You are on page 1of 98

IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM

PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA BAGIAN PERLENGKAPAN


SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PRINGSEWU

(Studi Tentang Pengadaan Televisi Tahun Anggaran 2013)

(Tesis)

Oleh

RODI HAYANI SAMSUN


NPM. 1026021047

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF GOOD GOVERNANCE PRINCIPLES IN THE


PROCUREMENT OF GOODS AND SERVICES IN EQUIPMENT
SECRETARIAT OF PRINGSEWU REGENCY

(Study On Procurement Of Television Year 2013)

By
RODI HAYANI SAMSUN

Procurement of goods and services by government basically aims to improve the

welfare of the community, should be carried out with reference to the principles of

good governance, but in reality it is often overlooked and of corruption.

The purpose of this study is to analyze the implementation of good governance

principles in the procurement of goods and Services in Equipment Secretariat of

Pringsewu Regency

This study uses qualitative research types, with the parties taking part informant

Equipment Pringsewu District Secretariat and auction participants. Data was

collected by interviews and documentation. Data were then analyzed qualitatively

through the stages of data reduction, data display and conclusion.

The results of this study indicate that the implementation of good governance

principles in the procurement of goods and Services in Equipment Secretariat of

Pringsewu Regency Year 2013, the implemented: (1) The principle of legal

certainty (rule of law), namely the existence of a legal framework in the form of
television procurement Presidential Regulation Number 70 of 2012 on the Second

Amendment of Presidential Regulation No. 54 year 2010 on the Procurement of

Goods / Services regulate the procedures for Procurement of Goods / Services. The

implementation of the principle of legal certainty is required in all stages of the

procurement television followed by the counterparty, the process of determining

the winner and the winner of the appointment, which legitimized the determination

letter by the Committing Officer so that the winning bidder has a strong legal basis

for carrying out the procurement of the television (2) The principle of

transparency, procurement television the year 2013 carried openly through an open

tender process to be accessible to the general public, ranging from the

announcement and the step of determining the winner. The values developed is

efficient, effective, open, competitive, transparent, fair/non discriminatory and

accountable.

Keywords: Implementation, Good Governance, Goods and Services


ABSTRAK

IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM


PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA BAGIAN PERLENGKAPAN
SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PRINGSEWU
(Studi Tentang Pengadaan Televisi Tahun Anggaran 2013)

Oleh
RODI HAYANI SAMSUN

Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seharusnya dilaksanakan dengan

mengacu pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi pada

kenyataannya hal tersebut seringkali diabaikan dan terjadi tindak pidana korupsi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi prinsip-prinsip

good governance dalam pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan

Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, dengan mengambil informan

yaitu pihak Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu dan

Peserta lelang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi.

Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif melalui tahapan reduksi data, display

data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip good governance dalam

pengadaan televisi pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten

Pringsewu Tahun Anggaran 2013, diimplementasikan: (1) Prinsip kepastian hukum


(rule of law), yaitu adanya kerangka hukum dalam pelaksanaan pengadaan televisi

berupa Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah mengatur tentang tata cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada

pelaksanaannya prinsip kepastian hukum ini diterapkan dalam seluruh tahap

pengadaan televisi yang diikuti oleh rekanan, proses penetapan pemenang dan

penunjukan pemenang, yang dilegitimasi surat penetapan oleh Pejabat Pembuat

Komitmen sehingga pemenang tender memiliki dasar hukum yang kuat untuk

melaksanakan pengadaan televisi tersebut . (2) Prinsip transparansi (transparancy),

yaitu pengadaan televisi Tahun Anggaran 2013 dilaksanakan secara terbuka

melalui proses pelelangan yang terbuka untuk umum dapat diakses oleh masyarakat

luas, mulai dari proses pengumuman sampai dengan tahap penentuan pemenang.

Nilai-nilai yang dikembangkan adalah efisien, efektif, terbuka dan bersaing,

transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Kata Kunci: Implementasi, Good Governance, Barang dan Jasa


DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10


A. Tinjauan Tentang Implementasi ........................................................ 10
B. Tinjauan Tentang Good Governance ................................................ 12
C. Tinjauan Tentang Barang dan Jasa ................................................... 25
D. Kemitraan pemerintah dan swasta dalam pengadaan barang
dan jasa .............................................................................................. 27
E. Pemerintah Daerah ............................................................................ 37
F. Penelitian Terdahulu ......................................................................... 42
G. Kerangka Pikir .................................................................................. 44

III METODE PENELITIAN ..................................................................... 47


A. Tipe Penelitian .................................................................................. 47
B. Fokus Penelitian ................................................................................ 48
C. Sumber data ....................................................................................... 48
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 49
E. Teknik Analisis Data ......................................................................... 50
F. Teknik Keabsahan Data .................................................................... 51
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................ 52
A. Kedudukan Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah
Kabupaten Pringsewu........................................................................ 52

B. Tugas Pokok dan Fungsi Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu........................................................................ 52

C. Struktur Organisasi Bagian Perlengkapan ........................................ 53


D. Uraian Tugas dalam Organisasi Bagian Perlengkapan ..................... 54

V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 57


A. Identitas Informan ............................................................................. 57

B. Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pengadaan


Televisi pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah
Kabupaten Pringsewu........................................................................ 58

1. Prinsip Kepastian Hukum (Rule of Law) .................................... 59


2. Prinsip Transparansi (Transparency) .......................................... 86

VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 103


A. Simpulan .......................................................................................... 103
B. Saran ................................................................................................. 104

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya semata maka Tesis yang

berjudul : Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pengadaan

Barang dan Jasa pada Bagian Perlengkapan Pemerintah Kabupaten

Pringsewu (Studi tentang Pengadaan Televisi Tahun Anggaran 2013). Tesis

ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu

Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian Tesis ini penulis banyak

mendapatkan bimbingan dan masukan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Lampung.

2. Bapak Hi. Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung

3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

sekaligus sebagai Pembimbing I Tesis, yang telah banyak memberikan

masukan, pendapat dan saran dalam penyusunan dan penyelesaian Tesis ini.

4. Bapak Drs. Yana Ekana M.Si, selaku Pembimbing II, yang telah memberikan

masukan, pendapat dan saran dalam penyusunan dan penyelesaian Tesis.

i
5. Bapak Prof. Dr. Yulianto, M.S, selaku Penguji, yang telah memberikan

masukan, pembelajaran, pendapat dan saran dalam perbaikan Tesis.

6. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung atas ilmu yang

telah diberikan selama masa perkuliahan.

7. Kepala Kantor Kesbangpol Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang telah

memberikan Izin Penelitian.

8. Kepala Bagian Perlengkapan Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang telah

mendampingi dan memberikan data selama pelaksanaan penelitian.

9. Kedua orang tuaku dan mertuaku (H. Samsun RPM, BA dan Hj. Hayani dan

Serma (pur) Rusli HB dan Mas’amah) dan Istriku (Marini, S.IP) dan anak

anakku (Dirga Agung Reksananda, M. Dhani Prasetya, M. Aldino Alghozali,

Andhini Ashabira)

10. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik Universitas Lampung Angkatan 2010

11. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

Semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan balasan berupa

kebaikan yang lebih besar dari sisi Allah SWT dan akhirnya penulis berharap

bahwa Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amiin.

Bandar Lampung, Agustus 2014

Penulis

Rodi Hayani Samsun

ii
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis dengan judul: Implementasi prinsip-prinsip Good Governonce


dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pada Bagian Perlengkapan Sekretariat
Daerah Kabupaten Pringsewu (Studi Tentang Pengadaan Televisi Tahun
Anggaran 2013), adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan
peqiiplakan ataupengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang
tidak
sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik

atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada


Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kernudian hari temyata ditemukan adanya


ketidak
benararl saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada
saya; saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang
berlaku.

Bandar Lampung Agustus 2014


Yang Membuat Pernyataan

ffifr1,HW
6F63CACF281297051

O"WWffi
RodiiHayani Samsun
NPNI1026021047
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan dibentuk dengan maksud untuk membangun peradaban dan

menjaga sistem ketertiban sosial sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan

secara wajar dalam konteks kehidupan bernegara. Dalam perkembangannya,

konsep pemerintahan mengalami transformasi paradigma dari yang serba negara

ke orientasi pasar (market or public interest), dari pemerintahan yang kuat, besar

dan otoritarian ke orientasi small and less government, egalitarian dan demokratis,

serta transformasi sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi penyusunan dan

penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena

demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap

penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan

saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber

daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha.

Kedua fenomena tersebut, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut

redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah

sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat mengalami

pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai

fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya


2

mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat aktivitas bisnis,

harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik.

Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat

(beneficiaries), mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang

juga berfungsi sebagai pelaku

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh

penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik.

Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli

dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang

memburuk. Sehubungan dengan itu, konsep tata kepemerintahan yang baik (good

governance), sekarang menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk

membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Tata kepemerintahan yang baik dalam dokumen United Nation Development

Program (UNDP) adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan

administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata

pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di

mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya,

menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-

perbedaan di antara warga dan kelompok masyarakat.

Fenomena demokrasi dan globalisasi berdampak pada reformasi politik di

Indonesia, khususnya pada sistem pemerintahan yang mengalami transformasi

dari sistem sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintahan desentralistik


3

menuntut adanya pendelegasian wewenang dari Pemerintah ke Pemerintah

Daerah, dan selanjutnya kebijakan desentralisasi ini dituangkan dalam Undang-

Undang Nomor 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi menjadi Undang-undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan desentralisasi

dengan wujud otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

melalui pemerataan pembangunan, peningkatkan daya saing daerah, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah merupakan otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah

diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan

di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah memiliki kewenangan

membuat kebijakan daerah dalam rangka pelayanan umum, peningkatan peran

serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan

kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah memiliki konsekuensi dalam penyelenggaraan

pemerintahan, yaitu secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju

demokratisasi, karena Pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran

pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan

semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah

swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakan modal sosial

dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat. Secara ekonomi, desentralisasi


4

diyakini dapat mencegah eksploitasi Pemerintah Pusat terhadap daerah, serta

dapat menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat

untuk lebih produktif. Secara administrasi, desentralisasi akan mampu

meningkatkan kemampuan daerah dalam melakukan perencanaan,

pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggung jawaban publik.

Penyelenggaraan otonomi daerah secara faktual memberikan dampak yang positif,

khususnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan pembangunan di daerah,

akan tetapi pada kenyataannya otonomi belum mampu untuk meningkatkan taraf

kesejahteraan rakyat. Disisi lain beberapa fakta menunjukkan otonomi daerah juga

menjadi sumber rasa ketidak-adilan rakyat karena tindakan kesewenang-

wenangan dan penyelewengan para penguasa di daerah.

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka pengelolaan keuangan negara,

pemerintah dalam hal ini mengambil kebijakan baik dalam kerangka administrasi

negara maupun kerangka hukum, kemudian kebijakan tersebut diformulasikan

antara lain dalam kebijakan pengadaan nasional yang dituangkan dalam Peraturan

Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Keputusan Presiden

Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan umum Pemerintah dalam

pengadaan barang dan jasa untuk memberdayakan peran serta masyarakat dan

kelompok usaha kecil termasuk koperasi, dengan harapan dapat meningkatkan


5

penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan rekayasa nasional, untuk

memperluas lapangan kerja, meningkatkan daya saing barang dan jasa nasional

pada perdagangan internasional.

Sistem pengadaan pemerintah yang efektif sangat penting dalam rangka

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sistem pengadaan yang

buruk mengakibatkan biaya-biaya tinggi bagi pemerintah maupun masyarakat.

Sistem yang demikian mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan proyek yang

selanjutnya memperbesar biaya, menghasilkan kinerja proyek yang buruk dan

menunda manfaat proyek bagi masyarakat. Ketidakberesan sistem pengadaan juga

membuka peluang korupsi, menimbulkan banyak protes dan kecurigaan terhadap

integritas proses pengadaan.

Pengadaan barang dan jasa seharusnya dilaksanakan dengan mengacu pada

prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi pada

kenyataannya hal tersebut seringkali diabaikan dan terjadi tindak pidana korupsi.

Contoh kasusnya adalah korupsi proyek Stadion Hambalang yang mengakibatkan

total loss atau jumlah kerugian negara mencapai Rp 463,66 miliar. Jumlah

kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian yang timbul akibat gagalnya

proyek yang direncanakan. Uang yang dikeluarkan pemerintah melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara untuk Hambalang sebesar Rp 1,2 triliun. Dalam

pelaksanaannya, uang yang dikeluarkan sebesar Rp 471 miliar. Masih ada sisa Rp

8 miliar, jadi Rp 463 miliar, semua termasuk pengadaan barang-jasa (Sumber:

http://www.tempo.co/read/news/Diakses 14 Mei 2014).


6

Kasus korupsi lain dalam pengadaan barang dan jasa adalah pengadaan dua

videotron di Sekretariat Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah yang

mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 17 miliar. Kasus tindak pidana

korupsi pengadaan videotron semestinya dua barang, namun ternyata hanya satu

barang. Itu pun dengan spesifikasi berbeda dengan master plannya.

Adapun posisi kasus ini adalah, pada tahun 2012 Sekretariat Kementerian

Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah melaksanakan pengadaan dua unit

videotron. Lelang proyek ini pun dimenangkan PT Imaje Media Jakarta yang

direkturnya adalah Hendra Saputra dengan nilai kontrak proyek sebesar Rp 23.

410.000.000. Dalam pelaksanaan pengerjaaan proyek ini, terdapat dugaan

penyimpangan. Antara lain, pemenang lelang dikondisikan, HPS (harga perkiraan

sementara) terlalu tinggi nilainnya, pekerjaan bertambah kurang sementara tidak

dilakukan adendum kontrak. Selain itu, spesifikasi barang tidak sesuai kontrak

dan ada sebagain pekerjaan yang fiktif. (Sumber: http://journalreportase.com/

index. php/ Diakses 14 Mei 2014).

Kasus lainnya adalah korupsi pembangunan Gelanggang Olahraga (GOR) Mini

Pringsewu. Kejaksaan Tinggi telah melimpahkan berkas perkara empat tersangka

ke pengadilan, yakni Imop Sutopo (Ketua Komite Pembangunan GOR), Yunizar

Permata Sakti (Bendahara Komite), Daroni (Komisaris PT Berkah Cahaya

Mutiara), dan Ahmad Diah (Ketua Panitia Lelang). GOR yang dibangun di

Kuncup, Kelurahan Pringsewu Barat, ini terdiri atas dua lantai seluas 21 x 35

meter dengan fasilitas lapangan dan tempat duduk, namun, GOR itu terlihat

pendek karena dibangun di tanah yang menurun hingga empat meter dari

permukaan tanah. Berdasarkan hasil audit BPKP pada kasus dugaan korupsi
7

pembangunan GOR yang bersumber dari APBN dana Kementerian Pemuda dan

Olahraga ini, negara telah dirugikan Rp1,25 miliar. (Sumber:

http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/68859-

perkara-gor-pringsewu-masuk-pengadilan/Diakses 12 Juni 2014).

Sesuai dengan kasus-kasus tersebut maka diperlukan kerangka hukum dan

perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yang

baik, kemajuan dalam pemberlakuan kerangka hukum tersebut adalah Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah. Perpres tersebut mengatur penerapan prinsip-prinsip dasar dalam

proses pengadaan barang dan jasa yang transparan, terbuka, adil, kompetitif,

ekonomis, dan efisien.

Salah satu pilar utama dalam upaya Pemerintah untuk memperbaiki

penyelenggaraan negara adalah sistem pengadaan pemerintah. Selama ini,

Pemerintah Indonesia mengatur sistem pengadaan melalui Keputusan Presiden,

Keputusan dan Surat Edaran Menteri dan berbagai keputusan serta instruksi

lainnya oleh Gubernur, Walikota dan Bupati. Prosedur dan pelaksanaannya telah

berkembang selama bertahun-tahun sebagai jawaban terhadap berbagai upaya

untuk meningkatkan kerangka hukum dalam sistem pengadaan tersebut.

Begitu juga halnya penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah

Kabupaten Pringsewu, sebagai salah satu daerah otonomi baru di Provinsi

Lampung dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka

pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan berpedoman pada Perpres Nomor 70
8

Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kabupaten Pringsewu berdiri pada Tanggal 29 Oktober 2008 dengan disahkannya

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten

Pringsewu di Provinsi Lampung. Kabupaten Pringsewu terdiri atas Sembilan

wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Pringsewu, Kecamatan Ambarawa,

Kecamatan Pardasuka, Kecamatan Gadingrejo, Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan

Adiluwih, Kecamatan Banyumas, Kecamatan Pagelaran dan Kecamatan Pagelaran

Utara. Sebagai daerah otonom baru, tentunya Pemerintah Kabupaten ini

memerlukan ketersediaan barang dan jasa secara memadai.

Pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu merupakan hal

yang penting, karena akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan

pembangunan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pembangunan

dalam mencapaiberbagai sasaran dan tujuan pembangunan. Pembangunan

diterjemahkan dalam berbagai kebijakan, program, dan proyek-proyek. Proyek

adalah satuan investasi terkecil yang terdiri dari sejumlah bagian ataupun kegiatan

yang bersifat operasional, termasuk kegiatan pengadaan barang dan jasa, karena

itu sistem dan proses pengelolaannya akan secara langsung dan signifikan

mempengaruhi tingkat kesuksesan maupun kegagalan pembangunan. Penerapan

prinsip-prinsip good governance secara konsisten dalam pengelolaan kebijakan,

program, dan proyek pembangunan, termasuk dalam pengelolaan pengadaan

barang dan jasa, dimaksudkan untuk menghindarkan kegagalan pembangunan.


9

Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis

implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengadaan barang dan jasa

pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah implementasi prinsip-prinsip good

governance dalam pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan

Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi prinsip-prinsip

good governance dalam pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan

Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi

pemikiran dalam pengembangan ilmu manajemen pemerintahan, khususnya

yang berkaitan dengan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik

dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah

Kabupaten Pringsewu untuk menerapkan tata kelola kepemerintahan yang

baik dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Implementasi

Menurut Grindle dalam Wahab (2001: 59):

Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan


mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur
rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia
menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa
dari suatu kebijakan Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan
implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan

Kebijakan publik selalu mengandung setidaknya tiga komponen dasar, yaitu

tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Di

dalam “cara” terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa

implementatornya, jumlah dan sumber dana, siapa kelompok sasarannya,

bagaimana program dan sistem manajemen dilaksanakan, serta kinerja kebijakan

diukur. Di dalam cara inilah komponen tujuan yang luas dan sasaran yang

spesifik diperjelas kemudian diintepretasikan.

Menurut Wibawa (2002: 15):

Cara ini biasa disebut implementasi, yaitu sebagai tindakan yang dilakukan
oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang
ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
kebijakan. Definisi ini menyiratkan adanya upaya mentransformasikan
keputusan kedalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti
yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan
11

Pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dikemukakan oleh William dan

Elmore sebagaimana dikutip Fadillah (2001: 139):

Implementasi kebijakan adalag keseluruhan dari kegiatan yang berkaitan


dengan pelaksanaan kebijakan. Mempelajari masalah implementasi
kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyata-nyata terjadi
sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-
peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikannya maupun
usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun
peristiwa-peristiwa. Intinya implementasi kebijakan berarti pelaksanaan
dari suatu kebijakan atau program.

Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan

tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung

jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target

group, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan

sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak

yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi logis terhadap dampak

baik yang diharapkan (intended) maupun dampak yang tidak diharapkan

(spillover/negatif effects).

Menurut Hogwood dan Gunn (Wahab, 2001: 71-81):

Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka


diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: kondisi eksternal yang
dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana; tersedia waktu dan sumber daya;
keterpaduan sumber daya yang diperlukan; implementasi didasarkan pada
hubungan kausalitas yang handal; hubungan kausalitas bersifat langsung
dan hanya sedikit mata rantai penghubung; hubungan ketergantungan
harus dapat diminimalkan; kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap
tujuan; tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; komunikasi
dan koordinasi yang baik; Pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut
kepatuhan pihak lain.
12

Peran penting dari analisis implementasi kebijakan negara ialah

mengidentifikasikan berbagai aspek yang mempengaruhi tercapainya tujuan-

tujuan formal pada proses implementasi. Untuk dapat meng-implementasikan

kebijakan atau program secara sempurna tidaklah sesederhana yang dibayangkan,

akan tetapi masih dihadapkan pada berbagai kesukaran-kesukaran seperti

kesukaran teknis, perilaku kelompok sasaran, kejelasan alokasi sumber daya,

koordinasi, kondisi ekonomi, politik dan sosial.

B. Tinjauan Tentang Good governance

Menurut Meutia Gani dan Rochman (2000: 7):

Governance yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah


penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola
urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup
seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan
kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan di antara mereka

Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur

ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya

dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,

integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan

suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata

kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta

dan masyarakat.
13

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2000: 6):

Good governance adalah sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara


yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan
menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-
domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini,
good governance berorientasi pada dua hal pokok, yakni: Pertama,
orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam
kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti
legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and
devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua,
pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien
dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini,
good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta
mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Menurut Keban (2000: 52), konsep good governance memiliki antara lain:

1) Demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah;


2) Hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang
berlaku;
3) Partisipasi rakyat;
4) Efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi
publik;
5) Pengurangan anggaran militer;
6) Tata ekonomi yang berorientasi pasar.

Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid

yang bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan

interaksi yang positif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan

masyarakat. Sebagai fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, maka prosedur

dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan

terjadinya partisipasi efektif.

Sementara itu menurut Keban (2000: 52), beberapa ciri good governance

meliputi:
14

1. Kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan


kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi
publik efektif dan responsif;
2. Akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam
pengambilan keputusan;
3. Partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber
informasi dari publik dan dari swasta
4. Perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan;
5. Komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar.

Good governance mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan

keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus

bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders. Selain itu,

institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-

fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan

peluang ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-

undanganan yang berlaku.

Menurut Thoha (2000: 13-14), good governance memiliki beberpa karakteristik,

yaitu sebagai berikut:

1. Participation; Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan


keputusan, baik secara langsung maupun secara intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun
atas dasar keabsahan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Rule of Law; Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3. Transparancy; Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus
informasi. Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung
dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsive; Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk
melayani setiap stakeholders.
5. Consensus Orientation; Good governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang
lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity; Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan
mereka.
15

7. Effectiveness and effeciency; Proses-proses dan lembaga-lembaga


menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability; Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik
dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision; Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif
good governance dan pengembangan yang luas dan jauh kedepan sejalan
dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance

tersebut merupakan nilai-nilai universal dan karenanya diperlukan pengembangan

dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara

berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas

dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.

1. Prinsip Akuntabilitas

Menurut Mardiasmo (2003: 26-27):

Akuntabilitas adalah kemampuan untuk mempertanggungjawabkan semua


tindakan dan kebijakan yang telah ditempuh. Prinsip ini mengandung
makna meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh
pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami kebijakan yang
diambil harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Untuk
mengukur kinerja secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan,
dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.

Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada,

dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme

pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah


16

pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara

pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.

Akuntabilitas dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan masyarakat

terhadap pemerintah, tumbuhnya kesadaran masyarakat, meningkatnya

keterwakilan berdasarkan pilihan dan kepentingan masyarakat, dan berkurangnya

kasus-kasus KKN.

Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab

(answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (istilah

yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para

aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang

berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka,

kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan

menggunakan sumber daya tersebut. Akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban

pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi

mandat itu. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan

pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah

sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi

saling mengawasi

Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan

penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh

pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak

pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil
17

kesepakatan antara warga pemilih (constituency) para pemimpin politik,

teknokrat, birokrat atau administrator dan para pelaksana di lapangan. Sedangkan

dalam bidang politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat secara umum,

akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme penggantian pejabat atau penguasa,

tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada

definisi dan penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule

of law. Sedangkan public accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan

tugas yang jelas dan efisien.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan

kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di

dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan

nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas publik menuntut

adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi. Karena

pemerintah bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan maupun

sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi

dengan akuntabilitas eksternal, melalui umpan balik dari para pemakai jasa

pelayanan maupun dari masyarakat. Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu

ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan

pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki

oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut.

Kerangka hukum yang menjamin prinsip-prinsip akuntabilitas adalah sebagai

berikut:
18

a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 3 ayat (7)

menjelaskan bahwa asas penyelenggaraan negara adalah akuntabilitas.

b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 30

dan 31 mengisyaratkan bahwa akuntabilitas keuangan negara berorientasi

pada hasil.

c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembuatan Peraturan

Perundang-Undangan, Pasal 22 ayat (1) dan (2) mengisyaratkan harus

diadakan uji publik terhadap setiap Rancangan Undang-Undang.

d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal

184 ayat (2) dan (3) menegaskan bahwa akuntabilitas keuangan daerah

berorientasi pada hasil.

e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolan

Keuangan Daerah, Pasal 4 ayat (8) menegaskan bahwa keuangan daerah

dikelola secara bertanggungjawab.

2. Prinsip Partisipasi

Menurut Loina Lalolo Krina (2007):

Prinsip partisipasi mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak


dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan,
yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Menurut Jewell dan Siegall partisipasi adalah keterlibatan
anggota organisasi di dalam semua kegiatan organisasi. Di lain pihak
Handoko menyatakan partisipasi merupakan tindakan ikut serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi

.
19

Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil

mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu

yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat

dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan

umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk

lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan

partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan

pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan

isu sektoral.

Instrumen dasar partisipasi adalah peraturan yang menjamin hak untuk

menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan

instrumen-instrumen pendukung adalah pedoman-pedoman pemerintahan

partisipatif yang mengakomodasi hak penyampaian pendapat dalam segala proses

perumusan kebijakan dan peraturan, proses penyusunan strategi pembangunan,

tata-ruang, program pembangunan, penganggaran, pengadaan dan pemantauan.

Menurut Jeff dan Shah good governance digunakan untuk melihat partisipasi

melalui Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, jumlah masyarakat

yang berpartisipasi dalam pembangunan daerah, tingkat kuantitas dan kualitas

masukan (kritik dan saran) untuk pembangunan daerah dan terjadinya perubahan

sikap masyarakat menjadi lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan.

Kerangka hukum yang menjamin prinsip-prinsip partisipasi adalah sebagai

berikut:
20

a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 8

menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaran negara

merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan

penyelenggaraan negara yang bersih.

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembuatan Peraturan

Perundang-Undangan, Pasal 53 menyatakan bahwa masyarakat berhak

memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau

pembahasan rancangan Perda.

c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 139 ayat (1) menerangkan

bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

d. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional, di dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, Pasal 5 ayat (3),

Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal

22 mengisyaratkan bahwa penyusunan rencana kerja pembangunan wajib

mengikut sertakan masyarakat dalam penyelenggaraan negara.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (1)

dan (2) mengisyaratkan bahwa masyarakat secara perorangan maupun

kelompok dan atau organisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan

terhadap penyelenggaran pemerintahan daerah baik langsung maupun tidak

langsung.
21

3. Prinsip Transparansi

Menurut Keban (2000: 51):

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi


setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan
pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Transparansi menuntut usaha kongkrit dari pemerintah untuk membuka dan

menyebarluaskan informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi

harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun

informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Dengan kata lain

transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil

oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik

antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin

kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Menurut Meutia Gani dan Rochman (2000: 7):

Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan dan yang


dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek
kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan
informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat,
toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Prinsip
ini memiliki dua aspek, yaitu (1) penyebarluasan informasi mengenai
keuangan publik oleh pemerintah, (2) tersedianya hak masyarakat terhadap
akses informasi, (3) adanya forum untuk mengakomodasi kepentingan
masyarakat untuk menyampaikan informasi mengenai keuangan publik (4)
akomodasi kepentingan masyarakat dalam penyusunan anggaran publik.
Hal-hal tersebut menuntut pemerintah untuk memperbaiki kinerjanya,
sebagai titik awal yang baik dari pelaksanaan transparansi.

Transparansi mengandung makna adanya informasi secara terbuka dan mudah

diakses oleh masyarakat yang meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada
22

setiap jenis/objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat

dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.

Beberapa dasar hukum yang menjamin prinsip-prinsip transparansi dalam

penyusunan anggaran adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 3 ayat (4)

menjelaskan bahwa asas penyelenggaraan negara adalah keterbukaan.

Kemudian di Pasal 9 dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan negara diwujudkan dalam bnetuk hak mencari dan

memperoleh informasi, serta hak menyampaikan saran dan pendapat terhadap

kebijakan penyelenggaraan negara.

2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3

ayat (1) ditegaskan bahwa keuangan negara dikelola secara transparan.

Pengelolaan keuangan negara yang transparan akan membuka ruang

terdistribusinya anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembuatan Peraturan

Perundang-Undangan, Pasal 5 huruf g menyatakan bahwa Pembentukan

Undang-Undang menganut asas keterbukaan. Dengan asas keterbukaan maka

akan membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses

pembentukan undang-undang, sehingga dapat melahirkan produk undang-

undang yang lebih berpihak kepada masyarakat.

4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal

23 ayat (2) menyatakan bahwa keuangan daerah dikelola secara transparan

dan akuntabel. Dalam Pasal 137 butir g juga disebutkan bahwa pembentukan
23

Peraturan Daerah (Perda) menganut asas keterbukaan, dan Pasal 178 ayat (1)

dan (2) menyatakan bahwa pengelolaan barang daerah dilaksanakan secara

transparan.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, Pasal 2 ayat (1) huruf

(a) menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak mencari, memperoleh, dan

memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah, Pasal 4 secara tegas menerangkan bahwa keuangan daerah dikelola

secara trasnparan.

7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolan

Keuangan Daerah, Pasal 4 ayat (7) menjelaskan bahwa keuangan daerah

dikelola secara transparan berdasarkan prinsip keterbukaan yang

memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses

informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

4. Prinsip Kepastian Hukum

Menurut Meutia Gani dan Rochman (2000: 12-13):

Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance.


Kekurangan atau kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar
terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good
governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistem hukum yang lemah.
Oleh karena itu penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan
kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
24

Penegakan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan konsisten

tanpa memandang subjek dari hukum itu. Prinsip penegakan hukum mewujudkan

adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung

tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan kewenangannya, pemerintah daerah harus mendukung tegaknya

supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang-

undangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku

di masyarakat. Instrumen dasar penegakan hukum adalah peraturan perundang-

undangan yang ada, dengan komitmen politik terhadap penegakan hukum maupun

keterpaduan dari sistem yuridis (kepolisian, pengadilan dan kejaksaan), sedangkan

instrumen-instrumen pendukung adalah penyuluhan dan fasilitas

Kerangka hukum yang menjamin prinsip-prinsip kepastian hukum adalah sebagai

berikut:

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 3 ayat (1)

menjelaskan bahwa asas penyelenggaraan negara adalah kepastian hukum.

2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 4

ayat (1) menegaskan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib dan taat

pada peraturan perundang-undangan.

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal

182 yang menegaskan bahwa penyusunan APBD dan dokumen pelaksanaan

anggaran diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-

undangan.
25

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolan

Keuangan Daerah, Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa keuangan daerah

dikelola secara tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan.

C. Tinjauan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Menurut Ikak G. Triatomo (2011: 3):

Pengadaan barang dan jasa pada hakekatnya adalah upaya pihak pengguna
untuk mendapatkan atau mewujudkan barangdan jasa yang diinginkannya,
dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan
harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Pengadaan barang/jasa melibatkan
beberapa pihak, yaitu Pihak Pembeli atau Pengguna dan Pihak Penjual
atau Penyedia Barang dan Jasa. Pembeli atau Pengguna Barang dan Jasa
adalah pihak yang membutuhkan barang/jasa.

Dalam pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau

memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau membuat barang atau

melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengguna barang dan jasa dapat merupakan

suatu lembaga/organisasi dan dapat pula orang perseorangan. Yang tergolong

lembaga antara lain, Instansi Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi,

Pemerintah Kabupaten/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD, Swasta), dan

organisasi masyarakat, golongan perseorangan adalah individu atau orang yang

membutuhkan barang dan jasa.

Menurut Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (Organization

for Economic Cooperation and Development) sebagaimana dikutip Ikak G.

Triatomo (2011: 4):

Tender (procurement) adalah proses (1) mengidentifikasi kebutuhan; (2)


menentukan siapa orang atau perusahaan terbaik untuk menyediakan
kebutuhan ini; dan (3) memastikan kebutuhan tersebut sampai di tempat
yang benar, pada saat yang tepat, dengan harga terbaik dan semua ini
terlaksana secara jujur dan terbuka.
26

Tender dapat dilakukan oleh pemerintah, perusahaan swasta, atau individu.

Tender menggunakan kontrak rinci secara khusus jika melibatkan pesanan dalam

jumlah besar dan mahal. Untuk membantu pengguna barang dalam melaksanakan

pengadaan dapat dibentuk Panitia Pengadaan. Lingkup tugas panitia dapat

melaksanakan seluruh proses pengadaan mulai dari penyusunan dokumen

pengadaan, menyeleksi dan memilih para calon penyedia barang dan jasa,

meminta penawaran dan mengevaluasi penawaran, mengusulkan calon penyedia

barang dan jasa dan membantu pengguna dalam menyiapkan dokumen kontrak,

atau sebagian dari tugas tersebut. Mempertimbangkan begitu kompleksnya

kepentingan dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa, maka Pemerintah

menerapkan peraturan sebagai dasar untuk melindungi berbagai kepentingan

dalam proses pengadaan pemerintah dari nilai-nilai atau norma-norma yang

menyimpang dan mengakibatkan kerugian para pihak dalam pengadaan.

Pengadaan barang dan jasa melibatkan beberapa pihak, yaitu Pihak Pembeli atau

Pengguna dan Pihak Penjual atau Penyedia Barang dan Jasa. Pembeli atau

Pengguna Barang dan Jasa adalah pihak yang membutuhkan barang/jasa. Dalam

pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau

memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau membuat barang atau

melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengguna barang dan jasa dapat merupakan

suatu lembaga/organisasi atau perseorangan. Yang tergolong lembaga antara lain :

Instansi pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah

Kabupaten, Pemerintah Kota), badan usaha (BUMN, BUMD, Swasta), dan

organisasi masyarakat. Sedangkan yang tergolong orang perseorangan adalah

individu atau orang yang membutuh kan barang dan jasa.


27

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70

Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pengertian Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh

Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya

dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan

untuk memperoleh Barang/Jasa.

D. Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pengadaan Barang dan Jasa

1. Pengertian Kemitraan

Menurut Dwiyanto dkk (2008: 261-261):

Konsep kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha (swasta)


merupakan pendekatan yang perlu dilakukan dalam pengembangan
pelayanan publik. Berbagai bentuk kerja sama dalam penyelenggaraan
pelayanan publik antara pemerintah dengan masyarakat bisa
dikembangkan untuk mendorong perubahan praktik pelayanan publik di
Indonesia. Selama ini penyelenggaraan pelayanan publik sering
dilaksanakan secara sendirian oleh pemerintah dan masyarakat
ditempatkan sebagai konsumen yang pasif.

Pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam praktik pelayanan publik

yang seperti ini perlu ditinjau kembali. Masyarakat sesungguhnya memiliki

potensi yang amat besar untuk diberdayakan sebagai produsen pelayanan publik

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi

daerah tidak dapat dilepaskan dari partisipasi aktif anggota masyarakat daerah,

baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu, merupakan bagian integral

yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara prinsip
28

penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat yang

sejahtera di daerah.

Menurut Joseph Riwu Kaho (2001: 108-109):

Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam era otonomi adalah


partisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Setiap proses
penyelenggaraan, terutama dalam kehidupan bersama masyarakat pasti
melewati tahap penentuan kebijaksanaan (pembuatan keputusan politik).
Partisipasi masyarakat pada tahap ini sangat mendasar sekali karena
menyangkut nasib mereka secara keseluruhan. Dalam keadaan yang paling
ideal keikutsertaan masyarakat untuk membuat putusan politik yang
menyangkut nasib mereka adalah ukuran partisipasi rakyat. Semakin besar
kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, maka akan semakin besar
partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa kemitraan antara

pemerintah dengan pihak swasta adalah suatu keadaan di mana pemerintah selaku

penyelenggara pemerintahan mengembangkan kerja sama dengan pihak swasta

dalam berbagai aktivitas perencanaan program pemerintahan. Kemitraan dengan

pihak swasta diimplementasikan dengan pertimbangan bahwa kompleksitas

kebutuhan masyarakat tidak lagi dapat dipenuhi oleh pemerintah semata, sehingga

diperlukan adanya kerja sama yang dengan pihak swasta, sehingga

penyelenggaraan pelayanan publik bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah

melainkan juga tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan.

Kemitaan pemerintahan dengan pihak swasta merupakan implementasi tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini sesuai dengan pendapat

Thoha (2005: 12):

Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa


mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya
tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan
29

demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat


tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah
melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat.

Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance

tersebut merupakan nilai-nilai universal dan karenanya diperlukan pengembangan

dan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara

berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas

dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.

Menurut Abdullah Rozali (1999: 26):

Good governance adalah sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara


yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan
menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-
domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini,
good governance berorientasi pada dua hal pokok, yakni: Pertama,
orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam
kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti
legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and
devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua,
pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien
dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini,
good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta
mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirangkum bahwa wujud good governance

adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid yang bertanggung jawab,

serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang positif di

antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat.


30

2. Kemitraan dalam Konteks Good governance

Menurut UNDP dalam Miftah Thoha (2005: 65), kemitraan antara pemerintah,

sektor swasta dan masyarakat dalam konteks good governance adalah model

keseimbangan tiga komponan, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

Sektor Pemerintah
Swasta

Rakyat

Gambar 1. Keseimbangan Tiga Komponen

Sumber: Miftah Thoha (2005: 65)

Berdasarkan gambar di atas dapat dinyatakan bahwa sebagai fondasi legitimasi

dalam sistem demokrasi, maka prosedur dan metode pembuatan keputusan harus

transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Kondisi

semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan

keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus

bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders. Selain itu,

institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-

fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan

peluang ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.


31

Hubungan antara ketiga komponen dalam model di atas adalah hubungan yang

bersifat saling menguntungkan dan saling membutuhkan, adapun uraiannya adalah

sebagai berikut:

a. Hubungan pemerintah dengan pihak swasta

Hubungan pemerintah dengan pihak swasta terletak pada berbagai kebijakan

yang akan diberlakukan pemerintah dalam dunia usia, berbagai regulasi dalam

kehidupan dunia usaha tidak bisa ditentukan secara sepihak oleh pemerintah

daerah, melainkan harus berkoordinasi yang baik. Keuntungan adanya regulasi

dan birokrasi yang tidak menyulitkan pihak swasta adalah semakin terbukanya

kesempatan bagi swasta menanamkan investasi dan mengembangkan usaha di

daerah. Hal ini akan membawa keuntungan bagi pemerintah daerah, yaitu

dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor swasta, melalui

perolehan pajak, retribusi dan sumbangan pihak swasta kepada daerah.

b. Hubungan pemerintah dengan masyarakat

Hubungan pemerintah dengan masyarakat terletak pada berbagai kebijakan

yang akan ditetapkan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat merupakan

pihak yang secara langsung akan merasakan kebijakan yang ditetapkan

pemerintah. Keuntungan masyarakat adalah berbagai kebijakan yang

ditetapkan pemerintah akan lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Sementara itu keuntungan bagi pemerintah adalah kebijakan yang

ditetapkan tersebut secara langsung telah mendapatkan legitimasi dari

masyarakat.
32

c. Hubungan swasta dengan masyarakat

Hubungan swasta dengan masyarakat terletak pada keadaan saling

membutuhkan dan saling ketergantungan. Pihak swasta membutuhkan

masyarakat sebagai sasaran atau segmen pasar potensial dalam usaha mereka,

sementara masyarakat membutuhkan pihak swasta sebagai institusi ekonomi

yang menyediakan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat

untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup.

Menurut Manullang (1986: 7):

Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah


untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan
beberapa pihak yaitu : (1) Pemrakarsa adalah pengusaha besar baik
swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan
pengusaha kecil. (2) Mitra Usaha yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi
dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional
dengan mempertimbangkan kesediaan menjalin kemitraan dengan
pengusaha besar dan b) mempunyai kinerja yang baik. (3) Pemerintah
berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi
kemitraanusaha nasional.

Menurut Manullang (1986: 8-12), beberapa peranan pemerintah dalam kemitraan

dengan pihak swasta adalah sebagai berikut:

a. Koordinasi
Pada dasarnya lembaga yang melakukan koodinasi sebenarnya tidak hanya
dari unsur instansi pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha, perguruan
tinggi dan tokoh masyarakat. Dalam melakukan koordinasi ruang
lingkupnya meliputi kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan
program pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta pengendalian umum
terhadap pelaksanaan kemitraan usaha nasional
b. Fasilitasi
Peran fasilitasi dari pemerintah hendaknya dilaksanakan semaksimal
mungkin, terutama dalam mengupayakan penyediaan dan pemberian
fasilitas baik modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri,
sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang yang
sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi keketimpangan sosial di
dalam masyarakat karena ada sekelompok kecil masyarakat yang sangat
33

mudah mendapat peluang, sementara sebagian besar masyarakat lainnya


sulit mendapatkannya.
c. Pengawasan
Pemerintah berperan dalam melakukan pengawasan pengendalian
kemitraan dengan beberapa aspek kegiatan kebijakan hukum yaitu:
Formulating, Executing, Controling. Ketiga tahap kebijakan di bidang
kemitraan tersebut, tentunya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, dan
kesemuanya menjadi variabel pengaruh (independent variable) dan
sekaligus variabel terpengaruh (dependent variable). Fungsi formulasi
tentunya sangat ditentukan dengan model pelaksanaan (executing) ataupun
model pengawasan (controlling) yang akan dijalankan dan demikian pula
sebaliknya. Khusus yang berkaitan dengan masalah controlling dapat
diartikan sebagai pengawasan, namun pada sisi yang lainnya dapat pula
diartikan sebagai pengendalian, fungsi pengawasan lebih menekankan
kepada kegiatan yang tidak aktif, sedangkan pengendalian sebenarnya
merupakan pengawasan dalam bentuk kegiatan yang aktif. Fungsi-fungsi
pengawasan dan atau pengendalian ini dilakukan dalam beberapa tahapan
proses gabungan antara pengawasan dan pengendalian yang dalam

3. Model-Model Kemitraan Pemerintah dan Swasta

Menurut Caroline Pascarina (2007: 11):

Kemitraan antara pemerintah dan swasta dikenal dengan istilah Public and
Private Partnership (PPP) yaitu merupakan pengaturan antara pemerintah
dan sektor swasta untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan publik,
seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas-fasilitas
komunitas, dan berbagai jenis pelayanan lainnya. PPP bercirikan adanya
pembagian investasi, risiko, pertanggungjawaban, dan penghargaan antara
pemerintah dengan sektorswasta yang menjadi mitranya.

Alasan yang melatarbelakangi lahirnya model tersebut umumnya berkaitan

dengan pembiayaan, perancangan, konstruksi, operasionalisasi, dan pemeliharaan

pelayanan infrastruktur. Dengan adanya kemitraan, maka kelebihan yang dimiliki

oleh pemerintah maupun sektor swasta dapat dipadukan. Peran dan pertanggung

jawaban dari kemitraan bisa beragam, bisa jadi peran pemerintah lebih banyak

atau sebaliknya, peran swastalah yang lebih banyak dalam suatu bentuk

kemitraan. Namun, peran pemerintah yang kuat dan efektif tetap diperlukan dalam
34

pembuatan kebijakan. Pemerintah tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab

dan akuntabel untuk menjamin kualitas pelayanan publik.

Pada prinsipnya dalam PPP, terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah

dan swasta. Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak

yang bersifat membawahi pihak lain. Dalam PPP ada tujuan bersama berdasarkan

komitmen yang hendak dicapai, dan berdasarkan komitmen tanggungjawab

sendiri. Setiap pihak memberikan input finansial atau sumber daya lainnya. Kedua

belah pihak bersedia menanggung risiko dan pembagian keuntungan berdasarkan

pertimbangan input yang diberikan (share) dalam kesepakatan perjanjian.

Terdapat sejumlah tipe PPP yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung

kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk

menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut.

Secara umum ada lima model PPP yang diklasifikasikan berdasarkan spektrum

investasi dan peran pemerintah, yaitu sebagai berikut:

Sumber: Caroline Pascarina (2007: 13)

Gambar 2
Model-Model Kemitraan Pemerintah dan Pihak Swasta
35

Bentuk kontrak pelayanan (servicecontract) merupakan bentuk PPP yang lebih

banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun

penyediaan jasa layanan. Sebaliknya, model build operatesown secara lepas

merupakan bentuk PPP yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan

pada sektor swasta. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator.

Menurut Caroline Pascarina (2007: 14-15) Selain kelima model tersebut, terdapat

beberapa varian lain dari model PPP, antara lain seperti dikemukakan oleh

Ministry of Municipal Affairs (1999) yang mengklasifikasikan tipe PPP ke dalam

10 varian yang didasarkan pada pembagian peran di antara pihak-pihak yang

bermitra serta jenis pelayanan yang cocok untuk masing-masing tipe, yaitu

sebagai berikut:

1) Operations and maintenance (Operasionalisasi dan Pemeliharaan)


Model ini didasari oleh kontrak antara pemerintah dan swasta untuk
mengoperasikan dan memelihara fasilitas publik.

2) Design-build (Perencanaan dan Pengembangan)


Didasari oleh kontrak pemerintah dan swasta untuk merencanakan dan
mengembangkan fasilitas yang memenuhi standar dan prasyarat kinerja
pemerintah. Ketika fasilitas itu telah dibentuk, maka pemerintah akan
menjadi pemilik yang bertanggung jawab terhadap penggunaan fasilitas
tersebut

3) Turnkey operation (Pengoperasian)


Pemerintah menyediakan dana untuk melaksanakan kegiatan, tapi
melibarkan sektor swasta untuk mendesain, membangun, dan
mengoperasikan fasilitas utnuk jangka waktu tertentu. Sasaran kinerja
ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah yang menjadi pemilik dari
fasilitas tersebut

4) Wrap arround addition (Penambahan dalam Fasilitas yang Sudah Ada)


Pihak swasta membiayai dan membangun fasilitas tambahan pada fasilitas
yang sudah ada. Selanjutnya, pihak swasta dapat mengoperasikan fasilitas
tambahan ini untuk jangka waktu tertentu sampai dapat mengembalikan
investasi dan keuntungan dari investasi tersebut
36

5) Lease-purchase (Sewa-Beli)
Kontrak pemerintah dengan pihak swasta untuk mendesain, membiayai,
dan membangun fasilitas pelayanan publik. Pihak swasta kemudian
menyewakan fasilitas tersebut pada pemerintah untuk jangka waktu
tertentu. Setelah jangka waktu itu habis, maka fasilitas akan menjadi milik
pemerintah. Model ini dapat diterapkan bila pemerintah memerlukan suatu
fasilitas tapi tidak punya cukup biaya untuk membangunnya

6) Temporary privatization (Privatisasi Sementara)


Kepemilikan fasilitas publik yang sudah ada diberikan pada pihak swasta
untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan fasilitas. Fasilitas itu
kemudian dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dalam jangka
waktu yang ditetapkan dalam kontrak atau sampai pihak swasta sudah
dapat mengembalikan modal investasi ditambah keuntungannya

7) Lease-developoperate or buy-develop-operate (Sewa-Pengembangan-


Operasionalisasi Atau Beli Pengembangan Operasionalisasi)

Mitra swasta menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari pemerintah,


kemudian mengembangkan atau memodernisasikannya, selanjutnya
mengoperasikannya sesuai dengan kontrak yang dibuat bersama
pemerintah.
Pihak swasta diharapkan untuk berinvestasi dalam pengembangan fasilitas
dan diberi jangka waktu yang pasti untuk mengembalikan dan memperoleh
keuntungan dari investasi tersebut

8) Build-Transfer-Operate (Pembangunan-Pengalihan-Pengoperasian)
Didasari kontrak pemerintah dengan swasta untuk membiayai dan
membangun fasilitas, di mana setelah fasilitas itu selesai dibangun, maka
pihak swasta mengalihkan kepemilikan fasilitas itu pada pemerintah.
Pemerintah kemudian menyewakan fasilitas itu lagi kepada swasta
berdasarkan sewa jangka panjang yang memungkinkan swasta
mengembalikan investasi dan memperoleh keuntungan

9) Build-Own-Operate-Transfer (Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian
Pengalihan)

Pihak pengembang swasta memperoleh hak franchise secara ekslusif


untuk membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola,
dan mengumpulkan biaya pungutan selama periode tertentu untuk
mengembalikan investasi. Di akhir hak franchise, kepemilikan dialihkan
kembali pada pemerintah.

10) Build-Own-Operate (Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian)


Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu
fasilitas yang sudah ada, atau mengadakan kontrak dengan swasta untuk
membangun, memiliki, dan mengoperasikan fasilitas yang baru dibangun.
Pihak swasta menyediakan dana untuk pembangunan fasilitas tersebut
37

E. Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali

urusan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan

antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari

urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan

urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan

pemerintahan atau konkuren.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 10 Ayat (1) dan (2) bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan

pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembagian.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 14 Ayat (1), urusan pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah

Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:


38

1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan

2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang

3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

4) Penyediaan sarana dan prasarana umum

5) Penanganan bidang kesehatan

6) Penyelenggaraan pendidikan

7) Penanggulangan masalah sosial

8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan

9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah

10) Pengendalian lingkungan hidup

11) Pelayanan pertanahan

12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil

13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan

14) Pelayanan administrasi penanaman modal

15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya

16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Menurut Affan Gaffar (2006: 34), daerah otonomi adalah wilayah administrasi

pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan

Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik

berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota.

Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi

antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada


39

provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka

diambil alih oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang

masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya

terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk

berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Menurut Affan Gaffar (2006: 36-37), Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah

adalah sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah

yang terbatas

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertanggung jawab

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan

otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga

tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah

otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi

wilayah administrasi.
40

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan

legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi

anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah

g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam

kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan

sebagai wakil daerah.

h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari

pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa

yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya

manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung

jawabkan kepada yang menugaskannya.

Menurut Rumajar Jeferson (2007: 37-43), asas-asas yang dianut dalam

pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah meliputi:

a) Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari


pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan
desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan
daya guna penyelenggaraaan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan masyarakat serta melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri

Negara kesatuan adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi

dipusatkan pada satu badan legislatif nasional/pusat kekuasaan terletak pada

pemerintah pusat dan tidak pada Pemerintah Daerah. Pemerintah pusat

berwenang menyerahkan sebagian kekuasaan pada daerah otonom atau negara

kesatuan dengan sistem desentralisasi (Sesuai Pasal 1 Angka 7 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004).


41

Urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka

pelaksanaan asas desentralisasi, menjadi wewenang dan tanggung jawab

daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan maupun yang

menyangkut segi-segi pembiayaannya. Bidang kewenangan yang mewarnai

fenomena desentralisasi adalah bidang kepegawaian, budget kepegawaian dan

penyesuaian berbagai rupa kebijaksanaan umum. Hal ini tertuang dalam

Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 2 dan dipertegas dalam Pasal 10 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan:

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah sebagaimana pada Ayat (1), Pemerintah Daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana

dimaksud dalam Ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisia, moneter dan fiskal serta agama.

b) Asas Dekonsentrasi

Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau pada instansi

vertikal di wilayah tertentu. Perbedaannya terletak pada titik laju menjauhi

titik pusat. Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan yang


42

diberikan kepada pemerintah di bawahnya yang selanjutnya urusan yang

diberikan akan menjadi urusan rumah tangga daerah, jadi bukan pada

perorangan seperti dalam asas dekonsentrasi (Sesuai dengan Pasal 1 Angka 8

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)

c) Asas Tugas Perbantuan

Apabila semua urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah pusat, maka ditinjau dari segi daya dan hasil guna kurang dapat

dipertanggung jawabkan karena memerlukan tenaga dan biaya yang sangat

besar. Asas tugas perbantuan yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada

Pemerintah Daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi pada pemerintah

kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dalam hal penyelenggaraan asas tugas perbantuan tidak beralih menjadi

urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuannya. Selanjutnya tugas

perbantuan bukanlah sebagai asas pengganti dari asas desentralisasi dari

urusan pemerintah pusat yang ditugaskan pada Pemerintah Daerah. Daerah

yang mendapatkan tugas pembantuan wajib melaporkan dan mempertanggung

jawabkan pada pemerintah pusat sesudah tugas dilaksanakan (Sesuai dengan

Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).

F. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu dengan kajian yang relevan dengan penelitian ini

adalah sebagai berikut:


43

1. Muhammad Arifin Siregar (2008)

Tesisnya berjudul: Penerapan Tata Kepemerintahan Yang Baik dalam

Penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan Provinsi

Bengkulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pengadaan Pengadaan

barang dan Jasa pada Pemerintah Provinsi Bengkulu berdasarkan pada

Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2007 tentang perubahan ketujuh

Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pengadaan

barang dan jasa pemerintah, yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran

Gubernur Bengkulu Nomor 910/20.b/B.4 Perihal Petunjuk Umum

Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan di Lingkungan Pemerintah Provinsi

Bengkulu Tahun Anggaran 2008.

Penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik dalam pengadaan

barang dan jasa pada Pemerintah Provinsi Bengkulu belum dapat dilakukan

dengan baik, karena kerangka hukum pengadaan yang tumpang tindih,

peraturan yang mengatur berbagai aspek pengadaan pemerintah menjadi salah

satu sumber kesimpang siuran, ketidak jelasan interprestasi, dan kesenjangan

antara kebijakan pokok dengan pelaksanaannya, keterbatasan sumber daya

manusia, sarana dan prasarana yang tidak dapat mendukung untuk melakukan

pengadaan pemerintah dengan baik. Dalam upaya untuk mewujudkan

pengadaan pemerintah yang baik, Pemerintah Provinsi Bengkulu melakukan

beberapa program kegiatan yaitu, peningkatan kualitas sumber daya manusia,

penetapan anggaran kegiatan pengadaan barang dan jasa berdasarkan ukuran

kinerja, peningkatan sarana dan prasarana teknologi dan informasi yang

mendukung terlaksananya layanan E-Procurement. Disimpulkan bahwa


44

penerapan tata kepemerintahan yang baik dalam pengadaan barang dan jasa

pada pemerintah provinsi Bengkulu belum sesuai dengan pedoman pengadaan

barang dan jasa pemerintah.

2. Kodar Udoyono (2010)

Tesisnya berjudul: E-Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa untuk

Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Tesis ini mengkaji tentang

implementasi pengadaan barang dan jasa secara elektronik. E-Procurement

merupakan terobosan dalam pelayanan publik untuk mewujudkan

akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Objek

penelitian ini adalah pengadaan barang dan jasa secara elektronik di Kota

Yogyakarta Tahun 2009. Metode yang digunakan dalam tesis ini yaitu studi

kasus. Data penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan

observasi dokumen. Temuan dari tesis ini adalah Pertama, dimensi fisibilitas

dalam pengadaan barang dan jasa secara elektronik di Kota Yogyakarta tahun

2009 meliputi regulatif, teknokratis dan administratif, politik, dan kebutuhan

masyarakat. Kedua, dimensi akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa

secara elektronik di Kota Yogyakarta tahun 2009 meliputi meliputi regulatif,

politik, dan keuangan. Dengan demikian, implementasi E-Procurement di

Kota Yogyakarta tahun 2009 fisibel tapi tidak akuntabel.

G. Kerangka Pikir

Kabupaten Pringsewu sebagai daerah otonom baru, memerlukan ketersediaan

barang dan jasa secara memadai. Pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah

Kabupaten Pringsewu merupakan hal yang penting, karena akan mempengaruhi


45

efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan, dan pada akhirnya akan

mempengaruhi kinerja pembangunan dalam mencapaiberbagai sasaran dan tujuan

pembangunan. Pembangunan diterjemahkan dalam berbagai kebijakan, program,

dan proyek-proyek. Proyek adalah satuan investasi terkecil yang terdiri dari

sejumlah bagian ataupun kegiatan yang bersifat operasional, termasuk kegiatan

pengadaan barang dan jasa, karena itu sistem dan proses pengelolaannya akan

secara langsung dan signifikan mempengaruhi tingkat kesuksesan maupun

kegagalan pembangunan. Penerapan prinsip-prinsip good governance secara

konsisten dalam pengelolaan kebijakan, program, dan proyek pembangunan,

termasuk dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa, dimaksudkan untuk

menghindarkan kegagalan pembangunan.

Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan umum Pemerintah dalam

pengadaan barang dan jasa untuk memberdayakan peran serta masyarakat dan

kelompok usaha kecil termasuk koperasi, dengan harapan dapat meningkatkan

penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan rekayasa nasional, untuk

memperluas lapangan kerja, meningkatkan daya saing barang dan jasa nasional

pada perdagangan internasional.

Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah Kabupaten

Pringsewu dilakukan dengan berpedoman pada Perpres Nomor 70 Tahun 2012

Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


46

Kerangka pikir penelitian mengenai implementasi prinsip-prinsip good

governance dalam pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan

Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu, yang mengacu pada pendapat Thoha

(2000: 13-14), di antaranya Rule of Law dan Transparancy, sebagaimana dapat

dilihat pada bagan sebagai berikut:

Kabupaten Pringsewu
Sebagai Daerah Otonomi

Kebutuhan Barang
dan Jasa Pemerintah

Peraturan Presiden Implementasi Prinsip-Prinsip


Republik Indonesia Good Governance dalam
Nomor 70 Tahun 2012 Pengadaan Barang dan Jasa

 Rule of Law
(Kepastian Hukum)
 Transparancy
(Keterbukaan)

Gambar 2.
Bagan Kerangka Pikir Penelitian
III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Menurut Moleong (2005: 6),

penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti objek dengan cara

menuturkan, menafsirkan data yang ada, ada pelaksanaanya melalui

pengumpulan, penyusunan, analisa dan interpretasi data yang diteliti pada masa

sekarang.

Tipe penelitian ini dianggap relevan untuk dipakai karena menggambarkan

keadaan objek yang ada pada masa sekarang secara kualitatif berdasarkan data

yang diperoleh dari penelitian. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti dan memahami

fenomena yang dialami oleh subjek penelitian dimana peneliti merupakan

instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis

data bersifat induktif, sehingga menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis/ lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.


48

B. Fokus Penelitian

Penetapan fokus dalam penelitian kualitatif bertujuan untuk memberikan batasan

dalam pengumpulan data, sehingga dengan pembatasan ini peneliti memfokuskan

penelitian terhadap masalah yang menjadi tujuan penelitian. Selain itu, fokus

penelitian memiliki peranan yang penting dalam memandu dan mengarahkan

jalannya penelitian. Melalui fokus penelitian, suatu informasi di lapangan dipilah-

pilah sesuai dengan konteks permasalahan.

Berdasarkan pengertian di atas maka fokus dalam penelitian penelitian ini adalah

implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengadaan televisi pada

Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu Tahun Anggaran

2013, yang meliputi:

1. Kepastian Hukum (Rule of Law), yaitu adanya kerangka hukum yang jelas dan

pasti dalam pengadaan televisi Tahun Anggaran 2013

2. Transparansi (Transparancy), yaitu pengadaan televisi Tahun Anggaran 2013

dilaksanakan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik

C. Sumber Data

Menurut Moleong (2005) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah

kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya

adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan

informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau

sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya.


49

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Informan

Informan sebagai sumber data adalah orang-orang terlibat atau mengalami

proses pelaksanaan dan perumusan program di lokasi penelitian. Informan

dalam penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:

a) Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu

b) Pejabat Pembuat Komitmen pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah

Kabupaten

c) Peserta lelang pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten

2. Dokumen

Dokumen sebagai sumber data adalah berbagai arsip, agenda atau berkas-

berkas yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini dan sifatnya

memberikan tambahan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap ini, peneliti melakukan proses pengumpulan data yang telah ditetapkan

berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada

informan dengan menggunakan pedoman wawancara.


50

2. Dokumentasi

Dokumentasi berguna karena dapat memberikan latar belakang yang lebih

luas mengenai pokok penelitian, dapat dijadikan bahan triangulasi untuk

mengecek kesesuaian data, dan merupakan bahan utama dalam penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data

seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam Moleong (2005: 165),

bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.

Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yaitu:

1. Reduksi Data (data reduction)

Data yang diperoleh dilokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam

uraian laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan direduksi,

dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting

kemudian dicari tema atau polanya.

2. Penyajian Data (Data Display).

Penyajian data berguna untuk memudahkan peneliti melihat gambaran secara

keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Batasan yang diberikan dalam

penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.


51

3. Penarikan Kesimpulan (concluting drawing).

Yaitu melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian

berlangsung. yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses

pengumpulan data. Peneliti menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan

persamaan, hal-hal yang sering timbul, yang dituangkan dalam kesimpulan.

F. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi data. Menurut Moleong

(2005: 287), triangulasi berupaya untuk mengecek kebenaran data dan

membandingkan dengan data yang diperoleh dengan sumber lain, pada berbagai

fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan dan dengan metode yang

berlainan. Adapun triangulasi yang dilakukan dengan tiga macam teknik

pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber data, metode, dan teori.

Untuk itu maka peneliti dapat melakukannya dengan jalan: mengajukan berbagai

macam variasi pertanyaan, mengecek dengan berbagai sumber data atau

memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayan data dalam

penelitian dapat dilakukan.


IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kedudukan Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten


Pringsewu

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor 07 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2010 Tentang

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten,

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pringsewu dan Staf Ahli

Bupati Pringsewu maka diketahui bahwa Bagian Perlengkapan merupakan salah

satu bagian yang berada di bawah Sekretaris Daerah.

Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu dipimpin oleh

seorang kepala Bagian yang membawahi:

a. Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan

b. Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian

c. Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan

(Sumber: Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu


Tahun 2014)

B. Tugas Pokok dan Fungsi Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu

Tugas pokok dan fungsi Bagain Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten

Pringsewu berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor 07 Tahun

2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2010 Tentang
53

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten,

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pringsewu dan Staf Ahli

Bupati Pringsewu adalah perumusaan, pengkoordinasian dan pelaksanaan

kebijakan dari tugas pemerintah daerah dalam merencanakan operasional dan

menyusun program kerja Bagian Perlengkapan.

(Sumber: Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu


Tahun 2014)

C. Struktur Organisasi Bagian Perlengkapan

Struktur organisasi Bagian Perlengkapan pada Sekretariat Daerah Kabupaten

Pringsewu dapat dilihat pada gambar berikut:

Kepala
Bagian Perlengkapan

Subbagian Subbagian Subbagian


Perencanaan Penyediaan dan Pengelolaan dan
Kebutuhan dan Pendistribusian Pemeliharaan

Staf

Gambar 3
Struktur Organisasi Bagian Perlengkapan

(Sumber: Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu


Tahun 2014)
54

D. Uraian Tugas dalam Organisasi Bagian Perlengkapan

Uraian tugas dalam struktur organisasi bagian perlengkapan adalah sebagai

berikut:

1. Kepala Bagian Perlengkapan

Tugas Kepala Bagian Perlengkapan adalah merumuskan, mengkoordinasikan

dan melaksanakan kebijakan dari tugas pemerintah daerah dalam

merencanakan operasional dan menyusun program kerja Bagian

Perlengkapan.

Fungsi Kepala Bagian Perlengkapan adalah sebagai berikut:

a. Penyusunan rencana dan program kerja bagian perlengkapan

b. Perumusan kebijakan bagian perlengkapan

c. Pembinana dan pengkoordinasian kegiatan bagian perlengkapan yang

meliputi perencanaan kebutuhan, pengawasan, penyediaan dan

pendistribusian serta pengelolaan dan pemeliharaan

d. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan bagian

perlengkapan

2. Kepala Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan

Tugas Kepala Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan adalah

menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan data, penyusunan rencana

kegiatan dan program kerjasama teknis, rutin, pembangunan dan perencanaan

serta melakukan pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan

Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan


55

Fungsi Kepala Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan adalah

sebagai berikut:

a. Penyiapan bahan dan petunjuk teknis di bidang Perencanaan Kebutuhan

dan Pengawasan

b. Penyiapan draft kebijakan di bidang Perencanaan Kebutuhan dan

Pengawasan

c. Pengkoordinasian kegiaan di bidang Perencanaan Kebutuhan dan

Pengawasan

d. Pelaksanaan pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan

Subbagian Perencanaan Kebutuhan dan Pengawasan

3. Kepala Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian

Tugas Kepala Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian adalah

menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan data, penyusunan rencana

kegiatan dan program kerjasama teknis, rutin, pembangunan dan perencanaan

serta melakukan pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan

Subbagian Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian.

Fungsi Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian adalah sebagai berikut:

a. Penyiapan bahan dan petunjuk teknis di bidang Penyediaan dan

Pendistribusian

b. Penyiapan draft kebijakan di bidang Penyediaan dan Pendistribusian

c. Pengkoordinasian kegiaan di bidang Penyediaan dan Pendistribusian

d. Pelaksanaan pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan

Subbagian Penyediaan dan Pendistribusian


56

4. Kepala Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan

Tugas Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan adalah menyelenggarakan

pengumpulan dan pengolahan data, penyusunan rencana kegiatan dan program

kerjasama teknis, rutin, pembangunan dan perencanaan serta melakukan

pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan Subbagian

Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan.

Fungsi Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan adalah sebagai berikut:

a. Penyiapan bahan dan petunjuk teknis di bidang Pengelolaan dan

Pemeliharaan

b. Penyiapan draft kebijakan di bidang Pengelolaan dan Pemeliharaan

c. Pengkoordinasian kegiaan di bidang Pengelolaan dan Pemeliharaan

d. Pelaksanaan pengawasan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan

Subbagian Pengelolaan dan Pemeliharaan

(Sumber: Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu


Tahun 2014)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa

prinsip-prinsip good governance dalam pengadaan televisi pada Bagian

Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu Tahun Anggaran 2013,

diimplementasikan sebagai berikut:

1. Prinsip kepastian hukum (rule of law), yaitu adanya kerangka hukum dalam

pelaksanaan pengadaan televisi berupa Peraturan Presiden Nomor 70 tahun

2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur tentang tata cara

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Tujuannya agar instansi pemerintah

memeroleh barang/jasa yang berkualitas, efisien, terbuka dan kompetitif untuk

dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Selain itu untuk

mencegah terjadinya persekongkolan dalam pelaksanaan pelelangan atau

tender.

2. Prinsip transparansi (transparancy), yaitu pengadaan televisi Tahun Anggaran

2013 dilaksanakan secara terbuka melalui proses pelelangan yang terbuka

untuk umum dapat diakses oleh masyarakat luas, mulai dari proses

pengumuman sampai dengan tahap penentuan pemenang. Nilai-nilai yang

dikembangkan adalah efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan,

adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.


104

B. Saran

Beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Pringsewu untuk membentuk

lembaga yang secara khusus menangani pengembangan kebijakan, pembinaan

dan pengendalian pengadaan barang/jasa pemerintah

2. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Pringsewu untuk meningkatkan

kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia yang dapat memenuhi kapasitas

untuk dapat melaksanakan pengadaan barang/jasa dengan baik.

3. Sarana dan Prasarana Informasi dan Teknologi pada Sekretariat Daerah

Kabupaten Pringsewu yang dapat menunjang untuk pengadaan barang dan

jasa melalui layanan Internet, sehingga aplikasi E-Procurement direalisasikan

guna mengatasi kendala penyebaran informasi pengadaan barang/jasa.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 1999. Pengantar Kebijakan Publik. Gramedia. Jakarta.

Baswir, R. 2002. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam


Pelaksanaan Otonomi Daerah, MEP-UGM, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus dkk. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Fuady, Ahmad Helmi. 2002. Memahami Anggaran Publik. Penerbit Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta

Ganie, Meuthia -Rochman. Good Governance : Prinsip. Komponen dan


Penerapannya. LP3ES. Jakarta.

Hasibuan, Malayu.S.P. 2007. Organisasi dan Manajemen. Rajawali Press.


Jakarta.

Jefferson, Rumajar. 2007. Otonomi Daerah: Sketsa. Gagasan dan Pengalaman.


Media Pustaka. Manado.

Krina, Loina Lalolo. Indikator dan Alat Ukur prinsip Akuntabilitas. Transparansi
dan Partisipasi. Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. Jakarta. 2003.

Kaho, Josef Riwo. 2002. Prospek Otonomi Daerah di NegaraRepublik Indonesia;


Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya.
Penerbit Rajawali Press. Jakarta.

Mardiasmo, 2001. Manajemen Penerimaan Daerah dan Struktur APBD dalam


Era Otonomi Daerah. FE UGM. Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya Bandung.

Musa’ad, Muhamad A. . 2005. Penguatan Otonomi Daerah Dibalik Bayang-


Bayang Ancaman Integrasi. ITB. Bandung. 2005.

Nurmandi, 1999. Wacana Pembangunan dalam Negara Demokrasi. Rineka Cipta.


Jakarta.
Paskarina, Caroline. 2007. Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pelayanan
Publik Warta Bapeda Provinsi Jawa Barat.

Rasyid, Ryaas. 2004. Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan


Daerah. LP3ES. Jakarta. 2004.

Ritonga, Irwan Taufiq.2006. Perencanaan dan Penganggaran Daerah. Andi


Offset. Yogyakarta

Solihin, Dadang 2008. . Hasil Uji Coba Pengukuran Good Governance Index.
Final Workshop GGI. Jakarta

Santosa, Panji. 2008. Administrasi Publik. Teori dan Aplikasi Good Governance.
Refika Aditama. Bandung. 2008.

Sedarmayanti, 2006. Good Governance dan Good Corporate Governanc. CV


Mandar Maju. Jakarta.

Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia.Rajawali Press. Jakarta.

Wibawa, Fred. 2002. Kebijaksanaan Negara. Penerbit. Yayasan Obor. Jakarta.

Sumber Lain

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan


Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan


Kinerja Instansi Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan


Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah

Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor


13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas


Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.
LAMPIRAN
Lampiran

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

Prinsip Kepastian Hukum (Rule of Law)

1. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip kepastian hukum (rule of law) dalam


pengadaan televisi oleh Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten
Pringsewu Tahun Anggaran 2013?

Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa, tentunya Bagian


Perlengkapan Kabupaten Pringsewu mengacu pada Peraturan Presiden
sebagai landasan hukum agar pada pelaksanaannya memiliki kepastian
secara hukum”

2. Bagaimanakah pentingnya prinsip kepastian hukum (rule of law) dalam


pengadaan televisi tersebut?

Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dalam hal ini mampu


menjadi sistem pengadaan yang memberikan jaminan bahwa tujuan
pengadaan dapat direalisasikan. Kelemahan yang memungkinkan tidak
tercapainya tujuan pengadaan yang efisien, terbuka, dan kompetitif tersebut
berkaitan dengan tidak terpacunya persaingan sehingga harga pengadaan tidak
efisien”
3. Apakah relevansi prinsip kepastian hukum deangan proses pengadan barang

dan jasa?

Jawaban Yusar Riyaman Saleh, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang dan

Jasa:

“Pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan Sekretariat Kabupaten


Pringsewu, kami laksanakan dengan mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga prinsip kepastian hukum dapat
direalisasikan, karena Perpres memang menuntut untuk dilaksanakannya
kepastian hukum tersebut. Jangan sampai terjadi kecurangan dalam
pelaksanaannya”

4. Mengapa sering terjadi perubahan pada kerangka hukum pengadaan barang


dan jasa oleh Pemerintah?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Seringnya terjadi perubahan tentang tatacara pengadaan barang/jasa


pemerintah tersebut, di satu sisi menunjukkan bahwa pemerintah selalu
berusaha untuk memerbaiki sistem pengadaan yang ada. Sistem pengadaan
barang/jasa ini mampu mewujudkan hasil efisien”

5. Apakah yang dimaksud dengan hasil yang efisien tersebut?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Efisiensi berkaitan dengan tingkat perbandingan antara output dengan input


yang diperlukan untuk memeroleh output yang bersangkutan. Dengan
demikian pengadaan barang/jasa dikatakan efisien jika untuk memperoleh
barang/jasa tertentu dibiayai dengan dana yang minimal, setidaknya setara
dengan harga wajar di pasaran umum. Untuk itulah maka sebelum melakukan
pengadaan barang/jasa, pejabat pembuat komitmen (PPK) terlebih dahulu
harus melakukan survei harga yang dituangkan dalam HPS (Harga Perkiraan
Sendiri). HPS digunakan sebagai tolok ukur efisiensi harga pengadaan. Pasal
83 (1) huruf f Perpres Nomor 54 Tahun 2010 jo Perpres Nomor 70 Tahun
2012 menyatakan bahwa pelelangan/pemilihan langsung gagal apabila harga
penawaran terendah lebih tinggi daripada HPS”

6. Bagaimanakah upaya yang ditempuh untuk memperoleh harga yang efisien


tersebut?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Untuk memeroleh harga yang efisien, pasal 36 dan 42 Perpres Nomor 54


Tahun 2010 jo Perpres Nomor 70 Tahun 2012 mengatur agar pengadaan
barang/jasa sedapat mungkin dilakukan dengan pelelangan umum dan untuk
pengadaan jasa konsultasi dengan seleksi umum. Prinsip-prinsip pengadaan
yang harus dipenuhi agar pengadaan tersebut efisien dan efektif adalah:
transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel”

7. Bagaimanakah upaya untuk menghindari permainan dalam memperoleh harga


yang efisien?

Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Upaya untuk menghindari adanya permainan di antara pihak-pihak terkait


dalam pengadaan, pasal 131 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 jo Perpres
Nomor 70 Tahun 2012 juga mewajibkan seluruh instansi pemerintah
melaksanakan pengadaan secara elektronik (e-Procurement) mulai tahun
anggaran 2012. Dengan berbagai aturan tersebut dapat diketahui bahwa
Prespres memang menghendaki hasil yang efisien dari dari setiap
pengadaan barang/jasa”

8. Bagaimanakah upaya untuk menghindari adanya kecurangan dalam pengadaan


barang dan jasa?
Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah
Kabupaten Pringsewu:

“Pentingnya pelaksanaan prinsip kepastian hukum dalam pengadaan


barang/jasa pada instansi Pemerintahan ini adalah untuk mengantisipasi
terjadinya kecurangan tender dalam pengadaan barang/jasa tersebut.
Kecurangan ini merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5/1999). Larangan
Kecurangan dalam pelaksanaan tender dilakukan karena dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya
tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
pelaku usaha agar dapat menawarkan harga dan kualitas bersaing. Dengan
adanya larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien,
artinya mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik”

9. Apakah Perpres Nomor 70 Tahun 2012 menjamin adanya kepastian hukum

dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah?

Jawaban Yusar Riyaman Saleh, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang dan

Jasa:

“Dengan mengacu kepada Perpres Nomor 70 Tahun 2012 maka seluruh


tahapan proses pengadaan barang dan jasa pada Bagian Perlengkapan
Sekretariat Kabupaten Pringsewu selaras dengan prinsip kepastian hukum,
karena pemberlakuan Perpres memenuhi prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik ”

10. Apakah yang harus diupayakan pemerintah dalam rangka mengatasi


Kecurangan dalam pelaksanaan tender ?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Mengingat impikasi yang ditimbulkan atas adanya Kecurangan dalam


pelaksanaan tender , pemerintah juga senantiasa memperbaharui peraturan
tentang pengadaan barang dan/jasa di sektor publik dengan menetapkan
pembaharuan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
berikut beberapa amandemennya. Peraturan tersebut dimaksud agar pegadaan
barang dan/atau jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan
efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, serta perlakuan
yang adil dan layak bagi semua pihak terkait, sehingga hasilnya dapat
dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya
bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.”

11. Menurut Anda apakah pengadan proses pengadaan televisi pada Bagian
Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu Tahun 2013 telah
memenuhi prinsip kepastian hukum?

Jawaban Edwin Jatmiko, selaku Direktur CV. Wini Bersaudara:

“Meskipun kami tidak memenangkan tender, tetapi kami tetap merasa


puas dengan seluruh tahapan pengadaan televisi pada Bagian
Perlengkapan Sekretariat Kabupaten Pringsewu, karena tahapan
dilaksanakan dengan kepastian hukum dan terbuka. Kami menyadari
bahwa ada rekanan lain yang sanggup memberikan penawaran lebih murah
dibandingkan dengan penawaran kami”

Prinsip Transparansi (Transparancy)

12. Menurut Anda bagaimanakah pelaksanaan prinsip transparansi dalam


pengadaan barang dan jasa?

Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Transparansi memiliki makna bahwa undang-undang, peraturan,


lembaga-lembaga yang terlibat, proses, rencana dan keputusan yang dibuat
dapat diakses oleh masyarakat atau paling tidak perwakilan masyarakat.
Sehingga seluruh proses dan keputusan dapat dipantau, dibahas, dan
mendapat masukan dari para pihak serta pembuat kebijakan juga dapat
dimintai pertanggungjawabannya”
13. Menurut Anda bagaimanakah arti penting pelaksanaan prinsip transparansi
dalam pengadaan barang dan jasa?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

”Transparansi (Transparancy) yaitu pengadaan barang dan jasa dilaksanakan


secara terbuka dan dapat diakses oleh public. Pada dasarnya pengadaan barang
dan jasa pemerintah harus memenuhi nilai-nilai integritas, transparansi,
akuntabilitas; keadilan, ekonomis, dan efisiensi. Integritas berarti proses
pengadaan barang dan jasa berjalan secara jujur dan memenuhi hukum-hukum
yang berlaku, dasar pemilihan panitia tender adalah staf terbaik, memiliki
kemampuan teknis dan tidak diskriminatif, tender dilakukan secara jujur dan
terbuka, mendorong persaingan usaha yang sehat sehingga kualitas pekerjaan
dan harga yang tepat, serta hasilnya bermanfaat dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan seluruh pihak”.

14. Bagaimanakah penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan


jasa?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Kami menerapkan pengadaan barang dan jasa melalui media internet,


termasuk infromasi pengadaan, dokumen penawaran, hukum dan prosedur
yang terkait, dan hasil tender dan dapat diakses secara gratis oleh pihak
manapun yang membutuhkan informasi tersebut. Upaya ini mungkin akan
berhasil menekan manipulasi dan telah mendapat dukungan kuat dari seluruh
pihak”
15. Bagaimanakah kaitan antara prinsip transparansi dengan akuntabilitas dalam
pengadaan barang dan jasa?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Akuntabilitas mengandung makna bahwa pemerintah, lembaga atau


perusahaan publik dan pejabat publik di satu sisi serta sektor swasta,
perusahaan dan pihak-pihak yang berperan dalam perusahaan pada sisi
lainnya, harus dapat mempertanggung-gugatkan pekerjaan dan tugas, serta
semua keputusan yang menjadi tanggungjawabnya. Prosedur akuntabilitas
penuh harus sistematis dan dapat diterapkan”

16. Sebagai rekanan bagaimanakah tanggapan Anda mengenai prinsip


transparansi dalam pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah?

Jawaban Ayu Warsito selaku Direktur CV. Duta Agung Persada:


“Kami mengikuti semua proses dan tahapan lelang secara terbuka dan
transparan, sampai akhirnya kami ditunjuk sebagai pemenangnya. Semua
tahap kami ikuti dengan baik, tanpa melakukan rekayasa apalagi bermain
mata atau bersekongkol dengan Panitia”

17. Bagaimanakah proses keputusan terhadap pemenang lelang dalam pengadaan


barang dan jasa?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Keputusan pemenang lelang harus adil dan tidak memihak, sebab dana publik
tidak boleh digunakan untuk menguntungkan beberapa orang atau perusahaan
tertentu; standarisasi dan spesifikasi tidak boleh diskriminatif; penyedia dan
kontraktor harus dipilih berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka;
harus adanya perlakuan yang sama mengenai batas waktu, kerahasiaan, dan
sebagainya menyangkut seluruh aspek dalam pengadaan”
18. Hal apakah yang harus dimiliki pihak ketiga sebagai pemenang lelang dalam
pengadaan barang dan jasa?

Jawaban Djohan, selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Pakta Integritas, yaitu bentuk kesepakatan tertulis mengenai transparansi


dan pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang/jasa barang publik
melalui dokumen-dokumen yang terkait, yang ditandatangani kedua belah
pihak, baik sektor publik maupun penawar dari pihak swasta”

19. Bagaimana sikap Anda terhadap prinsip transparansi dalam pengadaan barang
dan jasa pada instansi pemerintah?

Jawaban Ayu Warsito selaku Direktur CV. Duta Agung Persada:

“Kami sebagai peserta lelang, mengikuti semua tahapan lelang dengan


sebaik-baiknya sesuai aturan yang ada dan semua peserta berkompetisi secara
sehat dan terbuka”

20. Menurut Anda bagaimanakah pelaksanaan prinsip transparansi dalam


pengadaan barang dan jasa secara elektronik?

Jawaban Sutikno selaku Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah


Kabupaten Pringsewu:

“Proses Pengadaan Barang/Jasa pemerintah secara elektronik yang telah


dilaksanakan oleh Pemrintah Provinsi Lampiung juga lebih meningkatkan dan
menjamin terjadinya efisiensi, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas
dalam pembelanjaan uang negara. Selain itu, proses Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah secara elektronik ini juga dapat lebih menjamin tersedianya
informasi, kesempatan usaha, serta mendorong terjadinya persaingan yang
sehat dan terwujudnya keadilan (non discriminative) bagi seluruh pelaku
usaha yang bergerak di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”

You might also like