Professional Documents
Culture Documents
َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َح ٰتّى ي ُْؤ ِمنُ ْوا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍ
ك َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ
walā
َواَل
[you] marry
kamu nikahi
l-mush'rikāti
ْٱل ُم ْش ِر ٰ َك ِ
ت
they believe
mereka beriman
wala-amatun
َوأَل َ َم ٌة
And a bondwoman
dan sungguh budak wanita
mu'minatun
م ُّْؤ ِم َن ٌة
(is) better
baik
min
مِّن
than
daripada
mush'rikatin
ُّم ْش ِر َك ٍة
a polytheistic woman
wanita musyrik
walaw
َو َل ْو
[and] even if
walaupun
aʿjabatkum
أَعْ َج َب ْت ُك ۗ ْم
until
sehingga
yu'minū
ۚ۟ ي ُْؤ ِم ُن
وا
they believe
mereka beriman
walaʿabdun
َو َل َع ْب ٌد
and a bondman
dan sungguh budak
mu'minun
ٌم ُّْؤ ِمن
(is) better
lebih baik
min
مِّن
than
daripada
mush'rikin
ٍُّم ْش ِرك
a polytheistic man
orang musyrik
walaw
َو َل ْو
[and] even if
walaupun
aʿjabakum
أَعْ َج َب ُك ۗ ْم
he pleases you
dia menarik hatimu
ulāika
ٓ
َ أ ُ ۟و ٰ َل ِئ
ك
[Those]
mereka itu
yadʿūna
َ َي ْدع
ُون
they invite
mereka mengajak
ilā
إِ َلى
to
kepada
l-nāri
ِ ۖ ٱل َّن
ار
the Fire
neraka
wal-lahu
ُ َوٱهَّلل
and Allah
dan Allah
yadʿū
َي ْدع ُٓو ۟ا
invites
Dia mengajak
ilā
إِ َلى
to
kepada
l-janati
ْٱل َج َّن ِة
Paradise
surga
wal-maghfirati
َو ْٱل َم ْغف َِر ِة
by His permission
dengan izinNya
wayubayyinu
َُو ُي َبيِّن
His Verses
ayat-ayatNya
lilnnāsi
ِ لِل َّن
اس
take heed
mereka ingat / mengambil pelajaran
Transliterasi Latin:
Wa lā tangkiḥul-musyrikāti ḥattā yu`minn, wa la`amatum mu`minatun khairum mim musyrikatiw walau
a'jabatkum, wa lā tungkiḥul-musyrikīna ḥattā yu`minụ, wa la'abdum mu`minun khairum mim musyrikiw
walau a'jabakum, ulā`ika yad'ụna ilan-nāri wallāhu yad'ū ilal-jannati wal-magfirati bi`iżnih, wa yubayyinu
āyātihī lin-nāsi la'allahum yatażakkarụn (QS. 2:221)
Arti / Terjemahan:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah ayat 221)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Pada ayat ini Allah memberi tuntunan dalam memilih pasangan. Dan
janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi atau menjalin ikatan
perkawinan dengan perempuan musyrik penyembah berhala sebelum mereka
benar-benar beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman yang berstatus sosial rendah menurut
pandangan masyarakat lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu karena kecantikan, nasab, kekayaannya, atau semisalnya.
Dan janganlah kamu, wahai para wali, nikahkan orang laki-laki musyrik
penyembah berhala dengan perempuan yang beriman kepada Allah dan
Rasulullah sebelum mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu, karena kegagahan, kedudukan, atau
kekayaannya. Ketahuilah, mereka akan selalu berusaha mengajak ke dalam
kemusyrikan yang menjerumuskanmu ke neraka, sedangkan Allah mengajak
dengan memberikan bimbingan dan tuntunan menuju jalan ke surga dan
ampunan dengan rida dan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni
tanda-tanda kekuasaan-Nya berupa aturan-aturan kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran sehingga mampu membedakan mana yang baik
dan membawa kemaslahatan, dan mana yang buruk dan menimbulkan
kemudaratan. Pernikahan yang dilandasi keimanan, ketakwaan, dan kasih
sayang akan mewujudkan kebahagiaan, ketenteraman, dan keharmonisan .
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Di dalam ayat ini ditegaskan larangan bagi seorang Muslim mengawini
perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan
laki-laki musyrik, kecuali kalau mereka telah beriman. Walaupun mereka itu
cantik dan rupawan, gagah, kaya, dan sebagainya, budak perempuan atau
budak laki-laki yang mukmin lebih baik untuk dikawini daripada mereka. Dari
pihak perempuan yang beriman tidak sedikit pula jumlahnya yang cantik,
menarik hati, dan berakhlak.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Bahwa Allah mengecualikan dari hal tersebut
wanita Ahli Kitab.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Al-
Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini adalah
orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan bukan Ahli Kitab
secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang
pertama tadi.
Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh sekali), demikian pula asar yang
dari Umar ibnul Khattab r.a.
Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari Muhammad ibnu Ismail, dari
Waki', dari As-Silt.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih sanadnya daripada yang
pertama tadi.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini sekalipun dalam sanadnya
terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal tersebut. Demikianlah
pendapat Ibnu Jarir.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Aku belum
pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar daripada perkataan
wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa."
Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Aim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari
Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Janganlah kamu mengawini wanita karena kecantikannya, karena
barangkali kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan janganlah kamu
nikahi wanita karena harta bendanya, karena barangkali harta bendanya itu
membuatnya kelewat batas. Tetapi nikahilah karena agamanya,
sesungguhnya budak wanita hitam lagi tidak cantik tetapi beragama adalah
lebih utama.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw.
yang telah bersabda:
Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah
wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan beruntung.
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir r.a., hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada halal bagi orang-orang kafir itu,
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al Mumtahanah:10)
Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin —sekalipun sebagai budak yang
berkulit hitam (Habsyi)— adalah lebih baik daripada orang musyrik, sekalipun
ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya.
Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah dengan syariat-Nya dan perintah serta
larangan-Nya.
َو ٰاتُ ْوهُ ْم َّمٓا اَ ْنفَقُ ْو ۗا َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم اَ ْن تَ ْن ِكح ُْوهُ َّن اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ ۗ َّن َواَل تُ ْم ِس ُك ْوا
ص ِم ْال َك َوافِ ِر َوسْٔـََٔ1لُ ْواَ 1مٓا اَ ْنفَ ْقتُ ْم َو ْليَسْٔـََٔ1لُ ْوا َمٓا اَ ْنفَقُ ْو ۗا ٰذلِ ُك ْم ُح ْك ُم هّٰللا ِ ۗيَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ۗ ْم َوهّٰللا ُ
بِ ِع َ
َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم
yāayyuhā
!O you
wahai
alladhīna
ٱلَّذ َ
ِين
who!
orang-orang yang
āmanū
َءا َم ُن ٓو ۟ا
believe!
beriman
idhā
إِ َذا
When
apabila
jāakumu
َجٓا َء ُك ُم
come to you
datang kepadamu
l-mu'minātu
muhājirātin
ٍ ُم ٰ َه ِج ٰ َر
ت
(as) emigrants
berhijrah
fa-im'taḥinūhunna
l-lahu
ُ ٱهَّلل
Allah
Allah
aʿlamu
أَعْ َل ُم
mengetahui
biīmānihinna
of their faith
fa-in
َْفإِن
And if
maka jika
ʿalim'tumūhunna
ََّعلِ ْم ُتمُوهُن
mengetahui mereka
mu'minātin
ٍ م ُْؤ ِم ٰ َن
ت
wanita-wanita beriman
falā
َفاَل
maka janganlah
tarjiʿūhunna
ََّترْ ِجعُوهُن
return them
ilā
إِ َلى
to
kepada
l-kufāri
ِ ۖ ْٱل ُك َّف
ار
the disbelievers
orang-orang kafir
lā
اَل
Not
tidak
hunna
َّهُن
they
ḥillun
ِح ٌّل
(are) lawful
halal
lahum
لَّ ُه ْم
for them
bagi mereka
walā
َواَل
and not
dan tidak
hum
ُه ْم
they
mereka
yaḥillūna
َ َُّي ِحل
ون
are lawful
halal
lahunna
ََّله ُۖن
for them
bagi mereka
waātūhum
mā
مَّٓا
what
apa-apa
anfaqū
ۚ۟ ُأَن َفق
وا
mereka belanjakan
walā
َواَل
And not
dan tidak
junāḥa
َ ُج َن
اح
any blame
berdosa
ʿalaykum
َع َل ْي ُك ْم
upon you
atas kalian
an
أَن
if
bahwa
tankiḥūhunna
ََّتن ِكحُوهُن
idhā
إِ َذٓا
when
apabila
ātaytumūhunna
ََّءا َت ْي ُتمُوهُن
ujūrahunna
َُّوره ُۚن
َ أُج
their (bridal) dues
maskawin mereka
walā
َواَل
dan jangan
tum'sikū
۟ ُت ْمسِ ُك
وا
hold
kamu tahan/pegang
biʿiṣami
ِص ِم
َ ِبع
to marriage bonds
dengan tali/ikatan
l-kawāfiri
wanita-wanita kafir
wasalū
۟ ُلŽََٔوسْ ٔـ
وا
but ask (for)
dan mintalah
mā
َمٓا
what
apa
anfaqtum
أَن َف ْق ُت ْم
kamu belanjakan
walyasalū
۟ ُلŽََٔو ْل َيسْ ٔـ
وا
mā
َمٓا
what
apa
anfaqū
ۚ۟ ُأَن َفق
وا
they have spent
dhālikum
ٰ َذلِ ُك ْم
That
demikian itu
ḥuk'mu
ح ُْك ُم
ketetapan/hukum
l-lahi
ِ ۖ ٱهَّلل
(of) Allah
Allah
yaḥkumu
َيحْ ُك ُم
He judges
menetapkan/memberi hukum
baynakum
َب ْي َن ُك ۚ ْم
between you
diantara kamu
wal-lahu
ُ َوٱهَّلل
And Allah
dan Allah
ʿalīmun
َعلِي ٌم
(is) All-Knowing
Maha Mengetahui
ḥakīmun
َحكِي ٌم
All-Wise
Maha Bijaksana
Transliterasi Latin:
Yā ayyuhallażīna āmanū iżā jā`akumul-mu`minātu muhājirātin famtaḥinụhunn, allāhu a'lamu
bi`īmānihinna fa in 'alimtumụhunna mu`minātin fa lā tarji'ụhunna ilal-kuffār, lā hunna ḥillul lahum wa lā
hum yaḥillụna lahunn, wa ātụhum mā anfaqụ, wa lā junāḥa 'alaikum an tangkiḥụhunna iżā
ātaitumụhunna ujụrahunn, wa lā tumsikụ bi'iṣamil-kawāfiri was`alụ mā anfaqtum walyas`alụ mā anfaqụ,
żālikum ḥukmullāh, yaḥkumu bainakum, wallāhu 'alīmun ḥakīm (QS. 60:10)
Arti / Terjemahan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-
Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al-Mumtahanah ayat 10)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Melalui ayat ini Allah menjelaskan tentang tata cara yang harus dilakukan
Rasulullah apabila menerima perempuan yang berasal dari daerah kafir dan
hukum perkawinan mereka. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
perempuan-perempuan mukmin yang berasal daerah yang dikuasai orang-
orang kafir datang berhijrah kepadamu ke Madinah, maka hendaklah kamu uji
keimanan mereka agar kamu mengetahui latar belakang dan motivasi
kedatangan mereka, serta dapat memberikan perlindungan yang tepat
kepada mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, hakikat,
kualitas, bahkan yang terbesit dalam hati mereka; namun, pengujian ini
diperlukan untuk kewaspadaan. Jika kamu telah mengetahui, setelah kamu
melakukan wawancara mendalam terhadap mereka bahwa mereka,
perempuan-perempuan yang meminta perlindungan itu benar-benar beriman,
maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir,
yakni suami-suami mereka yang kafir, karena perkawinan mereka batal,
ketika perempuan-perempuan itu masuk Islam. Mereka, perempuan-
perempuan muslimah itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu, yakni bagi para
suami mereka untuk berhubungan suami-istri dan orang-orang kafir itu pun,
yakni para suami yang kafir, tidak halal bagi mereka, para istri yang sudah
menjadi muslimah untuk berhubungan suami-istri. Dan berikanlah kepada
suami mereka, yang masih tetap kafir itu mahar yang telah mereka berikan
kepada mantan istrinya yang menjadi muslimah, jika mereka meminta. Dan
tidak ada dosa bagi kamu, para laki-laki muslim untuk menikahi mereka,
karena perempuan-perempuan itu berstatus janda, apabila kamu menikahinya
setelah selesai masa iddah, mengikuti hukum Allah dan dengan tujuan
pernikahan yang benar, serta membayarkan kepada mereka maharnya
sesuai kesepakatan.” Sebaliknya jika perempuan-perempuan muslimah
meninggalkan suami mereka, masuk ke daerah kafir dan menjadi kafir, maka
Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu, para laki-laki muslim tetap
berpegang pada tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir, karena
pernikahan kamu dengan mereka batal setelah mereka murtad; dan
hendaklah kamu, para laki-laki muslim meminta kembali mahar yang telah
kamu berikan kepada mantan istri kamu yang murtad itu.” Sementara itu
tentang perempuan beriman yang menghadap kepada Nabi di Madinah, Allah
menegaskan, “Dan jika suaminya tetap kafir, sedangkan perempuan-
perempuan itu benar-benar beriman, biarkanlah mereka, para suami itu,
meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan istrinya
yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu tentang perceraian karena suami atau istri murtad atau istri masuk
Islam, serta larangan menikah beda agama. Dan Allah Maha Mengetahui
semua yang tersimpan dalam hati, Mahabijasana dalam menyikapi tingkah
laku manusia.”
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang
yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan
beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta
perlindungan. Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan
dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak
padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa
lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena
melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.
Allah memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui
hal ihwal mereka. Allah Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan
mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk
kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang
berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan
penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri.
Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang
beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke
daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi
suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi
perempuan yang beriman.
Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika
seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan
suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada
suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram
hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir.
Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang
masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi'i, istri
wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu
memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib
dikembalikan. Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib
dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan
perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak
termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak
wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum
pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta
oleh suaminya.
Sementara itu kaum Muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan
mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa
perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari
tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar
diri mereka terpelihara.
Allah menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri
yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada
hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman
dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir.
Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam.
Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman
kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan
mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang
yang pernah diberikan suaminya yang Muslim.
Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh
setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam
menetapkan hukum-Nya, Allah Maha Mengetahui kesanggupan hamba yang
akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan
oleh hamba-hamba-Nya. Dalam menetapkan hukum itu, Allah juga
mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum
itu bagi yang memikulnya.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian perempuan-
perempuan yang beriman) secara lisannya (untuk berhijrah) dari orang-orang
kafir sesudah kalian mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang
kafir dalam perjanjian Hudaibiah, yaitu bahwa barang siapa yang datang
kepada orang-orang mukmin dari kalangan mereka, maka orang itu harus
dikembalikan lagi kepada mereka (maka hendaklah kalian uji mereka) melalui
sumpah, yaitu bahwa sesungguhnya mereka sekali-kali tidak keluar
meninggalkan kampung halamannya melainkan karena senang kepada Islam,
bukan karena benci terhadap suami mereka yang kafir, dan bukan pula
karena mencintai orang-orang lelaki dari kalangan kaum muslimin.
Demikianlah isi sumpah yang dilakukan oleh Nabi saw. kepada perempuan-
perempuan itu (Allah telah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kalian telah mengetahui, bahwa mereka) yakni kalian menduga melalui
sumpah yang telah mereka ucapkan, bahwa mereka (benar-benar beriman
maka janganlah kalian kembalikan mereka) janganlah kalian mengembalikan
mereka (kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada mereka) yakni kembalikanlah kepada orang-orang kafir yang menjadi
suami mereka (mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan-
perempuan mukmin itu. (Dan tiada dosa atas kalian mengawini mereka)
dengan syarat (apabila kalian bayar kepada mereka maharnya)
maskawinnya. (Dan janganlah kalian tetap berpegang) dapat dibaca
tumsikuu, dan tumassikuu yakni dengan memakai tasydid dan tanpa tasydid
(pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir) yakni istri-istri
kalian yang kafir, karena keislaman kalian telah memutuskannya dari kalian
berikut syarat-syaratnya. Atau perempuan-perempuan yang menyusul atau
mengikuti orang-orang musyrik dalam keadaan murtad, karena
kemurtadannya telah memutuskan tali perkawinan mereka dengan kalian,
berikut syarat-syaratnya (dan hendaklah kalian minta) hendaklah kalian tuntut
(apa yang telah kalian nafkahkan) kepada mereka yaitu mahar-mahar yang
telah kalian bayar kepada mereka, berupa pengembalian dari orang-orang
kafir yang mengawini mereka (dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar) kepada perempuan-perempuan yang ikut berhijrah,
sebagaimana penjelasan yang telah lalu yaitu bahwasanya kaum musliminlah
yang membayarkannya. (Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kalian) untuk kalian laksanakan. (Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana).
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Dalam surat Al-Fath yang lalu telah disebutkan mengenai gencatan senjata
Hudaibiyah yang telah ditandatangani oleh Rasulullah Saw. dan orang-orang
kafir Quraisy. Di dalam perjanjian tersebut tertuangkan naskah berikut, yang
antara lain tidak boleh datang kepada engkau seseorang dari kalangan kami
walaupun dia seagama dengan engkau, melainkan engkau harus
mengembalikannya kepada kami. Menurut riwayat lain, sesungguhnya tidak
boleh ada seseorang dari kami datang kepadamu, sekalipun dia berada
dalam agamamu, melainkan kamu harus mengembalikannya kepada kami.
Demikianlah menurut pendapat Urwah, Ad-Dahhak, Abdur Rahman ibnu Zaid,
Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi.
Berdasarkan riwayat ini berarti ayat ini men-takhsis sunnah, dan ini
merupakan contoh yang terbaik tentang hal tersebut.
Kami telah menyebutkan dalam biografi Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy,
bagian dari Musnad Kabir-nya, melalui jalur Abu Bakar ibnu Abu Asim, dari
Muhammad ibnu Yahya Az-Zahali, dari Ya'qub ibnu Muhammad, dari Abdul
Aziz ibnu Imran, dari Majma' ibnu Ya'qub, dari Hanin ibnu Abu Abanah, dari
Abdullah ibnu Abu Ahmad yang menceritakan bahwa Ummu Kalsum binti
Uqbah ibnu Abu Mu'it hijrah ke Madinah, maka kedua saudara lelakinya (yaitu
Imarah dan Al-Walid) menyusulnya hingga keduanya sampai kepada
Rasulullah Saw. Maka keduanya berbicara kepada Rasulullah Saw. mengenai
Ummu Kalsum dan meminta agar Nabi Saw. mengembalikannya kepada
keduanya. Maka Allah Swt. merusak perjanjian yang telah ada di antara Nabi
Saw. dan kaum musyrik dalam pasal yang berkenaan dengan kaum wanita
secara khusus. Maka Allah melarang kaum mukmin mengembalikan wanita-
wanita yang beriman kepada orang-orang musyrik, dan untuk itu Allah Swt.
menurunkan ayat ujian ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Qais ibnurRabi', dari Al-
Agar ibnusSabbah, dari Khalifah ibnu Husain, dari AbuNasr Al-Asadi yang
mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang cara Rasulullah Saw.
menguji wanita-wanita yang berhijrah itu. Maka Ibnu Abbas menjawab, bahwa
Nabi Saw. menguji mereka dengan pertanyaan 'tiadalah seseorang dari
mereka keluar karena benci kepada suami,' lalu disumpah untuk itu.
Disumpah pula bahwa hendaknya keluarnya dia bukan karena mau pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain. Juga disumpah dengan nama Allah
bahwa ia keluar bukan untuk mencari dunia. Dan disumpah pula bahwa
hendaknya ia keluar bukan karena dorongan apa pun, melainkan hanya
karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa iman itu dapat
dilihat secara yakin.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Turmuzi, dan Ibnu Majah. Di
antara ulama ada yang mengatakan bahwa tenggang masa itu hanyalah dua
tahun, dan inilah pendapat yang benar, karena masuk Islamnya Abul As
sesudah kaum muslimat diharamkan bagi kaum musyrik, yakni dua tahun
sesudahnya.
Yazid mengatakan bahwa hadis Ibnu Abbas lebih baik sanadnya, dan yang
diberlakukan adalah hadis Amr ibnu Syu'aib. Kemudian kami memberikan
komentar, bahwa telah diriwayatkan pula hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Amr
ibnu Syu'aib oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah. Imam
Ahmad menilainya daif, dan imam ahli hadis lainnya turut meriwayatkannya
pula; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jumhur ulama menjawab tentang hadis Ibnu Abbas (yang menyatakan atas
dasar nikah yang pertama), bahwa hal tersebut merupakan masalah yang
sudah jelas dan mengandung pengertian bahwa Zainab r.a. masih belum
habis idahnya dari Abul As. Mengingat pendapat yang dipegang oleh
kebanyakan ulama menyebutkan bahwa manakala idahnya telah habis,
sedangkan suaminya masih juga belum masuk Islam, maka otomatis
nikahnya fasakh darinya. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan apabila
idahnya telah habis, maka si istri diperbolehkan memilih: Jika ingin tetap
dengan suaminya diperbolehkan dan nikahnya tetap berlangsung (utuh); dan
jika ingin pisah dengan suaminya, maka nikahnya fasakh, lalu ia boleh kawin
dengan lelaki lain. Mereka menakwilkan hadis Ibnu Abbas dengan pengertian
ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. (Al-Mumtahanah: 10)
Yaitu apabila kamu telah membayar kepada mereka maharnya, maka kamu
boleh mengawininya. Tetapi dengan persyaratannya, yaitu habisnya masa
idah, memakai wali, dan lain sebagainya.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Al-Miswar dan
Marwan ibnul Hakam, bahwa Rasulullah Saw. setelah mengadakan perjanjian
gencatan senjata dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah, maka
datanglah kepada Nabi Saw. kaum wanita mereka yang mukminat. Lalu Allah
Swt. menurunkan firman-Nya:
Maka Umar ibnul Khattab di hari itu menceraikan dua orang istrinya; yang
salah seorangnya kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan,
sedangkan yang lainnya dinikahi oleh Safwan ibnu Umayyah.
Ibnu Saur telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, bahwa ayat ini
diturunkan kepada Rasulullah Saw. Saat itu Rasulullah Saw. berada di bagian
bawah Hudaibiyah sedang mengadakan perjanjian perdamaian dengan
orang-orang kafir Quraisy. Isi dari perjanjian itu antara lain menyebutkan
bahwa barang siapa yang datang kepada Nabi Saw. dari kalangan mereka,
maka Nabi Saw. harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi ketika
yang datang adalah kaum wanita yang beriman, maka turunlah ayat ini dan
Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah agar mengembalikan mahar mereka
kepada suami-suami mereka. Diputuskan pula terhadap kaum musyrik hal
yang semisal, yaitu bahwa apabila datang kepada mereka seorang wanita
dari kaum muslim, hendaklah mereka mengembalikan maharnya kepada
suami wanita itu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Ia
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memutuskan demikian di antara
mereka hanyalah karena mengingat telah adanya perjanjian tersebut antara
orang-orang muslim dan orang-orang musyrik.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa pada hari
turunnya ayat ini Umar r.a. menceraikan Qaribah binti Abu Umayyah ibnul
Mugirah yang kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah, dan Ummu Kalsum binti
Amr ibnu Jarwal Al-Khuza'iyah ibunya Abdullah ibnu Umar, lalu dikawin oleh
Abu Jahm ibnu Huzaifah ibnu Ganim, seorang lelaki dari kalangan kaumnya.
Umar melakukan demikian karena keduanya masih dalam kemusyrikannya.
Dan Talhah ibnu Abdullah menceraikan Arwa binti Rabi'ah ibnul Haris ibnu
Abdul Muttalib. kemudian ia dikawin oleh Khalid ibnu Sa'id ibnul As
sesudahnya.
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni tuntutlah mahar yang telah kamu bayarkan kepada istri-istri kamu yang
pergi kepada orang-orang kafir, jika istri-istrimu itu pergi meninggalkanmu
menuju kepada mereka. Dan sebaliknya hendaklah mereka menuntut mahar
yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada
kaum muslim.
بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهٗ ۖ َوهُ َو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِم َن ْال ٰخ ِس ِري َْن ࣖ
al-yawma
ْٱل َي ْو َم
This day
uḥilla
أ ُ ِح َّل
are made lawful
dihalalkan
lakumu
َل ُك ُم
for you
bagi kalian
l-ṭayibātu
yang baik-baik
waṭaʿāmu
dan makanan
alladhīna
َ ٱلَّذ
ِين
orang-orang yang
ūtū
۟ أُو ُت
وا
were given
(mereka) diberi
l-kitāba
َ ْٱل ِك ٰ َت
ب
the Book
Kitab
ḥillun
ِح ٌّل
(is) lawful
halal
lakum
لَّ ُك ْم
for you
bagi kalian
waṭaʿāmukum
dan makananmu
ḥillun
ِح ٌّل
(is) lawful
halal
lahum
لَّ ُه ۖ ْم
for them
bagi mereka
wal-muḥ'ṣanātu
ُ ص ٰ َن
ت َ َْو ْٱلمُح
mina
م َِن
from
dari
l-mu'mināti
the believers
wanita-wanita mukmin
wal-muḥ'ṣanātu
ُ ص ٰ َن
ت َ َْو ْٱلمُح
and the chaste women
mina
م َِن
from
dari
alladhīna
َ ٱلَّذ
ِين
those who
orang-orang yang
ūtū
۟ أُو ُت
وا
were given
(mereka) diberi
l-kitāba
َ ْٱل ِك ٰ َت
ب
the Book
kitab
min
مِن
from
dari
qablikum
before you
sebelum kalian
idhā
إِ َذٓا
when
jika
ātaytumūhunna
ََّءا َت ْي ُتمُوهُن
ujūrahunna
َ أُج
َُّورهُن
muḥ'ṣinīna
َ مُحْ صِ ن
ِين
being chaste
mengawininya
ghayra
َغي َْر
not
bukan
musāfiḥīna
َ م ٰ َُس ِفح
ِين
being lewd
berzina
walā
َواَل
and not
dan tidak
muttakhidhī
menjadikannya
akhdānin
ٍ ۗ أَ ْخ
دَان
secret lovers
gundik
waman
َو َمن
And whoever
yakfur
َْي ْكفُر
denies
kafir/ingkar
bil-īmāni
ِبٱإْل ِي ٰ َم ِن
the faith
dengan/sesudah beriman
faqad
َف َق ْد
then surely
maka sungguh
ḥabiṭa
َح ِب َط
(are) wasted
terhapus
ʿamaluhu
َع َملُهُۥ
his deeds
amalnya
wahuwa
َوه َُو
and he
dan dia
fī
فِى
in
di
l-ākhirati
the Hereafter
akhirat
mina
م َِن
(will be) among
dari/termasuk
l-khāsirīna
the losers
Transliterasi Latin:
Al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa'āmullażīna ụtul-kitāba ḥillul lakum wa ṭa'āmukum ḥillul lahum
wal-muḥṣanātu minal-mu`mināti wal-muḥṣanātu minallażīna ụtul-kitāba ming qablikum iżā
ātaitumụhunna ujụrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may yakfur bil-
īmāni fa qad ḥabiṭa 'amaluhụ wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn (QS. 5:5)
Arti / Terjemahan:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi. (QS. Al-Ma'idah ayat 5)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat yang lalu memberikan jawaban atas
pertanyaan orang yang beriman tentang apa saja yang dihalalkan bagi
mereka. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan,
yakni binatang halal yang disembelih Ahli Kitab itu halal bagimu selagi tidak
bercampur dengan barang-barang yang haram, dan makananmu halal pula
bagi mereka, maka kamu tidak berdosa memberikannya kepada mereka. Dan
dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan halal pula
menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, yakni
melangsungkan akad nikah secara sah, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Demikian Allah menetapkan
hukum-hukum-Nya untuk dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman.
Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan
di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan tiga macam hal yang halal bagi orang mukmin, yaitu:
1. Makanan yang baik-baik, seperti dimaksud pada ayat keempat. Kemudian
disebutkan kembali pada ayat ini untuk menguatkan arti baik itu dan
menerangkan bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik itu
tidak berubah.
2. Makanan Ahli Kitab. Makanan di sini menurut jumhur ulama ialah
sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka pada waktu itu
mempunyai kepercayaan bahwa haram hukumnya memakan binatang yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Selama mereka masih
mempunyai kepercayaan seperti itu, maka sembelihan mereka tetap halal.
Sedangkan makanan lainnya seperti buah-buahan, dan sebagainya
dikembalikan saja hukumnya kepada jenis yang pertama yaitu tayyibat,
apabila termasuk golongan makanan yang baik-baik boleh dimakan, kalau
tidak (khabais), haram dimakan. Adapun sembelihan orang kafir yang bukan
Ahli Kitab haram dimakan.
3.Mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dan
perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahli Kitab hukumnya halal.
Menurut sebagian mufasir yang dimaksud al-muhsanat ialah perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan dirinya.
Laki-laki boleh mengawini perempuan-perempuan tersebut dengan kewajiban
memberi nafkah, asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung
dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk
dijadikan gundik. Ringkasnya laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-
perempuan Ahli Kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas. Tetapi
perempuan-perempuan Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki Ahli Kitab
apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan Ahlil Kitab. Kemudian akhir ayat
kelima ini memperingatkan, bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman,
maka semua amal baik yang pernah dikerjakannya akan hapus semuanya
dan di akhirat termasuk orang yang rugi.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak (Dan
makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan
orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu) yang
kamu sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita
yang merdeka di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka
dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu) halal pula kamu
kawini (apabila kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar
(dengan maksud mengawini mereka) sehingga terpelihara kehormatan
(bukan dengan maksud berzina) dengan mereka secara terang-terangan (dan
bukan pula untuk mengambil mereka sebagai gundik) atau melakukan
perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan siapa yang kafir
terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah amalnya) amal
saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan
demikian itu.
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang
baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:
Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu
orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya:
Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan,
Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan
mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan
mereka (orang-orang Ahli Kitab).
Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang
menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang
Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, "Pada hari ini aku tidak
akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi
Saw. yang memandangnya seraya tersenyum.
Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan
sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi
sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.
Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab
Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai bantahan terhadap mazhab
Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang
Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang
diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim
memakannya dengan berdalilkan firman-Nya:
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi
kalian.
Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di
dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing
panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi
racun pada kakinya. Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw.
memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu
memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw.
memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai
pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut
makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak
tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan
racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.
Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang
menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya
apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka
diharamkan, berupa lemak atau tidak?
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang
Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari
tepung jewawut dan lemak.
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub
ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari
Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah
mengatakan, "Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena
sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya kepada masalah
meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan
ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab
dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil
sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab.
Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya.
mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman
ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi
kalian.
Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau
sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak
halal.
Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan
kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka,
kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang
pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang
disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun
dari kalangan agama lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian
diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian,
sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini
termasuk ke dalam Bab 'Timbal Balik dan Saling Memberi". Perihalnya sama
dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah
ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi
Saw. dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan
bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman
Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw.
membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.
Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang
disunatkan, bukan perintah wajib.
Firman Allah Swt.:
Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama
halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna
yang dimaksud dengan firman-Nya:
...dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang
yang diberi Al-Kltab sebelum kalian.
Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang
memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah
menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf
yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara
kehormatannya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-
wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab
yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan
firman-Nya yang mengatakan:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian. (At Taubah:29), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-
Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-
Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik
Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya:
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
(Al Baqarah:221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga
turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kalian. (Al Maidah:5) Maka orang-orang mulai menikahi
wanita-wanita Ahli Kitab.
Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat
surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. (Al Baqarah:221) sekalipun bila dikatakan
bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang
dikandungnya, bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan
ayat yang sebelumnya.
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada
orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?" Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. (Ali Imran:20),
hingga akhir ayat.
Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-
Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu
wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan,
dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu
Jarir, dari mereka.
Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan
orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).