You are on page 1of 8

Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca

Orang Tua Bercerai


Ayu Dewanti P1
2
Veronika Suprapti
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract.
This research aims to look at the resilience overview of girls against the problems of post-
divorce parents. Resilience is the ability to persevere and adapt when things go awry (Reivich &
Shatte, 2002). Resilience shows that it is comprised of seven abilities: emotion regulation, impulse
control, optimism, causal analysis, empathy, self efficacy, and reaching out. In order to focus the
research, the authors use resilience in girls as unit analysis. This research uses a qualitative study
based on case studies as a type of research. Three participants is involved in this study who were
selected based on specific criteria, namely girls aged around 17-20 years who have experienced
parental divorce, and this research also use three significant other to clarify the data obtained by
the authors. This research use two times interview method as data mining, and one-time interview
as significant other. The thematic analysis is used in this study with driven's theory approach. The
results of this study shows that all participants can be resilient even after participants face a new
problems. Participants can be resilient because they show different description in expressing their
resilience. Based on the results of the research, all participants shows the same ability in impulse
control, optimism, empathy, and self efficacy even though the participants do not have the exact
same abilities. Finally, all participants are able to interpret difficult events.

Keyword: Girls, Divorce, Resilience

Abstrak.
Tujuan Tujuan penelitian ini untuk melihat gambaran resiliensi remaja putri terhadap
problematika pasca orangtua bercerai. Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi ketika menghadapi kejadian yang berat (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Reivich dan
Shatte (2002) terdapat 7 kemampuan resiliensi: emotion regulation, impulse control, optimism,
causal analysis, empathy, self efficacy, dan reaching out. Pada penelitian ini, penulis
menggunakan menggunakan unit analisis resiliensi pada remaja putri. Penelitian menggunakan
metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Penelitian ini melibatkan 3 partisipan yang
dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu remaja putri berusia 17-20 tahun yang memiliki
pengalaman perceraian orangtua. Penelitian ini juga menggunakan 3 significant other untuk
menambah kejelasan data. Teknik penggalian data yang digunakan adalah wawancara sebanyak
dua kali dan satu kali pertemuan wawancara untuk significant other. Teknik analisis yang
digunakan adalah analisis tematik dengan pendekatan theory driven. Hasil penelitian
menunjukkan ketiga partisipan dapat resilien walaupun setelah perceraian partisipan masih
menghadapi masalah-masalah baru. Partisipan dapat resilien dengan memiliki gambaran
kemampuan resiliensi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian, ketiga partisipan sama-
sama memunculkan kemampuan pada impulse control, optimism, empathy dan self efficacy
meski ketiga partisipan mempunyai kemampuan yang tidak sama persis. Kemampuan resiliensi
yang dimiliki membuat ketiga partisipan berhasil dalam mengartikan sebuah peristiwa sulit.

Kata kunci: Remaja Putri, Perceraian, Resiliensi


1Mahasiswa S1-Psikologi, Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
2Dosen Pembimbing, Dosen Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan


164 Volume 3, No. 3, Desember 2014
Ayu Dewanti P., Veronika Suprapti

Pada dasarnya, setiap keluarga pasti yang diungkapkan oleh Bryner (2001) yaitu ketika
memiliki impian untuk hidup harmonis dan struktur rumah goyah dan orangtua terganggu,
mempertahankan keutuhan rumah tangganya remaja beresiko melakukan perilaku impulsif.
hingga akhir hayat. Namun, tidak seluruh keluarga Mereka akan merasa tertekan atau menjadi cemas
memiliki riwayat yang harmonis. Ada keluarga jika mereka percaya bahwa mereka terjebak di
yang tidak bisa mengatasi permasalahan rumah antara orangtua yang bercerai.
tangganya. Kemudian upaya untuk Pada dasarnya, remaja sudah memiliki
mempertahankan keutuhan keluarga justru pemahaman yang lebih dewasa tentang perceraian
menghasilkan perpisahan yaitu dengan jalan dalam hal kognitif namun remaja masih belum
perceraian. Perceraian menjadi kasus yang matang secara emosional (Bryner, 2001). Akibat
menarik khususnya di Kota Surabaya karena perceraian orangtua ini juga dirasakan khususnya
berdasarkan data statistik yang diperoleh dari oleh remaja putri karena secara kodrati
Surabaya dalam Angka pada tahun 2010, sejak perempuan memiliki rasionalitas dan
tahun 2007 hingga tahun 2009, banyak terjadi emosionalitas yang berbeda dengan laki-laki.
kasus perceraian yaitu kasus cerai talak dan cerai Perempuan mengalami emosi lebih intens
gugat. Pada tahun 2007 jumlah kasus cerai talak dibandingkan dengan laki-laki (Branon, 2002:179).
dan cerai gugat sebanyak 1.683, tahun 2008 Jika dihubungkan dengan perbedaan gender,
sebanyak 3.337 kasus, dan pada tahun 2009 kasus reaksi perempuan lebih besar dibandingkan
cerai talak dan cerai gugat sebanyak 3.801 (Badan dengan laki-laki saat merespon kejadian yang
Pusat Statistik, 2011). menimbulkan stres, baik secara biologis, konsep
Perceraian yang telah terjadi akan diri, dan coping style (Hoeksema, 2001).
memberikan konsekuensi, tidak hanya pada Tidak sedikit remaja putri mengalami
kedua belah pihak pasangan yaitu suami dan istri permasalahan-permasalahan dari implikasi
saja, tetapi perceraian juga memberikan dampak pengasuhan keluarga bercerai. Mereka kesulitan
pada anak. Perceraian orangtua yang terjadi akan dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang
memunculkan permasalahan-permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun
lebih kompleks saat anak berada pada masa tidak banyak orang mengetahui bahwa tidak
remaja. Emery (1999) mengungkapkan bahwa semua remaja putri terjerumus kedalam situasi
seiring peningkatan dari waktu ke waktu setelah negatif tersebut. Seperti yang ditemukan oleh
perceraian, masa remaja merupakan masa yang Amato (2000) dalam penelitiannya pada anak dan
paling sulit bagi anak-anak dari keluarga bercerai. dewasa. Menurut Amato, perceraian dapat
Menurut Pickar (2007) masa remaja merupakan menjadi pengalaman yang memberikan
masa substansial disemua bidang pembangunan. ke s e m p a t a n a n a k u n t u k m e n d a p a t k a n
Remaja berurusan dengan munculnya masalah kebahagiaan dan menyelamatkan dari lingkungan
seksualitas, memperkuat identitas diri, rumah yang disfungsional. Amato juga
mendorong untuk meningkatkan otonomi, mengungkapkan bahwa berdasarkan akumulasi
sementara mereka juga berduka karena penelitian dari tahun 1990-an dan dekade
meninggalkan masa kanak-kanak. Lebih lagi sebelumnya, peningkatan ketidakstabilan
ketika orangtua bercerai, remaja menghadapi perkawinan tidak membawa masyarakat ke
tugas yang berat untuk menyesuaikan perubahan ambang kekacauan, tetapi hal itu justru
saat menghadapi perceraian orangtua. Mereka mengantar pada kebebesan golden age dan
membutuhkan dukungan emosional, cinta, dan aktualisasi diri.
bimbingan dari orangtua. Remaja yang tidak Kehidupan remaja putri yang dapat
mendapatkan ketiga hal tersebut dapat menjadi lebih baik tersebut tidak terlepas dari
mengekspresikan penderitaan mereka dengan kemampuan remaja putri untuk menjadi resilien.
cara-cara baru yang mengkhawatirkan. Remaja Sejumlah ilmuwan, peneliti, dan praktisi dibidang
dapat menyalahgunakan obat-obatan terlarang sosial dan perilaku memandang bahwa resiliensi
atau alkohol, melakukan aktivitas seksual lebih perlu dibangun karena resiliensi dianggap sebagai
awal, melukai diri sendiri, melarikan diri, atau kekuatan dasar dalam membangun kekuatan
terlibat dalam masalah hukum. Serupa seperti emosional dan psikologis seseorang. Resiliensi

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 165


Volume 3, No. 3, Desember 2014
Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca Orang Tua bercerai

menjadi penting karena diakui sangat melakukan kewajibannya sebagai suami dan istri
menentukan bagaimana gaya berpikir dan (Warnadi, 2012). Hal ini juga mengarah kepada
keberhasilan dalam hidup seseorang (Desmita, perpisahan atau perceraian anak terhadap
2011:199). orangtua, sehingga anak akan tinggal dengan salah
Berdasarkan hasil-hasil penelitian satu orangtua biologisnya. Asal mula terjadinya
sebelumnya, penelitian tersebut memiliki perceraian yaitu ketika didalam keluarga ada
relevansi dengan konsep resiliensi. Namun dari seseorang yang bermasalah dan mempengaruhi
berbagai penelitian yang telah dilakukan tentang pribadinya, kemudian seluruh interaksi akan
perceraian, masih sedikit yang secara langsung terpengaruh dan kebahagiaan dalam keluarga
membahas keterkaitannya dengan resiliensi. akan terhambat (Gunarsa, 2008). Jika di dalam
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh hubungan suami-istri terjadi penghambatan
Chung & Emery (2010) serta Avidan (2009) yang kebahagiaan, maka hal tersebut dapat memicu
mencoba mengaitkan perceraian dengan terjadinya perceraian.
resiliensi, penelitiannya masih belum mendalami
secara khusus variabel resiliensi karena terdapat Resiliensi
variabel lain yang diteliti secara bersamaan. Resiliensi merupakan kemampuan
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi untuk mengatasi dan beradaptasi ketika
(2010) dan Karina (2014) juga belum mendalam menghadapi kejadian yang berat atau masalah
karena hanya sebatas pengukuran tingkat yang terjadi dalam kehidupan (Reivich & Shatte,
resiliensi pada laki-laki dan perempuan. Oleh 2002). Menurut Reivich dan Shatte (2002),
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk resiliensi memiliki fungsi sebagai overcoming,
menindaklanjuti penelitian-penelitian sterring through, bouncing back, dan reaching out.
sebelumnya. Berdasarkan uraian diatas itulah, Resiliensi memiliki dua faktor yaitu faktor resiko
penulis tertarik untuk melakukan kajian dan faktor protektif. Faktor resiko dapat
mengenai resiliensi dan secara khusus mengkaji memberikan efek secara langsung dan dapat
resiliensi remaja putri terhadap problematika menimbulkan perilaku yang maladaptif (dalam
pasca orangtua bercerai yang ditemukan memiliki Lerner & Steinberg, 2004). Sedangkan faktor
skor resiliensi rendah pada penelitian sebelumnya. protektif merupakan karakteristik dari individu
atau lingkungan yang terkait dengan hasil positif
Remaja Putri (Lerner & Steinberg, 2004). Faktor protektif
Remaja atau yang disebut dengan berperan penting dalam meredakan efek negatif
adolescene berasal dari bahasa latin adolescere dari lingkungan yang merugikan dan membantu
yang memiliki arti tumbuh atau tumbuh untuk menguatkan resiliensi. Menurut Reivich dan
mencapai kematangan. Istilah adolescene Shatte (2002), ada tujuh kemampuan yang
sesungguhnya memiliki arti yang mencangkup membentuk resiliensi yaitu 1) emotion regulation
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik ( ke m a m p u a n u n t u k te t a p te n a n g s a a t
(Hurlock, 1991 dalam Ali & Asrori, 2012:9). Tugas menghadapi kondisi yang menekan), 2) impulse
perkembangan masa remaja berfokus pada upaya control (kemampuan individu untuk
untuk meninggalkan sikap dan perilaku kekanak- mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan,
kanakan. Selain itu dengan menjalani tugas dan tekanan yang muncul dari dalam diri), 3)
perkembangan, remaja berusaha untuk mencapai optimism (individu percaya bahwa sesuatu akan
kemampuan bersikap dan berperilaku secara lebih berubah menjadi lebih baik), 4) Causal analysis
dewasa (Ali & Asrori, 2012:10). (individu memiliki kemampuan mengidentifikasi
secara akurat permasalahan yang dihadapi), 5)
Perceraian Orang Tua empathy (kemampuan bagaimana individu dapat
Bercerai adalah terputusnya ikatan membaca tanda-tanda dari kondisi psikologi dan
keluarga yang disebabkan oleh salah satu atau emosional orang lain), 6) self eff icacy
kedua pihak (suami dan istri) untuk saling (merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita
meninggalkan sehingga mereka berhenti untuk mampu untuk menyelesaikan masalah dan

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan


166 Volume 3, No. 3, Desember 2014
Ayu Dewanti P., Veronika Suprapti

menggunakan kemampuan diri untuk sukses), 7) menambah kejelasan data mengenai resiliensi
pada remaja putri yang memiliki latar belakang
reaching out (resiliensi juga merupakan
orangtua bercerai.
kemampuan individu dapat meraih aspek positif
dari kehidupan setelah kemalangan menimpa).
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis penelitian,
Metode Penelitian setelah perceraian terjadi partisipan menghadapi
Metode penelitian yang digunakan permasalahan baru yang muncul. Namun, ketiga
penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. partisipan tersebut dapat resilien. Hal ini mengacu
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian pada teori Reivich yang terdiri dari tujuh aspek
studi kasus, yaitu penelitian yang bertujuan untuk kemampuan resiliensi seperti emotion regulation,
memahami fenomena khusus yang muncul dalam impulse control, optimism, causal analysis,
suatu konteks (Poerwandari, 2007). Alasan empathy, self efficacy, dan reaching out. Hal-hal
menggunakan jenis penelitian studi kasus ini yang dapat mempengaruhi resiliensi partisipan
adalah untuk mendapatkan pemahaman secara dapat berasal dari berbagai sumber seperti sumber
utuh dan terintegrasi tentang suatu fenomena eksternal dan sumber dari dalam diri (Nasution,
yang terjadi pada individu tertentu. Terkait 2011). Pada tahap remaja, salah satu sumber
dengan fenomena yang ada, penelitian ini eksternal yang penting untuk resiliensi adalah
memiliki unit analisis yaitu resiliensi pada remaja hubungan dengan teman sebaya. Santrock (2011)
putri. Penelitian kualitatif ini menggunakan menjelaskan bahwa teman dapat menjadi sumber
teknik purposive sampling, dimana pemilihan kognitif dan emosional dari masa anak hingga
subjek tidak secara acak namun berdasarkan pada dewasa akhir. Teman juga dapat memupuk harga
kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Subjek diri serta rasa kesejahteraan.
yang digunakan sebagai sumber data adalah Selain sumber eksternal resiliensi
remaja putri yang telah mengalami perceraian dipengaruhi oleh sumber dari dalam diri, sumber
orangtua. Usia remaja putri dibatasi antara 17 utama resiliensi dari dalam diri adalah mind set.
tahun – 20 tahun. Mind set merupakan pandangan kognitif yang
Teknik penggalian data yang dilakukan dikembangkan individu untuk dirinya sendiri. Hal
pada penelitian ini adalah dengan wawancara yang penting dalam mind set adalah pola pikir
semi-structured. Pengorganisasian dan analisis berkembang karena individu akan memiliki
data yang digunakan penulis adalah analisis kepercayaan bahwa kualitas mereka dapat
tematik. Analisis tematik adalah metode untuk berubah sesuai dengan usaha yang mereka
mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan lakukan (Santrock, 2011).
pola-pola (themes) dalam data (Boyatzis, 1998). Teori mind set yang dikemukaan oleh
Penulis menggunakan pendekatan theory driven Santrock memiliki kesejajaran dengan pendapat
dengan memformulasikan indikasi atau bukti- yang dikemukakan oleh Reivich tentang gaya
bukti yang mendukung suatu teori (Boyatzis, berpikir. Reivich (2002) mengungkapkan bahwa
1998). Pada pendekatan theory driven penulis hambatan utama untuk berdamai dengan
menggunakan tahap-tahap dalam membangun adversity ditentukan oleh gaya berpikir individu.
koding yang dikemukakan oleh Fereday dan Muir- Dengan kata lain orang dapat resiliensi atau tidak,
Cochrane (2006) yang mengacu pada pendekatan tergantung juga pada keyakinan seseorang
Boyatsiz (1998). tentang adversity dan keyakinan akan kesempatan
Hal penting yang dapat meningkatkan untuk berdamai dengan hal itu. Thinking style
kredibilitas penelitian kualitatif adalah menentukan resiliensi seseorang karena
melakukan triangulasi. Triangulasi data yang menentukan bagaimana seseorang
dilakukan pada penilitian ini adalah menginterpretasi adversity yang dialaminya. Jika
mengumpulkan data serta bukti-bukti dari thinking style seseorang tersebut baik maka ia
sumber berbeda berupa wawancara pada akan yakin dan mampu untuk berdamai dengan
significant other. Hal ini disebabkan karena hasil adversity secara sukses (Nasution, 2011).
wawancara dengan significant other akan

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 167


Volume 3, No. 3, Desember 2014
Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca Orang Tua bercerai

, 2004; Nasution, 2011). penemuan Amato (2000) pada penelitiannya.


Sumber dalam diri lainnya adalah minat. Menurut Amato kejadian perceraian bisa menjadi
Seperti yang dijelaskan oleh Hurlock (1996), pada kekuatan yang memberikan anak kesempatan
masa remaja mulai muncul minat yang berbeda u n t u k m e n d a p a t k a n ke b a h a g i a a n d a n
dengan masa anak. Minat masa anak berkurang menyelamatkan anak-anak dari lingkungan
dan diganti dengan minat yang lebih matang. rumah yang disfungsional. Selain itu, sesuai
Salah satu minat pada masa remaja adalah minat dengan usia partisipan yang ada dalam penelitian
akan berprestasi. Minat pada prestasi yang baik ini, partisipan juga sedang mengalami emerging
akan memberikan kepuasan pribadi dan adulthood. Rentang usia untuk masa emerging
ketenaran. Hal inilah yang membuat prestasi adulthood ini sekitar 18-25 tahun. Salah satu
menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja karakteristik utama emerging adulthood adalah
baik dalam bidang olahraga, tugas sekolah, atau mengalami 'usia kemungkinan'. Orang pada masa
kegiatan sosial (Hurlock, 1996). ini lebih optimis mengenai masa depan mereka,
Pada masa remaja juga ada fase perubahan telah mengalami masa sulit ketika tumbuh
moral. Pada fase ini remaja mampu dewasa, dan mengarahkan hidup mereka ke arah
mempertimbangkan semua kemungkinan untuk yang lebih positif (dalam Santrock, 2011). Ketiga
menyelesaikan suatu masalah dan partisipan ini optimis bahwa mereka mampu
bertanggungjawab berdasarkan suatu hipotesis mengatasi masalah hidup. Partisipan juga
atau proposisi. Sehingga remaja dapat melihat memiliki harapan untuk nantinya memiliki
permasalahan dari berbagai sudut pandang dan keluarga yang lebih baik karena berkaca dari
mengambil banyak faktor dari sebagai pengalaman perceraian orangtuanya.
pertimbangan (Hurlock, 1996). Berdasarkan dari
kejadian ini, partisipan juga dapat resilien karena Simpulan dan Saran
memiliki harapan untuk masa depan. Harapan Berdasarkan hasil analisis data
yang diinginkan remaja bermula dari sebuah diketahui bahwa ketiga partisipan dapat resilien
khayalan. Seperti yang dijelaskan oleh Ali dan walaupun setelah perceraian orangtua terjadi
partisipan masih menghadapi permasalah-
Asrori (2012), salah satu sikap yang sering
permasalah baru. Partisipan dapat resilien dengan
ditunjukkan oleh remaja adalah mengkhayal. menunjukkan gambaran kemampuan resiliensi
Remaja putri biasanya mengkhayalkan sesuatu yang berbeda-beda. Kemampuan resiliensi yang
yang berhubungan dengan romantika hidup. menonjol pada partisipan pertama adalah
Khayalan ini tidak selamanya bersifat negatif, empathy dan impulse control. Partisipan mampu
terkadang khayalan ini menghasilkan sesuatu membaca tanda-tanda dari kondisi psikologi dan
yang bersifat konstruktif seperti ide tertentu yang emosional orang lain serta partisipan dapat
dapat di realisasikan. Seperti halnya khayalan atau mengendalikan keinginan, dorongan kesukaan
dan tekanan yang muncul dari dalam dirinya
harapan yang dimiliki partisipan pada keluarga
dengan baik. Kemampuan yang tumbuh pada
mereka yang ada pada penemuan penelitan ini, partisipan kedua adalah self efficacy. Partisipan
partisipan berharap kehidupan keluarganya nanti menggunakan kemampuannya dan memilki
tidak seperti orangtuanya yang berakhir dengan keyakinan bahwa ia mampu menyelesaikan
perceraian. Partisipan akan melakukan usaha masalah. Partisipan ketiga memiliki kemampuan
untuk mewujudkan harapan yang diinginkan emotion regulation dan empathy yang menonjol.
dengan cara berusaha untuk mendapatkan Partisipan memiliki kemampuan untuk
mengontrol emosi sehingga partisipan dapat
pasangan yang tepat.
tenang saat menghadapi masalah dan bisa
Partisipan yang resilien memiliki
menjaga fokus pikirannya. Partisipan juga
kehidupan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan

168 JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan


Volume 3, No. 3, Desember 2014
Ayu Dewanti P., Veronika Suprapti

menjaga fokus pikirannya. Partisipan juga


memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
emosi secara tepat baik emosi positif atau emosi
negatif.
Berdasarkan hasil pada penelitian ini,
ketiga partisipan resilien sama-sama
memunculkan kemampuan pada impulse control,
optimism, empathy, dan self efficacy meski secara
spesifik deskripsi ketiganya berbeda. Kemampuan
resiliensi yang dimiliki ini membuat ketiga
partisipan dapat mengartikan sebuah peristiwa
sulit (perceraian orangtua) secara positif.
Partisipan dapat mengubah peristiwa yang sulit
menjadi keuntungan yang dapat mendorong
ketiga partisipan dalam segi perkembangan
kemampuan dan kemandiriannya.
Adapun beberapa saran yang ditujukan
pada orangtua, remaja putri yang mengalami
perceraian orangtua dan penelitian selanjutnya.
Bagi orangtua yang telah bercerai, penulis
menyarankan agar tetap menjaga kualitas
hubungan antara orangtua dan anak karena
hubungan yang terjalin akan memiliki kontribusi
pada remaja putri dalam mencapai resiliensinya.
Bagi remaja putri penulis mengharapkan remaja
yang memiliki latar belakang orangtua bercerai
dapat mengembangkan kemampuan resiliensi
yang berguna dalam perkembangan kemampuan
dan kemandirian. Selain itu diharapkan remaja
putri juga dapat mengambil makna dan sisi positif
dari kejadian perceraian orangtua. Bagi peneliti
selanjutnya, penulis mengharapkan pada
penelitian selanjutnya dapat menindaklanjuti
penelitian ini yang telah menggambarkan
kemampuan resiliensi remaja dengan melihat
dinamika resiliensinya dan menganalisa faktor-
faktor lain yang berhubungan dengan pencapaian
resiliensi.

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 169


Volume 3, No. 3, Desember 2014
Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca Orang Tua bercerai

Pustaka Acuan

Ali, M., & Asrori, M. (2012). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Bumi Aksara.

Amato, P.R., & Sobolewski, J.M. (2000). The effect of divorce and marital discord on adult
children’s psychological well-being. American Sociological Review, 66(6), 900-
921.

Avidan, D.E., Yahia, M.M.H., Greenbaum, C.W. (2009). Divorce is a part of my life.
Resilience, survival, and vulnerability: Young adults’ perception of the
implications of parental divorce. Journal of Marital and Family Therapy, 35(1), 30-
46.

Badan Pusat Statistik. (2011). Banyaknya perkara yang diterima pengadilan agama
menurut jenisnya per bulan, Surabaya, 2011 (Tabel 02.02.14). Surabaya: BPS.

Boyatzis, R. (1998). Transforming Qualitative Information: Thematic and Code


Development. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Brannon, L. (2002). Gender: Psychological Perspectives (3rd ed). Boston: Allyn and
Bacon.

Bryner, C.L. (2001). Children of divorce. Medical Branch Clinic, vol 14(3), 201-210.

Chung, Y., & Emery, R. (2010). Early adolescents and divorce in shouth korea: Risk,
resilience and pain. Journal of Comparative Family Studies, 41(5),855-869.

Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik: Panduan Bagi Orang Tua dan
Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Emery, E.R. (1999). Marriage, Divorce, and Children’s Adjustment (second edition).
Thousand Oaks. CA: Sage Publications)

Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: a
hybrid approach of inductive and deductive coding and theme development.
International Journal of Qualitative Metodhs, 5(1), 1-11.

Gunarsa, S.D. (2003). Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hoeksema, S.N. (2001). Gender differences in depression. Current Directions in


Psychological Science, 173-176.

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

170 JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan


Volume 3, No. 3, Desember 2014
Ayu Dewanti P., Veronika Suprapti

Karina, C. (2014). Resiliensi remaja yang memiliki orangtua bercerai. Jurnal Online
Psikologi, 2(1), 152-169.

Lerner, R.M., & Steinberg, L. (2004). Handbook of Adolescent Psychology (2nd edition). New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Nasution, S.M. (2011). Resliensi: Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU
Press.

Pickar, D. (2007). Identifying children’s stress-responses to divorce. Future article. Sonoma


Medicine, 16-17.

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming
Life’s Inevitable Obstacles. New York, USA: Broadway Books.

Rinaldi. (2010). Resiliensi pada masyarakat kota Padang ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal
Psikologi, vol 3(2), 99-105.

Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak: Children (edisi kesebelas). Jakarta:
Erlangga.

Warnadi, B.S. (2012, 27 Maret). Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis


Anak. The Official Homepage of Indonesian- Hydro Oceanographic Office
[on-line]. Diakses pada tanggal 9 oktober 2013 dari
http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan
psikologis-anak.html

JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 171


Volume 3, No. 3, Desember 2014

You might also like