You are on page 1of 10

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019): 82-91

Website: journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub
ISSN-2540-8453 (online) dan ISSN-2540-8445 (cetak)

SHALAT PERSPEKTIF KAUM SUFI


Ihsan Sobari
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Email; : shobarinaja49@gmail.com

Hasan Mud’is
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Email: shobarinaja49@gmail.com

Muhtar Gojali
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Email: muhtargojali@uinsgd.ac.id

_________________________

Abstract

One way for a servant to establish good relations with God is to pray. prayer is a form of worship of a servant
to his God who can prevent it from vile and evil deeds. If humans are able to pray well, then the potential to commit
crimes will be closed. However, some of the people who perform prayers but the immoral acts are also cariied out is
not used as a method of self transformation in order to be able to prevent themselves from vile and mockery.
This background raises some formulation of the problem, namely how to pray in the sufi view, in this case
Imam Al-Ghazali and Ibnu Qayyim Al-Jauzi who is a Sufi figure popular among students of sufism and spiritual
walkers. With the comparative study of the sufi figures, it will respresent other thoughts about prayer. Then the
formulation of the next problem ia about how similarities are also different views about prayer. The purpose of this
study was to find out and understand the views of the sufis, in this case Imam Al-Ghazali and Ibnu Qayyim Al-Jauzi,
about how to pray in their view and to know the differences in their similarity of views about prayer.
Al-Ghazali argues that prayer is actually dhikr, reading, munajat, and dialogue. but, it will not happen without
the presence of the heart. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah defines prayer by exposing the heart to Allah and presenting the
total heart to him. If the heart is not facing God and is busy with others and lulled by the whisper of his lust, he is like
a guest visiting the royal palace to express the reason for all his mistakes and forgetfulness, expecting a cloud of
kindness, compassion and mercy, and proposing a number of things can strengthen his heart to be more loyal to serve.
Prayers and worship are actually prayer and heart worship. If the heart is negligent and solemn or not concentrating
in prayer, the physical prayer will fall apart. If this happens, the physical peace that is expected to come through
physical prayer will not be achived. physical prayer can only be done with a solemn heart.
Keywords:
Prayer; Al-Ghazali; Ibnu Qayyim Al-Jauzi
__________________________

Abstrak

Salah satu cara bagi seorang hamba untuk menjalin hubungan baik dengan Allah adalah dengan melaksanakan
shalat. Shalat adalah bentuk ibadah seorang hamba kepada Tuhan-Nya yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar. Jika manusia mampu melaksanakan shalat dengan baik, maka potensi diri untuk melakukan kejahatan akan
tertutup. Namun, sebagian dari manusia ada yang melaksanakan shalat tetapi perbuatan maksiat juga tetap dilakukan.
Hal tersebut terjadi karena ibadah shalat yang dilaksanakan tidak dijadikan sebagai metode transformasi diri agar
mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar.
Latar belakang tersebut memunculkan beberapa rumusan masalah, yaitu bagaimana shalat dalam pandangan
sufi, dalam hal ini adalah Imam al-Ghazali, dan Ibnu Qayyim al-Jauzi yang merupakan tokoh sufi populer di kalangan
pelajar tasawuf dan pejalan spiritual. Dengan adanya studi komparatif terhadap tokoh sufi tersebut, akan mewakili
pemikiran-pemikiran lainnya tentang shalat. Kemudian rumusan masalah selanjutnya adalah tentang bagaimana
persamaan juga perbedaan pandangannya tentang shalat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
memahami pandangan para sufi, dalam hal ini Imam al-Ghazali dan Ibnu Qayyim al-Jauzi, tentang bagaimana shalat
dalam pandangan mereka dan mengetahui perbedaan juga persamaan pandangan mereka tentang shalat.
Al-Ghazali berpendapat bahwa shalat itu sesungguhnya adalah dzikir, bacaan, munajat, dan dialog. Tapi, hal
itu tidak akan terjadi jika tanpa kehadiran hati. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mendefinisikan shalat menghadapkan kalbu
kepada Allah dan menghadirkan hati secara total ke hadapan-Nya. Apabila hati tidak menghadap Allah dan justru
sibuk dengan yang lain serta terlena oleh bisikan nafsunya, ia ibarat tamu yang berkunjung ke istana raja untuk
mengemukakan alasan atas segala kesalahan dan keluputannya, mengharapkan curahan awan kebaikan hati, belas
kasih dan rahmatnya, dan mengajukan beberapa hal yang dapat meneguhkan hatinya agar semakin loyal mengabdi.
Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

Shalat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyuk atau tidak
konsentrasi dalam shalat maka shalat jasmaniah akan berantakan. Apabila ini terjadi, kedamaian jasmani yang
diharapkan datang melalui shalat jasmaniah itu tidak akan tercapai. Shalat jasmaniah hanya mampu dilakukan dengan
hati yang khusyuk.

Kata Kunci:
Shalat; Sufi; Al-Ghazali; Ibnu Qayyim
__________________________

A. PENDAHULUAN meneyediakan beberapa metode untuk


Shalat adalah salah satu bentuk ibadah, mentransformasikan nafs, yaitu: observasi diri,
sebagai bentuk kepercayaan dan ketundukan disiplin, dan melihat diri sendiri atau yang biasa
seseorang terhadap Tuhan, sang pencipta yang disebut muhasabah.2 Shalat pun termasuk
maha kuasa, yang menyediakan bagi seluruh muhasabah di dalamnya, shalat yang benar-
makhluk-Nya sumber daya dan sarana hidup. benar dilakukan dengan penuh kekhusyukan.
Melalui ibadah kepada-Nya manusia dapat Shalat mementingkan zahir dan juga batin kita,
memperoleh keagungan dan kesempurnaan sehingga para sufi membahas shalat batin
hakiki.1 walaupun didahului dengan pembhasan
Tujuan dari shalat salah satunya adalah zahirnya.
takhsya ‘anil fahsya wal munkar, mencegah Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
perbuatan keji dan mungkar. Orang yang bagaimana shalat dalam pandangan Imam Al-
melaksanakan salat seharusnya sudah bisa Ghazali dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, juga
menjadikan dirinya lebih baik yakni dengan mengetahui persamaan dan perbedaan dari
terhindar dari perbuatan yang jahat dan pemikirannya tentang shalat.
merugikan, dapat bertranformasi diri, menjadi Metode penelitian ini merupakan jenis
mi’raj, sebagai jalan menuju Allah, sebagai penelitian kepustakaan (Library Research),
penenang hati dan sebagai penghilang yaitu metode yang digunakan hanya pada
kecemasan pada setiap orang yang bahan-bahan koleksi perpustakaan tanpa
melakukannya. Namun, pada kenyataannya memerlukan penelitian lapangan. Penelitian ini
masih banyak orang yang shalat namun tidak termasuk penelitian kualitatif. Metode yang
mendapatkan apa-apa dari shalatnya. Sehingga digunakan dalam penelitian ini adalah
shalat tidak membantunya untuk komparatif atau pembandingan. Metode ini
bertransformasi menjadi pribadi yang lebih digunakan untuk membandingkan gambaran
baik lagi. data yang ada serta memberi interpretasi.3
Perubahan perilaku ataupun transformasi Dalam konteks ini akan memberikan gambaran
diri tidak akan terjadi jika dirinya sendiri tidak serta perbandingan menggunakan analisis
memiliki kesadaran untuk merubahnya. tentang pandangan Imam Al-Ghazali dan Ibnu
Alquran menyebut perubahan pada diri Qayyim Al-Jauzi tentang shalat.
manusia ini dengan kalimat ma bi anfusihim.
Pada kenyataanya nafs manusia terdiri dari id B. HASIL DAN PEMBAHASAN
dan ego sehingga pada dasarnya nafs tiranilah1. Imam Al-Ghazali
yang mendominasi perilaku manusia, karenaa. Biografi
yang berperan adalah dorongan-dorongan Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad
egoistis yang kerap tidak disadari. Tasawuf al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali, ini adalah nama
panjang atau nama lengkap dari Imam Al-

1 3
Afzalur Rahman, Tuhan Perlu Disembah, (Jakarta: Zed Mustika, Metode Penelitian Pustaka, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), 11. Yayasan Obor Indonesia, 2014)
2
Muhtar Gozali, Psikologi Tasawuf, (Bandung: 2016),
61.

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019 ): 82-91 83


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

Ghazali. Beliau lahir pada tahun 450 H Di masa kanak-kanak Imam al-Ghazali
bertepatan dengan 1058 M di suatu kota kecil belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-
yang bernama Tus yang terletak di Iran. Ia Radzikani di Thus kemudian belajar kepada
dibesarkan dalam keluarga ulama yang saleh. Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia
Maka pantasa saja dia sudah akrab dengan ajar kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain
mengajar dan tradisi keagamaan yang kuat.4 diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya
Nama Alghazali ini berasal dari ghazzal seperjalanannya dihadang sekawanan
yang berarti tukan menenun benang, karena pembegal yang kemudian merampas harta dan
dulunya ayah dari Alghazali bekerja sebagai kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para
penenun benang wol. Tapi, ada juga yang pembegal tersebut merebut tas Imam al-
beranggapan bahwa Ghazali diambil dari nama Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu
tempat ia lahir yaitu ghazalah dan inilah yang pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian
banyak dipakai. Sehingga namanya pun Imam al-Ghazali berharap kepada mereka agar
dinisbatkan pada propesi ayahnya atau kepada sudi mengembalikan tasnya, karena beliau
tempat kelahirannya.5 ingin mendapatkan berbagai macam ilmu
Alghazali hidup dari keluarga yang taat pengetahuan yang terdapat dalam buku itu.
beragama dan bersahaja, dari keluarga itulah Kawanan perampok merasa iba hati dan
Alghazali mulai belajar Al-quran. Ayah kasihan padanya, akhirnya mereka
alghazali bukanlah termasuk orang yang kaya mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya.
raya, namun ia saleh dan tekun mengikuti Diceritakan pula setelah itu beliau menjadi
majlis-majlis para ulama, ia sangat suka pada rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya,
ilmu sehngga ia selalu berdoa agar anaknya memahami ilmu yang terkandung di dalamnya
menjadi seorang ulama besar yang banyak dan berusaha mengamalkannya. Bahkan, beliau
memberikan nasihat pada orang yang menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus
membutuhkannya.6 yang aman.8
Wafatnya, Ibnu Askira berkata, “Ia kembali
Saat kecil, Alghazali bersama adiknya, ke rahmatullah pada hari senin, 14 Jumada Al-
Ahmad dititipkan oleh sang ayah, ketika Tsaniyah 505 H, dan dikuburkan di Thus, Iran.
merasa ajalnya segera tiba, kepada seorang sufi Semoga Allah Swt. mengaruniakan berbagai
sahabatnya seraya berwasiat “Aku menyesal kemuliaan di akhirat sebagaimana Dia
sekali karena aku tidak belajar menulis. Aku mengaruniainya ilmu di dunia.” Dalam Al-
berharap untuk mendapatkan apa yang tak aku Muntazhim, Ibnu Jauzi berkata, “Menjelang
dapatkan itu melalui dua putraku ini”. wafatnya, ia diminta sebagian sahabatnya,
Ketika harta titipan ayahnya habis, sang sufi ‘Berwasiatlah kepadaku.’ Ia menjawab,
itu menganjurkan keduanya untuk belajar di ‘Hendaklah engkau ikhlas.’ Senantiasa ia
sebuah Madrasah di Tiis yang menyediakan mengulangnya hingga meninggal.’9
biaya hidup bagi para siswanya. Nasihat sufib. Shalat dalam perspektif Al-Ghazali
tersebut mereka turuti. Di sini, Ghazéli belajar
dari Ahmad al-Radzkani tentang fikih Syafi’i, Al-Ghazali berpendapat bahwa shalat itu
kalam Asy’ari, sejarah para wali, dan syair- sesungguhnya adalah dzikir, bacaan, munajat,
syair.7 dan dialog. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika
tanpa kehadiran hati dan kesempurnaannya

4 7
Muhyi Al-diin, Jalan Menuju Hikmah mutiara ihya Heri Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti,
untuk orang modern, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), 129.
2001) 12. 8
Ahmad Zani, “Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali”,
5
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Jurnal Akhlak dan Tasawuf, vol 2 no 1 (2016), 12.
Raja Grafindo Persada 2007), 155. 9
Heri Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti,
6
Abdul kholik, Pemikiran Pendidikan Islam, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), 130.
(Semarang: Pustaka Pelajar, 1999), 84.

84 Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019):82-91


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

terwujud dengan memahamkan, pengagungan, dagangannya, seorang guru tidak memikirkan


rasa takut, harapan, dan rasa malu. Jadi, murid-muridnya. Semua itu kita hilangkan lalu
semakin bertambah pengetahuan kita terhadap kita hadirkan Allah Swt dalam hati kita.
Allah, akan bertambahlah rasa takut kita dan Apabila pikiran berpaling dari segala sesuatu
akan timbul kehadiran hati. Diriwayatkan juga selain yang dikerjakan dan hati penuh dengan
bahwa amalan yang pertama kali diperiksa sebutan Allah, maka itulah yang disebut
adalah shalat, jika shalatnya sempurna maka kehadiran hati. Ini tidak mudah, tapi ini lah
diterimalah shalatnya beserta amalan-amalan yang dianjurkan supaya shalat kita khusyu.13
yang lainnya. Tapi, jika ternyata kurang, tidak Kedua, Tafahum, memahami apa yang kita
sesuai harapan, maka dikembalikan bersama baca. Kita tidak bisa khusyu kalau tidak tahu
amal-amalannya yang lain.10 apa yang kita baca. Karena itu kita harus
Segala yang berhubungan dengan gerakan- memahami apa yang kita baca. Dalam tafahum
gerakan dalam shalat sebenarnya tidak perlu ini, orang yang shalat itu ada tiga kelompok.
diperbesar masalahnya. Gerakan yang berbeda- Ada yang memahaminya bersama-sama
beda dalam shalat itu pasti berdasarkan dalil kehadiran hati. Ada kalanya seorang hadir
ataupun alasan yang mereka punya baik itu dari bersama suatu ucapan, tetapi tidak hadir
guru atau mungkin dari hasil belajarnya dalam bersama makna ucapan itu. dia hanya ingat
keagamaan. Mungkin sahabat melihat rasul sedang membaca tetapi pikirannya melayang.
melakukan gerakan shalat seperti itu lalu Ada juga orang yang shalat mengingat apa
dianggap sebagai gerakan shalat. Lantas yang ia baca, tetapi tidak menghayati
bagaimana menurut Alghazali, mungkin anda maknanya, apalagi menghayati yang
tidak setuju dengan apa yang disampaikannya dibacanya. Dan yang paling baik adalah orang
tapi tidak ada salahnya juga jika kita yang telah menghadirkan makna-makna yang
mengetahuinya.11 diucapkan sebelum ucapan itu diucapkan.
Bagi kaum sufi tidak hanya sebatas itu, Sebelum mengucapkan Alhamdulilah, didalam
harus ada gerakan hati yang menyertai gerakan hatinya sudah ada segala puji bagi Allah, lalu
fisik. Karena itu, ada yang dinamakan khusyu. kita hanya menerjemahkan apa yang ada di
Khusyu adalah merendahkan diri dan dalam hati. Ini barangkali tingkatan yang
menghadirkan hati kita sehingga ketika shalat paling tinggi. Hal ini memberikan kesempatan
benar-benar hati kita menuju Allah Swt. dalam pada kita untuk khusyu.
suatu hadis qudsi dijelaskan jika waktu shalat Ketiga, Takdzim, yaitu penghormatan atau
pikiran kita melayang-layang, itu tidak dihitung pengagungan. Ini merupakan sesuatu yang
sedang melakukan shalat.12 melengkapi kehadiran hati dan tafahum.
Kata Al-Ghazali, ada enam hal makna- Adakalanya seseorang hadir hatinya ketika
makna batiniah penyempurna shalat yang harus mengucapkan sesuatu tetapi tidak
kita jaga dari awal sampai akhir shalat kita. mengagungkan orang yang diajak bicara.
Pertama, Khudurul qalb, kehadiran hati Perumpamaannya seperti seorang yang
artinya hati kita kosong dari segala sesuatu mengajak bicara kepada pembantunya. Di
kecuali Allah Swt. jadi ketika kita shalat, dalam shalat kita harus menghadirkan makna
hilangkan semua pikiran-pikiran selain Allah: itu dalam hati seraya mengagungkan Allah
seorang pedagang tidak memikirkan barang Swt.

10
Al Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, Terj. Zeid Asad Alhafidy “Bidayat al-Hidayah”. Bandung:
Husen Alhamid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 55. Mizan, 2017.
11
Al-Ghazali. Mutiara Ihya Ulumuddin. Translated by 13
Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya Ulumuddin,
Irwan Kurniawan “Muktashar Ihya Ulumuddin”. Translated by Zeid Husein Al-hamid “Mukhtashar Ihya
(Bandung: Mizan, 2016) Ulumuddin”. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).
12
Al-Ghazali, Imam. Menjelang Hidayah: Metode
Praktis Menjadi Sufi Sehari-hari. Translated by M.

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019 ): 82-91 85


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

Keempat, Haibah, yaitu suatu sifat yang yang dikelola ayahnya.15 Ibnul Qayyim
melebihi takzim. Ia adalah ketakutan yang dilahirkan pada 7 Shafar 691 H. Ia tumbuh di
bersumber pada takdzim. Kita takut pada dalam sebuah keluarga yang dinaungi ilmu dan
macan. Apakah ada pengagungan pada macan? kemuliaan. Mulamula, beliau menuntut ilmu
Kita hanya takut saja, tidak ada takut di dari ayahnya sendiri lalu dari banyak ulama
dalamnya. Kalau kita takut kepada Allah, rasa terkemuka semasa hidupnya. Alhasil, ia pun
takut kita harus disertai dengan haibah. Haibah menghasilkan karya-karya yang bagus dalam
itu sesuatu yang bersifat kharisma pada orang berbagai disiplin ilmu yang ditekuninya. Selain
yang kita ajak bicara. Jadi, selain ilmunya yang sangat mendalam, ia juga banyak
mengagungkan, kita juga merasa takut yang berdzikir kepada Allah, sering sekali
disertai pengagungan.14 melakukan shalat malam, berwatak lembut, dan
Kelima, Raja, yaitu pengharapan dari Allah berhati bersih.
Swt. kadang-kadang kita menghadap penguasa Ia sudah terkesan dengan Syaikh Ibnu
dengan perasaan takdzim dan haibah, tetapi Taimiyah semenjak pertama kali bertemu
kita tidak mengharapkan apa-apa dari dia. Coba dengannya pada tahun 712 H. Setelah itu, ia
kita perhatikan kalau ada pejabat-pejabat yang kerap bertemu dan berguru kepada beliau
datang ke desa-desa, orang-orang desa datang sepanjang hayatnya. Ibnul Qayyim juga ikut
semua untuk melihat pejabat tersebut. Padahal menanggung beban-beban perjuangan
mereka tahu, mereka tidak akan mendapatkan bersamanya, membela prinsipnya, dan
apa-apa. Tidak mungkin semuanya akan diberi. mengibarkan bendera perjuangan sepeninggal
Meskipun demikian, mereka antusias melihat gurunya, Ibnu Taimiyyah, pada tahun 728 H,
wajah si pejabat tersebut. Pemimpin di dunia Ibnul Qayyim terus menyebarkan ilmu yang
diperlakuakan seperti itu. bagaimana dengan dimilikinya hingga meninggal dunia pada
Allah Swt, pemimpin segala makhluk? malam Kamis 13 Rajab 751 H.
Keenam, Haya, yaitu rasa malu karena dosa- Ibnu Qayyim adalah lautan ilmu dengan
dosa yang kita lakukan, atas segala kekurangan berbagai ragamnya, Ahli dalam memahami al-
dalam melaksanakan kewajiban kita kepada Kitab dan as-Sunnah, ushuluddin, bahasa Arab,
Allah Swt. jadi keenam hal diatas, yakni ilmu kalam, akhlak, dan sebagainya. Dia sudah
khudurul qalb, tafahum, takdzim, haibah, raja memberikan banyak manfaat kepada orang-
dan haya harus menyertai shalat kita dari awal orang yang hidup semasanya; bahkan, banyak
sampai akhir. pula ulama yang berguru kepadanya. Hingga
saat ini, karya-karyanya masih menjadi sumber
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah cahaya dan sinar yang menerangi.16
Biografi Ibnul Qayyim meninggal dunia menjelang
pertengahan malam kamis, tanggal 13 Rajab
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin 751 H. Jenazah ulama besar ini dishalatkan
Abu bakar bin Sa’ad bin Hariz az-Zur’i ad- pada keesokan harinya di sebuah Masjid Jami’,
Dimasyqi. Julukannya adalah Syamsuddin, dan seusai shalat zhuhur, kemudian di Masjid Jami’
kun-yah-nya Abu ‘Abdillah, atau dikenal Jarrah. Kemudian, jenazahnya dikebumikan di
dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Al- lokasi pemakaman bernama al-Bab ash-Shagir.
Jauziyyah sendiri adalah nama sebuah sekolah

14 16
Al-Ghazali, Imam. Menjelang Hidayah: Metode Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Jawabul Kafi: Solusi
Praktis Menjadi Sufi Sehari-hari. Translated by M. Syar’i dan Qurani atas Segala Masalah Hati.
Asad Alhafidy “Bidayat al-Hidayah”. (Bandung: Translated by Ahmad Lukaman “Al-Jawab al-Kafi
Mizan, 2017). liman Sa’ala ‘an al-Dawa’ al-Syafi”. (Yogyakarta:
15
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan Rahasia Saufa, 2016).
Shalat, Translated by Solihin “Asraru shalah wal
Farqu wal Muawazanah Baina Dzauqis shalah”.
(Jakarta: Qisthi Press, 2013).

86 Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019):82-91


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

Pemakaman jenazahnya ini diiringi oleh kaum menundukan kepala, hatinya khusyuk,
Muslimin dalam jumlah besar. pandangan mata tertuju pada tempat sujud,
Ibnul Qayyim hidup kurang lebih enam kalbunya tidak berpaling dari Allah dan tidak
puluh tahun. Selama hidupnya itu banyak buku melirik kanan-kiri. Ia khusyu menghadapkan
yang ia tulis. Banyak ahli sejarah mencatat hatinya secara total kepada Allah.19
bahwa beliau menulis lebih dari enam puluh Seandainya seorang hamba mencurahkan
buku. Di antara karya-karyanya yang masyhur seluruh dirinya untuk memuji Tuhan atas satu
adalah Madarij al-Salikin dan Zad al-Ma’ad fi nikmat yang dikaruniakan, maka pujian yang
Mada Khairi al-Ibad, dan Kitabus Shalah wa mesti dia haturkan atas nikmat tersebut
Hukmu Tarkhiha. Di samping seorang faqih, melebihi semua itu, berlipat-lipat ganda. Tidak
Ibnu Qayyim juga seorang sufi. Buku Madarij ada seorang pun yang mampu membatasi
As-Salikin adalah bukti kitab tasawuf beliau pujian atas Allah dengan segala pujian-Nya,
yang banyak dipakai sebagai rujukan para meskipun dia memuji Allah dengan seluruh
pengamal tasawuf.17 pujian. Seorang hamba yang berjalan menuju
Alah berkat nikmat-Nya, memuji Allah atas
Shalat dalam perspektif Ibnu Qayyim Al- nikmat tersebut. Apabila dia memuji Allah
Jauziyyah yang menjauhkan nikmat itu darinya, maka
Rahasia shalat menurut Ibnu Qayyim adalah pujiannya atas ilham Allah juga merupakan
menghadapkan kalbu kepada Allah dan pujian.20
menghadirkan hati secara total ke hadapan- Apabila ada sesuatu selain Allah yang
Nya. Apabila hati tidak menghadap Allah dan menyibukan dirinya berarti ia lebih penting,
justru sibuk dengan yang lain serta terlena oleh menurutnya, dibanding Allah. Artinya, ucapan
bisikan nafsunya, ia ibarat tamu yang Allahu akbar baru sekedar di lisan, tidak
berkunjung ke istana raja untuk sampai hati, karena hatinya menghadap kepada
mengemukakan alasan atas segala kesalahan selain Allah: mengagungkan dan
dan keluputannya, mengharapkan curahan memuliakannya.
awan kebaikan hati, belas kasih dan rahmatnya, Ketika hati mengikuti gerak lisan yang
dan mengajukan beberapa hal yang dapat bertakbir, hati terbebas dari balutan sifat
meneguhkan hatinya agar semakin loyal takabur yang menafikan ibadah dan mencegah
mengabdi.18 perhatian hati kepada selain Allah. Apabila
Orang yang shalat diperintahkan untuk Allah yang aa di sisinya dan di dalam hatinya
menghadapkan wajahnya ke kiblat dan lebih besar dari segalanya, maka hakikat
menghadapkan hatinya kepada Allah Swt kalimat Allahu akbar dan pengamalan rahasia
untuk melebur sifat takabur dan penyimpangan takbir membentenginya dari dua bahaya ini
yang bersemayam dalam benak. Selanjutnya ia yang menjadi hijab terbesar antara dirinya dan
berdiri di hadapan Allah seperti hamba yang Allah Swt.
hina, rendah, miskin dan mengharapkan belas Dalam membaca doa iftitah, apabila orang
kasih dari tuannya; meluruskan kedua yang shalat mengucapkan ”Mahasuci Engkau,
tangannya dengan penuh kepasrahan sambil ya Allah, dengan memuji-Mu”, memuja Allah

17
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Fawaidul Fawaid, Trans. Farqu wal Muawazanah Baina Dzauqis shalah”.
Sjinqithi Djamaluddin, (Jakarta: Pustaka Imam Asy- (Jakarta: Qisthi Press, 2013).
Syafii, 2013), 10.
18 20
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan Rahasia Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan Rahasia
Shalat, Translated by Solihin “Asraru shalah wal Shalat, Translated by Solihin “Asraru shalah wal
Farqu wal Muawazanah Baina Dzauqis shalah”. Farqu wal Muawazanah Baina Dzauqis shalah”.
(Jakarta: Qisthi Press, 2013). (Jakarta: Qisthi Press, 2013).
19
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan Rahasia
Shalat, Translated by Solihin “Asraru shalah wal

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019 ): 82-91 87


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

s.w.t. dengan pujaan yang layak bagi-Nya, dapat menggantikan posisi berdiri, ruku‘ dan
sungguh, dengan itu ia telah terbebas dari sujud. Setiap perbuatan ibadah dalam shalat
kelalaian dan para pelakunya. Sebab, sifat lalai mempunyai rahasia, pengaruh dan nilai ibadah
menjadi hijab antara dirinya dan Allah. yang tidak dimiliki ibadah yang Iain. Demikian
Dia menyampaikan penghormatan dan juga, setiap ayat surah al-Fatihah mempunyai
sanjungan yang biasa dihaturkan kepada sang nilai ibadah, citarasa dan sensasi yang hanya
raja saat mengunjunginya sebagai bentuk dimiliki olehnya tidak ditemukan pada yang
pengagungan dan pembukaan. Demikian ini lain.
merupakan pengagungan dan kata pembuka
sebelum mengemukakan hajatnya. Jadi, pujian Persamaan dan Perbedaan Shalat menurut
termasuk bagian dari etika penghambaan dan Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
pengagungan zat yang disembah, yang dapat Persamaan
menarik perhatian dan keridhaan Allah, dan1) Shalat sebagai metode trasformasi diri adalah
mencukupi segala hajat dengan anugerah- shalat yang khusyuk, shalat yang penuh
Nya.21 konsentrasi dan kehadiran hati kepada Allah
Saat Membaca Al-Fatinah sebaiknya saat Swt.
membaca al-Fatihah kita berhenti, sesaat pada
setiap akhir ayat, menanti jawaban Tuhan Al-Ghazali berpendapat bahwa shalat itu
seolah kita mendengar langsung Tuhan sesungguhnya adalah dzikir, bacaan, munajat,
mengatakan, ”Hamba-Ku telah memuji-Ku,” dan dialog. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika
ketika membaca, "Segala puji bagi Allah, tanpa kehadiran hati dan kesempurnaannya
Tuhan semesta alum.” (QS Al-Fatihah: 2) terwujud dengan memahamkan, pengagungan,
Sejenak setelah kita membaca, ”Yang Maha rasa takut, harapan, dan rasa malu. Jadi,
Pengasih lagi maha Penyayang.” (QS Al- semakin bertambah pengetahuan kita terhadap
Fatihah: 3) jawaban-Nya, ”Hamba-Ku telah Allah, akan bertambahlah rasa takut kita dan
memuji-Ku.” Usai membaca, ”Pemilik Hari akan timbul kehadiran hati.23
Pembalasan.” (QS Al-Fatihah: 4) kita menanti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
firman-Nya, ”Hamba-Ku telah mengagungkan mendefinisikan shalat dengan menghadapkan
Aku.” Saat membaca, ”Hanya kepada-Mu kami kalbu kepada Allah dan menghadirkan hati
menyembah, dan hanya kepada-Mu kami secara total ke hadapan-Nya. Apabila hati tidak
memohon pertolongan. ”(QS Al-Fatihah: 5) menghadap Allah dan justru sibuk dengan yang
kita menanti jawaban-Nya, ”Ini antara Aku dan lain serta terlena oleh bisikan nafsunya, ia
hambaKu.” Ketika membaca, ”Tunjukanlah ibarat tamu yang berkunjung ke istana raja
kami jalan yang lurus“ sampai akhir ayat.” (Al- untuk mengemukakan alasan atas segala
Fatihah: 6) kita menanti firman-Nya, ”Ini untuk kesalahan dan keluputannya, mengharapkan
hamba-Ku, dan hamba-Ku memperoleh apa curahan awan kebaikan hati, belas kasih dan
yang dia ucapkan.” 22 rahmatnya, dan mengajukan beberapa hal yang
Orang yang telah mengecap citarasa shalat dapat meneguhkan hatinya agar semakin loyal
tahu benar bahwa tidak akan ada yang bisa mengabdi.24
menggantikan kedudukan takbir dan surah Al- 2) Tidak mengabaikan syariat demi meraih
Fatihah. Demikian pula tidak akan ada yang hakikat, justru mendahulukan hal-hal yang

21
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Terapi Penyakit Hati: wal Muawazanah Baina Dzauqis shalah”. (Jakarta:
Menjernihkan Hati untuk Menggapai Ridha Allah. Qisthi Press, 2013)
Translated by Salim Bazemool “Ad-Da’u wa ad- 23
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin,
Dawa”. (Jakarta: Qisthi Press, 2017). (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2004). 36.
22 24
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan Rahasia Ibnu Qayyim Aljauziyyah, Asrarus Shalah wal farqu
Shalat, Translated by Solihin “Asraru shalah wal Farqu wal muwazanah baina dzauqis shalah wa sima’,
(Jakarta: Qisthi Press, 2013).

88 Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019):82-91


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

bersifat lahiriah dalam shalat sebelum untuk melebur sifat takabur dan penyimpangan
memasuki hal-hal yang bersifat bathiniah. yang bersemayam dalam benak. Selanjutnya ia
berdiri di hadapan Allah seperti hamba yang
Al-Ghazali menyampaikan hal-hal yang hina, rendah, miskin dan mengharapkan belas
dianjurkan sebelum melaksanakan shalat kasih dari tuannya; meluruskan kedua
seperti mempersiapkan diri, pakaian, tempat tangannya dengan penuh kepasrahan sambil
shalat dari najis, berwudlu, dan menutup aurat. menundukan kepala, hatinya khusyuk,
Menjelaskan hal-hal yang disunatkan dalam pandangan mata tertuju pada tempat sujud,
shalat seperti gerakan-gerakan yang dilakukan kalbunya tidak berpaling dari Allah dan tidak
dalam shalat dari mulai takbiratul ihram sampai melirik kanan-kiri. Ia khusyu menghadapkan
salam.25 hatinya secara total kepada Allah.28
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam salah4) Ketiga tokoh sufi tersebut memiliki tujuan yang
satu bukunya yaitu Zaadul Ma’ad, menjelaskan sama dalam shalat, yakni tujuannya adalah
bagaimana tuntunan shalat yang dilakukan oleh Allah, bukan yang lain.
Nabi Muhammad Saw. selain itu, beliau juga
menjelaskan bagaimana melakukan gerakana. Perbedaan:
zhahir shalat bersatupadu dengan hati atau Cara mendapatkan shalat yang khusyuk
26
bathin seseorang yang melakukan shalat. Kata Al-Ghazali, ada enam hal makna-
3) Menjaga hati tetap dalam keadaan sadar dan makna batiniah penyempurna shalat kita. yakni
konsentrasi dalam shalat khudurul qalb, tafahum, takdzim, haibah, raja
dan haya yang harus kita jaga dan harus
Menurut Al-Ghazali, bagaimana kita menyertai shalat kita dari awal sampai akhir.
mengucapkan Alhamdulillahi rabbil Alamin, Pertama, Khudurul qalb, kehadiran hati
tetapi pikiran kita melayang ke tempat yang artinya hati kita kosong dari segala sesuatu
lain? Kita memohon kepada-Nya? Iyyaka kecuali Allah Swt. jadi ketika kita shalat,
na’budu wa iyyaka nasta’in, tetapi hati kita hilangkan semua pikiran-pikiran selain Allah.
beribadah kepada manusia, kepada setan, Kedua, Tafahum, memahami apa yang kita
kepada tuhan-tuhan yang kecil-kecil. Ketika baca. Kita tidak bisa khusyu kalau tidak tahu
kita mengucapkan “Allahu Akbar” artinya kita apa yang kita baca. Ketiga, Takdzim, yaitu
berkeyakinan “tidak ada yang agung kecuali penghormatan atau pengagungan. Ini
Allah“ bukankah Allah lebih besar dari segala merupakan sesuatu yang melengkapi kehadiran
sesuatu, karena kita tidak boleh hati dan tafahum.
membandingkan Allah dengan makhluk-Nya. Keempat, Haibah, yaitu suatu sifat yang
Kalau hati kita benar-benar mengucapkan kata- melebihi takzim. Ia adalah ketakutan yang
kata itu dan menghayati maknanya, inilah bersumber pada takdzim. Kelima, Raja, yaitu
ucapan-ucapan yang benar dalam shalat dan pengharapan dari Allah Swt. kadang-kadang
akan menimbulkan dampak dalam kehidupan kita menghadap penguasa dengan perasaan
selanjutnya.27 takdzim dan haibah, tetapi kita tidak
Dalam pandangan Ibnu Qayyim, orang mengharapkan apa-apa dari dia. Keenam,
yang shalat diperintahkan untuk Haya, yaitu rasa malu karena dosa-dosa yang
menghadapkan wajahnya ke kiblat dan kita lakukan, atas segala kekurangan dalam
menghadapkan hatinya kepada Allah Swt

25
Imam Al-Ghazali. Menjelang Hidayah: Metode “Mukhtasar Zadul Ma’ad” (Jakarta: Pustaka azzam,
Praktis Menjadi Sufi Sehari-hari. Translated by M. 2000).
Asad Alhafidy “Bidayat al-Hidayah”. (Bandung: 27
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin,
Mizan, 2017). (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2004).
26 28
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad: Bekal Ibnu Qayyim Aljauziyyah, Asrarus Shalah wal farqu
Perjalanan ke Akhirat, Terj. Kathur Suhardi wal muwazanah baina dzauqis shalah wa sima’,
(Jakarta: Qisthi Press, 2013).

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019 ): 82-91 89


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

melaksanakan kewajiban kita kepada Allah 1. Shalat sebagai metode trasformasi diri adalah
Swt.29 shalat yang khusyuk, shalat yang penuh
Ibnu Qayyim mengibaratkan shalat itu konsentrasi dan kehadiran hati kepada Allah
seolah-olah kita sedang melakukan dialog Swt.
sungguhan dengan Tuhan Allah Swt. seakan- 2. Tidak mengabaikan syariat demi meraih
akan kita mendengar jawaban dari setiap hakikat, justru mendahulukan hal-hal yang
bacaan yang kita baca dalam shalat. Seperti saat bersifat lahiriah dalam shalat sebelum
membaca “Segala puji bagi Tuhan semesta memasuki hal-hal yang bersifat bathiniah.
alam” lalu seakan-akan kita mendengar 3. Menjaga hati tetap dalam keadaan sadar dan
jawaban Allah “Hambaku telah memujiKu” konsentrasi dalam shalat
oleh karena itu kita dianjurkan untuk berhenti 4. Ketiga tokoh sufi tersebut memiliki tujuan yang
sejenak.30 sama dalam shalat, yakni tujuannya adalah
Shalat dari segi ruhaniah atau shalat dari Allah, bukan yang lain.
kaca mata ruhani tidak terbatas dan tidak
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Adapun hal yang menjadi perbedaan
Shalat secara ruhaniah tidak terikat oleh ruang pandangan tentang shalat menurut ketiga tokoh
dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus tersebut adalah di dalam cara mendapatkan
menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid shalat yang khusyuk dan mampu
untuk shalat terletak di dalam hati. Jamaahnya mentransformasikan diri.
terdiri dari anggota-anggota batin atau daya- Al-Ghazali berkata, ada enam hal makna-
daya ruhaniah yang berdzikir dan membaca makna batiniah penyempurna shalat kita. yakni
Asma’ullah dalam bahasa alam ruhaniah. Imam khudurul qalb, tafahum, takdzim, haibah, raja
dalam shalat ini adalah kemauan atau keinginan dan haya yang harus kita jaga dan harus
(niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. menyertai shalat kita dari awal sampai akhir.
Shalat yang demikian itu hanya dapat Ibnu Qayyim mengibaratkan shalat itu
dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak seolah-olah kita sedang melakukan dialog
tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu sungguhan dengan Tuhan Allah Swt. seakan-
kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika akan kita mendengar jawaban dari setiap
sedang tidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan bacaan yang kita baca dalam shalat. Seperti saat
sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk membaca “Segala puji bagi Tuhan semesta
ibadah. inilah yang disebut dengan hati yang alam” lalu seakan-akan kita mendengar
memiliki dzikir khofi dzikir yang dilakukan di jawaban Allah “Hambaku telah memujiKu”
dalam hati setiap saat.31 oleh karena itu kita dianjurkan untuk berhenti
sejenak.
Shalat yang demikian itu hanya dapat
C. SIMPULAN
Sebagaimana yang telah dibahas dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak
sebelumnya, maka ada beberapa hal yang tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu
menjadi perbedaan dan persamaan pandangan kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika
tentang shalat menurut tokoh-tokoh sufi yang sedang tidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan
telah dibahas. Persamaannya adalah sebagai sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk
berikut: ibadah. inilah yang disebut dengan hati yang

29 31
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Sirr al-Asrar,
(Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2004). Translated by Abdul Majid Khatib “Sirr al-Asrar fi
30 ma Yahtaj ilayh al-Abrar”. (Yogyakarta: DivaPress,
Ibnu Qayyim Aljauziyyah, Asrarus Shalah wal farqu
wal muwazanah baina dzauqis shalah wa sima’, 2017).
(Jakarta: Qisthi Press, 2013).

90 Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019):82-91


Ihsan Sobari, Hasan Mud’is, Muhtar Gojali Sholat Prespektif Kaum Sufi

memiliki dzikir khofi dzikir yang dilakukan di Lukaman “Al-Jawab al-Kafi liman Sa’ala
dalam hati setiap saat. ‘an al-Dawa’ al-Syafi”. Yogyakarta: Saufa,
2016.
D. DAFTAR PUSTAKA Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Fawaidul Fawaid,
Trans. Sjinqithi Djamaluddin, (Jakarta:
Afzalur Rahman, Tuhan Perlu Disembah, Pustaka Imam Asy-Syafii, 2013), 10.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002. Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Terapi Penyakit
Muhtar Gozali, Psikologi Tasawuf, Bandung: Hati: Menjernihkan Hati untuk Menggapai
2016. Ridha Allah. Translated by Salim Bazemool
Zed Mustika, Metode Penelitian Pustaka, “Ad-Da’u wa ad-Dawa”. Jakarta: Qisthi
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014 Press, 2017.
Muhyi Al-diin, Jalan Menuju Hikmah mutiara
ihya untuk orang modern, Yogyakarta,
Kreasi Wacana, 2001.
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Abdul kholik, Pemikiran Pendidikan Islam,
Semarang: Pustaka Pelajar, 1999.
Heri Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti,
Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa,
2008.
Ahmad Zani, “Pemikiran Tasawuf Al-
Ghazali”, Jurnal Akhlak dan Tasawuf, vol 2
no 1 2016.
Heri Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti,
Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa,
2008.
Al Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, Terj.
Zeid Husen Alhamid Jakarta: Pustaka
Amani, 2007.
Al-Ghazali. Mutiara Ihya Ulumuddin.
Translated by Irwan Kurniawan “Muktashar
Ihya Ulumuddin”. Bandung: Mizan, 2016.
Al-Ghazali, Imam. Menjelang Hidayah:
Metode Praktis Menjadi Sufi Sehari-hari.
Translated by M. Asad Alhafidy “Bidayat
al-Hidayah”. Bandung: Mizan, 2017.
Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya Ulumuddin,
Translated by Zeid Husein Al-hamid
“Mukhtashar Ihya Ulumuddin”. Jakarta:
Pustaka Amani, 2007.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hikmah dan
Rahasia Shalat, Translated by Solihin
“Asraru shalah wal Farqu wal Muawazanah
Baina Dzauqis shalah”. Jakarta: Qisthi
Press, 2013.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Jawabul Kafi:
Solusi Syar’i dan Qurani atas Segala
Masalah Hati. Translated by Ahmad

Syifa Al-Qulub 4, 1 (Juli 2019 ): 82-91 91

You might also like