You are on page 1of 16

Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 1

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


MENGENAI STATUS HUTAN ADAT SEBAGAI HUTAN HAK

THE IMPLICATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION ON


THE STATUS OF TRADITIONAL FOREST AS ENTITLEMENT FOREST

Dian Cahyaningrum*
(Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI, Gedung Nusantara I Lt.2,
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270, Indonesia,
e-mail: cahyaningrum@yahoo.com)

Naskah diterima: 29 Januari 2015, direvisi: 7 Februari 2015,


disetujui: 20 Februari 2015

Abstract
The Constitutional Court’s Verdict No. 35/PUU-X/2012 which declared that the forest of indigenous people’ communal right is no
longer categorized as state forest can cause problem. This article discuss the problems produced by that Verdict as part of a normative,
as well as empirical, legal research conducted in 2014, using both primary and secondary data, which is qualitatively analyzed. Based
on research result that the Constitutional Court’s Verdict gives condition to create regional regulation (Perda) which acknowledges the
existence of Indegenous Peoples and their jurisdiction which has not yet established both in Riau and Papua Province until recently.
It also argues that empirically, the Constitutional Court’s Verdict can bring about negative implication which has been prevented and
handled by the government. To optimally recognize and protect the Indegenous Peoples, it is therefore necessary to create the Perda
of acknowledges the existence of Indigenous Peoples and their jurisdiction make Law on Recognition and Protection of the Rights of
Indigenous Peoples and amend law No. 41/1999.
Keywords: Constitutional Court Decision, customary law, traditional society, traditional forest, entitlement forest, recognition of
customary law, protection of customary law

Abstrak
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat tidak lagi berstatus sebagai hutan negara, melainkan hutan hak,
dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah. Artikel ini membahas masalah tersebut, sebagai penelitian yuridis normatif dan empiris,
dengan menggunakan data primer dan sekunder yang dianalisa secara kualitatif.Hasil penelitian menunjukkan, Keputusan MK No.
35/PUU-X/2012 mengakui hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya. Namun pengakuan tersebut mempersyaratkan adanya
perda penetapan masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya yang sampai sekarang belum terbentuk baik di Riau maupun di
Papua. Pada tataran empiris, Putusan MK tersebut juga dapat menimbulkan implikasi negatif, yang diupayakan oleh pemerintah
untuk dicegah dan ditangani. Agar pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dapat dilakukan secara optimal, maka perlu
segera dibentuk perda penetapan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, dan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999.
Kata kunci: Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, masyarakat hukum adat, hutan adat, hutan hak, pengakuan hukum adat, perlindungan
hukum adat.

I. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur


A. LatarBelakang dalam undang-undang”.
Meskipun Konstitusi mengakui keberadaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
masyarakat hukum adat, namun sampai saat
Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) mengakui
ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah
dan menghormati keberadaan masyarakat hukum
masyarakat hukum adat di Indonesia. Berbagai
adat beserta wilayah adatnya. Pengakuan dan
lembaga menyebutkan angka yang berbeda-beda.
penghormatan tersebut disebutkan dalam Pasal
Menurut Departemen sosial, hingga tahun 2000
18B ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi
kelompok komunitas adat terpencil (KAT) tercatat
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
sebanyak 242.514 kepala keluarga (KK) atau
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
1.212.575 jiwa yang tersebar di 18 provinsi. Populasi
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
kebanyakan terdapat di Provinsi Papua, Kalimantan,
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
2 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

Sumatera, dan Sulawesi. Pada tahun 2006, adatnya dan adanya penolakan dari masyarakat
Departemen Sosial melakukan pemetaan kembali hukum adat terhadap status hutan adat sebagai
yang kemudian dimutakhirkan pada tahun 2008 dan hutan negara dalam Undang-Undang Nomor 41
menghasilkan jumlah populasi KAT sebanyak 229.479 Tahun 1999.
KK. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Puncak penolakan adalah Undang-Undang
Daerah Tertinggal menyebutkan jumlah penduduk Nomor 41 Tahun 1999 diajukan judicial review ke MK
yang tinggal di desa hutan mencapai 33.512.845 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
jiwa. Sementara menurut Aliansi Masyarakat Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu
Nusantara (AMAN), jumlah masyarakat adat di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan Kesatuan
Indonesia sebanyak 80 juta jiwa.1 Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu Kabupaten
Meskipun belum ada jumlah yang pasti, data dari Lebak Provinsi Banten. Atas gugatan tersebut, pada
berbagai lembaga tersebut menunjukkan keberadaan tanggal 16 Mei 2013, dalam Putusan MK. Nomor 35/
masyarakat hukum adat di Indonesia masih ada PUU-X/2012, MK memutuskan untuk mengabulkan
dan tersebar di berbagai wilayah, diantaranya di permohonan pemohon untuk sebagian, yang intinya
Provinsi Papua, Kalimantan, Sumatera, Riau, Jawa, adalah hutan adat tidak lagi berstatus sebagai hutan
dan Sulawesi. Mereka memiliki hak tradisional negara, melainkan berstatus sebagai hutan hak.3
yang dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
1945, diantaranya hak atas hutan adat. Namun hak dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah,
masyarakat hukum adat atas hutan adatnya tidak diantaranya adanya upaya dari sebagian kalangan
diakui dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 masyarakat untuk memperjelas batas-batas wilayah
tentang Kehutanan. Dalam Undang-Undang Nomor adat di lapangan secara fisik dan mengambil alih
41 Tahun 1999, hutan adat tidak berstatus sebagai tanah-tanah adat yang diatasnya sudah diberikan
hutan hak, melainkan sebagai hutan negara. Hal ini izin kepada pihak ketiga sehingga dapat memicu
terlihat secara jelas dalam Pasal 1 angka 6 Undang- terjadinya konflik sosial. Selain itu juga muncul
Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang memberikan berbagai isu hukum yang belum dapat terjawab,
pengertian hutan adat sebagai hutan negara yang diantaranya identifikasi masyarakat hukum adat,
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. batasan kewenangan masyarakat hukum adat
Begitupula dalam Penjelasan Pasal 5 Undang- dalam mengelola hutan adatnya yaitu sejauhmana
Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga dinyatakan masyarakat hukum adat dapat mengalihkan atau
bahwa hutan adat merupakan hutan negara yang menyewakan hutan adatnya kepada pihak lain
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat dan dengan mekanisme seperti apa, sejauhmana
hukum adat (rechtsgemeenschap). Dimasukkannya kewenangan masyarakat hukum adat untuk dapat
hutan adat dalam pengertian hutan negara tersebut mengalihkan hutan adatnya menjadi non hutan, dan
sebagai konsekuensi dari adanya hak menguasai oleh bagaimana bentuk formal pengakuan negara atas
negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat hukum
pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara adat. Masalah lainnya adalah kelestarian hutan adat
Kesatuan Republik Indonesia.2 dikhawatirkan dapat terancam karena hutan adat
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang beralih fungsi dari hutan lindung menjadi lahan yang
Nomor 41 Tahun 1999, dikuasainya hutan adat oleh diusahakan oleh masyarakat hukum adat seperti
negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah pertanian atau perkebunan.
untuk mengatur dan menetapkan hubungan-
hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta B. Perumusan Masalah
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai Berdasarkan latar belakang masalah maka
kehutanan. Ketentuan inilah yang menjadi landasan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah
yuridis bagi Pemerintah untuk menyerahkan hutan bagaimanakah implikasi Putusan MK Nomor 35/
adat kepada penanam modal untuk diusahakan. Hal PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat tidak lagi
inilah yang seringkali menjadi penyebab munculnya berstatus sebagai hutan negara, melainkan sebagai
konflik antara masyarakat hukumadat dan penanam hutan hak. Permasalahan tersebut dapat dijabarkan
modal (pengusaha) yang memanfaatkan hutan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1
Jaringan Tata Kelola Kehutanan, Masyarakat Adat: Mencari 1. Bagaimana pengakuan dan perlindungan negara
Format Hukum Hak atas Sumber Daya Alam, (Online), terhadap hak masyarakat hukum adat atas
(http://tatakelolahutan.net/masyarakat-adat-mencari-
format-hukum-hak-atas-sumber-daya-alam/, diakses Lihat: Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 35/
3

tanggal 14 April 2014). PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999



2
Lihat: Penjelasan Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999. Terhadap UUD Tahun 1945.
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 3
hutan adatnya pasca Putusan MK Nomor 35/ kekayaannya sendiri berupa benda-benda, baik
PUU-X/2012? kelihatan maupun tidak kelihatan. Lebih lanjut, Ter
2. Adakah implikasi negatif dari Putusan MK Nomor Haar menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat
35/PUU-X/2012? ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:4
3. Bagaimana upaya pemerintah untuk mencegah 1. Faktor teritorial; terbentuk karena adanya rasa
dan/atau mengatasi implikasi negatif dari keterikatan orang-orang dengan wilayah yang
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut? ditempati.
2. Faktor geneologis; yaitu masyarakat hukum
C. TujuandanKegunaan terbentuk sebagai orang yang berasal dari satu
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah keturunan/trah.
untuk mengetahui pengakuan dan perlindungan 3. Faktor campuran; terbentuk karena campuran
negara terhadap hak masyarakat hukum adat antara faktor teritorial dan geneologis.
atas hutan adatnya pascaPutusan MK Nomor 35/ Contohnya adalah Euri di Nias, Uma di Mentawai,
PUU-X/2012; implikasi negatif dari putusan MK dan Nagari di Minangkabau.
Nomor 35/PUU-X/2012, dan upaya yang dilakukan Masyarakat hukum adat memiliki hak ulayat
oleh Pemerintah untuk mencegah dan/atau atau hak adat atas tanah di suatu daerah tertentu.
mengatasi implikasi negatif tersebut. C.C.J. Massen dan A.p.G. Hens sebagaimana
Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dikutip oleh Eddy Ruchijat merumuskan hak ulayat
adalah dapat menambah ilmu pengetahuan dan (beschikkingrecht) sebagai hak desa menurut adat
wawasan mengenai hutan adat. Sedangkan pada dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam
tataran praktis, penelitian ini dapat menjadi lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-
bahan masukan bagi anggota DPR RI baik dalam anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang
melaksanakan fungsi pengawasan maupun legislasi, asing) dengan membayar kerugian kepada desa,
khususnya di bidang kehutanan dan perlindungan dalam hal mana desa adalah banyak turut campur
terhadap hak masyarakat hukum adat. dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung
jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ
D. KerangkaPemikiran yang belum dapat diselesaikan.5
Sebagai negara kesatuan, Indonesia mengakui Menurut Maria S.W. Sumardjono, hak ulayat
dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat dikatakan ada jika memenuhi indikator atau kriteria
beserta hak-hak adatnya termasuk hak atas hutan sebagai berikut:6
adatnya. Pengakuan dan perlindungan tersebut a. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi
bahkan tertuang dalam Konstitusi yang menjadi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat;
sumber hukum peraturan perundang-undangan b. adanya tanah/wilayah dengan batas-batas
yang berlaku di Indonesia, yaitu Pasal 18B ayat (2) tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang
UUD Tahun 1945. Sebagai penjabaran dari Pasal merupakan objek hak ulayat;
18B ayat (2)UUD Tahun 1945, Pasal 6 ayat (1) c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang untuk melakukan tindakan-tindakan yang
Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa dalam berhubungan dengan tanah, sumber daya alam
rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan lain, serta perbuatan-perbuatan hukum.
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat 4
Inosentius Samsul, “Perubahan Pengaturan tentang Desa
dan pemerintah. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) Undang- dan Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sebagai
Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Desa Adat Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk tentang Desa”, dalam Dr. St. Laksanto Utomo, S.H.,M.H
(Editor), Eksistensi Hak Ulayat Dalam Sistem Hukum
hak atas tanah ulayatnya dilindungi selaras dengan Nasional, Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan
perkembangan zaman. Berdasarkan Pasal 8 Undang- Azza Grafika, 2013, hlm. 6-7.
Undang Nomor 39 Tahun 1999, perlindungan, 5
C.C.J. Massen dan A.P.G. Hens sebagaimana dikutip Eddy
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi Ruchijat dalam Tim Peneliti Universitas Nusa Cendana,
manusia merupakan tanggung jawab pemerintah di Laporan Hasil Penelitian “Penguasaan Hak Ulayat (Tanah
Suku) dalam Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Nusa
samping juga masyarakat.
Tenggara Timur”, Kupang: Kerjasama Universitas Nusa
Masyarakat hukum adat, diartikan oleh Ter Haar Cendana dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
sebagai adatrechtgemeenschap, yaitu sekumpulan (DPD RI), 2009, hlm. 9
orang-orang teratur, bersifat tetap serta memiliki 6
Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum
kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus Adat Nusantara, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010, hlm 15.
4 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

Senada dengan Maria S.W. Sumardjono, Boedi Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. Hak menguasai
Harsono juga mengemukakan ada 3 unsur pokok yang melekat pada masyarakat adat terhadap tanah
yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya adatnya tersebut berisi wewenang untuk:9
suatu hak ulayat disuatu tempat tertentu, yaitu:7 1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan
a. Unsur masyarakat, yaitu sekelompok orang yang tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam dan
merasa terkait tatanan hukum adatnya sebagai lain-lain) dan pemeliharaan tanah.
warga bersama suatu persekutuan hukum 2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum
tertentu yang mengakui dan menerapkan antara orang dengan tanah (memberikan hak
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut tertentu kepada subyek tertentu)
dalam kehidupan sehari-hari; 3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum
b. Unsur wilayah, yaitu adanya tanah ulayat antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para hukum yang berkenaan dengan tanah seperti:
warga persekutuan hukum tersebut, sekaligus jual beli, warisan, dan lain-lain.
sebagai tempat anggota masyarakat hukum adat
Selain tanah ulayat atau tanah adat, masyarakat
yang bersangkutan untuk mengambil keperluan
hukum adat juga memiliki hutan adat. Menurut WALHI
hidupnya sehari-hari; dan
yang dimaksud dengan hutan adat adalah tempat
c. Unsur hubungan antara masyarakat adat
dan atau hunian dan sumber kehidupan masyarakat
dengan wilayahnya, yaitu adanya tatanan
hukum adat, dimana sebagian atau keseluruhan
hukum adat tentang pengurusan, penguasaan
faktor eksistensi suatu peradaban terbentuk dan
dan penggunaan tanah ulayatnya masih berlaku
bergantung. Hutan adat dapat dibuktikan dengan
dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum
verifikasi hukum adat dan korelasi eksistensi hutan
yang bersangkutan.
dengan kultur komunitas pemangkunya.10 Hutan
Berpijak pada indikator atau kriteria keberadaan adat perlu dikelola dengan baik. Dalam pengelolaan
hak ulayat tersebut, nampak bahwa hak ulayat hutan adat tersebut, masyarakat hukum adat
menunjukkan adanya hubungan hukum antara ditempatkan sebagai pelaku utama dari kegiatan
masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya pengelolaan. Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang
atau yang sering disebut dengan tanah adat/tanah Nomor 41 Tahun 1999, pengelolaan kehutanan
suku/tanah ulayat. Adapun yang dimaksud dengan meliputi kegiatan:
tanah suku (tanah adat/tanah ulayat) adalah a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
tanah yang dikuasai oleh persekutuan masyarakat hutan;
hukum adat yang terbentuk berdasarkan kesamaan b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
tempat tinggal (teritorial) maupun berdasarkan hutan;
kesamaan keturunan (geneologis). Tanah tersebut c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan
mempunyai nilai religius magis karena ada hubungan d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
yang erat dengan sistem nilai, kepercayaan, dan
struktur kekerabatan maupun teritorial masyarakat II. METODEPENELITIAN
setempat. Penguasaannya pun telah turun temurun, A. Waktu dan Tempat
diakui oleh masyarakat setempat sekalipun hanya
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis
didasarkan pada kebiasaan dan adat istiadat yang
normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis
berlaku di wilayah tersebut.8
normatif yang dimaksudkan adalah penelitian
Menurut Maria. S.W. Sumardjono, hubungan
terhadap sistematika hukum.11 Penelitian terhadap
hukum antara masyarakat hukum adat dan tanah
sistematika hukum dapat dilakukan terhadap
adatnya adalah hubungan menguasai, bukan
peraturan perundang-undangan tertentu atau
hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep
hukum tertulis12 Adapun hukum tertulis yang
hubungan antara negara dengan tanah menurut
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah peraturan

7
Boedi Harsono dalam Tim Peneliti Universitas Lambung perundang-undangan yang mengatur kehutanan
Mangkurat, Laporan Hasil Penelitian “Pengakuan dan
Penghormatan Negara terhadap Masyarakat Adat serta
9
Ibid, hlm. 10
Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan”,
10
Zenzi Suhadi (Manager Kampanye WALHI Nasional Jakarta),
Banjarmasin: Kerjasama PPUU Dewan Perwakilan Daerah Hutan Adat Dalam Definisi Hukum dan Kehidupan Adat,
RI dengan Universitas Lambung Mangkurat, 2009, hlm. 10. makalah dipresentasikan dalam FGD yang diselenggarakan

8
Tim Peneliti Universitas Nusa Cendana, Laporan Hasil oleh P3DI Setjen DPR RI Jakarta di Ruang Rapat Kapus P3DI
Penelitian “Penguasaan Hak Ulayat (Tanah Suku) dalam Jakarta, 13 Agustus 2014
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Nusa Tenggara
11
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar
Timur”,op.cit., hlm. 3 Grafika, 2009, hlm. 24.
12
Ibid., hlm. 25.
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 5
dan masyarakat hukum adat. Penelitian ini dikenal Kantor Pertanahan, Anggota MRP/Tokoh Adat,
juga dengan istilah penelitian doktrinal.13 Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dosen
penelitian yuridis empiris adalah penelitian terhadap Fakultas Hukum Universitas Riau, dan Dosen Fakultas
efektivitas hukum, yaitu penelitian yang membahas Hukum Universitas Cendrawasih. Selain wawancara,
bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.14 pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Riau pada Group Discussion (FGD).
tanggal 8 sampai dengan 14 September 2014 dan Adapun data sekunder terdiri dari bahan hukum
Provinsi Papua pada tanggal 27 Oktober sampai primer (primary sources) dan bahan hukum sekunder
dengan 2 November 2014. Pemilihan Provinsi Riau (secondary sources). Bahan hukum primer adalah
didasarkan pada pertimbangan salah satu pihak bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh
yang mengajukan judicial review berasal dari Riau, lembaga atau pihak yang berwenang.15 Bahan hukum
yaitu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau sehingga peraturan perundang-undangan yang berkaitan
sangat menarik untuk melihat tindakan yang diambil dengan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
masyarakat hukum adat dimaksud terkait hutan Nomor 35/PUU-X/2012. Sedangkan Bahan hukum
adatnya setelah Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku,
Sedangkan pemilihan Provinsi Papua sebagai artikel, makalah, dan sebagainya yang diperoleh dari
lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan perpustakaan, internet, surat kabar, dan sebagainya.
ada otonomi khusus di Papua berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi C. Metode Analisis Data
Khusus Bagi Provinsi Papua. Sebelum adanya Penelitian ini menggunakan metode pendekatan
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, Papua telah kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu cara
meminta pengelolaan hutan menjadi kewenangan analisis hasil penelitian yang menghasilkan data
Pemprov Papua berdasarkan Undang-Undang deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh
Nomor 21 Tahun 2001. Namun pemerintah pusat informan secara tertulis atau lisan serta juga tingkah
menolak permintaan tersebut dengan alasan hutan laku yang nyata dari informan diteliti dan dipelajari
merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan sebagai sesuatu yang utuh. Dalam pendekatan
berdasarkan prinsip Negara Kesatuan Republik kualitatif, yang dipentingkan adalah kualitas data,
Indonesia (NKRI). Oleh karena itu sangat menarik artinya peneliti melakukan analisis terhadap data
untuk meneliti kelanjutan dari permintaan Pemprov atau bahan-bahan hukum yang berkualitas saja.16
Papua pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012.
Adapun instansi di daerah yang dikunjungi III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
adalah Kantor Gubernur, Kantor Dinas Kehutanan,
A. Pengakuan dan Perlindungan Negara terhadap
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) di
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Hutan
Provinsi, Kantor Pertanahan di Kabupaten, Majelis
Adatnya.
Rakyat Papua (MRP), Kantor Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang aktif dalam pembelaan hak Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi
masyarakat adat dan/atau pelestarian lingkungan; memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat
dan Fakultas Hukum (Universitas Riau,Riau dan hukum adat atas hutan adatnya. Pengakuan tersebut
Universitas Cendrawasih, Papua). dapat dilihat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun
1945. Namun pengakuan hak masyarakat hukum adat
B. Cara Pengumpulan Data yang ada dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945
merupakan pengakuan bersyarat, yaitu ”sepanjang
Penelitian ini menggunakan data primer
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
tradisionalnya masih hidup”.
wawancara secara mendalam dengan menggunakan
Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum
pedoman wawancara yang dilakukan dengan pihak-
adat atas hutan adatnya mendapatkan penguatan
pihak yang berkompeten yaitu: pejabat/pegawai
dengan dikabulkannya judicial review atas ketentuan
Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Kanwil BPN,
hutan adat yang ada dalam Undang-Undang

13
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode
Nomor 41 Tahun 1999 terhadap UUD Tahun 1945.
dan Dinamika Masalahnya (70 Tahun Prof. Soetandyo 15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Wignjospebroto). Cet. Ke-1, diedit oleh Ifdhal Kasim, Rineka Cipta,1998, hlm.103-104.
Winarno Yudho, Sandra Moniaga, Noor Fauzi, Ricardo 16
Mukti Fajar dan Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum
Simarmata, dan Eddie Sius RL, Jakarta: ELSAM dan HUMA, Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010,
2002, hlm. 147-160. hlm. 192.
14
H.Zainuddin Ali, op.cit., hlm.31.
6 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

Dalam putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, MK lagi berstatus sebagai hutan negara, melainkan
berpendapat bahwa masyarakat hukum adat secara berstatus sebagai hutan hak.
konstitusional diakui dan dihormati sebagai subyek Pengakuan MK terhadap hak masyarakat hukum
hukum yang dapat menyandang hak dan dibebani adat atas hutan adatnya mendapat sambutan baik
kewajiban. Sebagai subyek hukum, masyarakat dari sebagian kalangan masyarakat yang menaruh
hukum adat harus mendapat perhatian seperti perhatian terhadap pengakuan dan perlindungan
halnya subyek hukum yang lain ketika hukum hendak hak masyarakat hukum adat. Mereka menganggap
mengatur pengalokasian sumber-sumber kehidupan, putusan MK sebagai kemenangan besar dari
termasuk hutan. Namun Undang-Undang Nomor 41 perjuangan panjang masyarakat hukum adat atas
Tahun 1999 memperlakukan masyarakat hukum hutan adatnya yang selama ini sering diabaikan
adat terkait hutan berbeda dengan subyek hukum oleh negara.19 Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
lainnya yaitu negara dan pemegang hak atas tanah. diharapkan membawa beberapa implikasi positif
Hak subyek hukum yang lain atas hutan dalam sebagai berikut:20
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 cukup jelas, a. Adanya pengakuan negara terhadap hak
sementara hak masyarakat hukum adat tidak jelas.17 masyarakat hukum adat.
Dengan perlakuan berbeda tersebut, b. Adanya fasilitasi pemerintah atas pemberdayaan
masyarakat hukum adat secara potensial atau masyarakat hukum adat.
bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual c. Pelestarian dan memajukan adat dan tradisi
kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber budaya masyarakat hukum adat.
daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak d. Masyarakat hukum adat menjadi subyek
tradisionalnya sehingga masyarakat hukum adat pembangunan nasional.
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan e. Ada pemisahan antara hutan adat dengan
hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan kawasan hutan yang dikelola Kementerian
seringkali hilangnya hak masyarakat hukum adat Kehutanan.
dimaksud dengan cara sewenang-wenang sehingga
Namun seperti halnya Konstitusi, pengakuan
tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang
MK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan
melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Tidak
adatnya juga merupakan pengakuan bersyarat,
diakuinya hak masyarakat hukum adat secara jelas
yaitu ”sepanjang kenyataannya masyarakat hukum
dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
1999 mengakibatkan masyarakat hukum adat
keberadaannya”. Persyaratan tersebut dapat
berada dalam posisi yang lemah ketika berhadapan
dilihat dalam amar putusan MK terkait Pasal 5 ayat
dengan negara dengan hak menguasai yang sangat
(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. MK
kuat. Penguasaan negara atas hutan seharusnya
menyatakan bahwa frasa ”dan ayat (2)” dalam Pasal 5
dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya
ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak
alam secara adil untuk sebesar-besar kemakmuran
mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga
rakyat.18
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
Berpijak pada pendapatnya tersebut dan
1999 menjadi ”Pemerintah menetapkan status hutan
mengingat Konstitusi juga telah memberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan
pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan
adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat
19
Beberapa nara sumber yang mengungkapkan rasa suka
suatu masyarakat hukum adat maka MK berpendapat citanya adalah Pendeta Hotni Simbiak (Wakil Ketua I MRP
bahwa menempatkan hutan adat sebagai bagian dari Kelompok Kerja Agama), Rode Muyasin (Anggota MRP
dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap dari Kelompok Kerja Perempuan), H. Bustamir (salah satu
hak-hak masyarakat hukum adat. Oleh karena itu Penggugat dari Masyarakat Kenegerian Kuntu Kabupaten
Kampar dan Tokoh Masyarakat Adat Kabupaten Kampar-
MK memutuskan untuk menerima gugatan judicial Riau), Ronny (Tokoh Adat dari Kekhalifan Songgan,
review ketentuan hutan adat yang ada dalam Undang- Kabupaten Kampar-Riau), Masriadi (Tokoh masyarakat
Undang Nomor 41 Tahun 1999 terhadap UUD Tahun hukum adat yang mendapatkan kalpataru karena
1945. MK mengembalikan hak masyarakat hukum pengelolaan hutan adat Rumbio), dan Efri Subayang
adat atas hutan adatnya sehingga mereka dapat (Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara- Wilayah Riau).
memanfaatkan hutan adatnya secara optimal untuk

20
Muhammad Zaid (Direktur Pengukuhan, Penatagunaan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hutan adat tidak dan Tenurial Kawasan Hutan Ditjen Planologi Kehutanan),
bahan FGD mengenai “Pelaksanaan Putusan MK Nomor

17
Putusan MK Nomor 35/PUU-V/2012 tentang Pengujian
35/PUU-X/2012”, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian
Judicial Review UU Nomor 41 Tahun 1999 terhadap UUD
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, di
Tahun 1945.
Ruang Rapat Kapus P3DI, Jakarta, 13 Agustus 2014.

18
Ibid.
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 7
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya sangatlah kuat. Bahkan orang Papua memiliki filosofi
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih bahwa tanah adalah air susu ibu. Artinya tanah
ada dan diakui keberadaannya”. memberikan kehidupan dan menjaga kelangsungan
Berdasarkan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) hidup masa depan orang Papua. Hutan adat menjadi
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, masyarakat sumber kehidupan, tempat berburu, mencari makan,
hukum adat diakui keberadaannya jika menurut dan terdapat tempat sakral untuk peribadatan.
kenyataannya memenuhi unsur-unsur antara lain: Dengan demikian jika hutan adat hancur maka
a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban kehidupan juga akan hancur. Untuk itu, tanah ulayat
(rechtsgemeenschap); b) ada wilayah hukum adat beserta hutan adatnya tidak dapat diperjualbelikan
yang jelas; c) ada pranata dan perangkat hukum, tanpa seizin masyarakat hukum adat.22
khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan Meskipun secara fisik keberadaan masyarakat
d) masih mengadakan pemungutan hasil hutan hukum adat beserta hutan adatnya dapat dibuktikan,
di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan namun tidak secara serta merta hutan adat tersebut
kebutuhan hidup sehari-hari. dapat dikukuhkan dan dikeluarkan dari kawasan
Unsur-unsur yang menunjukkan keberadaan hutan. Berdasarkan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang
masyarakat hukum adat tersebut pada dasarnya Nomor 41 Tahun 1999, pengukuhan keberadaan
sama dengan indikator-indikator yang dikemukakan masyarakat hukum adat harus ditetapkan dengan
oleh Maria S.W. Sumardjono dan Boedi Harsono Peraturan Daerah (Perda). Sebagai penjabaran dari
untuk menunjukkan keberadaan hak ulayat atau Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
tanah ulayat, yaitu adanya masyarakat hukum adat, 1999, Pasal 24A Peraturan Menteri Kehutanan
adanya tanah ulayat, dan adanya hubungan antara Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan
masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya. Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/
Dilihat dari konteks kalimatnya, terlihat bahwa unsur- Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
unsur yang menunjukkan keberadaan masyarakat mengatur bahwa Perda Provinsi atau Kabupaten/
hukum adat dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Kota mengenai penetapan keberadaan masyarakat
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bersifat hukum adat memuat letak dan batas wilayah
kumulatif dan bukan alternatif. Ini berarti keempat masyarakat hukum adat yang dinyatakan secara jelas
unsur tersebut harus dipenuhi. dalam peta wilayah masyarakat hukum adat. Apabila
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum
hukum adat dan hutan adatnya dapat dibuktikan adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari
keberadaannya di lokasi penelitian. Masyarakat kawasan hutan.
hukum adat yang ada di Provinsi Riau diantaranya Selanjutnya sebagai pedoman untuk
adalah masyarakat hukum adat Kekhalifahan Kuntu memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap
dan masyarakat hukum adat Kekhalifahan Songgan.21 masyarakat hukum adat, Menteri Dalam Negeri
Sementara masyarakat hukum adat di Provinsi Papua telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam
diantaranya adalah Suku Asmat, Suku Amungme, Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Suku Dani, dan sebagainya. Bahkan menurut Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Pendeta Hotni Simbiak (Wakil I MRP dari Kelompok Hukum Adat. Berdasarkan Permendagri Nomor 52
Kerja Agama), ada sekitar 275 suku adat di Papua. Tahun 2014, pengakuan dan perlindungan terhadap
Masyarakat hukum adat tersebut memiliki tanah masyarakat hukum adat dilakukan melalui tahapan:
ulayat yang batas wilayahnya umumnya ditandai a. Identifikasi masyarakat hukum adat;
dengan tanda-tanda alam seperti pohon, sungai, b. Verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat;
gunung, dan sebagainya. Hutan adat terletak di dalam dan
tanah ulayat. Hubungan antara masyarakat hukum c. Penetapan masyarakat hukum adat.
adat dan tanah ulayatnya termasuk hutan adatnya
Penetapan pengakuan dan perlindungan

21
Dikemukakan oleh H. Bustamir (salah satu Penggugat dari masyarakat hukum adat dilakukan oleh Bupati/
Masyarakat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar dan Walikota dengan Keputusan Kepala Daerah. Dalam
Tokoh Masyarakat Adat Kabupaten Kampar-Riau), Ronny
(Tokoh Adat dari Kekhalifan Songgan, Kabupaten Kampar- 22
Pendeta Hotni Simbiak (Wakil Ketua I MRP dari Kelompok
Riau), Masriadi (Tokoh masyarakat hukum adat yang Kerja Agama) dan Rode Muyasin (Anggota MRP dari
mendapatkan kalpataru karena pengelolaan hutan adat Kelompok Kerja Perempuan), wawancara dilakukan di
Rumbio), dan Efri Subayang (Ketua Badan Pelaksana Harian kantor MRP, 29 Oktober 2014. Dikemukakan juga oleh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara - Wilayah Riau) pada Yosep S. Done, SSIT, M.Si (Kasi Pendaftaran Hak Atas Tanah
saat penyelenggaraan FGD tentang “Pelaksanaan Putusan Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura), wawancara
MK Nomor 35/PUU-X/2012”, di Kantor AMAN Riau, 11 dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura, 31
September 2014. Oktober 2014.
8 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

hal masyarakat hukum adat berada di dua atau dimaksud, suatu terobosan telah dilakukan oleh
lebih kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan Pemerintah Kabupaten Jayapura-Papua yaitu
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati
Keputusan Bersama Kepala Daerah. Nomor 319 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan
Mengingat Undang-Undang Nomor 41 Tahun Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten
1999 dan Permenhut Nomor P.62/Menhut-II/2013 Jayapura. SK tersebut dikeluarkan pada tanggal 24
menghendaki penetapan masyarakat hukum adat Oktober 2014, oleh karenanya tanggal 24 Oktober
dilakukan dengan Perda Provinsi atau Kabupaten/ 2014 disebut sebagai hari kebangkitan masyarakat
Kota, maka pengakuan dan perlindungan Kepala hukum adat di Jayapura.24 SK Bupati Nomor 319
Daerah terhadap masyarakat hukum adat yang Tahun 2014 diserahkan secara simbolis dalam
tertuang dalam Keputusan Kepala Daerah perlu peringatan HUT Satu Tahun Kebangkitan Masyarakat
diatur lebih lanjut dalam Perda Kabupaten/Kota Adat dan Dua Tahun Kepemimpinan Bupati dan
mengenai penetapan masyarakat hukum adat. Wakil Bupati Jayapura.25 SK Bupati Nomor 319 Tahun
Perda Kabupaten/Kota tersebut harus memuat letak 2014 memberikan pengakuan kepada 9 wilayah
lokasi dan batas wilayah masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten
yang dinyatakan secara jelas dalam peta wilayah Jayapura, yaitu Oktim, Elseng, Demutru, Yokari,
masyarakat hukum adat. Dengan adanya Perda Tepra, Moi, Jouwwarry dan Tarpi, Ormu, dan Sentani.
Kabupaten/Kota mengenai penetapan masyarakat Meskipun Keputusan Bupati Jayapura Nomor
hukum adat beserta peta wilayah adatnya, barulah 319 Tahun 2014 selangkah lebih maju karena
Kementerian Kehutanan akan mengeluarkan hutan memberikan pengakuan lebih kongkrit kepada
adat dari kawasan hutan apabila hutan adat berada 9 wilayah masyarakat hukum adat yang ada di
dalam kawasan hutan. Jayapura, namun Keputusan tersebut belum disertai
Meskipun telah ada Permenhut Nomor P.62/ dengan peta wilayah adat. Kesembilan wilayah
Menhut-II/2013 dan Permendagri Nomor 52 Tahun masyarakat hukum adat hanya disebutkan secara
2014 yang memberikan pedoman dalam menetapkan rinci cakupan kampungnya. Misalnya, wilayah
masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya, masyarakat hukum adat Ormu meliputi kampung
namun dari hasil penelitian baik di Provinsi Riau Ormu Nachaibe/Ormu Kecil Ormu Warry/Ormu
maupun Papua belum ada Perda Provinsi dan/ Besar.26 Untuk itu, berpijak pada Pasal 67 ayat
atau Perda Kabupaten/Kota yang mengukuhkan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan
suatu masyarakat hukum adat beserta wilayah Permenhut Nomor P.62/Menhut-II/2013, Keputusan
adat/hutan adatnya.23 Perda di Riau dan Papua Bupati Jayapura Nomor 319 Tahun 2014 perlu
hanya mengatur hal-hal yang terkait dengan tanah ditindaklanjuti dengan pembuatan Perda Kabupaten
adat. Contoh Perda dimaksud di Riau adalah Perda Jayapura mengenai penetapan masyarakat hukum
Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang adat yang disertai dengan pembuatan peta wilayah
Hak Ulayat. Sedangkan di Papua, Peraturan Daerah adat untuk kesembilan wilayah masyarakat hukum
Khusus (Perdasus) yang mengatur tanah adat adalah adat yang menunjukkan secara jelas letak lokasi dan
Perdasus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 batas-batas wilayah adatnya. Setelah Perda tersebut
tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi dibentuk, selanjutnya disampaikan ke Kemenhut
Papua dan Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun untuk mendapatkan pengakuan.
2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Selama perda penetapan masyarakat hukum
dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat adat beserta peta wilayah adatnya belum terbentuk
Atas Tanah. Perda dan Perdasus tersebut dibentuk maka pengakuan dan perlindungan terhadap
sebelum Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. masyarakat hukum adat beserta hutan adatnya
Setelah Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, belum dapat dilakukan secara optimal. Kementerian
dalam rangka melaksanakan Putusan MK Kehutanan belum dapat mengukuhkan hutan adat
yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang

23
Tidak adanya perda penetapan masyarakat hukum adat
di Riau dikemukakan oleh Darwin (Kabid Penataan dan 24
Yance Tandong (Kabid Pembinaan Dinas Kehutanan
Perlindungan Hutan) dan M. Rizal (Kasi Perijinan dan Kabupaten Jayapura), wawancara dilakukan di Kantor
Penataan Kawasan Hutan) Dinas Kehutanan Kabupaten Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura, 31 Oktober 2014.
Kampar-Riau, wawancara dilakukan di Dinas Kehutanan 25
“Masyarakat Adat Jayapura Akui Sembilan Komunitas”,
Kabupaten Kampar-Riau, 12 September 2014. Sedangkan Kompas, 27 Oktober 2014
di Papua dikemukakan oleh Bambang (Kepala Bidang Hak 26
Kesembilan wilayah masyarakat hukum adat beserta
Tanah dan Sertifikat Tanah) dan Sutrahmad (Pegawai cakupan kampungnya dapat dlihat secara lengkap dalam
bagian Pengukuran dan Pemetaan Tanah) Kanwil BPN Lampiran Keputusan Bupati Jayapura Nomor 319 Tahun
Provinsi Papua, wawancara dilakukan di kantor Kanwil BPN 2014 tanggal 24 Oktober 2014.
Provinsi Papua, 30 Oktober 2014.
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 9
bersangkutan karena tidak ada kejelasan batas-batas menuntut perusahaan perkebunan mengembalikan
wilayah adatnya. Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau membayar sejumlah uang sebagai imbalan
juga belum dapat mengeluarkan sertifikat pemberian atau ganti atas penggunaan kawasan wilayah hukum
alas hak titel sebagai wilayah (hutan) hak milik adatnya.
masyarakat hukum adat karena belum ada kejelasan Pada tataran praktik, tuntutan masyarakat
batas-batas wilayah adatnya. Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak hanya terjadi pasca Putusan MK
hukum adat belum memiliki bukti yuridis formal Nomor 35/PUU-X/2012, melainkan telah terjadi
untuk dapat menuntut haknya dan memanfaatkan sebelum Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012.
hutan adatnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Tuntutan tersebut biasanya muncul karena
Hutan masih dikuasai oleh negara dan terbuka perusahaan perkebunan tidak mensosialisasikan dan
kemungkinan untuk diserahkan kepada penanam mengkomunikasikan usahanya kepada masyarakat
modal untuk diusahakan sebagaimana kasus-kasus hukum adat pada saat akan memulai usaha, tidak
yang telah terjadi sebelumnya. meminta izin pada masyarakat hukum adat, tidak
Berdasarkan hasil penelitian, tidak adanya membayar uang tumbuh sebagai ganti rugi dari
Perda yang disertai dengan peta wilayah adat kawasan hutan adat yang diusahakannya, dan/atau
disebabkan cukup sulit untuk membuat peta letak tidak menepati janji-janjinya kepada masyarakat
lokasi dan batas-batas wilayah adat, apalagi jika hukum adat, misalnya janji untuk membangun
batas-batas alam yang dikemukakan oleh tokoh- tempat ibadah, jalan, dan sebagainya. Bahkan
tokoh adat tidak ada lagi atau bergeser. Selain itu tuntutan tersebut bisa saja muncul meskipun uang
juga ada tumpang tindih wilayah adat antar suku ganti tumbuh telah diberikan karena ada warga
masyarakat hukum adat sehingga dikhawatirkan masyarakat hukum adat atau keturunan dari tetua
akan timbul konflik antar suku jika tidak berhati-hati adat yang merasa belum menerimanya.29
dalam menentukan batas-batas wilayah adat untuk Tidak jarang tuntutan masyarakat hukum
masing-masing suku.27 Faktor penyebab lainnya dan adat berakhir dengan konflik jika tidak dipenuhi
yang utama adalah tidak adanya niat baik (good perusahaan perkebunan. Alasan perusahaan
will) dari pemerintah daerah untuk melakukan perkebunan menolak tuntutan masyarakat hukum
proses penetapan masyarakat hukum adat beserta adat adalah kawasan yang diusahakannya masuk
wilayah adatnya. Tidak adanya niat baik dari pemda dalam wilayah izin (konsesi) yang diberikan
diantaranya terlihat dari tidak adanya tindak lanjut kepadanya, dan masyarakat hukum adat tidak dapat
dari Pemprov Riau terhadap hasil inventarisasi dan menunjukkan bukti legal formal bahwa kawasan
verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat yang tersebut masuk dalam wilayah adatnya. Sebagai
ada di Riau yang telah disampaikan oleh LSM AMAN contoh konflik yang terjadi di Riau adalah konflik
Riau.28 antara perusahaan perkebunan negara (PTPN V)
dengan masyarakat hukum adat di Kabupaten
B. Implikasi Negatif Putusan MK Nomor 35/ Kampar-Riau, sementara di Papua contohnya adalah
PUU-X/2012 konflik antara PTPN II (perusahaan perkebunan
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 kelapa sawit) dengan masyarakat hukum adat di
menguatkan pengakuan dan perlindungan negara Kabupaten Keerom-Papua, dan juga konflik antara
terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan PT. Sinar Mas (perusahaan perkebunan) dengan
adatnya. Namun dari hasil penelitian, Putusan MK masyarakat hukum ada.30 Sehubungan dengan hal
Nomor 35/PUU-X/2012 juga dapat menimbulkan ini, perda penetapan masyarakat hukum adat yang
berbagai implikasi negatif. Putusan MK Nomor35/ disertai dengan peta wilayah adatnya dirasa penting
PUU-X/2012 dapat memicu terjadinya konflik antara untuk dapat menjadi bukti keberadaan suatu
masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha yang masyarakat hukum adat.
memanfaatkan hutan adatnya, misalnya perusahaan Implikasi negatif lainnya yang dikhawatirkan
perkebunan. Konflik terjadi karena masyarakat terjadi dengan adanya Putusan MK Nomor 35/
hukum adat merasa mendapatkan legitimasi untuk 29
Rode Muyasin (Anggota Majelis Rakyat Papua/MRP dari

27
Pendeta Hotni Simbiak (Wakil Ketua I MRP dari Kelompok Kelompok Kerja Perempuan), wawancara dilakukan di
Kerja Agama) dan Rode Muyasin (Anggota MRP dari Kantor MRP pada tanggal 4 Oktober 2014, Dosen Fakultas
Kelompok Kerja Perempuan), wawancara dilakukan di Hukum Universitas Riau, wawancara dilakukan di Kantor
kantor MRP, Papua, 29 Oktober 2014. Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau, 9 September 2014,
28
Efri Subayang (Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN dan Yance Tandong (Kabid Pembinaan Dinas Kehutanan
Wilayah Riau), pada acara FGD tentang “Pelaksanaan Kabupaten Jayapura), wawancara dilakukan di Kantor
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012” di Kantor AMAN Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura, 31 Oktober 2014.
11 September 2014 30
Ibid
10 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

PUU-X/2012 adalah tanah ulayat dimana hutan adat yang membutuhkan kawasan yang cukup luas
tumbuh dijual kepada pihak ketiga untuk memenuhi maupun sebagai akibat illegal logging.33
desakan kebutuhan hidup, apalagi jika melihat Senada dengan Yance Tandong, Masriadi juga
kondisi ekonomi masyarakat hukum adat khususnya mengemukakan sampai saat ini tidak pernah terjadi
di Papua yang cukup minim. Tanah ulayat yang dijual kerusakan hutan yang disebabkan oleh masyarakat
adalah kawasan tanah ulayat yang diserahkan kepada hukum adat. Masyarakat hukum adat umumnya
seorang anggota masyarakat hukum adat untuk memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian
dikuasai dan dikelola guna memenuhi kebutuhan hutan adatnya mengingat hutan adat sangat penting
hidup. Penjualan tanah ulayat dilakukan tanpa fungsinya bagi mereka. Warga masyarakat hukum
sepengetahuan ketua adat atau pun persetujuan adat juga takut menebang pohon sembarangan
dari aggota masyarakat hukum adat lainnya sehingga di hutan adat karena percaya bahwa hutan adat
dapat menimbulkan konflik antara pembeli dengan memiliki nilai sakral sehingga takut mendapat petaka
masyarakat hukum adat yang tidak mengetahui jual jika menebangnya. Selain itu juga terdapat hukum
beli dimaksud. Selain faktor ekonomi, jual beli tanah adat yang ditaati dan benar-benar ditegakkan
ulayat dapat terjadi karena bujukan dari investor dengan baik sehingga hutan adat akan terjamin
kepada para tetua adat untuk menjual tanah kelestariannya. Sebagai contoh hutan Rumbio di
ulayatnya apalagi jika investor tersebut kesulitan Kabupaten Kampar-Riau yang kelestariannya terjaga
untuk mendapatkan izin kawasan dari pemerintah hingga saat ini, bahkan Masriadi telah mendapat
daerah setempat untuk melakukan suatu kegiatan penghargaan Kalpataru sebagai bentuk apresiasi
usaha.31 Namun baik di Provinsi Riau maupun di negara terhadapnya yang telah berhasil menjaga
Papua, sampai saat penelitian ini dilakukan belum kelestarian hutan adat Rumbio.34
ada pihak mana pun yang membuat sertifikat jual beli Dalam hukum adat, penebangan pohon hanya
tanah ulayat. Bahkan sebagai upaya untuk mencegah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
penjualan tanah ulayat, suatu masyarat hukum adat dan jumlahnya tidak terlalu banyak, misalnya
di Kabupaten Kampar-Riau telah mengirim surat untuk membangun rumah bagi warga masyarakat
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar untuk hukum adat yang tingkat perekonomiannya minim.
tidak mengizinkan atau mencegah jika ada pihak Penebangan pohon itu pun dilakukan setelah
yang menjual atau membeli tanah ulayat masyarakat mendapat ijin dari ketua adat. Pelanggaran terhadap
hukum adat dimaksud.32 ketentuan hukum adat tersebut dikenai denda 10
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga kali lipat dari harga pohon yang ditebangnya. Uang
dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya denda masuk ke kas adat dan digunakan untuk
kerusakan hutan adat sehingga kelestarian hutan adat kemanfaatan dan kesejahteraan bersama, misalnya
terancam. Kerusakan hutan adat yang disebabkan untuk membiayai acara adat, santunan bagi keluarga
masyarakat hukum adat bisa terjadi karena dari warga masyarakat hukum adat yang meninggal
penebangan pohon tidak sesuai aturan, penjualan dunia, membangun sarana bersama, dan sebagainya.
kayu hutan, hutan beralih fungsi menjadi lahan Warga masyarakat hukum adat pada umumnya hanya
pertanian, dan sebagainya. Namun sebagaimana memanfaatkan hasil hutan, misalnya memungut
dikemukakan oleh Yance Tandong, kekhawatiran kayu atau ranting yang telah jatuh untuk kayu bakar,
tersebut tidak perlu terjadi. Kerusakan hutan mengambil rotan untuk kerajinan, menangkap ikan
justru kebanyakan disebabkan oleh perusahaan- di sungai, dan sebagainya.35
perusahaan besar yang melakukan penebangan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga
pohon di hutan, baik untuk pembukaan perkebunan menimbulkan adanya dualisme hukum yang
mengatur hutan adat yaitu hukum nasional (Undang-

31
Rode Muyasin (Anggota Majelis Rakyat Papua/MRP dari Undang Nomor 41 Tahun 1999) dan hukum adat.
Kelompok Kerja Perempuan), wawancara dilakukan di
Kantor MRP, Papua, 4 Oktober 2014.
Dualisme tersebut tidak akan menimbulkan masalah

32
Sutrilwan (Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah jika hukum adat selaras dengan hukum nasional.
Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar), wawancara Permasalahan muncul jika hukum adat tidak sejalan
dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar-Riau,
11 September 2014, Bambang (Kepala Bidang Hak Tanah 33
Yance Tandong (Kepala Bidang Pembinaan Dinas
dan SertifikatTanah) dan Sutrahmad (Pegawai bagian Kehutanan Kabupaten Jayapura), wawancara dilakukan di
Pengukuran dan Pemetaan Tanah) Kanwil BPN Provinsi Dinas Kehutanan Jayapura-Papua, 31 Oktober 2014.
Papua, wawancara dilakukan di kantor Kanwil BPN Provinsi 34
Masriadi (Tokoh masyarakat hukum adat yang mendapatkan
Papua, 30 Oktober 2014; dan Yosep S. Done, SSIT, M.Si (Kasi kalpataru karena pengelolaan hutan adat Rumbio-Riau)
Pendaftaran Hak Atas Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten pada FGD tentang “Pelaksanaan Putusan MK Nomor 35/
Jayapura), wawancara dilakukan di Kantor Pertanahan PUU-X/2012”, di Kantor AMAN Riau, 11 September 2014.
Kabupaten Jayapura, 31 Oktober 2014. 35
Ibid
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 11
dengan hukum nasional karena akan menimbulkan 3. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri
dilema yaitu hukum mana yang akan diberlakukan. RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan
Sebagai contoh, penebangan pohon dalam hukum Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan
adat dikenai denda yang besarnya 10 kali lipat dari Nasional RI Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/
harga pohon yang ditebang, sementara ketentuan Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014,
penebangan pohon tanpa izin yang diatur dalam Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara
Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
Tahun 1999 diancam dalam Pasal 78 ayat (5) Undang- Dalam Kawasan Hutan.
Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan pidana 4. Saat ini juga telah disusun RUU tentang
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
paling banyak Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Hukum Adat.
Pada tataran praktik, untuk kasus dualisme
Aturan pelaksanaan tersebut mengatur
hukum yang demikian yang diberlakukan oleh instansi
mekanisme untuk memberikan pengakuan dan
yang berwenang adalah hukum nasional apalagi
penetapan masyarakat hukum adat beserta
belum ada perda penetapan masyarakat hukum adat
wilayah adatnya (tanah ulayat) sebagai tindak
(termasuk hutan adat) yang membuktikan bahwa
lanjut dari Putusan MK Nomor35/PUU-X/2012
hutan dimaksud adalah hutan adat yang notabene
yang mempersyaratkan “sepanjang kenyataannya
hukum adat juga berlaku di kawasan hutan adat.
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih
Berlakunya hukum nasional semakin kuat apalagi
ada dan diakui keberadaannya”. Dalam mekanisme
hukum adat dalam bentuknya yang tidak tertulis
tersebut, pengakuan keberadaan masyarakat hukum
semakin pudar dan kurang dikenal oleh generasi
adat beserta tanah ulayatnya harus dilakukan
muda penerus masyarakat hukum adat. Untuk itu,
dengan Perda penetapan masyarakat hukum adat
tokoh adat diantaranya tokoh adat di Kenegerian
yang dilampiri dengan peta wilayah adat. Apabila
KuntuKabupaten Kampar-Riau akan mengupayakan
wilayah (hutan) adat berada di dalam kawasan hutan
untuk menaskahkan peraturan adat sehingga dapat
maka dikeluarkan dari kawasan hutan dan dilakukan
diwariskan dengan mudah ke generasi penerus.
perubahan batas kawasan hutan yang dilampiri
Salah satu peraturan adat yang telah disahkan adalah
dengan peta.
Peraturan Adat tentang Hutan Larangan.36
Inisiatif penetapan masyarakat hukum adat pada
dasarnya berasal dari pemerintah. Namun, Pemprov
C. Upaya Pemerintah untuk Mencegah Implikasi
Papua melalui Perdasus Nomor 22 Tahun 2008
Negatif
membuka peluang bagi masyarakat hukum adat
Sehubungan dengan adanya berbagai implikasi untuk melakukan pemetaan adat secara partisipastif,
negatif dari Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perdasus Nomor 22
maka perlu ada upaya dari pemerintah untuk Tahun 2008. Dalam pemetaan tersebut, pemerintah
mencegah dan/atau mengatasi implikasi negatif kabupaten/kota wajib melakukan pendampingan.
tersebut. Upaya yang telah dilakukan oleh Hasil pemetaan adat memuat informasi yang terdiri
pemerintah diantaranya adalah menindaklanjuti atas: wilayah adat dan batas-batasnya; jumlah
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dengan suku dan bahasa; struktur kelembagaan adat; dan
membentuk peraturan perundang-undangan untuk sistem kepemimpinan. Biaya pemetaan secara
melaksanakannya, yaitu: partisipatif diambil dari Anggaran Pendapatan dan
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/ Belanja Daerah (APBD) yang wajib disediakan oleh
Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan pemerintah kabupaten/kota.
Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 Penetapan wilayah adat tersebut sangat
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. penting, yaitu selain memberikan pengakuan dan
2. Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang perlindungan terhadap masyarakat hukum adat
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan beserta hak adatnya, juga memberikan kepastian
Masyarakat Hukum Adat. hukum kepada penanam modal yang hendak

36
Para tokoh adat tersebut adalah Masriadi dan Arisman, memanfaatkan kawasan wilayah adat untuk kegiatan
keduanya adalah pengurus Yayasan Pelopor Sehati Yayasan usahanya. Penanam modal akan mendapatkan
Lingkungan dan Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum kejelasan status wilayah yang akan diusahakannya
Adat Anak Ninik Mamak dari Kenegerian Kuntu-Riau. Tokoh dan dengan masyarakat hukum adat yang mana
adat lainnya adalah Kay Handrik, Datuk dari masyarakat penanam modal harus meminta izin dan melakukan
hukum adat Kenegerian Kuntu-Riau, disampaikan pada
FGD tentang “Pelaksanaan Putusan MK Nomor 35/
kesepakatan penggunaan hutan adat. Dengan
PUU-X/2012”, di Kantor AMAN Riau, 11 September 2014. demikian penetapan masyarakat hukum adat secara
12 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

tidak langsung dapat mencegah konflik antara usahanya; serta meminta izin penggunaan kawasan
penanam modal dengan masyarakat hukum adat. hutan adat kepada masyarakat hukum adat sebelum
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah memulai usahanya. Selain itu juga penting bagi
untuk mencegah konflik antara penanam modal pengusaha untuk melaksanakan tanggung jawab
dengan masyarakat hukum adat adalah membuat sosial (corporate social responsibility/CSR), khususnya
suatu aturan yang mengatur bahwa izin pemanfaatan terhadap masyarakat hukum adat yang ada di sekitar
atau penggunaan kawasan hutan dan/atau izin-izin lokasi usaha, diantaranya berupa pemberdayaan,
lainnya di bidang kehutanan yang telah ada sebelum peningkatan kualitas SDM, dan pemberian bantuan
kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan adat agar mendapatkan dukungan dari masyarakat hukum
dinyatakan tetap sah dan berlaku sampai dengan adat atas usahanya.
izinnya berakhir. Setelah izin berakhir, kesepakatan Sebagaimana telah dipaparkan, berbagai upaya
mengenai pemanfaatan atau penggunaan kawasan yang dilakukan pemerintah tersebut dimaksudkan
hutan adat diserahkan kepada kedua belah pihak untuk mencegah konflik. Namun jika konflik tetap
(penanam modal dan masyarakat hukum adat) tidak bisa dihindari atau dicegah maka penyelesaian
sebelum pemerintah mengeluarkan perpanjangan konflik diupayakan dilakukan secara damai yaitu
izin. Selain dapat mencegah konflik, ketentuan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika
tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan musyawarah tidak dapat mencapai mufkat, maka
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum konflik diupayakan diselesaikan di luar pengadilan
kepada penanam modal sehingga mereka tidak melalui lembaga arbitrase, negosiasi, atau mediasi
merasa dirugikan dengan tuntutan masyarakat dimana pemerintah dapat bertindak selaku
hukum adat untuk mengembalikan hutan adatnya. mediator. Apabila mekanisme tersebut juga tidak
Di Provinsi Papua, pengaturan tersebut dapat bisa menyelesaikan konflik, ditempuh upaya hukum
dilihat dalam Pasal 9 Perdasus Provinsi Papua Nomor melalui jalur pengadilan.
23 Tahun 2008 yang mengatur bahwa kewenangan Sehubungan dengan penyelesaian konflik melalui
pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan jalur pengadilan, beberapa kasus menunjukkan
atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat penyelesaian kasus tersebut seringkali dimenangkan
atas tanah tidak berlaku terhadap bidang-bidang oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin (konsesi)
tanah yang pada saat ditetapkannya Perdasus ini karena perda penetapan masyarakat hukum adat
sudah dipunyai oleh perorangan atau badan hukum belum terbentuk sehingga masyarakat hukum adat
dengan sesuatu hak atas tanah sesuai dengan tidak memiliki bukti legal formal yang menunjukkan
peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan bahwa kawasan tersebut merupakan wilayah hutan
dimaksud belum ada dalam Perda Kabupaten adatnya yang dimanfaatkan oleh pengusaha. Bahkan
Kampar Nomor 12 Tahun 1999. Untuk itu ketentuan warga masyarakat hukum adat acapkali dikriminalisasi
tersebut akan lebih baik jika nantinya diatur karena dianggap telah menggangu kegiatan usaha
secara komprehensif dalam suatu undang-undang, atau memanfaatkan hasil hutan secara illegal. Untuk
misalnya RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan itu perda penetapan masyarakat hukum adat beserta
Hak Masyarakat Hukum Adat atau RUU tentang peta wilayah adatnya perlu segera dibentuk karena
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun memiliki fungsi penting, yaitu selain dapat melindungi
1999 sehingga berlaku untuk semua wilayah di tanah masyarakat hukum adat juga dapat meningkatkan
air. posisi tawar (bargaining position) masyarakat hukum
Pemerintah juga akan membuat aturan mengenai adat terhadap pengusaha yang memanfaatkan
hal-hal yang terkait dengan kewajiban penanam kawasan hutan adatnya.
modal (pemegang izin) yang telah disepakati dengan Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk
masyarakat hukum adat harus dituangkan dalam mencegah implikasi negatif dari Putusan MK Nomor
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara 35/PUU-X/2012 berupa penjualan hutan adat kepada
tertulis dan diketahui oleh pemberi izin (pemerintah). pihak ketiga adalah membuka kemungkinan bagi
Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat hukum masyarakat hukum adat yang diwakili oleh penguasa
adat memiliki bukti legal formal untuk menuntut adat (kepala suku) untuk melakukan kontrak
pemegang izin agar melaksanakan segala hal yang kerjasama pemanfaatan atau penggunaan hutan
telah dijanjikannya kepada masyarakat hukum adat. Dalam hal ini bisa saja hutan adat disewa untuk
adat. Pemerintah tidak akan memberikan izin jika suatu jangka waktu tertentu dengan imbalan uang
masyarakat hukum adat tidak memberikan izin sewa, atau pun diikutsertakan sebagai penyertaan
penggunaan hutan adatnya. Untuk itu sangatlah modal dalam suatu kegiatan usaha sehingga
penting bagi pengusaha untuk melaksanakan masyarakat hukum adat mendapatkan bagian dari
janjinya; mengkomunikasikan dan mensosialisasikan keuntungan usaha. Melalui mekanisme tersebut,
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 13
selain mendapatkan manfaat atau keuntungan, Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh
masyarakat hukum adat masih tetap memiliki hutan pemerintah, tidak tertutup kemungkinan hutan adat
adat untuk kelangsungan hidup generasi penerusnya dijual atau dipindahkan hak kepemilikannya kepada
karena hutan adat akan kembali ke masyarakat pihak ketiga. Di Kabupaten Kampar, dalam Pasal 7
hukum adat setelah selesai waktu sewa atau setelah Perda Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999,
selesai diusahakan. Berbeda halnya apabila tanah pemindahan hak kepemilikan tanah ulayat tersebut
ulayat atau hutan adat dialihkan hak kepemilikannya harus didasarkan kepada kehendak bersama
kepada pihak ketiga untuk diusahakan. Pada kasus seluruh warga masyarakat hukum adat berdasarkan
tersebut apabila hak guna usaha yang dimiliki oleh ketentuan hukum adat yang berlaku. Dengan
penanam modal telah selesai maka tanah ulayat demikian, meskipun pemangku adat memegang atau
dilepaskan kepada negara sehingga menjadi tanah menguasai tanah ulayat, tidak dapat serta merta
yang dikuasai oleh negara. mengalihkan atau melepaskan hak kepemilikan tanah
Di Papua, sewa-menyewa tanah ulayat (termasuk ulayat kepada pihak ketiga tanpa ada kehendak atau
hutan adat) diatur dalam Pasal 8 Perdasus Provinsi keputusan bersama dari seluruh masyarakat hukum
Nomor 23 Tahun 2008, yang intinya mengatur adat, sebagaimana hal ini juga telah diatur dalam
bahwa masyarakat hukum adat dapat meminjamkan Pasal 4 Perda Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun
sebagian atau seluruh hak ulayat masyarakat hukum 1999.
adat dan atau hak perorangan warga masyarakat Sementara di Papua, pengalihan hak kepemilikan
hukum adat atas tanah dalam jangka waktu tertentu tersebut diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Perdasus
untuk dikelola oleh pihak lain dalam bentuk sewa Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008, yang intinya
menyewa atau bagi hasil atau bentuk lain yang mengatur bahwa masyarakat hukum adat dan atau
disepakati bersama. Agar memiliki kekuatan dan perorangan warga masyarakat hukum adat dapat
kepastian hukum maka perbuatan hukum tersebut melepaskan sebagian atau seluruh hak ulayat
harus dilakukan dengan akta otentik. Apabila jangka masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan
waktu sewa menyewa tersebut telah berakhir, Pasal warga masyarakat hukum adat atas tanah, dengan
11 ayat (3) Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun ganti kerugian yang disepakati bersama. Perbuatan
2008 mengatur bahwa tanah ulayat yang disewa hukum pengalihan hak kepemilikan tersebut harus
dikuasai kembali oleh masyarakat hukum adat dan dilakukan dengan akta otentik.
atau perorangan warga masyarakat hukum adat yang Baik dikuasai dan/atau dimiliki oleh masyarakat
meminjamkannya. Sementara di Kabupaten Kampar- hukum adat maupun pihak ketiga, Pemerintah
Riau, kerjasama antara pengusaha dan masyarakat mewajibkan penggunaan atau pemanfaatan hutan
hukum adat diatur dalam Pasal 3 Perda Kabupaten adat harus sesuai dengan rencana tata ruang-
Kampar Nomor 12 Tahun 1999 yang mengatur bahwa wilayah di kabupaten/kota tersebut. Hal tersebut
agar tanah ulayat menjadi produktif dapat diberikan sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Bersama Menteri
hak pola kemitraan pada pihak ketiga. Dalam Negeri RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri
Hal lain yang dilakukan Pemerintah untuk mencegah Pekerjaan Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan
penjualan hutan adat adalah memberdayakan Nasional RI Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/
masyarakat hukum adat agar dapat mengelola dan Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/
memanfaatkan sendiri hasil hutan adatnya. Beberapa SKB/X/2014, yang menyebutkan bahwa peruntukan,
pemberdayaan yang dilakukan pemerintah diantaranya penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai rencana
memberikan pelatihan untuk membuat seni ukir kayu tata ruang wilayah kabupaten/kota.
dan membuat perabotan rumah tangga dari rotan Pemerintah juga mengharuskan penggunaan dan
sehingga hasil hutan adat memiliki nilai ekonomis yang pemanfaatan hutan adat sesuai dengan fungsinya,
tinggi untuk dijual dan hasilnya dapat dinikmati oleh sebagaimana hal tersebut telah diamanatkan
masyarakat hukum adat. Pemberdayaan masyarakat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999
hukum adat dapat meningkatkan perekonomian yang menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan
masyarakat hukum adat sehingga menjauhkan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
pemikiran mereka untuk menjual hutan adat kepada bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan
pihak ketiga karena desakan kebutuhan hidup.37 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, fungsi
hutan ada 3, yaitu hutan konservasi, hutan lindung,
Yance Tandong (Kabid Pembinaan Dinas Kehutanan
37
dan hutan produksi. Berdasarkan Pasal 37 ayat (2)
Kabupaten Jayapura), wawancara dilakukan di Kantor Dinas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan adat
Kehutanan Kabupaten Jayapura, pada tanggal 31 Oktober
2014, dan Estiko (Pegawai Dinas Kehutanan Provinsi
yang berfungsi sebagai hutan lindung dan konservasi
Papua), wawancara dilakukan di Kantor Dinas Kehutanan pada dasarnya dapat dimanfaatkan sepanjang
Provinsi Papua, 30 Oktober 2014. fungsinya tidak terganggu. Dengan demikian
14 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

masyarakat hukum adat masih dapat memanfaatkan adat sulit ditentukan, tumpang tindih wilayah adat
hutan adatnya yang berfungsi sebagai hutan lindung antar suku, dan belum ada niat baik dari pemda
atau hutan konservasi asalkan fungsi dari hutan adat untuk memberikan pengakuan atas keberadaan
dimaksud tidak terganggu. masyarakat hukum adat yang ada di daerahnya.
Penggunaan dan pemanfaatan hutan adat Akibatnya, perlindungan hak masyarakat adat atas
yang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang- hutan adatnya kurang optimal.
wilayah dan fungsinya tersebut tidak dimaksudkan Pada tataran empiris, Putusan MK Nomor 35/
untuk membatasi masyarakat hukum adat dalam PUU-X/2012 dapat menimbulkan implikasi negatif,
mengambil manfaat dari hutan adatnya, melainkan diantaranya memicu terjadinya konflik, dijualnya
dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan hutan adat kepada pihak ketiga; kelestarian hutan adat
yang sangat penting bagi masyarakat hukum adat terancam; dan ada dualisme hukum yang mengatur
itu sendiri. Hutan adat yang terjaga kelestariannya hutan adat yaitu hukum nasional dan hukum adat.
mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir, Sebagai upaya untuk mencegah dan/atau mengatasi
tanah longsor, dan sebagainya yang akan merugikan implikasi negatif dimaksud, pemerintah telah
masyarakat hukum adat, khususnya yang tinggal melakukan beberapa upaya, yaitu membuat aturan
di sekitar hutan adat. Kelestarian hutan juga akan perundang-undangan untuk melaksanakan Putusan
menjaga ketersediaan air tanah, pohon, dan binatang MK Nomor 35/PUU-X/2012, membuat aturan yang
yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat untuk mengatur izin penggunaan/pemanfaatan hutan
memenuhi kebutuhan hidupnya. masih tetap berlaku sampai izin tersebut berakhir,
Meskipun penetapan fungsi hutan (hutan mewajibkan kesepakatan antara pengusaha dan
adat) secara tidak langsung akan mendatangkan masyarakat hukum adat dituangkan dalam bentuk
manfaat bagi masyarakat hukum adat, Pasal 7 perjanjian tertulis, membuka kemungkinan bagi
Perdasus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 masyarakat hukum adat untuk dapat menyewakan
memberikan hak kepada masyarakat hukum adat atau melakukan penyertaan modal atas hutan
untuk memperoleh kompensasi atas berkurangnya adatnya, memberdayakan masyarakat hukum adat,
atau hilangnya akses masyarakat hukum adat dan mewajibkan penggunaan/pemanfaatan hutan
karena penetapan wilayah adatnya sebagai kawasan adat sesuai dengan rencana tata ruang-wilayah
konservasi. Namun demikian ketentuan Pasal 7 kabupaten/kota dan juga sesuai dengan fungsi hutan
Perdasus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 adat yang telah ditetapkan sebelumnya.
tersebut tidak akan ada artinya jika belum ada perda
penetapan masyarakat hukum adat beserta peta B. Saran
wilayah adatnya yang menjadi bukti legal formal Agar pengakuan dan perlindungan hak
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hutan masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dapat
adatnya. Mengingat pentingnya perda penetapan dilakukan secara optimal maka:
masyarakat hukum adat maka pemerintah harus c. Pemprov dan/atau pemda kabupaten/kota
segera melakukan tindakan untuk melakukan proses perlu segera membentuk perda penetapan
penetapan masyakat hukum adat yang disertai suatu masyarakat hukum adat beserta peta
dengan letak lokasi dan batas dari tanah ulayat atau letak lokasi dan batas wilayah adatnya.
hutan adatnya. d. RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat dan RUU tentang
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
A. Kesimpulan Tahun 1999 tentang Kehutanan perlu segera
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibentuk.
memutuskan hutan adat sebagai hutan hak,
telah menguatkan pengakuan dan perlindungan
negara terhadap hak masyarakat hukum adat
atas hutan adatnya. Namun pengakuan tersebut
mempersyaratkan ”sepanjang kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya masih hidup”.
Syarat tersebut menuntut adanya perda tentang
pengukuhan masyarakat hukum adat beserta peta
lokasi dan batas wilayah (hutan) adatnya yang
sampai saat ini belum terbentuk karena adanya
berbagai faktor penyebab, diantaranya batas wilayah
Dian Cahyaningrum Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak 15
DAFTAR PUSTAKA Tim Peneliti Universitas Nusa Cendana, Kupang.
(2009). “Penguasaan Hak Ulayat (Tanah Suku)
dalam Masyarakat Hukum Adat di Provinsi
Nusa Tenggara Timur”. Laporan penelitian tidak
Buku dan Artikel dalam Buku Kumpulan: diterbitkan, Kupang, Universitas Nusa Cendana
Ali, H. Zainuddin. (2009). Metode Penelitian Hukum. dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Indonesia (DPD RI).
Burhan, Ashshofa. (1998). Metode Penelitian Hukum, Zaid, Muhammad. “Pelaksanaan Putusan MK Nomor
Jakarta:Rineka Cipta. 35/PUU-X/2012”, makalah disajikan dalam Focus
Group Discussion Pusat Pengkajian Pengolahan
Fajar, Mukti dan Yulianto. (2010). Dualisme Penelitian Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI,
Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Jakarta, 13 Agustus 2014.
Pustaka Pelajar.
Samsul, Inosentius. (2013). Perubahan Pengaturan Dokumen Resmi:
tentang Desa dan Pengakuan Kesatuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Masyarakat Hukum Adat Sebagai Desa Adat
Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, dalam Utomo, L. (Ed), Eksistensi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
Hak Ulayat Dalam Sistem Hukum Nasional. 1999 tentang Kehutanan.
Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi. (2012).Putusan Nomor 35/
Azza Grafika.
PUU-X/2012. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Saptomo, Ade. (2010). Hukum & Kearifan Lokal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: PT Indonesia.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri
Wignjosoebroto, S Soetandyo. (2002). Hukum: Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan
Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor
(70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjospebroto) 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-11/2014,
(Cetakan Ke-1). Diedit oleh Ifdhal Kasim, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014
Winarno Yudho, Sandra Moniaga, Noor Fauzi, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Ricardo Simarmata, dan Eddie Sius RL. Jakarta: Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan.
ELSAM dan HUMA.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-
II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Makalah Seminar dan Laporan Penelitian: Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-
Suhadi, Zensi. “Hutan Adat Dalam Definisi Hukum dan II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Kehidupan Adat”, makalah disajikan dalam Focus Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun
Group Discussion Pusat Pengkajian Pengolahan 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Jakarta, 13 Agustus 2014.
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor
Tim Peneliti Universitas Lambung Mangkurat, 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan
Banjarmasin. (2009). “Pengakuan dan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Penghormatan Negara terhadap Masyarakat
Adat serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor
Kalimantan Selatan”. Laporan penelitian tidak 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat
diterbitkan, Banjarmasin, Universitas Lambung Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga
Mangkurat dan Dewan Perwakilan Daerah Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Republik Indonesia (DPD RI). Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12
Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.
16 Kajian Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 1 - 16

Surat Keputusan Bupati Jayapura Nomor 319 Tahun Steni, Bernadinus. (2011). Masyarakat Adat:
2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Mencari Format Hukum Hak atas Sumber Daya
Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Jayapura. Alam, (online), (http://tatakelolahutan.net/
masyarakat-adat-mencari-format-hukum-hak-
atas-sumber-daya-alam/, diakses 14 April 2014).
Internet dan Surat Kabar:
Masyarakat Adat Jayapura Akui Sembilan Komunitas,
(2014, Oktober 27). Kompas.

You might also like