempunyai kesulitan atau faktor pembatas/penghambat yang berat sehingga tidak
dapat digunakan untuk tujuan penggunaan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno
dan Widiatmaka, 2007).
Selanjutnya, peta kesesuaian lahan ditumpangtindihkan dengan peta
penggunaan lahan (landuse) dan RTRW untuk mengetahui lokasi-lokasi lahan
yang memiliki kriteria sesuai berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan tersedia
untuk pengembangan suatu komoditas karena belum dialokasikan untuk
penggunaan lain ataupun telah dialokasikan untuk penggunaan lahan pertanian
57

serta telah sesuai dengan arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka.
Evaluasi kesesuaian dan ketersdiaan lahan tersebut digunakan untuk mendapatkan
peta arahan pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dan tersedia. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
arahan pengembangan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gambar 6.

Peta Tanah dan Persyaratan Tumbuh


Landsystem Komoditas Unggulan

Peta Kesesuaian Lahan Peta Landuse


Dan RTRW

Overlay

Peta Lahan Sesuai dan


Tersedia

Gambar 6. Tahapan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan


pengembangan komoditas unggulan

Pertanian bagi penduduk Kabupaten Majalengka memiliki peranan penting


karena selain merupakan salah satu bentuk warisan budaya dari para leluhur juga
merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk, penyedia utama
kebutuhan pangan masyarakat dan industri serta penyeimbang ekosistem
lingkungan hidup. Oleh sebab itu maka pelaksanaan pembangunan pertanian
harus dilaksanakan dengan baik dan terencana.
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Majalengka perlu terus
ditumbuhkembangkan dengan diupayakan fokus pada pengembangan komoditas-
komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif agar mampu
bersaing dengan komoditas-komoditas pertanian dari wilayah lainnya. Dari hasil
analisis kondisi dan potensi sektor pertanian akan disusun arahan jenis-jenis
58

komoditas unggulan dan wilayah-wilayah yang berpotensi untuk pengembangan


komoditas tersebut.
Selain itu kebijakan peningkatan keterkaitan sektor pertanian dengan
sektor-sektor lainnya perlu dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah. Hal
ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al., (2009) yang menyatakan bahwa
keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antara
sektor perekonomian sehingga setiap kegiatan pembangunan sektoral
dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Peran sektor pertanian
dalam pengembangan wilayah juga dapat terlihat dari nilai multiplier effect yang
diciptakan sektor ini, misalnya, multiplier effect pendapatan dapat
menggambarkan peran sektor pertanian dalam peningkatan pendapatan
masyarakat yang dalam hal ini berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat sedangkan multiplier effect tenaga kerja dapat memberikan gambaran
peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja yang berimplikasi terhadap
penurunan tingkat pengangguran. Dari hasil analisis input-output akan disusun
arahan untuk peningkatan peran sektor pertanian dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka.
Paradigma pembangunan ke depan diarahkan sebesar-besarnya kepada
peningkatan peran dan partisipasi masyarakat serta menuntut adanya perubahan
peran pemerintah yaitu semula berperan sebagai pelaku sekarang menjadi
fasilitator, akselerator dan regulator pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka
untuk menentukan prioritas pembangunan sektor pertanian di Kabupaten
Majalengka dilakukan dengan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas maka pembangunan sektor
pertanian di Kabupaten Majalengka perlu diarahkan agar mampu berkontribusi
secara optimal dalam pengembangan wilayah terutama bagi pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
59

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA

4.1. Kondisi Fisik Wilayah


Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Majalengka yang
merupakan wilayah studi adalah kondisi geografi, topografi, tanah dan lahan,
iklim, dan penggunaan lahan. Masing-masing bahasan tersebut diuraikan
tersendiri pada bagian di bawah ini.

4.1.1. Kondisi Geografi


Kabupaten Majalengka merupakan bagian dari wilayah administrasi
Provinsi Jawa Barat dengan Luas wilayah 120.424 Hektar atau sekitar 2,71% luas
wilayah Provinsi Jawa Barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Majalengka ke
Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah ± 91 Kilometer. Secara geografis Kabupaten
Majalengka terletak diantara 60 36’ sampai dengan 70 03’ Lintang Selatan dan
1080 03’ sampai dengan 1080 25’ Bujur Timur. Adapun batas wilayah
administrasinya adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu, sebelah selatan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Tasikmalaya, sebelah barat dengan Kabupaten Sumedang, dan Sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.
Wilayah Kabupaten Majalengka secara administratif terdiri dari 26
kecamatan,13 kelurahan dan 334 desa. Pemekaran wilayah di Kabupaten
Majalengka terjadi pada tahun 2007 yaitu pemekaran kecamatan dan pemekaran
desa. Jumlah kecamatan semula 23 menjadi 26 kecamatan sedangkan jumlah desa
yang semula 318 menjadi 334 desa. Kecamatan yang baru hasil pemekaran yaitu
Kecamatan Kasokandel yang merupakam pemekaran dari Kecamatan Dawuan,
Kecamatan Sindang pemekaran dari Kecamatan Sukahaji dan Kecamatan
Malausma yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantarujeg. Secara spasial
batas administrasi masing-masing Kecamatan di Majalengka dapat dilihat pada
Gambar 7.
60

Gambar 7. Peta administrasi Kabupaten Majalengka

Distribusi luas wilayah tiap kecamatan di Kabupaten Majalengka


disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa luas
wilayah per Kecamatan di Kabupaten Majalengka cenderung merata. Kecamatan
61

yang memiliki luas wilayah paling luas adalah Kecamatan Kertajati sedangkan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadipaten.

Gambar 8. Distribusi luas wilayah per kecamatan (Km2)

4.1.2. Kondisi Topografi


Kondisi topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada
daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta
perbukitan terjal. Kondisi bentang alamnya melandai ke daerah Barat Laut,
menyebabkan aliran sungai dan mata air mengalir ke arah Utara. Sehingga pada
wilayah bagian Utara Kabupaten Majalengka terdapat banyak persawahan.
Perbukitan dengan lereng yang curam terdapat di lereng Gunung Ciremai.
62

Kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka di klasifikasikan kedalam 3


kelas yaitu 0 – 15 %, 15 – 40 % dan > 40 %. Berdasarkan klasifikasi kelas
kemiringan lahan, 13.21 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka mernpunyai
kemiringan lahan di atas 40%, sedangkan kontribusi kelas kemiringan lahan
mayoritas adalah pada kelas kemiringan lahan 0 - 15%, yaitu 82.207 Ha atau
68.26% luas wilayah Kabupaten Majalengka, dan daerah ini merupakan daerah
yang relatif datar (Bappeda Majalengka, 2005). Kondisi topografis ini sangat
berpengaruh pada pemanfaatan ruang dan potensi pengembangan wilayah. Selain
itu juga mengakibatkan terdapatnya daerah yang rawan terhadap gerakan tanah
yaitu daerah yang mempunyai kelerengan curam. Distribusi ketiga bagian
topografi yang ada di Kabupaten Majalengka sebagaimana disebutkan di atas,
adalah sebagai berikut :
1. Dataran rendah, mempunyai kemiringan tanah antara 0 - 15%, yaitu meliputi
kecamatan Cigasong, Jatitujuh, Jatiwangi, Kadipaten, Kertajati, Ligung dan
Palasah.
2. Berbukit Gelombang, kemiringan tanahnya berkisar antara 15% - 40%, yaitu
metiputi Kecamatan Argapura, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing, Cingambul,
Dawuan, Lemahsugih, Maja, Majalengka, Rajagaluh, Sindangwangi,
Sukahaji dan Talaga.
3. Perbukitan Terjal, kemiringan tanahnya lebih dari 40%, sebagian besar
merupakan daerah-daerah di sekitar Gunung Ciremai yaitu meliputi
Kecamatan Agapura, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing, Cingambul,
Lemahsugih, Leuwimunding, Maja, Majalengka, Panyingkiran, Rajagaluh,
Sindangwangi, Sukahaji, Sumberjaya dan Talaga.
Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah Kabupaten Majalengka yang
mempunyai ketinggian di atas 2000 mdpl terletak di sekitar kawasan kaki Gunung
Ciremai. Adapun wilayah yang mempunyai ketinggian 25-100 m dpl
mendominasi pada bagian Utara Kabupaten Majalengka, yang dimanfaatkan
untuk pertanian lahan basah. Sebaran ketinggian wilayah yang lebih rinci
disajikan secara spasial pada Gambar 9.
63

Gambar 9. Peta kelas ketinggian Kabupaten Majalengka

4.1.3. Kondisi Tanah dan Lahan


Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, hewan dan tumbuhan. Jenis tanah memegang peranan penting dalam
menentukan sifat dan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang kegiatan
64

pertanian di suatu daerah. Kemampuan tanah berdasarkan kedalaman efektif tanah


merupakan kondisi dimana tanaman dapat tumbuh karena perakaran tanaman
dapat menembusnya secara vertikal. Kedalaman efektif tanah dipengaruhi oleh
tingkat erosi yang dapat mengakibatkan lapisan atas tanah (top soil) terkikis air ke
tempat yang lebih rendah (Hardjowigeno, 2007).

Gambar 10. Peta kedalaman efektif tanah Kabupaten Majalengka


65

Kedalam efektif tanah di Kabupaten Majalengka dapat dikelompokkan


menjadi empat kelompok. Adapun sebaran kedalaman efektif tanah secara rinci
dapat dilihat pada Gambar 10.

4.1.4. Iklim
Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk kedalam iklim
tropis dengan suhu udara rata-rata berdasarkan data Tahun 2009 berkisar antara
25,9oC sampai dengan 29,3oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober
yaitu 35,9oC, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus dengan
suhu sebesar 22,2oC.
Variasi curah hujan bulanan pada Tahun 2009 antara 60 mm sampai 419
mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan. Dengan
menggunakan pembagian tipe hujan dari Oldeman, maka Kabupaten Majalengka
termasuk tipe iklim C yaitu daerah yang memiliki bulan basah 5-6 bulan. Curah
hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Februari 2009 yang
mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26 hari, sedangkan kemarau terjadi
pada bulan Agustus dan September. Adapun data iklim di Kabupaten Majalengka
selama Tahun 2009 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Fluktuasi Iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2009


Suhu Udara (oC) Hujan Penyinaran
No. Bulan Curah Hujan Hari Matahari
Maks. Min. Rata-rata (%)
(mm) Hujan
1 Januari 31,1 23,7 26,6 234 22 35
2 Februari 30,6 23,4 25,9 419 26 27
3 Maret 33,3 23,6 26,7 293 23 66
4 April 33,1 24,1 27,5 217 14 61
5 Mei 32,7 24,1 27,3 90 14 78
6 Juni 32,7 22,5 27,2 60 6 81
7 Juli 33,1 22,3 26,9 ttu*) 2 85
8 Agustus 34,2 22,2 27,5 0 0 89
9 September 35,9 23,6 29,2 0 0 86
10 Oktober 35,2 24,8 29,3 69 8 72
11 Nopember 33,9 24,9 28,4 364 18 53
12 Desember 32,9 24,4 27,6 219 23 56
Jumlah 398,7 283,6 330,1 1965 156 789

Rata-rata 33,2 23,6 27,5 178,64 13 65,8


Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
*)
ttu=tidak terukur
66

4.1.5. Penggunaan Lahan


Pada dasarnya penggunaan lahan suatu wilayah merupakan perwujudan
fisik dari semua kegiatan sosial ekonomi penduduk. Pengenalan pola penggunaan
lahan ini sangat diperlukan baik untuk memperoleh gambaran mengenai
organisasi tata ruang maupun untuk mengetahui pola distribusi kegiatan sosial
ekonomi serta intensitas penggunaan lahan dan berbagai kegiatan yang ada.
Sebagai daerah agraris, penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka masih
didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering.
Penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009


No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%)
1 LAHAN PERTANIAN
1.1 Lahan Sawah
1. Irigasi teknis 17.982 14,93
2. Irigasi ½ teknis 7.970 6,62
3. Irigasi sederhana 5.534 4,60
4. Irigasi Desa / Non PU 7.901 6,56
5. Tadah hujan 12.512 10,39
Jumlah Lahan Sawah 51.899 43,10
1.2 Lahan Bukan Sawah -
1. Tegal (kebun) 27.275 22,65
2. Ladang (huma) - -
3. Perkebunan 370 0,31
4. Ditanami pohon/hutan rakyat 4.739 3,94
5. Tambak - -
6. Kolam/tebat/empang 543 0,45
7. Padang penggembalaan/rumput 693 0,58
8. Sementara tidak diusahakan 28 0,02
9. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman 2.584
2,15
pertanian, dll)
Jumlah Lahan Bukan Sawah 36.232 30,09
2 LAHAN BUKAN PERTANIAN -
1. Rumah, bangunan dan halaman sekitar 12.025 9,99
2. Hutan Negara 17.217 14,30
3. Rawa-rawa (tidak ditanami) 99 0,08
4. Lainnya (Jalan, sungai, danau, lahan tandus) 2.952 2,45
Jumlah Lahan Bukan Pertanian 32.293 26,82
Luas Lahan Keseluruhan 120.424 100,00
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
67

4.2. Sosial Kependudukan


Pada bagian sosial kependudukan ini dikemukakan gambaran mengenai
penduduk dan ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten Majalengka. Masing-
masing bahasan tersebut diuraikan tersendiri pada bagian di bawah ini.

4.2.1. Kependudukan
Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan.
Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan
permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk
dan tidak meratanya penyebaran penduduk.
Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan
hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan
606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,83% bila dibandingkan jumlah
penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk
perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan
sex ratio 99.02%. Jumlah penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan kepadatan
penduduk di Kabupaten Majalengka selama kurun 2005-2009 dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 - 2009
PENDUDUK 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah (Jiwa) 1.169.337 1.179.136 1.188.189 1.196.811 1.206.702
Laki-laki (Jiwa) 577.633 582.474 588.321 594.981 600.396
Perempuan (Jiwa) 591.704 596.662 599.868 601.830 606.306
Laju Pertumbuhan 0,82 0,84 0,76 0,73 0,83
Penduduk (persen)
Kepadatan (Jiwa/ 971 979 987 994 1002
Km2)
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Persebaran penduduk di Kabupaten Majalengka belum merata di tiap


kecamatan. Kecamatan Jatiwangi, Majalengka dan Cikijing adalah tiga
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Di lain pihak, Kecamatan
Sindang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit.
68

Adapun distribusi jumlah penduduk per kecamatan menurut jenis kelamin


disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009

Kepadatan penduduk di Kabupaten Majalengka bervariasi antara satu


kecamatan dengan kecamatan lainnya. Secara keseluruhan rata-rata kepadatan
penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah 1.002 Jiwa/Km 2,
kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan
2.096 Jiwa/Km2 dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Kertajati dengan
kepadatan 333 Jiwa/Km2.

4.2.2. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya
diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut
peningkatan penyediaan lapangan kerja.
Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka
sebanyak 13.417 orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang
laki-laki. Rincian tentang pencari kerja terdaftar dan yang telah ditempatkan
selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka berdasarkan tingkat pendidikannya
dapat dilihat pada Tabel 11.
69

Tabel 11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Belum Telah
Pencari Kerja Persentase
Tingkat Pendidikan Ditempatkan Ditempatkan
(Orang) (%)
(Orang) (Orang)
SD 1.158 8,63 847 311
SLTP 1.550 11,53 1.361 189
SLTA 6.305 46,99 6.252 53
D1, D2, D3 1.523 11,35 1.523 -
Sarjana 2.881 21,47 2.881 -
Pasca Sarjana - - - -
Jumlah 13.417 12.864 553
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Perkembangan angka statistik ketenagakerjaan yang meliputi tingkat


partisipasi angkatan kerja, persentase penduduk usia kerja, tingkat pengangguran,
upah minimum regional dan persentase penduduk yang bekerja berdasarkan
kelompok sektor di Kabupaten Majalengka dari Tahun 2007 sampai Tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perkembangan Angka Statistik Ketenagakerjaan


Uraian 2007 2008 2009
Tingkat Partisipasi Angkatan 69,06 62,23 66,48
Kerja
Tingkat Pengangguran 7,46 7,98 6,74
Bekerja (%) 92,54 92,02 93,26
UMR (Rp) 555.000 605.000 680.000
Bekerja di Sektor Primer (%) 37,96 31,05 30,94
Bekerja di Sektor Sekunder (%) 19,53 23,38 18,96
Bekerja di Sektor Tersier (%) 42,51 45,57 50,10
Sumber : Statistik Daerah Kab. Majalengka Tahun 2010

Berdasarkan kelompok sektornya, angkatan kerja yang bekerja di sektor


primer selama periode Tahun 2007 – 2009 cenderung menurun yaitu dari 37,96
persen pada Tahun 2007 menjadi 30,94% pada Tahun 2009. Sebaliknya untuk
kelompok sektor tersier cenderung meningkat yaitu dari 42,51% pada Tahun 2007
menjadi 50,10% pada Tahun 2009.

4.2.3. Sosial Budaya


Pembangunan kualitas hidup penduduk Kabupaten Majalengka menjadi
prioritas pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia
(SDM) Kabupaten Majalengka menunjukkan perkembangan yang semakin
70

membaik, hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks


Pembangunan Manusia (IPM). IPM dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu
Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli.
IPM Kabupaten Majalengka pada tahun 2007 mencapai 69,25 kemudian
meningkat kemudian meningkat sebesar 0,15 poin menjadi 69,40 di Tahun 2008.
Peningkatan cukup besar terjadi pada Tahun 2009 yaitu meningkat sebesar 0,5
poin menjadi sebesar 69,94. Tetapi di lain pihak dari sisi peringkatnya, diantara
26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Kabupaten Majalengka menduduki peringkat
ke-22 pada Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa IPM Kabupaten Majalengka
masih berada pada kelompok bawah. Untuk mendongkrak IPM tersebut
diperlukan upaya-upaya nyata sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat
benar-benar mengangkat kualitas hidup masyarakat Kabupaten Majalengka.
Dalam bidang seni dan budaya, pembangunan ditujukan untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati
diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus
informasi dan pengaruh negatif budaya global. Selain itu kesenian dan
kebudayaan merupakan cerminan dari seberapa tinggi peradaban manusia yang
dimiliki. Adapun budaya yang masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat
di Kabupaten Majalengka yaitu diantaranya upacara sambut pengantin, upacara
guar bumi, upacara mapag sri, dan beberapa tradisi budaya yang masih
dilestarikan oleh perorangan yang merupakan tradisi budaya dalam kehidupannya.

4.3. Perekonomian Daerah


Gambaran mengenai perekonomian daerah yang menjadi fokus dalam
bahasan ini adalah meliputi produk domestik regional bruto (PDRB) dan potensi
sektor-sektor ekonomi.

4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran
atas nilai tambah yang mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas
ekonomi dalam suatu wilayah. Selain itu, data PDRB merupakan gambaran atas
kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya
71

manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu besarnya nilai PDRB dari suatu
wilayah akan sangat tergantung pada kedua faktor tersebut, sehingga dengan
beragamnya kondisi dan keterbatasan dari kedua faktor di atas menyebabkan nilai
PDRB bervariasi antar daerah. PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah
yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran
pembangunan suatu wilayah, sehingga walaupun dianggap memiliki berbagai
kelemahan tetapi PDRB ini merupakan tolak ukur yang paling operasional karena
tidak ada satu wilayah pun yang tidak melakukan pengukuran nilai PDRB.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari
laju PDRB atas dasar harga konstan yang mengalami peningkatan, nilai ini
menunjukan terjadinya peningkatan produk yang dihasilkan dibandingkan
tahun sebelumnya. Stuktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang
digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menunjukan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi
andalan dalam memberikan nilai tambah PDRB Kabupaten Majalengka,
dimana kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majalengka atas
dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun 2006-2009 mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kenaikan hampir semua sektor
lapangan usaha dengan dominasi sektor pertanian diikuti sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pada tahun 2006 PDRB atas
dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 3.686.235.930.000, tahun 2007
sebesar Rp.3.865.690.520.000, dan pada tahun 2008 sebesar Rp.
4.041.007.620.000 serta pada tahun 2009 sebesar Rp. 4.225.926.070.000.
Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 setiap tahun
mengalami kenaikan dari Rp. 3.126.217,78 pada tahun 2006 menjadi Rp.
3.502.046,13 pada tahun 2009. Kenaikan PDRB per kapita menunjukkan bahwa
kondisi perekonomian Kabupaten Majalengka meningkat, sejalan dengan jumlah
penduduk dan keadaan penduduk pada tahun berjalan. Gambaran mengenai
perkembangan kontribusi sektoral dan nilai PDRB per kapita Kabupaten
Majalengka atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 13.
72

Tabel 13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah)
TAHUN
No. LAPANGAN USAHA SATUAN
2006 2007 2008 2009
1 PDRB atas dasar harga 3.686.235,93 3.865.690,52 4.042.240,29 4.225.926,07
konstan thn 2000 (Jutaan
Rupiah)
Pertanian Rp.000.000,00 1.046.430,59 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
% (28,39) (28,30) (28,05) (28,04)
Pertambangan dan Rp.000.000,00 150.590,75 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Galian % (4,09) (4,13) (4,11) (3,84)
Industri Pengolahan Rp.000.000,00 624.229,78 657.996,42 691.093,64 724.330,61
% (16,93) (17,02) (17,10) (17,14)
Listrik, Gas, Air Bersih Rp.000.000,00 24.480,32 26.149,82 27.540,86 28.810,27
% (0,66) (0,68) (0,68) (0.68)
Bangunan Rp.000.000,00 165.831,17 175.415,37 185.168,46 195.870,28
% (4,50) (4,54) (4,58) (4,63)
Perdagangan, Hotel dan Rp.000.000,00 724.540,91 756.470,52 797.726,94 838.517,68
Restoran % (19,66) (19,57) (19,73) (19,84)
Pengangkutan dan Rp.000.000,00 238.842,61 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Komunikasi % (6,48) (6,48) (6,44) (6,43)
Keuangan Rp.000.000,00 205.604,05 219.085,84 229.950,10 240.097,63
% (5,58) (5,67) (5,69) (5,68)
Jasa Rp.000.000,00 505.685,75 526.643,19 550.497,06 579.121,25
% (13,72) (13,62) (13,62) (13,70)
2 PDRB per Kapita (Rp) 3.126.217.78 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2010

Nilai tambah terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka pada Tahun


2009 berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 1,184 trilyun rupiah atau sebesar
28,04 % dimana sebagian besar penduduk berusaha di sektor pertanian. Sektor
perdagangan hotel dan restoran memberikan kontribusi terbesar kedua yaitu
sebesar 838 milyar atau sebesar 19,84%. Sektor industri pengolahan memberikan
kontribusi terbesar ketiga yaitu sebesar 724 milyar atau sebesar 17,14%.

4.3.2. Potensi Sektor-Sektor Ekonomi


Potensi sektor-sektor ekonomi yang dijelaskan dalam bahasan ini adalah
potensi sektor-sektor ekonomi yang memiliki sumbangan terbesar terhadap PDRB
di Kabupaten Majalengka yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan
restoran serta sektor industri pengolahan.

4.3.2.1. Pertanian
Pertanian di Kabupaten Majalengka secara umum memiliki potensi yang
besar dan variatif, serta didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
73

pengembangan komoditas pertanian. Potensi ini dapat dilihat dari besarnya


sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB. Dominasi sektor pertanian dalam
perekonomian Kabupaten Majalengka sangat dimungkinkan dengan besarnya luas
lahan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari
rincian penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yaitu dari luas wilayah
Kabupaten Majalengka sebesar 120.424 hektar tersebut terdiri atas lahan sawah
51.370 hektar, lahan bukan sawah 33.362 hektar dan lahan bukan pertanian 35.692
hektar. Berdasarkan data tersebut maka 73,18% luas lahan di Kabupaten Majalengka
digunakan sebagai lahan pertanian.
Kontribusi terbesar sektor pertanian adalah berasal dari sub sektor tanaman
bahan makanan yang rata-rata mencapai 23,80% dari nilai PDRB Kabupaten
Majalengka, hal ini berarti produksi terbesar di Kabupaten Majalengka berasal
dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman bahan makanan terdiri
dari tiga jenis komoditas yaitu padi dan palawija, sayuran serta buah-buah.
Kinerja dari sub sektor tanaman bahan makanan ini dapat dilihat dari
perkembangan angka produksi beberapa komoditasnya.
Tabel 14 menggambarkan besarnya luas panen, hasil per hektar dan
produksi padi sawah di Kabupaten Majalengka. Dari tabel ini tergambar bahwa
pada Tahun 2009 produksi padi telah mencapai 567.796 ton. Bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, ternyata produksi padi mengalami peningkatan sebesar
10,77%. Peningkatan produksi ini karena bertambahnya luas panen dari 88.503 ha
menjadi 93.517 ha atau meningkat sebesar 5,67% serta juga disebabkan oleh
meningkatnya produktivitas atau hasil per hektar sebesar 4,83 %.

Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka
Tahun Luas Panen Hasil per Hektar Produksi
(Ha) (Kuintal) (Ton)
2008 88.503 57,92 512.596
2009 93.517 60,72 567.796
Laju 5,67 4,83 10,77
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Perkembangan produksi tanaman palawija pada Tahun 2009 ditunjukkan


dalam Tabel 15. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada umumnya
74

tanaman palawija mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan komoditas jagung


dan ubi jalar pada Tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup pesat dari
tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 59,29 % dan 53,95%.

Tabel 15. Perkembangan Produksi Palawija di Kabupaten Majalengka (dalam ton)


Komoditas 2008 2009 Laju
Jagung 69.479 110.674 59,29
Ubi Kayu 42.575 46.461 9,13
Ubi Jalar 11.409 17.564 53,95
Kacang Tanah 1.769 1.531 13,45
Kedelai 2.825 3.378 19,57
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Seperti yang telah disebutkan diatas, selain padi dan palawija, tanaman
lain yang termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan adalah sayuran dan
buah-buahan. Perkembangan produksi sayuran dan buah-buahan pada Tahun 2009
disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.

Tabel 16. Perkembangan Produksi Sayuran di Kabupaten Majalengka


(dalam kuintal)
Komoditas 2008 2009 Laju
Bawang merah 330.150 316.790 -4,05
Bawang daun 864.640 419.600 -51,47
Cabe 128.330 97.740 -23,84
Tomat 67.560 103.440 53,11
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Dari Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar komoditas sayuran


mengalami penurunan produksi, yang mengalami peningkatan produksi hanya
komoditas tomat yaitu meningkat sebesar 53,11%. Bawang merah menurun
sebesar 4,05 %, kemudian komoditas bawang daun juga menurun sebesar sebesar
51,47 % dan cabe menurun sebesar 23,84 %.
Selanjutnya Tabel 17 menunjukkan perkembangan produksi buah-buahan
di Kabupaten Majalengka. Seperti halnya sayuran, komoditas buah-buahan pun
sebagian besar menunjukkan penurunan, yang mengalami peningkatan dantaranya
adalah mangga dan pisang. Komoditas mangga meningkat sebesar 3,07 % dan
pisang meningkat cukup pesat yaitu mencapai 125,10 %.
75

Tabel 17. Perkembangan Produksi Buah-buahan di Kab. Majalengka (dalam


kuintal)
Komoditas 2008 2009 Laju
Alpukat 62.193 46.156 -25,78
Jambu biji 30.374 26.568 -12,53
Mangga 452.235 466.103 3,07
Nangka 61.215 33.587 -45,13
Pisang 122.094 274.838 125,10
Jeruk besar 1.456 482 -66,89
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

4.3.2.2. Perdagangan, Hotel dan Restoran


Sektor perdagangan di Kabupaten Majalengka pengembangannya
difokuskan pada sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar, baik pasar
daerah maupun pasar luar daerah. Pengembangan sistem distribusi diarahkan
untuk memperlancar arus barang dan jasa, memperkecil kesenjangan antar daerah,
mengurangi fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang yang terjangkau
oleh masyarakat.
Berdasarkan data yang tercatat di BPS (2010), beberapa fasilitas
perdagangan yang terdapat di Kabupaten Majalengka meliputi pasar desa
sebanyak 33 buah yang tersebar di beberapa Kecamatan dengan frekuensi hari
pasar sebanyak 2 kali seminggu sampai dengan harian, pasar milik Pemerintah
Daerah sebanyak 4 buah yang terdapat di Kecamatan Cigasong, Sumberjaya,
Talaga dan Kadipaten, jumlah kelompok pertokoan sebanyak 3.440 buah,
Supermarket (Pasar Swalayan, Toserba, Minimarket) sebanyak 27 buah, Restoran
(Rumah Makan, Kedai Makanan) sebanyak 21 buah, sedangkan sarana akomodasi
meliputi penginapan sebanyak 9 buah yang terdiri atas 192 kamar, sementara
jumlah restoran sebanyak 21 buah.

4.3.2.3. Industri Pengolahan


Sektor industri pengolahan memegang peranan yang sangat penting dalam
peningkatan pembangunan ekonomi suatu daerah, karena sektor ini selain cepat
meningkatkan nilai tambah juga sangat diharapkan perkembangannya dalam
menunjang perekonomian, terutama dalam upaya mengatasi pengangguran. Selain
itu, sektor ini pun merangsang kegiatan ekonomi sektor lainnya seperti sektor
76

jasa, angkutan dan perdagangan. Sebagai gambaran pada PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 sektor industri memberikan kontribusi sebesar 17,14 %.
Sektor industri pengolahan yang berkembang di Kabupaten Majalengka
saat ini mayoritas berupa industri berskala mikro, kecil dan menengah, antara lain
industri kerajinan dan industri olahan makanan. Sementara industri besar
perkembangannya relatif lebih lambat. Banyaknya perusahaan industri besar dan
sedang berdasarkan produksi utamanya yang ada di Kabupaten Majalengka dapat
dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Banyaknya Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Majalengka


Produksi Utama (unit)
Tahun Kerajinan Bola
Pakaian Makanan Genteng Lainnya
Rotan Sepak
2005 3 4 318 25 1 18
2006 3 6 324 50 1 18
2007 11 8 401 50 1 17
2008 23 8 450 64 2 23
2009 15 8 395 22 1 13
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Apabila dilihat dari produksi utamanya, industri pengolahan di Kabupaten


Majalengka didominasi oleh industri genteng. Pada tahun 2009, industri genteng
ini mencapai 395 unit atau sebesar 87% dari industri yang ada. Keberadaan
industri genteng ini terpusat di Kecamatan Jatiwangi.
77

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan
di Kabupaten Majalengka Terkini
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang
akan disajikan dalam hasil dan pembahasan ini adalah kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka berdasarkan
hasil analisis dari data Tahun 2009. Pembahasan mengenai kondisi dan potensi
daya saing subsektor tanaman bahan makanan terkini penting untuk disajikan
karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi terbaru dari subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menentukan strategi dan
arahan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.

5.1.1. Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab.


Majalengka di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Kemampuan suatu wilayah dalam memacu pertumbuhan ekonomi, salah
satunya sangat tergantung dari keunggulan dan daya saing sektor-sektor ekonomi
di wilayahnya. Kemampuan setiap sektor ekonomi dalam memacu pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah berbeda-beda. Sejalan dengan hal diatas maka dalam
suatu perencangan pengembangan wilayah perlu kiranya diketahui sektor-sektor
yang mampu menjadi penggerak perekonomian (prime mover) di suatu wilayah.
Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi suatu wilayah terbagi
dalam dua golongan. Pertama, sektor basis yaitu sektor dengan kegiatan ekonomi
yang mampu menghasilkan barang dan jasa baik untuk keperluan pasar domestik
daerah maupun pasar luar daerah. Dalam sektor basis, terjadi kelebihan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk wilayahnya sendiri sehingga memungkinkan untuk
terjadinya mekanisme ekspor. Kedua, sektor non basis yaitu sektor dengan
kegiatan ekonomi yang hanya mampu melayani pasar di wilayahnya sendiri
sehingga kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang
adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat
78

dari kemajuan pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah. Tidak semua sektor
ekonomi memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu dalam
perencanaan pembangunan suatu wilayah diantaranya harus dapat memanfaatkan
keberadaan sektor-sektor basis yang dianggap bisa menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi
aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis adalah
melalui metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan perbandingan
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang cakupannya lebih
luas dalam suatu wilayah sehingga metode LQ juga dapat menunjukkan
keunggulan komparatif suatu aktivitas di suatu wilayah. Variabel yang digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan potensi aktivitas ekonomi sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka dalam analisis LQ adalah nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 dengan wilayah referensi Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa terdapat 8 sektor dari
13 sektor yang dianalisis, yang menjadi sektor basis di Kabupaten Majalengka.
Kedelapan sektor tersebut adalah sektor pertanian tanaman bahan makanan,
tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan
penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat
pemusatan aktivitas ekonomi pada kedelapan sektor tersebut di Kabupaten
Majalengka sehingga sektor-sektor tersebut memiliki potensi dan daya saing yang
lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah lainnya atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif
di wilayah Jawa Barat.
Sektor yang menjadi sektor non basis di Kabupaten Majalengka ada 5
sektor yaitu kehutanan, perikanan, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih
serta perdagangan hotel dan restoran. Hasil analisis LQ secara lengkap disajikan
pada Tabel 19.
79

Tabel 19. Nilai LQ Sektor Ekonomi Kabupaten Majalengka


Sektor Nilai LQ Keterangan
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan 2,74 Sektor Basis
b. Tanaman Perkebunan 1,20 Sektor Basis
c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya 1,50 Sektor Basis
d. Kehutanan 0,81 Sektor Non Basis
e. Perikanan 0,60 Sektor Non Basis
Pertambangan dan Penggalian 1,41 Sektor Basis
Industri Pengolahan 0,41 Sektor Non Basis
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,30 Sektor Non Basis
Bangunan 1,45 Sektor Basis
Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,91 Sektor Non Basis
Pengangkutan dan Komunikasi 1,25 Sektor Basis
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1,70 Sektor Basis
Jasa-jasa 1,94 Sektor Basis
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)

Selain menggunakan metode LQ, kondisi dan potensi daya saing aktivitas
ekonomi di suatu wilayah juga dapat diketahui dengan metode Shift Share
Analysis (SSA). Analisis SSA merupakan teknik analisis yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif. Analisis ini juga dapat digunakan
untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah
berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab
pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total),
komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen
differential shift (komponen pergeseran diferensial).
Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor lain di wilayah
Provinsi Jawa Barat digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam
pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan
karena ingin mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di kabupaten
Majalengka yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas
sektor-sektor tersebut di wilayah Kabupaten Majalengka itu sendiri apabila
dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, bukan karena pengaruh
pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total
(regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu
wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya
80

masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-
faktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak
mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif
ini adalah nilai PDRB sedangkan rentang waktu yang digunakan untuk melihat
pergeseran adalah 5 tahun sehingga data PDRB yang digunakan adalah data
PDRB Tahun 2005 dan 2009.
Hasil analisis SSA menunjukkan ada 7 sektor yang memiliki nilai
differential shift yang positif yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa.
Berdasarkan hal tersebut maka keenam sektor tersebut memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya sehingga keenam
sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki keunggulan kompetitif untuk
wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis SSA secara lengkap disajikan pada
Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Analisis Shift Share Sektor Perekonomian di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 - 2009
Sektor Nilai Keunggulan
Differential Shift Kompetitif
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan 0,009 Positif
b. Tanaman Perkebunan 0,327 Positif
c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0,062 Positif
d. Kehutanan -0,070 Negatif
e. Perikanan -0,081 Negatif
Pertambangan dan Penggalian 0,040 Positif
Industri Pengolahan 0,005 Positif
Listrik, Gas dan Air Bersih -0,043 Negatif
Bangunan -0,007 Negatif
Perdagangan, Hotel dan Restoran -0,141 Negatif
Pengangkutan dan Komunikasi -0,085 Negatif
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,649 Positif
Jasa-jasa 0,003 Positif
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)

Hasil analisis LQ dan shift share dapat dikombinasikan sehingga


memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan sektor-sektor
81

berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Pengelompokkan sektor-


sektor tersebut disajikan dalam bentuk matriks pada Gambar 12.
Dari matriks pengelompokkan sektor-sektor tersebut terdapat 6 sektor
yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara
komparatif dan kompetitif yaitu sektor pertanian tanaman bahan makanan,
perkebunan, peternakan, pertambangan dan penggalian, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta jasa-jasa.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Sektor Non basis Sektor Basis
- Industri pengolahan - Tanaman bahan makanan
- Tanaman perkebunan

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Peternakan dan hasil-hasilnya

Positif
- Pertambangan dan galian
- Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan
- Jasa-jasa
- Kehutanan
- Perikanan - Bangunan
- Listrik, gas dan air bersih - Pengangkutan dan Komunikasi Negatif
- Perdagangan, hotel & restoran

Gambar 12. Matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka

Berdasarkan kombinasi hasil analisis LQ dan SSA yang tersaji pada


matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka diatas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa subsektor ini memiliki potensi dan daya saing
yang baik dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Majalengka.
Adapun gambaran potensi subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten
Majalengka apabila dilihat dan dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari
hasil analisis LQ dan SSA yang disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat bahwa Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kabupaten
yang memiliki pemusatan aktivitas dan kinerja yang baik pada subsektor tanaman
82

bahan makanan yang ditandai dengan nilai LQ > 1 dan nilai differential shift yang
positif. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/kota
lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Tabel 21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa
Barat
Nilai Differential Nilai Differential
No Kab/Kota Shift
No Kab/Kota Shift
LQ LQ
1 Garut 4,81 Negatif 14 Purwakarta 0,84 Positif
2 Cianjur 4,01 Negatif 15 Bandung Barat 0,70 Negatif
3 Tasikmalaya 3,41 Positif 16 Bandung 0,59 Negatif
4 Kuningan 3,07 Negatif 17 Kota Tasikmalaya 0,37 Negatif
5 Majalengka 2,74 Positif 18 Bogor 0,31 Positif
6 Sukabumi 2,39 Negatif 19 Kota Sukabumi 0,16 Negatif
7 Subang 2,29 Negatif 20 Bekasi 0,14 Positif
8 Sumedang 2,29 Negatif 21 Kota Depok 0,06 Negatif
9 Ciamis 2,27 Negatif 22 Kota Bekasi 0,04 Negatif
10 Cirebon 2,04 Positif 23 Kota Bogor 0,02 Negatif
11 Indramayu 1,56 Positif 24 Kota Cirebon 0,02 Negatif
12 Kota Banjar 1,29 Positif 25 Kota Bandung 0,01 Negatif
13 Karawang 1,10 Positif 26 Kota Cimahi 0,01 Negatif
Sumber : Hasil Analisis (2011)

5.1.2. Potensi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Unggulan


Kabupaten Majalengka

Identifikasi komoditas pertanian unggulan Kabupaten Majalengka ini perlu


dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah berbasis sektor pertanian
khususnya sub sektor tanaman bahan makanan yang merupakan salah satu
subsektor yang memiliki potensi untuk menggerakkan perekonomian wilayah di
Kabupaten Majalengka.
Ukuran keunggulan yang digunakan dalam tulisan ini adalah keunggulan
komparatif dan kompetitif yang didasarkan atas nilai LQ dan SSA dengan
83

menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman
pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas
buah-buahan. Data-data tersebut digunakan sebagai representasi dari sumberdaya
lokal yang dimiliki. Cakupan wilayah analisis adalah Kabupaten/Kota se-Jawa
Barat, sedangkan data yang digunakan adalah data-data pada Tahun 2005 dan
2009.
Kriteria penilaian dalam menentukan komoditas basis/keunggulan
komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, sedangkan
apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti komoditas tersebut termasuk ke
dalam komoditas non basis/bukan unggulan.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas tanam
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas lahan yang digunakan untuk
usahatani suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut
unggul dalam aspek luas lahan yang digunakan untuk budidaya.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas panen
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas panen suatu komoditas. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek frekuensi panen
yang juga berarti komoditas tersebut sangat produktif.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel produksi
menggambarkan bahwa ada pemusatan jumlah produksi dari suatu komoditas. Hal
ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek jumlah produksi
Adapun hasil analisis LQ untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang unggul secara komparatif
dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada dua komoditas yaitu
jagung dan kacang hijau. Komoditas lainnya, seperti padi hanya unggul pada
aspek produksi, kedelai unggul dari aspek luas panen dan produksi sedangkan
komoditas kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu tidak unggul dari aspek ketiganya
yaitu aspek luas tanam, luas panen maupun produksi.
84

Tabel 22. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten


Majalengka
Nilai LQ
No Komoditas
Luas Tanam Luas Panen Produksi
1 Padi 0,97 0,97 1,03
2 Jagung 1,91 2,15 2,32
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Hasil analisis LQ untuk komoditas sayuran di Kabupaten Majalengka


secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek luas tanam terdapat 6 komoditas dari 20 jenis
komoditas sayuran yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu.
Keenam komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Hal ini menunjukkan
bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut merupakan komoditas sayuran
Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek luas
tanam.

Tabel 23. Nilai LQ Luas Tanam Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 3,95
2 Bawang Daun 2,48
3 Kembang Kol 1,15
4 Cabe Rawit 1,13
5 Kubis 1,10
6 Cabe Besar 1,05
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek luas panen, terdapat 5 komoditas sayuran yang
memiliki nilai LQ lebih dari satu. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada
Tabel 24. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek luas panen.
85

Tabel 24. Nilai LQ Luas Panen Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 4,06
2 Bawang Daun 2,36
3 Cabe Rawit 1,42
4 Cabe Besar 1,18
5 Kubis 1,08
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Namun, apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 3 komoditas sayuran


yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ketiga komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 25. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek jumlah produksi.

Tabel 25. Nilai LQ Produksi Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 6,44
2 Bawang Daun 3,74
3 Cabe Rawit 1,10
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu baik dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
bawang merah, bawang daun dan cabe rawit.
Hasil analisis LQ untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 15 komoditas dari 22 jenis
komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari
satu. Kelima belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Hal ini
menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah pohon yang
ditanam.
86

Tabel 26. Nilai LQ Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Melinjo 8,06
2 Mangga 4,49
3 Nangka 3,26
4 Alpukat 3,10
5 Petai 2,70
6 Belimbing 2,38
7 Sukun 2,30
8 Durian 2,12
9 Jambu Biji 2,02
10 Jambu Air 1,99
11 Jeruk 1,31
12 Pisang 1,26
13 Pepaya 1,09
14 Sawo 1,04
15 Sirsak 1,01
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas buah-buahan


yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ke tujuh komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 27. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terlalu banyak komoditas buah-
buahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari
aspek jumlah produksi apabila dibandingkan dengan aspek jumlah pohon.

Tabel 27. Nilai LQ Produksi Komoditas Buah-buahan (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Melinjo 9,73
2 Mangga 3,56
3 Petai 2,45
4 Alpukat 1,59
5 Nangka 1,19
6 Jambu Biji 1,17
7 Jeruk 1,09
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 26 dan Tabel 27 diketahui bahwa ada 7 komoditas yang


memiliki nilai LQ lebih besar dari satu baik dari aspek jumlah pohon dan
produksi. Ketujuh komoditas tersebut adalah melinjo, mangga, alpukat, petai,
nangka, jambu biji dan jeruk.
87

Selain mengetahui keunggulan komparatif yang dimiliki oleh setiap


komoditas pertanian di kabupaten Majalengka perlu pula diketahui bagaimana
tingkat keunggulan kompetitif yang juga menunjukkan kinerja dan tingkat
pertumbuhan dari komoditas-komoditas tersebut. Adapun ukuran yang digunakan
untuk mengetahui komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif dalam
penelitian ini adalah jika komponen differential shift bernilai positif. Hasil analisis
differential shift untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Hasil Analisis Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan di


Kabupaten Majalengka
Nilai Differential Shift
No Komoditas
Luas Tanam Luas Panen Produksi
1 Padi -0,33 -0,02 -0,09
2 Jagung 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,23 -0,04 0.08
4 Kacang Tanah -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 0,36 0,31 0.05
6 Ubi Kayu -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan nilai differential shift komoditas tanaman pangan tersebut


dapat diketahui bahwa komoditas yang memiliki pertumbuhan positif dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada 2 komoditas yaitu jagung dan
kacang hijau. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut unggul
secara kompetitif dibandingkan dengan komoditas lainnya dari aspek luas tanam,
luas panen dan jumlah produksinya.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas sayuran di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 5 komoditas yang memiliki nilai
differential shift positif berdasarkan aspek luas tanam. Kelima komoditas tersebut
dapat dilihat pada Tabel 29. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas
sayuran tersebut mengalami pertumbuhan luas tanam yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan komoditas lain sehingga tingkat pertumbuhan luas
tanamnya positif. Oleh karena itu, kelima komoditas tersebut merupakan
88

komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif


dari aspek luas tanam.

Tabel 29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Kentang 6,80
2 Terung 0,86
3 Sawi 0,64
4 Tomat 0,50
5 Kembang Kol 0,20
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek luas panen terdapat 6 komoditas sayuran yang
memiliki nilai differential shift positif. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 30. Hal ini menunjukkan bahwa keenam komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan luas panen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, keenam komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas panen.

Tabel 30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,61
2 Sawi 0,58
3 Tomat 0,43
4 Labu siam 0,19
5 Wortel 0,03
6 Kembang kol 0,005
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas sayuran yang


memiliki nilai differential shift positif. Ketujuh komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 31. Hal ini menunjukkan bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, ketujuh komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek produksi.
89

Tabel 31. Differential Shift Produksi Komoditas Sayuran Yang Positif


No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,99
2 Buncis 0,26
3 Kacang panjang 0,25
4 Sawi 0,17
5 Kentang 0,10
6 Bawang merah 0,09
7 Kembang Kol 0,02
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 29, Tabel 30 dan Tabel 31 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
terung, sawi dan kembang kol.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 16
komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki
nilai differential shift positif. Keenam belas belas komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 32.
.
Tabel 32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang
Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Sukun 0,91
2 Mangga 0,58
3 Alpukat 0,55
4 Salak 0,53
5 Sawo 0,41
6 Jambu biji 0,38
7 Petai 0,36
8 Durian 0,25
9 Nenas 0,21
10 Pepaya 0,13
11 Pisang 0,11
12 Melinjo 0,05
13 Nangka 0,05
14 Dukuh 0,04
15 Rambutan 0,04
16 Sirsak 0,03
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
90

Hal ini menunjukkan bahwa keenam belas komoditas sayuran tersebut


mengalami pertumbuhan jumlah pohon yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh
karena itu, keenam belas komoditas tersebut merupakan komoditas buah-buahan
Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek jumlah
pohon. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-
buahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari
aspek jumlah pohon yang ditanam.
Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 12 komoditas buah-
buahan yang memiliki nilai differential shift positif. Kedua belas komoditas
tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belas
komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat
pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, kedua belas komoditas tersebut
merupakan komoditas buah-buahan Kabupaten Majalengka yang memiliki
keunggulan kompetitif dari aspek produksi.

Tabel 33. Differential Shift Produksi Komoditas Buah-buahan Yang Positif


No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Manggis 1,99
2 Melinjo 1,75
3 Jambu biji 1,21
4 Petai 0,93
5 Jambu Air 0,82
6 Mangga 0,48
7 Salak 0,47
8 Alpukat 0,45
9 Rambutan 0,42
10 Pisang 0,31
11 Sukun 0,23
12 Jeruk 0,15
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 32 dan Tabel 33 dapat dilihat bahwa ada sembilan jenis
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek jumlah pohon dan produksi. Komoditas-komoditas tersebut adalah mangga,
alpukat, sukun, salak, jambu biji, petai, pisang, melinjo dan rambutan.
91

Hasil analisis LQ dan shift share dari luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon kemudian dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif
dan kompetitifnya. Pengelompokkan komoditas-komoditas tersebut disajikan
dalam bentuk matriks daya saing.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas tanam tersaji pada
Gambar 13.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kedelai - Jagung
- Kentang - Kacang hijau

Postif
- Sawi - Kembang kol
- Tomat

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung

- Padi
- Kacang tanah - Bawang merah

Negatif
- Ubi kayu - Bawang daun
- Ubi jalar - Kubis
- Wortel - Cabe besar
- Lobak - Cabe rawit
- Kacang merah
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung

Gambar 13. Matriks Daya Saing Luas Tanam Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas tanam diatas terdapat
tiga komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas tanam yaitu jagung,
kacang hijau dan kembang kol.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas panen tersaji pada
Gambar 14. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas panen tersebut
terdapat dua komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena
92

memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas panen
yaitu jagung dan kacang hijau.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis

- Kembang kol - Jagung


- Sawi - Kacang hijau

Positif
- Wortel
- Tomat

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Labu siam

- Padi
- Kacang tanah - Kedelai

Negatif
- Ubi kayu - Bawang merah
- Ubi jalar - Bawang daun
- Kentang - Kubis
- Lobak - Cabe besar
- Kacang merah - Cabe rawit
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Kangkung

Gambar 14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Adapun hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan produksi tersaji


pada Gambar 15. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan produksi
tersebut terdapat sepuluh jenis komoditas yang memiliki potensi dan daya saing
tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek
produksi yaitu jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji,
jeruk, mangga, melinjo dan petai.
93

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kentang - Jagung
- Kembang kol - Kedelai
- Sawi - Kacang hijau
- Kacang panjang - Bawang merah
- Terung - Alpukat

Positif
- Buncis - Jambu biji
- Jambu air - Jeruk

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Manggis - Mangga
- Pisang - Melinjo
- Rambutan - Petai
- Sukun
- Salak
- Kacang tanah - Belimbing
- Ubi kayu - Duku - Padi

Negatif
- Ubi jalar - Durian - Bawang daun
- Kubis - Jeruk Besar - Cabe rawit
- Wortel - Nenas - Nangka
- Lobak - Pepaya
- Kacang merah - Sawo
- Cabe besar - Markisa
- Tomat - Sirsak
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung

Gambar 15. Matriks Daya Saing Produksi Komoditas Subsektor Tanaman


Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Adapun hasil pengelompokkan komoditas buah-buahan berdasarkan


jumlah pohon tersaji pada Gambar 16. Dari matriks daya saing komoditas buah-
buahan berdasarkan jumlah pohon terdapat 12 jenis komoditas yang memiliki
potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif dari aspek jumlah pohon yaitu alpukat, mangga, durian, jambu biji,
pisang, nangka, papaya, sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun.
94

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Duku - Alpukat
- Nenas - Mangga
- Sawi - Durian
- Rambutan - Jambu biji

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Salak - Pisang

Positif
- Nangka
- Pepaya
- Sawo
- Melinjo
- Petai
- Sirsak
- Sukun

- Jeruk besar - Belimbing

Negatif
- Manggis - Jambu air
- Markisa - Jeruk

Gambar 16. Matriks Daya Saing Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan


Kabupaten Majalengka

Berdasarkan matriks daya saing, maka untuk komoditas non basis tetapi
memiliki nilai differential shift positif (kuadran II), komoditas-komoditas tersebut
sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
pertumbuhan yang diatas rata-rata pertumbuhan komoditas lain maupun
komoditas sejenis di wilayah lain di provinsi Jawa Barat. Hanya saja diperlukan
usaha untuk terus meningkatkan kapasitasnya secara keseluruhan agar menjadi
komoditas basis. Begitupula dengan komoditas yang berada di kuadran IV (basis
tetapi differential shift negatif), komoditas ini sebetulnya masih memiliki potensi
untuk dikembangkan karena memiliki aktivitas yang memusat (basis), hanya saja
diperlukan usaha untuk meningkatkan aktivitas tersebut agar mengalami
peningkatan/pertumbuhan dari tahun ke tahun secara positif.
Selain memiliki potensi luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah
pohon atas komoditas-komoditas diatas, Kabupaten Majalengka juga memiliki
potensi atas beberapa komoditas yang menjadi varietas unggul. Menurut Dirjen
Hortikultura (2010), varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh
95

pemerintah yang Surat Keputusannya ditandatangani oleh Mentri Pertanian.


Keunggulan varietas itu sendiri dicirikan oleh adanya superioritas dan atau
keunikan satu atau lebih karakter yang dibuktikan dari hasil pengujian dengan
mengikuti prosedur baku. Beberapa varietas unggulan Kabupaten Majalengka
tersebut adalah Perwira, Bokor dan Siriwig untuk komoditas Durian dan Gedong
untuk komoditas mangga. Adapun nomor Keputusan Mentri Pertanian tentang
pelepasan masing-masing varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34. Nomor SK Pelepasan Varietas Tanaman Buah Unggulan Kab.


Majalengka
No. Jenis/Varietas No. KEPMENTAN Pengusul
I Durian BPSBTPH Jabar
1 Perwira 458/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
2 Bokor 460/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
3 Siriwig 461/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
II Mangga
1 Gedong 28/Kpts/TP.240/I/1995 BPSBTPH Jabar
Sumber : Dirjen Hortikultura, (2011)

5.2. Peranan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Perekonomian


Kabupaten Majalengka
Peranan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah
Kabupaten Majalengka dapat diketahui melalui analisis Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan analisis Input-Output (I-O). Analisis PDRB
digunakan untuk mengetahui struktur perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 sedangkan analisis I-O digunakan untuk mengetahui keterkaitan
sektoral dan multiplier effect.
Analisis I-O yang dilakukan dalam pembahasan ini didasarkan pada Tabel I-
O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang diperoleh dari hasil RAS Tabel I-O
Kabupaten Ciamis 2008. Metode RAS dilakukan atas asumsi ada kemiripan
struktur ekonomi antar Kabupaten Ciamis dengan Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Ciamis dipilih karena berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan,
Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang berasal dari hasil RAS Tabel
I-O Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 kurang memiliki kemiripan struktur
perekonomian dengan kondisi yang ada di Kabupaten Majalengka. Hal tersebut
terlihat dari adanya dominasi sektor-sektor urban dalam struktur
96

perekonomiannya. Adapun Tabel I-O Kabupaten Majalengka yang diperoleh


berdasarkan hasil RAS dari Tabel I-O Kabupaten Ciamis menunjukkan adanya
peran sektor pertanian dalam perekonomiannya sehingga dianggap lebih
mempunyai kemiripan struktur perekonomian dengan Kabupaten Majalengka.

5.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009


Salah satu indikator yang dapat menggambarkan perekonomian wilayah
adalah PDRB. Data PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang
mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah
atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh
unit ekonomi (BPS Majalengka, 2010). Pada Tabel 35 ditampilkan data PDRB
menurut lapangan usaha Kabupaten Majalengka Tahun 2007 – 2009 atas dasar
harga konstan Tahun 2000. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada
Tahun 2007 sampai Tahun 2009, sektor perekonomian yang menjadi
penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka adalah sektor pertanian.
Apabila dilihat lebih jauh maka sektor pertanian yang menjadi penyumbang
terbesar adalah subsektor tanaman bahan makanan. Adapun lima sektor
penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka dalam kurun waktu
2007-2009 berturut-turut adalah subsektor tanaman bahan makanan, industri non
migas, perdagangan besar dan eceran, pemerintahan umum dan pertahanan serta
restoran.
Tabel 36 menampilkan persentase nilai PDRB sektor-sektor perekonomian
di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang terdiri dari 28 sektor dengan
subsektor tanaman bahan makanan yang dirinci per komoditas. Pemecahan sektor
perekonomian menjadi 28 sektor ini karena disesuaikan dengan sektor-sektor yang
ada dalam Tabel I-O Kabupaten Ciamis Tahun 2008 yang menjadi dasar/basis
untuk penyusunan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Untuk
subsektor tanaman bahan makanan dipecah menjadi enam sektor yang terdiri dari
padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
97

Tabel 35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah)
No Lapangan Usaha 2007 2008 2009
1 PERTANIAN 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
a. Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
b. Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
c. Peternakan dan hasil-hasilnya 97.494,29 103.072,99 108.488,65
d. Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
e. Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
2 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 159.586,22 166.138,45 162.266,81
a. Minyak dan Gas Bumi 79.999,73 83.519,72 72.402,41
b. Pertambangan Tanpa Migas - - -
c. Penggalian 79.586,49 82.618,73 89.864,40
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 657.996,42 691.093,64 724.330,61
a. Industri Migas - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - -
2. Gas Alam Cair - - -
b. Industri Non Migas 657.996,42 691.093,64 724.330,61
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 26.149,82 27.540,86 28.810,28
a. Listrik 24.581,92 25.835,14 26.997,72
b. Gas - - -
c. Air Bersih 1.567,90 1.705,72 1.812,56
5 BANGUNAN 175.415,37 185.168,46 195.870,26
6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 756.470,52 797.726,95 838.517,68
a. Perdagangan Besar dan Eceran 518.476,56 547.326,06 573.594,47
b. H o t e l 1.419,45 1.453,53 1.516,95
c. Restoran 236.574,51 248.947,36 263.406,26
7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 250.435,89 260.476,07 271.937,70
a. Angkutan 218.909,88 226.173,66 236.860,72
1. Angkutan Rel - - -
2. Angkutan Jalan Raya 203.174,35 209.818,15 219.799,89
3. Angkutan Laut - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. - - -
5. Angkutan Udara - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 15.735,53 16.355,51 17.060,83
b. Komunikasi 31.526,01 34.302,41 35.076,98
8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN 219.085,84 229.950,11 240.097,64
a. Bank 83.767,96 88.151,52 92.341,18
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank 19.121,65 20.305,72 21.016,42
c. Jasa Penunjang Keuangan - - -
d. Sewa Bangunan 96.859,03 101.285,49 105.737,04
e. Jasa Perusahaan 19.337,20 20.207,38 21.003,00
9 JASA-JASA 526.643,19 550.497,06 579.121,25
a. Pemerintahan umum & pertahanan 384.323,14 399.104,80 419.799,12
b. Swasta 142.320,05 151.392,26 159.322,13
1) Sosial Kemasyarakatan 26.190,13 27.559,87 28.817,80
2) Hiburan dan Rekreasi 7.850,60 8.211,73 8.507,05
3) Perorangan dan Rumah tangga 108.279,32 115.620,66 121.997,28
PDRB DENGAN MINYAK DAN GAS BUMI 3.865.690,53 4.042.240,31 4.225.926,09
PDRB TANPA MINYAK DAN GAS BUMI 3.785.690,80 3.958.720,59 4.153.523,68
Sumber : PDRB Kabupaten Majalengka Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009
98

Tabel 36. Persentase Sumbangan Sektoral Terhadap PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 Atas Dasar Harga Konstan
Nilai Persentase
No Sektor Perekonomian
(Juta Rupiah) (%)
1 Industri Pengolahan 724,330.61 17.14
2 Perdagangan Besar dan Eceran 573,594.47 13.57
3 Padi 571,755.68 13.53
4 Pemerintahan umum dan Pertahanan 419,799.12 9.93
5 Restoran 263,406.26 6.23
6 Angkutan Jalan Raya 219,799.89 5.20
7 Bangunan 195,870.26 4.63
8 Sayur-sayuran 193,180.41 4.57
9 Pertambangan dan Penggalian 162,266.81 3.84
10 Buah-buahan 127,978.88 3.03
11 Jasa Perorangan dan Rumah Tangga 121,997.28 2.89
12 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 113,357.60 2.68
13 Peternakan dan hasil-hasilnya 108,488.65 2.57
14 Sewa Bangunan 105,737.04 2.50
15 Jagung 68,983.66 1.63
16 Tanaman Perkebunan 40,575.39 0.96
17 Komunikasi 35,076.98 0.83
18 Bahan makanan lainnya 32,842.18 0.78
19 Jasa Sosial Kemasyarakatan 28,817.80 0.68
20 Listrik 26,997.72 0.64
21 Perikanan 24,047.19 0.57
22 Jasa Perusahaan 21,003.00 0.50
23 Jasa Penunjang Angkutan 17,060.83 0.40
24 Ubi Kayu 11,145.22 0.26
25 Jasa Hiburan dan Rekreasi 8,507.05 0.20
26 Kehutanan 5,976.59 0.14
27 Air Bersih 1,812.56 0.04
28 Hotel 1,516.95 0.04

Total 4,225,926.09 100.00


Sumber : Diolah dari Majalengka dalam Angka 2010

Berdasarkan tabel 36, besarnya perananan subsektor tanaman bahan


makanan adalah sebagai berikut : padi berkontribusi sebesar 13,53 %, menempati
urutan ke-3, sayur-sayuran berkontribusi sebesar 4,57%, menempati urutan ke-8,
buah-buahan berkontribusi sebesar 3,03%, menempati urutan ke-10, jagung
berkontribusi sebesar 1,63%, menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya
berkontribusi sebesar 0,78%, menempati urutan ke-18 dan ubi kayu berkontribusi
sebesar 0,26% serta menempati urutan ke-24. Kontribusi keenam jenis komoditas
sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila digabungkan mencapai 23,80%
99

dari total PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 atau menempati peringkat
ke-1 dari 23 sektor perekonomian
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah; sektor industri
pengolahan (17,14%), perdagangan besar dan eceran (13,57%), padi (13,53%),
pemerintahan umum dan pertahanan (9,93%) dan restoran (6,23%). Sektor
industri pengolahan menempati peringkat tertinggi karena di Kabupaten
Majalengka terdapat beberapa industri yang cukup berkembang. Industri-industri
tersebut diantaranya adalah industri genteng yang banyak terkonsentrasi di
Kecamatan Jatiwangi, kerajinan rotan yang banyak terdapat di Kecamatan
Rajagaluh dan industri pengolahan makanan yang banyak terdapat di Kecamatan
Cikijing. Selain itu sektor industri pengolahan itu sendiri merupakan salah satu
sektor yang tergolong cepat memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Selain melalui PDRB, peranan sektor ekonomi dapat dilihat melalui
analisis Tabel input-output. Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun
2009 terdiri atas 28 sektor yaitu : (1) padi, (2) jagung, (3) ubi kayu, (4) buah-
buahan, (5) sayur-sayuran, (6) bahan makanan lainnya, (7) tanaman perkebunan,
(8) peternakan dan hasil-hasilnya, (9) kehutanan, (10) perikanan, (11)
pertambangan dan penggalian, (12) industri pengolahan, (13) listrik, (14) air
bersih, (15) bangunan, (16) perdagangan besar dan eceran, (17) hotel, (18)
restoran, (19) angkutan jalan raya, (20) jasa penunjang angkutan, (21)
komunikasi, (22) bank dan lembaga keuangan lainnya, (23) sewa bangunan, (24)
jasa perusahaan, (25) pemerintahan umum dan pertahanan, (26) jasa sosial
kemasyarakatan, (27) jasa hiburan dan rekreasi dan (28) jasa perorangan dan
rumah tangga. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel
input-output Tahun 2009 yang terdiri dari 28x28 sektor disajikan pada Tabel 37.
Berdasarkan Tabel 37 tersebut dapat diketahui bahwa dari struktur output
Kabupaten Majalengka sebesar Rp 7.437.306,17 juta, sebanyak 26,99% (Rp
2.007.422,80 juta) merupakan permintaan antara dan sebanyak 73,01% (Rp
5.429.883,37 juta) merupakan permintaan akhir. Secara umum, komponen
permintaan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap dan perubahan stok menggambarkan transaksi
100

domestik, sedangkan komponen ekspor menggambarkan kegiatan transaksi antar


wilayah.
Besarnya nilai permintaan akhir dibandingkan dengan permintaan antara
menggambarkan besarnya permintaan terhadap sektor-sektor ekonomi untuk
keperluan konsumsi, pemerintah, investasi dan ekspor. Nilai permintaan antara
yang kecil menggambarkan kecilnya permintaan yang terjadi antar sektor
ekonomi yang berarti menunjukkan lemahnya keterkaitan antar sektor ekonomi
dalam daerah sehingga akumulasi nilai tambah tidak terjadi di dalam wilayah.

Tabel 37. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Berdasarkan Tabel I-O


Jumlah Persentase
No. Uraian
(Juta Rupiah) (%)
Struktur Output
1 Jumlah Permintaan Antara 2.007.422,80 26,99
2 Jumlah Permintaan Akhir 5.429.883,37 73,01
3 Total Output 7.437.306,17 100,00
Struktur Input
4 Jumlah Input Antara 2.007.422,80
5 Jumlah Input Primer/Nilai Tambah Bruto 121.997,28 100,00
- Upah dan Gaji 36.879,18 30,23
- Surplus Usaha 73.480,52 60,23
- Penyusutan 6.997,97 5,74
- Pajak Tak Langsung 4.639,60 3,80
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Struktur Tabel I-O dengan nilai total output yang lebih banyak
dialokasikan sebagai permintaan akhir menunjukkan bahwa output yang ada
cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung baik oleh masyarakat
maupun belanja pemerintah, investasi dan langsung diekspor daripada digunakan
untuk transaksi antar sektor dalam proses produksi.
Berdasarkan struktur inputnya, perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 terdiri atas input antara sebesar 94,27% (Rp 2.007.422,80 juta) dan
input primer sebesar 5,73% ( Rp 121.997,28 juta). Input primer merupakan selisih
antara total input dengan input antara. Input primer sering disebut juga nilai
tambah bruto (NTB). Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa pemakaian
faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha,
101

penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan struktur input primer atau NTB,
sebanyak 30,23% dari NTB merupakan upah gaji (Rp 36.879,18 juta), 60,23%
merupakan surplus usaha (Rp 73.480,52 juta), 5,74% merupakan penyusutan (Rp
6.997,97 juta) dan 3,80% adalah pajak tak langsung (Rp 4.639,60 juta).
Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau
keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Investasi akan
bermanfaat bagi suatu daerah jika dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal yang ada di daerah tersebut. Adapun struktur tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Pada Tabel 38 ditampilkan total output tiap sektor berdasarkan Tabel I-O
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut, maka peran
subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memberikan
kontribusi sebesar Rp 684.744,12 juta atau 9,21%, sayur-sayuran memberikan
kontribusi sebesar Rp. 233.993,77 juta atau 3,15%, buah-buahan memberikan
kontribusi sebesar Rp 150.744,16 juta atau 2,03%, jagung memberikan kontribusi
sebesar Rp 87.616,79 juta atau 1,18%, bahan makanan lainnya memberikan
kontribusi sebesar Rp 37.418,21 juta atau 0,50% dan ubi kayu memberikan
kontribusi sebesar Rp 12.374,13 juta atau 0,17 %. Secara keseluruhan kontribusi
dari keenam komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila
digabungkan adalah sebesar Rp 1.206.891,18 juta atau 16,23% dari total output
seluruh sektor perekonomian atau menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor
perekonomian.
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
total output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah : sektor
industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, bangunan, padi serta
pemerintahan umum dan pertahanan. Kontribusi paling besar disumbangkan oleh
sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 1.937.571,83 juta atau 26,05% .
102

Tabel 38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Total Output Persentase
No. Sektor Perekonomian
(Juta rupiah) (%)
1 Industri pengolahan 1.937.571,83 26,05
2 Perdagangan besar dan eceran 800.083,26 10,76
3 Bangunan 687.069,09 9,24
4 Padi 684.744,12 9,21
5 Pemerintahan umum dan pertahanan 681.837,89 9,17
6 Angkutan jalan raya 433.929,60 5,83
7 Restoran 410.117,34 5,51
8 Sayur-sayuran 233.993,77 3,15
9 Peternakan dan hasil-hasilnya 207.747,73 2,79
10 Pertambangan dan penggalian 200.775,78 2,70
11 Perorangan dan rumah tangga 182.386,59 2,45
12 Bank dan lembaga keuangan lainnya 176.271,41 2,37
13 Sewa bangunan 157.957,08 2,12
14 Buah-buahan 150.744,16 2,03
15 Jagung 87.616,79 1,18
16 Listrik 75.661,82 1,02
17 Tanaman perkebunan 51.427,38 0,69
18 Jasa sosial kemasyarakatan 49.757,97 0,67
19 Komunikasi 48.083,54 0,65
20 Perikanan 47.874,81 0,64
21 Bahan makanan lainnya 37.418,21 0,50
22 Jasa perusahaan 31.944,81 0,43
23 Jasa penunjang angkutan 23.020,48 0,31
24 Jasa hiburan dan rekreasi 14.441,16 0,19
25 Ubi kayu 12.374,13 0,17
26 Kehutanan 6.946,69 0,09
27 Hotel 3.078,32 0,04
28 Air bersih 2.430,40 0,03
Jumlah 7.437.306,17 100,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Berdasarkan struktur PDRB dan total output, sektor industri pengolahan


dan perdagangan besar dan eceran memiliki peran yang cukup besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Peran tersebut akan menjadi lebih
baik jika industri pengolahan yang ada merupakan industri yang menggunakan
sumberdaya lokal yang ada di Kabupaten Majalengka.
103

5.2.2. Keterkaitan Sektoral


Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan oleh distribusi
sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah merupakan
salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pengembangan wilayah.
Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan sektoral ini
adalah analisis input-output (I-O). Dari hasil analisis I-O dapat diketahui sektor-
sektor mana saja yang bisa dijadikan leading sector atau sektor pemimpin dalam
pembangunan ekonomi sehingga dengan memfokuskan pembangunan pada
sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik.
Beberapa parameter teknis yang bisa diketahui dari analisis I-O adalah
keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan
langsung dan tidak langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung
ke depan, indeks penyebaran dan indeks kepekaan. Dengan analisis tersebut dapat
diketahui tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor-sektor
perekonomian suatu wilayah. Keunggulan suatu sektor dapat dilihat dari tingkat
keterkaitan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas
perekonomian (Daryanto dan hafizrianda 2010a). Keterkaitan yang kuat dari suatu
sektor ditandai dengan nilai-nilai parameter keterkaitan yang tinggi. Sektor
dengan angka keterkaitan ke belakang yang tinggi menunjukkan bahwa
peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di
belakangnya (hulu). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat
berarti mampu mendorong aktivitas sektor-sektor perekonomian yang ada di
hilirnya.
Adanya keterkaitan antar sektor dapat menunjukkan adanya sinergi yang
baik dalam roda perekonomian suatu wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa antar
sektor ekonomi dapat saling melengkapi dengan memanfaatkan seoptimal
mungkin sumberdaya domestik. Makin kuat keterkaitan antar sektor, makin kecil
ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kemungkinan
terjadinya kebocoran wilayah sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat
dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor
104

pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor


tersebut saling mempengaruhi dalam roda perekonomian (Rustiadi et al. 2009).
Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan banyaknya output suatu
sektor yang digunakan oleh sektor-sektor lain. Keterkaitan ini menunjukkan
akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian
output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Pada Gambar
17 ditampilkan keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage
(DFL) sektor-sektor perekonomian yang ada di Kabupaten Majalengka. Nilai DFL
di atas rata-rata adalah yang memiliki indeks ≥ 1. Berdasarkan Gambar 17
diketahui bahwa sektor yang memiliki nilai DFL ≥ 1 adalah sektor perdagangan
besar dan eceran yaitu memiliki nilai DFL sebesar 1,2292 sedangkan sektor
lainnya memiliki indeks < 1. Urutan sektor yang memiliki nilai DFL tertinggi
adalah (1) perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan
lembaga keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) bangunan.

Gambar 17. Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian


105

Adapun besarnya peran subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan


Gambar 17 adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DFL sebesar 0,2561
menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki nilai DFL sebesar 0,0928
menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DFL sebesar
0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki nilai DFL sebesar 0,0627
menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL sebesar 0,0238 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL sebesar 0,0085 serta
menempati urutan ke-27. Berdasarkan nilai DFL ini maka subsektor tanaman
bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah padi,
buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Ketiga komoditas tersebut memiliki
nilai DFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor
perikanan, tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.

Gambar 18. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian


106

Keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBL)


menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang
menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan
permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian
ditampilkan pada Gambar 18. Nilai DBL di atas rata-rata adalah yang memiliki
nilai indeks ≥1. Berdasarkan gambar tersebut, semua sektor memiliki nilai DBL
<1, hal ini menunjukkan bahwa semua sektor memiliki nilai di bawah rata-rata.
Sektor yang memiliki nilai DBL yang tertinggi adalah sektor industri pengolahan,
hotel dan bangunan.
Adapun besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan
nilai DBLnya secara berurutan adalah sebagai berikut : jagung memiliki nilai
DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai DBL sebesar
0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan memiliki nilai DBL sebesar 0,0967
menempati urutan ke-24, bahan makanan lainnya memiliki nilai DBL sebesar
0,0940 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai DBL sebesar
0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DBL sebesar 0,0639
serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai DBL
diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor kehutanan
yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian.
Hampir semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai DBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DFL-nya, kecuali
sektor padi yang memiliki nilai DFL lebih besar dibandingkan dengan nilai DBL-
nya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi
kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari sektor
lain untuk digunakan sebagai input bagi sektornya daripada dapat menghasilkan
output yang digunakan sebagai input bagi sektor lainnya secara langsung. Berbeda
dengan padi, komoditas ini lebih banyak menghasilkan output yang dapat
digunakan oleh sektor lain sebagai input secara langsung dibandingkan
menggunakan output dari sektor lain untuk digunakan sebagai input sektornya
sendiri.
107

Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan atau Direct Indirect


Forward Linkage (DIFL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut secara langsung dan tidak
langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke depan (DIFL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar
19. Lima sektor yang memiliki nilai DIFL tertinggi berturut-turut adalah (1)
perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan lembaga
keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) padi.

Gambar 19. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor


perekonomian

Berdasarkan Gambar 19 tersebut, besarnya peranan subsektor tanaman


bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DIFL sebesar 1,4751
menempati urutan ke-5, buah-buahan memiliki nilai DIFL sebesar 1,1173
menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DIFL sebesar
1,0960 menempati urutan ke-17, jagung memiliki nilai DIFL sebesar 1,0716
108

menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DIFL sebesar 1,0271 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DIFL sebesar 1,0089 serta
menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DIFL ini maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Keempat komoditas
tersebut memiliki nilai DIFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang juga merupakan
bagian dari sektor pertanian.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect
Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung dan
tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada
Gambar 20.

Gambar 20. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor


perekonomian
109

Berdasarkan Gambar 20 tersebut, sektor yang memiliki nilai DIBL


tertinggi adalah sektor industri pengolahan dengan nilai 1,5798. Adapun besarnya
peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : jagung
memiliki nilai DIBL sebesar 1,1772 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai
DIBL sebesar 1,1315 menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai DIBL
sebesar 1,1217 menempati urutan ke-25, bahan makanan lainnya memiliki nilai
DIBL sebesar 1,1110 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai
DIBL sebesar 0,0860 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DIBL
sebesar 1,0814 serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai DIBL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor
kehutanan yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian.
Sebagian besar komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai DIBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DIFL-nya, kecuali
komoditas padi yang memiliki nilai DIFL lebih besar dibandingkan dengan nilai
DIBL-nya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran,
ubi kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari
sektor lain secara langsung dan tidak langsung untuk digunakan sebagai input bagi
sektornya daripada dapat menghasilkan output yang digunakan sebagai input bagi
sektor lainnya. Berbeda dengan komoditas padi, komoditas ini lebih banyak
menghasilkan output yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai input secara
langsung dan tidak langsung dibandingkan menggunakan output dari sektor lain.
Nilai DBL dan DIBL jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi kayu dan
bahan makanan lainnya yang lebih besar dibandingkan dengan nilai DFL dan
DIFL menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut lebih banyak menggunakan
input dari sektor lain daripada outputnya digunakan sebagai input sektor lain.
Nilai DFL dan DIFL padi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
DBL dan DIBL menunjukkan bahwa output komoditas padi lebih banyak
digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lainnya dan lebih sedikit menggunakan
input dari sektor lain.
110

Selanjutnya, sektor-sektor manakah yang terkait dengan komoditas-


komoditas subsektor tanaman bahan makanan secara langsung disajikan pada
Gambar 21, 22, 23 dan 24. Keterkaitan langsung komoditas padi dengan sektor-
sektor lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang di sajikan pada
Gambar 21.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 21. Keterkaitan padi dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan ke depan komoditas padi tertinggi adalah dengan sektor


industri pengolahan. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas padi dengan
industri pengolahan adalah sebesar 87,50% dari total permintaan antara. Hal ini
berarti output komoditas padi banyak digunakan sebagai input oleh industri
pengolahan. Industri pengolahan yang menggunakan input komoditas padi yang
berkembang di Kabupaten Majalengka adalah industri makanan, penggilingan
padi dan pembuatan bata merah. Output komoditas padi yang digunakan dalam
pembuatan bata merah adalah sekam padi, dimana sekam padi diperlukan sebagai
salah satu bahan campuran pembuatan bata merah serta digunakan untuk proses
pembakaran bata merah. Komoditas padi ini juga memiliki keterkaitan ke depan
dengan sektor peternakan dan hasilnya karena limbah dari komoditas padi ini
banyak digunakan sebagai pakan ternak.
Keterkaitan ke belakang komoditas padi tertinggi adalah dengan
komoditas padi itu sendiri diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran.
Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas padi dengan komoditas padi itu
111

sendiri adalah sebesar 65,05% dari total input antara. Komoditas padi ini
memerlukan sarana produksi sebagai inputnya. Pemenuhan kebutuhan akan sarana
produksi (bibit, pupuk, dll) dapat dipenuhi dari sektor padi itu sendiri dan sektor
perdagangan besar dan eceran.
Keterkaitan langsung antara komoditas jagung dengan sektor-sektor
lainnya baik keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang disajikan pada
Gambar 22. Keterkaitan langsung tertinggi baik keterkaitan langung ke depan
maupun ke belakang komoditas jagung adalah dengan komoditas jagung itu
sendiri. Adapun besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang komoditas jagung
dengan komoditas jagung itu sendiri berturut-turut sebesar 29,30% dari
permintaan antara dan 30,59% dari total input antara. Komoditas jagung banyak
membutuhkan input dari komoditas jagung itu sendiri sebagai benih,
membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta
membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output
komoditas jagung ini juga digunakan untuk sektor perikanan dan peternakan
sebagai pakan ternak serta sebagian diolah oleh industri pengolahan.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 22. Keterkaitan jagung dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan langsung komoditas buah-buahan dengan sektor-sektor


lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang disajikan pada Gambar 23.
112

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang


Gambar 23. Keterkaitan buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan tertinggi ke depan maupun ke belakang komoditas buah-


buahan adalah dengan komoditas buah-buahan itu sendiri. Komoditas buah-
buahan banyak membutuhkan input dari komoditas buah-buahan itu sendiri
sebagai benih, membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan
eceran serta membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk
organik. Output komoditas buah-buahan ini juga digunakan oleh sektor jasa sosial
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta hotel dan restoran untuk dikonsumsi.
Selain itu juga sebagian digunakan untuk industri pengolahan. Keterkaitan antara
komoditas sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya baik keterkaitan ke depan
maupun ke belakang di sajikan pada Gambar 24.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 24. Keterkaitan sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya


113

Komoditas sayuran memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi dengan


komoditas sayuran itu sendiri. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas sayuran
dengan komoditas sayuran itu sendiri adalah sebesar 77,98% dari total permintaan
antara. Komoditas sayuran ini tidak memiliki keterkaitan ke depan dengan industri
pengolahan melainkan memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor hotel,
restoran, pemerintahan umum, jasa sosial kemasyarakatan serta hiburan dan
rekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran merupakan komoditi
yang lebih banyak dikonsumsi langsung. Komoditas sayuran memiliki keterkaitan
ke belakang yang tinggi dengan sektor perdagangan besar dan eceran, angkutan
jalan raya serta peternakan dan hasil-hasilnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
tersebut mempunyai peran yang besar dalam penyediaan input sarana produksi
bagi komoditas sayuran. Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas sayuran
dengan sektor perdagangan besar dan eceran adalah sebesar 52,35% dari total
input antara
Sektor yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor-
sektor hulu atau hilir baik melalui mekansime transaksi pasar output maupun
pasar input sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi wilayah yang
berkelanjutan. Untuk mengetahui sektor-sektor tersebut dapat dianalisis dengan
menggunakan dua indeks keterkaitan yaitu daya penyebaran dan derajat kepekaan.
Nilai indeks daya penyebaran dan indeks daya kepekaan ini merupakan nilai
keterkaitan kangsung dan tidak langsung yang sudah dinormalkan dengan cara
membagi nilai keterkaitan suatu sektor dengan rata-rata nilai keterkaitan seluruh
sektor. Dari nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan akan
diperoleh indeks daya kepekaan sedangkan dari nilai keterkaitan langsung dan
tidak langsung ke belakang akan diperoleh indeks daya penyebaran.
Indeks daya penyebaran (IDP) menunjukkan kekuatan relatif permintaan
akhir suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor
perekonomian. Nilai indeks daya penyebaran lebih besar dari satu menujukkan
bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan
sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai
input oleh sektor tersebut, sedangkan nilai kurang dari satu menunjukkan bahwa
sektor tersebut kurang mampu menarik sektor hulunya. Pada Gambar 25
114

ditampilkan nilai indeks penyebaran sektor-sektor perekonomian. Berdasarkan


gambar tersebut semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai IDP kurang dari satu yang menunjukkan bahwa komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan kurang mampu meningkatkan pertumbuhan
produksi bagi sektor-sektor hulunya. Komoditas yang memiliki nilai IDP terbesar
diantara komoditas lain dalam sektor tanaman bahan makanan adalah komoditas
jagung dengan nilai IDP sebesar 0,9395 dan padi dengan nilai IDP sebesar 0,9030.

Gambar 25. Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian

Indeks daya kepekaan (IDK) menunjukkan sumbangan relatif suatu sektor


dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor perekonomian. Nilai indeks
daya kepekaan lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki
kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilirnya yang
memakai input dari sektor tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2009), jika suatu
sektor memiliki karakteristik indeks daya kepekaan > 1, maka sektor tersebut
115

merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi
permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata sektor yang lain. Nilai indeks daya
kepekaan sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 26.

Gambar 26. Nilai Indeks Daya Kepekaan sektor-sektor perekonomian

Pada Gambar 26 terlihat bahwa komoditas padi merupakan satu-satunya


komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki IDK lebih besar dari
satu (1,1773). Artinya komoditas padi ini merupakan komoditas yang strategis
dan memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor
hilirnya. Komoditas jagung, ubi kayu, buah-buahan, sayur-sayuran dan bahan
makanan lainnya memiliki nilai IDK kurang dari satu. Hal ini menunjukkan
bahwa komoditas-komoditas tersebut kurang mampu mendorong pertumbuhan
sektor hilirnya.
116

Komoditas dengan nilai Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Daya
Kepekaan (IDK) tinggi merupakan suatu komoditas yang memiliki basis domestik
yang baik dari sisi input maupun output. Artinya komoditas-komoditas tersebut
lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestiknya
dan lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari
sektor produksi domestik. Dengan kata lain komoditas tersebut lebih sedikit
menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk
memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan
indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain.
Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan
cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya.
Berdasarkan IDP dan IDK, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
di Kabupaten Majalengka yang memiliki basis domestik yang baik hanyalah
komoditas padi. Komoditas padi ini memiliki basis domestik dari sisi output.
Artinya komoditas ini lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi
kebutuhan input antara sektor-sektor domestik. Selain itu komoditas ini juga
merupakan komoditas yang akan cepat terpengaruh dengan adanya perubahan di
sektor lainnya.

5.2.3. Multiplier Effect


Multiplier terbagi menjadi multiplier Tipe I dan multiplier Tipe II.
Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief (I-A)-1, dimana
sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous, sedangkan multiplier Tipe II
tidak hanya menghitung dampak langsung dan tidak langsung, tetapi termasuk
pula dampak induksi, yaitu dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga
akibat peningkatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Analisis
multiplier effect yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier
Tipe I.
Analisis multiplier effect dari sektor-sektor perekonomian wilayah
Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel I-O Tahun 2009 terdiri atas multiplier
output, NTB, pendapatan (income) dan pajak tak langsung.
117

5.2.3.1. Multiplier Effect Output


Multiplier Effect Output menunjukkan dampak meningkatnya permintaan
akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah. Hasil
analisis Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian disajikan pada
Gambar 27.

Gambar 27. Nilai Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa peran


komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan terhadap output
perekonomian adalah : jagung memiliki nilai multiplier effect output sebesar
1,1772 yang menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai multiplier effect output
sebesar 1,1315 yang menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,1217 yang menempati urutan ke-25, bahan
makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1110 yang
menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier effect output
118

sebesar 1,0860 yang menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,0814 yang menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect output tersebut maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan komoditas lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect output jagung sebesar 1,1772 berarti bahwa setiap
peningkatan permintaan akhir jagung sebesar satu satuan, maka output
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka akan meningkat sebesar ekivalen
1,1772. Dengan kata lain, apabila permintaan akhir jagung meningkat 1 milyar
rupiah maka dampak terhadap perekonomian wilayah (output) meningkat sebesar
1,1772 milyar rupiah.

5.2.3.2. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto


Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB Multiplier adalah
dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan NTB.
Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB adalah input primer yang merupakan
bagian dari input secara keseluruhan. Dalam tabel I-O diasumsikan NTB atau
PDRB berhubungan dengan output secara linier. Artinya peningkatan atau
penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan atau penurunan
NTB.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui besarnya peranan subsektor
tanaman bahan makanan terhadap peningkatan nilai tambah bruto/PDRB yaitu
komoditas jagung memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1447 menempati
urutan ke-18, padi memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1189 menempati
urutan ke-20, bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier NTB sebesar
1,0965 menempati urutan ke-24, buah-buahan memiliki nilai multiplier NTB
sebesar 1,0953 menempati urutan ke-25, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier
NTB sebesar 1,0660 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier NTB sebesar 1,0597 menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai
multiplier NTB tersebut maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
119

memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua
komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas
tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.
Nilai NTB multiplier jagung sebesar 1,1447 berarti bahwa apabila
permintaan akhir komoditas jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak
terhadap nilai tambah/PDRB akan meningkat sebesar 1,1447 milyar rupiah.
Multiplier Effect NTB/PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 28.

Gambar 28. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (PDRB)


sektor-sektor perekonomian
120

5.2.3.3. Multiplier Effect Pendapatan


Nilai dari Multiplier Effect Pendapatan menunjukkan dampak
meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan
rumah tangga di suatu wilayah. Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor
perekonomian di Kabupaten Majalengka ditampilkan pada Gambar 29.

Gambar 29. Multiplier Effect pendapatan sektor-sektor perekonomian

Dari Gambar 29 dapat diketahui besarnya peranan subsektor tanaman


bahan makanan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga yaitu komoditas
jagung memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,2260 menempati
urutan ke-15, buah-buahan memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,2201 menempati urutan ke-16, ubi kayu memiliki nilai multiplier effect
pendapatan sebesar 1,1503 menempati urutan ke-21, padi memiliki nilai multiplier
effect pendapatan sebesar 1,1437 menempati urutan ke-22, sayur-sayuran
memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,1309 menempati urutan ke-
121

26 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,1127 menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan tersebut maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan
dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect pendapatan untuk komoditas jagung bernilai 1,2260
berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas jagung
sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di
sektor komoditas jagung sebanyak 1,2260 kali. .
Selain itu, berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan terlihat bahwa
untuk komoditas ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pendapatan pada urutan
ke-3 diantara komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan menempati posisi
diatas komoditas padi, hal ini karena komoditas ubi kayu merupakan komoditas
yang relatif mudah ditanam dan tidak terlalu membutuhkan banyak input serta
perlakuan khusus dalam membudidayakannya tetapi hasilnya sangat dibutuhkan
untuk konsumsi penduduk maupun untuk bahan baku industri sehingga dapat
memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Adapun komoditas padi
merupakan komoditas yang menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat
sehingga campur tangan pemerintah dalam mengendalikan komoditas ini cukup
besar termasuk dalam pengendalian harga jual yang mengakibatkan komoditas
padi tidak memberikan multipier effect yang besar terhadap peningkatan
pendapatan.

5.2.3.4. Multiplier Effect Pajak Tak Langsung


Adanya sumber pendapatan yang terbatas di daerah untuk melaksanakan
pembangunan mengharuskan pemerintah daerah mampu mengelola potensi
sumber-sumber pendapatan yang ada di daerah. Salah satu potensi sumber
pendapatan daerah adalah pajak sebagai bagian dari penerimaan asli daerah.
Multiplier Effect pajak tak langsung menunjukkan dampak meningkatnya
122

permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung pada
sektor tersebut. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir pada suatu
sektor tertentu sebesar satu rupiah, maka akan berdampak pada meningkatnya
pajak tak langsung sebesar nilai pengganda pajak di sektro tersebut. Nilai
multiplier effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 30.

Gambar 30. Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian

Dari nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut dapat diketahui
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pajak
tak langsung adalah : komoditas buah-buahan memiliki nilai multiplier effect
pajak sebesar 1,5827 menempati urutan ke-11, jagung memiliki nilai multiplier
effect pajak sebesar 1,4884 menempati urutan ke-13, ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect pajak sebesar 1,2911 menempati urutan ke-17, padi memiliki
nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2145 menempati urutan ke-20, sayur-
123

sayuran memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1925 menempati urutan
ke-22 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar
1,1536 menempati urutan ke-24. Nilai multiplier effect pajak untuk komoditas
buah-buahan bernilai 1,5827 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan
akhir komoditas buah-buahan sebesar satu satuan akan meningkatkan pajak tak
langsung sebesar ,1536 kali.
Berdasarkan nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut maka
komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan
lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan
yang merupakan bagian sektor pertanian.
Hotel memiliki nilai multiplier effect pajak tak langsung yang paling
tinggi, hal ini karena tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 merupakan
hasil turunan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, sehingga hasil
perhitungan multiplier effect pajak tak langsung sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki potensi kunjungan
wisata yang tinggi karena memiliki beberapa obyek wisata andalan seperti pantai
pangandaran, batu hiu, karang nini dan green canyon (cukang taneuh). Hal
tersebut menjadi potensi yang dapat mengakibatnya tingginya nilai multiplier
effect pajak tak langsung dari sektor hotel. Adapun untuk Kabupaten Majalengka
multiplier effect pajak tak langsung sektor hotel yang tinggi kurang mencerminkan
kondisi yang ada di lapangan hal ini salah satu penyebabnya karena potensi wisata
di Kabupaten Majalengka masih rendah.
Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui
analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum komoditas-komoditas subsektor
tanaman bahan makanan masih memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect
yang rendah, sehingga upaya pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
yang dapat dilakukan dalam mewujudkannya menjadi salah satu sektor unggulan
yang strategis adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan
makanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah Kabupaten
Majalengka.
124

Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-


sektor lain dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik peningkatan keterkaitan ke
belakang maupun ke depan. Peningkatan keterkaitan ke belakang subsektor
tanaman bahan makanan dengan subsektor peternakan misalnya adalah dengan
pengembangan program komoditas tanaman bahan makanan organik dengan cara
memanfaatkan penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk organik. Keterkaitan
dengan industri pengolahan misalnya dengan pengembangan industri kemasan
dan labelling untuk meningkatkan nilai jual komoditas-komoditas tanaman bahan
makanan. Dan keterkaitan dengan sektor bank dan lembaga keuangan lainnya
dalam bentuk kemudahan untuk mengakses kredit atau pinjaman modal usaha.
Adapun peningkatan keterkaitan ke depan subsektor tanaman bahan
makanan dapat dilakukan dengan cara pengembangan industri pengolahan hasil
pertanian yang menggunakan bahan baku lokal, peningkatan keterkaitan dengan
sektor restoran dengan himbauan untuk menggunakan bahan baku lokal sebagai
menu hidangannya, pengembangan sektor perdagangan besar dan eceran maupun
sektor angkutan yang dapat menunjang mobilitas hasil-hasil pertanian.

5.3. Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan di


Kabupaten Majalengka
Pengembangan komoditas ungulan daerah merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat dalam rangka
meningkatkan perekonomian dan pengembangan wilayah. Penetapan komoditas
unggulan daerah diperlukan agar program dan kebijakan pembangunan serta
pemanfaatan sumberdaya pertanian lebih efektif dan efisien karena terfokus pada
pengembangan komoditas unggulan tersebut. Untuk menentukan komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di Kabupaten
Majalengka dilakukan dengan menganalisis potensi dan daya saing komoditas
subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso dan mikro. Analisis
potensi dan daya saing komoditas dilakukan pada level makro bertujuan untuk
melihat potensi dan kondisi komoditas secara makro yaitu dalam hal ini potensi
komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka di wilayah
Provinsi Jawa Barat. Analisis di level meso bertujuan untuk melihat kondisi dan
125

potensi komoditas subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian


wilayah di Kabupaten Majalengka sedangkan analisis di level mikro bertujuan
untuk melihat potensi dan kondisi komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di wilayah Kabupaten Majalengka dalam hal ini dilihat dari
aspek produksi dan luas panen.

5.3.1. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Makro


Pada level makro, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
merupakan komoditas basis yang memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif. Penilaian pada level makro dilakukan berdasarkan hasil analisis LQ
dan SSA (differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman
bahan makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hasil
analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas tanaman pangan tersaji
pada Tabel 39.

Tabel 39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan
Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Padi 0,97 0,97 1,03 -0,03 -0,02 -0,09
2 Jagung 1,91 2,15 2,32 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17 0,23 -0,04 0,08
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31 -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91 0,36 0,31 0,05
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43 -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Berdasarkan Tabel 39 tersebut maka komoditas tanaman pangan yang


merupakan komoditas basis dan memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif adalah padi, jagung, kedelai dan kacang hijau. Untuk komoditas padi
terlihat bahwa secara produksi komoditas ini merupakan komoditas
basis/memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak unggul secara kompetitif atau
nilai differential shiftnya negatif, hal ini dimungkinkan karena sejak awal
126

komoditas ini sudah memiliki angka luas tanam, luas panen maupun produksi
yang sudah cukup besar sehingga tingkat pertumbuhan/pergeserannya kecil
(negatif) sehingga dalam hal ini tetap dikategorikan sebagai komoditas basis.
Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas buah-
buahan tersaji pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel 40 terlihat banyak sekali
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif
sehingga komoditas buah-buahan yang merupakan komoditas basis dan memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah alpukat, durian, jambu biji,
jambu air, jeruk, mangga, nangka, papaya, pisang, sawo, sirsak, sukun, melinjo
dan petai.

Tabel 40. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan


Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas
Jml Pohon Produksi Jml Pohon Produksi
1 Alpukat 3,10 1,59 0,55 0,45
2 Belimbing 2,38 0,97 -0,02 -0,28
3 Dukuh/langsat 0,17 0,11 0,04 -0,19
4 Durian 2,12 0,93 0,25 -0,23
5 Jambu Biji 2,02 1,17 0,38 1,21
6 Jambu Air 1,99 0,91 -0,04 0,82
7 Jeruk 1,31 1,09 -0,15 0,15
8 Jeruk Besar 0,57 0,31 -0,24 -1,88
9 Mangga 4,49 3,56 0,58 0,48
10 Manggis 0,18 0,05 -0,34 1,99
11 Nangka 3,26 1,19 0,05 -0,60
12 Nenas 0,02 0,00 0,21 -0,60
13 Pepaya 1,09 0,29 0,13 -1,20
14 Pisang 1,26 0,59 0,11 0,31
15 Rambutan 0,78 0,25 0,04 0,42
16 Salak 0,04 0,04 0,53 0,47
17 Sawo 1,04 0,89 0,41 -0,56
18 Markisa 0,08 0,00 -0,09 -0,97
19 Sirsak 1,01 0,18 0,03 -0,07
20 Sukun 2,30 0,62 0,91 0,23
21 Melinjo 8,06 9,73 0,05 1,75
22 Petai 2,70 2,45 0,36 0,93
Sumber : Hasil Analisis (2011)
127

Komoditas sayur-sayuran yang merupakan komoditas basis dan unggul


secara komparatif dan kompetitif adalah bawang merah dan kembang kol. Hasil
analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas sayur-sayuran secara
lengkap tersaji pada Tabel 41.

Tabel 41. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran


Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Bawang Merah 3,95 4,06 6,44 -0,03 -0,12 0,09
2 Bawang Putih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3 Bawang Daun 2,48 2,36 3,74 -0,16 -0,34 -0,22
4 Kentang 0,97 0,86 0,97 6,80 -0,01 0,10
5 Kubis 1,10 1,08 0,60 -0,21 -0,32 -0,49
6 Kembang Kol 1,15 0,90 0,95 0,20 0,005 0,02
7 Sawi 0,57 0,61 0,93 0,64 0,58 0,17
8 Wortel 0,23 0,25 0,09 -0,06 0,03 -0,36
9 Lobak 0,07 0,00 0,00 -0,56 -0,84 -0,77
10 Kacang Merah 0,31 0,37 0,39 -0,25 -0,28 -0,27
11 Kacang Panjang 0,15 0,17 0,14 -0,45 -0,51 0,25
12 Cabe Besar 1,05 1,18 0,72 -0,13 -0,14 -0,60
13 Cabe Rawit 1,13 1,42 1,10 -0,38 -0,27 -0,91
14 Tomat 0,43 0,43 0,38 0,50 0,43 -0,74
15 Terung 0,80 0,89 0,94 0,86 0,61 0,99
16 Buncis 0,35 0,39 0,38 -0,01 -0,07 0,26
17 Ketimun 0,39 0,50 0,35 -0,26 -0,16 -0,22
18 Labu Siam 0,16 0,48 0,08 -0,47 0,19 -1,14
19 Kangkung 0,03 0,03 0,01 -0,64 -0,39 -1,19
20 Bayam 0,01 0,01 0,04 0,00 0,00 0,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Walaupun berdasarkan hasil analisis tersebut ada beberapa komoditas


yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif selain bawang merah dan
kembang kol namun tidak dikategorikan komoditas basis dan unggul secara
komparatif dan kompetitif karena komoditas-komoditas tersebut hanya unggul
secara komparatif saja (LQ>1) ataupun unggul secara kompetitif saja (differential
shift positif).
128

5.3.2. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Meso


Pada level meso, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
memiliki keterkaitan dan nilai multiplier effect yang besar. Penilaian pada level
meso ini dilakukan berdasarkan hasil analisis tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009. Dari hasil analisis keterkaitan ke depan (Direct Forward
Linkage/DFL) seperti tersaji pada Gambar 31, terlihat bahwa komoditas yang
memiliki keterkaitan tinggi adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya.

Gambar 31. Keterkaitan ke depan komoditas subsektor tanaman bahan makanan

Berdasarkan analisis keterkaitan ke belakang (Direct Backward Linkage/


DBL) seperti tersaji pada Gambar 32, terlihat bahwa komoditas yang memiliki
keterkaitan tinggi adalah jagung, padi dan buah-buahan.

Gambar 32. Keterkaitan ke belakang komoditas subsektor tanaman bahan


makanan
129

Apabila dilihat dari besarnya kontribusi masing-masing komoditas buah-


buahan dan bahan makanan lainnya terhadap total PDRB komoditasnya masing-
masing maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud komoditas buah-buahan
dalam hal ini adalah mangga, pisang, durian dan melinjo. Adapun yang dimaksud
sektor tanaman bahan makanan lainnya adalah ubi jalar, kedelai dan kacang hijau
(Gambar 33 dan Gambar 34)

a. Proporsi Buah-buahan b. Proporsi Bahan Makanan Lainnya

Gambar 33. Proporsi Komoditas Buah-buahan dan Bahan Makanan


LainTerhadap PDRB per komoditasnya

Adapun hasil analisis multiplier effect dari komoditas subsektor tanaman


bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 42.

Tabel 42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Multiplier Effect
No Komoditas
Pendapatan Pajak PDRB Output
1 Padi 1,14 1,21 1,12 1,13
2 Jagung 1,23 1,49 1,14 1,18
3 Ubi Kayu 1,15 1,29 1,06 1,08
4 Buah-buahan 1,22 1,58 1,10 1,12
5 Sayur-sayuran 1,13 1,19 1,07 1,09
6 Bahan makanan lainnya 1,11 1,15 1,10 1,11
Sumber : Hasil Analisis (2011)
130

Dari tabel tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
pendapatan diatas rata-rata adalah jagung dan buah-buahan, komoditas yang
memiliki nilai multiplier effect pajak diatas rata-rata adalah jagung dan buah-
buahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect PDRB diatas rata-rata
adalah padi dan jagung serta komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
Output diatas rata-rata adalah padi dan jagung. Berdasarkan hal tersebut maka
komoditas yang memiliki nilai multiplier effect yang besar adalah padi, jagung
dan buah-buahan.

5.3.3. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Mikro


Pada level mikro kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
banyak diusahakan oleh petani. Penilaian pada level mikro ini dilakukan
berdasarkan angka luas panen dan produksi komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di Kabupaten Majalengka pada Tahun 2009. Data yang
digunakan luas panen dan produksi karena data ini dapat menunjukkan komoditas
apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain itu angka
luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran. Tabel 43
menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah padi, jagung, ubi
kayu dan kedelai.

Tabel 43. Luas Panen dan Produksi komoditas Tanaman Pangan


Luas Panen Produksi
Komoditas Keterangan
(Ha) (Ton)
Padi 97.204 568.955 Tinggi
Jagung 15.174 89.541 Tinggi
Kedelai 2.365 3.459 Tinggi
Kacang Tanah 1.049 1.372 Rendah
Kacang Hijau 1.625 1.519 Rendah
Ubi Kayu 2.721 44.382 Tinggi
Ubi Jalar 1.080 17.730 Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)
131

Untuk komoditas buah-buahan tidak tersedia data luas panen sehingga


untuk komoditas buah-buahan analisis dilakukan hanya pada data produksi. dan
jumlah pohon. Tabel 44 menunjukkan data produksi dan jumlah pohon komoditas
buah-buahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009.

Tabel 44. Produksi dan Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan


Produksi Jumlah
Komoditas Keterangan
(kuintal) Pohon
Mangga 466.103 905.247 Tinggi
Pisang 274.838 1.641.108 Tinggi
Melinjo 141.197 602.552 Tinggi
Petai 46.603 222.671 Sedang
Alpukat 44.156 172.992 Sedang
Nangka/Cempedak 33.587 151.896 Sedang
Jambu Biji 27.427 111.897 Sedang
Rambutan 22.502 91.860 Sedang
Durian 22.077 168.586 Sedang
Jeruk 18.003 108.171 Sedang
Pepaya 10.619 56.652 Rendah
Jambu Air 8.715 47.322 Rendah
Sukun 8.271 52.824 Rendah
Sawo 4.482 12.317 Rendah
Belimbing 4.271 24.481 Rendah
Salak 1.764 22.981 Rendah
Sirsak 869 19.692 Rendah
Manggis 558 5.636 Rendah
Jeruk Besar 503 3.183 Rendah
Nenas 350 36.698 Rendah
Dukuh/langsat 343 3.084 Rendah
Markisa - 70 Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Dari Tabel 44 terlihat bahwa komoditas buah-buahan yang memiliki angka


produksi dan jumlah pohon yang tinggi adalah mangga, pisang dan melinjo. Tabel
45 menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas sayur-sayuran
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah bawang merah,
bawang daun dan cabe besar.
132

Tabel 45. Luas Panen dan Produksi komoditas Sayur-sayuran


Luas Panen Produksi
Keterangan
Komoditas (Ha) (Ton)
Bawang Merah 2.588 37.338 Tinggi
Bawang Daun 1.982 35.120 Tinggi
Cabe Besar 1.114 7.026 Tinggi
Kubis 818 8.380 Sedang
Kentang 759 14.754 Sedang
Cabe Rawit 605 5.507 Sedang
Sawi 466 8.736 Sedang
Ketimun 396 3.490 Rendah
Terung 277 3.775 Rendah
Tomat 255 7.477 Sedang
Kacang Merah 226 1.426 Rendah
Buncis 139 1.505 Rendah
Kacang Panjang 123 821 Rendah
Wortel 96 517 Rendah
Kembang Kol 56 729 Rendah
Labu Siam 51 551 Rendah
Kangkung 12 37 Rendah
Bayam 2 128 Rendah
Bawang Putih - - Rendah
Lobak - - Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)

5.3.4. Penetapan Komoditas Unggulan


Untuk menetapkan komoditas mana yang akan dijadikan komoditas
unggulan, maka hasil analisis pada level makro, meso dan mikro dirangkum
seperti yang tersaji pada Tabel 46. Berdasarkan tabel tersebut maka komoditas
yang unggul di level makro, meso dan mikro untuk komoditas tanaman pangan
adalah padi, jagung dan kedelai, sedangkan untuk komoditas buah-buahan adalah
mangga, pisang dan melinjo. Adapun untuk komoditas sayur-sayuran hanya ada
satu komoditas yang unggul di level makro dan mikro yaitu komoditas bawang
merah. Komoditas sayur-sayuran tidak unggul di level meso karena nilai
keterkaitan antar sektor dan multiplier effectnya kecil. Hal ini dimungkinkan
karena komoditas sayur-sayuran yang ada di Kabupaten Majalengka selama ini
sebagian besar digunakan untuk konsumsi maupun untuk dijual dalam bentuk
segar serta belum ada penangan lebih lanjut seperti pengemasan maupun
pengolahan. Oleh karena itu, maka komoditas sayur-sayuran tidak dipilih untuk
133

menjadi komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten


Majalengka. Namun, apabila ditinjau dari aspek besarnya keuntungan yang
diperoleh dari kegiatan usahatani komoditas sayur-sayuran, maka komoditas ini
memiliki potensi dan peluang yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani
dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Komoditas sayur-sayuran
yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi komoditas unggulan karena memiliki
potensi yang besar di Kabupaten Majalengka adalah komoditas bawang merah.
Dalam penelitian ini, komoditas sayuran tidak terpilih menjadi komoditas
unggulan disebabkan karena keterbatasan kriteria yang dibangun. Kriteria yang
digunakan untuk memilih komoditas unggulan adalah komoditas-komoditas
tersebut harus unggul pada ketiga level analisis yaitu pada level makro, meso dan
mikro.

Tabel 46. Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Komoditas Terpilih Menurut Analisis Komoditas
Komoditas
Makro Meso Mikro Unggulan
Tanaman Pangan Padi Padi Padi Padi
Jagung Jagung Jagung Jagung
Kedelai Kedelai Kedelai
Kacang Hijau Bahan Makanan lain Ubi Kayu
Ubi Jalar
Buah-buahan Alpukat Kedelai Mangga Mangga
Durian Kacang Hijau Pisang Pisang
Jambu Biji Melinjo Melinjo
Jambu Air Buah-buahan
Jeruk Mangga
Mangga Pisang
Nangka Durian
Pepaya Melinjo
Pisang
Sawi
Sirsak
Sukun
Melinjo
Petai

Sayur-sayuran Bawang merah Bawang merah


Kembang kol Bawang daun
Cabe Besar
Sumber : Hasil Analisis (2011)
134

Berdasarkan Tabel 46 maka komoditas unggulan subsektor tanaman bahan


makanan di Kabupaten Majalengka adalah padi, jagung, kedelai, mangga, pisang
dan melinjo. Selanjutnya, keenam komoditas terpilih tersebut akan dianalisis lebih
lanjut untuk melihat urutan prioritas komoditas dan arah pengembangannya
berdasarkan pendapatan para pemangku kepentingan di bidang pengembangan
pertanian.

5.4. Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten
Majalengka ditentukan melalui Analytical Hierarchy Process (AHP). Proses
AHP dilakukan untuk mendapatkan nilai (skor) prioritas dari struktur hirarki
permasalahan yang dibangun. Struktur hirarki permasalahan yang akan ditentukan
prioritasnya dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka terdiri dari tiga permasalahan utama. Permasalahan
pertama adalah menentukan jenis komoditas unggulan yang akan diprioritaskan
menurut pendapat para responden. Kedua adalah menentukan subsistem mana
yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan komoditas-komoditas unggulan
tersebut. Ketiga adalah menentukan aspek pendukung yang perlu diprioritaskan
dalam pengembangan masing-masing subsistem. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh menandakan kriteria atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan
dengan faktor lain. Adapun nilai prioritas dari masing-masing permasalahan
tersebut diuraikan pada bahasan di bawah ini.

5.4.1. Prioritas Komoditas Unggulan


Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
perlu diupayakan fokus pada komoditas unggulan agar dapat memberikan
kontribusi yang signifikan pada peningkatan perekonomian wilayah. Selain itu,
adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh setiap daerah membuat setiap
daerah perlu menetapkan prioritas-prioritas dalam melaksanakan program dan
kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan hasil analisis
komoditas unggulan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diperoleh enam
komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Majalengka. Selanjutnya, dari
135

keenam komoditas tersebut, perlu diketahui mana yang menurut para stakeholder
perlu diprioritaskan dalam rangka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di wilayah Kabupaten Majalengka. Hal ini penting untuk diketahui agar
pengembangan komoditas unggulan selaras dengan kebutuhan dan persepsi para
stakeholdernya.
Dari enam komoditas unggulan terpilih berdasarkan hasil analisis yaitu
komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo, para stakeholder
memilih komoditas padi sebagai prioritas pertama dengan skor penilaian sebesar
0,324, jagung sebagai prioritas kedua dengan skor 0,250, mangga sebagai prioritas
ketiga dengan skor 0,180, kedelai sebagai prioritas keempat dengan skor 0,122,
pisang sebagai prioritas kelima dengan skor 0,071 dan melinjo sebagai prioritas
terakhir dengan skor 0,052. Gambar 34 menunjukkan hasil persepsi para
stakeholder dalam menentukan prioritas komoditas unggulan.

Gambar 34. Hasil AHP dalam penentuan prioritas komoditas unggulan

Alasan utama para stakeholder memilih komoditas padi menjadi prioritas


pertama kemungkinan karena padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat
sehingga berhubungan erat dengan ketahanan pangan Kabupaten Majalengka.

5.4.2. Prioritas Pengembangan Subsistem Agribisnis


Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian
secara luas, utuh dan terdiri dari beberapa subsistem. Menurut Saragih (2010),
agribisnis sebagai bentuk modern pertanian mencakup empat subsistem yaitu (1)
subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana
produksi pertanian primer, (2) subsistem usahatani yang juga disebut sebagai
136

sektor pertanian primer, (3) subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk siap dimasak
maupun siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya serta (4) subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan, penyuluhan, penelitian
pengembangan dan kebijakan pemerintah.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan,
dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem-subsistem tersebut.
Namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan adanya ketimpangan
perkembangan diantara subsistem tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan
usahatani tidak memberikan hasil yang maksimal bagi para petani sebagai pelaku
utamanya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan sesuai konsep agribisnis, diperlukan arahan untuk mengetahui
prioritas pengembangan subsistem agribisnis yang dibutuhkan berdasarkan
pengalaman para stakeholder di lapangan.
Persepsi para stakeholder pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan
Gambar 35 tersebut, menunjukkan bahwa untuk pengembangan komoditas padi
yang perlu diprioritaskan adalah pengembangan subsistem agribisnis hulu diikuti
dengan pengembangan subsistem usahatani, agribisnis hilir dan jasa layanan
pendukung. Para stakeholder lebih memprioritaskan subsistem agribisnis hulu
karena subsistem agribisnis hulu menyangkut ketersediaan benih yang bermutu,
pupuk, obat-obatan dan sarana produksi lainnya yang sangat menentukan tingkat
keberhasilan petani dalam melakukan usahatani padi.
Urutan prioritas subsistem dalam pengembangan komoditas jagung
berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, agribisnis hulu dan jasa
layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa aspek pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil komoditas jagung merupakan aspek yang menjadi prioritas
untuk dikembangkan. Untuk pengembangan kedelai yang perlu diprioritaskan
secara berturut-turut adalah subsistem usahatani, agribisnis hilir, sgribisnis hulu
dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani
kedelai yang selama ini dilakukan belum optimal sehingga masih dibutuhkan
dukungan program-program pemerintah misalnya berupa pembinaan dan
137

penyuluhan yang intensif dalam hal tehnik budidaya yang baik dan benar untuk
memperoleh hasil yang maksimal.
Persepsi stakeholder dalam pengembangan mangga menunjukkan bahwa
subsistem agribisnis hulu sebagai prioritas pertama kemudian subsistem agribisnis
hilir, usahatani dan jasa layanan pendukung. Dari hasil analisis persepsi tersebut
menunjukkan bahwa ketersedian sarana produksi merupakan hal yang masih
sangat diperlukan untuk pengembangan mangga sebagai komoditas unggulan.
Berdasarkan wawancara di lapangan diketahui bahwa subsistem hulu dipilih
menjadi prioritas dalam pengembangan mangga karena banyak sekali
permasalahan yang terkait dengan hama penyakit sehingga ketersediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Adapun untuk pengembangan pisang persepsi stakeholder menunjukkan
bahwa yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem agribisnis
hilir, usahatani, hulu dan jasa layanan pendukung, demikian pula untuk
pengembangan melinjo, subsistem agribisnis hilir menempati prioritas pertama
kemudian diikuti dengan subsistem usahatani, jasa layanan pendukung dan
agribisnis hulu. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengembangan pisang dan
melinjo aspek pengolahan dan pemasaran hasil menjadi prioritas yang diperlukan.
Nilai dari masing-masing prioritas pengembangan subsistem agribisnis per
komoditas berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) disajikan pada
Gambar 35.
Berdasarkan pertimbangan untuk pengembangan keseluruhan komoditas
unggulan maka subsistem usahatani merupakan subsistem yang terpilih sebagai
prioritas pertama untuk dikembangkan dengan skor 0,287 kemudian subsistem
agribisnis hulu dengan skor 0,275, subsistem agribisnis hilir dengan skor 0,273
dan subsistem jasa layanan pendukung dengan skor 0,166. Hal ini menunjukkan
bahwa menurut persepsi para stakeholder, dalam pengembangan komoditas
unggulan di Kabupaten Majalengka masih diperlukan peningkatan tehnik-tehnik
budidaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas hasil produksi.
138

Gambar 35. Nilai AHP masing-masing subsistem per komoditas

5.4.3. Prioritas Pengembangan Aspek Pendukung


Dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan selain dibutuhkan
pengembangan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis juga dibutuhkan aspek-
aspek pendukung lain yang tak kalah pentingnya, diantaranya yaitu sumberdaya
manusia, sarana prasarana dan kelembagaan.
Sumberdaya manusia merupakan aspek yang penting dalam pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan karena sumberdaya manusia merupakan aktor
atau pelaku utama dalam kegiatan pembangunan subsektor ini. Pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan ini sangat tergantung dari kemampuan dan
kualitas sumberdaya manusianya. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan, baik
formal maupun informal. Aspek sarana prasarana merupakan fasilitas pendukung
yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani tanaman bahan makanan.
Aspek sarana prasarana ini menentukan kelancaran kegiatan budidaya, panen dan
pasca panen serta mobilitas sarana produksi dan hasil-hasil usahatani tanaman
139

bahan makanan. Aspek kelembagaan berfungsi untuk mengorganisasikan,


memfungsikan dan mengatur setiap aktivitas usahatani tanaman bahan makanan.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini
diperlukan dukungan kelembagaan untuk dapat meningkatkan posisi tawar petani.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa untuk pengembangan subsistem
hulu stakeholder memberi prioritas yang hampir sama besar terhadap peran dan
pengembangan sarana prasarana dan sumberdaya manusia yaitu dengan skor
masing-masing sebesar 0,100 dan 0,097. Adapun persepsi stakeholder dalam
pengembangan subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir menunjukkan
bahwa sumberdaya manusia menjadi prioritas pertama yang perlu dikembangkan
diikuti dengan aspek sarana prasarana dan kelembagaan. Untuk pengembangan
subsistem agribisnis jasa layanan pendukung, para stakeholder memprioritaskan
pengembangan kelembagaan kemudian sumberdaya manusia dan sarana
prasarana. Nilai hasil AHP untuk penentuan prioritas aspek pendukung per
subsistem secara lengkap disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36. Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem

Dari keseluruhan subsistem tersebut maka aspek pendukung yang terpilih


untuk diprioritaskan adalah aspek sumberdaya manusia (SDM) dengan skor 0,448
kemudian aspek sarana prasarana dengan skor 0,303 dan aspek kelembagaan
140

dengan skor 0,249. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan sistem
agribisnis faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang paling penting
untuk dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilannya. Hasil analisis AHP secara keseluruhan disajikan pada
Gambar 37.

Pembangunan Subsektor
Tanaman Bahan
Makanan

Padi Jagung Kedelai Mangga Pisang Melinjo


(0,324) (0,250) (0,122) (0,180) (0,071) (0,052)

Subsistem Subsistem Subsistem Subsistem Jasa


Agribisnis Hulu Usahatani Agribisnis Hilir Layanan Pendukung
(0,275) (0,287) (0,273) (0,166)

Sumberdaya Sarana
Kelembagan
Manusia Prasarana
(0,249)
(0,448) (0,303)

Gambar 37. Hasil AHP dalam penentuan prioritas pembangunan subsektor


tanaman bahan makanan berdasarkan persepsi seluruh stakeholder.

5.5. Arahan Pengembangan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka disusun berdasarkan hasil
analisis kondisi dan potensi subsektor tanaman bahan makanan yang diperoleh
dari analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran
subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis
input-output, analisis penentuan komoditas unggulan serta analisis prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil
141

analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan


untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk
pengembangan komoditas tersebut.
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan perlu diarahkan dalam
upaya mengoptimalkan pembangunan subsektor ini agar dapat menjadi sektor
unggulan yang mampu menjadi motor penggerak perekonomian wilayah dengan
berbasis potensi lokal dan berdimensi kerakyatan. Pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan yang ada selama ini masih berlangsung secara parsial
sehingga hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
pembangunan subsektor ini lebih lanjut memerlukan dukungan dari berbagai
pihak secara konsisten dan terintegrasi baik dari berbagai instansi pemerintah
yang terlibat maupun dari masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dapat diketahui bahwa subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis dengan
memiliki beberapa komoditas yang unggul dari aspek luas tanam, luas panen
maupun produksi. Namun dari komoditas-komoditas yang ada tidak selalu unggul
dari ketiga aspek tersebut sehingga arahan yang disarankan untuk peningkatan
nilai keunggulan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan adalah
dengan melakukan peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatan kinerja subsektor ini
adalah :
1) Peningkatan teknologi budidaya untuk mendorong peningkatan produksi dan
produktivitas serta menghasilkan produk yang berkualitas.
2) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang bergerak di subsektor
tanaman bahan makanan baik petani maupun petugas, antara lain melalui
pendidikan pelatihan dan penyuluhan yang kontinyu.
3) Pengelolaan sumberdaya lahan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan
secara bijak dengan memperhatikan asas kelestarian lingkungan.
4) Pengembangan ketersediaan sarana produksi seperti pupuk, dan benih yang
bermutu sehingga dapat menjamin keberlangsungan usahatani.
142

5) Pengembangan sarana prasarana pendukung kegiatan usahatani seperti


pembuatan dan perbaikan saluran irigasi yang dapat menjamin ketersediaan air
untuk pertanaman, perbaikan jalan usaha tani dan pembangunan jalan desa
untuk memudahkan mobilitas sarana produksi dan hasil panen serta
penyediaan alat mesin pertanian baik alat mesin untuk kegiatan budidaya
maupun alat mesin untuk kegiatan panen, pasca panen dan pengolahan.
6) Pengembangan kelembagaan diantaranya dilakukan melalui peningkatan
manajamen kelembagaan petani, maupun kemudahan untuk mengakses
lembaga-lembaga permodalan dan lembaga pemasaran.
Kajian terhadap peran beberapa komoditas subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka melalui analisis tabel input-output
menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor serta nilai multiplier effect yang
dimiliki oleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan makanan masih
rendah. Hasil analisis terhadap struktur output juga menunjukkan bahwa jumlah
permintaan antara lebih kecil (26,99%) dibandingkan dengan jumlah permintaan
akhir (73,01%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar produk dikonsumsi
dan diekspor dalam bentuk segar. Arahan peningkatan peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam meningkatkan perekonomian wilayah adalah dengan
meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lainnya baik yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang
sehingga mampu mengurangi terjadinya kebocoran wilayah. Adapun sektor-sektor
yang memiliki potensi untuk didorong peningkatan keterkaitannya adalah sektor
industri pengolahan, peternakan, perikanan, restoran, hotel, hiburan dan rekreasi
karena sektor-sektor tersebut memiliki keterkaiatan ke depan maupun ke belakang
dengan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan.
Dengan memperhatikan segala keterbatasan yang dimiliki oleh setiap
daerah serta untuk melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan yang efektif dan efisien maka pembangunan subsektor ini diupayakan
fokus pada komoditas unggulan. Berdasarkan hasil analisis secara makro, meso
dan mikro maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diarahkan
untuk fokus pada komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo.
143

Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang bijaksana dan


mengikuti azas partisipatif perlu dilaksanakan dengan melibatkan stakeholders
dalam menentukan aspek-aspek yang perlu diprioritaskan. Tiga komoditas
unggulan yang mendapat prioritas dari stakeholders adalah padi, jagung dan
mangga dengan subsistem agribisnis yang menjadi prioritas untuk dikembangkan
adalah subsistem usahatani, dan aspek sumberdaya manusia menjadi prioritas
pertama yang diperlukan dalam pengembangan subsistem agribisnis tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka arahan dalam pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan adalah peningkatan teknologi budidaya komoditas unggulan dan
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani.
Arahan untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan terpilih yang
menjadi prioritas dari stakeholders disajikan pada Gambar 38, 39 dan 40. Arahan
untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan tersebut didasarkan pada
aspek kesesuaian dan ketersediaan lahan dari masing-masing komoditas. Aspek
kesesuaian lahan dipilih menjadi faktor yang digunakan untuk menentukan arahan
lokasi pengembangan komoditas karena pengembangan komoditas pada lahan
yang sesuai diharapkan akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas
dari komoditas tersebut. Aspek ketersediaan lahan digunakan dalam menentukan
lokasi arahan karena pengembangan komoditas tersebut perlu disesuaikan dengan
penggunaan lahan yang ada serta arahan tata ruang wilayah Kabupaten
Majalengka.
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kesesuaian lahan pada tingkat ordo
yang mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO Tahun 1976 dalam Sitorus
(2004). Menurut konsep dasar kerangka evaluasi lahan (FAO, 1976) sesuai
dengan tujuannya kesesuaian lahan dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik
(kualitatif) dan kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Dalam penelitian
ini evaluasi lahan hanya secara fisik (kualitatif).
Kriteria atau persyaratan tumbuh tanaman yang digunakan dalam evaluasi
kesesuaian lahan ini mengacu pada dokumen yang dikeluarkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian
(Djaenudin et al., 2003) yang secara rinci tersaji pada Lampiran 15, 16 dan 17.
Namun, dalam penelitian ini tidak menggunakan semua kriteria yang
144

dipersyaratkan tersebut hal ini disebabkan karena keterbatasan data. Evaluasi


lahan yang dilakukan pada penelitian ini hanya didasarkan pada kriteria fisik
lahan tidak mempertimbangkan kriteria kimia lahan. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa sifat fisik lahan merupakan sifat yang relatif tidak akan
berubah dalam jangka waktu yang lama sedangkan sifat kimia dan kondisi
alamiah lainnya relatif lebih mudah berubah dalam jangka waktu yang pendek
sehingga tidak bisa dijadikan acuan kesesuaian lahan untuk jangka panjang
Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas padi, jagung
dan mangga didasarkan atas kriteria kepekaan erosi, lereng, tekstur, singkapan
batuan dan drainase. Evaluasi ketersediaan lahan dilakukan dengan proses
tumpang susun peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan dan peta
RTRW Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi tersebut akan diperoleh lokasi
lahan yang memiliki kriteria sesuai dan tersedia, yaitu lahan yang berdasarkan
sifat fisiknya memiliki kriteria sesuai untuk pengembangan komoditas yang
dimaksud serta tersedia karena lahan tersebut belum dialokasikan untuk
penggunaan lahan yang lain berdasarkan data penggunaan lahan (landuse) serta
telah sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten
Majalengka.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
komoditas padi maka arahan untuk menjadi lokasi pengembangan padi adalah
Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan, Kertajati, Kadipaten, Palasah,
Sumberjaya dan sebagian kecil kecamatan Kasokandel, Panyingkiran, Sukahaji,
Talaga, Cikijing dan Cingambul (Gambar 38). Dari hasil analisis dapat diketahui
bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk budidaya padi adalah sebesar 12,08%
dari total luas wilayah Kabupaten Majalengka.
Hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas jagung
menunjukkan bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan
komoditas jagung adalah sebesar 29,03% dari total luas wilayah Kabupaten
Majalengka. Berdasarkan Gambar 39, maka arahan pengembangan komoditas
jagung adalah wilayah Kabupaten Majalengka bagian utara yang meliputi
Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan,
Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran, Cigasong, Sukahaji dan Kabupaten
145

Majalengka bagian selatan yang meliputi Kecamatan Talaga, Banjaran, Cikijing


dan Cingambul.
Berdasarkan Gambar 40 dapat diketahui bahwa lahan yang sesuai dan
tersedia untuk pengembangan komoditas mangga sebesar 29,03% dari total luas
wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan
lahan untuk komoditas mangga tersebut maka arahan untuk lokasi pengembangan
komoditas mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi,
Panyingkiran dan Majalengka.
146

Gambar 38. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Padi


147

Gambar 39. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Jagung


148

Gambar 40. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Mangga


149

5.6. Pembahasan Umum


Tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah untuk menciptakan sebesar-
besarnya kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi daerah-daerah perdesaan yang
berbasis pertanian pelaksanaan pembangunan terus diupayakan untuk mengurangi
kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang timbul antara desa dengan
kawasan perkotaan.
Kemajuan pembangunan daerah diantaranya dapat dilihat dari indikator
ekonomi dan indikator sosial. Kemajuan perekonomian daerah seringkali
dijadikan landasan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga strategi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan mengoptimalkan potensi wilayah. Berlakunya
otonomi daerah menyebabkan setiap daerah berlomba-lomba untuk dapat
mengangkat potensi spesifik lokasi yang dimiliki agar mampu bersaing dengan
daerah lainnya.
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa
Barat yang memiliki potensi lokal di sektor pertanian. Apabila dilihat dari
indikator ekonomi berupa PDRB, maka subsektor pertanian yang memiliki
kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka adalah subsektor
tanaman bahan makanan. Untuk itu subsektor ini perlu mendapat perhatian khusus
dengan berbagai kebijakan pembangunan serta didukung oleh ketersediaan data
dan informasi yang akurat tentang potensi subsektor ini di wilayah Kabupaten
Majalengka.
Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor
pertanian yang kuat, tingkat produksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi dan
berkelanjutan, perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan
komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan disertai kebijakan
pemerintah daerah yang tepat. Untuk itu maka berbagai hasil analisis dalam
penelitian ini diperlukan untuk menyusun arahan pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dalam
rangka pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.
Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten
Majalengka berdasarkan hasil dari beberapa analisis dalam penelitian ini adalah :
150

1. Fokus pada pengembangan komoditas unggulan yang meliputi : padi, jagung,


mangga, kedelai, pisang dan melinjo.
2. Peningkatan keterkaitan antara subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya.
3. Peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan yang diarahkan pada
penerapan konsep agribisnis.
Peningkatan kinerja komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan agar komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka senantiasa selalu dapat bersaing dengan komoditas-
komoditas dari wilayah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Peningkatan kinerja
subsektor tanaman bahan makanan diarahkan pada penerapan konsep agribisnis.
Berdasarkan hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan subsektor tanaman
bahan makanan menurut persepsi para stakeholder, diketahui bahwa permasalahan
yang ada di Kabupaten Majalengka masih berada pada subsistem usahatani
sehingga subsistem ini mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan diikuti
oleh subsistem agribisnis hulu, hilir dan jasa layanan pendukung.
Pengembangan subsistem usahatani diarahkan pada peningkatan produksi,
produktivitas dan kualitas hasil produksi. Hal ini sejalan dengan isu strategis yang
tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD, 2009) yang menyebutkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas
komoditas pertanian di Kabupaten Majalengka masih rendah. Secara lebih rinci
pengembangan subsistem ini dilakukan melalui :
a. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik petani maupun petugas
pertanian terkait, dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
yang kontinyu. Dalam hal ini, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
diarahkan pada transfer teknologi budidaya yang efektif dan efisien.
b. Pengembangan sarana prasarana, diarahkan pada pengembangan sarana irigasi
dan peralatan panen. Pengembangan sarana irigasi dimaksudkan untuk
menjamin ketersediaan air sedangkan pengembangan peralatan panen
dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya kehilangan hasil dan menjaga
kualitas produk.
151

c. Pengembangan kelembagaan, diarahkan pada pengembangan kerjasama


kelompok tani untuk meningkatkan skala usaha sehingga diharapkan dapat
meningkatkan posisi tawar petani.
Khusus untuk peningkatan produksi padi, menurut Ilham (2008)
peningkatan produksi padi membutuhkan dukungan teknologi yang diprioritaskan
pada sistem irigasi. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah
menyebabkan pembangunan sistem irigasi ini perlu melibatkan peranserta
masyarakat. Peranserta masyarakat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan
sistem irigasi yang telah dibangun oleh pemerintah. Selain itu, keberadaan sistem
penyuluhan diperlukan sebagai pendukung peningkatan produksi.
Pengembangan subsistem agribisnis hulu diarahkan pada ketersediaan
sarana produksi bermutu. Penggunaan sarana produksi yang berkualitas baik akan
mendukung terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk
yang baik pula. Selain itu, adanya jaminan ketersediaan sarana produksi yang
bermutu dapat meningkatkan partisipasi petani dalam melakukan usahatani. Hal
ini terungkap dari hasil penelitian Zakaria et al. (2010) yang menyebutkan bahwa
rendahnya tingkat partisipasi petani dalam melakukan usahatani kedelai
terkendala oleh kurang tersedianya benih unggul bermutu sehingga resiko
usahatani cukup tinggi dan tidak adanya jaminan harga jual yang layak. Sesuai
dengan hasil analisis prioritas pembangunan berdasarkan persepsi stakeholders
maka pengembangan subsistem agribisnis hulu secara berurutan diprioritaskan
pada : pengembangan sarana prasarana, peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia dan pengembangan kelembagaan.
Pengembangan subsistem agribisnis hilir diarahkan pada pengembangan
kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil komoditas subsektor tanaman bahan
makanan. Secara berurutan prioritas pengembangan subsistem ini berdasarkan
persepsi stakeholder adalah : pengembangan sumberdaya manusia (pelaku
pemasaran dan pengolahan hasil pertanian), pengembangan sarana prasarana dan
pengembangan kelembagaan.
Selain pengembangan ketiga subsistem agribisnis diatas, menurut Jaya
(2009), pengembangan agribisnis memerlukan dukungan dari lembaga penunjang
seperti kebijakan pemerintah, pembiayaan/permodalan, pendidikan, penelitian,
152

perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan


para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian
memberikan sumbangan teknologi dan informasi.
Pengembangan subsistem agribisnis jasa layanan pendukung yang
diperlukan di Kabupaten Majalengka lebih ditekankan pada masalah permodalan.
Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan permodalan di
kawasan-kawasan sentra produksi, pengembangan sarana prasarana untuk
memudahkan petani mengakses informasi permodalan serta peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia untuk lebih memahami mengenai masalah-masalah
permodalan.
Menurut Supriatna (2009), pola pelayanan kredit (permodalan) yang ideal
bagi petani yaitu menghindari penetapan agunan sertifikat tanah, memberikan
kredit berbentuk uang tunai, memberikan kredit jangka pendek dengan
pengembalian musiman, jumlah plafon kredit mencukupi untuk membeli benih,
pupuk dan obat-obatan serta pengajuan/penyaluran kredit melalui kelompok tani.
Di sisi lain petani perlu memahami prinsip penggunaan kredit yang benar,
berusaha membangun modal sendiri dan menciptakan diversifikasi usaha yang
memberikan penerimaan secara harian, mingguan atau musiman.
Dengan dilaksanakannya pengembangan subsistem-subsistem agribisnis
tersebut di Kabupaten Majalengka, diharapkan dapat meningkatkan kinerja
subsektor tanaman bahan makanan dan meningkatkan keterkaitannya baik
keterkaitan antar subsistem maupun keterkaitan dengan sektor lainnya diluar
subsistem agribisnis sehingga pada akhirnya mampu menggerakkan
perekonomian wilayah dan mengatasi isu-isu strategis aspek ekonomi yang
tercantum dalam dokumen RPJMD. Peningkatan ekonomi wilayah diharapkan
mampu menjadi landasan bagi pengembangan wilayah yang berbasis pertanian di
Kabupaten Majalengka.
153

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta
dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Subsektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis di Kabupaten
Majalengka sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan
kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan
kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi jagung, kedelai,
kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan
petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah
alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo,
petai, sirsak dan sukun. Kondisi dan potensi yang baik ini membawa implikasi
bagi Kabupaten Majalengka untuk lebih memberi perhatian dan prioritas
terhadap pembangunan subsektor tanaman bahan makanan agar mampu
menjadi motor penggerak pengembangan wilayah di masa yang akan datang.
2. Subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan sumbangannya
terhadap PDRB (23,80%) dan pembentukan output total (16,23%). Walaupun
subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai yang rendah untuk semua
indikator keterkaitan dan multiplier effect, namun demikian, subsektor ini
memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo merupakan
komoditas unggulan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisis pada level
makro, meso dan mikro.
4. Prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan jenis
komoditas unggulan secara berturut-turut adalah padi, jagung, mangga,
154

kedelai, pisang dan melinjo. Dalam mendukung pengembangan komoditas


unggulan tersebut, subsistem usahatani merupakan prioritas pertama diikuti
oleh subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa
layanan pendukung. Berdasarkan faktor yang diperlukan dalam
pengembangan subsistem-subsistem agribisnis tersebut maka faktor
sumberdaya manusia harus menjadi perhatian utama diikuti dengan faktor
sarana prasarana dan kelembagaan.
5. Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah adalah meningkatkan kinerja subsektor ini dan
meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain sehingga perannya dalam perekonomian wilayah menjadi semakin
besar. Untuk mendukung hal ini maka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan meningkatkan
peran masing-masing subsistem agribisnis dan peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia, ketersediaan sarana prasarana serta dukungan
kelembagaan yang kuat. Selain itu, arahan untuk lokasi pengembangan
komoditas unggulan adalah pada lahan-lahan yang memiliki kriteria sesuai
untuk pengembangan komoditas tersebut.

6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain agar terus dilakukan, baik yang memiliki keterkaitan ke depan
maupun ke belakang sehingga mampu meningkatkan nilai tambah di dalam
wilayah serta mengurangi terjadinya kebocoran wilayah.
2. Perlu dikembangkan rantai sistem agribisnis dalam pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat terbangun
keterkaitan antar subsistem agribisnis maupun antar sektor lainnya.
3. Perlu dilakukan survey tanah yang lebih detil sehingga informasi mengenai
evaluasi kesesuaian lahan untuk lokasi pengembangan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan akan lebih akurat.
155

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri, Djajadiningrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah,


Konsep dan Contoh Aplikasinya. Dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S,
(Editor). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta:
Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. hlm 9-26

Anonim. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang Departemen
Pekerjaan Umum.

Anonim. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008


tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Ditjen Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Anugrah IS. 2003. Asean Free Trade Area (AFTA). Otonomi Daerah dan Daya
Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Peneliti Agro
Ekonomi 21(1):1-11.

[Bappeda Majalengka]. Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten


Majalengka. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Majalengka
2005-2015. Majalengka: Bappeda Kabupaten Majalengka.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output.


Jakarta : Badan Pusat Statistik.

[BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010.


Kabupaten Majalengka Dalam Angka. Majalengka: Badan Pusat Statistik.

[BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010. Produk


Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009.
Majalengka: Badan Pusat Statistik.

[BPS Jabar]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Produk Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Bandung:
Badan Pusat Statistik.

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010a. Analisis Input-Output dan Social Accounting


Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press.

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010b. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan


Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press.

Diao X, Hazzell P, Thurlow J. 2010. The Role of Agriculture in African


Development. World Development 38(10): 1375-1383.
156

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2011. Wilayah


Pengembangan Kawasan Andalan Agribisnis dan Komoditas Unggulan.
Bandung. http://www.diperta.jabarprov.go.id. [20 April 2011].

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database


Hortikultura Tahun 2010. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Tanaman
Pangan. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.

Djaenudin. D., Marwan H., Subagjo H., Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak.

Djakapermana, RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan


Kesisteman. Bogor: IPB Press.

Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi


Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, IPB. http://pse.litbang.deptan.
go.id/. [11 April 2011]

Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan


Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.

Hastuti HI. 2001. Model Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan


Agropolitan: kasus Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah
[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hendayana. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan


Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12:1-21.
http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/rahmadi-12.pdf. [26 Mei
2011]

Hermanto. 2009. Reorientasi Kebijakan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan


Berwawasan Lingkungan dan Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan
Pertanian 7:369-383.

Ilham N. 2008. Profil Teknologi pada Usahatani Padi dan Implikasinya Terhadap
Peran Pemerintah. Analisis Kebijakan Pertanian 6:335-351.

Jaya, A. 2009. Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu


Manis Rakyat serta Dampaknya Terhadap Perekonomian Wilayah : Kasus
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. [Disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kementrian Pertanian. 2010. Pedoman Pelepasan Varietas Hortikultura. Jakarta :


Direktorat Jenderal Hortikultura.
157

Kementrian Pertanian. 2011. Daftar Varietas Hortikultura. Jakarta : Direktorat


Jenderal Hortikultura.

Marimin, Maghfiroh N. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam


Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Press.

[Pemkab Majalengka] Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka. 2009.


Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009-2013.
Majalengka: Pemerintah Kabupaten Majalengka.

Pribadi DO, Panuju DR, Rustiadi E, Pravitasari, AE. 2010. Permodelan


Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bahan Kuliah Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah. [Tidak dipublikasikan].

Purnamadewi YL, Tambunan M, Oktaviani R, Daryanto A. 2010. Dampak


Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas
Ekonomi Antar Wilayah dan Kondisi Makroekonomi di Indonesia. Jurnal
Manajemen dan Agribisnis. l7(2): 146-154.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan


Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Dalam:
Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan
Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Wilayah. hlm 47-65.

Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J.
Applied Decision Sciences 1(1):24-79.

Saptana, Sunarsih, Indraningsih KS. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif


Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha
Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(1):61-76.

Saragih B. 2010. Agribisnis Cara Baru Melihat Pertanian. Dalam: Pambudy R,


Dabukke FBM, (Editor). Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. hlm 21-32.

Sari DR. 2008. Pemodelan Multi-Kriteria Untuk Pengembangan Wilayah


Berbasis Komoditas Unggulan di Kabupaten Lampung Timur. [Tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sudaryanto T, Rusastra IW. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam


Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal
Litbang Pertanian 25(4):115-122.
158

Supriatna, A. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani
di Tingkat Pedesaan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):111-118.

Suryawardana, MI. 2006. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi


Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi
Jawa Timur. [Tesis}. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Syafrudin, Kairupan AN, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan Sistem


Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona
Agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):61-67.

Syahidin, A. 2006. Studi Kebijakan Pembangunan Berbasis Sektor Unggulan :


Kasus di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Zaini A. 2005. Dampak Peningkatan Eksport Sektor-sektor Pertanian Terhadap


Perekonomian Indonesia pada Masa Krisis Ekonomi, SAM Analisis.
Frontir 19(1):12-17.

Zakaria AK, Sejati WK, Kustiari R. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas
Kedelai Menurut Agroekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia.
Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 21-37.
159

LAMPIRAN
160
Lampiran 1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotien t (LQ) Luas Tanam

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis
No Kabupaten/Kota

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,62 0,00 0,03 0,07 1,30 0,61 - 0,26 1,54 0,50 0,62 0,62 1,70 1,54 1,39 1,34 4,71 5,23
2 Sukabumi 0,09 - 0,65 0,02 0,33 0,96 2,68 0,33 0,09 0,42 1,79 1,33 1,50 1,38 1,72 1,85 1,56 1,43 0,11 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,77 0,03 0,54 2,08 1,32 3,45 2,90 0,37 0,94 1,23 1,32 1,05 1,02 1,85 0,95 0,86 0,34 0,24
4 Bandung 0,93 2,83 1,11 2,99 2,36 0,92 1,11 1,66 2,14 1,39 0,11 0,32 0,22 0,92 0,08 0,37 0,26 0,23 0,15 0,09
5 Garut 0,53 2,36 0,74 1,75 1,69 0,81 0,72 1,02 - 2,04 0,36 1,45 1,05 1,66 0,65 0,75 0,31 1,27 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 1,00 0,01 0,13 0,14 0,54 0,04 0,08 0,46 1,93 1,69 0,83 1,19 1,65 3,54 2,14 2,54 0,96 1,01
7 Ciamis - - 1,17 - 0,05 - 0,25 0,01 0,33 1,91 2,15 1,56 1,57 1,05 1,70 1,51 1,32 1,10 1,19 1,91
8 Kuningan 2,01 - 4,41 0,11 0,25 1,15 0,87 0,66 - 0,18 0,57 0,55 1,99 0,86 0,13 1,23 0,48 0,29 0,02 -
9 Cirebon 9,95 - - - - - - - - - 0,22 2,16 0,11 0,02 1,26 - 0,47 - 0,15 -
10 Majalengka 3,95 - 2,48 0,97 1,10 1,15 0,57 0,23 0,07 0,31 0,15 1,05 1,13 0,43 0,80 0,35 0,39 0,16 0,03 0,01
11 Sumedang 0,25 - 0,64 0,19 1,32 0,30 0,56 0,12 - 4,57 0,79 1,38 1,23 1,43 0,56 0,52 1,20 1,21 0,23 0,01
12 Indramayu 1,73 - - - - 1,05 0,29 - - - 2,76 1,23 2,96 0,45 3,25 - 3,11 0,22 0,71 0,72
13 Subang 0,15 - 0,51 0,06 0,15 1,22 0,36 0,13 2,10 - 4,40 0,72 1,36 0,93 2,41 1,64 2,35 3,00 0,83 0,50
14 Purwakarta - - 0,52 - 0,02 0,13 0,60 0,22 1,79 - 3,32 0,68 1,68 0,78 2,02 1,11 2,89 1,69 2,02 1,72
15 Karawang - - - - - - 0,84 - - - 4,93 0,18 3,09 - 2,90 - 3,80 - 1,03 0,33
16 Bekasi - - - - - - 1,50 - 3,65 - 0,86 0,39 0,05 - 0,78 - 2,05 0,29 7,66 8,60
17 Bandung Barat 0,03 - 0,40 0,53 0,47 6,31 0,85 0,76 3,00 0,87 1,87 0,78 1,77 1,38 1,29 1,96 1,93 3,67 0,27 0,57
18 Kota Bogor - - 0,37 - - - 1,21 - - 0,52 1,58 0,47 1,10 1,38 2,43 2,56 1,36 - 4,29 3,69
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,38 - - - 2,29 0,66 - 1,76 0,81 0,42 2,17 - 0,77 0,07
20 Kota Bandung - - 1,32 - - 7,34 1,27 - - 1,59 1,89 0,77 2,14 1,56 2,87 1,42 0,22 8,53 0,92 -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,92 0,78 0,44 - 1,46 - 2,38 - 7,49 7,84
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,47 - - - 0,18 0,03 0,07 - 0,22 - 0,21 - 9,23 9,86
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,33 0,12 - - 3,47 - 2,00 - 8,48 7,23
24 Kota Cimahi - - 1,29 - - - 3,71 - - - 0,81 0,55 1,30 0,83 1,42 1,53 0,17 9,74 1,57 4,30
25 Kota Tasikmalaya - - 0,20 - - - 1,43 - - - 2,26 1,43 0,15 0,11 1,23 1,85 3,02 - 2,62 3,66
26 Kota Banjar 0,16 - 0,22 - - - 1,00 - - 1,47 3,12 0,42 1,15 0,26 0,96 - 2,47 1,43 4,01 2,58
Lampiran 2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Luas Panen

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
No Kabupaten/Kota

Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,68 0,00 0,03 0,09 1,33 0,63 - 0,26 1,58 0,54 0,75 0,62 1,81 1,58 1,44 0,82 4,23 4,93
2 Sukabumi 0,09 - 0,63 0,02 0,31 0,81 2,55 0,34 0,09 0,42 1,84 1,31 1,52 1,37 1,81 2,04 1,56 0,91 0,09 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,93 0,03 0,56 2,06 1,36 3,64 2,72 0,38 0,92 1,14 1,52 0,99 0,97 1,75 0,88 0,77 0,38 0,31
4 Bandung 1,03 2,66 1,02 3,11 2,34 0,94 1,04 1,53 2,01 1,31 0,10 0,33 0,23 0,96 0,07 0,36 0,24 1,06 0,15 0,09
5 Garut 0,56 2,39 0,84 1,60 1,68 0,89 0,69 1,01 - 2,08 0,34 1,39 0,98 1,68 0,65 0,74 0,31 1,41 0,22 0,15
6 Tasikmalaya - - 1,01 0,00 0,13 0,12 0,59 0,04 0,05 0,46 1,90 1,62 0,83 1,12 1,58 3,52 2,19 1,27 0,99 0,98
7 Ciamis - - 1,21 - 0,05 - 0,29 0,01 0,08 1,86 1,93 1,73 1,44 0,99 1,53 1,61 1,52 0,35 1,65 1,15
8 Kuningan 2,07 - 4,54 0,10 0,24 1,36 0,97 0,61 - 0,08 0,54 0,58 2,22 0,92 0,13 1,34 0,49 0,63 0,11 -
9 Cirebon 10,86 - - - - - - - - - 0,24 2,06 0,11 0,02 1,22 - 0,48 - 0,27 -
10 Majalengka 4,06 - 2,36 0,86 1,08 0,90 0,61 0,25 - 0,37 0,17 1,18 1,42 0,43 0,89 0,39 0,50 0,48 0,03 0,01
11 Sumedang 0,28 - 0,70 0,18 1,35 0,34 0,52 0,13 - 4,80 0,78 1,36 1,16 1,37 0,52 0,58 1,15 0,84 0,23 -
12 Indramayu 1,81 - - - - 1,19 0,29 - - - 2,77 1,29 2,45 0,37 3,19 - 3,03 0,13 0,93 0,74
13 Subang 0,14 - 0,57 0,07 0,16 1,17 0,38 0,16 2,31 - 4,35 0,69 1,18 0,98 2,45 1,75 2,12 2,19 0,72 0,47
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,01 0,13 0,57 0,20 1,55 - 3,15 0,96 1,47 0,68 2,16 1,10 2,76 1,02 1,97 1,76
15 Karawang - - - - - - 0,86 - - - 4,78 0,16 2,84 - 3,12 - 3,65 - 1,11 0,44
16 Bekasi - - - - - - 1,75 - 4,58 - 0,87 0,39 0,04 - 0,67 - 2,17 - 7,16 8,33
17 Bandung Barat 0,03 - 0,38 0,49 0,46 5,95 0,70 0,64 2,80 0,79 1,65 1,46 1,75 1,35 1,13 1,65 1,81 2,88 0,26 0,48
18 Kota Bogor - - 0,39 - - - 1,20 - - 0,56 1,64 0,48 0,77 1,35 2,25 2,02 1,58 - 4,31 3,93
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,12 - - - 2,44 0,68 - 1,70 0,89 0,42 2,08 - 1,40 -
20 Kota Bandung - - 1,30 - - 7,54 1,42 - - 1,52 1,68 0,49 1,83 1,59 2,00 1,75 - 15,95 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,79 0,79 0,59 - 1,33 - 2,22 - 7,45 8,08
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,63 - - - 0,22 0,02 0,05 - 0,26 - 0,19 - 9,13 10,00
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,85 0,10 - - 3,92 - 2,04 - 7,26 6,63
24 Kota Cimahi - - 1,47 - - - 3,56 - - 0,05 0,73 0,57 1,57 1,02 1,63 1,25 0,16 7,69 1,34 3,67
25 Kota Tasikmalaya - - 0,06 - - - 1,49 - - - 2,20 1,61 0,26 - 1,22 1,99 2,97 - 2,44 3,48

161
26 Kota Banjar 0,16 - 0,19 - - - 0,95 - - 1,40 2,91 0,58 1,53 0,26 1,00 - 2,44 0,73 3,97 2,45
162
Lampiran 3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
No Kabupaten/Kota

Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,49 0,00 0,04 0,16 1,33 0,55 - 0,11 1,94 0,39 0,33 0,32 2,21 1,01 1,50 0,11 7,50 10,39
2 Sukabumi 0,14 - 0,75 0,02 0,26 0,53 2,93 0,26 0,07 0,37 2,02 0,97 0,84 1,12 2,47 1,58 1,54 2,24 0,04 0,05
3 Cianjur 0,03 - 1,65 0,03 0,46 1,83 1,29 3,00 2,98 0,40 1,15 1,06 1,94 1,12 1,29 2,03 1,02 0,79 0,30 0,15
4 Bandung 0,71 1,88 0,72 2,13 1,78 0,83 1,01 1,40 1,73 1,09 0,13 0,43 0,18 1,26 0,08 0,35 0,32 1,33 0,21 0,06
5 Garut 0,42 1,96 0,78 1,43 1,47 0,73 0,74 0,89 - 1,94 0,39 1,44 0,94 1,40 0,91 0,83 0,34 0,77 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 0,67 0,00 0,10 0,08 0,69 0,04 0,03 0,51 2,12 2,90 0,95 0,72 2,23 4,08 2,48 0,39 1,31 0,88
7 Ciamis - - 0,73 - 0,07 - 0,28 0,01 0,03 0,90 2,03 3,93 1,79 1,05 1,75 1,90 1,81 0,12 1,73 0,82
8 Kuningan 1,80 - 7,27 0,10 0,24 1,58 1,25 0,69 - 0,05 0,40 0,33 2,00 0,47 0,10 1,04 0,43 0,27 0,24 0,00
9 Cirebon 16,92 - - - - - - - - - 0,26 2,11 0,08 0,00 1,34 - 0,93 - 0,42 0,03
10 Majalengka 6,44 - 3,74 0,97 0,60 0,95 0,93 0,09 - 0,39 0,14 0,72 1,10 0,38 0,94 0,38 0,35 0,08 0,01 0,04
11 Sumedang 0,33 - 0,63 0,18 2,06 0,23 0,55 0,20 - 4,84 1,10 1,06 1,47 1,09 0,60 0,48 2,08 0,20 0,37 0,02
12 Indramayu 2,10 - - - - 1,81 0,32 - - - 3,48 1,07 2,51 0,18 4,73 - 4,30 0,11 2,21 0,41
13 Subang 0,32 - 0,59 0,06 0,10 0,34 0,34 0,01 1,57 - 4,89 1,00 1,88 0,99 2,75 2,36 2,48 0,67 0,65 0,75
14 Purwakarta - - 0,59 - 0,02 0,17 0,65 0,23 1,53 - 5,55 0,68 1,30 0,46 1,75 1,30 3,50 0,16 3,05 1,92
15 Karawang - - - - - - 0,67 - - - 7,74 0,14 3,72 - 2,54 - 4,52 - 1,66 0,61
16 Bekasi - - - - - - 1,78 - 4,93 - 1,08 0,07 0,00 - 0,32 - 4,05 - 8,48 10,30
17 Bandung Barat 0,03 - 0,36 0,29 0,32 5,56 0,57 0,51 1,53 0,35 1,21 1,33 3,03 0,47 0,94 2,14 1,78 5,01 0,22 0,23
18 Kota Bogor - - 0,25 - - - 0,72 - - 0,58 2,11 0,94 0,91 0,91 3,02 2,68 1,58 - 6,74 4,78
19 Kota Sukabumi - - - - - - 4,26 - - - 2,61 0,55 - 0,65 0,93 0,42 2,28 - 8,29 -
20 Kota Bandung - - 1,46 - - 7,78 1,48 - - 1,96 2,18 0,51 1,90 0,73 2,56 2,13 - 5,33 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 5,51 1,09 0,39 - 1,09 - 3,16 - 7,42 7,80
22 Kota Bekasi - - - - - - 4,08 - - - 0,49 0,06 0,17 - 0,42 - 0,28 - 10,77 14,39
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 6,15 0,12 - - 3,61 - 1,71 - 10,96 6,79
24 Kota Cimahi - - 1,46 - - - 3,20 - - 0,08 0,56 0,59 1,63 0,86 0,68 0,29 0,01 1,22 1,21 13,66
25 Kota Tasikmalaya - - 0,18 - - - 1,41 - - - 3,03 2,24 0,29 - 1,23 2,21 5,04 - 2,55 1,92
26 Kota Banjar 0,54 - 0,41 - - - 1,20 - - 1,07 2,94 0,78 1,99 0,20 1,21 - 3,83 0,50 4,31 3,65
Lampiran 4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Jumlah Pohon

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo

Petai
Duku
No Kabupaten/Kota

1 Bogor 1,27 3,64 8,48 4,07 2,36 2,58 0,57 0,33 0,33 5,02 2,99 0,72 4,11 0,85 3,80 0,10 1,13 0,78 1,38 1,26 1,03 2,37
2 Sukabumi 1,14 1,38 1,02 1,80 1,17 2,00 1,45 1,47 1,20 1,64 2,00 0,06 5,16 2,24 1,02 0,06 2,55 1,54 1,72 0,59 0,17 0,81
3 Cianjur 1,10 0,75 0,45 1,19 1,25 1,03 0,70 0,62 0,59 0,24 1,04 0,08 0,62 2,68 0,39 0,09 1,49 - 2,64 0,59 0,54 1,22
4 Bandung 13,38 3,49 0,14 2,45 5,18 4,80 1,75 8,89 1,19 0,81 4,09 0,00 2,11 1,22 0,55 0,02 5,34 3,03 1,75 8,93 1,19 3,19
5 Garut 5,46 1,24 0,78 1,03 1,42 1,14 10,14 0,66 1,89 0,35 1,48 0,02 2,02 1,63 0,83 0,01 1,39 5,26 2,28 1,55 0,74 1,48
6 Tasikmalaya 0,43 0,34 0,88 0,83 0,35 0,27 0,70 0,23 0,26 2,26 0,45 0,03 0,60 0,61 0,76 4,80 0,73 0,13 1,27 0,75 0,24 0,59
7 Ciamis 0,97 1,28 3,88 1,50 0,90 1,74 0,91 2,39 0,69 1,96 0,93 0,09 1,06 2,24 1,08 0,28 0,16 10,36 1,81 1,79 0,75 2,87
8 Kuningan 0,57 0,76 0,20 1,87 2,25 0,63 0,98 0,26 3,52 0,11 1,82 0,02 0,89 1,45 1,61 0,22 0,23 - 1,05 3,36 8,50 2,82
9 Cirebon 0,12 1,80 0,15 0,44 7,49 4,14 0,71 0,11 9,64 - 1,58 0,00 3,74 0,94 0,41 0,02 2,76 - 0,87 0,85 3,02 0,50
10 Majalengka 3,10 2,38 0,17 2,12 2,02 1,99 1,31 0,57 4,49 0,18 3,26 0,02 1,09 1,26 0,78 0,04 1,04 0,08 1,01 2,30 8,06 2,70
11 Sumedang 2,24 0,50 0,47 1,63 1,04 0,43 1,11 9,39 1,85 0,40 2,45 0,04 1,04 1,52 1,09 1,31 5,41 - 0,44 1,06 1,54 2,73
12 Indramayu 0,09 5,07 - 0,01 2,81 4,06 0,48 0,11 11,48 - 2,62 - 0,91 0,81 0,03 0,01 2,10 - 1,35 3,45 4,07 1,58
13 Subang 0,02 0,10 0,02 0,12 0,07 0,09 0,22 0,02 0,07 0,13 0,06 2,66 0,10 0,19 0,47 0,00 0,05 - 0,09 0,05 0,06 0,04
14 Purwakarta 0,15 0,65 0,45 1,24 1,09 1,01 0,32 0,74 0,54 3,91 0,63 0,05 0,47 2,59 2,82 0,01 0,67 0,19 0,84 0,35 0,81 0,76
15 Karawang 0,05 6,86 0,06 3,96 3,77 8,75 0,97 0,14 4,87 0,24 3,58 0,04 2,50 0,95 4,14 0,00 2,31 - 5,00 2,35 1,69 2,44
16 Bekasi 0,01 3,13 12,75 0,78 3,48 6,46 0,44 - 2,40 0,06 2,82 - 1,17 1,75 3,33 0,16 1,20 - 0,80 2,08 2,14 0,94
17 Bandung Barat 3,26 0,98 0,45 1,39 2,93 0,96 0,81 1,30 0,33 0,77 1,69 0,50 1,78 1,78 1,62 0,15 1,40 0,22 1,04 2,64 1,16 0,85
18 Kota Bogor 1,20 10,03 1,95 1,43 10,20 9,63 2,89 3,07 0,37 1,25 1,70 0,16 11,70 1,22 2,12 0,02 3,60 - 3,50 1,25 0,50 0,25
19 Kota Sukabumi 3,94 2,72 - 4,19 0,83 5,53 - - 2,87 3,21 8,83 - 4,55 1,04 1,96 - 0,64 8,39 0,36 10,35 3,01 3,80
20 Kota Bandung 3,91 14,33 0,09 1,86 7,07 11,85 4,28 17,54 3,40 - 5,78 - 5,18 0,37 1,50 - 4,97 - 6,04 14,17 3,39 2,24
21 Kota Cirebon 0,18 5,96 9,12 0,16 7,31 11,04 1,25 - 10,48 0,11 1,96 - 1,30 0,40 0,28 - 3,87 - 2,41 2,54 3,33 2,61
22 Kota Bekasi 0,32 16,73 7,27 5,20 7,39 11,37 0,64 5,12 1,85 0,14 3,04 0,01 6,84 0,33 8,91 0,01 7,91 - 2,15 1,44 5,23 0,50
23 Kota Depok 0,49 64,70 0,09 2,68 8,65 1,99 1,61 2,33 1,03 0,90 4,03 0,14 14,96 0,55 4,99 0,06 3,50 - 0,36 0,14 1,03 0,05
24 Kota Cimahi 3,50 14,24 6,21 4,36 6,14 9,54 1,35 1,85 1,96 1,07 2,73 - 4,39 0,23 2,92 0,03 1,86 12,72 1,55 19,52 1,18 11,20

163
25 Kota Tasikmalaya 0,37 0,39 1,11 2,33 0,77 0,52 0,20 0,01 1,29 0,44 3,31 0,00 0,34 0,24 3,80 4,01 0,29 0,10 0,42 6,05 0,99 2,23
26 Kota Banjar 0,14 0,32 - 2,56 0,28 0,66 0,21 0,16 1,03 0,11 0,91 0,01 0,27 2,33 3,57 0,04 2,13 - 0,66 0,38 4,06 1,05
164
Lampiran 5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
No Kabupaten/Kota

Nenas

Salak
Jeruk

Sawo

Petai
Duku
1 Bogor 0,57 5,07 6,04 4,23 2,89 1,26 0,36 0,55 0,17 3,32 2,78 0,21 3,59 0,60 2,63 0,11 0,90 0,85 0,85 0,95 0,67 1,78
2 Sukabumi 0,46 0,43 0,37 0,64 0,95 0,68 0,73 2,28 0,67 0,25 1,17 0,01 7,22 1,36 0,05 0,01 1,55 1,40 1,19 0,45 0,24 0,29
3 Cianjur 0,47 0,45 0,83 0,82 0,99 0,72 0,57 0,92 0,19 0,10 0,74 0,01 0,29 2,04 0,16 0,01 0,94 - 1,52 0,15 0,26 0,46
4 Bandung 6,11 3,93 0,37 1,18 2,97 4,13 1,87 9,56 0,40 0,01 3,40 0,00 1,13 0,92 0,20 0,01 2,41 7,80 2,09 2,72 0,99 2,65
5 Garut 5,57 0,45 0,99 1,34 0,75 0,53 4,93 0,20 0,79 0,24 0,46 0,00 0,34 1,37 0,27 0,01 0,61 2,42 3,04 0,32 0,10 0,97
6 Tasikmalaya 0,25 0,29 1,20 1,12 0,28 0,40 0,25 0,35 0,09 6,95 0,68 0,01 0,47 0,85 0,34 9,36 0,76 0,08 1,71 2,59 0,13 0,53
7 Ciamis 0,58 0,43 4,41 1,40 0,53 1,10 0,82 1,74 0,32 1,33 0,65 0,01 0,43 1,77 0,32 0,45 1,43 7,69 0,98 0,31 0,12 2,13
8 Kuningan 0,76 0,16 0,34 4,15 1,06 0,37 1,75 0,31 1,75 0,01 1,38 0,01 0,35 0,96 0,67 0,16 0,10 - 0,72 1,42 5,75 2,62
9 Cirebon 0,17 1,11 0,07 0,65 8,84 1,58 0,17 0,12 4,18 - 1,54 0,00 0,95 0,32 0,10 0,00 1,58 - 0,60 0,90 4,40 0,65
10 Majalengka 1,59 0,97 0,11 0,93 1,17 0,91 1,09 0,31 3,56 0,05 1,19 0,00 0,29 0,59 0,25 0,04 0,89 - 0,18 0,62 9,73 2,45
11 Sumedang 0,86 0,28 1,13 1,67 0,43 0,16 0,96 5,39 2,02 0,02 3,57 0,00 0,27 0,90 0,42 1,82 3,25 - 0,18 0,16 0,94 3,87
12 Indramayu 0,01 1,50 - 0,02 1,15 2,70 0,06 0,12 6,24 - 0,71 - 0,14 0,16 0,02 0,00 1,56 - 0,35 9,39 0,74 0,55
13 Subang 0,04 0,11 0,06 0,17 0,10 0,09 0,17 0,01 0,43 0,54 0,18 4,73 0,05 0,25 2,27 0,01 0,18 - 0,06 0,07 0,15 0,09
14 Purwakarta 0,07 0,26 0,35 0,47 0,50 0,90 0,23 0,43 0,14 0,87 0,30 0,01 0,09 1,70 2,49 0,01 0,54 0,04 0,42 0,14 0,64 0,94
15 Karawang 0,03 2,67 0,23 1,54 3,56 12,74 1,17 0,25 2,14 0,04 2,32 0,01 1,22 0,27 2,36 0,00 1,60 - 4,14 1,12 0,54 4,18
16 Bekasi 0,00 2,19 0,43 0,03 4,79 10,33 0,82 - 2,25 0,00 1,87 - 0,42 0,49 2,72 0,04 1,24 - 0,10 1,05 1,55 0,94
17 Bandung Barat 2,54 0,31 1,11 0,47 1,81 1,56 2,09 0,51 0,12 0,28 1,80 0,13 0,19 1,13 3,07 0,03 0,78 0,02 0,66 0,68 2,08 0,32
18 Kota Bogor 1,33 7,06 4,04 2,78 6,14 6,18 3,48 4,45 0,31 0,94 1,16 0,05 5,96 0,59 0,86 0,02 3,19 - 0,97 0,42 1,97 0,29
19 Kota Sukabumi 3,63 1,94 - 3,04 1,36 0,48 - - 0,75 0,13 14,25 - 4,52 0,39 0,51 - - - 0,28 0,58 0,54 0,40
20 Kota Bandung 4,69 8,05 - 1,74 0,90 4,01 9,14 33,28 0,75 - 4,64 - 2,19 0,38 0,30 - 4,68 - 3,86 5,40 1,47 0,75
21 Kota Cirebon 0,08 4,20 - - 3,00 7,85 0,75 - 3,89 - 5,82 - 0,29 0,30 0,06 - 2,63 - 1,88 1,84 2,31 2,32
22 Kota Bekasi 0,27 8,95 2,70 2,92 2,52 15,98 0,73 5,11 0,73 - 2,13 0,00 2,00 0,23 3,72 - 3,83 - 0,48 0,26 4,73 0,62
23 Kota Depok 0,86 77,84 4,18 2,35 5,59 0,45 0,19 0,02 0,14 0,03 1,96 0,03 5,33 0,19 2,03 0,02 0,92 - 0,10 0,05 0,64 0,03
24 Kota Cimahi 1,74 6,85 0,36 11,21 3,59 10,70 0,99 0,82 0,24 0,25 0,80 - 0,70 0,07 1,04 0,02 0,36 9,17 0,22 16,09 0,33 8,15
25 Kota Tasikmalaya 0,43 0,53 0,72 0,09 0,36 0,22 - - 2,20 0,07 2,31 0,00 0,48 0,30 0,77 8,62 0,49 - 1,14 2,61 0,83 2,29
26 Kota Banjar 0,40 0,07 4,59 7,01 0,27 1,14 0,09 0,19 0,49 0,14 1,14 0,00 0,44 0,77 2,87 0,07 4,48 - 0,72 0,86 7,02 2,46
Lampiran 6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

Nilai Differential Shif t Luas Tanam

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,20 -0,07 -0,21 4,46 0,28 0,10 -0,78 -0,06 -0,15 0,03 0,04 -0,07 -0,18 -0,07 -0,32 0,41 0,66 0,79
2 Sukabumi 0,31 - -0,07 -0,59 0,18 19,46 -0,15 0,58 - -0,12 -0,12 0,51 -0,29 0,03 -0,25 -0,14 -0,13 0,46 -0,64 -0,63
3 Cianjur 2,71 - -0,01 -0,25 0,02 7,16 0,00 0,09 0,15 -0,07 0,63 0,70 -0,21 0,10 0,53 0,08 0,81 0,33 0,24 -0,23
4 Bandung -0,39 -0,02 0,48 -0,08 -0,15 -0,32 -0,10 -0,20 -0,23 -0,02 -0,34 -0,55 -0,12 -0,32 -0,49 -0,30 0,94 -0,38 -0,16 -0,80
5 Garut 0,58 0,07 0,03 0,17 0,36 1,47 0,15 0,29 - 0,23 0,46 0,17 0,04 0,22 0,52 0,19 -0,06 0,22 -0,05 -0,05
6 Tasikmalaya -0,94 - 0,37 -0,47 0,19 -0,07 -0,07 -0,10 -0,63 -0,32 -0,01 -0,07 -0,10 0,10 -0,22 0,09 -0,25 -0,21 -0,41 -0,36
7 Ciamis - - -0,32 -0,74 -0,20 - -0,27 -0,66 -0,28 0,09 -0,17 0,21 0,08 -0,01 -0,20 -0,08 -0,47 3,33 -0,65 -0,37
8 Kuningan -0,16 - -0,32 - 0,01 1,80 -0,07 -0,12 - 0,97 0,94 0,55 0,66 0,23 -0,45 1,11 0,32 0,18 -1,22 -
9 Cirebon 0,27 - - - - - - - - -0,89 -0,53 -0,13 -0,30 -0,47 -0,43 - -0,49 - -0,84 -1,27
10 Majalengka -0,03 - -0,16 6,80 -0,21 0,20 0,64 -0,06 -0,56 -0,25 -0,45 -0,13 -0,38 0,50 0,86 -0,01 -0,26 -0,47 -0,64 -
11 Sumedang -0,14 - -0,23 -0,34 0,27 0,46 -0,24 0,25 - -0,29 0,10 0,16 -0,14 0,08 0,07 0,30 -0,05 0,27 0,12 -0,61
12 Indramayu 0,24 - - -0,74 - - - - - - -0,07 -0,26 7,35 0,27 0,31 - 0,39 - 1,49 13,13
13 Subang - - 0,89 -0,46 0,24 0,71 2,11 0,18 0,85 -0,89 -0,21 0,11 -0,27 0,17 0,22 -0,05 -0,33 1,45 -0,26 -0,16
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,88 - 0,15 - 6,72 - 0,33 0,32 1,28 0,44 0,18 0,11 0,31 0,81 0,40 0,49
15 Karawang -0,94 - - - - - -0,45 - - - 0,03 -0,14 0,42 - -0,07 - 0,14 - -0,70 -1,00
16 Bekasi -0,94 - - - - - 0,56 - 3,53 - -0,24 0,32 8,92 - 0,05 - -0,10 -0,51 0,12 0,19
17 Bandung Barat 0,04 - 0,38 0,05 -0,17 -0,27 0,32 0,04 0,01 0,65 0,37 -0,46 0,35 -0,14 0,40 -0,10 2,04 -0,29 -0,03 -0,53
18 Kota Bogor - - -0,19 - - - 1,04 - - -0,38 -0,10 -0,63 0,66 -0,37 -0,35 0,24 -0,12 - -0,52 -0,88
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,21 - - - -0,27 -0,12 -1,08 -0,36 -0,82 -0,65 -0,56 -0,67 -0,95 -
20 Kota Bandung - - -0,79 - - - -0,80 - - -0,14 0,29 3,06 1,42 4,20 - 2,22 -0,55 - -1,04 -1,27
21 Kota Cirebon - - - - - - #DIV/0! - - -0,89 0,37 0,06 -0,79 - 0,24 - -0,05 - 0,20 0,16
22 Kota Bekasi - - - - - - -0,16 - -0,78 - -0,21 0,06 -0,08 - -0,30 - -0,19 - -0,29 -0,27
23 Kota Depok - - - - - - #DIV/0! - - - -0,07 -0,70 - -0,80 -0,19 - 0,17 - -0,22 -0,32
24 Kota Cimahi - - 0,65 - - - -0,09 -0,71 - -0,89 8,14 14,06 - 1,53 1,59 4,88 - - 0,92 1,87
25 Kota Tasikmalaya - - -0,39 - - - -0,20 - - - -0,11 -0,10 -0,58 0,20 -0,16 -0,05 -0,14 - 0,00 0,27

165
26 Kota Banjar - - -0,11 - - - -0,33 - -0,78 -0,49 1,61 -0,42 0,15 -0,09 -0,24 -0,78 5,55 0,83 0,40 -0,46
Lampiran 7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

166
Nilai Differential Shift Luas Panen

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,13 -0,26 -0,07 5,50 0,14 0,09 -0,84 -0,18 -0,20 0,09 0,00 -0,04 -0,08 -0,06 -0,40 0,65 0,40 0,54
2 Sukabumi 0,30 - -0,04 -0,71 0,16 - -0,20 0,65 - -0,10 -0,13 0,49 -0,38 0,04 -0,30 -0,07 -0,16 0,07 -0,74 -0,64
3 Cianjur 2,13 - 0,07 -0,20 0,03 5,91 0,04 0,10 0,08 -0,05 0,66 0,74 -0,08 0,09 0,53 -0,03 0,74 0,00 0,40 0,07
4 Bandung -0,27 -0,02 0,50 -0,01 -0,11 -0,21 -0,09 -0,20 -0,26 0,03 -0,20 -0,48 0,22 -0,27 -0,40 -0,24 1,20 0,17 -0,05 -0,34
5 Garut 0,57 0,06 0,14 0,08 0,35 1,54 0,05 0,25 - 0,20 0,34 0,10 -0,17 0,18 0,48 0,16 -0,10 0,26 -0,19 0,12
6 Tasikmalaya -0,87 - 0,61 -0,72 0,55 0,10 0,11 -0,02 -0,74 -0,21 0,04 -0,01 -0,11 0,10 -0,08 0,23 -0,14 -0,74 -0,26 -0,33
7 Ciamis - - -0,21 -0,86 -0,20 - -0,11 -0,65 -0,70 0,38 -0,24 0,42 0,00 0,09 -0,42 -0,06 -0,30 0,69 -0,41 -0,61
8 Kuningan -0,13 - -0,32 -0,60 -0,04 2,22 0,00 -0,21 - 0,00 0,83 0,94 1,32 0,38 -0,56 1,13 0,31 10,69 -0,86 -
9 Cirebon 0,22 - - - - - - - - -0,89 -0,59 -0,25 -0,59 -0,58 -0,59 - -0,53 - -0,37 -1,28
10 Majalengka -0,12 - -0,34 -0,01 -0,32 0,005 0,58 0,03 -0,84 -0,28 -0,51 -0,14 -0,27 0,43 0,61 -0,07 -0,16 0,19 -0,39 -
11 Sumedang -0,09 - -0,16 -0,46 0,21 0,27 -0,38 0,26 - -0,28 0,05 0,07 -0,32 0,00 -0,08 0,33 -0,11 0,03 0,11 -1,28
12 Indramayu 0,31 - - - - - - - - - -0,12 -0,36 5,95 0,06 0,29 - 0,09 - 3,17 13,12
13 Subang - - 1,35 -0,54 0,39 0,76 1,44 0,61 1,33 -0,89 0,00 -0,05 -0,41 -0,02 0,53 0,11 -0,37 2,40 -0,53 -0,28
14 Purwakarta - - 0,54 - 0,01 - 0,22 - 6,16 - 0,32 0,69 0,92 0,43 0,37 0,15 0,35 0,47 0,57 0,54
15 Karawang -0,87 - - - - - -0,32 - - - 0,05 -0,17 1,53 - -0,04 - 0,15 - -0,70 -0,81
16 Bekasi - - - - - - 0,84 - - - -0,29 -0,23 8,74 - 0,13 - 0,11 -1,31 0,05 0,10
17 Bandung Barat -0,16 - 0,22 -0,08 -0,28 -0,30 0,10 -0,01 -0,05 -0,06 0,07 -0,28 0,21 -0,15 -0,10 -0,25 1,72 -0,34 -0,16 -0,81
18 Kota Bogor - - 0,13 - - - 1,32 - - -0,26 -0,09 -0,62 0,36 -0,35 -0,47 0,16 0,04 - -0,43 -0,77
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,20 - - - -0,25 0,02 -1,26 -0,41 -0,90 -0,67 -0,60 - -0,58 -
20 Kota Bandung - - -0,70 - - - -0,77 - - 0,31 -0,46 -0,05 1,24 1,09 2,84 3,20 -1,12 0,52 -1,39 -1,28
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,89 0,21 0,08 -0,83 - 0,09 - -0,17 - 0,09 0,17
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,06 - -0,84 - 0,10 -0,25 -0,26 - -0,10 - -0,15 - -0,16 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 0,55 -0,74 - -0,91 0,22 - 0,42 - -0,05 -0,13
24 Kota Cimahi - - 6,88 - - - -0,10 - - -0,84 2,47 - - 3,84 2,84 3,87 - - 14,61 2,52
25 Kota Tasikmalaya - - -0,78 - - - -0,04 - - - -0,10 -0,15 -0,59 -0,91 -0,53 -0,15 -0,16 - -0,08 0,33
26 Kota Banjar - - 0,08 - - - -0,23 - -0,84 -0,45 0,61 0,45 1,24 -0,05 -0,36 -0,80 0,36 0,19 0,76 -0,49
Lampiran 8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

Nilai Differential Shift Produksi

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - -0,04 -0,47 0,10 13,97 0,26 0,07 -0,77 -0,45 -0,04 -0,29 -0,69 -0,58 0,61 -0,05 -0,46 -1,16 1,00 0,65
2 Sukabumi 0,38 - 0,02 -0,78 -0,08 - -0,19 0,16 - -0,47 -0,27 -0,17 -1,16 -0,42 -0,39 -0,17 -0,25 2,87 -1,23 -1,07
3 Cianjur 0,41 - -0,30 -0,38 -0,20 3,99 -0,25 -0,17 -0,04 -0,56 0,22 0,48 -0,11 0,13 0,10 -0,21 0,32 0,71 0,23 -0,74
4 Bandung -0,38 -0,01 0,49 0,00 -0,07 -0,12 -0,11 -0,01 -0,13 0,12 -0,38 -0,14 1,41 -0,10 -0,51 -0,22 0,65 -0,18 -0,90 -1,20
5 Garut 0,64 0,03 0,42 0,04 0,40 1,64 0,41 0,68 - 0,21 0,62 0,19 -0,10 0,29 1,22 0,70 0,33 1,62 0,01 0,21
6 Tasikmalaya -1,04 - 0,71 -0,73 0,78 0,09 0,64 0,16 -0,69 0,44 0,28 -0,34 -0,58 -0,38 -0,41 0,36 -0,33 -0,87 -0,41 -0,69
7 Ciamis - - -0,34 -0,90 -0,24 - 0,04 -0,51 -0,70 -0,62 -0,20 1,03 1,75 0,56 -0,58 -0,06 -0,42 0,76 -0,93 -0,86
8 Kuningan -0,08 - 0,10 -0,66 0,02 3,71 0,23 0,13 - -0,24 0,92 0,36 0,75 0,38 -0,40 1,83 0,28 24,68 0,57 -
9 Cirebon 0,14 - - - - - - - - -0,97 -0,15 0,26 0,10 -0,90 -0,42 - 0,70 - -0,88 -1,14
10 Majalengka 0,09 - -0,22 0,10 -0,49 0,018 0,17 -0,36 -0,77 -0,27 0,25 -0,60 -0,91 -0,74 0,99 0,26 -0,22 -1,14 -1,19 -
11 Sumedang 0,18 - 0,08 -0,45 0,64 0,69 0,04 1,80 - -0,17 0,49 -0,01 0,09 0,49 0,40 0,53 0,06 -0,56 -0,46 -0,34
12 Indramayu 0,04 - - - - - - - - - -0,21 -0,26 9,90 3,35 0,14 - 0,13 - 2,31 2,03
13 Subang - - 2,72 -0,61 0,29 -0,07 1,79 -0,48 1,20 -0,97 -0,05 1,31 0,68 2,85 0,27 1,06 -0,19 1,86 -1,14 0,10
14 Purwakarta - - 0,66 - 0,11 - 0,21 - 6,46 - 0,59 0,26 0,71 0,59 0,44 0,36 0,84 -0,34 3,13 0,68
15 Karawang -1,04 - - - - - -0,43 - - - 0,24 0,11 7,93 - -0,34 - 0,42 - -0,99 -0,78
16 Bekasi - - - - - - 1,28 - - - -0,48 -0,31 -0,54 - -0,65 - -0,32 -1,36 0,69 0,41
17 Bandung Barat -0,26 - 0,27 - - - 0,05 0,29 -0,06 -0,26 -0,34 0,09 2,11 -0,59 -0,36 -0,21 1,25 -0,29 -0,82 -1,12
18 Kota Bogor - - 0,11 - - - 0,43 - - 0,56 2,57 2,50 5,79 3,98 1,42 0,80 2,33 - 7,09 0,17
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,07 - - - -0,23 0,25 -1,54 -0,88 -0,68 -0,52 -0,46 - 5,43 -
20 Kota Bandung - - -0,57 - - - -0,65 - - -0,04 -0,38 0,00 1,38 0,75 5,72 2,72 -1,00 1,15 -1,54 -1,66
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,97 0,07 -0,16 -1,23 - 0,09 - -0,03 - -0,10 -0,11
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,51 - -0,77 - 0,02 -0,25 0,53 - 0,11 - 0,00 - 0,06 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 1,73 -0,68 - -1,45 -0,62 - -0,57 - -0,76 -1,32
24 Kota Cimahi - - 32,74 - - - 0,14 - - -0,86 1,37 - - 7,90 0,67 1,27 - - -0,01 25,78

167
25 Kota Tasikmalaya - - -0,48 - - - -0,38 - - - -0,46 -0,65 -1,15 -1,45 -0,94 -0,45 -0,28 - -1,21 -1,04
26 Kota Banjar - - 0,98 - - - -0,47 - -0,77 -0,85 -0,53 -0,20 0,13 -0,70 -0,70 -0,68 -0,06 -0,01 -0,68 -1,23
Lampiran 9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

168
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo
No Kabupaten/Kota

Petai
Duku
1 Bogor 0,54 0,02 0,00 0,12 0,09 0,03 -0,60 -0,06 -0,17 0,68 -0,10 0,47 -0,43 -0,28 -0,05 0,17 0,16 0,22 0,35 -0,33 0,31 2,57
2 Sukabumi 0,00 0,24 0,37 -0,01 0,01 0,19 -0,17 -0,06 0,50 0,74 0,58 0,00 1,13 0,14 0,26 0,79 0,78 1,53 -0,25 0,83 -0,02 -0,01
3 Cianjur 0,16 0,05 -0,06 -0,04 -0,15 -0,01 -0,21 -0,51 0,42 -0,33 0,05 0,21 0,09 -0,10 0,04 0,32 0,35 - -0,11 0,03 0,17 0,00
4 Bandung -0,02 -0,04 -0,13 -0,10 -0,05 -0,12 -0,42 -0,25 0,00 -0,22 -0,19 0,00 -0,08 0,85 -0,05 -0,12 0,65 1,72 -0,24 0,44 -0,16 0,06
5 Garut -0,14 -0,01 -0,33 -0,03 -0,07 -0,02 0,54 -0,42 -0,10 -0,13 0,17 0,12 0,06 0,24 0,01 0,26 0,41 -0,15 0,02 -0,03 -0,09 -0,08
6 Tasikmalaya -0,17 0,12 0,16 0,18 -0,07 0,04 0,47 -0,48 -0,01 -0,09 0,13 0,62 0,31 0,13 0,28 0,01 0,50 1,44 0,25 0,22 0,19 0,04
7 Ciamis -0,22 -0,09 -0,07 -0,21 -0,18 -0,19 -0,01 0,10 -0,13 -0,43 -0,27 0,26 -0,03 -0,15 -0,30 -0,55 -0,66 - -0,02 -0,40 -0,48 -0,28
8 Kuningan 1,50 -0,11 -0,06 -0,21 -0,13 0,09 -0,24 -1,25 -0,10 -0,46 0,07 0,00 0,12 0,16 -0,02 0,35 0,40 - -0,03 -0,33 0,05 -0,27
9 Cirebon 0,10 -0,29 -0,12 -0,27 0,37 1,11 -0,13 -1,41 -0,23 - -0,22 -0,43 1,34 -0,19 -0,30 11,70 0,21 - -0,39 -0,64 0,07 -0,40
10 Majalengka 0,55 -0,02 0,04 0,25 0,38 -0,04 -0,15 -0,24 0,58 -0,34 0,05 0,21 0,13 0,11 0,04 0,53 0,41 -0,09 0,03 0,91 0,05 0,36
11 Sumedang 0,09 0,00 0,24 -0,28 0,35 0,03 -0,15 0,65 0,09 2,68 -0,03 0,16 0,19 0,12 -0,01 0,19 1,02 - -0,08 1,61 0,08 0,01
12 Indramayu -0,80 -0,01 - -0,22 -0,09 -0,03 -1,03 -0,68 -0,22 - 0,01 - 0,01 -0,15 0,41 17,13 0,55 - 0,11 -0,35 0,09 -0,14
13 Subang 0,53 0,00 0,19 0,81 0,09 -0,07 0,22 -0,36 -0,19 -0,01 0,05 -0,01 -0,44 -0,16 -0,13 0,90 0,38 - 0,00 -0,49 -0,26 -0,45
14 Purwakarta -0,08 0,04 0,04 0,03 -0,19 -0,16 -0,03 -0,46 0,37 0,26 0,11 0,15 0,29 -0,03 0,08 0,04 0,69 3,47 0,11 -0,02 0,23 1,26
15 Karawang -0,19 0,07 0,06 1,11 0,15 -0,01 0,51 0,00 0,44 1,60 0,11 0,32 0,67 -0,51 0,91 -0,37 0,76 - 0,05 -0,16 0,88 0,43
16 Bekasi -0,67 -0,06 0,06 0,65 -0,12 0,01 -0,43 -1,60 0,27 -0,34 0,26 -0,62 0,09 0,42 0,00 0,01 0,07 - -0,11 1,26 0,12 -0,77
17 Bandung Barat -0,04 -0,06 -0,17 -0,10 -0,05 -0,08 -0,13 -0,17 -0,01 -0,33 -0,18 0,04 -0,19 0,87 -0,02 -0,11 0,83 1,82 -0,16 0,48 -0,19 0,04
18 Kota Bogor -0,43 -0,24 -0,47 -0,60 1,02 0,64 1,10 -0,73 -0,49 -0,60 0,12 -0,10 1,09 2,77 -0,54 -0,67 0,18 -0,20 -0,27 -0,31 -0,41 -0,12
19 Kota Sukabumi -0,20 -0,03 - -0,03 -0,21 1,18 -1,08 - 0,13 0,11 0,01 - -0,39 0,32 0,29 - 0,32 1,28 0,56 2,43 0,11 -0,08
20 Kota Bandung -0,17 0,04 0,06 -0,18 -0,06 0,00 -0,08 -0,60 -0,17 - 0,06 - 0,22 0,09 -0,06 - 0,32 - 0,07 -0,29 0,07 -0,37
21 Kota Cirebon -0,32 -0,42 - -0,38 -0,20 -0,03 -0,35 - -0,06 -0,63 0,00 - -0,49 0,05 -0,08 - 0,19 - -0,08 0,09 -0,09 -0,31
22 Kota Bekasi 0,28 0,09 -0,40 -0,39 -0,13 0,03 -0,17 -0,34 -0,20 -0,92 -0,22 0,09 0,16 -0,07 -0,25 -0,02 0,34 - 0,46 -0,01 -0,22 0,02
23 Kota Depok 0,18 0,09 -0,93 -0,20 0,00 0,09 -0,12 -0,57 -0,13 -0,34 0,07 0,28 -0,06 -0,17 -0,08 -0,23 0,28 - 0,29 0,07 0,21 -0,34
24 Kota Cimahi -0,06 0,01 79,00 0,41 -0,11 0,28 -0,06 -0,48 0,35 1,65 -0,07 - 0,25 -0,37 1,20 0,87 0,29 2,13 0,34 5,42 0,47 17,47
25 Kota Tasikmalaya 0,46 -0,06 2,23 -0,43 -0,25 -0,20 -0,28 - -0,43 -0,56 -0,15 0,34 0,15 0,02 -0,20 -0,11 0,27 - -0,02 -0,27 0,10 2,04
26 Kota Banjar -0,05 0,03 -0,94 -0,29 -0,40 -0,29 -0,07 0,72 -0,23 0,33 -0,19 0,70 0,43 0,05 0,19 0,15 0,57 - 0,02 0,03 -0,10 -0,59
Lampiran 10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Differential Shift Produksi

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo
No Kabupaten/Kota

Petai
Duku
1 Bogor -0,52 -0,46 2,84 2,70 -0,44 -1,19 -0,03 -0,56 -0,29 -0,64 -0,25 2,86 -1,39 -0,18 0,05 1,49 -0,37 0,07 0,90 0,00 -0,71 0,85
2 Sukabumi 0,75 1,45 3,72 -1,20 2,59 0,27 2,85 8,10 8,40 5,75 0,68 -0,99 4,39 1,42 -1,28 0,13 2,32 32,55 3,15 21,30 5,97 1,97
3 Cianjur -0,10 -0,30 -0,16 -0,86 -0,75 0,51 -0,88 -1,08 -0,48 0,62 -0,06 -0,70 -0,87 -0,38 -1,43 0,30 0,47 - -0,41 0,08 -0,54 0,12
4 Bandung -0,49 1,99 0,32 0,83 -0,26 0,29 0,39 -1,07 -0,54 -0,48 0,26 25,30 -0,80 0,12 8,03 0,62 -0,21 9,22 1,74 2,27 3,11 1,60
5 Garut -0,07 0,17 8,70 7,50 -0,49 -0,80 -0,02 -2,08 -0,81 2,20 -0,12 -0,43 0,12 1,03 -0,43 1,03 -0,51 -0,75 0,00 -1,93 0,52 0,21
6 Tasikmalaya 0,37 0,27 0,28 -0,02 -0,23 1,54 0,55 -1,27 1,06 0,35 -0,26 0,16 -0,23 0,24 -1,20 -0,10 -0,12 55,03 1,03 3,71 -0,32 0,18
7 Ciamis 2,61 0,98 -0,32 4,03 1,78 1,89 3,51 13,43 0,17 -0,46 -0,52 0,06 -0,81 0,17 -1,82 0,85 -0,78 - 0,65 -1,09 -0,70 0,32
8 Kuningan 0,00 0,10 6,52 -0,60 0,29 -1,06 -0,06 -1,91 -0,68 -1,57 -0,67 -0,57 -0,75 0,35 -1,20 1,53 -0,98 - 0,18 -2,06 -0,75 -1,05
9 Cirebon 8,60 2,56 14,27 - 1,23 2,89 10,35 15,32 0,81 - 1,46 0,44 3,84 0,56 4,72 3,31 0,34 - 7,74 13,93 1,22 1,07
10 Majalengka 0,45 -0,28 -0,19 -0,23 1,21 0,82 0,15 -1,88 0,48 1,99 -0,60 -0,60 -1,20 0,31 0,42 0,47 -0,56 -0,97 -0,07 0,23 1,75 0,93
11 Sumedang 1,25 1,53 6,03 2,62 0,31 0,52 1,57 -0,14 5,58 -0,55 4,15 -0,51 -0,56 0,14 0,63 2,96 1,44 - 0,88 5,73 -0,15 1,14
12 Indramayu 2,53 4,73 - 12,73 3,88 1,28 -1,20 7,11 -0,37 - -0,71 - 0,01 0,60 -1,93 - 1,62 - 0,29 -0,42 3,92 1,48
13 Subang 1,94 -0,33 0,26 -0,73 0,87 -0,98 0,11 -2,70 0,35 0,17 0,09 -0,01 -1,41 -0,32 0,73 5,46 0,02 - 0,75 -0,28 -0,73 -1,09
14 Purwakarta 0,34 0,85 -0,26 1,15 0,36 0,69 1,73 -0,65 0,48 -1,18 -0,70 0,04 -1,05 0,44 0,51 1,10 1,02 - -0,03 0,10 0,66 1,05
15 Karawang -0,11 0,96 - 1,42 -0,11 -0,51 9,67 0,25 -0,45 -0,17 -0,46 1,15 -0,58 -0,49 0,53 5,01 -0,05 - 1,66 -0,98 1,38 0,28
16 Bekasi -0,14 0,46 -0,21 -1,82 -0,73 0,40 1,67 - 0,71 -1,68 -0,87 -1,49 -1,61 -0,13 -0,70 3,99 3,54 - -0,26 10,90 0,83 10,99
17 Bandung Barat 0,06 0,27 2,39 0,49 1,06 1,25 4,03 -1,24 0,87 1,04 1,02 24,19 -0,93 1,00 11,11 2,09 0,72 19,53 2,24 10,69 1,78 2,48
18 Kota Bogor 1,64 0,75 1,13 1,18 2,44 -0,54 3,40 9,94 1,00 -0,54 0,20 5,79 4,09 21,92 -0,71 2,07 1,19 - 5,68 11,77 77,32 78,59
19 Kota Sukabumi -0,24 -0,66 - -1,55 -0,76 -1,28 -1,25 - -0,92 -0,94 1,21 - -1,40 0,66 8,28 - - -0,97 6,11 - - 48,59
20 Kota Bandung 1,72 1,76 - -0,47 -1,34 -0,46 0,84 - -0,68 - 10,45 - -1,05 0,67 - - 0,77 - 0,96 -1,91 0,19 -0,96
21 Kota Cirebon 2,91 0,23 - - 0,44 4,38 5,94 - 0,47 - 2,85 - -0,89 0,56 -0,02 - 3,38 - 7,45 28,84 4,61 28,17
22 Kota Bekasi 1,44 -0,27 -0,65 -1,91 -1,06 0,70 - - - - -0,99 1,51 -0,17 1,01 -1,85 - -0,40 - -0,28 -2,19 0,33 3,28
23 Kota Depok 3,45 -0,13 -0,52 -1,54 -0,58 -1,35 -1,06 -2,97 -1,02 -1,65 -0,44 -0,65 -1,27 -0,39 -0,88 -0,41 -0,61 - -0,19 -2,02 0,96 8,97
24 Kota Cimahi 0,94 1,68 3,27 - 1,90 5,45 0,85 20,99 1,38 -0,60 1,84 - -0,46 -0,27 7,97 4,21 -0,59 3,92 -0,26 69,46 0,13 25,39

169
25 Kota Tasikmalaya 9,49 0,12 -0,19 0,33 -0,93 -0,99 -1,25 ##### 66,80 -0,75 10,37 -0,04 -0,19 0,57 2,38 12,00 7,09 - 2,11 6,15 18,29 53,16
26 Kota Banjar 2,63 -0,95 0,48 0,96 -0,39 0,13 -0,79 -1,96 0,33 -0,24 0,34 0,42 -0,63 -0,45 2,08 1,21 2,59 - -0,12 -0,62 43,97 3,07
170

Lampiran 11. Model RAS Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka Tahun


2009

* Model RAS Tabel IO Kab. Majalengka Tahun 2009


* Basis data : Tabel IO Kabupaten Ciamis Tahun 2008
* Struktur Tabel RAS : 28 sektor
* Disusun oleh : Ir. Didit Okta Pribadi, MSi., Nunik Rachmawati, STP.
* P4W - IPB, PWL - IPB

SETS
i sektor input antara/1*28/;

ALIAS (i,j);

SCALAR TotM Total Impor Kabupaten Majalengka 2009/1431172.30/


TotF Total Final Demand Kabupaten Majalengka 2009/5657098.39/
TotV Total PDRB Kabupaten Majalengka 2009/4225926.09/ ;

PARAMETERS

Q2009(j) total input tabel I-O Kabupaten Majalengka 2009 28 sektor/


1 683918.28
2 87653.96
3 12369.83
4 150740.73
5 234157.97
6 37406.56
7 47947.86
8 207710.37
9 6582.15
10 47780.95
11 200825.31
12 1977424.09
13 75602.69
14 2429.71
15 692121.10
16 801109.60
17 2524.03
18 411572.29
19 434160.99
20 23024.01
21 48116.59
22 176294.88
23 158052.44
24 31919.45
25 684827.31
26 49821.69
27 14465.24
28 182467.53 /

PDRB2009(j) PDRB Kabupaten Majalengka tiap sektor tahun 2009/


1 571755.68
2 68983.66
3 11145.22
4 127978.88
5 193180.41
6 32842.18
7 40575.39
8 108488.65
9 5976.59
10 24047.19
171

Lampiran 11. (Lanjutan)

11 162266.81
12 724330.61
13 26997.72
14 1812.56
15 195870.26
16 573594.47
17 1516.95
18 263406.26
19 219799.89
20 17060.83
21 35076.98
22 113357.60
23 105737.04
24 21003.00
25 419799.12
26 28817.80
27 8507.05
28 121997.28 /;

TABLE A2008(i,j) Koefisien Teknis Kabupaten Ciamis Tahun 2008 28 Sektor


1 2 3 4 5 6 7 8
1 0.0721 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0030
2 0.0000 0.0426 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008
3 0.0000 0.0000 0.0165 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0007
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0320 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003
5 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0058 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0597 0.0000 0.0022
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0124 0.0003
8 0.0011 0.0264 0.0124 0.0258 0.0101 0.0060 0.0013 0.0664
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000
10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0051 0.0083 0.0084 0.0053 0.0031 0.0023 0.0068 0.1090
13 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0006
14 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
15 0.0001 0.0019 0.0000 0.0004 0.0009 0.0009 0.0285 0.0013
16 0.0201 0.0289 0.0207 0.0262 0.0359 0.0162 0.0175 0.0744
17 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0022 0.0001
19 0.0011 0.0123 0.0031 0.0035 0.0115 0.0052 0.0085 0.0139
20 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
21 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
22 0.0081 0.0062 0.0009 0.0012 0.0004 0.0017 0.0023 0.0007
23 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
24 0.0001 0.0015 0.0001 0.0000 0.0002 0.0004 0.0001 0.0000
25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
26 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001
27 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
28 0.0028 0.0120 0.0020 0.0024 0.0002 0.0017 0.0049 0.0007

+ 9 10 11 12 13 14 15 16
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.1729 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0000 0.0126 0.0000 0.0037 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0000 0.0006 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0136 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0005 0.0000 0.0053 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0572 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
8 0.0000 0.0012 0.0000 0.0232 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0103 0.0031 0.0000 0.0068 0.0000 0.0000 0.0160 0.0000
172

Lampiran 11. (Lanjutan)

10 0.0000 0.0315 0.0000 0.0120 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


11 0.0000 0.0000 0.0660 0.0068 0.1153 0.0000 0.0017 0.0000
12 0.0019 0.1226 0.0004 0.0366 0.0147 0.0093 0.1262 0.0045
13 0.0008 0.0008 0.0000 0.0034 0.0075 0.0335 0.0003 0.0147
14 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0113 0.0001 0.0005
15 0.0164 0.0129 0.0016 0.0007 0.0003 0.0052 0.0008 0.0000
16 0.0075 0.0849 0.0360 0.1256 0.1347 0.0174 0.1447 0.0095
17 0.0008 0.0000 0.0000 0.0002 0.0002 0.0012 0.0012 0.0073
18 0.0053 0.0009 0.0000 0.0015 0.0004 0.0005 0.0094 0.0102
19 0.0046 0.0033 0.0094 0.0079 0.0005 0.0045 0.0078 0.0291
20 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008 0.0000 0.0011 0.0008 0.0033
21 0.0001 0.0000 0.0000 0.0003 0.0007 0.0007 0.0013 0.0104
22 0.0028 0.0105 0.0004 0.0047 0.0053 0.0066 0.0051 0.0213
23 0.0000 0.0005 0.0000 0.0004 0.0002 0.0010 0.0015 0.0575
24 0.0043 0.0016 0.0005 0.0016 0.0017 0.0138 0.0045 0.0036
25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0003 0.0000 0.0002 0.0002
26 0.0000 0.0002 0.0000 0.0002 0.0008 0.0021 0.0009 0.0024
27 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
28 0.0089 0.0003 0.0004 0.0019 0.0120 0.0028 0.0059 0.0107

+ 17 18 19 20 21 22 23 24
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0003 0.0013 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0001 0.0025 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0006 0.0078 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0004 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0040 0.0061 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0001 0.0036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
8 0.0435 0.0156 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0002 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
10 0.0085 0.0162 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0858 0.0980 0.0179 0.0123 0.0021 0.0019 0.0033 0.0041
13 0.0113 0.0027 0.0015 0.0012 0.0137 0.0053 0.0013 0.0046
14 0.0006 0.0006 0.0002 0.0002 0.0006 0.0001 0.0003 0.0003
15 0.0046 0.0010 0.0028 0.0010 0.0001 0.0007 0.1247 0.0039
16 0.0671 0.0728 0.0377 0.0237 0.0043 0.0046 0.0037 0.0110
17 0.0003 0.0000 0.0007 0.0019 0.0016 0.0013 0.0011 0.0024
18 0.0012 0.0003 0.0105 0.0086 0.0024 0.0050 0.0008 0.0129
19 0.0011 0.0011 0.0243 0.0006 0.0037 0.0141 0.0065 0.0089
20 0.0008 0.0001 0.0107 0.0160 0.0084 0.0026 0.0023 0.0079
21 0.0062 0.0005 0.0013 0.0026 0.0272 0.0047 0.0038 0.0069
22 0.0027 0.0012 0.0274 0.0086 0.0351 0.0966 0.0401 0.0612
23 0.0004 0.0014 0.0027 0.0010 0.0017 0.0015 0.0078 0.0037
24 0.0114 0.0020 0.0047 0.0185 0.0283 0.0291 0.0268 0.0163
25 0.0031 0.0006 0.0034 0.0004 0.0005 0.0059 0.0149 0.0244
26 0.0018 0.0004 0.0005 0.0011 0.0029 0.0029 0.0013 0.0228
27 0.0015 0.0005 0.0008 0.0001 0.0018 0.0002 0.0000 0.0000
28 0.0012 0.0025 0.0974 0.0045 0.0153 0.0649 0.0221 0.0242

+ 25 26 27 28
1 0.0000 0.0000 0.0010 0.0000
2 0.0001 0.0004 0.0004 0.0000
3 0.0000 0.0002 0.0012 0.0000
4 0.0030 0.0237 0.0109 0.0000
5 0.0001 0.0011 0.0003 0.0000
6 0.0003 0.0024 0.0005 0.0000
7 0.0000 0.0002 0.0001 0.0003
8 0.0004 0.0123 0.0010 0.0000
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0009
10 0.0002 0.0045 0.0000 0.0000
173

Lampiran 11. (Lanjutan)

11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


12 0.0107 0.0411 0.0612 0.0132
13 0.0079 0.0021 0.0034 0.0047
14 0.0004 0.0004 0.0005 0.0002
15 0.0318 0.0067 0.0006 0.0007
16 0.0254 0.0583 0.0400 0.0530
17 0.0074 0.0003 0.0002 0.0005
18 0.0359 0.0042 0.0059 0.0071
19 0.0139 0.0019 0.0029 0.0054
20 0.0089 0.0005 0.0018 0.0014
21 0.0028 0.0050 0.0012 0.0009
22 0.0102 0.0080 0.0137 0.0051
23 0.0014 0.0015 0.0029 0.0130
24 0.0068 0.0150 0.0113 0.0078
25 0.0033 0.0038 0.0018 0.0004
26 0.0055 0.0331 0.0515 0.0035
27 0.0000 0.0015 0.0468 0.0000
28 0.0395 0.0072 0.0052 0.0024
;

PARAMETERS
TB(i) Original estimate for sectoral Total Output or Input cells 2009
QB(i,j) Original estimate for intersectoral IO transaction cells 2009
VB(j) Original estimate for sectoral Value Added cells 2009
MB(j) Original estimate for sectoral Import cells 2009
FB(i) Original estimate for sectoral Final Demand cells 2009
TW(i) Weight for sectoral Total Output or Input cells
QW(i,j) Weight for sectoral intersectoral IO transaction cells
VW(j) Weight for sectoral Value Added cells
MW(j) Weight for sectoral Import cells
FW(i) Weight for sectoral Final Demand cells;
Lampiran 11. (Lanjutan)

TB(i) = Q2009(i);
QB(i,j) = A2008(i,j)*TB(j);
VB(j) = PDRB2009(j);
MB(j) = TB(j)-VB(j)- Sum(i,QB(i,j));
FB(i) = TB(i)-Sum(j,QB(i,j));

TW(i)$(TB(i) GT 0) = 1;
QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) = 1;
VW(j)$(VB(j) GT 0) = 1;
MW(j)$(MB(j) GT 0) = 1;
FW(i)$(FB(i) GT 0) = 1;

TW(i)$(TB(i) EQ 0) = 0;
QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) = 0;
VW(j)$(VB(j) EQ 0) = 0;
MW(j)$(MB(j) EQ 0) = 0;
FW(i)$(FB(i) EQ 0) = 0;

VARIABLES
SSDEV Sum of Squared Deviation estimating Information Gain
T(i) Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells
2009
Q(i,j) Optimal estimates for Intersectoral Transaction cells 2009
M(j) Optimal estimates for Sectoral Import cells 2009
F(i) Optimal estimates for Sectoral Final Demand cells 2009
FM Optimal estimates for Final Demand for Import cells 2009
FF Optimal estimates for Final Demand for Final Demand cells 2009;
174

Lampiran 11. (Lanjutan)

POSITIVE VARIABLES T,Q,M,F,FM,FF;

EQUATIONS
OBJ Objective Function
CBal(j) Column Balance Constraint Function
RBal(i) Row Balance Constraint Function
TBal total Balance Constraint Function
TM Total Import Constraint Function
TF Total Final Demand Constraint Function;

OBJ .. SSDEV=E=Sum((i,j)$ (QW(i,j) GT 0), QW(i,j)* SQR(Q(i,j)-


QB(i,j) )/QB(i,j))+ Sum((i)$ (TW(i) GT 0), TW(i)* SQR(T(i)- TB(i))/TB(i))
+
Sum((j)$ (MW(j) GT 0), MW(j)* SQR(M(j)- MB(j))/MB(j)) +
Sum((i)$ (FW(i) GT 0), FW(i)* SQR(F(i)- FB(i))/FB(i));

CBal(j) ..T(j)=E=Sum(i,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ M(j)$ (MB(j) GT 0) +


VB(j);

RBal(i) ..T(i)=E=Sum(j,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ F(i);

TM ..Sum(j,M(j)$ (MB(j) GT 0))+FM=E=TotM;

TF ..Sum(i,F(i))+FF=E=TotF;

TBal ..TotV+TotM - TotF=E=0;

Lampiran 11. (Lanjutan)

MODEL ModelRAS/ALL/;

Q.L(i,j)=QB(i,j)$QW(i,j) ;
T.L(i)=TB(i)$TW(i) ;
M.L(i)=MB(i)$MW(i) ;
F.L(i)=FB(i)$FW(i) ;

OPTION NLP = MINOS5 ;


OPTION RESLIM = 9000 ;
OPTION ITERLIM = 100000 ;

SOLVE ModelRAS USING NLP MINIMIZING SSDEV;

SETS Item/MP2009,FD2009,TO2009 /;

PARAMETERS
HslL (i,Item) Tabel Hasil Level Optimal
HslM (i,Item) Tabel Hasil Marginal Value ;

HslL(i,"MP2009")=M.L(i) ;
HslL(i,"FD2009")=F.L(i) ;
HslL(i,"TO2009")=T.L(i) ;

HslM(i,"MP2009")=M.L(i);
HslM(i,"FD2009")=F.L(i);
HslM(i,"TO2009")=T.L(i);

DISPLAY Q.L, Q.M, T.L, M.L, F.L, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M;
175

Lampiran 12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah)
Kode
1 2 3 4 5
Sektor
1 49.250,965
2 3.735,642
3 204,031
4 4.823,594
5 1.359,069
6
7
8 759,479 2.299,463 153,756 3.877,858 2.341,870
9
10
11 23,360
12 3.479,581 714,251 102,917 787,076 710,126
13
14
15 69,187 165,840 60,248 209,122
16 13.766,205 2.496,657 254,596 3.905,931 8.255,857
17
18
19 764,491 1.078,522 38,694 529,580 2.684,423
20
21
22 5.610,314 541,770 11,195 180,946 93,048
23
24 68,875 130,326 1,237 46,258
25
26 45,413
27
28 1.940,852 1.049,402 24,898 362,173 46,560
190 75.709,949 12.211,873 791,324 14.572,819 15.769,693
200 37.278,496 6.421,258 437,583 8.192,458 25.043,671
201 104.777,936 12.473,960 1.111,991 13.739,471 31.660,103
202 448.457,744 55.404,408 9.948,077 113.288,793 157.380,678
203 9.883,938 468,363 11,284 374,780 979,228
204 8.636,065 636,934 73,865 575,837 3.160,405
205 - - - - -
209 571.755,684 68.983,665 11.145,217 127.978,881 193.180,414
210 684.744,129 87.616,796 12.374,124 150.744,158 233.993,778
176

Lampiran 12. (Lanjutan)


Kode
6 7 8 9 10
Sektor
1 616,328
2 167,257 611,234
3 144,970 28,834
4 62,481
5 4,869
6 2.232,476 455,798 24,038
7 551,407 25,638
8 224,901 94,484 13.789,488 57,827
9 7,408 64,041 39,287
10 1.502,143
11
12 85,185 490,330 22.366,066 20,960 5.838,014
13 14,568 125,021 8,906 38,679
14
15 33,806 2.074,234 270,540 182,432 622,925
16 602,316 1.265,088 15.325,468 82,926 4.058,313
17 4,828
18 160,511 20,888 59,087 43,621
19 196,210 620,493 2.905,886 51,308 160,073
20 7,273
21 7,291 1,114
22 63,926 167,518 145,838 31,168 507,593
23 7,287 24,188
24 14,956 7,256 47,704 76,913
25
26 20,915 9,706
27
28 63,975 357,068 145,951 99,114 14,514
190 3.517,751 5.832,216 56.588,533 653,588 13.662,771
200 1.058,275 5.019,776 42.670,547 316,508 10.164,853
201 7.303,314 6.843,117 40.215,273 785,692 9.073,978
202 24.792,923 33.364,260 67.116,162 5.013,562 13.799,018
203 170,770 97,003 345,262 124,854 899,171
204 575,171 271,010 811,952 52,481 275,023
205 - - - - -
209 32.842,179 40.575,390 108.488,650 5.976,590 24.047,190
210 37.418,205 51.427,382 207.747,730 6.946,686 47.874,814
177

Lampiran 12. (Lanjutan)

11 12 13 14 15
Kode Sektor
1 349.197,820
2 7.600,544
3 3.867,307
4 27.833,217
5
6 10.791,849
7 50.187,799 28,850
8 47.348,504
9 3.883,192 2.900,307
10 24.241,429
11 13.257,740 13.977,348 8.745,408 1.191,425
12 78,797 73.832,314 1.093,504 22,297 86.757,746
13 6.961,498 566,577 81,562 209,412
14 204,289 27,448 69,643
15 319,698 1.431,514 22,635 12,645 557,738
16 7.119,414 254.319,563 10.059,009 41,879 99.858,735
17 103,259 3,400 0,664 194,521
18 3.078,625 30,293 1,220 6.577,763
19 1.886,852 16.227,035 37,897 10,992 5.462,617
20 1.634,223 2,672 557,111
21 615,142 52,960 1,707 908,806
22 80,014 9.621,990 400,327 16,067 3.559,530
23 819,452 15,117 2,436 1.047,655
24 99,448 3.257,598 127,677 33,404 3.123,069
25 205,416 22,739 140,074
26 410,992 60,663 5,132 630,587
27
28 80,077 3.892,653 907,103 6,821 4.121,054
190 22.922,040 915.544,572 22.145,309 266,946 217.896,643
200 15.586,927 297.696,648 26.518,789 350,894 273.302,183
201 75.779,555 125.853,765 5.937,103 180,559 59.428,047
202 83.697,942 526.739,843 19.752,772 1.494,951 110.351,013
203 2.113,325 56.440,449 861,922 79,232 15.182,823
204 675,989 15.296,553 445,923 57,818 10.908,377
205 - - - - -
209 162.266,810 724.330,610 26.997,720 1.812,560 195.870,260
210 200.775,777 1.937.571,830 75.661,818 2.430,400 687.069,086
178

Lampiran 12. (Lanjutan)

16 17 18 19 20
Kode Sektor
1
2 1,180 537,418
3 0,391 1.023,726
4 2,354 3.212,104
5 1,577 248,964
6 15,639 2.498,875
7 0,243 606,479
8 170,336 6.405,777
9 0,408 10,470
10 33,059 6.582,139
11
12 3.595,828 333,387 39.759,894 7.631,077 279,586
13 11.926,359 44,344 1.112,410 649,429 27,699
14 404,725 2,351 246,627 86,388 4,606
15 18,037 411,488 1.210,744 23,054
16 7.620,291 261,374 29.650,492 16.134,742 540,802
17 1.394,173 0,591 67,734 9,983
18 8.295,754 4,717 123,908 4.557,342 199,002
19 23.686,615 4,326 454,705 10.555,735 13,895
20 2.671,035 3,135 41,102 4.621,507 368,441
21 8.450,226 24,354 206,311 563,688 60,105
22 17.278,744 10,594 494,338 11.861,304 198,483
23 46.677,069 1,570 577,135 1.169,643 23,096
24 2.903,968 44,569 819,220 2.023,011 424,549
25 162,803 12,191 248,034 1.477,010 9,264
26 1.954,416 7,081 165,423 217,296 25,486
27 5,907 207,138 348,280 2,321
28 8.686,577 4,711 1.030,668 42.196,676 103,938
190 145.708,583 1.008,426 96.674,845 105.371,606 2.314,310
200 80.780,202 552,943 50.036,241 108.758,108 3.645,345
201 178.016,575 285,868 74.608,408 125.744,604 3.949,131
202 294.590,436 609,965 96.912,108 66.979,986 11.187,915
203 64.523,810 618,747 44.810,813 15.802,786 859,917
204 36.463,649 2,370 47.074,931 11.272,514 1.063,867
205 - - - - -
209 573.594,470 1.516,950 263.406,260 219.799,890 17.060,830
210 800.083,255 3.078,319 410.117,346 433.929,604 23.020,485
179

Lampiran 12. (Lanjutan)

21 22 23 24 25
Kode Sektor
1
2 68,783
3
4 2.055,558
5 69,040
6 204,479
7
8 273,288
9
10 135,206
11
12 99,418 329,931 513,618 129,527 7.222,973
13 658,659 934,614 205,475 147,567 5.415,538
14 28,779 17,593 47,307 9,602 273,566
15 4,802 123,285 19.685,054 124,955 21.771,954
16 204,361 801,880 578,110 348,853 17.212,635
17 17,310 51,778 39,237 17,671 1.148,622
18 115,673 883,903 126,760 414,853 24.670,991
19 178,476 2.494,666 1.030,779 286,451 9.560,166
20 402,884 457,396 362,664 252,828 6.086,500
21 1.309,670 830,054 601,521 221,681 1.922,314
22 1.687,284 17.032,352 6.337,246 1.963,015 6.991,269
23 81,778 264,664 1.233,553 118,763 960,264
24 1.352,667 5.101,721 4.211,303 519,874 4.634,392
25 24,120 1.043,921 2.362,984 785,368 2.269,795
26 139,951 513,322 206,250 734,164 3.784,525
27 87,017 35,463
28 736,054 11.451,929 3.495,304 776,824 27.095,001
190 7.128,903 42.368,472 41.037,165 6.851,996 143.826,859
200 5.877,661 20.545,342 11.182,878 4.089,819 118.211,911
201 11.789,692 29.328,640 27.582,980 6.489,440 88.711,069
202 19.118,391 75.374,384 38.771,806 9.588,216 223.945,206
203 2.031,160 3.890,490 34.069,209 4.451,655 96.117,211
204 2.137,737 4.764,086 5.313,045 473,689 11.025,634
205 - - - - -
209 35.076,980 113.357,600 105.737,040 21.003,000 419.799,120
210 48.083,544 176.271,414 157.957,083 31.944,815 681.837,890
180

Lampiran 12. (Lanjutan)

26 27 28 180
Kode Sektor
1 14,206 399.079,319
2 19,946 5,783 12.747,787
3 9,879 17,185 5.296,323
4 1.177,267 156,988 39.323,563
5 55,058 4,354 1.742,931
6 118,590 7,163 16.348,907
7 4,043 0,585 22,338 51.427,382
8 609,228 14,361 78.420,620
9 41,573 6.946,686
10 220,534 32.714,510
11 37.195,281
12 2.011,266 868,329 2.371,286 261.525,284
13 104,365 48,992 857,429 30.139,103
14 19,833 7,188 36,401 1.486,346
15 332,554 8,635 127,542 49.874,668
16 2.864,070 569,748 9.558,049 507.757,364
17 3,335 0,642 20,570 3.078,318
18 209,249 85,228 1.298,487 50.957,875
19 94,739 41,927 988,398 82.045,951
20 24,789 25,875 254,795 17.774,230
21 248,862 17,317 164,435 16.207,558
22 397,525 197,383 930,276 86.411,057
23 74,589 41,811 2.372,968 55.513,038
24 741,114 161,876 1.414,690 31.387,675
25 189,487 26,025 73,218 9.052,449
26 1.651,207 744,899 640,921 11.968,349
27 74,959 678,100 1.439,185
28 358,051 74,977 438,116 109.561,041
190 11.614,539 3.819,577 21.611,492 2.007.422,800
200 9.325,627 2.114,530 38.777,814 1.203.957,287
201 8.836,258 348,141 36.879,185 1.087.733,855
202 18.152,049 7.038,014 73.480,519 2.606.351,141
203 1.534,774 724,149 6.997,972 364.465,098
204 294,719 396,747 4.639,605 167.375,996
205 - - - -
209 28.817,800 8.507,050 121.997,280 4.225.926,090
210 49.757,966 14.441,157 182.386,586 7.437.306,177
181

Lampiran 12. (Lanjutan)

309 310
Kode Sektor
1 285.664,805 684744,124
2 74.869,003 87616,791
3 7.077,804 12374,127
4 111.420,596 150744,159
5 232.250,844 233993,774
6 21.069,301 37418,208
7 51427,383
8 129.327,111 207747,731
9 6946,686
10 15.160,304 47874,814
11 163.580,495 200775,776
12 1.676.046,544 1937571,831
13 45.522,719 75661,819
14 944,055 2430,400
15 637.194,419 687069,087
16 292.325,892 800083,257
17 3078,317
18 359.159,468 410117,344
19 351.883,652 433929,604
20 5.246,253 23020,482
21 31.875,985 48083,543
22 89.860,354 176271,412
23 102.444,046 157957,084
24 557,141 31944,814
25 672.785,442 681837,890
26 37.789,618 49757,968
27 13.001,974 14441,159
28 72.825,546 182386,587
190 5.429.883,371 7.437.306,171
182

Lampiran 13. Keterangan Kode Sektor

Kode Sektor
1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Buah-buahan
5 Sayur-sayuran
6 Bahan makanan lainnya
7 Tanaman Perkebunan
8 Peternakan dan hasil-hasilnya
9 Kehutanan
10 Perikanan
11 Pertambangan dan Penggalian
12 Industri Pengolahan
13 Listrik
14 Air Bersih
15 Bangunan
16 Perdagangan Besar dan Eceran
17 Hotel
18 Restoran
19 Angkutan Jalan Raya
20 Jasa Penunjang Angkutan
21 Komunikasi
22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
23 Sewa Bangunan
24 Jasa Perusahaan
25 Pemerintahan umum dan pertahanan
26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
28 Jasa Perorangan dan Rumah tangga
190 Jumlah Input Antara
200 Impor (Dari nilai LQ)
201 Upah dan Gaji
202 Surplus Usaha
203 Penyusutan
204 Pajak tak Langsung
205 Subsidi
209 NTB / PDRB
210 Total Input
180 Jumlah Permintaan Antara
309 Permintaan Akhir (Final Demand )
310 Jumlah Permintaan (Total Output )
183

Lampiran 14. Nilai Koefisien Teknis (Matriks A)


Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor
1 0,0719 - - - - - - 0,0030 -
2 - 0,0426 - - - - - 0,0008 -
3 - - 0,0165 - - - - 0,0007 -
4 - - - 0,0320 - - - 0,0003 -
5 - - - - 0,0058 - - - -
6 - - - - - 0,0597 - 0,0022 -
7 - - - - - - 0,0107 0,0001 -
8 0,0011 0,0262 0,0124 0,0257 0,0100 0,0060 0,0018 0,0664 -
9 - - - - - - 0,0001 - 0,0092
10 - - - - - - - - -
11 - - - - 0,0001 - - - -
12 0,0051 0,0082 0,0083 0,0052 0,0030 0,0023 0,0095 0,1077 0,0030
13 - - - - - - 0,0003 0,0006 0,0013
14 - - - - - - - - -
15 0,0001 0,0019 - 0,0004 0,0009 0,0009 0,0403 0,0013 0,0263
16 0,0201 0,0285 0,0206 0,0259 0,0353 0,0161 0,0246 0,0738 0,0119
17 - - - - - - - - 0,0007
18 - - - - - - 0,0031 0,0001 0,0085
19 0,0011 0,0123 0,0031 0,0035 0,0115 0,0052 0,0121 0,0140 0,0074
20 - - - - - - 0,0001 - -
21 - - - - - - 0,0001 - 0,0002
22 0,0082 0,0062 0,0009 0,0012 0,0004 0,0017 0,0033 0,0007 0,0045
23 - - - - - - 0,0001 - -
24 0,0001 0,0015 0,0001 - 0,0002 0,0004 0,0001 - 0,0069
25 - - - - - - - - -
26 - - - 0,0003 - - - 0,0001 -
27 - - - - - - - - -
28 0,0028 0,0120 0,0020 0,0024 0,0002 0,0017 0,0069 0,0007 0,0143
190 0,1106 0,1394 0,0639 0,0967 0,0674 0,0940 0,1134 0,2724 0,0941
200 0,0544 0,0733 0,0354 0,0543 0,1070 0,0283 0,0976 0,2054 0,0456
201 0,1530 0,1424 0,0899 0,0911 0,1353 0,1952 0,1331 0,1936 0,1131
202 0,6549 0,6323 0,8039 0,7515 0,6726 0,6626 0,6488 0,3231 0,7217
203 0,0144 0,0053 0,0009 0,0025 0,0042 0,0046 0,0019 0,0017 0,0180
204 0,0126 0,0073 0,0060 0,0038 0,0135 0,0154 0,0053 0,0039 0,0076
205 - - - - - - - - -
209 0,8350 0,7873 0,9007 0,8490 0,8256 0,8777 0,7890 0,5222 0,8604
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
184

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
10 11 12 13 14 15 16
Sektor
1 - - 0,1802 - - - -
2 0,0128 - 0,0039 - - - -
3 0,0006 - 0,0020 - - - -
4 - - 0,0144 - - - -
5 0,0001 - - - - - -
6 0,0005 - 0,0056 - - - -
7 - - 0,0259 - - 0,0000 -
8 0,0012 - 0,0244 - - - -
9 0,0008 - 0,0020 - - 0,0042 -
10 0,0314 - 0,0125 - - - -
11 - 0,0660 0,0072 0,1156 - 0,0017 -
12 0,1219 0,0004 0,0381 0,0145 0,0092 0,1263 0,0045
13 0,0008 - 0,0036 0,0075 0,0336 0,0003 0,0149
14 - - 0,0001 - 0,0113 0,0001 0,0005
15 0,0130 0,0016 0,0007 0,0003 0,0052 0,0008 -
16 0,0848 0,0355 0,1313 0,1329 0,0172 0,1453 0,0095
17 - - 0,0001 0,0000 0,0003 0,0003 0,0017
18 0,0009 - 0,0016 0,0004 0,0005 0,0096 0,0104
19 0,0033 0,0094 0,0084 0,0005 0,0045 0,0080 0,0296
20 - - 0,0008 - 0,0011 0,0008 0,0033
21 - - 0,0003 0,0007 0,0007 0,0013 0,0106
22 0,0106 0,0004 0,0050 0,0053 0,0066 0,0052 0,0216
23 0,0005 - 0,0004 0,0002 0,0010 0,0015 0,0583
24 0,0016 0,0005 0,0017 0,0017 0,0137 0,0045 0,0036
25 - - 0,0001 0,0003 - 0,0002 0,0002
26 0,0002 - 0,0002 0,0008 0,0021 0,0009 0,0024
27 - - - - - - -
28 0,0003 0,0004 0,0020 0,0120 0,0028 0,0060 0,0109
190 0,2854 0,1142 0,4725 0,2927 0,1098 0,3171 0,1821
200 0,2123 0,0776 0,1536 0,3505 0,1444 0,3978 0,1010
201 0,1895 0,3774 0,0650 0,0785 0,0743 0,0865 0,2225
202 0,2882 0,4169 0,2719 0,2611 0,6151 0,1606 0,3682
203 0,0188 0,0105 0,0291 0,0114 0,0326 0,0221 0,0806
204 0,0057 0,0034 0,0079 0,0059 0,0238 0,0159 0,0456
205 - - - - - - -
209 0,5023 0,8082 0,3738 0,3568 0,7458 0,2851 0,7169
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
185

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
17 18 19 20 21 22 23
Sektor
1 - - - - - - -
2 0,0004 0,0013 - - - - -
3 0,0001 0,0025 - - - - -
4 0,0008 0,0078 - - - - -
5 0,0005 0,0006 - - - - -
6 0,0051 0,0061 - - - - -
7 0,0001 0,0015 - - - - -
8 0,0553 0,0156 - - - - -
9 0,0001 0,0000 - - - - -
10 0,0107 0,0160 - - - - -
11 - - - - - - -
12 0,1083 0,0969 0,0176 0,0121 0,0021 0,0019 0,0033
13 0,0144 0,0027 0,0015 0,0012 0,0137 0,0053 0,0013
14 0,0008 0,0006 0,0002 0,0002 0,0006 0,0001 0,0003
15 0,0059 0,0010 0,0028 0,0010 0,0001 0,0007 0,1246
16 0,0849 0,0723 0,0372 0,0235 0,0043 0,0045 0,0037
17 0,0002 - 0,0002 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002
18 0,0015 0,0003 0,0105 0,0086 0,0024 0,0050 0,0008
19 0,0014 0,0011 0,0243 0,0006 0,0037 0,0142 0,0065
20 0,0010 0,0001 0,0107 0,0160 0,0084 0,0026 0,0023
21 0,0079 0,0005 0,0013 0,0026 0,0272 0,0047 0,0038
22 0,0034 0,0012 0,0273 0,0086 0,0351 0,0966 0,0401
23 0,0005 0,0014 0,0027 0,0010 0,0017 0,0015 0,0078
24 0,0145 0,0020 0,0047 0,0184 0,0281 0,0289 0,0267
25 0,0040 0,0006 0,0034 0,0004 0,0005 0,0059 0,0150
26 0,0023 0,0004 0,0005 0,0011 0,0029 0,0029 0,0013
27 0,0019 0,0005 0,0008 0,0001 0,0018 0,0002 -
28 0,0015 0,0025 0,0972 0,0045 0,0153 0,0650 0,0221
190 0,3276 0,2357 0,2428 0,1005 0,1483 0,2404 0,2598
200 0,1796 0,1220 0,2506 0,1584 0,1222 0,1166 0,0708
201 0,0929 0,1819 0,2898 0,1715 0,2452 0,1664 0,1746
202 0,1981 0,2363 0,1544 0,4860 0,3976 0,4276 0,2455
203 0,2010 0,1093 0,0364 0,0374 0,0422 0,0221 0,2157
204 0,0008 0,1148 0,0260 0,0462 0,0445 0,0270 0,0336
205 - - - - - - -
209 0,4928 0,6423 0,5065 0,7411 0,7295 0,6431 0,6694
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
186

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
24 25 26 27 28
Sektor
1 - - - 0,0010 -
2 - 0,0001 0,0004 0,0004 -
3 - - 0,0002 0,0012 -
4 - 0,0030 0,0237 0,0109 -
5 - 0,0001 0,0011 0,0003 -
6 - 0,0003 0,0024 0,0005 -
7 - - 0,0001 0,0000 0,0001
8 - 0,0004 0,0122 0,0010 -
9 - - - - 0,0002
10 - 0,0002 0,0044 - -
11 - - - - -
12 0,0041 0,0106 0,0404 0,0601 0,0130
13 0,0046 0,0079 0,0021 0,0034 0,0047
14 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0002
15 0,0039 0,0319 0,0067 0,0006 0,0007
16 0,0109 0,0252 0,0576 0,0395 0,0524
17 0,0006 0,0017 0,0001 0,0000 0,0001
18 0,0130 0,0362 0,0042 0,0059 0,0071
19 0,0090 0,0140 0,0019 0,0029 0,0054
20 0,0079 0,0089 0,0005 0,0018 0,0014
21 0,0069 0,0028 0,0050 0,0012 0,0009
22 0,0615 0,0103 0,0080 0,0137 0,0051
23 0,0037 0,0014 0,0015 0,0029 0,0130
24 0,0163 0,0068 0,0149 0,0112 0,0078
25 0,0246 0,0033 0,0038 0,0018 0,0004
26 0,0230 0,0056 0,0332 0,0516 0,0035
27 - - 0,0015 0,0470 -
28 0,0243 0,0397 0,0072 0,0052 0,0024
190 0,2145 0,2109 0,2334 0,2645 0,1185
200 0,1280 0,1734 0,1874 0,1464 0,2126
201 0,2031 0,1301 0,1776 0,0241 0,2022
202 0,3001 0,3284 0,3648 0,4874 0,4029
203 0,1394 0,1410 0,0308 0,0501 0,0384
204 0,0148 0,0162 0,0059 0,0275 0,0254
205 - - - - -
209 0,6575 0,6157 0,5792 0,5891 0,6689
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
187

Lampiran 15. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1


Kode
1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor
1 1,07871 0,00269 0,00212 0,00191 0,00103 0,00075 0,00328 0,02717
2 0,00003 1,04462 0,00006 0,00007 0,00003 0,00002 0,00008 0,00143
3 0,00001 0,00005 1,01680 0,00004 0,00002 0,00001 0,00005 0,00102
4 0,00010 0,00022 0,00017 1,03322 0,00009 0,00006 0,00029 0,00217
5 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 1,00584 0,00000 0,00000 0,00000
6 0,00004 0,00015 0,00010 0,00013 0,00006 1,06349 0,00013 0,00324
7 0,00016 0,00036 0,00028 0,00025 0,00014 0,00010 1,01129 0,00334
8 0,00146 0,02975 0,01383 0,02874 0,01094 0,00696 0,00253 1,07451
9 0,00002 0,00004 0,00002 0,00002 0,00002 0,00001 0,00036 0,00026
10 0,00009 0,00019 0,00015 0,00013 0,00008 0,00006 0,00029 0,00161
11 0,00011 0,00020 0,00014 0,00014 0,00023 0,00008 0,00033 0,00128
12 0,00622 0,01335 0,01071 0,00934 0,00514 0,00377 0,01683 0,12221
13 0,00047 0,00078 0,00045 0,00057 0,00066 0,00035 0,00102 0,00271
14 0,00002 0,00003 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 0,00007
15 0,00033 0,00242 0,00025 0,00074 0,00126 0,00116 0,04123 0,00250
16 0,02338 0,03614 0,02412 0,03114 0,03835 0,01901 0,03528 0,09920
17 0,00005 0,00007 0,00005 0,00006 0,00007 0,00004 0,00008 0,00019
18 0,00038 0,00078 0,00036 0,00046 0,00060 0,00033 0,00422 0,00168
19 0,00222 0,01511 0,00435 0,00525 0,01328 0,00651 0,01428 0,01979
20 0,00016 0,00038 0,00016 0,00019 0,00030 0,00016 0,00052 0,00072
21 0,00033 0,00051 0,00029 0,00038 0,00047 0,00025 0,00067 0,00122
22 0,01060 0,00899 0,00195 0,00253 0,00200 0,00284 0,00556 0,00524
23 0,00146 0,00240 0,00148 0,00191 0,00233 0,00119 0,00247 0,00603
24 0,00062 0,00230 0,00037 0,00034 0,00059 0,00070 0,00092 0,00112
25 0,00012 0,00022 0,00007 0,00008 0,00012 0,00008 0,00017 0,00026
26 0,00013 0,00025 0,00010 0,00044 0,00014 0,00009 0,00022 0,00048
27 0,00001 0,00002 0,00001 0,00001 0,00001 0,00001 0,00002 0,00002
28 0,00431 0,01521 0,00296 0,00363 0,00216 0,00293 0,00960 0,00474
Total 1,13152 1,17723 1,08135 1,12172 1,08600 1,11097 1,15175 1,38420
188

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
9 10 11 12 13 14 15
Sektor
1 0,00163 0,02627 0,00024 0,20365 0,00330 0,00228 0,02629
2 0,00005 0,01435 0,00001 0,00451 0,00008 0,00005 0,00060
3 0,00004 0,00092 0,00000 0,00217 0,00004 0,00003 0,00031
4 0,00021 0,00205 0,00003 0,01562 0,00031 0,00025 0,00215
5 0,00001 0,00011 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00001
6 0,00012 0,00139 0,00001 0,00631 0,00012 0,00009 0,00090
7 0,00024 0,00355 0,00003 0,02746 0,00045 0,00031 0,00361
8 0,00044 0,00547 0,00005 0,02847 0,00054 0,00040 0,00393
9 1,00944 0,00119 0,00001 0,00215 0,00005 0,00005 0,00455
10 0,00027 1,03419 0,00003 0,01361 0,00027 0,00019 0,00196
11 0,00034 0,00147 1,07080 0,00888 0,12513 0,00441 0,00336
12 0,00840 0,13520 0,00125 1,04824 0,01699 0,01172 0,13531
13 0,00185 0,00321 0,00066 0,00632 1,01000 0,03483 0,00365
14 0,00003 0,00008 0,00003 0,00020 0,00009 1,01145 0,00023
15 0,02684 0,01477 0,00205 0,00350 0,00174 0,00578 1,00283
16 0,01970 0,11165 0,03956 0,15092 0,14421 0,02600 0,16938
17 0,00075 0,00022 0,00007 0,00034 0,00031 0,00034 0,00061
18 0,00943 0,00277 0,00060 0,00376 0,00227 0,00126 0,01209
19 0,00884 0,00896 0,01162 0,01524 0,00664 0,00605 0,01513
20 0,00031 0,00072 0,00029 0,00170 0,00070 0,00148 0,00185
21 0,00056 0,00144 0,00048 0,00216 0,00245 0,00125 0,00346
22 0,00672 0,01694 0,00200 0,01291 0,01059 0,00980 0,01257
23 0,00150 0,00730 0,00240 0,00952 0,00895 0,00274 0,01182
24 0,00773 0,00329 0,00092 0,00335 0,00319 0,01489 0,00659
25 0,00031 0,00037 0,00012 0,00051 0,00065 0,00052 0,00074
26 0,00036 0,00072 0,00015 0,00081 0,00140 0,00273 0,00170
27 0,00002 0,00002 0,00001 0,00002 0,00002 0,00002 0,00003
28 0,01643 0,00450 0,00224 0,00748 0,01551 0,00534 0,01123
Total 1,12257 1,40311 1,13567 1,57981 1,35600 1,14425 1,43689
189

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
16 17 18 19 20 21 22
Sektor
1 0,00173 0,02435 0,02083 0,00446 0,00286 0,00080 0,00102
2 0,00006 0,00114 0,00207 0,00012 0,00008 0,00003 0,00004
3 0,00005 0,00045 0,00279 0,00008 0,00006 0,00002 0,00003
4 0,00031 0,00280 0,00973 0,00050 0,00035 0,00022 0,00028
5 0,00001 0,00052 0,00061 0,00001 0,00001 0,00001 0,00001
6 0,00015 0,00633 0,00718 0,00023 0,00016 0,00006 0,00010
7 0,00025 0,00335 0,00430 0,00063 0,00040 0,00012 0,00016
8 0,00059 0,06287 0,02005 0,00088 0,00062 0,00026 0,00036
9 0,00006 0,00043 0,00027 0,00009 0,00004 0,00002 0,00004
10 0,00034 0,01278 0,01798 0,00052 0,00036 0,00014 0,00022
11 0,00206 0,00310 0,00141 0,00059 0,00037 0,00188 0,00090
12 0,00888 0,12437 0,10693 0,02297 0,01472 0,00409 0,00527
13 0,01600 0,01714 0,00470 0,00324 0,00201 0,01492 0,00689
14 0,00057 0,00087 0,00068 0,00028 0,00024 0,00066 0,00016
15 0,00781 0,00759 0,00250 0,00412 0,00158 0,00076 0,00178
16 1,01828 0,11398 0,09313 0,05016 0,02835 0,00993 0,01330
17 0,00182 1,00043 0,00018 0,00029 0,00051 0,00043 0,00040
18 0,01155 0,00365 1,00172 0,01268 0,00957 0,00360 0,00725
19 0,03218 0,00766 0,00567 1,02801 0,00212 0,00539 0,01752
20 0,00424 0,00193 0,00066 0,01170 1,01665 0,00928 0,00368
21 0,01162 0,00969 0,00167 0,00234 0,00329 1,02865 0,00595
22 0,02936 0,01006 0,00550 0,03424 0,01227 0,04304 1,11121
23 0,06034 0,00751 0,00707 0,00724 0,00292 0,00285 0,00368
24 0,00716 0,01648 0,00314 0,00753 0,01986 0,03131 0,03394
25 0,00162 0,00465 0,00088 0,00409 0,00105 0,00165 0,00762
26 0,00308 0,00336 0,00086 0,00144 0,00181 0,00422 0,00457
27 0,00007 0,00205 0,00054 0,00089 0,00013 0,00198 0,00027
28 0,01823 0,00582 0,00522 0,10376 0,00667 0,02040 0,07570
Total 1,23843 1,45535 1,32829 1,30309 1,12904 1,18669 1,30234
190

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
23 24 25 26 27 28
Sektor
1 0,00428 0,00182 0,00419 0,00954 0,01486 0,00307
2 0,00010 0,00008 0,00027 0,00073 0,00078 0,00008
3 0,00006 0,00006 0,00014 0,00034 0,00145 0,00005
4 0,00048 0,00095 0,00391 0,02611 0,01429 0,00040
5 0,00001 0,00004 0,00013 0,00116 0,00039 0,00001
6 0,00017 0,00023 0,00072 0,00299 0,00118 0,00016
7 0,00059 0,00027 0,00063 0,00138 0,00191 0,00055
8 0,00073 0,00092 0,00195 0,01577 0,00432 0,00064
9 0,00059 0,00005 0,00020 0,00014 0,00016 0,00028
10 0,00037 0,00050 0,00116 0,00547 0,00130 0,00036
11 0,00074 0,00084 0,00138 0,00087 0,00119 0,00086
12 0,02201 0,00936 0,02156 0,04883 0,07071 0,01580
13 0,00268 0,00610 0,00933 0,00386 0,00519 0,00590
14 0,00037 0,00038 0,00048 0,00048 0,00061 0,00025
15 0,12685 0,00587 0,03297 0,00816 0,00223 0,00297
16 0,02937 0,02046 0,04176 0,07281 0,05852 0,05815
17 0,00041 0,00068 0,00180 0,00023 0,00018 0,00023
18 0,00398 0,01540 0,03793 0,00591 0,00774 0,00816
19 0,01034 0,01190 0,01689 0,00569 0,00642 0,00791
20 0,00330 0,00899 0,00970 0,00118 0,00251 0,00189
21 0,00503 0,00817 0,00373 0,00640 0,00251 0,00180
22 0,04947 0,07178 0,01474 0,01346 0,02009 0,00899
23 1,01045 0,00573 0,00470 0,00616 0,00687 0,01671
24 0,03024 1,02026 0,00878 0,01704 0,01423 0,00913
25 0,01631 0,02586 1,00387 0,00461 0,00274 0,00100
26 0,00266 0,02486 0,00639 1,03518 0,05664 0,00410
27 0,00004 0,00009 0,00006 0,00166 1,04938 0,00002
28 0,02934 0,03261 0,04400 0,01088 0,00945 1,00526
Total 1,35097 1,27428 1,27339 1,30703 1,35785 1,15476
191

Lampiran 16. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah Irigasi (Oryza sativa )
Persyaratan penggunaan lahan/ Kelas kesesuaian lahan
karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc)
0
Temperatur rerata ( C) 24 - 29 22 - 24 18 - 22 < 18
29 - 32 32 - 35 > 35
Ketersediaan air (wa)
Kelembapan (%) 33 - 90 30 - 33 < 30 ; <90
Media perakaran (rc)
Drainase agak terhambat, terhambat, sangat terham- cepat
sedang baik bat agak cepat
Tekstur halus, agak halus sedang agak kasar kasar
Bahan kasar (%) <3 3 - 15 15 - 35 > 35
Kedalaman tanah (cm) > 50 40 - 50 25 - 40 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 200
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
+
Kematangan saprik saprik, hemik, fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 < 35
pH H2 O 5,5 - 8,2 4,5 - 5,5 < 4,5
8,2 - 8,5 > 8,5
C-organik (%) 0,8 - 1,5 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <2 2-4 4-6 >6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <3 3-5 5-8 >8
Bahaya erosi sangat rendah rendah sedang berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0,F11,F12 F13,F22,33 F14,F24,F34 F15,F25
F21,F23,F31,F32 F41,F42,43 F44 F35,F45
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
keterangan :
Saprik+ , hemik+ ,fibrik+ = saprik, hemik, fibrik dengan sisipan bahan mineral/pengkayaan
192

Lampiran 17. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung (zea mays )


Persyaratan penggunaan Kelas sesuaikan lahan
lahan/ karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc) 20 - 26 - 16 - 20 < 16
Temperatur rerata (0 C) 26 - 30 30 - 32 > 32

Ketersediaan air (wa)


Curah hujan tahunan (mm) 500 - 1.200 1.200 - 1.600 > 1.600
400 - 500 300 - 400 < 300
Kelembaban (%) > 42 36 - 42 30 - 36 < 30
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, agak agak cpat, terhambat hangat terham-
terhambat sedang bat, cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur halus, agak - agak kasar kasar
halus, sedang
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 60 40 - 60 25 - 44 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 400
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
Kematangan saprik+ saprik, hemik fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 <3 5
pH H2 O 5,8 - 7,8 5,5 - 5,8 < 5,5
7,8 - 8,2 > 8,2
C-organik (%) > 0,4 ≤ 0,4
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <4 4-6 4-8 >8
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) <15 15 - 20 20 - 25 > 25
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) >100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8 - 16 16 - 30 > 30
Bahaya erosi sangat rendah rendah-sedang berat sangat berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - F1 > F2
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
193

Lampiran 18. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Mangga (Mangifera indica L .)


Persyaratan penggunaan Kelas kesesuaian lahan
lahan/ karateristik lahan S1 S2 S3 N
Temperatur (tc) 22 - 28 28 - 34 34 - 40 > 40
Temperatur rerata (0 C) 18 - 22 15 - 18 < 15
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan tahunan (mm) 1.250 - 1.750 1.750 - 2.000 2.000 - 2.500 >2.500
1.000 - 1.250 750 - 1.000 <750
Kelembaban (%) 36 - 42 30 - 36 <30
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, sedang agak terhambat terhambat, sangat terham-
agak terhambat bat, sepat
Media perakaran (rc)
Tekstur sedang, agak - agak kasar kasar
halus, halus
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 <50
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada <140 140 - 200 200 - 400 > 400
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
Kematangan saprik+ saprik hemik fibrik
hemik+ fibrik+
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 35 20 - 35 < 20
pH H2O 5,5 - 7,8 5,0 - 5,5 < 5,0
7,8 - 8,0 > 8,0
C-organik (%) > 1,2 0,8 - 1,3 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <4 4-6 6-8 >8
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 15 15 - 20 20 - 25 >5
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 <60
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8 - 16 16 - 30 >30
Bahaya erosi Sr rendah - sedang berat sangat berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - - > F0
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
ABSTRACT

NUNIK RACHMAWATI. The Development of Food Crops Subsector in


Supporting Regional Development in Majalengka Regency. Under direction of
SANTUN R.P. SITORUS and DIDIT OKTA PRIBADI

Food crops subsector is expected to be a strategic sector for regional


development in Majalengka regency in the future because it based on local
resources. The purposes of this study are : (1) identifying condition and potency
of food crops subsector in Majalengka regency, (2) identifying the role of food
crops subsector in regional economy, (3) identifying superior commodities, (4)
exploring perceptions of stakeholders regarding food crops development
priorities (5) formulating the direction of food crops subsector development for
regional development in Majalengka. The data analysis used are Location
Quotient (LQ), Shift Share, Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process
(AHP), land suitability and avaibility evaluation. The result showed that food
crops subsector is a basis sector with some commodities have superiority in
planting area, harvesting area, production and number of trees. Food crops
subsector has the highest contribution in gross regional domestic product (GDP)
up to 23,80% and contributed to total output up to 16,23%. However, it has low
linkages with other sectors. An analysis result in macro, meso and micro levels
showed that paddy, corn, soybean, mangos, banana and melinjo are superior
commodities in Majalengka regency. Based on stakeholders perception, three of
the priority commodities are paddy, corn, and mangos. While, the priority of
agribusiness subsystem is on farming system and supporting aspects of the
priorities is improving human resources. The direction in the development of food
crops subsector are to improve the performance and enhance the role and
linkages with other sector.

Keywords: food crops subsector, regional economic development, sectoral


linkages, Regency of Majalengka
RINGKASAN

NUNIK RACHMAWATI. Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka. Dibimbing oleh
SANTUN R.P. SITORUS dan DIDIT OKTA PRIBADI.

Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah untuk


lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal, mengelola dan
memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh
setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola sumberdaya
yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya. Salah satu
potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor pertanian.
Subsektor tanaman bahan makan merupakan bagian dari sektor pertanian yang
memiliki kontribusi besar terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten
Majalengka sehingga diharapkan akan terus berkembang menjadi sektor strategis
dalam pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka pada masa yang akan
datang. Sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial.
Untuk meningkatkan pembangunan subsektor ini sehingga mampu
menjadi sektor yang strategis dalam pengembangan wilayah, maka tujuan
penelitian ini adalah : (1) mengetahui kondisi dan potensi subsektor tanaman
bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, (2) mengetahui peran subsektor
tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka, (3) mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan
makanan, (4) mengetahui prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dan (5) merumuskan arahan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Analisis yang
digunakan adalah metode Location Quotient (LQ), Shift Share Analysis, Analisis
Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process (AHP), dan evaluasi kesesuaian
dan ketersediaan lahan.
Hasil identifikasi dari kondisi dan potensi menunjukkan bahwa subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis di
wilayah Propinsi Jawa Barat. Dari hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung,
kacang hijau dan kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen
adalah jagung dan kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi
adalah jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk,
mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah
pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo,
melinjo, petai, sirsak dan sukun.
Peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah
dianalisis berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB dan analisis input-output.
Berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB Tahun 2009, subsektor tanaman
bahan makanan memiliki kontribusi sebesar Rp 1.005.886,04 juta atau sebesar
23,80% dari total PDRB Kabupaten Majalengka. Nilai tersebut menempati
peringkat ke-1 dari 23 sektor perekonomian. Dari hasil analisis input-output
diketahui bahwa subsektor tanaman bahan makanan memiliki kontribusi sebesar
Rp 1.206. 891,18 juta atau 16,23% terhadap total output seluruh sektor ekonomi.
Nilai tersebut menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor perekonomian.
Berdasarkan indikator tersebut subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran
yang besar dalam preekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
Hasil analisis keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage
(DFL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan bahwa
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi
memiliki nilai DFL sebesar 0,2561 menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki
nilai DFL sebesar 0,0928 menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya
memiliki nilai DFL sebesar 0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki
nilai DFL sebesar 0,0627 menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL
sebesar 0,0238 menempati urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL
sebesar 0,0085 serta menempati urutan ke-27.
Hasil analisis keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward
Linkage (DBL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan
bahwa besarnya perananan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai
berikut : jagung memiliki nilai DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi
memiliki nilai DBL sebesar 0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan
memiliki nilai DBL sebesar 0,0967 menempati urutan ke-24, bahan makanan
lainnya memiliki nilai DBL sebesar 0,0940 menempati urutan ke-26, sayur-
sayuran memiliki nilai DBL sebesar 0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu
memiliki nilai DBL sebesar 0,0639 serta menempati urutan ke-28. Hasil analisis
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan maupun ke belakang (Direct
Indirect Forward/Backward Linkage), Indeks Derajat Kepekaan (IDK) dan Indeks
Daya Penyebaran (IDP) serta multiplier effec Output, NTB, Pendapatan dan pajak
tak langsung menunjukkan hal yang tidak berbeda jauh dengan hasil analisis DFL
dan DBL diatas. Oleh karena itu, berdasarkan parameter keterkaitan ke belakang
(DBL, DIBL, dan IDP), keterkaitan ke depan (DFL, DIFL, dan IDK), serta
multiplier effect, maka subsektor tanaman masih memiliki peran yang kecil.
Namun demikian, subsektor ini memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor
strategis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA pada level makro, analisis
keterkaitan dan multiplier effect pada level meso dan analisis luas panen serta
produksi pada level mikro maka padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan
melinjo ditetapkan sebagai komoditas unggulan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka.
Hasil analisis terhadap persepsi stakeholders dalam menentukan prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
menunjukkan bahwa berdasarkan jenis komoditas unggulan diperoleh urutan
prioritas sebagai berikut : (1) padi dengan skor 0,332; (2) jagung dengan skor
0,260; (3) mangga dengan skor 0,177; (4) kedelai dengan skor 0,117; (5) pisang
dengan skor 0,066 dan (6) melinjo dengan skor 0,048. Berdasarkan subsistem
agribisnis diperoleh urutan prioritas sebagai berikut : (1) subsistem usahatani
(0,307); (2) subsistem agribisnis hulu (0,282); (3) subsistem agribisnis hilir
(0,257) dan subsistem jasa layanan pendukung (0,155). Berdasarkan aspek
pendukung diperoleh urutan : (1) sumberdaya manusia (0,460); (2) sarana
prasarana (0,300) dan (3) kelembagaan (0,240).
Berdasarkan seluruh hasil analisis, maka arahan kebijakan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka adalah
meningkatkan kinerja subsektor ini dan meningkatkan keterkaitan subsektor
tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain, baik yang memiliki
keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang yang mampu memberikan
nilai tambah dan mengurangi terjadinya kebocoran wilayah, sehingga perannya
dalam perekonomian wilayah menjadi semakin besar. Untuk mendukung hal ini
maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan melaksanakan pembangunan subsistem agribisnis
secara terpadu dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, ketersediaan
sarana prasarana serta dukungan kelembagaan yang kuat. Arahan wilayah untuk
pengembangan padi adalah Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan,
Kertajati, Kadipaten, Palasah dan Sumberjaya. Arahan wilayah untuk
pengembangan jagung adalah Kecamatan Kertajati. Jatitujuh, Ligung,
Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan, Kadipaten, Kasokandel, Cigasong,
Talaga, Banjaran, Cikijing dan Cingambul. Arahan wilayah untuk pengembangan
mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi, Panyingkiran
dan Majalengka.

Kata kunci : subsektor tanaman bahan makanan, pengembangan ekonomi


wilayah, keterkaitan sektor, Kabupaten Majalengka
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas
pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan
profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta kemampuan
untuk mengelola sumberdaya ekonomi daerah untuk peningkatan perekonomian
daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah
(kabupaten/kota) untuk lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal,
mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang
dimiliki oleh setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola
sumberdaya yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya.
Salah satu potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor
pertanian. Namun paradigma pembangunan di negara-negara berkembang yang
lebih mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung menyebabkan peran sektor
pertanian menjadi lebih rendah dibandingkan peran sektor industri. Padahal
dengan mengoptimalkan pembangunan sektor pertanian akan mendorong
tumbuhnya industri-industri yang berbasis pertanian. Industri yang berbasis
pertanian akan lebih banyak menggunakan input produksi dari hasil pertanian
yang merupakan sumberdaya lokal sehingga dapat menghasilkan multiplier effect
yang besar bagi pertumbuhan wilayah. Berkembangnya sektor pertanian dan
industri yang berbasis pertanian ini akan menghasilkan pertumbuhan wilayah
yang lebih pro masyarakat dan menghindarkan terjadinya berbagai kesenjangan.
Pengembangan pertanian (tanaman pangan dan hortikultura) di Provinsi
Jawa Barat salah satunya dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan
dengan pendekatan pewilayahan melalui kawasan andalan. Kabupaten
Majalengka merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian di Provinsi
Jawa Barat yang termasuk dalam kawasan andalan Ciayumajakuning yaitu
Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
(http://www.diperta.jabarprov.go.id).
2

Kabupaten Majalengka memiliki luas wilayah 120.424 ha dengan jumlah


penduduk sebanyak 1.206.702 jiwa. Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah
Kabupaten Majalengka diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelas utama yaitu dataran
rendah (0 - 100 m dpl) yang berada di wilayah utara Kabupaten Majalengka,
dataran sedang (>100 - 500 m dpl), umumnya berada di wilayah tengah dan
dataran tinggi (> 500 m dpl). berada di wilayah selatan Kabupaten Majalengka,
termasuk didalamnya wilayah yang berada pada ketinggian diatas 2.000 mdpl
yaitu terletak disekitar kawasan kaki Gunung Ciremai (BPS Majalengka, 2010).
Adapun bentuk topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada
daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta
perbukitan terjal. Berdasarkan ketinggian dan kondisi topografi tersebut
Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan
pertanian dengan jenis komoditas yang lebih bervariasi mulai dari komoditas
untuk dataran rendah sampai komoditas dataran tinggi.
Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang digambarkan oleh
distribusi PDRB atas dasar harga konstan menunjukan bahwa sektor pertanian
merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi andalan dalam memberikan
nilai tambah bagi perekonomian Kabupaten Majalengka. Dari tahun ke tahunnya,
diantara sektor-sektor perekonomian yang ada, sektor pertanian memberikan
kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka.
Sektor pertanian di Kabupaten Majalengka terdiri atas lima subsektor yaitu
subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan
dan perikanan. Kontribusi terbesar sektor pertanian ini berasal dari subsektor
tanaman bahan makanan yang besarnya pada Tahun 2009 mencapai 23,80 persen
dari total nilai PDRB Kabupaten Majalengka dan 84,89 persen dari total sektor
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produksi terbesar di Kabupaten
Majalengka berasal dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman
bahan makanan dalam hal ini meliputi komoditas tanaman pangan dan
hortikultura.
Adapun perkembangan kontribusi sektoral terhadap nilai PDRB
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan dari Tahun 2007 hingga 2009
dapat dilihat pada Tabel 1.
3

Tabel 1. Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka


Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah)
No. Uraian 2007 2008 2009
1. PDRB Sektoral
Pertanian 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
- Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
- Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
- Peternakan 97.494,29 103.072,99 108.488,65
- Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
- Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
Pertambangan dan penggalian 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Industri pengolahan 657.996,42 691.093,64 724.330,61
Listrik, gas dan air bersih 26.149,82 27.540,86 28.810,27
Bangunan 175.415,37 185.168,46 195.870,26
Perdagangan, hotel dan restoran 756.470,52 797.726,94 838.517.68
Pengangkutan dan komunikasi 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Keuangan, persewaan &jasa
perusahaan 219.085,84 229.950,10 240.097,63
Jasa-jasa 526.643,19 550.497,06 579.121,25
2. PDRB per Kapita 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sumber mata pencaharian


sebagian besar penduduk di Kabupaten Majalengka. Hal ini dapat terlihat
dari Tabel 2. yang menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bekerja di
sektor pertanian, jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Besarnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini menunjukkan
bahwa ada peluang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pembangunan di sektor pertanian. Atas peranannya
tersebut, pembangunan pertanian di Kabupaten Majalengka perlu terus
ditumbuhkembangkan melalui pengembangan potensi sumberdaya lokal yang
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
4

Tabel 2. Persentase Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Di


Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
PENDUDUK YANG BEKERJA MENURUT
LAPANGAN USAHA LAPANGAN USAHA (%)
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian 29,95 31,24 37,61 27,86 30,44
Pertambangan dan Penggalian 2,29 0,67 0,35 4,17 0,49
Industri Pengolahan 18,36 19,39 13,94 17,10 12,13
Listrik, gas dan air minum 0,39 0,10 0,24 0,68 0,29
Konstruksi 7,93 5,36 5,35 4,50 6,54
Perdagangan 26,15 26,65 26,61 19,51 29,40
Angkutan dan Komunikasi 5,97 5,80 5,47 6,55 7,27
Keuangan 0,68 0,51 1,19 5,59 1,04
Jasa-jasa Lainnya 8,28 10,27 9,23 13,83 12,40
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Sektor pertanian sebagai sektor yang berbasis sumberdaya alam


diharapkan dapat terus berkembang menjadi sektor strategis dalam pembangunan
dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Menurut Rustiadi et al.
(2009), pengertian sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan
besar dalam perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral
maupun spasial. Dengan demikian proses pembangunan wilayah diharapkan akan
berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembangunan
wilayah yang berimbang antara growth, equality dan tetap mempertimbangkan
aspek keberlanjutan.
Pengembangan sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal
diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah pengembangan wilayah seperti
kemiskinan dan pengangguran. Hal ini akan tercapai dengan mengoptimalkan
pembangunan di sektor pertanian, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan
pendapatan petani dan terbukanya lapangan kerja di sektor pertanian yang pada
akhirnya dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Kegiatan ekonomi rakyat yang berbasis potensi lokal dan berkembang di
suatu wilayah berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
dan menjadi motor penggerak pengembangan wilayah. Keberlangsungan sektor
ekonomi tersebut perlu didukung dengan perencanaan wilayah yang efektif dan
5

efisien. Kajian seksama mengenai perkembangan sektor ini perlu dilakukan untuk
menemukan dan mengenali potensi dan kondisi yang ada, dengan demikian peran
dan dukungan pemerintah yang dibutuhkan juga akan teridentifikasi dengan baik.
Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka selama ini telah berjalan dengan baik, namun
untuk menilai pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini belumlah
cukup jika hanya menilai perkembangannya di dalam wilayah Kabupaten
Majalengka. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana posisi
dan daya saing subsektor pertanian tanaman bahan makanan ini dan apa
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di
Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan
dan komoditasnya di Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Jawa Barat.
Untuk meningkatkan daya saing subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka, maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
ini perlu diupayakan fokus pada komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif agar dapat bersaing dengan komoditas lain di luar
wilayah Kabupaten Majalengka.
Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka perlu juga diketahui peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam pengembangan wilayah yang meliputi keterkaitan antar
sektor serta nilai multiplier effectnya. Keterkaitan antar sektor ini penting
diketahui untuk menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu dikembangkan
untuk meningkatkan pembangunan sektor subsektor tanaman bahan makanan.
Nilai multiplier effect dapat menunjukkan besarnya pengaruh pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan terhadap pengembangan wilayah yang dalam
hal ini ditunjukkan oleh nilai output multiplier, total value added multiplier,
Income multiplier dan multiplier pajak.
Berdasarkan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk dapat
mengetahui kondisi, potensi, keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan
dengan sektor-sektor lain serta besarnya nilai multiplier effect subsektor tanaman
bahan makanan, sehingga bisa diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Dari hasil analisis
6

tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap prioritas


pembangunan subsektor tanaman bahan makanan. Berdasarkan hasil analisis dan
isu-isu yang berkembang kemudian dapat disusun arahan kebijakan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka pengembangan wilayah
Kabupaten Majalengka berbasis sektor pertanian.

1.2. Perumusan Masalah


Dalam melaksanakan pembangunan wilayah, Kabupaten Majalengka tidak
terlepas dari masalah-masalah pembangunan wilayah yang bersifat umum maupun
strategis kewilayahan. Isu strategis aspek ekonomi dalam pembangunan
Kabupaten Majalengka sesuai yang tercantum dalam dokumen RPJMD
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diantaranya adalah : 1). Masih tingginya
tingkat kemiskinan, 2). Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka, 3). Masih
rendahnya produksi dan produktivitas pertanian, serta 4). Masih rendahnya
pengembangan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil
Menengah (IKM) terutama yang berbasis pengolahan hasil pertanian.
Isu strategis poin ke-3 dan ke-4 menunjukkan bahwa terdapat
permasalahan dalam pengembangan sektor pertanian. Sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka masih didominasi oleh subsektor tanaman bahan makanan
sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas serta
UKM dan IKM berbasis pengolahan hasil subsektor tanaman bahan makanan
masih rendah. Beberapa permasalahan lainnya yang terjadi dalam pengembangan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diantaranya adalah
tingginya tingkat persaingan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan, rendahnya tingkat promosi, rendahnya tingkat investasi, dan belum
berkembangnya nilai tambah dari komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan. Permasalahan-permasalahan tersebut mengindikasikan bahwa
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
belumlah optimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melaksanakan kebijakan
pengembangan pertanian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diao et al. (2010)
7

mengenai peran pertanian dalam pembangunan di Afrika yang menunjukkan


bahwa untuk kawasan perdesaan yang berbasis pertanian, pengembangan
pertanian merupakan kebijakan yang lebih pro poor dibandingkan dengan
pengembangan industri. Pengembangan sektor pertanian terbukti mampu
menurunkan jumlah penduduk miskin serta menyerap tenaga kerja lebih besar
dibandingkan dengan pengembangan industri.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka untuk mengatasi berbagai isu
strategis aspek ekonomi di Kabupaten Majalengka tersebut, peran sektor pertanian
yang diwakili oleh subsektor tanaman bahan makanan sangatlah penting.
Subsektor tanaman bahan makanan ini merupakan subsektor pertanian yang
paling berkembang dari aspek produksi di Kabupaten Majalengka. Hal ini bisa
dilihat dari sumbangannya yang paling besar terhadap PDRB diantara subsektor-
subsektor pertanian lainnya. Tetapi seberapa besar kekuatan subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka mampu mengatasi isu tersebut dan
meningkatkan perekonomian Kabupaten Majalengka belum diketahui. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui kondisi dan potensi subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka, peran subsektor ini terhadap
perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka serta prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Upaya-upaya ini
perlu dilakukan dalam rangka memacu pertumbuhan subsektor ini.
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang
adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat
adanya kemajuan pembangunan suatu wilayah. Tidak semua sektor dalam
perekonomian wilayah memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Kemampuan
suatu sektor untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Salah satu
indikasi yang biasa digunakan untuk mengetahui potensi suatu sektor dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengetahui keberadaan sektor
basis. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan wilayah perlu
memanfaatkan keberadaan sektor-sektor basis ini.
Sektor pembangunan yang strategis dapat dilihat dari besarnya peran dan
sumbangannya dalam perekonomian, serta kuatnya keterkaitan secara sektoral
8

maupun spasial dalam suatu wilayah. Setiap sektor memiliki keterkaitan ke


belakang maupun ke depan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
sektor-sektor perekonomian lainnya. Semakin kuat keterkaitan suatu sektor
dengan sektor-sektor lainnya akan semakin besar pula pengaruhnya dalam
perekonomian suatu wilayah. Oleh karena itu, untuk mengetahui peran dan
sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah serta
keterkaitannya dengan sektor lain perlu dilakukan analisis sehingga dapat
menyusun arahan pembangunan yang akurat.
Paradigma pembangunan yang berkembang saat ini adalah pembangunan
yang melibatkan partisipasi dari stakeholder dalam proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan, stakeholder yang dimaksud adalah
masyarakat petani, pemerintah daerah dan pihak swasta. Keterlibatan seluruh
stakeholder dalam setiap proses pembangunan diharapkan akan lebih menjamin
pembangunan berjalan dengan baik, lancar dan aspiratif. Oleh karena itu, dalam
menyusun rencana pembangunan subsektor tanaman bahan makanan, pendapat
dan persepsi seluruh stakeholder yang terlibat harus diketahui.
Dalam rangka menjadikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi
sektor strategis di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menjawab isu-isu
pembangunan bidang ekonomi seperti yang tertuang dalam dokumen RPJMD
maka perlu dilakukan kajian mengenai kondisi potensi dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, peran subsektor
tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka serta hal-hal apa saja yang perlu menjadi prioritas dalam
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Hasil
analisis terhadap kondisi, potensi, daya saing, peran serta persepsi stakeholder
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menyusun arahan pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.
9

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
saat ini di Kabupaten Majalengka.
2. Mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan saat ini dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka.
4. Mengetahui prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka.
5. Merumuskan arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Gambaran dan informasi mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan
dalam perekonomian di Kabupaten Majalengka dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan perekonomian
wilayah;
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan
wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.

1.5. Kerangka Pemikiran


Perkembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh perkembangan
aktivitas-aktivitas ekonominya. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer
input dan output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Peningkatan
perekonomian wilayah dapat dilakukan melalui integrasi berbagai sektor ekonomi
yang ada dalam wilayah serta dengan memberdayakan sumberdaya lokal yang ada
dalam wilayah itu sendiri.
Setiap wilayah mempunyai sumberdaya yang berbeda-beda, baik jenis,
kualitas maupun kuantitasnya. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu
10

wilayah menyebabkan diperlukan adanya skala prioritas dalam perencanaan


pembangunan. Skala prioritas ditetapkan berdasarkan sifat strategis suatu sektor
di suatu wilayah. Suatu sektor yang bersifat strategis ditunjukkan dengan besarnya
sumbangan sektor tersebut terhadap perekonomian suatu wilayah. Perkembangan
sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang
signifikan terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya (Rustiadi et al. 2009).
Subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan
subsektor yang strategis karena menyumbangkan 23,80% terhadap total PDRB
Kabupaten Majalengka. Kondisi geografi, topografi dan iklim yang dimiliki oleh
Kabupaten Majalengka sangat mendukung untuk pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan. Topografi Kabupaten Majalengka yang memiliki
dataran rendah dan dataran tinggi memungkinkan untuk pengembangan berbagai
jenis komoditas pertanian. Potensi sumberdaya alam ini harus dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan perekonomian wilayah sehingga diharapkan terjadi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Peranan dan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pembangunan harus dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan. Dalam
perencanaan pengembangannya perlu memperhatikan kondisi, potensi dan daya
saing subsektor tanaman bahan makanan serta keberadaan komoditas-komoditas
unggulan yang memiliki peluang untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, diperlukan pula keterkaitan antar sektor yang kuat. Keterkaitan antar sektor
dapat berupa keterkaitan ke belakang dan ke depan serta efek pengganda atau
multiplier effect.
Keterkaitan antar sektor menjadi penting dalam pengembangan wilayah
karena pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan sektoral dilaksanakan dalam
kerangka pembangunan wilayah. Menurut Todaro (2000) dalam Rustiadi et al.
(2009) pembangunan wilayah harus memenuhi tiga komponen dasar yaitu
kecukupan memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-
esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
11

Dengan demikian pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di


Kabupaten Majalengka perlu dikaji untuk mengetahui seberapa besar dan
bagaimana peranannya dalam pembangunan Kabupaten Majalengka. Hal ini
penting agar upaya pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dapat
diarahkan untuk mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki sehingga mampu
meningkatkan daya saing komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan (tanaman pangan dan hortikultura) yang pada akhirnya diharapkan dapat
mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Adapun kerangka berfikir
penelitian disajikan pada Gambar 1.

Kegiatan Pembangunan
Sektor-sektor
Perekonomian

Kondisi dan Potensi Daya Saing


Subsektor Tanaman Bahan Peran Subsektor Tanaman
Makanan Pembangunan
Subsektor Tanaman Bahan Bahan Makanan
- Sektor Basis dan Shift Share - Keterkaitan Antar Sektor
- Komoditas Basis dan Shift Makanan Sekarang
- Multiplier Effect
Share

Komoditas Unggulan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Prioritas Pembangunan
Persepsi Stakeholders
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Peta Arahan
Pengembangan Interpretasi
Komoditas Unggulan

Arahan Pembangunan
Subsektor Tanaman
Bahan Makanan

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


12

1.6. Pengertian/Definisi
1. Komoditas Unggulan adalah komoditas yang mampu bersaing dengan
produk sejenis dari wilayah lain. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam
Hendayana (2003) dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan
kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Dalam penelitian ini
komoditas unggulan ditetapkan dengan menggunakan metode LQ dan SSA
serta analisis input-output.
2. Kawasan Andalan adalah bagian dari kawasan budidaya baik di ruang darat
maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 pasal 1).
3. Sektor Strategis adalah sektor yang memiliki sumbangan besar dalam
perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun
spasial (Rustiadi, et al. 2009).
4. Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan
suatu sektor/komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditas
yang sama pada wilayah lainnya.
5. Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu
wilayah. Metode LQ dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif suatu sektor.
6. Shift Share Analysis (SSA) adalah tehnik analisis yang digunakan untuk
melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah
agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektoral di wilayah tersebut.
7. Evaluasi Kesesuaian Lahan adalah proses untuk menduga potensi
sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya dengan membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
karakteristik lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Sitorus, 2004).
8. Evaluasi Ketersediaan Lahan : proses evaluasi untuk menentukan luas lahan
yang sesuai dan tersedia untuk suatu penggunaan lahan yang akan diterapkan.
Evaluasi ketersediaan dilakukan dengan mengurangi luas keseluruhan lahan
13

yang sesuai dengan luas lahan yang sesuai tetapi tidak dapat digunakan
karena telah dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data
penggunaan lahan (landuse) serta tidak sesuai dengan arahan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka.
15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Wilayah


Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan
dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan
wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai
cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan
wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu,
pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu
unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun
pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009).
Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan
pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan
karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan
geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat
tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial
budaya dan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan
sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan
sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output
industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti
terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis
(Rustiadi et al., 2009).
16

Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat


dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan
regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada
sektor-sektor kegiatan yang ada di suatu wilayah. Pendekatan ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam.
Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi
berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan
wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap
pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy.
Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama
diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang
berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari
komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand
side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui
peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi
lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong
berkembangnya sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih
mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009).
Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan
potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah
perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala
prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki
sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian
sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2)
setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan
karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak
17

merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan
ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan
suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada
peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke
depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu
bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu
tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak
rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan
yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu,
investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah
dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan
wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006)
Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya
pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan
dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18

pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan


kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan
hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang
bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang
dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001).

2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan


Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor
yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada
kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan
sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor
pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti
industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan
dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor
pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang
berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang
rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang
berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan
sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk
dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta
mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar
wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang
menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri
berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau
implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-
19

Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi


dan disparitas ekonomi antar wilayah.
Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi
basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik
dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan
ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa
faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha,
sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan
sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu
wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan
masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku
industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber
perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan;
(7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup
(Harianto, 2007).
Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan
ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut
Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu :
(1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam
melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan
agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan
sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija
dan hortikultura.
Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi
cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini
belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik.
Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor
pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung
20

memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor
pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan
produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang
berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing
dengan produk-produk pertanian dari luar.
Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih
menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran,
sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah
dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja
sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan
berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah
menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input
produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya
pembangunan sektor pertanian.
Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian
menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya
ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga
yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam
penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan
menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu,
pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement).
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang
besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB
suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling
banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21

2.3. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah
daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun
kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah,
setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas
yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki
keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang
(Tarigan, 2008).
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan
merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak
perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan
ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian
daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk
mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi.
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan
memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi
sebagai mesin ekonomi lokal.
Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang
terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya
mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan
barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah
sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya
melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum
berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah
metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam
22

cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu
dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan
secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah
keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap
sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan
komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal.
Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan
didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan
komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient
(LQ).
23

Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif


perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting
untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu
menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal
tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau
tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang
berdekatan dalam sistem wilayah.
Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor
atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu
wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu
wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu
wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu
mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif.
Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan
wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah
tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruh-
pengaruh faktor eksternal.
Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja
suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab
pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :
1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini
menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah
yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional).
Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah
agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total
dalam wilayah.
3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini
menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.
24

Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu


sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di
sub wilayah lain
Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor
atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk
mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang
dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja
sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data
yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi
digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas
aktual dari aktivitas produksi. Data produktivitas digunakan untuk
mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari
aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010).
Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia
akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara
akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Bila produk yang diperdagangkan bersifat
komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat
perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan
bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan
tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain (Saragih, 2010).
Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat
digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas
tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan
untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan
tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi
pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui
pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.
25

Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat
diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen.
Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian
dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan
manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses
sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para
pelaku agribisnis.

2.4. Keterkaitan Sektor


Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan
pengembangan wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang melalui
berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong
berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan
berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu
sistem keterkaitan antar sektor.
Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan
wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang
terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang
dan jasa antara sektor yang sangat dinamis.
Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur
ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta
keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input–Output (I-O). Tabel
input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang
menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan
antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian
di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu.
Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya
menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris
menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh
suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan
26

memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input


yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya.
Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan
dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga,
pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor
produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja,
pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan
penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan
import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai
sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka
terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010).
Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena
model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut :
(1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya
memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur
input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi.
(2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses
produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau
berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output
tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang
sebanding.
(3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai
sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masing-
masing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output
semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009).
Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan
antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen
tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses
produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi
ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki
keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan
komprehensif (BPS, 2000).
27

Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan


mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain:
(1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau
regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari
ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan
besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan
sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik
yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan
secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif
dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik.
Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh
lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis I-
O antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2)
data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis.
Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis
I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi
suatu wilayah secara terintegrasi.
Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan
daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai
merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran
sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait
dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan
pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap
perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang
besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak
pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana
sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka,
model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.
28

2.5. Komoditas Unggulan


Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah
awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk
meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era
perdagangan bebas.
Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah
menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi
penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan
dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi
dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan
komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional.
Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya
yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi
berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan
ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah
menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas
tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang
dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif
dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga
berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah.
Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan
memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan
nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi
kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar
yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5)
memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6)
dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008).
Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan
adalah sebagai berikut :
29

1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan


perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat
memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,
pendapatan dan pengeluaran.
2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward
linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas
lainnya.
3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di
pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya
produksi dan kualitas pelayanan.
4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal
pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku.
5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama
melalui inovasi teknologi.
6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala
produksinya.
7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran
(increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau
penurunan (decreasing).
8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.
9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya
keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas
insentif/disinsentif dan lain-lain.
10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan.

2.6. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah


Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan
sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi
menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan
datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat
dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana
30

segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong
terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi
faktor kendala pembangunan.
Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan
masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus
mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya
masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam
rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan
melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan
memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal
di wilayah lokal tersebut.
Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan
pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan
pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu
daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih
dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian,
perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan
pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih
terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam
perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).
Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting
dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih
tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31

ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan
ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat
pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral.
Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta
keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti
jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil
sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi
agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis-
bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi.
Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam
pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.
Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan
pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan
membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah
diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk-
produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung
memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang
akan datang (Anugrah, 2003).
Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang
potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis
hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan
kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas
pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang
mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui
AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008).
Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32

alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan
sektor pertanian.
Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu
utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi
tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung
pengembangan wilayah.
Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya
dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi
konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif
kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih
karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana
aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif
yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi
sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki
fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks
yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang
tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian
dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)
33

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak pada koordinat 60 36’ - 70 03’ Lintang Selatan dan 1080
03’ - 1080 25’ Bujur Timur. Kabupaten Majalengka memiliki 26 kecamatan
dengan luas wilayah sebesar 120.424 ha. Lokasi penelitian secara spasial dapat
dilihat pada Gambar 2.
Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis
dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan Januari 2012

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Jenis Data dan Tehnik Penarikan Contoh (Sampling Tehnique)


Jenis data terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari berbagai literatur dan dari Dinas Pertanian dan Perikanan
Kabupaten Majalengka, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat,
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka, Badan Pusat
34

Statistik Kab. Majalengka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat serta data-
data lain dari instansi terkait.
Data sekunder tersebut meliputi data PDRB Kabupaten/Kota per sektor se-
Jawa Barat Tahun 2005 dan 2009, data luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon komoditas pertanian Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Tahun 2005
dan 2009, Peta tanah, Landsystem, RTRW Kab. Majalengka, tabel input-output
Kabupaten Ciamis tahun 2008, data harga komoditas tanaman bahan makanan.
Data primer meliputi data hasil kuisioner dari para responden. Data primer
diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden
mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Responden yang dimaksud adalah seluruh stakeholder
yang terlibat dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka yang terdiri dari : unsur-unsur pemerintah daerah meliputi
Bappeda, Dinas Pertanian dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (BP4K), bagian pembangunan dan bagian
perekonomian Setda Kabupaten Majalengka, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya,
dan Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan
(KUKMPERINDAG); unsur perbankan diwakili oleh Bank Rakyat Indonesia
(BRI); unsur masyarakat meliputi petani dan tokoh tani; unsur swasta meliputi
para pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian subsektor tanaman bahan makanan. Rincian lengkap mengenai
responden disajikan pada Tabel 3. Tehnik sampling yang dipakai untuk
menentukan responden adalah purposive sampling dengan jumlah responden
keseluruhan sebanyak 21 orang. Pada prinsipnya responden dipilih sedemikian
rupa yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan sektor
pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
(expert). Responden diminta pendapatnya mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan melalui metode Analitycal Hierarchy Process
(AHP) yang memiliki struktur hierarki terdiri dari 4 level. Pada level 2, responden
yang digunakan sebanyak 18 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur
pemerintahan, 5 orang dari tokoh tani dan 5 orang dari unsur swasta. Adapun pada
level 3 dan 4 digunakan responden sebanyak 21 orang. Tambahan 3 responden
35

merupakan perwakilan dari petani untuk komoditas padi dan kedelai 1 orang,
jagung 1 orang dan mangga 1 orang. Tujuan, jenis, sumber data, cara
pengumpulan, analisis data serta output yang diharapkan, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Rincian Data Calon Responden


No. Asal Responden Jumlah (orang)
1. Unsur Pemerintah :
a. Bappeda Kabupaten Majalengka 1
b. Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka 1
c. BP4K Kabupaten Majalengka 1
d. Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Majalengka 1
e. Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Majalengka 1
f. Dinas Bina Marga dan Cipta Karya 1
g. Dinas KUKMPERINDAG 1
h. BRI 1
2. Unsur Masyarakat
Petani dan Tokoh Tani 8
3. Unsur Swasta
Pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan 5
pemasaran hasil pertanian
Jumlah Responden 21

3.3. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder dan
primer. Data sekunder meliputi data berbentuk laporan tercetak dan laporan
digital yang merupakan data tabular maupun peta-peta Kabupaten Majalengka.
Data primer merupakan data hasil kuesioner dan wawancara di lapangan. Alat
analisis yang digunakan terdiri dari beberapa software, diantaranya adalah
software GAMS, ArcGis 9.3, dan Microsoft Office program Excel.
36

36
Tabel 4. Tujuan, Jenis , Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang diharapkan
Teknik
No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Output yang diharapkan
Analisis Data
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini.

a. Mengetahui kondisi dan Data PDRB per sektor BPS LQ, SSA Kondisi dan potensi daya
potensi daya saing subsektor Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 saing subsektor tanaman
tanaman bahan makanan Kab. dan 2009 bahan makanan Kab.
Majalengka di wilayah Prop. Majalengka saat ini di
Jabar Wilayah Prop. Jabar
b. Mengetahui komoditas Data luas tanam, luas panen Dinas Tanaman Pangan LQ, SSA Potensi komoditas
subsektor tanaman bahan produksi dan jumlah pohon Prop. Jabar subsektor tanaman bahan
makanan Kab. Majalengka komoditas subsektor tanaman makanan Unggulan
yang menjadi basis dan bahan makanan Kab./Kota di Kabupaten Majalengka di
memiliki keunggulan Jabar Tahun 2005 dan 2009 wilayah Prop. Jabar
komparatif & kompetitif
2. Mengetahui peran subsektor Tabel Input-Ouput Kabupaten BPS, Dinas Pertanian dan Analisis Input- Backward/Fordward
tanaman bahan makanan Majalengka 2009 (hasil RAS Perikanan Kab. Majalengka Output Linkage, Multiplier Effect.
dari Tabel I-O Ciamis 2008),
PDRB Kab. Majalengka Tahun
2009, Harga Komoditas
Tanaman Bahan Makanan.
3. Mengetahui komoditas ungulan Nilai LQ, SSA , keterkaitan Hasil analisis LQ, SSA dan Komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan antar sektor dan multiplier effect tabel input-output subsektor tanaman bahan
makanan komoditas makanan
4. Mengetahui prioritas Kuesioner Pendapat responden AHP Persepsi Stakeholder
pembangunan subsektor tentang prioritas
tanaman bahan makanan pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan
5. Menyusun arahan pembangunan Data komoditas unggulan, peta Hasil analisis potensi dan Deskriptif dan Arahan pengembangan
subsektor tanaman bahan Tanah 1:250.000, landsystem kondisi sektor pertanian sintesis hasil subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan 1:250.000, RTRW, Landuse, saat ini, hasil analisis analisis makanan dalam
wilayah keterkaitan antar sektor dan Input-Output Balai Besar pengembangan wilayah
multiplier effect komoditas Sumberdaya Lahan,
tanaman bahan makanan. Bappeda Kab. Majalengka
37

3.4. Bagan Alir Penelitian


Penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa permasalahan, yaitu : 1).
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini, yang
meliputi analisis basis ekonomi subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-
komoditas subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa
Barat, 2). Peran subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dalam
perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka yang meliputi keterkaitan
komoditas-komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya serta
multiplier effect yang ditimbulkannya dan 3). Menentukan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan hasil analisis LQ, SSA dan analisis
tabel input-output, 4). Persepsi stakeholder mengenai prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan
makanan Kabupaten Majalengka saat ini, dilakukan dengan menggunakan metode
analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Pertama, analisis LQ
dan SSA dilakukan untuk mengetahui posisi dan potensi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor-sektor
perekonomian lainnya di cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini sektor-sektor
perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan
menggunakan data PDRB Kabupaten/Kota per sektor Tahun 2009 untuk analisis LQ,
sedangkan analisis SSA menggunakan dua titik tahun yaitu tahun 2005 dan 2009.
Kedua, analisis LQ dan SSA dilakukan untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi basis Kabupaten Majalengka
apabila dibandingkan dengan komoditas-komoditas yang dimiliki oleh Kab./Kota
lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan menggunakan
data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman pangan dan
sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas buah-buahan.
Untuk analisis yang kedua ini juga dilakukan dengan menggunakan data Tahun 2009
38

untuk analisis LQ serta data tahun 2005 dan tahun 2009 untuk analisis SSA. Hasil
analisis LQ dan SSA merupakan indikasi keunggulan dan daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka
dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian dan komoditas-komoditas
sebsektor tanaman bahan makanan lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat.
Keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkan terhadap ouput, total
nilai tambah, pendapatan dan pajak dianalisis dengan menggunakan tabel input-
output Kabupaten Majalengka. Tabel input-output Kabupaten Majalengka diperoleh
dengan metode RAS dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Analisis
keterkaitan antar sektor dan nilai multiplier effect ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian
wilayah di Kabupaten Majalengka.
Untuk mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
menjadi unggulan Kabupaten Majalengka, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil
analisis potensi dan kondisi serta hasil analisis keterkaitan dan multiplier effect
komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Persepsi para stakeholder mengenai
prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diidentifikasi dengan
menggunakan kuesioner dan hasilnya dianalisis dengan metode AHP.
Selanjutnya dari hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan saat ini, hasil analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dalam
perekonomian wilayah, analisis komoditas unggulan dan hasil analisis persepsi
stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka akan disusun untuk memberikan informasi dan arahan bagi
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk memberikan arahan pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan secara spasial ditambahkan pula informasi
mengenai kesesuaian lahan sebagai arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan
subsektor tanaman bahan makanan. Adapun tahapan pelaksanaan dari penelitian ini
dapat dilihat dalam bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 3.
39

Tabel input –output Kab. Ciamis Tahun Luas Panen, Persepsi


PDRB per sektor Luas Tanam/Luas 2008, Data PDRB Kab. Majalengka Produksi Stakeholder
Kab/Kota Panen/Produksi Komoditas Tahun 2009
di Jabar Tabama Kab/Kota di Jabar
Metode RAS
AHP
Analisis Analisis
LQ dan SSA LQ dan SSA
Tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Kondisi dan Potensi daya saing Potensi Komoditas Subsektor
Subsektor Tabama Kab. Tabama Unggulan Kabupaten
Majalengka di wilayah Jabar Majalengka
Analisis Tabel Input-
output
Kondisi dan Potensi Subsektor serta Komoditas Tabama
Peran, Keterkaitan Komoditas
Subsektor Tabama dengan sektor
Peta Tanah dan Peta lain dan Multiplier effect
Landsystem, RTRW, Landuse

Komoditas Unggulan Subsektor Tabama


Peta Kesesuaian Lahan Dan
Ketersediaan Lahan

Prioritas Pembangunan
Peta Arahan Pengembangan Subsektor Tabama
Komoditas Unggulan

ARAHAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KAB. MAJALENGKA

Gambar 3. Bagan alir penelitian.

39
40

3.5. Teknik Analisis Data


Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan
tujuan penelitian adalah : analisis LQ dan SSA untuk mengetahui kondisi dan
potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
saat ini; analisis Input-Output untuk mengetahui peran subsektor tanaman bahan
makanan yang meliputi keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman
bahan makanan dengan sektor-sektor lain serta multiplier effectnya; Analytical
Hierarcy Process (AHP) digunakan untuk mengetahui prioritas pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dan hasil ketiganya
digunakan untuk menyusun arahan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.

3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan
Makanan
Analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan metode LQ dan SSA. Metode ini dilakukan untuk mengetahui
sektor basis, keunggulan komparatif dan kompetitif subsektor tanaman bahan
makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan
dengan cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini kabupaten/kota yang ada
di Jawa Barat. Hasil analisis ini menunjukkan indikasi daya saing subsektor
tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya yang dimiliki Kabupaten
Majalengka dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Jawa Barat.

3.5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau
non basis pada suatu wilayah perencanaan sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan atau mengidentifikasi
keunggulan komparatif suatu sektor/komoditas di suatu wilayah. Metode analisis
LQ pada penelitian ini. menggunakan data PDRB per sektor dan data luas tanam,
luas panen serta produksi untuk komoditas tanaman pangan dan sayur-sayuran,
sedangkan untuk tanaman buah-buahan menggunakan data jumlah pohon dan
produksi. Analisis dilakukan terhadap seluruh komoditas subsektor tanaman
41

bahan makanan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Metode LQ dirumuskan


sebagai berikut :

LQ X IJ
/ X I.
IJ
X .J
/ X ..

Dimana :
LQij : Indeks kuosien lokasi kabupaten i untuk sektor/komoditas j.
Xij : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi masing-masing
sektor/komoditas j di kabupaten i.
Xi. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total di kabupaten i.
X.j : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total sektor/komoditas j
di Jawa Barat.
X.. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total seluruh sektor/
komoditas di Jawa Barat.

Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis/keunggulan


komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka sektor tersebut merupakan sektor basis/unggulan, sedangkan apabila
nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke
dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten
Majalengka.

3.5.1.2. Shift Share Analysis (SSA)


Shift Share Analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami
pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan
suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga
menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di
suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah
tertentu.
Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis,
yaitu :
1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen regional share). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
42

2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen


ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang
menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut
dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
(keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah
tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan SSA adalah
sebagai berikut :

X .. ( t1) X . j ( t1) X ..
( t1) X ij ( t1) X . j ( t1)
SSA 1
X .. (t 0) X . j (t 0) X ..
(t 0) X ij ( t 0 ) X . j (t 0)
a b c
dimana :
a : Komponen share
b : Komponen proportional shift
c : Komponen differential shift, dan
X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah
X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
t1 : Titik tahun akhir
t0 : Titik tahun awal

Metode SSA yang dilakukan dalam penelitian ini hanya mengambil


komponen differential shift. Hal ini dilakukan karena ingin benar-benar melihat
tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan
pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah tanpa ada pengaruh dari
pertumbuhan total wilayah (regional share) maupun pertumbuhan sektoral
(proportional shift).

3.5.2. Analisis Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dilakukan dengan
menggunakan analisis Input-Output (I-O). Analisis input-output secara teknis
43

dapat menjelaskan karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan


dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian
wilayah. Selain itu, analisis input-output dapat digunakan untuk menentukan
sektor/komoditas unggulan pada perekonomian Kabupaten Majalengka.
Tabel input-output yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel input-
output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 sebanyak 28x28 sektor yang
diturunkan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 sebanyak 45x45
sektor. Asumsi yang digunakan adalah bahwa terdapat kemiripan struktur
ekonomi antara Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Ciamis sebagai
Kabupaten tetangga.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan tabel input-output Kabupaten
Majalengka 2009 dari Tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 adalah dengan
metode RAS. Untuk melakukan RAS, tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008
(45x45) sektor diagregasi terlebih dahulu menjadi 28x28 sektor. Proses agregasi
dilakukan untuk menyesuaikan jumlah sektor yang terdapat dalam tabel input-
output Kabupaten Ciamis 2008 dengan jumlah klasifikasi sektor (lapangan usaha)
yang terdapat pada data PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009.
Untuk menguraikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi beberapa
komoditas, yaitu : padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran, sesuai
dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 diperlukan data PDRB masing-
masing komoditas tersebut. Data PDRB masing-masing komoditas tersebut
diperoleh berdasarkan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga (di
tingkat petani) komoditas tanaman bahan makanan yang kemudian diproporsikan
terhadap data PDRB subsektor tanaman bahan makanan. Untuk komoditas
tanaman pangan, buah-buahan dan sayura-sayuran lainnya yang memiliki share
kecil terhadap PDRB subsektor tanaman bahan makanan ditampilkan dalam
bentuk komoditas bahan makanan lainnya. Sektor-sektor perekonomian hasil
agregasi dan penyesuaian dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008,
yang akan digunakan menjadi sektor-sektor dalam Tabel I-O Kabupaten
Majalengka tahun 2009 ditampilkan pada Tabel 5.
44

Tabel 5 Sektor-sektor Perekonomian Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun


2009 (28 sektor)
Kode Kode
Sektor Sektor
I-O I-O
1 Padi 15 Bangunan
2 Jagung 16 Perdagangan Besar dan Eceran
3 Ubi Kayu 17 Hotel
4 Buah-buahan 18 Restoran
5 Sayur-sayuran 19 Angkutan Jalan Raya
6 Bahan Makanan Lainnya 20 Jasa Penunjang Angkutan
7 Tanaman Perkebunan 21 Komunikasi
8 Peternakan dan Hasil-hasilnya 22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
9 Kehutanan 23 Sewa Bangunan
10 Perikanan 24 Jasa Perusahaan
11 Pertambangan dan Penggalian 25 Pemerintahan Umum dan Pertahanan
12 Industri Pengolahan 26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
13 Listrik 27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
14 Air Bersih 28 Jasa Perorangan dan Rumah Tangga
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Untuk melakukan metode RAS, diperlukan data PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009, total input Kabupaten Majalengka 2009 dan matriks
koefisien teknologi tabel input-output dasar (tabel input-output Kabupaten Ciamis
2008). Data-data tersebut merupakan data yang telah diagregasi menjadi 28
sektor. Matriks koefisien teknologi digunakan untuk menduga tabel input-output
Kabupaten Majalengka tahun 2009 yang berukuran 28x28 sektor. Total input
Kabupaten Majalengka 2009 diduga dengan nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 berdasarkan proporsi dari total input Kabupaten Ciamis
2008 dengan PDRB sektoral Kabupaten Ciamis 2008.
Selain itu, diperlukan pula data total impor, total PDRB dan total
permintaan akhir Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Data total impor
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diperoleh dari hasil analisis LQ terhadap
PDRB sektoral Kabupaten Majalengka dengan PDRB sektoral Jawa Barat.
Asumsi yang digunakan adalah jika nilai LQ lebih besar dari satu menunjukkan
surplus sektor i dalam arti beberapa produknya dapat diekspor ke daerah lain.
Sebaliknya, jika nilai LQ kurang dari satu maka produknya harus didatangkan
(diimpor) dari daerah lain. Adapun data total permintaan akhir diperoleh dari
penjumlahan nilai total PDRB sektoral dengan total impor Kabupaten majalengka
45

Tahun 2009. Selanjutnya, setelah data-data tersebut sudah tersedia maka siap di
RAS dengan menggunakan software GAMS dengan prinsip iterasi. Tahapan
metode RAS ditampilkan pada Gambar 4.

Proses Agregasi Matriks Koefisien


Tabel Input Output
menjadi Tabel Input Teknis Tabel Input
Kabupaten Ciamis
Output Kabupaten Output Kabupaten
Tahun 2008
Ciamis Tahun 2008 Ciamis Tahun 2008
(45X45 sektor)
(28X28 sektor) (28X28 sektor)

Kabupaten Majalengka 2009 (28X28 sektor)

 PDRB Kab. Majalengka 2009


 Total input dugaan Kab. Majalengka 2009
Metode RAS
berdasarkan proporsi Data PDRB dan Total
Input Kabupaten Ciamis 2008
 Data total impor
 Data Permintaan Akhir

Tabel Input Output


Kabupaten
Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari Majalengka Tahun
Sumunaringtyas 2010 2009
(28X28 sektor)

Gambar 4. Tahapan metode RAS

Hasil dari metode RAS adalah tabel input-output Kabupaten Majalengka


Tahun 2009. Data yang diperoleh secara langsung dari hasil metode RAS adalah
input antara masing-masing sektor (tabel I-O kuadran I), total input/output 28
sektor, total impor 28 sektor dan permintaan akhir 28 sektor. Untuk mendetilkan
data input primer (nilai tambah) menjadi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan
dan pajak tak langsung maka didekati dengan nilai proporsi upah dan gaji, surplus
usaha, penyusutan dan pajak tak langsung terhadap total input primer (nilai
tambah) dari tabel input-output dasar (Tabel I-O Kabupaten Ciamis 2008).
Struktur dasar tabel input-output wilayah digambarkan pada Tabel 6.
46

Tabel 6. Struktur Dasar Tabel Input-Output


Output Permintaan Internal Wilayah Permintaan
Eksternal Total
Input Permintaan Antara Permintaan Akhir Wilayah Output
1 2 … j … n C G I E
1 X11 … … X1j … X1n C1 G1 I1 E1 X1
2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2
Input Antara
Input Internal Wilayah

: … … … … … … … … … … …
i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi
: … … … … … … … … … … …
n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn
W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W
Tambah
Nilai

T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T
S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S
Input
Eksternal M M1 … … … … Mn CM GM IM - M
Wilayah
Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X
Sumber : Rustiadi et al. 2009.

Keterangan :
ij : sektor ekonomi
Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Xi : total output sektor i
Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama
dengan total input
Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap
output sektor i
Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor
i; output sektor i yang menjadi barang modal
Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke
luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i
Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)
Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah
sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga
yang bekerja di sektor j
Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai
tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha
47

Mj : impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli


dari luar wilayah

Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O adalah analisis keterkaitan


antar sektor dan angka pengganda sektoral (multiplier effect). Analisis ini
dilakukan berdasarkan hasil perhitungan koefisien teknis (matriks A) dan invers
matriks Leontief (matriks B) yang diperoleh dari perhitungan tabel I-O.
Selanjutnya matrik tersebut diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai
keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier). Koefisien teknologi
sebagai parameter yang paling utama dalam analisis I-O secara matematis
diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

X ij
aij atau X ij aij .X j
X j

di mana :
aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
( atau disebut pula sebagai koefisien input.

Beberapa parameter teknis yang diperoleh melalui analisis I-O adalah :


1. Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) (Bj) yang
menunjukkan efek permintaan sektor pertanian terhadap perubahan tingkat
produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut
secara langsung. Kaitan langsung ke belakang secara matematis dirumuskan
n
sebagai berikut :
Bj aij
i

untuk mengukur secara relatif (perbandingan dengan sektor lainnya) terdapat


ukuran normalized B *j yang merupakan rasio antar kaitan langsung ke
belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya
yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

Bj n.B j
B*j i
n Bj Bj
j j
48

2. Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) (Fi) yang menunjukkan


banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh sektor-sektor lain.
Kaitan langsung ke depan (Fi) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

n xij
Fi aij
j xj j

Sementara itu, Normalized Fi atau Fi * dirumuskan sebagai berikut :

Fi nFi
Fi* 1
n Fi Fi
i i

3. Kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage)


( ) yang menunjukkan pengaruh tidak langsung dari kenaikan permintaan

akhir satu unit sektor pertanian yang dapat meningkatkan total output seluruh
sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
n
BL j bij
i

di mana bij adalah elemen-elemen matriks B atau (I-A)-1 yang merupakan


matriks Leontief.
4. Kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect foreward linkage)
(FLi), yaitu peranan sektor pertanian dapat memenuhi permintaan akhir dari
seluruh sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :

FLi bij
j

5. Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran (backward power of


dispersion) (βj) menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir sektor
pertanian dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor
perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :

bij n bij
i i
j 1
n
bij bij
i j i j
49

6. Kepekaan terhadap signal pasar permintaan akhir atau indeks daya kepekaan
(foreward power of dispersion) ( .i) menunjukkan sumbangan relatif sektor
pertanian dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor
perekonomian yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :

bij
j
i 1
n bij
i j

7. Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan


tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir sektor pertanian sebesar
satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. Jenis-
jenis multiplier diantaranya dijabarkan dengan rumus sebagai berikut :
a. Output multiplier, merupakan dampak meningkatnya permintaan akhir
suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah yang
diformulasikan sebagai berikut :

X (I A) 1.F d

b. Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak


meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB.
Diasumsikan Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB berhubungan
dengan output secara linier yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

V vˆ. X
dimana V : matriks NTB
v̂ : matriks diagonal koefisien NTB
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

c. Income multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu


sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah
secara keseluruhan. Income multiplier dapat dihitung dengan rumus :

W ˆ .X
w
50

dimana W : matriks income


ŵ : matriks diagonal koefisien income
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

d. Tax multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor


terhadap peningkatan pajak tak langsung. Tax multiplier dapat dihitung
dengan rumus :

T tˆ. X

dimana T : matriks jumlah tenaga kerja


tˆ : matriks diagonal koefisien Tax
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd

Analisis input-output (I-O) memberikan informasi yang penting bagi


perencanaan pembangunan daerah. Hasil analisis input-output yang meliputi
keterkaitan ke depan, keterkaitan ke belakang, keterkaitan ke depan langsung dan
tidak langsung, keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung, indeks daya
penyebaran, indeks daya kepekaan serta multiplier effect dapat memberikan
informasi mengenai keterkaitan antar sektor perekonomian dan potensi dampak
ganda bagi berbagai indikator pembangunan. Oleh karena itu, hasil analisis input-
output dapat digunakan sebagai indikator pengembangan wilayah.
Perkembangan suatu wilayah salah satunya ditentukan oleh perkembangan
aktivitas-aktivitas sektor perekonomiannya. Hasil analisis berbagai nilai
keterkaitan sektor perekonomian dalam analisis input-output dapat menjadi
indikator perkembangan aktivitas perekonomian suatu wilayah yang pada
akhirnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan/pembangunan
suatu wilayah. Selain itu, analisis input-output ini juga dapat memberikan arahan
dalam menetapkan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan wilayah.
Analisis multiplier effect dapat menjadi indikator pengembangan wilayah
karena dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ekonomi suatu wilayah. Misalnya, analisis keterkaitan komoditas-
komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya dapat menjadi
51

indikator pengembangan perekonomian wilayah karena dapat mengetahui


hubungan antar komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor lainnya dan
bagaimana solusi untuk meningkatkan keterkaitan tersebut dalam rangka
meningkatkan perekonomian wilayah. Income multiplier dapat menjadi indikator
pengembangan wilayah karena dapat melihat besarnya peningkatan pendapatan
masyarakat yang berarti terjadinya peningkatan kesejahteraan dan penurunan
kemiskinan. Dengan demikian, hasil analisis keterkaitan antar sektor dan
multiplier effect ini dapat menjawab isu-isu strategis yang disebutkan dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Majalengka khususnya mengenai isu kemiskinan.

3.5.3. Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Analisis komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan dilakukan
secara deskriptif berdasarkan hasil analisis kondisi, potensi daya saing dan peran
subsektor tanamaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka yang telah
dilakukan pada tahap sebelumnya.
Penetapan komoditas unggulan dilakukan dengan menganalisis potensi
komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso
dan mikro. Pada level makro dilakukan sintesis dari hasil analisis LQ dan SSA
(differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat. Dari
hasil sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan komoditas basis serta memiliki keunggulan secara
komparatif dan kompetitif dari berbagai aspek yang dinilai yaitu luas tanam, luas
panen, jumlah pohon dan produksi.
Pada level meso dilakukan sintesis dari hasil analisis tabel input-output
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Pada level ini bertujuan untuk melihat
tingkat keterkaitan dan multiplier effect komoditas-komoditas subsektor tanaman
bahan makanan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil
sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas yang memiliki keterkaitan dan
nilai multiplier effect yang lebih besar dibandingkan komoditas subsektor tanaman
52

bahan makanan lainnya. Pada level mikro dilakukan analisis terhadap angka luas
panen dan produksi pada Tahun 2009. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain
itu luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian dari setiap level kriteria tersebut
dilakukan sintesis untuk memilih komoditas yang menjadi unggulan. Dalam
penentuan komoditas unggulan, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok komoditas tanaman pangan, buah-
buahan dan sayuran-sayuran. Komoditas yang akan ditetapkan sebagai komoditas
unggulan adalah komoditas yang memenuhi kriteria unggul di setiap levelnya

3.5.4. Analisis Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan
Analisis prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Pengambilan keputusan atau kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan
model kebijakan karena merupakan sajian sederhana mengenai aspek terpilih dari
situasi problematik didasari atas tujuan-tujuan khusus. Ada beberapa model yang
dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan namun masing-masing model
memfokuskan perhatian pada aspek yang berbeda.
Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah
kebijakan adalah AHP. Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan
dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas
strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Dalam
perkembangannya metode ini tidak saja digunakan untuk penentuan prioritas
pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria) tetapi dalam penerapannya telah
meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam
masalah. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan
cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun
intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan,
pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami
masalah keputusan yang dihadapi.
53

Langkah awal dari proses ini adalah merinci tujuan/permasalahan kedalam


komponen-komponen dan kemudian diatur ke dalam tingkatan-tingkatan hirarki.
Hirarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa set kriteria/elemen,
sehingga diperoleh elemen-elemen spesifik yang mempengaruhi alternatif
pengambilan keputusan.
Setelah hirarki tersusun, langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas
elemen-elemen pada masing-masing tingkatan. Kemudian dibangun set matriks-
matriks perbandingan dari semua elemen pada suatu tingkat hirarki dan
pengaruhnya terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi untuk menentukan
prioritas serta mengkonversi penilaian komparatif individu ke dalam pengukuran
skala rasio. Penentuan tingkat kepentingan pada tiap hirarki dilakukan dengan
teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang menghasilkan
suatu matriks peringkat relatif untuk masing-masing tingkat hirarki.

Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan Kabupaten Majalengka

Padi Jagung Kedelai Mangga Pisang Melinjo

Subsistem Subsistem Subsistem Subsistem Jasa


Agribisnis Hulu Usahatani Agribisnis Hilir Layanan Pendukung

SDM Sapras Kelembagaan

Gambar 5. Struktur hirarki untuk penentuan prioritas pembangunan


subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka

Struktur hirarki yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk


menentukan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka. Gambaran dari struktur hirarki yang akan diteliti dapat
54

dilihat pada Gambar 5. Struktur hirarki tersusun atas 4 level. Level 1 merupakan
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan di level 2, 3 dan 4. Level 2 merupakan
tahapan untuk menentukan komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan dalam rangka pencapaian tujuan di level 1. Level 3 merupakan
tahapan untuk menentukan subsistem mana yang diprioritaskan untuk mendukung
level 2. Level 4 merupakan tahapan untuk menentukan aspek pendukung mana
yang menjadi prioritas untuk mendukung level 2 dan 3. Faktor-faktor pada level 2,
3 dan 4 dinilai dengan cara perbandingan berpasangan. Misalnya untuk
perbandingan pada level 2 yaitu pemilihan komoditas unggulan, mana yang lebih
penting antara pengembangan komoditas padi dan jagung, antara komoditas padi
dan kedelai, antara komoditas unggulan padi dan mangga dan seterusnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 3 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Subsistem Agribisnis Hulu, menunjukkan kegiatan ekonomi yang
menghasilkan sarana produksi primer dan perdagangan sarana produksi
pertanian seperti industri pembibitan/perbenihan, pupuk, obat-obatan, alat dan
mesin pertanian, dll.
2. Subsistem Usahatani menunjukkan kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer.
3. Subsistem Agribisnis Hilir menunjukkan kegiatan ekonomi yang mengolah
komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan baik berupa
produk intermediate maupun produk akhir beserta kegiatan perdagangannya.
4. Subsistem Jasa Layanan Pendukung, menunjukkan kegiatan yang
menghasilkan dan menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti perbankan,
transportasi, penelitian dan pengembangan, layanan informasi agribisnis,
kebijakan pemerintah, penyuluhan dan konsultasi, dll.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 4 dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Faktor SDM menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dari para pelaku
kegiatan pertanian. Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama
aktivitas pertanian meliputi petani, dan pelaku pengolahan serta pemasaran
hasil pertanian.
55

2. Faktor Sarana Prasarana (Sapras) menunjukkan fasilitas pendukung yang


berupa sarana dan prasarana untuk mendukung kelancaran kegiatan
pembangunan pertanian.
3. Faktor Kelembagaan menunjukkan organisasi dan norma-norma yang berlaku
di dalam kegiatan pertanian. Kelembagaan menjadi penting karena dapat
meningkatkan posisi tawar petani.
Untuk memperoleh bobot dari tiap-tiap kriteria AHP digunakan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9. Nilai
bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama
skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut
yang paling absolut dibandingkan yang lainnya. Tabel skala perbandingan
berpasangan menurut Saaty (2008) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Skala Perbandingan Berpasangan


Tingkat
Definisi Penjelasan
Kepentingan
1 Kedua elemen sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang
pentingnya sama besar terhadap tujuannya
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting dari elemen yang lain mendukung satu elemen dibanding elemen
yang lain
5 Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat kuat
penting dari elemen yang lain mendukung satu elemen dibanding yang
lain
7 Elemen yang satu jelas lebih Satu elemen dengan kuat didukung dan
penting dari elemen yang lain dominan terlihat dalam praktek
9 Elemen yang satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen yang satu
penting dari elemen yang lain terhadap elemen yang lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada kompromi
pertimbangan yang berdekatan diantara dua pilihan
Kebalikan Reciprocals Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
bila dibandingkan dengan aktivitas j,
mempunyai nilai kebalikan bila
dibandingkan dengan i
Sumber: Saaty 2008
56

3.5.5. Penyusunan Arahan Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan


Makanan dalam Pengembangan Wilayah
Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka akan disusun berdasarkan hasil
dari analisis sebelumnya yang meliputi hasil analisis kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan berdasarkan analisis
Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran subsektor
tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis input-
output, analisis penentuan komoditas unggulan serta analisis prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil
analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan
untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk
pengembangan komoditas tersebut.
Analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas unggulan
dilakukan melalui pengolahan peta dengan sistem informasi geografis. Analisis
kesesuaian lahan diperoleh dengan mengolah data peta tanah dan peta landsystem
dengan persyaratan tumbuh masing-masing komoditas unggulan. Kriteria
persyaratan tumbuh mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2003) yang disajikan pada Lampiran
16. 17 dan 18. Kesesuaian lahan ditetapkan pada tingkat ordo. Pada tingkat ordo
kesesuaian lahan dibedakan atas ordo S (Sesuai) dan ordo N (Tidak Sesuai).
Lahan yang tergolong ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka
waktu yang tidak terbatas. Lahan yang tergolong ordo N adalah lahan yang
mempunyai kesulitan atau faktor pembatas/penghambat yang berat sehingga tidak
dapat digunakan untuk tujuan penggunaan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno
dan Widiatmaka, 2007).
Selanjutnya, peta kesesuaian lahan ditumpangtindihkan dengan peta
penggunaan lahan (landuse) dan RTRW untuk mengetahui lokasi-lokasi lahan
yang memiliki kriteria sesuai berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan tersedia
untuk pengembangan suatu komoditas karena belum dialokasikan untuk
penggunaan lain ataupun telah dialokasikan untuk penggunaan lahan pertanian
57

serta telah sesuai dengan arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka.
Evaluasi kesesuaian dan ketersdiaan lahan tersebut digunakan untuk mendapatkan
peta arahan pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dan tersedia. Adapun
tahapan pengolahan data untuk analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
arahan pengembangan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gambar 6.

Peta Tanah dan Persyaratan Tumbuh


Landsystem Komoditas Unggulan

Peta Kesesuaian Lahan Peta Landuse


Dan RTRW

Overlay

Peta Lahan Sesuai dan


Tersedia

Gambar 6. Tahapan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan


pengembangan komoditas unggulan

Pertanian bagi penduduk Kabupaten Majalengka memiliki peranan penting


karena selain merupakan salah satu bentuk warisan budaya dari para leluhur juga
merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk, penyedia utama
kebutuhan pangan masyarakat dan industri serta penyeimbang ekosistem
lingkungan hidup. Oleh sebab itu maka pelaksanaan pembangunan pertanian
harus dilaksanakan dengan baik dan terencana.
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Majalengka perlu terus
ditumbuhkembangkan dengan diupayakan fokus pada pengembangan komoditas-
komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif agar mampu
bersaing dengan komoditas-komoditas pertanian dari wilayah lainnya. Dari hasil
analisis kondisi dan potensi sektor pertanian akan disusun arahan jenis-jenis
58

komoditas unggulan dan wilayah-wilayah yang berpotensi untuk pengembangan


komoditas tersebut.
Selain itu kebijakan peningkatan keterkaitan sektor pertanian dengan
sektor-sektor lainnya perlu dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah. Hal
ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al., (2009) yang menyatakan bahwa
keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antara
sektor perekonomian sehingga setiap kegiatan pembangunan sektoral
dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Peran sektor pertanian
dalam pengembangan wilayah juga dapat terlihat dari nilai multiplier effect yang
diciptakan sektor ini, misalnya, multiplier effect pendapatan dapat
menggambarkan peran sektor pertanian dalam peningkatan pendapatan
masyarakat yang dalam hal ini berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat sedangkan multiplier effect tenaga kerja dapat memberikan gambaran
peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja yang berimplikasi terhadap
penurunan tingkat pengangguran. Dari hasil analisis input-output akan disusun
arahan untuk peningkatan peran sektor pertanian dalam pengembangan wilayah di
Kabupaten Majalengka.
Paradigma pembangunan ke depan diarahkan sebesar-besarnya kepada
peningkatan peran dan partisipasi masyarakat serta menuntut adanya perubahan
peran pemerintah yaitu semula berperan sebagai pelaku sekarang menjadi
fasilitator, akselerator dan regulator pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka
untuk menentukan prioritas pembangunan sektor pertanian di Kabupaten
Majalengka dilakukan dengan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas maka pembangunan sektor
pertanian di Kabupaten Majalengka perlu diarahkan agar mampu berkontribusi
secara optimal dalam pengembangan wilayah terutama bagi pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
59

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA

4.1. Kondisi Fisik Wilayah


Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Majalengka yang
merupakan wilayah studi adalah kondisi geografi, topografi, tanah dan lahan,
iklim, dan penggunaan lahan. Masing-masing bahasan tersebut diuraikan
tersendiri pada bagian di bawah ini.

4.1.1. Kondisi Geografi


Kabupaten Majalengka merupakan bagian dari wilayah administrasi
Provinsi Jawa Barat dengan Luas wilayah 120.424 Hektar atau sekitar 2,71% luas
wilayah Provinsi Jawa Barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Majalengka ke
Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah ± 91 Kilometer. Secara geografis Kabupaten
Majalengka terletak diantara 60 36’ sampai dengan 70 03’ Lintang Selatan dan
1080 03’ sampai dengan 1080 25’ Bujur Timur. Adapun batas wilayah
administrasinya adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu, sebelah selatan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Tasikmalaya, sebelah barat dengan Kabupaten Sumedang, dan Sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.
Wilayah Kabupaten Majalengka secara administratif terdiri dari 26
kecamatan,13 kelurahan dan 334 desa. Pemekaran wilayah di Kabupaten
Majalengka terjadi pada tahun 2007 yaitu pemekaran kecamatan dan pemekaran
desa. Jumlah kecamatan semula 23 menjadi 26 kecamatan sedangkan jumlah desa
yang semula 318 menjadi 334 desa. Kecamatan yang baru hasil pemekaran yaitu
Kecamatan Kasokandel yang merupakam pemekaran dari Kecamatan Dawuan,
Kecamatan Sindang pemekaran dari Kecamatan Sukahaji dan Kecamatan
Malausma yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantarujeg. Secara spasial
batas administrasi masing-masing Kecamatan di Majalengka dapat dilihat pada
Gambar 7.
60

Gambar 7. Peta administrasi Kabupaten Majalengka

Distribusi luas wilayah tiap kecamatan di Kabupaten Majalengka


disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa luas
wilayah per Kecamatan di Kabupaten Majalengka cenderung merata. Kecamatan
61

yang memiliki luas wilayah paling luas adalah Kecamatan Kertajati sedangkan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadipaten.

Gambar 8. Distribusi luas wilayah per kecamatan (Km2)

4.1.2. Kondisi Topografi


Kondisi topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada
daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta
perbukitan terjal. Kondisi bentang alamnya melandai ke daerah Barat Laut,
menyebabkan aliran sungai dan mata air mengalir ke arah Utara. Sehingga pada
wilayah bagian Utara Kabupaten Majalengka terdapat banyak persawahan.
Perbukitan dengan lereng yang curam terdapat di lereng Gunung Ciremai.
62

Kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka di klasifikasikan kedalam 3


kelas yaitu 0 – 15 %, 15 – 40 % dan > 40 %. Berdasarkan klasifikasi kelas
kemiringan lahan, 13.21 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka mernpunyai
kemiringan lahan di atas 40%, sedangkan kontribusi kelas kemiringan lahan
mayoritas adalah pada kelas kemiringan lahan 0 - 15%, yaitu 82.207 Ha atau
68.26% luas wilayah Kabupaten Majalengka, dan daerah ini merupakan daerah
yang relatif datar (Bappeda Majalengka, 2005). Kondisi topografis ini sangat
berpengaruh pada pemanfaatan ruang dan potensi pengembangan wilayah. Selain
itu juga mengakibatkan terdapatnya daerah yang rawan terhadap gerakan tanah
yaitu daerah yang mempunyai kelerengan curam. Distribusi ketiga bagian
topografi yang ada di Kabupaten Majalengka sebagaimana disebutkan di atas,
adalah sebagai berikut :
1. Dataran rendah, mempunyai kemiringan tanah antara 0 - 15%, yaitu meliputi
kecamatan Cigasong, Jatitujuh, Jatiwangi, Kadipaten, Kertajati, Ligung dan
Palasah.
2. Berbukit Gelombang, kemiringan tanahnya berkisar antara 15% - 40%, yaitu
metiputi Kecamatan Argapura, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing, Cingambul,
Dawuan, Lemahsugih, Maja, Majalengka, Rajagaluh, Sindangwangi,
Sukahaji dan Talaga.
3. Perbukitan Terjal, kemiringan tanahnya lebih dari 40%, sebagian besar
merupakan daerah-daerah di sekitar Gunung Ciremai yaitu meliputi
Kecamatan Agapura, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing, Cingambul,
Lemahsugih, Leuwimunding, Maja, Majalengka, Panyingkiran, Rajagaluh,
Sindangwangi, Sukahaji, Sumberjaya dan Talaga.
Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah Kabupaten Majalengka yang
mempunyai ketinggian di atas 2000 mdpl terletak di sekitar kawasan kaki Gunung
Ciremai. Adapun wilayah yang mempunyai ketinggian 25-100 m dpl
mendominasi pada bagian Utara Kabupaten Majalengka, yang dimanfaatkan
untuk pertanian lahan basah. Sebaran ketinggian wilayah yang lebih rinci
disajikan secara spasial pada Gambar 9.
63

Gambar 9. Peta kelas ketinggian Kabupaten Majalengka

4.1.3. Kondisi Tanah dan Lahan


Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, hewan dan tumbuhan. Jenis tanah memegang peranan penting dalam
menentukan sifat dan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang kegiatan
64

pertanian di suatu daerah. Kemampuan tanah berdasarkan kedalaman efektif tanah


merupakan kondisi dimana tanaman dapat tumbuh karena perakaran tanaman
dapat menembusnya secara vertikal. Kedalaman efektif tanah dipengaruhi oleh
tingkat erosi yang dapat mengakibatkan lapisan atas tanah (top soil) terkikis air ke
tempat yang lebih rendah (Hardjowigeno, 2007).

Gambar 10. Peta kedalaman efektif tanah Kabupaten Majalengka


65

Kedalam efektif tanah di Kabupaten Majalengka dapat dikelompokkan


menjadi empat kelompok. Adapun sebaran kedalaman efektif tanah secara rinci
dapat dilihat pada Gambar 10.

4.1.4. Iklim
Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk kedalam iklim
tropis dengan suhu udara rata-rata berdasarkan data Tahun 2009 berkisar antara
25,9oC sampai dengan 29,3oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober
yaitu 35,9oC, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus dengan
suhu sebesar 22,2oC.
Variasi curah hujan bulanan pada Tahun 2009 antara 60 mm sampai 419
mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan. Dengan
menggunakan pembagian tipe hujan dari Oldeman, maka Kabupaten Majalengka
termasuk tipe iklim C yaitu daerah yang memiliki bulan basah 5-6 bulan. Curah
hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Februari 2009 yang
mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26 hari, sedangkan kemarau terjadi
pada bulan Agustus dan September. Adapun data iklim di Kabupaten Majalengka
selama Tahun 2009 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Fluktuasi Iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2009


Suhu Udara (oC) Hujan Penyinaran
No. Bulan Curah Hujan Hari Matahari
Maks. Min. Rata-rata (%)
(mm) Hujan
1 Januari 31,1 23,7 26,6 234 22 35
2 Februari 30,6 23,4 25,9 419 26 27
3 Maret 33,3 23,6 26,7 293 23 66
4 April 33,1 24,1 27,5 217 14 61
5 Mei 32,7 24,1 27,3 90 14 78
6 Juni 32,7 22,5 27,2 60 6 81
7 Juli 33,1 22,3 26,9 ttu*) 2 85
8 Agustus 34,2 22,2 27,5 0 0 89
9 September 35,9 23,6 29,2 0 0 86
10 Oktober 35,2 24,8 29,3 69 8 72
11 Nopember 33,9 24,9 28,4 364 18 53
12 Desember 32,9 24,4 27,6 219 23 56
Jumlah 398,7 283,6 330,1 1965 156 789

Rata-rata 33,2 23,6 27,5 178,64 13 65,8


Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
*)
ttu=tidak terukur
66

4.1.5. Penggunaan Lahan


Pada dasarnya penggunaan lahan suatu wilayah merupakan perwujudan
fisik dari semua kegiatan sosial ekonomi penduduk. Pengenalan pola penggunaan
lahan ini sangat diperlukan baik untuk memperoleh gambaran mengenai
organisasi tata ruang maupun untuk mengetahui pola distribusi kegiatan sosial
ekonomi serta intensitas penggunaan lahan dan berbagai kegiatan yang ada.
Sebagai daerah agraris, penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka masih
didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering.
Penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009


No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%)
1 LAHAN PERTANIAN
1.1 Lahan Sawah
1. Irigasi teknis 17.982 14,93
2. Irigasi ½ teknis 7.970 6,62
3. Irigasi sederhana 5.534 4,60
4. Irigasi Desa / Non PU 7.901 6,56
5. Tadah hujan 12.512 10,39
Jumlah Lahan Sawah 51.899 43,10
1.2 Lahan Bukan Sawah -
1. Tegal (kebun) 27.275 22,65
2. Ladang (huma) - -
3. Perkebunan 370 0,31
4. Ditanami pohon/hutan rakyat 4.739 3,94
5. Tambak - -
6. Kolam/tebat/empang 543 0,45
7. Padang penggembalaan/rumput 693 0,58
8. Sementara tidak diusahakan 28 0,02
9. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman 2.584
2,15
pertanian, dll)
Jumlah Lahan Bukan Sawah 36.232 30,09
2 LAHAN BUKAN PERTANIAN -
1. Rumah, bangunan dan halaman sekitar 12.025 9,99
2. Hutan Negara 17.217 14,30
3. Rawa-rawa (tidak ditanami) 99 0,08
4. Lainnya (Jalan, sungai, danau, lahan tandus) 2.952 2,45
Jumlah Lahan Bukan Pertanian 32.293 26,82
Luas Lahan Keseluruhan 120.424 100,00
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
67

4.2. Sosial Kependudukan


Pada bagian sosial kependudukan ini dikemukakan gambaran mengenai
penduduk dan ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten Majalengka. Masing-
masing bahasan tersebut diuraikan tersendiri pada bagian di bawah ini.

4.2.1. Kependudukan
Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan.
Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan
permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk
dan tidak meratanya penyebaran penduduk.
Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan
hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan
606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,83% bila dibandingkan jumlah
penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk
perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan
sex ratio 99.02%. Jumlah penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan kepadatan
penduduk di Kabupaten Majalengka selama kurun 2005-2009 dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 - 2009
PENDUDUK 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah (Jiwa) 1.169.337 1.179.136 1.188.189 1.196.811 1.206.702
Laki-laki (Jiwa) 577.633 582.474 588.321 594.981 600.396
Perempuan (Jiwa) 591.704 596.662 599.868 601.830 606.306
Laju Pertumbuhan 0,82 0,84 0,76 0,73 0,83
Penduduk (persen)
Kepadatan (Jiwa/ 971 979 987 994 1002
Km2)
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Persebaran penduduk di Kabupaten Majalengka belum merata di tiap


kecamatan. Kecamatan Jatiwangi, Majalengka dan Cikijing adalah tiga
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Di lain pihak, Kecamatan
Sindang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit.
68

Adapun distribusi jumlah penduduk per kecamatan menurut jenis kelamin


disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009

Kepadatan penduduk di Kabupaten Majalengka bervariasi antara satu


kecamatan dengan kecamatan lainnya. Secara keseluruhan rata-rata kepadatan
penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah 1.002 Jiwa/Km 2,
kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan
2.096 Jiwa/Km2 dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Kertajati dengan
kepadatan 333 Jiwa/Km2.

4.2.2. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya
diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut
peningkatan penyediaan lapangan kerja.
Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka
sebanyak 13.417 orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang
laki-laki. Rincian tentang pencari kerja terdaftar dan yang telah ditempatkan
selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka berdasarkan tingkat pendidikannya
dapat dilihat pada Tabel 11.
69

Tabel 11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Belum Telah
Pencari Kerja Persentase
Tingkat Pendidikan Ditempatkan Ditempatkan
(Orang) (%)
(Orang) (Orang)
SD 1.158 8,63 847 311
SLTP 1.550 11,53 1.361 189
SLTA 6.305 46,99 6.252 53
D1, D2, D3 1.523 11,35 1.523 -
Sarjana 2.881 21,47 2.881 -
Pasca Sarjana - - - -
Jumlah 13.417 12.864 553
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Perkembangan angka statistik ketenagakerjaan yang meliputi tingkat


partisipasi angkatan kerja, persentase penduduk usia kerja, tingkat pengangguran,
upah minimum regional dan persentase penduduk yang bekerja berdasarkan
kelompok sektor di Kabupaten Majalengka dari Tahun 2007 sampai Tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perkembangan Angka Statistik Ketenagakerjaan


Uraian 2007 2008 2009
Tingkat Partisipasi Angkatan 69,06 62,23 66,48
Kerja
Tingkat Pengangguran 7,46 7,98 6,74
Bekerja (%) 92,54 92,02 93,26
UMR (Rp) 555.000 605.000 680.000
Bekerja di Sektor Primer (%) 37,96 31,05 30,94
Bekerja di Sektor Sekunder (%) 19,53 23,38 18,96
Bekerja di Sektor Tersier (%) 42,51 45,57 50,10
Sumber : Statistik Daerah Kab. Majalengka Tahun 2010

Berdasarkan kelompok sektornya, angkatan kerja yang bekerja di sektor


primer selama periode Tahun 2007 – 2009 cenderung menurun yaitu dari 37,96
persen pada Tahun 2007 menjadi 30,94% pada Tahun 2009. Sebaliknya untuk
kelompok sektor tersier cenderung meningkat yaitu dari 42,51% pada Tahun 2007
menjadi 50,10% pada Tahun 2009.

4.2.3. Sosial Budaya


Pembangunan kualitas hidup penduduk Kabupaten Majalengka menjadi
prioritas pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia
(SDM) Kabupaten Majalengka menunjukkan perkembangan yang semakin
70

membaik, hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks


Pembangunan Manusia (IPM). IPM dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu
Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli.
IPM Kabupaten Majalengka pada tahun 2007 mencapai 69,25 kemudian
meningkat kemudian meningkat sebesar 0,15 poin menjadi 69,40 di Tahun 2008.
Peningkatan cukup besar terjadi pada Tahun 2009 yaitu meningkat sebesar 0,5
poin menjadi sebesar 69,94. Tetapi di lain pihak dari sisi peringkatnya, diantara
26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Kabupaten Majalengka menduduki peringkat
ke-22 pada Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa IPM Kabupaten Majalengka
masih berada pada kelompok bawah. Untuk mendongkrak IPM tersebut
diperlukan upaya-upaya nyata sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat
benar-benar mengangkat kualitas hidup masyarakat Kabupaten Majalengka.
Dalam bidang seni dan budaya, pembangunan ditujukan untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati
diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus
informasi dan pengaruh negatif budaya global. Selain itu kesenian dan
kebudayaan merupakan cerminan dari seberapa tinggi peradaban manusia yang
dimiliki. Adapun budaya yang masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat
di Kabupaten Majalengka yaitu diantaranya upacara sambut pengantin, upacara
guar bumi, upacara mapag sri, dan beberapa tradisi budaya yang masih
dilestarikan oleh perorangan yang merupakan tradisi budaya dalam kehidupannya.

4.3. Perekonomian Daerah


Gambaran mengenai perekonomian daerah yang menjadi fokus dalam
bahasan ini adalah meliputi produk domestik regional bruto (PDRB) dan potensi
sektor-sektor ekonomi.

4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran
atas nilai tambah yang mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas
ekonomi dalam suatu wilayah. Selain itu, data PDRB merupakan gambaran atas
kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya
71

manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu besarnya nilai PDRB dari suatu
wilayah akan sangat tergantung pada kedua faktor tersebut, sehingga dengan
beragamnya kondisi dan keterbatasan dari kedua faktor di atas menyebabkan nilai
PDRB bervariasi antar daerah. PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah
yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran
pembangunan suatu wilayah, sehingga walaupun dianggap memiliki berbagai
kelemahan tetapi PDRB ini merupakan tolak ukur yang paling operasional karena
tidak ada satu wilayah pun yang tidak melakukan pengukuran nilai PDRB.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari
laju PDRB atas dasar harga konstan yang mengalami peningkatan, nilai ini
menunjukan terjadinya peningkatan produk yang dihasilkan dibandingkan
tahun sebelumnya. Stuktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang
digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menunjukan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi
andalan dalam memberikan nilai tambah PDRB Kabupaten Majalengka,
dimana kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majalengka atas
dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun 2006-2009 mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kenaikan hampir semua sektor
lapangan usaha dengan dominasi sektor pertanian diikuti sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pada tahun 2006 PDRB atas
dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 3.686.235.930.000, tahun 2007
sebesar Rp.3.865.690.520.000, dan pada tahun 2008 sebesar Rp.
4.041.007.620.000 serta pada tahun 2009 sebesar Rp. 4.225.926.070.000.
Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 setiap tahun
mengalami kenaikan dari Rp. 3.126.217,78 pada tahun 2006 menjadi Rp.
3.502.046,13 pada tahun 2009. Kenaikan PDRB per kapita menunjukkan bahwa
kondisi perekonomian Kabupaten Majalengka meningkat, sejalan dengan jumlah
penduduk dan keadaan penduduk pada tahun berjalan. Gambaran mengenai
perkembangan kontribusi sektoral dan nilai PDRB per kapita Kabupaten
Majalengka atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 13.
72

Tabel 13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah)
TAHUN
No. LAPANGAN USAHA SATUAN
2006 2007 2008 2009
1 PDRB atas dasar harga 3.686.235,93 3.865.690,52 4.042.240,29 4.225.926,07
konstan thn 2000 (Jutaan
Rupiah)
Pertanian Rp.000.000,00 1.046.430,59 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
% (28,39) (28,30) (28,05) (28,04)
Pertambangan dan Rp.000.000,00 150.590,75 159.586,22 166.138,45 162.266,80
Galian % (4,09) (4,13) (4,11) (3,84)
Industri Pengolahan Rp.000.000,00 624.229,78 657.996,42 691.093,64 724.330,61
% (16,93) (17,02) (17,10) (17,14)
Listrik, Gas, Air Bersih Rp.000.000,00 24.480,32 26.149,82 27.540,86 28.810,27
% (0,66) (0,68) (0,68) (0.68)
Bangunan Rp.000.000,00 165.831,17 175.415,37 185.168,46 195.870,28
% (4,50) (4,54) (4,58) (4,63)
Perdagangan, Hotel dan Rp.000.000,00 724.540,91 756.470,52 797.726,94 838.517,68
Restoran % (19,66) (19,57) (19,73) (19,84)
Pengangkutan dan Rp.000.000,00 238.842,61 250.435,89 260.476,07 271.937,70
Komunikasi % (6,48) (6,48) (6,44) (6,43)
Keuangan Rp.000.000,00 205.604,05 219.085,84 229.950,10 240.097,63
% (5,58) (5,67) (5,69) (5,68)
Jasa Rp.000.000,00 505.685,75 526.643,19 550.497,06 579.121,25
% (13,72) (13,62) (13,62) (13,70)
2 PDRB per Kapita (Rp) 3.126.217.78 3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2010

Nilai tambah terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka pada Tahun


2009 berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 1,184 trilyun rupiah atau sebesar
28,04 % dimana sebagian besar penduduk berusaha di sektor pertanian. Sektor
perdagangan hotel dan restoran memberikan kontribusi terbesar kedua yaitu
sebesar 838 milyar atau sebesar 19,84%. Sektor industri pengolahan memberikan
kontribusi terbesar ketiga yaitu sebesar 724 milyar atau sebesar 17,14%.

4.3.2. Potensi Sektor-Sektor Ekonomi


Potensi sektor-sektor ekonomi yang dijelaskan dalam bahasan ini adalah
potensi sektor-sektor ekonomi yang memiliki sumbangan terbesar terhadap PDRB
di Kabupaten Majalengka yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan
restoran serta sektor industri pengolahan.

4.3.2.1. Pertanian
Pertanian di Kabupaten Majalengka secara umum memiliki potensi yang
besar dan variatif, serta didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
73

pengembangan komoditas pertanian. Potensi ini dapat dilihat dari besarnya


sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB. Dominasi sektor pertanian dalam
perekonomian Kabupaten Majalengka sangat dimungkinkan dengan besarnya luas
lahan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari
rincian penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yaitu dari luas wilayah
Kabupaten Majalengka sebesar 120.424 hektar tersebut terdiri atas lahan sawah
51.370 hektar, lahan bukan sawah 33.362 hektar dan lahan bukan pertanian 35.692
hektar. Berdasarkan data tersebut maka 73,18% luas lahan di Kabupaten Majalengka
digunakan sebagai lahan pertanian.
Kontribusi terbesar sektor pertanian adalah berasal dari sub sektor tanaman
bahan makanan yang rata-rata mencapai 23,80% dari nilai PDRB Kabupaten
Majalengka, hal ini berarti produksi terbesar di Kabupaten Majalengka berasal
dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman bahan makanan terdiri
dari tiga jenis komoditas yaitu padi dan palawija, sayuran serta buah-buah.
Kinerja dari sub sektor tanaman bahan makanan ini dapat dilihat dari
perkembangan angka produksi beberapa komoditasnya.
Tabel 14 menggambarkan besarnya luas panen, hasil per hektar dan
produksi padi sawah di Kabupaten Majalengka. Dari tabel ini tergambar bahwa
pada Tahun 2009 produksi padi telah mencapai 567.796 ton. Bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, ternyata produksi padi mengalami peningkatan sebesar
10,77%. Peningkatan produksi ini karena bertambahnya luas panen dari 88.503 ha
menjadi 93.517 ha atau meningkat sebesar 5,67% serta juga disebabkan oleh
meningkatnya produktivitas atau hasil per hektar sebesar 4,83 %.

Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah
di Kab. Majalengka
Tahun Luas Panen Hasil per Hektar Produksi
(Ha) (Kuintal) (Ton)
2008 88.503 57,92 512.596
2009 93.517 60,72 567.796
Laju 5,67 4,83 10,77
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Perkembangan produksi tanaman palawija pada Tahun 2009 ditunjukkan


dalam Tabel 15. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada umumnya
74

tanaman palawija mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan komoditas jagung


dan ubi jalar pada Tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup pesat dari
tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 59,29 % dan 53,95%.

Tabel 15. Perkembangan Produksi Palawija di Kabupaten Majalengka (dalam ton)


Komoditas 2008 2009 Laju
Jagung 69.479 110.674 59,29
Ubi Kayu 42.575 46.461 9,13
Ubi Jalar 11.409 17.564 53,95
Kacang Tanah 1.769 1.531 13,45
Kedelai 2.825 3.378 19,57
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Seperti yang telah disebutkan diatas, selain padi dan palawija, tanaman
lain yang termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan adalah sayuran dan
buah-buahan. Perkembangan produksi sayuran dan buah-buahan pada Tahun 2009
disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.

Tabel 16. Perkembangan Produksi Sayuran di Kabupaten Majalengka


(dalam kuintal)
Komoditas 2008 2009 Laju
Bawang merah 330.150 316.790 -4,05
Bawang daun 864.640 419.600 -51,47
Cabe 128.330 97.740 -23,84
Tomat 67.560 103.440 53,11
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Dari Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar komoditas sayuran


mengalami penurunan produksi, yang mengalami peningkatan produksi hanya
komoditas tomat yaitu meningkat sebesar 53,11%. Bawang merah menurun
sebesar 4,05 %, kemudian komoditas bawang daun juga menurun sebesar sebesar
51,47 % dan cabe menurun sebesar 23,84 %.
Selanjutnya Tabel 17 menunjukkan perkembangan produksi buah-buahan
di Kabupaten Majalengka. Seperti halnya sayuran, komoditas buah-buahan pun
sebagian besar menunjukkan penurunan, yang mengalami peningkatan dantaranya
adalah mangga dan pisang. Komoditas mangga meningkat sebesar 3,07 % dan
pisang meningkat cukup pesat yaitu mencapai 125,10 %.
75

Tabel 17. Perkembangan Produksi Buah-buahan di Kab. Majalengka (dalam


kuintal)
Komoditas 2008 2009 Laju
Alpukat 62.193 46.156 -25,78
Jambu biji 30.374 26.568 -12,53
Mangga 452.235 466.103 3,07
Nangka 61.215 33.587 -45,13
Pisang 122.094 274.838 125,10
Jeruk besar 1.456 482 -66,89
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

4.3.2.2. Perdagangan, Hotel dan Restoran


Sektor perdagangan di Kabupaten Majalengka pengembangannya
difokuskan pada sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar, baik pasar
daerah maupun pasar luar daerah. Pengembangan sistem distribusi diarahkan
untuk memperlancar arus barang dan jasa, memperkecil kesenjangan antar daerah,
mengurangi fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang yang terjangkau
oleh masyarakat.
Berdasarkan data yang tercatat di BPS (2010), beberapa fasilitas
perdagangan yang terdapat di Kabupaten Majalengka meliputi pasar desa
sebanyak 33 buah yang tersebar di beberapa Kecamatan dengan frekuensi hari
pasar sebanyak 2 kali seminggu sampai dengan harian, pasar milik Pemerintah
Daerah sebanyak 4 buah yang terdapat di Kecamatan Cigasong, Sumberjaya,
Talaga dan Kadipaten, jumlah kelompok pertokoan sebanyak 3.440 buah,
Supermarket (Pasar Swalayan, Toserba, Minimarket) sebanyak 27 buah, Restoran
(Rumah Makan, Kedai Makanan) sebanyak 21 buah, sedangkan sarana akomodasi
meliputi penginapan sebanyak 9 buah yang terdiri atas 192 kamar, sementara
jumlah restoran sebanyak 21 buah.

4.3.2.3. Industri Pengolahan


Sektor industri pengolahan memegang peranan yang sangat penting dalam
peningkatan pembangunan ekonomi suatu daerah, karena sektor ini selain cepat
meningkatkan nilai tambah juga sangat diharapkan perkembangannya dalam
menunjang perekonomian, terutama dalam upaya mengatasi pengangguran. Selain
itu, sektor ini pun merangsang kegiatan ekonomi sektor lainnya seperti sektor
76

jasa, angkutan dan perdagangan. Sebagai gambaran pada PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 sektor industri memberikan kontribusi sebesar 17,14 %.
Sektor industri pengolahan yang berkembang di Kabupaten Majalengka
saat ini mayoritas berupa industri berskala mikro, kecil dan menengah, antara lain
industri kerajinan dan industri olahan makanan. Sementara industri besar
perkembangannya relatif lebih lambat. Banyaknya perusahaan industri besar dan
sedang berdasarkan produksi utamanya yang ada di Kabupaten Majalengka dapat
dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Banyaknya Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Majalengka


Produksi Utama (unit)
Tahun Kerajinan Bola
Pakaian Makanan Genteng Lainnya
Rotan Sepak
2005 3 4 318 25 1 18
2006 3 6 324 50 1 18
2007 11 8 401 50 1 17
2008 23 8 450 64 2 23
2009 15 8 395 22 1 13
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010

Apabila dilihat dari produksi utamanya, industri pengolahan di Kabupaten


Majalengka didominasi oleh industri genteng. Pada tahun 2009, industri genteng
ini mencapai 395 unit atau sebesar 87% dari industri yang ada. Keberadaan
industri genteng ini terpusat di Kecamatan Jatiwangi.
77

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan
di Kabupaten Majalengka Terkini
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang
akan disajikan dalam hasil dan pembahasan ini adalah kondisi dan potensi daya
saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka berdasarkan
hasil analisis dari data Tahun 2009. Pembahasan mengenai kondisi dan potensi
daya saing subsektor tanaman bahan makanan terkini penting untuk disajikan
karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi terbaru dari subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menentukan strategi dan
arahan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis
pertanian.

5.1.1. Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab.


Majalengka di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Kemampuan suatu wilayah dalam memacu pertumbuhan ekonomi, salah
satunya sangat tergantung dari keunggulan dan daya saing sektor-sektor ekonomi
di wilayahnya. Kemampuan setiap sektor ekonomi dalam memacu pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah berbeda-beda. Sejalan dengan hal diatas maka dalam
suatu perencangan pengembangan wilayah perlu kiranya diketahui sektor-sektor
yang mampu menjadi penggerak perekonomian (prime mover) di suatu wilayah.
Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi suatu wilayah terbagi
dalam dua golongan. Pertama, sektor basis yaitu sektor dengan kegiatan ekonomi
yang mampu menghasilkan barang dan jasa baik untuk keperluan pasar domestik
daerah maupun pasar luar daerah. Dalam sektor basis, terjadi kelebihan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk wilayahnya sendiri sehingga memungkinkan untuk
terjadinya mekanisme ekspor. Kedua, sektor non basis yaitu sektor dengan
kegiatan ekonomi yang hanya mampu melayani pasar di wilayahnya sendiri
sehingga kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang
adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat
78

dari kemajuan pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah. Tidak semua sektor
ekonomi memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu dalam
perencanaan pembangunan suatu wilayah diantaranya harus dapat memanfaatkan
keberadaan sektor-sektor basis yang dianggap bisa menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi
aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis adalah
melalui metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan perbandingan
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang cakupannya lebih
luas dalam suatu wilayah sehingga metode LQ juga dapat menunjukkan
keunggulan komparatif suatu aktivitas di suatu wilayah. Variabel yang digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan potensi aktivitas ekonomi sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka dalam analisis LQ adalah nilai PDRB sektoral Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 dengan wilayah referensi Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa terdapat 8 sektor dari
13 sektor yang dianalisis, yang menjadi sektor basis di Kabupaten Majalengka.
Kedelapan sektor tersebut adalah sektor pertanian tanaman bahan makanan,
tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan
penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat
pemusatan aktivitas ekonomi pada kedelapan sektor tersebut di Kabupaten
Majalengka sehingga sektor-sektor tersebut memiliki potensi dan daya saing yang
lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah lainnya atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif
di wilayah Jawa Barat.
Sektor yang menjadi sektor non basis di Kabupaten Majalengka ada 5
sektor yaitu kehutanan, perikanan, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih
serta perdagangan hotel dan restoran. Hasil analisis LQ secara lengkap disajikan
pada Tabel 19.
79

Tabel 19. Nilai LQ Sektor Ekonomi Kabupaten Majalengka


Sektor Nilai LQ Keterangan
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan 2,74 Sektor Basis
b. Tanaman Perkebunan 1,20 Sektor Basis
c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya 1,50 Sektor Basis
d. Kehutanan 0,81 Sektor Non Basis
e. Perikanan 0,60 Sektor Non Basis
Pertambangan dan Penggalian 1,41 Sektor Basis
Industri Pengolahan 0,41 Sektor Non Basis
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,30 Sektor Non Basis
Bangunan 1,45 Sektor Basis
Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,91 Sektor Non Basis
Pengangkutan dan Komunikasi 1,25 Sektor Basis
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1,70 Sektor Basis
Jasa-jasa 1,94 Sektor Basis
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)

Selain menggunakan metode LQ, kondisi dan potensi daya saing aktivitas
ekonomi di suatu wilayah juga dapat diketahui dengan metode Shift Share
Analysis (SSA). Analisis SSA merupakan teknik analisis yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif. Analisis ini juga dapat digunakan
untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah
berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab
pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total),
komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen
differential shift (komponen pergeseran diferensial).
Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor lain di wilayah
Provinsi Jawa Barat digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam
pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan
karena ingin mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di kabupaten
Majalengka yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas
sektor-sektor tersebut di wilayah Kabupaten Majalengka itu sendiri apabila
dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, bukan karena pengaruh
pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total
(regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu
wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya
80

masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-
faktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak
mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif
ini adalah nilai PDRB sedangkan rentang waktu yang digunakan untuk melihat
pergeseran adalah 5 tahun sehingga data PDRB yang digunakan adalah data
PDRB Tahun 2005 dan 2009.
Hasil analisis SSA menunjukkan ada 7 sektor yang memiliki nilai
differential shift yang positif yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa.
Berdasarkan hal tersebut maka keenam sektor tersebut memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya sehingga keenam
sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki keunggulan kompetitif untuk
wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis SSA secara lengkap disajikan pada
Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Analisis Shift Share Sektor Perekonomian di Kabupaten


Majalengka Tahun 2005 - 2009
Sektor Nilai Keunggulan
Differential Shift Kompetitif
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan 0,009 Positif
b. Tanaman Perkebunan 0,327 Positif
c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0,062 Positif
d. Kehutanan -0,070 Negatif
e. Perikanan -0,081 Negatif
Pertambangan dan Penggalian 0,040 Positif
Industri Pengolahan 0,005 Positif
Listrik, Gas dan Air Bersih -0,043 Negatif
Bangunan -0,007 Negatif
Perdagangan, Hotel dan Restoran -0,141 Negatif
Pengangkutan dan Komunikasi -0,085 Negatif
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,649 Positif
Jasa-jasa 0,003 Positif
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)

Hasil analisis LQ dan shift share dapat dikombinasikan sehingga


memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan sektor-sektor
81

berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Pengelompokkan sektor-


sektor tersebut disajikan dalam bentuk matriks pada Gambar 12.
Dari matriks pengelompokkan sektor-sektor tersebut terdapat 6 sektor
yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara
komparatif dan kompetitif yaitu sektor pertanian tanaman bahan makanan,
perkebunan, peternakan, pertambangan dan penggalian, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan serta jasa-jasa.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Sektor Non basis Sektor Basis
- Industri pengolahan - Tanaman bahan makanan
- Tanaman perkebunan

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Peternakan dan hasil-hasilnya

Positif
- Pertambangan dan galian
- Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan
- Jasa-jasa
- Kehutanan
- Perikanan - Bangunan
- Listrik, gas dan air bersih - Pengangkutan dan Komunikasi Negatif
- Perdagangan, hotel & restoran

Gambar 12. Matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka

Berdasarkan kombinasi hasil analisis LQ dan SSA yang tersaji pada


matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka diatas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa subsektor ini memiliki potensi dan daya saing
yang baik dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Majalengka.
Adapun gambaran potensi subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten
Majalengka apabila dilihat dan dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari
hasil analisis LQ dan SSA yang disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat bahwa Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kabupaten
yang memiliki pemusatan aktivitas dan kinerja yang baik pada subsektor tanaman
82

bahan makanan yang ditandai dengan nilai LQ > 1 dan nilai differential shift yang
positif. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/kota
lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Tabel 21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa
Barat
Nilai Differential Nilai Differential
No Kab/Kota Shift
No Kab/Kota Shift
LQ LQ
1 Garut 4,81 Negatif 14 Purwakarta 0,84 Positif
2 Cianjur 4,01 Negatif 15 Bandung Barat 0,70 Negatif
3 Tasikmalaya 3,41 Positif 16 Bandung 0,59 Negatif
4 Kuningan 3,07 Negatif 17 Kota Tasikmalaya 0,37 Negatif
5 Majalengka 2,74 Positif 18 Bogor 0,31 Positif
6 Sukabumi 2,39 Negatif 19 Kota Sukabumi 0,16 Negatif
7 Subang 2,29 Negatif 20 Bekasi 0,14 Positif
8 Sumedang 2,29 Negatif 21 Kota Depok 0,06 Negatif
9 Ciamis 2,27 Negatif 22 Kota Bekasi 0,04 Negatif
10 Cirebon 2,04 Positif 23 Kota Bogor 0,02 Negatif
11 Indramayu 1,56 Positif 24 Kota Cirebon 0,02 Negatif
12 Kota Banjar 1,29 Positif 25 Kota Bandung 0,01 Negatif
13 Karawang 1,10 Positif 26 Kota Cimahi 0,01 Negatif
Sumber : Hasil Analisis (2011)

5.1.2. Potensi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Unggulan


Kabupaten Majalengka

Identifikasi komoditas pertanian unggulan Kabupaten Majalengka ini perlu


dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah berbasis sektor pertanian
khususnya sub sektor tanaman bahan makanan yang merupakan salah satu
subsektor yang memiliki potensi untuk menggerakkan perekonomian wilayah di
Kabupaten Majalengka.
Ukuran keunggulan yang digunakan dalam tulisan ini adalah keunggulan
komparatif dan kompetitif yang didasarkan atas nilai LQ dan SSA dengan
83

menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman
pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas
buah-buahan. Data-data tersebut digunakan sebagai representasi dari sumberdaya
lokal yang dimiliki. Cakupan wilayah analisis adalah Kabupaten/Kota se-Jawa
Barat, sedangkan data yang digunakan adalah data-data pada Tahun 2005 dan
2009.
Kriteria penilaian dalam menentukan komoditas basis/keunggulan
komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1),
maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, sedangkan
apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti komoditas tersebut termasuk ke
dalam komoditas non basis/bukan unggulan.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas tanam
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas lahan yang digunakan untuk
usahatani suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut
unggul dalam aspek luas lahan yang digunakan untuk budidaya.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas panen
menggambarkan bahwa ada pemusatan luas panen suatu komoditas. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek frekuensi panen
yang juga berarti komoditas tersebut sangat produktif.
Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel produksi
menggambarkan bahwa ada pemusatan jumlah produksi dari suatu komoditas. Hal
ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek jumlah produksi
Adapun hasil analisis LQ untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang unggul secara komparatif
dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada dua komoditas yaitu
jagung dan kacang hijau. Komoditas lainnya, seperti padi hanya unggul pada
aspek produksi, kedelai unggul dari aspek luas panen dan produksi sedangkan
komoditas kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu tidak unggul dari aspek ketiganya
yaitu aspek luas tanam, luas panen maupun produksi.
84

Tabel 22. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten


Majalengka
Nilai LQ
No Komoditas
Luas Tanam Luas Panen Produksi
1 Padi 0,97 0,97 1,03
2 Jagung 1,91 2,15 2,32
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Hasil analisis LQ untuk komoditas sayuran di Kabupaten Majalengka


secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek luas tanam terdapat 6 komoditas dari 20 jenis
komoditas sayuran yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu.
Keenam komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Hal ini menunjukkan
bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut merupakan komoditas sayuran
Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek luas
tanam.

Tabel 23. Nilai LQ Luas Tanam Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 3,95
2 Bawang Daun 2,48
3 Kembang Kol 1,15
4 Cabe Rawit 1,13
5 Kubis 1,10
6 Cabe Besar 1,05
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek luas panen, terdapat 5 komoditas sayuran yang
memiliki nilai LQ lebih dari satu. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada
Tabel 24. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek luas panen.
85

Tabel 24. Nilai LQ Luas Panen Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 4,06
2 Bawang Daun 2,36
3 Cabe Rawit 1,42
4 Cabe Besar 1,18
5 Kubis 1,08
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Namun, apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 3 komoditas sayuran


yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ketiga komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 25. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga komoditas sayuran tersebut
merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan
komparatif dari aspek jumlah produksi.

Tabel 25. Nilai LQ Produksi Komoditas Sayuran (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Bawang Merah 6,44
2 Bawang Daun 3,74
3 Cabe Rawit 1,10
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu baik dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
bawang merah, bawang daun dan cabe rawit.
Hasil analisis LQ untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 15 komoditas dari 22 jenis
komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari
satu. Kelima belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Hal ini
menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah pohon yang
ditanam.
86

Tabel 26. Nilai LQ Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Melinjo 8,06
2 Mangga 4,49
3 Nangka 3,26
4 Alpukat 3,10
5 Petai 2,70
6 Belimbing 2,38
7 Sukun 2,30
8 Durian 2,12
9 Jambu Biji 2,02
10 Jambu Air 1,99
11 Jeruk 1,31
12 Pisang 1,26
13 Pepaya 1,09
14 Sawo 1,04
15 Sirsak 1,01
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas buah-buahan


yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ke tujuh komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 27. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terlalu banyak komoditas buah-
buahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari
aspek jumlah produksi apabila dibandingkan dengan aspek jumlah pohon.

Tabel 27. Nilai LQ Produksi Komoditas Buah-buahan (>1)


No. Komoditas Nilai LQ
1 Melinjo 9,73
2 Mangga 3,56
3 Petai 2,45
4 Alpukat 1,59
5 Nangka 1,19
6 Jambu Biji 1,17
7 Jeruk 1,09
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 26 dan Tabel 27 diketahui bahwa ada 7 komoditas yang


memiliki nilai LQ lebih besar dari satu baik dari aspek jumlah pohon dan
produksi. Ketujuh komoditas tersebut adalah melinjo, mangga, alpukat, petai,
nangka, jambu biji dan jeruk.
87

Selain mengetahui keunggulan komparatif yang dimiliki oleh setiap


komoditas pertanian di kabupaten Majalengka perlu pula diketahui bagaimana
tingkat keunggulan kompetitif yang juga menunjukkan kinerja dan tingkat
pertumbuhan dari komoditas-komoditas tersebut. Adapun ukuran yang digunakan
untuk mengetahui komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif dalam
penelitian ini adalah jika komponen differential shift bernilai positif. Hasil analisis
differential shift untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten Majalengka
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Hasil Analisis Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan di


Kabupaten Majalengka
Nilai Differential Shift
No Komoditas
Luas Tanam Luas Panen Produksi
1 Padi -0,33 -0,02 -0,09
2 Jagung 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,23 -0,04 0.08
4 Kacang Tanah -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 0,36 0,31 0.05
6 Ubi Kayu -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan nilai differential shift komoditas tanaman pangan tersebut


dapat diketahui bahwa komoditas yang memiliki pertumbuhan positif dari aspek
luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada 2 komoditas yaitu jagung dan
kacang hijau. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut unggul
secara kompetitif dibandingkan dengan komoditas lainnya dari aspek luas tanam,
luas panen dan jumlah produksinya.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas sayuran di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 5 komoditas yang memiliki nilai
differential shift positif berdasarkan aspek luas tanam. Kelima komoditas tersebut
dapat dilihat pada Tabel 29. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas
sayuran tersebut mengalami pertumbuhan luas tanam yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan komoditas lain sehingga tingkat pertumbuhan luas
tanamnya positif. Oleh karena itu, kelima komoditas tersebut merupakan
88

komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif


dari aspek luas tanam.

Tabel 29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Kentang 6,80
2 Terung 0,86
3 Sawi 0,64
4 Tomat 0,50
5 Kembang Kol 0,20
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Apabila dilihat dari aspek luas panen terdapat 6 komoditas sayuran yang
memiliki nilai differential shift positif. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 30. Hal ini menunjukkan bahwa keenam komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan luas panen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, keenam komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas panen.

Tabel 30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,61
2 Sawi 0,58
3 Tomat 0,43
4 Labu siam 0,19
5 Wortel 0,03
6 Kembang kol 0,005
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas sayuran yang


memiliki nilai differential shift positif. Ketujuh komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 31. Hal ini menunjukkan bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut
mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena
itu, ketujuh komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten
Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek produksi.
89

Tabel 31. Differential Shift Produksi Komoditas Sayuran Yang Positif


No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Terung 0,99
2 Buncis 0,26
3 Kacang panjang 0,25
4 Sawi 0,17
5 Kentang 0,10
6 Bawang merah 0,09
7 Kembang Kol 0,02
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 29, Tabel 30 dan Tabel 31 dapat dilihat bahwa ada tiga
jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah
terung, sawi dan kembang kol.
Hasil analisis differential shift untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten
Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 16
komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki
nilai differential shift positif. Keenam belas belas komoditas tersebut dapat dilihat
pada Tabel 32.
.
Tabel 32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang
Positif
No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Sukun 0,91
2 Mangga 0,58
3 Alpukat 0,55
4 Salak 0,53
5 Sawo 0,41
6 Jambu biji 0,38
7 Petai 0,36
8 Durian 0,25
9 Nenas 0,21
10 Pepaya 0,13
11 Pisang 0,11
12 Melinjo 0,05
13 Nangka 0,05
14 Dukuh 0,04
15 Rambutan 0,04
16 Sirsak 0,03
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
90

Hal ini menunjukkan bahwa keenam belas komoditas sayuran tersebut


mengalami pertumbuhan jumlah pohon yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh
karena itu, keenam belas komoditas tersebut merupakan komoditas buah-buahan
Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek jumlah
pohon. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-
buahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari
aspek jumlah pohon yang ditanam.
Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 12 komoditas buah-
buahan yang memiliki nilai differential shift positif. Kedua belas komoditas
tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belas
komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat
pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, kedua belas komoditas tersebut
merupakan komoditas buah-buahan Kabupaten Majalengka yang memiliki
keunggulan kompetitif dari aspek produksi.

Tabel 33. Differential Shift Produksi Komoditas Buah-buahan Yang Positif


No. Komoditas Nilai Differential Shift
1 Manggis 1,99
2 Melinjo 1,75
3 Jambu biji 1,21
4 Petai 0,93
5 Jambu Air 0,82
6 Mangga 0,48
7 Salak 0,47
8 Alpukat 0,45
9 Rambutan 0,42
10 Pisang 0,31
11 Sukun 0,23
12 Jeruk 0,15
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)

Berdasarkan Tabel 32 dan Tabel 33 dapat dilihat bahwa ada sembilan jenis
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai differential shift positif baik dari
aspek jumlah pohon dan produksi. Komoditas-komoditas tersebut adalah mangga,
alpukat, sukun, salak, jambu biji, petai, pisang, melinjo dan rambutan.
91

Hasil analisis LQ dan shift share dari luas tanam, luas panen, produksi dan
jumlah pohon kemudian dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif
dan kompetitifnya. Pengelompokkan komoditas-komoditas tersebut disajikan
dalam bentuk matriks daya saing.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas tanam tersaji pada
Gambar 13.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kedelai - Jagung
- Kentang - Kacang hijau

Postif
- Sawi - Kembang kol
- Tomat

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung

- Padi
- Kacang tanah - Bawang merah

Negatif
- Ubi kayu - Bawang daun
- Ubi jalar - Kubis
- Wortel - Cabe besar
- Lobak - Cabe rawit
- Kacang merah
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung

Gambar 13. Matriks Daya Saing Luas Tanam Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas tanam diatas terdapat
tiga komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas tanam yaitu jagung,
kacang hijau dan kembang kol.
Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas panen tersaji pada
Gambar 14. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas panen tersebut
terdapat dua komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena
92

memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas panen
yaitu jagung dan kacang hijau.

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis

- Kembang kol - Jagung


- Sawi - Kacang hijau

Positif
- Wortel
- Tomat

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Terung
- Labu siam

- Padi
- Kacang tanah - Kedelai

Negatif
- Ubi kayu - Bawang merah
- Ubi jalar - Bawang daun
- Kentang - Kubis
- Lobak - Cabe besar
- Kacang merah - Cabe rawit
- Kacang panjang
- Buncis
- Ketimun
- Kangkung

Gambar 14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman
Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Adapun hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan produksi tersaji


pada Gambar 15. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan produksi
tersebut terdapat sepuluh jenis komoditas yang memiliki potensi dan daya saing
tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek
produksi yaitu jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji,
jeruk, mangga, melinjo dan petai.
93

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Kentang - Jagung
- Kembang kol - Kedelai
- Sawi - Kacang hijau
- Kacang panjang - Bawang merah
- Terung - Alpukat

Positif
- Buncis - Jambu biji
- Jambu air - Jeruk

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Manggis - Mangga
- Pisang - Melinjo
- Rambutan - Petai
- Sukun
- Salak
- Kacang tanah - Belimbing
- Ubi kayu - Duku - Padi

Negatif
- Ubi jalar - Durian - Bawang daun
- Kubis - Jeruk Besar - Cabe rawit
- Wortel - Nenas - Nangka
- Lobak - Pepaya
- Kacang merah - Sawo
- Cabe besar - Markisa
- Tomat - Sirsak
- Ketimun
- Labu siam
- Kangkung

Gambar 15. Matriks Daya Saing Produksi Komoditas Subsektor Tanaman


Bahan Makanan Kabupaten Majalengka

Adapun hasil pengelompokkan komoditas buah-buahan berdasarkan


jumlah pohon tersaji pada Gambar 16. Dari matriks daya saing komoditas buah-
buahan berdasarkan jumlah pohon terdapat 12 jenis komoditas yang memiliki
potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif dari aspek jumlah pohon yaitu alpukat, mangga, durian, jambu biji,
pisang, nangka, papaya, sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun.
94

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Komoditas Non basis Komoditas Basis
- Duku - Alpukat
- Nenas - Mangga
- Sawi - Durian
- Rambutan - Jambu biji

KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Salak - Pisang

Positif
- Nangka
- Pepaya
- Sawo
- Melinjo
- Petai
- Sirsak
- Sukun

- Jeruk besar - Belimbing

Negatif
- Manggis - Jambu air
- Markisa - Jeruk

Gambar 16. Matriks Daya Saing Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan


Kabupaten Majalengka

Berdasarkan matriks daya saing, maka untuk komoditas non basis tetapi
memiliki nilai differential shift positif (kuadran II), komoditas-komoditas tersebut
sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
pertumbuhan yang diatas rata-rata pertumbuhan komoditas lain maupun
komoditas sejenis di wilayah lain di provinsi Jawa Barat. Hanya saja diperlukan
usaha untuk terus meningkatkan kapasitasnya secara keseluruhan agar menjadi
komoditas basis. Begitupula dengan komoditas yang berada di kuadran IV (basis
tetapi differential shift negatif), komoditas ini sebetulnya masih memiliki potensi
untuk dikembangkan karena memiliki aktivitas yang memusat (basis), hanya saja
diperlukan usaha untuk meningkatkan aktivitas tersebut agar mengalami
peningkatan/pertumbuhan dari tahun ke tahun secara positif.
Selain memiliki potensi luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah
pohon atas komoditas-komoditas diatas, Kabupaten Majalengka juga memiliki
potensi atas beberapa komoditas yang menjadi varietas unggul. Menurut Dirjen
Hortikultura (2010), varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh
95

pemerintah yang Surat Keputusannya ditandatangani oleh Mentri Pertanian.


Keunggulan varietas itu sendiri dicirikan oleh adanya superioritas dan atau
keunikan satu atau lebih karakter yang dibuktikan dari hasil pengujian dengan
mengikuti prosedur baku. Beberapa varietas unggulan Kabupaten Majalengka
tersebut adalah Perwira, Bokor dan Siriwig untuk komoditas Durian dan Gedong
untuk komoditas mangga. Adapun nomor Keputusan Mentri Pertanian tentang
pelepasan masing-masing varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34. Nomor SK Pelepasan Varietas Tanaman Buah Unggulan Kab.


Majalengka
No. Jenis/Varietas No. KEPMENTAN Pengusul
I Durian BPSBTPH Jabar
1 Perwira 458/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
2 Bokor 460/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
3 Siriwig 461/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar
II Mangga
1 Gedong 28/Kpts/TP.240/I/1995 BPSBTPH Jabar
Sumber : Dirjen Hortikultura, (2011)

5.2. Peranan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Perekonomian


Kabupaten Majalengka
Peranan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah
Kabupaten Majalengka dapat diketahui melalui analisis Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan analisis Input-Output (I-O). Analisis PDRB
digunakan untuk mengetahui struktur perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 sedangkan analisis I-O digunakan untuk mengetahui keterkaitan
sektoral dan multiplier effect.
Analisis I-O yang dilakukan dalam pembahasan ini didasarkan pada Tabel I-
O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang diperoleh dari hasil RAS Tabel I-O
Kabupaten Ciamis 2008. Metode RAS dilakukan atas asumsi ada kemiripan
struktur ekonomi antar Kabupaten Ciamis dengan Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Ciamis dipilih karena berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan,
Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang berasal dari hasil RAS Tabel
I-O Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 kurang memiliki kemiripan struktur
perekonomian dengan kondisi yang ada di Kabupaten Majalengka. Hal tersebut
terlihat dari adanya dominasi sektor-sektor urban dalam struktur
96

perekonomiannya. Adapun Tabel I-O Kabupaten Majalengka yang diperoleh


berdasarkan hasil RAS dari Tabel I-O Kabupaten Ciamis menunjukkan adanya
peran sektor pertanian dalam perekonomiannya sehingga dianggap lebih
mempunyai kemiripan struktur perekonomian dengan Kabupaten Majalengka.

5.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009


Salah satu indikator yang dapat menggambarkan perekonomian wilayah
adalah PDRB. Data PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang
mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah
atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh
unit ekonomi (BPS Majalengka, 2010). Pada Tabel 35 ditampilkan data PDRB
menurut lapangan usaha Kabupaten Majalengka Tahun 2007 – 2009 atas dasar
harga konstan Tahun 2000. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada
Tahun 2007 sampai Tahun 2009, sektor perekonomian yang menjadi
penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka adalah sektor pertanian.
Apabila dilihat lebih jauh maka sektor pertanian yang menjadi penyumbang
terbesar adalah subsektor tanaman bahan makanan. Adapun lima sektor
penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka dalam kurun waktu
2007-2009 berturut-turut adalah subsektor tanaman bahan makanan, industri non
migas, perdagangan besar dan eceran, pemerintahan umum dan pertahanan serta
restoran.
Tabel 36 menampilkan persentase nilai PDRB sektor-sektor perekonomian
di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang terdiri dari 28 sektor dengan
subsektor tanaman bahan makanan yang dirinci per komoditas. Pemecahan sektor
perekonomian menjadi 28 sektor ini karena disesuaikan dengan sektor-sektor yang
ada dalam Tabel I-O Kabupaten Ciamis Tahun 2008 yang menjadi dasar/basis
untuk penyusunan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Untuk
subsektor tanaman bahan makanan dipecah menjadi enam sektor yang terdiri dari
padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
97

Tabel 35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah)
No Lapangan Usaha 2007 2008 2009
1 PERTANIAN 1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86
a. Tanaman Bahan Makanan 929.860,01 961.993,28 1.005.886,04
b. Tanaman Perkebunan 38.294,44 39.596,47 40.575,39
c. Peternakan dan hasil-hasilnya 97.494,29 103.072,99 108.488,65
d. Kehutanan 6.178,61 6.351,61 5.976,59
e. Perikanan 22.079,91 22.634,36 24.047,19
2 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 159.586,22 166.138,45 162.266,81
a. Minyak dan Gas Bumi 79.999,73 83.519,72 72.402,41
b. Pertambangan Tanpa Migas - - -
c. Penggalian 79.586,49 82.618,73 89.864,40
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 657.996,42 691.093,64 724.330,61
a. Industri Migas - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - -
2. Gas Alam Cair - - -
b. Industri Non Migas 657.996,42 691.093,64 724.330,61
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 26.149,82 27.540,86 28.810,28
a. Listrik 24.581,92 25.835,14 26.997,72
b. Gas - - -
c. Air Bersih 1.567,90 1.705,72 1.812,56
5 BANGUNAN 175.415,37 185.168,46 195.870,26
6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 756.470,52 797.726,95 838.517,68
a. Perdagangan Besar dan Eceran 518.476,56 547.326,06 573.594,47
b. H o t e l 1.419,45 1.453,53 1.516,95
c. Restoran 236.574,51 248.947,36 263.406,26
7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 250.435,89 260.476,07 271.937,70
a. Angkutan 218.909,88 226.173,66 236.860,72
1. Angkutan Rel - - -
2. Angkutan Jalan Raya 203.174,35 209.818,15 219.799,89
3. Angkutan Laut - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. - - -
5. Angkutan Udara - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 15.735,53 16.355,51 17.060,83
b. Komunikasi 31.526,01 34.302,41 35.076,98
8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN 219.085,84 229.950,11 240.097,64
a. Bank 83.767,96 88.151,52 92.341,18
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank 19.121,65 20.305,72 21.016,42
c. Jasa Penunjang Keuangan - - -
d. Sewa Bangunan 96.859,03 101.285,49 105.737,04
e. Jasa Perusahaan 19.337,20 20.207,38 21.003,00
9 JASA-JASA 526.643,19 550.497,06 579.121,25
a. Pemerintahan umum & pertahanan 384.323,14 399.104,80 419.799,12
b. Swasta 142.320,05 151.392,26 159.322,13
1) Sosial Kemasyarakatan 26.190,13 27.559,87 28.817,80
2) Hiburan dan Rekreasi 7.850,60 8.211,73 8.507,05
3) Perorangan dan Rumah tangga 108.279,32 115.620,66 121.997,28
PDRB DENGAN MINYAK DAN GAS BUMI 3.865.690,53 4.042.240,31 4.225.926,09
PDRB TANPA MINYAK DAN GAS BUMI 3.785.690,80 3.958.720,59 4.153.523,68
Sumber : PDRB Kabupaten Majalengka Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009
98

Tabel 36. Persentase Sumbangan Sektoral Terhadap PDRB Kabupaten


Majalengka Tahun 2009 Atas Dasar Harga Konstan
Nilai Persentase
No Sektor Perekonomian
(Juta Rupiah) (%)
1 Industri Pengolahan 724,330.61 17.14
2 Perdagangan Besar dan Eceran 573,594.47 13.57
3 Padi 571,755.68 13.53
4 Pemerintahan umum dan Pertahanan 419,799.12 9.93
5 Restoran 263,406.26 6.23
6 Angkutan Jalan Raya 219,799.89 5.20
7 Bangunan 195,870.26 4.63
8 Sayur-sayuran 193,180.41 4.57
9 Pertambangan dan Penggalian 162,266.81 3.84
10 Buah-buahan 127,978.88 3.03
11 Jasa Perorangan dan Rumah Tangga 121,997.28 2.89
12 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 113,357.60 2.68
13 Peternakan dan hasil-hasilnya 108,488.65 2.57
14 Sewa Bangunan 105,737.04 2.50
15 Jagung 68,983.66 1.63
16 Tanaman Perkebunan 40,575.39 0.96
17 Komunikasi 35,076.98 0.83
18 Bahan makanan lainnya 32,842.18 0.78
19 Jasa Sosial Kemasyarakatan 28,817.80 0.68
20 Listrik 26,997.72 0.64
21 Perikanan 24,047.19 0.57
22 Jasa Perusahaan 21,003.00 0.50
23 Jasa Penunjang Angkutan 17,060.83 0.40
24 Ubi Kayu 11,145.22 0.26
25 Jasa Hiburan dan Rekreasi 8,507.05 0.20
26 Kehutanan 5,976.59 0.14
27 Air Bersih 1,812.56 0.04
28 Hotel 1,516.95 0.04

Total 4,225,926.09 100.00


Sumber : Diolah dari Majalengka dalam Angka 2010

Berdasarkan tabel 36, besarnya perananan subsektor tanaman bahan


makanan adalah sebagai berikut : padi berkontribusi sebesar 13,53 %, menempati
urutan ke-3, sayur-sayuran berkontribusi sebesar 4,57%, menempati urutan ke-8,
buah-buahan berkontribusi sebesar 3,03%, menempati urutan ke-10, jagung
berkontribusi sebesar 1,63%, menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya
berkontribusi sebesar 0,78%, menempati urutan ke-18 dan ubi kayu berkontribusi
sebesar 0,26% serta menempati urutan ke-24. Kontribusi keenam jenis komoditas
sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila digabungkan mencapai 23,80%
99

dari total PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 atau menempati peringkat
ke-1 dari 23 sektor perekonomian
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah; sektor industri
pengolahan (17,14%), perdagangan besar dan eceran (13,57%), padi (13,53%),
pemerintahan umum dan pertahanan (9,93%) dan restoran (6,23%). Sektor
industri pengolahan menempati peringkat tertinggi karena di Kabupaten
Majalengka terdapat beberapa industri yang cukup berkembang. Industri-industri
tersebut diantaranya adalah industri genteng yang banyak terkonsentrasi di
Kecamatan Jatiwangi, kerajinan rotan yang banyak terdapat di Kecamatan
Rajagaluh dan industri pengolahan makanan yang banyak terdapat di Kecamatan
Cikijing. Selain itu sektor industri pengolahan itu sendiri merupakan salah satu
sektor yang tergolong cepat memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Selain melalui PDRB, peranan sektor ekonomi dapat dilihat melalui
analisis Tabel input-output. Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun
2009 terdiri atas 28 sektor yaitu : (1) padi, (2) jagung, (3) ubi kayu, (4) buah-
buahan, (5) sayur-sayuran, (6) bahan makanan lainnya, (7) tanaman perkebunan,
(8) peternakan dan hasil-hasilnya, (9) kehutanan, (10) perikanan, (11)
pertambangan dan penggalian, (12) industri pengolahan, (13) listrik, (14) air
bersih, (15) bangunan, (16) perdagangan besar dan eceran, (17) hotel, (18)
restoran, (19) angkutan jalan raya, (20) jasa penunjang angkutan, (21)
komunikasi, (22) bank dan lembaga keuangan lainnya, (23) sewa bangunan, (24)
jasa perusahaan, (25) pemerintahan umum dan pertahanan, (26) jasa sosial
kemasyarakatan, (27) jasa hiburan dan rekreasi dan (28) jasa perorangan dan
rumah tangga. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel
input-output Tahun 2009 yang terdiri dari 28x28 sektor disajikan pada Tabel 37.
Berdasarkan Tabel 37 tersebut dapat diketahui bahwa dari struktur output
Kabupaten Majalengka sebesar Rp 7.437.306,17 juta, sebanyak 26,99% (Rp
2.007.422,80 juta) merupakan permintaan antara dan sebanyak 73,01% (Rp
5.429.883,37 juta) merupakan permintaan akhir. Secara umum, komponen
permintaan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap dan perubahan stok menggambarkan transaksi
100

domestik, sedangkan komponen ekspor menggambarkan kegiatan transaksi antar


wilayah.
Besarnya nilai permintaan akhir dibandingkan dengan permintaan antara
menggambarkan besarnya permintaan terhadap sektor-sektor ekonomi untuk
keperluan konsumsi, pemerintah, investasi dan ekspor. Nilai permintaan antara
yang kecil menggambarkan kecilnya permintaan yang terjadi antar sektor
ekonomi yang berarti menunjukkan lemahnya keterkaitan antar sektor ekonomi
dalam daerah sehingga akumulasi nilai tambah tidak terjadi di dalam wilayah.

Tabel 37. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Berdasarkan Tabel I-O


Jumlah Persentase
No. Uraian
(Juta Rupiah) (%)
Struktur Output
1 Jumlah Permintaan Antara 2.007.422,80 26,99
2 Jumlah Permintaan Akhir 5.429.883,37 73,01
3 Total Output 7.437.306,17 100,00
Struktur Input
4 Jumlah Input Antara 2.007.422,80
5 Jumlah Input Primer/Nilai Tambah Bruto 121.997,28 100,00
- Upah dan Gaji 36.879,18 30,23
- Surplus Usaha 73.480,52 60,23
- Penyusutan 6.997,97 5,74
- Pajak Tak Langsung 4.639,60 3,80
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Struktur Tabel I-O dengan nilai total output yang lebih banyak
dialokasikan sebagai permintaan akhir menunjukkan bahwa output yang ada
cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung baik oleh masyarakat
maupun belanja pemerintah, investasi dan langsung diekspor daripada digunakan
untuk transaksi antar sektor dalam proses produksi.
Berdasarkan struktur inputnya, perekonomian Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 terdiri atas input antara sebesar 94,27% (Rp 2.007.422,80 juta) dan
input primer sebesar 5,73% ( Rp 121.997,28 juta). Input primer merupakan selisih
antara total input dengan input antara. Input primer sering disebut juga nilai
tambah bruto (NTB). Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa pemakaian
faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha,
101

penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan struktur input primer atau NTB,
sebanyak 30,23% dari NTB merupakan upah gaji (Rp 36.879,18 juta), 60,23%
merupakan surplus usaha (Rp 73.480,52 juta), 5,74% merupakan penyusutan (Rp
6.997,97 juta) dan 3,80% adalah pajak tak langsung (Rp 4.639,60 juta).
Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau
keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Investasi akan
bermanfaat bagi suatu daerah jika dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal yang ada di daerah tersebut. Adapun struktur tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Pada Tabel 38 ditampilkan total output tiap sektor berdasarkan Tabel I-O
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut, maka peran
subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memberikan
kontribusi sebesar Rp 684.744,12 juta atau 9,21%, sayur-sayuran memberikan
kontribusi sebesar Rp. 233.993,77 juta atau 3,15%, buah-buahan memberikan
kontribusi sebesar Rp 150.744,16 juta atau 2,03%, jagung memberikan kontribusi
sebesar Rp 87.616,79 juta atau 1,18%, bahan makanan lainnya memberikan
kontribusi sebesar Rp 37.418,21 juta atau 0,50% dan ubi kayu memberikan
kontribusi sebesar Rp 12.374,13 juta atau 0,17 %. Secara keseluruhan kontribusi
dari keenam komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila
digabungkan adalah sebesar Rp 1.206.891,18 juta atau 16,23% dari total output
seluruh sektor perekonomian atau menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor
perekonomian.
Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap
total output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah : sektor
industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, bangunan, padi serta
pemerintahan umum dan pertahanan. Kontribusi paling besar disumbangkan oleh
sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 1.937.571,83 juta atau 26,05% .
102

Tabel 38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten
Majalengka Tahun 2009
Total Output Persentase
No. Sektor Perekonomian
(Juta rupiah) (%)
1 Industri pengolahan 1.937.571,83 26,05
2 Perdagangan besar dan eceran 800.083,26 10,76
3 Bangunan 687.069,09 9,24
4 Padi 684.744,12 9,21
5 Pemerintahan umum dan pertahanan 681.837,89 9,17
6 Angkutan jalan raya 433.929,60 5,83
7 Restoran 410.117,34 5,51
8 Sayur-sayuran 233.993,77 3,15
9 Peternakan dan hasil-hasilnya 207.747,73 2,79
10 Pertambangan dan penggalian 200.775,78 2,70
11 Perorangan dan rumah tangga 182.386,59 2,45
12 Bank dan lembaga keuangan lainnya 176.271,41 2,37
13 Sewa bangunan 157.957,08 2,12
14 Buah-buahan 150.744,16 2,03
15 Jagung 87.616,79 1,18
16 Listrik 75.661,82 1,02
17 Tanaman perkebunan 51.427,38 0,69
18 Jasa sosial kemasyarakatan 49.757,97 0,67
19 Komunikasi 48.083,54 0,65
20 Perikanan 47.874,81 0,64
21 Bahan makanan lainnya 37.418,21 0,50
22 Jasa perusahaan 31.944,81 0,43
23 Jasa penunjang angkutan 23.020,48 0,31
24 Jasa hiburan dan rekreasi 14.441,16 0,19
25 Ubi kayu 12.374,13 0,17
26 Kehutanan 6.946,69 0,09
27 Hotel 3.078,32 0,04
28 Air bersih 2.430,40 0,03
Jumlah 7.437.306,17 100,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Berdasarkan struktur PDRB dan total output, sektor industri pengolahan


dan perdagangan besar dan eceran memiliki peran yang cukup besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Peran tersebut akan menjadi lebih
baik jika industri pengolahan yang ada merupakan industri yang menggunakan
sumberdaya lokal yang ada di Kabupaten Majalengka.
103

5.2.2. Keterkaitan Sektoral


Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan oleh distribusi
sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah merupakan
salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pengembangan wilayah.
Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan sektoral ini
adalah analisis input-output (I-O). Dari hasil analisis I-O dapat diketahui sektor-
sektor mana saja yang bisa dijadikan leading sector atau sektor pemimpin dalam
pembangunan ekonomi sehingga dengan memfokuskan pembangunan pada
sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik.
Beberapa parameter teknis yang bisa diketahui dari analisis I-O adalah
keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan
langsung dan tidak langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung
ke depan, indeks penyebaran dan indeks kepekaan. Dengan analisis tersebut dapat
diketahui tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor-sektor
perekonomian suatu wilayah. Keunggulan suatu sektor dapat dilihat dari tingkat
keterkaitan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas
perekonomian (Daryanto dan hafizrianda 2010a). Keterkaitan yang kuat dari suatu
sektor ditandai dengan nilai-nilai parameter keterkaitan yang tinggi. Sektor
dengan angka keterkaitan ke belakang yang tinggi menunjukkan bahwa
peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di
belakangnya (hulu). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat
berarti mampu mendorong aktivitas sektor-sektor perekonomian yang ada di
hilirnya.
Adanya keterkaitan antar sektor dapat menunjukkan adanya sinergi yang
baik dalam roda perekonomian suatu wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa antar
sektor ekonomi dapat saling melengkapi dengan memanfaatkan seoptimal
mungkin sumberdaya domestik. Makin kuat keterkaitan antar sektor, makin kecil
ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kemungkinan
terjadinya kebocoran wilayah sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat
dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor
104

pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor


tersebut saling mempengaruhi dalam roda perekonomian (Rustiadi et al. 2009).
Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan banyaknya output suatu
sektor yang digunakan oleh sektor-sektor lain. Keterkaitan ini menunjukkan
akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian
output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Pada Gambar
17 ditampilkan keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage
(DFL) sektor-sektor perekonomian yang ada di Kabupaten Majalengka. Nilai DFL
di atas rata-rata adalah yang memiliki indeks ≥ 1. Berdasarkan Gambar 17
diketahui bahwa sektor yang memiliki nilai DFL ≥ 1 adalah sektor perdagangan
besar dan eceran yaitu memiliki nilai DFL sebesar 1,2292 sedangkan sektor
lainnya memiliki indeks < 1. Urutan sektor yang memiliki nilai DFL tertinggi
adalah (1) perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan
lembaga keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) bangunan.

Gambar 17. Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian


105

Adapun besarnya peran subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan


Gambar 17 adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DFL sebesar 0,2561
menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki nilai DFL sebesar 0,0928
menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DFL sebesar
0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki nilai DFL sebesar 0,0627
menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL sebesar 0,0238 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL sebesar 0,0085 serta
menempati urutan ke-27. Berdasarkan nilai DFL ini maka subsektor tanaman
bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah padi,
buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Ketiga komoditas tersebut memiliki
nilai DFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor
perikanan, tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.

Gambar 18. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian


106

Keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBL)


menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang
menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan
permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian
ditampilkan pada Gambar 18. Nilai DBL di atas rata-rata adalah yang memiliki
nilai indeks ≥1. Berdasarkan gambar tersebut, semua sektor memiliki nilai DBL
<1, hal ini menunjukkan bahwa semua sektor memiliki nilai di bawah rata-rata.
Sektor yang memiliki nilai DBL yang tertinggi adalah sektor industri pengolahan,
hotel dan bangunan.
Adapun besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan
nilai DBLnya secara berurutan adalah sebagai berikut : jagung memiliki nilai
DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai DBL sebesar
0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan memiliki nilai DBL sebesar 0,0967
menempati urutan ke-24, bahan makanan lainnya memiliki nilai DBL sebesar
0,0940 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai DBL sebesar
0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DBL sebesar 0,0639
serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai DBL
diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor kehutanan
yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian.
Hampir semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai DBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DFL-nya, kecuali
sektor padi yang memiliki nilai DFL lebih besar dibandingkan dengan nilai DBL-
nya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi
kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari sektor
lain untuk digunakan sebagai input bagi sektornya daripada dapat menghasilkan
output yang digunakan sebagai input bagi sektor lainnya secara langsung. Berbeda
dengan padi, komoditas ini lebih banyak menghasilkan output yang dapat
digunakan oleh sektor lain sebagai input secara langsung dibandingkan
menggunakan output dari sektor lain untuk digunakan sebagai input sektornya
sendiri.
107

Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan atau Direct Indirect


Forward Linkage (DIFL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut secara langsung dan tidak
langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke depan (DIFL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar
19. Lima sektor yang memiliki nilai DIFL tertinggi berturut-turut adalah (1)
perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan lembaga
keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) padi.

Gambar 19. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor


perekonomian

Berdasarkan Gambar 19 tersebut, besarnya peranan subsektor tanaman


bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DIFL sebesar 1,4751
menempati urutan ke-5, buah-buahan memiliki nilai DIFL sebesar 1,1173
menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DIFL sebesar
1,0960 menempati urutan ke-17, jagung memiliki nilai DIFL sebesar 1,0716
108

menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DIFL sebesar 1,0271 menempati
urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DIFL sebesar 1,0089 serta
menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DIFL ini maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Keempat komoditas
tersebut memiliki nilai DIFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang juga merupakan
bagian dari sektor pertanian.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect
Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung dan
tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada
Gambar 20.

Gambar 20. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor


perekonomian
109

Berdasarkan Gambar 20 tersebut, sektor yang memiliki nilai DIBL


tertinggi adalah sektor industri pengolahan dengan nilai 1,5798. Adapun besarnya
peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : jagung
memiliki nilai DIBL sebesar 1,1772 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai
DIBL sebesar 1,1315 menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai DIBL
sebesar 1,1217 menempati urutan ke-25, bahan makanan lainnya memiliki nilai
DIBL sebesar 1,1110 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai
DIBL sebesar 0,0860 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DIBL
sebesar 1,0814 serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka
komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai DIBL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor
kehutanan yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian.
Sebagian besar komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai DIBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DIFL-nya, kecuali
komoditas padi yang memiliki nilai DIFL lebih besar dibandingkan dengan nilai
DIBL-nya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran,
ubi kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari
sektor lain secara langsung dan tidak langsung untuk digunakan sebagai input bagi
sektornya daripada dapat menghasilkan output yang digunakan sebagai input bagi
sektor lainnya. Berbeda dengan komoditas padi, komoditas ini lebih banyak
menghasilkan output yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai input secara
langsung dan tidak langsung dibandingkan menggunakan output dari sektor lain.
Nilai DBL dan DIBL jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi kayu dan
bahan makanan lainnya yang lebih besar dibandingkan dengan nilai DFL dan
DIFL menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut lebih banyak menggunakan
input dari sektor lain daripada outputnya digunakan sebagai input sektor lain.
Nilai DFL dan DIFL padi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
DBL dan DIBL menunjukkan bahwa output komoditas padi lebih banyak
digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lainnya dan lebih sedikit menggunakan
input dari sektor lain.
110

Selanjutnya, sektor-sektor manakah yang terkait dengan komoditas-


komoditas subsektor tanaman bahan makanan secara langsung disajikan pada
Gambar 21, 22, 23 dan 24. Keterkaitan langsung komoditas padi dengan sektor-
sektor lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang di sajikan pada
Gambar 21.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 21. Keterkaitan padi dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan ke depan komoditas padi tertinggi adalah dengan sektor


industri pengolahan. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas padi dengan
industri pengolahan adalah sebesar 87,50% dari total permintaan antara. Hal ini
berarti output komoditas padi banyak digunakan sebagai input oleh industri
pengolahan. Industri pengolahan yang menggunakan input komoditas padi yang
berkembang di Kabupaten Majalengka adalah industri makanan, penggilingan
padi dan pembuatan bata merah. Output komoditas padi yang digunakan dalam
pembuatan bata merah adalah sekam padi, dimana sekam padi diperlukan sebagai
salah satu bahan campuran pembuatan bata merah serta digunakan untuk proses
pembakaran bata merah. Komoditas padi ini juga memiliki keterkaitan ke depan
dengan sektor peternakan dan hasilnya karena limbah dari komoditas padi ini
banyak digunakan sebagai pakan ternak.
Keterkaitan ke belakang komoditas padi tertinggi adalah dengan
komoditas padi itu sendiri diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran.
Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas padi dengan komoditas padi itu
111

sendiri adalah sebesar 65,05% dari total input antara. Komoditas padi ini
memerlukan sarana produksi sebagai inputnya. Pemenuhan kebutuhan akan sarana
produksi (bibit, pupuk, dll) dapat dipenuhi dari sektor padi itu sendiri dan sektor
perdagangan besar dan eceran.
Keterkaitan langsung antara komoditas jagung dengan sektor-sektor
lainnya baik keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang disajikan pada
Gambar 22. Keterkaitan langsung tertinggi baik keterkaitan langung ke depan
maupun ke belakang komoditas jagung adalah dengan komoditas jagung itu
sendiri. Adapun besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang komoditas jagung
dengan komoditas jagung itu sendiri berturut-turut sebesar 29,30% dari
permintaan antara dan 30,59% dari total input antara. Komoditas jagung banyak
membutuhkan input dari komoditas jagung itu sendiri sebagai benih,
membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta
membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output
komoditas jagung ini juga digunakan untuk sektor perikanan dan peternakan
sebagai pakan ternak serta sebagian diolah oleh industri pengolahan.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 22. Keterkaitan jagung dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan langsung komoditas buah-buahan dengan sektor-sektor


lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang disajikan pada Gambar 23.
112

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang


Gambar 23. Keterkaitan buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya

Keterkaitan tertinggi ke depan maupun ke belakang komoditas buah-


buahan adalah dengan komoditas buah-buahan itu sendiri. Komoditas buah-
buahan banyak membutuhkan input dari komoditas buah-buahan itu sendiri
sebagai benih, membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan
eceran serta membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk
organik. Output komoditas buah-buahan ini juga digunakan oleh sektor jasa sosial
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta hotel dan restoran untuk dikonsumsi.
Selain itu juga sebagian digunakan untuk industri pengolahan. Keterkaitan antara
komoditas sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya baik keterkaitan ke depan
maupun ke belakang di sajikan pada Gambar 24.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan (b) Keterkaitan Langsung ke Belakang

Gambar 24. Keterkaitan sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya


113

Komoditas sayuran memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi dengan


komoditas sayuran itu sendiri. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas sayuran
dengan komoditas sayuran itu sendiri adalah sebesar 77,98% dari total permintaan
antara. Komoditas sayuran ini tidak memiliki keterkaitan ke depan dengan industri
pengolahan melainkan memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor hotel,
restoran, pemerintahan umum, jasa sosial kemasyarakatan serta hiburan dan
rekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran merupakan komoditi
yang lebih banyak dikonsumsi langsung. Komoditas sayuran memiliki keterkaitan
ke belakang yang tinggi dengan sektor perdagangan besar dan eceran, angkutan
jalan raya serta peternakan dan hasil-hasilnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
tersebut mempunyai peran yang besar dalam penyediaan input sarana produksi
bagi komoditas sayuran. Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas sayuran
dengan sektor perdagangan besar dan eceran adalah sebesar 52,35% dari total
input antara
Sektor yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor-
sektor hulu atau hilir baik melalui mekansime transaksi pasar output maupun
pasar input sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi wilayah yang
berkelanjutan. Untuk mengetahui sektor-sektor tersebut dapat dianalisis dengan
menggunakan dua indeks keterkaitan yaitu daya penyebaran dan derajat kepekaan.
Nilai indeks daya penyebaran dan indeks daya kepekaan ini merupakan nilai
keterkaitan kangsung dan tidak langsung yang sudah dinormalkan dengan cara
membagi nilai keterkaitan suatu sektor dengan rata-rata nilai keterkaitan seluruh
sektor. Dari nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan akan
diperoleh indeks daya kepekaan sedangkan dari nilai keterkaitan langsung dan
tidak langsung ke belakang akan diperoleh indeks daya penyebaran.
Indeks daya penyebaran (IDP) menunjukkan kekuatan relatif permintaan
akhir suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor
perekonomian. Nilai indeks daya penyebaran lebih besar dari satu menujukkan
bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan
sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai
input oleh sektor tersebut, sedangkan nilai kurang dari satu menunjukkan bahwa
sektor tersebut kurang mampu menarik sektor hulunya. Pada Gambar 25
114

ditampilkan nilai indeks penyebaran sektor-sektor perekonomian. Berdasarkan


gambar tersebut semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki
nilai IDP kurang dari satu yang menunjukkan bahwa komoditas-komoditas
subsektor tanaman bahan makanan kurang mampu meningkatkan pertumbuhan
produksi bagi sektor-sektor hulunya. Komoditas yang memiliki nilai IDP terbesar
diantara komoditas lain dalam sektor tanaman bahan makanan adalah komoditas
jagung dengan nilai IDP sebesar 0,9395 dan padi dengan nilai IDP sebesar 0,9030.

Gambar 25. Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian

Indeks daya kepekaan (IDK) menunjukkan sumbangan relatif suatu sektor


dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor perekonomian. Nilai indeks
daya kepekaan lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki
kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilirnya yang
memakai input dari sektor tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2009), jika suatu
sektor memiliki karakteristik indeks daya kepekaan > 1, maka sektor tersebut
115

merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi
permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata sektor yang lain. Nilai indeks daya
kepekaan sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 26.

Gambar 26. Nilai Indeks Daya Kepekaan sektor-sektor perekonomian

Pada Gambar 26 terlihat bahwa komoditas padi merupakan satu-satunya


komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki IDK lebih besar dari
satu (1,1773). Artinya komoditas padi ini merupakan komoditas yang strategis
dan memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor
hilirnya. Komoditas jagung, ubi kayu, buah-buahan, sayur-sayuran dan bahan
makanan lainnya memiliki nilai IDK kurang dari satu. Hal ini menunjukkan
bahwa komoditas-komoditas tersebut kurang mampu mendorong pertumbuhan
sektor hilirnya.
116

Komoditas dengan nilai Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Daya
Kepekaan (IDK) tinggi merupakan suatu komoditas yang memiliki basis domestik
yang baik dari sisi input maupun output. Artinya komoditas-komoditas tersebut
lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestiknya
dan lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari
sektor produksi domestik. Dengan kata lain komoditas tersebut lebih sedikit
menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk
memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan
indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain.
Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan
cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya.
Berdasarkan IDP dan IDK, komoditas subsektor tanaman bahan makanan
di Kabupaten Majalengka yang memiliki basis domestik yang baik hanyalah
komoditas padi. Komoditas padi ini memiliki basis domestik dari sisi output.
Artinya komoditas ini lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi
kebutuhan input antara sektor-sektor domestik. Selain itu komoditas ini juga
merupakan komoditas yang akan cepat terpengaruh dengan adanya perubahan di
sektor lainnya.

5.2.3. Multiplier Effect


Multiplier terbagi menjadi multiplier Tipe I dan multiplier Tipe II.
Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief (I-A)-1, dimana
sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous, sedangkan multiplier Tipe II
tidak hanya menghitung dampak langsung dan tidak langsung, tetapi termasuk
pula dampak induksi, yaitu dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga
akibat peningkatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Analisis
multiplier effect yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier
Tipe I.
Analisis multiplier effect dari sektor-sektor perekonomian wilayah
Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel I-O Tahun 2009 terdiri atas multiplier
output, NTB, pendapatan (income) dan pajak tak langsung.
117

5.2.3.1. Multiplier Effect Output


Multiplier Effect Output menunjukkan dampak meningkatnya permintaan
akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah. Hasil
analisis Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian disajikan pada
Gambar 27.

Gambar 27. Nilai Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa peran


komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan terhadap output
perekonomian adalah : jagung memiliki nilai multiplier effect output sebesar
1,1772 yang menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai multiplier effect output
sebesar 1,1315 yang menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,1217 yang menempati urutan ke-25, bahan
makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1110 yang
menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier effect output
118

sebesar 1,0860 yang menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect output sebesar 1,0814 yang menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect output tersebut maka komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan
adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan komoditas lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect output jagung sebesar 1,1772 berarti bahwa setiap
peningkatan permintaan akhir jagung sebesar satu satuan, maka output
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka akan meningkat sebesar ekivalen
1,1772. Dengan kata lain, apabila permintaan akhir jagung meningkat 1 milyar
rupiah maka dampak terhadap perekonomian wilayah (output) meningkat sebesar
1,1772 milyar rupiah.

5.2.3.2. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto


Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB Multiplier adalah
dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan NTB.
Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB adalah input primer yang merupakan
bagian dari input secara keseluruhan. Dalam tabel I-O diasumsikan NTB atau
PDRB berhubungan dengan output secara linier. Artinya peningkatan atau
penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan atau penurunan
NTB.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui besarnya peranan subsektor
tanaman bahan makanan terhadap peningkatan nilai tambah bruto/PDRB yaitu
komoditas jagung memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1447 menempati
urutan ke-18, padi memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1189 menempati
urutan ke-20, bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier NTB sebesar
1,0965 menempati urutan ke-24, buah-buahan memiliki nilai multiplier NTB
sebesar 1,0953 menempati urutan ke-25, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier
NTB sebesar 1,0660 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai
multiplier NTB sebesar 1,0597 menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai
multiplier NTB tersebut maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
119

memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua
komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas
tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai
diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari
sektor pertanian.
Nilai NTB multiplier jagung sebesar 1,1447 berarti bahwa apabila
permintaan akhir komoditas jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak
terhadap nilai tambah/PDRB akan meningkat sebesar 1,1447 milyar rupiah.
Multiplier Effect NTB/PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 28.

Gambar 28. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (PDRB)


sektor-sektor perekonomian
120

5.2.3.3. Multiplier Effect Pendapatan


Nilai dari Multiplier Effect Pendapatan menunjukkan dampak
meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan
rumah tangga di suatu wilayah. Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor
perekonomian di Kabupaten Majalengka ditampilkan pada Gambar 29.

Gambar 29. Multiplier Effect pendapatan sektor-sektor perekonomian

Dari Gambar 29 dapat diketahui besarnya peranan subsektor tanaman


bahan makanan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga yaitu komoditas
jagung memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,2260 menempati
urutan ke-15, buah-buahan memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,2201 menempati urutan ke-16, ubi kayu memiliki nilai multiplier effect
pendapatan sebesar 1,1503 menempati urutan ke-21, padi memiliki nilai multiplier
effect pendapatan sebesar 1,1437 menempati urutan ke-22, sayur-sayuran
memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,1309 menempati urutan ke-
121

26 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar
1,1127 menempati urutan ke-28.
Berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan tersebut maka komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas
unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya
dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan
dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Nilai multiplier effect pendapatan untuk komoditas jagung bernilai 1,2260
berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas jagung
sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di
sektor komoditas jagung sebanyak 1,2260 kali. .
Selain itu, berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan terlihat bahwa
untuk komoditas ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pendapatan pada urutan
ke-3 diantara komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan menempati posisi
diatas komoditas padi, hal ini karena komoditas ubi kayu merupakan komoditas
yang relatif mudah ditanam dan tidak terlalu membutuhkan banyak input serta
perlakuan khusus dalam membudidayakannya tetapi hasilnya sangat dibutuhkan
untuk konsumsi penduduk maupun untuk bahan baku industri sehingga dapat
memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Adapun komoditas padi
merupakan komoditas yang menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat
sehingga campur tangan pemerintah dalam mengendalikan komoditas ini cukup
besar termasuk dalam pengendalian harga jual yang mengakibatkan komoditas
padi tidak memberikan multipier effect yang besar terhadap peningkatan
pendapatan.

5.2.3.4. Multiplier Effect Pajak Tak Langsung


Adanya sumber pendapatan yang terbatas di daerah untuk melaksanakan
pembangunan mengharuskan pemerintah daerah mampu mengelola potensi
sumber-sumber pendapatan yang ada di daerah. Salah satu potensi sumber
pendapatan daerah adalah pajak sebagai bagian dari penerimaan asli daerah.
Multiplier Effect pajak tak langsung menunjukkan dampak meningkatnya
122

permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung pada
sektor tersebut. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir pada suatu
sektor tertentu sebesar satu rupiah, maka akan berdampak pada meningkatnya
pajak tak langsung sebesar nilai pengganda pajak di sektro tersebut. Nilai
multiplier effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Majalengka ditampilkan pada Gambar 30.

Gambar 30. Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian

Dari nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut dapat diketahui
besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pajak
tak langsung adalah : komoditas buah-buahan memiliki nilai multiplier effect
pajak sebesar 1,5827 menempati urutan ke-11, jagung memiliki nilai multiplier
effect pajak sebesar 1,4884 menempati urutan ke-13, ubi kayu memiliki nilai
multiplier effect pajak sebesar 1,2911 menempati urutan ke-17, padi memiliki
nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2145 menempati urutan ke-20, sayur-
123

sayuran memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1925 menempati urutan
ke-22 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar
1,1536 menempati urutan ke-24. Nilai multiplier effect pajak untuk komoditas
buah-buahan bernilai 1,5827 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan
akhir komoditas buah-buahan sebesar satu satuan akan meningkatkan pajak tak
langsung sebesar ,1536 kali.
Berdasarkan nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut maka
komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai
komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan
lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan
yang merupakan bagian sektor pertanian.
Hotel memiliki nilai multiplier effect pajak tak langsung yang paling
tinggi, hal ini karena tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 merupakan
hasil turunan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, sehingga hasil
perhitungan multiplier effect pajak tak langsung sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki potensi kunjungan
wisata yang tinggi karena memiliki beberapa obyek wisata andalan seperti pantai
pangandaran, batu hiu, karang nini dan green canyon (cukang taneuh). Hal
tersebut menjadi potensi yang dapat mengakibatnya tingginya nilai multiplier
effect pajak tak langsung dari sektor hotel. Adapun untuk Kabupaten Majalengka
multiplier effect pajak tak langsung sektor hotel yang tinggi kurang mencerminkan
kondisi yang ada di lapangan hal ini salah satu penyebabnya karena potensi wisata
di Kabupaten Majalengka masih rendah.
Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui
analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum komoditas-komoditas subsektor
tanaman bahan makanan masih memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect
yang rendah, sehingga upaya pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
yang dapat dilakukan dalam mewujudkannya menjadi salah satu sektor unggulan
yang strategis adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan
makanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah Kabupaten
Majalengka.
124

Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-


sektor lain dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik peningkatan keterkaitan ke
belakang maupun ke depan. Peningkatan keterkaitan ke belakang subsektor
tanaman bahan makanan dengan subsektor peternakan misalnya adalah dengan
pengembangan program komoditas tanaman bahan makanan organik dengan cara
memanfaatkan penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk organik. Keterkaitan
dengan industri pengolahan misalnya dengan pengembangan industri kemasan
dan labelling untuk meningkatkan nilai jual komoditas-komoditas tanaman bahan
makanan. Dan keterkaitan dengan sektor bank dan lembaga keuangan lainnya
dalam bentuk kemudahan untuk mengakses kredit atau pinjaman modal usaha.
Adapun peningkatan keterkaitan ke depan subsektor tanaman bahan
makanan dapat dilakukan dengan cara pengembangan industri pengolahan hasil
pertanian yang menggunakan bahan baku lokal, peningkatan keterkaitan dengan
sektor restoran dengan himbauan untuk menggunakan bahan baku lokal sebagai
menu hidangannya, pengembangan sektor perdagangan besar dan eceran maupun
sektor angkutan yang dapat menunjang mobilitas hasil-hasil pertanian.

5.3. Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan di


Kabupaten Majalengka
Pengembangan komoditas ungulan daerah merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat dalam rangka
meningkatkan perekonomian dan pengembangan wilayah. Penetapan komoditas
unggulan daerah diperlukan agar program dan kebijakan pembangunan serta
pemanfaatan sumberdaya pertanian lebih efektif dan efisien karena terfokus pada
pengembangan komoditas unggulan tersebut. Untuk menentukan komoditas
subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di Kabupaten
Majalengka dilakukan dengan menganalisis potensi dan daya saing komoditas
subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso dan mikro. Analisis
potensi dan daya saing komoditas dilakukan pada level makro bertujuan untuk
melihat potensi dan kondisi komoditas secara makro yaitu dalam hal ini potensi
komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka di wilayah
Provinsi Jawa Barat. Analisis di level meso bertujuan untuk melihat kondisi dan
125

potensi komoditas subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian


wilayah di Kabupaten Majalengka sedangkan analisis di level mikro bertujuan
untuk melihat potensi dan kondisi komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di wilayah Kabupaten Majalengka dalam hal ini dilihat dari
aspek produksi dan luas panen.

5.3.1. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Makro


Pada level makro, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
merupakan komoditas basis yang memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif. Penilaian pada level makro dilakukan berdasarkan hasil analisis LQ
dan SSA (differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman
bahan makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hasil
analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas tanaman pangan tersaji
pada Tabel 39.

Tabel 39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan
Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Padi 0,97 0,97 1,03 -0,03 -0,02 -0,09
2 Jagung 1,91 2,15 2,32 0,24 0,18 0,12
3 Kedelai 0,96 1,10 1,17 0,23 -0,04 0,08
4 Kacang Tanah 0,32 0,33 0,31 -0,44 -0,38 -0,48
5 Kacang Hijau 2,28 2,25 1,91 0,36 0,31 0,05
6 Ubi Kayu 0,50 0,48 0,43 -0,18 -0,19 -0,35
7 Ubi Jalar 0,56 0,63 0,77 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Berdasarkan Tabel 39 tersebut maka komoditas tanaman pangan yang


merupakan komoditas basis dan memiliki keunggulan secara komparatif dan
kompetitif adalah padi, jagung, kedelai dan kacang hijau. Untuk komoditas padi
terlihat bahwa secara produksi komoditas ini merupakan komoditas
basis/memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak unggul secara kompetitif atau
nilai differential shiftnya negatif, hal ini dimungkinkan karena sejak awal
126

komoditas ini sudah memiliki angka luas tanam, luas panen maupun produksi
yang sudah cukup besar sehingga tingkat pertumbuhan/pergeserannya kecil
(negatif) sehingga dalam hal ini tetap dikategorikan sebagai komoditas basis.
Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas buah-
buahan tersaji pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel 40 terlihat banyak sekali
komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif
sehingga komoditas buah-buahan yang merupakan komoditas basis dan memiliki
keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah alpukat, durian, jambu biji,
jambu air, jeruk, mangga, nangka, papaya, pisang, sawo, sirsak, sukun, melinjo
dan petai.

Tabel 40. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan


Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas
Jml Pohon Produksi Jml Pohon Produksi
1 Alpukat 3,10 1,59 0,55 0,45
2 Belimbing 2,38 0,97 -0,02 -0,28
3 Dukuh/langsat 0,17 0,11 0,04 -0,19
4 Durian 2,12 0,93 0,25 -0,23
5 Jambu Biji 2,02 1,17 0,38 1,21
6 Jambu Air 1,99 0,91 -0,04 0,82
7 Jeruk 1,31 1,09 -0,15 0,15
8 Jeruk Besar 0,57 0,31 -0,24 -1,88
9 Mangga 4,49 3,56 0,58 0,48
10 Manggis 0,18 0,05 -0,34 1,99
11 Nangka 3,26 1,19 0,05 -0,60
12 Nenas 0,02 0,00 0,21 -0,60
13 Pepaya 1,09 0,29 0,13 -1,20
14 Pisang 1,26 0,59 0,11 0,31
15 Rambutan 0,78 0,25 0,04 0,42
16 Salak 0,04 0,04 0,53 0,47
17 Sawo 1,04 0,89 0,41 -0,56
18 Markisa 0,08 0,00 -0,09 -0,97
19 Sirsak 1,01 0,18 0,03 -0,07
20 Sukun 2,30 0,62 0,91 0,23
21 Melinjo 8,06 9,73 0,05 1,75
22 Petai 2,70 2,45 0,36 0,93
Sumber : Hasil Analisis (2011)
127

Komoditas sayur-sayuran yang merupakan komoditas basis dan unggul


secara komparatif dan kompetitif adalah bawang merah dan kembang kol. Hasil
analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas sayur-sayuran secara
lengkap tersaji pada Tabel 41.

Tabel 41. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran


Nilai LQ Differential Shift
No. Komoditas Luas Luas Luas Luas
Produksi Produksi
Tanam Panen Tanam Panen
1 Bawang Merah 3,95 4,06 6,44 -0,03 -0,12 0,09
2 Bawang Putih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3 Bawang Daun 2,48 2,36 3,74 -0,16 -0,34 -0,22
4 Kentang 0,97 0,86 0,97 6,80 -0,01 0,10
5 Kubis 1,10 1,08 0,60 -0,21 -0,32 -0,49
6 Kembang Kol 1,15 0,90 0,95 0,20 0,005 0,02
7 Sawi 0,57 0,61 0,93 0,64 0,58 0,17
8 Wortel 0,23 0,25 0,09 -0,06 0,03 -0,36
9 Lobak 0,07 0,00 0,00 -0,56 -0,84 -0,77
10 Kacang Merah 0,31 0,37 0,39 -0,25 -0,28 -0,27
11 Kacang Panjang 0,15 0,17 0,14 -0,45 -0,51 0,25
12 Cabe Besar 1,05 1,18 0,72 -0,13 -0,14 -0,60
13 Cabe Rawit 1,13 1,42 1,10 -0,38 -0,27 -0,91
14 Tomat 0,43 0,43 0,38 0,50 0,43 -0,74
15 Terung 0,80 0,89 0,94 0,86 0,61 0,99
16 Buncis 0,35 0,39 0,38 -0,01 -0,07 0,26
17 Ketimun 0,39 0,50 0,35 -0,26 -0,16 -0,22
18 Labu Siam 0,16 0,48 0,08 -0,47 0,19 -1,14
19 Kangkung 0,03 0,03 0,01 -0,64 -0,39 -1,19
20 Bayam 0,01 0,01 0,04 0,00 0,00 0,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Walaupun berdasarkan hasil analisis tersebut ada beberapa komoditas


yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif selain bawang merah dan
kembang kol namun tidak dikategorikan komoditas basis dan unggul secara
komparatif dan kompetitif karena komoditas-komoditas tersebut hanya unggul
secara komparatif saja (LQ>1) ataupun unggul secara kompetitif saja (differential
shift positif).
128

5.3.2. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Meso


Pada level meso, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
memiliki keterkaitan dan nilai multiplier effect yang besar. Penilaian pada level
meso ini dilakukan berdasarkan hasil analisis tabel input-output Kabupaten
Majalengka Tahun 2009. Dari hasil analisis keterkaitan ke depan (Direct Forward
Linkage/DFL) seperti tersaji pada Gambar 31, terlihat bahwa komoditas yang
memiliki keterkaitan tinggi adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya.

Gambar 31. Keterkaitan ke depan komoditas subsektor tanaman bahan makanan

Berdasarkan analisis keterkaitan ke belakang (Direct Backward Linkage/


DBL) seperti tersaji pada Gambar 32, terlihat bahwa komoditas yang memiliki
keterkaitan tinggi adalah jagung, padi dan buah-buahan.

Gambar 32. Keterkaitan ke belakang komoditas subsektor tanaman bahan


makanan
129

Apabila dilihat dari besarnya kontribusi masing-masing komoditas buah-


buahan dan bahan makanan lainnya terhadap total PDRB komoditasnya masing-
masing maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud komoditas buah-buahan
dalam hal ini adalah mangga, pisang, durian dan melinjo. Adapun yang dimaksud
sektor tanaman bahan makanan lainnya adalah ubi jalar, kedelai dan kacang hijau
(Gambar 33 dan Gambar 34)

a. Proporsi Buah-buahan b. Proporsi Bahan Makanan Lainnya

Gambar 33. Proporsi Komoditas Buah-buahan dan Bahan Makanan


LainTerhadap PDRB per komoditasnya

Adapun hasil analisis multiplier effect dari komoditas subsektor tanaman


bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 42.

Tabel 42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Multiplier Effect
No Komoditas
Pendapatan Pajak PDRB Output
1 Padi 1,14 1,21 1,12 1,13
2 Jagung 1,23 1,49 1,14 1,18
3 Ubi Kayu 1,15 1,29 1,06 1,08
4 Buah-buahan 1,22 1,58 1,10 1,12
5 Sayur-sayuran 1,13 1,19 1,07 1,09
6 Bahan makanan lainnya 1,11 1,15 1,10 1,11
Sumber : Hasil Analisis (2011)
130

Dari tabel tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
pendapatan diatas rata-rata adalah jagung dan buah-buahan, komoditas yang
memiliki nilai multiplier effect pajak diatas rata-rata adalah jagung dan buah-
buahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect PDRB diatas rata-rata
adalah padi dan jagung serta komoditas yang memiliki nilai multiplier effect
Output diatas rata-rata adalah padi dan jagung. Berdasarkan hal tersebut maka
komoditas yang memiliki nilai multiplier effect yang besar adalah padi, jagung
dan buah-buahan.

5.3.3. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Mikro


Pada level mikro kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut
banyak diusahakan oleh petani. Penilaian pada level mikro ini dilakukan
berdasarkan angka luas panen dan produksi komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang ada di Kabupaten Majalengka pada Tahun 2009. Data yang
digunakan luas panen dan produksi karena data ini dapat menunjukkan komoditas
apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain itu angka
luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan
kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran. Tabel 43
menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah padi, jagung, ubi
kayu dan kedelai.

Tabel 43. Luas Panen dan Produksi komoditas Tanaman Pangan


Luas Panen Produksi
Komoditas Keterangan
(Ha) (Ton)
Padi 97.204 568.955 Tinggi
Jagung 15.174 89.541 Tinggi
Kedelai 2.365 3.459 Tinggi
Kacang Tanah 1.049 1.372 Rendah
Kacang Hijau 1.625 1.519 Rendah
Ubi Kayu 2.721 44.382 Tinggi
Ubi Jalar 1.080 17.730 Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)
131

Untuk komoditas buah-buahan tidak tersedia data luas panen sehingga


untuk komoditas buah-buahan analisis dilakukan hanya pada data produksi. dan
jumlah pohon. Tabel 44 menunjukkan data produksi dan jumlah pohon komoditas
buah-buahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009.

Tabel 44. Produksi dan Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan


Produksi Jumlah
Komoditas Keterangan
(kuintal) Pohon
Mangga 466.103 905.247 Tinggi
Pisang 274.838 1.641.108 Tinggi
Melinjo 141.197 602.552 Tinggi
Petai 46.603 222.671 Sedang
Alpukat 44.156 172.992 Sedang
Nangka/Cempedak 33.587 151.896 Sedang
Jambu Biji 27.427 111.897 Sedang
Rambutan 22.502 91.860 Sedang
Durian 22.077 168.586 Sedang
Jeruk 18.003 108.171 Sedang
Pepaya 10.619 56.652 Rendah
Jambu Air 8.715 47.322 Rendah
Sukun 8.271 52.824 Rendah
Sawo 4.482 12.317 Rendah
Belimbing 4.271 24.481 Rendah
Salak 1.764 22.981 Rendah
Sirsak 869 19.692 Rendah
Manggis 558 5.636 Rendah
Jeruk Besar 503 3.183 Rendah
Nenas 350 36.698 Rendah
Dukuh/langsat 343 3.084 Rendah
Markisa - 70 Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)

Dari Tabel 44 terlihat bahwa komoditas buah-buahan yang memiliki angka


produksi dan jumlah pohon yang tinggi adalah mangga, pisang dan melinjo. Tabel
45 menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas sayur-sayuran
Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah bawang merah,
bawang daun dan cabe besar.
132

Tabel 45. Luas Panen dan Produksi komoditas Sayur-sayuran


Luas Panen Produksi
Keterangan
Komoditas (Ha) (Ton)
Bawang Merah 2.588 37.338 Tinggi
Bawang Daun 1.982 35.120 Tinggi
Cabe Besar 1.114 7.026 Tinggi
Kubis 818 8.380 Sedang
Kentang 759 14.754 Sedang
Cabe Rawit 605 5.507 Sedang
Sawi 466 8.736 Sedang
Ketimun 396 3.490 Rendah
Terung 277 3.775 Rendah
Tomat 255 7.477 Sedang
Kacang Merah 226 1.426 Rendah
Buncis 139 1.505 Rendah
Kacang Panjang 123 821 Rendah
Wortel 96 517 Rendah
Kembang Kol 56 729 Rendah
Labu Siam 51 551 Rendah
Kangkung 12 37 Rendah
Bayam 2 128 Rendah
Bawang Putih - - Rendah
Lobak - - Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)

5.3.4. Penetapan Komoditas Unggulan


Untuk menetapkan komoditas mana yang akan dijadikan komoditas
unggulan, maka hasil analisis pada level makro, meso dan mikro dirangkum
seperti yang tersaji pada Tabel 46. Berdasarkan tabel tersebut maka komoditas
yang unggul di level makro, meso dan mikro untuk komoditas tanaman pangan
adalah padi, jagung dan kedelai, sedangkan untuk komoditas buah-buahan adalah
mangga, pisang dan melinjo. Adapun untuk komoditas sayur-sayuran hanya ada
satu komoditas yang unggul di level makro dan mikro yaitu komoditas bawang
merah. Komoditas sayur-sayuran tidak unggul di level meso karena nilai
keterkaitan antar sektor dan multiplier effectnya kecil. Hal ini dimungkinkan
karena komoditas sayur-sayuran yang ada di Kabupaten Majalengka selama ini
sebagian besar digunakan untuk konsumsi maupun untuk dijual dalam bentuk
segar serta belum ada penangan lebih lanjut seperti pengemasan maupun
pengolahan. Oleh karena itu, maka komoditas sayur-sayuran tidak dipilih untuk
133

menjadi komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten


Majalengka. Namun, apabila ditinjau dari aspek besarnya keuntungan yang
diperoleh dari kegiatan usahatani komoditas sayur-sayuran, maka komoditas ini
memiliki potensi dan peluang yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani
dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Komoditas sayur-sayuran
yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi komoditas unggulan karena memiliki
potensi yang besar di Kabupaten Majalengka adalah komoditas bawang merah.
Dalam penelitian ini, komoditas sayuran tidak terpilih menjadi komoditas
unggulan disebabkan karena keterbatasan kriteria yang dibangun. Kriteria yang
digunakan untuk memilih komoditas unggulan adalah komoditas-komoditas
tersebut harus unggul pada ketiga level analisis yaitu pada level makro, meso dan
mikro.

Tabel 46. Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Komoditas Terpilih Menurut Analisis Komoditas
Komoditas
Makro Meso Mikro Unggulan
Tanaman Pangan Padi Padi Padi Padi
Jagung Jagung Jagung Jagung
Kedelai Kedelai Kedelai
Kacang Hijau Bahan Makanan lain Ubi Kayu
Ubi Jalar
Buah-buahan Alpukat Kedelai Mangga Mangga
Durian Kacang Hijau Pisang Pisang
Jambu Biji Melinjo Melinjo
Jambu Air Buah-buahan
Jeruk Mangga
Mangga Pisang
Nangka Durian
Pepaya Melinjo
Pisang
Sawi
Sirsak
Sukun
Melinjo
Petai

Sayur-sayuran Bawang merah Bawang merah


Kembang kol Bawang daun
Cabe Besar
Sumber : Hasil Analisis (2011)
134

Berdasarkan Tabel 46 maka komoditas unggulan subsektor tanaman bahan


makanan di Kabupaten Majalengka adalah padi, jagung, kedelai, mangga, pisang
dan melinjo. Selanjutnya, keenam komoditas terpilih tersebut akan dianalisis lebih
lanjut untuk melihat urutan prioritas komoditas dan arah pengembangannya
berdasarkan pendapatan para pemangku kepentingan di bidang pengembangan
pertanian.

5.4. Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten
Majalengka ditentukan melalui Analytical Hierarchy Process (AHP). Proses
AHP dilakukan untuk mendapatkan nilai (skor) prioritas dari struktur hirarki
permasalahan yang dibangun. Struktur hirarki permasalahan yang akan ditentukan
prioritasnya dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di
Kabupaten Majalengka terdiri dari tiga permasalahan utama. Permasalahan
pertama adalah menentukan jenis komoditas unggulan yang akan diprioritaskan
menurut pendapat para responden. Kedua adalah menentukan subsistem mana
yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan komoditas-komoditas unggulan
tersebut. Ketiga adalah menentukan aspek pendukung yang perlu diprioritaskan
dalam pengembangan masing-masing subsistem. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh menandakan kriteria atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan
dengan faktor lain. Adapun nilai prioritas dari masing-masing permasalahan
tersebut diuraikan pada bahasan di bawah ini.

5.4.1. Prioritas Komoditas Unggulan


Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan
perlu diupayakan fokus pada komoditas unggulan agar dapat memberikan
kontribusi yang signifikan pada peningkatan perekonomian wilayah. Selain itu,
adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh setiap daerah membuat setiap
daerah perlu menetapkan prioritas-prioritas dalam melaksanakan program dan
kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan hasil analisis
komoditas unggulan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diperoleh enam
komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Majalengka. Selanjutnya, dari
135

keenam komoditas tersebut, perlu diketahui mana yang menurut para stakeholder
perlu diprioritaskan dalam rangka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan di wilayah Kabupaten Majalengka. Hal ini penting untuk diketahui agar
pengembangan komoditas unggulan selaras dengan kebutuhan dan persepsi para
stakeholdernya.
Dari enam komoditas unggulan terpilih berdasarkan hasil analisis yaitu
komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo, para stakeholder
memilih komoditas padi sebagai prioritas pertama dengan skor penilaian sebesar
0,324, jagung sebagai prioritas kedua dengan skor 0,250, mangga sebagai prioritas
ketiga dengan skor 0,180, kedelai sebagai prioritas keempat dengan skor 0,122,
pisang sebagai prioritas kelima dengan skor 0,071 dan melinjo sebagai prioritas
terakhir dengan skor 0,052. Gambar 34 menunjukkan hasil persepsi para
stakeholder dalam menentukan prioritas komoditas unggulan.

Gambar 34. Hasil AHP dalam penentuan prioritas komoditas unggulan

Alasan utama para stakeholder memilih komoditas padi menjadi prioritas


pertama kemungkinan karena padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat
sehingga berhubungan erat dengan ketahanan pangan Kabupaten Majalengka.

5.4.2. Prioritas Pengembangan Subsistem Agribisnis


Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian
secara luas, utuh dan terdiri dari beberapa subsistem. Menurut Saragih (2010),
agribisnis sebagai bentuk modern pertanian mencakup empat subsistem yaitu (1)
subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana
produksi pertanian primer, (2) subsistem usahatani yang juga disebut sebagai
136

sektor pertanian primer, (3) subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk siap dimasak
maupun siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya serta (4) subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan, penyuluhan, penelitian
pengembangan dan kebijakan pemerintah.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan,
dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem-subsistem tersebut.
Namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan adanya ketimpangan
perkembangan diantara subsistem tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan
usahatani tidak memberikan hasil yang maksimal bagi para petani sebagai pelaku
utamanya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan sesuai konsep agribisnis, diperlukan arahan untuk mengetahui
prioritas pengembangan subsistem agribisnis yang dibutuhkan berdasarkan
pengalaman para stakeholder di lapangan.
Persepsi para stakeholder pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan
Gambar 35 tersebut, menunjukkan bahwa untuk pengembangan komoditas padi
yang perlu diprioritaskan adalah pengembangan subsistem agribisnis hulu diikuti
dengan pengembangan subsistem usahatani, agribisnis hilir dan jasa layanan
pendukung. Para stakeholder lebih memprioritaskan subsistem agribisnis hulu
karena subsistem agribisnis hulu menyangkut ketersediaan benih yang bermutu,
pupuk, obat-obatan dan sarana produksi lainnya yang sangat menentukan tingkat
keberhasilan petani dalam melakukan usahatani padi.
Urutan prioritas subsistem dalam pengembangan komoditas jagung
berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, agribisnis hulu dan jasa
layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa aspek pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil komoditas jagung merupakan aspek yang menjadi prioritas
untuk dikembangkan. Untuk pengembangan kedelai yang perlu diprioritaskan
secara berturut-turut adalah subsistem usahatani, agribisnis hilir, sgribisnis hulu
dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani
kedelai yang selama ini dilakukan belum optimal sehingga masih dibutuhkan
dukungan program-program pemerintah misalnya berupa pembinaan dan
137

penyuluhan yang intensif dalam hal tehnik budidaya yang baik dan benar untuk
memperoleh hasil yang maksimal.
Persepsi stakeholder dalam pengembangan mangga menunjukkan bahwa
subsistem agribisnis hulu sebagai prioritas pertama kemudian subsistem agribisnis
hilir, usahatani dan jasa layanan pendukung. Dari hasil analisis persepsi tersebut
menunjukkan bahwa ketersedian sarana produksi merupakan hal yang masih
sangat diperlukan untuk pengembangan mangga sebagai komoditas unggulan.
Berdasarkan wawancara di lapangan diketahui bahwa subsistem hulu dipilih
menjadi prioritas dalam pengembangan mangga karena banyak sekali
permasalahan yang terkait dengan hama penyakit sehingga ketersediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Adapun untuk pengembangan pisang persepsi stakeholder menunjukkan
bahwa yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem agribisnis
hilir, usahatani, hulu dan jasa layanan pendukung, demikian pula untuk
pengembangan melinjo, subsistem agribisnis hilir menempati prioritas pertama
kemudian diikuti dengan subsistem usahatani, jasa layanan pendukung dan
agribisnis hulu. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengembangan pisang dan
melinjo aspek pengolahan dan pemasaran hasil menjadi prioritas yang diperlukan.
Nilai dari masing-masing prioritas pengembangan subsistem agribisnis per
komoditas berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) disajikan pada
Gambar 35.
Berdasarkan pertimbangan untuk pengembangan keseluruhan komoditas
unggulan maka subsistem usahatani merupakan subsistem yang terpilih sebagai
prioritas pertama untuk dikembangkan dengan skor 0,287 kemudian subsistem
agribisnis hulu dengan skor 0,275, subsistem agribisnis hilir dengan skor 0,273
dan subsistem jasa layanan pendukung dengan skor 0,166. Hal ini menunjukkan
bahwa menurut persepsi para stakeholder, dalam pengembangan komoditas
unggulan di Kabupaten Majalengka masih diperlukan peningkatan tehnik-tehnik
budidaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas hasil produksi.
138

Gambar 35. Nilai AHP masing-masing subsistem per komoditas

5.4.3. Prioritas Pengembangan Aspek Pendukung


Dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan selain dibutuhkan
pengembangan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis juga dibutuhkan aspek-
aspek pendukung lain yang tak kalah pentingnya, diantaranya yaitu sumberdaya
manusia, sarana prasarana dan kelembagaan.
Sumberdaya manusia merupakan aspek yang penting dalam pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan karena sumberdaya manusia merupakan aktor
atau pelaku utama dalam kegiatan pembangunan subsektor ini. Pembangunan
subsektor tanaman bahan makanan ini sangat tergantung dari kemampuan dan
kualitas sumberdaya manusianya. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan, baik
formal maupun informal. Aspek sarana prasarana merupakan fasilitas pendukung
yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani tanaman bahan makanan.
Aspek sarana prasarana ini menentukan kelancaran kegiatan budidaya, panen dan
pasca panen serta mobilitas sarana produksi dan hasil-hasil usahatani tanaman
139

bahan makanan. Aspek kelembagaan berfungsi untuk mengorganisasikan,


memfungsikan dan mengatur setiap aktivitas usahatani tanaman bahan makanan.
Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini
diperlukan dukungan kelembagaan untuk dapat meningkatkan posisi tawar petani.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa untuk pengembangan subsistem
hulu stakeholder memberi prioritas yang hampir sama besar terhadap peran dan
pengembangan sarana prasarana dan sumberdaya manusia yaitu dengan skor
masing-masing sebesar 0,100 dan 0,097. Adapun persepsi stakeholder dalam
pengembangan subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir menunjukkan
bahwa sumberdaya manusia menjadi prioritas pertama yang perlu dikembangkan
diikuti dengan aspek sarana prasarana dan kelembagaan. Untuk pengembangan
subsistem agribisnis jasa layanan pendukung, para stakeholder memprioritaskan
pengembangan kelembagaan kemudian sumberdaya manusia dan sarana
prasarana. Nilai hasil AHP untuk penentuan prioritas aspek pendukung per
subsistem secara lengkap disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36. Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem

Dari keseluruhan subsistem tersebut maka aspek pendukung yang terpilih


untuk diprioritaskan adalah aspek sumberdaya manusia (SDM) dengan skor 0,448
kemudian aspek sarana prasarana dengan skor 0,303 dan aspek kelembagaan
140

dengan skor 0,249. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan sistem
agribisnis faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang paling penting
untuk dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilannya. Hasil analisis AHP secara keseluruhan disajikan pada
Gambar 37.

Pembangunan Subsektor
Tanaman Bahan
Makanan

Padi Jagung Kedelai Mangga Pisang Melinjo


(0,324) (0,250) (0,122) (0,180) (0,071) (0,052)

Subsistem Subsistem Subsistem Subsistem Jasa


Agribisnis Hulu Usahatani Agribisnis Hilir Layanan Pendukung
(0,275) (0,287) (0,273) (0,166)

Sumberdaya Sarana
Kelembagan
Manusia Prasarana
(0,249)
(0,448) (0,303)

Gambar 37. Hasil AHP dalam penentuan prioritas pembangunan subsektor


tanaman bahan makanan berdasarkan persepsi seluruh stakeholder.

5.5. Arahan Pengembangan Subsektor Tanaman Bahan Makanan


Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka disusun berdasarkan hasil
analisis kondisi dan potensi subsektor tanaman bahan makanan yang diperoleh
dari analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran
subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis
input-output, analisis penentuan komoditas unggulan serta analisis prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil
141

analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan


untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk
pengembangan komoditas tersebut.
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan perlu diarahkan dalam
upaya mengoptimalkan pembangunan subsektor ini agar dapat menjadi sektor
unggulan yang mampu menjadi motor penggerak perekonomian wilayah dengan
berbasis potensi lokal dan berdimensi kerakyatan. Pembangunan subsektor
tanaman bahan makanan yang ada selama ini masih berlangsung secara parsial
sehingga hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
pembangunan subsektor ini lebih lanjut memerlukan dukungan dari berbagai
pihak secara konsisten dan terintegrasi baik dari berbagai instansi pemerintah
yang terlibat maupun dari masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka dapat diketahui bahwa subsektor tanaman
bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis dengan
memiliki beberapa komoditas yang unggul dari aspek luas tanam, luas panen
maupun produksi. Namun dari komoditas-komoditas yang ada tidak selalu unggul
dari ketiga aspek tersebut sehingga arahan yang disarankan untuk peningkatan
nilai keunggulan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan adalah
dengan melakukan peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatan kinerja subsektor ini
adalah :
1) Peningkatan teknologi budidaya untuk mendorong peningkatan produksi dan
produktivitas serta menghasilkan produk yang berkualitas.
2) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang bergerak di subsektor
tanaman bahan makanan baik petani maupun petugas, antara lain melalui
pendidikan pelatihan dan penyuluhan yang kontinyu.
3) Pengelolaan sumberdaya lahan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan
secara bijak dengan memperhatikan asas kelestarian lingkungan.
4) Pengembangan ketersediaan sarana produksi seperti pupuk, dan benih yang
bermutu sehingga dapat menjamin keberlangsungan usahatani.
142

5) Pengembangan sarana prasarana pendukung kegiatan usahatani seperti


pembuatan dan perbaikan saluran irigasi yang dapat menjamin ketersediaan air
untuk pertanaman, perbaikan jalan usaha tani dan pembangunan jalan desa
untuk memudahkan mobilitas sarana produksi dan hasil panen serta
penyediaan alat mesin pertanian baik alat mesin untuk kegiatan budidaya
maupun alat mesin untuk kegiatan panen, pasca panen dan pengolahan.
6) Pengembangan kelembagaan diantaranya dilakukan melalui peningkatan
manajamen kelembagaan petani, maupun kemudahan untuk mengakses
lembaga-lembaga permodalan dan lembaga pemasaran.
Kajian terhadap peran beberapa komoditas subsektor tanaman bahan
makanan di Kabupaten Majalengka melalui analisis tabel input-output
menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor serta nilai multiplier effect yang
dimiliki oleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan makanan masih
rendah. Hasil analisis terhadap struktur output juga menunjukkan bahwa jumlah
permintaan antara lebih kecil (26,99%) dibandingkan dengan jumlah permintaan
akhir (73,01%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar produk dikonsumsi
dan diekspor dalam bentuk segar. Arahan peningkatan peran subsektor tanaman
bahan makanan dalam meningkatkan perekonomian wilayah adalah dengan
meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lainnya baik yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang
sehingga mampu mengurangi terjadinya kebocoran wilayah. Adapun sektor-sektor
yang memiliki potensi untuk didorong peningkatan keterkaitannya adalah sektor
industri pengolahan, peternakan, perikanan, restoran, hotel, hiburan dan rekreasi
karena sektor-sektor tersebut memiliki keterkaiatan ke depan maupun ke belakang
dengan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan.
Dengan memperhatikan segala keterbatasan yang dimiliki oleh setiap
daerah serta untuk melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan yang efektif dan efisien maka pembangunan subsektor ini diupayakan
fokus pada komoditas unggulan. Berdasarkan hasil analisis secara makro, meso
dan mikro maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diarahkan
untuk fokus pada komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo.
143

Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang bijaksana dan


mengikuti azas partisipatif perlu dilaksanakan dengan melibatkan stakeholders
dalam menentukan aspek-aspek yang perlu diprioritaskan. Tiga komoditas
unggulan yang mendapat prioritas dari stakeholders adalah padi, jagung dan
mangga dengan subsistem agribisnis yang menjadi prioritas untuk dikembangkan
adalah subsistem usahatani, dan aspek sumberdaya manusia menjadi prioritas
pertama yang diperlukan dalam pengembangan subsistem agribisnis tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka arahan dalam pembangunan subsektor tanaman
bahan makanan adalah peningkatan teknologi budidaya komoditas unggulan dan
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani.
Arahan untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan terpilih yang
menjadi prioritas dari stakeholders disajikan pada Gambar 38, 39 dan 40. Arahan
untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan tersebut didasarkan pada
aspek kesesuaian dan ketersediaan lahan dari masing-masing komoditas. Aspek
kesesuaian lahan dipilih menjadi faktor yang digunakan untuk menentukan arahan
lokasi pengembangan komoditas karena pengembangan komoditas pada lahan
yang sesuai diharapkan akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas
dari komoditas tersebut. Aspek ketersediaan lahan digunakan dalam menentukan
lokasi arahan karena pengembangan komoditas tersebut perlu disesuaikan dengan
penggunaan lahan yang ada serta arahan tata ruang wilayah Kabupaten
Majalengka.
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kesesuaian lahan pada tingkat ordo
yang mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO Tahun 1976 dalam Sitorus
(2004). Menurut konsep dasar kerangka evaluasi lahan (FAO, 1976) sesuai
dengan tujuannya kesesuaian lahan dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik
(kualitatif) dan kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Dalam penelitian
ini evaluasi lahan hanya secara fisik (kualitatif).
Kriteria atau persyaratan tumbuh tanaman yang digunakan dalam evaluasi
kesesuaian lahan ini mengacu pada dokumen yang dikeluarkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian
(Djaenudin et al., 2003) yang secara rinci tersaji pada Lampiran 15, 16 dan 17.
Namun, dalam penelitian ini tidak menggunakan semua kriteria yang
144

dipersyaratkan tersebut hal ini disebabkan karena keterbatasan data. Evaluasi


lahan yang dilakukan pada penelitian ini hanya didasarkan pada kriteria fisik
lahan tidak mempertimbangkan kriteria kimia lahan. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa sifat fisik lahan merupakan sifat yang relatif tidak akan
berubah dalam jangka waktu yang lama sedangkan sifat kimia dan kondisi
alamiah lainnya relatif lebih mudah berubah dalam jangka waktu yang pendek
sehingga tidak bisa dijadikan acuan kesesuaian lahan untuk jangka panjang
Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas padi, jagung
dan mangga didasarkan atas kriteria kepekaan erosi, lereng, tekstur, singkapan
batuan dan drainase. Evaluasi ketersediaan lahan dilakukan dengan proses
tumpang susun peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan dan peta
RTRW Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi tersebut akan diperoleh lokasi
lahan yang memiliki kriteria sesuai dan tersedia, yaitu lahan yang berdasarkan
sifat fisiknya memiliki kriteria sesuai untuk pengembangan komoditas yang
dimaksud serta tersedia karena lahan tersebut belum dialokasikan untuk
penggunaan lahan yang lain berdasarkan data penggunaan lahan (landuse) serta
telah sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten
Majalengka.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
komoditas padi maka arahan untuk menjadi lokasi pengembangan padi adalah
Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan, Kertajati, Kadipaten, Palasah,
Sumberjaya dan sebagian kecil kecamatan Kasokandel, Panyingkiran, Sukahaji,
Talaga, Cikijing dan Cingambul (Gambar 38). Dari hasil analisis dapat diketahui
bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk budidaya padi adalah sebesar 12,08%
dari total luas wilayah Kabupaten Majalengka.
Hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas jagung
menunjukkan bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan
komoditas jagung adalah sebesar 29,03% dari total luas wilayah Kabupaten
Majalengka. Berdasarkan Gambar 39, maka arahan pengembangan komoditas
jagung adalah wilayah Kabupaten Majalengka bagian utara yang meliputi
Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan,
Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran, Cigasong, Sukahaji dan Kabupaten
145

Majalengka bagian selatan yang meliputi Kecamatan Talaga, Banjaran, Cikijing


dan Cingambul.
Berdasarkan Gambar 40 dapat diketahui bahwa lahan yang sesuai dan
tersedia untuk pengembangan komoditas mangga sebesar 29,03% dari total luas
wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan
lahan untuk komoditas mangga tersebut maka arahan untuk lokasi pengembangan
komoditas mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi,
Panyingkiran dan Majalengka.
146

Gambar 38. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Padi


147

Gambar 39. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Jagung


148

Gambar 40. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Mangga


149

5.6. Pembahasan Umum


Tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah untuk menciptakan sebesar-
besarnya kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi daerah-daerah perdesaan yang
berbasis pertanian pelaksanaan pembangunan terus diupayakan untuk mengurangi
kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang timbul antara desa dengan
kawasan perkotaan.
Kemajuan pembangunan daerah diantaranya dapat dilihat dari indikator
ekonomi dan indikator sosial. Kemajuan perekonomian daerah seringkali
dijadikan landasan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga strategi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan mengoptimalkan potensi wilayah. Berlakunya
otonomi daerah menyebabkan setiap daerah berlomba-lomba untuk dapat
mengangkat potensi spesifik lokasi yang dimiliki agar mampu bersaing dengan
daerah lainnya.
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa
Barat yang memiliki potensi lokal di sektor pertanian. Apabila dilihat dari
indikator ekonomi berupa PDRB, maka subsektor pertanian yang memiliki
kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka adalah subsektor
tanaman bahan makanan. Untuk itu subsektor ini perlu mendapat perhatian khusus
dengan berbagai kebijakan pembangunan serta didukung oleh ketersediaan data
dan informasi yang akurat tentang potensi subsektor ini di wilayah Kabupaten
Majalengka.
Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor
pertanian yang kuat, tingkat produksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi dan
berkelanjutan, perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan
komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan disertai kebijakan
pemerintah daerah yang tepat. Untuk itu maka berbagai hasil analisis dalam
penelitian ini diperlukan untuk menyusun arahan pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dalam
rangka pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.
Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten
Majalengka berdasarkan hasil dari beberapa analisis dalam penelitian ini adalah :
150

1. Fokus pada pengembangan komoditas unggulan yang meliputi : padi, jagung,


mangga, kedelai, pisang dan melinjo.
2. Peningkatan keterkaitan antara subsektor tanaman bahan makanan dengan
sektor-sektor lainnya.
3. Peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan yang diarahkan pada
penerapan konsep agribisnis.
Peningkatan kinerja komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan agar komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan
Kabupaten Majalengka senantiasa selalu dapat bersaing dengan komoditas-
komoditas dari wilayah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Peningkatan kinerja
subsektor tanaman bahan makanan diarahkan pada penerapan konsep agribisnis.
Berdasarkan hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan subsektor tanaman
bahan makanan menurut persepsi para stakeholder, diketahui bahwa permasalahan
yang ada di Kabupaten Majalengka masih berada pada subsistem usahatani
sehingga subsistem ini mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan diikuti
oleh subsistem agribisnis hulu, hilir dan jasa layanan pendukung.
Pengembangan subsistem usahatani diarahkan pada peningkatan produksi,
produktivitas dan kualitas hasil produksi. Hal ini sejalan dengan isu strategis yang
tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD, 2009) yang menyebutkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas
komoditas pertanian di Kabupaten Majalengka masih rendah. Secara lebih rinci
pengembangan subsistem ini dilakukan melalui :
a. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik petani maupun petugas
pertanian terkait, dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
yang kontinyu. Dalam hal ini, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
diarahkan pada transfer teknologi budidaya yang efektif dan efisien.
b. Pengembangan sarana prasarana, diarahkan pada pengembangan sarana irigasi
dan peralatan panen. Pengembangan sarana irigasi dimaksudkan untuk
menjamin ketersediaan air sedangkan pengembangan peralatan panen
dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya kehilangan hasil dan menjaga
kualitas produk.
151

c. Pengembangan kelembagaan, diarahkan pada pengembangan kerjasama


kelompok tani untuk meningkatkan skala usaha sehingga diharapkan dapat
meningkatkan posisi tawar petani.
Khusus untuk peningkatan produksi padi, menurut Ilham (2008)
peningkatan produksi padi membutuhkan dukungan teknologi yang diprioritaskan
pada sistem irigasi. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah
menyebabkan pembangunan sistem irigasi ini perlu melibatkan peranserta
masyarakat. Peranserta masyarakat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan
sistem irigasi yang telah dibangun oleh pemerintah. Selain itu, keberadaan sistem
penyuluhan diperlukan sebagai pendukung peningkatan produksi.
Pengembangan subsistem agribisnis hulu diarahkan pada ketersediaan
sarana produksi bermutu. Penggunaan sarana produksi yang berkualitas baik akan
mendukung terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk
yang baik pula. Selain itu, adanya jaminan ketersediaan sarana produksi yang
bermutu dapat meningkatkan partisipasi petani dalam melakukan usahatani. Hal
ini terungkap dari hasil penelitian Zakaria et al. (2010) yang menyebutkan bahwa
rendahnya tingkat partisipasi petani dalam melakukan usahatani kedelai
terkendala oleh kurang tersedianya benih unggul bermutu sehingga resiko
usahatani cukup tinggi dan tidak adanya jaminan harga jual yang layak. Sesuai
dengan hasil analisis prioritas pembangunan berdasarkan persepsi stakeholders
maka pengembangan subsistem agribisnis hulu secara berurutan diprioritaskan
pada : pengembangan sarana prasarana, peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia dan pengembangan kelembagaan.
Pengembangan subsistem agribisnis hilir diarahkan pada pengembangan
kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil komoditas subsektor tanaman bahan
makanan. Secara berurutan prioritas pengembangan subsistem ini berdasarkan
persepsi stakeholder adalah : pengembangan sumberdaya manusia (pelaku
pemasaran dan pengolahan hasil pertanian), pengembangan sarana prasarana dan
pengembangan kelembagaan.
Selain pengembangan ketiga subsistem agribisnis diatas, menurut Jaya
(2009), pengembangan agribisnis memerlukan dukungan dari lembaga penunjang
seperti kebijakan pemerintah, pembiayaan/permodalan, pendidikan, penelitian,
152

perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan


para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian
memberikan sumbangan teknologi dan informasi.
Pengembangan subsistem agribisnis jasa layanan pendukung yang
diperlukan di Kabupaten Majalengka lebih ditekankan pada masalah permodalan.
Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan permodalan di
kawasan-kawasan sentra produksi, pengembangan sarana prasarana untuk
memudahkan petani mengakses informasi permodalan serta peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia untuk lebih memahami mengenai masalah-masalah
permodalan.
Menurut Supriatna (2009), pola pelayanan kredit (permodalan) yang ideal
bagi petani yaitu menghindari penetapan agunan sertifikat tanah, memberikan
kredit berbentuk uang tunai, memberikan kredit jangka pendek dengan
pengembalian musiman, jumlah plafon kredit mencukupi untuk membeli benih,
pupuk dan obat-obatan serta pengajuan/penyaluran kredit melalui kelompok tani.
Di sisi lain petani perlu memahami prinsip penggunaan kredit yang benar,
berusaha membangun modal sendiri dan menciptakan diversifikasi usaha yang
memberikan penerimaan secara harian, mingguan atau musiman.
Dengan dilaksanakannya pengembangan subsistem-subsistem agribisnis
tersebut di Kabupaten Majalengka, diharapkan dapat meningkatkan kinerja
subsektor tanaman bahan makanan dan meningkatkan keterkaitannya baik
keterkaitan antar subsistem maupun keterkaitan dengan sektor lainnya diluar
subsistem agribisnis sehingga pada akhirnya mampu menggerakkan
perekonomian wilayah dan mengatasi isu-isu strategis aspek ekonomi yang
tercantum dalam dokumen RPJMD. Peningkatan ekonomi wilayah diharapkan
mampu menjadi landasan bagi pengembangan wilayah yang berbasis pertanian di
Kabupaten Majalengka.
153

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta
dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Subsektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis di Kabupaten
Majalengka sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan
makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan
kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan
kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi jagung, kedelai,
kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan
petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah
alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo,
petai, sirsak dan sukun. Kondisi dan potensi yang baik ini membawa implikasi
bagi Kabupaten Majalengka untuk lebih memberi perhatian dan prioritas
terhadap pembangunan subsektor tanaman bahan makanan agar mampu
menjadi motor penggerak pengembangan wilayah di masa yang akan datang.
2. Subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan sumbangannya
terhadap PDRB (23,80%) dan pembentukan output total (16,23%). Walaupun
subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai yang rendah untuk semua
indikator keterkaitan dan multiplier effect, namun demikian, subsektor ini
memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam
perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3. Komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo merupakan
komoditas unggulan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisis pada level
makro, meso dan mikro.
4. Prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan jenis
komoditas unggulan secara berturut-turut adalah padi, jagung, mangga,
154

kedelai, pisang dan melinjo. Dalam mendukung pengembangan komoditas


unggulan tersebut, subsistem usahatani merupakan prioritas pertama diikuti
oleh subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa
layanan pendukung. Berdasarkan faktor yang diperlukan dalam
pengembangan subsistem-subsistem agribisnis tersebut maka faktor
sumberdaya manusia harus menjadi perhatian utama diikuti dengan faktor
sarana prasarana dan kelembagaan.
5. Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam
pengembangan wilayah adalah meningkatkan kinerja subsektor ini dan
meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain sehingga perannya dalam perekonomian wilayah menjadi semakin
besar. Untuk mendukung hal ini maka pembangunan subsektor tanaman bahan
makanan diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan meningkatkan
peran masing-masing subsistem agribisnis dan peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia, ketersediaan sarana prasarana serta dukungan
kelembagaan yang kuat. Selain itu, arahan untuk lokasi pengembangan
komoditas unggulan adalah pada lahan-lahan yang memiliki kriteria sesuai
untuk pengembangan komoditas tersebut.

6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-
sektor lain agar terus dilakukan, baik yang memiliki keterkaitan ke depan
maupun ke belakang sehingga mampu meningkatkan nilai tambah di dalam
wilayah serta mengurangi terjadinya kebocoran wilayah.
2. Perlu dikembangkan rantai sistem agribisnis dalam pengembangan subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat terbangun
keterkaitan antar subsistem agribisnis maupun antar sektor lainnya.
3. Perlu dilakukan survey tanah yang lebih detil sehingga informasi mengenai
evaluasi kesesuaian lahan untuk lokasi pengembangan komoditas subsektor
tanaman bahan makanan akan lebih akurat.
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN
MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN MAJALENGKA

NUNIK RACHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
155

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri, Djajadiningrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah,


Konsep dan Contoh Aplikasinya. Dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S,
(Editor). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta:
Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. hlm 9-26

Anonim. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang Departemen
Pekerjaan Umum.

Anonim. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008


tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Ditjen Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Anugrah IS. 2003. Asean Free Trade Area (AFTA). Otonomi Daerah dan Daya
Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Peneliti Agro
Ekonomi 21(1):1-11.

[Bappeda Majalengka]. Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten


Majalengka. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Majalengka
2005-2015. Majalengka: Bappeda Kabupaten Majalengka.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output.


Jakarta : Badan Pusat Statistik.

[BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010.


Kabupaten Majalengka Dalam Angka. Majalengka: Badan Pusat Statistik.

[BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010. Produk


Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009.
Majalengka: Badan Pusat Statistik.

[BPS Jabar]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Produk Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Bandung:
Badan Pusat Statistik.

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010a. Analisis Input-Output dan Social Accounting


Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press.

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010b. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan


Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press.

Diao X, Hazzell P, Thurlow J. 2010. The Role of Agriculture in African


Development. World Development 38(10): 1375-1383.
156

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2011. Wilayah


Pengembangan Kawasan Andalan Agribisnis dan Komoditas Unggulan.
Bandung. http://www.diperta.jabarprov.go.id. [20 April 2011].

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database


Hortikultura Tahun 2010. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Tanaman
Pangan. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.

Djaenudin. D., Marwan H., Subagjo H., Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak.

Djakapermana, RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan


Kesisteman. Bogor: IPB Press.

Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi


Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, IPB. http://pse.litbang.deptan.
go.id/. [11 April 2011]

Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan


Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.

Hastuti HI. 2001. Model Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan


Agropolitan: kasus Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah
[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hendayana. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan


Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12:1-21.
http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/rahmadi-12.pdf. [26 Mei
2011]

Hermanto. 2009. Reorientasi Kebijakan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan


Berwawasan Lingkungan dan Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan
Pertanian 7:369-383.

Ilham N. 2008. Profil Teknologi pada Usahatani Padi dan Implikasinya Terhadap
Peran Pemerintah. Analisis Kebijakan Pertanian 6:335-351.

Jaya, A. 2009. Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu


Manis Rakyat serta Dampaknya Terhadap Perekonomian Wilayah : Kasus
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. [Disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kementrian Pertanian. 2010. Pedoman Pelepasan Varietas Hortikultura. Jakarta :


Direktorat Jenderal Hortikultura.
157

Kementrian Pertanian. 2011. Daftar Varietas Hortikultura. Jakarta : Direktorat


Jenderal Hortikultura.

Marimin, Maghfiroh N. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam


Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Press.

[Pemkab Majalengka] Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka. 2009.


Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009-2013.
Majalengka: Pemerintah Kabupaten Majalengka.

Pribadi DO, Panuju DR, Rustiadi E, Pravitasari, AE. 2010. Permodelan


Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bahan Kuliah Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah. [Tidak dipublikasikan].

Purnamadewi YL, Tambunan M, Oktaviani R, Daryanto A. 2010. Dampak


Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas
Ekonomi Antar Wilayah dan Kondisi Makroekonomi di Indonesia. Jurnal
Manajemen dan Agribisnis. l7(2): 146-154.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan


Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Dalam:
Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan
Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Wilayah. hlm 47-65.

Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J.
Applied Decision Sciences 1(1):24-79.

Saptana, Sunarsih, Indraningsih KS. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif


Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha
Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(1):61-76.

Saragih B. 2010. Agribisnis Cara Baru Melihat Pertanian. Dalam: Pambudy R,


Dabukke FBM, (Editor). Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. hlm 21-32.

Sari DR. 2008. Pemodelan Multi-Kriteria Untuk Pengembangan Wilayah


Berbasis Komoditas Unggulan di Kabupaten Lampung Timur. [Tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sudaryanto T, Rusastra IW. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam


Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal
Litbang Pertanian 25(4):115-122.
158

Supriatna, A. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani
di Tingkat Pedesaan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):111-118.

Suryawardana, MI. 2006. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi


Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi
Jawa Timur. [Tesis}. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Syafrudin, Kairupan AN, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan Sistem


Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona
Agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):61-67.

Syahidin, A. 2006. Studi Kebijakan Pembangunan Berbasis Sektor Unggulan :


Kasus di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Zaini A. 2005. Dampak Peningkatan Eksport Sektor-sektor Pertanian Terhadap


Perekonomian Indonesia pada Masa Krisis Ekonomi, SAM Analisis.
Frontir 19(1):12-17.

Zakaria AK, Sejati WK, Kustiari R. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas
Kedelai Menurut Agroekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia.
Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 21-37.
159

LAMPIRAN
160
Lampiran 1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotien t (LQ) Luas Tanam

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis
No Kabupaten/Kota

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,62 0,00 0,03 0,07 1,30 0,61 - 0,26 1,54 0,50 0,62 0,62 1,70 1,54 1,39 1,34 4,71 5,23
2 Sukabumi 0,09 - 0,65 0,02 0,33 0,96 2,68 0,33 0,09 0,42 1,79 1,33 1,50 1,38 1,72 1,85 1,56 1,43 0,11 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,77 0,03 0,54 2,08 1,32 3,45 2,90 0,37 0,94 1,23 1,32 1,05 1,02 1,85 0,95 0,86 0,34 0,24
4 Bandung 0,93 2,83 1,11 2,99 2,36 0,92 1,11 1,66 2,14 1,39 0,11 0,32 0,22 0,92 0,08 0,37 0,26 0,23 0,15 0,09
5 Garut 0,53 2,36 0,74 1,75 1,69 0,81 0,72 1,02 - 2,04 0,36 1,45 1,05 1,66 0,65 0,75 0,31 1,27 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 1,00 0,01 0,13 0,14 0,54 0,04 0,08 0,46 1,93 1,69 0,83 1,19 1,65 3,54 2,14 2,54 0,96 1,01
7 Ciamis - - 1,17 - 0,05 - 0,25 0,01 0,33 1,91 2,15 1,56 1,57 1,05 1,70 1,51 1,32 1,10 1,19 1,91
8 Kuningan 2,01 - 4,41 0,11 0,25 1,15 0,87 0,66 - 0,18 0,57 0,55 1,99 0,86 0,13 1,23 0,48 0,29 0,02 -
9 Cirebon 9,95 - - - - - - - - - 0,22 2,16 0,11 0,02 1,26 - 0,47 - 0,15 -
10 Majalengka 3,95 - 2,48 0,97 1,10 1,15 0,57 0,23 0,07 0,31 0,15 1,05 1,13 0,43 0,80 0,35 0,39 0,16 0,03 0,01
11 Sumedang 0,25 - 0,64 0,19 1,32 0,30 0,56 0,12 - 4,57 0,79 1,38 1,23 1,43 0,56 0,52 1,20 1,21 0,23 0,01
12 Indramayu 1,73 - - - - 1,05 0,29 - - - 2,76 1,23 2,96 0,45 3,25 - 3,11 0,22 0,71 0,72
13 Subang 0,15 - 0,51 0,06 0,15 1,22 0,36 0,13 2,10 - 4,40 0,72 1,36 0,93 2,41 1,64 2,35 3,00 0,83 0,50
14 Purwakarta - - 0,52 - 0,02 0,13 0,60 0,22 1,79 - 3,32 0,68 1,68 0,78 2,02 1,11 2,89 1,69 2,02 1,72
15 Karawang - - - - - - 0,84 - - - 4,93 0,18 3,09 - 2,90 - 3,80 - 1,03 0,33
16 Bekasi - - - - - - 1,50 - 3,65 - 0,86 0,39 0,05 - 0,78 - 2,05 0,29 7,66 8,60
17 Bandung Barat 0,03 - 0,40 0,53 0,47 6,31 0,85 0,76 3,00 0,87 1,87 0,78 1,77 1,38 1,29 1,96 1,93 3,67 0,27 0,57
18 Kota Bogor - - 0,37 - - - 1,21 - - 0,52 1,58 0,47 1,10 1,38 2,43 2,56 1,36 - 4,29 3,69
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,38 - - - 2,29 0,66 - 1,76 0,81 0,42 2,17 - 0,77 0,07
20 Kota Bandung - - 1,32 - - 7,34 1,27 - - 1,59 1,89 0,77 2,14 1,56 2,87 1,42 0,22 8,53 0,92 -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,92 0,78 0,44 - 1,46 - 2,38 - 7,49 7,84
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,47 - - - 0,18 0,03 0,07 - 0,22 - 0,21 - 9,23 9,86
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,33 0,12 - - 3,47 - 2,00 - 8,48 7,23
24 Kota Cimahi - - 1,29 - - - 3,71 - - - 0,81 0,55 1,30 0,83 1,42 1,53 0,17 9,74 1,57 4,30
25 Kota Tasikmalaya - - 0,20 - - - 1,43 - - - 2,26 1,43 0,15 0,11 1,23 1,85 3,02 - 2,62 3,66
26 Kota Banjar 0,16 - 0,22 - - - 1,00 - - 1,47 3,12 0,42 1,15 0,26 0,96 - 2,47 1,43 4,01 2,58
Lampiran 2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Luas Panen

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
No Kabupaten/Kota

Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,68 0,00 0,03 0,09 1,33 0,63 - 0,26 1,58 0,54 0,75 0,62 1,81 1,58 1,44 0,82 4,23 4,93
2 Sukabumi 0,09 - 0,63 0,02 0,31 0,81 2,55 0,34 0,09 0,42 1,84 1,31 1,52 1,37 1,81 2,04 1,56 0,91 0,09 0,07
3 Cianjur 0,04 - 1,93 0,03 0,56 2,06 1,36 3,64 2,72 0,38 0,92 1,14 1,52 0,99 0,97 1,75 0,88 0,77 0,38 0,31
4 Bandung 1,03 2,66 1,02 3,11 2,34 0,94 1,04 1,53 2,01 1,31 0,10 0,33 0,23 0,96 0,07 0,36 0,24 1,06 0,15 0,09
5 Garut 0,56 2,39 0,84 1,60 1,68 0,89 0,69 1,01 - 2,08 0,34 1,39 0,98 1,68 0,65 0,74 0,31 1,41 0,22 0,15
6 Tasikmalaya - - 1,01 0,00 0,13 0,12 0,59 0,04 0,05 0,46 1,90 1,62 0,83 1,12 1,58 3,52 2,19 1,27 0,99 0,98
7 Ciamis - - 1,21 - 0,05 - 0,29 0,01 0,08 1,86 1,93 1,73 1,44 0,99 1,53 1,61 1,52 0,35 1,65 1,15
8 Kuningan 2,07 - 4,54 0,10 0,24 1,36 0,97 0,61 - 0,08 0,54 0,58 2,22 0,92 0,13 1,34 0,49 0,63 0,11 -
9 Cirebon 10,86 - - - - - - - - - 0,24 2,06 0,11 0,02 1,22 - 0,48 - 0,27 -
10 Majalengka 4,06 - 2,36 0,86 1,08 0,90 0,61 0,25 - 0,37 0,17 1,18 1,42 0,43 0,89 0,39 0,50 0,48 0,03 0,01
11 Sumedang 0,28 - 0,70 0,18 1,35 0,34 0,52 0,13 - 4,80 0,78 1,36 1,16 1,37 0,52 0,58 1,15 0,84 0,23 -
12 Indramayu 1,81 - - - - 1,19 0,29 - - - 2,77 1,29 2,45 0,37 3,19 - 3,03 0,13 0,93 0,74
13 Subang 0,14 - 0,57 0,07 0,16 1,17 0,38 0,16 2,31 - 4,35 0,69 1,18 0,98 2,45 1,75 2,12 2,19 0,72 0,47
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,01 0,13 0,57 0,20 1,55 - 3,15 0,96 1,47 0,68 2,16 1,10 2,76 1,02 1,97 1,76
15 Karawang - - - - - - 0,86 - - - 4,78 0,16 2,84 - 3,12 - 3,65 - 1,11 0,44
16 Bekasi - - - - - - 1,75 - 4,58 - 0,87 0,39 0,04 - 0,67 - 2,17 - 7,16 8,33
17 Bandung Barat 0,03 - 0,38 0,49 0,46 5,95 0,70 0,64 2,80 0,79 1,65 1,46 1,75 1,35 1,13 1,65 1,81 2,88 0,26 0,48
18 Kota Bogor - - 0,39 - - - 1,20 - - 0,56 1,64 0,48 0,77 1,35 2,25 2,02 1,58 - 4,31 3,93
19 Kota Sukabumi - - - - - - 5,12 - - - 2,44 0,68 - 1,70 0,89 0,42 2,08 - 1,40 -
20 Kota Bandung - - 1,30 - - 7,54 1,42 - - 1,52 1,68 0,49 1,83 1,59 2,00 1,75 - 15,95 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 1,79 0,79 0,59 - 1,33 - 2,22 - 7,45 8,08
22 Kota Bekasi - - - - - - 3,63 - - - 0,22 0,02 0,05 - 0,26 - 0,19 - 9,13 10,00
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 2,85 0,10 - - 3,92 - 2,04 - 7,26 6,63
24 Kota Cimahi - - 1,47 - - - 3,56 - - 0,05 0,73 0,57 1,57 1,02 1,63 1,25 0,16 7,69 1,34 3,67
25 Kota Tasikmalaya - - 0,06 - - - 1,49 - - - 2,20 1,61 0,26 - 1,22 1,99 2,97 - 2,44 3,48

161
26 Kota Banjar 0,16 - 0,19 - - - 0,95 - - 1,40 2,91 0,58 1,53 0,26 1,00 - 2,44 0,73 3,97 2,45
162
Lampiran 3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak

Tomat

Terung
Merah

Merah
No Kabupaten/Kota

Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,49 0,00 0,04 0,16 1,33 0,55 - 0,11 1,94 0,39 0,33 0,32 2,21 1,01 1,50 0,11 7,50 10,39
2 Sukabumi 0,14 - 0,75 0,02 0,26 0,53 2,93 0,26 0,07 0,37 2,02 0,97 0,84 1,12 2,47 1,58 1,54 2,24 0,04 0,05
3 Cianjur 0,03 - 1,65 0,03 0,46 1,83 1,29 3,00 2,98 0,40 1,15 1,06 1,94 1,12 1,29 2,03 1,02 0,79 0,30 0,15
4 Bandung 0,71 1,88 0,72 2,13 1,78 0,83 1,01 1,40 1,73 1,09 0,13 0,43 0,18 1,26 0,08 0,35 0,32 1,33 0,21 0,06
5 Garut 0,42 1,96 0,78 1,43 1,47 0,73 0,74 0,89 - 1,94 0,39 1,44 0,94 1,40 0,91 0,83 0,34 0,77 0,21 0,13
6 Tasikmalaya - - 0,67 0,00 0,10 0,08 0,69 0,04 0,03 0,51 2,12 2,90 0,95 0,72 2,23 4,08 2,48 0,39 1,31 0,88
7 Ciamis - - 0,73 - 0,07 - 0,28 0,01 0,03 0,90 2,03 3,93 1,79 1,05 1,75 1,90 1,81 0,12 1,73 0,82
8 Kuningan 1,80 - 7,27 0,10 0,24 1,58 1,25 0,69 - 0,05 0,40 0,33 2,00 0,47 0,10 1,04 0,43 0,27 0,24 0,00
9 Cirebon 16,92 - - - - - - - - - 0,26 2,11 0,08 0,00 1,34 - 0,93 - 0,42 0,03
10 Majalengka 6,44 - 3,74 0,97 0,60 0,95 0,93 0,09 - 0,39 0,14 0,72 1,10 0,38 0,94 0,38 0,35 0,08 0,01 0,04
11 Sumedang 0,33 - 0,63 0,18 2,06 0,23 0,55 0,20 - 4,84 1,10 1,06 1,47 1,09 0,60 0,48 2,08 0,20 0,37 0,02
12 Indramayu 2,10 - - - - 1,81 0,32 - - - 3,48 1,07 2,51 0,18 4,73 - 4,30 0,11 2,21 0,41
13 Subang 0,32 - 0,59 0,06 0,10 0,34 0,34 0,01 1,57 - 4,89 1,00 1,88 0,99 2,75 2,36 2,48 0,67 0,65 0,75
14 Purwakarta - - 0,59 - 0,02 0,17 0,65 0,23 1,53 - 5,55 0,68 1,30 0,46 1,75 1,30 3,50 0,16 3,05 1,92
15 Karawang - - - - - - 0,67 - - - 7,74 0,14 3,72 - 2,54 - 4,52 - 1,66 0,61
16 Bekasi - - - - - - 1,78 - 4,93 - 1,08 0,07 0,00 - 0,32 - 4,05 - 8,48 10,30
17 Bandung Barat 0,03 - 0,36 0,29 0,32 5,56 0,57 0,51 1,53 0,35 1,21 1,33 3,03 0,47 0,94 2,14 1,78 5,01 0,22 0,23
18 Kota Bogor - - 0,25 - - - 0,72 - - 0,58 2,11 0,94 0,91 0,91 3,02 2,68 1,58 - 6,74 4,78
19 Kota Sukabumi - - - - - - 4,26 - - - 2,61 0,55 - 0,65 0,93 0,42 2,28 - 8,29 -
20 Kota Bandung - - 1,46 - - 7,78 1,48 - - 1,96 2,18 0,51 1,90 0,73 2,56 2,13 - 5,33 - -
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - - 5,51 1,09 0,39 - 1,09 - 3,16 - 7,42 7,80
22 Kota Bekasi - - - - - - 4,08 - - - 0,49 0,06 0,17 - 0,42 - 0,28 - 10,77 14,39
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 6,15 0,12 - - 3,61 - 1,71 - 10,96 6,79
24 Kota Cimahi - - 1,46 - - - 3,20 - - 0,08 0,56 0,59 1,63 0,86 0,68 0,29 0,01 1,22 1,21 13,66
25 Kota Tasikmalaya - - 0,18 - - - 1,41 - - - 3,03 2,24 0,29 - 1,23 2,21 5,04 - 2,55 1,92
26 Kota Banjar 0,54 - 0,41 - - - 1,20 - - 1,07 2,94 0,78 1,99 0,20 1,21 - 3,83 0,50 4,31 3,65
Lampiran 4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Jumlah Pohon

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo

Petai
Duku
No Kabupaten/Kota

1 Bogor 1,27 3,64 8,48 4,07 2,36 2,58 0,57 0,33 0,33 5,02 2,99 0,72 4,11 0,85 3,80 0,10 1,13 0,78 1,38 1,26 1,03 2,37
2 Sukabumi 1,14 1,38 1,02 1,80 1,17 2,00 1,45 1,47 1,20 1,64 2,00 0,06 5,16 2,24 1,02 0,06 2,55 1,54 1,72 0,59 0,17 0,81
3 Cianjur 1,10 0,75 0,45 1,19 1,25 1,03 0,70 0,62 0,59 0,24 1,04 0,08 0,62 2,68 0,39 0,09 1,49 - 2,64 0,59 0,54 1,22
4 Bandung 13,38 3,49 0,14 2,45 5,18 4,80 1,75 8,89 1,19 0,81 4,09 0,00 2,11 1,22 0,55 0,02 5,34 3,03 1,75 8,93 1,19 3,19
5 Garut 5,46 1,24 0,78 1,03 1,42 1,14 10,14 0,66 1,89 0,35 1,48 0,02 2,02 1,63 0,83 0,01 1,39 5,26 2,28 1,55 0,74 1,48
6 Tasikmalaya 0,43 0,34 0,88 0,83 0,35 0,27 0,70 0,23 0,26 2,26 0,45 0,03 0,60 0,61 0,76 4,80 0,73 0,13 1,27 0,75 0,24 0,59
7 Ciamis 0,97 1,28 3,88 1,50 0,90 1,74 0,91 2,39 0,69 1,96 0,93 0,09 1,06 2,24 1,08 0,28 0,16 10,36 1,81 1,79 0,75 2,87
8 Kuningan 0,57 0,76 0,20 1,87 2,25 0,63 0,98 0,26 3,52 0,11 1,82 0,02 0,89 1,45 1,61 0,22 0,23 - 1,05 3,36 8,50 2,82
9 Cirebon 0,12 1,80 0,15 0,44 7,49 4,14 0,71 0,11 9,64 - 1,58 0,00 3,74 0,94 0,41 0,02 2,76 - 0,87 0,85 3,02 0,50
10 Majalengka 3,10 2,38 0,17 2,12 2,02 1,99 1,31 0,57 4,49 0,18 3,26 0,02 1,09 1,26 0,78 0,04 1,04 0,08 1,01 2,30 8,06 2,70
11 Sumedang 2,24 0,50 0,47 1,63 1,04 0,43 1,11 9,39 1,85 0,40 2,45 0,04 1,04 1,52 1,09 1,31 5,41 - 0,44 1,06 1,54 2,73
12 Indramayu 0,09 5,07 - 0,01 2,81 4,06 0,48 0,11 11,48 - 2,62 - 0,91 0,81 0,03 0,01 2,10 - 1,35 3,45 4,07 1,58
13 Subang 0,02 0,10 0,02 0,12 0,07 0,09 0,22 0,02 0,07 0,13 0,06 2,66 0,10 0,19 0,47 0,00 0,05 - 0,09 0,05 0,06 0,04
14 Purwakarta 0,15 0,65 0,45 1,24 1,09 1,01 0,32 0,74 0,54 3,91 0,63 0,05 0,47 2,59 2,82 0,01 0,67 0,19 0,84 0,35 0,81 0,76
15 Karawang 0,05 6,86 0,06 3,96 3,77 8,75 0,97 0,14 4,87 0,24 3,58 0,04 2,50 0,95 4,14 0,00 2,31 - 5,00 2,35 1,69 2,44
16 Bekasi 0,01 3,13 12,75 0,78 3,48 6,46 0,44 - 2,40 0,06 2,82 - 1,17 1,75 3,33 0,16 1,20 - 0,80 2,08 2,14 0,94
17 Bandung Barat 3,26 0,98 0,45 1,39 2,93 0,96 0,81 1,30 0,33 0,77 1,69 0,50 1,78 1,78 1,62 0,15 1,40 0,22 1,04 2,64 1,16 0,85
18 Kota Bogor 1,20 10,03 1,95 1,43 10,20 9,63 2,89 3,07 0,37 1,25 1,70 0,16 11,70 1,22 2,12 0,02 3,60 - 3,50 1,25 0,50 0,25
19 Kota Sukabumi 3,94 2,72 - 4,19 0,83 5,53 - - 2,87 3,21 8,83 - 4,55 1,04 1,96 - 0,64 8,39 0,36 10,35 3,01 3,80
20 Kota Bandung 3,91 14,33 0,09 1,86 7,07 11,85 4,28 17,54 3,40 - 5,78 - 5,18 0,37 1,50 - 4,97 - 6,04 14,17 3,39 2,24
21 Kota Cirebon 0,18 5,96 9,12 0,16 7,31 11,04 1,25 - 10,48 0,11 1,96 - 1,30 0,40 0,28 - 3,87 - 2,41 2,54 3,33 2,61
22 Kota Bekasi 0,32 16,73 7,27 5,20 7,39 11,37 0,64 5,12 1,85 0,14 3,04 0,01 6,84 0,33 8,91 0,01 7,91 - 2,15 1,44 5,23 0,50
23 Kota Depok 0,49 64,70 0,09 2,68 8,65 1,99 1,61 2,33 1,03 0,90 4,03 0,14 14,96 0,55 4,99 0,06 3,50 - 0,36 0,14 1,03 0,05
24 Kota Cimahi 3,50 14,24 6,21 4,36 6,14 9,54 1,35 1,85 1,96 1,07 2,73 - 4,39 0,23 2,92 0,03 1,86 12,72 1,55 19,52 1,18 11,20

163
25 Kota Tasikmalaya 0,37 0,39 1,11 2,33 0,77 0,52 0,20 0,01 1,29 0,44 3,31 0,00 0,34 0,24 3,80 4,01 0,29 0,10 0,42 6,05 0,99 2,23
26 Kota Banjar 0,14 0,32 - 2,56 0,28 0,66 0,21 0,16 1,03 0,11 0,91 0,01 0,27 2,33 3,57 0,04 2,13 - 0,66 0,38 4,06 1,05
164
Lampiran 5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
No Kabupaten/Kota

Nenas

Salak
Jeruk

Sawo

Petai
Duku
1 Bogor 0,57 5,07 6,04 4,23 2,89 1,26 0,36 0,55 0,17 3,32 2,78 0,21 3,59 0,60 2,63 0,11 0,90 0,85 0,85 0,95 0,67 1,78
2 Sukabumi 0,46 0,43 0,37 0,64 0,95 0,68 0,73 2,28 0,67 0,25 1,17 0,01 7,22 1,36 0,05 0,01 1,55 1,40 1,19 0,45 0,24 0,29
3 Cianjur 0,47 0,45 0,83 0,82 0,99 0,72 0,57 0,92 0,19 0,10 0,74 0,01 0,29 2,04 0,16 0,01 0,94 - 1,52 0,15 0,26 0,46
4 Bandung 6,11 3,93 0,37 1,18 2,97 4,13 1,87 9,56 0,40 0,01 3,40 0,00 1,13 0,92 0,20 0,01 2,41 7,80 2,09 2,72 0,99 2,65
5 Garut 5,57 0,45 0,99 1,34 0,75 0,53 4,93 0,20 0,79 0,24 0,46 0,00 0,34 1,37 0,27 0,01 0,61 2,42 3,04 0,32 0,10 0,97
6 Tasikmalaya 0,25 0,29 1,20 1,12 0,28 0,40 0,25 0,35 0,09 6,95 0,68 0,01 0,47 0,85 0,34 9,36 0,76 0,08 1,71 2,59 0,13 0,53
7 Ciamis 0,58 0,43 4,41 1,40 0,53 1,10 0,82 1,74 0,32 1,33 0,65 0,01 0,43 1,77 0,32 0,45 1,43 7,69 0,98 0,31 0,12 2,13
8 Kuningan 0,76 0,16 0,34 4,15 1,06 0,37 1,75 0,31 1,75 0,01 1,38 0,01 0,35 0,96 0,67 0,16 0,10 - 0,72 1,42 5,75 2,62
9 Cirebon 0,17 1,11 0,07 0,65 8,84 1,58 0,17 0,12 4,18 - 1,54 0,00 0,95 0,32 0,10 0,00 1,58 - 0,60 0,90 4,40 0,65
10 Majalengka 1,59 0,97 0,11 0,93 1,17 0,91 1,09 0,31 3,56 0,05 1,19 0,00 0,29 0,59 0,25 0,04 0,89 - 0,18 0,62 9,73 2,45
11 Sumedang 0,86 0,28 1,13 1,67 0,43 0,16 0,96 5,39 2,02 0,02 3,57 0,00 0,27 0,90 0,42 1,82 3,25 - 0,18 0,16 0,94 3,87
12 Indramayu 0,01 1,50 - 0,02 1,15 2,70 0,06 0,12 6,24 - 0,71 - 0,14 0,16 0,02 0,00 1,56 - 0,35 9,39 0,74 0,55
13 Subang 0,04 0,11 0,06 0,17 0,10 0,09 0,17 0,01 0,43 0,54 0,18 4,73 0,05 0,25 2,27 0,01 0,18 - 0,06 0,07 0,15 0,09
14 Purwakarta 0,07 0,26 0,35 0,47 0,50 0,90 0,23 0,43 0,14 0,87 0,30 0,01 0,09 1,70 2,49 0,01 0,54 0,04 0,42 0,14 0,64 0,94
15 Karawang 0,03 2,67 0,23 1,54 3,56 12,74 1,17 0,25 2,14 0,04 2,32 0,01 1,22 0,27 2,36 0,00 1,60 - 4,14 1,12 0,54 4,18
16 Bekasi 0,00 2,19 0,43 0,03 4,79 10,33 0,82 - 2,25 0,00 1,87 - 0,42 0,49 2,72 0,04 1,24 - 0,10 1,05 1,55 0,94
17 Bandung Barat 2,54 0,31 1,11 0,47 1,81 1,56 2,09 0,51 0,12 0,28 1,80 0,13 0,19 1,13 3,07 0,03 0,78 0,02 0,66 0,68 2,08 0,32
18 Kota Bogor 1,33 7,06 4,04 2,78 6,14 6,18 3,48 4,45 0,31 0,94 1,16 0,05 5,96 0,59 0,86 0,02 3,19 - 0,97 0,42 1,97 0,29
19 Kota Sukabumi 3,63 1,94 - 3,04 1,36 0,48 - - 0,75 0,13 14,25 - 4,52 0,39 0,51 - - - 0,28 0,58 0,54 0,40
20 Kota Bandung 4,69 8,05 - 1,74 0,90 4,01 9,14 33,28 0,75 - 4,64 - 2,19 0,38 0,30 - 4,68 - 3,86 5,40 1,47 0,75
21 Kota Cirebon 0,08 4,20 - - 3,00 7,85 0,75 - 3,89 - 5,82 - 0,29 0,30 0,06 - 2,63 - 1,88 1,84 2,31 2,32
22 Kota Bekasi 0,27 8,95 2,70 2,92 2,52 15,98 0,73 5,11 0,73 - 2,13 0,00 2,00 0,23 3,72 - 3,83 - 0,48 0,26 4,73 0,62
23 Kota Depok 0,86 77,84 4,18 2,35 5,59 0,45 0,19 0,02 0,14 0,03 1,96 0,03 5,33 0,19 2,03 0,02 0,92 - 0,10 0,05 0,64 0,03
24 Kota Cimahi 1,74 6,85 0,36 11,21 3,59 10,70 0,99 0,82 0,24 0,25 0,80 - 0,70 0,07 1,04 0,02 0,36 9,17 0,22 16,09 0,33 8,15
25 Kota Tasikmalaya 0,43 0,53 0,72 0,09 0,36 0,22 - - 2,20 0,07 2,31 0,00 0,48 0,30 0,77 8,62 0,49 - 1,14 2,61 0,83 2,29
26 Kota Banjar 0,40 0,07 4,59 7,01 0,27 1,14 0,09 0,19 0,49 0,14 1,14 0,00 0,44 0,77 2,87 0,07 4,48 - 0,72 0,86 7,02 2,46
Lampiran 6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

Nilai Differential Shif t Luas Tanam

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,20 -0,07 -0,21 4,46 0,28 0,10 -0,78 -0,06 -0,15 0,03 0,04 -0,07 -0,18 -0,07 -0,32 0,41 0,66 0,79
2 Sukabumi 0,31 - -0,07 -0,59 0,18 19,46 -0,15 0,58 - -0,12 -0,12 0,51 -0,29 0,03 -0,25 -0,14 -0,13 0,46 -0,64 -0,63
3 Cianjur 2,71 - -0,01 -0,25 0,02 7,16 0,00 0,09 0,15 -0,07 0,63 0,70 -0,21 0,10 0,53 0,08 0,81 0,33 0,24 -0,23
4 Bandung -0,39 -0,02 0,48 -0,08 -0,15 -0,32 -0,10 -0,20 -0,23 -0,02 -0,34 -0,55 -0,12 -0,32 -0,49 -0,30 0,94 -0,38 -0,16 -0,80
5 Garut 0,58 0,07 0,03 0,17 0,36 1,47 0,15 0,29 - 0,23 0,46 0,17 0,04 0,22 0,52 0,19 -0,06 0,22 -0,05 -0,05
6 Tasikmalaya -0,94 - 0,37 -0,47 0,19 -0,07 -0,07 -0,10 -0,63 -0,32 -0,01 -0,07 -0,10 0,10 -0,22 0,09 -0,25 -0,21 -0,41 -0,36
7 Ciamis - - -0,32 -0,74 -0,20 - -0,27 -0,66 -0,28 0,09 -0,17 0,21 0,08 -0,01 -0,20 -0,08 -0,47 3,33 -0,65 -0,37
8 Kuningan -0,16 - -0,32 - 0,01 1,80 -0,07 -0,12 - 0,97 0,94 0,55 0,66 0,23 -0,45 1,11 0,32 0,18 -1,22 -
9 Cirebon 0,27 - - - - - - - - -0,89 -0,53 -0,13 -0,30 -0,47 -0,43 - -0,49 - -0,84 -1,27
10 Majalengka -0,03 - -0,16 6,80 -0,21 0,20 0,64 -0,06 -0,56 -0,25 -0,45 -0,13 -0,38 0,50 0,86 -0,01 -0,26 -0,47 -0,64 -
11 Sumedang -0,14 - -0,23 -0,34 0,27 0,46 -0,24 0,25 - -0,29 0,10 0,16 -0,14 0,08 0,07 0,30 -0,05 0,27 0,12 -0,61
12 Indramayu 0,24 - - -0,74 - - - - - - -0,07 -0,26 7,35 0,27 0,31 - 0,39 - 1,49 13,13
13 Subang - - 0,89 -0,46 0,24 0,71 2,11 0,18 0,85 -0,89 -0,21 0,11 -0,27 0,17 0,22 -0,05 -0,33 1,45 -0,26 -0,16
14 Purwakarta - - 0,50 - 0,88 - 0,15 - 6,72 - 0,33 0,32 1,28 0,44 0,18 0,11 0,31 0,81 0,40 0,49
15 Karawang -0,94 - - - - - -0,45 - - - 0,03 -0,14 0,42 - -0,07 - 0,14 - -0,70 -1,00
16 Bekasi -0,94 - - - - - 0,56 - 3,53 - -0,24 0,32 8,92 - 0,05 - -0,10 -0,51 0,12 0,19
17 Bandung Barat 0,04 - 0,38 0,05 -0,17 -0,27 0,32 0,04 0,01 0,65 0,37 -0,46 0,35 -0,14 0,40 -0,10 2,04 -0,29 -0,03 -0,53
18 Kota Bogor - - -0,19 - - - 1,04 - - -0,38 -0,10 -0,63 0,66 -0,37 -0,35 0,24 -0,12 - -0,52 -0,88
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,21 - - - -0,27 -0,12 -1,08 -0,36 -0,82 -0,65 -0,56 -0,67 -0,95 -
20 Kota Bandung - - -0,79 - - - -0,80 - - -0,14 0,29 3,06 1,42 4,20 - 2,22 -0,55 - -1,04 -1,27
21 Kota Cirebon - - - - - - #DIV/0! - - -0,89 0,37 0,06 -0,79 - 0,24 - -0,05 - 0,20 0,16
22 Kota Bekasi - - - - - - -0,16 - -0,78 - -0,21 0,06 -0,08 - -0,30 - -0,19 - -0,29 -0,27
23 Kota Depok - - - - - - #DIV/0! - - - -0,07 -0,70 - -0,80 -0,19 - 0,17 - -0,22 -0,32
24 Kota Cimahi - - 0,65 - - - -0,09 -0,71 - -0,89 8,14 14,06 - 1,53 1,59 4,88 - - 0,92 1,87
25 Kota Tasikmalaya - - -0,39 - - - -0,20 - - - -0,11 -0,10 -0,58 0,20 -0,16 -0,05 -0,14 - 0,00 0,27

165
26 Kota Banjar - - -0,11 - - - -0,33 - -0,78 -0,49 1,61 -0,42 0,15 -0,09 -0,24 -0,78 5,55 0,83 0,40 -0,46
Lampiran 7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

166
Nilai Differential Shift Luas Panen

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - 0,13 -0,26 -0,07 5,50 0,14 0,09 -0,84 -0,18 -0,20 0,09 0,00 -0,04 -0,08 -0,06 -0,40 0,65 0,40 0,54
2 Sukabumi 0,30 - -0,04 -0,71 0,16 - -0,20 0,65 - -0,10 -0,13 0,49 -0,38 0,04 -0,30 -0,07 -0,16 0,07 -0,74 -0,64
3 Cianjur 2,13 - 0,07 -0,20 0,03 5,91 0,04 0,10 0,08 -0,05 0,66 0,74 -0,08 0,09 0,53 -0,03 0,74 0,00 0,40 0,07
4 Bandung -0,27 -0,02 0,50 -0,01 -0,11 -0,21 -0,09 -0,20 -0,26 0,03 -0,20 -0,48 0,22 -0,27 -0,40 -0,24 1,20 0,17 -0,05 -0,34
5 Garut 0,57 0,06 0,14 0,08 0,35 1,54 0,05 0,25 - 0,20 0,34 0,10 -0,17 0,18 0,48 0,16 -0,10 0,26 -0,19 0,12
6 Tasikmalaya -0,87 - 0,61 -0,72 0,55 0,10 0,11 -0,02 -0,74 -0,21 0,04 -0,01 -0,11 0,10 -0,08 0,23 -0,14 -0,74 -0,26 -0,33
7 Ciamis - - -0,21 -0,86 -0,20 - -0,11 -0,65 -0,70 0,38 -0,24 0,42 0,00 0,09 -0,42 -0,06 -0,30 0,69 -0,41 -0,61
8 Kuningan -0,13 - -0,32 -0,60 -0,04 2,22 0,00 -0,21 - 0,00 0,83 0,94 1,32 0,38 -0,56 1,13 0,31 10,69 -0,86 -
9 Cirebon 0,22 - - - - - - - - -0,89 -0,59 -0,25 -0,59 -0,58 -0,59 - -0,53 - -0,37 -1,28
10 Majalengka -0,12 - -0,34 -0,01 -0,32 0,005 0,58 0,03 -0,84 -0,28 -0,51 -0,14 -0,27 0,43 0,61 -0,07 -0,16 0,19 -0,39 -
11 Sumedang -0,09 - -0,16 -0,46 0,21 0,27 -0,38 0,26 - -0,28 0,05 0,07 -0,32 0,00 -0,08 0,33 -0,11 0,03 0,11 -1,28
12 Indramayu 0,31 - - - - - - - - - -0,12 -0,36 5,95 0,06 0,29 - 0,09 - 3,17 13,12
13 Subang - - 1,35 -0,54 0,39 0,76 1,44 0,61 1,33 -0,89 0,00 -0,05 -0,41 -0,02 0,53 0,11 -0,37 2,40 -0,53 -0,28
14 Purwakarta - - 0,54 - 0,01 - 0,22 - 6,16 - 0,32 0,69 0,92 0,43 0,37 0,15 0,35 0,47 0,57 0,54
15 Karawang -0,87 - - - - - -0,32 - - - 0,05 -0,17 1,53 - -0,04 - 0,15 - -0,70 -0,81
16 Bekasi - - - - - - 0,84 - - - -0,29 -0,23 8,74 - 0,13 - 0,11 -1,31 0,05 0,10
17 Bandung Barat -0,16 - 0,22 -0,08 -0,28 -0,30 0,10 -0,01 -0,05 -0,06 0,07 -0,28 0,21 -0,15 -0,10 -0,25 1,72 -0,34 -0,16 -0,81
18 Kota Bogor - - 0,13 - - - 1,32 - - -0,26 -0,09 -0,62 0,36 -0,35 -0,47 0,16 0,04 - -0,43 -0,77
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,20 - - - -0,25 0,02 -1,26 -0,41 -0,90 -0,67 -0,60 - -0,58 -
20 Kota Bandung - - -0,70 - - - -0,77 - - 0,31 -0,46 -0,05 1,24 1,09 2,84 3,20 -1,12 0,52 -1,39 -1,28
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,89 0,21 0,08 -0,83 - 0,09 - -0,17 - 0,09 0,17
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,06 - -0,84 - 0,10 -0,25 -0,26 - -0,10 - -0,15 - -0,16 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 0,55 -0,74 - -0,91 0,22 - 0,42 - -0,05 -0,13
24 Kota Cimahi - - 6,88 - - - -0,10 - - -0,84 2,47 - - 3,84 2,84 3,87 - - 14,61 2,52
25 Kota Tasikmalaya - - -0,78 - - - -0,04 - - - -0,10 -0,15 -0,59 -0,91 -0,53 -0,15 -0,16 - -0,08 0,33
26 Kota Banjar - - 0,08 - - - -0,23 - -0,84 -0,45 0,61 0,45 1,24 -0,05 -0,36 -0,80 0,36 0,19 0,76 -0,49
Lampiran 8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

Nilai Differential Shift Produksi

Cabe Rawit
Cabe Besar

Labu Siam

Kangkung
Kembang

Ketimun
Bawang

Kentang

Panjang
Bawang

Bawang

Kacang

Kacang

Bayam
Buncis
Wortel

Lobak
No Kabupaten/Kota

Tomat

Terung
Merah

Merah
Kubis

Sawi
Putih

Daun

Kol
1 Bogor - - -0,04 -0,47 0,10 13,97 0,26 0,07 -0,77 -0,45 -0,04 -0,29 -0,69 -0,58 0,61 -0,05 -0,46 -1,16 1,00 0,65
2 Sukabumi 0,38 - 0,02 -0,78 -0,08 - -0,19 0,16 - -0,47 -0,27 -0,17 -1,16 -0,42 -0,39 -0,17 -0,25 2,87 -1,23 -1,07
3 Cianjur 0,41 - -0,30 -0,38 -0,20 3,99 -0,25 -0,17 -0,04 -0,56 0,22 0,48 -0,11 0,13 0,10 -0,21 0,32 0,71 0,23 -0,74
4 Bandung -0,38 -0,01 0,49 0,00 -0,07 -0,12 -0,11 -0,01 -0,13 0,12 -0,38 -0,14 1,41 -0,10 -0,51 -0,22 0,65 -0,18 -0,90 -1,20
5 Garut 0,64 0,03 0,42 0,04 0,40 1,64 0,41 0,68 - 0,21 0,62 0,19 -0,10 0,29 1,22 0,70 0,33 1,62 0,01 0,21
6 Tasikmalaya -1,04 - 0,71 -0,73 0,78 0,09 0,64 0,16 -0,69 0,44 0,28 -0,34 -0,58 -0,38 -0,41 0,36 -0,33 -0,87 -0,41 -0,69
7 Ciamis - - -0,34 -0,90 -0,24 - 0,04 -0,51 -0,70 -0,62 -0,20 1,03 1,75 0,56 -0,58 -0,06 -0,42 0,76 -0,93 -0,86
8 Kuningan -0,08 - 0,10 -0,66 0,02 3,71 0,23 0,13 - -0,24 0,92 0,36 0,75 0,38 -0,40 1,83 0,28 24,68 0,57 -
9 Cirebon 0,14 - - - - - - - - -0,97 -0,15 0,26 0,10 -0,90 -0,42 - 0,70 - -0,88 -1,14
10 Majalengka 0,09 - -0,22 0,10 -0,49 0,018 0,17 -0,36 -0,77 -0,27 0,25 -0,60 -0,91 -0,74 0,99 0,26 -0,22 -1,14 -1,19 -
11 Sumedang 0,18 - 0,08 -0,45 0,64 0,69 0,04 1,80 - -0,17 0,49 -0,01 0,09 0,49 0,40 0,53 0,06 -0,56 -0,46 -0,34
12 Indramayu 0,04 - - - - - - - - - -0,21 -0,26 9,90 3,35 0,14 - 0,13 - 2,31 2,03
13 Subang - - 2,72 -0,61 0,29 -0,07 1,79 -0,48 1,20 -0,97 -0,05 1,31 0,68 2,85 0,27 1,06 -0,19 1,86 -1,14 0,10
14 Purwakarta - - 0,66 - 0,11 - 0,21 - 6,46 - 0,59 0,26 0,71 0,59 0,44 0,36 0,84 -0,34 3,13 0,68
15 Karawang -1,04 - - - - - -0,43 - - - 0,24 0,11 7,93 - -0,34 - 0,42 - -0,99 -0,78
16 Bekasi - - - - - - 1,28 - - - -0,48 -0,31 -0,54 - -0,65 - -0,32 -1,36 0,69 0,41
17 Bandung Barat -0,26 - 0,27 - - - 0,05 0,29 -0,06 -0,26 -0,34 0,09 2,11 -0,59 -0,36 -0,21 1,25 -0,29 -0,82 -1,12
18 Kota Bogor - - 0,11 - - - 0,43 - - 0,56 2,57 2,50 5,79 3,98 1,42 0,80 2,33 - 7,09 0,17
19 Kota Sukabumi - - - - - - -0,07 - - - -0,23 0,25 -1,54 -0,88 -0,68 -0,52 -0,46 - 5,43 -
20 Kota Bandung - - -0,57 - - - -0,65 - - -0,04 -0,38 0,00 1,38 0,75 5,72 2,72 -1,00 1,15 -1,54 -1,66
21 Kota Cirebon - - - - - - - - - -0,97 0,07 -0,16 -1,23 - 0,09 - -0,03 - -0,10 -0,11
22 Kota Bekasi - - - - - - 0,51 - -0,77 - 0,02 -0,25 0,53 - 0,11 - 0,00 - 0,06 -0,10
23 Kota Depok - - - - - - - - - - 1,73 -0,68 - -1,45 -0,62 - -0,57 - -0,76 -1,32
24 Kota Cimahi - - 32,74 - - - 0,14 - - -0,86 1,37 - - 7,90 0,67 1,27 - - -0,01 25,78

167
25 Kota Tasikmalaya - - -0,48 - - - -0,38 - - - -0,46 -0,65 -1,15 -1,45 -0,94 -0,45 -0,28 - -1,21 -1,04
26 Kota Banjar - - 0,98 - - - -0,47 - -0,77 -0,85 -0,53 -0,20 0,13 -0,70 -0,70 -0,68 -0,06 -0,01 -0,68 -1,23
Lampiran 9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009

168
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo
No Kabupaten/Kota

Petai
Duku
1 Bogor 0,54 0,02 0,00 0,12 0,09 0,03 -0,60 -0,06 -0,17 0,68 -0,10 0,47 -0,43 -0,28 -0,05 0,17 0,16 0,22 0,35 -0,33 0,31 2,57
2 Sukabumi 0,00 0,24 0,37 -0,01 0,01 0,19 -0,17 -0,06 0,50 0,74 0,58 0,00 1,13 0,14 0,26 0,79 0,78 1,53 -0,25 0,83 -0,02 -0,01
3 Cianjur 0,16 0,05 -0,06 -0,04 -0,15 -0,01 -0,21 -0,51 0,42 -0,33 0,05 0,21 0,09 -0,10 0,04 0,32 0,35 - -0,11 0,03 0,17 0,00
4 Bandung -0,02 -0,04 -0,13 -0,10 -0,05 -0,12 -0,42 -0,25 0,00 -0,22 -0,19 0,00 -0,08 0,85 -0,05 -0,12 0,65 1,72 -0,24 0,44 -0,16 0,06
5 Garut -0,14 -0,01 -0,33 -0,03 -0,07 -0,02 0,54 -0,42 -0,10 -0,13 0,17 0,12 0,06 0,24 0,01 0,26 0,41 -0,15 0,02 -0,03 -0,09 -0,08
6 Tasikmalaya -0,17 0,12 0,16 0,18 -0,07 0,04 0,47 -0,48 -0,01 -0,09 0,13 0,62 0,31 0,13 0,28 0,01 0,50 1,44 0,25 0,22 0,19 0,04
7 Ciamis -0,22 -0,09 -0,07 -0,21 -0,18 -0,19 -0,01 0,10 -0,13 -0,43 -0,27 0,26 -0,03 -0,15 -0,30 -0,55 -0,66 - -0,02 -0,40 -0,48 -0,28
8 Kuningan 1,50 -0,11 -0,06 -0,21 -0,13 0,09 -0,24 -1,25 -0,10 -0,46 0,07 0,00 0,12 0,16 -0,02 0,35 0,40 - -0,03 -0,33 0,05 -0,27
9 Cirebon 0,10 -0,29 -0,12 -0,27 0,37 1,11 -0,13 -1,41 -0,23 - -0,22 -0,43 1,34 -0,19 -0,30 11,70 0,21 - -0,39 -0,64 0,07 -0,40
10 Majalengka 0,55 -0,02 0,04 0,25 0,38 -0,04 -0,15 -0,24 0,58 -0,34 0,05 0,21 0,13 0,11 0,04 0,53 0,41 -0,09 0,03 0,91 0,05 0,36
11 Sumedang 0,09 0,00 0,24 -0,28 0,35 0,03 -0,15 0,65 0,09 2,68 -0,03 0,16 0,19 0,12 -0,01 0,19 1,02 - -0,08 1,61 0,08 0,01
12 Indramayu -0,80 -0,01 - -0,22 -0,09 -0,03 -1,03 -0,68 -0,22 - 0,01 - 0,01 -0,15 0,41 17,13 0,55 - 0,11 -0,35 0,09 -0,14
13 Subang 0,53 0,00 0,19 0,81 0,09 -0,07 0,22 -0,36 -0,19 -0,01 0,05 -0,01 -0,44 -0,16 -0,13 0,90 0,38 - 0,00 -0,49 -0,26 -0,45
14 Purwakarta -0,08 0,04 0,04 0,03 -0,19 -0,16 -0,03 -0,46 0,37 0,26 0,11 0,15 0,29 -0,03 0,08 0,04 0,69 3,47 0,11 -0,02 0,23 1,26
15 Karawang -0,19 0,07 0,06 1,11 0,15 -0,01 0,51 0,00 0,44 1,60 0,11 0,32 0,67 -0,51 0,91 -0,37 0,76 - 0,05 -0,16 0,88 0,43
16 Bekasi -0,67 -0,06 0,06 0,65 -0,12 0,01 -0,43 -1,60 0,27 -0,34 0,26 -0,62 0,09 0,42 0,00 0,01 0,07 - -0,11 1,26 0,12 -0,77
17 Bandung Barat -0,04 -0,06 -0,17 -0,10 -0,05 -0,08 -0,13 -0,17 -0,01 -0,33 -0,18 0,04 -0,19 0,87 -0,02 -0,11 0,83 1,82 -0,16 0,48 -0,19 0,04
18 Kota Bogor -0,43 -0,24 -0,47 -0,60 1,02 0,64 1,10 -0,73 -0,49 -0,60 0,12 -0,10 1,09 2,77 -0,54 -0,67 0,18 -0,20 -0,27 -0,31 -0,41 -0,12
19 Kota Sukabumi -0,20 -0,03 - -0,03 -0,21 1,18 -1,08 - 0,13 0,11 0,01 - -0,39 0,32 0,29 - 0,32 1,28 0,56 2,43 0,11 -0,08
20 Kota Bandung -0,17 0,04 0,06 -0,18 -0,06 0,00 -0,08 -0,60 -0,17 - 0,06 - 0,22 0,09 -0,06 - 0,32 - 0,07 -0,29 0,07 -0,37
21 Kota Cirebon -0,32 -0,42 - -0,38 -0,20 -0,03 -0,35 - -0,06 -0,63 0,00 - -0,49 0,05 -0,08 - 0,19 - -0,08 0,09 -0,09 -0,31
22 Kota Bekasi 0,28 0,09 -0,40 -0,39 -0,13 0,03 -0,17 -0,34 -0,20 -0,92 -0,22 0,09 0,16 -0,07 -0,25 -0,02 0,34 - 0,46 -0,01 -0,22 0,02
23 Kota Depok 0,18 0,09 -0,93 -0,20 0,00 0,09 -0,12 -0,57 -0,13 -0,34 0,07 0,28 -0,06 -0,17 -0,08 -0,23 0,28 - 0,29 0,07 0,21 -0,34
24 Kota Cimahi -0,06 0,01 79,00 0,41 -0,11 0,28 -0,06 -0,48 0,35 1,65 -0,07 - 0,25 -0,37 1,20 0,87 0,29 2,13 0,34 5,42 0,47 17,47
25 Kota Tasikmalaya 0,46 -0,06 2,23 -0,43 -0,25 -0,20 -0,28 - -0,43 -0,56 -0,15 0,34 0,15 0,02 -0,20 -0,11 0,27 - -0,02 -0,27 0,10 2,04
26 Kota Banjar -0,05 0,03 -0,94 -0,29 -0,40 -0,29 -0,07 0,72 -0,23 0,33 -0,19 0,70 0,43 0,05 0,19 0,15 0,57 - 0,02 0,03 -0,10 -0,59
Lampiran 10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Nilai Differential Shift Produksi

Jeruk Besar
Jambu Biji
Belimbing

Jambu Air

Manggis

Rambutan

Melinjo
Markisa
Mangga
Alpukat

Nangka

Pepaya
Durian

Pisang

Sukun
Sirsak
Nenas

Salak
Jeruk

Sawo
No Kabupaten/Kota

Petai
Duku
1 Bogor -0,52 -0,46 2,84 2,70 -0,44 -1,19 -0,03 -0,56 -0,29 -0,64 -0,25 2,86 -1,39 -0,18 0,05 1,49 -0,37 0,07 0,90 0,00 -0,71 0,85
2 Sukabumi 0,75 1,45 3,72 -1,20 2,59 0,27 2,85 8,10 8,40 5,75 0,68 -0,99 4,39 1,42 -1,28 0,13 2,32 32,55 3,15 21,30 5,97 1,97
3 Cianjur -0,10 -0,30 -0,16 -0,86 -0,75 0,51 -0,88 -1,08 -0,48 0,62 -0,06 -0,70 -0,87 -0,38 -1,43 0,30 0,47 - -0,41 0,08 -0,54 0,12
4 Bandung -0,49 1,99 0,32 0,83 -0,26 0,29 0,39 -1,07 -0,54 -0,48 0,26 25,30 -0,80 0,12 8,03 0,62 -0,21 9,22 1,74 2,27 3,11 1,60
5 Garut -0,07 0,17 8,70 7,50 -0,49 -0,80 -0,02 -2,08 -0,81 2,20 -0,12 -0,43 0,12 1,03 -0,43 1,03 -0,51 -0,75 0,00 -1,93 0,52 0,21
6 Tasikmalaya 0,37 0,27 0,28 -0,02 -0,23 1,54 0,55 -1,27 1,06 0,35 -0,26 0,16 -0,23 0,24 -1,20 -0,10 -0,12 55,03 1,03 3,71 -0,32 0,18
7 Ciamis 2,61 0,98 -0,32 4,03 1,78 1,89 3,51 13,43 0,17 -0,46 -0,52 0,06 -0,81 0,17 -1,82 0,85 -0,78 - 0,65 -1,09 -0,70 0,32
8 Kuningan 0,00 0,10 6,52 -0,60 0,29 -1,06 -0,06 -1,91 -0,68 -1,57 -0,67 -0,57 -0,75 0,35 -1,20 1,53 -0,98 - 0,18 -2,06 -0,75 -1,05
9 Cirebon 8,60 2,56 14,27 - 1,23 2,89 10,35 15,32 0,81 - 1,46 0,44 3,84 0,56 4,72 3,31 0,34 - 7,74 13,93 1,22 1,07
10 Majalengka 0,45 -0,28 -0,19 -0,23 1,21 0,82 0,15 -1,88 0,48 1,99 -0,60 -0,60 -1,20 0,31 0,42 0,47 -0,56 -0,97 -0,07 0,23 1,75 0,93
11 Sumedang 1,25 1,53 6,03 2,62 0,31 0,52 1,57 -0,14 5,58 -0,55 4,15 -0,51 -0,56 0,14 0,63 2,96 1,44 - 0,88 5,73 -0,15 1,14
12 Indramayu 2,53 4,73 - 12,73 3,88 1,28 -1,20 7,11 -0,37 - -0,71 - 0,01 0,60 -1,93 - 1,62 - 0,29 -0,42 3,92 1,48
13 Subang 1,94 -0,33 0,26 -0,73 0,87 -0,98 0,11 -2,70 0,35 0,17 0,09 -0,01 -1,41 -0,32 0,73 5,46 0,02 - 0,75 -0,28 -0,73 -1,09
14 Purwakarta 0,34 0,85 -0,26 1,15 0,36 0,69 1,73 -0,65 0,48 -1,18 -0,70 0,04 -1,05 0,44 0,51 1,10 1,02 - -0,03 0,10 0,66 1,05
15 Karawang -0,11 0,96 - 1,42 -0,11 -0,51 9,67 0,25 -0,45 -0,17 -0,46 1,15 -0,58 -0,49 0,53 5,01 -0,05 - 1,66 -0,98 1,38 0,28
16 Bekasi -0,14 0,46 -0,21 -1,82 -0,73 0,40 1,67 - 0,71 -1,68 -0,87 -1,49 -1,61 -0,13 -0,70 3,99 3,54 - -0,26 10,90 0,83 10,99
17 Bandung Barat 0,06 0,27 2,39 0,49 1,06 1,25 4,03 -1,24 0,87 1,04 1,02 24,19 -0,93 1,00 11,11 2,09 0,72 19,53 2,24 10,69 1,78 2,48
18 Kota Bogor 1,64 0,75 1,13 1,18 2,44 -0,54 3,40 9,94 1,00 -0,54 0,20 5,79 4,09 21,92 -0,71 2,07 1,19 - 5,68 11,77 77,32 78,59
19 Kota Sukabumi -0,24 -0,66 - -1,55 -0,76 -1,28 -1,25 - -0,92 -0,94 1,21 - -1,40 0,66 8,28 - - -0,97 6,11 - - 48,59
20 Kota Bandung 1,72 1,76 - -0,47 -1,34 -0,46 0,84 - -0,68 - 10,45 - -1,05 0,67 - - 0,77 - 0,96 -1,91 0,19 -0,96
21 Kota Cirebon 2,91 0,23 - - 0,44 4,38 5,94 - 0,47 - 2,85 - -0,89 0,56 -0,02 - 3,38 - 7,45 28,84 4,61 28,17
22 Kota Bekasi 1,44 -0,27 -0,65 -1,91 -1,06 0,70 - - - - -0,99 1,51 -0,17 1,01 -1,85 - -0,40 - -0,28 -2,19 0,33 3,28
23 Kota Depok 3,45 -0,13 -0,52 -1,54 -0,58 -1,35 -1,06 -2,97 -1,02 -1,65 -0,44 -0,65 -1,27 -0,39 -0,88 -0,41 -0,61 - -0,19 -2,02 0,96 8,97
24 Kota Cimahi 0,94 1,68 3,27 - 1,90 5,45 0,85 20,99 1,38 -0,60 1,84 - -0,46 -0,27 7,97 4,21 -0,59 3,92 -0,26 69,46 0,13 25,39

169
25 Kota Tasikmalaya 9,49 0,12 -0,19 0,33 -0,93 -0,99 -1,25 ##### 66,80 -0,75 10,37 -0,04 -0,19 0,57 2,38 12,00 7,09 - 2,11 6,15 18,29 53,16
26 Kota Banjar 2,63 -0,95 0,48 0,96 -0,39 0,13 -0,79 -1,96 0,33 -0,24 0,34 0,42 -0,63 -0,45 2,08 1,21 2,59 - -0,12 -0,62 43,97 3,07
170

Lampiran 11. Model RAS Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka Tahun


2009

* Model RAS Tabel IO Kab. Majalengka Tahun 2009


* Basis data : Tabel IO Kabupaten Ciamis Tahun 2008
* Struktur Tabel RAS : 28 sektor
* Disusun oleh : Ir. Didit Okta Pribadi, MSi., Nunik Rachmawati, STP.
* P4W - IPB, PWL - IPB

SETS
i sektor input antara/1*28/;

ALIAS (i,j);

SCALAR TotM Total Impor Kabupaten Majalengka 2009/1431172.30/


TotF Total Final Demand Kabupaten Majalengka 2009/5657098.39/
TotV Total PDRB Kabupaten Majalengka 2009/4225926.09/ ;

PARAMETERS

Q2009(j) total input tabel I-O Kabupaten Majalengka 2009 28 sektor/


1 683918.28
2 87653.96
3 12369.83
4 150740.73
5 234157.97
6 37406.56
7 47947.86
8 207710.37
9 6582.15
10 47780.95
11 200825.31
12 1977424.09
13 75602.69
14 2429.71
15 692121.10
16 801109.60
17 2524.03
18 411572.29
19 434160.99
20 23024.01
21 48116.59
22 176294.88
23 158052.44
24 31919.45
25 684827.31
26 49821.69
27 14465.24
28 182467.53 /

PDRB2009(j) PDRB Kabupaten Majalengka tiap sektor tahun 2009/


1 571755.68
2 68983.66
3 11145.22
4 127978.88
5 193180.41
6 32842.18
7 40575.39
8 108488.65
9 5976.59
10 24047.19
171

Lampiran 11. (Lanjutan)

11 162266.81
12 724330.61
13 26997.72
14 1812.56
15 195870.26
16 573594.47
17 1516.95
18 263406.26
19 219799.89
20 17060.83
21 35076.98
22 113357.60
23 105737.04
24 21003.00
25 419799.12
26 28817.80
27 8507.05
28 121997.28 /;

TABLE A2008(i,j) Koefisien Teknis Kabupaten Ciamis Tahun 2008 28 Sektor


1 2 3 4 5 6 7 8
1 0.0721 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0030
2 0.0000 0.0426 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008
3 0.0000 0.0000 0.0165 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0007
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0320 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003
5 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0058 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0597 0.0000 0.0022
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0124 0.0003
8 0.0011 0.0264 0.0124 0.0258 0.0101 0.0060 0.0013 0.0664
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000
10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0051 0.0083 0.0084 0.0053 0.0031 0.0023 0.0068 0.1090
13 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0006
14 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
15 0.0001 0.0019 0.0000 0.0004 0.0009 0.0009 0.0285 0.0013
16 0.0201 0.0289 0.0207 0.0262 0.0359 0.0162 0.0175 0.0744
17 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0022 0.0001
19 0.0011 0.0123 0.0031 0.0035 0.0115 0.0052 0.0085 0.0139
20 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
21 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
22 0.0081 0.0062 0.0009 0.0012 0.0004 0.0017 0.0023 0.0007
23 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
24 0.0001 0.0015 0.0001 0.0000 0.0002 0.0004 0.0001 0.0000
25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
26 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001
27 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
28 0.0028 0.0120 0.0020 0.0024 0.0002 0.0017 0.0049 0.0007

+ 9 10 11 12 13 14 15 16
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.1729 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0000 0.0126 0.0000 0.0037 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0000 0.0006 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0136 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0000 0.0005 0.0000 0.0053 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0572 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
8 0.0000 0.0012 0.0000 0.0232 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0103 0.0031 0.0000 0.0068 0.0000 0.0000 0.0160 0.0000
172

Lampiran 11. (Lanjutan)

10 0.0000 0.0315 0.0000 0.0120 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


11 0.0000 0.0000 0.0660 0.0068 0.1153 0.0000 0.0017 0.0000
12 0.0019 0.1226 0.0004 0.0366 0.0147 0.0093 0.1262 0.0045
13 0.0008 0.0008 0.0000 0.0034 0.0075 0.0335 0.0003 0.0147
14 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0113 0.0001 0.0005
15 0.0164 0.0129 0.0016 0.0007 0.0003 0.0052 0.0008 0.0000
16 0.0075 0.0849 0.0360 0.1256 0.1347 0.0174 0.1447 0.0095
17 0.0008 0.0000 0.0000 0.0002 0.0002 0.0012 0.0012 0.0073
18 0.0053 0.0009 0.0000 0.0015 0.0004 0.0005 0.0094 0.0102
19 0.0046 0.0033 0.0094 0.0079 0.0005 0.0045 0.0078 0.0291
20 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008 0.0000 0.0011 0.0008 0.0033
21 0.0001 0.0000 0.0000 0.0003 0.0007 0.0007 0.0013 0.0104
22 0.0028 0.0105 0.0004 0.0047 0.0053 0.0066 0.0051 0.0213
23 0.0000 0.0005 0.0000 0.0004 0.0002 0.0010 0.0015 0.0575
24 0.0043 0.0016 0.0005 0.0016 0.0017 0.0138 0.0045 0.0036
25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0003 0.0000 0.0002 0.0002
26 0.0000 0.0002 0.0000 0.0002 0.0008 0.0021 0.0009 0.0024
27 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
28 0.0089 0.0003 0.0004 0.0019 0.0120 0.0028 0.0059 0.0107

+ 17 18 19 20 21 22 23 24
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2 0.0003 0.0013 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3 0.0001 0.0025 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
4 0.0006 0.0078 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
5 0.0004 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 0.0040 0.0061 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 0.0001 0.0036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
8 0.0435 0.0156 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
9 0.0002 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
10 0.0085 0.0162 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.0858 0.0980 0.0179 0.0123 0.0021 0.0019 0.0033 0.0041
13 0.0113 0.0027 0.0015 0.0012 0.0137 0.0053 0.0013 0.0046
14 0.0006 0.0006 0.0002 0.0002 0.0006 0.0001 0.0003 0.0003
15 0.0046 0.0010 0.0028 0.0010 0.0001 0.0007 0.1247 0.0039
16 0.0671 0.0728 0.0377 0.0237 0.0043 0.0046 0.0037 0.0110
17 0.0003 0.0000 0.0007 0.0019 0.0016 0.0013 0.0011 0.0024
18 0.0012 0.0003 0.0105 0.0086 0.0024 0.0050 0.0008 0.0129
19 0.0011 0.0011 0.0243 0.0006 0.0037 0.0141 0.0065 0.0089
20 0.0008 0.0001 0.0107 0.0160 0.0084 0.0026 0.0023 0.0079
21 0.0062 0.0005 0.0013 0.0026 0.0272 0.0047 0.0038 0.0069
22 0.0027 0.0012 0.0274 0.0086 0.0351 0.0966 0.0401 0.0612
23 0.0004 0.0014 0.0027 0.0010 0.0017 0.0015 0.0078 0.0037
24 0.0114 0.0020 0.0047 0.0185 0.0283 0.0291 0.0268 0.0163
25 0.0031 0.0006 0.0034 0.0004 0.0005 0.0059 0.0149 0.0244
26 0.0018 0.0004 0.0005 0.0011 0.0029 0.0029 0.0013 0.0228
27 0.0015 0.0005 0.0008 0.0001 0.0018 0.0002 0.0000 0.0000
28 0.0012 0.0025 0.0974 0.0045 0.0153 0.0649 0.0221 0.0242

+ 25 26 27 28
1 0.0000 0.0000 0.0010 0.0000
2 0.0001 0.0004 0.0004 0.0000
3 0.0000 0.0002 0.0012 0.0000
4 0.0030 0.0237 0.0109 0.0000
5 0.0001 0.0011 0.0003 0.0000
6 0.0003 0.0024 0.0005 0.0000
7 0.0000 0.0002 0.0001 0.0003
8 0.0004 0.0123 0.0010 0.0000
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0009
10 0.0002 0.0045 0.0000 0.0000
173

Lampiran 11. (Lanjutan)

11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


12 0.0107 0.0411 0.0612 0.0132
13 0.0079 0.0021 0.0034 0.0047
14 0.0004 0.0004 0.0005 0.0002
15 0.0318 0.0067 0.0006 0.0007
16 0.0254 0.0583 0.0400 0.0530
17 0.0074 0.0003 0.0002 0.0005
18 0.0359 0.0042 0.0059 0.0071
19 0.0139 0.0019 0.0029 0.0054
20 0.0089 0.0005 0.0018 0.0014
21 0.0028 0.0050 0.0012 0.0009
22 0.0102 0.0080 0.0137 0.0051
23 0.0014 0.0015 0.0029 0.0130
24 0.0068 0.0150 0.0113 0.0078
25 0.0033 0.0038 0.0018 0.0004
26 0.0055 0.0331 0.0515 0.0035
27 0.0000 0.0015 0.0468 0.0000
28 0.0395 0.0072 0.0052 0.0024
;

PARAMETERS
TB(i) Original estimate for sectoral Total Output or Input cells 2009
QB(i,j) Original estimate for intersectoral IO transaction cells 2009
VB(j) Original estimate for sectoral Value Added cells 2009
MB(j) Original estimate for sectoral Import cells 2009
FB(i) Original estimate for sectoral Final Demand cells 2009
TW(i) Weight for sectoral Total Output or Input cells
QW(i,j) Weight for sectoral intersectoral IO transaction cells
VW(j) Weight for sectoral Value Added cells
MW(j) Weight for sectoral Import cells
FW(i) Weight for sectoral Final Demand cells;
Lampiran 11. (Lanjutan)

TB(i) = Q2009(i);
QB(i,j) = A2008(i,j)*TB(j);
VB(j) = PDRB2009(j);
MB(j) = TB(j)-VB(j)- Sum(i,QB(i,j));
FB(i) = TB(i)-Sum(j,QB(i,j));

TW(i)$(TB(i) GT 0) = 1;
QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) = 1;
VW(j)$(VB(j) GT 0) = 1;
MW(j)$(MB(j) GT 0) = 1;
FW(i)$(FB(i) GT 0) = 1;

TW(i)$(TB(i) EQ 0) = 0;
QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) = 0;
VW(j)$(VB(j) EQ 0) = 0;
MW(j)$(MB(j) EQ 0) = 0;
FW(i)$(FB(i) EQ 0) = 0;

VARIABLES
SSDEV Sum of Squared Deviation estimating Information Gain
T(i) Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells
2009
Q(i,j) Optimal estimates for Intersectoral Transaction cells 2009
M(j) Optimal estimates for Sectoral Import cells 2009
F(i) Optimal estimates for Sectoral Final Demand cells 2009
FM Optimal estimates for Final Demand for Import cells 2009
FF Optimal estimates for Final Demand for Final Demand cells 2009;
174

Lampiran 11. (Lanjutan)

POSITIVE VARIABLES T,Q,M,F,FM,FF;

EQUATIONS
OBJ Objective Function
CBal(j) Column Balance Constraint Function
RBal(i) Row Balance Constraint Function
TBal total Balance Constraint Function
TM Total Import Constraint Function
TF Total Final Demand Constraint Function;

OBJ .. SSDEV=E=Sum((i,j)$ (QW(i,j) GT 0), QW(i,j)* SQR(Q(i,j)-


QB(i,j) )/QB(i,j))+ Sum((i)$ (TW(i) GT 0), TW(i)* SQR(T(i)- TB(i))/TB(i))
+
Sum((j)$ (MW(j) GT 0), MW(j)* SQR(M(j)- MB(j))/MB(j)) +
Sum((i)$ (FW(i) GT 0), FW(i)* SQR(F(i)- FB(i))/FB(i));

CBal(j) ..T(j)=E=Sum(i,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ M(j)$ (MB(j) GT 0) +


VB(j);

RBal(i) ..T(i)=E=Sum(j,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ F(i);

TM ..Sum(j,M(j)$ (MB(j) GT 0))+FM=E=TotM;

TF ..Sum(i,F(i))+FF=E=TotF;

TBal ..TotV+TotM - TotF=E=0;

Lampiran 11. (Lanjutan)

MODEL ModelRAS/ALL/;

Q.L(i,j)=QB(i,j)$QW(i,j) ;
T.L(i)=TB(i)$TW(i) ;
M.L(i)=MB(i)$MW(i) ;
F.L(i)=FB(i)$FW(i) ;

OPTION NLP = MINOS5 ;


OPTION RESLIM = 9000 ;
OPTION ITERLIM = 100000 ;

SOLVE ModelRAS USING NLP MINIMIZING SSDEV;

SETS Item/MP2009,FD2009,TO2009 /;

PARAMETERS
HslL (i,Item) Tabel Hasil Level Optimal
HslM (i,Item) Tabel Hasil Marginal Value ;

HslL(i,"MP2009")=M.L(i) ;
HslL(i,"FD2009")=F.L(i) ;
HslL(i,"TO2009")=T.L(i) ;

HslM(i,"MP2009")=M.L(i);
HslM(i,"FD2009")=F.L(i);
HslM(i,"TO2009")=T.L(i);

DISPLAY Q.L, Q.M, T.L, M.L, F.L, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M;
175

Lampiran 12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah)
Kode
1 2 3 4 5
Sektor
1 49.250,965
2 3.735,642
3 204,031
4 4.823,594
5 1.359,069
6
7
8 759,479 2.299,463 153,756 3.877,858 2.341,870
9
10
11 23,360
12 3.479,581 714,251 102,917 787,076 710,126
13
14
15 69,187 165,840 60,248 209,122
16 13.766,205 2.496,657 254,596 3.905,931 8.255,857
17
18
19 764,491 1.078,522 38,694 529,580 2.684,423
20
21
22 5.610,314 541,770 11,195 180,946 93,048
23
24 68,875 130,326 1,237 46,258
25
26 45,413
27
28 1.940,852 1.049,402 24,898 362,173 46,560
190 75.709,949 12.211,873 791,324 14.572,819 15.769,693
200 37.278,496 6.421,258 437,583 8.192,458 25.043,671
201 104.777,936 12.473,960 1.111,991 13.739,471 31.660,103
202 448.457,744 55.404,408 9.948,077 113.288,793 157.380,678
203 9.883,938 468,363 11,284 374,780 979,228
204 8.636,065 636,934 73,865 575,837 3.160,405
205 - - - - -
209 571.755,684 68.983,665 11.145,217 127.978,881 193.180,414
210 684.744,129 87.616,796 12.374,124 150.744,158 233.993,778
176

Lampiran 12. (Lanjutan)


Kode
6 7 8 9 10
Sektor
1 616,328
2 167,257 611,234
3 144,970 28,834
4 62,481
5 4,869
6 2.232,476 455,798 24,038
7 551,407 25,638
8 224,901 94,484 13.789,488 57,827
9 7,408 64,041 39,287
10 1.502,143
11
12 85,185 490,330 22.366,066 20,960 5.838,014
13 14,568 125,021 8,906 38,679
14
15 33,806 2.074,234 270,540 182,432 622,925
16 602,316 1.265,088 15.325,468 82,926 4.058,313
17 4,828
18 160,511 20,888 59,087 43,621
19 196,210 620,493 2.905,886 51,308 160,073
20 7,273
21 7,291 1,114
22 63,926 167,518 145,838 31,168 507,593
23 7,287 24,188
24 14,956 7,256 47,704 76,913
25
26 20,915 9,706
27
28 63,975 357,068 145,951 99,114 14,514
190 3.517,751 5.832,216 56.588,533 653,588 13.662,771
200 1.058,275 5.019,776 42.670,547 316,508 10.164,853
201 7.303,314 6.843,117 40.215,273 785,692 9.073,978
202 24.792,923 33.364,260 67.116,162 5.013,562 13.799,018
203 170,770 97,003 345,262 124,854 899,171
204 575,171 271,010 811,952 52,481 275,023
205 - - - - -
209 32.842,179 40.575,390 108.488,650 5.976,590 24.047,190
210 37.418,205 51.427,382 207.747,730 6.946,686 47.874,814
177

Lampiran 12. (Lanjutan)

11 12 13 14 15
Kode Sektor
1 349.197,820
2 7.600,544
3 3.867,307
4 27.833,217
5
6 10.791,849
7 50.187,799 28,850
8 47.348,504
9 3.883,192 2.900,307
10 24.241,429
11 13.257,740 13.977,348 8.745,408 1.191,425
12 78,797 73.832,314 1.093,504 22,297 86.757,746
13 6.961,498 566,577 81,562 209,412
14 204,289 27,448 69,643
15 319,698 1.431,514 22,635 12,645 557,738
16 7.119,414 254.319,563 10.059,009 41,879 99.858,735
17 103,259 3,400 0,664 194,521
18 3.078,625 30,293 1,220 6.577,763
19 1.886,852 16.227,035 37,897 10,992 5.462,617
20 1.634,223 2,672 557,111
21 615,142 52,960 1,707 908,806
22 80,014 9.621,990 400,327 16,067 3.559,530
23 819,452 15,117 2,436 1.047,655
24 99,448 3.257,598 127,677 33,404 3.123,069
25 205,416 22,739 140,074
26 410,992 60,663 5,132 630,587
27
28 80,077 3.892,653 907,103 6,821 4.121,054
190 22.922,040 915.544,572 22.145,309 266,946 217.896,643
200 15.586,927 297.696,648 26.518,789 350,894 273.302,183
201 75.779,555 125.853,765 5.937,103 180,559 59.428,047
202 83.697,942 526.739,843 19.752,772 1.494,951 110.351,013
203 2.113,325 56.440,449 861,922 79,232 15.182,823
204 675,989 15.296,553 445,923 57,818 10.908,377
205 - - - - -
209 162.266,810 724.330,610 26.997,720 1.812,560 195.870,260
210 200.775,777 1.937.571,830 75.661,818 2.430,400 687.069,086
178

Lampiran 12. (Lanjutan)

16 17 18 19 20
Kode Sektor
1
2 1,180 537,418
3 0,391 1.023,726
4 2,354 3.212,104
5 1,577 248,964
6 15,639 2.498,875
7 0,243 606,479
8 170,336 6.405,777
9 0,408 10,470
10 33,059 6.582,139
11
12 3.595,828 333,387 39.759,894 7.631,077 279,586
13 11.926,359 44,344 1.112,410 649,429 27,699
14 404,725 2,351 246,627 86,388 4,606
15 18,037 411,488 1.210,744 23,054
16 7.620,291 261,374 29.650,492 16.134,742 540,802
17 1.394,173 0,591 67,734 9,983
18 8.295,754 4,717 123,908 4.557,342 199,002
19 23.686,615 4,326 454,705 10.555,735 13,895
20 2.671,035 3,135 41,102 4.621,507 368,441
21 8.450,226 24,354 206,311 563,688 60,105
22 17.278,744 10,594 494,338 11.861,304 198,483
23 46.677,069 1,570 577,135 1.169,643 23,096
24 2.903,968 44,569 819,220 2.023,011 424,549
25 162,803 12,191 248,034 1.477,010 9,264
26 1.954,416 7,081 165,423 217,296 25,486
27 5,907 207,138 348,280 2,321
28 8.686,577 4,711 1.030,668 42.196,676 103,938
190 145.708,583 1.008,426 96.674,845 105.371,606 2.314,310
200 80.780,202 552,943 50.036,241 108.758,108 3.645,345
201 178.016,575 285,868 74.608,408 125.744,604 3.949,131
202 294.590,436 609,965 96.912,108 66.979,986 11.187,915
203 64.523,810 618,747 44.810,813 15.802,786 859,917
204 36.463,649 2,370 47.074,931 11.272,514 1.063,867
205 - - - - -
209 573.594,470 1.516,950 263.406,260 219.799,890 17.060,830
210 800.083,255 3.078,319 410.117,346 433.929,604 23.020,485
179

Lampiran 12. (Lanjutan)

21 22 23 24 25
Kode Sektor
1
2 68,783
3
4 2.055,558
5 69,040
6 204,479
7
8 273,288
9
10 135,206
11
12 99,418 329,931 513,618 129,527 7.222,973
13 658,659 934,614 205,475 147,567 5.415,538
14 28,779 17,593 47,307 9,602 273,566
15 4,802 123,285 19.685,054 124,955 21.771,954
16 204,361 801,880 578,110 348,853 17.212,635
17 17,310 51,778 39,237 17,671 1.148,622
18 115,673 883,903 126,760 414,853 24.670,991
19 178,476 2.494,666 1.030,779 286,451 9.560,166
20 402,884 457,396 362,664 252,828 6.086,500
21 1.309,670 830,054 601,521 221,681 1.922,314
22 1.687,284 17.032,352 6.337,246 1.963,015 6.991,269
23 81,778 264,664 1.233,553 118,763 960,264
24 1.352,667 5.101,721 4.211,303 519,874 4.634,392
25 24,120 1.043,921 2.362,984 785,368 2.269,795
26 139,951 513,322 206,250 734,164 3.784,525
27 87,017 35,463
28 736,054 11.451,929 3.495,304 776,824 27.095,001
190 7.128,903 42.368,472 41.037,165 6.851,996 143.826,859
200 5.877,661 20.545,342 11.182,878 4.089,819 118.211,911
201 11.789,692 29.328,640 27.582,980 6.489,440 88.711,069
202 19.118,391 75.374,384 38.771,806 9.588,216 223.945,206
203 2.031,160 3.890,490 34.069,209 4.451,655 96.117,211
204 2.137,737 4.764,086 5.313,045 473,689 11.025,634
205 - - - - -
209 35.076,980 113.357,600 105.737,040 21.003,000 419.799,120
210 48.083,544 176.271,414 157.957,083 31.944,815 681.837,890
180

Lampiran 12. (Lanjutan)

26 27 28 180
Kode Sektor
1 14,206 399.079,319
2 19,946 5,783 12.747,787
3 9,879 17,185 5.296,323
4 1.177,267 156,988 39.323,563
5 55,058 4,354 1.742,931
6 118,590 7,163 16.348,907
7 4,043 0,585 22,338 51.427,382
8 609,228 14,361 78.420,620
9 41,573 6.946,686
10 220,534 32.714,510
11 37.195,281
12 2.011,266 868,329 2.371,286 261.525,284
13 104,365 48,992 857,429 30.139,103
14 19,833 7,188 36,401 1.486,346
15 332,554 8,635 127,542 49.874,668
16 2.864,070 569,748 9.558,049 507.757,364
17 3,335 0,642 20,570 3.078,318
18 209,249 85,228 1.298,487 50.957,875
19 94,739 41,927 988,398 82.045,951
20 24,789 25,875 254,795 17.774,230
21 248,862 17,317 164,435 16.207,558
22 397,525 197,383 930,276 86.411,057
23 74,589 41,811 2.372,968 55.513,038
24 741,114 161,876 1.414,690 31.387,675
25 189,487 26,025 73,218 9.052,449
26 1.651,207 744,899 640,921 11.968,349
27 74,959 678,100 1.439,185
28 358,051 74,977 438,116 109.561,041
190 11.614,539 3.819,577 21.611,492 2.007.422,800
200 9.325,627 2.114,530 38.777,814 1.203.957,287
201 8.836,258 348,141 36.879,185 1.087.733,855
202 18.152,049 7.038,014 73.480,519 2.606.351,141
203 1.534,774 724,149 6.997,972 364.465,098
204 294,719 396,747 4.639,605 167.375,996
205 - - - -
209 28.817,800 8.507,050 121.997,280 4.225.926,090
210 49.757,966 14.441,157 182.386,586 7.437.306,177
181

Lampiran 12. (Lanjutan)

309 310
Kode Sektor
1 285.664,805 684744,124
2 74.869,003 87616,791
3 7.077,804 12374,127
4 111.420,596 150744,159
5 232.250,844 233993,774
6 21.069,301 37418,208
7 51427,383
8 129.327,111 207747,731
9 6946,686
10 15.160,304 47874,814
11 163.580,495 200775,776
12 1.676.046,544 1937571,831
13 45.522,719 75661,819
14 944,055 2430,400
15 637.194,419 687069,087
16 292.325,892 800083,257
17 3078,317
18 359.159,468 410117,344
19 351.883,652 433929,604
20 5.246,253 23020,482
21 31.875,985 48083,543
22 89.860,354 176271,412
23 102.444,046 157957,084
24 557,141 31944,814
25 672.785,442 681837,890
26 37.789,618 49757,968
27 13.001,974 14441,159
28 72.825,546 182386,587
190 5.429.883,371 7.437.306,171
182

Lampiran 13. Keterangan Kode Sektor

Kode Sektor
1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Buah-buahan
5 Sayur-sayuran
6 Bahan makanan lainnya
7 Tanaman Perkebunan
8 Peternakan dan hasil-hasilnya
9 Kehutanan
10 Perikanan
11 Pertambangan dan Penggalian
12 Industri Pengolahan
13 Listrik
14 Air Bersih
15 Bangunan
16 Perdagangan Besar dan Eceran
17 Hotel
18 Restoran
19 Angkutan Jalan Raya
20 Jasa Penunjang Angkutan
21 Komunikasi
22 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
23 Sewa Bangunan
24 Jasa Perusahaan
25 Pemerintahan umum dan pertahanan
26 Jasa Sosial Kemasyarakatan
27 Jasa Hiburan dan Rekreasi
28 Jasa Perorangan dan Rumah tangga
190 Jumlah Input Antara
200 Impor (Dari nilai LQ)
201 Upah dan Gaji
202 Surplus Usaha
203 Penyusutan
204 Pajak tak Langsung
205 Subsidi
209 NTB / PDRB
210 Total Input
180 Jumlah Permintaan Antara
309 Permintaan Akhir (Final Demand )
310 Jumlah Permintaan (Total Output )
183

Lampiran 14. Nilai Koefisien Teknis (Matriks A)


Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor
1 0,0719 - - - - - - 0,0030 -
2 - 0,0426 - - - - - 0,0008 -
3 - - 0,0165 - - - - 0,0007 -
4 - - - 0,0320 - - - 0,0003 -
5 - - - - 0,0058 - - - -
6 - - - - - 0,0597 - 0,0022 -
7 - - - - - - 0,0107 0,0001 -
8 0,0011 0,0262 0,0124 0,0257 0,0100 0,0060 0,0018 0,0664 -
9 - - - - - - 0,0001 - 0,0092
10 - - - - - - - - -
11 - - - - 0,0001 - - - -
12 0,0051 0,0082 0,0083 0,0052 0,0030 0,0023 0,0095 0,1077 0,0030
13 - - - - - - 0,0003 0,0006 0,0013
14 - - - - - - - - -
15 0,0001 0,0019 - 0,0004 0,0009 0,0009 0,0403 0,0013 0,0263
16 0,0201 0,0285 0,0206 0,0259 0,0353 0,0161 0,0246 0,0738 0,0119
17 - - - - - - - - 0,0007
18 - - - - - - 0,0031 0,0001 0,0085
19 0,0011 0,0123 0,0031 0,0035 0,0115 0,0052 0,0121 0,0140 0,0074
20 - - - - - - 0,0001 - -
21 - - - - - - 0,0001 - 0,0002
22 0,0082 0,0062 0,0009 0,0012 0,0004 0,0017 0,0033 0,0007 0,0045
23 - - - - - - 0,0001 - -
24 0,0001 0,0015 0,0001 - 0,0002 0,0004 0,0001 - 0,0069
25 - - - - - - - - -
26 - - - 0,0003 - - - 0,0001 -
27 - - - - - - - - -
28 0,0028 0,0120 0,0020 0,0024 0,0002 0,0017 0,0069 0,0007 0,0143
190 0,1106 0,1394 0,0639 0,0967 0,0674 0,0940 0,1134 0,2724 0,0941
200 0,0544 0,0733 0,0354 0,0543 0,1070 0,0283 0,0976 0,2054 0,0456
201 0,1530 0,1424 0,0899 0,0911 0,1353 0,1952 0,1331 0,1936 0,1131
202 0,6549 0,6323 0,8039 0,7515 0,6726 0,6626 0,6488 0,3231 0,7217
203 0,0144 0,0053 0,0009 0,0025 0,0042 0,0046 0,0019 0,0017 0,0180
204 0,0126 0,0073 0,0060 0,0038 0,0135 0,0154 0,0053 0,0039 0,0076
205 - - - - - - - - -
209 0,8350 0,7873 0,9007 0,8490 0,8256 0,8777 0,7890 0,5222 0,8604
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
184

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
10 11 12 13 14 15 16
Sektor
1 - - 0,1802 - - - -
2 0,0128 - 0,0039 - - - -
3 0,0006 - 0,0020 - - - -
4 - - 0,0144 - - - -
5 0,0001 - - - - - -
6 0,0005 - 0,0056 - - - -
7 - - 0,0259 - - 0,0000 -
8 0,0012 - 0,0244 - - - -
9 0,0008 - 0,0020 - - 0,0042 -
10 0,0314 - 0,0125 - - - -
11 - 0,0660 0,0072 0,1156 - 0,0017 -
12 0,1219 0,0004 0,0381 0,0145 0,0092 0,1263 0,0045
13 0,0008 - 0,0036 0,0075 0,0336 0,0003 0,0149
14 - - 0,0001 - 0,0113 0,0001 0,0005
15 0,0130 0,0016 0,0007 0,0003 0,0052 0,0008 -
16 0,0848 0,0355 0,1313 0,1329 0,0172 0,1453 0,0095
17 - - 0,0001 0,0000 0,0003 0,0003 0,0017
18 0,0009 - 0,0016 0,0004 0,0005 0,0096 0,0104
19 0,0033 0,0094 0,0084 0,0005 0,0045 0,0080 0,0296
20 - - 0,0008 - 0,0011 0,0008 0,0033
21 - - 0,0003 0,0007 0,0007 0,0013 0,0106
22 0,0106 0,0004 0,0050 0,0053 0,0066 0,0052 0,0216
23 0,0005 - 0,0004 0,0002 0,0010 0,0015 0,0583
24 0,0016 0,0005 0,0017 0,0017 0,0137 0,0045 0,0036
25 - - 0,0001 0,0003 - 0,0002 0,0002
26 0,0002 - 0,0002 0,0008 0,0021 0,0009 0,0024
27 - - - - - - -
28 0,0003 0,0004 0,0020 0,0120 0,0028 0,0060 0,0109
190 0,2854 0,1142 0,4725 0,2927 0,1098 0,3171 0,1821
200 0,2123 0,0776 0,1536 0,3505 0,1444 0,3978 0,1010
201 0,1895 0,3774 0,0650 0,0785 0,0743 0,0865 0,2225
202 0,2882 0,4169 0,2719 0,2611 0,6151 0,1606 0,3682
203 0,0188 0,0105 0,0291 0,0114 0,0326 0,0221 0,0806
204 0,0057 0,0034 0,0079 0,0059 0,0238 0,0159 0,0456
205 - - - - - - -
209 0,5023 0,8082 0,3738 0,3568 0,7458 0,2851 0,7169
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
185

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
17 18 19 20 21 22 23
Sektor
1 - - - - - - -
2 0,0004 0,0013 - - - - -
3 0,0001 0,0025 - - - - -
4 0,0008 0,0078 - - - - -
5 0,0005 0,0006 - - - - -
6 0,0051 0,0061 - - - - -
7 0,0001 0,0015 - - - - -
8 0,0553 0,0156 - - - - -
9 0,0001 0,0000 - - - - -
10 0,0107 0,0160 - - - - -
11 - - - - - - -
12 0,1083 0,0969 0,0176 0,0121 0,0021 0,0019 0,0033
13 0,0144 0,0027 0,0015 0,0012 0,0137 0,0053 0,0013
14 0,0008 0,0006 0,0002 0,0002 0,0006 0,0001 0,0003
15 0,0059 0,0010 0,0028 0,0010 0,0001 0,0007 0,1246
16 0,0849 0,0723 0,0372 0,0235 0,0043 0,0045 0,0037
17 0,0002 - 0,0002 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002
18 0,0015 0,0003 0,0105 0,0086 0,0024 0,0050 0,0008
19 0,0014 0,0011 0,0243 0,0006 0,0037 0,0142 0,0065
20 0,0010 0,0001 0,0107 0,0160 0,0084 0,0026 0,0023
21 0,0079 0,0005 0,0013 0,0026 0,0272 0,0047 0,0038
22 0,0034 0,0012 0,0273 0,0086 0,0351 0,0966 0,0401
23 0,0005 0,0014 0,0027 0,0010 0,0017 0,0015 0,0078
24 0,0145 0,0020 0,0047 0,0184 0,0281 0,0289 0,0267
25 0,0040 0,0006 0,0034 0,0004 0,0005 0,0059 0,0150
26 0,0023 0,0004 0,0005 0,0011 0,0029 0,0029 0,0013
27 0,0019 0,0005 0,0008 0,0001 0,0018 0,0002 -
28 0,0015 0,0025 0,0972 0,0045 0,0153 0,0650 0,0221
190 0,3276 0,2357 0,2428 0,1005 0,1483 0,2404 0,2598
200 0,1796 0,1220 0,2506 0,1584 0,1222 0,1166 0,0708
201 0,0929 0,1819 0,2898 0,1715 0,2452 0,1664 0,1746
202 0,1981 0,2363 0,1544 0,4860 0,3976 0,4276 0,2455
203 0,2010 0,1093 0,0364 0,0374 0,0422 0,0221 0,2157
204 0,0008 0,1148 0,0260 0,0462 0,0445 0,0270 0,0336
205 - - - - - - -
209 0,4928 0,6423 0,5065 0,7411 0,7295 0,6431 0,6694
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
186

Lampiran 14 (Lanjutan)
Kode
24 25 26 27 28
Sektor
1 - - - 0,0010 -
2 - 0,0001 0,0004 0,0004 -
3 - - 0,0002 0,0012 -
4 - 0,0030 0,0237 0,0109 -
5 - 0,0001 0,0011 0,0003 -
6 - 0,0003 0,0024 0,0005 -
7 - - 0,0001 0,0000 0,0001
8 - 0,0004 0,0122 0,0010 -
9 - - - - 0,0002
10 - 0,0002 0,0044 - -
11 - - - - -
12 0,0041 0,0106 0,0404 0,0601 0,0130
13 0,0046 0,0079 0,0021 0,0034 0,0047
14 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0002
15 0,0039 0,0319 0,0067 0,0006 0,0007
16 0,0109 0,0252 0,0576 0,0395 0,0524
17 0,0006 0,0017 0,0001 0,0000 0,0001
18 0,0130 0,0362 0,0042 0,0059 0,0071
19 0,0090 0,0140 0,0019 0,0029 0,0054
20 0,0079 0,0089 0,0005 0,0018 0,0014
21 0,0069 0,0028 0,0050 0,0012 0,0009
22 0,0615 0,0103 0,0080 0,0137 0,0051
23 0,0037 0,0014 0,0015 0,0029 0,0130
24 0,0163 0,0068 0,0149 0,0112 0,0078
25 0,0246 0,0033 0,0038 0,0018 0,0004
26 0,0230 0,0056 0,0332 0,0516 0,0035
27 - - 0,0015 0,0470 -
28 0,0243 0,0397 0,0072 0,0052 0,0024
190 0,2145 0,2109 0,2334 0,2645 0,1185
200 0,1280 0,1734 0,1874 0,1464 0,2126
201 0,2031 0,1301 0,1776 0,0241 0,2022
202 0,3001 0,3284 0,3648 0,4874 0,4029
203 0,1394 0,1410 0,0308 0,0501 0,0384
204 0,0148 0,0162 0,0059 0,0275 0,0254
205 - - - - -
209 0,6575 0,6157 0,5792 0,5891 0,6689
210 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
187

Lampiran 15. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1


Kode
1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor
1 1,07871 0,00269 0,00212 0,00191 0,00103 0,00075 0,00328 0,02717
2 0,00003 1,04462 0,00006 0,00007 0,00003 0,00002 0,00008 0,00143
3 0,00001 0,00005 1,01680 0,00004 0,00002 0,00001 0,00005 0,00102
4 0,00010 0,00022 0,00017 1,03322 0,00009 0,00006 0,00029 0,00217
5 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 1,00584 0,00000 0,00000 0,00000
6 0,00004 0,00015 0,00010 0,00013 0,00006 1,06349 0,00013 0,00324
7 0,00016 0,00036 0,00028 0,00025 0,00014 0,00010 1,01129 0,00334
8 0,00146 0,02975 0,01383 0,02874 0,01094 0,00696 0,00253 1,07451
9 0,00002 0,00004 0,00002 0,00002 0,00002 0,00001 0,00036 0,00026
10 0,00009 0,00019 0,00015 0,00013 0,00008 0,00006 0,00029 0,00161
11 0,00011 0,00020 0,00014 0,00014 0,00023 0,00008 0,00033 0,00128
12 0,00622 0,01335 0,01071 0,00934 0,00514 0,00377 0,01683 0,12221
13 0,00047 0,00078 0,00045 0,00057 0,00066 0,00035 0,00102 0,00271
14 0,00002 0,00003 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 0,00007
15 0,00033 0,00242 0,00025 0,00074 0,00126 0,00116 0,04123 0,00250
16 0,02338 0,03614 0,02412 0,03114 0,03835 0,01901 0,03528 0,09920
17 0,00005 0,00007 0,00005 0,00006 0,00007 0,00004 0,00008 0,00019
18 0,00038 0,00078 0,00036 0,00046 0,00060 0,00033 0,00422 0,00168
19 0,00222 0,01511 0,00435 0,00525 0,01328 0,00651 0,01428 0,01979
20 0,00016 0,00038 0,00016 0,00019 0,00030 0,00016 0,00052 0,00072
21 0,00033 0,00051 0,00029 0,00038 0,00047 0,00025 0,00067 0,00122
22 0,01060 0,00899 0,00195 0,00253 0,00200 0,00284 0,00556 0,00524
23 0,00146 0,00240 0,00148 0,00191 0,00233 0,00119 0,00247 0,00603
24 0,00062 0,00230 0,00037 0,00034 0,00059 0,00070 0,00092 0,00112
25 0,00012 0,00022 0,00007 0,00008 0,00012 0,00008 0,00017 0,00026
26 0,00013 0,00025 0,00010 0,00044 0,00014 0,00009 0,00022 0,00048
27 0,00001 0,00002 0,00001 0,00001 0,00001 0,00001 0,00002 0,00002
28 0,00431 0,01521 0,00296 0,00363 0,00216 0,00293 0,00960 0,00474
Total 1,13152 1,17723 1,08135 1,12172 1,08600 1,11097 1,15175 1,38420
188

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
9 10 11 12 13 14 15
Sektor
1 0,00163 0,02627 0,00024 0,20365 0,00330 0,00228 0,02629
2 0,00005 0,01435 0,00001 0,00451 0,00008 0,00005 0,00060
3 0,00004 0,00092 0,00000 0,00217 0,00004 0,00003 0,00031
4 0,00021 0,00205 0,00003 0,01562 0,00031 0,00025 0,00215
5 0,00001 0,00011 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00001
6 0,00012 0,00139 0,00001 0,00631 0,00012 0,00009 0,00090
7 0,00024 0,00355 0,00003 0,02746 0,00045 0,00031 0,00361
8 0,00044 0,00547 0,00005 0,02847 0,00054 0,00040 0,00393
9 1,00944 0,00119 0,00001 0,00215 0,00005 0,00005 0,00455
10 0,00027 1,03419 0,00003 0,01361 0,00027 0,00019 0,00196
11 0,00034 0,00147 1,07080 0,00888 0,12513 0,00441 0,00336
12 0,00840 0,13520 0,00125 1,04824 0,01699 0,01172 0,13531
13 0,00185 0,00321 0,00066 0,00632 1,01000 0,03483 0,00365
14 0,00003 0,00008 0,00003 0,00020 0,00009 1,01145 0,00023
15 0,02684 0,01477 0,00205 0,00350 0,00174 0,00578 1,00283
16 0,01970 0,11165 0,03956 0,15092 0,14421 0,02600 0,16938
17 0,00075 0,00022 0,00007 0,00034 0,00031 0,00034 0,00061
18 0,00943 0,00277 0,00060 0,00376 0,00227 0,00126 0,01209
19 0,00884 0,00896 0,01162 0,01524 0,00664 0,00605 0,01513
20 0,00031 0,00072 0,00029 0,00170 0,00070 0,00148 0,00185
21 0,00056 0,00144 0,00048 0,00216 0,00245 0,00125 0,00346
22 0,00672 0,01694 0,00200 0,01291 0,01059 0,00980 0,01257
23 0,00150 0,00730 0,00240 0,00952 0,00895 0,00274 0,01182
24 0,00773 0,00329 0,00092 0,00335 0,00319 0,01489 0,00659
25 0,00031 0,00037 0,00012 0,00051 0,00065 0,00052 0,00074
26 0,00036 0,00072 0,00015 0,00081 0,00140 0,00273 0,00170
27 0,00002 0,00002 0,00001 0,00002 0,00002 0,00002 0,00003
28 0,01643 0,00450 0,00224 0,00748 0,01551 0,00534 0,01123
Total 1,12257 1,40311 1,13567 1,57981 1,35600 1,14425 1,43689
189

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
16 17 18 19 20 21 22
Sektor
1 0,00173 0,02435 0,02083 0,00446 0,00286 0,00080 0,00102
2 0,00006 0,00114 0,00207 0,00012 0,00008 0,00003 0,00004
3 0,00005 0,00045 0,00279 0,00008 0,00006 0,00002 0,00003
4 0,00031 0,00280 0,00973 0,00050 0,00035 0,00022 0,00028
5 0,00001 0,00052 0,00061 0,00001 0,00001 0,00001 0,00001
6 0,00015 0,00633 0,00718 0,00023 0,00016 0,00006 0,00010
7 0,00025 0,00335 0,00430 0,00063 0,00040 0,00012 0,00016
8 0,00059 0,06287 0,02005 0,00088 0,00062 0,00026 0,00036
9 0,00006 0,00043 0,00027 0,00009 0,00004 0,00002 0,00004
10 0,00034 0,01278 0,01798 0,00052 0,00036 0,00014 0,00022
11 0,00206 0,00310 0,00141 0,00059 0,00037 0,00188 0,00090
12 0,00888 0,12437 0,10693 0,02297 0,01472 0,00409 0,00527
13 0,01600 0,01714 0,00470 0,00324 0,00201 0,01492 0,00689
14 0,00057 0,00087 0,00068 0,00028 0,00024 0,00066 0,00016
15 0,00781 0,00759 0,00250 0,00412 0,00158 0,00076 0,00178
16 1,01828 0,11398 0,09313 0,05016 0,02835 0,00993 0,01330
17 0,00182 1,00043 0,00018 0,00029 0,00051 0,00043 0,00040
18 0,01155 0,00365 1,00172 0,01268 0,00957 0,00360 0,00725
19 0,03218 0,00766 0,00567 1,02801 0,00212 0,00539 0,01752
20 0,00424 0,00193 0,00066 0,01170 1,01665 0,00928 0,00368
21 0,01162 0,00969 0,00167 0,00234 0,00329 1,02865 0,00595
22 0,02936 0,01006 0,00550 0,03424 0,01227 0,04304 1,11121
23 0,06034 0,00751 0,00707 0,00724 0,00292 0,00285 0,00368
24 0,00716 0,01648 0,00314 0,00753 0,01986 0,03131 0,03394
25 0,00162 0,00465 0,00088 0,00409 0,00105 0,00165 0,00762
26 0,00308 0,00336 0,00086 0,00144 0,00181 0,00422 0,00457
27 0,00007 0,00205 0,00054 0,00089 0,00013 0,00198 0,00027
28 0,01823 0,00582 0,00522 0,10376 0,00667 0,02040 0,07570
Total 1,23843 1,45535 1,32829 1,30309 1,12904 1,18669 1,30234
190

Lampiran 15. (Lanjutan)


Kode
23 24 25 26 27 28
Sektor
1 0,00428 0,00182 0,00419 0,00954 0,01486 0,00307
2 0,00010 0,00008 0,00027 0,00073 0,00078 0,00008
3 0,00006 0,00006 0,00014 0,00034 0,00145 0,00005
4 0,00048 0,00095 0,00391 0,02611 0,01429 0,00040
5 0,00001 0,00004 0,00013 0,00116 0,00039 0,00001
6 0,00017 0,00023 0,00072 0,00299 0,00118 0,00016
7 0,00059 0,00027 0,00063 0,00138 0,00191 0,00055
8 0,00073 0,00092 0,00195 0,01577 0,00432 0,00064
9 0,00059 0,00005 0,00020 0,00014 0,00016 0,00028
10 0,00037 0,00050 0,00116 0,00547 0,00130 0,00036
11 0,00074 0,00084 0,00138 0,00087 0,00119 0,00086
12 0,02201 0,00936 0,02156 0,04883 0,07071 0,01580
13 0,00268 0,00610 0,00933 0,00386 0,00519 0,00590
14 0,00037 0,00038 0,00048 0,00048 0,00061 0,00025
15 0,12685 0,00587 0,03297 0,00816 0,00223 0,00297
16 0,02937 0,02046 0,04176 0,07281 0,05852 0,05815
17 0,00041 0,00068 0,00180 0,00023 0,00018 0,00023
18 0,00398 0,01540 0,03793 0,00591 0,00774 0,00816
19 0,01034 0,01190 0,01689 0,00569 0,00642 0,00791
20 0,00330 0,00899 0,00970 0,00118 0,00251 0,00189
21 0,00503 0,00817 0,00373 0,00640 0,00251 0,00180
22 0,04947 0,07178 0,01474 0,01346 0,02009 0,00899
23 1,01045 0,00573 0,00470 0,00616 0,00687 0,01671
24 0,03024 1,02026 0,00878 0,01704 0,01423 0,00913
25 0,01631 0,02586 1,00387 0,00461 0,00274 0,00100
26 0,00266 0,02486 0,00639 1,03518 0,05664 0,00410
27 0,00004 0,00009 0,00006 0,00166 1,04938 0,00002
28 0,02934 0,03261 0,04400 0,01088 0,00945 1,00526
Total 1,35097 1,27428 1,27339 1,30703 1,35785 1,15476
191

Lampiran 16. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah Irigasi (Oryza sativa )
Persyaratan penggunaan lahan/ Kelas kesesuaian lahan
karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc)
0
Temperatur rerata ( C) 24 - 29 22 - 24 18 - 22 < 18
29 - 32 32 - 35 > 35
Ketersediaan air (wa)
Kelembapan (%) 33 - 90 30 - 33 < 30 ; <90
Media perakaran (rc)
Drainase agak terhambat, terhambat, sangat terham- cepat
sedang baik bat agak cepat
Tekstur halus, agak halus sedang agak kasar kasar
Bahan kasar (%) <3 3 - 15 15 - 35 > 35
Kedalaman tanah (cm) > 50 40 - 50 25 - 40 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 200
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
+
Kematangan saprik saprik, hemik, fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 < 35
pH H2 O 5,5 - 8,2 4,5 - 5,5 < 4,5
8,2 - 8,5 > 8,5
C-organik (%) 0,8 - 1,5 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <2 2-4 4-6 >6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <3 3-5 5-8 >8
Bahaya erosi sangat rendah rendah sedang berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0,F11,F12 F13,F22,33 F14,F24,F34 F15,F25
F21,F23,F31,F32 F41,F42,43 F44 F35,F45
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
keterangan :
Saprik+ , hemik+ ,fibrik+ = saprik, hemik, fibrik dengan sisipan bahan mineral/pengkayaan
192

Lampiran 17. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung (zea mays )


Persyaratan penggunaan Kelas sesuaikan lahan
lahan/ karateristik lahan S1 S2 S3 S4
Temperatur (tc) 20 - 26 - 16 - 20 < 16
Temperatur rerata (0 C) 26 - 30 30 - 32 > 32

Ketersediaan air (wa)


Curah hujan tahunan (mm) 500 - 1.200 1.200 - 1.600 > 1.600
400 - 500 300 - 400 < 300
Kelembaban (%) > 42 36 - 42 30 - 36 < 30
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, agak agak cpat, terhambat hangat terham-
terhambat sedang bat, cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur halus, agak - agak kasar kasar
halus, sedang
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 60 40 - 60 25 - 44 < 25
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada < 140 140 - 200 200 - 400 > 400
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
Kematangan saprik+ saprik, hemik fibrik
+ +
hemik fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 50 35 - 50 <3 5
pH H2 O 5,8 - 7,8 5,5 - 5,8 < 5,5
7,8 - 8,2 > 8,2
C-organik (%) > 0,4 ≤ 0,4
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <4 4-6 4-8 >8
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) <15 15 - 20 20 - 25 > 25
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) >100 75 - 100 40 - 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8 - 16 16 - 30 > 30
Bahaya erosi sangat rendah rendah-sedang berat sangat berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - F1 > F2
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25
193

Lampiran 18. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Mangga (Mangifera indica L .)


Persyaratan penggunaan Kelas kesesuaian lahan
lahan/ karateristik lahan S1 S2 S3 N
Temperatur (tc) 22 - 28 28 - 34 34 - 40 > 40
Temperatur rerata (0 C) 18 - 22 15 - 18 < 15
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan tahunan (mm) 1.250 - 1.750 1.750 - 2.000 2.000 - 2.500 >2.500
1.000 - 1.250 750 - 1.000 <750
Kelembaban (%) 36 - 42 30 - 36 <30
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, sedang agak terhambat terhambat, sangat terham-
agak terhambat bat, sepat
Media perakaran (rc)
Tekstur sedang, agak - agak kasar kasar
halus, halus
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 <50
Gambut :
Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200
Ketebalan (cm) Jika ada <140 140 - 200 200 - 400 > 400
sisipan bahan mineral/
pengkayaan
Kematangan saprik+ saprik hemik fibrik
hemik+ fibrik+
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16
Kejenuhan basa (%) > 35 20 - 35 < 20
pH H2O 5,5 - 7,8 5,0 - 5,5 < 5,0
7,8 - 8,0 > 8,0
C-organik (%) > 1,2 0,8 - 1,3 < 0,8
Tosisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <4 4-6 6-8 >8
Sodisitas (xn)
Alkalinitas /ESP (%) < 15 15 - 20 20 - 25 >5
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 <60
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8 - 16 16 - 30 >30
Bahaya erosi Sr rendah - sedang berat sangat berat
Bahaya banjir (fh)
Genangan F0 - - > F0
Penyiapan lahan (lp)
Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25

You might also like