You are on page 1of 11

HALAMAN KELAYAKAN PUBLIKASI

Artikel Jurnal Tugas Akhir

PENERAPAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN TERHADAP ANAK TUNAGRAHITA


KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL DITINJAU DARI KUHP DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

NATASYA APRILA SHOBIRIN


120116304

Yang Mengesahkan,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M. Dr. Hwian Christianto, S.H., M.H.
Hukum

SANKSI PIDANA TAMBAHAN TERHADAP PELAKU


KEJAHATAN SEKSUAL PADA ANAK PENYANDANG
DISABILITAS TUNAGRAHITA
Natasya Aprila Shobirin*, Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M. , Dr. Hwian Christianto,
S.H., M.H.
Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Raya Kalirungkut, Subarabaya 60293

*Corresponding author: naprila38@gmail.com

Abstract — Sexual crimes against children, both normal children and children with disabilities, nowadays often occur in social life, so
the implementation of protection for children must be carried out properly and appropriately. One example is in the Bogor District Court
Decision Number 48/Pid.Sus/2019/ PN.Bgr where a child with mental retardation has experienced a sexual crime committed by his own
stepfather which resulted in the child experiencing physical and psychological harm. This research is intended to analyze the additional
criminal sanctions that can be applied to JU for his actions against DAR. The research method used is a normative juridical research
method, namely by conducting a literature study. The result of the research is that JU's actions can be subject to additional criminal
sanctions in the form of revocation of child custody based on the Criminal Code and Law Number 35 of 2014 concerning Amendments to
Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection.

Keywords: sexual crimes, child protection, additional criminal sanctions, the Criminal Code, Law Number 35 of 2014 concerning
Amendments to Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection.

Abstrak — Kejahatan seksual terhadap anak baik anak normal maupun anak penyandang disabilitas saat ini sering terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga penyelenggaraan perlindungan terhadap anak harus dilakukan dengan baik dan tepat. Salah satu
contohnya pada Putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 48/Pid.Sus/2019/PN.Bgr dimana seorang anak penyandang disabilitas
tunagrahita mengalami kejahatan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya sendiri yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik
fisik maupun psikisnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan terhadap JU atas
perbuatannya kepada DAR. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan cara melakukan
studi kepustakaan. Hasil dari penelitian adalah bahwa perbuatan JU dapat diterapkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak
asuh anak berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.

Kata kunci: kejahatan seksual, perlindungan anak, sanksi pidana tambahan, KUHP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pendahuluan
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Menjadi suatu perhatian luas bagi setiap orang untuk meletakkan posisi anak
sebagai suatu insan yang perlu untuk diperhatikan dan mendapat segala kebutuhan yang sesuai
kebutuhan anak itu sendiri. Secara umum kedudukan anak dalam rumah tangga sebenarnya
memiliki posisi yang strategis serta menjadi kebanggan kedua orang tuanya, namun secara fisik
mereka lebih lemah dibandingkan dengan orang dewasa sehingga anak sering kali menjadi korban.
Perkembangan pada masyarakat yang semakin maju berdampak pada timbulnya kejahatan
terhadap anak, misalnya kejahatan seksual yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.
Perlindungan anak di dalam pelaksanaannya harus dilakukan tepat dan tidak berlebihan
sebab perlu memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,
sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat yang negatif. Perlindungan anak
dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab, dan bermanfaat sehingga dapat mencerminkan
suatu usaha yang efektif dan efisien. Orang tua merupakan salah satu yang memiliki kewajiban
dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan perlindungan anak. Namun realita yang terjadi saat
ini, orang tua melalaikan kewajibannya untuk memberikan perlindungan terhadap anak, hal ini
nantinya akan berdampak buruk terhadap tumbuh kembangnya apabila masih berada dalam
pengasuhan orang tuanya yang melalaikan kewajiabn dan tanggung jawabnya.
Salah satu kejahatan seksual terjadi pada bulan November 2018. Seorang anak berinisial
DAR merupakan anak penyandang disabilitas tunagrahita berumur 16 tahun 11 bulan menjadi
korban kejahatan seksual oleh JU selaku ayah tirinya sendiri. Perbuatan ini berawal dari DAR
sedang mandi di dalam kamar mandi yang pintunya tidak terkunci sehingga JU dengan sengaja
masuk dan beralasan hendak mencuci tangannya. Melihat DAR dalam keadaan seperti itu nafsu
birahi pada diri JU muncul sehingga JU mengajak DAR untuk mandi bersama-sama, bersamaan
dengan itu JU mulai menjalankan aksinya dengan meraba dan menggosok-gosokkan punggung dan
memegang payudara DAR. Kemudian setelah selesai mandi ketika DAR mengenakan baju hanya
atasannya saja (setengah telanjang) JU langsung mengajak DAR ke dalam kamar untuk
melanjutkan aksinya.
Saat di dalam kamar DAR disandarkan ke tembok oleh JU kemudian JU mulai melakukan
aksinya kembali dengan memegang payudara DAR dan menggesek-gesekkan alat kelamin JU ke
alat kelamin DAR, barulah setelah itu JU menyuruh DAR untuk tidur terlentang kemudian JU
langsung menindih tubuh DAR dan melakukan persenggamaan dengan DAR. Akibat dari perbuatan
yang dilakukan oleh JU terhadap DAR, DAR mengalami trauma dan merasa ketakutan saat melihat
JU. Selain itu juga DAR mengalami sakit dan perih disekitar kemaluannya akibat dari perbuatan JU
terhadap DAR. Kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Bogor dengan Nomor Perkara
48/Pid.Sus/2019/PN.Bgr yang menyatakan bahwa JU terbukti terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah menurut Pasal 81 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 76D Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak melakukan tindak pidana “melakukan ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh orang tua” dan menjatuhkan
pidana terhadap JU oleh karena itu dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun dengan denda
sebesar Rp1000.000.000,- (satu milyar rupiah) apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
pidana penjara 6 (enam) bulan.
Berkaitan dengan hal ini, maka diperoleh suatu rumusan masalah yaitu: Apakah
penerapan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dapat dikenakan kepada JU
ditinjau dari KUHP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Metode
penelitian ini didasari dengan melakukan studi kepustakaan pada berbagai bahan hukum, baik
menggunakan bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, maupun bahan
hukum sekunder yaitu literatur-literatur lainnya yang terkait dengan permasalahan hukum yang
akan diteliti. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) yang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang maupun regulasi yang terkait dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yang merupakan suatu pendekatan yang didasari dengan doktrin atau pandangan yang
ada dan berkembang dalam ilmu hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan antara lain KUHP dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.

Hasil dan Pembahasan


Pengertian anak secara khusus dapat kita temukan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1, bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil.
Selain itu, anak merupakan seseorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan
mempunyai potensi untuk menjadi dewasa. DAR merupakan seorang anak perempuan berumur
16 tahun 11 bulan yang lahir pada tanggal 22 November 2001 berdasarkan Kartu Keluarga Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Bogor. Menurut Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak maka DAR masuk dalam kategori anak.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa “Penyelenggaraan
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar dari Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non
diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan”.
Asas non dikriminasi artinya tidak membeda-bedakan atau memperlakukan sama. Terkait
dengan kasus, DAR merupakan seorang anak tunagrahita yang memiliki keterbatasan berpikir. JU
menggunakan keterbatasan DAR tersebut dengan memaksa dan mengancam DAR untuk
melakukan persetubuhan dengannya. Anak normal dan anak penyandang disabilitas memiliki hak
dan kedudukan yang sama sehingga tindakan JU menjadikan DAR sebagai korban kejahatan
seksual tidak seharusnya dilakukan.
Asas kepentingan yang terbaik bagi anak berdasarkan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa “Asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif,
dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama”. Orang tua wajib memberikan perlindungan dari tindakan-tindakan yang tidak seharusnya
diterima oleh anak karena kepentingan terbaik bagi anak merupakan hal yang utama. Namun
dalam kasus ini terlihat dengan jelas bahwa JU tidak melindungi DAR akan tetapi justru melakukan
perbuatan yang dilanggar oleh undang-undang terhadap DAR, sehingga asas kepentingan yang
terbaik bagi anak telah dilanggar.
Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, berdasarkan Penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa “Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua”. Asas ini juga diatur secara khusus dalam
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Terkait kasus ini, JU memaksa dan mengancam DAR menerima ajakan JU untuk
melakukan persetubuhan dengannya. Hak ini merupakan hak yang paling mendasar pada setiap
anak. Dampak perbuatan JU bagi perkembangan dan pertumbuhan DAR tidak berjalan dengan
baik karena DAR mengalami trauma emosional dan rasa takut, sehingga dalam kasus ini dapat
dipahami bahwa menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hak DAR telah dilanggar.
Beberapa hak-hak anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak antara
lain:
Pasal 12 menyebutkan “Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”. DAR merupakan anak penyandang
disabilitas dengan demikian DAR berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dari pemerintah maupun lembaga yang berwenang.
Pasal 13 menyebutkan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi; eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya”. DAR menjadi korban
kejahatan seksual yang dilakukan oelh JU sebagai ayah tirinya. Setiap orang tua memiliki kewajiban
dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap anaknya dalam keadaan dan
kondisi apapun, akan tetapi dalam kasus ini terlihat jelas bahwa JU sebagai ayah tiri DAR yang
seharusnya menjaga dan melindungi DAR dari perilaku yang tidak benar justru melakukan
perbuatan tersebut yang tidak patut DAR alami, sehingga terkait dengan kasus ini dapat dipahami
bahwa hak yang dimiliki DAR menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah dilanggar.
Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. DAR menjadi
korban kejahatan seksual bahkan DAR mendapatkan perlakuan tersebut sebanyak 3 (tiga) kali
sejak DAR duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Melihat situasi dan kondisi yang terjadi, maka
dapat dipahami bahwa menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak DAR dapat dipisahkan dari
asuhan JU agar DAR tidak lagi berada dalam asuhan JU sebagai ayah tirinya.
Pasal 15 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam
kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam
peperangan; dan kejahatan seksual”. DAR merupakan anak korban kejahatan seksual yang
dilakukan oleh ayah tirinya sendiri yaitu JU dengan memaksa dan mengancam DAR untuk
melakukan persetubuhan dengannya. Melihat kasus ini, maka DAR yang menjadi anak korban
kejahatan seksual yang dilakukan oleh JU sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan tersebut.
Pasal 18 menyebutkan “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Kasus ini menjelaskan bawah posisi DAR
adalah sebagai anak korban kejahatan seksual, dengan demikian menurut Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak DAR berhak mendapatkan bantuan hukum dan juga bantuan lainnya.
Anak penyandang disabilitas menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
adalah “Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik, dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui
hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak”.
Anak penyandang disabilitas dalam hal ini sangat beragam baik dari segi fisik, mental,
intelektual maupun sensoriknya. Tunagrahita merupakan keadaan seseorang dimana seseorang
tersebut mengalami keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga dengan retardasi mental
(mental retardation). American Association on Mental Deficiency (AAMD) (Moh.Amin,2005,p.22)
mendefinisikan “Tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah
rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun”. Terkait
dengan kasus ini, DAR selalu mendapatkan ancaman setiap kali JU melakukan perbuatannya,
ancaman tersebut JU lontarkan kepada DAR, manakala DAR menolak keinginan JU maka DAR tidak
akan diantar jemput bersekolah. Akibat dari ancaman itu DAR ketakutan, tertekan dan
terintimidasi, hal ini disebabkan karena kemampuan berpikir DAR yang tidak sesuai dengan
umurnya, sehingga DAR mau melakukan apa yang diinginkan JU. Menurut Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa DAR menunjukkan ciri-ciri memiliki keterbatasan dalam tumbuh
kembangnya, dengan kata lain bahwa DAR merupakan seorang anak penyandang disabilitas.
Keterbatasan disini menunjukkan bahwa DAR penderita Tunagrahita (mental retardation) yang
dibuktikan dengan fungsi intelektual dibawah rata-rata.
Menurut Astati, (Astati,2001,p.3) “Dalam hal berbicara anak Tunagrahita ringan
menunjukkan kelancaran, hanya saja dalam perbendaharaan katanya terbatas, selain itu juga
mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan mengenai isi dari pembicaraan”. Terkait dengan
kasus ini DAR menunjukkan kelancaran dalam berbicara dan menyampaikan pendapatnya, hal ini
dapat dilihat saat DAR memberikan keterangan di muka persidangan kepada Majelis Hakim
dengan menceritakan kembali kronologi kejadian yang terjadi. Selain itu jika dilihat dari sikap DAR
saat mendapatkan ancaman, DAR merasakan ketakutan, tertekan, dan terintimidasi sehingga
dalam hal ini dapat dikatakan bahwa DAR tidak mampu mencerna dan menyimpulkan maksud dan
tujuan dari isi pembicaraan JU tersebut hanya semata-mata agar DAR merasakan ketakutan dan
merasa terintimidasi. Terkait dengan ini sehingga dapat dipahami bahwa DAR masuk dalam
kategori penderita tunagrahita ringan.
Perlindungan anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menentukan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. JU melakukan kejahatan seksual terhadap DAR dengan memaksa dan mengancam
DAR untuk melakukan persetubuhan dengannya, terlebih lagi JU merupakan ayah tiri dari DAR.
Terkait dengan hal ini maka perbuatan JU terhadap DAR telah melanggar hak anak yang
seharusnya dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi, sehingga menurut Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak DAR wajib mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang buruk JU agar
DAR dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Kejahatan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang
perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, dan modus operandinya, sehingga
menimbulkan keresahan karena dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan
masyarakat serta lingkungannya. Pengertian kekerasan (abuse) tidak hanya diartikan sebagai
kekerasan fisik saja, akan tetapi dapat juga secara mental bahkan secara pasif (pengabaian).
Menurut Maidin Gultom (Maidin Gultom,2012,p.83) “Dapat diketahui, tidak melakukan apapun,
dapat menghasilkan dampak yang sama dengan yang ditimbulkan kekerasan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa di sisi lain abuse dalam pelaksanaannya tidak lepas dari unsur kekerasan.
Kekerasan dapat diartikan sebagai perlakuan yang salah”.
Sexual abuse (kekerasan seksual) menunjuk pada setiap aktivitas seksual. Bentuk kekerasan ini
dapat berupa penyerangan dan tanpa penyerangan. Termasuk kategori penyerangan apabila
seorang anak menderita cedera fisik dan trauma emosional yang luar biasa. Dalam kategori
kekerasan seksual tanpa penyerangan anak tidak mengalami cedera fisik tetapi tetap saja
menderita trauma emosional.(Maidin Gultom,2012,p.96)
Terkait dengan kasus ini, perbuatan yang dilakukan oleh JU mulai dari menggosok
punggung DAR, memegang payudara DAR sampai pada akhirnya JU menyetubuhi DAR dengan
paksaan dan ancaman yang mengakibatkan DAR trauma, mengalami kesakitan dan perih di area
alat kelaminnya, dapat dipahami bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk dari kekerasan
seksual (sexual abuse), hal ini dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh JU terhadap DAR
seluruhnya menunjukkan pada aktivitas seksual.
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana. Pengaturan mengenai
kejahatan seksual terhadap anak telah diatur di dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Ketentuan pengaturan kejahatan seksual pada anak diatur di Pasal 287 Ayat (1) KUHP yang
menyebutkan “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun”. Ketentuan Pasal 287 Ayat (1) KUHP tidak ada persyaratan kekerasan atau
ancaman yang terpenting melakukan persetubuhan dengan wanita dibawah usia lima belas tahun
itu terjadi. Unsur Pasal 287 Ayat (1) KUHP yaitu:
1. Barangsiapa
2. Bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan
3. Diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin
Unsur “barangsiapa” adalah setiap orang yang menjadi subyek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya yang diduga telah melakukan tindak pidana. JU adalah
subyek hukum yang melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya, maka dalam hal ini unsur “Barangsiapa” telah terpenuhi.
Unsur “Bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan”, artinya orang yang melakukan
persetubuhan tersebut tidak ada ikatan perkawinan dengan wanita yang disetubuhinya. JU dan
DAR tidak ada ikatan perkawinan, melainkan ikatan ayah dan anak maka dalam hal ini unsur
“bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan” telah terpenuhi.
Unsur “Diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”. DAR merupakan anak tiri dari
JU yang berumur 16 tahun 11 bulan. Pengaturan mengenai batas umur anak dalam KUHP tidak
berlaku lagi, ketentuan batas umur usia anak saat ini menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
adalah dibawah 18 (delapan belas) tahun.
Selain KUHP Ketentuan mengenai kejahatan seksual diatur dalam Pasal 76D Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain”. Unsur Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu:
1. Setiap orang
2. Dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
Unsur “Setiap orang”, menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. JU adalah subyek
hukum yang melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka
dalam hal ini unsur “setiap orang” telah terpenuhi.
Unsur “Dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Terkait dengan kekerasan menurut Pasal 15a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Kekerasan adalah setiap perbuatan
terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”. Ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Ancaman adalah segala bentuk
perbuatan yang menimbulkan akibat, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga saksi
dan/atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal
yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana”. Kasus ini
berawal pada saat JU dengan sengaja masuk ke kamar mandi dan kemudian mengajak DAR untuk
mandi bersama, kemudian JU menggosok-gosok punggung DAR dan memegang payudara DAR.
Setelah selesai mandi saat DAR mengenakan baju atasannya, JU mengajak DAR ke dalam kamar
dan kemudian sesampainya dikamar JU mendorong DAR ke tembok lalu JU kembali memegang
payudara DAR dan menggesek-gesekkan alat kelamin JU. Setelah itu JU menindih DAR dan
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin DAR. Setiap JU melakukan perbuatan tersebut
DAR selalu diancam bahwa tidak akan diantar jemput bersekolah, hal ini membuat DAR ketakutan
dan tertekan karena mengingat keterbatasan kondisi DAR sebagai anak penyandang disabilitas
tunagrahita. Akibat dari perbuatan JU DAR mengalami trauma dan ketakutan jika melihat JU.
Perbuatan JU yang memaksa dan mengancam DAR melakukan persetubuhan dengannya termasuk
tindakan ancaman kekerasan karena JU dengan sengaja memaksa DAR melakukan persetubuhan
dengannya yang diikuti dengan ancaman dengan tujuan untuk membuat DAR tertekan sehingga
DAR dengan terpaksa melakukan yang diinginkan oleh JU, akibat dari perbuatan tersebut DAR
menderita baik secara fisik, psikis, dan seksual. Terkait dengan hal ini maka unsur “Dilarang
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain” telah terpenuhi.
Terkait dengan ketentuan diatas menurut asas “Lex Specialis Derogat Legi Generalis” yang
artinya hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum
(lex generalis) maka jika dikaitkan dengan kasus dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang diberlakukan kepada JU, hal ini disebabkan karena pada kasus ini yang menjadi korban
adalah seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun yang disebut sebagai anak.
Sanksi pidana tambahan diatur dalam Pasal 10 huruf b KUHP. Pencabutan hak-hak
tertentu adalah salah satu dari beberapa jenis sanksi pidana tambahan. Pencabutan hak-hak
tertentu ini bukan berarti segala sesuatu hak-hak orang yang melanggar dapat dicabut. Terkait
dengan hal ini, jika dihubungkan dengan kasus yang sedang dibahas maka, JU sebagai pelaku
kejahatan seksual terhadap DAR dapat dikenakan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak
asuh anak, karena pengenaaan sanksi pidana tambahan kepada JU tersebut merupakan bentuk
daripada perlindungan anak.
Ketentuan Pasal 37 Ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa “Kekuasaan bapak, kekuasaan
wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas
orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan: ke-1 orang tua atau wali yang dengan sengaja
melakukan kejahatan bersama-sama dengan anak yang kurang cukup umur (minderjarig) yang ada
dibawah kekuasaannya; ke-2 orang tua atau wali yang terhadap anak yang kurang cukup umur
yang ada di kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV,XV,XVIII, XIX,
dan XX dari Buku Kedua”. Perbuatan JU selaku ayah tiri DAR memaksa dan mengancam DAR untuk
melakukan persetubuhan dengannya termasuk dalam kategori kejahatan yang diatur dalam Bab
XIV Buku Kedua KUHP sehingga menurut Pasal 37 Ayat (1) KUHP dapat diterapkan dengan
mencabut kekuasaan JU atas DAR.
Ketentuan mengenai pencabutan hak asuh anak juga diatur dalam Pasal 30 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “Dalam hal orang tua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan
pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut”. Ketentuan Pasal 26 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk:a.mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak”. Perbuatan JU terhadap DAR
telah melanggar ketentuan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana JU
menyetubuhi DAR dengan pemaksaan dan ancaman sehingga menurut Pasal 30 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terhadap JU dapat diterapkan tindakan pencabutan hak asuh anak atas
DAR.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terkait dengan perbuatan JU
yang memaksa dan mengancam DAR untuk melakukan persetubuhan dengannya dapat dikenakan
sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, perbuatan JU yang melakukan persetubuhan terhadap DAR yang mana
hubungan antara JU dan DAR merupakan ikatan orang tua dan anak serta dapat diketahui oleh JU
bahwa DAR merupakan seorang anak yang masih dibawah umur, sehingga perbuatan JU telah
memenuhi unsur Pasal 287 Ayat (1) KUHP. Namun dalam kasus ini ketentuan yang ada dalam
KUHP tidak diberlakukan karena terdapat undang-undang yang bersifat khusus yaitu Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Kedua, perbuatan JU selaku ayah tiri DAR yang melakukan kejahatan seksual dengan cara
memaksa DAR untuk melakukan persetubuhan dengannya yang mana dalam setiap melakukan
perbuatan tersebut DAR selalu diancam oleh JU jika menolak keinginannya maka JU tidak akan
mengantar jemput DAR bersekolah lagi, hal ini membuat DAR menjadi ketakutan dan tertekan
sehingga DAR dengan ketidakberdayaannya menuruti keinginan JU. Terkait dengan ini maka
perbuatan yang JU lakukan terhadap DAR telah memenuhi unsur yang ada dalam Pasal 76D
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketiga, perbuatan JU telah terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yaitu KUHP dan juga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan kasus tersebut dalam hal
ini DAR sebagai anak korban kejahatan seksual wajib mendapatkan perlindungan maka menurut
KUHP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap JU sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap
DAR dapat dikenakan sanksi pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu dalam bentuk
pencabutan hak asuh anak.
Pustaka Acuan
A. Peraturan Perundang-Undangan
KUHP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
B. Buku
Amin,Moh. (2005). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti.
Astati. (2001). Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita.Bandung: CV.Pendawa.
Amirudin dan Zainal Asikin. (2012). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Christianto, Hwian. (2017). Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstentif dan Studi Kasus.
Yogyakarta: Suluh Media.
Gosita, Arif. (1989). Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: CV.Akademika Pressido.
Hamzah, Andi. (2017). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Gultom, Maidin. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung:
PT Refika Aditama.
Gultom, Maidin. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Lamintang, P.A.F. (1984). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: CV.Sinar Baru.
Mumpuniarti. (2007). Pembelajaran Akademik Bagi Tunagrahita. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Politik Universitas Negeri Yogyakarta.
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universita Diponegoro.
Moeljatno. (1993). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya dalam Hukum Pidana.
Jakarta: Rinneke Cipta.
Nashriana. (2011). Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Kansil, C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Prasetyo, Teguh. (2010). Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro.
Supeno, Hadi. (2010). Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta. (2016). Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta: Sinar
Grafika.
Yuwono, Ismantoro Dwi. (2015). Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Jakarta: PT Buku Seru.
Said, Moh Fachri. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Pespektif HAM.
Makassar: Universitas Muslim Indonesia.
C. Salinan Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor: 48/Pid.Sus/2019/PN.Bgr

You might also like