You are on page 1of 11

Jurnal Anestesiologi Indonesia

LAPORAN KASUS
Manajemen Anestesi Untuk Koreksi Skoliosis pada Pasien Chiari
Malformasi Post Dekompresi Foramen Magnum
Anesthesia Management of Patients with Chiari Malformation for
Scoliosis Correction Post Foramen Magnum Decompression
I. D. G. Tresna Rismantara*, I Putu Pramana Suarjaya*
*Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Korespondensi/ correspondence: owthey@yahoo.com

ABSTRACT
Background: There are complications in the management of anesthesia for correction
of thoracic scoliosis in patients with Chiari malformation post foramen magnum
decompression periopoeratif because there are complex issues that accompany it.
Case: Anesthesia is used for correction of scoliosis in patients with Chiari
Malformation post foramen magnum decompression with limited mobilization of the
neck. In the X-ray examination found sublaminer semirigid instrumentation of the
neck. MSCT visible on thoracic scoliosis with a curvature center on Thorakal 9 with
Cobb 's Angle 60º. Examination of cardiovascular, respiratory and neurological
within normal limits.
Curvature degrees of scoliosis in these patients is still under 70º so it does not
compress heart and lungs, but there are complications to perform intubation. This can
be overcome by using a fiberoptic instrument in a state of non sleep apnea using 50
mcg fentanyl and propofol 50 mg followed by balance anesthesia using continuous
infusion propofol, N2O, O2, vecuronium and fentanyl intermittnent and the
hipotension control techniques .
Post- anesthesia patients received epidural analgesia with 2 catheters with the end of
one catheter is in thoracal 3 and other in thoracal 12. Each wears 0.5 mg morphine
and bupivacaine 0.1 %. Patients were evaluated 2 days in ICU with no neurological
defects and free of pain, then patient moved to the treatment room.
Summary: Management of anesthesia in thoracic scoliosis correction surgery
becomes a very important thing because of the complexity of perioperative problems
that accompany it. Cardiovascular and respiratory function is most likely impaired
that need special attention. Assessment of the degree of severity of skoliosisnya can
provide a predictive value to the problems that may occur perioperatively. Patients
with impaired mobility of the neck can be complications when performing
laryngoscopy-intubation. Post surgery if both cardiovascular and respiratory function
are good, considerate extubation may be an option. Postoperative analgesics should
be adequate to deal with the pain because the pain can be cause cardiovascular and
respiratory instability complicating post-surgery.

71
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Keywords: Thoracic scoliosis, chiary malformation, cobb’s angle


ABSTRAK
Latar belakang: Terdapat penyulit pada manajemen anestesi untuk koreksi skoliosis
thorakalis pada pasien chiari malformasi post dekompresi foramen magnum karena
terdapat permasalahan periopoeratif kompleks yang menyertainya.
Kasus: Digunakan tindakan anestesi untuk koreksi skoliosis pada pasien dengan
Chiari Malformasi post dekompresi foramen magnum dengan keterbatasan mobilisasi
leher. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan semirigid sublaminer instrumentasi pada
leher. pada MSCT terlihat skoliosis thorakalis dengan pusat kelengkungan pada
Thorakal 9 dengan Cobb’s Angle 60º. Pemeriksaan kardiovaskular, respirasi dan
neurologis dalam batas normal.
Derajat kelengkunan skoliosis pada pasien ini masih dibawah 70º sehingga tidak
menekan jantung dan paru, tetapi terdapat penyulit untuk melakukan intubasi, hal ini
bisa diatasi dengan memakai alat fiberoptik dalam kondisi sleep non apneu
menggunakan fentanyl 50mcg dan propofol 50 mg dilanjutkan dengan balance
anestesia menggunakan propofol kontinyu, N2O, O2, vecuronium dan fentanyl
intermittnent serta tekhnik hipotensi kendali.
Pasca anestesi pasien mendapat analgesi dengan 2 kateter epidural dengan ujung
kateter setinggi Thorakal 3 dan ujing kateter lainnya setinggi Thorakal 12.
Masingmasing memakai 0,5mg morfin dan bupivacaine 0,1%. Pasien dievaluasi 2 hari
di ICU, tidak ada defek neurologis dan bebas nyeri kemudian di pindah ke ruang
perawatan.
Ringkasan: Manajemen anestesi pada operasi Koreksi skoliosis thorakalis menjadi
suatu hal yang sangat penting karena begitu kompleksnya permasalahan perioperatif
yang menyertainya. Fungsi kardiovaskular dan respirasi adalah yang paling
mungkin terganggu sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Penilaian terhadap
derajat keparahan dari skoliosisnya dapat memberikan suatu nilai prediksi
terhadap permasalahan yang mungkin terjadi perioperatif. Pasien dengan
gangguan pada mobilitas dari leher dapat menjadi penyulit saat melakukan
laringoskopi-intubasi. Post operasi jika fungsi kardiovaskular dan respirasi baik,
pertimbangan ekstubasi dapat menjadi pilihan. Analgetik post operasi harus adekuat
untuk menangani nyeri karena nyeri dapat dapat menimbulkan instabilitas
kardiovaskular dan respirasi yang menjadi penyulit paska operasi.
Kata Kunci: Skoliosis thorakalis, chiary malformation, cobb’s angle

PENDAHULUAN sesuai dengan lokasi terjadinya.1,2


Kondisi ini dapat merubah postur
Skoliosis adalah suatu kelainan pada
tubuh penderitanya menjadi miring
bentuk tulang belakang dengan
kearah lengkungan tulang belakangnya.
kurvatura yang condong ke lateral
Skoliosis menimbulkan adaptasi dari
disertai rotasi dari korpus vertebra

Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014 72


Jurnal Anestesiologi Indonesia

tubuh untuk menyesuaikan perubahan untuk menangani nyeri karena nyeri


anatomis yang terjadi. Adaptasi ini dapat dapat menimbulkan instabilitas
terutama terjadi dalam sistem kardiovaskular dan respirasi yang
kardiovaskular, respirasi dan neurologi. menjadi penyulit paska operasi.

Secara epidemiologi skoliosis dapat KASUS


terjadi pada semua kelompok umur,
Pasien Laki-laki, berusia 17 tahun,
namun paling sering pada usia
ASA 2 dengan thoracalis skoliosis dan
pertumbuhan. Populasi pasien dengan
chiari malformasi pasca foramen
skoliosis diperkirakan 0,3-15,3%.
magnum dekompresi 6 bulan lalu
Dengan rasio perempuan berbanding
direncanakan untuk koreksi skoliosis
laki-laki 3 : 1. Dari kasus-kasus
thorakalis. Dari pemeriksaan fisik
skoliosis 75-90% kasus tidak diketahui
didapat status kardiovaskuler, respirasi
penyebabnya.3
dan neurologis dalam keadaan normal
Manajemen anestesi pada operasi tetapi dengan keterbatasan mobilisasi
Koreksi skoliosis thorakalis menjadi leher. Dari rongent servikal terdapat
sangat penting karena begitu semirigid sublaminer instrumentasi
kompleksnya permasalahan perioperatif pada leher. Pada MSCT thorax tampak
yang menyertainya. Fungsi skoliosis thorakalis dengan pusat
kardiovaskular dan respirasi paling kelengkungan di Thorakal-9 dengan
mungkin terganggu sehingga perlu Cobb’s angle didapatkan sebesar 60º.
mendapat perhatian khusus. Penilaian
terhadap derajat keparahan dari
skoliosisnya dapat memberikan suatu
nilai prediksi terhadap permasalahan
yang mungkin terjadi perioperatif.

Pasien dengan gangguan pada


mobilitas dari leher dapat menjadi
penyulit saat melakukan
laringoskopiintubasi. Disamping
monitoring standar, perlu juga
dilakukan monitoring terhadap fungsi
sistem sarafnya dengan alat monitoring
neurologis seperti SSEP’s atau MEP’s
jika memungkinkan. Post operasi jika
fungsi kardiovaskular dan respirasi
baik, ekstubasi dapat menjadi pilihan.
Analgetik post operasi harus adekuat

73
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pasien diberikan premedikasi standar mcg/Kg/menit, fentanil intermiten


dengan ranitidin IV 50 mg, sebagai analgetik dan vecuronium
midazolam IV 2 mg dan tetes hidung intermiten sebagai relaksan. Tehnik
iliadin. Induksi dimulai dengan hipotensi terkendali digunakan pada
fentanil IV 50 mcgs dan propofol IV operasi ini dengan menggunakan
50 mg sampai pasien dalam kondisi clonidine 1 mcg/Kg BB. Prosedur
tidur tetapi tidak apneu (Sleep non bedah ini dilakukan sekitar 5 jam.
apneu). Kemudian Intubasi nasal Dilakukan pemasangan 10 buah pedicle
difasilitasi dengan Fiberoptik screw. Pendarahan untuk prosedur ini
bronkoskopi, setelah intubasi pasien hanya 500 ml. Hemodinamik stabil
diberikan vecuronium IV 4 mg selama operasi. Post operasi pasien
sebagai relaksan. Kemudian dilakukan sadar baik dan kooperatif. Pasien dapat
pemasangan CVC di vena subclavia bernapas spontan adequat dengan
kanan, pemasangan arteri line di kondisi kardiovaskular yang stabil.
dorsum pedis kiri dan pemasangan Hasil analisis gas darah normal. Pasien
kateter urine. Setelah diberikan loading kemudian di ekstubasi dan dirawat di
cairan dan haemodinamik stabil, ICU dengan analgesia epidural yang
kemudian pasien diatur ke posisi diberikan melalui 2 kateter epidural.
prone. Pemeliharaan anestesi dengan Ujung kateter epidural pertama
N2O, O2, propofol kontinyu 100 diletakkan di Thoracal-3 dan kateter

Gambar 1. Cobb’s Angle3

Tabel 1. Korelasi klinis dari derajat keparahan skoliosis 3


Cobb’s Angle (derajat) Manifestasi Klinis
< 10 Tidak Bergejala
> 25 Peningkatan tekanan arteri pulmonal
> 40 Perlu intervensi bedah
> 70 Penurunan volume paru yang bermakna
> 100 Sesak
> 120 Hipoventilasi alveolar, gagal napas kronis
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014 74
Jurnal Anestesiologi Indonesia

epidural kedua dipasang di thoracal- metode cobb’s, yang direkomendasikan


12. oleh committee of the scoliosis research
Regimen yang digunakan bupivacaine society. Pengukuran cobb’s angle
0,1% dan morphine 0,5 mg dengan dilakukan dengan membuat garis
volume 7 cc pada masing-masing kateter khayal di sisi atas dari corpus
epidural. vertebra pada kelengkungan yang
paling atas dan yang paling bawah dan
Pasien dievaluasi selama 2 hari di ICU.
menghubungkan garis tersebut secara
Hemodinamik pasien stabil selama di
tegak lurus sehingga membentuk suatu
ICU, tidak ada defisit neurologis dan
sudut yang kita sebut dengan cobb’s
juga bebas nyeri. Kemudian pasien
angle.
dikirim untuk ke ruang rawat.
Evaluasi Pra-Anestesi
PEMBAHASAN
Kondisi kardiovaskular dan respirasi
Jika dilihat dari faktor penyebabnya,
pasien pada kasus ini masih optimal
7590% kasus skoliosis penyebabnya
karena derajat kelengkungan dari
tidak diketahui. Kasus tersering muncul
skoliosisnya masih dibawah 70o
pada usia dewasa muda terkait dengan
sehingga tidak menekan organ jantung
proses pertumbuhan yang sedang
dan paru yang dapat menimbulkan
berlangsung pesat.
gangguan kardiovaskular dan respirasi.4
Penyebab Skoliosis adalah Idiopatik
Terdapat kesulitan dalam melakukan
(genetik) 75%, Kongenital (beserta
intubasi karena pasien dengan riwayat
defek neurologis lain yang
menderita chiari malformasi yang telah
menyertainya seperti
dilakukan dekompresi pada foramen
myelomeningocele, spina bifida dll.),
magnumnya dan dilakukan pemasangan
Neuromuskular (terdapat penyakit
Semirigide Sublaminar Instrumentation
tulang dan otot yang menyertainya
(SSI) yang menyebabkan leher pasien
seperti polio, cerebral palsy, muscular
menjadi tidak mobile. Kondisi ini tidak
dystropia, amyotonia, dll.),
memungkinkan bagi kita untuk
Neurofibromatosis (Von
melakukan intubasi dengan cara biasa.
Recklinghausen’s Disease), Kelainan
Intubasi dengan fiber optic menjadi
Mesenkim (marfan sindrom, dwarfism,
pilihan yang baik pada kasus ini.
rheumatoid arthritis, osteogenesis
imperfect, dll.) dan Trauma (fraktur Pada evaluasi praanestesi ada beberapa
lama, kontraktur akibat luka bakar, hal yang harus kita nilai dari pasien
dll.).3 dengan skoliosis thorakalis, yaitu jalan
nafas, respirasi, kardiovaskular dan
Skoliosis dapat dinilai tingkat
fungsi neurologis pasien pra operasi.
keparahannya dengan menggunakan

75
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penting untuk menilai kondisi jalan nafas Pada sistem respirasi kita harus menilai
pasien karena kita akan melakukan fungsi paru dari pasien praoperatif. Pada
laringoskopi intubasi untuk pasien dengan skoliosis thorakalis,
memfasilitasi jalannya operasi. Skoliosis kelengkungan tulang belakangnya
seringkali merupakan bagian dari akan menimbulkan penekanan pada
suatu sindrom kongenital terutama paru sehingga memberi ruang yang
kelainan muskuloskeletal seperti sindrom lebih sempit bagi paru untuk
marfan dan distropia muskukulorum mengembang pada saat inspirasi. Hal ini
progresiva.5 akan menimbulkan penurunan dari
kapasitas vital dan kapasitas fungsional
Pada sindrom tersebut sering terdapat residual dari paru penderita.6-9 Kondisi
kelainan pada bentuk jalan nafasnya ini akan memberikan respiratory
seperti lidah yang besar, bentuk palatum reserve yang lebih sedikit bagi kita
yang berbeda sehingga akan menjadi pada saat melakukan laringoskopi dan
penyulit pada saat kita melakukan intubasi. Disamping itu penurunan
laringoskopi intubasi.5 Dengan fungsi paru ini akan memberikan nilai
mengetahui kondisi jalan nafas pasien prediksi kepada kita sebagai
kita dapat menyiapkan peralatanperalatan pertimbangan saat mengekstubasi
untuk persiapan intubasi sulit. Pada pasien post operasi.
pasien dengan chiari malformasi terdapat
suatu kondisi dimana terjadi herniasi dari Pasien dengan skoliosis pada daerah
tonsila cerebelar ke foramen magnum thorakal mempunyai ruang mediastinum
yang menyebabkan pasien beresiko yang lebih sempit dari orang normal
untuk terjadi gangguan kardiovaskuler sehingga pergerakan jantungnya lebih
dan respirasi akibat penekanan pada terbatas sehingga kemampuan pompanya
cerebelum. juga menurun. Disamping itu ruang yang
sempit ini juga dapat mempermudah
Intervensi bedah biasanya dilakukan terjadinya efusi pericardium dan
dengan melakukan dekompresi pada mungkin dapat menimbulkan
foramen magnum yang terkadang perikarditis. Pada pasien skoliosis
disertai pemasangan SSI pada kasus Kongenital juga seringkali ditemukan
yang disertai ketidakstabilan posisi kelainan jantung seperti tetralogi of
dari vertebra cervicalis. Pemasangan fallot, Paten duktus arteriosus, maupun
SSI ini akan menyebabkan kondisi kelainan defek pada septum ventrikel
leher yang kaku sehingga akan atau atrial.3,4,7 kondisi kelainan jantung
menyulitkan saat melakukan bawaan tersebut dapat menjadi
laringoskopi intubasi pada pembedahan pertimbangan tambahan pada tehnik
berikutnya. anestesinya.

Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014 76


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Harus dinilai juga fungsi dari sistem terkait sindrom gangguan


saraf pasien sebagai modal sebelum kita muskuloskeletal dengan risiko
melakukan operasi. Diharapkan post terjadinya malignant hipertermia.3
operasi fungsi neurologis dari pasien
tidak menurun. Setelah diintubasi pasien akan
diposisikan prone. Ada beberapa hal
Intra operasi yang harus kita perhatikan sebelum kita
memposisikan pasien dalam posisi
Monitoring standar dipasang pada
prone. Patensi jalan nafas harus kita
pasien ini ditambah dengan
pastikan. Sebab akan sangat sulit untuk
pemasangan CVC dan arteri line untuk
mengakses jalan napas pada pasien
memantau fungsi kardiovaskular dari
dengan posisi prone. Pemasangan tape
pasien. Alat monitoring neurologis
pada sambungan pipa napas dapat
seperti SSEP’s atau MEP’s tidak
menjadi pilihan. Pemasangan packing
dipasang pada kasus ini karena
pada mulut dapat mengatasi
ketidaktersediaan alat tersebut pada pusat
hipersalivasi dan mengurangi risiko
pendidikan kami. Tehnik hipotensi
tube bergeser.9
terkendali dikerjakan untuk mengurangi
perdarahan durante operasi. Perdarahan Pada posisi prone dada pasien akan
pada operasi ini sekitar 500 ml. tertekan sehingga pengembangan
Monitoring adalah prinsip dasar dari parunya akan terhambat yang akan
tehnik anestesi yang akan kita berikan menimbulkan penurunan dari kapasitas
pada pasien dengan skoliosis thorakalis. vital dan kapasitas fungsional residual
Pada premedikasi dapat diberikan dari pasien. Kondisi skoliosisnya dapat
obatobatan yang memberikan efek memperparah fungsi respirasi pasien.
sedasi dan antiemetik untuk Pemasangan padding di bahu dan
memberikan rasa nyaman bagi pasien pinggang dapat memberikan ruang
sebelum pembiusan berlangsung. Pada yang lebih baik bagi pengembangan
induksi obat-obatan yang kita berikan paru pasien.9
harus menyesuaikan dengan tehnik
Pada saat kita memposisikan pasien dari
intubasi yang akan kita kerjakan. Pada
posisi supine ke posisi prone dapat
pasien dengan kemungkinan kesulitan
terjadi guncangan kardiovaskular yang
intubasi maka algoritme kesulitan
hebat akibat dari penurunan cardiac
intubasi harus sudah kita persiapkan.
output yang menimbulkan hipotensi
Awake nasal intubasi dengan fasilitasi
hingga henti jantung. Kita
fiberoptic dapat menjadi pilihan yang
dapat mengatasinya dengan
paling baik bagi pasien dengan
memastikan kecukupan volume
kekakuan leher. Suksinil kolin
sirkulasi dari penderita sebelum
sebaiknya dihindari pada pasien ini
kita posisikan ke posisi prone.

77
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pemasangan kanul vena sentral dapat otot intravena. Namun pada pasien
menjadi pilihan meskipun bukan dengan risiko terjadinya malignant
merupakan indikasi mutlak. hipertermia sebaiknya pemeliharaan
Alternatif lain dapat dilakukan dilakukan dengan total intravena
pemasangan 2 akses intravena ukuran menggunakan regimen propofol
besar. continous atau penthotal.

Terdapat risiko penekanan pada Monitoring intraoperatif adalah bagian


sarafsaraf disekitar wajah, lengan, kaki terpenting dari tehnik anestesi. Pada
dan organ genitalia akibat posisi pasien. fase ini kita harus memantau dengan
Penggunaan padding di wajah, bahu dan seksama kondisi seluruh sistem organ
kaki dapat mengatasi masalah tersebut. pasien. Pada sistem saraf, pemantauan
fungsi saraf dengan menggunakan alat
Risiko emboli udara pada operasi Somato Sensory Evoked Potentials
tulang belakang dapat terjadi karena (SSEP’s) atau Motor Evoked Potentials
lokasi pembedahan yang terletak diatas (MEP’s) adalah hal yang sangat penting
dari posisi jantung. Tanda awal emboli untuk dilakukan meskipun tidak
udara adalah takikardia yang tidak bisa merupakan hal yang mutlak.6,7
dijelaskan yang diikuti dengan
bradikardia dan hipotensi Pada sistem respirasi kita dapat
serta penurunan end tidal CO2 yang memakai alat pemantau end tidal CO2
ekstrem dengan selisih nilai diatas 5 untuk menjaga pasien tetap
dibandingkan dengan PaCO2.2,8 normokarbia. Pada sistem
kardiovaskular pemantauan tanda vital
Kebutaan paska operasi kejadiannya standar mutlak harus dipasang seperti
biasanya terkait dengan durasi monitor tensi, nadi dan saturasi.
operasi Terlebih lagi kita akan menggunakan
yang lama, hipotensi yang tehnik hipotensi terkendali untuk
berkepanjangan, anemia dan kehilangan mengurangi perdarahan pada lapangan
darah yang masif (melebihi 1000 ml).2 operasi. Pada sistem urogenital
pemasangan kateter urine wajib
Terdapat risiko penekanan bola mata
dikerjakan untuk memantau kecukupan
yang dapat menimbulkan kebutaan post
cairan dan fungsi dari ginjal pasien.
operasi. Hal ini dapat kita hindari
Monitoring invasif lainnya seperti CVC
dengan memasang bantal berbentuk
dan arteri line dapat dipasang jika
donat sebagai penyangga kepala.
tersedia.
Pemeliharaan anestesia dapat
Risiko perdarahan sangat mungkin
dilakukan menggunakan kombinasi
terjadi pada pasien koreksi skoliosis.
inhalasi dengan N2O:O2 dan
Untuk itu beberapa tehnik dapat
sevoflurane, analgetik dan pelumpuh

Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014 78


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilakukan untuk mengurangi risiko menjaga agar MAP dari tekanan darah
perdarahan. pasien tidak jatuh hingga dibawah batas
autoregulasi dari otak dan medulla
Autologus Transfusi pra operatif
spinalis. Hipotensi yang melewati batas
Tehnik ini dapat dikerjakan 3-4 minggu autoregulasi akan dapat mencederai
sebelum operasi berlangsung. Pasien otak dan medulla spinalis.
diambil darahnya untuk disimpan
Intraoperative Cell Salvage
sehingga dapat dipakai jika nanti
diperlukan. Tehnik ini dapat dipakai Tehnik ini menggunakan mesin khusus
pada kasus Jehovah’s Witnesess.3 untuk mencuci darah yang keluar dari
Hemodilusi Normovolemik Akut luka operasi sehingga dapat
digunakan kembali. Namun tehnik ini
Tehnik ini dilakukan dengan sangat jarang digunakan. Post Operasi
memberikan kristaloid dan koloid
praoperatif untuk mendelusi darah pasien kriteria ekstubasi untuk pasien ini
sehingga bila terjadi perdarahan tidak terpenuhi, seperti perdarahan relatif
dengan cepat mengurangi jumlah sedikit, haemodinamik yang stabil
komponen darah.3 selama operasi. Post operasi pasien
sadar baik dan kooperatif. Pasien dapat
Cegah penekanan abdomen saat pasien bernapas spontan adequat. Hasil analisis
dalam posisi prone Bila abdomen tidak gas darah normal, kemudian diputuskan
dalam posisi bebas saat posisi prone untuk melakukan ekstubasi. Setelah
maka dapat terjadi bendungan dari aliran ekstubasi pasien dibawa ke ruang
darah balik ke jantung dari ekstremitas intensif untuk monitoring ketat paska
inferior yang akan berefek kepada operasi. Analgetik pada kasus ini
penurunan tekanan darah dan vasodiatasi menggunakan epidural analgesia yang
dari vena-vena diruang epidural yang dipasang di 2 tempat yaitu di thorakal-3
menyebabkan perdarahan pada lapangan dan thorakal-12 yang dipasang langsung
operasi.3 oleh operator bedah. Epidural dipilih
karena dapat menjamin pasien bebas
Tehnik Hipotensi Terkendali
nyeri pasca operasi. Nyeri dapat
Tehnik hipotensi terkendali dapat mengganggu proses penyembuhan luka
dikerjakan dengan melakukan sedikit pasien dan dapat menimbulkan
hiperventilasi yang dikombinasikan instabilitas kardiovaskular dan respirasi.
dengan medikamentosa seperti obat Epidural dipasang di 2 tempat karena
golongan alpha-2 Agonis dan luka operasi yang panjang dari
agenagen hipotensif lainnya. Namun dermatom thorakal-1 hingga lumbal-
yang paling penting diperhatikan bahwa 2. Dengan pemasangan 2 kateter
saat kita melakukan tehnik ini kita harus epidural memungkinkan kita untuk

79
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengurangi volume obat epidural yang perioperatif yang menyertainya.


diberikan. Regimen yang digunakan Fungsi kardiovaskular dan respirasi
bupivacaine 0,1% dan morphine 0,5 mg adalah yang paling mungkin
volume 7 ml pada masing masing terganggu sehingga perlu mendapat
kateter epidural. Setelah 2 hari perhatian khusus. Penilaian terhadap
pemantauan di ICU pasien derajat keparahan dari skoliosisnya
dipindahkan kembali ke ruang dapat memberikan suatu nilai
perawatan biasa. Selama dirawat pasien prediksi terhadap permasalahan yang
bebas nyeri. mungkin terjadi perioperatif. Pasien
dengan gangguan pada mobilitas dari
Pasien post operasi koreksi skoliosis
leher dapat menjadi penyulit saat
dihadapkan pada beberapa kondisi
melakukan laringoskopi-intubasi. Post
yang mengharuskannya untuk dirawat
operasi jika fungsi kardiovaskular dan
diruang intensif. Perdarahan, transfusi
respirasi baik, pertimbangan ekstubasi
darah, manipulasi yang hebat, durasi
dapat menjadi pilihan. Analgetik post
operasi yang panjang, hipotermia,
operasi harus adekuat untuk menangani
penurunan fungsi paru dan goncangan
nyeri karena nyeri dapat dapat
kardiovaskular dapat menjadi ancaman
menimbulkan instabilitas
setiap saat bagi pasien paska operasi
kardiovaskular dan respirasi yang
sehingga pemantauan yang ketat paska
menjadi penyulit paska operasi.
operasi menjadi suatu hal yang mutlak
untuk dikerjakan. Penanganan nyeri post DAFTAR PUSTAKA
operasi pada pasien koreksi skoliosis 1. Richard A, Stanley I.
merupakan suatu hal yang penting bagi Anesthetic
seorang ahli anestesi. Penggunaan Considerations for Spinal Reconstruction
and Fusion Chapter 10.3 in : Richard A,
epidural menjadi pilihan yang baik Stanley I, Ed. Anesthesiologist's Manual of
yang dikombinasi dengan Non Steroid Surgical Procedures, 4th ed, Lippincott
Williams & Wilkins,USA 2009: p.971-80.
Anti inflamatory Drugs (NSAID’s).
Opioid intravena juga dapat menjadi 2. Anesthesia for Orthopaedic Surgery. In:
pilihan untuk menangani nyeri pasien Barash P.G, Cullen B.F, Stoelting R.K
Editor. Handbook of Clinical Anesthesia, 6th
paska operasi. Baik sebagai agen ed, Lippincott Williams & Wilkins,
tunggal maupun dikombinasi dengan Philadelphia-USA 2009.
paracetamol maupun NSAID’s. 3. Anand H.K, Ambareesha M, Spesial article,
Scoliosis and anesthetic Considerations in
RINGKASAN Indian journal of anesthesia 2007; 51 (6) :
p486-95.
Manajemen anestesi pada operasi
4. Melissa A.G, Article, Anesthetic implications
Koreksi skoliosis thorakalis menjadi for surgical correction of scoliosisin : AANA
suatu hal yang sangat penting karena journals, Agust 2007; Vol 75 : no.4.p 277-85
begitu kompleksnya permasalahan

Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014 80


Jurnal Anestesiologi Indonesia

5. Michael K Urban. Anesthesia for orthopedic


surgery. In: Ronald D. Miller Editor. Miller's
Anesthesia 7 ed, Churchill Livingstone
Elsevier USA 2009.

6. Bösenberg MT, Bösenberg AT, Case-Report :


Anaesthesia for Marfan’s Sindrom,
Department Anaesthesia, University Cape
Town, SAJAA July-August 2007;13(4). P 15-
9

7. Vinit W, Guidelines for the anesthetic


Management of Spine Fusions and SSEP
Monitoring, department of anesthesia and
Pain Management-Stanford University
Medical Centre 2009.

8. Hoda M.Q, Zafar S.U, a Case-Series


Anaesthesia for surgical correction of
Scoliosis with Spinal Cord Monitoring, JPMA
54:565;2004.

9. Newfield P, Cottrell J.E, Spinal Cord Injury


and Procedures-Scoliosis Chapter 13 in :
Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed,
Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia-USA 2007: p-253-8.

81
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

You might also like