You are on page 1of 33

MANAJEMEN ANESTESI PADA PERDARAHAN EPIDURAL

Pembimbing: dr. Soejatharto, Sp.An, KAP

OLEH:
Mukhsin Daulay 110100146
Rizki Hariansyah 110100176
Roushan Fikri 110100221

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Manajemen Anestesi Pada Perdarahan Epidural”.
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melengkapi persyaratan
kepanitraan klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif RSUP H.
Adam Malik Medan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari laporan kasus ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
kita semua terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran.

Medan, 12 Desember 2016

Penulis
iii

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar...................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 2
2.1 Anatomi ................................................................................ 2
2.2................................................................................................ 4
2.3.............................................................................................. 9
2.4................................................................................................ 15
KESIMPULAN.................................................................................…. 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 19
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi mental atau
fisik akibat benturan pada kepala. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC), 50.000 orang meninggal akibat cedera otak traumatik setiap
tahun di Amerika Serikat dan hampir dua kali lipat menderita kecacatan
permanen. Penurunan kesadaran tidak harus terjadi. Keparahan cedera kepala
paling sering diklasifikasikan dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dengan
penilaian terhadap kemampuan membuka mata, motorik, dan verbal. Skor 13-15
mengindikasikan cedera ringan, skor 9-12 mengindikasikan cedera sedang, dan
skor 8 atau kurang mengindikasikan cedera berat.1
Perdarahan epidural (akumulasi darah pada rongga potensial antara dura
dan tulang) dapat terjadi intrakranial atau spinal. Perdarahan epidural intrakranial
terjadi pada sekitar 2% pasien dengan cedera kepala (sekitar 40.000 kasus per
tahun) dan 5-15% pasien dengan cedera kepala fatal. Perdarahan epidural
intrakranial diperkirakan merupakan komplikasi cedera kepala yang paling serius,
memerlukan diagnosis dan intervensi bedah segera. Perdarahan epidural
intrakranial dapat terjadi akut (58%), subakut (31%), atau kronis (11%).
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan maupun akibat trauma.2
Munculnya tanda Cushing pada perdarahan intrakranial akan
memperburuk prognosis. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada
stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik
sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk.3
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otak


Otak tersusun atas batang otak (medulla dan pons), serebelum, midbrain,
dan serebrum. Batang otak menyalurkan informasi antara otak dan spinal cord
dan memiliki berbagai struktur penting, termasuk pusat respirasi dan vasomotor,
traktus saraf ascending dan descending, inti saraf kranial rendah, sistem retikuler
yang berhubungan dengan kesadaran. Lesi atau kompresi pada batang otak akibat
peningkatan tekanan intra kranial (TIK) menghasilkan fungsi abnormal fatal dari
pusat organ vital.4
Serebelum menempati fossa posterior kranium dibawah tentorium serebeli,
terdiri atas dua hemisfer serebelar bergabung dengan vermis diantaranya dan
terhubung kepada midbrain dan batang otak. Serebelum mengatur keseimbangan
dan postur tubuh. Lesi serebelar menimbulkan tanda pada sisi tubuh yang sama.
Midbrain menghubungkan batang otak dan serebelum ke hipotalamus, talamus,
dan hemisfer serebral. Pada talamus terdapat inti dari jaras sensoris utama.4

Gambar 2.1. Gambar struktur midbrain, batang otak, dan serebelum.


3

Serebrum terdiri atas diensefalon dan dua hemisfer serebral. Diensefalon


adalah bagian tengah dari otak depan dan terdiri atas talamus dan hipotalamus.
Hipotalamus mengatur sistem saraf otonom dan sistem endokrin tubuh. Kelenjar
pituitari terletak dibawah hipotalamus. Tumor pituitari dapat menimbulkan tanda
space-occupying lesion, penurunan lapangan pandang akibat penekanan pada
kiasma optik, atau gangguan endokrin.4
Hemisfer serebral meliputi korteks serebral, basal ganglia, dan ventrikel
lateral. Lapisan paling luar dari cerebrum adalah korteks yang memiliki tampilan
abu-abu disebut gray matter. Dibawah korteks adalah akson. Diantara akson-
akson terdapat mielin. Mielin memberi tampilan putih disebut white matter.
Permukaan korteks berbentuk lipatan-lipatan (giri) yang dipisahkan satu dan
lainnya oleh cleft atau sulci. Sulkus sentral memisahkan girus motorik utama
sebelah anterior dengan girus sensorik utama sebelah posterior. Setiap hemisfer
terbagi menjadi empat area atau lobus, yaitu lobus frontal, parietal, temporal, dan
oksipital.4

Gambar 2.2. Gambar pembagian lobus otak

Lobus frontal memuat korteks motorik dan area yang berkaitan dengan
intelektual dan kebiasaan. Lobus parietal memuat korteks sensoris. Lobus
temporal berkaitan dengan sensasi auditori dan intergrasi terhadap rangsang
lainnya. Lobus osipital memuat korteks visual. Bagian medial dari korteks juga
memuat sistem limbik yang berkaitan dengan emosi dan kebiasaan.4
4

Lesi pada hemisfer serebral menyebabkan defisit sensorik dan motorik


pada sisi tubuh yang berlawanan. Di antara basal ganglia dan talamus terdapat
kapsul internal yang memuat jaras motorik descending dari korteks serebral.4
Spinal cord memiliki panjang sekitar 45 cm dan berjalan dari foramen
magnum hingga berujung kerucut (conus medullaris) setinggi vertebra lumbar
pertama atau kedua. Di setiap level spinal, pasangan spinal root anterior (motorik)
dan posterior (sensorik) menyebar ke setiap sisi cord. Sambungan root pada setiap
foramen intervertebral membentuk saraf spinal campuran. Kumpulan serabut saraf
dibawah ujung cord melewati cairan serebrospinal di dural sac menuju sakrum
yang disebut cauda equina.4
Jaringan sistem saraf pusat merupakan jaringan halus yang dilindungi tiga
lapisan meninges atau membran yang menyelubungi otak dan spinal cord. Lapisan
ini adalah dura mater, arachnoid mater, dan pia mater. Lapisan-lapisan ini juga
menutupi saraf-saraf yang berasal dari sistem saraf pusat.4
Dura mater adalah membran ganda tebal dan kuat yang terbagi menjadi
dua lapisan untuk membentuk sinus vena serebral. Lapisan sebelah luar melekat
kuat ke tulang tengkorak dan setara dengan periosteum. Lapisan sebelah dalam
bersambung dengan dura menyelubungi spinal cord. Lapisan ini memiliki
proyeksi yang menyokong otak, termasuk falx serebri yang memisahkan kedua
hemisfer serebral dan tentorium serebeli yang memisahkan fossa posterior dan
muatannya dari kranium. Arteri besar yang memasok dura mater adalah arteri
meningeal media yang dapat membentuk hematom ekstradural bila terjadi cedera
kepala dan fraktur tulang tengkorak.4
Arachnoid mater adalah membran tipis yang normal berdekatan dengan
dura mater. Vena kortikal dari permukaan otak menembus arachnoid mater untuk
mencapai sinus vena dural dan dapat rusak akibat trauma kecil mengakibatkan
terjadinya hematom subdural.4
Pia mater adalah membran vaskuler yang sedikit melekat pada permukaan
otak dan mengikuti kontur giri dan sulci. Celah antara pia mater dan arachnoid
mater disebut celah subarachnoid dan memuat cairan serebrospinal.4
5

Spinal cord diselubungi oleh dura mater yang membentuk kantong


berujung di bawah cord, biasanya setingkat vertebra sakral kedua. Celah antara
dura mater dan bagian tulang kanal spinal (celah ekstra dural atau epi dural) berisi
lemak, limfatik, arteri, dan pleksus vena lebar.4
Pasokan darah arteri ke otak berasal dari dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebral. Arteri vertebral adalah cabang dari arteri subklavia dan melalui
foramina pada prosesus transversus di enam vertebra servikal atas, bergabung di
anterior batang otak membentuk arteri basiler tunggal yang kemudian kembali
terbagi membentuk dua arteri serebral posterior. Pembuluh darah ini dan dua
arteri karotid interna membentuk sistem anastomosis yang dikenal dengan
sirkulus Willis pada bagian dasar otak.4

Gambar 2.3. Gambar sirkulus Willis

Darah kedua hemisfer serebral masing-masing disediakan oleh arteri


serebral anterior, media, dan posterior. Cabang dari arteri basilar mengalirkan
darah ke batang otak dan serebelum. Aliran darah vena menuju sinus vena
serebral berupa dinding yang dibentuk oleh dura mater. Sinus ini bergabung dan
mengalirkan darah menuju vena jugular interna.4
6

Aliran darah ke spinal cord berasal dari arteri spinal anterior, terbentuk
pada foramen magnum merupakan cabang dari tiap arteri vertebra, dan m dan dari
pasangan arteri spinal posterior. Arteri anterior mengalirkan darah ke dua per tiga
cord. Terdapat aliran tambahan dari arteri segmental dan aliran langsung dari
aorta biasanya setingkat rongga intervertebral thorakal kesebelas. Arteri ini
dinamakan arteri Adamkiewicz dan merupakan sumber besar darah ke setengah
bawah spinal cord pada kebanyakan orang.4

2.2 Perdarahan Epidural


2.2.1 Definisi5
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis
ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a. Meningea
media). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus,
sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada
fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.

2.2.2 Etiologi5
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
-  Trauma kepala
-  Sobekan a/v meningea mediana
-  Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
-  Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea
mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang
sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur
terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
7

Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.

2.2.3 Klasifikasi5
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

2.2.4 Patofisiologi5
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal
pada squama temporal.

2.2.5 Gejala klinis5


Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1.   Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti
dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere
contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan
ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura
dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama
diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
8

herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan


adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
2.   Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai
penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral
peduncle pada permukaan tentorial.
3.   Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan
menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap
ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi
cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

2.2.6 Terapi5
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi–kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

2.2.7 Komplikasi dan Outcome5


Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
 Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan
intrakranial
 Kompresi batang otak – meninggal
 Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
9

 Mortalitas 20% -30%


 Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
 Sembuh tanpa defisit neurologik
Hidup dalam kondisi status vegetatif

2.3 Manajemen Anestesi6


2.3.1 Manajemen Preoperatif6
Tindakan anestesi pada pasien dengan trauma kepala berat dimulai dari
instalasi gawat darurat. Pemeriksaan terkait memastikan patensi jalan nafas,
ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan koreksi hipotensi harus dilakukan
bersamaan dengan evaluasi neurologis dan trauma. Sumbatan jalan nafas dan
hipoventilasi sering terjadi. Sebanyak 70% pasien mengalami hipoksemia yang
dapat berkomplikasi kontusio paru, emboli lemak, atau edema paru neurogenik
yang ditandai dengan hipertensi pulmonal dan sistemik akibat peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis. Suplemen oksigen harus diberikan sambil
mengevaluas jalan nafas dan ventilasi. Seluruh pasien harus diasumsikan
mengalami cedera servical spine sampai terbukti sebaliknya dari pemeriksaan
radiologi. Pasien dengan hipoventilasi, gag reflex menghilang, atau skor GCS
dibawah 8 memerlukan intubasi trakea dan hiperventilasi. Sema pasien harus
dipantau perburukan keadaan.
Semua pasien dianggap memiliki lambung yang penuh dan dilakukan
penekanan pada krikoid saat ventilasi dan intubasi trakea. In-line stabilization
harus dilakukan selama manipulasi jalan nafas untuk menjaga kepala tetap pada
posisi netral, kecuali dari pemeriksaan radiologi tidak terbukti adanya cedera
servical spine. Setelah preoksigenasi dan hiperventilasi dengan mask, efek
samping intubasi terhadap tekanan intrakranial dikurangi dengan pemberian
propofol 1,5 - 3,0 mg/Kg, dan neuromuskular blocker onset cepat.
Succinylcholine dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sementara
pada pasien dengan cedera kepala tertutup, namun pentingnya manajemen jalan
nafas menjadi pertimbangan utama. Rocuronium sering digunakan untuk
memfasilitasi intubasi. Laringoskopi video dilakukan dengan in-line stabilization
10

memberikan posisi netral untuk intubasi pada pasien trauma. Jika terjadi kesulitan
intubasi dengan laringoskopi video, fiberoptik atau teknik lain (seperti intubasi
LMA) dapat dilakukan. Jika usaha jalan nafas gagal, jalan nafas surgical harus
diperoleh. Intubasi nasal blind dikontraindikasikan pada kejadian fraktur dasar
tengkorak, yyang ditandai dengan rinorea cairan serebrospinal atau otorea,
hemotimpanum, ekimosis jaringan periorbital (raccoon sign) atau di belakang
telinga (battle’s sign).
Hipotensi pada pasien trauma kepala sering terjadi disertai cedera lainnya
(sering cedera intra abdomen). Pada anak-anak, sering disebebkan pendarahan
dari laserasi kulit kepala. Hipotensi juga dapat ditemukan pada cedera spinal cord
karena simpatektomi berhubungan dengan syok spinal. Pada pasien dengan cedera
kepala, koreksi hipotensi dan kontrol pendarahan didahulukan daripada
pemeriksaan radiologi dan terapi definitif bedah saraf karena tekanan sistoloik
arteri yang kurang dari 80 mmHg diprediksi memiliki luaran yang buruk. Larutan
mengandung glukosa atau hipotonik tidak boleh digunakan, sedangkan campuran
koloid, kristaloid, dan produk darah dapat diberikan bila perlu. Pendarahan berat
pada pasien dengan cedera multipel harus mengikuti protokol pemberian transfusi
darah untuk memenuhi kebutuhan platelet, fresh frozen plasma, dan packed red
blood cells. Monitoring tekanan ateri invasif, tekanan vena sentral, dan tekanan
intra kranial bermanfaat namun jangan sampai menunda diagnosis dan
penatalaksanaan. Aritmia dan kelainan elektrokardiografi pada gelombang T,
gelombang U, segmen ST dan QT interval sering terjadi pada cedera kepala,
namun belum tentu akibat dari cedera jantung karena lebih menggambarkan
gangguan fungsi otonom.
Pemilihan antara manajemen operatif atau obat-obatan pada trauma kepala
didasarkan pada temuan radiologis dan klinis. Pasien harus stabil terlebih dahulu
sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Pasien dengan kondisi kritis harus di
monitoring ketat selama pemeriksaan. Pasien yang tidak koperatif atau gelisah
mungkin memerlukan tambahan general anestesia. Sedasi tanpa kontrol jalan
nafas harus dihindari karena berisiko terjadi peningkatan tekanan intra kranial
akibat hiperkapnia atau hipoksemia.
11

2.3.2 Manajemen Intraoperatif6


Secara umum, manajemen anestesi sama dengan lesi massa yang berkaitan
dengan hipertensi intrakranial. Teknik dan obat-obatan anestesi dirancang
menjaga perfusi serebral dan mitigasi meningkatkan tekanan intrakranial.
Hipotensi dapat terjadi setelah induksi anestesi akibat efek kombinasi vasodilatasi
dan hipovolemia dan harus dirawat dengan α-adrenergik agonis dan volume infus
bila perlu. Hipertensi lanjutan sering terjadi akibat stimulasi bedah, tapi juga dapat
terjadi dengan peningkatan tekanan intra kranial akut dan dapat berkaitan dengan
bradikardia (refleks cushing).
Hipertensi dapat dirawat dengan tambahan dosis agen induksi, dengan
meningkatkan konsentrasi dari anestesi inhalan atau vasodilator. Blokade Β-
adrenergik biasanya efektif dalam mengontrol tekanan darah berhubungan dengan
takikardia. Tekanan perfusi serebral dijaga antara 70 – 110 mmHg. Vasodilator
harus dihindari sampai duramater di buka. Hiperventilasi dengan PaCO2 < 30
harus dihindari pada pasien trauma untuk mencegah penurunan pengantaran
oksigen yang berlebihan.
Perluasan koagulasi intravaskular biasanya dapat terlihat pada cedera
kepala berat. Cedera tersebut dapat menyebabkan pelepasan sejumlah besar
tromboplastin otak dan dapat berkaitan dengan acute respiratory distress
syndrome. Aspirasi pulmoner dan edema paru neurogenik juga berkaitan dengan
penurunan fungsi paru. Positive end-expiratory pressure (PEEP) dapat
diaplikasikan pada ventilator. Bila PEEP digunakan, pengawasan tekanan intra
kranial berguna untuk mengonfirmasi tekanan perfusi serebral yang adekuat.
Diabetes insipidus ditandai dengan urin yang sangat encer sering terlihat pada
cedera tangkai pituitary. Penyebab poliuria lainnya harus disingkirkan dan
diagnosis dikonfirmasi dengan pengukuran urin dan osmolalitas serum sebelum
penanganan dengan restriksi cairan dan vasopresin. Pendarahan gastrointestinal
sering terjadi pada pasien yang tidak mendapat profilaksis, biasanya akibat stres
ulserasi.
Keputusan untuk ekstubasi trakea pada kesimpulan prosedur bedah
tergantung pada keparahan cedera, bersamaan dengan terjadinya cedera abdomen
12

atau toraks, penyakit sebelumnya, dan tingkat kesadaran sebelum operasi. Pasien
berusia muda yang sadar sebelum operasi dapat di ekstubasi saat penanganan lesi
lokal, dimana pasien dengan cedera otak difus harus tetap di intubasi. Hipertensi
intrakranial persisten memerlukan paralisis, sedasi, dan hiperventilasi yang
berkelanjutan.
2.3.3 Manajemen Postoperatif6
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila
masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas
spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up,
jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi,
normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan
fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral
dimulai dalam 24 jam pascabedah.
13

BAB 3
LAPORAN KASUS

1. Anamnesis
H, Lelaki 56 tahun, dibawa ke IGD RSUP HAM dengan keluhan utama luka
robek pada kepala sejak ±1 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien
berkelahi dengan tetangga kemudian pasien dibacok dengan menggunakan parang
Riwayat Mual (-) , muntah(-). Pingsan (-) kejang (-).
RPT : Tidak ada
RPO : Tidak ada

2. Time Sequence
08 Desember 2016 23.30 WIB Pasien tiba di IGD RSUP HAM
09 Desember 2016 00.00 WIB Hecting situational
09 Desember 2016 00.15 WIB Konsul anestesi untuk pendampingan CT-SCAN
09 Desember 2016 00.20 WIB ACC pendampingan anestesi
Konsul tindakan anestesi pro Craniectomy
09 Desember 2016 01.10 WIB
debridement + evulsi EDH
09 Desember 2016 02.50 WIB ACC tindakan operasi
09 Desember 2016 14.17 WIB Operasi dimulai
09 Desember 2016 16.10 WIB Operasi selesai
09 Desember 2016 16.25 WIB Pasien dipindahkan ke RR IGD
Pasien dipindahkan ke ruangan RB4A Bedah
10 Desember 2016 22.30 WIB
Syaraf

3. Primary Survey

Tanda dan Gejala Kesimpulan Penanganan Hasil

A (airway) Clear  Pertahankan  Airway clear


 Snoring (-) airway clear  C-spine stabil
 Gargling (-)
14

 Crowing (-)
 C-spine stabil

B (breathing) Spontaneous  O2 8 L/menit via SaO2: 99%


Inspeksi: Non-Rebreathing RR: 18 x/menit
 Nafas spontan Mask
 Thorax simetris
tidak ada bagian
yang ketinggalan
Perkusi:
 Sonor kedua
lapanganparu
Palpasi:
 Stem fremitus
kanan dan kiri
sama
Auskultasi:
 SP/ST: vesikuler/-
SaO2: 97-99%
RR: 18 x/menit

C (circulation) Adequate perfusion IVFD RL guyur - CRT < 2 detik


 Capillary refill - Akral H/M/K
time< 2 detik - T/V: cukup
 Akral H/M/K - TD: 130/80mmHg
 T/V: cukup - HR = 110 x/menit,

 TD:130/80 mmHg regular

 HR: 110x/menit,
regular
 Perdarahan: +
15

 UOP =sudah
terpasang kateter
100 cc warna
kuning pekat

D (disability) Compos Mentis Mempertahankan A- Kesadaran Compos


 Kesadaran: AVPU: B-C tetap lancer Mentis
Respond
(ALLERT)
 Pupil :Isokor
 RC :3 cm / 3 cm

E (exposure) Terdapat Luka Hecting situational Luka di perban


 Luka di kepala robek di kepala
(+), leher(-), luka
kedua lengan
(-),kedua tangan
(-), tungkai kanan
dan kiri (-)

4. Secondary Survey
B1 : Airway clear, C-spine stabil, RR: 20 x/menit, SP : Vesikuler, ST: -/- ,
S/G/C : -/-/-, riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-, SaO2 : 99% ,
gerakan leher: terbatas
B2 : Akral: H/M/K, TD: 120/80 mmHg, HR: 110 x/menit, reg, T/V: cukup,
CRT: < 2 detik,
B3 : Sens: Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5), pupil: isokor, RC : +/+
B4 : UOP (+) volume: ±125cc/jam, warna : kuning jernih terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: simetris, soepel, peristaltik (+) normal
B6 : Edema (-), fraktur (+),
16

A : Tidak ada
M : Tidak ada
P : Tidak jelas
L : Tidak jelas
E : Pasien mengalami luka dibagian kepala

5. Penanganan IGD
 Head up 30°
 Pemasangan IV line 18G, threeway, transfusion set, pastikan lancar
 Beri oksigen 8 L/menit via Non-Rebreathing Mask
 IVFD RL guyur
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
 Pasang foley catheter untuk memantau urine output
 Ambil sampel darah  pemeriksaan laboratorium darah rutin, cross
match
 Pemeriksaan penunjang : EKG, radiologi foto thorax dan Head CT-
Scan

6. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium IGD
08 Desember 2016 (23.55)

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 9.5g% 12–16
Eritrosit 2.73 x 106 /µL 4.10-5.10
Leukosit (WBC) 10.910/µL 4–11x103
Hematokrit 27% 36–47%
Trombosit (PLT) 125 x103/µL 150–450x103
GINJAL
17

BUN 10 mg/dL 9-12 mg/dL


Ureum 21mg/dL 19-44 mg/dL
Kreatinin 0.65 mg/dL 0.7–1.3 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 139mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 3.7mEq/L 3.6–5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 106mEq/L 96–106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 327 mg/dL <200 mg/dL

Pemeriksaan Elektrokardiografi
18

Pemeriksaan Radiologi

6. Diagnosis
HI GCS 15 + EDH (R) frontal + Open (R) frontal depressed Fx.

7. Penatalaksanaan
 IVFD RL guyur
 Inj Ketorolac 30 mg/8jam
 Inj Ranitidine 50 mg/12jam
 Inj ceftriaxone 1 gr /12 jam
 Inj tetagam 200 iu
 Inj metronidazol 500 mg/ 12 jam
 Cek elekrtolit , KGDS , Albumin, AGDA

8. Rencana tindakan selanjutnya


 Tindakan Craniectomy + evakuasi EDH
19

Foto klinis pasien di IGD

RENCANA TINDAKAN
Tindakan : Craniectomy + evaluasi EDH
PS-ASA : 3E
Teknik Anestesi : GA-ETT
Posisi : supine
Operasi selesai pada pukul 16.10 dan pasien dipindahkan ke RR IGD tanggal 09
20

Desember 2016 pada pukul 16.25 WIB

FOLLOW UP POST OPERATIF


10/12/2016
S:Post op
O:
B1: Airway clear. S/G/C: -/-/-, RR 18 x/i, SaO2 99% .
B2: Akral : H/M/K, CRT < 2’ , TD: 140/70 mmHg , HR: 114x
B3: Sens CM, Pupil isokor
B4: OUP (+)
B5: Abdomen soepel, peristaltik (+)
B6: edema (-), fraktur (-)

A: Post Op. a/i EDH + open depressed fraktur


P:
 Bed rest head up 30°
 O2 10 l/i
 IVFD Rsol 20 gtt/i
 Inj. Cefriakson 2gr/12 jam
 Inj Gentamicin 80 mg/ 8 jam
 Inj Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj Phenytoin 100 mg/8 jam
 Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
 Inj ketorolac 30 mg/ 8 jam

11/12/2016
S:Nyeri luka post Op.
O:
B1: Airway clear. S/G/C: -/-/-, RR 18 x/i, SaO2 99% .
B2: Akral : H/M/K, CRT < 2’ , TD: 120/80 mmHg , HR: 100x
21

B3: Sens CM, Pupil isokor


B4: OUP (+)
B5: Abdomen soepel, peristaltik (+)
B6: edema (-), fraktur (-)

A: Post Op. a/i EDH + open depressed fraktur


P:
 Bed rest head up 30°
 IVFD Rsol 20 gtt/i
 Inj. Cefriakson 1gr/12 jam
 Inj Gentamicin 80 mg/ 8 jam
 Inj Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
 Inj ketorolac 30 mg/ 8 jam

12/11/2016
S: Nyeri luka Post op
O:
B1: Airway clear. S/G/C: -/-/-, RR 18 x/i, SaO2 99% .
B2: Akral : H/M/K, CRT < 2’ , TD: 120/70 mmHg , HR: 88x/i
B3: Sens CM, Pupil isokor
B4: OUP (+)
B5: Abdomen soepel, peristaltik (+)
B6: edema (-), fraktur (-)

A: Post Op. a/i EDH + open depressed fraktur


P:
 Bed rest head up 30°
 IVFD Rsol 20 gtt/i
22

 Inj. Cefriakson 1gr/12 jam


 Inj Gentamicin 80 mg/ 8 jam
 Inj Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam
 Inj ketorolac 30 mg/ 8 jam

13/11/2016
S: -
O:
B1: Airway clear. S/G/C: -/-/-, RR 18 x/i, SaO2 99% .
B2: Akral : H/M/K, CRT < 2’ , TD: 120/70 mmHg , HR: 80x/i
B3: Sens CM, Pupil isokor
B4: OUP (+)
B5: Abdomen soepel, peristaltik (+)
B6: edema (-), fraktur (-)

A: Post Op. a/i EDH + open depressed fraktur


P:
 Bed rest head up 30°
 IVFD Rsol 20 gtt/i
 Inj. Cefriakson 1gr/12 jam
 Inj Gentamicin 80 mg/ 8 jam
 Inj Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam
 aff catheter, aff drain
 cek lab
23

BAB 4
DISKUSI KASUS

No. Teori Kasus


1. Kausa  
Hematom epidural merupakan Pada kasus, luka robek pada
pengumpulan darah diantara kepala terjadi oleh karena
tengkorak dengan duramater trauma tajam akibat dibacok
Hematom jenis ini biasanya berasal dengan menggunakan parang
dari perdarahan arteriel akibat
adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens (a.
Meningea media). Fraktur tengkorak
yang menyertai dijumpai pada 8% -
95% kasus. Kausa yang
menyebabkan terjadinya hematom
epidural meliputi :
-  Trauma kepala
-  Sobekan a/v meningea mediana
-  Ruptur sinus sagitalis / sinus
tranversum
-  Ruptur v diplorica
2. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom Pada kasus, luka robek pada
epidural diklasifikasikan menjadi : kepala sejak ±1 jam sebelum
1. Akut : ditentukan diagnosisnya masuk rumah sakit.
waktu 24 jam pertama setelah trauma Sebelumnya pasien berkelahi
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya dengan tetangga kemudian
antara 24 jam – 7 hari pasien dibacok dengan
24

3. Kronis : ditentukan diagnosisnya menggunakan parang


hari ke 7
3. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural Pada kasus, tidak dijumpai
terdiri dari tria gejala; adanya pingsan, hemiparesis,
1.   Interval lusid (interval bebas) dan anisokor pupil.
Setelah periode pendek
ketidaksadaran, ada interval lucid
yang diikuti dengan perkembangan
yang merugikan pada kesadaran dan
hemisphere contralateral. Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya
interval lucid, dan ketidaksadaran
yang terjadi dari saat terjadinya
cedera.
2. Hemiparesis

3. Anisokor pupil

4. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan Pasien ini dilakukan operasi
pembedahan untuk evakuasi secepat kraniektomi dan evakuasi EDH
mungkin, dekompresi jaringan otak <24 jam.
di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang
drainase selama 2 x 24 jam untuk
menghindari terjadinya pengumpulan
darah yamg baru.
- Trepanasi–kraniotomi, evakuasi
hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
25

5. Luas luka bakar (American Burn Terdapat Luka bakar di wajah,


Association) kepala, tungkai kanan, dan
Perhitungan total area permukaan kaki kiri dengan total 20%
tubuh yang terbakar (TBSA) dapat Luka di kepala regio occipital
dihitung dengan “Rule of 9” . Wajah, leher = 13%
Luka dikaki kanan dan kiri 7%
Total : 20%

6. Aliran arus listrik (path of current)


Pada kasus ini jalur masuk
Jalur masuk yang paling umum cedera listrik adalah kepala dan
untuk cedera listrik adalah tangan; titik keluar adalah kaki
kedua yang paling umum adalah
kepala. Titik keluar yang paling
umum adalah kaki4.

7. Primary survey dan resusitasi


 Airway: perhatikan tanda- 1. Airway: Pada pasien ini tidak
tanda obstruksi jalan napas dijumpai trauma inhalasi,
dan trauma inhalasi serta airway clear dengan
resiko edema laring. terpasang face mask

 Breathing:penilaian ventilasi  Breathing: Pasien ini


dan oksigenasi dengan cara bernapas spontan, RR: 18
“look, listen and feel”. x/menit
SP/ST: vesikuler/-. SaO2: 97-
 Circulation: penilaian 99%. Pasien diberikan terapi
kesadaran, nadi, warna kulit, O2 10 l/menit via face mask
waktu pengisian kapiler dan
suhu ektermitas. Hitungan Ciculation:Pasien diberikan
26

cairan resusitasi dengan resusitasi cairan dengan Ringer


rumus Parkland, yaitu : luas Laktat berdasarkan rumus
luka bakar dalam persen x parkland
berat badan dalam kg x 4 mL 4 ml RLx %BSA x kgBB
larutan Ringer Laktat. 4ml x 20% x 30 kg = 2400 ml
8 jam I  ½ x 2400 = 1200 cc
16 jam II  ½ x 2400 = 1200
cc
Maintenance :
2ml/kgBB/jam
= 30x2ml
= 60 cc/jam
 Pasien dipantau sirkulasi dan
perfusinya dengan UOP

8. Kontrol infeksi dan penanganan


nyeri
 Antibiotik intravena tidak  Kontrol infeksi pasien ini
direkomendasika pada terapi dilakukan dengan pemberian
awal untuk kebanyakan antibiotik broad spectrum :
pasien luka bakar, karena bisa Inj. Ceftriakson 1gr/12 jam.
meningkatkan risiko  Penanganan nyeri pasien ini
kolonisasi lebih banyak dilakukan dengan pemberian
organisme jahat dan resisten. Inj.
Tambahan imunisasi tetanus IGD : Inj Ketarolac 15
bisa disesuaikan. mg/8jam
 Opioid dapat meredakan Post Op : Inj.Morphin10mg +
nyeri dengan cepat dan dapat 50 cc NaCl ->1.5cc/jam
dititrasi sampai mencapai
tingkat kenyamanan pada
setiap pasien Hati-hati
27

penggunaan pada pasien


dengan hipoksemia dan
penurunan kesadaran.
Sebaiknya gunakan
parasetamol secara teratur
dan, jika tidak ada
kontraindikasi, gunakan obat
anti-inflamasi non steroid
(NSAID). Pemasukan
ketamin melalui infus
berguna jika analgesik opioid
tidak tersedia atau tidak
adekuat.
 Pada stadium lanjut, opioid
oral dan antidepressan
trisiklik, seperti amitriptilin,
bisa digunakan

9. Perawatan luka bakar & tindakan


bedah  Pasien dilakukan
 Pada tahap awal setelah luka debridement luka bakar
bakar, pembedahan pada tanggal 30 oktober
merupakan prioritas untuk 2016 di KBE RS Haji
melakukan debridement dari Adam Malik Medan
jaringan yang terkena. Pada
saat yang sama, ahli bedah
biasanya akan mencoba untuk
menutupi luka bakar dengan
satu atau lebih cangkok kulit,
dengan alasan untuk
mengurangi infeksi,
28

mengurangi nyeri dan


mempercepat penyembuhan.
 Pada tahap lanjut, bekas luka
dan kontrakturitas dapat
menghalangi pembukaan
mulut atau terbatasnya
gerakan leher yang mencegah
pemasangan laringoskopi
konvensional. Pertimbangan
yang dapat diberikan adalah
dengan intubasi fibreoptic
sadar atau trakeostomi saat
sadar dibawah pengaruh
anastesi lokal. Setiap pasien
harus dinilai berdasarkan
kebutuhan individu masing-
masing.
29

BAB 5
KESIMPULAN

Anak laki-laki, 13 tahun. 30Kg mengalami electrical burn dengan luas


20%, dilakukan pemeriksaan primary survey dan secondary survey secara teliti
serta mengatasi secara langsung masalah yang ditemukan. Penanganan awal pada
pasien ini adalah:
 Head up 30°
 O2 non-rebreathing mask 10 l/i
 Pasang IV line dengan abbocath bore besar 18 G, pastikan lancar.
 Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
 Resusitasi cairan  Parkland Formula, dengan Resusitasi 8 jam pertama =
4ccxBBkgxTBSAx1/2 = 1200 cc
 Pantau urin output, UOP (+) 30 cc/gBB
 Pasang NGT, folley cath
 Analgetik, inj. Ketorolac 15 mg IV
 Antibiotic broad spectrum, inj. Ceftriaxone 1 gr IV
 Inform consent tindakan anestesi
 Pemeriksaan penunjang radiologi foto thorax
Setelah dilakukan tindakan debridement, os dirawat inap di HCU.
30

DAFTAR PUSTAKA
1. Olson DA, 2016. Head Injury. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview [diakses tanggal 14
Desember 2016]
2. Liebeskind DS, 2014. Epidural Hematoma. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1137065-overview [diakses tanggal 14
Desember 2016]
3. Adrian S, Rahardjo S, Saleh SC, 2015. Penatalaksanaan Perioperatif pada
Epidural Hemorrhage Dengan Herniasi Serebral. Jurnal Neuroanestesi Indonesia.
h:187-92
4. Nathanson M, Mopet IK, Wiles M, 2011. Anatomy and Physiology in
Oxford Specialist Handbook in Anaesthesia Neuroanaesthesia. Oxford University
Press. Nottingham, UK. h:2-5.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013. Anesthesia for
Neurosurgery in Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Mc Graw-Hill
Education. 5th ed. h: 602-4
6. Bisri T, 2008. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra. Bandung.

You might also like