Professional Documents
Culture Documents
86-Article Text-715-1-10-20200324
86-Article Text-715-1-10-20200324
Abstract
The photocopy acceptable in the court if it matched with the original
letter and the strength of that photocopy is the same as the original letter.
However, sometimes the original letter has been lost so that it cannot be
shown at trial. This paper discusses whether a photocopy that cannot be
matched with the original letter can be accepted in the civil procedural
law and if it can be accepted how the strength of it, then the discussion
will look at the judge’s consideration in two cases related to the issue. The
results of discussions are that photocopies that cannot be matched with
the original letter can be accepted as evidence if the photocopy matches or
is strengthened with other evidence, as the jurisprudence of Decision Nr.
112 K/Pdt/1996 and Decision Nr. 410 K/pdt/2004. The jurisprudence has
been followed by similar cases, which is the Decision of the Central Jakarta
District Court Nr. 164/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Pst jo. Decision of The Jakarta
High Court Nr. 234/Pdt/2005/PT.DKI jo. Decision of The Supreme Court
Nr. 1498 K/Pdt/2006 which in this case a photocopy can be accepted
because it is strengthened by the recognition of the opposing party and
The Pontianak District Court Nr.52/Pdt.G/2003/PN.Ptk which received
a photocopy because it was strengthened with witness testimony. The
photocopy has a free power of proof (depends on the judge’s assessment).
The use and assessment of the strength of the photocopy cannot be
independent, but must be linked to other valid evidence.
Keywords: photocopy; the strength of evidentiary; civil cases.
Devina Puspita Sari
Abstrak
Fotokopi surat dapat diterima dalam persidangan apabila dapat dicocokkan
dengan aslinya, dan kekuatan pembuktiannya sama seperti surat aslinya.
Tulisan ini membahas, dalam hal surat aslinya tidak dapat ditunjukkan
di persidangan, apakah fotokopi surat dapat diterima dalam pembuktian
hukum acara perdata, dan, apabila dapat diterima, bagaimanakah kekuatan
pembuktiannya. Artikel ini menunjukkan, fotokopi surat yang tidak dapat
dicocokkan dengan aslinya dapat diterima sebagai alat bukti surat jika
bersesuaian atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 dan Putusan Nomor 410 K/
pdt/2004 yang telah menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi ini telah diikuti
dalam perkara serupa, yaitu dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 164/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Pst jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 234/Pdt/2005/PT.DKI jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor
1498 K/Pdt/2006, di mana dalam perkara ini fotokopi surat dapat diterima
karena dikuatkan dengan pengakuan pihak lawan. Demikian juga dalam
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 52/Pdt.G/2003/PN.Ptk,
yang menerima fotokopi surat yang tidak dapat dicocokkan dengan aslinya
karena dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi. Dengan demikian,
fotokopi surat memiliki kekuatan pembuktian yang bebas, artinya dise-
rahkan kepada penilaian hakim. Penggunaan dan penilaian kekuatan
pembuktian fotokopi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
dikaitkan dengan alat bukti lainnya yang sah.
Kata kunci: fotokopi; kekuatan pembuktian; perkara perdata.
A. Pendahuluan
Artikel ini membahas kekuatan pembuktian fotokopi surat yang
tidak dapat dicocokkan dengan aslinya dalam perkara perdata.
Pembahasan ini menjadi perlu karena dalam suatu pembuktian di
pengadilan, bisa jadi surat asli tidak dapat ditunjukkan oleh pihak-
pihak yang berperkara, sehingga hanya bisa diajukan fotokopinya.
Dalam membahas persoalan tersebut, artikel ini mendasarkan pada
dua putusan pengadilan yang dalam pemeriksaan perkaranya terdapat
fotokopi surat yang tidak dapat dicocokkan dengan aslinya, yaitu
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 164/Pdt.G/2004/
alat bukti berdasarkan alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-
undang secara positif (tanpa diperlukan adanya keyakinan hakim),
menjadikan alat bukti surat sebagai alat bukti yang sangat penting
untuk diajukan oleh para pihak yang berperkara.7 Alat bukti surat
terdiri dari surat bukan akta dan surat akta. Surat akta terbagi lagi
menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik meru-
pakan surat yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang8 untuk memberikan bukti yang cukup bagi para pihak
serta ahli warisnya termasuk setiap orang yang mendapatkan hak
dari padanya, sedangkan akta-akta lainnya, yang bukan merupakan
akta otentik, disebut akta di bawah tangan.9
Dalam kaitannya dengan alat bukti surat, baik yang berupa surat
akta maupun surat bukan akta, penting untuk dibahas bagaimana
138 ayat (2), Pasal 150 ayat (3), Pasal 154 ayat (1), 155 ayat (1), dan 156 ayat
(1), serta merujuk pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 290K/Sip/1973
tanggal 3 Agustus 1974. Dikutip dari Winotia Ratna, “Perbandingan Alat
Bukti Keterangan Saksi pada Hukum Acara Perdata dalam Sistem Hukum
Indonesia dengan Singapura: Studi Kasus Beckket Pte. Ltd. Melawan
Deutcshe Bank Ag.”, (skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm.
36.
7 Surat adalah sekumpulan tanda baca yang jika dirangkaikan atau saling
dihubungkan mengandung maksud atau arti tertentu. Soetomo Ramelan,
“Peranan Surat dalam Hukum Pembuktian”, Jurnal Hukum dan Pembangunan,
17, 1 (1987), hlm. 7. Lihat juga Muhammad Nasir, yang berpendapat
surat atau alat bukti tertulis sebagai segala sesuatu yang terdapat tanda-
tanda bacaan dengan maksud mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang
yang ditujukan kepada dirinya dan/atau orang lain serta dapat digunakan
sebagai alat pembuktian. Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata ( Jakarta:
Djambatan, cetakan kedua, 2005), hlm. 150.
8 Salah satu pegawai umum yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk membuat akta otentik adalah Notaris berdasarkan UU No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris. Menurut Pasal 1 butir (7) UU No. 30 Tahun
2004, akta notaris merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
notaris dengan bentuk dan tata cara yang diatur dalam UU Jabatan Notaris,
sedangkan minuta akta adalah asli dari akta notaris (Pasal 1 butir (8) UU No.
30 Tahun 2004). Salinan akta merupakan salinan kata per kata dari seluruh
akta yang tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”
pada bagian bawah salinan akta (Pasal 1 butir (9) UU N0. 30 Tahun 2004).
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, L.N. No.
117 Tahun 2004, T.L.N. No. 4432, Psl. 1 butir (7), (8), dan (9).
9 R. Subekti, Hukum Pembuktian ( Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan ketujuh
belas, 2008), hlm. 26.
jika surat tersebut yang asli tidak ada, sehingga yang diajukan dalam
persidangan hanyalah fotokopinya. Menurut M. Yahya Harahap,
salinan, yang merupakan turunan dari suatu surat, hanya dapat diper-
caya apabila sesuai dengan surat aslinya dan cara menguji adalah
dengan menunjukkan aslinya. Jika salinan tersebut sesuai dengan
aslinya maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan kekuatan
pembuktian surat aslinya, yaitu berkekuatan sebagai pembuktian
yang sempurna dan mengikat. Suatu salinan hanya menjadi permu-
laan pembuktian tulisan jika berupa turunan atau salinan akta
otentik yang dibuat menurut minutnya bukan dikeluarkan notaris
yang membuatnya, atau salinan sah dari salinan sah (Pasal 1889 ke-4
KUHPerdata, Pasal 302 ke-4 Rbg), atau salinan yang telah disangkal,
atau salinan yang tidak diakui atau dibantah pihak lawan. Agar salinan
yang hanya berupa permulaan pembuktian tulisan tersebut menjadi
sempurna dan mengikat, salinan tersebut harus disesuaikan dengan
aslinya atau sekiranya aslinya tidak ada lagi cara untuk membuktikan
persamaan itu dapat dilakukan dengan bantuan alat bukti lain yaitu
surat, saksi dan ahli.10
Suatu salinan surat hampir sama dengan fotokopi.11 Menurut
M. Yahya Harahap, jika dibandingkan dengan salinan, fotokopi
hampir tidak ada bedanya. Namun, hukum pembuktian memberikan
penilaian dan penghargaan kepada salinan jauh lebih tinggi daripada
fotokopi, yang dapat dilihat dalam Pasal 1889 KUHPerdata dan
Pasal 302 Rbg. Sedangkan pada fotokopi, belum ada ketentuan
yang mengakomodasi penilaiannya. Pada umumnya, keabsahan
identiknya fotokopi dengan aslinya diakui apabila para pihak dapat
menunjukkan surat aslinya.12 Sudikno Mertokusumo, dengan
pihak, ahli warisnya serta setiap orang yang mendapatkan hak dari
akta tersebut, tentang segala hal yang termuat dalam surat tersebut
serta hal yang hanya bersifat pemberitahuan saja (namun hanya jika
yang diberitahukan berhubungan langsung dengan perihal yang ada
pada akta tersebut (Pasal 165 HIR, 285 Rbg, 1868 KUHPerdata).
Akta yang dibuat oleh pejabat adalah akta yang dibuat oleh
pejabat berwenang yang menerangkan apa yang dilihat, didengar,
dan dilakukannya. Misalnya berita acara yang dibuat oleh polisi, akta
catatan sipil, dan sebagainya. Adapun akta yang dibuat oleh para pihak
di hadapan pejabat yang berwenang apabila pejabat menerangkan apa
yang dilihat, didengar, dan dilakukannya dan para pihak mengakui
keterangan akta tersebut dengan menandatanganinya. Contohnya,
akta jual beli PPAT, akta pendirian Perseroan Terbatas, dan lain-
lain.23
Akta di bawah tangan tidak ada aturannya dalam HIR, pengaturan
akta di bawah tangan terdapat dalam dalam Lembaran Negara 1867
No. 29, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 286-305 Rbg., selain itu diatur pula dalam Pasal 1876-1894
KUHPerdata.24 Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat
sendiri oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum dengan maksud
akan dijadikan sebagai alat pembuktian. Akta di bawah tangan akan
memberikan pembuktian yang cukup apabila ada pengakuan yang
menyatakan bahwa benar dibuat dan ditandatangani oleh pihak yang
bersangkutan (Pasal 288 Rbg., Pasal 1875 KUHPerdata). Dalam Pasal
1881 KUHPerdata/ Pasal 294 Rbg., dan Pasal 1883 KUHPerdata/
Pasal 297 Rbg., diatur mengenai surat-surat di bawah tangan yang
bukan merupakan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat
rumah tangga dan catatan-catatan yang diberikan oleh kreditur pada
suatu alas hak yang selamanya ada padanya, penilaian kekuatan
pembuktian surat bukan akta diberikan kepada hakim (Pasal 1881
ayat (2) KUHPerdata, Pasal 294 ayat (2) Rbg.).25
52 R. Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis HIR, Rbg., dan
Yurisprudensi ( Jakarta: Sinar Grafika, cetakan kedua, 2011), hlm. 118.
53 Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, hlm. 622.
54 Tergugat dalam persidangan mengajukan bukti surat berupa fotokopi
Sertifikat Hak Pakai yang tidak dapat ditunjukan sertifikat aslinya dalam
persidangan. Menurut hakim, secara yuridis fotokopi Sertifikat Hak Pakai
Tanah tersebut tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dalam
perkara gugatan tersebut. Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan, hlm.
154.
dikaitkan dengan alat bukti lainnya yaitu alat bukti keterangan saksi,
alat bukti surat berupa surat laporan kehilangan, serta alat bukti
pengakuan para turut tergugat.
Dalam suatu kumpulan yurisprudensi, Mahkamah Agung
menegaskan bahwa fotokopi surat yang diajukan ke persidangan
dan dikuatkan dengan alat bukti lainnya yang sah maka bisa diterima
sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian
yang bebas dalam artian penilaiannya diserahkan kepada hakim
yang memeriksa perkara. Mahkamah Agung juga menambahkan,
“tentu saja dalam melakukan penilaian tersebut, fotokopi surat tidak
bisa berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan alat bukti lainnya yang
relevan.”61 Hal ini seharusnya menjadi catatan bahwa meskipun
fotokopi surat yang tidak dapat dicocokkan dengan surat aslinya
dapat diterima sebagai alat bukti karena dikuatkan dengan alat bukti
lainnya dan hakim bebas memberikan penilaian terhadap kekuatan
pembuktian fotokopi surat tersebut, hakim dalam pertimbangannya
ternyata tidak boleh memutus berdasarkan fotokopi tersebut secara
berdiri sendiri. Fotokopi tersebut harus menjadi penunjang atau
dikaitkan dengan alat bukti lainnya yang sah.
Penerimaan fotokopi surat yang tidak dapat dicocokkan dengan
aslinya sebagai alat bukti yang sah karena dikuatkan dengan alat bukti
lainnya diharapkan dapat menampung persoalan yang terkadang
terjadi karena hal-hal di luar kuasa manusia, seperti hilang karena
banjir, kebakaran, atau bencana lainnya, atau juga dikarenakan hal-
hal lain yang menyebabkan hilangnya dokumen. Dengan demikian,
pemilik dokumen tetap mendapatkan haknya atas dokumen yang
aslinya telah hilang tersebut. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan
dalam menilai seberapa kuat alat-alat bukti yang diajukan para
pihak, namun perlu juga diperhatikan bahwa fotokopi surat tidak
digunakan secara berdiri sendiri karena dapat mencederai kepastian
hukum dalam sistem pembuktian, yaitu sistem pembuktian positif
(berdasarkan undang-undang).62
D. Kesimpulan
Artikel ini menyimpulkan, pertama, fotokopi surat yang tidak dapat
dicocokkan dengan surat aslinya pertama-tama akan diterima secara
formil di Pengadilan yaitu dengan dilakukan legalisasi oleh panitera
pengadilan (fotokopi surat akan diterima secara formil dan dilakukan
pemateraian (nazegeling)). Dalam persidangan, Majelis Hakim akan
menilai fotokopi surat yang diajukan tersebut. Fotokopi surat dapat
diterima sebagai alat bukti surat apabila bersesuaian atau dikuatkan
dengan alat bukti lain, sebagaimana dimuat dalam yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 (diterima
karena dapat dicocokkan dengan aslinya atau dikuatkan dengan
alat bukti lain) dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 410 K/
pdt/2004 (diterima karena diakui dan dibenarkan oleh pihak lawan).
Yurisprudensi ini telah diikuti dalam perkara yang ditelaah dalam
artikel ini. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
164/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Pst jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 234/Pdt/2005/PT.DKI jo. Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1498 K/Pdt/2006, fotokopi surat yang tidak dapat dicocokkan
dengan aslinya diterima karena dikuatkan dengan pengakuan pihak
lawan. Sedangkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak
Nomor 52/Pdt.G/2003/PN.Ptk, fotokopi surat diterima sekalipun
tidak dapat dicocokkan dengan aslinya dikarenakan dikuatkan
dengan alat bukti keterangan saksi. Kedua, fotokopi surat (baik
surat akta maupun bukan akta) yang tidak dapat dicocokkan dengan
aslinya namun bersesuaian atau dikuatkan dengan alat bukti lain,
memiliki kekuatan pembuktian yang bebas (penilaiannya diserahkan
kepada hakim). Ia, fotokopi, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan
harus dikaitkan dengan alat bukti lainnya yang sah. Hal ini perlu
dalam upaya menjaga kepastian hukum yang sesuai dengan sistem
pembuktian positif dalam hukum acara perdata.
Daftar Pustaka
Artikel/Buku/Laporan
Apriani, Erpinka. “Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah
Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.”
Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.
Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung
Hukum Acara Perdata: Masa Setengah Abad. Jakarta: Swara Justisia,
2005.
Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. “Arti Pentingnya Pembuktian dalam
Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata”. Mimbar Hukum,
22, 2 (2010): 347-359. DOI: 10.22146/jmh.16225.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:
Chalia Indonesia, 1984.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Https://kbbi.web.id/. Diakses 12/11/2019.
Makarao, Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka
Cipta, 2004.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty, edisi ketujuh, 2006.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty, cetakan ketiga, 2007.
Nasir, Muhammad. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan,
cetakan kedua, 2005.
Ramelan, Soetomo. “Peranan Surat dalam Hukum Pembuktian”.
Jurnal Hukum dan Pembangunan, 17, 1 (1987): 6-11. DOI: 10.21143/
jhp.vol17.no1.1226.
Ratna, Winotia. “Perbandingan Alat Bukti Keterangan Saksi pada
Peraturan Hukum
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia
yang diperbaharui: S. 1848 No. 16, S. 1941 No. 44).
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau Reglemen daerah
seberang: S. 1927 No. 227).
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432.