You are on page 1of 13

ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN DAN

TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA


(STUDI DI KECAMATAN MEDAN KOTA, SUMATERA UTARA)

The Analysis of Family Expenditure Allocation and Welfare


(A Study at the Sub-District of Medan City, North Sumatera)

Armaini Rambe1, Hartoyo2, dan Emmy S Karsin3

ABSTRACT. In recent years, issues on family welfare are being discussed. One
aspect is concerning family welfare indicator and measurement. There are three
measures of family welfare, i.e., BKKBN, BPS, and subjective measures. In
general, this research was aimed to determine expenditure allocation and family
welfare status, and to compare three measurements of welfare status. Cross
sectional design and survey method were applied for this research. District of
Medan Municipality, with Sudirejo I Sub District, Medan, North Sumatera were
chosen purposively as study area. In this sub district 2 areas were chosen at
random and 100 families were selected as samples and drawn using Proportional
Stratified Random sampling method. Data of family demographic and
socioeconomics characteristic, food and non food expenditure, and subjective
perception of family welfare were collected for 2 months from Augusts to
September 2003. Mann-Whitney test, Chi square, multiple regression, sensitivity
and specificity, logistic regression was used to analyze data. The result indicates
that the average of non food expenditure of the relatively wealthy family was six
times higher than poor family. There was a significant difference of the proportion
of food and non food expenditure between poor and wealthy family. Education and
income influenced significantly family expenditure. Using BPS criteria as gold
standard, the three poverty/welfare indicators (BKKBN, food expenditure and
subjective perception) had high sensitivity as many as 100.0. BKKBN and food
expenditure criteria were the highest specificity as many as 63.3% and the lowest
was subjective perception criteria (22.4%). The welfare determinant based on BPS
criteria was the education of family head. The welfare determinant based on
BKKBN criteria was family income. The welfare determinant based on food
expenditure was the number of family members and income. The welfare
determinants based on subjective perception were the education of family head,
the age of family head, the perception of price and income. The poverty threshold
as much as Rp 230,000.00 based on food expenditure considered the best and
was chosen because it could classify poor family more than BKKBN criteria, and
the education of family head with less than 13 years (the same as Senior High
School level) also represented poverty indicator.

Key Words: family, expenditure, welfare, poverty

PENDAHULUAN Turunnya pendapatan riil sangat


Kesejahteraan adalah suatu tata dirasakan oleh semua lapisan
kehidupan dan penghidupan sosial, masyarakat terutama yang
material, maupun spiritual yang diliputi berpenghasilan rendah dan
rasa keselamatan, kesusilaan dan menengah. Pada masyarakat
ketenteraman lahir batin yang berpenghasilan rendah, pendapatan
memungkinkan setiap warganegara yang mereka peroleh hanya cukup
untuk mengadakan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar
pemenuhan kebutuhan jasmani, (basic need), bahkan kebanyakan
rohani dan sosial yang sebaik-baiknya mereka sudah tidak mampu lagi
bagi diri, keluarga serta masyarakat memenuhi kebutuhan hidup secara
dengan menjunjung tinggi hak-hak layak, sehingga kualitas hidup
asasi serta kewajiban manusia sesuai keluarga dirasakan semakin menurun
dengan Pancasila dan UUD 1945. dan hal ini berdampak negatif
Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 16
terhadap tingkat kesejahteraan (keluarga, kelompok dan masyarakat)
masyarakat. Namun demikian, tidak untuk mencapai kesejahteraan hidup.
semua kemiskinan identik dengan Tujuan penelitian ini adalah untuk:
ketidaksejahteraan, demikian juga (1) Mengidentifikasi karakteristik
dengan tingkat pendapatan yang demografi, sosial-ekonomi, dan faktor
tinggi belum mencerminkan tingkat eksternal keluarga miskin dan tidak
kesejahteraan yang tinggi pula miskin; (2) Mengetahui alokasi
(Subagio et al. 2001). pengeluaran pangan dan non pangan
Salah satu indikator keluarga miskin dan tidak miskin; (3)
kesejahteraan keluarga adalah Menganalisis faktor-faktor yang
dengan mengukur besarnya mempengaruhi pengeluaran pangan
pengeluaran. Keluarga dengan dan non pangan keluarga; (4)
kesejahteraan lebih baik, mempunyai Mengetahui tingkat kesejahteraan
persentase pengeluaran pangan lebih keluarga dengan berbagai metode
kecil dibanding keluarga dengan pengukuran; (5) Mengetahui akurasi
kesejahteraan lebih rendah. Jika berbagai metoda pengukuran tingkat
dikaitkan dengan teori kebutuhan, kesejahteraan keluarga; dan (6)
maka pangan merupakan kebutuhan Menganalisis faktor-faktor yang
paling utama. mempengaruhi tingkat kesejahteraan
Dengan semakin kompleksnya keluarga.
permasalahan taraf kesejahteraan
rakyat, maka informasi yang tepat dan Manfaat
pengukuran yang akurat sangat Memberi informasi bagi
dibutuhkan untuk memperoleh alat Pemerintah Daerah Sumatera Utara
ukur yang sesuai dengan kondisi dalam menentukan kebijakan-
daerah. Berbagai lembaga mengukur kebijakan yang berhubungan dengan
taraf kesejahteraan hanya berupa peningkatan kesejahteraan keluarga.
aspek yang dapat diamati dan dapat
diukur. Seperti Badan Pusat Statisik METODE PENELITIAN
misalnya, kesejahteraan rakyat Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian
menggunakan batas garis kemiskinan Disain penelitian ini adalah cross
didasarkan pada data konsumsi dan sectional. Penelitian dilakukan di
pengeluaran pangan dan non pangan. Kecamatan Medan Kota, Kelurahan
Pada umumnya keluarga Sudirejo I Medan, Sumatera Utara.
berpendapatan rendah di Indonesia Pelaksanaan pengambilan data
membelanjakan sekitar 60-80% dari dilakukan selama 2 bulan, dari bulan
total pendapatannya untuk memenuhi Agustus - September 2003.
kebutuhan pangan (Sukirman 1991).
Sementara BKKBN mempunyai Teknik Penarikan Contoh
kriteria khusus dan telah Contoh penelitian adalah keluarga
mengklasifikasikan keluarga sejahtera yang menetap di Kecamatan Medan
ke dalam lima kategori, yaitu keluarga: Kota. Kecamatan tersebut dipilih
(1) Pra Sejahtera; (2) Sejahtera I; (3) secara purposive dengan
Sejahtera II; (4) Sejahtera III; dan (5) pertimbangan bahwa wilayah ini
Sejahtera III plus. Kesejahteraan yang heterogen ditinjau dari aspek
subjektif juga dapat diperoleh dengan penduduk dalam suku, agama, dan
menanyakan langsung pada keluarga mata pencaharian. Kelurahan
bagaimana pendapat/ persepsi Sudirejo I dipilih sebagai lokasi
kesejahteraan yang merupakan penelitian secara purposive
kenyataan dan diperoleh melalui berdasarkan jumlah kepala keluarga
pengalaman hidup sehari-hari dalam yang besar pada beberapa kategori
hubungannya dengan lingkungan tingkat keluarga sejahtera menurut
BKKBN. Selanjutnya dari 12

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 17


lingkungan yang terdapat pada (menganalisis faktor-faktor apa yang
kelurahan Sudirejo I dipilih 2 berpengaruh terhadap pengeluaran
lingkungan secara acak sederhana RT); (4) Sensitifitas dan Spesifisitas
(Simple Random Sampling). Jumlah (mengetahui akurasi berbagai metoda
contoh yang terpilih adalah 100 ibu untuk mengukur tingkat
keluarga yang ditetapkan secara kesejahteraan); dan (5) Analisis
purposive. Penarikan contoh regresi logistik (menentukan cut off
dilakukan secara proporsional determinan tingkat kesejahteraan RT).
(Proportional Stratified Random
Sampling). Klasifikasi kesejahteraan HASIL DAN PEMBAHASAN
keluarga yang diperoleh dari kader, Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
ternyata berbeda dengan yang Usia. Rata-rata usia kepala
ditemukan di lapang, sehingga peneliti keluarga contoh adalah 47.6 tahun,
menentukan contoh keluarga dimana rata-rata keluarga tidak miskin
berdasarkan fakta yang ada di lapang. berusia lebih tua (49.2 tahun)
dibandingkan keluarga miskin (44.9
Teknik Pengumpulan Data tahun). Rata-rata usia responden istri
Data yang dikumpulkan dalam adalah 43.5 tahun, dimana rata-rata
penelitian ini terdiri dari data primer usia responden pada keluarga tidak
dan data sekunder. Data primer miskin lebih tua (44.6 tahun)
diperoleh dari wawancara terstruktur dibandingkan keluarga miskin (41.6
dengan menggunakan daftar tahun)
pertanyaan (kuesioner), wawancara Jumlah Anggota Keluarga.
bebas dengan contoh tentang Sebagian besar keluarga dalam
persepsi mereka tentang penelitian termasuk keluarga sedang
kesejahteraan. (berkisar antara 5-7 orang) yakni
Data sekunder meliputi tingkat 76.3% pada keluarga miskin dan
kesejahteraan menurut kriteria 66.1% pada keluarga tidak miskin.
BKKBN melalui Rekapitulasi Hasil Rata-rata jumlah anggota keluarga
Pendataan Keluarga Tingkat Dusun/ miskin dan tidak miskin tidak jauh
Lingkungan tahun 2002 yang dicatat berbeda, yakni berturut-turut 6.3±2.3
oleh Petugas Lapangan Keluarga orang dan 6.4±1.7 orang. Tidak ada
Berencana (PLKB). Data penunjang perbedaan yang nyata (p>0.05)
lainnya diperoleh melalui telaah jumlah anggota keluarga miskin dan
dokumentasi dan kepustakaan dari tidak miskin.
publikasi/ laporan instansi terkait Pendidikan. Rata-rata lama
seperti BPS, BKKBN dan Pemerintah pendidikan kepala keluarga tidak
Kota Medan, Kantor Kecamatan, miskin lebih tinggi dibandingkan
monografi desa dan lain-lain. keluarga miskin, yakni berturut-turut
14.5 tahun dan 9.7 tahun. Sementara
Pengolahan dan Analisis Data rata-rata lama pendidikan responden
Pengolahan data dilakukan pada keluarga tidak miskin (13.6
menggunakan program SPSS 10.0 for tahun) lebih tinggi dibandingkan
Window. Analisis data penelitian ini keluarga miskin (8.1 tahun). Terdapat
dilakukan dengan : (1) Uji beda Mann- perbedaan yang nyata (p<0.05)
Whitney (mengetahui karakteristik antara pendidikan kepala keluarga
demografi dan sosial ekonomi, serta miskin dan tidak miskin.
perbedaan alokasi pengeluaran Pekerjaan. Sebagian besar
pangan dan non pangan RT); (2) Khi kepala keluarga pada keluarga tidak
kuadrat (mengidentifikasi hubungan miskin mempunyai pekerjaan sebagai
indikator BKKBN, pengeluaran PNS/ABRI yakni sebesar 30.6%.
pangan dan subjektif dengan kriteria Sementara itu, pada keluarga miskin
BPS; (3) Analisis regresi berganda yang paling banyak adalah kepala

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 18


keluarga dengan mata pencaharian miskin merasa belum sejahtera dari
sebagai supir (26.3%). segi kondisi tempat tinggalnya.
Responden/istri pada keluarga tidak Persepsi Agama. Persepsi
miskin lebih banyak yang berprofesi kesejahteraan dari segi agama
sebagai PNS yakni 30.6%, sedangkan menunjukkan bahwa sebagian besar
pada keluarga miskin sebagian besar responden baik pada keluarga miskin
responden (31.6%) adalah ibu maupun tidak miskin mengaku belum
keluarga. sejahtera yakni berturut-turut 92.1 dan
Pendapatan. Rata-rata 71.0%
pendapatan rumah-tangga tidak Persepsi Budaya. Sebanyak
miskin lebih tinggi yakni 81.6% keluarga miskin mempunyai
Rp 832,609.10 ± 740,858.40 persepsi tidak sejahtera dari segi
dibandingkan keluarga miskin yakni budaya. Sebaliknya, separuh (51.6%)
Rp 151,326.50 ± 59,424.10. Hasil uji keluarga tidak miskin menganggap
beda Mann-Whitney menunjukkan sudah sejahtera dari segi budaya.
adanya perbedaan yang nyata Secara umum persepsi subjektif
(p<0.05) pendapatan keluarga miskin responden terhadap
dan tidak miskin. kesejahteraannya lebih tinggi pada
Aset. Ditinjau dari kepemilikan keluarga tidak miskin (66.5±15.2)
aset, keluarga tidak miskin dibandingkan keluarga miskin
mempunyai aset yang lebih banyak (36.7±10.2).
dibandingkan keluarga miskin.
Agama. Persentase keluarga Alokasi Pengeluaran
miskin yang beragama Islam adalah Rata-rata pengeluaran pangan
71.1% dan keluarga tidak miskin keluarga tidak miskin lebih besar
adalah 74.2%. dibandingkan keluarga miskin, yakni
Etnis. Sebagian besar responden berturut-turut Rp 229,810.20 dan
berasal dari etnis Batak, Melayu dan Rp 126,112.40 (Tabel 1). Komponen
Minang yang lebih cenderung memilih pengeluaran pangan terbesar pada
pasangan hidup dari etnis yang sama. kedua kelompok adalah untuk ikan.
Sementara itu, responden dari etnis Semakin tinggi tingkat pendapatan
Jawa memilih pasangan dari beragam keluarga, pengeluaran untuk pangan
etnis. hewani akan semakin meningkat.
Namun karena harga ikan yang relatif
Faktor Eksternal terjangkau di Kota Medan, membuat
Persepsi Harga. Dari segi harga keluarga miskin juga mampu
yang menggambarkan daya beli mengkonsumsi ikan sehari-hari.
keluarga, sebagian besar responden Sumber pangan hewani lainnya yang
menganggap bahwa mereka belum sering dikonsumsi oleh keluarga tidak
sejahtera karena harga-harga barang, miskin adalah daging. Hasil Susenas
baik pangan maupun non pangan (1986) menunjukkan bahwa kelompok
masih sulit untuk dijangkau. ikan sebagai sumber utama makanan
Sebanyak 97.4% keluarga miskin dan yang mengandung protein lebih
82.3% rumah tangga tidak miskin disukai penduduk luar Jawa
menganggap harga-harga saat ini dibandingkan penduduk Jawa.
tidak mensejahterakan mereka. Hal yang menarik dalam
Persepsi Tempat Tinggal. pengeluaran pangan ini adalah
Sebagian besar (62.9%) keluarga komponen pengeluaran kedua
tidak miskin menganggap tempat terbesar pada keluarga miskin adalah
tinggalnya sudah memadai dan dapat untuk tembakau dan sirih. Sementara
mensejahterakan mereka. Sebaliknya, pada keluarga tidak miskin komponen
sebagian besar (76.3%) keluarga pengeluaran pangan kedua terbanyak
adalah untuk makanan dan minuman

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 19


yang termasuk didalamnya untuk jajan besar komponen pengeluaran pangan
atau makan di luar rumah. Secara kecuali umbi-umbian, kacang-
umum, pada semua komponen kacangan, minuman mengandung
pengeluaran pangan, kecuali untuk alcohol, serta tembakau dan sirih
komponen minuman mengandung berbeda nyata (p<0.05) antara
alkohol dan tembakau dan sirih, keluarga miskin dan tidak miskin.
pengeluaran keluarga tidak miskin Total pengeluaran pangan antara
lebih tinggi dibandingkan keluarga keluarga miskin dan tidak miskin juga
miskin. menunjukkan perbedaan yang nyata
Hasil uji beda Mann-Whitney (p<0.05).
menunjukkan bahwa pada sebagian

Tabel 1. Deskripsi Komponen Pengeluaran Pangan dan Non Pangan berdasarkan


Status Kesejahteraan
Pengeluaran Miskin (n=38) Tidak Miskin (n=62) Total (n=100)
Pangan
Rata- SD Rata- SD Rata-Rata SD
dan Non Pangan Rata Rata
bn
1. Padi-padian 19.984.9 6.620.4 23.427.5 7.655.4 22.119.3 7.437.2
tn
2. Umbi-umbian 429.4 608.6 406.0 830.9 414.9 751.0
bn
3. Ikan 22.687.2 7.785.7 47.124.6 29.906.8 37.838.4 26.755.9
bn
4. Daging 5.325.9 4.732.6 22.660.7 14.815.0 16.073.5 14.667.0
bn
5. Telur dan Susu 10.062.6 6.923.6 16.903.8 14.337.9 14.304.2 12.478.8
bn
6. Sayur-sayuran 9.291.0 3.632.1 12.275.4 5.792.6 11.141.3 5.265.4
9tn
7. Kacang-kacangan 4.101.0 3.050.9 4.964.5 3.324.8 4.636.4 3.235.3
bn
8. Buah-buahan 5.313.2 4.581.7 21.222.1 17.348.5 15.176.7 15.922.4
bn
9. Minyak dan Lemak 4.905.9 2.127.1 7.465.5 4.440.6 6.492.9 3.924.3
bn
10. Bahan minuman 5.254.0 2.547.3 9.481.5 4.373.3 7.875.1 4.296.8
bn
11. Bumbu-bumbuan 1.471.6 664.0 2.781.2 1.381.9 2.283.6 1.322.7
bn
12. Konsumsi lainnya 4.274.7 3.273.9 7.446.5 4.497.1 6.241.2 4.343.0
bn
13. Makanan dan 11.845.4 10.573.1 32.011.9 26.115.6 24.348.6 23.639.0
Minuman
9tn
14. Minuman 449.9 1.612.8 420.7 2.078.5 431.8 1.906.4
mengandung
alkohol
9tn
15. Tembakau & sirih 20.715.7 16.964.5 21.218.3 26.703.4 21.027.3 23.387.8
bn
Pengeluaran Pangan 126.112.4 32.288.4 229.810.2 89.020.0 190.405.1 88.495.8
bn
1. Perumahan & 41.620.0 26.223.3 215.726.9 159.541.7 149.566.3 152.165.8
Fasilitas RT
bn
2. Aneka barang dan 12.060.9 8.816.6 135.760.2 158.807.2 88.754.5 138.599.9
jasa
bn
3. Pendidikan 22.654.5 17.776.4 94.737.9 115.830.9 67.346.2 98.089.5
9tn
4. Kesehatan 11.856.5 20.038.3 23.888.2 57.175.5 19.316.2 46.891.1
bn
5. Pakaian, alas kaki 8.512.3 5.268.8 45.537.3 33.887.4 31.467.8 32.313.8
dan tutup kepala
bn
6. Barang tahan lama 5.170.2 29.697.2 54.080.9 139.768.4 35.494.8 113.735.5
bn
7. Pajak dan asuransi 666.8 1.139.6 20.223.5 49.204.6 12.791.9 39.790.6
bn
8. Keperluan pesta 1.384.2 3.120.2 18.745.6 73.035.0 12.148.3 57.983.2
dan upacara
bn
Pengeluaran Non 103.925.4 53.734.6 608.700.5 472.050.4 416.886.0 446.112.3
Makanan
bn
Total Pengeluaran 230.037.8 70.920.5 838.510.8 530.035.7 607.291.0 512.925.3
Ket : bn= berbeda nyata (p<0.05) antara keluarga miskin dan tidak miskin
tn=tidak berbeda nyata (p>0.05) antara keluarga miskin dan tidak miskin

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 20


Secara umum rata-rata lebih besar dibandingkan keluarga
pengeluaran non pangan keluarga miskin yakni berturut-turut Rp
tidak miskin enam kali lebih besar 838,510.80 dan Rp 230,037.80 (Tabel
(Rp 608,700.50) dibandingkan 1).
kelompok keluarga miskin Persentase pengeluaran pangan
(Rp 103,925.40). Komponen pada keluarga miskin (56.4%) lebih
pengeluaran terbesar pada keluarga besar dibandingkan pengeluaran non
miskin dan tidak miskin adalah untuk pangan (43.6%). Sebaliknya, pada
perumahan dan fasilitas keluarga. keluarga tidak miskin, persentase
Sementara itu, komponen pengeluaran pangan (33.6%) lebih
pengeluaran terkecil pada keluarga rendah dibandingkan pengeluaran
miskin adalah untuk pajak dan non pangan (66.4%) (Tabel 2).
asuransi, sedangkan pada keluarga Hasil uji statistik menunjukkan
tidak miskin untuk keperluan pesta adanya perbedaan yang nyata
dan upacara. (p<0.05) persentase pengeluaran
Pengeluaran keluarga tidak pangan dan non pangan di antara
miskin pada semua komponen non keluarga miskin dan tidak miskin. Jika
pangan, lebih tinggi dibandingkan dibandingkan dengan BPS (2002)
pengeluaran keluarga miskin. dimana persentase pengeluaran rata-
Pengeluaran keluarga tidak miskin rata per kapita per bulan di wilayah
pada semua komponen non pangan, perkotaan Sumatera Utara untuk
lebih tinggi dibandingkan pengeluaran pangan adalah 65.5% dan 31.7%
keluarga tidak miskin. Rata-rata untuk konsumsi bukan pangan, maka
pengeluaran total yang merupakan kesejahteraan keluarga contoh dalam
penjumlahan pengeluaran pangan penelitian ini sudah lebih baik.
dan non pangan keluarga tidak miskin

Tabel 2. Persentase Pengeluaran Pangan dan Non Pangan terhadap Pengeluaran


Total berdasarkan Status Kesejahteraan
Pengeluaran Miskin (n=38) Tidak Miskin (n=62) Total (n=100)
Pangan Rata-Rata Kisaran Rata-Rata Kisaran Rata-Rata Kisaran
dan Non Pangan ± SD (Min; Max) ± SD (Min; Max) ± SD (Min; Max)
Persentase
Pengeluaran Pangan 56.4±10.6 34.6-75.7 33.6±13.3 10.4-70.4 42.3±16.6bn 10.4-75.7
Persentase
Pengeluaran Non
Pangan 43.6±10.6 24.3-65.4 66.4±13.3 29.6-89.6 57.7±16.6 bn 24.3-89.6
230,037.80 ± 119,909.40 - 838,510.80 ± 137,540.00- 607,291.00 ± 119,909.40 -
Pengeluaran Total
70,920.50 432,716.70 530,035.70 2,591,024.30 512,925.30 bn 2,591,024.30
Ket : bn= berbeda nyata (p<0.05) antara keluarga miskin dan tidak miskin

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil penelitian Megawangi et al.


Pengeluaran Keluarga (1994) membuktikan bahwa tingkat
Hasil analisis regresi berganda pendapatan dan pendidikan suami
menunjukkan bahwa dari 5 peubah berhubungan nyata dan positif
karakteristik sosial ekonomi dan terhadap kebiasaan merencanakan
persepsi, ternyata hanya pendidikan anggaran biaya. Studi kuantitatif
dan pendapatan yang berpengaruh tentang anggaran/pengeluaran
nyata (p<0.05) terhadap pengeluaran keluarga pertama kali dilaksanakan
keluarga (Tabel 3). Pengaruh faktor oleh Engel, hasil studi empirisnya
demografi, sosial ekonomi dan faktor adalah: (1) kategori/proporsi terbesar
eksternal terhadap pengeluaran dari anggaran keluarga adalah untuk
keluarga adalah sebesar 74.9%. makanan, (2) proporsi pengeluaran
total untuk makanan menurun dengan

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 21


meningkatnya pendapatan, (3) yang secara umum berlaku dewasa
proporsi pengeluaran total untuk ini. Teori Engel ini sangat penting
pakaian dan perumahan diperkirakan untuk mempelajari tingkat
konstan, sementara proporsi kesejahteraan ekonomi suatu
pengeluaran untuk barang-barang masyarakat, atau untuk menganalisis
mewah bertambah ketika pendapatan perilaku konsumsi makanan dan
mulai meningkat. Dari ketiga hasil bukan makanan sebuah keluarga.
temuan di atas, temuan kedualah

Tabel 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Keluarga


Peubah Bebas B Galat Beta-Std Sig
Konstanta -248.633 -1.442 0.153
Pendidikan KK 16.336 0.135 2.138 0.035
Jumlah anggota rumah tangga 20.093 0.076 1.479 0.142
Umur Kepala RT 2.375 0.039 0.755 0.452
Pendapatan 0.572 0.748 13.001 0.000
Persepsi harga 115.324 0.105 1.657 0.101
Ket : Adjusted R Square = 0.749

Suhardjo (1989) mengemukakan pengentasan kemiskinan. Beberapa


bahwa pendapatan sangat indikator kemiskinan yang dijadikan
berpengaruh terhadap alokasi acuan penentuan keluarga miskin
pengeluaran keluarga. Keluarga adalah kriteria BKKBN, BPS,
berpenghasilan rendah akan pengeluaran pangan dan persepsi
menggunakan sebagian besar subjektif.
pendapatannya untuk pangan sebagai Kesejahteraan menurut BKKBN.
kebutuhan pokok. Pendidikan dan Sebanyak 38.0% keluarga contoh
pekerjaan mempengaruhi selera dan tergolong miskin menurut kriteria
preferensi konsumen pada jenis dan BKKBN, sementara sisanya yakni
tingkat pengeluaran pilihan (Fan 1997; 62.0% tergolong tidak miskin (Gambar
Ghany & Sharpe 1997). Tingkat 1). Dalam konsep BKKBN, keluarga
pendapatan yang tinggi memberi dikategorikan menjadi 5 (lima) yaitu
peluang lebih besar bagi keluarga keluarga pra sejahtera, keluarga
untuk memilih pangan yang baik sejahtera I, keluarga sejahtera II,
berdasarkan jumlah maupun jenisnya keluarga sejahtera III, dan keluarga
(Roedjito 1989). Rendahnya sejahtera III plus. Keluarga miskin
pendapatan merupakan rintangan adalah keluarga pra sejahtera dan
yang menyebabkan orang tak mampu keluarga sejahtera I sedangkan
membeli pangan dalam jumlah yang keluarga sejahtera II, III dan III plus
diperlukan (Sajogyo et al. 1994). masuk kategori bukan keluarga
miskin.
Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Beberapa kelemahan penentuan
Besar angka kemiskinan dan cara kesejahteraan BBKBN : (1)
menghitungnya menjadi bahan diskusi Banyaknya data dan informasi yang
aktual akibat perbedaan dalam cara harus dikumpulkan membutuhkan
yang digunakan. Penghitungan tingkat pemahaman yang tinggi,
keluarga miskin di Indonesia telah padahal tidak setiap kader mampu
dicoba dikembangkan pada tingkat menguasai permasalahan, karena
nasional. Indikator kemiskinan sangat diantara mereka memiliki kemampuan
dibutuhkan oleh pemerintah maupun yang berbeda-beda; (2) Sistem
lembaga non pemerintah untuk nepotisme yang mengedepankan
menentukan keluarga yang menjadi kekeluargaan membuat kader
kelompok sasaran program-program seringkali mengurangi atau

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 22


menambah data sesuai program yang subjektif dan sulit dinilai tingkat
akan dilakukan, misalnya program kesejahteraannya; dan (5) Variabel
JPS, raskin, beasiswa dan pelayanan minimum dalam seminggu
pengobatan gratis; (3) Inkonsistensi mengkonsumsi pangan hewani
variabel indikator, misalnya untuk (daging, ikan, telur) bila ditinjau dari
Kota Medan variabel lantai sebagian segi harga tidak mempunyai
besar tanah tidak digunakan, tapi elastisitas yang sama, dimana harga
lebih cenderung menggunakan luas daging jauh di atas harga telur yang
lantai rumah untuk menentukan mampu dikonsumsi hampir semua
tingkat kesejahteraan; (4) Variabel keluarga.
melaksanakan ibadah agama sangat

98,0
100,0

90,0
Miskin
78,0
80,0 Tidak Miskin

70,0 62,0 62,0


Miskin
60,0 Tidak Miskin

50,0 38,0 38,0 Miskin


Tidak Miskin
40,0

30,0 22,0 Tidak Sejahtera


Sejahtera
20,0

10,0 2,0

0,0
BKKBN BPS 1 Pengeluaran Persepsi
Pangan Subjektif

Gambar 1. Sebaran Keluarga berdasarkan Kriteria Kemiskinan BPS, BKKBN,


Pengeluaran Pangan dan Persepsi Subjektif

Kelebihan indikator BKKBN rendahnya garis kemiskinan yang


adalah tidak memberikan ukuran yang digunakan. Jika dibandingkan dengan
lebih langsung tentang keluarga pendapatan, seringkali pengeluaran
miskin pada tingkat nasional dan keluarga jauh lebih tinggi, sehingga
tingkat administratif yang lebih rendah garis kemiskinan berada jauh di
(desa) dan pada tingkat keluarga. bawah pengeluaran.
Data tersebut dikumpulkan secara Beberapa kelemahan indikator
rutin melalui pendaftaran keluarga BPS adalah : (1) Teknik sampling
dengan menggunakan indikator- sensus blok untuk daerah perkotaan
indikator ekonomi dan non ekonomi. yang dilakukan Susenas bersifat
Kesejahteraan menurut Badan umum dan tidak mampu mewakili
Pusat Statistik (BPS). Indikator seluruh keluarga. Selain itu BPS
kemiskinan BPS mengklasifikasikan belum mengaitkan keberadaan sarana
keluarga miskin sebesar 2.0%. dan prasarana wilayah dengan jumlah
Sisanya (98.0%) masuk dalam penduduk, sehingga sejauhmana
kategori tidak miskin (Gambar 1). keberadaan prasarana tersebut dapat
Rendahnya persentase keluarga menjangkau penduduk tidak
miskin BPS disebabkan terlalu tergambar (Rusli, et al. 1995); (2)

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 23


Waktu wawancara yang lama, daya sejahtera (Gambar 1). Pendekatan
ingat responden, lemahnya stratifikasi subyektif mendefinisikan kemiskinan
dan keengganan responden untuk berdasarkan pemahaman penduduk
menjawab dengan benar mengenai standar hidup mereka dan
menghambat tercapainya mutu data bagaimana mereka mengartikannya.
yang diharapkan; dan (3) Beberapa Penduduk mungkin mempunyai
peubah yang ditanyakan pada pandangan sendiri tentang apa arti
responden tidak mencerminkan kemiskinan yang mungkin bisa
pengeluaran riil keluarga, misalnya berbeda dengan pandangan obyektif.
keluarga yang memiliki rumah sendiri Pendekatan subyektif pengukuran
harus diestimasi nilainya dan kemiskinan sulit digunakan dalam
dianggap sebagai pengeluaran. studi-studi makro, tetapi dapat
Kelebihan BPS adalah mudah memberikan pengertian yang
dilakukan secara manual oleh pihak mendalam tentang masalah
daerah, bahkan dengan kemiskinan di daerah-daerah dengan
menggunakan alat analisis statistik kondisi kebudayaan yang berbeda.
yang sederhana seperti penjumlahan Dengan demikian pendekatan
skor pun sudah dapat dilakukan tersebut tidak dapat digunakan pada
(Rusli, et al. 1995). tingkat nasional dan makro, sehingga
Kesejahteraan menurut hanya dianggap sebagai pelengkap
Pengeluaran Pangan. Indikator untuk mengetahui secara mendalam
kemiskinan menurut pengeluaran mengenai keluarga miskin dan apa
pangan mengklasifikasikan 38.0% yang terjadi dalam kehidupan
keluarga contoh ke dalam kategori keluarga tersebut.
miskin (Gambar 1). Sudah sejak lama Beberapa indikator yang
makanan dijadikan sebagai indikator dihasilkan dari penggunaan
oleh ekonom untuk melihat tingkat pendekatan mikro-subyektif akan
kesejahteraan masyarakat. Teori sangat membantu dalam
Engel mengatakan bahwa semakin mengembangkan program-program
tinggi pendapatan seseorang atau intervensi pada kelompok sasaran
keluarga, maka semakin kecil proporsi spesifik yang paling terpengaruh oleh
pendapatan yang dibelanjakan untuk krisis (Raharto & Romdiati dalam
makanan. Standar minimum WKNPG 2000).
kecukupan makanan yang diperlukan
oleh individu ditentukan menurut Akurasi berbagai Metode Pengukuran
perbedaan biologis dan kegiatan Kesejahteraan
dalam satu kelompok demografi. Nilai Uji sensitivitas dan spesifisitas
rata-rata kebutuhan kalori per kapita dilakukan untuk menilai akurasi
menggambarkan rata-rata kebutuhan berbagai indikator yang digunakan.
minimum biologis yang berbeda-beda Sensitivitas adalah kemampuan untuk
berdasarkan kelompok penduduk menemukan keluarga miskin,
tersebut (Mathur 1995; Quibria 1991). sedangkan spesifisitas adalah
Pengukuran kemiskinan berdasarkan kemampuan untuk menemukan
pengeluaran pangan tidak bisa keluarga yang tidak miskin. Sebaran
menggambarkan dimensi keluarga berdasarkan indikator
kesejahteraan, misalnya aspek kesejahteraan disajikan pada Tabel 4.
kesehatan, harapan hidup, dll. Misklasifikasi (positif semu)
Kesejahteraan berdasarkan kriteria BKKBN dan pengeluaran
Persepsi Subjektif. Penggolongan pangan tidak berbeda dalam
kesejahteraan berdasar-kan persepsi mengkategorikan keluarga miskin
subjektif contoh terhadap yang ternyata menurut kriteria BPS
kesejahteraan, diperoleh 78.0% tidak miskin, yang masing-masing
keluarga termasuk kategori tidak adalah sebesar 36.7%. Persentase

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 24


misklasifikasi yang cukup tinggi terjadi terjadi misklafikasi (negatif semu) dari
pada kriteria persepsi subjektif yakni ketiga kriteria pada keluarga tidak
sebesar 77.6%. Sementara itu, tidak miskin (Tabel 4).

Tabel 4. Sebaran Keluarga berdasarkan Indikator Kesejahteraan BKKBN,


Pengeluaran Pangan dan Persepsi Subjektif sebagai Gold Standar BPS
Status Kriteria Kemiskinan BPS
Indikator
Kemiskinan/ Miskin (n=2) Tidak Miskin (n=98) Total (n=100)
Kemiskinan
Kesejahteraan n % n % n %
Miskin 2 100.0 37 37.8 39 39.0
BKKBN Tidak Miskin 0 0.0 61 62.2 61 61.0
Total 2 100.0 98 100.0 100 100.0
Miskin 2 100.0 36 36.7 38 38.0
Pengeluaran
Tidak Miskin 0 0.0 62 63.3 62 62.0
Pangan
Total 2 100.0 98 100.0 100 100.0
Tidak Sejahtera 2 100.0 76 77.6 78 78.0
Persepsi
Sejahtera 0 0.0 22 22.4 22 22.0
Subjektif
Total 2 100.0 98 100.0 100 100.0

Ketiga indikator kemiskinan/ rendah adalah kriteria persepsi


kesejahteraan (BKKBN, pengeluaran subjektif (22.4%) (Tabel 5).
pangan dan persepsi subjektif Hasil analisis khi kuadrat
mempunyai sensitifitas yang tinggi menunjukkan adanya korelasi yang
yakni 100.0% jika digunakan kriteria nyata (P<0.1) di antara kriteria
BPS sebagai gold standard. kemiskinan BKKBN dan pengeluaran
Spesifisitas yang tertinggi dijumpai subjektif dengan kriteria BPS. Kriteria
pada kriteria BKKBN dan pengeluaran persepsi subjektif menunjukkan tidak
pangan yakni 63.3%, dan yang paling adanya hubungan yang nyata
(p>0.05) dengan kriteria BPS.

Tabel 5. Sensitifitas dan Spesifisitas Indikator Kemiskinan BKKBN, Pengeluaran


Pangan dan Persepsi Subjektif dengan Gold Standar Kriteria BPS
Indikator Kemiskinan Sensitifitas Spesifisitas Khi Kuadrat
BKKBN 100.0 63.3 0.074*
Pengeluaran Pangan 100.0 63.3 0.068*
Persepsi Subjektif 100.0 22.4 0.448
Ket : * nyata pada p<0.1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi kepala RT semakin tinggi atau setara


Tingkat Kesejahteraan Keluarga perguruan tinggi (Tabel 6).
Analisis regresi logistik dengan Peubah yang paling menentukan
metode Backward: Wald digunakan kesejahteraan menurut kriteria
terhadap 5 peubah sosial ekonomi, BKKBN adalah pendapatan keluarga
demografi dan persepsi keluarga yang pengaruhnya sangat nyata
untuk mengetahui determinan (p<0.01) dengan nilai odd ratio
kesejahteraan. Determinan kriteria sebesar 1.021. Angka ini
kesejahteraan BPS yang paling mengindikasikan bahwa peluang
berpengaruh nyata (p<0.1) adalah keluarga untuk sejahtera adalah 1 kali
pendidikan kepala RT dengan nilai lebih tinggi jika pendapatannya lebih
odd ratio sebesar 1.7, yang berarti tinggi dibandingkan keluarga dengan
peluang keluarga untuk sejahtera pendapatan rendah (Tabel 6).
lebih tinggi 1.7 kali jika pendidikan

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 25


Tabel 6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga
Peubah Tak Bebas Peubah Bebas B Sig. Odd Ratio
Pendidikan Kepala RT 0.503 0.057 1.654
Kriteria BPS
Konstanta -0.505 0.771 0.604
Pendapatan 0.021 0.000 1.021
Kriteria BKKBN
Konstanta -4.805 0.000 0.008
Jumlah Anggota RT 0.361 0.049 1.435
Kriteria menurut Pengeluaran
Pendapatan 0.010 0.000 1.010
Pangan
Konstanta -4.933 0.000 0.007
Pendidikan Kepala RT 0.268 0.008 1.307
Umur Kepala RT 0.076 0.044 1.079
Kriteria Persepsi Subjektif Persepsi Harga 0.026 0.052 1.026
Pendapatan 0.001 0.031 1.001
Konstanta -10.919 0.000 0.000

Analisis logistik juga menunjukkan umur, pendidikan dll (Sugiarto, et al.


bahwa jumlah anggota RT dan 2000). Hasil penelitian Megawangi et
pendapatan menjadi faktor al. (1994) membuktikan bahwa
determinan kriteria kesejahteraan pendidikan kepala keluarga dan
menurut pengeluaran pangan (Tabel jumlah anggota keluarga
6). Sementara itu, peubah-peubah berhubungan nyata berpengaruh
yang secara nyata berpengaruh nyata terhadap kebiasaan merencanakan
terhadap kesejahteraan menurut anggaran biaya.
persepsi subjektif adalah pendidikan Berdasarkan hasil analisis logistik
kepala RT, umur kepala RT, persepsi ditemukan bahwa diantara ketiga
harga dan pendapatan. Peubah yang kriteria kesejahteraan (BKKBN,
mempunyai peluang paling tinggi pengeluaran pangan dan persepsi
diantara keempat peubah yang nyata subjektif), pendapatan memberikan
tersebut adalah pendidikan kepala RT pengaruh yang nyata dan dipilih
yang mempunyai nilai odd ratio angka Rp 230,000.00 yang berada
sebesar 1.3. Angka ini diantara cut off kriteria kesejahteraan
mengindikasikan bahwa semakin BKKBN (Rp 228,000.00) dan kriteria
tinggi tingkat pendidikan kepala RT kesejahteraan subjektif (Rp 8 juta).
maka keluarga berpeluang lebih besar Batas kemiskinan yang dihasilkan
untuk sejahtera. kriteria kesejahteraan subjektif terlihat
Insiden kemiskinan sangat sangat tinggi, sehingga tidak dipilih
sensitif terhadap fluktuasi harga-harga karena angka ini adalah merupakan
komoditi dasar. Ketika harga-harga ekspektasi keluarga terhadap
naik, garis kemiskinan juga naik pendapatan. Sementara, batas
sejalan dengan membumbungnya kemiskinan menurut pengeluaran
biaya yang harus dibayar golongan pangan yang dianggap paling baik
bawah untuk memenuhi standar dan terpilih karena lebih mampu
minimum kebutuhan makanan dan mengklasifikasikan keluarga miskin
bukan makanan. lebih banyak dibandingkan kriteria
Seiring dengan adanya BKKBN.
perkembangan peradaban dan Hasil penelitian ini juga
kebudayaan manusia, kemajuan ilmu menunjukkan bahwa pendidikan
dan teknologi, kebutuhan manusia itu kepala rumah tangga < 12 tahun
terus meningkat sehingga selain (setara SLTA) dapat dimasukkan
kebutuhan dasar, manusia memiliki dalam kategori miskin/tidak sejahtera.
kebutuhan-kebutuhan tambahan yang Selain itu, bila dilihat dari segi umur,
sangat banyak macam dan ragamnya. penelitian ini juga menghasilkan
Keragaman kebutuhan ini ditentukan indikator kesejahteraan yakni umur <
oleh berbagai faktor, seperti faktor 60 tahun masih belum bisa dianggap

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 26


sejahtera oleh keluarga atau dengan keluarga dengan nilai r kuadrat
kata lain sejahtera baru dirasakan bila sebesar 74.9%.
usia kepala keluarga sudah di atas 60 3. Sebanyak 38.0% keluarga contoh
tahun. Persepsi harga tergolong miskin menurut kriteria
mengindikasikan bahwa skor < 58 BKKBN. Penggunaan indikator
masih dianggap tidak sejahtera. kemiskinan BPS hanya mampu
Sesuai dengan keluarga yang mengklasifikasikan keluarga miskin
menjadi contoh dalam penelitian ini, sebesar 2.0%. Berdasarkan
maka cut off indikator kemiskinan menurut
kesejahteraan/kemiskinan yang telah pengeluaran pangan, sebagian
disebutkan di atas, dapat diterapkan besar (62.0%) keluarga termasuk
untuk wilayah perkotaan. Batas ke dalam kategori tidak miskin.
kemiskinan Rp 230,000.00 Penggolongan kesejahteraan
berdasarkan pendapatan berada di berdasarkan persepsi subjektif,
atas garis kemiskinan BPS khususnya diperoleh 78.0% keluarga termasuk
untuk wilayah perkotaan Sumatera kategori tidak sejahtera.
Utara (Rp 130,541.00) diharapkan 4. Ketiga indikator
mampu mencerminkan tingkat kemiskinan/kesejahteraan (BKKBN,
pendapatan minimum yang diperlukan pengeluaran pangan dan persepsi
untuk memperoleh gizi seimbang, subjektif) mempunyai sensitifitas
serta memenuhi kebutuhan untuk yang tinggi yakni 100.0% jika
pelayanan kesehatan, pendidikan dan digunakan kriteria BPS sebagai
kebutuhan dasar lainnya. gold standard. Spesifisitas tertinggi
dijumpai pada kriteria BKKBN dan
SIMPULAN DAN SARAN pengeluaran pangan yakni 63.3%,
Simpulan dan yang paling rendah adalah
1. Rata-rata pengeluaran non pangan kriteria persepsi subjektif (22.4%).
keluarga tidak miskin enam kali 5. Faktor determinan kriteria
lebih besar (Rp 608,700.50) kesejahteraan BPS adalah
dibandingkan kelompok keluarga pendidikan kepala RT. Faktor
miskin (Rp 103,925.40). determinan kesejahteraan menurut
Pengeluaran keluarga tidak miskin kriteria BKKBN adalah pendapatan.
pada semua komponen non Faktor determinan kriteria
pangan, lebih tinggi dibandingkan kesejahteraan menurut
pengeluaran keluarga tidak miskin. pengeluaran pangan adalah jumlah
Rata-rata pengeluaran total anggota RT dan pendapatan.
keluarga tidak miskin lebih besar Faktor determinan kesejahteraan
dibandingkan keluarga miskin. menurut persepsi subjektif adalah
Persentase pengeluaran pangan pendidikan kepala RT, umur kepala
pada keluarga miskin (56.4%) lebih RT, persepsi harga dan
besar dibandingkan pengeluaran pendapatan.
non pangan (43.6%). Sebaliknya,
pada keluarga tidak miskin, Saran
persentase pengeluaran pangan 1. Berdasarkan hasil penelitian ini
(33.6%) lebih rendah dibanding disarankan untuk mempergunakan
pengeluaran non pangan (66.4%) cut off point pendapatan sebagai
yang berbeda nyata secara garis kemiskinan sebesar Rp
statistik. 230,000.00 per kapita per bulan.
2. Hasil analisis regresi berganda Keluarga yang memiliki
menunjukkan bahwa pendidikan pendapatan di bawah
dan pendapatan berpengaruh Rp 230,000.00 besar kemungkinan
nyata terhadap pengeluaran akan merasa kurang sejahtera
menurut tiga indikator.

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 27


2. Tingkat pendidikan juga Care and Development in Indonesia,
berpengaruh terhadap tingkat The Consultative Group on Early
kesejahteraan. Cut off point tingkat Childhood Care and Development,
pendidikan adalah 12 tahun Indonesia.
Raharto, Aswatini & Romdiati, H. 2000.
(SLTA). Hal ini berarti bahwa Identifikasi Rumah Tangga Miskin.
peningkatan kesejahteraan Widya Karya Nasional Pangan dan
keluarga di perkotaan adalah lulus Gizi (WKNPG) VII. Jakarta:
SLTA. Dengan demikian, program Lembaga Ilmu Pengetahuan
wajib belajar 9 tahun diduga belum Indonesia (LIPI), Bappenas, Unicef,
bisa meningkatkan kesejahteraan Deptan, Depkes, dan BPS.
keluarga. Roedjito, D. 1989. Kajian Penelitian Gizi.
3. Dari keempat indikator Jakarta: Mediyatma Sarana
kesejahteraan yang diteliti, yang Perkasa.
Rusli, et al. 1995. Metodologi Identifikasi
dianggap paling baik adalah Golongan dan Daerah Miskin: Suatu
indikator BKKBN. Indikator ini lebih Tinjauan dan Alternatif. Jakarta:
mudah pengoperasiannya hingga Gramedia Widiasarana Indonesia.
level administrasi terendah dan Sajogyo. 1997. Wawancara, Ukuran Garis
dengan cepat dapat Kemiskinan yang Telah Dipakai 20
mengklasifikasikan keluarga Tahun Harus Direvisi. www-
miskin. b.tempo.co.id/ang/min/02/29/ekbis1
htm.edisi 29/02 [17 September 97].
DAFTAR PUSTAKA Subagio, D., dkk. 2001. Kemiskinan di
Indonesia dalam Perspektif
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga
Ekonomi: Sebuah Kajian
Berencana Nasional. 2001. Analisa
Permodelan. Makalah Falsafah
Hasil Pendataan Keluarga Tahun
Sains Program Pascasarjana, IPB.
2001. Bogor: BKKBN.
Sugiarto, Kelana, Herlambang, Sudjana &
[BPS] Badan Pusat Statistik.
Brastoro. 2000. Ekonomi Mikro
2000/2001/2003. Statistik Indonesia
Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
2000/2001/2003. Jakarta: BPS.
Gramedia Pustaka Utama.
________________________________ .
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi.
2001. Indikator Kesejahteraan
Pusat Antar Universitas Pangan dan
Rakyat Kota Medan 2001. Sumatera
Gizi. IPB.
Utara: BPS.
Sukirman. 1991. Dampak Pembangunan
Ghany, A & D.L. Sharpe. 1997.
terhadap Keadaan Gizi. Orasi
Consumption Patterns Among
Penerimaan Jabatan Guru Besar
Ethnic Groups in Canada.
Luar Biasa Ilmu Gizi. Fakultas
Mathur, O.P. 1994. The State of India’s
Pertanian, IPB.
Urban Poverty. Asian Development
Susenas. 1999. Laporan Sosial Indonesia
Review 12(1):32-67.
1998. Kemiskinan, Pengangguran
Megawangi, R, et al. 1994. Gender
dan Setengah Pengangguran.
Perspectives in Early Childhood

1
Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
2
Staf Pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA IPB
3
Staf Pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA IPB

Vol. 1 No. 1/Januari 2008 - 28

You might also like