You are on page 1of 14

Hasil Penelitian

KERANGKA ADVOKASI KOALISI DALAM KEBIJAKAN PENATAAN PEMUKIMAN


BANTARAN SUNGAI WINONGO DI KOTA YOGYAKARTA

Abstract
The basic idea of this article is to examine the policy advocacy process on Winongo settlement
arrangement riverbanks in Yogyakarta. Problems settlements along the river Winongo become
increasingly critical as more densely populated to cause the symptoms of poverty and slums.
This condition is then ignited the presence Arkom and FKWA to show arrangement ideas through
policy advocacy process. Therefore, this article will focus on answering two things, there are
how the coalition framework was formed and how the coalition manage their belief system,
resources and strategies. To answer that questions above, this research was escorted by theory
Advocacy Coalition Framework (ACF) of Sabatier and Jenkins Smith. Through the case study
method, this research will explore the case of advocacy of policies Winongo settlement on the
riverbanks. The results of the research shows that there are two coalitions in structuring settlements
along the river Winongo, they are River coalitions and “Right to the city” coalition. Both are
proven to stand on two legs, as a member of the coalition and as a policy broker. This shows that
the policy is not just a stage of systemic and technocratic, but the policy is a political process
that allows each actor to act politically.

Key words: Advocacy, Coalition, Policy

*Zulfa Harirah MS
* Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau

PENDAHULUAN Kontroversi kebijakan penataan


pemukiman bantaran sungai yang dikeluarkan
Disadari atau tidak, keberadaan Pemerintah nyatanya memicu gaung advokasi
pemukiman di bantaran sungai merupakan masalah masyarakat dalam memperjuangkan haknya terasa
yang memiliki dilema tersendiri. Di satu sisi, semakin menggema (Fuad, 2015: 43). Tidak dapat
keberadaan pemukiman di bantaran sungai dipungkiri bahwa semangat demokratisasi telah
digunakan oleh penduduk miskin yang tidak mampu mengharuskan Pemerintah untuk meredefinisi
menjangkau pemukiman layak. Mereka tetap peranannya (Wahab,2008: 41) Pemahaman
bertahan tinggal di bantaran sungai karena lokasinya tradisional yang bersandar pada konsep iron
yang dinilai strategis, dekat dengan tempat mereka triangle yang terbatas pada agen administratif,
mencari nafkah (Sasanto dan Khair, 2010: 146). legislatif pada satu level pemerintahan semakin
Namun di sisi lain, wilayah bantaran sungai diperluas dengan hadirnya aktor dari berbagai level
merupakan kawasan yang perlu mendapat pemerintahan, seperti NGO, peneliti, analis
perlindungan dari berbagai faktor yang dapat kebijakan, maupun masyarakat luas pada proses
merusak ekosistem, termasuk keberadaan kebijakan (Sabatier dan Smith, 1993: 16-20)
pemukiman itu sendiri.

128
Hasil Penelitian

Dalam menata pemukiman di bantaran rawan bencana dengan kondisi pemukiman yang
sungai Winongo, Pemerintah Kota Yogyakarta tidak layak huni. Kondisi inilah yang mendasari
seolah mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, Arkom lebih melihat penataan dari arah pemukiman
wilayah bantaran sungai telah diatur dalam RTRW ke sungai, bahwa hak-hak masyarakat di bantaran
Kota Yogyakarta sebagai kawasan lindung dan sungai menjadi prioritas yang harus dipenuhi terlebih
diatur sebagai ruang terbuka hijau, sehingga tidak dahulu. Sehingga arah advokasi yang dilakukan
diperuntukkan sebagai wilayah bermukim. Di sisi Arkom lebih kepada pemenuhan hak-hak
lain, Pemerintah tidak dapat serta-merta menggusur masyarakat di bantaran sungai untuk memperoleh
dan merelokasi mereka dikarenakan keterbatasan tempat tinggal yang layak.
lahan di Kota Yogyakarta. (Hasil wawancara
Keterlibatan masyarakat dalam konteks ini
dengan Tri Retnani dari Bappeda Kota Yogyakarta
menjadi penting untuk mewujudkan penataan
pada tanggal 11 Oktober 2016)
bantaran sungai Winongo yang partisipatif
Sikap pasif Pemerintah Kota Yogyakarta (Kurniawan, 2014: 34). Ini menunjukkan bahwa
dalam menata bantaran sungai Winongo ini dalam proses kebijakan publik dimungkinkan ada
kemudian melahirkan inisiatif dari lembaga swadaya aktor di luar negara yang berusaha mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan advokasi dan kebijakan melalui advokasi kebijakan. FKWA
menyampaikan alternatif kebijakan penataan maupun Arkom yang sedang berada dalam sudut
pemukiman di bantaran sungai Winongo. Ada dua pandang yang berbeda mencoba membentuk
kelompok yang berperan dalam proses advokasi koalisi dengan kelompok lain. Pembentukan koalisi
masyarakat bantaran sungai Winongo, yaitu Arsitek dilakukan dengan cara mengajak kelompok lain
Komunitas Yogyakarta (Arkom Jogja) dan Forum yang memiliki keyakinan (belief system) yang sama
Komunikasi Winongo Asri (FKWA). untuk memperkuat dukungan dalam mengadvokasi
kebijakan. Sehingga tulisan ini akan berusaha untuk
Kedua kelompok ini berada pada posisi menjawab dua hal, yaitu bagaimana kerangka
dan sudut pandang yang berbeda. Kerangka kerja koalisi dalam advokasi penataan pemukiman
FKWA didasari oleh stigma negatif terhadap bantaran sungai Winongo dan bagaimana masing-
keberadaan pemukiman di bantaran sungai yang masing subsistem mengelola belief system, sumber
diyakini akan memperluas slum area. Ditambah daya dan strategi mereka masing-masing.
lagi, keberadaan pemukiman di bantaran sungai
jelas menunjukkan kesan kumuh dan semrawut, Untuk menjawab dua rumusan masalah
lekat dengan kemiskinan, dan menjadi penyebab tersebut, penulis menggunakan kerangka koalisi
kerusakan ekosistem sungai. (Ambar, 2002: 327) advokasi (advocacy coalition framework) yang
Sehingga, FKWA bertitik tolak dengan semangat dikemukakan oleh Jenkins-Smith dan Sabatier.
menjaga sungai agar tetap bersih dan asri. Advocacy Coalition Framewok ini digunakan
Keyakinan tersebut dikerangkai oleh cara pandang sebagai pisau analisis untuk melihat kebijakan
FKWA yang melihat penataan dari arah sungai ke sebagai persaingan antara koalisi aktor yang
pemukiman. Cara pandang yang demikian akan mendukung keyakinan tentang masalah kebijakan
melahirkan gagasan bahwa sungai menjadi lebih dan solusinya. Masing-masing koalisi akan terlibat
prioritas dibandingkan pemukiman di bantaran dalam pertarungan kepentingan. Konflik yang
sungai. kemudian muncul diantara koalisi tersebut
dimediasi oleh pihak ketiga yang disebut sebagai
Sedangkan di sisi yang lain, masyarakat broker kebijakan (policy broker). Broker
yang tinggal di bantaran sungai diyakini sedang kebijakan merupakan pihak ketiga yang berperan
mengais penghidupan dari kehidupan perkotaan dalam mengurangi tingkat konflik antar koalisi.
yang semakin menjanjikan. Dengan kondisi Broker merupakan aktor yang tidak terlibat
perekonomian yang masih rendah, mereka berani didalam perdebatan yang terjadi namun perannya
menantang maut bertahan di lahan illegal yang

129
Hasil Penelitian

dalam subsistem dikarenakan keahlian yang METODE PENELITIAN


dimiliki. Dengan kata lain, broker kebijakan adalah
aktor netral yang berkeinginan mencari kompromi Jawaban atas pertanyaan ini ditelusuri
yang masuk akal dan realistis antara pandangan- berdasarkan metode studi kasus dengan teknik
pandangan koalisi yang terlibat seperti pihak pada observasi, wawancara mendalam, dan
posisi yang memiliki otoritas formal (pemerintah, dokumentasi.(Patilima, 2007 dan Gunawan, 2015)
komisi, pengadilan, dan lain-lain) maupun peneliti/ Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif
ahli. dengan pendekatan studi kasus yang berusaha
menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis
Poin utama dari teori ini mencakup dimensi fenomena, peristiwa, aktivitas, kepercayaan,
yang terjadi dalam subsistem kebijakan. Subsistem persepsi dan pemikiran secara individual dan
kebijakan menjadi arena bagi interaksi yang terjadi kelompok. Dengan metode studi kasus, maka fakta
sebagai proses persaingan koalisi aktor yang mengenai advokasi koalisi yang dilakukan dalam
mendukung keyakinan tentang masalah kebijakan rangka penataan pemukiman bantaran sungai
dan solusinya. Didalam subsistem, terdapat 3 hal Winongo dari berbagai sumber data akan digali,
utama yang mempengaruhi keberhasilan koalisi dianalisis dan diinterpretasikan untuk mengangkat
advokasi yaitu policy beliefs, resourches dan substansi mendasar yang terdapat dibalik kasus
strategy. Pola belief system ini terdiri dari 3 yang diteliti. Data yang diperoleh akan dihimpun
macam, pertama yaitu deep core yang menjelaskan dengan pengamatan yang seksama, mencakup
ontologi dasar mengenai nilai terhadap peran dan deskripsi dalam konteks yang detail disertai hasil
fungsi berdasarkan kesamaan pengetahuan tentang wawancara yang mendalam dan hasil analisis
masalah publik dan berkaitan dengan sifat dasar dokumen.
manusia. Kedua, core of belief system yang
merupakan kondisi dan strategi dasar kebijakan
dalam sebuah koalisi yang didasarkan pada HASIL DAN PEMBAHASAN
pandangan yang sama terhadap kondisi yang
diinginkan. Ketiga, secondary aspects yang Melacak Kerangka Koalisi Advokasi
merupakan instrumen kebijakan yang diperlukan Kebijakan Penataan Pemukiman Bantaran
untuk mengimplementasikan policy core sehingga Sungai Winongo
terjadi perubahan kebijkan. Menurut Sabatier, Bagian ini merupakan jawaban atas
perubahan dan modifikasi kebijakan seringkali rumusan masalah pertama yang telah diajukan, yaitu
terjadi pada aspek sekunder (secondary aspects). untuk melacak dan mengurai geliat dari para aktor
Berdasarkan keyakinan tersebut, koalisi dalam masing-masing koalisi. Arkom dan FKWA
advokasi akan melakukan upaya untuk yang akan menjadi tokoh utama dalam
mewujudkan tujuannya yaitu membuat lembaga pembahasan ini. Masing-masing akan saling
pemerintah untuk berperilaku sesuai dengan inti mencari dukungan dalam koalisi untuk
kebijakan mereka. Policy belief dari suatu koalisi memperkuat posisi.
akan berkompetisi dengan koalisi yang lain dengan Seperti yang telah dipaparkan diawal
berbagai strategi untuk mempengaruhi kebijakan bahwa masalah keberadaan pemukiman di
dengan berbagai sumberdaya yang dimiliki. bantaran sungai masih sangat kental mewarnai
Koalisi-koalisi yang terbentuk itu seringkali dinamika tata ruang perkotaan. Aturan hukum yang
menghadapi konflik politis dalam isu pembuatan telah disusun rapi di dalam draft RTRW ternyata
kebijakan. Sehingga policy broker hadir sebagai tidak mudah untuk diimplementasikan.
mediator yang berusaha memberikan jalan keluar Kepincangan seperti ini, tentu saja harus dieliminir.
untuk mencapai kesepakatan diantara pro kontra Berbagai tuntutan datang dari masyarakat untuk
koalisi. mengkritisi Pemerintah melalui upaya advokasi.

130
Hasil Penelitian

Tuntutan tersebut muncul baik dari pihak yang hanya sampai di level itu.
menganggap Pemerintah telah gagal menyediakan
tempat tinggal yang layak bagi masyarakat maupun “FKWA sudah mendeklare siapa saja
dari pihak yang memang memperjuangkan gagasan boleh masuk. Hanya saja FKWA tidak sampai
re-naturalisasi sungai. Pertarungan kepentingan menyentuh grassroot secara langsung. Karena
yang terjadi menjadi sangat kompleks, ketika sudah dibentuk ketua kelompok masing-masing.
terdapat komunitas masyarakat yang sedang Basisnya sangat struktural yaitu RT RW yang diajak
berjuang untuk mendobrak praktik keeksklusifan musyawarah. Suatu masukan yang datangnya dari
proses kebijakan, namun juga dihadapkan dengan RT RW sudah dianggap hasil dari kesepakatan RT/
komunitas lain yang berbeda nilai dan keyakinan. RW dengan masyarakatnya. Jika pun sebenarnya
tidak terjadi rembukan itu bukan urusan FKWA”(
Endang Rohjiani, FKWA, 16 Oktober 2016)
a) Membangun Koalisi Peduli Sungai Setelah berhasil berkonsolidasi dengan
Pemerintah Kota dan RT/RW, FKWA juga mampu
Semangat yang sangat menggelora dibalik menarik Pemerintah Provinsi untuk dapat menjadi
penataan bantaran sungai Winongo disuguhkan oleh satu koalisi. Hal itu dibuktikan dari kecakapan
Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA). FKWA untuk selalu memperoleh informasi
FKWA didirikan atas inisiatif Pemerintah Daerah mengenai dana penataan kawasan sungai, baik dana
Kota Yogyakarta dan dikukuhkan oleh Walikota yang berasal dari Pusat maupun dari Provinsi. Pada
Yogyakarta Bapak Heri Zudianto pada tanggal 16 bulan Maret tahun 2015, FKWA memperoleh
Agustus 2009. FKWA menjadi forum yang informasi bahwa Badan Keswadayaan Masyarakat
dibentuk oleh Pemerintah Kota Yogyakarta untuk (BKM) memperoleh bantuan dana 1 M dari
menjembatani Pemerintah dan masyarakat di Pemerintah Pusat untuk mengelola Ngampilan.
bantaran sungai Winongo. Wajar saja jika kinerja FKWA kemudian mengajak BKM, LPMK,
FKWA memperlihatkan gelagat yang seiya-sekata Kelurahan untuk bekerjasama. Selain BKM,
dengan harapan Pemerintah. Terbukti dari visi yang terdapat 2 skema anggaran yang diperoleh
diusungnya, yaitu mewujudkan lingkungan sungai Ngampilan, yaitu dari BLH untuk pembiayaan
Winongo yang bersih, sehat, dan produktif. pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sekitar
Ditambah lagi misi yang ingin dibangun untuk 150 Juta dan dari program Bangkim 100-0-100.
mewujudkan visi tersebut.(Hasil wawancara Pada program 100-0-100, Sungai Winongo
dengan Endang Rohjiani selaku ketua FKWA pada memperoleh 23 M untuk mengelola 10 Kelurahan
10 Oktober 2016) kecuali Kricak yang dikerjakan oleh FKWA.(Hasil
Meskipun didukung Pemerintah Kota wawancara dengan Tri Retnani dari Bappeda Kota
Yogyakarta, FKWA tetap tidak akan mampu Yogyakarta pada tanggal 11 Oktober 2016)
berjalan seorang diri. Berbagai kepentingannya Namun, sepak terjang FKWA pada
kemudian mulai dinegosiasikan dengan berbagai tataran formal itu tidak akan berhasil tanpa
pihak. Tujuannya adalah menjaring pihak-pihak didukung oleh desain yang menjanjikan. Untuk itu,
yang memiliki keyakinan yang sama untuk berada dalam menata sungai Winongo, FKWA membuat
dalam satu koalisi dan mensinergikan segala Grand Design Pengembangan Kawasan Sungai
kekuatan dalam menata pemukiman bantaran Winongo dengan melibatkan kalangan intelektual
Sungai Winongo. Dalam melaksanakan program yaitu Magister Desain Kawasan Binaaan Jurusan
ini, FKWA mulai bekerjasama dengan RT/RW Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM.
setempat. RT dan RW menjadi pihak yang Hubungan baik yang dijalin bersama akademisi ini
menjembatani FKWA dengan masyarakat dilakukan secara terus menerus hingga keduanya
bantaran sungai Winongo. Proses musyawarah dan memiliki persamaan persepsi tentang sungai yang
penjaringan kebutuhan masyarakat dilakukan perlu diprioritaskan keberlanjutannya.

131
Hasil Penelitian

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa Koalisi masyarakat miskin di perkotaan, termasuk masalah
peduli Sungai yang terbentuk terdiri dari FKWA, kebutuhan akan tempat tinggal yang layak. Bahwa
Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Provinsi perumahan merupakan bagian dari hak masyarakat
DIY, Akademisi dan RT/RW di bantaran Sungai dan penggusuran merupakan bentuk pelanggaran
Winongo. Pelaksanaan koalisi ini menjadi mudah hak.(COHRE, 2005)
mengingat semua pihak berasal dari nilai yang sama
Dalam mewujudkan cita-cita tersebut,
untuk mempertahankan keasrian sungai.
Arkom membentuk Paguyuban Kalijawi.
Paguyuban Kalijawi merupakan organisasi yang
b) Lahirnya Koalisi Tandingan: Koalisi dibentuk oleh Arkom pada tanggal 15 Juli 2012.
Peduli Hak atas Kota Keikutsertaan Paguyuban Kalijawi bersama
dengan Arkom dalam menata bantaran sungai
Didalam lapisan masyarakat, FKWA dilatarbelakangi oleh kesamaan pandangan dalam
bukan satu-satunya aktor kunci yang melakukan melihat permasalahan yang ada di bantaran sungai.
advokasi kebijakan, tetapi juga terdapat Arsitek Ketika berbicara kumuh, yang ditata bukan hanya
Komunitas Yogyakarta (Arkom). Kemunculan fisik bangunan saja, tetapi manusia yang tinggal
Arkom menjadikan gesekan kepentingan dalam isu disekitar bantaran sungai juga perlu diberi
penataan kawasan sungai Winongo menjadi pemahaman.
semakin panas. Arkom menjadi pihak yang berada
pada kubu pejuang hak asasi masyarakat bantaran Selain paguyuban kalijawi, Arkom juga
sungai Winongo sehingga berseberangan dengan menjalin koalisi dengan mahasiswa Arsitek. Dengan
nilai dari FKWA dan koalisinya. Dalam upaya semangat memperkenalkan cita-cita dan cara kerja
memperkuat gagasan advokasi kebijakan penataan Arkom, banyak mahasiswa yang tertarik untuk
pemukiman di bantaran sungai Winongo, Arkom mengikuti kerja praktik atau magang di Arkom
kemudian membentuk koalisi dengan pihak-pihak Jogja. Diantaranya yaitu mahasiswa dari Institut
yang memiliki nilai dan keyakinan yang sama dalam Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya,
menata kawasan sungai Winongo. Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta,
Universitas Diponegoro Semarang, Universitas
Arsitek Komunitas Yogyakarta (Arkom Sriwijaya Palembang, Universitas Gadjah Mada
Jogja) merupakan lembaga swadaya masyarakat Yogyakarta, dan Universitas Tarumanegara
yang bergerak dalam bidang pemberdayaan Jakarta.(Sinaga, 2017:128). Kehadiran
masyarakat miskin dan tertinggal. Kehadiran mahasiswa yang menghiasi kerja-kerja Arkom
Arkom merupakan sebuah langkah strategis yang dinilai memberi kontribusi nyata dalam membantu
ditempuh untuk menjawab problematika yang proses pemetaan dan proses design kampung.
berkaitan dengan ketidakadilan yang diterima

132
Hasil Penelitian

c) Mengidentifikasi Beliefs System


Tabel 1.1
Identifikasi Beliefs System dari Koalisi Penataan Pemukiman di Bantaran Sungai Winongo

Beliefs Koalisi Peduli Sungai Koalisi Peduli “hak atas kota”


System (FKWA, Pemerintah Kota Yogyakarta, (Arkom Jogja, Paguyuban Kalijawi, Mahasiswa
Pemerintah Provinsi, Akademisi Desain Arsitek)
Kawasan Binaan, RT/RW)
Deep Pada tataran deep core, koalisi A berkeyakinan Berbeda dengan koalisi A, Deep core pada
Core bahwa keberlanjutan sungai harus dijaga koalisi B lebih berpihak pada hak masyarakat
(sustainable rivers ). Sehingga bantaran sungai bantaran sungai untuk memperoleh tempat
harus bebas dari pemukiman dan kegiatan yang tinggal yang layak. Sehingga, pengakuan akan
mengganggu kelestarian sungai berdasarkan “Hak Atas Kota” masyarakat bantaran sungai
aturan perundang-undangan. Winongo merupakan prioritas utama.
Policy Policy core belief dari koalisi A, terdiri dari tiga Policy core belief dari koalisi B, terdiri dari tiga
Core hal: hal:
Beliefs 1. Melihat dari arah sungai ke pemukiman. 1. Melihat dari arah pemukiman ke sungai.
Bahwa dalam menata kawasan sungai Bahwa masyarakat harus ditempatkan sebagai
Winongo, perlu memprioritaskan hal utama dalam menata kawasan sungai.
perlindungan terhadap sungai. Sungai yang terjaga merupakan konsekuensi
2. Menjunjung aspek legalitas, bahwa logis dari masyarakat yang berhasil
masyarakat yang ditata dan memperoleh diberdayakan.
bantuan adalah masyarakat yang berhak 2. Keberadaan masyarakat bantaran sungai yang
menempati lahan (memiliki sertifikat tanah). miskin dan tinggal secara illegal tetap perlu
Jika jelas -jelas tidak ada hak atas tanah, diakui sebagai bagian dari warga negara yang
maka membantu mereka adalah bentuk berhak mendapat perlakuan yang sama untuk
pelegalan bantaran sungai sebagai lahan memperoleh tempat tinggal yang layak.
pemukiman. 3. Dalam menata pemukiman di bantaran sungai
3. Partisipasi dalam proses penataan perlu melibatkan masyarakat bantaran secara
pemukiman tidak perlu melibatkan langsung. Hal itu dilakukan d engan
masyarakat bantaran sungai Winongo secara meletakkan warga sebagai subyek
langsung, tetapi cukup diwakilkan oleh perencanaan. Karena merekalah yang paling
RT/RW. mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka.

Secondary Secondary Aspect dari koalisi A adalah sebagai Secondary Aspect dari koalisi A adalah sebagai
Aspect berikut: berikut:
1. Perumahan yang telah ada di bantaran 1. Melakukan pemetaan wilayah, analisis
sungai ditetapkan status quo, sedangkan potensi dan masalah kampung,
lahan kosong dicegah untuk muncul perencanaan detail, perancangan desain
pemukiman baru. Masyarakat yang dengan melibatkan masyarakat bantaran
menempati bantaran sungai sebagian sungai Winongo
dipindahkan ke rumah susun. 2. Membuat sistem tabungan untuk mendanai
2. Proses re -naturalisasi sungai dilakukan berbagai pembangunan infrastruktur yang
dengan p rogram M3K yaitu pemukiman dibutuhkan masyarakat.
harus mundur, munggah dan madhep kali
dan berbagai kegiatan bersih sungai.
Kebutuhan masyarakat didata melalui
RT/RW dan kemudian disampaikan ke
Pemerintah
Sumber: hasil analisis penulis berdasarkan wawancara mendalam dengan narasumber

133
Hasil Penelitian

Mengidentifikasi Sumberdaya c. Informasi


Selain belief system, hal yang juga tidak Semakin banyak informasi yang dimiliki
kalah penting untuk diidentifikasi adalah mengenai maka akan semakin mudah mempengaruhi sebuah
sumberdaya dari masing-masing koalisi. Dalam kebijakan. Seperti yang disebutkan sejak awal,
kerangka kerja ACF, Sabatier dan Smith telah FKWA memiliki kedekatan yang lebih besar
menjelaskan bahwa terdapat enam sumberdaya kepada Pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga
yang akan digunakan oleh suatu koalisi, yaitu: informasi yang berkaitan dengan program-program
yang ada di sungai Winongo lebih besar dimiliki
oleh FKWA.
a. Akses ke Otoritas Pembuat Kebijakan
Dilihat dari akses ke pembuat keputusan, d. Pasukan mobilisasi
FKWA jauh memiliki akses yang lebih besar karena
merupakan lembaga bentukan pemerintah. Cara Arkom dan koalisinya dalam
Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan pihak memobilisasi adalah melalui pelibatan masyarakat
yang berada pada koalisi yang sama dengan untuk bergerak mandiri. Rakyat menjadi pelaku
FKWA sehingga segala proses advokasi lebih utama perubahan (people-driven approach).
mudah dikabulkan. Sedangkan akses yang dimiliki Arkom meyakini bahwa kekuatan yang dimiliki oleh
Arkom dan koalisinya lebih terbatas. Hal itu orang-orang miskin yang tidak memiliki kemampuan
dibuktikan dengan sulitnya ide dan gagasan Arkom finansial dan militer adalah disiplin mereka dan
diterima oleh Pemerintah. Hal ini menunjukkan kemampuan mereka untuk bertindak secara
posisi tawar menjadi berbeda karena adanya bersama-sama.
perbedaan akses terhadap modal dan akses politik.

e. Sumberdaya Finansial
b. Opini Publik
Dilihat dari segi kekuatan Finansial, kedua
Persepsi masyarakat mengenai penataan koalisi ini memiliki basis finansial yang berbeda.
di bantaran sungai Winongo sangat beragam. FKWA didukung lembaga Pemerintah namun
Dilevel masyarakat, FKWA pernah dianggap bergerak secara volunteer tanpa gaji. Meskipun
sebagai pihak yang membantu Pemerintah untuk FKWA bekerja secara volunteer, namun harus
menggusur warga. Disisi lain, FKWA juga dinilai diakui bahwa FKWA memiliki akses yang besar
positif memberi banyak bantuan kepada terhadap sumberdaya yang ada di Pemerintahan.
masyarakat.Lain lagi dengan opini yang ditujukan Sedangkan Arkom, kegiatan-kegiatan yang
ke Arkom. Di daerah Sungai Winongo Kelurahan dilakukan didanai oleh lembaga donor
Kricak misalnya, masyarakat memberikan internasional. Selain itu, inisiatif pendanaan Arkom
tanggapan yang positif dan negatif. Di daerah RT juga berasal dari jasa arsitek dan konstruksi, riset
01 Kampung Jatimulyo, Arkom dinilai baik karena penelitian, dan skema bisnis sosial yang
secara rutin melakukan komunikasi dan dikembangkan bersama komunitas.
pembangunan sarana publik seperti balai warga (Sinaga,2017:132)
yang diberi nama “omah bambu”. Sedangkan
respon negatif ditemui pada RT 61 RW 01
Kampung Jatimulyo yang menentang Arkom f. Kepemimpinan
karena dianggap merugikan.(Prasetyo, 2015: 78)
Keberhasilan sebuah komunitas turut
dikaitkan dengan sikap pemimpin dalam mengatur
komunitasnya. FKWA yang dipimpin oleh Endang

134
Hasil Penelitian

Rohjiani merupakan sosok yang pekerja keras dan Salah satu program utama dari FKWA di bantaran
kritis. Beliau begitu lihai mencari peluang untuk sungai Winongo adalah M3K (mundur, munggah,
memperoleh informasi dan kesempatan dalam madhep kali). Sesuai namanya, program ini
penataan kawasan sungai Winongo. Begitu pula dimaksudkan untuk membuat masyarakat mau
dengan Arkom, sosok Yuli Kusworo selaku ketua mundur dari bibir sungai agar menghasilkan jarak
memiliki keteladanan dan sikap kerja keras serta tertentu. Bak gayung bersambut, usulan dari FKWA
mau merangkul sesama untuk bekerjasama. ini disetujui oleh Pemerintah Daerah Kota
Yogyakarta. Ini menunjukkan keberhasilan FKWA
dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki, yaitu
Dinamika Pengelolaan Beliefs System dan keintimannya dengan Pemerintah Kota
Sumber Daya dalam Subsistem Kebijakan Yogyakarta. Hal tersebut dapat dikonfirmasi dari
kesamaan pandangan yang ditunjukkan oleh
Bagian ini merupakan jawaban atas Kimpraswil Kota Yogyakarta, mengenai jarak 3m
rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan dari pinggir sungai dengan logika yang sama.
pengelolaan belief system dan sumber daya dari
masing-masing koalisi. Berdasarkan penjelasan “Jarak minimal antara sungai dan
diatas, koalisi yang muncul dalam proses advokasi pemukiman adalah 10m. Namun jarak minimal
penataan pemukiman bantaran sungai Winongo tersebut belum mampu dilaksanakan, sehingga
terdiri dari koalisi peduli sungai dan koalisi peduli paling tidak mampu membuka jarak untuk
hak atas kota. Arkom Jogja dan FKWA beserta evakuasi. Usulan FKWA mengenai jarak 3m
koalisinya seolah sedang menempatkan disetujui untuk memudahkan ambulan melintasi
pengetahuan dan keyakinan mengenai perdebatan pemukiman warga saat terjadi bencana.
diatas dalam sebuah koalisi. Keberadaan koalisi (Kimpraswil, 11 Oktober 2016)
ini menggambarkan bahwa antara satu komunitas Dari sini, dapat dilihat bagaimana geliat
dengan komunitas lain tidaklah pasif. Mereka saling FKWA memainkan peranannya dalam
berkelindan, berhimpitan, dan bersaing satu sama memanfaatkan kedekatan dengan pembuat
lain. Untuk itu, penting kiranya memaparkan kebijakan. Hasrat politik untuk memperoleh dan
tentang dinamika pengelolaan belief system, sumber memperlebar kekuasaan dalam arti yang lebih luas
daya dan strategi dari masing-masing koalisi dalam mampu dikemas secara apik dan terlembaga dalam
mewujudkan gagasan pada sebuah kebijakan berbagai aktivitas advokasi. Kesamaan
publik. Pembahasan ini sekaligus menjadi jawaban pemahaman ini membuktikan bahwa FKWA dapat
atas rumusan masalah kedua yang telah diajukan. dengan mudah mengajukan usulannya. Keadaan
di bantaran sungai Winongo yang tidak
a) Strategi Advokasi FKWA: Upaya Merebut memungkinkan penerapan jarak 10m memaksa
Hati Rakyat Pemerintah untuk rela hati menerapkan jarak sejauh
3m.
Narasi tentang ancaman degradasi sungai
telah menjadi unsur terpenting dalam praktek Meskipun FKWA dibentuk sebagai forum
perlindungan sungai. Kehadiran FKWA di bantaran yang menjembatani Pemerintah dan masyarakat
Sungai Winongo menjadi bentuk nyata dari upaya bantaran sungai Winongo, namun FKWA tidak
pemenuhan hak-hak sungai tersebut. Kegiatan terjun langsung ke masyarakat. Dalam proses
forum ini banyak diinisiasi dan diakomodasi oleh advokasi, FKWA tak pernah kehilangan cara untuk
Pihak Pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga tidak tetap dekat dengan masyarakat. FKWA
heran, jika program utama yang diketengahkan pun memainkan peran untuk mengajak aparatur desa
selalu mengarah pada konservasi lingkungan sungai bersama-sama menyelesaikan masalah.
Winongo. Mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
dilakukan melalui proses musrenbang yang

135
Hasil Penelitian

diadakan setiap tahun. Hasil dari musrenbang ini perlakuan yang sama dari Pemerintah dan tidak
kemudian akan diadvokasikan kepada pemerintah. memperoleh bantuan dari pemerintah (Hasil
Bagi FKWA, seperti itulah cara mereka wawancara dengan Ainun Murwani, masyarakat
menunjukkan kepedulian kepada masyarakat di bantaran sungai Winongo yang tergabung dalam
bantaran sungai Winongo. Paguyuban Kalijawi pada 19 Oktober 2016).
Alasan inilah yang kemudian menjadi dasar
kegelisahan Arkom dan menuntunnya untuk
b) Strategi Advokasi Arkom Jogja melalui bergerak.
Metode Partisipatoris
Strategi yang dilakukan oleh Arkom dalam
Proses demokratisasi di Indonesia diklaim mengadvokasi kebijakan penataan pemukiman di
telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk bantaran sungai Winongo adalah melalui upaya
sedikit bernafas lega. Negara tidak lagi membatasi mengorganisir warga. Arkom menyadari bahwa
hasrat setiap warga Negara untuk menyampaikan sumber kekuatannya terletak pada dukungan
aspirasi. Pintu-pintu keterlibatan masyarakat dalam masyarakat bantaran sungai Winongo tersebut.
setiap proses pemerintahan telah dibuka lebar. Pengorganisasian warga dilakukan dengan
Memang benar bahwa telah ada upaya dari mengumpulkan uang untuk membangun kebutuhan
Pemerintah Kota Yogyakarta untuk meningkatkan masyarakat/membangun rumah dan juga melalukan
peran serta masyarakat melalui pola kemitraan. pemetaan wilayah.
Ruang partisipasi digembar-gemborkan telah
diberikan kepada masyarakat luas. Namun Hal awal yang dilakukan Arkom Jogja
partisipasi yang diharapkan tidak secara nyata bersama masyarakat bantaran sungai adalah
dirasakan oleh masyarakat bantaran sungai memetakan 7 kampung yang ada di bantaran sungai
Winongo. Sehingga memunculkan pertanyaan- Winongo dan Gajahwong. Dari hasil pemetaan
pertanyaan mendasar, seperti apakah partisipasi diperoleh bahwa permasalahan yang ditemui cukup
yang dimaksud? partisipasi dari siapa? Dan beragam namun memiliki kesamaan. Pertama,
partisipasi untuk siapa? mengenai status tanah yang ditempati oleh
masyarakat. Bahwa masyarakat yang tinggal di
Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang bantaran sungai tidak seluruhnya menempati tanah
kemudian menggugah hati Arsitek Komunitas miliknya sendiri, tetapi menempati kawasan
Yogyakarta (Arkom) untuk memberikan makna informal dan Sultan Ground. Kedua, mengenai
partisipasi masyarakat bantaran sungai dalam ketidakadilan Pemerintah dalam memberikan
proses kebijakan publik. Kehadiran Arkom di bantuan ke kampung-kampung yang ada di
tengah carut-marut pola penataan bantaran sungai bantaran sungai. Mereka yang menduduki tanah
Winongo seperti memberi angin segar kepada illegal tidak memperoleh bantuan dari Pemerintah.
masyarakat. Masyarakat memiliki kekuatan baru Ketiga, permasalahan mengenai buruknya kualitas
untuk terus tumbuh dengan mendayagunakan rumah dan infrastruktur yang ada.
apapun potensi yang dimiliki. Aspirasi masyarakat
bantaran sungai Winongo untuk memperoleh Upaya advokasi kebijakan penataan
perumahan layak selalu dikomunikasikan dengan bantaran sungai Winongo yang dilakukan Arkom
Pemerintah dan bahkan telah dimulai oleh mereka dimulai dengan membentuk 9 kelompok di
sendiri. bantaran sungai Winongo. Masing-masing
kelompok membuat rancangan penataan
Perlu disadari bahwa masyarakat yang pemukiman mereka sendiri. Tahun 2015,
tinggal di bantaran sungai Winongo tidak seluruhnya rancangan tersebut sudah menghasilkan model
merupakan masyarakat yang memiliki hak atas penataan di 3 titik. Prosesnya dimulai dengan
tanah. Mereka yang tinggal secara illegal ini kegiatan workshop mengenai pemetaan semua
seringkali terampas hak-haknya untuk memperoleh kampung. Diakhir workshop, wakil dari tiap

136
Hasil Penelitian

kampung mempresentasikan apa yang mereka masyarakat bantaran sungai secara langsung.
rencanakan dihadapan Pemerintah Kota. FKWA mengandaikan masyarakat bantaran sungai
Dokumen hasil perencanaan ini dijadikan sebagai telah diajak bicara oleh RT/RW setempat, sehingga
alat advokasi kepada Pemerintah. Tujuannya dalam prosesnya hanya RT/RW yang diundang
adalah untuk membuktikan kepada Pemerintah untuk menyampaikan aspirasi. Padahal menurut
bahwa masyarakat sesungguhnya mampu bergerak Arkom, tidak selamanya aspirasi yang masuk
mandiri. muncul dari hasil diskusi antara RT/RW dengan
masyarakat bantaran sungai.
Sebagai upaya tindak lanjut, Arkom Jogja
bersama Paguyuban Kalijawi kembali mendatangi Dilain pihak, FKWA menganggap bahwa
balaikota pada bulan April 2015 untuk menagih partisipasi pada tingkat RT/RW tetaplah partisipasi.
rencana penataan sungai. Konsep penataan hasil Justru upaya Arkom mengajak semua masyarakat
perencanaan warga telah disampaikan sejak tahun bantaran sungai untuk terlibat, dinilai bukanlah
2014, ternyata belum ada tindak lanjut dari sebagai bentuk memperjuangkan hak-hak
Pemerintah. Upaya lain yang dilakukan Arkom dan masyarakat. Karena yang diperjuangkan adalah
Paguyuban kalijawi selain mendatangi balaikota masyarakat illegal dan hasil pemetaan dengan
adalah dengan melakukan audiensi dengan jajaran mayarakat yang digunakan sebagai alat advokasi
komisi C DPRD Kota Yogyakarta pada April 2015, itu patut dipertanyakan.
untuk kembali menanyakan perkembangan
penataan sungai. “Jika mengajak masyarakat dalam proses
advokasi bertujuan untuk mampu berhadapan
Seperti kata pepatah bahwa harapan tidak dengan pemerintah artinya tujuan Arkom sudah
selalu berujung menjadi kenyataan, seperti itu pula tercapai. Namun jika tujuannya adalah agar
hasil dari advokasi yang dilakukan oleh Arkom dan masyarakat memperoleh tempat tinggal yang layak
Paguyuban Kalijawi. Hingga saat ini, usulan dari seharusnya Arkom menuntut Pemerintah untuk
Arkom dan paguyuban kalijawi hanya memperoleh membangun rumah susun, bukan melegalkan yang
apresiasi dari Pemerintah tanpa ada bentuk konkrit ilegal. Yang terjadi justru, hasil pemetaan lingkungan
tindakan pemerintah.Grand design yang diajukan hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi
oleh Arkom dan paguyuban kalijawi ini nyatanya Arkom untuk dapat menjadi pembicara dimana-
tidak diakomodir secara keseluruhan.Usulan yang mana sebagai pelopor penataan pemukiman
diterima oleh Pemerintah kota Yogyakarta hanya partisipatif. “ (FKWA, 21 Oktober 2016)
bersifat parsial berdasarkan daftar kebutuhan-
kebutuhan masyarakat yang telah diidentifikasi. Sentimen tentang partisipasi masyarakat
bantaran sungai Winongo masih terus bergulir dan
mempengaruhi status penduduk, illegal atau non
c) Pertarungan Kepentingan Antar Koalisi: illegal. Menurut Arkom, program FKWA adalah
Siapa Brokernya? program yang disusun pemerintah Kota. Tidak ada
sama sekali usulan dari masyarakat karena
Kesenjangan antar koalisi yang berbeda prosesnya ditunjuk dan telah diatur dengan skema
belief system ini mengakibatkan perdebatan dalam Pemerintah. Proses advokasi yang dilakukan oleh
memperjuangkan nasib pemukiman di bantaran FKWA hanya sebatas formalitas karena
sungai Winongo. Perdebatan paling sering muncul sesungguhnya telah mendapat persetujuan dari
adalah perdebatan mengenai partisipasi Pemerintah Kota.
masyarakat. Pandangan dari para pengusung hak
asasi manusia adalah proses musrenbang yang Memang, nilai yang diyakini FKWA tidak
selama ini dilakukan oleh FKWA itu dinilai tidak berbeda dengan Pemerintah Kota, bahwa
partisipatif. Hal tersebut disebabkan oleh penataan hanya dapat dilakukan kepada
prosesnya yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat yang jelas memiliki hak untuk

137
Hasil Penelitian

menempati lahan di sekitar sungai Winongo. desain dari FKWA ? Isu ini kemudian semakin
menggemparkan warga hingga FKWA melaporkan
“Hal yang membingungkan bagi FKWA
ke Bappeda Kota Yogyakarta.
adalah justru advokasi Arkom kearah
memperjuangkan masyarakat memiliki hak yang Pada posisi ini, Pemerintah seolah tetap
sama untuk memperoleh tempat tinggal yang layak. menempatkan diri sebagai pihak yang netral
Jikapun demikian, advokasi dari Arkom meskipun pada dasarnya Pemerintah berada pada
seharusnya adalah mendesak pemerintah untuk kubu yang sama dengan FKWA. Pemerintah Kota
menyediakan rumah yang layak bukan tambal lah yang menjembatani pertikaian yang terjadi
sulam di lokasi itu dan justru berusaha melegalkan antara Arkom dan FKWA. Pemerintah Kota
yang illegal.”(Endang Rohjiani, 21 Oktober 2016) Yogyakarta lalu memanggil keduanya datang ke
Balai Kota. Solusi yang diberikan oleh Pemerintah
Jika sejak awal masyarakat sudah Kota Yogyakarta adalahdengan cara mengawinkan
menempati tempat yang keliru, maka tidak mungkin keduanya menjadi sebuah lembaga yang akan
memperoleh bantuan dari Pemerintah. Menurut dilegitimasi oleh Pemerintah.
FKWA, jika Arkom mau berpihak kepada
masyarakat miskin untuk memperoleh haknya Langkah Pemerintah untuk memberi solusi
sebagai WNI, maka Arkom tetap harus mengikuti atas pertikaian keduanya dengan cara
aturan sehingga tidak membantu yang salah. menggabungkan Arkom menjadi bagian dari
FKWA bukan tanpa alasan. Pertama, FKWA
merupakan forum yang memperoleh legitimasi dari
Melacak Peran Broker Pemerintah, sehingga Arkom diminta masuk dalam
struktur FKWA agar tidak ada kecemburuan sosial
Dalam hal ini, broker yang dimaksud mengenai siapa yang diakui dan siapa yang tidak.
adalah pihak ketiga yang menjadi penengah dari Kedua, langkah ini merupakan cara Pemerintah
perdebatan diantara dua koalisi yang berbeda untuk melunakkan Arkom agar tidak lagi bergerak
kepentingan. Arkom dan FKWA yang menjadi memperjuangkan masyarakat yang illegal.
tokoh utama dalam pagelaran pertarungan
kepentingan dalam penataan kawasan sungai Namun, perdamaian keduanya hanya
Winongo tidak dapat terlepas dari berbagai sementara, karena perbedaan belief system
gesekan-gesekan dan perselisihan. Perdebatan menjadi penghalang yang cukup besar untuk
kedua kelompok ini pernah menemui titik temu, menyatukan keduanya.Gagasan penyatuan kedua
ketika Bappeda Kota Yogyakarta meminta Arkom kelompok semacam ini bukanlah ide yang sempurna
untuk menjadi bagian dari FKWA. tanpa cela. Terobosan ini kemudian melahirkan
pertanyaan mengenai bagaimana mungkin
Langkah yang diambil oleh Bappeda Kota kepentingan yang berbeda dan pada titik tertentu
Yogyakarta ini dipicu oleh konflik yang muncul juga saling bernegasi akan didamaikan dalam
ketika masyarakat dihebohkan oleh wacana yang kerangka kolaborasi.
dimainkan Arkom mengenai penggusuran yang
akan dilakukan oleh FKWA. Arkom menunjukkan Kondisi ini menunjukkan sikap ambivalensi
kepada masyarakat bantaran sungai mengenai dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Ketika mereka
desain yang diajukan oleh FKWA yang memerankan diri sebagai petugas Negara maka
pembuatannya tanpa melibatkan masyarakat. nalar yang bermain adalah nalar birokratis,
Dalam desain tersebut semua kampung di bantaran mengayomi semua pihak dan berada pada posisi
sungai tidak tergambarkan dan justru menjadi ruang netral. Namun disaat yang sama, ada nalar politis
terbuka hijau. Hal ini yang menimbulkan yang juga tidak bisa dielakkan. Jelas terbukti
pertanyaan “dimana keberadaan kampung- bahwa FKWA adalah bentukan pemerintah, tetapi
kampung di bantaran sungai Winongo berdasarkan pada saat berkonflik justru Pemerintah seolah “cuci

138
Hasil Penelitian

tangan”. Posisi pemerintah semacam ini Upaya ini menjadi bentuk strategi yang dimainkan
menunjukkan sikap Pemerintah yang mampu Arkom saat menyadari akan berhadapan dengan
berdiri di dua kaki, memerankan peran ganda. pihak yang memiliki resource yang berbeda.
Disatu sisi sebagai anggota koalisi yang sama Kejelian Arkom menempatkan diri seperti diatas
dengan FKWA seyogyanya mendukung dan ikut telah menunjukkan bagaimana Arkom
bertanggung jawab atas masalah FKWA namun memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk
disisi lain ternyata bertindak sebagai pejabat publik mencapai sebuah tujuan.
yang seolah merangkul semua tuntutan.
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan
Konflik diatas jelas memperlihatkan sebelumnya, benang merah yang dapat ditarik dari
bahwa peran broker telah dimainkan oleh penelitian ini menunjukkan bahwa proses kebijakan
Pemerintah Kota Yogyakarta. Meskipun tidak ada merupakan sebuah proses politik, bukan hanya
batasan yang disebutkan oleh Sabatier dan Smith sekedar proses sistemik dan teknokratik. Hal itu
mengenai sejauh mana sebuah tindakan mencari ditunjukkan dari kasus ini, bahwa pada bagian
jalan tengah dapat dikatakan sebagai broker subsistem kebijakan peran dan posisi broker
kebijakan. Namun, penyebutan broker yang kebijakan yang diasumsikan oleh Sabatier dan
disematkan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta Jenkins Smith sebagai aktor netral justru bertindak
dikarenankan beberapa kriteria broker yang sebagai sebagai aktor yang tidak netral. Sabatier
dipenuhi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. dan Jenkins Smith mengandaikan broker kebijakan
Pertama, broker adalah pihak yang sedang adalah pihak netral yang menjadi penengah atas
berusaha mencari jalan tengah atas konflik yang konflik yang terjadi atas dua koalisi yang saling
terjadi antar dua koalisi. Dan Pemerintah dalam berlawanan. Broker merupakan pihak ketiga yang
hal ini sedang menunjukkan upaya untuk menengahi tidak terlibat didalam perdebatan yang terjadi,
konflik yang terjadi. Kedua, seseorang menjadi namun memiliki peran karena keahlian yang
broker dikarenakan keahlian yang dimiliki. Pada dimiliki.
kasus ini, tindakan Pemerintah mengambil alih
penyelesaian konflik jelas karena keahliannya dan Hal ini menunjukkan limitasi atas teori
sumberdaya yang dimiliki. Advocacy Coalition Framework yang tidak dapat
serta merta diaplikasikan untuk kasus di Indonesia.
Pada kasus lain, peran broker ternyata juga Pertama, masalahnya terletak pada perbedaan
dilakoni oleh Arkom saat menjembatani masyarakat kondisi policy system yang terjadi di Eropa,
bantaran sungai dengan Pemerintah Kota (tempat dimana teori ini dimunculkan) dengan
Yogyakarta. Komitmen Arkom untuk membela kondisi policy system yang ada di Indonesia. Teori
hak-hak masyarakat di bantaran sungai, termasuk ini dihasilkan oleh Sabatier dan Jenkins Smith pada
masyarakat illegal untuk turut berpartisipasi dalam kondisi perpolitikan Eropa yang stabil, sehingga
proses kebijakan dan memperoleh hak-haknya dapat dipisahkan secara jelas antara proses
telah menempatkan Arkom pada dua wajah. teknokratis dan proses politik. Hal itulah yang
menjadikan Sabatier dan Jenkins Smith
Pada proses advokasi yang dilakukan, mengandaikan bahwa broker adalah pihak netral
Arkom seringkali berganti-ganti baju. Saat yang tidak terlibat dalam sebuah koalisi. Sehingga
berhadapan dengan Pemerintah, Arkom masing-masing aktor dalam subsistem kebijakan
menempatkan diri sebagai konsultan maupun akan bertindak sesuai dengan posisinya masing-
tenaga ahli dengan menggunakan CV. Sedangkan masing. Namun, hal ini tidak dapat dibuktikan pada
pada saat berhadapan dengan masyarakat kasus ini karena kondisi policy system di Indonesia
menggunakan nama Arkom kembali. Hal ini yang tidak stabil. Dengan fase demokrasi yang
dilakukan agar memudahkan pencapaian tujuan. berbeda dan sistem politik yang berbeda, maka
Karena Pemerintah tidak bisa bekerjasama dengan penggunaan teori Advocacy Coalition
lembaga non profit, tetapi harus kepada tenaga ahli.

139
Hasil Penelitian

Framework tidak dapat secara utuh disetarakan masalah pemukiman di bantaran Sungai
dengan kondisi policy system di Eropa. Winongo. Sikap saling unjuk kegagahan dari
kedua koalisi ini, mau tidak mau membuka
Kedua, teori Advocacy Coalition arena baru bagi pertarungan beliefs system
Framework ini bekerja dengan sangat terstruktur
diantara mereka.
dan sistematik. Mengandaikan bahwa setiap proses
b. Pengelolaan resources dan beliefs system
akan berjalan secara runtut dari satu tahap ke tahap
yang dilakukan oleh koalisi peduli sungai dan
lainnya dan menganggap elemen-elemen yang ada
koalisi peduli “hak atas kota” mempengaruhi
didalam subsistem kebijakan hanyalah benda mati
performa mereka dalam menempatkan diri dan
yang tidak berdinamika. Padahal, proses kebijakan
mengatur strategi. Pertama, dari sisi koalisi
merupakan proses politik yang masing-masing
peduli sungai, FKWA sebagai pihak yang
aktor dalam subsitem kebijakan akan bertindak
dekat dengan Pemerintah Kota Yogyakarta
secara politis. Termasuk broker kebijakan yang
mampu memanfaatkan peluang untuk
juga bertindak tidak netral dan hanya ingin
memperoleh berbagai kemudahan advokasi
memperjuangkan kepentingannya sendiri.
dan sumberdaya pengelolaan. Keberhasilan
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya FKWA dalam mengelola sumberdaya yang
proses kebijakan perlu dilihat sebagai sebuah dimiliki ini menjadikan advokasi dari FKWA
proses politik yang memungkinkan setiap aktor berhasil. Kedua, kekuatan sumberdaya yang
bertindak atas kepentingannya. Masing-masing dimiliki Arkom dan koalisinya dalam
aktor akan saling berusaha mewujudkan mengadvokasi kebijakan penataan
kepentingan mereka. Hal ini tentu akan pemukiman di bantaran sungai Winongo
mempengaruhi kondisi yang terjadi di dalam adalah masyarakat bantaran itu sendiri. Proses
subsistem kebijakan yang menjadikan masing- yang dilakukan Arkom dalam menata
masing aktor akan mencari cara untuk mengatasi kampung bantaran sungai Winongo dilakukan
keterbatasan resources yang dimiliki dengan dalam proses yang informal. Setelah berhasil
melihat peluang untuk melunakkan belief system mengorganisir di tingkat bawah, hasil dari
dari lawannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemetaan dan desain dari masyarakat ini
tidak cukup jika melihat dan memaknai sebuah kemudian pelan-pelan dibawa ke Pemerintah.
proses kebijakan dalam kerangka yang rigid, Ini merupakan strategi yang dijalankan Arkom
sistemik dan teknokratik. Tetapi proses kebijakan untuk menunjukkan antitesis dari partisipasi
perlu difahami pula sebagai sebuah proses politik. versi pemerintah. Dalam proses pengelolaan
Policy is a political practice ! beliefs system dan sumberdaya dari masing-
masing koalisi ini tentu tidak dapat terlepas
dari berbagai gesekan-gesekan dan
KESIMPULAN perselisihan. Oleh sebab itu, aktor dalam
koalisi kemudian memainkan strateginya untuk
Hal yang bisa ditangkap dari refleksi diatas melunakkan beliefs system dari koalisi
akan memberi jawaban atas pertanyaan penelitian lawannya dengan memainkan peran sebagai
yang telah diajukan sebelumnya, yaitu: broker kebijakan. Pemerintah Kota
a. Koalisi yang terbentuk dalam advokasi Yogyakarta berperan sebagai broker pada
kebijakan penataan pemukiman bantaran saat menengahi konflik antara FKWA dan
sungai Winongo terdiri dari 2 koalisi Arkom. Pada kesempatan lain, peran broker
bersebrangan, yaitu koalisi yang fokus pada ternyata juga dilakoni oleh Arkom saat
keberlanjutan sungai dan koalisi yang fokus menjembatani masyarakat bantaran sungai
pada “hak atas kota” masyarakat bantaran dengan Pemerintah Kota Yogyakarta.
sungai. Keduanya berada pada sudut pandang Komitmen Arkom untuk membela hak-hak
berbeda untuk mewujudkan ide penyelesaian masyarakat di bantaran sungai, membawanya

140
Hasil Penelitian

kepada dua peran yakni sebagai CV dan Jurnal:


sebagai Arkom sendiri.
Fu’ad, N. 2015. Diskriminasi Sosial
Masyarakat Bantaran Sungai Jagir
DAFTAR PUSTAKA Wonokromo. Jurnal Paradigma Vol 3 No 2
tahun 2015
Buku:
Kurniawan, B.2014. Penataan Bantaran Sungai
COHRE. 2005. Human Rights and Slum Berbasis Komunitas sebagai Upaya
Upgrading. General Introduction and Membangun Pemerintahan yang
compilation of case studies. Partisipatif: Sebuah Analisis Pendekatan
Penataan Bantaran DAS Cisadane. Jurnal
Gunawan, I. 2015. Metode Penelitian Kualitatif:
Lingkar Widyaswara
Teori dan Praktik. 2015. Jakarta: Bumi
Aksara Prasetiyo, P. Produksi Ruang Relasi Sosial dan
Resiko Terhadap Penataan Ruang. 2015.
Nasikun. Kebijakan Penanggulangan
Skripsi Sosiologi Universitas Gadjah Mada
Kemiskinan dalam Perspektif Gerakan
Sosial. dalam buku Purwo Santoso, dkk. Sabatier, P. 1986. Top Down and Bottom Up
Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Approach to Implementation Research: A
Publik. 2004. Yogyakarta: Fisipol UGM Critical Analysis and Suggested
Synthesis. Jurnal of Public Policy
Patilima, H.2007.Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta Sasanto, R dan Khair, S. 2010. Analisis
Kebijakan Pemerintah dalam
Sabatier, P dan Smith,J. 1993. Policy Change and
Penanganan Pemukiman Ilegal di
Learning an Advocacy Coalition
Bantaran Sungai Studi Kasus: Bantaran
Approach.USA: Westview Press
Kali Pesanggrahan Kampung Baru,
Sinaga,M. 2017.Pengorganisasian Rakyat dan Kedoya Utara Kebon Jeruk. Jurnal
Hal-Hal yang Belum Selesai. Planesa, Vol 1 No 2, November 2010
Yogyakarta:Insist Press
Sulistiyani, A.2002. Problema dan Kebijakan
Wahab, S.A. Analisis Kebijakan dari Formulasi Perumahan di Perkotaan. 2002. Jurnal
ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol 5 No. 3
2008. Jakarta: Bumi Aksara Maret 2002

141

You might also like