You are on page 1of 20

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM MASA

PANDEMI COVID-19 DI TINJAU DARI HUKUM


KETENAGAKERJAAN DAN UU NO.13 TAHUN 2003 TENTANG
KETEGAKERJAAN
Fajar Iman Nugraha1 Dan Maharani Nurdin S.H,M.H2

(Hukum Ketenagakerjaan,Fakultas Hukum ,Universitas Singaperbangsa Karawang Jl. HS.Ronggo


Waluyo, Puseurjaya, Kec. Telukjambe Tim., Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361)

(fajar562021@gmail.com)

Abstract

Presidential Decree 12 of 2020 has designated Covid-19 as a national disaster. Theissuance of this presidential decree explicitly
interpreted this condition as a force majeure. Unilateral layoffs by employers often occur during this pandemic. There is a
mismatch between workers who were laid off before and during Covid-19 regarding the fulfillment of normative rights resulting in
injustice for workers. This paper aims to find out whether force majeure can be used as an excuse for employers to lay off during
the Covid-19 pandemic and to find out the differences.fulfillment of normative rights between workers affected by layoffs before
the Covid19 pandemic and during the Covid-19 pandemic. In this study, the method used is a normative legal research method
with a statutory approach and a case approach.From the results of this study, employers can use force majeure reasons as
referred to in the Manpower Act Article 164paragraph (1) during the Covid-19 pandemic, butemployers must meet certain
conditions. There are differences in the fulfillment of the normative rights obtained by workers before and during the Covid-19
pandemic.The government must be the foremost authority in fulfilling the rights of workers who have been laid off due to Covid-
19 in accordance with statutory regulations.

Keywords: Force Majeure; Fulfillment of Workers 'Rights; PHK; Covid-19

Abstrak

Keppres 12 Tahun 2020 telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Diterbitkannya keppres tersebut secara eksplisit
menafsirkan bahwa kondisi ini termasuk dalam keadaan force majeure. PHK secara sepihak oleh pengusaha seringkaliterjadi di
masa pandemi ini. adanya ketidaksesuaian antara para pekerja yang di PHK sebelum dan pada saat Covid-19 mengenai
pemenuhan hak normatif mengakibatkan terjadinya ketidakadilan bagi para pekerja, Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
apakah force majeure dapat dijadikan alasan pengusaha untuk melakukan PHK dimasa pandemi Covid-19 dan untuk
mengetahui perbedaan pemenuhan hak normatif antara pekerja yang terkena PHK sebelum pandemi Covid19 dan di masa
pandemi Covid-19. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan memakai
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini yaitu, pengusaha dapat menggunakann
alasan force majeure sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (1) di masa
pandemi Covid-19, namun pengusaha harus memenuhi syarat- syarat tertentu. Terdapat perbedaan pemenuhan hak-hak
normatif yang diperoleh pekerja sebelum dan pada saat pandemi Covid-19. Pemerintah harus menjadi otoritas terdepan dalam
memenuhi hak bagi para pekerja yang di-PHK akibat Covid-19 sesuai peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Force Majeure; Pemenuhan Hak; PHK; Covid – 19

PEDAHULUAN

Latar Belakang

Di tahun 2020 di bulan maret adalah awal mula covid-19 masuk ke Indonesia dan
menyebar keseluruh dunia penyakit ini sangat berbahaya dan juga dalam hal penularanya sangat
lah cepat,pandemic covid-19 juga menjadi penyakit yang menguncang dunia,negara tercinta kita
pun terkena pandemic covid-19 sudah banyak yang terjangkit penyakit covid-19 ini juga sudah
banyak yang menjadi koraban pandemic covid-19 ini bukan hanya korban jiwa saja tapi juga
banyak yang terkena dampak ekonomi seperti PHK atau pemutusan hubungan kerja karena
menghidari covid-19 dan juga menjaga stabilitas perusahaan karena pada saat covid-19 hampir
seluruh dunia mengalami guncangan ekonomi salah satunya negara kita Indonesia negara kita
juga terkena dampak karena adanya pandemic covid-19 ini salah satunya dampak ekonomi di
mana banyak mall,kegiatan impor dan ekspor di tutup dan banyak tempat pariwisata juga di
tutup karena adanya pandemic covid-19 hal itu berpegaruh pada stabilitas ekonomi Indonesia.

Dalam hal penanganan pandemic covid-19 Indonesia lebih menentukan restriksi sosial
(social distancing) menjadi solusi daripada melakukan lockdown yaitu mengunci akses masuk &
keluar daerah bagi siapapun untuk mencegah penyebaran virus yg biasanya dipakai sang
kebanyakan negara. Inti berdasarkan restriksi sosial merupakan menjauhi diri berdasarkan
kegiatan sosial secara pribadi menggunakan orang lain, sedangkan lockdown berarti suatu daerah
akan diisolasi & terjadi pemberhentian total semua kegiatan pada daerah tersebut. Alasan
mendasar kenapa Indonesia lebih menentukan memberlakukan restriksi sosial merupakan karena
rakyat Indonesia yg mengandalkan upah harian, jadi akan rawan mereka nir sanggup mencari
mata pencaharian,dalam hal penanganan covid-19 ini pun banyak sekali warga atau masyarakat
yang terdampak apalagi banyak pegawai perusahaan yang terkena dampak di PHK dan
mendapatkan pesangon seadaianya karena perusahaan juga ingi menjaga stabilitas perusahaan
tersebut tapi dalam hal ini PHK ini kadang di lakukan secara tidak adil yang di maksud tidak adil
adalah banyak hak-hak karyawan yang di abaikan contoh dalam hal pesangon,pesangon yang di
dapatkan tidak sesuai da nada juga karyawan yang di rumahkan dan menugu panggilan untuk
berkerja tapi tidak kunjung mendapatkan panggilan hal ini jelas sangat mempegaruhi ekonomi
Indonesia dan tentunya masyarakat padahal dalam konsitusi kita UUD 1945 dalama pasal 27
ayat 2 yang berbunyi bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam pasal ini jelas dan tegas bahwa tiap warga
negara berhal mendapatkan perkerjaan yang layak,pandemi covid-19 ini jelas sangat banyak
dampak atau kerugian yang di terima oleh masayarakat apalagi dengan peraturan tentang PSBB,
Banyak pengusaha kecil yang terdampak pada peraturan ini ada juga pemutusan hubungan kerja
dari perusahaan kepada pekerja karena dengan alasan untuk menurunkan atau menekan
penyebaran covid-19,tapi dalam hati sangat banyak sekali efek dalam pemutusan hubungan kerja
ini karena adanya covid-19 di tambah lagi dalam hal ini banyak peraturan pembatasan,oleh
karena ini banyak sekali pekerja pedagang,ojek online dan lain-lain yang mengalami dampak
dalam ini pemerintah juga sangat dilemma disisi lain pemerintah menjaga dan ingin memutus
penyebaran pamdemi ini dan disisi lain dampak ekonomi Karena banyak peraturan seperti
pembatasan-pembatasan yang menyebabkan banyak perusahaan mall dan lain-lain terpaksa tutup
dalam hal ini perputaran ekonomi di Indonesia terkontraksi 2,07%, dalam hal ini bukan hanya
Indonesia yang mengalami hal itu seluruh duniapun mengalami hal-hal serupa dalam hal ini
bukan hanya krisis kesehatan yang di alami oleh dunia namun aspek ekonomipun memdapatkan
dampak karena adanya pandemic covid-19.

RUMUSAN MASALAH

1. Pemutusan hubungan kerja atau PHK dalam masa pendemi covid-19 dalam presfektif
hukum ketenagakerjaan?
2. Hak-hak yang di dapat para perkerja atas pemutusan hubungan kerja karena adanya
pandemi covid-19 di tinjau dari UU No.13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan?
Tujuan Penulisan

Untuk menjadi bahan bacaan untuk setiap orang yang ingin mengetahui tentang pemutusan
hubungan kerja di masa pandemic covid-19 dan juga mengetahui hak-hak yang di peroleh oleh
para pekerja sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam rangka pengumpulan data dan bahan untuk penulisan
jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundangan-undangan yang berhubungan
dengan penelitian dalam jurnal ilmiah ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan
kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

PEMBAHASAN

I. Pemutusan hubungan kerja atau PHK dalam masa pendemi covid-19 dalam
presfektif hukum ketenagakerjaan

Hukum ketenagakerjaan memrupakan salah satu bagian dalam hukum sosio-ekonomi,hal ini
mendorong perlunya campur tangan pememrintah,yang tujuanya menjaga keseimbangan dan
keadilan di mana terdapat pihak yang kuat dan yang lemah.1

hukum ketenagkerjaan sekarang merupakan hasil dari (refleksi) dari hukum ketenagakerjaan
di masa lalu.Hubungan hukum ketenagakerjaan yang ada sekarang ini bukanlah hukum
ketenagakerjaan yang tiba-tiba muncul begitu saja.Hukum ketengakerjaan yang merefleksi
hukum di masa lalu yang merefleksi Hukum Internasional dalam hukum ketenagkerjaan
,sehingga disebut sebagai disebut hukum ketegakerjaan globalisasi2.

1
Zulkarnain Ibrahim,Hukum Ketegakerjaan Aspek Sejarah dan Dinamika Perkembanganya,(Palembang:Universitas
Sriwijaya,2017)

2
Diolah Ok,Saidin<Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia Refleksi Pemikiran Prof.Mahadi (Jakarta:RajaGrafindo
Persada,2016)
Hukum ketegakerjaan bagian dari bisnis (berbisnis) karena bisnis syarat dengan tujuan dan
pemaknaan hidup manusia.Dengan tujuan ini,maka hukum ketegakerjaan berdampak baik bagi
pelaku usaha ( pemilik perusahaan) dengan pekerja/buruhnya3.

Abdul kharim merumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan dari unsur-unsur yang


dimiliki,yaitu:

1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis;


2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan;
3. Adanya orang berkerja pada dan di bawah orang lain,dengan mendapat upah
sebagai jasa;
4. Mengatur perlindungan pekerja atau buruh,meliputi;masalah keadaan
sakit,haid,hamil,melahirkan,keberdaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya4.

Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas,yaitu tidak hanya pegusahan dan perkerja atau
buruh saja tetapi para pihak-pihak lain yang terkait.Luasnya para pihak ini karena masing-
masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling beriteraksi sesuai dengan posisinya
dalam mengahasilkan barang dan atau jasa.Para pihak dalam hukum ketenagakerjaan tersebut
adalah perkerja atau buruh,pengusaha,serikat pekerja/serikat buruh,organisasi pengusaha,dan
pememrintah/pengusaha.5

Di atas kita sudah sedikit mengulas tentang hukum ketengakerjaan hukum ketegakejaan
adalah hukum yang megatur pekerja/buruh baik bersifat perorangan ataupun kolektif,di tahun
2020 awal pandemic covid-19 masuk ke Indonesia banyak sekali dampak atau imbas yang di
dapat oleh masyarakat khususnya para pekerja atau para buruh banyak dari mereka terkena
dampak PHK atau pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dengan alasan untuk menekan
laju covid-19

PHK atau pemutusan hubungan kerja menurut UU nomor 13 tahun 2003 pemutusan
hubungan kerja atau PHK adalah pengahiran hubungan kerja di karenakan suatu hal tertentu
3
Diolah dari Agustinus Simanjuntak,Hukum Bisnis Sebuah Pemahaman Intergartif antara Hukum dan Praktis Bisnis,
(Depok:RajaGrafindo Presada,2018)

4
Agusmidah,Hukum ketenagakerjaan Inddonesia (Bogor:Gahalia Indonesia,2010)

5
Maimun,Hukum Ketenagkerjaan Suatu Penghantar,(Jakarta:pradnya paramita,2007)
yang menyebabkan berakhirnya hak serta kewajiban antara pekerja atau buruh dan
pengusaha,dalam hal ini banyak sekali buruh atau perkerja yang terkena PHK karena adanya
covid-19 ini,PHk dilakukan oleh banyak perusahaan karena adanya kedaan yang mendesak atau
keadaan yang di luar dugaan atau di kenal dengan istilah force majure, Di dalam pasal 164 UU
No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan perusahaan dapat dikatakan force majeure jika telah
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun, sedangkan kasus penyebaran covid-19
belum mencapai 2 tahun. Pasal 1244 serta 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa konsep force
majeure memiliki prinsip saat force majeure, tanggungjawab serta dari semua kerugian serta
tidak ada tuntutan dan ganti uang rugi jika pada kondisi terpaksa (force majeure) atau tidak
disengaja6,Force majure yang di maksud dalam pasal 1244 KUHPerdata yang berbunyi Debitur
harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan
perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan
kepadanya,dan pasal 1245 KHUPerdata yang berbunyi “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal
yang sama telah melakukan perbuatanyang terlaran.Di dalam kedua pasal tersebut bisa kita
analisis untuk pasal 1244 dan pasal 1245 KHUPerdata kita bisa analisis kedua pasal tersebut
dalam hal ini jika memang terjadi kedaan yang memaksa perusahaann boleh untuk tidak
melakukan tindakan darurat atau tidak memenuhi prestasi tapi dalam hal ini si perusahaan atau
debitur tersebut harus bisa membuktikan bahwa keadaan yang di alami itu memang kedaan force
majure. Dalam Pasal 61 UU No. 13 Tahun 2003 18 tentang Ketenagakerjaan, kesepakan kerja
selesai jika karyawan meninggal dunia atau menganut hasil dari kesepakatan kerja bersama dari
pekerja serta perusahaan. Apabila perusahaan melakukan PHK sebelum periode kontrak kerja
selesai, perusahaan memiliki keharusan dalam mengganti rugi berupa upah hingga batas waktu
selesai dalam periode waktu kesepakatan kerja. Pekerja/buruh memiliki harapan untuk
mendapatkan sebuah upah untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar,jadi dalam hal pemutusan
hubungan kerja yang telah di atur dalam UU No 3 Tahun 2003,Dalam hal walaupun ada
pemutusan kerja karena di sebabkan oleh pandemic covid-19 buruh atau pekerja masih bisa

6
Anak Agung Ngurah Wisnu Manika Putra,I Made Udiana, dan I Ketut Markeling , ‘Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force Majeure’ Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum,
5(1), pp.1-15. hlm 4.
mendapatkan haknya karena hal itu sangat jelas dan sudah di atur dalam UU no 3 tahun 2003
dalam pasal 156 ayat 1 yang berbunyi Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima,jadi dalam kasus pemutusan hubungan kerja yang di
karenakan pandemic atau bisa di sebut force majure dalam konsentrasi ilmu perdata,pekerja atau
buruh masih dapat mendapatkan haknya sebagai pekerja itu sudah tegas di atur dalam UU No.3
tahun 2003 pasal 156 ayat 1.

tentang Ketenagakerjaan, kesepakan kerja selesai jika karyawan meninggal dunia atau
menganut hasil dari kesepakatan kerja bersama dari pekerja serta perusahaan. Apabila
perusahaan melakukan PHK sebelum periode kontrak kerja selesai, perusahaan memiliki
keharusan dalam mengganti rugi berupa upah hingga batas waktu selesai dalam periode waktu
kesepakatan kerja. Pekerja/buruh memiliki harapan untuk mendapatkan sebuah upah untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar menurut Sudjana (2000) yaitu:7

A. Kebutuhan dasar untuk hidup yang berupa, pangan, sandang, papan, bahan bakar, dll;

B. Kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan


kapasitas/produktivitas individu;

C. Kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu) terhadap cara


berproduksi dan peluang ekonomi;

D. Kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan yang berupa, penghargaan atasa
HAM, keamanan sosial, pertahanan sosial, peraturan yang adil bagi semua lapisan masyarakat.
Dalam kondisi pandemi covid-19, Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang membuat
perusahaan banyak yang melakukan tutup permanen atau mengambil kebijakan pemutusan
hubungan kerja secara.

Dalam krisis yang di alami Indonesia bahkan seluruh dunia karena adanya pandemic
covid-19 yang melanda banyak sekali impact yang di dapat di berbagai negara khususnya negara

7
Abdul Khakim, ‘Pengupahan dalam perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia’ (2016) , Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, Hlm. 6.
Indonesia,banyak perusahaan yang menutup perushaan karena adanya pandemic untuk menekan
angak menyebaran covid-19 ada juga perusahaan yang melakuakn PHK besar-besaran kepada
karyawan bukan karena karyawan tersebut mendapakatkan masalah atau melkukan kesalahan
yang merugikan perusahaan tapi karena pandemic covid-19 yang melanda inodonesia sangat
berdampak pada perusahaan apalagi perusahaan yang mengambil barang atau melakukan
produksi unutuk mengkespor harus dihentikan karena memang banyak negara yang menutup
akses masuk atau keluar untuk menekan penyebaran pandemic covid-19 karena hal itu produksi
perusahaan banyak terhenti dan banyak karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja atau
disebut PHK oleh karena itu banyak karyawan atau buruh yang kehilangan mata pencaharian
karena PHK yang disebabkan pandemic covid-19. Pasal 1601a KUHPerdata menjelaskan bahwa
“ialah suatu persetujuan, bahwa pihak kesatu, yaitu pekerja, mengikatkan diri untuk
menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu pengusaha, dengan upah selama waktu
tertentu.8 Kesejahteraan pekerja adalah kepuasan kebutuhan dan kebutuhan fisik dan mental,
dalam hubungan kerja atau hubungan kerja internal. Ini berarti , ketika SDM telah mencapai
kepuasan yang terkait dengan perasaan aman di tempat kerja dengan kebutuhan vital yang
terjamin, dan ada kemungkinan berkomunikasi secara sosial satu sama lain.Dilansir dari CNBC
Indonesia, Menurut Ahmad Mora Saputra, MNC Group tidak melakukan kebijakan sesuai
dengan arahan yang diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja
sebaiknya menjadi jalan paling akhir tetapi pada kenyataannya perusahaan memilih jalan yang
bertentangan, perusahaan memilih peraturan dengan PHK pada >30% pekerja MNC Aladin
Indonesia9.Penggugat yang melakukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
dasar pemutusan hubungan kerja secara sepihak berjumlah delapan orang tetapi satu orang
menolak disebutkan namanya. Mereka merupakan pekerja waktu tertentu (PKWT) yang masih
mempunyai kontrak dalam perusahaan sesuai dengan perjanjian awal. Perjanjian waktu tertentu
(PKWT) adalah suatu perjajian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha yang hanya dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu.10 Makna kontrak kerja terdapat dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003 Pasal 1 ayat 14, Kontrak Kerja adalah perjanjian tertulis antara pekerja/buruh dengan
8
Pasal 1601a KUHPerdata
9
Syahrizal Sidik dan CNBC Indonesia. ‘Waduh! PHK Tanpa Pesangon, Eks Karyawan Gugat MNC Group.’ (2021)
Diakses 20 Januari 2021. Hlm. 1
10
Sayid Mohammad Rifqi Noval, ‘Hukum Ketenagakerjaan Hakikat Cita Keadilan Sistem Ketenagakerjaan’, (2017),
Bandung; PT. Refika Aditama, Hlm. 120
pemberi kerja atau pemberi kerja, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak. Sesuai pasal 56 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Hak Cipta (Kluster Ketenagakerjaan),ada
asumsi bahwa perusahaan indonesia dinilai telah mengabaikan hak karyawannya yang menganut
UU Nomor 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan supaya Perusahaan Membayarkan
Kompensasi sejumlah kesepakatan kerja yang tersisa. Undang-Undang Cipta Kerja (Kluster
Ketenagakerjaan) menjelaskan bahwa pekerja waktu tertentu (PKWT) mendapatkan kompensasi
yang diatur dalam Pasal 61A Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Kluster Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa jika pekerja waktu tertentu (PKWT) berakhir
berdasarkan dengan berakhirnya jangka waktu pada perjanjian kerja dan selesainya suatu
pekerjaan tertentu sesuai dengan perjanjian diawal, maka pengusaha wajib memberikan uang
kompensasi kepada pekerja/buruh tersebut. Perlunya perlindungan untuk pekerja/buruh salah
satunya adalah untuk menghindari dari kemungkinan tindakan pengusaha yang sewenang-
wenangnya11.Dalam hal uang konpesansi ini di berikan kepada buruh sesuai dengan masa kerja
para pegawai atau para buruh di perusahaan hal ini seusai dengan pasal 156 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, karyawan memiliki hak atas uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak apabila ada pemutusan hubungan kerja.
Uang pesangon merupakan hak pekerja yang terkena PHK berupa uang yang diberikan
perusahaan kepada karyawannya karena melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam Pasal
156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pemberian
uang pesangon berbeda, didasarkan pada lama waktu kerja karyawan. Uang penghargaan lama
waktu kerja menjadi simbol loyalitas pekerja pada perusahaan. ketentuannya, wajib bekerja
paling sedikit 3 tahun di perusahaan itu perhitungan ini didasarkan pasal 156 ayat (3) UU No. 13
tahun 2013. Uang penggantian hak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja adalah ganti
rugi pada hak karyawan yang belum dipakai. Hak ini ada pada pasal 156 UU No. 13 tahun
2013.jadi dalam pemutusan hubungan kerja para buruh mendapatkan konpensasi dan pesangon
sesuia dengan pasal 156 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 dan dalam hal ini perusahaan wajib
memenuhi hal itu karena hal iru telah di tegaskan dalam konsitusi,dan dalam pemutusan
hubungan kerja atau cuti karyawan dengan adanya dampak dari pandemic covid-19 ini perusaha
juga wajib menjamin atau memberikan hak-hak mereka yang tentunya telah di atur dalam

11
Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, dan Moh. Firdaus Sholihin, ‘Hukum Ketenagakerjaan’, (2016), Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm, 90.
undang-undang ketenagakerjaan kita yaitu di UU no.3 tahun 2003 yang sudah jelas mengatur
tentang PHK dan juga hak-hak yang di terima akibat PHK karena adanya pandemic covid-19.

II. Hak-hak yang di dapat para perkerja atas pemutusan hubungan kerja karena
adanya pandemi covid-19 di tinjau dari UU No.13 Tahun 2013 Tentang
Ketenagakerjaan

Adapun hak-hak para pekerja atau kaum buruh karena pemutusan hubungan kerja atau PHK
karena adanya pengaruh dari pandemic covid-19 ini, Covid-19 yang masuk ke Indonesia pada
bulan maret 2020 adalah salah satu hal yang tidak terduga atau disebut dengan force majure
dalam konsentrasi ilmu perdata yang di jelaskan dalam pasal 1245 KHUPerdata yang berbunyi
tidaklah biaya ganti rugi dan bunga,harus di gantikanya,apabila lantaran kedaan memaksa
ataupun lantaran suatu kejadian yang tidak sengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan,atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan
yang terlarang. Di dalam pasal 164 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan perusahaan
dapat dikatakan force majeure jika telah telah merugi berkelanjutan selama 2 tahun. Menurut Sri
Soedewi Masjchoen Sofwa keadaan force majeure atau overmacht adalah keadaan pada saat
debitur sangat tidak memungkinkan untuk memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau
keadaan dimana tetap bisa untuk mebayar utang, namun membutuhkan pengorbanan besar yang
tidak seimbang atau kekuatan jiwa diluar potensi manusia atau membuat rugi yang sangat besar
(relative overmacht). Dimasa krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 ini PHK adalah hal
buruk. Keadaan yang tidak diinginkan oleh karyawan atau buruh. Pandemi Covid-19 merupakan
hal yang memiliki sifat relatif dikarenakan prestasi mampu dikerjakan melalui effort yang
tinggi.Menko Polhukam Moh. Mahfud MD, mengatakan keadaan yang dikarenakan Covid-19
tidak dapat digunakan untuk force majeure12jadi dalam kedaan pandemic covid-19 ini dapat
langsung bisa disebut force majure tapi dalam hal ini sudah sangat banyak pemutusan hubungan
kerja oleh para perushaan kepada pekerja dan buruh dan adapun pemutusan hubungan kerja oleh
perusaha kepada para buruh dengan dasar KHUPerdata pasal 1244 dan pasal 1245 serta Dalam
12
Muhammad Yasin dan Hamalatul Qur'ani, ‘Aturan-Aturan Terkait Force Majeur dalam KUH Perdata.’ (2020)
Diakses 24 Januari 2021. Hlm
Undang-undang Ketenagakerjaan PHK akibat kerugian atau Force majeure sudah diatur pada:
Pasal 164 ayat (1) “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” Pasal164 ayat (2) “Kerugian perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang
telah diaudit oleh akuntan publik” Apabila dicermati, Pasal 164 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Ketenagakerjaan, menyediakan dua alasan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Pertama,
PHK bisa dilaksanakan apabila perusahaan menderita kerugian, kerugian yang dimaksud adalah
kerugian yang muncul ketika perusahaan sedang beroperasi dalam keadaan politik dan ekonomi
nasional ataupun dunia berjalan dengan normal. Kedua, PHK dapat dilakukan pengusaha karena
dalam keadaan memaksa (force majeure) kerugian ini timbul karena faktor bencana. Dalam
Pasal164 ayat (2) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai maksud dari force majeure, melainkan
ayat tersebut hanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan kerugianperusahaan,di pasal
ketenagakerjaan PHK dapat di lakukan oleh perusahaan karena alasan force majure ketika ada
bencana nasional yang memang berdampak pada perusahaan dan juga dapat menimbulkan
kerugian pada perusahaan dalam hal ini perusahaan dapat melakukan tindakan pemutusan
hubungan kerja atau disebut PHK dengan prosedur seperti yang telah di atur dalam UU No.3
2003 tentang hukum ketegakerjaan ,menurut World Health Organization (WHO) menyampaikan
bahwa Covid-19 merupakan pandemi global terhitung sejak 11 Maret 2020. Di Indonesia
meluasnya kasus Covid-19 secara massif berdampak besar dalam berbagai aspek,terutama aspek
sosial dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 Presiden Republik Indonesia
telah mengeluarkan Keppres 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran
Covid-19 Sebagai Bencana Nasional. Akibat adanya Keppres tersebut serta sejumlah produk
hukum seperti, Undang- udang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Keppres
11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, dan Peraturan
Pemerintah 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang secara tersirat menyimpulkan pandemi Covid-19
bisa digolongkan menjadi bencana nonalam berskala nasional menguatkan argumen pengusaha
untuk menyatakan pandemi Covid-19 sebagai suatu keadaan force majeure (Yusuf Randi, 2020).
apabila Pandemi Covid-19 dikaitkan dengan Pasal 164 ayat (1) Undangundang Ketenagakerjaan,
mengenai alasan PHK karena force majeure, maka dapat dikatak]]]]an bahwa Covid-19 dapat
digolongkan menjadi PHK dengan alasan force majeure (keadaan kahar) lantaran peristiwa
tersebut timbul di luar kemampuan pengusaha. Turunnya jumlah produksi menyebabkan
menurunnya pemasukan yang diperoleh perusahaan. Akibatnya, beberapa pengusaha mengalami
kesulitan dalam mengatur keuangannya, termasuk dalam membayar hak normatif pekerjanya.
Namun, kondisi tersebut tidak dapat secara langsung menjadi alasan oleh pengusaha untuk mem-
PHK pekerjanya dengan alasan force majeure secara sepihak dan sewenangwenang, melihat
ketentuan PHK dengan alasan perusahaan mengalami force majeure sesuai yang tertera dalam
Pasal 164 ayat (1) adalah pengusaha bisa mem-PHK apabila perusahaan tutup karena force
majeure. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apabila perusahaan masih melakukan
aktivitas secara normal serta perusahaan tersebut tidak ditutup permanen, maka pengusaha tidak
dapat serta merta menggunakan alasan force majeure untuk mem-PHK para pekerjanya. Menurut
Prof. Aloysius (2020), alasan force majeure dapat digunakan pengusaha apabila Covid-19
menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yang mengakibatkan produksi tidak lagi dapat
berjalan 13, Jadi dalam pemutusan hubungan kerja dalam masa pandemic covid-19 ini perushaan
tidak dapat serta merta memutus hubungan kerja yang telah di buat antara perusahaan dengan
para karyawan atau buruh sesuai dengan apa yang telah di kutip menurut Prof Aloysius dalam
hal pemutusann hubungan kerja dengan alasan force majure yang terdapat dala KHUPerdata di
pasal 1244 dan pasal 1245 dalam hal ini perusahaan tidak bisa langsung mengambil keptusan
hubungan kerja dengan para karyawan atau para buruh dengan alasan force majure karena alasan
force majure dapat digunakan ketika memang perusahaan mengalami kesulitan dan mengalami
pailit karena kondisi covid-19 ini jadi perusahaan dapat melakuakn pemutusan hubungan kerja
dengan alasan force majure dan juga untuk mempertahankan perusahaanya .

Dalam hal pandemic covid-19 yang melanda Indonesia memanga membuat para
perusahaan mengalami kesulitan dan banyak sekali pemutusan hubungan kerja karena damapk
dari pada covid-19 ini hal ini mengakibatkan banyak keluraga yang kehilangan mata pecaharian
karena adanya pemutusan hubungan kerja dengan alasan force majure dan dalam hal ini para
karyawan tetap dapa mendapatkan hak mereka walaupun merek tidak melukan prestasi sampe
13
Jurnal Hukum Gorontalo pemetuhan hak pekerja setelah pemutusan hubungan kerja sebelum pandemic covid-
19 dan setelah pandemic covid-19, Ismi Hasanah Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta dan Dwi Aryanti Ramadhani Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
akhir tapi pemutusan hubungan kerja sepihak karena alasan force majure, Dan adapun
Perhitungan hak yang harus diberikan pengusaha oleh pekerja yang terkena PHK sesuai
ketentuan pada Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: 1. Ketentuan
perhitungan jumlah uang pesangon paling sedikit ditetapkan adalah sebagai berikut sebagaimana
diatur dalam Pasal 156 ayat (2):

a. Masa kerja kurang dari setahun sebesar 1 bulan upah.

b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)

tahunsebesar 2 bulan upah.

c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga)

tahunsebesar 3 bulan upah.

d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)

tahunsebesar 4 bulan upah.

e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima)

tahunsebesar 5 bulan upah.

f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)

tahunsebesar 6 bulan upah.

g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)

tahunsebesar 7 bulan upah.

h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8

(delapan)tahun sebesar 8 bulan upah.

i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9

(sembilan)tahun sebesar 9 bulan upah.


2. Ketentuan perhitungan uang penghargaan masa kerja, sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3) di mana yang mempunyai hak

memperoleh uang penghargaan masa kerja ialah pekerja yang apabila diPHK sudah bekerja
selama 3 (tiga) tahun atau lebih dengan perhitungan

sebagai berikut:

a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)

tahunsebesar 2 (dua) bulan upah.

b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (Sembilan)

tahun sebesar 3 (tiga) bulan upah.

c. Masa kerja 9 (Sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12

(duabelas) tahun sebesar 4 (empat) bulan upah.

d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15

(limabelas) tahun sebesar 5 (lima) bulan upah.

e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18

(delapan belas) tahun sebesar 6 (enam) bulan upah.

f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari

21(dua puluh satu) tahun sebesar 7 (tujuh) bulan upah.

g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 24(dua puluh empat) tahun sebesar 8 (delapan) bulan upah.

h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih sebesar (10)

sepuluhbulan upah.
3. Ketentuan perhitungan uang penggantian hak:

Terdapat berbagai macam jenis uang penggantian hak yang pekerja

terimasaat terkena PHK, meliputi:

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

b. Biaya atau ongkos pulang bagi pekerja dan keluarganya ke tempat

dimana pekerja diterima kerja.

c. Penggantian perumahan serta penggobatan dan perawatan

ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan

masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

d. Hak-hak lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja besama. Komponen upah yang

dipakai menjadi dasar perhitungan uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya

diterimayang tertunda, terdiri atas:

1. Upah pokok

2. Seluruh tunjangan yang sifatnya tetap yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya,
termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma,
yang apabila catu harus dibayar pekerja dengan subsidi, upah dianggap selisih antara harga
pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja.

Selain dari kompensasi-kompensasi tersebut pekerja juga berhak mendapatkan Tunjangan


Hari Raya (THR). THR merupakan upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana disebutkan
dalam Permenaker No.6 Tahun 2016. Bagi pekerja dengan status tetap atau kontrak yang
mengalami PHK 30 hari sebelum hari raya keagamaan mempunyai hak untuk memperoleh THR.
Aturan mengenai pemberian THR sudah jelas. Namun, dalam keadaan pandemi Covid-19
pekerja terkena dampak pada pembayaran THR terutama bagi perusahaan yang mengalami
masalah arus kas. Oleh karena itu, pada tanggal 6 Mei 2020 Menteri ketenagakerjaan Ida
Fauziyah merilis Surat Edaran (SE) Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan tahun 2020 di
Perusahaan dalam Masa Pandemi COVID-19 Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang berisikan:

1. Bahwa pengusaha tetap harus membayarkan THR sesuai dengan aturan perundang-
undangan kepada para pekerja.

2. Bahwa apabila pengusaha merasa kesulitan dalam membayar THR pada waktu yang
telah ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan akibat pandemi Covid-19, hendaknya
dapat menempuh mekanisme dialog dengan cara kekeluargaan, berdasarkan laporan keuangan
internal perusahaan yang transparan serta itikad baik antara pengusaha dengan pekerja untuk
mencapai kesepakatan berupa:

a. Pengusaha dapat membayar THR secara bertahap jika pengusaha tidak sanggup
membayarkan secara penuh di waktu yang sudah ditentukan.

b. Atau jika pengusaha sama sekali tidak dapat memberikan hingga waktu yang tidak
ditentukan maka perusahaan dapat menunda pemberian THR. Menurut Presiden KSPI, Said
Iqbal mengatakan bahwa THR harus dibayarkan secara penuh kepada pekerja yang masuk kerja,
pekerja yang diliburkan sementara akibat Covid-19, pekerja yang dirumahkan akibat Covid-19,
maupun pekerja yang terkena PHK 30 hari sebelum hari raya kegaamaan atau lebaran 14, Jadi
dalam hal pemutusan hubungan kerja perkerja yang di PHK atau pemurtusan hubungan kerja
teteap mendapatkan hak mereka dari perusahaan sesusai peraturan yang telah di tentukan pada
tanggal 6 Mei 2020 Menteri ketenagakerjaan Ida Fauziyah merilis Surat Edaran (SE)
Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi
COVID-19 Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 dalam keptusan atau peraturan yang salah satu dari isi
peraturan tersebut yaitu Bahwa pengusaha tetap harus membayarkan THR sesuai dengan aturan
perundang-undangan kepada para pekerja,jadi para pekerja tetap mendapatkan THR sebagai hak
mereka ini berlaku pada pegawai tetap atau pegawai kontrak yang terkena damapk PHK sebelum

14
Jurnal Hukum Gorontalo pemetuhan hak pekerja setelah pemutusan hubungan kerja sebelum pandemic covid-
19 dan setelah pandemic covid-19, Ismi Hasanah Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta dan Dwi Aryanti Ramadhani Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
hari raya mereka tetap mendapatkan hak mereka senagai pegawai sesuai dengan aturan yang
sudah tertera.

PENUTUP

KESIMPULAN

Pandemi covid yang sudah melanda Indonesia pada awal maret dan melanda seluruh
negara lain sangat berdampak sekali pada aspek kesehatan,social dan ekonomi,dalam aspek
ekonomi banyak juga perusahaan yang melakukan PHK besar-besaran dengan alasan force
majure atau keadaan tidak terduga dalam hal ini fore majure ini tidak dapat serta merta
perusahaan menerapkan dan melakukan PHK atau pemutusan hubungan kerja karena force
majure yang di atur dalam pasal 1244 dan pasal 1245 KHUPerdata menurut Menurut Prof.
Aloysius (2020), alasan force majeure dapat digunakan pengusaha apabila Covid-19
menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yang mengakibatkan produksi tidak lagi dapat
berjalan , Jadi dalam pemutusan hubungan kerja dalam masa pandemic covid-19 ini perushaan
tidak dapat serta merta memutus hubungan kerja yang telah di buat antara perusahaan dengan
para karyawan atau buruh sesuai dengan apa yang telah di kutip menurut Prof Aloysius dalam
hal pemutusann hubungan kerja dengan alasan force majure yang terdapat dala KHUPerdata di
pasal 1244 dan pasal 1245 dalam hal ini perusahaan tidak bisa langsung mengambil keptusan
hubungan kerja dengan para karyawan atau para buruh dengan alasan force majure karena alasan
force majure dapat digunakan ketika memang perusahaan mengalami kesulitan dan mengalami
pailit karena kondisi covid-19 ini jadi perusahaan dapat melakuakn pemutusan hubungan kerja
dengan alasan force majure dan juga untuk mempertahankan perusahaanya,jadi perusahaan bisa
mengunakan alasan force majure jika memang perusahaan tersebut mengalami pailit di
karenakan pandemic covid-19 ini, Dan dalam hal pemutusan hubungan kerja banyak sekali
keluarga yang kehilangan pekerjaan karena terkena PHK karena adanya pandemic covid-19 tapi
dalam hal ini perushaan tetap memberikan hak kepada para pegawai sesuia denga peraturan UU
No.3 Tahun 2003 adapun Perhitungan hak yang harus diberikan pengusaha oleh pekerja yang
terkena PHK sesuai ketentuan pada Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah sebagai
berikut: 1. Ketentuan perhitungan jumlah uang pesangon paling sedikit ditetapkan adalah sebagai
berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) dan juga peraturan pada tanggal 6 Mei 2020
Menteri ketenagakerjaan Ida Fauziyah merilis Surat Edaran (SE) Pelaksanaan Pemberian THR
Keagamaan tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi COVID-19 Nomor
M/6/HI.00.01/V/2020 yang berisikan:

1. Bahwa pengusaha tetap harus membayarkan THR sesuai dengan aturan perundang-
undangan kepada para pekerja.

2. Bahwa apabila pengusaha merasa kesulitan dalam membayar THR pada waktu yang
telah ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan akibat pandemi Covid-19, hendaknya
dapat menempuh mekanisme dialog dengan cara kekeluargaan, berdasarkan laporan keuangan
internal perusahaan yang transparan serta itikad baik antara pengusaha dengan pekerja untuk
mencapai kesepakatan berupa:

Jadi dalam hal ini perusahaan tetap membrerikan hak-hak para pegawai atau buruh yang
terkena dampak PHK karena adanya pandemic covid-19 jadi alasan force majure bukan alasan
untuk perusahaan tidak memenuhi hak-hak para pegawai yang telah tegas di atur dalam UU No.3
Tahun 2003 tentang hukum ketenagakerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

UU NO.3 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Pasal 1601a KUHPerdata

Zulkarnain Ibrahim,Hukum Ketegakerjaan Aspek Sejarah dan Dinamika Perkembanganya,


(Palembang:Universitas Sriwijaya,2017)

Diolah Ok,Saidin<Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia Refleksi Pemikiran Prof.Mahadi


(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2016)

Diolah dari Agustinus Simanjuntak,Hukum Bisnis Sebuah Pemahaman Intergartif antara Hukum
dan Praktis Bisnis,(Depok:RajaGrafindo Presada,2018)

Agusmidah,Hukum ketenagakerjaan Inddonesia (Bogor:Gahalia Indonesia,2010

Maimun,Hukum Ketenagkerjaan Suatu Penghantar,(Jakarta:pradnya paramita,2007)

Abdul Khakim, ‘Pengupahan dalam perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia’ (2016) ,


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 6.
Syahrizal Sidik dan CNBC Indonesia. ‘Waduh! PHK Tanpa Pesangon, Eks Karyawan Gugat
MNC Group.’ (2021) Diakses 20 Januari 2021. Hlm. 1

Sayid Mohammad Rifqi Noval, ‘Hukum Ketenagakerjaan Hakikat Cita Keadilan Sistem
Ketenagakerjaan’, (2017), Bandung; PT. Refika Aditama, Hlm. 120

Jurnal

Anak Agung Ngurah Wisnu Manika Putra,I Made Udiana, dan I Ketut Markeling ,
‘Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force
Majeure’ Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 5(1), pp.1-15. hlm 4.

Jurnal Hukum Gorontalo pemetuhan hak pekerja setelah pemutusan hubungan kerja sebelum
pandemic covid-19 dan setelah pandemic covid-19, Ismi Hasanah Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Dwi Aryanti Ramadhani Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Website

Syahrizal Sidik dan CNBC Indonesia. ‘Waduh! PHK Tanpa Pesangon, Eks Karyawan Gugat
MNC Group.’ (2021) Diakses 20 Januari 2021. Hlm. 1

You might also like