Professional Documents
Culture Documents
Pancasila
Abstract
The recognition of indigenous rights to manage forest have obtained the bright spot under
Indnesian legal system since the issuance of Constitutional Court (MK) decision Number
35/PUU-IX/ 2012. This decision amended the provisions of Forestry Act by separating adat
forest from the part of state forest. However, such MK decision could not resolve all the issues
pertaining to indigenous rights recognition to manage forest in their own adat regions. For
instance, the recognition of adat forest should be initiated with the formation of regional
regulation (Perda) by regional government, which relatively took a long process. Perceiving the
issues, this article purports to discuss the implementation of regulation governing the
recognition of indigenous rights to manage forest with the values of Pancasila as the sources of
all state laws. The research method on this article is juridical-normative, which utilizes
secondary sources (regulations and literatures) as the analysis material. This article discusses
two legal instruments as the main focus, namely Forestry Act as amended by Law on Job
Creation and Law on Special Autonomy for Papua province (UU Otsus), together with some of
its lower regulations. The implementation of both laws has not been able to guarantee the
indigenous rights to manage forest because of the procedures of adat forest is still complicated
and not considering the resources of indigenous people, the lack of indigenous participation on
forest area confirmation, which are implicating toward the criminalization of indigenous people
who are taking forest products and the high inequality gap between the issuance of business
permit and the management permit for indigenous people. These facts are inconsistent with the
values of humanity, democracy and social justice as contained under Pancasila. Pancasila
should be perceived as a system or a unified whole, thus the inconsistency against one or some
values is an inconsistency toward Pancasila as a whole. Thus, the implementation of regulation
on the Recognition of Indigenous Forest Management Rights has not yet in harmony with
Pancasila values.
Abstrak
Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk mengelola hutan mulai mendapatkan titik terang dalam
sistem hukum di Indonesia semenjak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 35/PUU-IX/ 2012. Putusan ini mengubah ketentuan Undang-Undang Kehutanan dengan
memisahkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Akan tetapi, Putusan MK tersebut
ternyata tidak menyelesaikan seluruh permasalahan pengakuan hak masyarakat adat untuk
mengelola hutan di wilayah ada masing-masing. Pengakuan hutan adat harus melalui prosedur
administratif berupa dibentuknya Peraturan Daerah (Perda) oleh pemerintah setempat, yang
memerlukan proses panjang. Melihat permasalahan tersebut, tujuan dari artikel ini adalah
152
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
mengkaji implementasi aturan pengakuan Hak masyarakat adat untuk mengelola hutan dengan
nilai-nilai Pancasila sebagai segala sumber hukum negara. Metode penelitian dalam tulisan ini
adalah yuridis-normatif, yang menggunakan bahan sekunder (peraturan dan literatur) sebagai
bahan analisis. Artikel ini membedah dua instrumen Undang-Undang yang menjadi fokus kajian,
yaitu UU Kehutanan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus), beserta beberapa peraturan
turunannya. Implementasi kedua Undang-Undang tersebut belum mampu menjamin hak-hak
masyarakat adat dalam mengelola hutan karena prosedur pengakuan hutan adat yang masih
berbelit dan tidak terlalu mempertimbangkan sumber daya masyarakat adat, kurangnya
partisipasi masyarakat adat dalam pengukuhan kawasan hutan yang berimplikasi pula terhadap
kriminalisasi masyarakat adat yang mengambil hasil hutan dan masih tingginya ketimpangan
antara pemberian izin usaha bagi korporasi dan izin pengelolaan hutan bagi masyarakat adat.
Kenyataan ini tidak selaras dengan nilai Kemanusiaan, Kerakyatan atau Demokrasi dan Keadilan
Sosial yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila harus dilihat sebagai suatu sistem atau
kesatuan yang utuh, sehingga ketidakselarasan terhadap salah satu atau beberapa sila merupakan
ketidaksesalarasan terhadap Pancasila secara keseluruhan. Oleh karena itu, implementasi aturan
Pengakuan Hak Mengelola Hutan Masyarakat Adat belum dapat dikatakan selaras dengan nilai-
nilai Pancasila.
153
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
154
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
155
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
156
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
157
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
158
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
159
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
dalam UU P3H yang mengatur bahwa waktu pemberian izin yang diatur
masyarakat yang telah melakukan secara formal dengan kenyataan di
kegiatan di dalam kawasan hutan lapangan dalam mengajukan HKm,
dikecualikan dari sanksi dengan syarat hutan adat dan hutan desa, misalnya
bahwa mereka dapat membuktikan HKm di Bengkulu yang memakan
telah tinggal di dalam dan/atau sekitar waktu 6 tahun, hutan desa yang
kawasan hutan paling singkat 5 (lima) mencapai 1-3 tahun dan hutan adat
tahun secara terus menerus dengan bisa mencapai waktu 15 tahun.
luasan paling banyak 5 (lima) hektar. Padahal, masyarakat adat mempunyai
Terhadap nilai dari sila kelima, kewajiban yang sama seperti
yaitu keadilan. Nilai-nilai keadilan perusahaan untuk membayar pungutan
yang harus terwujud dalam hidup Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
bersama adalah meliputi (1) keadilan dan Dana Reboisasi (DR) kepada
distributif, yaitu suatu hubungan negara. Berdasarkan Pasal 182 dan
keadilan antara negara terhadap 183 PP 23/2021, masyarakat hukum
warganya, dalam arti pihak negaralah adat hanya dikecualikan dari pungutan
yang wajib memenuhi keadilan dalam PSDH dan DR selama kayu yang
bentuk keadilan membagi, dalam diambil dimanfaatkan untuk
bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi, kebutuhan sendiri dan tidak
serta kesempatan dalam hidup bersama diperdagangkan.
yang didasarkan atas hak dan Sementara itu, di Papua, belum
kewajiban, (2) keadilan legal (keadilan ada satupun izin hutan adat yang
bertaat), yaitu suatu hubungan dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
keadilan antara warga negara terhadap Sebagai perbandingan, hingga akhir
negara dan dalam masalah ini pihak 2017, pemerintah sudah menerbitkan
wargalah yang wajib memenuhi 20 izin konsesi hutan alam seluas
keadilan antara warga negara terhadap 3.414.350 hektar dan 8 izin konsesi
negara dam dalam ini pihak wargalah hutan tanaman seluas 1.197.055 hektar
yang wajib memenuhi keadilan dalam (Muhajir & Fitra, 2018). Selain itu,
bentuk mentaati peraturan perundang- izin IUPHHK-MHA yang diterbitkan
undangan yang berlaku dalam negara, oleh Gubernur kepada masyarakat
(3) keadilan komutatif, yaitu suatu belum dapat diusahakan karena
hubungan keadilan antara warga terbentur dengan keberatan dari
negara satu dengan lainnya secara Pemerintah Pusat (Muhajir & Fitra,
timbal balik (Kaelan, 2008). 2018). Hal ini dikarenakan sistem
Artikel ini akan menekankan administrasi perkayuan nasional yang
pembahasan terhadap keadilan belum mengenal IUPHHK-MHA
distributif, dimana pihak negara yang sebagai izin konsesi yang sah. Sistem
harus secara aktif memenuhi keadilan administrasi perkayuan seperti
bagi seluruh golongan masyarakat. Di ketentuan mengenai perencanaan dan
Indonesia, perolehan formalitas lahan pengelolaan hutan, serta
oleh komunitas adat ataupun penatausahaan kayu merupakan bagian
masyarakat setempat rata-rata penting dari aspek legalitas kayu.
memakan waktu hingga 15 tahun Apabila pemegang IUPHHK-HA tidak
sedangkan perusahaan hanya perlu mengikuti administrasi perkayuan
memakan waktu rata-rata 5 tahun tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
(Notess, et.al, 2018). Penelitian lain kayu tersebut ilegal karena tidak
(Andiko, 2017) menunjukkan adanya mengikuti aturan yang berlaku. Fakta
ketimpangan yang besar antara jangka ini menunjukkan bahwa terjadi
160
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
161
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162
Keselerasan Implementasi Aturan Pengakuan Hak Masyarakat Adat untuk Mengelola Hutan terhadap Nilai-Nilai
Pancasila
162
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, Oktober 2021, halaman 152-162