You are on page 1of 59

‫‪Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 221‬‬

‫‪Al-Baqarah: 221 ~ Quran Terjemah Perkata dan Tafsir‬‬


‫‪Bahasa Indonesia‬‬
‫ت َح ٰتّى ي ُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ‬
‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك ِ‬

‫َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َح ٰتّى ي ُْؤ ِمنُ ْوا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍ‬
‫ك َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ‬

‫ٰ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ك ي ْد ُع ْو َن الَى النَّار ۖ وهّٰللا‬ ‫ُ ٰۤ‬


‫اس‬‫َّ‬ ‫ن‬
‫ِٖ ِ ِ‬‫ل‬‫ل‬ ‫ه‬
‫‪1‬‬ ‫ت‬‫ي‬‫ٰ‬ ‫ا‬ ‫ُ‬
‫ِّن‬ ‫ي‬‫َ‬ ‫ب‬‫ُ‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ۚ‬
‫ه‬ ‫ن‬‫ذ‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫ة‬ ‫ر‬
‫َ‬ ‫ف‬
‫ِ َ َ ِ ِ ِِ ِٖ َ‬ ‫ْ‬
‫غ‬ ‫م‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ة‬‫َّ‬ ‫ن‬‫ج‬‫َ‬ ‫ال‬ ‫ى‬‫َ‬ ‫ل‬‫ِ‬ ‫ا‬ ‫ا‬‫و‬‫ْ‬ ‫ٓ‬ ‫ُ‬
‫ع‬ ‫ْ‬
‫د‬ ‫َ‬ ‫ي‬ ‫ُ‬ ‫ِ َ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫‪1‬‬
‫ِ‬ ‫ٕى‬
‫ا ِٕ‬
‫ول‬

‫لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكر ُْو َن ࣖ‬

‫‪walā‬‬
‫َواَل‬

‫‪And (do) not‬‬


‫‪dan jangan‬‬
‫‪tankiḥū‬‬
‫َتن ِكح ۟‬
‫ُوا‬

‫‪[you] marry‬‬
‫‪kamu nikahi‬‬
‫‪l-mush'rikāti‬‬
‫ْٱل ُم ْش ِر ٰ َك ِ‬
‫ت‬

‫‪[the] polytheistic women‬‬


‫‪wanita-wanita musyrik‬‬
‫‪ḥattā‬‬
‫َح َّت ٰى‬
until
sehingga
yu'minna
َّ‫ي ُْؤم ِۚن‬

they believe
mereka beriman
wala-amatun
‫َوأَل َ َم ٌة‬

And a bondwoman
dan sungguh budak wanita
mu'minatun
‫م ُّْؤ ِم َن ٌة‬

(who is) believing


beriman
khayrun
‫َخ ْي ٌر‬

(is) better
baik
min
‫مِّن‬

than
daripada
mush'rikatin
‫ُّم ْش ِر َك ٍة‬

a polytheistic woman
wanita musyrik
walaw
‫َو َل ْو‬

[and] even if
walaupun
aʿjabatkum
‫أَعْ َج َب ْت ُك ۗ ْم‬

she pleases you


ia menarik hatimu
walā
‫َواَل‬

And (do) not


dan jangan
tunkiḥū
۟ ‫ُتن ِكح‬
‫ُوا‬

give in marriage (your women)


kamu menikahkan
l-mush'rikīna
َ ‫ْٱل ُم ْش ِرك‬
‫ِين‬

(to) [the] polytheistic men


orang-orang musyrik
ḥattā
‫َح َّت ٰى‬

until
sehingga
yu'minū
ۚ۟ ‫ي ُْؤ ِم ُن‬
‫وا‬
they believe
mereka beriman
walaʿabdun
‫َو َل َع ْب ٌد‬

and a bondman
dan sungguh budak
mu'minun
ٌ‫م ُّْؤ ِمن‬

(who is) believing


beriman
khayrun
‫َخ ْي ٌر‬

(is) better
lebih baik
min
‫مِّن‬

than
daripada
mush'rikin
ٍ‫ُّم ْش ِرك‬

a polytheistic man
orang musyrik
walaw
‫َو َل ْو‬

[and] even if
walaupun
aʿjabakum
‫أَعْ َج َب ُك ۗ ْم‬

he pleases you
dia menarik hatimu
ulāika
ٓ
َ ‫أ ُ ۟و ٰ َل ِئ‬
‫ك‬

[Those]
mereka itu
yadʿūna
َ ‫َي ْدع‬
‫ُون‬

they invite
mereka mengajak
ilā
‫إِ َلى‬

to
kepada
l-nāri
ِ ۖ ‫ٱل َّن‬
‫ار‬

the Fire
neraka
wal-lahu
ُ ‫َوٱهَّلل‬
and Allah
dan Allah
yadʿū
‫َي ْدع ُٓو ۟ا‬
invites
Dia mengajak
ilā
‫إِ َلى‬

to
kepada
l-janati
‫ْٱل َج َّن ِة‬

Paradise
surga
wal-maghfirati
‫َو ْٱل َم ْغف َِر ِة‬

and [the] forgiveness


dan ampunan
bi-idh'nihi
ۖ‫ِبإِ ْذ ِن ِهۦ‬

by His permission
dengan izinNya
wayubayyinu
ُ‫َو ُي َبيِّن‬

And He makes clear


dan Dia menerangkan
āyātihi
‫َءا ٰ َي ِتهِۦ‬

His Verses
ayat-ayatNya
lilnnāsi
ِ ‫لِل َّن‬
‫اس‬

for the people


kepada manusia
laʿallahum
‫َل َعلَّ ُه ْم‬

so that they may


supaya mereka
yatadhakkarūna
َ ‫َي َت َذ َّكر‬
‫ُون‬

take heed
mereka ingat / mengambil pelajaran
Transliterasi Latin:
Wa lā tangkiḥul-musyrikāti ḥattā yu`minn, wa la`amatum mu`minatun khairum mim musyrikatiw walau
a'jabatkum, wa lā tungkiḥul-musyrikīna ḥattā yu`minụ, wa la'abdum mu`minun khairum mim musyrikiw
walau a'jabakum, ulā`ika yad'ụna ilan-nāri wallāhu yad'ū ilal-jannati wal-magfirati bi`iżnih, wa yubayyinu
āyātihī lin-nāsi la'allahum yatażakkarụn (QS. 2:221)
Arti / Terjemahan:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah ayat 221)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Pada ayat ini Allah memberi tuntunan dalam memilih pasangan. Dan
janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi atau menjalin ikatan
perkawinan dengan perempuan musyrik penyembah berhala sebelum mereka
benar-benar beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman yang berstatus sosial rendah menurut
pandangan masyarakat lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu karena kecantikan, nasab, kekayaannya, atau semisalnya.
Dan janganlah kamu, wahai para wali, nikahkan orang laki-laki musyrik
penyembah berhala dengan perempuan yang beriman kepada Allah dan
Rasulullah sebelum mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu, karena kegagahan, kedudukan, atau
kekayaannya. Ketahuilah, mereka akan selalu berusaha mengajak ke dalam
kemusyrikan yang menjerumuskanmu ke neraka, sedangkan Allah mengajak
dengan memberikan bimbingan dan tuntunan menuju jalan ke surga dan
ampunan dengan rida dan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni
tanda-tanda kekuasaan-Nya berupa aturan-aturan kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran sehingga mampu membedakan mana yang baik
dan membawa kemaslahatan, dan mana yang buruk dan menimbulkan
kemudaratan. Pernikahan yang dilandasi keimanan, ketakwaan, dan kasih
sayang akan mewujudkan kebahagiaan, ketenteraman, dan keharmonisan .
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Di dalam ayat ini ditegaskan larangan bagi seorang Muslim mengawini
perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan
laki-laki musyrik, kecuali kalau mereka telah beriman. Walaupun mereka itu
cantik dan rupawan, gagah, kaya, dan sebagainya, budak perempuan atau
budak laki-laki yang mukmin lebih baik untuk dikawini daripada mereka. Dari
pihak perempuan yang beriman tidak sedikit pula jumlahnya yang cantik,
menarik hati, dan berakhlak.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda:


Jangan kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, mungkin
kecantikan itu akan membinasakan mereka, janganlah kamu mengawini
mereka karena harta kekayaannya, mungkin harta kekayaan itu akan
menyebabkan mereka durhaka dan keras kepala. Tetapi kawinilah mereka
karena agamanya (iman dan akhlaknya). Budak perempuan yang hitam,
tetapi beragama, lebih baik dari mereka yang tersebut di atas. (Riwayat Ibnu
Majah dari Abdullah bin 'Umar).

Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersabda:


Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah
perempuan yang beragama, maka engkau akan beruntung. (Riwayat al-
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Perkawinan erat hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang


beragama, mereka menyembah selain Allah. Dalam soal perkawinan dengan
orang musyrik ada batas larangan yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan,
bermasyarakat itu biasa saja. Sebab perkawinan erat hubungannya dengan
keturunan dan keturunan erat hubungannya dengan harta warisan, makan
dan minum, dan ada hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan
Islam.
Perkawinan dengan orang musyrik dianggap membahayakan seperti
diterangkan di atas, maka Allah melarang mengadakan hubungan perkawinan
dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan
umat Islam ke dalam bahaya di dunia, dan menjerumuskannya ke dalam
neraka di akhirat, sedang ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang mukmin
selalu membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Janganlah kamu nikahi) hai kaum muslimin, (wanita-wanita musyrik),
maksudnya wanita-wanita kafir (sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik) walaupun ia
merdeka. Sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan celaan yang
ditujukan kepada laki-laki yang menikahi budak wanita dan menyanjung serta
menyenangi laki-laki yang menikahi wanita merdeka yang musyrik (walaupun
ia menarik hatimu) disebabkan harta dan kecantikannya. Ini dikhususkan bagi
wanita yang bukan ahli kitab dengan ayat "Dan wanita-wanita yang terpelihara
di antara golongan ahli kitab". (Dan janganlah kamu kawinkan) atau nikahkan
(laki-laki musyrik), artinya laki-laki kafir dengan wanita-wanita beriman
(sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik walaupun ia menarik hatimu) disebabkan harta dan
ketampanannya. (Mereka itu) atau ahli syirik (mengajak ke neraka)
disebabkan anjuran mereka melakukan perbuatan membawa orang ke
dalamnya, hingga tidaklah baik kawin dengan mereka. (Sedangkan Allah
mengajak) melalui lisan para Rasul-Nya (ke surga serta ampunan),
maksudnya amal perbuatan yang menjurus kepada keduanya (dengan izin-
Nya), artinya dengan kehendak-Nya, maka wajiblah bagi kamu atau wali-
walinya mengabulkan perkawinan (Dan dijelaskan-Nya ayat-ayat-Nya kepada
manusia agar mereka beroleh peringatan) atau mendapat pelajaran.
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi
wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika
makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian
setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi, dikecualikan dari
hal tersebut wanita Ahli Kitab oleh firman-Nya:

(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di


antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina. (Al Maidah:5)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Bahwa Allah mengecualikan dari hal tersebut
wanita Ahli Kitab.

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Al-
Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.

Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini adalah
orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan bukan Ahli Kitab
secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang
pertama tadi.

Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:


yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnu Adam ibnu Abu lyas Al-
Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram Al-Fazzari, telah menceritakan kepada
kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abdullah ibnu Abbas mengatakan hadis berikut: Rasulullah Saw. telah
melarang menikahi berbagai macam wanita kecuali wanita-wanita yang
mukmin dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita
beragama selain Islam. Allah Swt. telah berfirman: Barang siapa yang kafir
sesudah beriman, maka hapuslah amalannya. (Al Maidah:5) Talhah ibnu
Abdullah pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, dan Huzaifah ibnul
Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Nasrani, maka Khalifah Umar
ibnul Khattab marah sekali mendengarnya hingga hampir-hampir dia
menghajar keduanya. Tetapi keduanya mengatakan, "Wahai Amirul Muminin,
janganlah engkau marah, kami akan menceraikannya." Khalifah Umar
menjawab, "Kalau boleh ditalak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan
mencabut mereka dari kalian secara hina dina."

Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh sekali), demikian pula asar yang
dari Umar ibnul Khattab r.a.

Abu Ja'far ibnu Jarir sesudah meriwayatkan perihal adanya kesepakatan


boleh menikahi wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa sesungguhnya Khalifah
Umar hanyalah tidak menyukai perkawinan seperti itu dengan maksud agar
kaum muslim tidak enggan menikahi wanita-wanita muslimah, atau karena
alasan lainnya. Seperti yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami
As-Silt ibnu Bahram, dari Syaqiq yang menceritakan bahwa Huzaifah
mengawini seorang wanita Yahudi, lalu Umar r.a. berkirim surat kepadanya
yang isinya mengatakan, "Lepaskanlah dia." Lalu Huzaifah membalas
suratnya, "Apakah engkau menduga bahwa kawin dengan dia haram hingga
aku harus melepaskannya?" Umar mengatakan, "Aku tidak menduganya
haram dikawin, melainkan aku merasa khawatir kalian enggan menikahi
wanita-wanita mukmin karena mereka (wanita-wanita Ahli Kitab)." Sanad asar
ini sahih.

Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari Muhammad ibnu Ismail, dari
Waki', dari As-Silt.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Abdur


Rahman Al-Masruq, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr,
telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'd, dari Yazid ibnu Abu Ziyad,
dari Zaid ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab
pernah mengatakan: Lelaki muslim boleh mengawini wanita Nasrani, tetapi
lelaki Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih sanadnya daripada yang
pertama tadi.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Tamim ibnul


Muntasir, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraqi, dari Syarik, dari
Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kami boleh mengawini wanita-
wanita Ahli Kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini wanita-wanita kami.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini sekalipun dalam sanadnya
terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal tersebut. Demikianlah
pendapat Ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad


ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ja'far ibnu
Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, dari Ibnu Umar, bahwa ia menghukumi
makruh mengawini wanita Ahli Kitab atas dasar takwil firman-Nya: Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.

Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Aku belum
pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar daripada perkataan
wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa."

Abu Bakar Al-Khalal Al-Hambali mengatakan, telah menceritakan kepada


kami Muhammad ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu
Ibrahim. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ali, telah
menceritakan kepada kami Saleh ibnu Ahmad, bahwa keduanya pernah
bertanya kepada Abu Abdullah Ahmad ibnu Hambal mengenai makna firman-
Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. (Al Baqarah:221) Bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita
musyrik ialah mereka yang menyembah berhala.

Firman Allah Swt.:

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik,


walaupun dia menarik hatimu.

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah


ibnu Rawwahah. Dia mempunyai seorang budak wanita hitam, lalu di suatu
hari ia marah kepadanya, kemudian menamparnya. Setelah itu ia merasa
menyesal, lalu ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan
kepadanya peristiwa yang telah dialaminya itu. Rasulullah Saw. bertanya
kepadanya, "Bagaimanakah perilakunya?" Abdullah ibnu Rawwahah
menjawab, "Dia puasa, salat, melakukan wudu dengan baik, serta bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah." Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Abdullah, kalau demikian dia adalah
wanita yang beriman." Abdullah ibnu Rawwahah lalu berkata, "Demi Tuhan
yang telah mengutusmu dengan hak, aku benar-benar akan
memerdekakannya, lalu akan aku nikahi." Abdullah ibnu Rawwahah
melakukan apa yang telah dikatakannya itu. Lalu ada sejumlah kaum muslim
yang mengejeknya dan mengatakan bahwa dia telah mengawini budak
perempuannya.

Mereka bermaksud akan menikahkan budak-budak wanita mereka kepada


orang-orang musyrik karena faktor ingin mengambil keturunan dan
kedudukannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya budak
perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.

Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.

Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Aim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari
Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Janganlah kamu mengawini wanita karena kecantikannya, karena
barangkali kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan janganlah kamu
nikahi wanita karena harta bendanya, karena barangkali harta bendanya itu
membuatnya kelewat batas. Tetapi nikahilah karena agamanya,
sesungguhnya budak wanita hitam lagi tidak cantik tetapi beragama adalah
lebih utama.

Akan tetapi, Al-Afriqi orangnya daif.

Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw.
yang telah bersabda:

Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah
wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan beruntung.

Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir r.a., hal yang semisal.

Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:

Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah


(mempunyai) istri yang saleh.

Firman Allah Swt.:

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-


wanita beriman) sebelum mereka beriman.

Artinya, janganlah kalian mengawinkan wanita yang beriman dengan lelaki


yang musyrik. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya:

Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada halal bagi orang-orang kafir itu,
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al Mumtahanah:10)

Adapun firman Allah Swt.:

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik,


walaupun dia menarik hatimu.

Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin —sekalipun sebagai budak yang
berkulit hitam (Habsyi)— adalah lebih baik daripada orang musyrik, sekalipun
ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya.

Mereka mengajak ke neraka.

Yakni bergaul dan berjodoh dengan mereka membangkitkan cinta kepada


keduniawian dan gemar mengumpulkannya serta mementingkan duniawi di
atas segalanya dan melupakan perkara akhirat. Hal tersebut akibatnya akan
sangat mengecewakan.

...sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah dengan syariat-Nya dan perintah serta
larangan-Nya.

Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada


manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al Baqarah:221)
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab
Tidak berdosa mempergauli anak-anak yatim. Yang berdosa adalah
mempergauli orang-orang musyrik. Maka, seorang Mukmin tidak boleh
menikahi wanita musyrik yang tidak beriman kepada kitab-kitab suci samawi.
Janganlah kekayaan, kecantikan, status sosial dan keturunan yang dimiliki
seorang wanita musyrik membuat salah seorang di antara kalian
menikahinya. Seorang wanita budak Mukmin lebih baik daripada wanita
musyrik merdeka yang memiliki kekayaan, kecantikan, kedudukan dan
keturunan terhormat. Dan seorang Mukmin yang mempunyai hak perwalian
juga tidak boleh menikahkan wanita dengan seorang musyrik yang tidak
beriman kepada kitab-kitab suci samawi. Jangan sampai ada di antara kalian
lebih memilih seorang musyrik hanya karena kekayaan dan status sosialnya
yang tinggi. Seorang budak yang Mukmin lebih baik daripada dia. Orang-
orang musyrik itu selalu berusaha mengajak keluarganya untuk berbuat
maksiat yang akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Allah, ketika
memisahkan kalian dari orang-orang musyrik dalam masalah perkawinan,
sebenarnya mengajak kalian kepada kebaikan dan petunjuk yang benar.
Dengan begitu, kalian akan memperoleh surga dan ampunan serta
mengarungi jalan kebaikan dengan mudah. Allah telah menjelaskan syariat
dan petunjuk-Nya kepada manusia agar mereka mengetahui apa-apa yang
mengandung maslahat dan baik buat mereka.
‫‪Al-Qur'an Surat Al-Mumtahanah Ayat 10‬‬
‫‪Al-Mumtahanah: 10 ~ Quran Terjemah Perkata dan Tafsir‬‬
‫‪Bahasa Indonesia‬‬
‫ت فَا ْمتَ ِحنُ ْوهُ ۗ َّن هّٰللَا ُ اَ ْعلَ ُم بِا ِ ْي َمانِ ِه َّن فَا ِ ْن‬ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا َج ۤا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِم ٰن ُ‬
‫ت ُم ٰه ِج ٰر ٍ‬

‫ار اَل هُ َّن ِحلٌّ لَّهُ ْم َواَل هُ ْم يَ ِحلُّ ْو َن لَه ۗ َُّن‬


‫ت فَاَل تَرْ ِجع ُْوهُ َّن اِلَى ْال ُكفَّ ۗ ِ‬
‫َعلِ ْمتُ ُم ْوهُ َّن ُم ْؤ ِم ٰن ٍ‬

‫َو ٰاتُ ْوهُ ْم َّمٓا اَ ْنفَقُ ْو ۗا َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم اَ ْن تَ ْن ِكح ُْوهُ َّن اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ ۗ َّن َواَل تُ ْم ِس ُك ْوا‬

‫ص ِم ْال َك َوافِ ِر َوسْٔـََٔ‪1‬لُ ْوا‪َ 1‬مٓا اَ ْنفَ ْقتُ ْم َو ْليَسْٔـََٔ‪1‬لُ ْوا َمٓا اَ ْنفَقُ ْو ۗا ٰذلِ ُك ْم ُح ْك ُم هّٰللا ِ ۗيَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ۗ ْم َوهّٰللا ُ‬
‫بِ ِع َ‬

‫َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬

‫‪yāayyuhā‬‬

‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها‬

‫!‪O you‬‬

‫‪wahai‬‬

‫‪alladhīna‬‬

‫ٱلَّذ َ‬
‫ِين‬
who!

orang-orang yang

āmanū

‫َءا َم ُن ٓو ۟ا‬

believe!

beriman

idhā

‫إِ َذا‬

When

apabila

jāakumu

‫َجٓا َء ُك ُم‬

come to you

datang kepadamu

l-mu'minātu

ُ ‫ْٱلم ُْؤ ِم ٰ َن‬


‫ت‬

the believing women

orang perempuan beriman

muhājirātin

ٍ ‫ُم ٰ َه ِج ٰ َر‬
‫ت‬
(as) emigrants

berhijrah

fa-im'taḥinūhunna

َّ‫َفٱ ْم َت ِح ُنوه ُۖن‬

then examine them

maka ujilah mereka

l-lahu

ُ ‫ٱهَّلل‬

Allah

Allah

aʿlamu

‫أَعْ َل ُم‬

(is) most knowing

mengetahui

biīmānihinna

َّ‫ِبإِي ٰ َمن ِِه ۖن‬

of their faith

tentang keimanan mereka

fa-in

ْ‫َفإِن‬
And if

maka jika

ʿalim'tumūhunna

َّ‫َعلِ ْم ُتمُوهُن‬

you know them

mengetahui mereka

mu'minātin

ٍ ‫م ُْؤ ِم ٰ َن‬
‫ت‬

(to be) believers

wanita-wanita beriman

falā
‫َفاَل‬

then (do) not

maka janganlah

tarjiʿūhunna

َّ‫َترْ ِجعُوهُن‬

return them

kamu kembalikan mereka

ilā

‫إِ َلى‬
to

kepada

l-kufāri

ِ ۖ ‫ْٱل ُك َّف‬
‫ار‬

the disbelievers

orang-orang kafir


‫اَل‬

Not

tidak

hunna

َّ‫هُن‬

they

mereka (wanita beriman)

ḥillun

‫ِح ٌّل‬

(are) lawful

halal

lahum

‫لَّ ُه ْم‬
for them

bagi mereka

walā
‫َواَل‬

and not

dan tidak

hum

‫ُه ْم‬

they

mereka

yaḥillūna

َ ُّ‫َي ِحل‬
‫ون‬

are lawful

halal

lahunna

َّ‫َله ُۖن‬

for them

bagi mereka

waātūhum

‫َو َءا ُتوهُم‬


But give them

dan berikan kepada mereka

‫مَّٓا‬

what

apa-apa

anfaqū
ۚ۟ ُ‫أَن َفق‬
‫وا‬

they have spent

mereka belanjakan

walā
‫َواَل‬

And not

dan tidak

junāḥa

َ ‫ُج َن‬
‫اح‬

any blame

berdosa

ʿalaykum

‫َع َل ْي ُك ْم‬
upon you

atas kalian

an

‫أَن‬

if

bahwa

tankiḥūhunna

َّ‫َتن ِكحُوهُن‬

you marry them

kamu nikah dengan mereka

idhā

‫إِ َذٓا‬

when

apabila

ātaytumūhunna

َّ‫َءا َت ْي ُتمُوهُن‬

you have given them

kamu berikan kepada mereka

ujūrahunna

َّ‫ُوره ُۚن‬
َ ‫أُج‬
their (bridal) dues

maskawin mereka

walā
‫َواَل‬

And (do) not

dan jangan

tum'sikū
۟ ‫ُت ْمسِ ُك‬
‫وا‬

hold

kamu tahan/pegang

biʿiṣami

‫ِص ِم‬
َ ‫ِبع‬

to marriage bonds

dengan tali/ikatan

l-kawāfiri

‫ْٱل َك َواف ِِر‬

(with) disbelieving women

wanita-wanita kafir

wasalū
۟ ُ‫ل‬Žَٔ‫َوسْ ٔـ‬
‫وا‬
but ask (for)

dan mintalah

‫َمٓا‬

what

apa

anfaqtum

‫أَن َف ْق ُت ْم‬

you have spent

kamu belanjakan

walyasalū
۟ ُ‫ل‬Žَٔ‫َو ْل َيسْ ٔـ‬
‫وا‬

and let them ask

dan agar mereka meminta

‫َمٓا‬

what

apa

anfaqū
ۚ۟ ُ‫أَن َفق‬
‫وا‬
they have spent

yang mereka belanjakan

dhālikum

‫ٰ َذلِ ُك ْم‬

That

demikian itu

ḥuk'mu

‫ح ُْك ُم‬

(is the) Judgment

ketetapan/hukum

l-lahi

ِ ۖ ‫ٱهَّلل‬

(of) Allah

Allah

yaḥkumu

‫َيحْ ُك ُم‬

He judges

menetapkan/memberi hukum

baynakum

‫َب ْي َن ُك ۚ ْم‬
between you

diantara kamu

wal-lahu

ُ ‫َوٱهَّلل‬

And Allah

dan Allah

ʿalīmun

‫َعلِي ٌم‬

(is) All-Knowing

Maha Mengetahui

ḥakīmun

‫َحكِي ٌم‬

All-Wise

Maha Bijaksana

Transliterasi Latin:
Yā ayyuhallażīna āmanū iżā jā`akumul-mu`minātu muhājirātin famtaḥinụhunn, allāhu a'lamu
bi`īmānihinna fa in 'alimtumụhunna mu`minātin fa lā tarji'ụhunna ilal-kuffār, lā hunna ḥillul lahum wa lā
hum yaḥillụna lahunn, wa ātụhum mā anfaqụ, wa lā junāḥa 'alaikum an tangkiḥụhunna iżā
ātaitumụhunna ujụrahunn, wa lā tumsikụ bi'iṣamil-kawāfiri was`alụ mā anfaqtum walyas`alụ mā anfaqụ,
żālikum ḥukmullāh, yaḥkumu bainakum, wallāhu 'alīmun ḥakīm  (QS. 60:10)
Arti / Terjemahan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-
Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al-Mumtahanah ayat 10)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Melalui ayat ini Allah menjelaskan tentang tata cara yang harus dilakukan
Rasulullah apabila menerima perempuan yang berasal dari daerah kafir dan
hukum perkawinan mereka. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
perempuan-perempuan mukmin yang berasal daerah yang dikuasai orang-
orang kafir datang berhijrah kepadamu ke Madinah, maka hendaklah kamu uji
keimanan mereka agar kamu mengetahui latar belakang dan motivasi
kedatangan mereka, serta dapat memberikan perlindungan yang tepat
kepada mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, hakikat,
kualitas, bahkan yang terbesit dalam hati mereka; namun, pengujian ini
diperlukan untuk kewaspadaan. Jika kamu telah mengetahui, setelah kamu
melakukan wawancara mendalam terhadap mereka bahwa mereka,
perempuan-perempuan yang meminta perlindungan itu benar-benar beriman,
maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir,
yakni suami-suami mereka yang kafir, karena perkawinan mereka batal,
ketika perempuan-perempuan itu masuk Islam. Mereka, perempuan-
perempuan muslimah itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu, yakni bagi para
suami mereka untuk berhubungan suami-istri dan orang-orang kafir itu pun,
yakni para suami yang kafir, tidak halal bagi mereka, para istri yang sudah
menjadi muslimah untuk berhubungan suami-istri. Dan berikanlah kepada
suami mereka, yang masih tetap kafir itu mahar yang telah mereka berikan
kepada mantan istrinya yang menjadi muslimah, jika mereka meminta. Dan
tidak ada dosa bagi kamu, para laki-laki muslim untuk menikahi mereka,
karena perempuan-perempuan itu berstatus janda, apabila kamu menikahinya
setelah selesai masa iddah, mengikuti hukum Allah dan dengan tujuan
pernikahan yang benar, serta membayarkan kepada mereka maharnya
sesuai kesepakatan.” Sebaliknya jika perempuan-perempuan muslimah
meninggalkan suami mereka, masuk ke daerah kafir dan menjadi kafir, maka
Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu, para laki-laki muslim tetap
berpegang pada tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir, karena
pernikahan kamu dengan mereka batal setelah mereka murtad; dan
hendaklah kamu, para laki-laki muslim meminta kembali mahar yang telah
kamu berikan kepada mantan istri kamu yang murtad itu.” Sementara itu
tentang perempuan beriman yang menghadap kepada Nabi di Madinah, Allah
menegaskan, “Dan jika suaminya tetap kafir, sedangkan perempuan-
perempuan itu benar-benar beriman, biarkanlah mereka, para suami itu,
meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan istrinya
yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu tentang perceraian karena suami atau istri murtad atau istri masuk
Islam, serta larangan menikah beda agama. Dan Allah Maha Mengetahui
semua yang tersimpan dalam hati, Mahabijasana dalam menyikapi tingkah
laku manusia.”
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang
yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan
beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta
perlindungan. Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan
dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak
padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa
lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena
melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.
Allah memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui
hal ihwal mereka. Allah Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan
mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk
kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang
berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan
penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri.
Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang
beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke
daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi
suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi
perempuan yang beriman.
Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika
seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan
suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada
suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram
hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir.
Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang
masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi'i, istri
wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu
memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib
dikembalikan. Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib
dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan
perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak
termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak
wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum
pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta
oleh suaminya.
Sementara itu kaum Muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan
mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa
perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari
tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar
diri mereka terpelihara.
Allah menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri
yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada
hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman
dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir.
Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam.
Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman
kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan
mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang
yang pernah diberikan suaminya yang Muslim.
Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh
setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam
menetapkan hukum-Nya, Allah Maha Mengetahui kesanggupan hamba yang
akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan
oleh hamba-hamba-Nya. Dalam menetapkan hukum itu, Allah juga
mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum
itu bagi yang memikulnya.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian perempuan-
perempuan yang beriman) secara lisannya (untuk berhijrah) dari orang-orang
kafir sesudah kalian mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang
kafir dalam perjanjian Hudaibiah, yaitu bahwa barang siapa yang datang
kepada orang-orang mukmin dari kalangan mereka, maka orang itu harus
dikembalikan lagi kepada mereka (maka hendaklah kalian uji mereka) melalui
sumpah, yaitu bahwa sesungguhnya mereka sekali-kali tidak keluar
meninggalkan kampung halamannya melainkan karena senang kepada Islam,
bukan karena benci terhadap suami mereka yang kafir, dan bukan pula
karena mencintai orang-orang lelaki dari kalangan kaum muslimin.
Demikianlah isi sumpah yang dilakukan oleh Nabi saw. kepada perempuan-
perempuan itu (Allah telah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kalian telah mengetahui, bahwa mereka) yakni kalian menduga melalui
sumpah yang telah mereka ucapkan, bahwa mereka (benar-benar beriman
maka janganlah kalian kembalikan mereka) janganlah kalian mengembalikan
mereka (kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada mereka) yakni kembalikanlah kepada orang-orang kafir yang menjadi
suami mereka (mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan-
perempuan mukmin itu. (Dan tiada dosa atas kalian mengawini mereka)
dengan syarat (apabila kalian bayar kepada mereka maharnya)
maskawinnya. (Dan janganlah kalian tetap berpegang) dapat dibaca
tumsikuu, dan tumassikuu yakni dengan memakai tasydid dan tanpa tasydid
(pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir) yakni istri-istri
kalian yang kafir, karena keislaman kalian telah memutuskannya dari kalian
berikut syarat-syaratnya. Atau perempuan-perempuan yang menyusul atau
mengikuti orang-orang musyrik dalam keadaan murtad, karena
kemurtadannya telah memutuskan tali perkawinan mereka dengan kalian,
berikut syarat-syaratnya (dan hendaklah kalian minta) hendaklah kalian tuntut
(apa yang telah kalian nafkahkan) kepada mereka yaitu mahar-mahar yang
telah kalian bayar kepada mereka, berupa pengembalian dari orang-orang
kafir yang mengawini mereka (dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar) kepada perempuan-perempuan yang ikut berhijrah,
sebagaimana penjelasan yang telah lalu yaitu bahwasanya kaum musliminlah
yang membayarkannya. (Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kalian) untuk kalian laksanakan. (Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana).
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Dalam surat Al-Fath yang lalu telah disebutkan mengenai gencatan senjata
Hudaibiyah yang telah ditandatangani oleh Rasulullah Saw. dan orang-orang
kafir Quraisy. Di dalam perjanjian tersebut tertuangkan naskah berikut, yang
antara lain tidak boleh datang kepada engkau seseorang dari kalangan kami
walaupun dia seagama dengan engkau, melainkan engkau harus
mengembalikannya kepada kami. Menurut riwayat lain, sesungguhnya tidak
boleh ada seseorang dari kami datang kepadamu, sekalipun dia berada
dalam agamamu, melainkan kamu harus mengembalikannya kepada kami.
Demikianlah menurut pendapat Urwah, Ad-Dahhak, Abdur Rahman ibnu Zaid,
Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi.

Berdasarkan riwayat ini berarti ayat ini men-takhsis sunnah, dan ini
merupakan contoh yang terbaik tentang hal tersebut.

Tetapi sebagian ulama Salaf menyebutnya me-mansukh sunnah. Karena


sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman, bahwa apabila datang kepada mereka wanita-wanita yang berhijrah,
hendaklah terlebih dahulu mereka menguji keimanan wanita-wanita yang baru
tiba itu. Jika ternyata wanita-wanita itu mereka ketahui beriman, maka
janganlah mereka mengembalikan wanita-wanita yang baru hijrah itu kepada
suami-suami mereka yang masih kafir; wanita-wanita itu tidak halal bagi
suami mereka, dan suami mereka tidak halal bagi wanita-wanita itu.

Kami telah menyebutkan dalam biografi Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy,
bagian dari Musnad Kabir-nya, melalui jalur Abu Bakar ibnu Abu Asim, dari
Muhammad ibnu Yahya Az-Zahali, dari Ya'qub ibnu Muhammad, dari Abdul
Aziz ibnu Imran, dari Majma' ibnu Ya'qub, dari Hanin ibnu Abu Abanah, dari
Abdullah ibnu Abu Ahmad yang menceritakan bahwa Ummu Kalsum binti
Uqbah ibnu Abu Mu'it hijrah ke Madinah, maka kedua saudara lelakinya (yaitu
Imarah dan Al-Walid) menyusulnya hingga keduanya sampai kepada
Rasulullah Saw. Maka keduanya berbicara kepada Rasulullah Saw. mengenai
Ummu Kalsum dan meminta agar Nabi Saw. mengembalikannya kepada
keduanya. Maka Allah Swt. merusak perjanjian yang telah ada di antara Nabi
Saw. dan kaum musyrik dalam pasal yang berkenaan dengan kaum wanita
secara khusus. Maka Allah melarang kaum mukmin mengembalikan wanita-
wanita yang beriman kepada orang-orang musyrik, dan untuk itu Allah Swt.
menurunkan ayat ujian ini.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Qais ibnurRabi', dari Al-
Agar ibnusSabbah, dari Khalifah ibnu Husain, dari AbuNasr Al-Asadi yang
mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang cara Rasulullah Saw.
menguji wanita-wanita yang berhijrah itu. Maka Ibnu Abbas menjawab, bahwa
Nabi Saw. menguji mereka dengan pertanyaan 'tiadalah seseorang dari
mereka keluar karena benci kepada suami,' lalu disumpah untuk itu.
Disumpah pula bahwa hendaknya keluarnya dia bukan karena mau pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain. Juga disumpah dengan nama Allah
bahwa ia keluar bukan untuk mencari dunia. Dan disumpah pula bahwa
hendaknya ia keluar bukan karena dorongan apa pun, melainkan hanya
karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy meriwayatkannya pula melalui


jalur lain, dari Al-Agar ibnus Sabbah dengan sanad yang sama. Hal yang
sama telah diriwayatkan oleh Al-Bazzar melalui jalurnya, dan disebutkan di
dalamnya bahwa yang menyumpah mereka atas perintah Rasulullah Saw.
adalah Umar ibnul Khattab.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna


firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Disebutkan bahwa ujian mereka
ialah disuruh mengucapkan kalimat tasyahud, yaitu kesaksian bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba
dan Rasul-Nya.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka hendaklah kamu


uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Yakni tanyailah mereka tentang
dorongan yang menyebabkan mereka datang ke negeri hijrah. Apabila
dorongan kedatangan mereka karena benci kepada suami mereka atau
marah kepada suami mereka atau alasan lainnya, sedangkan mereka tidak
beriman, maka kembalikanlah mereka kepada suami-suaminya masing-
masing.

Ikrimah mengatakan bahwa dikatakan kepada seseorang dari mereka,


"Bukankah engkau datang hanyalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-
Nya. Bukankah engkau datang karena menyukai seseorang lelaki di antara
kami, bukankah engkau datang karena benci terhadap suamimu?" Itulah yang
di maksud oleh firman-Nya: maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
(Al-Mumtahanah: 10)

Qatadah mengatakan bahwa ujian mereka ialah disuruh bersumpah dengan


nama Allah, bahwa mereka keluar bukan karena benci terhadap suami
mereka, dan mereka datang tiada lain hanyalah karena cinta kepada Islam
dan para pemeluknya serta menaruh perhatian yang besar kepada Islam.
Apabila mereka mau mengucapkan sumpah itu, barulah mereka diterima.

Firman Allah Swt.:

maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,


maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. (Al-Mumtahanah: 10)

Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa iman itu dapat
dilihat secara yakin.

Firman Allah Swt.:

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)

Ayat ini mengandung hukum yang mengharamkan wanita muslimah bagi


lelaki musyrik, pada masa permulaan Islam masih diperbolehkan seorang
lelaki musyrik kawin dengan wanita mukminah. Peristiwa ini dialami oleh Abul
As ibnur Rabi' (suami putri Nabi Saw. yang bernama Zainab r.a.). Zainab r.a.
adalah wanita muslimah, sedangkan suaminya masih tetap berpegang pada
agama kaumnya. Ketika Abul As menjadi tawanan Perang Badar, maka
istrinya (Zainab r.a.) mengirimkan tebusan untuk suaminya berupa sebuah
kalung yang dahulunya adalah milik ibunya, Siti Khadijah. Ketika Rasulullah
Saw. melihat kalung itu, luluhlah hatinya dan berbalik menjadi sayang. Lalu
beliau bersabda kepada kaum muslim: Jika kalian berpendapat akan
melepaskan tawanannya demi dia, maka lakukanlah.

Maka mereka menerima tebusan itu, dan Rasulullah Saw. membebaskannya


dengan syarat hendaknya Abul As mengirimkan putri beliau ke Madinah. Abul
As memenuhi janjinya dengan tepat, untuk itu ia mengirimkan istrinya kepada
Rasulullah Saw. disertai dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Sejak Perang Badar
usai, Zainab r.a. tinggal di Mekah, hal ini terjadi di tahun kedua Hijriah, hingga
suaminya (yaitu Abul As) masuk Islam pada tahun delapan Hijriah. Maka
Rasulullah Saw. mengembalikan putrinya kepadanya atas dasar nikah yang
pertama, dan tidak meminta mahar lagi untuk pengembalian itu.

Imah Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah


menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Daud
ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw.
mengembalikan putrinya Zainab kepada Abul As. Hijrah yang dilakukan oleh
Zainab adalah sebelum suaminya masuk Islam dalam tenggang masa enam
tahun, pengembalian tersebut berdasarkan nikah yang pertama dan tidak
memerlukan lagi persaksian ataupun mahar.

Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Turmuzi, dan Ibnu Majah. Di
antara ulama ada yang mengatakan bahwa tenggang masa itu hanyalah dua
tahun, dan inilah pendapat yang benar, karena masuk Islamnya Abul As
sesudah kaum muslimat diharamkan bagi kaum musyrik, yakni dua tahun
sesudahnya.

Imam Turmuzi memberikan komentarnya, bahwa sanad riwayat ini tidak


mengandung kelemahan. Tetapi menurutnya, dia tidak mengenal jalur
periwayatan hadis ini, barangkali bersumber dari hafalan Daud ibnul Husain.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdu ibnu Humaid


mengatakan bahwa ia pernah mendengar Yazid ibnu Harun menceritakan
hadis ini dari Ishaq, dan hadis Ibnul Hajjaj (yakni Ibnu Artah), dari Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. mengembalikan
putrinya kepada Abul As ibnur Rabi' dengan mahar yang baru dan nikah yang
baru.

Yazid mengatakan bahwa hadis Ibnu Abbas lebih baik sanadnya, dan yang
diberlakukan adalah hadis Amr ibnu Syu'aib. Kemudian kami memberikan
komentar, bahwa telah diriwayatkan pula hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Amr
ibnu Syu'aib oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah. Imam
Ahmad menilainya daif, dan imam ahli hadis lainnya turut meriwayatkannya
pula; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Jumhur ulama menjawab tentang hadis Ibnu Abbas (yang menyatakan atas
dasar nikah yang pertama), bahwa hal tersebut merupakan masalah yang
sudah jelas dan mengandung pengertian bahwa Zainab r.a. masih belum
habis idahnya dari Abul As. Mengingat pendapat yang dipegang oleh
kebanyakan ulama menyebutkan bahwa manakala idahnya telah habis,
sedangkan suaminya masih juga belum masuk Islam, maka otomatis
nikahnya fasakh darinya. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan apabila
idahnya telah habis, maka si istri diperbolehkan memilih: Jika ingin tetap
dengan suaminya diperbolehkan dan nikahnya tetap berlangsung (utuh); dan
jika ingin pisah dengan suaminya, maka nikahnya fasakh, lalu ia boleh kawin
dengan lelaki lain. Mereka menakwilkan hadis Ibnu Abbas dengan pengertian
ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka


bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni kepada para suami wanita-wanita yang berhijrah dari kalangan kaum
musyrik. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kembalikanlah kepada
mereka mahar yang pernah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka.
Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Az-Zuhri, dan lain-
lainnya yang bukan hanya seorang.

Firman Allah Swt.:

Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. (Al-Mumtahanah: 10)

Yaitu apabila kamu telah membayar kepada mereka maharnya, maka kamu
boleh mengawininya. Tetapi dengan persyaratannya, yaitu habisnya masa
idah, memakai wali, dan lain sebagainya.

Firman Allah Swt.:

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan


perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)

Allah Swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya yang mukmin menikahi wanita-


wanita musyrik dan tetap memelihara ikatan perkawinan dengan mereka.

Di dalam kitab sahih disebutkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Al-Miswar dan
Marwan ibnul Hakam, bahwa Rasulullah Saw. setelah mengadakan perjanjian
gencatan senjata dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah, maka
datanglah kepada Nabi Saw. kaum wanita mereka yang mukminat. Lalu Allah
Swt. menurunkan firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Mumtahanah: 10)

sampai dengan firman-Nya:

Dan janganlah kamu tetap berpegangpada tali (perkawinan) dengan


perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)

Maka Umar ibnul Khattab di hari itu menceraikan dua orang istrinya; yang
salah seorangnya kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan,
sedangkan yang lainnya dinikahi oleh Safwan ibnu Umayyah.
Ibnu Saur telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, bahwa ayat ini
diturunkan kepada Rasulullah Saw. Saat itu Rasulullah Saw. berada di bagian
bawah Hudaibiyah sedang mengadakan perjanjian perdamaian dengan
orang-orang kafir Quraisy. Isi dari perjanjian itu antara lain menyebutkan
bahwa barang siapa yang datang kepada Nabi Saw. dari kalangan mereka,
maka Nabi Saw. harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi ketika
yang datang adalah kaum wanita yang beriman, maka turunlah ayat ini dan
Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah agar mengembalikan mahar mereka
kepada suami-suami mereka. Diputuskan pula terhadap kaum musyrik hal
yang semisal, yaitu bahwa apabila datang kepada mereka seorang wanita
dari kaum muslim, hendaklah mereka mengembalikan maharnya kepada
suami wanita itu.

Dan Allah Swt. berfirman:

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan


perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Ia
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memutuskan demikian di antara
mereka hanyalah karena mengingat telah adanya perjanjian tersebut antara
orang-orang muslim dan orang-orang musyrik.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa pada hari
turunnya ayat ini Umar r.a. menceraikan Qaribah binti Abu Umayyah ibnul
Mugirah yang kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah, dan Ummu Kalsum binti
Amr ibnu Jarwal Al-Khuza'iyah ibunya Abdullah ibnu Umar, lalu dikawin oleh
Abu Jahm ibnu Huzaifah ibnu Ganim, seorang lelaki dari kalangan kaumnya.
Umar melakukan demikian karena keduanya masih dalam kemusyrikannya.
Dan Talhah ibnu Abdullah menceraikan Arwa binti Rabi'ah ibnul Haris ibnu
Abdul Muttalib. kemudian ia dikawin oleh Khalid ibnu Sa'id ibnul As
sesudahnya.

Firman Allah Swt.:

dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 10)

Yakni tuntutlah mahar yang telah kamu bayarkan kepada istri-istri kamu yang
pergi kepada orang-orang kafir, jika istri-istrimu itu pergi meninggalkanmu
menuju kepada mereka. Dan sebaliknya hendaklah mereka menuntut mahar
yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada
kaum muslim.

Firman Allah Swt.:

Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. (Al-


Mumtahanah: 10)

Yaitu dalam perjanjian perdamaian, dan pengecualian kaum wanita dari


perjanjian tersebut. Perintah demikian itu semuanya adalah hukum Allah,
yang berdasarkan ketentuan ini Dia menghukumi di antara makhluk-Nya.

Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Mumtahanah: 10)

Allah Maha Mengetahui tentang kemaslahatan hamba-hamba-Nya, lagi


Mahabijaksana dalam mengatur kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab
Wahai orang-orang Mukmin, apabila wanita-wanita yang beriman berhijrah
mendatangi kalian, maka ujilah mereka untuk mengetahui kebenaran iman
mereka. Allah lebih mengetahui hakikat keimanan mereka. Jika kalian telah
yakin bahwa mereka itu benar-benar beriman, maka jangan kalian kembalikan
mereka kepada suami-suami mereka yang kafir. Sebab, wanita-wanita yang
beriman tidak halal bagi orang-orang kafir. Demikian pula sebaliknya.
Berikanlah kepada para suami yang kafir itu mahar yang mereka telah bayar
kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada kalian. Tiada dosa bagi kalian
untuk mengawini wanita-wanita tersebut selama kalian membayar mahar
mereka. Janganlah kalian berpegang teguh pada tali perkawinan dengan
wanita-wanita kafir yang tetap atau akan berbuat kufur. Mintalah mahar yang
telah kalian bayar untuk wanita-wanita yang menyusul berbuat kufur kepada
orang-orang kafir. Dan hendaknya mereka juga meminta mahar yang telah
mereka berikan kepada istri-istri mereka yang berhijrah. Ketentuan itu adalah
hukum Allah yang diberlakukan untuk kalian. Allah Mahatahu segala maslahat
hamba-Nya lagi Mahabijak dalam memberlakukan hukum.
‫‪Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 5‬‬
‫‪Al-Ma'idah: 5 ~ Quran Terjemah Perkata dan Tafsir‬‬
‫‪Bahasa Indonesia‬‬
‫اَ ْليَ ْو َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّي ِّٰب ۗ ُ‬
‫ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذي َْن اُ ْوتُوا‪ْ 1‬ال ِك ٰت َ‬
‫ب ِحلٌّ لَّ ُك ْم َۖوطَ َعا ُم ُك ْم ِحلٌّ لَّهُ ْم‬

‫ت ِم َن الَّ ِذي َْن اُ ْوتُوا ْال ِك ٰت َ‬


‫ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا‬ ‫ت َو ْال ُمحْ َ‬
‫ص ٰن ُ‬ ‫ت ِم َن ْال ُم ْؤ ِم ٰن ِ‬ ‫ۖ َو ْال ُمحْ َ‬
‫ص ٰن ُ‬

‫ان َو َم ْن يَّ ْكفُرْ‬


‫ي اَ ْخ َد ۗ ٍ‬ ‫ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ َّن ُمحْ ِ‬
‫صنِي َْن َغي َْر ُم َسافِ ِحي َْن َواَل ُمتَّ ِخ ِذ ْٓ‬

‫بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهٗ ۖ َوهُ َو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِم َن ْال ٰخ ِس ِري َْن ࣖ‬

‫‪al-yawma‬‬

‫ْٱل َي ْو َم‬

‫‪This day‬‬

‫‪pada hari ini‬‬

‫‪uḥilla‬‬

‫أ ُ ِح َّل‬
are made lawful

dihalalkan

lakumu

‫َل ُك ُم‬

for you

bagi kalian

l-ṭayibātu

ُ ۖ ‫ٱلط ِّي ٰ َب‬


‫ت‬ َّ

the good things

yang baik-baik

waṭaʿāmu

‫َو َط َعا ُم‬

and (the) food

dan makanan

alladhīna

َ ‫ٱلَّذ‬
‫ِين‬

(of) those who

orang-orang yang

ūtū
۟ ‫أُو ُت‬
‫وا‬
were given

(mereka) diberi

l-kitāba

َ ‫ْٱل ِك ٰ َت‬
‫ب‬

the Book

Kitab

ḥillun

‫ِح ٌّل‬

(is) lawful

halal

lakum

‫لَّ ُك ْم‬

for you

bagi kalian

waṭaʿāmukum

‫َو َط َعا ُم ُك ْم‬

and your food

dan makananmu

ḥillun

‫ِح ٌّل‬
(is) lawful

halal

lahum

‫لَّ ُه ۖ ْم‬

for them

bagi mereka

wal-muḥ'ṣanātu

ُ ‫ص ٰ َن‬
‫ت‬ َ ْ‫َو ْٱلمُح‬

And the chaste women

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan

mina

‫م َِن‬

from

dari

l-mu'mināti

ِ ‫ْٱلم ُْؤ ِم ٰ َن‬


‫ت‬

the believers

wanita-wanita mukmin

wal-muḥ'ṣanātu

ُ ‫ص ٰ َن‬
‫ت‬ َ ْ‫َو ْٱلمُح‬
and the chaste women

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan

mina

‫م َِن‬

from

dari

alladhīna

َ ‫ٱلَّذ‬
‫ِين‬

those who

orang-orang yang

ūtū
۟ ‫أُو ُت‬
‫وا‬

were given

(mereka) diberi

l-kitāba

َ ‫ْٱل ِك ٰ َت‬
‫ب‬

the Book

kitab

min

‫مِن‬
from

dari

qablikum

‫َق ْبلِ ُك ْم‬

before you

sebelum kalian

idhā

‫إِ َذٓا‬

when

jika

ātaytumūhunna

َّ‫َءا َت ْي ُتمُوهُن‬

you have given them

kamu memberikan kepada mereka

ujūrahunna

َ ‫أُج‬
َّ‫ُورهُن‬

their bridal due

mas kawin mereka

muḥ'ṣinīna

َ ‫مُحْ صِ ن‬
‫ِين‬
being chaste

mengawininya

ghayra

‫َغي َْر‬

not

bukan

musāfiḥīna

َ ‫م ٰ َُس ِفح‬
‫ِين‬

being lewd

berzina

walā
‫َواَل‬

and not

dan tidak

muttakhidhī

ٓ ‫ُم َّت ِخذ‬


‫ِى‬

ones (who are) taking

menjadikannya

akhdānin

ٍ ۗ ‫أَ ْخ‬
‫دَان‬
secret lovers

gundik

waman

‫َو َمن‬

And whoever

dan barang siapa

yakfur

ْ‫َي ْكفُر‬

denies

kafir/ingkar

bil-īmāni

‫ِبٱإْل ِي ٰ َم ِن‬

the faith

dengan/sesudah beriman

faqad

‫َف َق ْد‬

then surely

maka sungguh

ḥabiṭa

‫َح ِب َط‬
(are) wasted

terhapus

ʿamaluhu

‫َع َملُهُۥ‬

his deeds

amalnya

wahuwa

‫َوه َُو‬

and he

dan dia

‫فِى‬

in

di

l-ākhirati

‫ٱ ْل َءاخ َِر ِة‬

the Hereafter

akhirat

mina

‫م َِن‬
(will be) among

dari/termasuk

l-khāsirīna

َ ‫ْٱل ٰ َخسِ ِر‬


‫ين‬

the losers

orang-orang yang rugi

Transliterasi Latin:
Al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa'āmullażīna ụtul-kitāba ḥillul lakum wa ṭa'āmukum ḥillul lahum
wal-muḥṣanātu minal-mu`mināti wal-muḥṣanātu minallażīna ụtul-kitāba ming qablikum iżā
ātaitumụhunna ujụrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may yakfur bil-
īmāni fa qad ḥabiṭa 'amaluhụ wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn  (QS. 5:5)
Arti / Terjemahan:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi. (QS. Al-Ma'idah ayat 5)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat yang lalu memberikan jawaban atas
pertanyaan orang yang beriman tentang apa saja yang dihalalkan bagi
mereka. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan,
yakni binatang halal yang disembelih Ahli Kitab itu halal bagimu selagi tidak
bercampur dengan barang-barang yang haram, dan makananmu halal pula
bagi mereka, maka kamu tidak berdosa memberikannya kepada mereka. Dan
dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan halal pula
menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, yakni
melangsungkan akad nikah secara sah, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Demikian Allah menetapkan
hukum-hukum-Nya untuk dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman.
Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan
di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan tiga macam hal yang halal bagi orang mukmin, yaitu:
1. Makanan yang baik-baik, seperti dimaksud pada ayat keempat. Kemudian
disebutkan kembali pada ayat ini untuk menguatkan arti baik itu dan
menerangkan bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik itu
tidak berubah.
2. Makanan Ahli Kitab. Makanan di sini menurut jumhur ulama ialah
sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka pada waktu itu
mempunyai kepercayaan bahwa haram hukumnya memakan binatang yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Selama mereka masih
mempunyai kepercayaan seperti itu, maka sembelihan mereka tetap halal.
Sedangkan makanan lainnya seperti buah-buahan, dan sebagainya
dikembalikan saja hukumnya kepada jenis yang pertama yaitu tayyibat,
apabila termasuk golongan makanan yang baik-baik boleh dimakan, kalau
tidak (khabais), haram dimakan. Adapun sembelihan orang kafir yang bukan
Ahli Kitab haram dimakan.
3.Mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dan
perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahli Kitab hukumnya halal.
Menurut sebagian mufasir yang dimaksud al-muhsanat ialah perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan dirinya.
Laki-laki boleh mengawini perempuan-perempuan tersebut dengan kewajiban
memberi nafkah, asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung
dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk
dijadikan gundik. Ringkasnya laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-
perempuan Ahli Kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas. Tetapi
perempuan-perempuan Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki Ahli Kitab
apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan Ahlil Kitab. Kemudian akhir ayat
kelima ini memperingatkan, bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman,
maka semua amal baik yang pernah dikerjakannya akan hapus semuanya
dan di akhirat termasuk orang yang rugi.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak (Dan
makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan
orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu) yang
kamu sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita
yang merdeka di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka
dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu) halal pula kamu
kawini (apabila kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar
(dengan maksud mengawini mereka) sehingga terpelihara kehormatan
(bukan dengan maksud berzina) dengan mereka secara terang-terangan (dan
bukan pula untuk mengambil mereka sebagai gundik) atau melakukan
perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan siapa yang kafir
terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah amalnya) amal
saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan
demikian itu.
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang
baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:

pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu
orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya:

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan


bagi kalian.

Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan,
Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan
mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan
mereka (orang-orang Ahli Kitab).

Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya


sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun
mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan
dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah,
sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Swt.
Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.

Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang
menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang
Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, "Pada hari ini aku tidak
akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi
Saw. yang memandangnya seraya tersenyum.

Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan
sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi
sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.

Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab
Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai bantahan terhadap mazhab
Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang
Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang
diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim
memakannya dengan berdalilkan firman-Nya:

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi
kalian.

Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan


termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama
membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di
atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya
berkaitan dengan masalah 'ain (barang), karena barangkali lemak tersebut
merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal,
seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.

Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di
dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing
panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi
racun pada kakinya. Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw.
memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu
memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw.
memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai
pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut
makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak
tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan
racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.

Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang
menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya
apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka
diharamkan, berupa lemak atau tidak?

Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang
Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari
tepung jewawut dan lemak.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas


ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Syu'aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu'man ibnul Munzir, dari Mak-hul
yang mengatakan bahwa Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama


Allah ketika menyembelihnya. (Al An'am:121)

Kemudian Allah Swt. me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum


muslim. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.

Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan


(sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh
Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-
Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bolehnya memakan
sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, mengingat mereka
(Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas
kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu
yang ritual. Karena itulah dilarang memakan sembelihan selain mereka (Ahli
Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa
dengan ahli musyrik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas
sembelihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka
makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan
mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan
orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah
serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang agama Nabi Ibrahim,
Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah satu pendapat di antara dua
pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan
sembelihan orang-orang Nasrani Arab, seperti Bani Taglab, Bani Tanukh,
Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya
yang serupa, sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur
ulama.

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub
ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari
Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah
mengatakan, "Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena
sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya kepada masalah
meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan
ulama Salaf yang bukan hanya seorang.

Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab
dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil
sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab.

Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena


disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil
sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh
dinikahi. Lain halnya dengan pendapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi,
salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad
ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal
sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga
Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan
namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli
Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman
makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang
mengatakan:

Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan


terhadap Ahli Kitab.

Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya.
mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman
ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:

Bahwa Rasulullah Saw. memungut jizyah dari orang-orang Majusi tanah


Hajar.
Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka
pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam
firman-Nya:

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi
kalian.

Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau
sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak
halal.

Firman Allah Swt.:

dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka.

Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan
kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka,
kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang
pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang
disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun
dari kalangan agama lain.

Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian
diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian,
sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini
termasuk ke dalam Bab 'Timbal Balik dan Saling Memberi". Perihalnya sama
dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah
ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi
Saw. dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan
bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman
Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw.
membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.

Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:

Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan


makananmu kecuali orang yang bertakwa.

Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang
disunatkan, bukan perintah wajib.
Firman Allah Swt.:

Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di


antara wanita-wanita yang beriman.

Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang


memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat
ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:

...dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang


yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-


wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang
dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka.
Dengan demikian, berarti barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Jarir ialah apa
yang dia riwayatkan darinya (Mujahid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa
yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang
menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya
yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan
pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian
demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada
wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Sehingga
keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal
seperti yang disebut di dalam peribahasa "dapat kurma buruk dan takaran
yang rusak".

Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama
halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:

sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina


dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya. (An
Nisaa:25)

Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna
yang dimaksud dengan firman-Nya:
...dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang
yang diberi Al-Kltab sebelum kalian.
Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang
memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah
menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf
yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara
kehormatannya.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-
wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab
yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan
firman-Nya yang mengatakan:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian. (At Taubah:29), hingga akhir ayat.

Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita


Nasrani, dan ia mengatakan, "Aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang
lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa.
Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:

'Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman'


(Al Baqarah:221)."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-
Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-
Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik
Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya:
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
(Al Baqarah:221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga
turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kalian. (Al Maidah:5) Maka orang-orang mulai menikahi
wanita-wanita Ahli Kitab.

Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-


wanita Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena ber-
dasarkan firman-Nya:
...dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kalian

Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat
surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. (Al Baqarah:221) sekalipun bila dikatakan
bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang
dikandungnya, bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan
ayat yang sebelumnya.

Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik


dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan


bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)

Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada
orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?" Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. (Ali Imran:20),
hingga akhir ayat.

Firman Allah Swt.:

...bila kalian telah membayar maskawin mereka.

Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga


kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan
senang hati.

Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-
Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu
wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan,
dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu
Jarir, dari mereka.

Firman Allah Swt.:

...dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak


(pula) menjadikannya gundik-gundik.
Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zina pada
pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak laki-laki, yaitu
hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina.
Karena itulah disebutkan 'tidak dengan maksud berzina’ dengan kata
musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok
melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang
kepadanya.

Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan


suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan
di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal
rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum
ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai
pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya.
Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina
melakukan akad nikah kepada seorang wanita yang memelihara
kehormatannya, sebelum lelaki yang bersangkutan bertobat dan
menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:

Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan
orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu


Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah
menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Hasan yang telah
menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan,
"Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan seseorang yang pernah
berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya."
Maka Ubay ibnu Ka'b r.a. berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, syirik
lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia
bertobat."

Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,


atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An Nuur:3)
Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum


Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari kiamat termasuk orang-
orang merugi
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab
Pada hari ini--hari diturunkannya ayat--Allah telah menghalalkan segala yang
baik menurut selera yang sehat, makanan dan sembelihan Ahl al-Kitâb
selama tidak ada ketentuan baru yang mengharamkannya. Selain itu, Allah
juga menghalalkan makanan kalian untuk mereka dan membolehkan kalian
mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-
wanita Ahl al-Kitâb yang beriman, bila kalian membayar maskawin mereka
dengan maksud mengawininya, dan bukan untuk melegalkan hubungan yang
tidak sah (zina), atau menjadikan mereka sebagai wanita simpanan.
Barangsiapa mengingkari agama, maka hilanglah pahala amal perbuatannya
yang semula dikira sebagai usaha pendekatan diri kepada Allah. Di akhirat
kelak, ia akan termasuk orang-orang yang binasa.

You might also like