You are on page 1of 971

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. RYNALDO | DR.

ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. OKTRIAN

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
phone number : 021 8317064 Phone number : 061 8229229
pin BB 2A8E2925 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 WA 082122727364
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
196. Liken Simpleks Kronikus
• Nama lain: Liken Vidal atau neurodermatitis
sirkumskripta
• Penebalan kulit akibat gesekan atau garukan berulang
• Gatal (dengan atau tanpa penyebab patologis kulit) 
garukan berulang  trauma mekanis  likenifikasi
• Daerah
– Kulit kepala, belakang leher, tungkai atas atau bawah, vulva
dan skrotum
• Etiologi
– Rangsangan pruritogenik dari alergi atau stress
Tatalaksana

• Antipruritus: antihistamin H1 generasi 1


efek sedatif agar mengurangi sifat
menggaruk
• Kortikosteroid potensi kuat
197. Primary Syphilis
- Duration of 9–90 days
- Macule – papule - painless ulcer
- Indurated with clear exudate
- Heal spontaneously in 2-6 weeks
- Up to 50% may be atypical in some way
(multiple, painful, purulent, or extragenital)
- The most common sites are the coronal sulcus
/ glans penis / cervix / vulva / anus (+ rectum
in homosexual men)
Primary syphilis
- Diagnosis of early disease the exudate from lesions should be
examined by dark field microscopy for spirochaetes

- Serological tests do not become positive for at least 10 – 14 days


after the appearance of the primary lesion.

- If strong suspicion repeat with FTA in 2 weeks.

- Repeat serology after 3 months in any case of undiagnosed genital


ulceration
198. Trichomoniasis
• Discharge  Keputihan kuning-kehijauan,
berbusa, berbau busuk
• Gejala  Gatal, Dispareunia, Disuria
• Faktor Risiko:
– IUD
– Merokok
– Multiple sexual partner
• Pemeriksaan mikroskopik  motile trichomonads
dan leukosit
• Pemeriksaan Amine whiff test  strong odor
• Kultur  media Diamond
• Ph 4.5
• Tanda khas Strawberry cervix
• Terapi  Metronidazole 2gram oral dosis tunggal,
ATAU Metronizadole 400 atau 500mg 2x/hari
selama 7 hari
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
www.aafp.org/afp/2000/0901/p1095.html
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Diagnosis Banding

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
199. Akne Vulgaris
Definisi Manifestasi klinis
•Peradangan kronik folikel Predileksi
pilosebasea.
• Muka, bahu, dada atas,
Lesi Akne Vulgaris dapat berupa punggung atas
• Comedo :
closed (‘whiteheads’) Erupsi kulit polimorfik
open (‘blackheads’). • Tak beradang : komedo putih,
• Papules komedo hitam, papul
• Pustules
• Beradang : pustul, nodus, kista
• Nodules
beradang
• Cysts
• Scars

Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Manifestasi Klinis

Acne Vulgaris derajat ringan Acne Vulgaris derajat sedang Acne Vulgaris derajat berat
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2 012
Klasifikasi
Gradasi (Wasitaatmadja, 1982)
Ringan Sedang Berat
• 5 – 10 lesi, tak • > 10 lesi tak meradang pd 1 • > 10 lesi tak meradang pd
meradang pd satu predileksi > 1 predilksi
predileksi • 5 – 10 lesi tak meradang pd 1 • > 10 lesi meradang pd ≥ 1
• < 5 lesi tak meradang predileksi predileksi
pd bbrp predileksi • 5 – 10 lesi meradang pd 1
• < 5 lesi meradang predileksi
pada satu predileksi • < 5 lesi pd > 1 predileksi

Klasifikasi Lehmann (2002) Ringan Sedang Berat


Comedo < 20 20-100 > 100
or or or
Papul/pustul < 15 15-50 > 50
or or or
Nodul/kista >5
or or or
Total < 30 30-125 > 125
Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Treatment Algorithm for Acne Vulgaris
Mild Moderate Severe
Nodular Conglobata/Fulminans
Comedonal Papular/Pustular Papular/Pustular

First Topical Topical retinoid + Oral antibiotic + Oral antibiotic + Oral isotretinoin ± oral
retinoid or topical antimicrobial topical retinoid ± BPO topical retinoid ± corticosteroids
combination or combination or combination BPO

Second Topical Topical dapsone Oral antibiotic + Oral isotretinoin High-dose oral
dapsone or or azelaic acid or topical retinoid ± BPO or oral antibiotic + antibiotic + topical
azelaic acid or salicylic acid or combination topical retinoid ± retinoid + BPO or
salicylic acid BPO/azelaic acid or combinationa
combinationa

Female - - + Oral contraceptive/ + Oral contraceptive/ Intralesional


antiandrogen antiandrogen corticosteroid,
laser/light therapy,
photodynamic therapy

Additional Comedone Laser/light therapy, Comedone extraction, Comedone


Options extraction photodynamic laser/light therapy, extraction;
therapy photodynamic intralesional
therapy corticosteroid,
laser/light therapy,
photodynamic
therapy

Refractory to Check Check compliance


Treatment compliance Exclude Gramnegative
Folliculitis Females: Exclude
polycystic ovary syndrome,
adrenal or ovarian tumors,
congenital adrenal
hyperplasia
Males: Exclude congenital
adrenal hyperplasia

Maintenance Topical Topical retinoid ± Topical retinoid ± Topical retinoid ±


retinoid BPO, or combination BPO, BPO, or combination
± BPO, or or combination
combination

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Akne vulgaris: Tatalaksana

Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Diagnosis Banding

Kelainan Karakteristik
Erupsi papulopustula mendadak tanpa ada komedo
Erupsi
hampir di seluruh bagian tubuh. Disebabkan oleh induksi
Akneiformis
obat (cth kortikosteroid) .
Akne akibat rangsangan kimia/fisis. Lesi monomorfik,
Akne Venenata
predileksi di tempat kontak.
Penyakit radang kronik di daerah muka dengan gejala
Akne Rosasea eritema, pustula, talangiektasia dan hipertrofi kelenjar
sebasea. Tidak terdapat komedo.
Acne Conglobata
The Main Features of Acne Conglobata
Sex Males affected more frequently than females

Age 18–30 years

Pathogenesis Unclear

Onset May be an insidious onset with a chronic course


on the background of previous acne or an acute
deterioration of existing inflammatory acne
Localisation Face, trunk and limbs extending to the buttocks

Clinical Picture Deep‐seated inflammatory lesions, abscesses and


cysts, causing interconnecting sinus tracts.
Laboratory Gram‐positive bacteria producing secondary infection
findings
Response to Poor
conventional
antibiotic therapy
Treatments of • Oral isotretinoin alongside systemic corticosteroids
choice to reduce inflammation.
• Systemic antibiotics to treat secondary infection
and reduce inflammation.

Griffihs CE, Beker J, Bleiker T. Rook's Textbook of Dermatology.9th edition.New York : Willey ; 2016
200. Herpes Simpleks
• Infeksi, ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa di daerah dekat mukokutan

• Predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas, predileksi HSV


tipe II di daerah pinggang ke bawah terutama genital

• Gejala klinis:
– Infeksi primer: vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab & eritematosa,
berisi cairan jernih yang kemudian seropurulen, dapat menjadi krusta dan
kadang mengalami ulserasi dangkal, tidak terdapat indurasi, sering disertai
gejala sistemik
– Fase laten: tidak ditemukan gejala klinis, HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif di ganglion dorsalis
– Infeksi rekuren: gejala lebih ringan dari infeksi primer, akibat HSV yang
sebelumnya tidak aktif mencpai kulit dan menimbulkan gejala klinis
Djuanda A. Ilmu penyakitkulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Herpes Simpleks
• Pemeriksaan Tipe I
– Ditemukan pada sel dan dibiak,
antibodi, percobaan Tzanck
(ditemukan sel datia berinti
banyak dan badan inklusi
intranuklear, glass cell)
• Komplikasi
Tipe II
– Meningkatkan
morbiditas/mortalitas pada
janin dengan ibu herpes
Tatalaksana
Based on 2015 STD Guideline CDC

• First clinical episode


- Acyclovir 3x400 mg selama 7-10 hari, atau
- Acyclovir 5x200 mg selama 7-10 hari, atau
- Valacyclovir 2x1 gram selama 7-10 hari, atau
- Famcyclovir 3x250 mg selama 7-10 hari
• Infeksi HSV 2 rekuren:
- Acyclovir 2x400 mg
- Valacyclovir 1x500 mg tidak efektif pada penderita yang sering
mengalami rekurensi
- Valacyclovir 1x1 gram
- Famcyclovir 2x250 mg

2015 STD Treatment Guideline CDC


201. Penyakit kulit pada HIV
 80-90% of patients with HIV have dermatologic disease
 HIV-infected individuals have a defect in cell-mediated
immunity which predisposes them to certain infections
(bacterial, fungal, mycobacterial, viral), many of which
have skin findings
 HIV-positive patients are also at increased risk for
neoplasms, inflammatory dermatoses, and drug
reactions
 Dermatologic disease common to the general population
(e.g., seborrheic dermatitis) often has an increased
prevalence or severity in HIV-positive individuals

20
HIV Dermatology (cont.)
 Skin lesions may be the first sign of HIV infection
• Ask abut risk factors for HIV infection when a patient < 50 yrs-old presents
with herpes zoster (shingles)
• Suspicion for HIV infection should be raised when a patient presents with
multiple skin diseases (e.g., severe seborrheic dermatitis and thrush)
 Some skin diseases are so characteristic of the
immunosuppression of HIV-infection that their presence warrants
HIV testing
• Oral hairy leukoplakia, bacillary angiomatosis, and Kaposi sarcoma
 Typically, antiretroviral therapy improves skin conditions that
result from immunodeficiency

21
Skin Disease and CD4 Counts
 Various skin manifestations of HIV infection can be
correlated with levels of immune suppression
 Skin disease associated with any CD4 Cell Count:
• Herpes simplex virus
• Scabies
• Varicella zoster virus
• Staphylococcus aureus • Drug Reactions
• Syphilis • Lymphoma
 More commonly associated with CD4 counts < 500
• Human papillomavirus

22
Skin Disease and CD4 Counts
 More commonly associated with CD4 counts < 200
• Infection: Epstein-Barr virus (oral hairy leukoplakia), Candida,
Bacillary angiomatosis , Molluscum contagiosum,
Histoplasmosis, Coccidiomycosis
• Inflammatory: Psoriasis, Seborrheic dermatitis, Acquired
icthyosis, Atopic dermatitis, Xerosis
• Neoplasm: Kaposi sarcoma
• Other: Eosinophilic folliculitis
 More commonly associated with CD4 counts < 50
• Cryptococcosis
• Pruritic papular eruption (insect bite hypersensitivity)

23
CONDITION C L I N I C A L P R E S E N TA T I O N CAUSES

Smooth, shiny, erythematous,


MEDIAN sharply circumscribed, rhomboid
Often associated with candidal
RHOMBOID shaped plaque; usually
infection
GLOSSITIS asymptomatic, but burning or itching
possible; dorsal midline location

Caused by underlying disease,


ATROPHIC Smooth, glossy appearance with red medication use, or nutritional
GLOSSITIS or pink background deficiencies (e.g., iron, folic acid,
vitamin B12, riboflavin, niacin)

Epstein-Barr virus super infection;


ORAL HAIRY White, hairy appearing lesions on associated with
LEUKOPLAKIA lateral border of tongue immunocompromise, human
immunodeficiency virus infection

Bare patches on dorsal tongue Associated with fissured tongue,


GEOGRAPHIC
surrounded by serpiginous, raised, inversely associated with tobacco
TONGUE
slightly discolored border use

TONGUE-TIE Shortened frenulum limiting tongue


Congenital, adhesion of frenulum
(ANKYLOGLOSSIA) protrusion, breastfeeding difficulties
Oral hairy leukoplakia
• Oral hairy leukoplakia
(OHL) was first
observed in 1981 and
reported in 1984 as a
common, benign,
asymptomatic, white,
non-removable lesion
of the lateral borders of
the tongue in patients
with HIV infection and
AIDS

http://emedicine.medscape.com/article/279269-clinical#b2
Disorders of Tongue

Median rhomboid glossitis Atrophic Glossitis


Disorders of Tongue

Georaphic Tongue Ankyloglossia


Disorders of Tongue

Hairy Tongue Oral hairy leukoplakia


202.
Treatment
• Use of antibacterial soaps
• Warm compresses
• Incision and drainage once a conical pustular
head develops
• Mupirocin is the drug of choice for localized
disease
– Inhibits bacterial growth by inhibiting RNA and
protein synthesis, effective for MRSA
Pioderma

IMPETIGO BOCKHART SY C O S I S B A R B A E
• Etiologi: S. Aureus • Etiologi: S. Aureus
• Superficial pustular • Deep-seated folliculitis
folliculitis • Skar dan alopesia setempat
203. PITIRIASIS ROSEA
• Eksantema sering akibat virus dan dihubungkan dengan ISPA, bersifat self
limiting disease (6-8 minggu), terkadang bisa dicetuskan oleh obat-obatan

• Etiologi & Faktor Risiko


• Obat-obatan, kehamilan, ISPA, STD, penyakit kulit lain

• Perjalanan Penyakit
• Lesi inisial berbentuk eritema berskuama halus dengan kolaret (herald patch) 
membesar  disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas,
tersusun sesuai lipatan kulit (inverted chrismas tree appearance)
• Kadang disertai gejala prodromal: malaise, lelah, sakit kepala, mual muntah, demam
dan atralgia

Herald patch with collarette of scale at the margin

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 197
Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
204. Postinflammatory
hypopigmentation
• Postinflammatory hypopigmentation is
frequently seen as a sequela of seborrheic
dermatitis, tinea versicolor, atopic dermatitis,
psoriasis, varicella-zoster infection, and many
other inflammatory skin condition
• Due to loss of functional melanocytes after
inflammation

emedicine.medscape.com/article/1069191-overview
Clinical Presentation
• Hypopigmented patch
confined to location of
previous inflammatory
skin lesions
• Negative Wood lamp
• No other symptoms
(e.g. no pruritus)
• Static lesions, not
enlarging
205. Erupsi Kulit Akibat Obat

DISEASES EFLORECENSES

Toxic Epidermal Necrolysis Detachment of more than 30% BSA, Nikolsky's sign (+)

Detachment of less than 10% BSA, affects mucous membrane (mouth,


Steven Johnson Syndrome
lips, genital, anal)

Erythema multiforme Reddened patches erupting on the arms, legs, and face

Widespread formation of fluid filled blisters that are thin walled and
SSSS
easily ruptured

Pemphigoid bulosa Tense bullae


206. Pioderma
• Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang
ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau
perih.

• Furunkel (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut dan


jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul
perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa
nyeri.

• Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar.

• Karbunkel (Staph. Aureus): kumpulan dari beberapa furunkel,


ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi
membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/
Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) :
peradangan  vesikel yang dengan cepat
berubah menjadi pustul  pecah krusta
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang
hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph.


Aureus): peradangan yang memberikan
gambaran vesikobulosa dengan lesi bula
hipopion (bula berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus):


peradangan yang menimbulkan kehilangan
jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Histopatologi Impetigo Krustosa dan Bulosa
• Patogen memiliki toksin A dan B yang bisa
mengeksfoliasi  target: desmoglein 1 
pemisahan dan pembentukan bula tepat
dibawah stratum granulosum
Pioderma: Impetigo
• Pemeriksaan Penunjang
– Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan
Gram
– Pemeriksaan darah rutin kadang kadang ditemukan leukositosis

• Komplikasi: Erisipelas, selulitis, ulkus, limfangitis, bakteremia

• Terapi:
• Antibiotika topikal:
• DOC: mupirocin (Bactroban), basitrasin, asam fusidat (Fucidin) dan
retapamulin (Altargo)  2x/hari selama 7 hari
• Alternatif: salep/krim klindamisin, gentamisin
• Antibiotika oral:
• Sefalosforin, amoxiclav, cloxacillin, dicloxaxillin, alternatif: eritromisin,
klindamisin
• DOC anak: Cephalexin http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview
Topical Antibiotics for Impetigo
M E D I C AT I O N INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2%
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days;
Mupirocin 2% cream
reevaluate after three to five days if no clinical response
(Bactroban)‡
Approved for use in persons older than three months

Apply to affected skin three times daily for seven to 14 days


Mupirocin 2%
Dosing in children is same as adults
ointment‡
Approved for use in persons older than two months

Apply to affected skin twice daily for five days


Retapamulin 1% Total treatment area should not exceed 100 cm2 in adults or 2% of
ointment (Altabax) total body surface area in children
Approved for use in persons nine months or older
†—Coverage for Staphylococcus aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.
‡—Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. Mupirocin-resistant streptococcus has now been documented.6,14
§—First member of the pleuromutilin class of antibiotics. Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.19

http://www.aafp.org /afp/2014/0815/p229.html
207. Infeksi Genital Non Spesifik
• Peradangan di uretra, rektum, atau serviks yang disebabkan
oleh kuman nonspesifik

• Etiologi
– Chlamydia trachomatis (50%), ureaplasma urealyticum dan
mycoplasma hominis, trichomonas vaginalis, HSV, Gardnerella
vaginalis, alergi, dan bakteri

• Gejala Klinis
– Pria: setelah 1-3 minggu kontak seksual, disuria ringan, sering
kencing, duh tubuh seropurulen
– Wanita: asimptomatis, duh tubuh ringan, disuria ringan, nyeri pelvis
dan dispareunia, servisitis
Menaldi, Sri Linuwih. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh, 2015. Badan Penerbit FKUI.
Infeksi Genital Non Spesifik
• Diagnosis
– Pewarnaan Gram, kriteria
• Tidak ditemukan diplikokus gram negatif intrasel maupun ekstrasel
PMN’Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, dan trikomonas
• Jml PMN >5/LPB, pada spesimen duh uretra ATAU PMN>30/LPB pada
duh serviks
• Terkadang pada kasus dengan patogen chlamydia akan ditemukan
badan inklusi intrasitoplasmik basofilik (keunguan)

• Tatalaksana
– Nonmedikamentosa: abstinensia, notifikasi pasangan
– Medikamentosa
• Doksisiklin 2 x 100 mg sehari selama 7 hari ATAU
• Azitromisin 1 gram dosis tunggal ATAU
• Eritromisin (alergi tetrasiklin, hamil, usia < 12 tahun) 4 x 500 mg sehari
selama 1 minggu atau 4 x 250 mg/hari selama 2 minggu

Menaldi, Sri Linuwih. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh, 2015. Badan Penerbit FKUI.
Non Gonococcal Urethritis
Diagnosis Etiology
• Algoritma
Chlamydia trachomatis 20-40%
– Pewarnaan gram dari
sediaan cairan serviks Mycoplasma genitalium15-25%
atau uretra Ureaplasma urealyticum10-20%
leukosit PMN
– Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis 5-15%
bakteri Adenovirus 1-4%
• Nucleic acid amplification Herpes simplex virus 1-2%
testing –using first void
urine
208. Reaksi Kusta: Klasifikasi (Terbaru)
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Respon Imun humoral • Reaksi hipersensitivitas tipe
(kompleks imun) lambat
• Tidak terjadi perubahan tipe • Reaksi borderline (dapat
• Klinis berubah tipe)
– Nodus eritema (penanda)
• Klinis
– Nyeri (predileksi lengan &
tungkai) – Sebagian/seluruh lesi yang
– Gejala konstitusi ringan sd telah ada bertambah aktif dan/
berat timbul lesi baru dalam waktu
– Dapat mengenai organ lain relatif singkat
(iridosiklitis, neuritis akut, – Dapat disertai neuritis akut
artritis, limfadenitis dll) • Pada pengobatan 6 bulan
• Pada pengobatan tahun kedua pertama

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)

• Rekasi hipersensitivitas tipe IV


(Delayed Type Hypersensitivity Reaction)

• Terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL)

• Biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat


pengobatan

• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf  berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2

• Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

• Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III

• Terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL)



• Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL

• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)

• Patofisiologi: Manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada


pembuluh darah.
Faktor Pencetus
Reaksi Kusta: Pengobatan
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Kortikosteroid • Tanpa neuritis akut
– Prednison 15-30 mg/hari – Tidak ada pengobatan selain
(dapat timbul ketergantungan)
MDT

• Klofazimin
– 200-300 mg/hari • Dengan neuritis akut
– Khasiat lebih lambat dari – Prednison 40 mg/hari  lihat
kortikosteroid skema
– Dapat melepaskan
ketergantungan steroid
– Efek samping: kulit berwarna
merah kecoklatan (reversible)

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan
Minggu Pemberian Prednison Dosis Harian yang Dianjurkan
• Minggu 1-2 40 mg
• Minggu 3-4 30 mg
• Minggu 5-6 20 mg
• Minggu 7-8 15 mg
• Minggu 9-10 10 mg
• Minggu 11-12 5 mg

• Pemberian Lampren
– 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila
penderita sudah dinyatakan RFT

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
209. Psoriasis vulgaris
• Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar berlapis-lapis dan transparan

• Predileksi
• Skalp, perbatasan skalp-muka, ekstremitas ekstensor (siku & lutut), lumbosakral
• Khas: fenomena tetesan lilin, Auspitz sign, Kobner sign

• Patofisiologi
– Genetik: berkaitan dengan HLA
– Imunologik: diekspresikan oleh limfosit T, sel penyaji antigen dermal, dan keratinosit
– Pencetus: stress, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolisme, obat, alkohol,
dan merokok

• Tata laksana
– Topikal: preparat ter, kortikosteroid, ditranol, tazaroen, emolien, dll
– Sistemik: KS, sitostatik (metotreksat), levodopa, etretinat, dll
– PUVA (UVA + psoralen)

Djua nda A. Il mu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Psoriasis Vulgaris
Tanda dan Gejala
• Perburukan lesi skuama kronik
• Onset cepat pada banyak area kecil
dengan skuama dan kemerahan
• Baru terinfeksi radang tenggorokan
(streps), virus, imunisasi, obat
antimalaria, trauma
• Nyeri (terutama pada kasus psoriasis
eritrodermis atau pada sendi yang
terkena arthritis psoriasis)
• Pruritus
• Afebril
• Kuku distrofik
• Ruam yang responsif terhadap steroid
• Konjungtivitis atau blepharitis

http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overvi ew
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas
Tanda Penjelasan

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


Fenomena
goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya
tetesan lilin
indeks bias.

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Fenomena
papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
Auspitz
berlapis-lapis hingga habis.

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang


Fenomena
timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita
Kobner
psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena
trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari
infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain

Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan


Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
210. Ulkus Durum
• Etiologi: Treponema Pallidum, bakteri
berbentuk spiral

• Gejala Klinis
– Stadium I: Ulkus durum
– Stadium II: Lesi sekunder di kulit
(roseola sifilitika, korona veneris,
kondiloma lata, lekoderma sifilitika)
– Stadium laten :
• Dini : bersifat menular
• Lanjut : bersifat tidak menular
– Stadium III: Gumma
– Stadium kardiovaskular dan neurosifilis
Sifilis Stadium Dini I (SI)
• Stadium dini (menular)
• Antara 10 – 90 hari (2 – 4 mgg) sth kuman msk  lesi – kulit
tempat msk kuman
• Umumnya lesi hanya 1 – AFEK PRIMER : papul yg kemudian
menjadi erosi / ulkus : ULKUS DURUM
• Umumnya lokasi afek primer – genital, jg dpt ekstra genital
• Dpt sembuh sendiri tanpa pengobatan dlm 3 – 10 mgg
• 1 mgg sth afek primer (+)  penjalaran infeksi ke kelenjar gth
bening (KGB) regional : regio inguinal medial – KGB
membesar, soliter, padat kenyal, indolen, tidak supuratif,
periadenitis (-) & dpr digerak scr bebas dr jaringan sekitarnya
 KOMPLEKS PRIMER
Sifilis Stadium I (SI)
DIAGNOSIS
• Mikroskop lapangan gelap (dark field microscope)  melihat
pergerakkan treponema
• Pewarnaan Burri (tinta hitam)  tidak adanya pergerakan Treponema (T.
pallidum telah mati)  kuman berwarna jernih dikelilingi oleh lapangan
yang berwarna hitam.
• Serologi: VDRL, TPHA, fluorescent treponemal antibody-absorption (FTA-
ABS), Rapid plasma reagin (RPR) test, Treponemal enzyme immune assay
(EIA), T pallidum particle agglutination assay (TPPA)
• Bahan pemeriksaan diambil dari dasar ulkus atau pungsi kelenjar getah
bening
• Secara akademik : Bila hasil (-), pemeriksaan diulang 3 hari berturut-turut
Sifilis Stadium Dini II (SII)
• Umumnya Std II (+) sth 6 – 8 mgg
• S II srg disebut : the Greatest Imitator of all the skin
diseases. Penting – tanpa rasa gatal
• Kelainan – sistemik, didahului gejala prodromal :
– Nyeri otot, sendi, suhu subfebril, sukar menelan (angina
sifilitika), malaise, anoreksi & sefalgia
– Kelainan  kulit, selaput lendir, kelenjar & organ tubuh
lain
Sifilis Stadium Dini II (SII)
Kelainan kulit
• Makula eritem, bulat lonjong (roseola sifilitika) t u  dada,
perut, punggung, lengan, tangan  ke seluruh tubuh
• Transien dan berakhir  hipopigmentasi (leukoderma
sifilitika)
• Papel - batas kulit rambut kepala (korona veneris)
– Papula arsiner, sirsiner dan polisiklik
– Papula diskret - telapak tangan dan telapak kaki
– Papula korimbiformis
– Kondiloma lata - kulit lipatan-lipatan yang lembab & hangat
 alopesia sifilitika
– Papula + folikulitis yang dapat
• Papuloskuamosa - mirip psoriasis (psoriasis sifilitika),
papulokrustosa - mirip frambusia (sifilis frambusiformis)
• Pustula, - bersifat destruktif  pd KU buruk (rupia sifilitika =
lues maligna)
Sifilis Stadium Dini II (SII)
• Kelainan selaput lendir
– Mucous patch - banyak mengandung T pallidum,
– Bentuk bulat, kemerahan  ulkus
– Kelainan  mukosa bibir, pipi, laring, tonsil dan genital.
• Kelainan kelenjar
– Pembesaran kelenjar  seluruh tubuh (limfadenopati
generalisata) - sifat = S I
– Kelenjar - kelenjar getah bening superfisialis  t u
suboksipital, sulkus bisipitalis & inguinal. Pada aspirasi
kelenjar akan ditemukan T. pallidum.
Sifilis Stadium Dini II (SII)

• Kelainan tubuh lain


– Kuku : onikia, rapuh dan kabur
– Mata : uveitis anterior, korioretinitis
– Tulang : periostitis
– Hepar : hepatomegali, hepatitis
– Ginjal, meningen
• Diagnosis : STS – selalu (+)
Sifilis Stadium Laten Dini

• Stadium ini (+) < dari 2 tahun setelah infeksi.


• Tanda-tanda klinis (-), bersifat menular.
• Penegakkan diagnosis  STS yang positif.
Sifilis Stadium Rekuren

• Kelainan klinis seperti kelainan stadium II,


namun kelainan bersifat setempat.
• Kadang-kadang dapat juga timbul kelainan
seperti stadium I.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular)

STADIUM LATEN LANJUT


• Disebut laten lanjut > 2 tahun setelah infeksi.
• Kelainan klinis (-) dan hanya dapat diketahui
berdasarkan hasil pemeriksaan STS yang
positif.
• Lamanya masa laten ini dapat berlangsung
bertahun-tahun, bahkan dapat berlangsung
seumur hidup.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular)

STADIUM III
• Kelainan timbul 3 – 10 tahun sesudah stadium I
• Kelainan khas – guma : infiltrat berbatas tegas,
bersifat kronis, cenderung mengalami perkejuan
(perlunakan) & pecah  ulkus
• Ulkus : dinding curam, dasar : jaringan nekrotik
berwarna kuning keputihan (ulkus gumosum) &
bersifat destruktif & serpiginosa.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular)

STADIUM III
• Guma soliter - dapat multipel
• Ukuran: milier - beberapa cm.
• Guma  di semua jaringan &  merusak
semua jenis jaringan : tulang rawan hidung,
palatum atau organ dalam tubuh (lambung,
hepar, lien, paru-paru, testis, dll)
• Diagnosis pasti hasil STS.
Sifilis: Tatalaksana
• Benzatin Penisilin G: Lini pertama stadium primer dan sekunder
– Primary or secondary syphilis - Benzathine penicillin G 2.4 million units
intramuscularly (IM) in a single dose
– Early latent syphilis - Benzathine penicillin G 2.4 million units IM in a single
dose
– Neurosyphilis, Late latent syphilis or latent syphilis of unknown duration -
Benzathine penicillin G 7.2 million units total, administered as 3 doses of 2.4
million units IM each at 1-week intervals
• Penicilline G Procaine: Lini pertama stadium laten lanjut
– Primary, secondary, and latent: 600,000 units IM qDay for 8 days
– Late (tertiary and latent syphilis with positive spinal fluid): 600,000 units IM qDay
for 10-15 days (total 6-9 million units)
– Neurosyphilis: 2.4 million units IM qDay x10-14 days; administer with probenecid
500 mg PO QID (penicillin G aqueous preferred)
• Alternatif: Doxicycline 2 x 100 mg/hr PO, 4 minggu
• Alternatif: Eritromisin 4 x 500 mg/hari PO, 4 minggu
• Komplikasi
• Neurosifilis, parestesia, perubahan kepribadian
N EU R OLOGI
211. EPIDURAL HEMATOM
• Pengumpulan darah diantara tengkorak dg
duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah
oleh karena ada fraktur atau robekan langsung.
• Gejala (trias klasik) :
1. Interval lusid.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan
bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


EPIDURAL
HEMATOM

Epidural
212. Subarachnoid Hematom
• Perdarahan fokal di daerah subarahnoid. CT scan
terdpt lesi hiperdens yg mengikuti arah girus-girus
serebri daerah yg berdktan dg hematom.
• Gejala klinik = kontusio serebri.
• Penatalaksanaan : perawatan dengan medikamentosa
dan tidak dilakukan operasi

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID

• Lucid interval • akut: 1- 3 hr pasca • Kaku kuduk


• Kesadaran makin trauma • Nyeri kepala
menurun • Subakut: 4-21 hr pasca • Bisa didapati
• Late hemiparesis trauma gangguan kesadaran
kontralateral lesi • Kronik : > 21 hari • Akibat pecah
• Pupil anisokor • Gejala: sakit kepala aneurisme berry
• Babinsky (+) disertai /tidak disertai
kontralateral lesi penurunan kesadaran
• Fraktur daerah * akibat robekan bridging
temporal vein
* akibat pecah a.
meningea media
Aneurysm

8/11/2017© 2009, American Heart Association. All rights


reserved.
CT Scan non-contrast showing blood in basal
cisterns (SAH) – so called “Star-Sign”

CT Scan courtesy: University of Texas Health Science Center at San Antonio, Department of Neurosurgery

8/11/2017© 2009, American Heart Association. All rights


reserved.
HEMATOM INTRASEREBRAL

• Terkumpulnya darah secara fokal yg diakibatkan oleh


regangan atau rotasional thd pemb. Drh intraparenkim
otak/ cedera penetrans.
• Gamb. Khas  lesi pdrh diantara neuron otak yg relatif
normal. Tepi bisa tegas/ tidak tergantung apakah ada oedem
otak/tidak.
• Perdrhan intraserebral bs timbul bbrp hr kmd stlh trauma 
monitor dg pem. Tanda vital, pem. Neurologis, bila perlu CT
scan ulang.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


Pre operasi Pasca Operasi

INTRASEREBRAL
HEMATOM
SUBDURAL HEMATOM
• Perdrhan yg mengumpul diantra korteks serebri dan
duramater  regangan dan robekan vena-vena drainase yg
tdpt di rongga subdural ant. Permk. Otak dg sinus duramater.
• Gjl klinik biasany tdk terlalu hebat kecuali bila terdapat efek
massa.
• Berdsrkan kronologis SDH dibagi mjd :
1. SDH akut : 1- 3 hr pasca trauma.
2. SDH subakut : 4-21 hr pasca trauma.
3. SDH khronis : > 21 hari.
 gamb. CT scan kepala tdp lesi hiperdens bbtk bulan sabit yg
srg tjd pada daerah yg berseberangan dg trauma (Counter
Coup)

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


• Tindakan op. dilakukan bila pdrh > 40 cc.
• Bila komplikasi akut : gangg. Parenkim otak, gangg.
Pemb. Drh arteri.
• Bila tidak ada komplikasi disebabkan : atrofi otak
mybbkan perdrhan dan putusnya vena jembatam,
gangg. Pembekuan.
• Tindakan operasi dilakukan bila :
1. Perdarahan berulang.
2. Kapsulisasi.
3. Lobulat (multilobulat)
4. Kalsifikasi.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


SUBDURAL HEMATOM
213. Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis
Pemeriksaan • Tatalaksana
• Anti-acetylcholine • AChE inhibitors 
receptor antibody Pyridostigmine bromide
• Anti-striated muscle (Mestinon) dan
antibody →84% pada Neostigmine Bromide
pasien denganthymoma • Immunomodulating
• Tensilon test • therapies : Prednisone
• Single fiber EMG • Plasmapheresis
• Chest X-ray/Chest CT • Thymectomy
Scan →thymoma
Diagnosis
214. Komplikasi OMSK
tersering
• Postauricular abscess
• Facial nerve paresis
• Labyrinthitis
• Labyrinthine fistula
• Mastoiditis
• Temporal abscess
• Petrositis
• Intracranial abscess
• Meningitis
• Otitic hydrocephalus
• Sigmoid sinus thrombosis
• Encephalocele
• Cerebrospinal fluid (CSF) leak
Abses otak terkait OMSK
214. Abses Serebri
• Infeksi supuratif fokal di dalam parenkim otak, diliputi
oleh kapsul bervaskular
• Faktor Predisposisi :
– Otitis media dan mastoiditis
– Sinusitis paranasal
– Infeksi pyogenik di torax atau bagian tubuh lainnya
– Trauma tembus kepala atau prosedur neurosurgery
– Infeksi dental
• Etiologi :
– Immunocompetent : Streptococcus spp. [anaerobic, aerobic, and
viridans (40%)], Enterobacteriaceae [Proteus spp., E. coli sp.,
Klebsiella spp. (25%)], anaerobes [e.g., Bacteroides spp.,
Fusobacterium spp. (30%)], and staphylococci (10%).
– Immunocompromised : HIV infection, organ transplantation,
cancer, or immunosuppressive therapy  Nocardia spp.,
Toxoplasma gondii, Aspergillus spp., Candida spp., and C.
neoforma
• Manifestasi klinis abses serebri bergantung dari lokasi
abses, lokasi fokus primer dan tingginya tekanan
intrakranial
• Fase awal, dapat menyerupai gejala ensefalitis non spesifik
• Trias Klasik :
– Nyeri kepala : konstan, tumpul di sebelah atau seluruh kepala,
makin lama makin memberat
– Demam  muncul pada 50% pasien
– Defisit neurologis fokal  hemiparesis, aphasia, gangguan lapang
pandang, kejang
215. Stroke di Batang Otak
• Terjadi karena adanya oklusi pada arteri kecil
di sirkulasi posterior

• Secara umum gejala terdiri dari : kelumpuhan


saraf kranial ipsilateral dan hemiplegi/
hemiparesis kontralateral dan hilangnya
sensori.

Haines DE. An Atlas of Structure, Sections, and Systems. 8th edition. 2012. Philadelphia. Lippincot Williams & Wilkins.
Baehr M, Michael F. Duus’ Topical Diagnosis
in Neurology. 5th edition. Thieme. 2012
Haines DE. An Atlas of Structure,
Sections, and Systems. 8th
edition. 2012. Philadelphia.
Lippincot Williams & Wilkins.
216. Tatalaksana Kejang
217. Cedera Saraf Perifer
Anatomical Snuff Box
218. Cedera Medulla Spinalis

• Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-


saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang
berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra.
• Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis,
masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari
tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika
gangguan sementara ataupun permanen terjadi
akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi
ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
PATOFISIOLOGI
• Kompresi karena tulang,
ligamen,herniasi diskus • 2 jam pasca cedera terjadi
intervertebralis & hematom invasi sel-sel inflamasi
paling berat akibat kompresi dimulai oleh microglia dan
tulang, trauma hiperekstensi leukosit polimorfonuklear.
corpus dislokasi ke posterior. • 4 jam pasca cedera hampir
• Regangan jaringan.biasanya separuh medula spinalis
terjadi pada hiperpleksi, menjadi nekrotik.
toleransi medula spinalis
terhadap regangan tergantung • 6 jam pasca cedera terjadi
usia edema primer vaskogenik.
• Edema.timbul segera setelah • 48 jam terjadi edema dan
trauma nekrotik kros-sektional
• Sirkulasi terganggu. pada tempat cedera.
Spinal Schock Phases
Spinal Shock vs Neurogenic
Shock
Transeksi medula spinalis
akan terjadi masa Spinal Shok

• Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang secara


mendadak
• Semua sensibilitas bawah lesi hilang
• Semua refleks hilang.
• Berlangsung 3-6 mg
219. Epilepsi

Prinsip karakteristik kejang:


- Lobus temporal: focal+impaired awarness
- Lobus parietal: focal
- Lobus oksipital: focal
Sumber: 2017 Revised Classification of Seizures - Lobus frontal: focal
Temporal Lobe Epilepsy
• Sebenarnya istilah temporal lobe epilepsy, occipital
lobe epilepsy dll sudah kuno
• Saat ini kejang dibagi menjadi focal, generalized, dsb
(lihat slide sebelum ini)
• Gejala:
– kejang yang diawali oleh aura dan disertai gangguan
memori
• Aura dapat berupa gangguan somatosensori (olfaktori,
visual, nyeri ulu hati, vertigo), autonom, dan gejala
psikiatri (depersonalisasi, cemas, dll)
• Sebenarnya istilah temporal lobe epilepsy,
occipital lobe epilepsy dll sudah kuno
• Saat ini kejang dibagi menjadi focal,
generalized, dsb (lihat slide sebelum ini)

Sumber: 2017 Revised Classification of Seizures


Pilihan lain
Kejang Karakteristik

Lobus oksipital Tanda kardinal:


1. Halusinasi visual
2. Buta
3. Ilusi
4. Palinopsia
5. Kejang tonic disertai kejang oculoclonic/nystagmus disertai penutupan
kelopak mata yang repetitif
Lobus frontal Kejang fokal yang muncul terutama di malam hari (setelah jam 2 pagi).
Biasanya berupa kepala dan mata yang tonik ke satu arah.
Lobus parietal Kejang simple parsial yang disertai ilusi somatik (merasa ada keanehan
pada bentuk tubuh), paraesthesia, atau nyeri pada wajah, tangan, dan kaki.
Epilepsi Rolandi Focal seizure involves twitching, numbness, or tingling of the face or
tongue. Last about 2 minutes, it may have tonic-clonic seizures,
typically during sleep
220. AREA CORTEX CEREBRI (UTAMA)
menurut Broadmann
1. Lobus frontalis:
- area 4: cortex motorik primer
- area 6: area premotorik (extrapyramidal)
- area 8: atur gerak mata & pupil
- area 44,45: area bahasa motorik (Broca)
2. Lobus parietalis:
- area 1,2&3: area somatosensorik  cortex sensorik primer
3. Lobus temporalis:
- area 41: cortex auditorik primer
- area 42: cortex auditorik sekunder (asosiasi)
- area 22,23: area bahasa perseptif (Wernicke)
- area 28: area olfaktorius
4. Lobus oksipitalis:
- area 17: cortex visual primer
- area 18,19: cortex asosiasi visual
LESI KORTEK CEREBRI
Lobus Defisit Neurologi Fenomena positif Psikopatologi

Frontalis Hemiparese spastik Bangkitan Mudah marah


(kontralat) motorik fokal Disinhibisi
Afasia motorik
Broca (dominan)
Parietalis Hemisensorik kontralat Bangkitan Disorientasi ruang
Homonim sensorik fokal Agnosiataktil
kwadranopsia bwh Apraksia
(kontralat) Afasia amnestik
Hemispastial Aleksia dominan
Temporalis Homonim Bangkitan Defisit memori
kwadranopsia ats psikomotor Afasia sensorik
(kontralat) (wernicke)

Oksipitalis Homonim hemianopsia Sensasi dan Agnosia warna


(kontralat) halusinasi Disorientasi
visuospastial
Agnosia visual
Aleksia
21. CMV Ensefalitis
• Berkaitan dengan HIV
• Mengenai 12%pasien dengan HIV
• Sangat jarang mengenai pasien imunokompeten
• Gejala klinis Substansia alba
Substansia grisea
- Confusion
- Penurunan kemampuan berpikir
- Cranial nerve palsy
• Diagnosis: Hiperdensitas
- Gejala klinis
- CSF:
- Peningkatan protein dan mononuklear leukositosis
- CT dan MRI:
- hiperdensitas (CT)/hiperintensitas (MRI) pada substansia
alba
CNS Manifestations in HIV
• Space Occupying Lesions • Diffuse Disease
– Toxoplasmosis (most – Cryptococcal Meningitis
– Acute Infection
common)
– HIV Dementia
– Lymphoma – Tuberculous Meningitis
– CNS Syphilis
– PML – Toxoplasma encephalitis
– Cytomegalovirus encephalitis
– Tuberculoma
– Cryptococcoma
– Pyogenic abscess
– Nocardia
– CNS Syphilis (gumma)
Korteks/substansia grisea
Substansia alba

Substansia grisea

Hiperdensitas

Substansia alba

Substansia alba

Substansia grisea

Hiperdensitas
Herpes Simplex Ensefalitis
• Herpes Simplex Encephalitis (HSE)
– disfungsi serebral general atau vocal akibat penyebaran
HSV secara neuronal melalui N. trigerminus atau N.
olfaktorius
• Biasanya terjadi pada neonatus, bayi, dan dewasa,
tidak berkaitan dengan kondisi imunosupresi
• Terutama mengenai lobus frontotemporalgejala
Memory loss menonjol
• Gejala:
- Prodromal (lemas, demam, nyeri kepala, mual)
- Ensefalopati (letargi, confusion, dan delirium)
- Memory loss
Diagnosis
• Diagnosis ditegakkan melalui 3 temuan:
1. Gejala klinis (lihat slide sebelum)
2. CSF pleositosis
3. CT Scan/MRI (MRI lebih sensitif):
• adanya hiperdensitas (CT)/hiperintensitas (MRI) pada area substansia
alba dan cortex

Hiperdensitas

Korteks

Substansia alba
Korteks/substansia grisea

Korteks

Substansia alba

Hiperdensitas

Substansia alba
Sering menjadi komorbid dengan HIV.

Ensefalitis toksoplasma
Gejala berupa confusion, kejang,
kelemahan fokal, gangguan bahasa,
afasia, ataksia.

CT Scan: lesi hipodens dengan ring


enhancing lesion
Korteks/substansia grisea

Lesi hipodens

Substansia alba
Lesi hipodens Ring enhancing lesions
Meningitis kriptokokus
Gejala klinis: meningitis, nyeri kepala,
kejang, dan blurred vision akibat
peningkatan TIK
MRI: peripheral nodular enhancement

Korteks/substansia grisea

Substansia alba
Merupakan suatu kelainan yang bersifat diturunkan.
Gejala: gangguan perkembangan yang progresif pada
Leukoensefalopati
anak
MRI: contrast enhancement pada substansia alba (lebih
diffuse dibandingkan CMV)

Korteks/substansia grisea

Hiperdensitas

Substansia alba
Kelainan Gejala klinis
Ensefalitis Sering menjadi komorbid dengan HIV.
Toxoplasma Gejala berupa confusion, kejang,
kelemahan fokal, gangguan bahasa, afasia,
ataksia.

CT Scan:
• lesi hipodens dengan ring enhancing
lesion

Meningitis Gejala klinis: meningitis, nyeri kepala,


kriptokokus kejang, dan blurred vision akibat
peningkatan TIK
MRI:
• peripheral nodular enhancement
Leukoensefalopati Merupakan suatu kelainan yang bersifat
diturunkan.
Gejala: gangguan perkembangan yang
progresif pada anak
MRI:
• Contrast enhancement pada substansia
alba
221. Herpes Simplex
Ensefalitismasih mau gw tambahin
kak
• Herpes Simplex Encephalitis (HSE)disfungsi serebral
general atau vocal akibat penyebaran HSV secara
neuronal melalui N. trigerminus atau N. olfaktorius
• Gejala:
- Prodromal (lemas, demam, nyeri kepala, mual)
- Ensefalopati (letargi, confusion, dan delirium)
- Memory loss
Diagnosis
• Diagnosis ditegakkan melalui 3 temuan:
1. Gejala klinis (lihat slide sebelum)
2. CSF pleositosis
3. CT Scan/MRI (MRI lebih sensitif): adanya hiperdensitas
(CT)/hiperintensitas (MRI) pada area substansia alba dan cortex
CMV Ensefalitis
• Berkaitan dengan HIV
• Gejala klinis
- Confusion
- Penurunan kemampuan berpikir
- Cranial nerve palsy
• Diagnosis:
- Gejala klinis
- CSF: Peningkatan protein dan mononuklear
leukositosis
- CT dan MRI: hiperdensitas (CT)/hiperintensitas
(MRI) pada substansia alba
Kelainan Gejala klinis
Ensefalitis
Toxoplasma Sering menjadi komorbid dengan HIV.
Gejala berupa confusion, kejang,
kelemahan fokal, gangguan bahasa, afasia,
ataksia.

CT Scan: lesi hipodens dengan ring


enhancing lesion

Meningitis Gejala klinis: meningitis, nyeri kepala,


kriptokokus kejang, dan blurred vision akibat
peningkatan TIK
MRI: peripheral nodular enhancement

Leukoensefalopati Merupakan suatu kelainan yang bersifat


diturunkan.
Gejala: gangguan perkembangan yang
progresif pada anak
MRI: contrast enhancement pada
substansia alba
222. Carpal Tunnel Syndrome
CTS merupakan kelainan neuropati perifer lokal yang sering terjadi akibat
tertekannya nervus medianus.

Viera A. Management of Carpal tunnel Syndrome. Am Fam Physician 2003:68:265-72, 279-80


http://www.gponline.com/common-conditions-hand/musculoskeletal-
disorders/article/1219687
Median Nerve Supply
• A cool pneumonic to remember the palmar
muscles that are innervated by the Median
Nerve: Meat-LOAF
– Meat – Median nerve
– L – lumbricals 1 and 2
– O – opponens pollicis
– A – abductor pollicis brevis
– F – flexor pollicis brevis
Carpal Tunnel Syndrome

(CTS)
By far the most common entrapment
neuropathy, especially of the upper extremity.
• Caused by compression of the Median Nerve
at the wrist by the Transverse Carpal
Ligament.
• “Classic” patient is a 40-something y/o female
complaining of dominant-hand weakness,
clumsiness, or stiffness with nocturnal
dysesthesias (waking up at night due to
painful hand numbness).
Gejala

• Nyeri, kesemutan dan perasaan geli


pada daerah yang dipersarafi oleh
nervus medianus
• Nyeri memberat pada malam hari
dan dapat membangunkan pasien
dari tidur.
• Nyeri dan parastesi dapat menjalar
ke lengan bawah, siku hingga bahu
• Kekuatan menggenggam berkurang
• Atrofi otot tenar
• Untuk mengurangi gejala biasanya
pasien akan mengguncang –
guncang kan tangannya seperti saat
memegang termometer (flick test)
Physical
• examination
Phalen’s maneuver (Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala → CTS +)
• Tinel’s sign (timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus
kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi)
• Luthy's sign/bottle's sign (Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat → CTS +)
• Pemeriksaan sensibilitas/two-point discrimination (Bila penderita tidak dapat
membedakan dua titik pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus →
CTS +)

Tinel’s sign
Phalen’s maneuver
Pemeriksaan fisik
• Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS.
• Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya
atrofi otot-otot thenar.
• Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot
• Wrist extension test/ prayer test.
• Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan
tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik.
Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosis.
Pemeriksaan Fisik
• Pressure test (Durkan’s carpal compression).
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal
dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu
kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK,
tes ini menyokong diagnosis.
• Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan
apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering
atau licin yang terbatas pada daerah innervasi
nervus medianus. Bila ada akan mendukung
diagnosis CTS.
Terapi Konservatif
• Istirahatkan pergelangan tangan
• Obat antiinflamasi nonsteroid
• Pemasangan bidai pada posisi netral
pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang
terus-menerus atau hanya pada malam hari
selama 2-3 minggu
• lnjeksi steroid
• Kontrol cairan,misalnya dengan pemberian
diuretika
• Vitamin B6 (piridoksin)
• Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan
vaskularisasi pergelangan tangan
Terapi Operatif
• Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis
nervus medianus pada pergelangan tangan.
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang
tidak mengalami perbaikan dengan terapi
konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik
yang berat atau adanya atrofi otot-otot
thenar.
223. Cluster Type Headache
• Migren  nyeri kepala primer Faktor Predisposisi
dengan kualitas vaskular – Menstruasi biasa pada hari
(berdenyut), diawali unilateral pertama menstruasi atau
yang diikuti oleh mual, sebelumnya/ perubahan
fotofobia, fonofobia, gangguan hormonal.
tidur dan depresi – Puasa dan terlambat
• Penyebab Idiopatik (belum makan
diketahui hingga saat ini) : – Makanan misalnya akohol,
– Gangguan neurobiologis coklat, susu, keju dan buah-
– Perubahan sensitivitas buahan.
sistem sarfa – Cahaya kilat atau berkelip
– Avikasi sistem trigeminal- – Banyak tidur atau kurang
vaskular tidur
• Pada wanita migren lebih – Faktor herediter
banyak ditemukan dibanding – Faktor kepribadian
pria dengan skala 2:1.
224. Nyeri Kepala Migrain
Nyeri
Kepala

Neuralgia kranial,
Nyeri Kepala
Primary nyeri wajah
Sekunder
Headache sentral atau
(Idiopatik) (Etiologi
perifer dan nyeri
diketahui)
kepala lainnya

Trigeminal
Tension Type Autonomic
Migraine Cephalgias
Headache
(TAC)

Cluster
Headache

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Grades of Migraine
• Mild migraine:
– may be one attack per month throbbing but tolerable
headache lasting upto 8 hours which does not incapacitate
the individual
• Moderate migraine:
– The throbbing headache more intense, lasts for 6-24 hours,
nausea/vomiting and other features are more prominent
patient is functionally impaired. One or more attacks
occur per month.
• Severe migraine:
– 2-3 or more attacks per month of severe throbbing headache
lasting 12-48 hours, often accompanied by vertigo, vomiting
and other symptoms; the subject grossly incapacitated during
the attack.
1: Pascual J. Recent advances in the pharmacological management of migraine. F1000 Med Rep. 2009 May 8;1. pii: 39. doi: 10.3410/M1-39. PubMed PMID: 20948742;
PubMed Central PMCID: PMC2924709.
Alur Tatalaksana Migrain Akut

Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
Penatalaksanaan Migrain
• Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari
stimulasi sensoris berlebihan.
• Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang
dengan dikompres dingin
• Pengobatan Abortif :
1. Analgesik spesifik  analgesik khusus untuk nyeri kepala.
• Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk
dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan
golongan Triptan (agonis selektif reseptor serotonin / 5-HT1)
• Ergotamin dan DHE  migren sedang sampai berat apabila
analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi
efek samping.
• Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah
absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan,
hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal
ginjal.
IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
225. Hypertension Emergency

• Management:
• Management should be done in hospital, however primary care
service can give oral antihypertension as a first aid.
• Parenteral drug is given via bolus or infusion ASAP.
• Drugs:
• ACE-I (Captopril): sublingual 6,25-50 mg
• Nicardipine 10-30 mcg/kgBW bolus.
• Clonidine 900 mcg into 500 mL of 5% glucose infusion, given in 12
drops/minute.
• The JNC 7th states the initial goal of therapy in hypertensive
emergencies is to reduce mean arterial BP by no more than
25% (within minutes to 1 hour), then, if stable, to 160/100 to
110 mmHg within the next 2 to 6 hours.
Ringkasan eksekutif krisis hipertensi. Perhimpunan hiperensi Indonesia
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/27/treatment/step-by-step.html.
CPP = MAP – ICP
Tidak disarankan menggunakan obat yang menurunkan MAP terlalu cepat karena akan
menyebabkan CPP turun sehingga suplai oksigen ke otak menurun. Contoh dari salah satu
obat yang bisa menyebabkan hal ini adalah sodium nitroprusside
226. Koma
• Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah
atau keadaan ‘unarousable unresponsiveness’, yaitu
keadaan dimana dengan semua rangsangan, penderita
tidak dapat dibangunkan.
• Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat
daruratan medik yang paling sering ditemukan/dijumpai.
• Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan
klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta
membutuhkan tindakan penanganan yang cepat dan tepat,
dimana saja dan kapan saja.

Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management


Penyebab dapat disingkat “SEMENITE”
• S ; Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan
maupun infark)
• E ; Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus,
jamur, dll
• M ; Metabolik – akibat gangguan metabolic yang
menekan/mengganggu kinerja otak. (gangguan hepar,
uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).
• E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti
kalium, natrium).
• N ; Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder
yang menyebabkan penekanan intracranial. Biasanya
dengan gejala TIK meningkat (papiledema, bradikardi,
muntah). I ; Intoksikasi – keracunan.
• T ; Trauma – kecelakaan.
• E ; Epilepsi.
Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management
Gambaran Klinis Berdasarkan Letak
Lesi
Central
Neurogenic
hiperventilation

Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management


Pola Pernapasan
• Biot’s breathing (aka cluster
respiration)
• A respiratory pattern
characterized by periods or
“clusters” of rapid respirations of
near equal depth or VT followed
by regular periods of apnea.
• Causes:
– Biot’s breathing can be caused by
damage to the medulla oblongata by
stroke (CVA) or trauma,
– pressure on the medulla due to uncal
or tentorial herniation
– can also be caused by prolonged
opioid abuse.
• Apneustic • Cluster Breathing
• End-inspiration pause before • Groups of irregular breathing
expiration. with periods of apnea that
• Reflection of Pontine occurs at irregular intervals
damage • reflection of lesions in the
• Central Neurogenic low pons or upper medulla
• Exhibits very deep and rapid • Kussmaul
respirations • Deep, rapid respiration with no end-
expiratory pause.
• Usually seen with lesions of • Causes profound hypocapnia
the midbrain and upper pons • Seen in profound metabolic
• Respirations are generally acidosis, i.e. diabetic ketoacidosis
regular and the PaCO2
decrease due to the
hyperventilation

http://www.georgiahealth.edu/itss/edtoolbo
x/7370/pulmonary/abnormbreathing.swf
ypes of brain herniation [3] 1) Uncal 2) Central
3) Cingulate 4) Transcalvarial 5) Upward 6)
Tonsillar
227. Neuralgia Trigeminal
228-229. HNP
• HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya
nucleus pulposus dari discus melalui robekan annulus
fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla
spinalis atau mengarah ke dorsolateral menakan saraf
spinalis sehingga menimbulkan gangguan.

Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Gejala Klinis
• Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke
bawah (mulai dari bokong, paha bagian belakang, tungkai
bawah bagian atas). Dikarenakan mengikuti jalannya N.
Ischiadicus yang mempersarafi kaki bagian belakang.
1. Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut,
kemudian ke tungkai bawah. (sifat nyeri radikuler).
2. Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk,
mengangkat barang berat.
3. Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 – S1
(garis antara dua krista iliaka).
4. Nyeri Spontan, sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi
berbaring ke duduk nyeri bertambah hebat. Sedangkan bila
berbaring nyeri berkurang atauhilang.

Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Pemeriksaan
• Motoris
– Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi
panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat.
– Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.
• Sensoris
– Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat.
– Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.

• Tes-tes Khusus
1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT)
– Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90°.
2. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial
dari ibu jari kaki (L5).
3. Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki
(L5), atau plantarfleksi (S1).
4. Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit
5. Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki
6. Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan
indikasi untuk segera operasi.
7. Kadang-kadang terdapat anestesia di perincum, juga merupakan indikasi untuk
operasi.
8. Tes kernique
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi
– Foto X-ray tulang belakang. Pada penyakit diskus, foto ini normal
atau memperlihatkan perubahan degeneratif dengan
penyempitan sela invertebrata dan pembentukan osteofit.
– Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan
lokasi dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka
myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus.
– CT scan untuk melihat lokasi HNP
– Diagnosis ditegakan dengan MRI setinggi radiks yang dicurigai.
• EMG
– Untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer

Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Tatalaksana
• Medikamentosa: anti nyeri NSAID/ opioid, muscle relaxant, transquilizer.
• Fisioterapi
– Tirah baring (bed rest) 3 – 6 minggu dan maksud bila anulus fibrosis masih
utuh (intact), sel bisa kembali ke tempat semula.
– Simptomatis dengan menggunakan analgetika, muscle relaxan trankuilizer.
– Kompres panas pada daerah nyeri atau sakit untuk meringankan nyeri.
– Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila didapatkan kelainan neurologis,
indikasi operasi.
– Bila tidak ada kelainan neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat
benda berat, tidur dengan alas keras atau landasan papan.
– Fleksi lumbal
– Pemakaian korset lumbal untuk mencegah gerakan lumbal yang berlebihan.
– Jika gejala sembuh, aktifitas perlahan-lahan bertambah setelah beberapa hari
atau lebih dan pasien diobati sebagai kasus ringan.
• Operasi

Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
230. Hidrosefalus
• Hidrosefalus berasal dari
kata hidro yang berarti air
dan chepalon yang berarti
kepala.
• Hidrosefalus dapat
didefinisikan secara umum
sebagai suatu keadaan
terjadinya penumpukan LCS
yang menyebabkan dilatasi
sistem ventrikel.
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
• Hidrosefalus pada bayi (Tipe Hidrosefalus pada dewasa :
congenital/infantil)
(timbul manifestasi hipertensi
– Kepala membesar
intrakranial)
– Sutura melebar
• Sakit kepala
– Kulit kepala licin dan • Mual, muntah
mengkilap dan tampak • Fatigue
vena- vena • Penurunan kognitif
superficial menonjol • Papil edema; ketajaman
– Mata kearah bawah penglihatan akan menurun dan
(sunset phenomena) lebih lanjut dapat mengakibatkan
– Perkusi kepala : cracked kebutaan bila terjadi atrofi papila
pot sign atau seperti N.II.
– semangka masak. • Gaya berjalan tidak seimbang
• Gangguan kesadaran
CT Scan
231. Parkinson
• Parkinson:
– Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
– Gangguan kronik progresif:
• Tremor  resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
• Rigidity  cogwheel phenomenon, hipertonus
• Akinesia/bradikinesia  gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
• Postural Instability  berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik
– Gerakan involunter ditandai secara khas oleh
gerakan melempar dan menjangkau keluar yang
kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis.
– Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington
– Gangguan herediter autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif
sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10
± 12 tahun
Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik Gejala Spesifik

• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :

1. Rigiditas : peningkatan tonus otot


2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Pull-test:
• Berdiri di belakang penderita, kemudian
berikan sedikit tarikan pada bahu
penderita.
• Lalu perhatikan ada atau tidaknya gerakan
menstabilkan postur tubuhnya.
• Hilangnya refleks ini akan memberikan
gambaran sikap jatuh penderita seolah-olah
akan duduk di kursi atau biasa disebut
sitting en bloc.
Penatalaksanaan Parkinson
• Prinsip pengobatan parkinson adalah
meningkatkan aktivitas dopaminergik di
jalur nigrostriatal dengan memberikan :
– Levodopa  diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
– Antagonis dopamine
– Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecol-
O-methyltransferase
– Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005


232. Tension Headache
Nyeri Kepala Tension

•Nyeri kepala ini sering ditemui dalam praktek sehari – hari


•Prevalensi antara 30 – 78%
• dapat dibagi lagi menjadi 4 kelas yaitu :
1. Infrequent episodic tension type headache
2. Frequent episodic tension type headache
3. Chronic tension type headache
4. Probable tension type headache

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis infrequent tension type
headache
Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul <1 hari
per bulan dan memenuhi kriteria A - E
A. Berlangsung selama 30 menit C. Memenuhi kedua kriteria
hingga 7 hari
berikut:
B. Setidaknya terdapat dua dari
empat karakteristik a. Tidak terdapat mual
- Lokasi bilateral atau muntah
- Terasa tertekan atau terikat b. Tidak terdapat
- Intensitas ringan – sedang fotofobia atau
- Tidak dipengaruhi oleh fonofobia
aktivitas fisik rutin seperti
berjalan atau menaiki
tangga

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis frequent tension type headache
Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul dalam 1 -
14 hari per bulan selama > 3bulan dan memenuhi kriteria A - E
A. Berlangsung selama 30 menit C. Memenuhi kedua kriteria
hingga 7 hari
berikut:
B. Setidaknya terdapat dua dari
empat karakteristik a. Tidak terdapat mual
- Lokasi bilateral atau muntah
- Terasa tertekan atau terikat b. Tidak terdapat
- Intensitas ringan – sedang fotofobia atau
- Tidak dipengaruhi oleh fonofobia
aktivitas fisik rutin seperti
berjalan atau menaiki
tangga

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Tatalaksana
• TTH umumnya mempunyai respon yang baik
dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen,
parasetamol / asetaminofen, dan aspirin.
• Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara
luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine
seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic).
• Pengobatan lain pada TTH
termasuk amitriptyline / mirtazapine /
dan sodium valproate (sebagai profilaksi).
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
233. Bell’s palsy
Parese N. VII

P S
e e
r n
i t
f r
e a
r l
Bell’s Palsy
Penatalaksanaan
• Kortikosteroid. Prednis
on, dimulai dengan
60mg/hari, diturunkan
dosisnya (tappering)
dalam 10 hari.
• Antivirus. Asiklovir
400mg lima kali sehari
selama 7 hari atau
valasiklovir 1 g/hari
selama 7 hari. Tetapi,
terapi ini tidak berguna
jika diberikan setelah
onset penyakit lebih
dari 4 hari.
Tics Facialis Tic pada wajah adalah salah satu jenis dari kelainan motorik otot mimik
wajah akibat spasme otot yang tak bisa dikendalikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh gangguan pada satu atau lebih dari otot mimik wajah
yang mengakibatkan mata sering berkedip dan mengerutkan hidung.
Walaupun terjadi secara tak terkontrol, beberapa penderita gejala Tic
ini dapat mengendalikan gerakan tersebut secara sadar.
lagoftalmos kelopak mata tidak dapat menutup sempurna oleh karena kerusakan
N.VII

Spasme Hemifacial spasm (HFS) is characterized by tonic clonic contractions of


hemifasialis the muscles innervated by the ipsilateral facial nerve. Compression of
the facial nerve by an ectatic vessel is widely recognized as the most
common underlying etiology.
234. Bone Metastasis
Etiologi: Radiologis:
• Karsinoma prostat (50% kasus) • X-rays (pemeriksaan awal)
• Karsinoma mammae (2/3
kasus) • CT-Scan
• Karsinoma paru (1/3 kasus) • MRI
• Karsinoma ginjal • Bone Scintigrafi

Gejala
• Nyeri tulang
• Fraktur Patologis
• Penekanan medula spinalis
• Peninggian kadar kalsium
dalam darah
• Gejala lainnya
PEMERIKSAAN
PENUNJANG

• Foto tulang konvensional

Gambar 5 : Radiografi lateral yang menunjukkan Gambar 6: Osteolitik metastasis di tulang paha
campuran metastase tulang osteolitik - distal dari seorang wanita 51 tahun dengan
sklerotik dalam cranium karsinoma payudara

191
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Gambaran CT Scan

Gambar 7: CT Scan axial menunjukkan 2 massa


bulat , campuran lesi osteolitik - sklerotik dalam
tubuh vertebral toraks dari seorang wanita 44
tahun dengan karsinoma paru
192
Diagnosis Keterangan
Ependymoma Tumor glial yang berasal dari sel ependymal dalam sistem saraf pusat
(SSP). Jenis tumor ganas otak tersering kedua pada anak-anak.
Meningioma Tumor yang muncul pada selaput pelindung otak dan saraf tulang
belakang (meningens). Lebih sering terjadi di otak. Meningioma bisa
bersifat jinak, ganas, ataupun atipik (di antaranya), tapi lebih sering
tumor ini bersifat jinak.
Syringomyelia Munculnya kista berisi cairan (syrinx) dalam sumsum tulang
belakang. Seiring waktu, kista bisa membesar, merusak sumsum
tulang belakang dan menyebabkan rasa sakit, kelemahan dan
kekakuan.
235. Spondylolisthesis
• Spondylolisthesis
• pergeseran vertebra kedepan terhadap segment yang
lebih rendah, yang biasa terjadi pada lumbal vertebra
ke 4 atau ke 5 akibat kelainan pada pars interartikularis.
• Spondylolisy
• interupsi yang terjadi dibagian pars interarticularis,
namun dapat terjadi juga dibagian lateral.
• Spondilitis
• Inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan
oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi, imunitas.

Vookshoor A, Spondilolisthesis, spondilosis and spondilysis


• Nyeri radikuler, seperti
tersengat listrik yang menjalar
Gejala
Spondylolisthesis
dari punggung ke tungkai.
• Baal, kesemutan
• Kelemahan otot tungkai
bawah
• Inkontinensia urin/ alvi, dapat
merupakan gejala cauda
equina syndrome
• Lower back pain
• Muscle tightness (tight
hamstring muscle)
• Stiffness
• Tenderness in the area of the
slipped disc
Spondylolysis
• Spondylolysis
– Also known as pars defect
– Also known as pars fracture
– Dengan atau tanpa
spondylolisthesis
– Fraktur atau defek pada
vertebra, biasanya pada
bag.posterior, paling sering
pada pars interarticularis
236. Ruptur Uretra
Posterior Anterior
Etiologi Terbanyak disebabkan fraktur tulang Tersering Straddle Injury
pelvis
Gambaran • Perdarahan per uretra • Perdarahan per uretra
Khas • Retensi urin • Butterfly hematom
• DRE: Floating prostate • Kadang retensi urin
Uretrografi Ekstravasi kontras pada uretra pars Kontusio: (-)
prostato-membranasea
Ruptur: Eksravasasi (+) bulbosa
Tindakan Akut: Sitostomi Kontusio: observasi 4-6bln,
uretrografi ulang
Stabil:
• Primary endoscopic realignment, Ruptur:
1mgg pasca ruptur • Sistostomi 1 bln
• Urteroplasti, 3 bulan pasca ruptur • Uroflometri, setelah 3 bln,
• Rail roding catheter uretrogram. Striktura,
lakukan sachse
Komplikasi • Striktur uretra • Striktur uretra
• Disfungsi ereksi
• Inkontinensia urin
Ruptur Parsial

Ruptur Total

Floating Prostate
237. Ruptur Anterior Cruciatum Ligament
• Anterior Cruriatum
Ligament adalah salah satu
dari empat major ligament
di lutut. ACL berfungsi
sebagai stabilitator dan
pembatas gerak pada lutut.
• Ruptur ACL ( Anterior
Cruriatum Ligament ) adalah
robeknya satu ligamen pada
lutut yg menghubungkan
tulang kaki bg atas ( distal
femur ) dan tulang kaki bg
bawah ( proksimal tibia )
• 80% of knee ligament injury
is on ACL.
Klasifikasi
Etiologi
Manifestasi Klinis
• Popping sound • Anterior drawer test (+)
• Bengkak dan nyeri • Hipotrofi-atrofi (kronik)
• Lutut tidak stabil
Symptoms
• Pain, often sudden and severe
• A loud pop or snap during the injury
• Swelling
• A feeling of looseness in the joint
• Inability to put weight on the point without pain
• In ACL injury, knee is able to flexion but unable
to extension. In PCL injury, knee is in extension
position.
238. Kista Ganglion
• Degenerasi kistik jaringan
periartikuler, kapsul sendi,
atau pembungkus tendo
• Tumor jaringan lunak tersering
pada tangan dan Pergelangan
Tangan  60 %
• Prediposisi dorsal manus
• Menempel pada Kapsul,
tendon, atau tendon sheath
• Wanita > Pria
• 70% terjadi pada dekade 2 - 4
• Terbentuk tunggal dan pada
tempat yang amat spesifik
Informasisehat.files.wordpress.com/2010/05/ganglion-cyst
Location According to anatomy
• They can occur in numerous locations but most
commonly (70-80% of cases) occur in relation
to the hand or wrist (ganglion cysts of the hand
and wrist) in this location, notable specific sub
sites include 1:
– dorsum of wrist: ~60% of all hand ganglion cysts
– volar aspect of wrist: ~20%
– flexor tendon sheath: ~10%
– in association with the distal interphalangeal joint:
~10%

Other notable locations include:


• knee, e.g. ACL ganglion cyst
• spinoglenoid notch: spinoglenoid notch
ganglion cyst
• ankle: foot
Tanda dan Gejala Anatomi
• Ada Riwayat Trauma (10%)
• Kista utama bisa tunggal
• Bisa muncul tiba-tiba atau
berkembang dalam hitungan atau multilokul
bulan/tahun
• Tampak halus, putih, dan
• Mengecil dalam keadaan istirahat
• Membesar dengan aktifitas translusen
• Kadangkala bisa menghilang
secara spontan
• Rekurensi sangat jarang
(complete exicion)
• > 50%  eksisi tidak komplit
• Biasanya tidak nyeri, kecuali ada
penekanan pada saraf.
Diagnosis Banding: Soft tissue tumor
• The terminology • Malignant
constitute a large and – Sarcoma
heterogeneous group of • Fibrosarcoma
neoplasms • Rhabdomyosarcoma

• Can be benign or • Benign


malignant – Lipoma
– Fibroma
– Leiomyoma
– etc
Baker’s Cyst
 A Chronic Knee Joint effusion
 A Baker cyst, also called a
popliteal cyst
 a synovial cyst located posterior
to the medial femoral condyle
between the tendons of the
medial head of the gastrocnemius
and semimembranosus muscles.
 It results from the abnormal
collection of fluid inside the
gastrocnemio-semimembranosus
bursa.
 A Baker cyst is lined by a true
synovium, as it is an extension of
the knee joint.
Symptoms of Baker’s Cyst
Symptoms Frequency Frequency

Popliteal Mass or Swelling 29/38 76%

Aching 12/38 32%

Knee Effusion 12/38 32%

Thrombophlebitis 5/38 13%

Clicking of the knee 4/38 11%

Buckling of the knee 4/38 11%

Locking of the knee 1/38 3%


239. Spondilitis TB
Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior
vertebra Tata Laksana
• Sering terjadi pada torakolumbal • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Pada usila: akibat jatuh terduduk konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki
• Fraktur patologis: spondilitis TB/
Osteoporosis
240. Penanganan Fraktur D

1. Tempat kejadian (Injury Disarter) 

Masyarakat, Sosial worker, Polisi,

petugas medis dll

2. Pra Hospital (Transportation)

3. Hospital  Emergency Room, Operating

Room, ICU, Ward Care

4. Rehabilitasi  Physical, Psycological


Emergency Orthopaedi
 Jika tak ditolong segera  bisa terjadi †

1. Fraktur terbuka

 Fraktur disertai hancurnya jaringan (Major crush


injury)

 Fraktur dengan amputasi

2. Fraktur dengan ggn neurovaskuler (Compartmen


Syndrome)

3. Dislokasi sendi
Pertolongan Pertama (First Aid)
 Life Saving  ABCD
 Obstructed Airway
 Shock : Perdarahan Interna /External
Balut tekan, IV fluid
 Limb Saving
 Reliave pain Splint & analgetic
 Pergerakan fragmen fr
 Spasme otot
 Udema yang progresif.
 Transportasi penderita Dont do harm
Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
 R 1 = Recognizing = Diagnosa
 Anamnesa, PE, Penunjang
 R 2 = Reduction = Reposisi
 Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum
fraktur
 R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi
 Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi
 R 4 = Rehabilitation
 Mengembalikan fungsi kesemula
Retaining (Imobilisasi)
 Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang
menyambung

 Kenapa ssd reposisi harus retaining

 Manusia bersifat dinamis

 Adanya tarikan tarikan otot

 Agar penyembuhan lebih cepat

 Menghilangkan nyeri
Cara Retaining (Imobilisasi)
 Isitrahat

 Pasang splint / Sling

 Casting / Gips

 Traksi  Kulit atau tulang

 Fiksasi pakai inplant


Sling / Split
 Sling : Mis Arm Sling

 Splint/ Pembidaian
Cara Imobilisasi
 Casting / Gips

 Hemispica gip

 Long Leg Gip

 Below knee cast

 Umbrical slab
Retaining (Imobilisasi)
Traksi

 Cara imobilisasi dengan menarik

bahagian proksimal dan distal

secara terus menerus.

1. Kulit

2. Tulang
Retaining (Imobilisasi)
 Fiksasi pakai inplant

■ Internal fikasasi

■ Plate/ skrew

■ Intra medular nail  Kuntsher Nail

■ Ekternal fiksasi
241. Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
242. Epididymo-Orchitis
• Epididimo orkitis adalah inflamasi akut yang
terjadi pada testis dan epididimis yang
memiliki ciri yaitu nyeri hebat dan terdapatnya
pembengkakan di daerah belakang testis yang
juga disertai skrotum yang bengkak dan
merah.
• Cara membedakan orchitis dengan torsio
testis yaitu melalui Prehn Sign yaitu membaik
jika scrotum yang sakit dinaikkan.
Etiologi
• Dapat disebabkan Bakteri dan virus
• Virus yang paling sering menyebabkan orkitis adalah virus gondong (mumps)
• Sekitar 15-25% pria yang mengalami gondongan (parotitis) orkitis ketika masa setelah
pubernya
• Orkitis juga ditemukan pada 2-3% pria yang menderita bruselosis.
• Orkitis sering dikaitkan dengan infeksi prostat atau epidedemis, serta
merupakan manifestasi dari penyakit menular seksual (gonore atau klamidia).
• Faktor resiko untuk orkitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular
seksual adalah:
a. Imunisasi gondongan yang tidak adekuat
b. Usia lanjut (lebih dari 45 tahun)
c. Infeksi saluran kemih berulang
d. Kelainan saluran kemih
• Sedang untuk faktor resiko orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular
seksual antara lain :
a. Berganti-ganti pasangan
b. Riwayat penyakit menular seksual pada pasangan
c. Riwayat gonore atau penyakit menular seksual lainnya
Gejala dan Tanda Diagnosis
a. Pembengkakan skrotum • Diagnosis ditegakkan berdasarkan
b. Testis yang terkena terasa berat, gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada • Terjadi pembengkakan kelenjar
testis yang terkena getah bening di selangkangan dan
d. Demam di testis yang terkena.
e. Keluar nanah dari penis • Pemeriksaan lain yang bias
f. Nyeri ketika berkemih / disuria dilakukan adalah :
g. Nyeri saat berhubungan seksual / saat – Analisa air kemih
ejakulasi – Pembiakan air kemih
h. Nyeri selangkangan – Tes penyaringan untuk klamidia dan
i. Nyeri testis, bias saat mengejan atau gonore
ketika BAB – Pemeriksaan darah lengkap
j. Semen mengandung darah – Pemeriksaan kimia darah
Tatalaksana
• Jika penyebabnya bakteri maka diberikan antibiotik.
Selain itu diberikan obat pereda nyeri dan anti
peradangan.
• Tapi jika penyebabnya virus, hanya diberikan obat
anti nyeri.
• Penderita sebaiknya menjalani tirah baring.
• Skrotumnya diangkat dan dikompres dengan es.
243. Hemoroid
244. Hemopneumothorax
• Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam
rongga pleura.
245. Prostatitis Akut Bakterial

• Etiologi : E coli, Pseudomonas, Enterococcus.


• Patogenesis  route of infection
1. Infeksi asendens dari urethra
2. Refluks urin yang terinfeksi kedalam saluran
kelenjar prostat.
3. Invasi kuman dari rektum baik langsung
maupun limfogen
4. Infeksi hematogen
Tanda- tanda & gejala klinis
Terapi
• demam mendadak, menggigil
• A.B.
• nyeri pada perineum, pinggang
– TMP-SM (160-800mg)
• urgensi, frekwensi, nokturi, 2x1
disuri – Gentamisin
• obstruksi bladder out let – Tobramisin
• mialgia, arthralgia • Bed rest
• RT : Prostat membesar, lunak, • analgetik
indurasi, nyeri
• Bila retensi  kateter
Laboratorium • Massage Prostat 
kontraindikasi
• lekositosis
• piuria, mikroskopik hematiri,
bakteriuri
• discharge purulent setelah R.T.
246. Mastitis
• Mastitis peradangan payudara, yang dapat
disertai atau tidak disertai infeksi.
• Biasanya menyertai laktas
• Pengeluaran ASI yang tidak efisien
penyebab
• Mastitis masih dianggap sama dengan infeksi
payudara menyarankan wanita tersebut
untuk berhenti menyusui, yang sebenarnya
tidak perlu.
Etiologi Faktor Predisposisi
• Dua penyebab utama mastitis • Umur
stasis ASI dan infeksi.
• Paritas
• Stasis ASI primer
• Serangan sebelumnya
• Mastitis diakibatkan stagnasi ASI
di dalam payudara • Gizi
• Tanpa pengeluaran ASI yang • Pekerjaan di luar rumah
efektif mastitis noninfeksiosa • Trauma
mastitis infeksiosa abses.

Tanda dan Gejala Mastitis Pemeriksaan Fisik


• Payudara sangat nyeri • Adanya benjolan pada
• Merah payudara yang teraba keras,
• Membengkak berbatas tegas dengan
• Keras permukaan rata, dan
• Biasanya hanya satu payudara melekat pada jaringan.
yang terkena.
• Wanita sering demam dan • Nyeri tekan (+)
merasa tidak sehat. • Demam
Abses Mammae
• Kasus yang jarang terjadi • Etiologi
• komplikasi dari mastitis • Dominan Staphylococcus
• dapat terjadi selama aureus
menyusui • Staphylococcus epidermidis
• biasanya pada primipara. • Proteus mirabilis.
• Gejala klinis: • Risiko meningkat pada
• Rubor, calor, dolor, functio orang-orang dengan
laesa. Diabetes mellitus
• Pemeriksaan penunjang
menyerupai Ca
• Epidemiologi:
• 5-11% wanita menyusui
dengan mastitis terinfeksi.
http://emedicine.medscape.com/
Mastitis & Abses Payudara: Tatalaksana
Tatalaksana Umum Abses Payudara
• Tirah baring & >> asupan cairan • Stop menyusui pada payudara yang
• Sampel ASI: kultur dan diuji sensitivitas abses, ASI tetap harus dikeluarkan
Tatalaksana Khusus • Bila abses >> parah & bernanah 
• Berikan antibiotika : antibiotika
– Kloksasilin 500 mg/6 jam PO , 10-14 hari • Rujuk apabila keadaan tidak
ATAU
membaik.
– Eritromisin 250 mg, PO 3x/hari, 10-14
hari • Terapi: insisi dan drainase
• Tetap menyusui, mulai dari payudara sehat. • Periksa sampel  kultur resistensi
Bila payudara yang sakit belum kosong dan pemeriksaan PA
setelah menyusui, pompa payudara untuk • Jika abses diperkirakan masih banyak
mengeluarkan isinya. tertinggal dalam payudara, selain
• Kompres dingin untuk << bengkak dan nyeri. drain, bebat juga payudara dengan
Berikan parasetamol 3x500mg PO elastic bandage  24 jam tindakan
• Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra  kontrol kembali untuk ganti kassa.
yang pas.
• Berikan obat antibiotika dan obat
• Lakukan evaluasi setelah 3 hari. penghilang rasa sakit
Nipple
discharges
Galaktokel
• Kista berisi susu yang terjadi pada
wanita yang sedang hamil atau
menyusui.
• Tidak bersifat seperti kanker.
• Biasanya pasien mengeluhkan adanya
benjolan, dapat digerakkan,
walaupun dapat juga keras dan susah
digerakkan.
• Penatalaksanaan: tanpa melakukan
tindakan apapun.
• Apabila diagnosis masih diragukan
atau galaktokel menimbulkan rasa
tidak nyaman, maka dapat dilakukan
drainase dengan aspirasi jarum halus.
247. Torsio Testis
http://emedicine.medscape.com/article/ http://en.wikipedia.org/wiki/

Male Genital Disorders


Disorders Etiology Clinical
Testicular torsion Intra/extra-vaginal Sudden onset of severe testicular pain followed by
torsion inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal
upset with nausea and vomiting.
Hidrocele Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen
blood blockage in the testicle,Transillumination +
spermatic cord
Inflammation or
injury

Varicocoele Vein insufficiency Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is


often described as feeling like a bag of worms
Hernia skrotalis persistent patency of Mass in scrotum when coughing or crying
the processus
vaginalis
Chriptorchimus Congenital anomaly Hypoplastic hemiscrotum, testis is found in other
area, hidden or palpated as a mass in inguinal.
Complication:testicular neoplasm, subfertility,
testicular torsion and inguinal hernia
248. Colo-rectal Cancer
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden
dan mortalitas.

Insidensi tahun 2002 : >1 juta, dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%.

Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia
baru.

Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang
muda.

Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid.

96% kasus ca kolorektal berupa adenocarcinoma


ETIOLOGI
Idiopatik

Faktor predisposisi
• Polyposis familial
• Defisiensi Imunologi
• Inflamatory bowel disease : Kolitis ulseratifa, granulomatosis
• Diet (rendah serat, tinggi protein hewani, lemak dan
karbohidrat refined) mengakibatkan perubahan pada flora
feces dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-
zat ini bersifat karsinogenik.
PATOFISIOLOGI KANKER Colo-Rectal

Fisiologi
• Sel epitel mukosa rektum mengalami regenerasi setiap 6 hari.

Patologis

Perubahan
Cegah
genetik :
Aktivasi K- apoptosis
inaktivasi
Replikasi tak ras onkogen dan
gen
terkontrol dan mutasi memperpan
adenomato
gen p53 jang hidup
us polyposis
sel
coli (APC)
DIAGNOSA KLINIS

1. Anamnesa
•Diare palsu atau “spurious diarrhoea”
•BAB berlendir
•Feses pipih seperti kotoran kambing
•Penurunan berat badan
•Perdarahan bercampur tinja
• Perbedaan gejala dan karsinoma kolorektal
berdasarkan letaknya
Kolon kanan Kolon kiri Rektum

Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis


Karena
Nyeri Karena obstruksi Tenesmus
penyusupan
Tenesmi terus-
Defekasi Diare Konstipasi progresif
menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Samar atau
Darah pada feses Samar Makroskopis
makroskopis
Feses Normal Normal Perubahan bentuk
Dispepsia Sering Jarang Jarang
Memburuknya
Hampir selalu Lambat Lambat
KU
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat
Colon-Rectum
• Anus
– Dari Linea Dentata sampai 3-4 cm
dari linea dentata (Anocutan Line)
• Rectum
– Mulai dari 3-4 cm dari Linea
Dentata sampai 15 cm ke
proksimal
• Rectosigmoid junction is the
point at which the three tenia
fan out and form a complete
outer longitudinal layer. Linea Dentata

• Carcinoma proximal to this


pointcolonic ca, distal to this
pointrectal
2. Pemeriksaan Fisik
Cari kemungkinan
Colok dubur dapat
metastase (pembesaran
diketahui :
KGB atau hepatomegali)
Adanya tumor rektum

Lokasi dan jarak dari anus

Posisi tumor, melingkar /


menyumbat lumen

Perlengketan dengan jaringan


sekitar
3. Pemeriksaan penunjang
Biopsi

Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA


242, CA 19-9
uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di
jaringan.

Endoskopi
• Sigmoidoskopi
• Kolonoskopi
• Virtual colonoscopy (CT colonography)

Imaging Tehnik :
• MRI, CT scan, transrectal ultrasound
4. Klasifikasi karsinoma colo-rectal

• Stadium :
– 0 : carcinoma in situ. – III: Dukes C rectal cancer.
– I : Dukes A rectal cancer. – IV: Dukes D rectal cancer
– II: Dukes B rectal cancer.
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)

TNM Modified Deskripsi


Stadium Dukes
Stadium
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
Penatalaksanaan

Penanganan
Pembedahan Radiasi Kemoterapi Jangka
Panjang
Pembedahan

stadium dini (polip 


Eksisi lokal
polypectomy)

Low anterior
di tengah atau 1/3 atas rektum
resection (LAR)

Abdominal perineal Massa tumor < 5 cm dari


resection (Miles
procedure) anokutan (rektum 1/3 distal)
Radiasi
Tujuan : Jenis

• Mengurangi risiko rekurensi • Eksternal radiasi (external


lokal beam therapy)
• Meningkatkan kemungkinan • Internal radiasi (brachytherapy,
prosedur preservasi sfingter implant radiation)
• Meningkatkan tingkat
resektabilitas pada tumor yang
lokal jauh atau tidak resektabel
• Mengurangi jumlah sel tumor
yang viable sehingga
mengurangi kemungkinan
terjadinya kontaminasi sel
tumor dan penyebaran melalui
aliran darah pada saat operasi
Kemoterapi
Untuk tumor stadium 2-3

Fluorouracil (5-FU) + leucovorin  6-12 bulan

Pertimbangan kemoterapi ;
• usia muda
• histologi derajat keganasan tinggi
• invasi ke saluran limfe dan/atau vaskuler
• obstruksi atau perforasi pada waktu diagnosis
• faktor prognosis molekuler seperti ekspresi timidilat sintase,
p53, dan adanya instabilitas mikrosatelit
Penanganan Jangka Panjang
Evaluasi
deteksi tumor primer baru atau metastase
klinik

Rontgen deteksi rekurensi

deteksi adanya metachronous tumor,


Kolonoskopi suture line rekurensi atau kolorektal
adenoma

identifikasi kemungkinan tempat rekurensi,


CEA dan biasanya sangat membantu dalam
mengidentifikasi metastasis ke hepar
Prognosa
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk
kanker rektal adalah sebagai berikut :

Stadium I - 72%

Stadium II - 54%

Stadium III - 39%

Stadium IV - 7%
Awal sering asimtomatik

Sign Symtoms
Anemia defisiensi besi
Letak kiri obstruksi >>, kanan < •Koilonychias
•Glossitis
•Cheilitis

konstipasi, mual, nyeri abdomen dan


distensi abdomen, kadang disertain Hipoalbumin
diare intermitten

Letak distal pendarahan lebih nyata


BU  melemah/meningkat
dibanding letak prox

kelemahan seluruh badan, cepat lelah,


sesak atau palpitasi Cappel MS. 2005
Riwanto I. Hamami AH. Pieter J. Tjambolang T. Ahmadsyah
I. 2010
287
Pemeriksaan penunjang
Fecal Occult Blood Stool DNA (sDNA)
Lab Darah
Test (FOBT) test
• guaiac-based • Mendeteksi • DL
(gFOBT) adanya mutasi • LFT
• immunochemical gen • Tumor marker 
tests (iFOBT) • Jika (+) CEA, CA 19-9
• Jika (+) disarankan untuk
disarankan untuk colonoscopy
colonoscopy
American Cancer Society. 2013. Colorectal Cancer. Atlanta Georgia

Konsentrasi CEA dalam


darah
(Underwood JCE. 2007)

288
Pemeriksaan penunjang

MRI (Magnetic
Colon in loop Resonance Foto thorax
Imaging)

Positron Emission
CT Scan abdomen
Sigmoidoscopy Tomography
dengan kontras
(PET) scan

Colon in loop:
adenocarcinoma colon
Colonoscopy USG abdomen Angiography assending
(Fauci AS. Kasper DL. 2008)

289
249. Luka Bakar
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
250. Balanitis
Definisi
• Balanitis adalah radang pada glans penis
• Posthitis adalah radang pada kulup.
• Radang pada kepala penis dan kulup (balanoposthitis) bisa juga terjadi.
• Pria yang mengalami balanoposthitis mengalami peningkatan resiko
berkembangnya balanitis xerotica obliterans, phimosis, paraphimosis, dan
kanker di kemudian hari.
Etiologi
• Penyebab paling umum dari balanitis
adalah kebersihan yang buruk.
• Lebih sering pada pasien dengan fimosis
Gejala
• Penderita merasa nyeri dan gatal, warna
kepala penis kemerahan dan bengkak.

Pengobatan
• Salah satu pengobatan terbaik balanitis adalah
menjaga kebersihan di kepala penis dan antibiotik.
• Saat fase akut tidak dilakukan tindakan operasi
• Jika sudah terlanjur kulup menutup maka harus
dilakukan penyunatan.
Balanoposthitis
• Balanitis (inflammation of
the glans)
• Posthitis (inflammation of
the foreskin)
• More likely to affect boys
under four years of age
• Approximately 1 in every 25
boys and 1 in 30
uncircumcised males (at
some time in their life
• Complication:
– Often causes later adhesions
or phimosis
http://emedicine.medscape.com/article/ http://en.wikipedia.org/wiki/

Male Genital Disorders


Disorders Etiology Clinical
Testicular torsion Intra/extra-vaginal Sudden onset of severe testicular pain followed by
torsion inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal
upset with nausea and vomiting.
Hidrocele Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen
blood blockage in the testicle,Transillumination +
spermatic cord
Inflammation or
injury

Varicocoele Vein insufficiency Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is


often described as feeling like a bag of worms
Hernia skrotalis persistent patency of Mass in scrotum when coughing or crying
the processus
vaginalis
Chriptorchimus Congenital anomaly Hypoplastic hemiscrotum, testis is found in other
area, hidden or palpated as a mass in inguinal.
Complication:testicular neoplasm, subfertility,
testicular torsion and inguinal hernia
251. Invaginasi
252. Fraktur Femur
• Etiologi:
– Fraktur yang disebabkan trauma yang
berat
– Fraktur spontan / patologik : tumor
tulang primer atau sekunder, mieloma
multipel, kista tulang, osteomielitis,
osteoporosis,
– Fraktur stress/fatigue :fraktur march
pada metatarsal, fraktur tibia pada penari
balet, fraktur fibula pada pelari jarak jauh.

• Subtipe:
– Fraktur collum femur
– Fraktur caput femur
– Fraktur subtrochanter
– Fraktur introchanter
– Fraktur shaft femur
http://orthoinfo.aaos.org
– Fraktur distal femur
Fraktur Collum Femur
• Terjadi di sebelah proksimal linea
intertrochanter pada intraskapsular
sendi panggul.
• Insiden: Lansia (spontan, steoporosis
senilis).
• Metode penanganan: Reduksi
tertutup/terbuka & fiksasi interna,
protesis caput femoris.
• Waktu penyembuhan tulang: 12-16
minggu.
• Durasi rehabilitasi: 15-30 minggu.
Fraktur Sub-Throcanter
• Terjadi antara trochanter minor
dan di dekat 1/3 proksimal
corpus femur.
• Insiden: Benturan kuat dan
perluasan dari fraktur
intertrochanter ke distal pada
lansia.
• Metode penanganan: Batang
Intramedular, Sekrup kompresi &
plat samping (side plate).
• Waktu penyembuhan tulang: 12-
16 minggu.
• Durasi rehabilitasi: 16-20
minggu.
Fraktur Shaft Femur
• Shaft  bagian lurus dari Os.
Femur.
• Dapat terjadi pada proksimal,
medial, distal dari shaft femur.
• Insiden: high energy collision
(motor vehicle crash, gunshot)
• Metode penangan:
– Fiksasi eksternal  terapi
sementara (perbaikan KU sebelum
menjalani ORIF).
– ORIF (intramedullary nail, plates &
screws). Jarang ditangani non-
operatif.
• Waktu penyembuhan: 4-6 bulan.
Fraktur Distal Femur
• Dimulai dari suprakondilar ke
arah distal.
• Insiden: terjadi pada lansia atau
anak-anak yang mengalami high
energy injuries.
• Metode penanganan:
– Non surgery: skeletal traction,
casting & bracing (jarang
digunakan)
– Surgery: fiksasi eksternal
(temporary) dan ORIF, knee
replacement.
• Waktu penyembuhan: fraktur
distal femur  severe injury.
Bergantung pada tingkat usia,
nutrisi, dsv
253. Abses Perianal
Abses perianal: infeksi jaringan lunak 5%
yang mengelilingi anus. Sebagian besar
bersumber dari fistula..

Etiologi & Patogenesis:


•Terdapat 4-10 kelenjar di linea dentatum
•Infeksi epitel kriptaglandular menyebabkan
obstruksi dari kelenjar
•Infeksi asending ke rongga
interspinkterikum dan rongga lainnya.
•Implikasi bakteri
•E.Coli., Enterococci, bacteroides

Penyebab lain:
•Crohn
•TB 60 5% Ischiorectal

•Carcinoma, Lymphoma and Leukaemia % 20%

•Trauma Intersphincteric suprasphincteric

•Inflammatory pelvic conditions (appendicitis) Trans-sphincteric extrasphincteric


Gejala dan Tanda

Abses Gejala
Perianal •Nyeri di perianal, pus, dan demam
•Benjolan bersifat nyeri, fluktuan, kemerahan.

Ischio-rectal •Demam, nyeri di ischiorectal


•Massa, nyeri tekan (+), indurasi (+)
Intersphincteric •nyeri di rektum, demam, dan terdapat pus
Supralevator
Fistula Perianal
• Fistula perianal merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel
dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal.
• Fistula perianal adalah bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak
sembuh yang membentuk traktus akibat inflamasi.
• Etilogi
– Nonspecific: Cryptoglandular in origin.
– Specific: Crohn’s, Ulcerative colitis, TB, Actinomycosis, Carcinoma, Trauma,
Radiation, Foreign body, Lymphoma, Pelvic inflammation, dan Leukemia

Klasifikasi Parks:
• Interspingterika merupakan bentuk fistula yang sering terjadi. Saluran fistel berada
di daerah intersphingterika.
• Transphingterika, biasanya disebabkan oleh abses isiorektal. Fistula
menghubungkan intersphingtrerika dengan fosa isiorektal oleh adanya perforasi di
sphingter eksternal dan kemudian ke kulit.
• Suprapshingterika, biasanya merupakan hasil dari abses supralevator. Seperti
Transphingterika tapi saluran berada di atas sphingter eksternal dan ada perforasi
di muskulus levator ani.
• Ekstrasphingterika. Saluran melewati rektum ke lapisan kulit perineum, fossa
isiorektal melalui m. levator ani dan akhirnya ke dalam anus.
Intersphincteric fistula Transsphincteric fistula

Suprasphincteric fistula Extrasphincteric fistula


Pemerikasaan Fisik:
• RT:
– ditemukan satu atau lebih eksternal opening fistula atau teraba
adanya fistula di bawah permukaan kulit.
• Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul (bila abses
belum pecah) atau tampak sebagai saluran yang dikelilingi
oleh jaringan granulasi.
• Internal opening fistula dapat dirasakan sebagai daerah
indurasi/ nodul di dinding anus setinggi garis dentata.
• Terlepas dari jumlah eksternal opening, terdapat hampir
selalu hanya satu internal opening.
254. Appendisitis
Alvarado Score
Sign of Appendicitis
255. Phimosis
Phimosis Paraphimosis
• Prepusium tidak dapat • Prepusium tidak dapat
ditarik kearah proksimal ditarik kembali dan
• Fisiologis pada neonatus terjepit di sulkus
• Komplikasiinfeksi koronarius
– Balanitis • Gawat darurat bila
– Postitis – Obstruksi vena
– Balanopostitis superfisial  edema dan
nyeri  Nekrosis glans
• Treatment penis
– Dexamethasone 0.1% (6
weeks) for spontaneous
• Treatment
retraction – Manual reposition
– Dorsum incisionbila – Dorsum incision
telah ada komplikasi
Tatalaksana Fimosis
• Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada
penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks
pada ujung prepusium sebagai fimosis sekunder.
• Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan
penatalaksanaan non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid
topikal yaitu betamethasone selama 4-6 minggu pada daerah glans penis.
• Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis
merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis
atau postitis harus diberi antibiotika dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi.
• Fimosis yang harus ditangani dengan melakukan sirkumsisi bila terdapat
obstruksi dan balanopostitis. Bila ada balanopostitis, sebaiknya dilakukan
sayatan dorsal terlebih dahulu yang disusul dengan sirkumsisi sempurna
setelah radang mereda.

Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi. Edisi ketiga. Malang :Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. 2011 : 14, 236-237
• An absolute indication for circumcision is secondary phimosis.
• In primary phimosis, recurrent balanoposthitis and recurrent urinary tract
infections in patients with urinary tract abnormalities are indications for
intervention.
• Male circumcision significantly reduces the bacterial colonisation of the
glans penis with regard to both non-uropathogenic and uropathogenic
bacteria.
• Simple ballooning of the foreskin during micturition is not a strict indication
for circumcision.
Guidelines on Paediatric Urology. ESPU. 2015
Definisi
• Balanitis adalah radang pada glans penis
• Posthitis adalah radang pada kulup.
• Radang pada kepala penis dan kulup (balanoposthitis) bisa juga terjadi.
• Pria yang mengalami balanoposthitis mengalami peningkatan resiko
berkembangnya balanitis xerotica obliterans, phimosis, paraphimosis, dan
kanker di kemudian hari.

Etiologi
• Penyebab paling umum dari balanitis
adalah kebersihan yang buruk.
• Lebih sering pada pasien dengan fimosis
Gejala
• Penderita merasa nyeri dan gatal, warna
kepala penis kemerahan dan bengkak.

Pengobatan
• Salah satu pengobatan terbaik balanitis adalah
menjaga kebersihan di kepala penis dan antibiotik.
• Saat fase akut tidak dilakukan tindakan operasi
• Jika sudah terlanjur kulup menutup maka harus
dilakukan penyunatan.
256. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai
dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga
proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius.
• Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat
diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal
fragmen distal.
• Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur
dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nd ed


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
257. Ruptur Tendon Achilles
• Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo
Achilles atau cedera yangmempengaruhi
bagian bawah belakang kaki.
• Klasifikasi:
• Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari
50%, biasanya diobati dengan manajemen
konservatif
• Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan
tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya
diobati dengan akhir-akhir anastomosis
• Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3
sampai 6 cm
• Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat
lebih 6 cm (pecah diabaikan)
Diagnosis

• Weakness in
plantarflexion
• Gap in tendon
• Palpable swelling
• Positive Thompson test
O’Brien test
• Jarum 25G, ditusukan pada otot
tungkai bawah 10cm di atas
tonjolan calcaneus.
• Gerakan pangkal jarum
berlawanan arah saat dilakukan
gerakan pasif plantar fleksi dan
dorso fleksi menandakan
tendon achilles yang intak.

Copeland test
• Pasien dalam posisi prone, cuff
sphygmomanometer diletakan
pada bagian tungkai yang paling
besar, kaki pasien diminta plantar
fleksi, kemudian
sphygmomanometer di pompa
hingga 100mmHg.
• Jika tendon achilles intak, tekanan
akan meningkat menjadi 140mmHg
saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang
Magnetic Resonance Image (MRI)

Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles
Injury Clinical Findings Imaging
Ankle sprain Positive drawer/inversion X-Ray
test
Achilles Rupture Thompson test, tendon USG
gap, unable to plantaflex
foot
Metatarsal fracture Bone tenderness over the X-Ray
navicular bone or base of
the fifth metatarsal
Tarsal Tunnel Syndrome Tinnel test (+), paresthesias MRI
along tibial nerve
Plantar fasciitis Severe plantar pain, foot Not needed
cord tightness
http://www.qualitycarept.com/Injuries-Conditions/Foot/Foot-
Issues/Achilles-Tendon-Problems/a~253/article.html
258. Ileus Obstruktif
• Ileus:
– Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari
gerakan peristaltik usus.
• Obstruksi:
– Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan
karena adanya kelainan struktural sehingga
menghalangi gerak peristaltik usus.
– Obstruksi dapat parsial atau komplit
– Obstruksi simple atau strangulated
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
259. Diagnosis BPH
• Asesmen tanda dan gejala
– Menggunakan IPSS
• Total skor 0-7 (mild), 8-19 (moderate), 20-35 (severe)
• Digital rectal examination
– Deteksi ukuran (tidak akurat), bentuk, dan
konsistensi
• Pemeriksaan Volume Prostat  USG
• Analisis urodinamik
• Pemeriksaan PSA
Pada USG (TRUS, Transrectal
Ultrasound)
• Pembesaran kelenjar pada
zona sentral (*pada kasus
ini)
• Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
• Kalsifikasi antara zona
sentral
• Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Gambaran BNO IVP
Pada BNO IVP dapat
ditemukan:
• Indentasi caudal buli-buli
• Elevasi pada intraureter
menghasilkan bentuk J-
ureter (fish-hook
appearance)
• Divertikulasi dan
trabekulasi vesika urinaria

“Fish Hook appearance”(di tandai


dengan anak panah)

Indentasi caudal buli-buli


260. Hydrocele
261. Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
262. Cedera Lutut
Bentuk-bentuk cedera lutut saat olahraga:
• Strain  kerusakan yang terjadi pada saat otot dan atau
tendon karena penggunaan atau peregangan yang
berlebihan.
• Sprain kerusakan yang terjadi pada ligamen karena
peregangan yang berlebihan. Derajat berat dapat terjadi
tear/ rupture pada ligamen.
• Contusio (benturan). Bila disertai dengan perdarahan
disebut hematom (memar).
• Dislocation.
• Frakture / patah tulang.
• Muscle Cramp (kram otot).
• Cedera meniskus
Tatalaksana Cedera Ringan
Tahap I
• Segera setelah terjadi cedera 0 - 24 jam
Gunakan metode RICE Yaitu :
R- Rest- diistirahatkan
I – Ice – didinginkan,kompres dingin
C- Compression- balut tekan
E - Elevation
Tahap ke 2
• Pemberian kompres panas dilakukan dalam
waktu 24-36 jam setelah cedera hampir
normal
• Jika cedera hampir normal :
– membiasakan melepas deker/pembalut tekan
dilatih dari gerak pasif ke aktif
• Jika sudah sembuh latihan dapat dilanjutkan
Cedera Meniskus
• Sering terjadi pada olahraga yang melibatkan
gerakan berputar dan squat seperti pada
bolabasket, sepak bola atau bulu tangkis.
• Mekanisme cedera meniskus adalah akibat
gerakan berputar dari sendi lutut dan juga
akibat gerakan squat atau fleksi (menekuknya)
sendi lutut yang berlebihan.
Tes-tes Meniskus Pada Regio Knee (Lutut)
Tes Apley
• Posisi pasien : telungkup, dengan
lutut fleksi ± 90˚.
• Pegangan : pada kaki disertai
dengan pemberian tekanan
vertikal ke bawah
• Gerakan ; putar kaki ke
eksorotasi (kompresi pada
meniscus lateralis) dan
endorotasi (kompresi pada
meniscus medialis), positif bila
ada nyeri dan bunyi “kIik”.
Tes McMurray
• Posisi pasien : telentang dengan
pancjgul ± 110˚ fIeksi, tungkai
bawah maksimal feksi.
• Pegangan : tangan pasif pada
tungkai atas sedekat mungkin
dengan lutut, tangan aktif
memegang kaki.
• Gerakan :
– tungkai bawah ke ekstensi disertai
dengan tekanan ke valgus dan
eksorotasi (provokasi nyeri pada
meniscus medialis dan bunyi “kIik”)
– Gerakan tungkai bawah ke ekstensi
disertai dengan tekanan ke varus dan
endorotasi (provokasi nyeri pada
meniscus lateralis dan bunyi “kIik”)
Tes Steinman
• Posisi pasien : telentang, dengan
lutut lurus
• Pegangan: tangan aktif pada kaki,
tangan pasif memegang lutut dari
arah depan dengan ibu jari
memberi tekanan pada celah
sendi bagian medial (letak
berpindah-pindah) untuk
provokasi nyeri tekan.
• Gerakan : gerakkan tungkai
bawah ke arah fleksi dan ekstensi,
positif bila ada nyeri tekan yang
berpindah letak saat posisi lutut
(ROM) berubah.
• Pasien pada posisi supine.
• Tungkai pasien relaksasi. Pemeriksaan
melakukan fleksi lutut 30O secara pasif.
• Lakukan palpasi area sendi lateral
bersamaan dengan pemberian tekanan
terhadap sendi searah varus.
• Hasil positif bila rasa nyeri timbul atau
teraba “gapping”. (terkadang adanya
“gapping” normal pada posisi 30O.
• Ulangi pemeriksaan dalam posisi
tungkai pasien lurus (0O).
• Hasil positif bila rasa nyeri timbul atau
teraba “gapping”.

Untuk evaluasi ligamen kolateral lateral


(kurang sensitif)
• Pasien pada posisi supine.
• Tungkai pasien relaksasi. Pemeriksaan
melakukan fleksi lutut 30O secara pasif.
• Lakukan palpasi area sendi medial
bersamaan dengan pemberian tekanan
terhadap sendi searah valgus.
• Hasil positif bila rasa nyeri timbul atau
teraba “gapping”. (terkadang adanya
“gapping” normal pada posisi 30 O.
• Ulangi pemeriksaan dalam posisi
tungkai pasien lurus (0O).
• Hasil positif bila rasa nyeri timbul atau
teraba “gapping”.

Sensitifitas 86-96 (posisi 30O) untuk


menentukan adanya cedera ligamen
kolateral medial.
262. Knee Injuries
• Knee Injuries
– Meniscal Tear
– ACL Tear
– PCL Tear

James M. Farmer M.D.


540-772-3530
263. Akalasia Esofagus
Gejala Klinis
264. Fraktur Terbuka
• Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit.
• Terjadi kontaminasi bakteri  komplikasi
infeksi
• Luka pada kulit :
– Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit
(from within)
– Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung
(from without)
Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
265. Sprain Ankle
Inversion Sprain
Tatalaksana Cedera Ringan
Tahap I
• Segera setelah terjadi cedera 0 - 24 jam
Gunakan metode RICE Yaitu :
R- Rest- diistirahatkan
I – Ice – didinginkan,kompres dingin
C- Compression- balut tekan
E - Elevation
266. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai
dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga
proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius.
• Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat
diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal
fragmen distal.
• Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur
dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nd ed


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
267. Priapism
Kelainan Tanda & Gejala
Fimosis Ketidakmampuan untuk meretraksi kulit distal yang
melapisi glans penis
Parafimosis Kulit yang ter-retraksi tersangkut/ terjebak di belakang
sulcus coronarius
Peyronie’s disease Inflamasi kronik tunica albuginea, suatu kelainan jaringan
ikat yang berkaitan dengan pertumbuhan plak fibrosa,
menyebabkan nyeri, kurvatura abnormal, disfungsi ereksi,
indentasi, loss of girth and shortening
Detumescence erection Detumescence adalah kebalikan dari ereksi, dimana darah
meninggalkan erectile tissue, kembali pada keadaan
flaccid.
268. Prostatic malignancy
269. Limfoma Maligna
• Neoplasma ganas primer pada kelenjar limfe dan jaringan
limfatik organ lainnya.
• Etiologi: Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, H. pylori), Inflamasi
kronis e.c peny. Autoimun, Faktor lingkungan, ex: pajanan
bahan kimia, dan Genetik.

Nodular Sclerosis
Hodgkin
Lymphocyte
Predominance
LIMFOMA
MALIGNA Lymphocyte
Depletion

Mixed Cellularity

Non Hodgkin B-Cell neoplasm

T-Cell & NK cell


neoplasma
Patofisiologi

Sel reedsternberg – Limfoma Hodgkin

Starry sky – Limfoma Non Hodgkin/


Limfoma Burkitt
Manifestasi Klinis
Diagnosis
• Anamnesis: Pajanan, infeksi, demam, keringat
malam, berat badan turun.
• Px Fisik: Sist. Limfatik
• Px Penunjang:DL, Kimia darah, Ro thorax, CT Scan,
Biopsi

Tatalaksana
• Pembedahan, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi,
transplasi sumsum tulang.
Komplikasi
Pertumbuhan
Kemoterapi:
kanker:

pansitopenia,
Infeksi Pansitopenia
kelainan pada jantung mual dan muntah,
kelainan pada paru-paru neuropati,
sindrom vena cava dehidrasi
superior, toksisitas jantung
kompresi pada spinal cord, akibat penggunaan
kelainan neurologis doksorubisin,
Obstruksi, etc
Prognosis
Prognosis limfoma hodgkin Prognosis limfoma non
ditentukan oleh : hodgkin ditentukan oleh :
Serum albumin < 4 g/dL • usia (>60 tahun)
Hemoglobin < 10.5 g/dL • Ann Arbor stage (III-IV)
Jenis kelamin laki-laki • hemoglobin (<12 g/dL)
Stadium IV • jumlah area limfonodi yang
Usia 45 tahun ke atas terkena (>4)
Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3 • serum LDH (meningkat)
Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8%
dari total jumlah sel darah putih

0 faktor: 84%
1 faktor: 77%
2 Faktor: 67% 5 Years survival rate:
3 Faktor: 60% 0-1 faktor; 75%
4 Faktor 51% 2 faktor: 50%
>5 faktor: 42% >3faktor: 25%
270. Hernia
Umbilical Hernia
– caused when an
opening in the
abdominal wall, which
normally closes before
birth, doesn’t close
completely.
271. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
272. Fraktur Basis Cranii
• Fossa crania anterior
– Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore
atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung.
– Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal
mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes
atau periorbital ekimosis)
• Fossa crania media
– sering terjadi (otorrhea) Bocornya CSF dan keluarnya
darah dari canalis acusticus externus
• Pada fraktur fossa cranii posterior
– darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot
postvertebralis
Tanda-tanda fraktur basis kranii
FRAKTUR BASIS
CRANII
Lesi Capsula
Interna
Pembahasan Jawaban
• Diagnosis yang tepat untuk kasus ini
seharusnya adalah Fraktur Basis Cranii dgn
Traumatic intracerebral hemorrhage
• Dipilih jawaban E. Fraktur basis cranii karena:
– Tanda-tanda fraktur basis cranii jelas terlihat
(krepitasi pada daerah temporal, otore dan
penurunan kesadaran)
– Tanda-tanda ICH pada kapsula interna (defisit
neurologi fokal) tidak ada pada pasien ini
273. Urolithiasis
274. Luka Bakar
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
275. Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Pilihan Cairan Kristaloid
Ringer Lactate Normal Saline
Increase MAP + +
Recovered Base Excess (BE) + -
Decreased Peripheral Resistance + +
Serum Potassium Increased (Risk of - +
Hyperkalemia)
Risk of Hyperchloremic Acidosis - +

Wenjun ZM, Douglas SC, and Michael AD Comparisons of normal saline


and lactated Ringer’s resuscitation on hemodynamics, metabolic
responses, and coagulation in pigs after severe hemorrhagic shock.
Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2013; 21: 86.
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
276. Dislokasi Panggul
Posterior Hip Dislocation
277. The Breast Lump
278. TRAUMA GINJAL
MEKANISME TRAUMA : DIAGNOSIS
• Langsung • Cedera di daerah
• Tidak langsung ( deselerasi) pinggang,punggung dan
dada bawah dengan nyeri
JENIS TRAUMA:
• Tajam
• Hematuri (gross /
• Tumpul mikroskopik )
• Fraktur costa bg bawah atau
PENCITRAAN proc.Spinosus vertebra.
• BNO – IVP • Kadang syok
• CT SCAN
• MRI • Sering disertai cedera organ
• USG TIDAK DIANJURKAN. lain
KLASIFIKASI TR GINJAL:
• GRADE I : KONTUSIO DAN GRADE II : LASERASI KORTEK DAN
SUBKAPSULAR HEMATOM PERIRENAL HEMATOM
KLASIFIKASI TR GINJAL:
GRADE III : LASERASI DALAM
HINGGA KORTIKOMEDULARI GRADE IV : LASERASI MENEMBUS
JUNCTION
KOLEKTING SISTEM
KLASIFIKASI TR GINJAL:
GRADE V : TROMBOSIS ARTERI
RENALIS,AVULSI PEDIKEL DAN
SHATTERED KIDNEY.

GRADE I DAN II : CEDERA


MINOR (85%)
GRADE III , IV DAN V : CEDERA
MAYOR. (15%)
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade I

Tidak ada jejas parenkim ginjal

Hematom Subkapsular

Ginjal Normal
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade II

Laserasi Korteks Ginjal

Hematom Perirenal

CT Scan non contrast


Trauma ginjal grade III

Panah merah menunjukan


Laserasi dalam hingga kortiko-medulari junction
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade IV

Laserasi mencapai collecting duct

Huruf U: menggambarkan
eksravasi urine ke peritoneal

CT Scan non contrast


Trauma ginjal grade V

Perdarahan intraperiotenal masif

Laserasi mengenai arteri


renalis

Gambaran perfusi ginjal


menurun
IVP

Demonstrating
extravasation of contrast
Blunt left renal trauma. Entire
from the right kidney, and a
functioning left kidney.
collecting system, ureter and bladder
filled with a blood clot.
279. Vesikulolithiasis
• adalah masa yang berbentuk kristal yang
terbentuk atas material mineral dan protein
yang terdapat pada urin.
Vesikolithiasis
Tanda & Gejala
• Nyeri suprapubik
• Penghentian miksi tiba
tibasesuai dengan
perubahan posisi
• Poliuria
• Disuria
• Hematuria
• PF: demam, conj USG: gambaran objek hiperekoik
anemis/akral anemis, yang berbayang pada bagian
posterior
nyeri ketok CVA dapat (+).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

LAB DARAH LAB URIN BNO polos BNO IVP


• Hb rendah +/- • BJ meningkat • Mengidentifikasi • Mengidentifikasi
• Leukositosis +/- • Ph asam/ basa masa dengan masa dengan
densitas radio- densitas radio-
• Shift to the left • Nitrit +
opak pada vesika lusen pada vesika
• Leukosit +/-
urinaria urinaria dengan
• esterase,+/-
gambaran berupa
• Darah +/- filling defect
BNO

BNO IVP
USG SISTOSKOPI CT scan
• gambaran objek • memvisualisasikan • dilakukan karena alasan
hiperekoik yang batu, menilai ukuran lain (misalnya, nyeri perut,
berbayang pada serta posisi batu massa panggul, atau
bagian posterior dicurigai abses) tetapi
mungkin juga dapat
menunjukkan vesikolitiasis
bila dilakukan tanpa
kontras.
USG

SISTOSKOPI
TATA LAKSANA
• Diet (banyak minum air)
Konservatif
• Simptomatik
<5mm • Pelarutan batu

Litotripsi
• ESWL
<20mm

• Transurethral
Cystolitholapaxy
Operasi • Precutaneus Suprapubic
Cystolitholapaxy
• Suprapubic Cystostomy
280. Dis.Bahu (D.Glenohumeralis)
• Keluarnya caput humerus dari cavum gleinodalis
• Etio : 99% trauma

• Pembahagian
• Dis. Anterior (98 %)

• Dis.Posterior (2 %)

• Dis. Inferior

• Mekanisme Trauma
• Puntiran sendi bahu tiba-tiba

• Tarikan sendi bahu tiba-tiba

• Tarikan & puntiran tiba-tiba


Dislokasi Anterior
 Lengkung (contour) bahu berobah,

 Posisi bahu abduksi & rotasi ekterna

 Teraba caput humeri di bag anterior

 Prominent acromion, sulcus sign

 Back anestesi  ggn n axilaris

 Radiologis  memperjelas Diagnosis

 Rontgen Foto

 CT Scan
Dislokasi Posterior: Klinis
• Lengan dipegang di depan dada
• Adduksi
• Rotasi interna
• Bahu tampak lebih datar (flat and
squared off)
281. Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior
vertebra Tata Laksana
• Sering terjadi pada torakolumbal • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Pada usila: akibat jatuh terduduk konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki
• Fraktur patologis: spondilitis TB/
Osteoporosis
282. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia  tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
283. Tenosinovitis
• Tenosinovitis adalah tendinitis yang disertai dengan
peradangan pada selubung pelindung di sekeliling tendon.
Sesamoiditis
• Sesamoiditis adalah peradangan pada Os
Sesamoid dan atau selaput pembungkus
tendon fleksor.
284. Batu Saluran Kemih
Etiologi
• Batu Non-Infeksi : calcium oxalate, calcium fosfat, asam urat.
• Batu infeksi : magnesium ammonium fosfat, carbonate apatite,
ammonium urat
• Genetik : sistine, xantin

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


Pemeriksaan Batu Saluran Kemih

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


Managemen Batu Saluran Kemih

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


284. Batu Saluran Kemih

Tatalaksana
• Emergency : sepsis, anuria, AKI  rawat inap,
konsul bedah urologi cito.
• Analgetik : NSAIDS  aspirin, Na dicolfenak,
ibuprofen, dan ketorolac.
• Tatalaksana Batu  tergantung ukuran dan
letak  konservatif /Medical Expulsive
Therapy (MET), ESWL, PNL atau URS

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


284. Batu Saluran Kemih

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


Medical Expulsive Therapy (MET)
• Batu tidak mengganggu
• Ukuran batu ≤ 5 mm
• Batu terletak pd ureter distal
• Tidak terjadi obstruksi total.

Turk C, Knoll T, Petrik A. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. 2015


Tatalaksana Batu Ginjal
Tatalaksana Batu Ureter
285. Atresia Esofagus
Definisi Etiologi
• Kelainan kongenital dari • Belum diketahui
esofagus yg mengalami • Terkait dgn abnormalitas lain
diskontinuitas  obstruksi  VACTERL syndrome
esofagus proksimal. (vertebral anomalies, anal
atresia, cardiac,
Epidemiologi tracheoesophageal, renal, limb)
• 1 : 4000 neonatus • >90% terkait dengan
• Slight male predominance trachoesophageal fistula (TEF)

Faktor risiko
• Kehamilan usia tua , Ras eropa, obesitas, merokok, berat lahir <
1.500 g.
Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
285. Atresia Esofagus
Klasifikasi menurut Gross

• Type A - Esophageal atresia tanpa fistula (7%) / esofageal atresia murni


• Type B - Esophageal atresia dengan proximal TEF (2%)
• Type C - Esophageal atresia dengan distal TEF (86%)
• Type D - Esophageal atresia dengan proksimal dan distal TEFs (<1%)
• Type E - TEF tanpa esophageal atresia atau disebut H-type fistula (4%)

Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Atresia Esofagus
Manifestasi klinis Tatalaksana
• Prenatal – polihidroamnionm • Dekompresi
hilangnya udara lambung, kelainan • Upright prone position 
kongenital lain. meminimalisir GER dan aspirasi
• Neonatus – frothing of oral • Thoracotomy  repair
secretions, drooling, choking or
and sianosis.

Pemeriksaan
• OGT tidak dapat masuk
• Pada x ray terlihat OGT pada
kantong esofagus.
• Udara pada lambung menandakan
adanya fistula

Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Radiologi
ILM U
PSIK IATR I
286. Gangguan Obsesi
Kompulsi
• Berdasarkan PPDGJ-III, Gejala-gejala obsesif-
kompulsif harus mencakup hal-hal sebagai berikut :
• Harus disadari sebagai pikiran atau implus dari diri sendiri.
• Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan oleh penderita.
• Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan
merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan,
melainkan disebabkan oleh rasa cemas yang berlebihan.
• Gagasan, bayangan pikiran, atau implus tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
287. DISFUNGSI SEKSUAL PADA
WANITA

http://mail.ny.acog.org/website/FSDResourceGuide.pdf
288. Four Types of Stress

•Frustration
•Conflict
•Change
•Pressure
• Occurs in any situation where pursuit of a goal is
Frustation thwarted
• Can’t get what you want

Conflict • Faced with two or more incompatible options,


motivations or impulses

• Any noticeable alterations in life circumstances that


Change require readjustment
• not obviously negative events

• Expectations or demands that one behave a certain way

Pressure • Pressure to succeed at work, to publish, to be cordial,


etc
• Pressures to conform to expectations of self or others
289. SINDROM NEUROLEPTIK
MALIGNA
• Rare, but life-threatening, idiosyncratic reaction to
neuroleptic medications

• Characterized by fever, muscular rigidity, altered


mental status, and autonomic dysfunction.

• Often occurs shortly after the initiation of


neuroleptic treatment, or after dose increases.
Tanda Kardinal
Sindrom Neuroleptik Maligna

• Rigiditas otot berat


• Hipertermia (suhu>38°C)
• Instabilitas otonom
• Penurunan kesadaran

http://emedicine.medscape.com/article/816018-overview
Tatalaksana
• Tatalaksana utama bersifat suportif

• Pasien perlu dirawat di ICU

• Yang paling penting:


• semua obat neuroleptik (antipsikotik) harus dihentikan.
• Umumnya gejala akan hilang dalam 1-2 minggu setelah
penghentian obat neuroleptik

http://emedicine.medscape.com/article/816018-overview
290. GANGGUAN WAHAM MENETAP
(DSM-IV)
291. Gangguan Arus Pikir
Jenis Karakteristik
Neologisme Pembentukan kata-kata baru yang memiliki arti khusus bagi
penderita, sering terdapat pada pasien skizofrenia. Neologisme
dapat pula akibat halusinasi akustik sehingga sering merupakan
kata yang diulang
Sirkumstansial Gangguan asosiasi karena terlalu banyak ide yang disampaikan.
Pada umumnya pasien dapat mencapai tujuannya, tetapi harus
secara bertahap.
Tangensial Pembicaraan pasien terlepas sama sekali dari pokok pembicaraan
dan tidak kembali ke pokok pembicaraan tersebut, sehingga tujuan
tidak pernah tercapai
Asosiasi longgar Pasien berbicara dengan kalimat-kalimat yang tidak berhubungan,
namun masih dapat dimengerti.
Flight of ideas Melompat-lompat dari satu topik ke topik lain tanpa terputus,
dimana masih terdapat benang merah.
Inkoherensi/ asosiasi longgar yang berat, kata yang satu tidak berhubungan
word salad dengan kata yang lain.
292. ANSIETAS (GANGGUAN CEMAS)
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya
kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari
stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan
panik.
Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat.
Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam.
Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.

Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara
lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan
dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang
lain.

Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp minggu
menyeluruh disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan motorik (gemetar,
sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas,
berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental
(iritabilita).
Beberapa Jenis Fobia Spesifik yang
Sering Ditemui
Fobia Fobia terhadap:
Arachnofobia Laba-laba

Aviatofobia Terbang

Klaustrofobia Ruang tertutup

Akrofobia Ketinggian

Astrafobia/ brontofobia Badai-Petir

Nekrofobia Kematian

Aichmofobia Jarum suntik atau benda tajam lainnya

Androfobia Laki-laki

Ginofobia Perempuan
Tatalaksana Fobia Spesifik
• Medikamentosa
• Tidak terlalu berperan
• Obat yang digunakan: short actiing benzodiazepine pada
kondisi yang sudah dapat diduga akan terjadi fobia. Contoh:
pada pasien fobia ketinggian, dapat diberikan diazepam
sesaat sebelum akan naik pesawat.

• Cognitive Behavior Therapy


• Terapi kognitif: pasien fobia dibantu mengendalikan pikiran
negatifnya mengenai hal yang menjadi fobianya dan dibantu
melihat situasi sesuai dengan realita.
• Terapi perilaku: dengan terapi desensitisasi

 Terapi desensitisasi merupakan terapi paling spesifik dan


efektif untuk fobia spesifik.
293. Insomnia
Menurut DSM IV
• Sulit memulai atau mempertahankan tidur
• Tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan
• Menyebabkan gangguan fungsi yang signifikan pada individu

INSOMNIA AKUT INSOMNIA KRONIK


• Terjadi pada 1 malam dalam • Terjadi pada 3 malam dalam
beberapa minggu seminggu, terjadi selama
• Etiologi: minimal 1 bulan
- Stres psikologis (pekerjaan, • Etiologi:
kehidupan cinta) - Gangguan cemas
- Jet lag - Depresi
- Stres kronik
- Nyeri kronik
• Sulit memulai tidur
• Memanjangnya masa laten tidur EARLY INSOMNIA
(waktu dari berbaring hingga tidur) - Sleep onset-
• Sering berkaitan dengan gangguan
cemas
DOC: short acting
benzodiazepine
Alprazolam
• Bangun lebih pagi
• Sulit mempertahankan tidur


Sering terbangun di malam hari
Sulit memulai tidur lagi
INSOMNIA dari biasanya
• Terus menerus
• Berkaitan dengan
• Korelasi: penyakit organik, nyeri,
depresi
dan depresi

MIDDLE INSOMNIA LATE INSOMNIA


- Sleep mainenance - - Terminal -
DOC: Long acting Alternative: DOC: Long acting
benzodiazepine amitriptilin, doksepin, benzodiazepine
mirtazapine
Lorazepam Lorazepam
Prinsip tatalaksana non
farmakologis
• Terapi pilihan utama: Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
• Tatalaksana non-farmakologis:
1. Sleep hygiene (mengurangi kafein dan alkohol di malam
hari, mengurangi menonton TV atau meliha handphone
sebelum tidur)
2. Terapi kognitif: memperbaiki pola pikir dan kecemasan
3. Terapi relaksasi
4. Terapi kontrol stimulus: menggunakan tempat tidur
hanya untuk tidur dan aktivitas seksual, tidak berbaring
sebelum mengantuk
5. Terapi restriksi tidur: membatasi waktu berbaring di
tempat tidur mulai dari 5 jam per hari
294. DEPRESI

• Gejala utama: • Gejala lainnya:


1. afek depresif, 1. konsentrasi menurun,
2. hilang minat & 2. harga diri & kepercayaan diri
berkurang,
kegembiraan,
3. rasa bersalah & tidak berguna
3. mudah lelah & yang tidak beralasan,
menurunnya 4. merasa masa depan suram &
aktivitas. pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
Terjadi selama minimal 2 minggu.
PPDGJ
Klasifikasi depresi

• Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2


minggu

• Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2


minggu.

• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2


minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat,
diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.

• Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode


depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif.

PPDGJ
DSM-IV Criteria
Prinsip tatalaksana

• Sasarannya adalah perubahan biologis/efek


berupa mood pasien.
• Karena mood pasien dipengaruhi kadar
serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka
tujuan pengobatan depresi adalah modulasi
serotonin dan norepinefrin otak dengan agen-
agen yang sesuai.
• Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.
Prinsip tatalaksana
• PSIKOTERAPI
– interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
– cognitive - behavioral therapy berfokus pada mengoreksi
pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan rasa
pesimis pasien

• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan


efektif, namun masih kontroversial
– diindikasikan pada : depresi yang berat diperlukan respons
yang cepat, respon terhadap obat jelek
Terapi farmakologis
Dosis obat
295. Agitasi

• Definisi: Aktivitas motorik atau verbal yang berlebih.

• Dapat berupa:
– Hiperaktivitas
– Menyerang
– Verbal abuse, memaki-maki
– Gerakan tubuh dan kata-kata mengancam
– Merusak barang
– Berteriak-teriak
– Gelisah, bicara berlebih
Tatalaksana Agitasi
• Bila skor PANSS-EC berkisar pada skor 2-3, maka
dilakukan persuasi dan medikasi oral.
– Haloperidol 2x5 mg untuk pasien dewasa
– Haloperidol 0,5 mg atau Lorazepam0,5 mg untuk anak dan
remaja

• Bila skor PANSS-EC menjadi 4-5, maka dilanjutkan


dengan pemberian:
– Injeksi Haloperidol 5 mg IM untuk dewasa
– 2,5-5 mg untuk anak usia 12 tahun ke atas
– Injeksi bisa diulang setiap 30 menit. Dosis max 30 mg/hari
untuk dewasa, dan 10 mg/hari untuk anak dan remaja
296. OBAT PSIKOAKTIF
• Secara umum, sering dibagi menjadi 3 golongan utama
berdasarkan gejalanya, yaitu:
• Golongan depresan
• Golongan stimulan
• Golongan halusinogen
Depressant
• Zat yang mensupresi, menghambat dan menurunkan aktivitas
CNS.
• Yang termasuk dalam golongan ini adalah sedatives/hypnotics,
opioids, and neuroleptics.
• Medical uses sedation, sleep induction, hypnosis, and
general anaesthesia.
• Contoh:
• Alcohol dalam dosis rendah, anaesthetics, sleeping pills, and opioid
drugs such as heroin, morphine, and methadone.
• Hipnotik (obat tidur), sedatif (penenang) benzodiazepin
• Effects:
• Relief of tension, mental stress and anxiety
• Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well
as physical distress
• Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious
individual
• Relief from pain
Stimulants
• Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS
psychostimulants
• Memiliki berbagai efek fisiologis
• Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak
berkeringat, mual dan muntah.
• Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian
• Penyalahgunaan kronik akan menyebabkan perubahan
kepribadian dan perilaku seperti lebih impulsif, agresif,
iritabilitas, dan mudah curiga
• Contoh:
• Amphetamines, cocaine, caffeine, nicotine, and synthetic appetite
suppressants.
• Effects:
• feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria,
elevation of mood
• increased alertness, energy and motor activity
• postponement of hunger and fatigue
Hallucinogens (psyche delics)
• Zat yang merubah dan mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan
orientasi waktu dan tempat.
• Menginduksi delusi, halusinasi, dan paranoia.
• Adverse effects sering terjadi
• Halusinasi yang menakutkan dan tidak menyenangkan (“bad trips”)
• Post-hallucinogen perception disorder or flashbacks
• Delusional disorder persepsi bahwa halusinasi yang dialami nyata, setelah gejala
mereda
• mood disorder (anxiety, depression, or mania).
• Effects:
• Perubahan mood, perasaan, dan pikiran“mind expansion”
• Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and
hearing
• dissociation of body and mind
• Contoh:
• Mescaline (the hallucinogenic substance of the peyote cactus)
• Ketamine
• LSD
• psilocybin (the hallucinogenic substance of the psilocybe mushroom)
• phencyclidine (PCP)
• marijuana and hashish
Withdrawal, Overdosis, Adiksi, Toleransi, Intoksikasi
Karakteristik
Withdrawal/ Kumpulan gejala yang muncul saat menghentikan atau menurunkan
putus obat dosis obat karena kecanduan atau ketergantungan terhadap obat yang
sudah lama digunakan

Overdosis zat Pemakaian zat yang melebihi dosis sehingga menyebabkan efek toksik
atau letal terhadap tubuh

Adiksi/ ketagihan Perbuatan kompulsif (yang terpaksa dilakukan) dan keterlibatan yang
berlebihan terhadap suatu kegiatan tertentu  Aspek psikososial
yang berhubungan dengan ketergantungan obat

Toleransi obat Sebuah kondisi yang ditandai oleh penurunan efek obat pada
pemberian berulang

Intoksikasi Kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif


sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognisi, persepsi, afek
atau perilaku dan fungsi psikososial
Confused?
• Let’s see
• Contoh: pasien biasa menggunakan NAPZA morphine

Intoksikasi =

Withdrawal =

Gejala withdrawal kebalikannya dari intoksikasi saja


-oh this is very easy-
Intoksikasi opiate

Physical exams • Neurological


• Vitals • Sedation or coma
• HR decreased or unchanged • Seizure (meperidine,
propoxyphene, tramadol, or
• BP decreased or unchanged 2/2 hypoxia)
• RR decreased (decreased
tidal volume) • Ophthalmologic
• Temp decreased or • miosis
unchanged
• GI
• Decreased bowel sounds
Tatalaksana Intoksikasi

• Intoksikasi gol. Opioid


• Naloxone 0,4-2 mg IV atau SC, dapat pula diulang setiap 2-3
menit, hingga dosis maksimal 10 mg.
• Intoksikasi ganja/ kanabis
• Reassurance
• bila perlu dapat diberikan obat golongan benzodiazepin
(diazepam, clobazam).
• Intoksikasi kokain/ amfetamin
• Diazepam 10-30 mg po atau iv, atau clobazam 3x10 mg.
• Bila terdapat palpitasi, dapat diberikan propranolol.
• Intoksikasi gol. Hipnotik sedatif
• waspadai tanda depresi pernafasan, oksigen.
297. GANGGUAN MENTAL SESUDAH
TRAUMA/ STRESS BERAT (F43)
Gangguan Karaktristik

Reaksi stres akut Kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh,


mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (prinsipnya
gejala serupa dengan PTSD), terjadinya beberapa jam setelah
kejadian traumatis, dan paling lama gejala tersebut bertahan
selama 1 bulan.

Reaksi stres pasca trauma Adanya bayang-bayangkejadian yang persisten, mengalami


(Post traumatic stress gejala penderitaan bila terpajan pada ingatan akan trauma
disorder/ PTSD) aslinya, menimbulkan hendaya pada kehidupan sehari-hari.
Gejala terjadi selama 1-6 bulan.
Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)

• Diagnosis baru bisa ditegakkan apabila gangguan stres


pasca trauma ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah
kejadian traumatik berat.

• Gejala yang harus muncul sebagai bukti tambahan selain


trauma bahwa seseorang telah mengali gangguan ini
adalah:
1. Individu tersebut mengalami mimpi-mimpi atau bayang-
bayang dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-
ulang kemabali (flashback)
2. Muncul gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan
tingkah laku, gejala ini mungkin saja mewarnai hasil
diagnosis akan tetapi sifatnya tidak khas.
PPDGJ-III
Reaksi Stres Akut vs PTSD vs Gangguan
PenyesuaianReaksi Stres Akut Ggn. Penyesuaian PTSD
Tipe stresor Berat (kejadian Ringan-sedang Berat (kejadian
traumatis, traumatis,
kehilangan orang kehilangan orang
terdekat) terdekat)

Waktu antara Beberapa hari Maksimal 3 bulan Bisa bertahun-


stresor dan hingga maksimal 4 tahun
timbulnya gejala minggu

Durasi gejala Maksimal 1 bulan Maksimal 6 bulan >1 bulan


setelah stresor
berakhir
GANGGUAN PENYESUAIAN (F43)
(DSM-IV)
298. Gangguan Tidur
GANGGUAN TIDUR
• Gangguan tidur non organik mencakup :
– Disomnia: kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan pada jumlah, kualitas atau waktu tidur
 insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal
tidur
– Parasomnia: peristiwa episodik abnormal selama
tidur. Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa
 somnabulisme, night terror, nightmare
F51.1 Hipersomnia non organik

• Hipersomnia adalah bertambahnya waktu tidur


sampai 25% dari pola tidur yang biasa.
• Gejala :
a) Rasa kantuk siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur dan atau transisi yang
memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar
penuh.
b) Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.
299. Gangguan Afektif Bipolar

• Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan


pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood dan
energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu lain
berupa penurunan mood dan energi (depresi).
• Ada periode penyembuhan sempurna antar
episode.
• Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu-5
bulan.
• Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Episode Manik (DSM-IV)
Bipolar Tipe I dan II

Gangguan bipolar

Bipolar tipe I Bipolar tipe II

1 atau lebih Episode depresi


episode manik, Pada pria dan berulang dan Lebih sering pada
dapat disertai wanita episode wanita
gejala psikotik hipomanik

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17696573
Skizofrenia vs Skizoafektif vs
Gangguan Mood dengan Gejala
Psikotik
Skizofrenia Skizoafektif Gangguan mood disertai
gejala psikotik

Gejala Kronik, sejak awal Kronik, sejak awal Hanya ada setelah episode
psikotik onset sakit onset sakit gangguan mood terjadi

Gangguan Tidak ada, atau ada Ada terus menerus Ada, memenuhi kriteria
mood tetapi tidak selama sakit diagnosis gangguan mood
menonjol berlangsung. Gejala (manik/ depresi)
mayor gangguan mood
belum tentu ada

Lama Kronik Kronik Episodik


penyakit
Algoritma Tatalaksana Gangguan
Bipolar
Tatalaksana: Mood Stabilizer
Tatalaksana Gangguan
Bipolar
FASE AKUT MAINTENANCE
• Manik • Lithium atau Asam valproat,
setidaknya selama 6 bulan.
• Lithium, atau
• Asam valproat • Antipsikotik perlu diteruskan
bila pasien cenderung
• Depresi memiliki risiko mengalami
gejala psikotik berulang
• Lithium, atau
• Lamotrigine • Psikoterapi
• Monoterapi dengan
antidepresan tidak
direkomendasikan • Electroconvulsive therapy
(ECT)

• Gejala psikotik
• Antipsikotik, diutamakan
golongan atipikal

American Psychiatric Association, 2010


300. GANGGUAN PSIKIATRI POST
PARTUM

• Post partum blues


– Sering dikenal sebagai baby blues
– Mempengaruhi 50-75% ibu setelah proses melahirkan
– Sering menangis secara terus-menerus tanpa sebab
yang pasti dan mengalami kecemasan
– Berlangsung pada minggu pertama setelah
melahirkanbiasanya kembali normal setalah 2
minggu tanpa penanganan khusus
– Tindakan yang diperlukanmenentramkan dan
membantu ibu
GANGGUAN PSIKIATRI POST
PARTUM
• Post partum
Depression
– Kondisi yang lebih serius dari baby blues
– Mempengaruhi 1 dari 10 ibu baru
– Mengalami perasaan sedih, emosi yang
meningkat, tertekan, lebih sensitif, lelah, merasa
bersalah, cemas dan tidak mampu merawat diri
dan bayi
– Timbul beberapa hari setelah melahirkan sampai
setahun sejak melahirkan
– Tatalaksanapsikoterapi dan antidepresan
• Postpartum
Psychosis
– Kondisi ini jarang terjadi
– 1 dari 1000 ibu yang melahirkan
– Gejala timbul beberapa hari dan berlangsung beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan
– Agitasi, kebingungan, hiperaktif, perasaan hilang
harapan dan malu, insomnia, paranoia, delusi,
halusinasi, bicara cepat, mania
– Tatalaksanaharus segera dilakukan, dapat
membahayakan diri dan bayi
Baby Blues vs Postpartum
Depression
POSTPARTUM MAJOR
CHARACTERISTIC BABY BLUES DEPRESSION
Duration Less than 10 days More than two weeks

Onset Within two to three days Often within first month;


postpartum may be up to one year

Prevalence 80 percent 5 to 7 percent


Severity Mild dysfunction Moderate to severe
dysfunction

Suicidal ideation Not present May be present

Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933


Tatalaksana Postpartum
Depression
• Tatalaksana utama: PSIKOTERAPI

• Tatalaksana farmakologis terutama digunakan untuk


depresi sedang dan berat.
– Drug of choice: antidepresan golongan SSRI
– Pada ibu menyusui, secara umum antidepresan dapat
ditemukan dalam ASI. Namun pada penggunaan Sertraline,
Paroxetine, dan Nortryptiline, kadar obat tidak terdeteksi
dalam serum bayi. Sedangkan penggunaan Fluoxetine dan
Citalopram terdeteksi dalam serum bayi namun dalam kadar
yang sangat rendah dan secara umum tidak menimbulkan
bahaya bagi bayi.
Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933
Dosis Obat Golongan SSRI
pada Postpartum Depression
USUAL
STARTING TREATMENT MAXIMAL ADVERSE
DRUG DOSAGE DOSAGE DOSAGE EFFECTS
Selective serotonin reuptake inhibitors
Citalopram 10 mg 20 to 40 mg 60 mg Headache,
(Celexa) nausea,
diarrhea,
Escitalopram 5 mg 10 to 20 mg 20 mg
sedation,
(Lexapro)
Fluoxetine 10 mg 20 to 40 mg 80 mg insomnia,
(Prozac) tremor,
Paroxetine 10 mg 20 to 40 mg 50 mg nervousness,
loss of libido,
(Paxil) delayed
Sertraline 25 mg 50 to 100 mg 20 orgasm
(Zoloft)
Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933
301. Gender Dysphoria (DSM V)
A. A marked incongruence between one’s experienced/expressed gender and
assigned gender, of at least 6 months’ duration, as manifested by at least two of
the following:
1.A marked incongruence between one’s experienced/expressed gender and
primary and/or secondary sex characteristics (or in young adolescents, the
anticipated secondary sex characteristics).
2.A strong desire to be rid of one’s primary and/or secondary sex characteristics
because of a marked incongruence with one’s experienced/expressed gender
(or in young adolescents, a desire to prevent the development of the
anticipated secondary sex characteristics).
3.A strong desire for the primary and/or secondary sex characteristics of the
other gender.
4.A strong desire to be of the other gender (or some alternative gender different
from one’s assigned gender).
5.A strong desire to be treated as the other gender (or some alternative gender
different from one’s assigned gender).
6.A strong conviction that one has the typical feelings and reactions of the other
gender (or some alternative gender different from one’s assigned gender).
B. The condition is associated with clinically significant distress or impairment in
social, occupationali^or other important areas of functionin
Kelainan spesifik

• Transgender:
• Individu yang berperilaku dan teridentifikasi berbeda
dari jenis kelamin seharusnya ( contoh: laki-laki bergaya
dan berperilaku seperti wanita)
• Transeksual:
• Individu yang berusaha atau sudah menjalani transisi
sosial dengan atau tanpa penggantian alat kelamin
menjadi jenis kelamin yang berbeda dari seharusnya
302. Behaviour merokok
• Pengetahuan/kognitif mempengaruhi seseorang untuk
membentuk tindakan (overt behaviour)
• Dalam merokok, ada beberapa proses yang terjadi sehingga
orang tersebut merokok, antara lain: (Notoadmojo, 2007)
 Awarness : tahap awal dalam mengadopsi perilakubaru
berpikir
Interest : tertarik melakukan apa yang dipikirkan
Evaluation : memikirkan baik buruknya apa yang akan dia
kerjakan
Trial : mulai mencoba apa yang dia pikirkan
Adoption : perilaku pada tahap ini dikerjakan dengan penuh
kesadaran, pengetahuan, dan sikap yang dimilikinya
Behavioural steps
Awarness Mengenal dan mengetahui bahaya rokok bagi kesehatan

Interest Tertarik dengan rokok

Evaluation Mulai menimbang keuntungan dan kerugian dari merokok

Trial Mulai merokok

Merokok yang disesuaikan dengan pengetahuan, kesadaran, dan


Adoption sikapnya terhadap bahaya merokok dan penyakit kanker baru
303. Agitasi

• Definisi: Aktivitas motorik atau verbal yang berlebih.

• Dapat berupa:
– Hiperaktivitas
– Menyerang
– Verbal abuse, memaki-maki
– Gerakan tubuh dan kata-kata mengancam
– Merusak barang
– Berteriak-teriak
– Gelisah, bicara berlebih
Tatalaksana Agitasi
• Bila skor PANSS-EC berkisar pada skor 2-3, maka
dilakukan persuasi dan medikasi oral.
– Haloperidol 2x5 mg untuk pasien dewasa
– Haloperidol 0,5 mg atau Lorazepam0,5 mg untuk anak dan
remaja

• Bila skor PANSS-EC menjadi 4-5, maka dilanjutkan


dengan pemberian:
– Injeksi Haloperidol 5 mg IM untuk dewasa
– 2,5-5 mg untuk anak usia 12 tahun ke atas
– Injeksi bisa diulang setiap 30 menit. Dosis max 30 mg/hari
untuk dewasa, dan 10 mg/hari untuk anak dan remaja
PPDGJ

304. Psikotik Akut


Skizofrenia Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1
bulan
Paranoid merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik 15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan,
senyum sendiri
Katatonik stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran
obsesif berulang
Waham menetap hanya waham
Psikotik akut gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang
memenuhi skizofrenia
Simpleks Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek
tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala
psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna
(tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
305. Short term Insomnia
• The Consensus Development Conference on
sleep disorders convened by the National
Institute of Mental Health in 1979 subdivided
insomnia into
– Transient (lasts one to several days)
– short term (from one to 4 weeks)
– long term or chronic conditions (more than 4
weeks)
• The International Classification of Sleep
Disorders (ICSD) comprises four sections
– dyssomnias,
• intrinsic sleep disorders,
• extrinsic sleep disorders and
• Circadian rhythm sleep disorders
– parasomnias,
– sleep disorders associated with medical or
psychiatric disorders and
– "proposed" sleep disorders
• Most transient and short term insomnias are
classed in the subgroup of extrinsic disorders, i.e.
those whose causes are external to the organism
– insomnia due to inadequate sleep hygiene,
– environment-related insomnia,
– altitude insomnia and
– adjustment or short term insomnia, to which will be
added insomnia due to transient physical stress, pain,
coughing, pruritis, not explicitly mentioned in the
ICSD, as well as rebound insomnia following the
discontinuation of certain hypnotics
Istilah lain
• Non restorative sleep:
– masih merasa lelah setelah tidur yang cukup
• Awakening Insomnia:
– bukan istilah yang dikenal dalam pembahasan
insomnia
306.Gangguan Fobik
Diagnosis Karakteristik
Fobia Khas Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera,
dan kematian.
Fobia sosial Rasa takut yang berlebihan akan dipermalukan atau melakukan
hal yang memalukan pada berbagai situasi sosial, seperti bicara di
depan umum, berkemih di toilet umum, atau makan di tempat
umum.
Agorafobia Kecemasan timbul di tempat atau situasi di mana menyelamatkan
diri sulit dilakukan atau tidak tersedia pertolongan pada saat
terjadi serangan panik. Situasi tersebut mencakup berada di luar
rumah seorang diri, di keramaian, atau bepergian dengan bus,
kereta, atau mobil.

PPDGJ
307. TILIKAN
• Tilikan adalah kemampuan seseorang untuk memahami sebab
sesungguhnya dan arti dari suatu situasi (termasuk di
dalamnya gejala yang dialaminya sendiri).
Derajat Deskripsi

1 penyangkalan total terhadap penyakitnya

2 ambivalensi terhadap penyakitnya

3 menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya

4 menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan tetapi tidak memahami penyebab
sakitnya
5 menyadari penyakitnya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
6 menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk
mencapai perbaikan
308. GANGGUAN KEPRIBADIAN
309. ANSIETAS (GANGGUAN CEMAS)
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya
kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari
stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan
panik.
Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat.
Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam.
Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.

Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara lain:
hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan
dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang
lain.

Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp minggu
menyeluruh disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan motorik (gemetar,
sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas,
berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental
(iritabilita).
Panic Attack Specifiers
(4 or more symptoms)
• Palpitations, pounding • Nausea or abdominal
heart, or accelerated distress
heart rate • Feeling dizzy, unsteady,
• Sweating light-headed, faint
• Trembing or shaking • Chills or heat sensations
• Sensation or shortness • Paresthesias
of breath • Derealization or
• Feeling of choking depersonalization
• Chest pain or • Fear of losing control
discomfort • Fear of dying

DSM-IV-TR
Pedoman Diagnosis Gangguan Panik
• Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan ansietas fobik.

• Harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas


berat dalam masa kira-kira satu bulan.

• Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif


tidak ada bahaya.

• Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang


dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation)

PPDGJ-III
310. PERVASIVE DEVELOPMENTAL
DISORDER (PDD)

mild severe

Asperger’s PDD Not Autistic Rett’s disorder Childhood


disorder Otherwise disorder disintegrative
Classified disorder
(PDD-NOS)

Autism spectrum disorder (ASD)


Autism Spectrum Disorder (ASD)
Asperger, PDD-NOS, Autism
PDD-NOS Autism Asperger
Impaired social interaction Impaired social interaction Impaired social interaction

OR AND AND

Impaired communication Impaired communication Normal communication/


language development
OR AND
AND
Restricted repetitive and Restricted repetitive and
stereotyped patterns or stereotyped patterns or Restricted repetitive and
behaviors behaviors stereotyped patterns or
behaviors
310. GANGGUAN PSIKIATRI PADA ANAK
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
311. Malnutrisi Energi Protein

MEP Ringan (Gizi kurang)


• Kurus, pertumbuhan linier berkurang, BB tidak
bertambah, LILA lebih kecil, maturasi tulang
terhambat, anemia ringan, aktivitas dan perhatian
berkurang.

MEP Berat (Gizi Buruk)


• Marasmus
• Kwarshiorkor
• Marasmus-Kwarshiorkor
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2009
311. Malnutrisi Energi Protein

WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota
Kemenkes RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. 2011
10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk

Kemenkes RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. 2011


Kebutuhan Energi, protein dan cairan sesuai fase-fase
tatalaksana gizi buruk

Stabilisasi Transisi (F75  F Rehabilitasi


(F 75) 100) (F100)
Energi 80-100 kkal/kgbb/hari 100-150 150-
kkal/kgbb/hari 220/kgbb/hari/
Protein 1-1.5 g/kgbb/hari 2-3 g/kgbb/hari 4-6 g/kgbb/hari
Cairan 100-130 ml/kgbb/hari Bebas, sesuai
Bila ada edema berat: kebutuhan energi
100 kkal/kgbb/hari

Pembahasan Soal
Anak BB 6,8  pemberian nutrisi awal / fase stabilisasi
adalah 80-100 Kkal/kgbb/ hari  544 kkal/hari – 680
kkal/hari dengan F 75.
WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota
312. Polycystic Kidney Disease
Definisi :
• Merupakan kelainan berupa kista pada ginjal tanpa
terjadinya displasia yang diturunkan secara genetik.

Klasifikasi :
• Autosomal Recessive Polycystic Kidney Disease (ARPKD)
• Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease (ADPKD)

Vergese P. Pediatric Polycystic Kidney Disease. Available from http://emedicine.medscape.com/article/983281


312. Polycystic Kidney Disease
ARPKD ADPKD
Diturunkan secara autosomal resesif. Diturunkan secara autosomal dominan.
Kista berasal dari tubulus proksimal 1 dalam 400 hingga 1000 kelahiran di US.
Berhubungan dgn disgenesis bilier dan Mutasi pd gen PKD1 pada kromosom 16.
fibrosis periportal.
1 dalam 20.000 kelahiran.

Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis


Prenatal : pembesaran ginjal dan Gejala renal : gross hematuria,massa atau
oligohydramnions. nyeri pada pinggang, poliuria, demam
karena ISK, nefrolitiasis dan hipertensi
Infant : low set dan flattened ears, short, karena peningkatan volume ginjal.
snubbed nose, deep eye crease,
micrognathia, club foot, massa pada Gejala kardio : HT, mitral valve prolapse,
abdomen atau hepatosplenomegali dan regugirtasi aorta.
hipertensi
Gejala ekstrarenal : aneurisma otak, kista
pada pankreas, hepar dan vesika seminalis,
divertikulum kolon serta hernia inguinalis.
Vergese P. Pediatric Polycystic Kidney Disease. Available from http://emedicine.medscape.com/article/983281
312. Polycystic Kidney Disease
ARPKD ADPKD
Radiologi : Radiologi :
Pembesaran ginjal, distensi abdomen • Pembesaran ginjal
Hipoplasia pulmoner, pneumotoraks. • Distorsi kaliks
• Kista bilateral dgn besar yg bervariasi
USG :
Prenatal : ginjal membesar, small bladder, USG :
oligohidroamnion. • Kista multipel pd ginjal
• Ginjal membesar, hiperekoik,
Neonatal : mikro dan makro kista, fibrosis pd • Kista pada ovarium dan pankreas
parenkima hepar.

Dewasa : kista kecil mutiple, pada ginjal yg


berukuran normal, peningkatan ekogenitas
korteks, hilangnya diferensiasi
kortikomedula
Tatalaksana
• Hematuria  bed rest, hidrasi, analgesik
• Batu ginjal  ESWL atau PNL
Vergese P. Pediatric Polycystic Kidney Disease. Available from
• Infeksi  antibiotik. http://emedicine.medscape.com/article/983281
312. Polycystic Kidney Disease

Sonogram shows cysts with bilaterally Sagittal sonogram shows multiple micro
enlarged kidneys. These findings are cysts in the right kidney which are not
compatible with a diagnosis of communicating with each other in
autosomal dominant polycystic ARPKD
kidney disease (ADPKD).
Multicystic Dysplastic Kidneys
• Umumnya mengenai ginjal unilateral.
• 1/3600 kelahiran hidup.
• Penyebab tersering agenesis ginjal.
• Ginjal yg terkena tdk mempunyai jaringan
yang fungsional dan digantikan dgn kista
multipelballotement – (ginjal mengalami
involusi)
• Jika terjadi bilateral  still birth atau janin
meninggal dalam beberapa hari pertama
kehidupan.
Urban A. Multcystic Renal Dysplasia. Available from http://emedicine.medscape.com/article/982560
313. Encopresis
Definisi
• Keluarnya feses secara
involunterfecal
incontinence
• Klasifikasi:
 Konstipasi fungsional
(95%)/primary non
retentive encopresis
 Overflow/organic (5%)

Borowitz SM. Encopresis. emedicine


Kuhn BR, Marcus BA, Pitner SL. Treatment guidelines for primary nonretentive encopresis and stool toileting refusal. AAFP
Pathogenesis
Tipe organik sering berkaitan dengan
• Tipe fungsional penyakit lainpatogenesis terkait
penyakit yang mendasari (co. IBS)
Progressive rectal distention

Konstipasi kronik

Stretching m. sfingter ani interna


dan eksterna

Berlangsung untuk
jangka waktu lama

Feses keluar secara involunter Terjadi habituasi/adaptasi


dengan sensasi ingin BAB

Feses yang lembek dan berair Tidak ada lagi perasaan


mengalir diantara feses yang keras “urgensi” untuk BAB
Diagnosis based on DSM V
• Repeated passage of feces into inappropriate places,
whether involuntary or intentional
• One such event occurs each month for at least 3 months
• Occurs in children at least age 4 years (or of equivalent
developmental level)
• The behavior is not attributable to the physiologic effects of
a substance or another medical condition except through a
mechanism involving constipation
• Anak-anak yang mengalami hal ini terbagi menjadi 4 kelompok
1. Anak-anak yang belum mendapat atau berhasil dalam hal toilet training
2. Fobia terhadap toilet
3. Untuk memanipulasi keadaan (supaya bisa kabur atau tidak dimarahi)
4. Yang mengalami IBS
314. Defisiensi vitamin B12
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan
asam folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut


mengakibatkan kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat memberi
gambaran pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
• Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
• Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
• Gangguan memori, depresi, iritabilitas
• Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
Etiolog
i

Clinical laboratory hematology. 3rd ed.


315. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
• Basil batang gram positif
• Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
• Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina
atau palisade
• Gejala:
• Gejala awal nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring, tonsil,
uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan
sekitarnya edema.
• Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Prinsip diagnostik
• Pemeriksaan :
• Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
• Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
• Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
• Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung
Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Prinsip diagnostik
• Pemeriksaan : Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal
dari swab tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
• Obat:
• Antitoksin: 40.000 Unit ADS IM/IV, skin test
• Anbiotik: Penisillin prokain 50.000 Unit/kgBB IM per hari selama 7
hari atau eritromisin 25-50 kgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat anak
tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)
• oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi saluran
respiratorik dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


http://4.bp.blogspot.com/
Prinsip tatalaksana
• Obat Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa nasogastrik.
• Indikasi krikotirotomi/ trakeostomi/intubasi : Terdapat
tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang
berat
• Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
kortikosteroid pada difteri.
 Dianjurkan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
 Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
 Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, po tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari.
Tindakan Profilaksis
• Rawat anak di ruangan isolasi
• Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai dengan
riwayat imunisasi
• Berikan eritromisin pada kontak serumah sebagai tindakan
pencegahan (12.5 mg/kgBB, 4xsehari, selama 3 hari)
• Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga serumah

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Perubahan Jadwal Imunisasi
Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


316-317 Congenital
Toxoplasmosis
• Merupakan manifestasi dari infeksi T. gondii melalui
vertical transmission
• Vertical transmision: dari ibu ke anak
• Paling mungkin terjadi jika ibu terinfeksi pada saat gestasi,
• Kalau infeksi primer sebelum gestasi sangat jarang bisa
menularkan ke anak kecuali ibu immunocompromised
• T. gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu takizoit (bentuk
proliferatif), kista (berisi bradizoit, dan ookista (berisi
sporozoit).
• Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung
runcing dan ujung lain agak membulat.

PPM IDAI 2011


Transmisi
toksoplasma

Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital toxoplasmosis. AAFP, 2013


Korioretinitis
Atrophic scar di
retino choroidal
Peningkatan
vaskularisasi

Trias Congenital
Hidrosefalus
Toxoplasmosis
Ventriculomegali

Kalsifikasi
PPM IDAI 2011 Intrakranial Kalsifikasi
Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital
toxoplasmosis. AAFP, 2013
Prinsip Diagnosis Toxoplasma
1. Serologis
Tes Sabin Feldman (IgG)
ELISA: IgM, IgA, IgE).
2. PCR dapat mendeteksi T.gondii pada buffy coat darah tepi,
cairan serebrospinal atau cairan amnion untuk menentukan
banyaknya DNA parasit yang muncul di awal kehamilan.
3. Laboratorium
• Awalnya limfositopenia atau monositosis
• Eosinofilia(>30%), trombositopenia
• Punksi lumbal: xantokrom, mononuklear pleositosis, protein
meningkat, dan parasit terdeteksi.
4. CT Scan: hidrosefalus dan kalsikasi di periventrikel dan basal
gangliaminggu pertama kehidupan
5. Pemeriksaan histopatologi: Takizoit atau kista di jaringan atau
cairan tubuh.
PPM IDAI 2011
Hidrosefalus
• Pelebaran ventrikel otak + peningkatan TIK
• Etiologi:
1. Obstruksi CSF
2. Absorbsi CSF yang menurun di vili arachnoid
3. Produksi CSF di pleksus choroid meningkat
• Tipe:
1. Non-komunikans
2. Komunikans

PPM IDAI 2011


Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital toxoplasmosis. AAFP, 2013
Hidrosefalus
- Gejala Klinis -
• Pertumbuhan lingkar kepala abnormal >+2 SD
• UUB masih terbuka pada anak usia > 18 bulan atau UUB
membonjol
• Kelainan bentuk kepala: oksipital yang prominen, asimetri
bentuk kepala, pembesaran diameter biparietal,dan frontal
boosing
• Funduskopi: papiledema jika terdapat peningkatan tekanan
intrakranial, perdarahan retina pada hidrosefalus akut, atrofi
nervus optic pada hidrosefalus kronik, korioretinitis pada
infeksi toksoplasma atau CMV.
• Kelainan saraf kranial: “sun-set appearance” dimana mata
terlihat deviasi kebawah.
• Tanda-tanda lesi upper motor neuron: hiperrefleks, klonus,
spastisitas.
• Lesi di daerah tulang belakang: benjolan, dimple, hair tuft,
atau hemangioma yang merupakan tanda spina bi da.
PPM IDAI 2011
Hidrosefalus
- Modalitas diagnosis -
• Pemeriksaan transiluminasi positif
• Foto rontgen kepala:
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:
impresionis digitata.
Sutura yang melebar.
Pembesaran daerah fosa posterior (Sindrom Dandy-
Walker).
Fosa posterior yang mengecil (malformasi Arnold-Chiari).
Kalsifikasi periventrikular (infeksi CMF).
Kalsifikasi yang menyebar (infeksi toksoplasma).
• USG (pada anak dengan UUB yang belum menutup).
PPM IDAI 2011
Hidrosefalus
- Modalitas diagnosis -
• CT-Scan atau MRI kepala: digunakan sebagai diagnostik dan
mencari etiologi.
Diagnosis:
ditemukan pelebaran ventrikel dan tanda-tanda peningkatan
tekanan intraventrikel seperti sulcus yang tidak jelas terlihat,
penumpulan sudut kornu anterior atau edema periventrikular.
Etiologi:
Gambaran obstruksi, kalsifikasi periventrikel (infeksi kongenital
CMV) atau kalsifikasi intraparenkim (infeksi kongenital
toksoplasma), sindrom Dandy- Walker atau malformasi Arnold-
Chiari.
Temuan lain:
ventrikulomegali tanpa adanya peningkatan tekanan intraventrikel,
seperti pada atrofi otak (hidrosefalus ex vacuo), malformasi otak
(lisensefali), non progressive arrested hydrocephalus

PPM IDAI 2011


Prinsip Tatalaksana Hidrosefalus
• Hanya diberikan pada pasien dengan peningkatan TIK
• Definitive: VP Shunt, jika belum bisa dikerjakan dilakukan
Drainase eksterna ventrikel
Ventricular tapping
Pungsi lumbal serial
• Farmakologi:
Asetazolamide (dosis 30-50 mg/kgbb/hari)
Furosemid (dosis 1 mg/kgBB/hari)

PPM IDAI 2011


Prinsip Tatalaksana Toxoplasma
Trimester I dan IIDOC: Spiramisin 100 mg/kgBB/hari
• Ibu saat hamil selama 30-45 hari

Trimester II akhir dan IIIDOC:

Pirimetamin/sulfadiazin + leucovorin
 Pirimetamin: 100 mg di hari 1 lanjut 25-50 mg/hari
 Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari
 Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6 minggu
• Anak
 Pirimetamin 1mg/kgBB/12 jam selama 2 hari dilanjutkan tiap hari sampai usia2-6 bulan,
dan 3x/minggu sampai usia 1 tahun.
 Sulfadiazin 50mg/kgBB/12jam sampai usia 1 tahun
 Asam folat 10 mg, 3x/minggu sampai 1 minggu setelah pemberian pirimetamin
berhentiuntuk mencegah supresi sumsum tulang.
 Prednison 0,5 mg/kgBB/12jam diberikan pada infeksi susunan saraf pusat yang aktif
(protein >1g/dL), korioretinitis aktif, penglihatan yang mengancam
 Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV dan T.gondii dapat diberikan terapi bersama
antiretroviral seperti zidovudin.

PPM IDAI 2011


318. Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
Tekanan di dalam Jantung

319. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Duktus Arteriosus Persisten
• Kelainan berupa duktus (pembuluh yang menghubungkan
arteri pulmonalis kiri dan aorta desenden) yang tetap
terbuka setelah bayi lahir
• Pada bayi cukup bulan  duktus menutup secara
fungsional dalam 12 jam setelah lahir dan lengkap dalam 2-
3 minggu
• Dijumpai 5-10% dari seluruh PJB, perempuan : laki-laki (3:1)
• Etiologi :
– Kegagalan penutupan pada bayi cukup bulan akibat kelainan
struktur otot polos duktus
– Pada prematur  menurunnya responsivitas duktus terhadap
O2 dan peran relaksasi aktif dari PGE2 dan prostasiklin (PGI1)
Patent Ductus Arteriosus
320. Tetralogi Fallot
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow
If the obstruction is mild:
Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
ToF
Atrioventricular Septal Defect
321. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
• Carditis: Coombs murmur);
– and a high-pitched,
– (40% of patients) decrescendo, diastolic murmur
– and may include cardiomegaly, of aortic regurgitation heard at
new murmur, congestive heart the aortic area.
failure, and pericarditis, with or – Murmurs of mitral and aortic
without a rub and valvular stenosis are observed in
disease. chronic valvular heart disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Penyakit Jantung Rematik
• Rheumatic heart disease is a chronic condition
resulting from rheumatic fever that is
characterized by scarring and deformity of the
heart valves
• Sekuelae demam reumatik akut yang tidak di-tx
adekuat
• Manifestasi 10-30 th pasca DRA
• Penyakit jantung katup
– MS: fusi komisura  fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS
Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
322-323. Status Epileptikus
• Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai
definisi status epileptikus (SE) karena International League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang.
• Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung.
• Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-
konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
324-325. Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang
TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah
ada riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi
ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus
Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI
Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang tidak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
– Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam.
– Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah

• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


– saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.
– Indikasi LP:
• Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
• Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
• Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang
• Indikasi CT scan/MRI
– Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
– Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks
sangat rendah
– Harus dilakukan :
• Makro/mikrosefali
• Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali
sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun,
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off , namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
326. Tetanus Neonatorum

• Tetanus : Penyakit spastik paralitik akut akibat toksin


tetanus (tetanospasmin) yang dihasilkan Clostridium tetani.
Tanda utama : spasme tanpa gangguan kesadaran
• Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti
oleh kekakuan dan spasme.
• Kejadian tetanus neonatorum sangat berhubungan dengan
aspek pelayanan kesehatan neonatal, terutama pelayanan
persalinan (persalinan yang bersih dan aman), khususnya
perawatan tali pusat
• Komplikasi yang ditakutkan adalah spasme otot diafragma
GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS, & PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pada tetanus neonatorum • Diagnosis berdasarkan tanda dan


Gejala
ditemukan kekakuan dan • Pemeriksaan Penunjang
spasme dan posisi tubuh – Hanya dilakukan untuk membedakan
dengan sepsis atau meningitis
klasik: trismus, kekakuan pada – Pungsi lumbal
otot punggung menyebabkan – Darah rutin, kultur, dan sensitivitas
opisthotonus yang berat
dengan lordosis lumbal.
– Bayi mempertahankan ekstremitas
atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi
dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Prinsip Tatalaksana Tetanus

1. Pemberian antitoksin tetanus


2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Tatalaksana tetanus neonatorum
• Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
• Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam
(0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari
• Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000
U IM
• TT 0.5 ml IM di tempat yang berbeda dengan situs injeksi HTIG/ATS
• Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari
atau penisilin prokain 100.000 U/kg dosis tunggal selama 7-10 hari
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU
• Langkah promotif/preventif :
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara
steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan
antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Perawatan Penunjang & Pencegahan
Komplikasi
• Tirah baring, • Pencegahan Anoksia otak:
• Oksigen, bersihkan – Pemberian antikejang, sekaligus
jalan nafas secara mencegah laringospasme,
teratur, – Jalan napas yang memadai, bila perlu
lakukan intubasi (pemasangan tuba
• Cairan infus dan diet endotrakheal) atau lakukan rakheotomi
per sonde berencana, pemberian oksigen.
• Monitoring kesadaran, • Pencegahan Pneumonia:
TTV, trismus, asupan / – membersihkan jalan napas yang teratur,
keluaran, elektrolit pengaturan posisi penderita berbaring,
• Konsultasikan ke bagian pemberian antibiotika.
lain bila perlu. • Pencegahan Fraktur vertebra:
– pemberian antikejang yang memadai.
327. Infeksi Dengue
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes albopictus
• DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus
berat, diikuti dengan serotipe DEN-2
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
WHO. SEARO. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue hemorrhagic fever in
small hospitals. 1999.
Pemeriksaan Penunjang
Alur
Perawatan
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age (beats/min
)
Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85
1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M.
Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, (1999). Pediatric reference ranges (3rd
2011.
ed.). Washington, DC: AACC Press.
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for
Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of
http://wps.prenhall.com/wps/media/obje
Pediatrics, 2000, pp 43-45. cts/354/362846/London%20App.%20B.pdf
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000.
328. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by the
swelling of one or more of the
salivary glands, typically the
parotid glands.
• Highly infectious to nonimmune
individuals and is the only cause
of epidemic parotitis.
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan “occasional pembengkakan parotis sampai 9
outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
dan jaringan syaraf. prodromal tidak spesifik ditandai
• The transmission mode is person dengan mialgia, anoreksia,
to person via respiratory droplets malaise, sakit kepala dan demam
and saliva, direct contact, or ringan  Setelah itu timbul
fomites. pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live attenuated 1 minggu dan biasanya
vaccine sangat berhasil (98%) menghilang setelah 10 hari.
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, Thyroiditis,
Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
• Approximately one third of postpubertal male patients
develop unilateral orchitis.
• Prevention : Vaccinating children with MMR Jadwal IDAI
2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan
usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum
mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12
bulan
Mumps Treatment
• Conservative, supportive medical care is indicated for
patients with mumps.
• No antiviral agent is indicated, as mumps is a self-
limited disease.
• Encouraging oral fluid intake
• Refrain from acidic foods and liquids as they may
cause swallowing difficulty, as well as gastric
irritation.
• Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
• Topical application of warm or cold packs to the
swollen parotid may soothe the area.
329. ITP
• Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut juga autoimmune
thrombocytopenic purpura, morbus Wirlhof, atau purpura hemorrhagica,
merupakan kelainan perdarahan akibat destruksi prematur trombosit yang
meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit.
• Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per
100.000 anak per tahun.
• Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus, atau
bakteri (infeksi saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah
vaksinasi rubella, rubeola, varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus
hidup.
• Patofisiologi: Peningkatan destruksi platelet di perifer, biasanya pasien
memiliki antibodi yang spesifik terhadap glikoprotein membran platelet
(IgG autoantibodi pada permukaan platelet)
ITP: Cardinal Features
• Trombositopenia <100,000/mm3
• Purpura dan perdarahan membran mukosa
• Diagnosis of exclusion
• 2 jenis gambaran klinis
– ITP akut
• Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3 bulan.
– ITP kronik
• Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang
berlangsung selama 6 bulan
• >90% kasus anak merupakan bentuk akut
• Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan
intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering
(1-2% dr kasus ITP)
• Pemeriksaan fisis
– Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit dan
mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
– Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
• Pemeriksaan penunjang
• Darah tepi :
– Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
– Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
– Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
– Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya kadang
ditemui bentuk trombosit yang lebih besar (giant plalets),
– Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
• Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang:
– Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik.
– Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi
selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran hepar/ lien/kelenjar getah bening dan pada laboratorium
ditemukan bisitopenia.
Medikamentosa
• Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila:
– Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ μL
– Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ μL
– Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dievaluasi
– setelah pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis diturunkan
pelahan-lahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan
sekitar 30.000 - 50.000/μL.
– Prednison dapat juga diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4
mg/kgBB/hari selama 4 hari.
– Bila tidak respons, pengobatan yang diberikan hanya suportif.
– Pengembalian kadar trombosit akan terjadi perlahan-lahan dalam
waktu 2-4 minggu dan paling lama 6 bulan.
– Pada ITP dengan kadar trombosit >30.000/μL dan tidak memiliki
keluhan umumnya tidak akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
Medikamentosa
• Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila :
– Jumlah trombosit <20.000/ μL dengan perdarahan
mukosa berulang (epistaksis)
– Perdarahan retina
– Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan
tampon, hematuria, perdarahan organ dalam)
– Jumlah trombosit < 50.000/ul dengan
kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial
– Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit
<150.000/ μL.
Thrombotic Thrombocytopenic
Purpura (TTP)
• Thrombotic Thrombocytopenic • Gejala dan tanda
Purpura (TTP) merupakan • acute or subacute onset
kelainan darah dengan berkaitan dengan gejala
karakteristik adanya trombosis neurologis, anemia, dan
sehingga terjadi trombositopenia trombositopenia
• Dalam bentuk lengkap, terdiri • Kelainan neurologis: penurunan
dari pentad microangiopathic kesadaran, kejang, hemiplegia,
hemolytic anemia, parestesia, gangguan visual,
thrombocytopenic purpura, afasia.
kelainan neurologis, demam, dan • Mudah lelah akibat anemia
kelainan ginjal.
• Perdarahan akibat
• Etiologi belum diketahui trombositopenia jarang terjadi;
• Therapy of choice : plasma biasanya muncul petekie
exchange with fresh frozen
plasma.
ITP vs. TTP vs. DIC
Parameters ITP TTP DIC

Pathogenesis Antiplatelet Endothelial Defect Thrombin Excess


Antibodies
Clinical Condition Not Sick Sick Sick

Red Cells N Schistocytes Schistocytes +/-

PT/INR N N/Slightly Increased Increased

PTT N N/Slightly Increased Increased

Fibrinogen N N Decreased

Fibrin Monomers N Slightly Increased Increased

Fibrin Degradation N Slightly Increased Increased

D-dimer N Slightly Increased Increased


330. Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis A
• Self limited disease dan • Diagnosis
tidak menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran – Simptomatik
darah dan dieksresikan ke
urin  warna urin gelap – Istirahat, hindari makanan
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
coloured) – Hidrasi yang baik
– Diet
HEPATITIS B VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


Hepatitis C
 90% transfusion,
50% IDU
 Little evidence of
sexual or perinatal
transmission
 Incubation 1-5 (2)
mo
 Acute infection:
 75% subclinical
 25% jaundice
 Chronicity
 50%
 Cirrhosis: 20% of
chronic
331. Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
• Gejala
– Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi
– Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
– Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
• Pemeriksaan Fisik
– Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir
hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


• Clinical features:
– Step ladder fever in
the first week, the
persist
– Abdominal pain
– Diarrhea/constipation
– Headache
– Coated tongue
– Hepatosplenomegaly
– Rose spot
– Bradikardia relatif

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.


Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
332. Candidiosis oral
• Infeksi candida pada rongga mulut
• Spesies tersering: Candida albicans
• Terjadi akibat terganggunya flora normal atau pada kondisi
immunodefisiensi
• Terdapat beberapa jenis, yaitu
- Kandidiosis pseudomembran akut
- Kandidiosis eritematosa atrofik akut dan kronik
- Kandidiosis hiperplasia kronik
- Denture related stomatitis
- Kelitis angularis

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. emedicine


Jenis Gambaran klinis

Kandidiosis Plak putih pada lidahdapat


pseudomembranosa akut diangkatsetelah diangkat
tampak dasar eritema

Kandidiosis eritematosa Eritematosa pada dosum


atrofik akut dan kronik lidah, palatum, atau mukosa
(perbedaan akut dan bukal
kronikpada kronik disertai
kelitis angularis)
Kandidiosis hiperplasia kronik Plak putih yang tidak dapat
diangkat

Denture related stomatitis Eritema dan edema kronik


pada mukosa yang kontak
dengan denture

Kelitis angularis/perlèche Lesi berupa fissura dan


eritema di sudut mulut dan
terasa perih

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. emedicine


Terapi kandidiosis oral

DOC: NYSTATIN
Infants
• 200,000 units PO q6hr (100,000 units in each
side of mouth)
Children
• Oral suspension: 400,000-600,000 units PO q6hr
Intestinal Candidiasis
• Oral Tablets: 500,000 units - 1 million units q8hr
333. Varicella (Chicken Pox)
• Infeksi akut oleh virus varicella zoster yang menyerang
kulit dan mukosa
• Transmisi secara aerogen

• Gejala
– Masa inkubasi 14-21 hari
– Gejala prodromal: demam subfebris, malaise, nyeri kepala
– Disusul erupsi berupa papul eritematosa  vesikel tetesan
air (tear drops)  pustul  krusta
– Predileksi: badan  menyebar secara sentrifugal

• Pemeriksaan
– Percobaan Tzanck Test  sel Datia Berinti Banyak
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Varicella (Chicken Pox): Terapi
• Pengobatan
– Simptomatik (antipiretik, analgesik, antipruritus)

– Bedak Salicil 2 % (anti pruritus)

– Salep Salicil 2% bila terdapat ulserasi

– Bila Erupsi < 24 jam  antiviral


• Acyclovir: 5 x 800 mg selama 5 hari
• Valacyclovir
– Dosis anak: 2-18 tahun  20 mg/kgBB PO, 3x/hari, 5 hari. Max: 1 g PO,
3x/hari
– Selama 5 hari
Pemeriksaan Tzanck
• Cara pengambilan dan pemeriksaan sampel
• Sampel diambil dari vesikel atau bula yang baru dan masih
utuh
• Atap vesikel atau bula dibuka menggunakan skalpel,
kemudian dilakukan kerokan pada dasar vesikel/bula.
• Material yang didapat dioleskan pada gelas obyek hingga
membentuk lapisan tipis, dan dibiarkan sampai kering.
• Genangi dengan cat Giemsa selama 20 menit (pewarnaan
lain juga bisa digunakan Wright’s, toluidinin blue)
• Cuci dengan air mengalir perlahan, biarkan
TZANCK SMEAR
• Kegunaan untuk:
o Immunobullous disorders: pemphigus vulgaris, SSSS, TEN
o Cutaneous infections:
• herpers simplex, herpes zoster, varricella, CMV  multinucleated
giant cells
• Moluscum contagiosum
o Genodermatoses (inherited genetic skin conditions
example: ichthyosis; often grouped into three categories:
chromosomal, single gene, and polygenetic)
o Suspected tumors: basal cell epitelioma, paget’s disease,
squamous cell carcinoma
Cytodiagnosis of cutaneous infections
with Tzanck Test
• Herpes simplex, varicella, herpes zoster
– The typical features include characteristic multinucleated
syncytial giant cells and acantholytic cells. The cells appear as if
they have been inflated ("ballooning degeneration")
– Eosinophilic Intranuclear inclusion bodies
• Molluscum contagiosum
– Intracytoplasmic molluscum bodies (Henderson-Patterson
bodies)
• Viral warts:
– koilocytes
• Hand foot and mouth disease
– syncytial nuclei, absence of acantholytic cells
Multinucleate giant cells
Tzanck smear showing secondary acantholysis
in Herpes simplex. The yellow arrow points to
a single acantholytic cell; the red arrow
indicates a multinucleated giant cell. (Giemsa
stain, 10× )

Acantholysis is defined as the loss of coherence between epidermal cells due to the
breakdown of their intercellular bridges. The cells remain intact but are no longer
attached to each other; they tend to acquire the smallest possible surface area and
become rounded up, resulting in intra-epidermal clefts, vesicles and bullae.
High power view of secondary acantholysis in
Herpes simplex. Few Multinucleated giant
cells are also seen. (Giemsa stain, 40× )
334. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina atau
palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring, tonsil,
uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan sekitarnya
edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab tenggorok, jika
bisa diambil dibawah selaput pseudomembran
Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tatalaksana Umum
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai
dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat
gangguan pernafasan yang progresif dilakukan
trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas
tetap bebas dan dijaga kelembaban udara dengan
nebulizer spesifik
• Tatalaksana
– Antitoksin: difteri hidung 20.000 U ADS IM; difteri tonsil/ laring/
faring 40.000 Unit ADS IM/IV, kombinasi tempat-tempat tsb 80.000
U ADS IV; dengan penyulit, bullneck 80-100 ribu IV; terlambat
berobat (>72 jam, lokasi di mana saja) 80-120 ribu IV; (skin test)
– Anbiotik: Penisillin prokain 50.000 Unit/kgBB IM per hari selama 7
hari atau eritromisin 25-50 kgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari
– Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat anak tidak
nyaman dan mencetuskan obstruksi)
– Bila pasien gelisah, iritabel atau terdapat gangguan pernapasan
yang progresif dilakukan trakeostomi

PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Difteri
• Tatalaksana (cont…)
– Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
– Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
– Tirah baring 2-3 minggu
– Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran nafas
bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck ) dan bila
terdapat penyulit miokarditis.
• Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


335. Vaksin Pertusis
• Vaksin pertussis whole cell: • Untuk vaksin Td ditambahkan
merupakan suspensi kuman B. perlu booster tiap 10 tahun.
pertussis mati. • Kejadian ikutan pasca imunisasi
• Vaksin pertusis aselular adalah DTP
vaksin pertusis yang berisi – Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
komponen spesifik toksin dari dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
Bordettella pertusis. pada separuh (42,9%) penerima
DTP.
• Vaksin pertussis aselular bila – Demam
dibandingkan dengan whole-cell
– Anak gelisah dan menangis terus
ternyata memberikan reaksi lokal menerus selama beberapa jam
dan demam yang lebih ringan, pasca suntikan (inconsolable
diduga akibat dikeluarkannya crying).
komponen endotoksin dan – Kejang demam
debris. – ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis
Vaksin Pertusis
• Kontraindikasi mutlak • Keadaan lain dapat
terhadap pemberian dinyatakan sebagai
vaksin pertusis baik perhatian khusus
whole-cell maupun (precaution):
aselular, yaitu – bila pada pemberian
– Riwayat anafilaksis pada pertama dijumpai riwayat
pemberian vaksin hiperpireksia, keadaan
sebelumnya hipotonik-hiporesponsif
– Ensefalopati sesudah dalam 48 jam, anak
pemberian vaksin pertusis menangis terus menerus
sebelumnya
 selama 3 jam dan riwayat
kejang dalam 3 hari
• sesudah imunisasi DTP.
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
VAKSINASI KIPI

KIPI jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul : demam, tidak
Hepatitis B tinggi, kemerahan pada tempat penyuntikan, pembengkakan, nyeri rasa
mual dan nyeri sendi.

Demam tinggi, rewel, nyeri tempat suntikan, dan pembengkakan yang


DPT akan hilang dalam waktu 2 hari.
DT  kemerahan, pembengkakan , nyeri pada tempat suntikan,

Polio Sangat jarang timbul reaksi KIPI

tidak nyaman pada tempat suntikan. 5-12 hari setelah penyuntikan yaitu
MMR demam tidak tinggi, erupsi kulit halu/tipis yang berlangsung kurang dari
48 jam. Pembengkakan KGB postaurikula  3 minggu post penyuntikan
336-337. Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat
infeksi Bordetella pertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing
which often makes it hard to breathe. After
fits of many coughs needs to take deep
breathes which result in a "whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat
infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan
setelah terjadinya penyakit
Pertusis
• Stadium:
– Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea,
demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi
biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini.
– Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang
lama, bisa diikuti dengan whooping atau stadium
apnea. Bisa disertai muntah.
– Stadium konvalesens: batuk kronik hingga
beberapa minggu
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-
overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
• Diagnosis :
– Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
– Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan :
– Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
– < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau
sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang
– Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
– IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi
• Pneumonia • Kejang
• Atelektasis • Tanda perdarahan, berupa:
• Ruptur alveoli Epistaksis, melena, perdarahan
• Emfisema subkonjungtiva, hematom
• Bronkiektasis epidural, perdarahan
• Pneumotoraks intrakranial
• Ruptur diafragma
• Meningoensefalitis,
ensefalopati, koma
• Dehidrasi dan gangguan nutrisi
• Hernia umbilikalis/inguinalis,
prolaps rekti
338. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis:
Management

Mild disease
• Symptomatic therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• Etiological Treatment
– Anti viral therapy (rare)
– Antibiotic (if etiology
bacteria)
• Symptomatic Therapy
– Bronchodilator: controversial
– Corticosteroid: controversial
(not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
339-340. Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
months Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B
Parainfluenza viruses Chlamydia and nontypable)
Influenza A and B trachomatis Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)


years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Diagnosis Pneumonia (WHO)
Di samping batuk Batuk dan/atau dyspnea Dalam keadaan yang
atau kesulitan ditambah min salah satu: sangat berat dapat
bernapas, hanya • Kepala terangguk-angguk
dijumpai:
terdapat napas • Tidak dapat menyusu
• Pernapasan cuping hidung
cepat saja. atau minum/makan,
• Tarikan dinding dada bagian

VERY SEVERE
PNEUMONIA

SEVERE PNEUMONIA

PNEUMONIA
bawah ke dalam atau memuntahkan
• Foto dada menunjukkan semuanya
infiltrat luas, konsolidasi • Kejang, letargis atau
tidak sadar
Selain itu bisa didapatkan pula • Sianosis
tanda berikut ini:
• Distres pernapasan
• takipnea berat
• Suara merintih (grunting)
pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar:
crackles (ronkii), Suara
pernapasan menurun, suara
napas bronkial
Kriteria rawat inap
Tatalaksana Pneumonia

• rawat jalan
PNEUMONIA

SEVERE-VERY SEVERE PNEUMONIA


• ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam). Bila anak memberi respons yang baik dlm
• Kotrimoksasol 24-72 jam, lanjutkan selama 5 hari. Selanjutnya
(4 mg TMP/kg dilanjutkan dgn amoksisilin PO (15 mg/ kgBB/kali tiga kali
BB/kali) 2 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
sehari selama • Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau
3 hari atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
Amoksisilin letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
(25 mg/kg berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali
BB/kali) 2 kali IM atau IV setiap 8 jam).
sehari selama • Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera
berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-
3 hari. kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV
sekali sehari).
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter
nasofaringeal.
341. Pediatric Aspiration Pneumonia
• Aspiration is defined as the inhalation of either
oropharyngeal or gastric contents into the lower airways,
that is, the act of taking foreign material into the lungs.
• There are four types of aspiration syndromes.
– Aspiration of gastric acid causes a chemical pneumonitis which
has also been called Mendelson's syndrome.
– Aspiration of bacteria from oral and pharyngeal areas causes
aspiration pneumonia.
– Aspiration of oil (eg, mineral oil or vegetable oil) causes
exogenous lipoid pneumonia, an unusual form of pneumonia.
– Aspiration of a foreign body may cause an acute respiratory
emergency and, in some cases, may predispose the patient to
bacterial pneumonia.
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Radiologic Findings in Aspirated
Foreign Body
• Normal findings
• Air trapping
• Mediastinal shift
• Atelectasis
• Pneumonia
• Lobar collapse
• Consolidation
• Radiopaque foreign body
Pediatric Airway Foreign Body
Complications
• The most common complications among children in whom the diagnosis
was delayed were croup, pneumonia, pneumothorax, atelectasis, stricture,
and perforation (multicenter study, Reilly et. al)
• The pathogenesis of pulmonary infection which is related to either partial
or complete obstruction of the airway that results in retained secretions
and subsequent bacterial overgrowth.
• Consider the diagnosis of foreign body aspiration in all children who have
unexplainable pulmonary pathology, such as persistent lung infections
(recurrent pneumonia or lung abscess), bronchiectasis, or new-onset
asthmatic symptoms.
• In these instances, the use of flexible bronchoscopy may aid in the
diagnosis.
• Less common complications of chronic aspiration of a foreign body include
perforation of the bronchial tree and fistula formation.
342. Klasifikasi kekerapan Asma

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan


Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak
antar gejala ≥6 minggu
Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun


tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Penatalaksanaan jangka panjang asma pada anak

• Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah


diagnosis asma ditegakkan dan dilakukan tata laksana
umum selama 6 minggu (pengendalian lingkungan,
penghindaran pencetus)
• Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak
kunjungan awal, tatalaksana langsung dilakukan sesuai
klasifikasi
• Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal
penetapan jenjang tata laksana jangka panjang
• Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi
kekerapan, masukan ke dalam klasifikasi lebih berat
Penatalaksanaan Asma pada Anak
• Setelah dilakukan penghindaran pencetus, derajat kekerapan gejala
dan kendali asma dapat dilakukan dalam waktu 6 minggu.
• Pada Asma intermiten  tidak diperlukan tatalaksana asma jangka
panjang, sesuai dengan jenjang 1
• Asma persisten  tatalaksana jenjang 2-4  evaluasi secara
berkala untuk menaikan atau menurunkan jenjang dalam
pemakaian obat asma
• Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani
tatalaksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan
• Pemberian steroid inhalasi untuk tatalaksana jangka panjang harus
dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu kriteria
berikut :
– Mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir
– Penggunaan obat pereda asma ≥3 kali dalam satu minggu
– Terbangun karena serangan asma 1 kali dalam satu minggu
Jenjang dalam tatalaksana Asma Jangka panjang ada anak usia >5 tahun

1st line : ICS dosis menengah + LABA


Jenjang 4 Pilihan lain : ICS dosis menengah ; ICS dosis rendah +LTRA,; S
Persisten berat
ICS dosis rendah + teofilin lepas lambat A
B
1st line : Low dose ICS + LABA A
Persisten sedang Jenjang 3 Pilihan lain : KS dosis tinggi + LABA; KS dosis tinggi +LTRA ; KS
dosis tinggi + teofilin lepas lambat
P
1st line : low dose ICS E
Persisten ringan Jenjang 2 R
Pilihan lain LTRA
E
Intermiten Jenjang 1 Tidak perlu obat pengendali D
A

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka panjang menggunakan klasifikasi kekerapan
2. Bila satu jenjang telah berlangsung 6-8 minggu dan asma belum terkendali  naik ke jenjang berikutnya (step
up)
3. Bila satu jenjang telah berlangsung 8-12 minggu dan asma sudah terkendali  turun ke jenjang bawahnya
(step down)
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek penghindaran, penyakit penyerta
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali  ditambah omalizumab
343. Serangan Asma Akut
• Eksaserbasi (serangan asma ) :
– Episode peningkatan yang progresif (perburukan)
dari gejala – gejala asma, yaitu sesak nafas, batuk,
wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai
kombinasi gejala tersebut
– Ditandai dengan penurunan FEV 1/PEF
Derajat serangan asma
Asma serangan ringan Serangan asma dengan
Asma serangan berat
sedang ancaman henti nafas
• Bicara dalam kalimat • Bicara dalam kata • Mengantuk
• Lebih senang duduk • Duduk bertopang • Letargi
dibanding berbaring • Gelisah • Suara nafas tidak
• Tidak gelisah • Frekuensi nafas terdengar
• Frekuensi nafas meningkat
meningkat • Frekuensi nadi
• Frekuensi nadi meningkat
meningkat • Retraksi jelas
• Retraksi minimal • SpO2 (udara kamar) <
• SpO2 (udara kamar) 90%
90-95% • PEF ≤50% prediksi
• PEF >50% prediksi atau terbaik
atau terbaik
Penatalaksanaan di rumah
• Dilakukan bila anak tidak dalam keadaan sesak berat dan tidak termasuk
resiko tinggi yaitu memiliki riwayat :
– Serangan asma yang mengancam nyawa
– Intubasi karena serangan asma
– Pneumotoraks dan pneumomediastinum
– Serangan asma berlangsung dalam waktu lama
– Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
– Kunjungan ke IGD atau dirawat di RS karena serangan asma dalam satu tahun
terakhir
– Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
– Berkurangnya persepsi tentang sesak nafas
– Penyakit pskiatri atau masalah psikososial
– Alergi makanan

• Bila anak tidak memiliki kondisi di atas maka dapat diberikan inhalasi SABA
menggunakan nebuliser atau MDI + spacer
Penatalaksanaan di Rumah
• SABA nebulizer
– Jika dengan pemberian 1x gejala menghilang  cukup diberikan 1x
saja
– Jika dalam 30 menit gejala tidak berkurang  berikan 1x lagi
– Jika diberikan dua kali belum membaik, segera bawa ke fasyankes
• SABA MDI + spacer
– Berikan SABA serial via spacer dengan dosis 2-4 semprot. Berikan satu
semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan nafas melalui
interface spacer berupa masker atau mouthpiece
– Bila belum ada respon, berikan semprot berikutnya dengan siklus yang
sama
– Jika membaik dengan ≤4x semprot, inhalasi dihentikan
– Jika tidak membaik dengan 4 kali semprot  rujuk fasyankes
Tatalaksana Serangan Asma di Faskes Primer

PRIMARY CARE Patient presents with acute or sub-acute asthma exacerbation

Is it asthma?
ASSESS the PATIENT Risk factors for asthma-related death?
Severity of exacerbation?

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in words, sits hunched LIFE-THREATENING
Talks in phrases, prefers
sitting to lying, not agitated forwards, agitated Drowsy, confused
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min or silent chest
Accessory muscles not used Accessory muscles in use
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) <90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best URGENT

START TREATMENT
TRANSFER TO ACUTE
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer,
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
WORSENING While waiting: give inhaled SABA
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max.
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)
START TREATMENT
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer, TRANSFER TO ACUTE
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max. WORSENING
While waiting: give inhaled SABA
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)

CONTINUE TREATMENT with SABA as needed


WORSENING
ASSESS RESPONSE AT 1 HOUR (or earlier)

IMPROVING

ASSESS FOR DISCHARGE ARRANGE at DISCHARGE


Symptoms improved, not needing SABA Reliever: continue as needed
PEF improving, and >60-80% of personal Controller: start, or step up. Check inhaler technique,
best or predicted adherence
Oxygen saturation >94% room air Prednisolone: continue, usually for 5–7 days
(3-5 days for children)
Resources at home adequate
Follow up: within 2–7 days

FOLLOW UP
Reliever: reduce to as-needed
Controller: continue higher dose for short term (1–2 weeks) or long term (3 months), depending
on background to exacerbation
Risk factors: check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation,
including inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?

GINA 2016, Box 4-3 (7/7) © Global Initiative for Asthma


Managing exacerbations in acute care settings
INITIAL ASSESSMENT Are any of the following present?
A: airway B: breathing C: circulation Drowsiness, Confusion, Silent chest

NO
YES

Further TRIAGE BY CLINICAL STATUS Consult ICU, start SABA and O 2,


according to worst feature and prepare patient for intubation

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

GINA 2016, Box 4-4 (2/4) © Global Initiative for Asthma


MILD or MODERATE SEVERE
Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

Short-acting beta2-agonists Short-acting beta2-agonists


Consider ipratropium bromide Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain Controlled O2 to maintain
saturation 93–95% (children 94-98%) saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium
Consider high dose ICS

GINA 2016, Box 4-4 (3/4)


Short-acting beta2-agonists Short-acting beta2-agonists
Consider ipratropium bromide Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain Controlled O2 to maintain
saturation 93–95% (children 94-98%) saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium
Consider high dose ICS

If continuing deterioration, treat as


severe and re-assess for ICU

ASSESS CLINICAL PROGRESS FREQUENTLY


MEASURE LUNG FUNCTION
in all patients one hour after initial treatment

FEV1 or PEF <60% of predicted or


FEV1 or PEF 60-80% of predicted or
personal best,or lack of clinical response
personal best and symptoms improved
SEVERE
MODERATE
Continue treatment as above
Consider for discharge planning
and reassess frequently

GINA 2016, Box 4-4 (4/4) © Global Initiative for Asthma


344. Atelectasis

• Pulmonary atelectasis is described as a state


of a given region of lung parenchyma
collapsed and nonaerated, associated with
loss of lung volume and capacity, diagnosed
from clinical and complementary tests
(SCHINDLER, 2005)

Pozzo et.al. Children with pulmonary atelectasis: clinical outcome and characterization of physical therapy. Maringá, v. 35, n. 2, p. 169-173, July-
Dec., 2013
Atelectasis
• Classification of
Ateletacsis :
– Obstructive ateletacsis
– Resorptive ateletacsis
– Compressive ateletacsis
• The right middle lobe
orrifice is the narrowest
of the lobar orifices and
because it sorounded
by lymphoid tissue 
most common lobe to
become ateletactic
Atelectasis

• intrinsic airway obstruction is the most common cause


of ateletacsis in children
• Etiology:
– Asthma  most common cause
– Bronchiolitis
– Aspiration du to a swallowing disorder
– Endobronchial tuberculosis
– Aspiration from gastroesophageal reflux
– Cystic fibrosis
– Increased or abnormal airway secretions for other reason
Atelectasis

• Extrinsic compresion on the airways is the


most likely to come from
– enlarged lymph nodes
– Lymphoma and other tumors in chest
– An enlarged heart that compresses the left main
or left lower lobe bronchus
– Left to right intracadiac shunts that increases
blood flow through the pulmonary arteries
AT E L E C TA S I S
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

Efusi Pleura Sudut kostofrenikus tumpul, meniscus sign (+), garis elis-demoisseau (+)

Paru kolaps membentuk area hiperlusen avaskular dengan pleural line,


hidropneumoto
sedangkan bagian bawah radioopak karena terisi cairan dengan Gambaran
raks
airfluid level

Pneumotoraks area hiperlusen avaskular dengan pleural line


345. ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB), Nitrit (+), leukosit esterase (+)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-
10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5 mg/kg IV
sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak
346-348. Glomerulonefritis akut Pasca
Streptokokus
• Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana
terjadi inflamasi pada glomerulus
• Acute poststreptococcal glomerulonephritis is the archetype of
acute GN
• GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik
→ deposit kompleks imun di glomerulus
• Diagnosis
– Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya,
hematuri nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri
– PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas
infeksi, gejala hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru
– Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
• Terapi: Antibiotik (penisilin, eritromisin), antihipertensi, diuretik

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis. http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview


Mekanisme GNAPS
• Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi dalam
glomerulus yang kemudian akan merusak glomerulus
• Proses autoimun kuman Streptokokus yang bersifat
nefritogenik dalam tubuh menimbulkan badan
autoimun yang merusak protein glomerulus (molecular
mimicry)
• Streptokokus nefritogenik dan membran basalis
glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama
sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak
membran basalis glomerulus.
most common presenting signs in
children
• Edema — Generalized edema is present in about two-thirds of patients
due to sodium and water retention. In severe cases, fluid overload leads
to respiratory distress due to pulmonary edema.
– Despite excessive sodium retention, the plasma levels of atrial natriuretic
peptide are increased. In this condition, this suggests that the kidneys are
unresponsive to atrial natriuretic peptide.
– Plasma renin activity is usually low
• Gross hematuria — Gross hematuria is present in about 30 to 50 percent
of patients. The urine looks smoky, and tea or coca cola-colored.
• Hypertension — Hypertension is present in 50 to 90 percent of patients
and varies from mild to severe. It is primarily caused by fluid retention.
Hypertensive encephalopathy was an uncommon but serious
complication. These patients require emergent intervention.
• Subclinical cases of PSGN are primarily characterized by microscopic
hematuria
Pemeriksaan Penunjang
• Urinalisis
– Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• ASTO meningkat (ASTO: the antibody made against
streptolysin O, an immunogenic, oxygen-labile
hemolytic toxin produced by most strains of group A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Penatalaksanaan
• The major goal is to control edema and blood pressure
• During the acute phase of the disease, restrict salt and water. If significant
edema or hypertension develops, administer diuretics.
– Loop diuretics (Furosemide 1 mg/kg/kali (maks 40 mg), 2-3 kali per hari)
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers or angiotensin-
converting enzyme inhibitors are useful
• Restricting physical activity is appropriate in the first few days of the illness but
is unnecessary once the patient feels well
• Specific therapy:
– Treat patients, family members, and any close personal contacts who are infected.
– Throat cultures should be performed on all these individuals. Treat with oral penicillin V (250
mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients
allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
349. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif dari change nephrotic syndrome
ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik mayoritas (lipoid nephrosis) merupakan
bersifat idiopatik, yang belum penyebab tersering dari sindrom
diketahui patofisiologinya secara nefrotik pada anak, mencakup 90%
jelas, namun diperkirakan terdapat kasus di bawah 10 tahun dan >50%
keterlibatan sistem imunitas tubuh, pd anak yg lbh tua.
terutama sel limfosit-T • Faktor risiko kekambuhan: riwayat
• Gejala klasik: proteinuria, edema, atopi, usia saat serangan pertama,
hiperlipidemia, hipoalbuminemia jenis kelamin dan infeksi saluran
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, pernapasan akut akut (ISPA) bagian
dan penurunan fungsi ginjal atas yang menyertai atau mendahului
terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Sindrom Nefrotik
• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik
dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom Nefrotik
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
350. Glomerulonephritis
• Definisi • Klinis
• Patologi : inflamasi • Penyakit glomerular primer:
intraglomerular (dari focal – Kelainan minimal
proliferative [< 50% dari – Glomerulosklerosis fokal segmental (Fokal: lesi <80%
glomeruli] hingga diffuse glomerulus. Segmental: lesi sebagian gelung glomerulus)
proliferative sampai – Glomerulonefritis (GN) difus (lesi >80% glomerulus):
crescentic) • GN membranosa (nefropati membranosa)
• GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada UL: sedimen
• Klinis : hematuria dengan
eritrosit (+), hematuri):
Kristal eritrosit dysmorphic, – GN proliferatif mesangial
proteinuria subnephrotic, – GN proliferatif endokapiler
– GN membranoproliferatif (mesangiokapiler)
sering disertai gagal ginjal, – GN kresentik dan necrotizing
hipertensi, edema; secara • GN sclerosing
spectrum waktunya dibagi – Nefropati IgA
jadi GN akut – hitungan hari; • Penyakit glomerular sekunder:
rapidly progressive GN
– Nefropati diabetik
(RPGN) – minggu; GN kronik – Nefritis lupus
- bulan; – GN pasca infeksi
– GN terkait hepatitis
– GN terkait HIV
The glomerular basement membrane (GBM) of the kidney is the basal lamina
layer of the glomerulus.
The GBM is a fusion of the endothelial cell and podocyte basal laminas

GLOMERULUS
NORMAL
Glomerulus normal di bawah mikroskop
cahaya
Contoh Glomerulonefritis berdasarkan
Morfologi:
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
• Rapidly progressive glomerulonephritis
(RPGN)
• Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
• Membranous GN
• Mesangial Proliferative GN
• Membranoproliferative glomerulonephritis
Minimal-Change Glomerulonephritis
• Nama lain Nil Lesions/Nil Disease (lipoid
nephrosis)
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
merupakan penyebab tersering dari sindrom
nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di
bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.

Nephrology (Carlton). 2007 Dec;12 Suppl 3:S11-4.


Pathophysiology of minimal change nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.
Cho MH, Hong EH, Lee TH, Ko CW.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17995521
Minimal-change disease (MCD)/lipoid nephrosis/nil disease, hampir selalu
beruhubungan dengan sindrom nefrotik (penyeban sindrom nefrotik idiopatik
tersering pada adak). Hampir tidak ditemukan perubahan pada membran maupun
sel mesangial
Glomerulonephritis, crescentic (RPGN). Compression of the glomerular tuft with a circumferential
cellular crescent that occupies most of the Bowman space. Rapidly progressive
glomerulonephritis (RPGN) is defined as any glomerular disease characterized by extensive
crescents (usually >50%) as the principal histologic finding and by a rapid loss of renal function
(usually a 50% decline in the glomerular filtration rate [GFR] within 3 mo) as the clinical
correlate.
Image courtesy of Madeleine Moussa, MD, FRCPC, Department of Pathology, London Health Sciences Centre, London, Ontario, Canada.
This is focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). An area of
collagenous sclerosis runs across the middle of this glomerulus. As the
name implies, only some (focal) glomeruli are affected and just part of
the affected glomerulus is involved (segmental) with the sclerosis. In
contrast to minimal change disease, patients with FSGS are more likely
to have non-selective proteinuria, hematuria, progression to chronic
renal failure, and poor response to corticosteroid therapy
Here is the light microscopic appearance of membranous nephropathy in which the
capillary loops are thickened and prominent, but the cellularity is not increased.
Membranous GN is the most common cause for nephrotic syndrome in adults. In most
cases there is no underlying condition present (idiopathic). However, some cases of
membranous GN can be linked to a chronic infectious disease such as hepatitis B, a
carcinoma, or SLE.
Mesangial Proliferative GN
• Mesangioproliferative pattern of glomerular
injury is characterized by the expansion of
mesangial matrix and the mesangial
hypercellularity.
• Contoh: immune disease such as IgA
nephropathy or class II lupus nephritis or non-
immune diseases such as early diabetic
glomerulosclerosis
Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
• Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) is an
uncommon cause of chronic nephritis that occurs primarily in
children and young adults.
• This entity refers to a pattern of glomerular injury based on
characteristic histopathologic findings, including:
– (1) proliferation of mesangial and endothelial cells and expansion of
the mesangial matrix
– (2) thickening of the peripheral capillary walls by subendothelial
immune deposits and/or intramembranous dense deposits
– (3) mesangial interposition into the capillary wall, giving rise to a
double-contour or tram-track appearance on light microscopy
Membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN)
type I. Glomerulus with
mesangial interposition
producing a double contouring
of basement membranes,
which, in areas, appear to
surround subendothelial
deposits (Jones silver
methenamine–stained section;
original magnification × 400).
Courtesy of John A. Minielly,
MD.
Chronic GN. A Masson trichrome preparation shows complete replacement of virtually all glomeruli by blue-
staining collagen. (Courtesy of Dr. M. A. Venkatachalam, Department of Pathology, University of Texas Health
Sciences Center, San Antonio, Texas.)
Oval Fat Bodies
• Oval fat bodies are cells with birefringent fat droplets within
their cytoplasm.
• Two Possibilities:
– the cell is an oval renal proximal tubular cell with a fat droplets
filled cytoplasm (Schumann)
– macrophages also known as foam cells (Stamey)
• Under low power magnification, oval fat bodies are often
seen as large brown spots (sometimes almost black). This
coloration is due to the yellowish brown pigmented fat
making the droplets.
• These cells are usually seen in a context of heavy
proteinuria.
• Oval fat bodies, in a high proteinuria context, are associated
with the nephrotic syndrome (nephrosis), although oval fat
bodies are not specific to the nephrotic syndrome.
• These cells are sometime seen in specimens with a normal
proteinuria.
351. Wilms tumor
• Wilms tumor • Merupakan tumor solid pada
renal terbanyak pada masa
Tumor ganas ginjal yang terjadi kanak-kanak, 5% dari jumlah
pada anak, yang terdiri dari sel kanker pada anak. (smith urology)
spindel dan jaringan lain. Disebut • Puncak usia adalah pada usia 3
juga tahun
adenomyosarcoma , embryoma o • Lebih sering unilateral ginjal
f kidney , nephroblastoma ,renal c
arcinosarcoma . • Etiologi
– Non familial: 2 postzygotic
mutation pada single cell
– Familial : 1 preygotic mutation dan
The American Heritage® Stedman's Medical Dictionary subsequent post zygotic event
Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company.
Published by Houghton Mifflin Company. – Mutasi ini terjadi pada lengan
pendek kromosom 11 (11p13)
Patogenesis & Karakteristik
Pathology tumor
• Wilms tumor :
Prekurson wilms tumor (nephrogenic large, multi lobular, gray or tan in
rest-NR) color, focal area of hemorrhage
Perilobar NR dan intralobar and necrosis, biasanya terdapat
NR fibrous pseudocapsule
• Penyebarannya :
1. Direct extension  renal
NR dormant untuk beberapa tahun capsule
2. hematogenously  renal vein
atau vena cava
3. lymphatic
Renal mengalami involusi dan • Metastasis : 85-95% ke paru, 10-
sclerosis 15% ke liver, 25% ke limf node
regional

Wilms tumor
Histopatology : Blastemal, epithelial,
dan stromal element, tanpa
anaplasia
Tumor Wilms
Gejala Klinis Pemeriksaan penunjang
• Massa dan rasa sakit pada • Lab : Urinalisis : hematuria,
abdominal anemia, subcapsular
hemorrhage. Jika sudah
• Macroscopic haematuria
metastasis ke liver terdapat
• Hypertension peningkatan creatinin
• Anorexia, nausea, vomit • CT abdominal lihat
ekstensi tumor
• Chest xray  lihat
metastasis ke paru
• Biopsi
• CT scan in a patient  Gross nephrectomy
with a right-sided specimen shows a Wilms
Wilms tumor with tumor pushing the
favorable histology. normal renal
parenchyma to the side.
Manajemen
• Surgical :
- Keterlibatan kidney unilateral
- Tumor tidak melibatkan organ visceral
• Chemotherapy
• Radiasi
disease Sign & symptoms
Renal cell In contrast to adults, renal cell carcinoma is rare in childhood. However,
carcinoma there appears to be a subset of affected adolescent males with a unique
chromosomal translocation at Xp11.2
The classic triad of RCC (flank pain, hematuria, and a palpable abdominal
renal mass)

neuroblastoma NB is the third most common pediatric cancer, accounting for about 8% of
childhood malignancies
The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease.
Most cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in
retroperitoneal sympathetic ganglia. Usually a firm, nodular mass that is
palpable in the flank or midline is causing abdominal discomfort

Wilms tumor Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the
fourth most common childhood cancer
Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or
swelling, without other signs or symptoms. Other symptoms can include
abdominal pain (30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %)
PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline
and generally does not move with respiration. In contrast, neuroblastoma
and splenomegaly often will extend across the midline and move with
respiration
352. Pubertas Prekoks

• Definisi: tanda-tanda • GnRH dependent (central) :


maturasi seksual sebelum early reactivation of
usia 8 tahun pada Hypothalamus-pitutary-
perempuan dan 9 tahun gonad axis
pada laki-laki • GnRH independent
• Lebih banyak pada (peripheral): autonom sex
perempuan steroid , not affected by
• Perempuan  idiopatik; Hypothalamus-pitutary-
laki-laki  kelainan CNS gonad axis
• Variant
– thelarche prematur
– adrenarche prematur
Etiologi
GnRH dependent (sentral) GnRH independent (perifer);
• idiopatik Lelaki:
• kelainan SSP • (isoseksual)
– tumor – adrenal: tumor, CAH
– non-tumor: pasca infeksi, – testes : tumor sel Leydig,
radiasi, trauma, kongenital familial testotoksikosis
• Iatrogenik – gonadotropin-secreting tumor:
• non SSP: hepatoma, germinoma,
• keterlambatan diagnosis pada teratoma
GIPP • SSP: germinoma, adenoma (LH
secreting)
• Heteroseksual
– peningkatan aromatisasi perifer

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Etiologi

GnRH independent (perifer), perempuan:


• (isoseksual)
– McCune Albright
– Hipotiroid berat
• heteroseksual
– adrenal: tumor, CAH
– Tumor ovarium:arrhenoblasto ma

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Dependent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
peningkatan aktivitas pubertas - lebih kecil)
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS PADA
PEREMPUAN
Anamnesis

• Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik


pubertal.
• Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
• Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP
• Riwayat penyakit dahulu
– kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi
obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung hormon steroid
seks)
• Riwayat penyakit keluarga
– riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan rerata
pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.
Pemeriksaan fisis
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/bawah
tubuh.
• Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit
• Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner
– Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan
rambut pubis (P).
– Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau
sindrom McCune- Albright.
• Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor
intraabdomen.
• Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi
• Nilai basal LH dan FSH. • RUTIN:
– Kadar basal LH basal >0,83 U/L – Usia tulang/bone age
menunjang diagnosis pubertas
prekoks sentral. – USG pelvis pada anak
– rasio LH/FSH lebih dari satu
perempuan
menunjukkan stadium pubertas. • ATAS INDIKASI:
• Hormon seks steroid: estradiol – Ultrasonografi testis pada
pada anak perempuan dan anak laki-laki jika terdapat
testosteron pada anak laki- laki. asimetri pembesaran testis.
• Kadar DHEA – USG atau CT-Scan abdomen.
(dehydroepiandrosterone) atau – MRI kepala untuk mencari lesi
DHEAS (DHEA sulfate) jika hipotalamus
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar
puncak LH 5-8 U/L menunjukkan
pubertas prekoks progresif.
Tatalaksana

• ditujukan langsung pada penyebab


• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks
steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
• Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat pada
HAK.
• Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer.
• Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH
agonis.
• Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana
penyakit yang mendasarinya
353. Congenital Hypothyroidism
Etiology
• Thyroid Function: • The fetal pituitary-thyroid axis is
– normal brain growth and myelination believed to function independently
and for normal neuronal of the maternal pituitary-thyroid
connections. axis.
– The most critical period fis the first
few months of life. • The contributions of maternal
thyroid hormone levels to the fetus
• The thyroid arises from the fourth are thought to be minimal, but
branchial pouches.
maternal thyroid disease can have
• The thyroid gland develops between a substantial influence on fetal and
4 and 10 weeks' gestation. neonatal thyroid function.
• By 10-11 weeks' gestation, the fetal – Immunoglobulin G (IgG)
thyroid is capable of producing autoantibodies, as in autoimmune
thyroid hormone. thyroiditis, can cross the placenta
• By 18-20 weeks' gestation, blood and inhibit thyroid function
levels of T4 have reached term levels. (transient)
T – Thioamides (PTU) can block fetal
thyroid hormone synthesis
(transient)
– Radioactive iodine administered to
a pregnant woman can ablate the
fetus's thyroid gland permanently.
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif
Clinical Presentation
Hipotiroid kongenital pada Anak
• Hipotiroid kongenital ditandai produksi hormon tiroid yang
inadekuat pada neonatus
• Penyebab:
– Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme hormon
tiroid
– Inborn error of metabolism
• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang
dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan
terjadi penurunan IQ bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis
etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi
hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview


• Most affected infants have few or no symptoms,
because their thyroid hormone level is only
slightly low. However, infants with severe
hypothyroidism often have a unique
appearance, including:
– Dull look
– Puffy face
– Thick tongue that sticks out
• This appearance usually develops as the disease
gets worse. The child may also have:
– Choking episodes
– Constipation
– Dry, brittle hair
– Jaundice
– Lack of muscle tone (floppy infant)
– Low hairline
– Poor feeding
– Short height (failure to thrive)
– Sleepiness
– Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/


Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Skrining Hipotiroid Kongenital (HK)
• Skrining HK telah merupakan prosedur rutin di Negara maju sejak tahun
1970 an.
• Di Indonesia baru dilaksanakan sejak tahun 2000 dan sampai tahun 2014,
baru diskrining kurang dari 1% dari jumlah seluruh bayi baru lahir
• Skrining HK paling baik dilakukan saat bayi berumur 48-72 jam atau
sebelum bayi pulang.
• Sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama karena kadar TSH
masih tinggi sehingga akan memberikan hasil positif palsu
• Sedikit darah bayi diteteskan di atas kertas saring khusus, dikeringkan
kemudian bercak darah dikirim ke laboratorium
• Di laboratorim kadar hormon TSH diukur dan hasilnya dapat diketahui
dalam waktu kurang dari 1 minggu.

Website IDAI
Skrining HK
• Karena pada dasarnya orientasi skrining HK adalah untuk mendeteksi hipotiroid
primer (permanen atau transien) dan sesuai dengan rekomendasi American
Thyroid Association, pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang
paling sensitif.
• Peningkatan kadar TSH sebagai marka hormonal cukup akurat untuk menapis HK.
Nilai cut-off adalah 20 mikroIU/mL (WHO) untuk dugaan HK (presumptive
classification).
• Khusus untuk negara yang masih menghadapai masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI) seperti Indonesia, pemeriksaan primer TSH untuk
skrining HK akibat kekurangan iodium pada ibu hamil merupakan indikator yang
sensitif dalam menentukan derajat kekurangan iodium. Juga merupakan cara yang
baik untuk memantau hasil program penanggulangan GAKI
• Kementerian Kesehatan merekomendasikan laboratorium dengan pemeriksaan
primer TSH dan pemeriksaan konfirmasi TSH + fT4/T4 yang sudah terakreditasi
sebagai pelaksana uji skrining HK

Pedoman Skrining Hipotiroid Kongenital. Departemen Kesehatan. 2012


354. Diabetic Ketoacidosis
• Diagnostic criteria* • Typical deficits
– Blood glucose: > 250 mg per dL – Water: 6 L, or 100 mL per kg
(13.9 mmol per L) body weight
– pH: <7.3 – Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
– Serum bicarbonate: < 15 mEq/L weight
– Urinary ketone: ≥3+ – Potassium: 3 to 5 mEq per kg
body weight
– Serum ketone: positive at 1:2
dilutions† – Phosphate: ~1.0 mmol per kg
body weight
– Serum osmolality: variable

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and other
factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic
ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes
mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;827–44.

CLASSIC TRIAD OF DKA


Tatalaksana KAD
• Konfirmasikan keadaan Ketoasidosis Diabetik
• Anamnesis: adanya riwayat trias P (poliuri,
polidipsi, polifagi) disertai berat badan yang
menurun.
• Pemeriksaan fisik: kesadaran menurun, nafas
cepat dan dalam (Kusmaull), tanda-tanda syok
(perfusi jaringan menurun), penderita
dehidrasi/syok namun tetap poliuri.
• Laboratorium: gula darah > 250 mg/dL, keton
darah /urin (++), analisa gas darah (pH < 7,35),
urin lengkap, BUN, kreatinin.
Tatalaksana KAD
Rehidrasi:
• Berikan cairan isotonik (Ringer Laktat atau NaCl 0.9%)
• Bila ada syok, atasi sesuai standar (10-20
ml/kgBB/secepatnya).
• Berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi, dan rehidrasi
dilakukan dengan jumlah cairan untuk 36 – 48 jam
(termasuk jumlah cairan untuk atasi syok).
• Cairan diganti dengan cairan yang mengandung
Dekstrosa 5% bila gula darah mencapai 250 mg/dL.
• Atasi hipokalemia dengan pemberian KCl bila produksi
urin cukup. Kecepatan pemberian per drip KCl
maksimal 0,5 mEq/kgBB/jam. Sesuaikan nilai Na
terukur dengan kadar Na sesungguhnya.
Tatalaksana KAD
Pemberian Insulin:
• Berikan insulin per drip secara kontinu (tanpa bolus) dengan dosis 0,1
IU/kgBB/jam dalam cairan isotonik.
• Monitor kadar gula darah tiap jam selama 4 jam pertama, kemudian dapat
menjadi 4 jam sekali. Penurunan kadar gula darah tidak boleh melebihi
100 mg/dL per jam,
• Pemberian insulin per drip secara kontinu parenteral, diubah menjadi
injeksi sub kutan 4 x /hari pada 30 menit sebelum makan tetap dengan
insulin kerja pendek (reguler), bila:
– Penderita sadar penuh.
– Gula darah optimal 120 mg/dL - 180 mg/dL
– pH darah > 7,35 dan HCO ≥ 15 mEq/L
3

• Insulin per drip dihentikan 1 jam setelah injeksi subkutan dilakukan.


• Alternatif lainnya untuk penderita DM lama adalah dosis insulin dapat
menggunakan dosis yang lazim digunakan.
Tatalaksana KAD
Diet / Nutrisi :
• Tidak diperbolehkan memberikan
makanan/minuman per oral sampai penderita
sadar betul, tidak nyeri perut, dan dapat
makan/minum per oral.
• Diberikan dengan kalori yang sesuai untuk usia
dan beratnya.
• Nutrisi dibagi 20%-25%-25% untuk makan
utama dan 3 x snack masing-masing 10%.
355. Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


Anemia Makrositik (Defisiensi Vitamin B12)
• Macrocytosis : mean corpuscular volume
greater than 100 fL
Pathogenesis of Megaloblastic anemia
• Ineffective erythropoiesis
– Intramedullary destruction of red cell precursors
– Hypercellular marrow with apoptosis of late
precursors
• Ineffective granulopoiesis and thrombopoiesis
also present and can result in neutropenia and
thrombocytopenia.
• Mild hemolysis with shortening of red cell
half-life.
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
Vitamin B12: Cobalamin absorption
• Initially bound to protein in diet, liberated by acid
and pepsin, then binds to R factors in saliva and
gastric acids
• Freed from R factors by pancreatic proteases them
binds to Intrinsic Factor secreted by gastric parietal
cells
• Absorbed together (Cbl + IF) in ileum
• Released from IF in ileal cell then exocytosed bound
to trans-Cbl II
• Cbl bound to transcobalamin II binds to cell surface
receptors and is endocytosed

Kaferle J. Evaluation of Macrocytosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):203-208


Cobalamin transport
Stomach Duodenum Terminal Ileum
• Peptic digestion • Pancreatic  Cobalamin-IF complex
liberates cobalamin protease releases undergo receptor-
from foods. cobalamin from HC mediated endocytosis
• Cobalamin is complex. via IF receptor,
bound to
Haptocorrin(HC)- • Cobalamin is then Cubilin.
like protein with bound to intrinsic
factor, forming a  IF is degraded in the
more avidity than
intrinsic factor in complex which is lyzosome, releasing
stomach pH. very resistant to cobalamin into
digestion. cytoplasm.

 Transcobalamin forms
complex with
cobalamin  blood.
Folate (Pteroyl Monoglutamic acid)
• Called as folic acid as it is found in green leafy
vegetables
• Source: Green leafy vegetable , liver , yeast, kidney,
egg, meat, fish and dairy foods
• Much of it is destroyed in cooking (heat)
• Micro-organisms
• Daily requirement: adult 50-100 µg pregnancy and
lactation 500- 800 µg
Folate/Vit. B9
(Pteroyl Monoglutamic acid)
• Absorption:
– Folic acid conjugates hydrolysed to pteroyl
monoglutamic acid by conjugases
– Conjugases are enzymes present in vegetables and
mammalian tissue, GIT mucosa & pancreas
– Pteroyl monoglutamic acid is completely
absorbed in small intestine jejunum
• Transport storage and fate:
– Orally given folic acid appears in 30 min as
circulation it circulates as N5 Methyl THF
– Majority is loosely bound to albumin from
where it is easily taken up by cells
– Inside the cells converted to THF by
cobalamine dependent enzyme methionne
synthetase
– Vit C protects THF from destruction
– Total folate in body = 5 to 10 mg (1/3 in liver as
methyl folate)
• Metabolic functions
• Folic acid DHFA THFA (Active form)
folate DHF
reductase reductase
• THFA mediates number of one Carbon transfer
reactions
– Conversion of homocysteine to methionine
– Generation of thymidylate
– Conversion of serine to glycine
– Purine synthesis
– Histidine metabolism
Actions of Cobalamin & Folate
Penyebab Defisiensi Vitamin B9 & B12

• Penurunan asam lambung dapat


menghambat absorbsi vitamin B12

Clinical laboratory hematology. 3rd ed.


356. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek
pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri
dari komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala
klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (gen rantai beta ada di kromosom 11) yang
mayoritas ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa(gen rantai alfa ada di kromosom 16)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


  
Excess

 2 2 Precipitation Fe free radicals


HbF
Selective survival of Haemolysis Destruction of RBC precursors
HbF-containing cells

Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells
Tissue hypoxia Anaemia
Erythopoietin

Marrow expansion Transfusion

Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modi fied from Weatherall, DJ

The pathophysiology of  thalassaemia


Pos t Gra duate Haematology, 1999
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe) peripheral blood smear of patient with homozygous beta
thalassemia with target cells, hypochromia, Howell -Jolly bodies,
thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from Stanley Schrier@
2001 in ASH Image Bank 2001; doi:10.1182/ashimagebank-2001-
• Analisis Hb 100208)

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA,


Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb
kualitatif
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali • Splenektomi  jika memenuhi
jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan
dengan jarak 2 minggu • Splenomegali masif
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
cooley, gangguan tumbuh kembang ml/kg/tahun
• Transfusi darah selanjutnya jika hb<8
g/dL SAMPAI kadar Hb 10-11 g/dL • Transplantasi (sumsum tulang,
(dlm bentuk PRC rendah Leukosit) darah umbilikal)
• Medikamentosa • Fetal hemoglobin inducer
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari (meningkatkan Hgb F yg
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe membawa O2 lebih baik dari Hgb
bebas dan me<<< deposit hemosiderin).
Dilakukan Jika Ferritin level > 1000 A2)
ng/ul, atau 10-20xtransfusi, atau
menerima 5 L darah. • Terapi gen
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
pemecahan eritrosit  stress oksidatif
>>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi
denga n deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
357. Anemia Defisiensi Besi
Anemia Mikrositik Hipokrom

MCV & MCH ↓

GDT

Besi serum

Besi serum ↑ Besi serum N/↑ Besi serum ↓

Besi sumsum tulang  Pemeriksaan Hb F/A2 Kadar ferritin

Ferritin↓ Ferritin N/↑

Anemia sideroblastik Talasemia, Kelainan Hb Defisiensi besi penyakit kronik


Etiologi
• Bayi di bawah 1 tahun • Anak umur 2-5 tahun
– Persediaan besi yang – Diet rendah heme
kurang karena BBLR, lahir – Infeksi berulang/menahun
kembarm ASI eksklusif – Perdarahan berlebihan
tanpa suplementasi, susu karena divertikulum
formula rendah besi, meckel
pertumbuhan cepat,
anemia selama kehamilan • Umur 5 tahun – remaja
• Anak umur 1-2 tahun – Poliposis
– Tidak mendapat MPASI – Kehilangan besi karena
– Kebutuhan meningkat perdarahan e.c
parasit/infeksi
karena infeksi berulang
– Malabsorbsi • Remaja dewasa
– Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis
• Anamnesis • Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung – Pucat tanpa tanda – tanda
lama (kronik) perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, – Limpa dapat membesar
sariawan, fagofagia, namun umumnya tidak
penurunan prestasi belajar, teraba
menurunnya daya dahan – Koilonikia, glositis. Dan
tubuh terhadap infeksi dan stomatitis angularis
gangguan perilaku
– Terdapat faktor predisposis
dan faktor penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Pengobatan harus dimulai pada stadium dini (pada stadium deplesi besi
atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB
• Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan
transfusi PRC
• Pemberian Zat Besi :
– Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai
terpenuhi  bentuk fero lebih mudah diserap
Tatalaksana
• Fe oral
– Aman, murah, dan efektif
– Enteric coated iron tablets  tidak dianjurkan karena
penyerapan di duodenum dan jejunum
– Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
• Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh,
kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau 2
jam setelahnya)
• Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida
• Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam  konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
358. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut
pada leukemia limfositik kronik
359. Kolestasis
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• tipe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia
bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Atresia Bilier

• Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir


normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi tidak
tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus
menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu
• Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang.
Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpeptidase) dan
fosfatase alkali progresif.
• Diagnostik: USG dan Biopsi Hati
• Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
• Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension,
sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Prognosis
• Prognosis is good if operated before 2 months of age
• Risk factors for failure liver fibrosis &Post op cholangitis
episodes
• 1/3rd of pts remain asymptomatic No transplant
• 1/3 never have bile flow and require early transplant
• 1/3 initially have good bile flow but subsequently develop
cirrhosis
• Without surgery or liver transplant, life span – 19 months
• Death is due to liver failure, bleeding esophageal varices
and sepsis
360-361. Food Allergy
• Hipersensitivitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari
produk sapi, telur)
• Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna,
antigen masuk lewat saluran cerna  hipersensitivitas
• Hipersensitivitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
• The prevalence of food allergies has been estimated to be 5-6% in infants and
children younger than 3 years and 3.7 % in adults
• Gejala:
– Anafilaktik
– Kulit: dermatitis atopik, urtikaria, angioedema
– Saluran nafas: asma, rinitis alergi
– Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis eosinofilik, gastroenteritis
eosinofilik, konstipasi kronik, dll.
• Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge

Nocerino A. Protein intolerance. http://emedicine.medscape.com/article/931548 -overview


Urtikaria
• Definisi:
Reaksi vaskular kulit karena berbagai macam sebab
• Tanda dan gejala
- Edema lokal yang timbul cepat
- Menghilang sendirinya dengan
perlahan-lahan
- Berwarna pucat kemerahan
- Permukaannya meninggi dibanding
kulit sekitar
- Disekitarnya dapat dikelilingi halo

Sumber: Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI


Prinsip tatalaksana
• Karena ini adalah reaksi atopi menjauhi allergen
penyebab
• Antihistamin, DOC: antihistamin H1 generasi II
- Antihistamin H1 generasi II: Loratadine 10 mg/hari (usia <6 tahun
tidak direkomendasikan)
- Antihistamin H1 generasi I: Difenhidramine 0.5 mg/kgBB 3-4 kali
• Glukokortikoid (jika tidak berespon terhadap
antihistamin): prednisone

Sumber: Wong HK. Urticaria. emedicine


362-363. Anemia Hemolisis Neonatus/
Hemolytic Disease of Neonates
P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inko m pati bi l i tas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inko m pati bi l i tas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A, B, atau AB serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rhesus

• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan


eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Prenatal emergency care for Rh


incompatibility:
– Tipe Rh ibu
– the Rosette screening test atau the Kleihauer-
Betke acid elution test bisa mendeteksi
alloimmunization yg disebabkan oleh fetal
hemorrhage
– Amniosentesis/cordosentesis

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan post natal baik untuk


inkompatibilitas ABO dan Rh
– Cek tipe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin,
apusan darah, dan direct Coombs test.
– direct Coombs test yang positif menegakkan diagnosis
antibody-induced hemolytic anemia yang menandakan
adanya inkompabilitas ABO atau Rh
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih dominan
adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan apusan
darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan
sedikit erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O I N K O M PAT I B I L I TA S R H

Tidak pernah terjadi pada anak pertama


dengan rhesus (+) karena antibodi ibu yg
Bisa terjadi pada anak pertama
terbentuk belum cukuop untuk
menyebabkan inkompatibilitas

Inkompatibilitas ABO jarang sekali


Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas
biasanya tidak separah
ABO, bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak


gambaran banyak spherocyte dan ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
• Fetal hydrops is an abnormal,
generalized increase in
interstitial fluid (edema) Fetal Hydrops
occurring prenatally and may
be observed at any gestation
from first trimester to term
• Classification :
– Minor fetal hydrops is very
common, particularly among
preterm neonates,and is often
unexplained
– Major or severe fetal hydrops
: defined as generalized
edema or 5-mm subcutaneous
edema in a third-trimester
fetus and accompanied by
effusions in at least one body
cavity
• gangguan pernapasan yang
disebabkan imaturitas paru dan
364. HMD defisiensi surfaktan, terutama
terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir
<1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea,
retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung,
dan sianosis yang terjadi dalam
beberapa jam pertama
kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8
jam pertama kehidupan, adanya
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air
PMH dapat disingkirkan.
bronchogram • Lung immaturity  salah satu
penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
RESPIRATORY DISTRESS
• Surfactant SYNDROME (Hyaline
– Berperan untuk membrane disease)
pengembangan alveolus,
bersifat menurunkan
tegangan permukaan
alveolus
– Dihasilkan oleh pneumosit
tipe 2 (sel kuboid/sel besar)
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl
phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant
proteins SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102
Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof
of infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not
suggested because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for
ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essential to facilitate extubation.
Distres Pernapasan pada Neonatus
Kelainan Gejala
Sindrom aspirasi Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat,
mekonium terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku,
atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan
hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran
syndrome (penyakit SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi
membran hyalin) tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular
appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul
newboorn setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir.
Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar,
hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan
amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala
sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous
infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah,
ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
365. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah+ pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
Marasmus Kwashiorkor
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


HIPOGLIKEMIA
• Semua anak dengan gizi • Jika anak tidak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
• Jika tidak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap • Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia setiap 2–3 jam, siang dan
• Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila tidak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
THT-KL
366. Caries Dentis
• Caries dentis adalah pembusukan enamel gigi oleh bakteri.
• Terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor protektif
dan faktor patologis dalam rongga mulut.
• Tanda dan gejala
– Nyeri, biasanya muncul ketika makan atau minum sesuatu yang
dingin, panas, atau manis.
– Gigi sensitif
– Nyeri ketika mengunyah
– Pemeriksaan rongga mulut: tampak lubang di gigi dan plak
coklat kehitaman di permukaan gigi.
• Komplikasi: inflamasi jaringan sekitar, gigi tanggal dan abses
Caries Dentis
• Faktor risiko:
– Lokasi gigi. Umumnya
terjadi di molar dan
premolar.
– Higienitas rongga mulut
(kebiasaan sikat gigi)
– Diet (makanan dan
minuman kariogenik)
– Kekurangan fluoride
– Efek obat-obatan (cth
kemoterapi)
– Penyakit tertentu (cth
GERD)
367. Kelainan Telinga Luar
• Hematoma of the auricle
– Severe blunt trauma to the auricle may cause hematoma.
– Edematous, fluctuant, & ecchymotic pinna.
– If left untreated may cause infection  perichondritis.
– Th/: incision & drainage/needle aspiration  pressure bandage

• Perichondritis of the Auricle


– Most often as a result of trauma, with penetration of the skin &
a contaminated wound.
– The auricle becomes hot, red, swollen, & tender after the
contaminating injury
– infection under the perichondrium  necrosis of the cartilage
 fibrosis  severe auricular deformity (cauliflower ear)
– Th/: antibiotics. If there is fluctuance from pus  drainage.

• Keloid
– May develop at the same piercing site on the lobe.
Kelainan Telinga Luar
• Pseudokista
• Benjolan di daun teling yang
disebabkan oleh kumpulan cairan
kekuningan di antara lapisan
perikondrium & tulang rawan
telinga.

• Biasanya pasien datang karena


benjolan di daun telinga yang tidak
nyeri & tidak diketahui
penyebabnya.

• Terapi: cairan dikeluarkan secara


steril, lalu dibalut tekan sengan
semen gips selama 1 minggu supaya
perikondrium melekat pada tulang
rawan kembali.
368. Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
– Viral: similar with acute rhinits + sore
throat
– Bacterial:
• Group A-β hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS)
is the pathogenic organism responsible for most cases
of bacterial pharyngitis in adults
• Others: pneumococcus, S. viridan, S. pyogenes.
• Detritus → follicular tonsillitits
• Detritus coalesce → lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise, otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin

• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar → widened crypt, filled
by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. | Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Tonsilopharyngitis
• Modified Centor score and
management options using clinical
decision rule.

• Other factors should be


considered (e.g., a score of 1, but
recent family contact with
documented streptococcal
infection).

• GABHS = group A beta-hemolytic


streptococcus;
• RADT = rapid antigen detection
testing.

• Adapted with permission from


McIsaac WJ, White D,
Tannenbaum D, Low DE. A clinical
score to reduce unnecessary
antibiotic use in patients with sore
throat. CMAJ. 1998;158(1):79.
DRUG CLASS ROUTE DOSAGE DURATION
PRIMARY TREATMENT (RECOMMENDED BY CURRENT GUIDELINES) (AAFP)

Children: 250 mg two to three times per day


Adolescents and adults: 250 mg three to four times per day
Penicillin V Penicillin Oral 10 days
or
500 mg two times per day

Children (mild to moderate GABHS pharyngitis):


12.25 mg per kg two times per day
or
10 mg per kg three times per day
Children (severe GABHS pharyngitis): 22.5 mg per kg two times / day
Penicillin (broad or
Amoxicillin Oral 10 days
spectrum) 13.3 mg per kg three times per day
Adults (mild to moderate GABHS pharyngitis):
250 mg three times per day
or
500 mg two times per day
Adults (severe GABHS pharyngitis): 875 mg two times per day

Penicillin G Children: < 60 lb (27 kg): 6.0 × 105 units


Penicillin Intramuscular One dose
benzathine Adults: 1.2 × 106 units

TREATMENT FOR PATIENTS WITH PENICILLIN ALLERGY (RECOMMENDED BY CURRENT GUIDELINES)

Erythromycin Children: 30 to 50 mg per kg per day in two to four divided doses


Macrolide Oral 10 days
ethylsuccinate Adults: 400 mg four times per day or 800 mg two times per day

Erythromycin Children: 20 to 40 mg per kg per day in two to four divided doses


Macrolide Oral 10 days
estolate Adults: not recommended‡

Cephalosporin Children: 30 mg per kg per day in two divided doses


Cefadroxil Oral 10 days
(first generation) Adults: 1 g one to two times per day

Cephalosporin Children: 25 to 50 mg per kg per day in two to four divided doses


Cephalexin Oral 10 days
(first generation) Adults: 500 mg two times per day
Tonsilitis
• Indikasi tonsilektomi pada Tonsilitis:
– Serangan lebih dari 3 kali/tahun walaupun telah mendapatkan terapi
adekuat.
– Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
– Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale.
– Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
– Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
– Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus
beta hemoliticus.
– Hipertrofi tonsil yang dicurigai keganasan.
– Otitis media efusa/otitis media supuratif.
Buku ajar ilmu THT 2007
369. Uji Penala
• Cara Pemeriksaan :
– Tes Rinne  penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada
prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala diletakkan
depan telinga
• Positif (+) bila masih terdengar
• Negatif (-) bila tidak terdengar
– Tes Weber  penala digetarkan dan tangkai penala dilerakkan
di garis tengah kepala
– Tes Swabach  penala digetarkan, tangkai penala diletakkan
pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi, lalu
segera pindahkan pada prosesus mastoid pemeriksa
• Memendek bila pemeriksa masih mendengar
Tes Penala
Rinne Weber Schwabach

Normal (+) Tidak ada Sama dengan


lateralisasi pemeriksa
CHL (-) Lateralisasi Memanjang
ke telinga
sakit
SNHL (+) Lateralisasi Memendek
ke telinga
sehat
Note: Pada CHL <30 dB, Rinne masih bisa positif

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
• Tuli konduktif:
– gangguan hantaran
suara di telinga luar-
telinga tengah
• Tuli sensorineural:
– Lesi di labirin, nervus
auditorius, saraf
pusat
• Tuli campuran
– Terdapat gabungan
keduanya
Jenis ketulian

Sources: Zahnert T. The differential diagnosis of hearing loss. Dtsch Arztebl Int 2011;108(25):433 —44
Diagnosis banding ketulian

Sources: Zahnert T. The differential diagnosis of hearing loss. Dtsch Arztebl Int 2011;108(25):433—44
370. Rhinosinusitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinosinusitis 2/lebih gejala: obstruksi nasal/rhinorea ditambah nyeri wajah atau
akut hiposmia/anosmia.
• Nyeri pipi: sinusitis maksilaris
• Nyeri retroorbital: sinusitis etmoidalis
• Nyeri dahi atau kepala: sinusitis frontalis
Akut bila gejala sampai 4 minggu, lebih dari 3 minggu sampai 3 bulan
disebut subakut.
Sinusitis kronik Kronik: > 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari
gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba,
sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
Sinusitis Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan
dentogen oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Sinusitis jamur Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan
radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik,
terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada
membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
370. Rhinosinusitis
• Sebagian besar sinusitis akut, terjadi sekunder karena:
1. common cold;
2. influenza;
3. measles, whooping cough, etc.

• Pada 10% kasus infeksi berasal dari gigi:


1. Abses apikal,
2. Cabut gigi.

• Organisme penyebab umumnya: Streptococcus


pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis. Pada infeksi gigi, bakteri anaerob dapat
ditemukan.
Rhinosinusitis
• Pemeriksaan penunjang rhinosinusitis:
– Foto polos: posisi waters, PA, lateral. Tapi hanya
menilai sinus-sinus besar (maksila & frontal). Kelainan
yang tampak: perselubungan, air fluid level,
penebalan mukosa.
– CT scan: mampu menilai anatomi hidung & sinus,
adanya penyakit dalam hidung & sinus, serta
perluasannya  gold standard. Karena mahal, hanya
dikerjakan untuk penunjang sinusitis kronik yang tidak
membaik atau pra-operasi untuk panduan operator.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Pemeriksaan penunjang sinusitis
• Rontgen Waters • CT-Scan (gold standard)
Sinuskopi (nasoendoskopi)
• Dilakukan dengan cara • Umumnya tidak untuk
pungsi menembus diagnosis sinusitis akut
dinding medial sinus karena invasif
maksila melalui meatus • Dilakukan pada
inferior sinusitis kronik atau
• Dapat melihat kondisi yang gejala tidak khas
sinus maksila (lebih superior dari CT-
sebenarnya dan dapat Scan pada indikasi
dilakukan irigasi sinus tersebut)

Buku Ajar THT-KL edisi 6 FKUI 2007


Rhinosinusitis
Sinusitis
• Tujuan terapi sinusitis:
– Mempercepat penyembuhan
– Mencegah komplikasi
– Mencegah perubahan menjadi kronik
• Prinsip pengobatan:
– Membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih alami
• Sinusitis akut bakterial  antibiotik dan
dekongestan
• Sinusitis kronik  antibiotik yang sesuai untuk
kuman gram negatif dan anaerob
2011 Approach to the Treatment
of Acute Rhinosinusitis
1. Hydration (6 - 8 glasses of water per day)
2. Long-acting topical nasal decongestant, BID X 3-7
days (oxymetazole)
3. Nasal saline applied with nasal irrigation device,
BID
4. Topical nasal CCS, 2 sprays EN BID
5. If symptoms persist past 7-10 days: Antibiotics X 7-
14 days (until asymptomatic +5-7 days). Choices:
amoxicillin/clavulanate, cephalosporin,
clarithromycin
Antibiotics in acute rhinosinusitis?
 Don’t treat common viral cold with Recommended antibiotic - 2011
antibiotics
First choice:
 Use symptomatic treatment in mild
acute rhinosinusitis • Amoxicillin/clavulate or cephalosporin
• Good second choice: Clarithromycin
 saline
• Azithromycin may also be quite useful
 topical decongestant
 NCCS
Back-ups:
 Analgesics
• Quinolones
• Use topical steroids in acute and
• Use metronidazole plus one of the above
chronic sinusitis (evidence A)
or clindamycin when gram negative is
• Reserve antibiotics for severe, acute, suspected
presumably bacterial rhinosinusitis • Topical mupiricin very useful in select
cases
SALINE NASAL IRRIGATION
• Nasal irrigation with saline may be used to
soften viscous secretions and improve
mucociliary clearance.
• The mechanical cleansing of the nasal cavity
with saline has been shown to benefit patients
with chronic rhinosinusitis and frequent
sinusitis
371. Rinitis Alergi
372. Benda Asing di Hidung
• Benda asing yang sering:
– Penghapus, pil, baterai, cincin, ssedotan, kelereng

• Gejala:
– Rinore unilateral dengan caira kental dan berbau
– Hidung tersumbat
– Kadang kadang menimbulkan nyeri, epistaksis, demam
– Efek iritasirinitis, sinusitis, otitis media akut, tetanus, perforasi septum nasii

• Tata laksana:
– Bila benda dapat terlihat dan terjangkau dengan mudah
• Instrumen  Pinset bayonet, alligator forsep, hooked probe
– Benda yang kecil dan bulat
• Balloon catheters memakai folley catheters no. 5-8F
• Hooked probe
– Benda yang besar dan menyumbat total
• Tekanan positifekspiratory paksa pada hidung yang terkena
– Benda yang berbentuk sferis, licin dan mudah terlihat
• Suction
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed.
Pinset bayonet

Balloon catheters
Pinset telinga

Cerumen hook Alligator forcep


373. Abses Leher Dalam
DIAGNOSIS C L I N I C A L F E AT U R E S

ABSES Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot potato


PERITONSIL voice, & sometimes trismus.

ABSES 1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of lateral


PARAFARING pharyngeal wall.

In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry, airway


ABSES
compromise
RETROFARING In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness, dysnea

SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often
ABSCESS found. If spreading fast  bilateral, cellulitis  ludwig angina

Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by


LUDWIG/LUDOVI
retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time to
CI ANGINA
develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam
ABSES ABSES ABSES ABSES ANGINA
PERITONSIL RETROFARING PARAFARING SUBMANDIBULA LUDOVICI

ISPA, Selulitis ec
Komplikasi Penjalaran
ETIOLOGI limfadenitis Penjalaran infeksi penjalaran
tonsilitis infeksi
retrofaring infeksi

Odinofagia, Trismus, Nyeri, dasar


otalgia, Nyeri, disfagia, Trismus, pembengkakan mulut
GEJALA DAN regurgitasi, demam, leher indurasi bawah membengkak
TANDA foetor ex ore, kaku, sesak sekitar angulus mandibula/ mendorong
hipersalivasi, napas, stridor mandibula bawah lidah, lidah
trismus fluktuasi kebelakang

Paltum mole Dinding Riwayat sakit


bengkak, uvula belakang faring gigi, mengorek
PEMERIKSAAN rontgen rontgen
terdorong, ada benjolan atau mencabut
detritus unilateral gigi

Antibiotik, obat AB parenteral


AB parenteral AB parenteral AB parenteral
kumur, pungsi, dosis tinggi,
TERAPI dosis tinggi, dosis tinggi, dosis tinggi, insisi
insisi, insisi
insisi abses insisi
tonsilektomi
Ludwig’s Angina
• Ludwig’s angina is a rapidly progressing
polymicrobial cellulitis of the sublingual
and submandibular spaces
• Rarely become fluctuant
• Results in life threatnening air way
compromise
• The organisms most often isolated in
patients with the disorder are
Streptococcus viridans and
Staphylococcus aureus
• Anaerobes also are frequently involved,
including bacteroides, peptostreptococci,
and peptococcus, fusiform bacilli ,
diptheroids.
• Non specific mixed infection
Ludwig’s Angina Anatomy

submaxillary space = submylohyoid space


• The submandibular space is composed of two spaces separated anteriorly by the mylohyoid muscle: the
sublingual space, which is superior, and the submaxillary space, which is inferior.
• These 2 spaces can communicate each other by mylohyoid cleft
• Ludwigs angina begins in the submaxillary space and secondarily involves submental and sublingual
space
• Typically affected structures, in order of most frequent contamination, are the anterior neck, the
pharyngomaxillary space, the retropharynx, and the superior mediastinum.
193. Sore Throats
Ludwig’s Angina
• The spread of infection is halted
anteriorly by the mandible and
inferiorly by the mylohyoid muscle.

• The infectious process expands


superiorly and posteriorly, elevating
the floor of the mouth and the
tongue.

• The hyoid bone limits the process


inferiorly, and swelling spreads to
the anterior aspect of the neck,
causing distortion and a “bull neck”
appearance.
Spread of process superiorly and posteriorly elevates floor of
• This then evolves to an infectious
mouth and tongue. In anterior spread, the myoid bone limits
spread inferiorly, causing a “bull neck” appearance. compartment syndrome of the
submandibular and sublingual
spaces.
Ludwig Angina: Etiology
• It is primarily caused by infection of the
second and third molars as the roots of
these teeth have direct access to the
submaxillary space.
• Other causes of Ludwig's angina include:
– Dental abscesses
– Dental injury or trauma can also cause
Ludwig's Angina
– Peritonsillar/parapharyngeal abscesses
– Mandibular fractures
– Oral lacerations and piercings
– Oral cancer
– Pre-disposing factors include: Poor oral
hygiene, Dental caries, Recent dental
treatment or tooth extraction
Clinical Manifestations
• Bilateral ‘wood like’ swelling in the submandibular, sublingual and
submental spaces
• Double chin appearance
• Skin is tense and tends to pit and blanch on pressure
• Rapidly spreading edema
• Edema and congestion of floor of the mouth
• Elevation and protrusion of tongue
• Elevation of the tongue is associated with dysphagia, odynophagia,
dysphonia and cyanosis
• Poor oral hygeine, tooth pain
• Tachypnea, and tachycardia and fever
• Hoarseness, stridor, respiratory distress, decreased air movement,
cyanosis
On Oral examination
• Board like swelling of floor of mouth
• Elevation of the tongue
• Nonfluctuant suprahyoid swelling typify the disease
process. There is typically a bilateral submandibular
edema,
• The swelling of the anterior soft tissues of the neck
above the hyoid bone sometimes leads to the
characteristic “bull’s neck” appearance of affected
patients.
• Adenopathy and fluctuance are not usually seen in
patients with Ludwig’s angina
Tongue protrusion culminating in rapid and progressive airway
obstruction.
Treatment of Ludwig’s Angina
• Treatment includes assessment and protection of the airway
– Tracheostomy if nescessary
• use of intravenous antibiotics
– Recommended initial antibiotics are high-dose penicillin G, sometimes used
in combination with an anti-staphylococcal drug or metronidazole IV.
– In penicillin-allergic patients, clindamycin hydrochloride is a good choice.
– Alternative choices include cefoxitin sodium or combination drugs such as
ticarcillin-clavulanate, piperacillin-tazobactam or amoxicillin-clavulanate
• Surgical evaluation and, if necessary, operative decompression.
– Surgical drainage may be indicated if no clinical improvement is seen within
24 hours.
• Intravenous dexamethasone sodium phosphate given for 48 hours, has
been beneficial in reducing edema, which helps maintain airway
integrity and enhances antibiotic penetration.
MANAGEMENT
ALGORITHM OF
LUDWIG’S ANGINA

Tracheostomy and drainage


Abses Submandibula
Abses Submandibula
• Ruang Submandibula tdd: ruang sublingual dan ruang
submaksila
Etiologi
• Sumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kel. Limfa
submandibula
Gejala dan Tanda
• Demam & nyeri leher, bengkak di
bawah mandibula dan atau bawah
lidah, dapat berfluktuasi, trismus

Terapi
• Antibiotika dosis tinggi utk aerob &
anaerob
• Evakuasi abses
Angina Ludovici

• Infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa


pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses,
keras pada perabaan submandibula
Etiologi
• Infeksi dari gigi atau dasar mulut

Gejala dan Tanda


• Nyeri tenggorok dan leher, bengkak
daerah submandibula, hiperemis &
keras pada perabaan
Terapi
• Antibiotika dosis tinggi untuk aerob &
anaerob secara parenteral
• Eksplorasi dan evakuasi jaringan
nekrosis
374. Abses Retrofaring
Biasanya pada anak < 5 tahun  ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa yang
menampung aliran dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius & telinga
tengah  > usia 6 tahun  atrofi
• Etiologi
– ISPA  limfadenitis retrofaring
– Trauma dinding belakang faring (tulang ikan, tindakan medis)
– TB vertebra servikalis atas (abses dingin)
• Gejala dan Tanda
– Rasa nyeri dan sukar menelan (utama)
– Demam, leher kaku, dan nyeri
– Sesak napas karena sumbatan (terutama di hipofaring)
– Benjolan pada dinding belakang faring, mukosa bengkak dan hiperemis
• Diagnosis
– Berdasarkan riwayat ISPA, trauma
– Foto rontgen: pelebaran ruang retrofaring > 7 mm pada anak dan dewasa,
dan pelebaran retrotrakeal > 14 mm pada anak dan > 22 mm pada dewasa
– Berkurangnya lordosis vertebra servikal
• Terapi
– Medikamentosa dengan antibiotika dosis tinggi, parenteral
– Tindakan bedah  pungsi dan insisi abses dengan laringoskopi langsung
Abses Parafaring
• Etiologi
– Langsung, akibat tusukan jarum saat tonsilektomi
– Supurasi kel. Limfa leher dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan
vertebra servikal
– Penjalaran infeksi ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula

• Gejala dan Tanda


– Trismus, indurasi/ pembengkakan disekitar angulus mandibula, demam tinggi,
pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial

• Diagnosis
Riwayat penyakit, foto rontgen jaringan lunak AP
atau CT scan

• Terapi
Antibiotika dosis tinggi parenteral untuk aerob &
anaerob
Evakuasi abses (insisi dari luar dan intra oral)
Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
375. Karsinoma Nasofaring
• Karsinoma nasofaring merupakan keganasan pada
nasofaring dengan predileksi pada fossa Rossenmuller.
Prevalensi tumor ganas nasofaring di Indonesia cukup
tinggi, 4,7 per 100.000 penduduk.
• Faktor risiko meliputi: infeksi oleh EBV, makanan
berpengawet, dan genetik
• Gejala:
Gejala Nasofaring
– Epistaksis ringan, sumbatan hidung
Gejala mata
– Diplopia
Gejala telinga
– Tinitus, Otalgia, Hearing loss
Gejala Neural
– Gejala yang berhubungan dengan nervus cranial V, IX, X, XI,
XII
• Pengobatan diarahkan pada kemoterapi dan radioterapi.
Karsinoma Nasofaring
Insepsi Invasi lokal
• Genetik • Mukus campur darah
Silent period • Sumbatan tuba
• Lingkungan
eustachius
• Viral

Kelenjar limfe
Penyebaran retrofaringeal/penyebaran
lokoregional
sistemik (paranasofaringeal/parafarin
geal, erosi dasar tengkorak)
Manifestasi Klinis
Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. Gejala nasofaring
2. Gejala telinga
3. Gejala mata
4. Gejala saraf
5. Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
• Gejala telinga: • Gejala hidung:
– rasa penuh di telinga, – ingus bercampur darah,
– rasa berdengung, – post nasal drip,
– rasa tidak nyaman di
telinga – epistaksis berulang
– rasa nyeri di telinga, – Sumbatan hidung
unilateral/bilateral
– otitis media serosa
sampai perforasi
membran timpani • Gejala telinga, hidung,
– gangguan pendengaran nyeri kepala >3 minggu
tipe konduktif, yang
biasanya unilateral  sugestif KNF
Manifestasi Klinis
• Gejala lanjut  • Gejala lokal lanjut 
Limfadenopati servikal gejala saraf
• Penyebaran limfogen • Penjalaran petrosfenoid
• Konsistensi keras, tidak  dapat mengenai saraf
nyeri, tidak mudah anterior (N II-VI),
digerakkan sindroma petrosfenoid
• Soliter Jacob
• KGB pada leher bagian • Penjalaran
atas jugular superior,
bawah angulus mandibula petroparotidean 
mengenai saraf posterior
(N VII-XII), sindrom
horner, sindroma
petroparatoidean Villaret
DIAGNOSIS
• Rhinoskopi posterior • DPL
• Nasofaring direct/indirect • Evaluasi gigi geligi
• Biopsi • Audiometri
• CT Scan/ MRI • Neurooftalmologi
• FNAB KGB • Ro Torax
• Titer IgA anti : • USG Abdomen, Liver
– VCA: sangat sensitif, Scinthigraphy
kurang spesifik • Bone scan
– EA: sangat kurang sensitif,
spesifitas tinggi
Staging
• Untuk penentuan stadium dipakai sistem
TNM menurut UICC (2002)
T : tumor primer
• T1 : tumor terbatas di nasofaring
• T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung
• T2a – tanpa perluasan ke parafaring
T2b – dengan perluasan ke parafaring
• T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
• T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit
N : pembesaran kelenjar getah bening regional
• Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB)
• N0 : tidak ada keterlibatan KGB
• N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di
atas fossa supraklabikula
• N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa
supraklavikula
• N3a : > 6 cm
• N3b : pada fossa supraklavikula
M : metastasis jauh
• M0 : tidak ada metastasis jauh
• M1 : ada metastasis jauh
PENGOBATAN
• Radioterapi
Stadium dini tumor primer
Stadium lanjut tumor primer (elektif),
KGB membesar
• Kemoterapi
Stadium lanjut / kekambuhan sandwich
• Operasi
– sisa KGB  diseksi leher radikal
– Tumor ke ruang paranasofaringeal/ terlalu besar 
nasofaringektomi
376-377. Herpes Zoster Otikus
• Disebabkan oleh reaktivasi infeksi virus varicella zoster pada telinga
dalam, telinga tengah atau telinga luar.
• Manifestasi:
– Severe otalgia
– Cutaneus vesicular eruption ussually of the external canal and pinna
• Komplikasi:
– Ramsay Hunt syndrome
• VZV infection of the head and neck that involves the facial nerve.
• Other cranial nerves (CN) might be also involved, including CN VIII, IX, V, and VI (in
order of frequency).
• Menyerang satu atau lebih dermatom saraf kranial: saraf trigeminus, ganglion
genikulatum, radiks servikalis bagian atas (Ramsay Hunt syndrome).
• This infection gives rise to vesiculation and ulceration of the external ear and
ipsilateral anterior two thirds of the tongue and soft palate, as well as ipsilateral facial
neuropathy (in CN VII), radiculoneuropathy, or geniculate ganglionopathy.
• Keadaan berat : tuli sensorineural.
376-377. Herpes zoster oticus

• Ramsay Hunt syndrome

Contemp Clin Dent. 2010 Apr-Jun; 1(2): 127–129.


Ramsay Hunt Syndrome Treatment
• Pengobatan sesuai dengan tatalaksana herpes
zoster
• Corticosteroids and oral acyclovir are commonly
used in the treatment of Ramsay Hunt syndrome.
– Prednisone during acute inflammatory period (1-2 wk)
and then tapered slowly.
• Temporary relief of otalgia may be achieved by
applying a local anesthetic
• Carbamazepine may be helpful, especially in
cases of idiopathic geniculate neuralgia.
378. Hearing Screening Techniques

• Otoacoustic emissions (OAE)

• Auditory brainstem response (ABR)

• Two stage screening (OAE + ABR)


Otoacoustic Emissions

 Sounds are presented


to the ear canal and a
small microphone
measures the response
in the ear canal
 Average test time is
5-15 minutes/baby
Auditory Brainstem Response

 Sounds are presented


and surface electrodes
measure brainstem
activity
 Average test time 20
min/baby

BERA
• Synonyms: Brain stem evoked response audiometry, Auditory brain
stem response (ABR), ABR audiometry, BAER (Brainstem auditory
evoked response audiometry)
OAE + ABR
 All babies are screened using OAEs
 Those babies who fail the OAE screening
receive an ABR screening prior to leaving the
hospital
 Average test time/baby (25-35 min)
 Reduces refer rate; useful when follow up is
likely to be difficult or costly
 Initial cost of equipment is higher than OAE or
ABR screening alone, but follow-up costs are
less
•Pediatric Annals
•December 2004 - Volume 33 · Issue 12: 811-821
Tympanometry
“A way of measuring how acoustic
immittance of the middle ear system
changes as air pressure is varied in the
external ear canal”
Assess function of middle ear and
eustachian tube
Not a “hearing assessment test”
Require no voluntary response from
subjects
379. Fistula Preaurikula

• Fistula preaurikula
terjadi bila terdapat
kegagalan penggabungan
tuberkel ke satu dan
tuberkel ke dua.
• Kelainan herediter yang
bersifat dominan.
• Dari muara fistel sering
keluar cairan yang
berasal dari kelenjar
sebasea
Fistula Preaurikula
• Biasanya pasien datang karena obstruksi atau
infeksi fistula sehingga terjadi pioderma atau
selulitis.
• Infeksi akut diatasi dengan pemberian antibiotik.
• Jika sudah terbentuk abses, dilakukan insisi
untuk drainase abses.
• Tindakan operasi diperlukan jika cairan keluar
berkepanjangan atau terjadi infeksi berulang
sehingga mengganggu aktivitas.
• Sewaktu operasi, fistel harus diangkat
seluruhnya untuk mencegah kekambuhan.
380. Benda Asing di Liang Telinga
• Usaha mengeluarkan benda asing sering mendorongnya lebih
ke dalam
• Besar  pengait serumen
• Kecil  cunam/pengait
• Binatang hidup di liang telinga
– Masukkan tampon basah ke liang telinga, teteskan cairan misalnya
rivanol/obat anestesi lokal (lidocain 2%)/mineral
oil/alcohol/spirit/air kloroform, dll + 10 menit
– Mati  dikeluarkan menggunakan pinset/irigasi dengan air bersih
hangat
• Baterai  jangan dibasahi! (efek korosif)
Soepardi E, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012
Dhingra PL, et al. Diseases of Ear, Nose, and Throat. 6th ed. Kundli: Elsevier; 2014
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html
http://emedicine.medscape.com/article/763712-overview#showall
381. Rhinosinusitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinosinusitis 2/lebih gejala: obstruksi nasal/rhinorea ditambah nyeri wajah atau
akut hiposmia/anosmia.
• Nyeri pipi: sinusitis maksilaris
• Nyeri retroorbital: sinusitis etmoidalis
• Nyeri dahi atau kepala: sinusitis frontalis
Akut bila gejala sampai 4 minggu, lebih dari 3 minggu sampai 3 bulan
disebut subakut.
Sinusitis kronik Kronik: > 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari
gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba,
sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
Sinusitis Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan
dentogen oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Sinusitis jamur Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan
radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik,
terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada
membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
381. Rinitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis vasomotor Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Rinitis atrofi / Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa
ozaena pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media &
inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor
medikamentosa topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


382. Mastoiditis
 An inflammatory process of the mastoid Treatment
cavity of the temporal bone. Infection limited to temporal bone
a. Severely ill patients may require earlier surgical
Clinical Manifestation intervention.
b. IV antibiotics— First line
• Postauricular skin changes
•Empiric therapy with third-generation
• Mastoid tenderness cephalosporin or antipseudomonal
• Auricular protrusion •aminopenicillin
• Fullness o the posterior-superior EAC skin •If no improvement a er 24 to 48 hours therapy
consider surgical intervention
• Peripheral blood leukocytosis
c. Surgery
• Systemic toxicity (ie, ever, lethargy etc)
•Tympanostomy with tube placement
•Mastoidectomy

Infection beyond the mastoid


(a) IV antibiotics
(b) Mastoidectomy
(c) Incision and drainage o any abscess
(d) intracranial complication, may require
intracranial procedure to address suppuration
Chan Y, Goddard JC. K.J. Lee’s Essential Otolaryngology. 11 th edition. New York : Mc Graw Hill; 2016
Radiographic Position of Mastoids

Stenver’s view (Axio-anterior oblique posterior):


Law View (15º lateral oblique): Sagittal plane of the Facing the film and head slightly flexed and rotated to
skull is parallel to the film and X-ray beam is 45 degrees to the opposite of side under examination
projected 15 degrees cephalocaudal. and X-ray beam is angulated 14 degrees caudal

Schuller’s or Rugnstrom view (30º lateral oblique): Similar to Law’s view but
cephalocaudal beam makes an angle of 30 degrees instead of 15 degrees
• Acute mastoiditis: Diffuse haziness or clouding of mastoid air cells,
destruction of intercellular septa (loss of trabecular pattern) & the lateral
sinus plate appears more prominent
• Chronic mastoiditis: Diffuse sclerosis of cellular mastoid and prominence of
periantral triangle
• Cholesteatomas: Cholesteatomas are radiolucent and can only be diagnosed
if they erode bone. An erosion of mastoid antrum is seen as an area of
translucency in a sclerotic mastoid.

Sumber : Radiography of The Mastoid Process available from https://ce4rt.com/positioning/radiography -of-the-mastoid-process


Radiographic Position of Mastoids

Submentovertical view (Full axial): Chin raised and


Towne’s view (30º Fronto-occipital neck hyperextended until orbito-meatal line is parallel
axial): Anteroposterior view with 30 degrees tilt from to the film and the beam is projected at right angles to
above and in front the film from submental area

Transorbital view (Anteroposterior or


Posteroanterior): AP or PA view with orbito-meatal
line perpendicular to the film and the X-ray beam
also perpendicular to the film

Sumber : Radiography of The Mastoid Process available from https://ce4rt.com/positioning/radiography -of-the-mastoid-process


Modalitas X-Ray
Foto Deskripsi

Waters Maxillary, frontal, & ethmoidal sinus

Schedel PA & lateral PA: frontal sinus


Lateral: frontal, sphenoidal, & ethmoidal sinus

Schuller Lateral mastoid

Towne Posterior wall of maxillary sinus

Stenver Os Temporal

Caldwell Frontal sinus,inferior and posterior orbital rim

Rhese/oblique Posterior of ethmoidal sinus, optic canal, & floor of orbit.


383. Vertigo

http://www.aafp.org/afp/2010/0815/p361.html
383. Vertigo
Perifer Sentral
I. VERTIGO Sering ditemukan rotatory Sering non Rotational
1. Tipe directional Horisontal, Horisontal, Rotatory dan
2. Arah Rotatory bentukan oscillopsia,
scotoma
II PEMERIKSAAN FISIK
a. Perubahan Posisi Dipengaruhi perubahan Dipengaruhi gerakan leher
posisi kepala/tubuh
b. Gangguan gait Jarang/tidak ada Sering ada
c. Gangguan fungsi Selalu ada Tidak/jarang terjadi
otonom
d. Keluhan lain Tinitus, tuli Gangguan kesadaran
III. PEMERIKSAAN NISTAGMUS
a. Arah Indirectional Bidirectional
b. Jenis Horisontal atau Horisontal Rotatory vertikal, downbeat
Rotatory up beat
c. Fiksasi mata menghambat Tidak menghambat
d. Posisional nistagmus Sukar diulang, Mudah diulang,
latensi lama singkat
e. Eye tracking Sinusoid Saccadic/ ataxic
f. Kalori Unilateral weakness Bilateral weakness
IV. PEMERIKSAAN VESTIBULO SPINAL
a. Romberg- test mata
terbuka Normal Abnormal
tertutup Abnormal Abnormal
b. Writing test Deviasi abnormal Ataxic/ gelombang
c. Ataksia Tidak ada Sering ada
d. Finger to finger test Normal Abnormal

e. Past pointing test Abnormal kedua tangan Abnormal, sisi lesi


Penyimpangan sisi Penyimpangan tak
f. Stepping Penyimpangan sisi lesi Penyimpangan tak menentu
g. Walking Mata tertutup ada Mata terbuka / tertutup ada
penyimpangannya penyimpangannya
Types of Hearing Test
Test Description Age Range
Implemented
Auditory ■ Checks the brain’s response to sound
brainstem ■ It checks for hearing sensitivity in newborns or children who are unable to
response be tested by conventional methods.
(ABR) ■ ABR is correlated with hearing sensitivity in the frequency range from
1,000 to 4,000 Hz.
Description of test: Newborn and
■ A series of clicks are delivered to the patient through earphones. at any age if
■ The clicks stimulate the auditory pathway of the ear and cause a series of retrocochlear
electrical activity that is detected by electrodes on the patient’s scalp and the pathology is
results are displayed as a waveform on a computer. suspected
■ The audiologist detects bodily reactions to sounds such as body
movement, eye widening, eye opening, etc. The infant is observed for changes
in behavior after presenting the acoustic stimulus.
■ This test can rule out significant hearing loss.
■ This test cannot be used to determine auditory thresholds.
Behavioral ■ Assesses hearing acuity by presenting a sound and observing the patient’s
observation response.
audiometry ■ The audiologist detects bodily reactions to sounds such as body
(BOA) movement, eye widening, eye opening, etc. The infant is observed for changes Newborns, infants
in behavior after presenting the acoustic stimulus.
■ This test can rule out significant hearing loss.
■ This test cannot be used to determine auditory thresholds.
Conventional ■ By the age of 5 years, standard adult testing techniques can be used in Can be used
audiometry hearing assessment. starting between
3 and 5 years of
age
Types of Hearing Test
Test Description Age Range
Implemented
Visual ■ This test makes a child respond to sound he or she hears by connecting sounds with a visual
reinforcement signal, e.g., stuffed animal.
audiometry ■ Every time a sound is presented to the child, a stuffed animal follows a few seconds later.
■ After several times, the child realizes a pattern and is not interested in the sound, but only
(VRA) the stuffed animal.The audible sound makes the child look for the stuffed animal. Therefore, 5 months to
every reaction following a sound suggests that the previous sound was audible. 2 years of age
■ The response tends to decrease for children between 2 and 3 years of age, because they tend
to become adjusted to the visual signal and therefore do not pay attention.
■ This test can rule out signifi cant hearing loss.
■ This test can be used to determine some auditory thresholds.
Play audiometry ■ The child is trained to perform a repetitive task (putting a ring on 2 to 5 years of age
a cone) in response to an auditory stimulus. or children with
■ Sometimes the audiologist can get the child to wear a headset during the test. Then standard developmental
auditory thresholds can be measured. delay

Otoacoustic ■ The cochlea not only receives sound but also produces sounds called OAEs.
emissions ■ OAE is a sound generated from within the inner ear and the OAE test measures cochlear
function (outer hair cells).
(OAEs) Newborns and
■ OAEs are generally not found in persons with hearing worse than 30 dB. Therefore, OAEs are
those who
not usually used in adulthood, as hearing loss tends to occur in this age group.
are unable to
■ OAE testing is used as a screening tool to determine the presence or absence of cochlear
be tested by
function, as in newborn
conventional
screening.
methods. Not
■ OAE testing is also reliable in those patients who are unable to be tested by conventional
usually done in
methods; however, OAEs cannot be used to fully determine an individual’s auditory thresholds.
adults
Description of test:
■ In order for the OAE test to be accurate, the probe that is inserted into the external auditory
canal (EAC; that measures the sound) must properly fi t.

Scott K. Quick Reference for Otolaryngology. New York:Springer; 2014


Types of Hearing Test
Test Description Notes
Acoustic ■Tests for assesing the ability of middle ear to prevent loud
Can not
Reflex Test noises from entering inner ear. Comprises 2 reflexes: stapedius
defrentiate
reflex and tensor tymphani reflex.
which reflex
■it allows one to indirectly assess the middle ear, cochlea and
that is
neural innervation of the stapedius muscle.
impaired
■Can be measured by tympanometri
ASSR ■ Checks the brain’s response to sound
(Auditory ■ It checks for hearing sensitivity in newborns or children who
Steady are unable to be tested by conventional methods.
Newborn and
State ■ This test can be used to determine some auditory
at any age
Responses) thresholds.

Scott K. Quick Reference for Otolaryngology. New York:Springer; 2014


384. OTITIS MEDIA
Otitis media supuratif kronik
• Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang
timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani
yang tidak intak.

• Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan


infeksi persisten:
– Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara
langsung melalui celah
– Tidak adanya membran timpani yang intak
menghilangkan efek "gas cushion" yang
normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.

• Petunjuk diagnostik:
– Otorea rekuren/kronik
– Penurunan pendengaran
– Perforasi membran timpani

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media Supuratif Kronik
Klasifikasi OMSK:

• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi: sentral.
– Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 Large central perforation
days, ear drops AB & steroid,
systemic AB

• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau
kolesteatoma.
– Tipe perforasi: marginal atau attic.
– Th/: mastoidektomi.
Cholesteatoma at attic
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
type perforation
Otitis Media Supuratif Kronik
• Tanda dini OMSK tipe maligna:
– Adanya perforasi marginal atau atik,
– Tanda lanjut
• abses atau fistel aurikular,
• polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah,
• terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering
terlihat di epitimpanum),
• sekret berbentuk nanah & berbau khas,
• terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

OMSK Tipe Benigna


• Fase aktif Tatalaksana
– terdapat sekret pada telinga dan • Fase Tenang
tuli – Tidak memerlukan pengobatan,
– Didahului oleh perluasan infeksi – Edukasi
saluran nafas atas melalui tuba
• tidak mengorek telinga,
eutachius, atau setelah berenang
• air jangan masuk ke telinga sewaktu
dimana kuman masuk melalui liang mandi,
telinga luar • dilarang berenang
– Sekret bervariasi dari mukoid • segera berobat bila menderita infeksi
sampai mukopurulen saluran nafas atas
• Fase Tenang • sebaiknya dilakukan operasi
rekonstruksi (miringoplasti,
– Tampak perforasi total yang kering timpanoplasti) untuk mencegah
dengan mukosa telinga tengah infeksi berulang serta gangguan
yang pucat pendengaran.
– Gejala yang dijumpai berupa tuli • Fase Aktif
konduktif ringan – Membersihkan liang telinga dan
– Gejala lain yang dijumpai seperti kavum timpaniBila sekret keluar
vertigo, tinitus,atau suatu rasa terus menerus diberikan H2O2 3%
penuh dalam telinga. selama 3 – 5 hari.
– Pemberian antibiotika : topikal
antibiotik ( antimikroba) dan
sistemik.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna:
– Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif.
Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan
antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. Miringoplasti
atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan
ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe bahaya:
– Secara umum pembedahan, mastoidektomi dengan
atau timpanoplasti.
385. Tympanosclerosis
• Tympanosclerosis is the
term used to describe a
sclerotic or hyalin
change in the mucous
membrane of the
middle ear and mastoid
• Thick white patch in the
tympanic membrane

http://jamanetwork.com/journals/jamaotolaryngology/article-abstract/598930
Pathogenesis
• Recurrent inflammation
of middle ear causes
irreversible changes and
destruction of collagens
in tympanic membrane
• Hyaline degeneration
and calcification ensues
– Fusing into homogenous
mass
Clinical Presentation
• Conductive hearing loss • Treatment
• Occasional “fullness” – Hearing aids
sensation in the ear due – Surgery
to increased rigidity of • sound conduction can
often be restored only by
the membrane interposition of grafts
Diagnosis banding: Otosklerosis
• Penyakit pada kapsul tulang labirin yang
mengalami spongiosis di daerah kaki stapes,
 stapes kaku  suara tidak dapat
dihantarkan dengan baik
• Insidens: paling tinggi pada kulit putih (8-10%)
• Etiologi : belum pasti, namun ada keterlibatan
faktor keturunan dan gangguan perdarahan
pada stapes

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
Otosklerosis
• Manifestasi klinis
– Perempuan > laki-laki
– Umumnya pada usia 11-45 tahun
– Awal : tuli konduktif, dapat menjadi tuli campur
maupun tuli saraf bila menyebar ke koklea
– Gangguan tinitus
– Sering terjadi bilateral
– Pendengaran lebih baik dalam ruangan bising
(Paracusis Willisii)

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
Otosklerosis
• Diagnosis:
– Membran timpani utuh, normal, mungkin
berwarna kemerahan akibat pelebaran pembuluh
darah promontium (Schwarte’s sign)
– Tuba paten tanpa riwayat penyakit telinga/trauma
telinga sebelumnya
– Diperkuat dengan pemeriksaan audiometri nada
murni dan impedance

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
386. Polip
• Etiologi:
• Inflamasi kronikBiasanya
pada rinitis alergi
• Disfungsi otonom,
predisposisi genetik
• Polip berasal dari kompleks
ostiomeatal di meatus
medius dan sinus etmoid
• Mulanya, pasien mengalami
hidung buntu kronik karena
polip.
• Selanjutnya, berkomplikasi
menjadi sinusitis dengan
adanya sekret berbau
Polyp
• Polyp is a white-greyish soft tissue containing fluid within
nasal cavity, which is caused by mucosal inflammation.
• Nasal polyps do not occur in children except in the
presence of cystic fibrosis.
• Symptoms & signs:
– nasal obstruction, nasal discharge, hyposmia, sneezing, pain,
frontal headache.
– Rhinoscopy: pale mass at meatus medius, smooth & moist,
pedunculated and move on probing.
• Therapy:
– Corticosteroid (eosinophilic polyp has good response
compared with neutrophilic polyp)
– polipectomy if no improvement.
Hidung Tersumbat
• Anamnesis:
– hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia.
– Dapat disertai bersin, nyeri hidung dan sakit kepala di
frontal.
– Bila disertai infeksi sekunder, terjadi PND dan sekret
purulen.
– Gejala sekunder: napas lewat mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur

• PF: massa pucat dari meatus medius, mudah digerakkan,bisa


menyebabkan pelebaran hidung karena polip yang masif
• Penunjang: nasoendoskopi, radiologi (foto polos sinus
paranasal, CT scan)
• Terapi: steroid (polipektomi medikamentosa)  tidak
membaik, polipektomi bedah
Diagnosis Banding Sumbatan Hidung
• Septum deviasi: keadaan dimana septum nasi tidak
lurus di tengah
• Angiofibroma nasofaring: tumor jinak pembuluh
darah yang memiliki kemampuan untuk mendestruksi
tulang dan jaringan sekitarnya.
• Rhinitis alergi: penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan berulang.
• Sinusitis: inflmasi mukosa sinus paranasal, biasanya
dipicu oleh rhinitis.
Contoh Polip

Gambar diunduh dari: http://thtkl.wordpress.com/tag/polip-hidung/


387. Septal Hematom
• Hidung  bagian wajah yg
sering mengalami trauma.
• Trauma pd nasal anterior 
hematom.
• Bagian anterior nasal terdiri dari
kartilago yg dilapisi Normal nasal septum.
perikondrium dan mukosa.
• Pembuluh darah submukosa dpt
robek akibat trauma dan darah
dapat berkumpul diantara
perikondrium dan kartilago
septal  hematom.
Nasal septal hematoma
Ngo J. Septal hematom available from http://emedicine.medscape.com/article/149280 -overview#showall
387. Septal Hematom
Pemeriksaan Komplikasi
• Deformitas pd hidung, • Komplikasi akut : abses septal
epistaksis, nyeri. yg dapat menyebar ke sinus
• Inspeksi dgn otoskop : septum paranasal dan intrakranial.
asimetris, deviasi septum. • Komplikasi lebih lanjut :
• Palpasi : terdapat meningitis, abses intrakranial,
pembengkakan, fluktuasi. selulitis orbita, trombosis sinus
kavernosus.
• Hematoma yg membesar 
Tatalaksana
avaskular nekrosis  perforasi
Drainase hematoma. septum  saddle nose
deformity.

Ngo J. Septal hematom available from http://emedicine.medscape.com/article/149280 -overview#showall


388. Jenis Bising
• Steady state:
– Kualitas & intensitas konstant (variasi kurang dari 5 dB

• Fluctuating
– Intensitas naik turun lebih dari 5 dB

• Intermittent
– Ada masa berhenti. Dibedakan dengan impulsive dari durasinya yang
lebih lama.
– Dipilih intermiten karena bising di bandara tidak terus menerus.

• Impulsive
– Durasi kurang dari 500 ms dengan intensitas minimal 40 dB
389. Abses Peritonsil
Pe r i t o n s i l l a r a b s c e s s
Inadequately treated tonsillitis  spread of infection  pus formation between the
tonsil bed & tonsillar capsule

Symptoms & Signs

Quite severe pain with referred otalgia


Odynophagia & dysphagia  drooling
Irritation of pterygoid musculature by pus & inflammation  trismus
unilateral swelling of the palate & anterior pillar  displace the tonsil downward &
medially  uvula toward the opposite side

T h e ra p y
Needle aspiration: if pus (-)  cellulitis  antibiotic. If pus (+)  abscess .
If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
Abses Peritonsil
• Abses peritonsil terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
unilateral
• Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis.
• Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), hipersalivasi,
suara sengau, dan (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan
• Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan, tampak
permukaan hiperemis.
• Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan kekuningan. Tonsil
terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak, dan terdorong ke
sisi kontralateral.
• Bila terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya menyebabkan
iritasi m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Infiltrat peritonsil Abses peritonsil
Waktu (setelah 1—3 hari 4—5 hari
tonsilitis akut)
Trismus Biasanya kurang/ tidak ada Ada

Untuk memastikan infiltrate atau abses peritonsil, dilakukan pungsi percobaan


di tempat yang paling bombans (umumnya pada kutub atas tonsil).
• Jika pus (+): abses
• Jika pus (-): infiltrate

Terapi abses peritonsil:


Stadium infiltrasi Stadium abses
• Antibiotika dosis tinggi • Antibiotik
penisilin 600.000-1.200.000 unit atau • Bila telah terbentuk abses, dapat
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 dilakukan needle aspiration atau insisi
mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 drainase.
mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg). • Kemudian dianjurkan operasi
• Obat simtomatik tonsilektomi, paling baik 2-3 minggu
• Kumur-kumur dengan air hangat dan sesudah drainase abses.
kompres dingin pada leher.

http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html
390. Traumatic Tympanic Membrane
perforation

Pathogenesis
• Direct force
– Careless while wax removal
– Skull fracture may tear TM

• Indirect force
– Increase pressure in explosion or discharged firearms
– Barotrauma
• Rapid pressure fluctuations with the inner ear
• Air travel or Scuba diving (decompression sickness)
Clinical presentations
• Otalgia Physical examination
• Bleeding • Tympanic perforation
• Fullness – Central perforation
• Hearing loss: – Marginal perforation
conductive HL or mixed • Blood crust
HL • If skull base fracture is
• Tinnitus occurred with CSF
leakage, clear fluid is
observed.
Diagnosis
• The key point is to exclude whether it
associates with trauma to ossicular chain or to
inner ear.
• The audiometry can provide useful
informations.
– CHL > 40db suspicion for ossicular discontinuity
– Hearing test reveals sensorineural HL, it means
inner ear injury
Managements
• Antibiotic to prevent infection
• Aseptic external auditory canal with alcohol (using
tampon or gauze, do not drop liquids into ear)
• Prevent super respiratory infection
• Prohibit nasal blow (valsalva)
• Prohibit ear drops
• It takes 3-4 weeks to heal the ear drum
• If 3 months later, perforation still exists,
myringoplasty is indicated.
Diagnosis Banding
Barotrauma Trauma Akustik
• Ear pain or damage to the • hearing loss due to single
tympanic membrane exposure to intense sound
caused by rapid changes in stimuli (generally exceed
pressure 140 dB)
• Due to failure of pressure • mechanical tearing of
balancing mechanism intracochleal membranes
between middle ear and and physical disruption of
outer ear cell walls with mixing of
• NOT blast related perilymph and endolymph
• Salah satu penyebab OME • Not associated with
akut tympanic membrane
rupture

You might also like