You are on page 1of 14

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No.

2 Tahun 2020
journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb

HARTE DAN TUNGGUAN:


REDEFINISI ADAT TUNGGU TUBANG PADA KOMUNITAS
SEMENDE MIGRAN
HARTE AND TUNGGUAN:
REDEFINITION OF TUNGGU TUBANG TRADITION ON
MIGRANT SEMENDE COMMUNITY
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo
Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Andalas
Email : arifinzed@gmail.com

ABSTRACT

Semende community at Muara Sahung (Bengkulu) is an ethnic group who migrated from Semende origin
(Muara Enim) in South Sumatra Province. This Semende community coexist with various communities with a strong
patrilineal culture value, where inheritance of property prefers men. In contrast, Semende cultural, with tunggu
tubang customary, women (especially the eldest daughter) are important public figures and preferably as a ruler,
and guards who utilize the inheritance from her parents. This article aims to describe the process of redefining the
tunggu tubang custom by the Semende community in Muara Sahung, as a result of the strong cultural intervention
of the surrounding communities. This article was written from the results of qualitative research approach with
data collection techniques, namely in-depth interviews and participatory observation. The results showed that
the tunggu tubang custom was an important identity for the Semende migrant community in Muara Sahung, so
it needed to be maintained. However, the strong cultural intervention of the surrounding community, has made
the tunggu tubang custom redefined. The process of redefinition was done by the conceptualization of inheritance
against itself, so that it gave birth to the concept of tungguan (usually in the form of a house), and harte (usually
in the form of land). The conceptualization of this custom eventually also carried consequences that possession of
tungguan was preferably given to the women (tunggu tubang), while harte were handed to men (jenang).

Key words: tunggu tubang, jenang, redefinition, power, possesion

ABSTRAK

Komunitas Semende Muara Sahung di Provinsi Bengkulu adalah sebuah kelompok etnis Semende yang
bermigrasi dari daerah asal (Muara Enim) di Provinsi Sumatra Selatan. Komunitas Semende ini hidup berdampingan
dengan berbagai komunitas yang memiliki nilai budaya patrilineal yang kuat, di mana pewarisan harta lebih
mengutamakan laki-laki. Berbeda dengan budaya Semende, dengan adat tunggu tubang nya, perempuan lah
(khususnya anak perempuan tertua) yang dianggap penting dan diutamakan sebagai penguasa, penjaga, dan yang
memanfaatkan harta warisan orang tuanya. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan proses redefenisi adat tunggu
tubang yang dilakukan komunitas Semende di Muara Sahung, sebagai akibat kuatnya intervensi budaya komunitas
di sekitarnya. Upaya memahami realitas ini dilakukan melalui pendekatan penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adat tunggu tubang adalah sebuah identitas penting bagi komunitas migran Semende di Muara Sahung sehingga
perlu tetap dipertahankan. Akan tetapi, karena kuatnya intervensi budaya dari komunitas di sekitarnya membuat
adat tunggu tubang mengalami proses redefinisi. Proses redefinisi dilakukan dengan cara melakukan konseptualisasi
terhadap harta warisan itu sendiri, yang kemudian melahirkan konsep tungguan (biasanya dalam bentuk rumah),
dan harte (biasanya dalam bentuk lahan). Konseptualisasi adat ini akhirnya juga membawa konsekuensi di mana
penguasaan terhadap tungguan lebih diserahkan kepada perempuan (tunggu tubang), sementara penguasaan terhadap
harte diserahkan kepada laki-laki (jenang).

Kata kunci: tunggu tubang, jenang, redefenisi, kekuasaan, penguasaan

DOI: 10.14203/jmb.v22i2.887 31
Naskah Masuk: 28 November 2019 Revisi Akhir: 25 Juni 2020 Diterima: 25 Juni 2020
ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2020 The Author(s). Published by LIPI Press. This is
an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

PENGANTAR diserahkan pada anak perempuan tertua (tunggu


Orang Semende (dalam beberapa literatur disebut tubang). Pemilik warisan ini sendiri adalah semua
juga Semendo), adalah salah satu suku bangsa anggota keluarga tersebut yang dipimpin oleh
yang wilayah adatnya berada di Kabupaten anak laki-laki tertua (jenangtue), yang bertugas
Muara Enim, Provinsi Sumatra Selatan. Mitologi mengontrol pemanfaatan harta tersebut agar
Semende mengatakan bahwa mereka berasal dari tetap sesuai dengan peruntukannya. Agar tidak
sebaran salah satu kelompok Basemah yang ada terjadi konflik kepentingan di antara para anggota
di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan keluarga, saudara laki-laki ibu (meraje) diminta
(Iskandar, 2003), yang dalam perkembangan menjadi hakim yang akan mengadili keponakan­
kemudian juga akhirnya mendapat pengaruh dari nya apabila tidak menjalankan fungsinya, baik
Kesultanan Palembang.1 Menurut Moyer (1984) sebagai tunggu tubang maupun sebagai jenang.
komunitas Semende termasuk komunitas yang Pola pewarisan ini membawa konsekuensi
suka melakukan migrasi sehingga keberadaan bahwa sebagian besar anak laki-laki akhirnya
mereka juga banyak ditemukan di berbagai tidak akan memiliki harta yang mencukupi un­
wilayah, seperti Bengkulu, Lampung, Jambi, tuk menghidupi keluarga nantinya. Kondisi ini
dan beberapa daerah lain di Provinsi Sumatra “memaksa” anak laki-laki Semende harus pergi
Selatan. Di wilayah migran, komunitas Semende merantau ke daerah lain dengan tujuan men­
cende­rung mengelompok dengan tetap memper­ cari kehidupan yang lebih baik. Hal ini lah yang
tahankan adat istiadatnya, khususnya adat tunggu membuat terbentuknya kampung-kampung orang
tubang. Semende di beberapa lokasi sekitar wilayah adat
Migrasi yang dilakukan orang Semende mereka di Muara Enim. Sebaran orang Semende
adalah sebagai upaya untuk mencari kehidupan ini tidak hanya dapat ditemui di berbagai wilayah
yang lebih baik. Hal ini terjadi karena pola yang ada di Provinsi Sumatra Selatan, tetapi
pewarisan harta, seperti rumah dan lahan, lebih juga ditemukan di beberapa wilayah yang ada di
diprioritaskan untuk anak perempuan, khususnya Provinsi Bengkulu, Lampung, dan Jambi. Bahkan
anak perempuan tertua. Anak perempuan tertua menurut mitos yang diyakini orang Semende,
(tunggu tubang) ditugaskan untuk mengelola sebaran komunitas mereka juga ditemukan di
dan memanfaatkan harta warisan tersebut untuk wilayah Banten.
kepentingan keluarga luasnya. Oleh sebab itu, Naim (1984) mengemukakan bahwa pola
walaupun anak perempuan tertua mendapat pri­ migrasi orang Semende sedikit berbeda dengan
oritas untuk mewarisi harta orang tuanya, bukan orang Minangkabau yang cenderung menyebar
berarti anak laki-laki dan anak perempuan lainnya dan tidak terikat dengan pola pemukiman yang
tidak akan mendapatkan harta warisan. Apabila sama. Pola migrasi orang Semende cenderung
keluarga tersebut memiliki banyak harta, maka akan mengelompok dan membentuk sebuah
setelah anak perempuan mendapatkan warisan kampung yang sama. Pola mengelompok ini
yang dianggap mencukupi, harta lainnya akan lebih disebabkan karena nilai budaya yang
dibagi secara merata kepada anak laki-laki dan mengharuskan mereka untuk juga mampu
anak perempuan lainnya. Akan tetapi, bila harta menunjukkan keberhasilan mereka di daerah
yang dimiliki terbatas, biasanya semua harta rantau. Salah satu wilayah perantauan orang
akan diserahkan penguasaannya kepada anak Semende dapat ditemukan di Kecamatan Muara
perempuan tertua ini. Sahung, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa harta Orang Semende di Muara Sahung hidup menge­
warisan tunggu tubang sebenarnya adalah harta lompok di tengah-tengah komunitas patrilineal
milik bersama (apit jurai), yang penguasaannya yang sangat menekankan pola pewarisan kepada
anak laki-laki. Perkenalan dengan budaya lain
1 Disadur dari Buku Panduan Deklarasi Paguyuban Jurai membuat adat tunggu tubang yang mereka ter­
Semende Nusantara dan Pemberian Gelar Kehormatan
Adat Semende yang diadakan pada tanggal 21 Februari apkan dalam kehidupan cenderung mengalami
2008 di Desa Pulau Panggung, Kecamatan Semende intervensi budaya, yang memaksa mereka untuk
Darat Laut, Kabupaten Muara Enim.

32 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

melakukan adaptasi yaitu dengan cara melakukan mad, & Taqwa, 2018). Akan tetapi, perubahan
redefinisi terhadap adat tunggu tubang itu sendiri. pandangan tersebut cenderung dilihat sebagai
Redefinisi dalam konteks ini dipahami sebuah penyimpangan (Guspitawaty, 2002),
sebagai mekanisme yang dilakukan komunitas bukan sebagai proses redefinisi yang dilakukan
migran Semende dengan cara mengonsepsi komunitasnya terhadap intervensi budaya luar
ulang pemahaman tentang adat tunggu tubang tersebut. Penting untuk memandang perubahan
yang mereka miliki. Menurut Mellor & Schiff sebagai bagian dari proses redefinisi, terkait de­
(1975), proses redefenisi dilakukan oleh suatu ngan upaya yang dilakukan komunitas Semende,
komunitas sebagai bentuk mempertahankan untuk tetap mempertahankan adat tunggu tubang,
pandangan mereka tentang diri dan identitasnya. di tengah intervensi budaya luar yang memenga­
Oleh sebab itu, proses redefinisi bukan berarti ruhinya. Berangkat dari pemikiran di atas, maka
menghilangkan tunggu tubang sebagai identitas artikel ini mencoba menggambarkan bagaimana
itu sendiri, tetapi lebih mendefinisikan kembali proses redefinisi adat tunggu tubang yang terjadi
tunggu tubang tersebut sesuai dengan perkem­ di komunitas Semende migran yang ada di Muara
bangan kondisi yang dihadapi. Proses ini penting Sahung (Bengkulu), serta implikasinya pada
dilakukan komunitas migran Semende sebagai penguasaan pola pewarisan harta tersebut.
cara mempertahankan diri dan identitasnya dari
pandangan luar yang cenderung tidak sesuai METODE PENELITIAN
dengan kerangka pemahaman yang dimiliki Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
komunitasnya. Hasilnya adalah sebuah konsepsi pendekatan kualitatif deskriptif yang berusaha
baru yang tetap berbasis pada pemahaman lama memahami realitas secara keseluruhan. Menurut
sehingga Stuar Hall (dalam Lan, 2006), menye­ Denzin dan Yvonna (1994), metode kualitatif
butnya sebagai old and new identity. bertujuan memahami gejala yang ada tanpa pen­
Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa gukuran, sedangkan analitik deksriptif berusaha
tunggu tubang adalah identitas penting bagi memahami kognitif komunitas Semende tentang
komunitas Semende sebagai pembeda dirinya berbagai masalah yang mereka hadapi dan hubun­
dengan komunitas sekitarnya. Oleh sebab itu, gan sosial dengan masyarakat setempat.
menghilangkan tunggu tubang sama artinya Informasi diperoleh melalui wawancara de­
menghilangkan identitas ke-Semende-an sese­ ngan informan yang terdiri dari pemimpin tradisi
orang. Berbagai tulisan dan kajian menunjukkan dan orang Semende. Informan dipilih melalui
bahwa arti penting tunggu tubang ini tidak hanya teknik snowball dengan menggunakan panduan
sekedar pola pewarisan harta, tetapi lebih dipan­ penelitian yang menyertai proses penelitian di
dang sebagai adat Semende itu sendiri (Moyer, lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan
1984; Alihanafiah, 2008). Sebagai adat, maka dengan menggabungkan metode wawancara
tunggu tubang cenderung menjadi aturan yang dan observasi lapangan. Oleh karena itu, setiap
berpedoman pada bagaimana komunitas Semende wawancara yang dilakukan selalu dibandingkan
dalam berkehidupan sehari-hari, baik di daerah validitasnya (periksa dan periksa kembali) melalui
asal (Praditama, Suntoro, & Adha, 2013; Saputro observasi. Di sisi lain, pengamatan partisipasi
& Wirawan, 2013; Setiawan, 2013), maupun yang dilakukan akan dibandingkan validitasnya
di daerah migran (Iskandar,2003; Setiawan & (periksa dan periksa kembali) melalui wawancara
Cecep, 2016). mendalam kepada beberapa informan. Melalui
Komunitas Semende bukanlah komunitas teknik tersebut, dapat diperoleh data yang mampu
yang tertutup, apalagi dengan kebiasaan meran­ menjelaskan realita seperti yang diharapkan.
tau yang dilakukan kaum laki-lakinya sehingga Analisis data dilakukan dalam beberapa
pengaruh budaya luar cenderung ikut memenga­ tahap. Pertama, memahami struktur kognitif
ruhi perubahan pandangan komunitas Semende orang Semende melalui sumber referensi. Kedua,
tentang adat tunggu tubang itu sendiri (Saputro & menemukan model kognitif komunitas Semende
Wirawan, 2013; Murdiati, Sriati, Alfitri, Muham­ di lapangan, terkait dengan maknanya bagi diri

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 33
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

mereka sendiri dan komunitas lain di sekitar melakukan upacara. Seorang informan mencoba
mere­ka. Langkah terakhir adalah menghubungkan menjelaskan fungsi rumah bagi orang Semende
(hubungan) antara kognitif komunitas Semende sebagai berikut.
dan realitas empiris yang ditemukan di lapangan
“Rumah tunggu tubang itu fungsinya tempat
mengadakan kegiatan adat bagi keluarga luasnya,
TUNGGU TUBANG: ADAT tempat pengasuhan dan perawatan orang tua dan
SEMENDE saudara-saudara yang sudah tua dan sakit, dan
kalau ada saudara yang gagal di rantau, dia juga
Tubang adalah sebutan untuk sebatang bambu masih ada tempat pulang. Sebagai pemilik rumah,
(dua atau tiga ruas) yang digantung secara maka tugas tunggu tubanglah memenuhi kebutu­
memanjang di atas perapian tungku dapur yang han mereka yang sedang ada di rumah tersebut.”
berfungsi sebagai tempat penyimpanan bumbu (wawancara dengan Ibu Srimianti (Desa Ulak
Lebar, 26 April 2016)
dapur. Keberadaan tubang yang ada di dapur,
membuat intensitas keberadaan dan fungsinya Dengan kata lain, rumah akan menjadi
sering dilekatkan dengan perempuan. Oleh karena identitas bagi sebuah keluarga, dan menjadi
itu, tunggu tubang lebih sering dimaknai sebagai acuan bagi seseorang ketika ingin merujuk asal-
kegiatan menunggu tubang yang biasanya dile­ usulnya. Begitu juga dengan harta dalam bentuk
katkan kepada perempuan yang banyak meng­ lahan yang dikuasakan kepada seorang tunggu
habiskan waktu di dapur, baik untuk memasak tubang, pemanfaatannya ditujukan untuk diri dan
maupun melakukan aktivitas lainnya. Seorang keluarganya serta untuk saudara-saudaranya apa­
informan mencoba memberikan penjelasannya bila dibutuhkan. Oleh sebab itu, seorang tunggu
akan arti tunggu tubang tersebut. tubang harus mengolah dan memanfaatkan lahan
tersebut semaksimal mungkin agar hasilnya bisa
“Tubang itu adalah tempat bumbu masak yang
digantung di dapur, jadi tunggu tubang itu artinya menjadi sumber penghidupan bagi seluruh ang­
orang yang menunggu tubang. Biasanya yang gota keluarga luas nya.
menunggu tubang di dapur itu adalah perempuan, Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
makanya tunggu tubang dilekatkan pada anak
tunggu tubang adalah posisi (jabatan) yang dikua­
perempuan.” (wawancara dengan Pak Husdin
(Desa Muara Sahung, 23 April 2016) sakan kepada seorang anak perempuan dengan
tugas mengelola harta warisan untuk kepentingan
Secara simbolis, tunggu tubang adalah bersama. Bila saudara-saudaranya membutuhkan
sebutan pada seorang anak perempuan tertua dana, tunggu tubang akan mengeluarkan hasil
dalam sebuah keluarga yang ditugasi menjaga, produksi lahan yang ada untuk kepentingan
memelihara, dan memanfaatkan harta pusaka saudaranya tersebut. Bila saudaranya membu­
yang dimiliki oleh keluarga tersebut, meliputi tuhkan tempat tinggal dan perawatan, tunggu
rumah dan lahan pertanian yang ada (Setiawan, tubang juga lah yang harus menyediakan sebuah
2013; Iskandar, 2003; Guspitawaty, 2002).2 kamar atau tempat di salah satu bagian dari rumah
Harta tunggu tubang dalam bentuk rumah tersebut untuk saudaranya dan menyediakan
lebih difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi segala kebutuhannya. Di sam­ping itu, seorang
anggota kerabat tunggu tubang dan tempat pulang tunggu tubang juga berkewajiban untuk meme­
bagi anggota keluarga yang pergi merantau. lihara dan merawat orang tua yang masih hidup,
Di samping itu, rumah juga berfungsi sebagai serta menjaga dan membersihkan makamnya
tempat melakukan berbagai aktivitas upacara apabila mereka sudah meninggal. Oleh sebab
yang dilakukan keluarga tersebut. Sebagai rumah itu, sebidang lahan yang diwariskan orang tua
keluarga, seorang tunggu tubang berkewajiban kepada dirinya terkadang tidak cukup untuk
untuk menjamu dan melayani kebutuhan selu­ melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut
ruh saudaranya ketika berkumpul atau ketika sehingga seorang tunggu tubang terkadang harus
2 Oleh beberapa peneliti, pola pewarisan kepada anak
mencari biaya tambahan, baik dengan cara meng­
perempuan dalam adat tunggu tubang ini akhirnya sering garap lahannya sendiri maupun menyewa lahan
menimbulkan kecurigaan bahwa Semende adalah penga­ orang lain, bahkan terkadang harus meminjam
nut sistem matrilineal sebagaimana halnya Minangkabau. dana kepada orang lain.
Lihat juga Moyer (1984).

34 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

Agar tanggung jawab seorang tunggu tubang “Pandangan ini biasanya diberikan pada
tetap berjalan secara baik dan tidak menyimpang laki-laki yang kawin dengan tunggu tubang dan
dari adat, maka seluruh saudara laki-laki tunggu lebih memanfaatkan lahan warisan tunggu tubang
tersebut. Biasanya yang jadi suami tunggu tubang
tubang (jenang)3 yang dipimpin oleh saudara laki- itu adalah laki-laki yang tidak berpunya, makanya
laki tertua (jenangtue), akan selalu mengontrol pandangan ini sering muncul dari masyarakat lain.
pemanfaatan harta warisan yang dilakukan tugas
Kalau saya lebih enak membeli dan mengolah
tunggu tubang. Agar keharmonisan keluarga lahan milik sendiri sendiri, bukan warisan dari
ini tetap terjaga, saudara laki-laki ibu (meraje) orang tua. Jadi, kalau nanti mau diwariskan
akan selalu mengayomi, mengontrol, dan mengi­ menjadi harta tunggu tubang lebih puas rasanya
ngatkan tunggu tubang dan saudara-saudaranya. daripada mewarisi harta tunggu tubang itu
Bahkan seorang meraje berhak untuk mengadili sendiri.” (wawancara dengan Pak Lihayrun (Desa
Muara Sahung, 20 April 2016)
mereka apabila tidak menjalankan aturan adat
yang ada. Munculnya tokoh jenang dan meraje di Citra yang dilekatkan pada laki-laki Semende
komunitas Semende ini tidak saja menunjukkan ini sedikit banyak ikut memengaruhi upaya laki-
arti pentingnya kekuasaan bagi seorang laki-laki laki untuk menguatkan kekuasaan dan perannya
sebagai penjaga adat, tetapi juga menunjukkan terhadap harta warisan tersebut. Masuk dan me­
arti pentingnya garis keturunan laki-laki (patri­ nguatnya nilai-nilai Islam di komunitas Semende
lineal) dalam komunitas ini. semakin memberi legitimasi pada laki-laki untuk
Keberadaan tokoh jenang dan meraje dalam menguatkan posisi dirinya sebagai pemimpin.5
sistem tunggu tubang ini bukan berarti tidak Nilai-nilai Islam yang menempatkan laki-laki se­
memunculkan persoalan dalam komunitasnya. bagai pemimpin selalu diwacanakan dan menjadi
Pada banyak kasus, kekuasaan sebagai pengon­ dasar dalam menguatkan hak laki-laki sebagai
trol sistem tunggu tubang sering disalahgunakan pemilik kekuasaan dan penguasaan terhadap
untuk mengambil manfaat dari harta warisan harta warisan (Murdiati, Sriati, Alfitri, Muham­
tersebut. Kondisi ini tidak saja disebabkan karena mad, & Taqwa, 2018). Persoalannya, kekuasaan
kuatnya intervensi budaya patrilineal dengan pola jenang dan meraje ini dianggap ada karena tetap
pewarisan kepada laki-laki yang ada di seki­ adanya perempuan yang menempati posisi tunggu
tarnya, tetapi juga karena menguatnya pengaruh tubang. Dengan kata lain, kekuasaan laki-laki ada
Islam yang akhirnya dijadikan landasan dalam karena tunggu tubang dan tunggu tubang lestari
kehidupan (termasuk dalam sistem pewarisan). karena adanya laki-laki yang menjalankan tugas
Di Muara Sahung, komunitas patrilineal yang sebagai pengontrol adat.
ada di sekitarnya menempatkan kekuasaan dan Munculnya sistem tunggu tubang sebagai
penguasaan harta warisan kepada anak laki-laki.4 bentuk pewarisan harta kepada anak perempuan
Akibatnya, komunitas patrilineal di sekitarnya ini tidak terlepas dari mitos nenek moyang me­
sering memandang laki-laki Semende sebagai reka sebelumnya yang merasa tidak puas dengan
“laki-laki yang dikuasai perempuan”. Berikut pola kekuasaan patrilineal yang lebih didominasi
pendapat salah satu informan mengenai pendapat oleh kelompok laki-laki. Mitos asal-usul mereka
tersebut. menjelaskan bahwa komunitas Semende berasal
dari pecahan komunitas Basemah yang ada di
Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan yang sangat
3 Di daerah asalnya atau di komunitas Semende di Muara
Enim, saudara laki-laki tunggu tubang ini sering disebut kuat nilai patrilinealnya, sebagaimana diceritakan
juga dengan istilah lautan, dan tidak memiliki kekuasaan informan berikut.
sebagaimana di daerah Muara Sahung ini. Sementara
itu, istilah jenang lebih mengacu pada seorang laki-laki
yang memiliki kekuasaan sehingga di Muara Enim, 5 Menurut Buku Panduan Deklarasi Paguyuban Jurai
istilah jenang ini lebih dilekatkan pada kelompok meraje Semende Nusantara dan Pemberian Gelar Kehormatan
(saudara laki-laki ibu.) Adat Semende (2008), perubahan sosial yang terjadi di
4 Di Muara Sahung (Bengkulu), komunitas migran Semende diperkirakan sudah mulai terjadi sejak Islam
Semende ini hidup berdampingan dengan komunitas berkembang di komunitas Semende pada abad-17
patrilineal seperti Rejang, Serawai, dan kelompok melalui tokohnya yang dikenal sebagai Puyang Awak,
migran Besemah yang relatif kuat nilai patrilinealnya. yang dipercaya berasal dari Minangkabau.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 35
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

“Pada suatu hari terjadilah pertengkaran antara sesuai dengan aturan ideal tersebut. Persoalan
dua saudara, yaitu anak laki-laki (anak lanang) sering muncul ketika seorang tunggu tubang,
dengan saudara perempuan (anak betine). Saudara karena desakan kebutuhan yang banyak, akhirnya
perempuan ini tidak suka melihat melihat saudara
laki-lakinya terlalu meraje (dominan seperti raja)
memanfaatkan harta warisan tersebut untuk ke­
sehingga saudara perempuannya ini tidak bisa pentingan diri dan keluarganya saja. Di sisi lain,
berbuat banyak dalam keluarga apalagi dalam juga sering ditemukan saudara laki-laki tunggu
kehidupan sehari-hari.”6 (wawancara dengan Pak tubang terkadang berharap akan mendapatkan
Musdin (Desa Ulak Lebar, 26 April 2016) manfaat yang lebih dari harta tunggu tubang
yang diterimanya selama ini. Ketidakpuasan
“… Anak betine ini lalu pergi dan membangun
kampung sendiri di daerah baru, yang diberi nama seperti inilah yang kemudian memunculkan
Semende, yang berarti same (sama) dan ende konflik internal dalam keluarga yang membuat
(harga) yang bermakna ‘semua harus dihargai harta tunggu tubang akhirnya diambil alih oleh
secara sama.” (wawancara dengan Pak Ali Budin saudara laki-laki atau diperjualbelikan.
(desa Ulak Bandung, 21 April 2016)
Mitos ini menjelaskan bahwa kepergian HARTE DAN TUNGGUAN:
saudara perempuan ini disebabkan karena ketidak­ IDENTITAS BARU ADAT SEMENDE
setujuan saudara perempuan terhadap peran dan
Menurut Moyer (1984), komunitas Semende
kekuasaan laki-laki yang begitu kuat.7 Kuatnya
adalah salah satu komunitas yang suka berkelana
kekuasaan laki-laki ini membuat pola pewarisan
(bermigrasi). Namun, berbeda dengan komunitas
lebih banyak diserahkan penguasaannya pada
Minangkabau yang bermigrasi karena tekanan
laki-laki, karena anak perempuan setelah meni­
adat (Naim, 1984), migrasi yang dilakukan komu­
kah akan pergi dan menjadi bagian dari keluarga
nitas Semende lebih sebagai upaya untuk mem­
suaminya. Resistensi terhadap adat di daerah asal
perbaiki hidup yang lebih baik (Moyer, 1984).
(Besemah) inilah yang kemudian melahirkan pola
Hal ini disebabkan karena adat tunggu tubang
pewarisan yang dikenal sebagai tunggu tubang.
yang diterapkan dalam komunitasnya membuat
Di komunitas Semende, pola pewarisan tunggu
laki-laki relatif tidak memiliki kesempatan untuk
tubang kemudian dikuatkan sebagai identitas
menguasai harta warisan yang dimiliki orang
pembeda komunitasnya dengan daerah asal
tuanya. Satu-satunya cara adalah dengan mem­
mereka di Besemah dan dengan komunitas lain
beli harta orang lain atau membuka lahan baru.
di sekitarnya.
Persoalannya, di daerah asal ada kecenderungan
Sistem pewarisan tunggu tubang ini terus sebagian besar lahan adalah lahan tunggu tubang
dijaga dan dikuatkan,walaupun mereka keluar sehingga proses jual beli relatif sulit dilakukan.
dari wilayah adatnya dan terus bermigrasi ke Kondisi inilah yang membuat banyak laki-laki
berbagai wilayah. Terlepas, apakah mereka Semende akhirnya mencari wilayah baru sebagai
patrilineal atau matrilineal, secara ideal, apabila sumber kehidupannya. Oleh sebab itu, dengan
beban dan tanggung jawab tunggu tubang ini mengandalkan keahlian mereka sebagai peladang
dilaksanakan dengan baik maka komunalitas dataran tinggi, arah migrasi orang Semende
sebuah keluarga akan terus terjaga. Dengan kata cenderung akan dilakukan ke wilayah perbukitan
lain, ada kemungkinan tidak akan ada anggota dengan cara membuka ladang-ladang baru atau
keluarga yang akan termiskinkan apabila sistem mengolah ladang yang telah ada.
adat tunggu tubang tetap terjaga dan berjalan
Kebiasaan ini membuat komunitas Semende
6 Ada kemungkinan, perkelahian antara dua saudara ini akhirnya banyak melakukan migrasi ke berbagai
terkait dengan ketidaksetaraan penguasaan sumber daya wilayah yang ada di sekitarnya, seperti Bengkulu,
dengan beban dan tugas yang diemban oleh masing- Lampung, Jambi, dan beberapa daerah lain di
masing. Lihat juga Alihanafiah (2008).
Provinsi Sumatra Selatan. Di wilayah migran,
7 Di komunitas Besemah, laki-laki diposisikan sebagai
pemilik kekuasaan yang disebut sebagai punyimbang. komunitas Semende ini cenderung mengelompok
Kuatnya posisi laki-laki ini juga tergambar dari arca-arca dengan tetap mempertahankan adat istiadatnya,
yang ditemukan para ahli arkeologi di Besemah. Lihat khususnya adat tunggu tubang. Akan tetapi, di
Triwurjani (2014).

36 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

Muara Sahung (Bengkulu), adat tunggu tubang masalah, tetapi banyak kasus semua dibebankan
cenderung telah mengalami proses redefinisi. pada tunggu tubang, dengan alasan mereka sudah
Artinya, adat tunggu tubang tetap dijalankan diwarisi lahan keluarga tersebut.” (wawancara
dengan Ibu Muratia (Desa Ulak Bandung, 23
dan diakui keberadaannya, tetapi aturan yang April 2016)
dijalankan sudah mengalami perubahan makna.
Redefinisi terhadap adat tunggu tubang ini terjadi Kasus di atas menunjukkan bahwa tuntutan
sebagai bentuk adaptasi yang dilakukan oleh ko­ kepada seorang tunggu tubang dianggap tidak
munitas dalam menyikapi intervensi budaya luar sebanding dengan luas dan produksi lahan yang
yang terus menyusup masuk dalam kehidupan mereka warisi. Sementara itu, tidak semua tunggu
masyarakatnya. tubang memiliki lahan olahan lain kecuali lahan
warisan tersebut sehingga seorang tunggu tubang
Secara ideal, penguasaan terhadap harta
terkadang hanya memanfaatkan lahan warisan
warisan diserahkan kepada anak perempuan
tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
tertua (tunggu tubang), sedangkan anak laki-laki
Kondisi inilah yang sering memunculkan konflik
(jenang) lebih diposisikan sebagai pengontrol
antara tunggu tubang dengan jenang, yang sering
agar tunggu tubang bisa melaksanakan amanah
menuduh tunggu tubang lebih memanfaatkan
adat tersebut. Akan tetapi di Muara Sahung, oto­
lahan warisan tersebut hanya untuk kebutuhan
ritas terhadap harta warisan ini mulai mengalami
diri dan keluarganya saja, bukan untuk keluarga
degradasi, sebagaimana tergambarkan dalam
luasnya.
tabel 1.
Dari sisi tunggu tubang, pemanfaatan lahan
Tabel di atas menunjukkan bahwa telah
untuk diri dan keluarganya ini bukanlah sesuatu
terjadi pemindahan penguasaan terhadap lahan
yang salah, karena secara adat, lahan warisan
komunal, yang secara ideal ada dalam penguasaan
tersebut memang dimanfaatkan untuk dirinya dan
tunggu tubang. Pemindahan penguasaan ini tidak
untuk kepentingan keluarga luas apabila dibutuh­
terlepas dari konflik internal yang sering terjadi
kan. Sementara itu dari sisi jenang, terbatasnya
dalam keluarga luasnya, di mana tunggu tubang
lahan olahan dan sumber penghidupan lain juga
sering dituduh oleh jenang tidak mampu mengo­
sering menjadi pemicu keinginan mereka untuk
lah dan memanfaatkan lahan komunal tersebut
juga ikut memanfaatkan lahan tunggu tubang
untuk kepentingan keluarga luasnya. Tuduhan ini
tersebut, bahkan pada beberapa kasus juga
tidak semuanya benar, karena menurut tunggu
berkeinginan untuk menguasainya. Munculnya
tubang, luas lahan warisan yang dikuasakan
berbagai konflik kepentingan terhadap lahan
kepada mereka relatif terbatas sehingga produksi
tunggu tubang ini membuat sebagian perempuan
yang dihasilkan sering tidak mencukupi untuk
Semende di Muara Sahung mulai enggan untuk
memenuhi tuntutan keluarga luasnya. Seorang
menjadi tunggu tubang. Bagi perempuan Se­
tunggu tubang mencoba memberikan ilustrasi
mende di Muara Sahung, menjadi tunggu tubang
akan keterbatasan tersebut.
dianggap bukan posisi yang menguntungkan,
“Kalau saudara kita mau mengadakan upacara dan kalaupun mereka mau menerima posisi
seperti menikahkan anaknya di rumah tunggu tersebut, ada kecenderungan karena “terpaksa”
tubang, maka sudah jadi kewajiban tunggu tubang menerimanya dengan alasan untuk tetap menjaga
untuk memenuhi semua kebutuhan untuk upacara dan memelihara orang tua, seperti diutarakan
tersebut. Kalau jenang mau membantu tidak jadi
informan berikut.

Tabel 1. Pergeseran Pola Penguasaan Harta Warisan di Muara Sahung, Bengkulu


Karakteristik Ideal normatif Redefinisi
Pola kepemimpinan dalam masyarakat Meraje (saudara laki-laki ibu) Meraje (saudara laki-laki ibu)
Penguasaan ada pada tunggu Penguasaan dan kontrol ada pada
Kepemilikan tanah komunal
tubang dan kontrol ada pada jenang jenang
Penguasaan ada pada tunggu Penguasaan ada pada tunggu tubang
Kepemilikan rumah komunal
tubang dan kontrol ada pada jenang dan kontrol ada pada jenang

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 37
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

“Kalau saudara kita mau mengadakan upacara nya (termasuk menjualnya). Redefenisi terhadap
seperti menikahkan anaknya di rumah tunggu posisi jenang inilah yang membuat sebagian
tubang, maka sudah jadi kewajiban tunggu tubang harta tunggu tubang sekarang beralih penguasaan
untuk memenuhi semua kebutuhan untuk upacara
tersebut. Kalau jenang mau membantu tidak jadi
kepada jenang. “Atas nama adat” pula, jenang
masalah, tetapi banyak kasus semua dibebankan mengambil alih kekuasaan dan penguasaan
pada tunggu tubang, dengan alasan mereka sudah sumber daya ini dengan alasan karena banyak
diwarisi lahan keluarga tersebut.” (wawancara perempuan Semende di Muara Sahung tidak mau
dengan Ibu Syamsami (Desa Ulak Lebar, 22 menjadi tunggu tubang.
April 2016)
Menurut adat Semende Muara Sahung,
Kuatnya intervensi budaya patrilineal dari sebenarnya seorang laki-laki tidak bisa menjadi
komunitas di sekitarnya, serta ketidakmampuan tunggu tubang, bahkan anak perempuan tengah
adat melindungi perempuan tunggu tubang dalam pun juga tidak dibolehkan jadi tunggu tubang.
menjaga dan mempertahankan harta tunggu Tunggu tubang hanya boleh dilekatkan pada anak
tubang, membuat laki-laki (jenang) seakan me­ perempuan tertua, dan apabila anak perempuan
miliki legitimasi untuk menguasai harta warisan tertua tidak bisa atau tidak sanggup maka
keluarga yang seharusnya dikuasakan kepada akan diberikan pada anak perempuan bungsu.
tunggu tubang tersebut. Secara adat, jenang Walaupun demikian, seorang laki-laki bisa saja
hanyalah pelindung agar harta warisan tersebut menjadi tunggu tubang apabila memang tidak
tetap terjaga dan berdaya guna bagi kepentingan ada lagi perempuan dalam keluarga tersebut yang
keluarga luas. Akan tetapi sekarang, jenang di­ mau memegang posisi sebagai tunggu tubang.
anggap sebagai posisi yang lebih menguntungkan Oleh sebab itu, karena posisi tunggu tubang
karena “atas nama adat”, jenang bisa menjadi hanya dilekatkan kepada perempuan, maka laki-
penguasa harta warisan dan memperlakukan laki yang diposisikan sebagai tunggu tubang
harta warisan tersebut sesuai dengan keinginan­ harus mendudukkan istrinya sebagai tunggu

Gambar 1. Pola Pewarisan Harta Warisan Menurut Adat Semende

38 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

tubang.8 Untuk selanjutnya, maka istri dari anak Resistensi terhadap adat tunggu tubang tidak
laki-laki tertua dari keluarga inilah yang nanti serta merta menghilangkan keberadaan adat
akan menduduki posisi tunggu tubang. Dengan tunggu tubang itu sendiri, karena sebagian besar
kata lain, dalam ketentuan adat Semende di masyarakat masih membutuhkan adat tunggu
Muara Sahung, laki-laki sebenarnya tidak dipo­ tubang sebagai identitas yang membedakan
sisikan sebagai tunggu tubang, tetapi posisinya mereka dengan komunitas lain di sekitarnya.
telah ditetapkan sebagai jenang. Oleh sebab itu, Identitas tersebut ditunjukkan melalui pengakuan
ketika harta warisan dikuasai oleh jenang (me­ komunitas terhadap asal-usulnya, sebagaimana
lalui istrinya), maka tidak berlaku pada dirinya diutarakan informan berikut.
bahwa harta tersebut harus dikelola dan diper­
“Orang Semende itu tidak akan diakui sebagai
gunakan untuk kepentingan keluarga luasnya.9
bagian dari sebuah kampung, bila ia tidak
Peruntukan akan harta warisan yang telah dikua­ mampu mampu menunjukkan dimana rumah
sai oleh jenang tersebut akhirnya tergantung pada tunggu tubang-nya. Sekurang-kurangnya
keputusan jenang itu sendiri. seorang Semende harus mampu menun­
jukkan posisi tembokan (tanah tempat
Menguatnya kekuasaan jenang untuk me­
rumah tunggu tubangnya dulu berdiri). 11
nguasai harta warisan tunggu tubang akhirnya Itulah sebabnya mengapa adat tunggu tubang
memunculkan paradoks. Di satu sisi, masyara­ sejak dulu sampai sekarang masih penting dan
katnya tetap mencoba mempertahankan adat masih dipertahankan.” (wawancara dengan Pak
tunggu tubang sebagai identitas komunalnya, Ceman (Desa Ulak Bandung, 20 April 2016)
tetapi di sisi lain, penguasaan harta warisan mulai Resistensi yang terjadi akhirnya melahirkan
diambil alih oleh jenang. Dengan kata lain, adat redefinisi terhadap adat tunggu tubang itu sendiri.
tunggu tubang tetap dipertahankan dengan cara Di Semende Muara Enim, jenang lebih diposisikan
menyerahkan kekuasaan pada perempuan untuk sebagai calon meraje yang mendampingi tunggu
menguasai rumah dan sebidang lahan. Akan tubang dalam mengelolah harta warisna tersebut.
tetapi, jenang memiliki hak menguasai lahan Sementara itu, di Semende Muara Sahung, terjadi
warisan lainnya. Kondisi inilah yang sedang penguatan posisi jenang yang mulai ditempatkan
menggejala di komunitas Semende di Muara sebagai meraje yang memiliki kekuasaan untuk
Sahung, di mana harta warisan yang seharusnya mengendalikan dan mengambil alih harta warisan
dikuasai oleh tunggu tubang secara perlahan tunggu tubang tersebut.
mulai diambil alih oleh jenang. Kondisi ini ti­
Tidak berpihaknya adat dalam melin­dungi
dak saja melahirkan ketidakpercayaan sebagian
seorang perempuan tunggu tubang untuk
masyarakat (khususnya kalangan muda) terhadap
menghalangi saudara laki-lakinya (jenang)
posisi jenang—apalagi meraje10—tetapi juga
untuk memperjualbelikan harta warisan sering
memunculkan resistensi terhadap adat tunggu
dianggap sebagai rasa ketidakadilan sebagian
tubang itu sendiri.
perempuan Semende di Muara Sahung. Di satu
sisi, mereka sering “dituduh” sebagai orang yang
8 Bila laki-laki yang akan diangkat menjadi tunggu tubang
menguasai sendiri harta warisan keluarga, tetapi
tersebut belum menikah, maka proses perkawinannya
harus dilakukan dengan cara ngangkit, yaitu prosesi yang di lain sisi jenang “terkesan” diberi kesempatan
menempatkan istri sebagai calon tunggu tubang dalam untuk memperlakukan harta warisan tersebut
keluarga suaminya tersebut. secara semena-mena. Apalagi bila sudah diang­
9 Bila penguasaan harta warisan diberikan kepada tunggu gap “tertuduh”, maka upat-cele (umpatan dan
tubang, maka secara adat memang diperuntukan bagi
kepentingan bersama yang dikontrol oleh jenang. Na­ kutukan) akan dilekatkan kepada mereka, yang
mun, bila penguasaan harta warisan tersebut diserahkan membuat mereka tidak saja akan disisihkan dalam
kepada jenang, maka secara adat peruntukannya tidak keluarga, bahkan terkadang juga “dihakimi” oleh
lagi untuk kepentingan bersama.
masyarakatnya.
10 Meraje (saudara laki-laki ibu) seharusnya menjadi pen­
jaga akhir keutuhan harta warisan tunggu tubang, karena
merajelah yang akan “menghukum” jenang apabila tidak 11 Tembokan adalah istilah untuk menyebut tanah kosong
menjalankan kontrol terhadap tunggu tubang, apalagi yang diatasnya dulu pernah berdiri rumah yang dimiliki
merebut dan menguasai harta tunggu tubang. suatu keluarga.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 39
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

Redefinisi terhadap adat tunggu tubang “Puyang betine (nenek moyang perempuan) pergi
terjadi dalam bentuk konseptualisasi, di mana ter­ dan membangun daerah Semende itu, karena dia
jadinya pembagian kekuasaan antara perempuan tidak suka dengan kepemimpinan puyang jantan
(nenek moyang laki-laki) yang terlalu menguasai.
(tunggu tubang) dengan laki-laki (jenang) dalam Makanya puyang betine membangun Semende ini
hal penguasaan terhadap harta warisan tersebut. dulu, maksudnya jangan sampai kita sama juga
Harta tunggu tubang dalam bentuk rumah dengan puyang jantan itu (baca adat Besemah).”
akhirnya lebih dikuasakan secara penuh kepada (wawancara dengan Pak Ujang Busra (Desa
perempuan yang menjabat sebagai tunggu tubang, Muara Sahung, 22 April 2016)
yang dalam komunitas Semende di Muara Sahung Oleh sebab itu, bagi sebagian orang Semende
kemudian disebut sebagai tungguan. Sementara di Muara Sahung, tubang-tubang tidak saja
itu, warisan dalam bentuk lahan, yang kemudian sekedar pola kepemilikan lahan yang diberikan
mereka sebut sebagai harte, akan dibagi secara kepada anak perempuan tertua, tetapi juga ber­
merata ke semua anggota keluarga, termasuk makna sebagai alat penguat bagi kebertahanan
kepada perempuan yang menjabat sebagai tunggu masyarakat sebagai sebuah kelompok sosial.
tubang. Apabila harte dianggap sebagai warisan Se­bagai identitas sosial, adat tunggu tubang
yang masih memungkinkan untuk dibagi-bagi tidak saja menempatkan arti pentingnya seorang
(bahkan diperjualbelikan), maka tungguan lebih perempuan sebagai pemegang dan penguasa harta
mengarah pada harta sebagai simbol keluarga warisan, tetapi juga memberi tempat bagi laki-laki
sehingga hilangnya tungguan akan membuat sebagai penjaga keberlangsungan harta tunggu
simbol dan identitas juga dianggap akan hilang. tubang tersebut. Seorang informan mencoba
Proses redefinisi terhadap aturan adat menjelaskan maksud mitos yang dipahaminya
ini mengingatkan kita kembali pada mitos sebagai berikut.
terbentuknya komunitas Semende yang dahulu
“… rumah yang diberikan pada anak perempuan
mencoba memisahkan diri dengan Basemah. itu, bukan berarti milik dia (tunggu tubang)
Dalam mitos yang selalu dituturkan oleh ma­ secara pribadi. Rumah itu tetap milik bersama
syarakat Semende, termasuk di Muara Sahung, (keluarga), tetapi diberi kuasa pada tunggu tubang
dijelaskan bahwa perpisahan ini terjadi karena untuk merawat dan memanfaatkannya.” (wawan­
konflik internal antara saudara perempuan (anak cara dengan Pak Harsal (Desa Ulak Bandung, 20
April 2016)
betine) yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
saudara laki-lakinya (anak lanang). Adat yang “… maksud puyang (nenek moyang) dulu, perem­
dikembangkan di Basemah justru tidak berpihak puan itu diberi kekuasaan untuk mengurus dan
kepada perempuan dan lebih memihak kepada memelihara rumah (dan harta benda keluarga)
laki-laki. Kondisi inilah yang melahirkan kon­ sehingga harta kita jadi terawat (lestari). Agar
flik di antara keduanya, yang memaksa saudara harta tetap terawat, maka disitulah laki-laki tertua
(jenang) diminta untuk jadi pemimpin bagi adik-
perempuan pindah dan mencoba memperbaiki
adiknya supaya tidak bertengkar.” (wawancara
ketentuan adat tersebut di daerah rantau (Muara dengan Ibu Wariamak (Desa Ulak Lebar, 24 April
Enim) sehingga melahirkan komunitas Basemah 2016)
dengan identitas baru di daerah rantau, yang
Bagi orang Semende di Muara Sahung,
kemudian mereka sebut dengan Semende.
mitos asal usul mereka tidaklah menempatkan
Mitos kepergian anak betine (anak perem­ perempuan sebagai pemilik tunggal akan sumber
puan) yang kemudian membangun wilayah baru daya tersebut. Akan selalu ada laki-laki yang
ini di Muara Enim ini diyakini oleh masyarakat menempati posisi tertentu dalam lingkaran adat
Semende di Muara Sahung sebagai dasar awal tunggu tubang tersebut. Oleh sebab itu, menurut
terbentuknya adat tunggu tubang. Mitos ini adat tunggu tubang bukan berarti kekuasaan ada
menunjukkan akan arti pentingnya adat tunggu di tangan perempuan (matriachat) dan bukan
tubang sebagai identitas komunitasnya di Muara pula sebagai legitimasi bahwa Semende penganut
Sahung, sebagaimana diutarakan oleh informan keturunan perempuan (matrilineal). Sebaliknya,
berikut. walaupun laki-laki diposisikan sebagai pemimpin

40 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

kelompok yang memiliki kekuasaan penuh tersebut, karena hanya jenang yang memiliki
terhadap sumber daya yang ada (patriachat), kuasa untuk itu. Adat tunggu tubang hanyalah
tetapi tetap melegitimasi akan arti pentingnya memberikan kuasa kepada perempuan untuk
perempuan dalam keluarga dan dalam kehidu­ mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang
pan sosialnya. Dengan kata lain, adat tunggu ada, sebagaimana dijelaskan informan berikut.
tubang menempatkan laki-laki sebagai pelindung
“Dari dulu tunggu tubang itu tugasnya memang
kelompok dan secara khusus pelindung kaum
hanya menjaga dan merawat harta warisan agar
perempuan sebagai penerus keturunan. Secara tetap bisa dimanfaatkan. Jenang juga gitu, dari
sosial, pola adat demikian akhirnya menempatkan dulu dia sudah ditetapkan sebagai pemimpin
komunitasnya tetap bertahan karena terciptanya keluarga yang mengatur dan mengendalikan
hubungan simbiosis antara saudara laki-laki dan semua urusan dalam keluarga, termasuk harta
saudara perempuannya. warisan.” (wawancara dengan Ibu Desi (Desa
Ulak Bandung, 24 April 2016)
Mitos ini cenderung tidak dikenali lagi oleh
generasi muda, hanya sebagian generasi tua “…sekarang anak perempuan tertua tetap dibilang
Semende Muara Sahung yang masih menge­ tunggu tubang, tapi hartanya sekarang hanya
dalam bentuk rumah (tungguan), sedangkan
nalinya. Oleh karena itu, mitos ini akhirnya mulai
tanah pertanian namanya harte dan sekarang tidak
kehilang­an maknanya di tengah masyarakat di lagi milik tunggu tubang, tetapi sudah beralih
Muara Sahung. Namun di sisi lain, masyarakat ke jenang. Mau dipakainya atau mau dijualnya
Semende Muara Sahung tetap menyadari akan bagaimana lagi, dia yang punya kuasa sekarang.
pentingnya adat tunggu tubang dalam kehidupan Kalau jenang kita baik, biasanya tunggu tubang
mereka, karena adat tunggu tubang inilah yang akan selalu dibantu kalau ada masalah, tapi kalau
dapat jenang yang jahat, mau apa lagi, karena baik
menjadi pembeda antara mereka dengan komu­
buruknya harte itu ada di tangan dia.” (wawan­
nitas lain di sekitarnya. Pentingnya identitas bagi cara dengan Ibu Titin (Desa Muara Sahung, 20
komunitas Semende di Muara Sahung ini mem­ April 2016)
buat adat tunggu tubang akhirnya mengalami
redefenisi makna. Adat tunggu tubang tidak Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
lagi dilihat sebagai bentuk pengelolaan sumber redefinisi yang terjadi dalam pola pewarisan
daya demi keberlanjutan kehidupan komunalnya, harta di komunitas migran Semende di Muara
tetapi lebih dilihat sebagai penguasaan sumber Sahung tidaklah menghapus keberadaan adat
daya oleh perempuan. tunggu tubang itu sendiri. Peran dan posisi yang
harus dimainkan antara tunggu tubang dan jenang
Berangkat dari mitos yang ada, adat tunggu juga tidak mengalami perubahan, tetapi dengan
tubang telah menekankan bahwa perempuan adanya redefinisi terjadi pengalihan otoritas
tunggu tubang tidak bisa menjual harta warisan penguasaan terhadap harta warisan itu sendiri,

Gambar 2. Oposisi Binari antara Tunggu Tubang (Perempuan)


dan Jenang (Laki-Laki)

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 41
Zainal Arifin; Maskota Delfi; Sidarta Pujiraharjo

yang kemudian dilegitimasi melalui konsepsi asal (Muara Enim). Di Muara Sahung, adat
baru yaitu harte (lahan pertanian) dan tungguan tunggu tubang, akhirnya mengalami redefinisi
(rumah). Redefinisi ini sebenarnya mengisyarat­ sebagai bentuk adaptasi budaya mereka terhadap
kan kepada kita bahwa harta warisan akan tetap lingkungan sosial yang dihadapi yang sangat
lestari selama jenang tetap memposisikan dirinya menekankan pola pewarisan kepada laki-laki.
sebagai pengontrol agar tunggu tubang tetap Oleh sebab itu, sebagai identitas komunal, maka
mampu menjalankan amanah ditentukan adat substansi dalam adat tunggu tubang tidak meng­
secara adil. Akan tetapi, melalui redefinisi, adat alami perubahan, tetapi peran dan posisi aktor
tunggu tubang di Muara Sahung akhirnya lebih yang ada di dalamnya mengalami penyesuaian.
dilihat sebagai investasi yang bisa digunakan oleh Hal ini menunjukkan bahwa redefinisi
semua anggota keluarga apabila dibutuhkan.12 terhadap adat (atau budaya secara umum),
bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai
SIMPULAN resistensi. Redefinisi haruslah dianggap sebagai
Masyarakat Semende di Muara Sahung adalah bentuk adaptasi sebuah komunitas untuk tetap
salah satu kelompok Semende yang melakukan mempertahankan identitas dirinya di tengah
migran dari daerah asal yakni Muara Enim, kuatnya intervensi dan gempuran budaya luar.
Sumatera Selatan ke wilayah Bengkulu ini di Melalui redefinisi, akhirnya adat tunggu tubang
masa lampau. Migrasi yang dilakukan oleh tetap terintegrasi dalam kehidupan komunitasnya,
orang Semende ke Muara Sahung sedikit berbeda dalam bentuk disharmoni dalam keharmonisan.
dengan migrasi yang dilakukan nenek moyang Dengan kata lain, pergeseran peran dan fungsi
pendahulu mereka di Muara Enim. Migrasi awal kekuasan yang terjadi dalam adat tunggu tubang
yang dilakukan orang Semende dari Basemah di Muara Sahung, tidak saja telah mengatasi ber­
ke Muara Enim lebih disebabkan oleh adanya bagai tekanan sosial, baik dalam bentuk intervensi
konflik internal dalam kelompoknya di Basemah, budaya luar maupun keterbatasan sumber daya.
yang diyakini karena munculnya pertikaian an­ Selain itu, adat tersebut juga semakin menguat­
tara saudara laki-laki (anak lanang) dan saudara kan identitas dan keberlangsungan masyarakat
perempuan (anak betine). Pertikaian tersebut itu sendiri.
melahirkan komunitas yang dikenal dengan
sebutan Semende, yang memunculkan identitas UCAPAN TERIMA KASIH
baru yang berbeda dengan daerah asal yaitu adat Artikel ini adalah hasil penelitian yang dilakukan
tunggu tubang. oleh penulis pada tahun 2018 yang lalu. Untuk
Bagi komunitas Semende di Muara Sahung, alasan ini, penulis ingin mengucapkan terima
tunggu tubang tidak saja dilihat sebagai aturan kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi,
adat yang mengontrol pola hubungan dan inter­ dan Pendidikan Tinggi, Republik Indonesia atas
aksi sosial di antara mereka, tetapi juga sebagai penyediaan dana penelitian, yang dengannya data
identitas pembeda antara komunitasnya dengan koleksi untuk artikel ini dimungkinkan. Penulis
komunitas yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, juga akan berterima kasih kepada Lembaga
karena kuatnya intervensi budaya yang mereka Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Univer­
terima dari komunitas di sekitarnya, maka adat sitas Andalas (LPPM) atas dukungan mereka
tunggu tubang tidak bisa dijalankan secara selama penelitian hingga artikel ini akhirnya
ideal sebagaimana yang diterapkan di daerah diterbitkan. Akhirnya, terima kasih saya juga
12 Dalam ketentuan adat, sebenarnya harta warisan tunggu
ditujukan kepada mahasiswa Antropologi FISIP
tubang bisa saja diperjualbelikan apabila memang Unand yang terlibat dalam proyek penelitian ini
kondisi sangat mendesak, seperti ketiadaan biaya dan tim editor jurnal untuk kesempatan menulis
untuk menghidupi orang tua, ketiadaan biaya untuk
dalam jurnal ini.
kesembuhan orang tua yang sedang sakit, dan ketiadaan
biaya untuk menguburkan orang tua. Dengan kata lain,
harta tunggu tubang memang akan dijual hanya untuk
kepentingan orang tua bukan untuk kepentingan diri atau
saudara-saudaranya.

42 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43
Harte dan Tungguan: Redefinisi Adat Tunggu Tubang pada Komunitas Semende Migran

DAFTAR RUJUKAN Murdiati, E., Sriati, Alfitri, Muhammad, & Taqwa, R.


(2018). The local wisdom of tunggu tubang
culture in the challenges of the times (Study on
Alihanafiah. (2008). Mengenal sepintas masyarakat ethnical Semende District Muara Enim South
hukum adat Semende. Jakarta: Pemda Tk.I Sumatera). Makalah dipresentasikan dalam
Sumatera Selatan. The 1st Sriwijaya International Conference
Denzin, N. K., dan Lincoln, Y. S. (Eds). (1994). on Environmental Issues 2018 (1st SRICOENV
Handbook of qualitative research. Thousand 2018), 26–27 September 2018. Palembang:
Oaks London-New Delhi: Sage Publications. Universitas Sriwijaya
Guspitawaty, E. (2002). Penyimpangan sistem pewari- Naim, M. (1984). Merantau: Pola migrasi suku
san yang terjadi pada masyarakat hukum adat Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada
Semendo Pulau Beringin Kabupaten OKU, University Press.
Propinsi Sumatera Selatan [Tesis]. Magister Praditama, M. R, Suntoro, I., & Adha, M. M. (2013).
Kenoktariatan, Universitas Diponegoro Sema­ Sikap masyarakat terhadap adat tunggu tubang
rang. di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende
Iskandar. (2003). Kedudukan anak tunggu tubang Sarat Laut, Kabupaten Muara Enim. Journal
dalam pewarisan masyarakat adat suku Kultur Demokrasi, 1(5). Bandar Lampung :
Semendo di Kota Palembang [Tesis]. Magis­ FKIP Universitas Lampung.
ter Kenoktariatan, Universitas Diponegoro Saputro, A. R., & Wirawan, B. (2013). Persepsi
Semarang. masyarakat Semende terhadap pembagian harta
Lan, T. J. (2006). Redefinisi etnisitas dalam konteks warisan dengan sistem tunggu tubang. Jurnal
kebudayaan nasional. Jurnal Masyarakat dan Sosiologi, 15(1), 51–62.
Budaya, 8(1), 123–140. Setiawan, R. (2013). Status dan peranan tunggu
Mattison, S. M. (2011). Evolutionary contributions to tubang serta perubahannya pada masyarakat
solving the matrilineal puzzle. Human Nature: Semende Desa Muara Tenang Kecamatan
An Interdisciplinary Biosocial Perspective, Semende Darat Tengah Kabupaten Muara
22(1-2), 64–88. Enim [Skripsi]. Jurusan Sosiologi, FISIP
Mellor, K., & Schiff, E. (1975). Redefining. Transac- Universitas Sriwijaya. Palembang.
tional Analysis Bulletin, 5(3), 303–311. Setiawan, H., & Darmawan, C. (2016). Pelestarian
Moyer, D. S. (1984). South Sumatra in the Indonesia adat Semende di Desa Ulu Danau, Provinsi
field of anthropological study. Dalam de Jos­ Sumatera Selatan. Journal of Urban Society’s
selin de Jong J. P. B. (Ed.), Unity in diversity, Arts, 3(2), 57–63.
88–99. Dordrecht-Holland: Foris Publication. Triwurjani, Rr. (2014). Arca perempuan dan arca laki-
laki pada kelompok arca megalitik Pasemah,
Sumatera Selatan: Perpespektif gender. Jurnal
Forum Arkeologi, 27(3), 35–46.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 2 Tahun 2020, hlm. 31–43 43

You might also like